BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kedatangan bangsa Portugis ke Jepang pada masa perdagangan Nanban pada sekitar tahun 1543 mewakili catatan sejarah resmi yang menunjukkan interaksi antara penduduk lokal dan kebudayaan barat untuk pertama kalinya. Tren eksplorasi bangsa barat yang berasaskan gold, glory, dan gospel membuat interaksi yang terjadi penuh dengan beragam persoalan dan kecurigaan. Kunjungan kaum misionaris Kristen pada masa ini membawa Jepang memasuki periode yang fluktuatif. Dimana nilai-nilai religius yang dibawa oleh kaum misionaris mengalami pergesekan yang serius dengan etika kepercayaan Shinto bangsa Jepang yang sudah mengakar dalam benak setiap penduduknya. Dengan menyebarkan agama Kristen, kaum misionaris dianggap telah menghina kedudukan Kaisar sebagai titisan transendental Dewa Matahari yang eksistensinya mutlak. Friksi ini menimbulkan kebencian terhadap kaum pendatang yang bermuara pada upaya pengusiran dan hukuman mati dari penguasa. Hingga akhirnya Keshogunan Tokugawa menetapkan politik isolasi selama lebih dari 2 abad. Masa tersebut dikenal dengan nama sakoku (locked country). Walaupun alasan anti-kristenisasi bukan semata-mata alasan yang paling utama dalam pelaksanaan sakoku, namun didalamnya terdapat kecenderungan antipati terhadap beragam hal yang bukan Jepang. Apalagi pada masa menjelang sakoku, tindakan ekspansi dan kolonialisasi yang melibatkan kekuatan bangsa barat (Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda) di sekitar wilayah Hindia sedang menjadi tren. Sakoku adalah mekanisme pertahanan diri bangsa Jepang terhadap pengaruh dan budaya asing yang menyimpang dengan asas hidup masyarakat1. Bibit-bibit xenofobia telah bermunculan semenjak interaksi antara bangsa barat dan bangsa Jepang terjadi dan masa sakoku memberikan waktu yang cukup 1 Banyak pendapat yang menyatakan bahwa masa sakoku merupakan awal mula lahirnya nasionalisme bangsa Jepang yang mendalam. Selama lebih dari 200 tahun hampir tanpa campur tangan asing memberikan bangsa Jepang jeda waktu yang cukup untuk memupuk karakter yang nasionalis sekaligus membentuk kebudayaan Jepang secara universal (Situmorang, 2009: 20). 1 untuk menyirami dan memupuk bibit-bibit xenofobia tersebut agar dapat tumbuh mengakar dalam rasa nasionalisme setiap individu di Jepang. Hingga berakhirnya masa sakoku pada 1853, Jepang terus bertumbuh menjadi bangsa yang merasa pantas menjadi pemimpin di Asia melalui penaklukan dan kolonialisasi. Kini, dibawah kuasa Perdana Menteri Shinzo Abe, masyarakat Jepang mulai merasakan kembali gelora nasionalisme tersebut sebagai manifestasi dari sentimen “kebanggaan nasional” yang dirancang untuk mengembalikan momentum kejayaan Jepang masa lalu. Perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal (Departemen Pendidikan Nasional, t.t.) atau perasaan takut yang tidak beralasan terhadap orang-orang yang berasal dari negara yang berbeda (Carr, 1994), merupakan contoh makna dari kata xenofobia. Dalam buku “Dictionary of Race, Ethnicity & Culture” (2003: 331-333), Bolaffi memaparkan xenofobia sebagai sebuah aktifitas psikologis yang dipicu oleh eksistensi suatu realitas asing didalam perimeter zona nyaman seseorang baik secara individu maupun sosial. Aktifitas psikologis yang dimaksud dapat menimbulkan ekspresi narsisme yang dalam beberapa kasus dapat bermuara dalam wujud nasionalisme. Pengalaman ratusan tahun bangsa Jepang bergelut dengan berbagai tekanan asing akan meninggalkan jejak-jejak xenofobia yang tidak dapat hilang hanya dalam jangka waktu puluhan tahun. Selama ini, kaum minoritas, masyarakat keturunan, serta warga asing dan migran di Jepang kerap mengalami