http://www.karyailmiah.polnes.ac.id AKUNTANSI SEBAGAI REALITAS SOSIAL - PHENOMENOLOGY SUSTAINABILITY REPORTING KONSEP QUARDRANGLE BOTTOM LINE (QBL) DIMENSI ENVIRONMENTAL PERFORMANCE Muhammad Suyudi (Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Samarinda) Abstrak Perusahaan sebagai organisasi bisnis, orientasi pada pengejaran atas laba (profit) selalu menjadi tujuan utama. Karena aspek ekonomis lebih dominan di banding aspek sosial hal ini berdampak pada terganggunya keseimbangan ekologis. Fenomena ini disebut sebagai „krisis lingkungan‟. Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami berbagai fenomena pada suatu entitas bisnis akan perlunya dihadirkan „sustainability reporting’. Paradigma penelitian ini adalah interpretif-fenomenologi. Teknik pengumpualn data melalui tahapan Getting in, Getting along, dan Logging the data. Analisis fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf Jerman Edmund Husserl (1859-1938), fenomenologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba menggambarkan apa yang tampak melalui pengalaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-pengandaian awal maupun spekulasi hipotetis. Hasil penelitian adalah berbagai „fenomena‟. Fenomena dimaksud dihadirkan melalui konsep quardrangle bottom line (QBL). Dimana environmental performance yang dicapai cenderung negatip bagi kehidupan yaitu dampak dari kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia (entitas) karena menurunnya kesadaran dan tanggungjawab yang tidak saja pada sesama manusia namun juga pada lingkungan dan Pencipta. Kata Kunci: Sustainability Reporting, Interpretive-Fenomenology, Environmental Performance. PENDAHULUAN Stop global warming! Begitulah kampanye intensif yang dilakukan berbagai lembaga swadaya masyarakat karena kondisi lingkungan yang semakin memprihatinkan. Kalangan industri adalah sasaran tembak kampanye tersebut. Bisa dipahami memang, sebab selama ini kesadaran kalangan bisnis terhadap lingkungan sangat rendah. Kalaupun ada yang membuat laporan tentang lingkungan jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Pentingnya dilakukan pembangunan berkelanjutan diperlukan komitmen yang tinggi dari entitas untuk menjalankan tanggungjawab sosial dan lingkungan. Kondisi lingkungan termasuk di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan, salah satu masalah lingkungan hidup dimaksud adalah pemanasan Riset / 1537 Quardrangle Bottom Line global (global warming). Menurut Hilman (2007: 17), fenomena ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1900-an, di mana revolusi industri di Eropa dan Amerika dimulai. Perkembangan revolusi industri yang sangat pesat, dan dunia mulai diperkenalkan dengan produksi masal. Pada masa ini dampak pada lingkungan mulai terasa, namun hanya pada skala lokal, dan menurunnya kualitas lingkungan hidup hanya dapat dirasakan oleh mereka yang tinggal di sekitar industri. Industri tumbuh pesat dan meluas ke seluruh dunia. Industri yang mulanya memberikan dampak lingkungan pada daerah sekitarnya, sekarang menimbulkan dampak lingkungan yang dapat dirasakan di seluruh dunia. Dampak kegiatan industri seperti, penyebaran penyakit, sulitnya air bersih, global warming, pencemaran lingkungan dan JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 lainnya menjadi permasalahan dunia yang tiada berujung, dampak dari tujuan yang mengabaikan tatanan lingkungan dan sosial (Chwastiak dan Young, 2003, Poerwanto, 2007, dan Daniri, 2008). Manusia dan aktivitasnya (entitas) telah melakukan daya ubah cukup jauh di luar kemampuan daya dukung planet bumi, dan berbagai peristiwa alam telah kita rasakan sebagai akibat dari kerusakan alam. Fenomena ini merupakan masalah serius, masalah kelangsungan hidup generasi yang akan datang sehingga perlu ditemukan solusinya oleh semua pihak dan oleh semua disiplin ilmu, termasuk disiplin ilmu akuntansi. Berbagai fenomena alam tak lepas dari peran manusia (dunia bisnis) yang terus mengeksploitasi alam (resources) demi pencapaian kepentingan ekonomi (profit) dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Konteks ini, Rahman (2008) menyatakan bahwa konsep “paradigma sustainability” dalam aktivitas bisnis tidak dapat ditawar lagi. Keseimbangan aktivitas sosial, ekonomi dan lingkungan sepatutnya mendapatkan tempat yang memadahi dalam setiap aktivitas bisnis entitas. Eksploitasi alam yang didasarkan pada kepentingan ekonomi semata, pada saatnya akan menyebabkan tergangunya keseimbangan ekologis. Kondisi seperti ini disebut sebagai “krisis lingkungan”, yakni kesalahan dalam cara pengelolaan sumber kebutuhan hidup manusia. Kegiatan entitas yang berorientasi pada pencapaian laba setinggitingginya tidak lagi menghiraukan dampak sosial yang bakal terjadi pada alam. Kini tindakan ini harus dibayar mahal oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Capra (2004: 3) mengungkapkan: Pada awal dua dasawarsa terakhir abad keduapuluh, kita menemukan diri kita berada dalam suatu krisis global yang serius, yaitu suatu krisis kompleks dan multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan kesehatan dan mata pencaharian, kualitas lingkungan dan hubungan sosial, ekonomi (akuntansi), teknologi, dan politik. Krisis ini merupakan krisis dalam dimensi intelektual, moral dan spiritual; suatu krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam catatan sejarah umat manusia. Untuk pertama kalinya kita dihadapkan pada catatan kepunahan ras manusia yang nyata dan semua bentuk kehidupan di planet ini. Para ekonom [akuntan] memandang, peningkatan produksi, perbaikan jalur distribusi dan meningkatnya pola konsumsi masyarakat global JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 berarti peningkatan utilitas dan kesejahteraan (welfare) yang diterima anggota masyarakat. Namun kenyataannya, ada biaya yang harus ditanggung dalam dimensi jangka panjang. Aktivitas produksi tidak mencantumkan biaya sosial, biaya kerusakan lingkungan hidup dan biaya masa depan dalam perhitungan akuntansinya (Ismawan, 1999: 99). Sejalan berkembangnya konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan, Elkington (1997) dengan teori TBL (Triple Bottom Line) pada bukunya “Cannibals with forks, the triple bottom line of twentieth century business”. Elkington mengembangkan konsep TBL dalam istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Dia berpandangan, „jika sebuah entitas ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka harus memperhatikan triple-P’. Sustainability merupakan pijakan bersama bagi kepentingan bisnis, oleh Savitz dan Weber, (2006), dan Lako (2008) dianggap sebagai the sustainability sweet sport, sweet sport adalah tempat di mana pengejaran atas laba bercampur dengan pengejaran atas kebaikan bersama. