BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Kedatangan bangsa Portugis ke Jepang pada masa perdagangan Nanban
pada sekitar tahun 1543 mewakili catatan sejarah resmi yang menunjukkan
interaksi antara penduduk lokal dan kebudayaan barat untuk pertama kalinya.
Tren eksplorasi bangsa barat yang berasaskan gold, glory, dan gospel membuat
interaksi yang terjadi penuh dengan beragam persoalan dan kecurigaan.
Kunjungan kaum misionaris Kristen pada masa ini membawa Jepang memasuki
periode yang fluktuatif. Dimana nilai-nilai religius yang dibawa oleh kaum
misionaris mengalami pergesekan yang serius dengan etika kepercayaan Shinto
bangsa Jepang yang sudah mengakar dalam benak setiap penduduknya. Dengan
menyebarkan agama Kristen, kaum misionaris dianggap telah menghina
kedudukan Kaisar sebagai titisan transendental Dewa Matahari yang eksistensinya
mutlak. Friksi ini menimbulkan kebencian terhadap kaum pendatang yang
bermuara pada upaya pengusiran dan hukuman mati dari penguasa. Hingga
akhirnya Keshogunan Tokugawa menetapkan politik isolasi selama lebih dari 2
abad. Masa tersebut dikenal dengan nama sakoku (locked country).
Walaupun alasan anti-kristenisasi bukan semata-mata alasan yang paling
utama dalam pelaksanaan sakoku, namun didalamnya terdapat kecenderungan
antipati terhadap beragam hal yang bukan Jepang. Apalagi pada masa menjelang
sakoku, tindakan ekspansi dan kolonialisasi yang melibatkan kekuatan bangsa
barat (Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda) di sekitar wilayah Hindia sedang
menjadi tren. Sakoku adalah mekanisme pertahanan diri bangsa Jepang terhadap
pengaruh dan budaya asing yang menyimpang dengan asas hidup masyarakat1.
Bibit-bibit xenofobia telah bermunculan semenjak interaksi antara bangsa
barat dan bangsa Jepang terjadi dan masa sakoku memberikan waktu yang cukup
1
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa masa sakoku merupakan awal mula lahirnya
nasionalisme bangsa Jepang yang mendalam. Selama lebih dari 200 tahun hampir tanpa campur
tangan asing memberikan bangsa Jepang jeda waktu yang cukup untuk memupuk karakter yang
nasionalis sekaligus membentuk kebudayaan Jepang secara universal (Situmorang, 2009: 20).
1
untuk menyirami dan memupuk bibit-bibit xenofobia tersebut agar dapat tumbuh
mengakar dalam rasa nasionalisme setiap individu di Jepang. Hingga berakhirnya
masa sakoku pada 1853, Jepang terus bertumbuh menjadi bangsa yang merasa
pantas menjadi pemimpin di Asia melalui penaklukan dan kolonialisasi. Kini,
dibawah kuasa Perdana Menteri Shinzo Abe, masyarakat Jepang mulai merasakan
kembali gelora nasionalisme tersebut sebagai manifestasi dari sentimen
“kebanggaan nasional” yang dirancang untuk mengembalikan momentum
kejayaan Jepang masa lalu.
Perasaan benci (takut, waswas) terhadap orang asing atau sesuatu yang
belum dikenal (Departemen Pendidikan Nasional, t.t.) atau perasaan takut yang
tidak beralasan terhadap orang-orang yang berasal dari negara yang berbeda (Carr,
1994), merupakan contoh makna dari kata xenofobia. Dalam buku “Dictionary of
Race, Ethnicity & Culture” (2003: 331-333), Bolaffi memaparkan xenofobia
sebagai sebuah aktifitas psikologis yang dipicu oleh eksistensi suatu realitas asing
didalam perimeter zona nyaman seseorang baik secara individu maupun sosial.
Aktifitas psikologis yang dimaksud dapat menimbulkan ekspresi narsisme yang
dalam beberapa kasus dapat bermuara dalam wujud nasionalisme.