diskriminasi terhadap jaminan sumber-sumber penghidupan utama seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, hingga perumahan. Melalui serangkaian tindakan advokasi lembaga-lembaga anti-rasialisme di Jepang, isu-isu diskriminasi yang terjadi akhirnya menarik perhatian PBB. Hal ini diwujudkan melalui pengutusan Doudou Diene, reporter PBB yang khusus bertugas mengamati fenomena-fenomena diskriminasi dalam kunjungannya ke Jepang pada 3 sampai 11 Juli 2005 lalu. Secara umum Diene menyatakan bahwa aktifitas xenofobia benar-benar terjadi di Jepang, dan melingkupi tiga level masyarakat berbeda: kaum minoritas; masyarakat keturunan; dan warga negara asing serta imigran (UN Commission on Human Rights, 2006b). 2 B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah, yaitu: “Mengapa perilaku xenofobia masih terdapat dalam interaksi sosial masyarakat Jepang modern?” C. Kerangka Konseptual Seluruh uraian materi dalam skripsi ini bertujuan untuk menentukan faktor-faktor pendorong perilaku xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang modern. Faktor-faktor tersebut tersusun dalam level analisa yang bertingkat agar terbentuk skema penjelasan terstruktur yang mencakup seluruh elemen interaksi masyarakat dari level individual, sosial, hingga pada level pemerintah. Ketiga tingkatan ini memiliki kesalinghubungan yang berkontribusi dalam melestarikan perilaku xenofobia. Kerangka konseptual dalam skripsi ini berfungsi untuk menguraikan masing-masing level analisa melalui perspektif konstruktivisme. Xenofobia. Dalam skripsi ini, xenofobia diuraikan melalui tiga lingkup mekanisme kausalitas sebagaimana dijelaskan oleh Bronwyn Harris (2002: 171-174) dalam buku Psychopathology and Social Prejudice. Pertama adalah teori xenofobia kambing hitam yang menempatkan korban xenofobia sebagai bulan-bulanan dari rasa takut dan frustrasi akan ancaman krisis sosial dan ekonomi. Masyarakat asing dianggap sebagai pendompleng berbagai sumber daya seperti pekerjaan, perumahan, pendidikan, hingga sistem kesehatan. Sejatinya, teori ini berusaha menunjukkan bahwa xenofobia muncul dari anggapan subjektif masyarakat yang dilakukan secara kolektif hingga memicu keresahan sosial dan pada akhirnya berpotensi menciptakan stereotip negatif terhadap keberadaan masyarakat asing. Teori kedua disebut xenofobia isolasi. Teori ini tidak menempatkan masyarakat asing sebagai penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan sosial, melainkan menunjukkan bahwa “keasingan” yang melekat pada masyarakat asing itu sendiri sebagai sasaran kecurigaan dan praduga. Ketika suatu kelompok masyarakat tertentu tidak memiliki sejarah interaksi yang memadai dengan 3 masyarakat asing diluar kelompoknya, maka akan terjadi kesulitan dalam menerima dengan baik keberadaan entitas-entitas asing disekitarnya. Teori xenofobia yang terakhir disebut teori xenofobia biokultural. Teori ini jauh lebih sederhana karena hanya mencakup pada perbedaan yang terlihat dipermukaan, yaitu perbedaan yang terjadi karena faktor biologis atau fisik berikut perbedaan budaya dan tradisi yang menyertainya. Ketidakmampuan berbahasa lokal hingga gaya berbusana bisa menjadi ciri yang sangat menonjol yang dalam kondisi tertentu dapat memicu xenofobia. Konstruktivisme. Konstruktivisme menawarkan skema analisa alternatif terhadap perilaku aktor dalam dinamika sosial-politik yang selama ini didominasi oleh perdebatan antara positivisme dan pasca-positivisme. Konstruktivisme berperan sebagai penghubung antara kedua kutub ekstrim tersebut dengan memberikan konsep pemahaman bahwa eksistensi realitas objektif dalam hubungan internasional memang ada namun hal tersebut hanya dapat