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 2007, menyatakan bahwa laporan sustainability diposisikan sebagai laporan tambahan atas laporan keuangan. Laporan keuangan konvensional yang kita kenal lebih menyajikan informasi tentang: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan, beban, laba-rugi dan arus kas. Sedang laporan keberlanjutan (sustainable reporting) ialah pelaporan mandiri tentang kebijakan dan dampak atas kinerja lingkungan, sosial dan ekonomi dari suatu korporasi dan produknya. Perlunya dihadirkan laporan ini untuk menunjukkan pentingnya dilakukan pembangunan berkelanjutan sebagai komitmen akan kelestarian dan kepedulian terhadap berbagai fenomena. Laporan sustainability dengan konsep quardrangle bottom line merupakan alternatif bentuk laporan akuntansi yang tidak hanya menyajikan laporan berupa angka-angka (materi). Namun juga mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan dicapai, baik itu pencapaian positip maupun negatif dampak dari kegiatan ekonomi perusahaan. Berangkat dari asumsi-asumsi di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk memahami fenomena pada suatu entitas akan perlunya dihadirkan laporan keberlanjutan dari konsep quardrangle bottom line. PEMAHAMAN KUTUB-KUTUB PARADIGMA Sebagai alat, model penelitian di bidang ilmu pengetahuan telah mengalami pergeseran Riset / 1538 http://www.karyailmiah.polnes.ac.id dramatik dan revolusioner. Cooper dan Hooper, (1990), mengatakan „in accounting, research based on the alternative paradigm emerged at the end of 1970s and 1980s’. Ungkapan ini menyiratkan bahwa penelitian dibidang akuntansi telah bergeser, metodologi ilmu pengetahuan akuntansi (sosial) yang dulu mengandalkan “satu paradigma” tidak lagi dapat diandalkan untuk mampu menjawab semua research question. Babak baru dalam studi akuntansi pun mulai bermunculan dan bergeser dengan menggunakan metode dan tujuan studi yang baru. Metodologi telah menjadi pengimpor dari banyak disiplin ilmu sosial. Metodologi itu meliputi Symbolic Interactionism, Ethnomethodology, Marxism, Habermasism dan Critical theory, Gidden’s Structuration, Gramscian concept, dekonstruksi Derrida, Weberian, dan Foucouldian Perspective (Sukoharsono, 1998). Semua metodologi ini diadopsi para peneliti akuntansi untuk mengkritisi studi akuntansi yang sebelumnya dianggap menggunakan sudut pandang tradisi onal yang dikenal dengan istilah Positivism. Perkembangan teori akuntansi positip menjadi pesat (menggurita) laksana jamur yang tumbuh di tempat lembab, kemudian menjadi dominan dalam penelitian akuntansi (sosial), disebut sebagai aliran arus utama (mainstream), dan penulis menggunakan istilah aliran “kanan”. Istilah “kanan” karena dalam terminologi filsafat modern telah melembaga pemikiran oposisi biner, yang menelorkan dikotomi antara “kanan” dan “kiri”. Pemikiran modern menganggap bahwa “kanan” selalu dalam posisi di atas (dominan), sementara “kiri” pada posisi di bawah (marginal). Dalam pandangan ekstrim bahwa paham positip (inti ajaran modernitas) mempunyai sifat saling meniadakan (mutually exclusive) pada dua hal yang berbeda, misalnya paham ini hanya mengambil sifat obyektif dan mengeliminasi sifat subyektif dalam rangka mendapatkan ilmu pengetahuan yang obyektif (Triyuwono, 2004). Pandangan beda dari Burrell dan Morgan (1979: 22) dengan membuat 2 (dua) asumsi tentang sifat dasar ilmu pengetahuan sosial dan masyarakat, meliputi dimensi subyektif-obyektif yang menekankan pada sifat dasar ilmu pengetahuan dan dimensi regulasi perubahan radikal yang lebih menekankan pada sifat dasar masyarakat. Asumsi tentang sifat dasar ilmu pengetahuan sosial tersebut berkaitan dengan ontologi, epistemologi, sifat manusia, dan metodologinya. Kedua dimensi Riset / 1539 digabung dan membuat empat paradigma dalam ilmu sosial (termasuk akuntansi). Paradigma dimaksud sebagaimana gambar 01 berikut: Radical Change Radical Humanis Radical Structuralis Subjective View Objective View Interpretive Fungtionalist Regulation Gambar 01: Empat Paradigma Penelitian Kualitatif Sumber: Burrell dan Morgan (1979: 22) Berdasarkan keempat paradigma di atas, semua disiplin ilmu sosial, termasuk akuntansi, dapat dianalisis dengan asumsi meta-teori tentang sifat dasar ilmu pengetahuan dengan dimensi subyektif-obyektif, dan tentang sifat dasar masyarakat dengan dimensi regulasi/perubahan radikal. Pergeseran paradigma tidak hanya menghendaki suatu perluasan dalam persepsi tetapi juga menyangkut nilai-nilai. Menarik untuk ditelaah hubungan antara perubahan pemikiran dengan perubahan nilai-nilai. Paradigma Kualitatif–Interpretif–Fenomenologi: Sebuah Metodologi Penelitian Penelitian kualitatif adalah teropong atas fenomena sosial (khususnya akuntansi) dengan berbagai cara pandang (teropong), warna, bentuk, macam, perilaku dan rasa, misalnya dengan aliran konstruktivis, interpretif, feminis, postmodernis, strukturalis, teori kritis, dekonstruktivis dan masih banyak yang lainya (Sukoharsono, 2006). Paradigma penelitian kualitatif mengungkapkan bahwa hakikat kenyataan bersifat jamak, dibentuk, dan merupakan keutuhan. Hubungan antara peneliti dengan yang diteliti aktif bersama tidak dapat dipisahkan, bersifat ideografik, dan terikat dengan nilainilai (Moleong, 2006: 51). Selama ini penelitian di bidang akuntansi didominasi oleh arus utama (mainstream) yang menggunakan metode kuantitatif antara tahun 1960an dan 1970-an. Tetapi pada akhir tahun 1970-an dan 1980-an penelitian akuntansi sudah banyak menggunakan jalan alternatif dalam melihat fenomena akuntansi (menggunakan metode kualitatif). Pada penelitian ini penulis menawarkan jalan alternatif dalam melihat fenomena praktik JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 akuntansi. Jalan alternatif dimaksud ialah menggunakan pendekatan Interpretif–fenomenologi (phenomenology approach) Fenomenologi merupakan hasil refleksi filsuf asal Jerman Edmund Husserl (1859-1938), Fenomenologi ialah suatu disiplin ilmu yang mencoba menggambarkan apa yang tampak melalui pengalaman tanpa dikacaukan oleh pengandaian-pengandaian awal maupun spekulasi hipotetis. Mottonya adalah “kembali kepada obyek itu sendiri” (zu den sachen selbst), obyek harus diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologi guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau) (Letiche, 2006). Pokok pikiran Husserl yang menjadi dasar fenomenologi modern memberikan penekanan terhadap proses abstrak dari kesadaran merangsang para pemikir untuk mencari tahu bagaimana proses mental seorang individu dapat membentuk hakikat dunia sosial (praktik akuntansi). Dunia tidak dilihat sebagai sesuatu yang dihadirkan kepada kesadaran tetapi diciptakan dari proses subyektif pikiran manusia. Peneliti diajak melepaskan semua pengandaian yang mungkin salah ketika sedang melihat sesuatu. Teknik Pengumpulan Dan Analisis Data Teknik pengumpualn data dilakukan melalui tahapan berikut: 1) Proses memasuki situs/lokasi penelitian (getting in), 2) Proses bersosialisasi selama berada dalam situs/lokasi penelitian (getting along), dan 3) Proses pengumpulan data (logging the data). Selama proses berlangsung informan merupakan sumber informasi terpenting dalam penelitian ini. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui interview, wawancara atau dialog formal dan non formal. Demikian juga data sekunder lain untuk melengkapi kecukupan informasi yang dibutuhkan. Proses analisis data selama penelitian dilakukan paling tidak ada 3 (tiga) tahapan utama yang saling terkait, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Kegiatan ini sebagai sebuah jalinan sebelum, selama, dan sesudah tahapan pengumpulan data dalam bentuk yang sejajar (Miles dan Huberman, 1992:19). Tiga jenis kegiatan analisis data dan kegiatan pengumpulan data tersebut merupakan proses siklus yang interaktif. Dari data yang berhasil dikumpulkan kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan metode analisis fenomenologi. TINJAUAN AKUNTANSI : FENOMENA LAPORAN JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 KEUANGAN KONVENSIONAL Laporan keuangan konvensional merupakan media yang penting untuk menilai prestasi dan kondisi ekonomis suatu perusahaan (Harahap 2004: 105). Bagi para analis yang terbatas untuk melakukan pengamatan langsung, laporan ini akan bermanfaat sebagai informasi tentang keadaan entitas. Laporan keuangan yang menghadirkan informasi akan menjadi bahan analisis bagi para analis untuk pengambilan keputusan, karena laporan ini mencerminkan posisi keuangan entitas, hasil usaha entitas dalam suatu periode, dan arus kas dalam periode tertentu. Penyajian yang wajar dari laporan keuangan sebagaimana dalam pernyataan kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan (IAI 2007), mengandung arti bahwa laporan keuangan sering dianggap menggambarkan pandangan yang wajar atau menyajikan dengan wajar, posisi keuangan, kinerja serta perubahan posisi keuangan suatu entitas. Sebagaimana penjelasan dalam PSAK No. 1 paragraf 10 tentang kewajaran dalam penyajian laporan keuangan (IAI, 2007), yang berbunyi: Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas perusahaan dengan menerapkan PSAK secara benar disertai pengungkapan yang diharuskan PSAK dalam catatan atas Laporan Keuangan. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak diharuskan oleh PSAK. Gambar 02. “Once I Switched Over To Right Brain Thinking, My Accounting has Became Much More Creative” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com Pada laporan keuangan konvensional, penyajian secara wajar atas posisi keuangan, kinerja keuangan, perubahan ekuitas, dan arus kas lebih menggambarkan pada pencapaian dari sudut pandang interen entitas (materi/laba). Sementara Riset / 1540 http://www.karyailmiah.polnes.ac.id entitas tidak bekerja pada ruang hampa (vacuum) tanpa keterlibatan komunitas dan lingkungannya. Konsep demikian sudah saatnya dikoreksi. Menurut Triyuwono (2006: 107) akuntansi mainstream dengan kepala „ego‟nya direfleksikan dalam bentuk konsep income. Dengan ego yang tertanam dalam dirinya, praktik akuntansi menekankan terciptanya income bagi pemegang saham. Pandangan ini tidak lain ialah konsep entity theory. Di mana Kam (1990: 307-8) mengatakan: Bagi entity theory, penekanan dilakukan pada penentuan income, dan oleh karena itu laporan laba-rugi lebih penting dibanding dengan neraca. Penekanan pada income mempunyai dua alasan: (1) equityholders terutama mempunyai kepentingan pada income, karena jumlah ini menunjukkan hasil investasi mereka dalam periode tersebut; dan (2) entitas akan eksis bila menghasilkan laba (profit). Triyuwono (2006: 105) mengatakan bahwa akuntansi harus dapat memenggal kepala “ego”nya yang besar dan menumbuhkan tanaman altruisme agar dapat menciptakan kedamaian dalam realitas kehidupan bisnis. Akuntansi harus mengurangi “kejantanan” nya dan menumbuhkan “kebetinaan”nya dengan menggunakan sudut pandang yang lain dari “holistic wordview. Holistic wordview–Capra (1996: 6) juga menambahkan pandangan dunia ini dengan ecological worldview atau deep ecology– memandang dunia (realitas) sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai mana dikatakan Capra: Deep ecology tidak memisahkan manusia –atau apa pun– dari lingkungan alam. Deep ecology memandang dunia bukan sebagai kumpulan obyek yang diisolasi, tetapi sebagai jaringan kerja fenomena yang secara fundamental bersifat saling berhubungan dan saling bergantung. Deep ecology mengakui nilai intrinsik dari semua mahluk hidup dan memandang manusia hanya sebagai satu mata rantai khusus dalam jaringan kehidupan (1996: 7). Bila demikian, berarti laporan keuangan konvensional belum menghadirkan informasi sebagai wujud kehormatan, kepedulian dan akuntabilitas terhadap alam (ekologi) yang telah di eksploitasi. Karena laporan keuangan yang umum sekarang lebih menyajikan informasi mengenai entitas tentang: aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan, beban-beban, laba-rugi, dan arus kas. Ini semua merupakan informasi capaian materi. Melihat fakta sosial ini, informasi yang disajikan semata hasil capaian kinerja jangka pendek (periodesasi pelaporan akuntansi). Realitasnya, ada biaya yang harus di- Riset / 1541 tanggung oleh entitas dalam dimensi jangka panjang serta tingginya social cost yang ditanggung pemerintah dan masyarakat. FENOMENA LAPORAN KEBERLANJUTAN (SUSTAINABILITY REPORTING) Permasalahan keberlanjutan telah menjadi masalah serius menyangkut kelangsungan hidup masa kini atas semua mahluk hidup yang mendiami permukaan bumi. Krisis lingkungan tentunya tidak terlepas dari peran dunia bisnis yang terus-menerus berproduksi dengan mengabaikan aspek lingkungan dan sosial demi keuntungan materi. Dalam konteks