Pengalaman ratusan tahun bangsa Jepang bergelut dengan berbagai
tekanan asing akan meninggalkan jejak-jejak xenofobia yang tidak dapat hilang
hanya dalam jangka waktu puluhan tahun. Selama ini, kaum minoritas,
masyarakat keturunan, serta warga asing dan migran di Jepang kerap mengalami
diskriminasi terhadap jaminan sumber-sumber penghidupan utama seperti
pendidikan, pekerjaan, kesehatan, hingga perumahan.
Melalui serangkaian tindakan advokasi lembaga-lembaga anti-rasialisme
di Jepang, isu-isu diskriminasi yang terjadi akhirnya menarik perhatian PBB. Hal
ini diwujudkan melalui pengutusan Doudou Diene, reporter PBB yang khusus
bertugas mengamati fenomena-fenomena diskriminasi dalam kunjungannya ke
Jepang pada 3 sampai 11 Juli 2005 lalu. Secara umum Diene menyatakan bahwa
aktifitas xenofobia benar-benar terjadi di Jepang, dan melingkupi tiga level
masyarakat berbeda: kaum minoritas; masyarakat keturunan; dan warga negara
asing serta imigran (UN Commission on Human Rights, 2006b).
2
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah, yaitu:
“Mengapa perilaku xenofobia masih terdapat dalam interaksi sosial
masyarakat Jepang modern?”
C.
Kerangka Konseptual
Seluruh uraian materi dalam skripsi ini bertujuan untuk menentukan
faktor-faktor pendorong perilaku xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang
modern. Faktor-faktor tersebut tersusun dalam level analisa yang bertingkat agar
terbentuk skema penjelasan terstruktur yang mencakup seluruh elemen interaksi
masyarakat dari level individual, sosial, hingga pada level pemerintah. Ketiga
tingkatan ini memiliki kesalinghubungan yang berkontribusi dalam melestarikan
perilaku xenofobia. Kerangka konseptual dalam skripsi ini berfungsi untuk
menguraikan masing-masing level analisa melalui perspektif konstruktivisme.
Xenofobia.
Dalam skripsi ini, xenofobia diuraikan melalui tiga lingkup mekanisme
kausalitas sebagaimana dijelaskan oleh Bronwyn Harris (2002: 171-174) dalam
buku Psychopathology and Social Prejudice. Pertama adalah teori xenofobia
kambing hitam yang menempatkan korban xenofobia sebagai bulan-bulanan dari
rasa takut dan frustrasi akan ancaman krisis sosial dan ekonomi. Masyarakat asing
dianggap sebagai pendompleng berbagai sumber daya seperti pekerjaan,
perumahan, pendidikan, hingga sistem kesehatan. Sejatinya, teori ini berusaha
menunjukkan bahwa xenofobia muncul dari anggapan subjektif masyarakat yang
dilakukan secara kolektif hingga memicu keresahan sosial dan pada akhirnya
berpotensi menciptakan stereotip negatif terhadap keberadaan masyarakat asing.
Teori kedua disebut xenofobia isolasi. Teori ini tidak menempatkan
masyarakat asing sebagai penyebab terjadinya permasalahan-permasalahan sosial,
melainkan menunjukkan bahwa “keasingan” yang melekat pada masyarakat asing
itu sendiri sebagai sasaran kecurigaan dan praduga. Ketika suatu kelompok
masyarakat tertentu tidak memiliki sejarah interaksi yang memadai dengan
3
masyarakat asing diluar kelompoknya, maka akan terjadi kesulitan dalam
menerima dengan baik keberadaan entitas-entitas asing disekitarnya.
Teori xenofobia yang terakhir disebut teori xenofobia biokultural. Teori ini
jauh lebih sederhana karena hanya mencakup pada perbedaan yang terlihat
dipermukaan, yaitu perbedaan yang terjadi karena faktor biologis atau fisik
berikut perbedaan budaya dan tradisi yang menyertainya. Ketidakmampuan
berbahasa lokal hingga gaya berbusana bisa menjadi ciri yang sangat menonjol
yang dalam kondisi tertentu dapat memicu xenofobia.