bermakna apabila dipahami dalam konteks atau hubungan sosial dimana realitas itu terjadi (Hara, 2011: 21-22). Selain konstruktivisme, menurut Hara (2011: 22), terdapat pendekatan realisme dan liberalisme yang turut memposisikan diri diantara kedua kutub perdebatan diatas. Namun ketiga pendekatan ini memiliki fitur utama yang menjadikannya berbeda satu dengan yang lainnya. Konstruktivisme menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan aktor bukan dilandasi oleh aspek-aspek material layaknya kekuatan angkatan bersenjata (realisme) serta tidak hanya didorong oleh motivasi rasional layaknya kemapanan ekonomi (liberalisme). Namun juga dilandasi oleh pembentukan ide dan wacana kolektif yang menekankan pada konstruksi sosial dan relasional secara formal maupun informal (Hurd, 2008: 299). Hudson & Vore (1995: 211, dalam Hara, 2011: 25) menyatakan bahwa dalam praktiknya manusia tidak secara mutlak berpikir rasional. Berbagai agenda dan kepentingan yang dipengaruhi oleh situasi atau lingkungan operasional tempat suatu keputusan diambil akan mengalahkan pertimbangan rasional terkait cost & benefit (Hara, 2011: 25). Kondisi alamiah manusia sebagai individu yang 4 subjektif membuatnya terbuka terhadap interpretasi. Pengaruh referensi sejarah, kepribadian, pengalaman masa lalu, kondisi sosial budaya (Hara, 2011: 25), hingga aspek emosi serta motivasi ideologi (Hudson & Vore, 1995: 211, dalam Hara, 2011: 25) membuat pertimbangan rasional seringkali dikesampingkan. Layaknya pendapat Stephen M. Walt (1998: 40-41) yang menjelaskan bahwa kalangan konstruktivis menganggap kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang sangat dipengaruhi aspek sejarah dimana proses konstruksi, evolusi, dan adaptasi ide terjadi. Proses itulah yang menurut Walt menentukan perilaku negara dalam merespon situasi disekitarnya. Dengan demikian, perspektif konstruktivisme menjadi sangat peka dalam mengamati berbagai diskursus dalam suatu tatanan sosial yang berpotensi membawa perubahan. Tabel 1.1. Perbandingan Paradigma Antar-Perspektif Perspektif Realisme Proposisi Utama Negara dengan kepentingan sendiri bersaing secara konstan demi kekuasaan (power) dan keamanan (security) Unit Analisa Utama Negara Instrumen Utama Ekonomi dan utamanya kekuatan militer Teoretisi Modern Hans Morgenthau, Kenneth Waltz Liberalisme Perhatian terhadap aspek keamanan dikesampingkan oleh pertimbangan politik / ekonomi (hasrat demi kesejahteraan, komitmen terhadap nilai-nilai liberal) Negara Beragam (Institusi Internasional, pertukaran ekonomi, promosi demokrasi) Michael Doyle, Robert Keohane Konstruktivisme Perilaku negara dibentuk oleh keyakinan elit, norma kolektif, dan identitas sosial. Individual (khususnya elit) 2 Ide-ide dan diskursus Alexander Wendt, John Ruggie Sumber: Walt, Stephen M., (1998), „International Relations: One World, Many Theories‟, Foreign Policy, no. 110, Special Edition: Frontiers of Knowledge, hal. 38. Dalam table 1.1. diatas ditunjukkan bahwa instrumen utama dalam analisa 2 Alexander Wendt sejatinya berargumen bahwa unit analisa utama dalam perspektif konstruktivisme adalah negara (state) namun hal ini dianggap tidak bertabrakan dengan pendapat Walt yang lebih menekankan pada level individu (Stanton, 2002). Hal ini dikarenakan pengertian negara menurut Wendt tidak lain adalah suatu entitas didalam sistem yang terdiri dari aktor-aktor yang memberi dan menerima informasi didalam sistem tersebut dengan tujuan untuk menekankan kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap individu-individu yang bernaung dibawahnya. 