ini, konsep paradigma sustainability dalam menjalankan aktifitas bisnis sudah tidak dapat ditawartawar lagi Savitz dan Weber (2006), Lako (2008), dan Rahman (2008). Keseimbangan aktivitas ekonomi, sosial, dan lingkungan sudah sepatutnya dapat porsi memadai dalam setiap aktifitas bisnis entitas yang diselenggarakan dalam kerangka tanggung jawab atas kebaikan bersama. Sebagaimana UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. “…perusahaan berbentuk Perseroan yang menjalankan usaha di bidang pengelolaan sumberdaya alam atau berkaitan dengan sumberdaya alam, diwajibkan untuk menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Kondisi ini memunculkan pertanyaan, apakah entitas menyajikan informasi sosial dan lingkungan dalam laporan tahunannya, semata sebagai strategi untuk memaksimalkan laba atau upaya memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam peraturan?. Padahal, bisa saja entitas melaksanakan praktik sustainability report berdasarkan kebutuhan yang melebihi pertimbangan ekonomi maupun ketentuan yang dipersyaratkan oleh peraturan. Jawaban atas pertanyaan ini dalam banyak literatur sering didasarkan pada teori-teori, antara lain legitimasi theory (Parsa dan Kouhy, 2002; dan Tilling, 2004). Berbagai motivasi mendorong entitas menyajikan informasi mengenai dampak sosial dan lingkungan pada laporan tahunannya, yang umumnya berpijak pada legitimasi theory, yaitu untuk memenuhi ketentuan kontrak pinjaman, memenuhi ekspektasi masyarakat, meligitimasi tindakan entitas serta untuk menarik investor (Basamalah dan Jermias, 2005; Sayekti dan Wandabio, 2007). JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Gambar 03. “Designated area of outstanding natural profitability” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com Dari paparan tersebut dapat diketahui bila penggunaan legitimasi theory akan sejalan dengan konsep akuntansi konvensional yang menganggap praktik sustainability report yang dilakukan entitas bebas nilai (value-free) karena terdapat unsur keterpaksaan melalui pertimbangan ekonomi serta ketentuan yang dipersyaratkan peraturan. Hal ini bertentangan dengan konsep akuntansi kontenporer, bahwa praktik sustainability report tidak bebas nilai (not value-free) karena dilakukan tanpa unsur keterpaksaan yang melebihi pertimbangan ekonomi atau ketaatan pada peraturan, sebagai wujud kesadaran dengan berpegang pada nilai etika dan moralitas. KINERJA LINGKUNGAN: MENGUNGKAP FENOMENA SUSTAINABILITY DI ANTARA DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN Meneropong berbagai fenomena, Isu lingkungan bukan merupakan isu baru, persoalan semakin menarik dikaji seiring perkembangan teknologi dan ekonomi global. Secara perlahan telah terjadi perubahan pola hidup yang secara langsung atau tidak langsung memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Era industrialisasi di satu sisi menitikberatkan penggunaan teknologi seefisien mungkin, acapkali mengabaikan aspek kelestarian. Kenyataan ini, menurut Keraf (1997) menunjukkan bahwa bisnis mempengaruhi (segala aspek) kehidupan. Ini berarti bahwa bisnis sangat menentukan baik-buruknya (kualitas) kehidupan dan budaya masyarakat modern. Pengabaian atas tanggung jawab dan kewajiban moral, ternyata menimbulkan persoalan sosial dan ekologi yang serius (Ismawan 1999: 55-7, Capra 2002a: 11, Gorz 2003, Keraf 2005: 170-1, Zohar dan Marshall 2006: 37). FENOMENA ALAM DIMENSI LOKAL DAN GLOBAL: PERLUNYA DIHADIRKAN BENTUK PERTANGGUNG JAWABAN „LAI’ JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Adanya perubahan paradigma pembangunan sebagai gagasan yang lahir dari hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) di Rio De Janeiro, Brazil 1992. Tentang perlunya perubahan dari paradigma yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) ke paradigma pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Isu kelestarian telah merubah financial modeling menjadi financial return plus, misalnya dengan munculnya economic value added, full cost accounting dan ancangan manajemen lain. Investasi korporasi menjadi makin peka terhadap stakeholder dan ekspektasi sosial (society expectation). Semenjak kemenangan logika industrial berupa revolusi industri yang membawa konsekwensi pada menguatnya perusahaan di atas elemen sosial lainnya, menggiring manusia menuju peradaban industri dengan segala kompleksitas yang terus berevolusi menuju bentuknya yang paling akhir. Sejarah telah mencatat dengan sempurna bagaimana perjalanan hubungan industrial antara manusia, perusahaan dan lingkungan saling bersinggungan, menyatu dan bahkan mengintimidasi satu sama lain menuju satu tujuan yaitu kepentingan. Fakta itu teramati dan telah menjadi realitas bukan sekedar fenomena. Bila dorongan berbagai kepentingan dan orientasi materi telah menimbulkan masalah dan berdampak pada terganggunya keseimbangan alam. Alhasil, bumi tidak mampu lagi menyerap apa yang turun dari langit akibatnya menimbulkan banjir dan berbagai bencana menyertai. Peristiwa ini telah memberi inspirasi pada peneliti dalam melihat praktik akuntansi dan kontribusinya pada permasalahan ekologi, sosial, dan ekonomi. Nilai-nilai ini perlu dikolaborasi antara konsep teoritis dengan local wisdom yang digali dari entitas dan komunitas. Berikut hasil eksplorasi berbagai fenomena lingkungan, teropong praktik akuntansi dari konsep quardrangle bottom line (QBL) dimensi Environmental Performance: 1. FENOMENA MELEMAHNYA DAYA DUKUNG DAERAH DARI BANJIR DAN Riset / 1542 http://www.karyailmiah.polnes.ac.id TANAH LONGSOR Perlawanan menyikapi berbagai fenomena tak luput dari perhatian masyarakat, mahasiswa, aktivis LSM, dan pencinta lingkungan. Aksi terjadi karena kebijakan yang kurang berpihak pada kelestarian. Kaltim Pos dalam Headline-nya “Kota Tepian Sakit Parah”. Menjelang Hari Bumi 22 April 2009, menulis …banjir beberapa waktu merupakan fenomena berbeda, bukan karena banjir kiriman, tetapi bukti daerah telah sakit parah. “Samarinda tidak memiliki daya dukung lagi bahkan untuk menampung hujan lokal”. Saat ini 66,5% wilayah yang dulunya benteng pertahanan banjir telah berubah menjadi areal pertambangan dan pembukaan hutan untuk kuasa pertambngan, hal ini yang menyebabkan banjir, tanah longsor, pendangkalan sungai, hilangnya berbagai biota sungai karena air yang keruh, dan pembalakan hutan yang merajalela.1 Samarinda dengan luas daratan mencapai 718,23m2, ternyata dikelilingi kegiatanh eksplorasi kuasa pertambngan batu bara. Direktur Walhi Kaltim mengatakan:2 Bagaimanapun musibah banjir yang terjadi di wilayah Samarinda adalah akumulasi dari berbagai kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan penambangan dan eksploitasi hutan. Kuasa penambangan (KP) batu bara memiliki andil terbesar menghantarkan bencana banjir di wilayah ini. Demikian juga pengusaha kehutanan yang tidak patuh pada ketentuan yang ada, telah menurunkan fungsi hutan yang sebenarnya sebagai paru-paru dunia, tempat tumbuh kembangnya flora dan fauna, area resapan air, erea produksi gas O2 dan area penyerapan gas CO2 dan lainnya. Fenomena lingkungan seperti, banjir dan tanah longsor kiranya belum cukup menjadi bukti bila telah terjadi kerusakan lingkungan. Penyebab tentu banyak salah satunya karena eksploitasi sumberdaya alam yang melampaui batas, baik itu melalui pembalakan hutan, pengerukan sumberdaya (resources) di perut bumi oleh kuasa penambangan, dan eksploitasi sumberdaya alam lainnya. Silang pendapat terus terjadi di antara mereka dan terus berkelit dari tanggung jawab dan menganggap dirinya bersih. Gambar 04. “DANGER This Water not Suistable for Drinking” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www. CartoonStock.com. Menurut peneliti, kalaupun durasi banjir dan tanah longsor yang terjadi kini jangka pendek. Namun untuk jangka panjang akibat dari menghilangnya tegakan pohon dampak industri HPH dan KP akan berdampak pada menurunnya daya serap air, daya serap karbondioksida, daya produksi oksigen, dan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia. Bila ini terus berlanjut maka tidak menutup kemungkinan krisis air bersih dan problematika lingkungan yang terjadi kini akan mengalirkan air mata di masa mendatang (baca: kesulitan dan penderitaan). 2. FENOMENA BISNIS SEKTOR KEHUTANAN CENDERUNG TIDAK SUSTAINABLE Mengapa bisnis sektor kehutanan cenderung tidak sustainable?. Pada level permukaan, terdapat isu semisal menyusutnya sumberdaya alam (resources) dan kerusakan lingkungan yang menyertainya dan semua ini tak kurang aktualnya meskipun sudah terus-menerus diperbincangkan (Zohar dan Marshall, 2006: 37-8). Menilai keberhasilan suatu bisnis tidak cukup dengan indikator ekonomi (seperti tingkat produktivitas, efisiensi, dan laba) sebagai indikator keberhasilan manajer maupun korporasi. Perlu indikator lain yang menjelaskan dampak positip dan negatif terhadap lingkungan. Paradigma yang menempatkan manusia dan alam sebagai yang terpisah, manusia sebagai subyek dan ukuran kepentingan, dan alam sebagai obyek eksploitasi, dipandang hanya sebagai barang/komoditas ekonomi semata (teori antroposentrisme). Konsekuensinya ialah eksploitasi dan pemanfaatan alam yang sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia menjadi sah dan wajar. Benar-benar alam direduksi pada fungsi tunggal, yakni barang ekonomi sebagai alat pemuas kebutuhan manusia. Maka, alam yang mestinya dijaga kelestariannya telah menjadi jarahan dan pesta pora kepentingan. 1 Surat kabar harian Kaltim Pos, “Kota Tepian Sakit Parah”, Terbit hari Rabu, 21 April 2009, h. 27. 2 Isar Wardana, Direktur Walhi Kaltim, “Dialog TVRI Kaltim bersama Wahana Lingkungan Hidup”, Bekerja sama dengan HKTI Kaltim, Tanggal 1 Juni 2009. Riset / 1543 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Gambar 05. “One Day Son, all of this will be yours” 2007. © Original Artis Reproductions right optainable from www.CartoonStock. com. Fenomena kelangkaan bahan baku berkait pada kerusakan hutan akibat pembalakan liar (ilegal logging) dan kesalahan manajemen kehutanan semakin mempersulit eksistensinya. Di tambah lagi sulitnya modal terkait keengganan perbankan mengucurkan dana. Perbankan menilai industri kehutanan dengan rapor merah akibat pelbagai kasus keterlibatannya dalam kesalahan manajemen di waktu lalu. Kemudian industri sejenis di Malaysia dan China yang telah mampu mengganti mesinmesin industri berteknologi mutakhir. Kedua negara pesaing itu dapat berproduksi dengan lebih efisien, sehingga harga jual produk lebih murah dan diminati oleh pasar internasional. Fenomena lain, sudah bukan rahasia lagi, bila industri kehutanan jadi bulan-bulanan lewat berbagai pungutan yang ilegal sehingga keuangan entitas tidak aman. Bila menengok ke belalakang, kondisi usaha sektor ini di tahun 2005 jauh lebih baik. Tahun itu, masih terdapat 25 industri yang beroperasi dengan 60.000-an pekerja, dengan kapasitas produksi 75-80% atau rata-rata dua kali lipat dari kondisi saat ini. Sampai akhir 2008, tinggal tersisa 7 industri yang masih beroperasi yaitu; Intracawood Manufacturing, Idec Alwi, Tirta Mahakam, Balikpapan Forest Industry, Rimba Raya Lestari, Inne Dong Hwa, Sumalindo Lestari Jaya. Ketujuh industri tersebut tetap berproduksi dengan kapasitas produksi 30%. 3 Entitas yang sejak awal telah menunjukkan kekuatannya dengan memegang tiga syarat, yakni modal (capital), kekuasaan (power) dan Hak (legality). Dengan syarat itu ia memiliki keleluasaan mengelola kekayaan alam dan menjualnya ke pasar lokal dan internasional. Dari sini, entitas dapat 3 Kompas.com. Ketua Apkindo Kaltim Taufan Tirkaamiana,“Tersisa Tujuh Perusahaan Kayu Lapis di Kaltim” 1 Maret 2009. Diakses 19 Oktober 2009. JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 dinilai berhasil mencapai tujuan pendiriannya „profit oriented’. Tuntutan yang semakin kuat dari negaranegara pasar produk atas praktik bisnis yang berbasis sustainable development tidak bisa diremehkan. Meningkatnya tekanan pada masyarakat negara berkembang untuk menerapkan standar serupa dengan negara maju, maka komitmen untuk kembali pada lingkungan menjadi suatu pilihan tepat, apalagi 75% hasil penjualan diperoleh dari hasil ekspor. Namun apa yang terjadi, dampak krisis 2008: Harus diakui menjadi pionir sustainable forest management tidak selamanya menjanjikan kinerja keuangan yang bagus. Ini terlihat di tahun 2008 entitas mencatatkan kerugian bersih Rp262,5 miliar, dibandingkan laba bersih di tahun 2007 mencapai Rp27,6 miliar (Kompas.Com. 24 Mei 2009). Fenomena ini karena ketergantungan yang cukup tinggi pada pasar ekspor, dan sifat produk yang berkait dengan industri properti yang mengalami perlambatan signifikan di berbagai negara dampak krisis. Dari fenomena tersebut, manajemen berkeyakinan bila praktik bisnis yang sustainable harus memperhatikan quardrangle bottom line. Tentunya dengan catatan hal ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah sehingga praktik sustainable forest management tidak menjadikan entitas yang menerapkan menjadi kehilangan kemampuan bersaing. 