5 konstruktivisme terfokus pada permasalahan ide-ide dan diskursus. Sebagaimana yang ditulis oleh Hara (2011: 118): “Karena pentingnya masalah ide ini, maka konsep-konsep kunci yang sering digunakan konstruktivis berkaitan dengan proses sosial, seperti deliberasi, wacana, norma, persuasi, identitas, sosialisasi dan argumentasi yang semuanya atau sebagian digunakan sebagai alat dalam perbincangan tentang globalisasi, HAM internasional, kebijakan keamanan, politik luar negeri dan lain masalah HI.” Hara berpendapat bahwa konsep-konsep diatas memiliki kegunaan untuk memahami fakta sosial dan terbentuknya pandangan dominan tentang satu isu di suatu negara. Hurd (2008: 301) juga memberikan kesimpulan yang sama terkait sifat fundamental dari “ide” dalam konstruktivisme. Menurutnya, struktur ideasional3 adalah aspek yang membentuk hubungan internasional, bukan struktur material murni layaknya basis fundamental kalangan realis. Senada dengan observasi Alexander Wendt yang berbunyi: ”500 senjata nuklir milik Inggris tidak lebih mengancam bagi Amerika Serikat dibandingkan 5 senjata nuklir milik Korea Utara” (1995: 73, dalam Hurd, 2008: 298). Observasi Wendt menegaskan aspek interpretasi yang hanya dapat dianalisa melalui struktur ideasional konstruktivisme agar dapat memberikan penjelasan terhadap kelemahan struktur material murni. Aspek interpretasi tersebut tidak semata-mata bersifat simbolis layaknya sebuah ide didalam nalar manusia, namun lebih kepada memori kolektif sejumlah orang yang pada kesempatan tertentu bisa saja berbentuk prosedur pemerintah, sistem pendidikan, hingga retorika kenegaraan (Hurd, 2008: 301). Xenofobia adalah sebuah isu yang mendapatkan legitimasinya sebagai sebuah ide melalui rangkaian diskursus sosial layaknya pendapat Hara dan dipertajam oleh argumen Hurd diatas. Ide tersebut melekat dalam konteks sejarah dan secara efektif mempertahankan eksistensinya melalui dukungan institusional (Guzzini, 2000: 148). Konsep-konsep diatas merupakan hal yang penting ketika menganalisa perilaku xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang modern karena fenomena tersebut tumbuh dan lestari seiring dengan proses sejarah bangsa 3 Dalam struktur ideasional, sifat empiris didapat melalui pengamatan terhadap struktur ide yang berasal dari wacana hasil interaksi antar subjek dalam HI, lain halnya dengan landasan struktur kalangan realis yang dapat diamati secara fisik melalui pengamatan terhadap dunia material. 6 Jepang itu sendiri. Dalam perkembangannya, proses sejarah terkait xenofobia selalu menunjukkan adanya intervensi aktor, khususnya kalangan elit dalam tubuh pemerintahan yang memiliki kepentingan untuk melakukan mobilisasi. Terdapat tiga kerangka kerja konstruktivis terkait dengan sistem ketika menganalisa fenomena substantif dalam hubungan internasional seperti xenofobia, yaitu: intersubjective understanding, hubungan agen dan struktur, serta hubungan struktur ide dan perilaku aktor (Copeland, 2006a: 3-4; 2006b, dalam Hara, 2011: 119-122). Aspek intersubjective understanding memberikan penjelasan bahwa dunia politik dikendalikan oleh berbagai ide, norma, konsepsi, asumsi, dan nilai yang secara luas dan bersama-sama (Hara, 2011: 119). Dalam balutan pandangan konstruktivis, aspek ini memberikan asumsi bahwa ide-ide tersebut merupakan konstruksi mental (kepercayaan, prinsip, sikap) yang melandasi perilaku dan kebijakan aktor (Tannenwald, 2005: 15, dalam Hara, 2011: 119). Dengan demikian, terbentuk suatu struktur ideasional yang hanya dapat diamati melalui pemahaman terhadap konstruksi mental para aktor tersebut (Hara, 2011: 120). Aspek kedua adalah hubungan agen dan struktur. Menurut Hara (2011: 121), struktur ideasional dan para agen atau aktor-aktor saling membentuk dan menentukan