3. FENOMENA KECENDERUNGAN MINAT DAN KESADARAN KONSUMEN BERALIH KE PRODUK KAYU BERBAHAN BAKU DARI HUTAN LESTARI Fenomena terkini, negara tujuan ekspor, khususnya terhadap produk yang dihasilkan dari eksploitasi hutan menyaratkan adanya audit lingkungan dan laporan lingkungan. Masyarakat konsumen menyaratkan entitas memiliki label produk yang ramah lingkungan (melakukan audit lingkungan dan laporan lingkungan). Di luar negeri seperti di Inggeris, ada investor yang tergabung dalam social responsible investor (SRI) yang hanya membeli saham bila entitas itu tidak hanya membuat laporan keuangan tapi juga menyiapkan laporan sustainability (Darwin, 2007: 12). Laporan sustainability membutuhkan payung, apa payungnya? yakni “Masyarakat dan Pasar”. Bila dua payung ini bersinergi tidak menutup kemungkinan kesadaran perlunya laporan keber- Riset / 1544 http://www.karyailmiah.polnes.ac.id lanjutan akan tinggi seperti di luar negeri. Laporan ini pada dasarnya tergantung kiri, kanan, atas dan bawah. Atas adalah pelanggan, bawah adalah supplier, kanan dan kiri adalah kompetitor atau pesaing dan masyarakat. Kecenderungan minat dan kesadaran dari konsumen beralih ke produk kayu berbahan baku dari hutan lestari (eco-product atau eco-solution product) merupakan fenomena baru yang mencerminkan kesadaran manusia akan perlunya kelestarian. Hal ini telah lama dicermati dan disikapi oleh segenap jajaran manajemen sampai pekerja di lapangan untuk menciptakan produk ramah lingkungan dan berpihak pada kelestarian. Komitmen kelestarian memastikan bahwa salah satu teknis pengelolaan hutan lestari adalah melakukan implementasi Chain of Custody (CoC). Program ini bertujuan untuk menjaga dan menverifikasi asal-usul (wood legaly verification and timber tracking) dengan memanfaatkan penerapan teknologi tinggi yaitu barcode system (BS). Dengan BS dapat dilakukan update data kayu online dari areal hutan sampai ke industri pengolahan. Komitmen pada kelestarian hendaknya bukan sekadar upaya ikut-ikutan tren ”go green” yang sedang populer. Konsep dan praktek bisnis idealnya dan seharusnya dikonstruksi dalam desain yang holistik dan ekologis, yakni memperhatikan kepentingan dan mempertahankan eksistensi bentuk keberadaan yang ada dalam alam. Kesejahteraan yang dibangun harus dilihat dan ditempatkan dalam suatu harmoni kehidupan yang sebanding antar semua spesies dan tidak hanya pada suatu bentuk akumulasi modal (materi) untuk dominasi kepentingan manusia (entitas) dengan mengabaikan kelestarian. Kesadaran pentingnya keseimbangan dengan alam harus diupayakan untuk meredam dan meminimalkan dampak negatip dari aktifitas ekonomi entitas. Gambar 06. “G + N Accountants” 2007 © Original Artis Reproduction rights obtainable from www.CartoonStock.com Riset / 1545 Laporan keuangan sebagai representasi dari entitas juga merupakan sebuah proses perubahan konsep ideologi masyarakat modern yang abstrak menuju dalam bentuk-bentuk kongkret. Terlihat dari tujuan laporan keuangan yang hanya ingin menyenangkan para pemegang saham dengan menunjukkan laba yang tinggi. Bila demikian ideologi kapitalisme telah menjangkiti dalam proses penyusunan laporan keuangan, hal ini berdampak pada pemitosan tentang kinerja entitas yang dapat dikatakan berhasil yaitu dengan membukukan laba yang tinggi. Jika terus dilanjutkan dan menjadi pedoman bagi para akuntan maka akan mempunyai konsekuensi yang tidak bisa dihindari, yaitu segala upaya akan dilakukan demi mengejar laba yang tinggi agar pemegang saham dapat tersenyum lega. 4. FENOMENA DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DISINYALIR PEMICU KERUSAKAN LINGKUNGAN (HUTAN) Pengaturan hasil hutan dalam sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia kembali menjadi fenomena yang penting. Adanya wacana pengurangan jatah tebangan atau yang lebih dikenal dengan istilah “soft landing” dari Departemen Kehutanan RI dipandang sebagai salah satu upaya untuk mengurangi degradasi hutan. Saat ini, Propinsi Kalimantan Timur pada era desentralisasi mengalami perubahan dalam pengelolaan sumberdaya. Kalimantan Timur yang terdiri dari 14 daerah tingkat dua (kabupaten/kota). Perubahan yang terjadi seiring dengan visi dan misi di masingmasing daerah kabupaten/kota, diyakini sebagai salah satu usaha untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah dan pembangunan di wilayah kabupaten baru. Pengembangan tersebut dimungkinkan daerah dapat lebih intensif memperhatikan dan mengawasi sepak terjang masyarakat dan para pengusaha HPH maupun pengusaha KP dalam melakukan aksinya. Faktanya, tidak malah menjadi lebih baik “raja-raja kecil di daerah” sepertinya bersikap balas dendam atas apa yang telah diperbuat terhadap sumberdaya alam di daerahnya oleh “raja-raja besar di pusat pada masa lalu”. Fenomena kerusakan hutan karena deforestasi dan degradasi, disinyalir karena perilaku dari masyarakat, pangusaha dan penguasa di daerah yang lebih berfikir bagaimana mencapai kepentingan ekonomi tanpa memperdulikan dampak yang ditimbulkan dari kerusakan JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 lingkungan. Namun demikian tidak berarti tanggung jawab pada lingkungan (ekologi) menjadi wewenang kabupaten/kota sendiri: Deforestisasi yang mengancam, salah satunya akibat dari awal mula pengelolaan sumber daya hutan Indonesia telah bermasalah. Pengelolaan hutan Indonesia diserahkan pemerintah ke entitas yang mengajukan izin pengelolaan. Pengelolaan pihak swasta dengan izin pemanfaatan HPH inilah yang disinyalir telah meluluh lantakkan hutan hijau Indonesia” (Ikhsan, 2008). Deforestasi di Indonesia sebagian besar akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumberdaya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan hasil kayu dan perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun, dan keuntungannya digunakan oleh rejim sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol kroni, teman, dan mitra potensialnya. Pertumbuhan ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan secara berkelanjutan (sustainable) dan hak penduduk lokal. Fenomena yang terjadi dampak ketidaklestarian ini adalah: 4 a. Banyak HPH melanggar pola tradisional hak kepemilikan lahan. Akuntabilitas pengelolaan hutan sangat lemah, banyak hutan dieksploitasi berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, hampir 30% konsesi HPH masuk kategori "sudah terdegradasi". b. HTI dipromosikan besar-besaran dan disubsidi sebagai cara menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp di Indonesia. Hampir 9 juta ha lahan sebagian besar ialah hutan alam, telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini telah ditebang habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya 2 juta ha ditanami, sisanya 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif. c. Lonjakan perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan dikonversi menjadi perkebunan hingga akhir 1997, terus bertambah tiap tahun dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar dikonversi ke perkebunan sawit hanya 2,6 juta ha, dan perkebunan baru untuk tanaman keras luasnya mencapai 1-1,5 juta 4 Indonesian Forestry Sector: Discusson of Data Analysis and Current Policy Issues. Presentasi oleh EPIQ/NRM of USAID pada Winrock International, Arlington, VA. 1 Agustus 2005. JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 ha. Sisanya 3 juta ha lahan yang sebelumnya hutan kini terlantar. d. Produksi kayu dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku yang diperlukan industri perkayuan di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari ilegal logging. Pencurian skala besar dan merajalela di Indonesia; setiap tahun 50-70% pasokan kayu untuk industri ditebang secara ilegal. e. Peran petani tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi lainnya, merupakan subyek kontroversi yang besar. Dari tahun 1990 bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab sekitar 20% hilangnya hutan. Data ini diterjemahkan pembukaan lahan sekitar 4 juta ha. f. Program transmigrasi, sejak 1960-an sampai akhir Orba, memindahkan penduduk dari pulau Jawa ke pulau lainnya. Program ini diperkirakan Dephut membuka hutan hampir 2 juta ha selama periode tersebut. Juga, para petani kecil dan penanam modal skala kecil oportunis juga ikut andil penyebab deforestasi, mereka membangun lahan perkebunan sawit dan coklat. g. Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan HPH mengakibatkan kebakaran besar yang tidak terkendali. Lebih dari 5 juta ha hutan terbakar tahun 1994 dan 4,6 juta ha tahun 1997-1998. Sebagian besar lahan tak terurus dan kini tumbuh menjadi semak belukar. Praktik penanganan dampak purna pembalakan dalam upayanya mempertahankan kelestarian, ternyata tidak sepenuhnya mampu mengembalikan fungsi dan martabat hutan sebagaimana sebelum dijamah dan di eksploitasi oleh manusia. Upaya yang dilakukan seperti penuturan dari Bapak “AM” bahwa, Pendekatan untuk mengurangi dampak degradasi dan deforestasi hutan pasca pembalakan dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: 1) pendekatan untuk penutupan lahan dan sifat fisik tanah; 2) pendekatan untuk memperbaiki struktur vegetasi, potensi dan kondisi flora; dan 3) pendekatan silvikultur pengelolaan hutan tanaman produksi. Memerlukan waktu yang lama, tenaga dan biaya tidak sedikit untuk mengembalikan fungsi hutan sebagaimana sebelumnya. Keperawanan hutan yang telah direnggut manusia (entitas) harus dikembalikan fungsinya sebagai hutan yang menghidupi seluruh penghuninya. Riset / 1546 http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Komitmen dan tanggung jawab mengembalikan fungsi hutan sebagai paru-paru dunia menjadi penting, hutan dan sumberdayanya tidak hanya diperuntukkan untuk kepentingan generasi masa kini namun juga generasi masa datang. Adalah relevan untuk mengkaji kembali cakupan tentang tanggung jawab entitas dengan mengacu pada konsep stakeholder dalam pengertiannya yang luas. Stakeholder yang tidak hanya mereka yang mempunyai kekuasaan dan legitimasi, tetapi juga berbagai komponen yang memiliki kepentingan atas keberadaan entitas. Dengan model/konsep seperti ini, maka akan memungkinkan suatu konsep tanggung jawab yang lebih akomodatif dan memperhitungkan kepentingan semua pihak, baik manfaat yang akan diterima maupun potensi negatip yang akan terjadi. Akuntansi sebagai salah satu media informasi entitas bisnis, yang merekam setiap aktifitas ekonomi perusahaan sudah pada tempatnya bila para pelaku ekonomi perusahaan menyajikan suatu bentuk laporan yang mencerminkan keberpihakan dan kepedulian yang tidak semata berorientasi pada kepentingan stakeholer namun juga berorientasi pada kelestarian laingkungan. SIMPULAN Melalui paradigma interpretif diketahui bahwa: Komitmen entitas untuk melakukan bisnis secara lestari yang didasarkan pada prisip “keadilan yang seimbangan”, artinya “apa yang bisa diambil dari alam harus ada yang bisa ditanam”; komitmen ini nampak baru sekedar pada tataran wacana yang belum menjadi fakta. Bila entitas diibaratkan sebagai tempat “penampung air (tandon air)” maka perlu dibuat pipa-pipa yang dapat menghubungkan ke kran-kran air, artinya “apa yang dapat dinikmati shareholders harus juga dapat dinikmati oleh stakeholders”. Model interaksi sosial yang dibangun lebih sebagai kamuflase agar entitas mendapat dukungan dari lingkungan sosialnya; Hasil peneropongan pada konsep „QBL‟ dimensi kinerja lingkungan disadari maupun tidak telah mewarnai sikap individu maupun kelompok dalam penyesaian satuan pekerjaan (praktik akuntansi). Dari berbagai fenomena yang ada perlu diyakini bila praktik bisnis yang sustainable harus memperhatikan kelestarian ekologi, dengan catatan hal ini mendapat dukungan penuh dari pemerintah sehingga praktik sustainable forest management tidak membuat entitas yang menerapkan menjadi kehilangan kemampuan bersaing; Implementasi Riset / 1547 konsep qurdrangle bottom line dimensi environmental performance yang dibangun idealnya karena dorongan „kebutuhan‟ bukan „kewajiban‟, sehingga lebih bermakna dalam membangun harmonisasi antara shareholders dan stakeholders. SARAN Model penelitian seperti ini hendaknya tidak berhenti sampai di sini. Sebagai penganut paradigma post-positivisme [kualitatip]. Dengan tetap memperhatikan dinamika pada konteks lapangan, maka model penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat generalisasi atas fenomena pada umumnya. Suatu praksis tentu memiliki keunikan tersendiri yang dimungkinkan berbeda satu entitas dengan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, saran yang dapat disampaikan adalah: Dimensi Internal, Perluasan dimensi pertanggungjawaban entitas perlu ditingkatkan dengan lebih tepat guna, karena bila dalam suatu lingkungan entitas bertumbuh jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin berarti kontribusi pada lingkungan sosial melalui program CSR perlu ditinjau kembali; Dimensi Eksternal, Secara personal kepedulian pada lingkungan bisa mulai sejak dini melalui pendidikan formal, non-formal maupun informal; melalui majelis taklim, ceramah, pelatihan, seminar dan lainnya. Di lingkungan pendidikan formal, sudah saatnya pemerintah memasukkan materi seputar upaya pelestarian lingkungan pada mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup, sebagai mata pelajaran wajib, bukan sekadar muatan lokal, dari mulai tingkat dasar hingga Universitas. Di Perguruan Tinggi, praktik reboisasi bisa dimasukkan satu paket dalam program KKN mahasiswa. Mahasiswa turut mendorong sekaligus terlibat dengan masyarakat dalam proses reboisasi hutan. Di lingkungan pendidikan non-formal dan informal termasuk pesantren dan majelis taklim, para ustad sudah saatnya diberi informasi mengenai kerusakan alam yang memprihatinkan. Kemudian mereka didorong untuk menanamkan kepedulian pada lingkungan, khususnya kelestarian alam. Pemahaman pada para santri dan jamaahnya sebagai bagian dari pengamalan ajaran agama, dalam posisi mereka sebagai khalifatullah fil ardh. DAFTAR PUSTAKA Burrell, Gibson dan Gareth Morgan. 1979. Sociological Paradigms and Organisational JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. London: Heinemann. Capra, Fritjof. 2002a. Jaring-Jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi Dan Kehidupan, Terjemahan (Pasaribu). Yogyakarta. Penerbit Fajar Pustaka Baru,. Capra, Fritjof. 2004. Titik Balik Peradaban, Terjemahan (Thoyibi), Yogyakarta. Penerbit Bentang Pustaka. Chawastiak, M. and Young J.J. 2003. Silences Annual Reports, Critical Perspectives on Accounting, 14, 533-552. Albuquerque, NM 87131, USA. Daniri, Mas Achmad. 2008. Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan. Di akses 18 Agustus. Darwin, Ali. 2007. Sustainability Reporting: Kompetensi Baru Akuntansi Manajemen, Makalah Seminar Nasional, Nop. UB. Malang. Ismawan, Indra. 1999. Risiko Ekologis di Balik Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation. Yogyakarta. Kaltim Pos. 2009. Kota Tepian Sakit Parah. Kaltim Pos. 21 April. h. 27. Kam, Venon. 1990. Accounting Theory. Secend edition. New York: John Wiley and Sons. Kerap, A. Sonny. 1997. Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi. Yogyakarta, penerbit Kanisius. Lako, Andreas. 2008. Akuntansi CSR, Majalah Swa, No 02/XXIV/24 edisi Jan - 5 Feb. Letiche, Hugo. 2006. Relationality and Phenomenological Organizational Studies. Tamara Journal Vol 5 Issue 5.3 2006: pp.7-18. Darwin, Ali. 2007. Audit Lingkungan Keharusan?. Majalah Akuntan Indonesia, edisi No. 3/Tahun I/ Nop, h. 12. Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Terjemahan dalam Bahasa Indonesia (Rohidi) dari Qualitative Data Analysis. Jakarta: penerbit UI. Elkington, John. 1997. Can-nobals with forks, Gabriola Island, British Columbia, Canada. New Society. Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung. Penerbit Remaja Rosdakarya. Gorz, Andre. 2003. Ekologi dan Krisis Kapitalisme, Cetakan ke-2 Yogyakarta. Penerbit Insist. Press. Morgan, Gareth. 1988. Accounting as Reality Construcntion: Towards a New Epistemology for Accounting Practice. Accounting Organizations and Society, Vol. 13 No. 5: 477-485. Global Reporting Initiative (GRI). 2000. Sustainability Reporting Guidelines on Economic, Environmental and Social Performance, June, New York, GRI. Harahap, Sofyan S. 2004. Kritik Ideologi: Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta, penerbit Buku Baik. Hilman, Masnellyarti. 2007. Akuntansi Indonesia. Mitra dalam Perubahan. Edisi No.3/Tahun I/Nop. h. 17. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.01 Tentang Kerangka Dasar Penyusunan Laporan Keuangan. Jakarta, penerbit Salemba Empat. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI). 2007. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.32 Tentang Akuntansi Kehutanan. Jakarta. Penerbit Salemba Empat. Indriantoro, Nur, dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis, untuk Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta, penerbit BPFE. JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605 Muhadjir, Noeng. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta, penerbit Rake Sarasin. Parsa S. dan R. Kouhy. 2002. Disclosure of Social Information by UK Companies-ACose of Legitimacy Theory.Global Business and Economics Review-Anthology. 460.473. Poerwanto 2007. Budaya Perusahaan, Yogyakarta, penerbit Pustaka Pelajar. Puspawardhani, Verena. 2008. World Wild Fund (WWF) Indonesia_di BandaAceh_http://www.detik.com Sabtu (30/6/2008), diakses Agustus. Rahman, Taufik. 2008. Ancaman Krisis Energi dan Corporate Sustainability. Lingkar Studi CSR. Bogor. Sayekti, Yosefa dan Ludavicus Sensi Wondabio. 2007. Pengaruh CSD Disclosure terhadap Earning Response Coefficient (Suatu studi empiris pada perusahaan yang terdaftar di bursa efek Indonesia. SNA X, Unhas, Makasar. Sukoharsono, Eko Ganis. 1998. Accounting in a „New‟ History: A Disciplinary Power and Riset / 1548 http://www.karyailmiah.polnes.ac.id Knowledge of Accounting, International Journal of Accounting and Business Society, Vol 6, No 2. Sukoharsono, E.G. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi, Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnography, dan Case Study. Pelatihan Metodologi Penelitian. Program A3 Jurusan Akuntansi. Fakultas Ekonomi, Universitas Brawijaya Malang. Mei. Sriyanto. 2007. Akuntansi Hijau Sarana Pendeteksian Dini Bencana Lingkungan. Jurnal “Akuntan Indonesia” ed. 3 (I), Nop. 23-26. Tribun Kaltim. 2009. Nilai Ekspor Plywood Anjlok 54 persen. http://tribunkaltim, 28 April, di akses 26 Oktober. Triyuwono, Iwan. 2006. Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah. Jakarta, Raja Grafindo Persada. Triyuwono, I. 2009. Spiritualitas Manunggaling Kawula Lan..: Prinsip dan Jalan Menuju Praktik Akuntansi dan Bisnis yang Islami. Seminar Nasional Akuntansi “Tiga Pilar Standar Akuntansi Indonesia”. FE. UB Malang, Juli. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967, Tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang No. Kehutanan. 41 Tahun 1999, Tentang Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas. Wardana, Isar. 2009. Dialog TVRI Kaltim bersama Wahana Lingkungan Hidup, Bekerja sama dengan HKTI Kaltim, Juni. Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2006. Spiritual Capital, Memberdayakan SQ di Dunia Bisnis, terjemahan, Helmi Mustofa, Bandung, penerbit Mizan Pustaka. # Riset / 1549 JURNAL EKSIS Vol.6 No.2, Agustus 2010: 1440 – 1605