satu sama lain. Hara melanjutkan bahwa struktur ideasional berperan dalam proses pembentukan kepentingan dan identitas aktor, akan tetapi struktur juga merupakan produk dari sebuah intersubjective understanding yang merupakan landasan berdirinya struktur ideasional. Kesalinghubungan tersebut terus menerus terjadi dan saling menopang antara satu dengan yang lainnya4. Aspek yang terakhir adalah hubungan struktur ide dan perilaku aktor yang menyatakan bahwa struktur ideasional berpengaruh membentuk (constitutive) dan mengatur (regulative) perilaku aktor 5 . Menurut Hara (2011: 120), pengaruh tersebut mengarahkan aktor untuk mendefinisikan kembali kepentingan dan identitas mereka dalam proses interaksi. Cara aktor dalam memproyeksikan diri 4 Sebagai perbandingan, aspek hubungan agen dengan struktur dalam perspektif realisme hanya dapat terwujud melalui respon agen terhadap struktur tanpa timbal balik. Sementara perspektif konstruktivisme memiliki timbal balik antara agen dan struktur yang saling mendefinisikan. 5 Berlainan dengan hubungan antara struktur material dan perilaku aktor dalam perspekif realisme yang berdiri diatas argumen bahwa struktur internasional mempunyai pengaruh langsung (bersifat kausal) terhadap perilaku negara (aktor). 7 terkait dengan siapa mereka, tujuan, dan peran yang mereka yakini harus dilakukannya dibentuk oleh hubungan struktur ideasional ini (Copeland, 2006a: 34, dalam Hara, 2011: 120). Bagan 1.1. Bagan Kerangka Konseptual Skripsi Perspektif Konstruktivisme Intersubjective Understanding Hubungan Agen dan Struktur Identitas (Wendt) Norma (Kratochwil) & Speech Acts (Onuf) Karakteristik identitas budaya sebagai landasan konstruksi norma sosial yang diyakini secara kolektif oleh masyarakat Teori Xenofobia Isolasi Hubungan Struktur Ide dan Perilaku Aktor Rezim penguasa yang berkeyakinan untuk membawa perubahan dan restrukturisasi. Teori Xenofobia Kambing Hitam & Biokultural Eksistensi Perilaku Xenofobia Selain ketiga aspek umum tersebut, terdapat tiga konsep dasar dalam analisa konstruktivisme, yaitu: Identitas (Alexander Wendt), Norma (Friedrich Kratochwil), dan Speech Acts (Nicholas Onuf). Ketiganya digunakan dalam skripsi sebagai bagian dari kerangka konseptual utama. Identitas. Konsep identitas karya Alexander Wendt dalam “Anarchy is what States Make of it” (1992), menjadi aspek krusial dalam setiap tulisan konstruktivisme (Guzzini, 2000). Hopf (1998: 174-175) menjelaskan bahwa identitas diperlukan untuk membuat prediksi dan menciptakan keteraturan agar dunia tidak terjerumus dalam kekacaubalauan (chaos). Menurut Wendt (1992), identitas bukanlah sesuatu yang terberi (given), melainkan merupakan hasil dari suatu proses konstruktif 8 dalam ranah sosial melalui shared ideas. Wendt menjelaskan bahwa: “Konsep identitas [...] berfungsi sebagai mata rantai yang krusial antara struktur lingkungan dan kepentingan. Istilah [identitas] muncul dari psikologi sosial, mengacu pada citra individualitas dan ke-khas-an (kepribadian / „selfhood‟) yang dimiliki dan diproyeksikan oleh aktor dan terbentuk (termodifikasi seiring waktu) melalui hubungan terhadap „aktor lain‟ yang signifikan. Dengan demikian, istilah [identitas] (berdasarkan konvensi) merujuk pada citra diri dan orang lain yang dibangun dan berevolusi secara mutual” (dalam Zehfuss, 2002: 46). Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa identitas muncul dari balik proses berkelanjutan dan melibatkan diskursus kolektif yang tidak hanya bertumpu pada satu kapasitas otak manusia (Wendt, 1999, dalam Hurd, 2008: 301). Diskursus tersebut dikonstruksikan oleh aktor-aktor sebagai media mobilisasi demi mencapai suatu kepentingan yang terus berubah seiring berjalannya waktu. Dengan begitu, aspek identitas dapat bertransformasi demi beradaptasi dengan kepentingan melalui proses pembelajaran sosial (Zehfuss, 2002: 46). Dalam perspektif konstruktivisme, proses tersebut terletak pada variabel “the spread of collective idea or knowledge” sebagai mekanisme pembentukan atau perubahan suatu struktur identitas, norma, budaya, dan institusi yang ada (Clunan, 2000: 106). Variabel tersebut memiliki sifat intersubjective (terbagi-bagi kedalam sejumlah banyak orang) dan institutionalized (diekspresikan dalam pola perilaku dan identitas) (Hurd, 2008: 301). Norma. Kratochwil dalam “Rules, Norms, and Decisions” (1989) menjelaskan konsep norma sebagai hasil dari pembelajaran atas kesalahan di masa lalu sehingga tercipta aturan baru di masa sekarang. Aturan itulah yang disebut sebagai norma. Dalam perspektif konstruktivisme, sifat norma tidak hanya mengatur namun juga membangun. Norma, bersama dengan adat istiadat, budaya, dan proses pembelajaran sosial lainnya dapat merubah perilaku (Tsai, 2009: 21) sebagai syarat bagi terbentuknya identitas dan kepentingan aktor (Finnemore, 1996: 128, dalam Tsai, 2009: 22). Layaknya tulisan Hurd (2007a, dalam Hurd, 2008: 304) yang menyatakan dalam hubungannya terhadap norma, negara pada 9 dasarnya akan sangat giat menyelaraskan dua hal secara simultan, yaitu merubah pola perilakunya agar seirama dengan aturan yang ada, dan merekonstruksi aturan yang ada agar dapat memperkenankan perilakunya tersebut. Dalam skripsi ini, uraian mengenai norma sebagai aspek yang melestarikan perilaku xenofobia akan ditelusuri melalui analisa terhadap diskursus yang menciptakan bandwagon effect ditengah masyarakat. Efek tersebut memberikan momentum bagi aktor yang memiliki kepentingan untuk melakukan mobilisasi. Sebagaimana yang ditulis oleh Snyder (2004) bahwa kalangan konstruktivis amat tertarik oleh peran aktor-aktor yang berpotensi memperkenalkan ide-ide baru dan bertindak seolah sedang mengemban misi suci membawa perubahan. Dengan berpegang pada paradigma itu maka penelitian yang lebih spesifik terhadap aktor sebagai agen perubahan dapat dilakukan dengan memanfaatkan konsep norma milik Kratochwil sebagai batu loncatan. Speech Acts. Konsep speech acts diperkenalkan oleh Nicholas Onuf dalam bukunya “World of Our Making” (1989). Speech acts memberikan asumsi bahwa segala macam diskursus yang dilakukan manusia, baik secara verbal maupun tertulis akan mempengaruhi fenomena hubungan internasional. Fakta, bagi Onuf adalah perbuatan yang dilakukan, tindakan yang dilaksanakan dan kata-kata yang diucapkan. Onuf memberikan asumsi bahwa speech acts berperan dalam merubah fungsi bahasa menjadi tidak hanya deskriptif, namun juga mengujarkan (performative) ide hingga menginspirasi orang lain agar bertindak (Zehfuss, 2002: 20). Keberhasilan peran speech act dalam mengelola konstruksi sosial sangat bergantung pada respon lawan bicara. Menurut Onuf (dalam Zehfuss, 2002, 2021), jika speech acts dilakukan secara berulang kali hingga menghasilkan suatu konsekuensi, maka ia berubah menjadi konvensi dan pada saat inilah aktor akan berperan dalam mengolah konvensi tersebut menjadi rule ketika ada kepentingan yang mendorong tindakannya tersebut. Setelah rule tercipta, maka aktor yang bertanggung jawab dalam proses ini turut menjadi subjek dalam mematuhi rule. 10 Dengan begitu, Onuf memberikan penegasan bahwa pada dasarnya rules-lah yang secara lebih kuat menggenggam aktor dalam hubungan internasional dibandingkan dengan anarki. Dinamika inilah yang membuka argumen Onuf menuju eksploitasi rule oleh aktor yang masing-masing memiliki kepentingan untuk mendapatkan kontrol atas berbagai sumber daya. Dalam kesimpulannya, Onuf menyatakan bahwa: “Peraturan (rules) menyokong eksistensi struktur kekuasaan sehingga menguntungkan pihak yang memiliki wewenang terhadapnya. Mereka yang „mengatur‟ secara alamiah mendapatkan posisi tawar yang lebih besar dalam mengelola peraturan (rules), karena pada dasarnya peraturan (rules) tersebutlah yang membuat mereka tetap berkuasa”. Onuf menambahkan bahwa budaya adalah mekanisme yang mendukung berdirinya rules. Sehingga untuk memahami esensi dari rules, maka penelitian yang komprehensif terhadap budaya yang menciptakannya harus dilakukan terlebih dahulu. D. Hipotesa Melalui uraian kerangka konseptual di atas maka dapat ditarik hipotesa bahwa perilaku xenofobia masih terdapat dalam sistem masyarakat Jepang modern karena dua faktor utama. Faktor pertama berasal dari struktur nilai dan budaya masyarakat Jepang yang terbentuk dari tradisi. Warisan nilai dan budaya bangsa yang bercirikan eksklusivisme membentuk pola pikir generasi bangsa Jepang modern yang cenderung bersifat xenofobia. Diskursus mengenai xenofobia di muka publik dikendalikan sepenuhnya oleh aspek harmoni sebagai norma sosial yang secara kolektif diyakini oleh masyarakat. Norma tersebut menjadi landasan justifikasi maupun introspeksi diri masyarakat Jepang terhadap eksistensi perilaku xenofobia. Faktor berikutnya berasal dari aktor-aktor politik dalam negeri yang memiliki kepentingan untuk melakukan mobilisasi isu. Pemerintah Jepang mulai kembali menggencarkan wacana nasionalisme tatkala perkembangan politik keamanan regional mulai kembali memanas. Perselisihan antara Jepang dan negara-negara tetangganya mendorong kemunculan sentimen xenofobia ke 11 permukaan. Namun, pemerintah justru memanfaatkan momentum tersebut untuk mengembalikan hak-hak konstitusional Jepang sebagai sebuah “negara sewajarnya” dengan berpedoman pada kejayaan nasionalisme masa lalu. E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terbagi dalam empat bab sebagai berikut : BAB I berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka konseptual, hipotesa, dan sistematika penulisan. BAB II disusun untuk menjelaskan latar belakang sejarah Jepang dalam membentuk identitas nasional dan pendewasaan diri menjadi sebuah negara modern. Fokus utama dalam bagian awal bab ini adalah konsep “Semangat Jepang” sebagai sebuah haluan nilai yang melandasi keunikan budaya Jepang. Dilanjutkan dengan analisa terhadap studi kasus “The Diene Report” sebagai tonggak sejarah yang melegitimasi eksistensi xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang modern. Bagian pertengahan bab ini berisikan fokus analisa terhadap xenofobia sebagai fenomena sosial sekaligus memberikan gambaran situasi dan kondisi masyarakat terdampak. Penghujung bab ini berisikan perumusan faktor identitas budaya bangsa Jepang sebagai landasan konstruksi norma sosial pendorong perilaku xenofobia. BAB III disusun untuk menjelaskan hubungan antara struktur ideasional dengan perilaku aktor yang membuat perilaku xenofobia terus lestari. Bagian awal bab ini berisikan materi seputar manifestasi dari speech acts yang dilakukan aktor-aktor politik Jepang sebagai bagian dari upaya konstruksi realitas yang sesuai dengan kepentingan pemerintah. Dilanjutkan oleh analisa terhadap agenda esoteris pemerintah dalam mendorong reformasi konstitusi sebagai ujung tombak sentimen nasionalisme. Bagian akhir bab ini berisikan analisa terhadap formulasi faktor terakhir dalam skripsi ini, yaitu: faktor rezim penguasa yang berkeyakinan untuk membawa perubahan dan restrukturisasi. BAB IV merupakan kesimpulan dari uraian dalam bab-bab pembahasan. 12