Konstruktivisme.
Konstruktivisme menawarkan skema analisa alternatif terhadap perilaku
aktor dalam dinamika sosial-politik yang selama ini didominasi oleh perdebatan
antara positivisme dan pasca-positivisme. Konstruktivisme berperan sebagai
penghubung antara kedua kutub ekstrim tersebut dengan memberikan konsep
pemahaman bahwa eksistensi realitas objektif dalam hubungan internasional
memang ada namun hal tersebut hanya dapat bermakna apabila dipahami dalam
konteks atau hubungan sosial dimana realitas itu terjadi (Hara, 2011: 21-22).
Selain konstruktivisme, menurut Hara (2011: 22), terdapat pendekatan realisme
dan liberalisme yang turut memposisikan diri diantara kedua kutub perdebatan
diatas. Namun ketiga pendekatan ini memiliki fitur utama yang menjadikannya
berbeda satu dengan yang lainnya. Konstruktivisme menjelaskan bahwa proses
pengambilan keputusan aktor bukan dilandasi oleh aspek-aspek material layaknya
kekuatan angkatan bersenjata (realisme) serta tidak hanya didorong oleh motivasi
rasional layaknya kemapanan ekonomi (liberalisme). Namun juga dilandasi oleh
pembentukan ide dan wacana kolektif yang menekankan pada konstruksi sosial
dan relasional secara formal maupun informal (Hurd, 2008: 299).
Hudson & Vore (1995: 211, dalam Hara, 2011: 25) menyatakan bahwa
dalam praktiknya manusia tidak secara mutlak berpikir rasional. Berbagai agenda
dan kepentingan yang dipengaruhi oleh situasi atau lingkungan operasional
tempat suatu keputusan diambil akan mengalahkan pertimbangan rasional terkait
cost & benefit (Hara, 2011: 25). Kondisi alamiah manusia sebagai individu yang
4
subjektif membuatnya terbuka terhadap interpretasi. Pengaruh referensi sejarah,
kepribadian, pengalaman masa lalu, kondisi sosial budaya (Hara, 2011: 25),
hingga aspek emosi serta motivasi ideologi (Hudson & Vore, 1995: 211, dalam
Hara, 2011: 25) membuat pertimbangan rasional seringkali dikesampingkan.
Layaknya pendapat Stephen M. Walt (1998: 40-41) yang menjelaskan
bahwa kalangan konstruktivis menganggap kepentingan dan identitas negara
sebagai produk yang sangat dipengaruhi aspek sejarah dimana proses konstruksi,
evolusi, dan adaptasi ide terjadi. Proses itulah yang menurut Walt menentukan
perilaku negara dalam merespon situasi disekitarnya. Dengan demikian, perspektif
konstruktivisme menjadi sangat peka dalam mengamati berbagai diskursus dalam
suatu tatanan sosial yang berpotensi membawa perubahan.
Tabel 1.1.
Perbandingan Paradigma Antar-Perspektif
Perspektif
Realisme
Proposisi
Utama
Negara dengan
kepentingan sendiri
bersaing secara
konstan demi
kekuasaan (power)
dan keamanan
(security)
Unit Analisa
Utama
Negara
Instrumen
Utama
Ekonomi dan
utamanya kekuatan
militer
Teoretisi
Modern
Hans Morgenthau,
Kenneth Waltz
Liberalisme
Perhatian terhadap
aspek keamanan
dikesampingkan oleh
pertimbangan politik
/ ekonomi (hasrat
demi kesejahteraan,
komitmen terhadap
nilai-nilai liberal)
Negara
Beragam (Institusi
Internasional,
pertukaran ekonomi,
promosi demokrasi)
Michael Doyle,
Robert Keohane
Konstruktivisme
Perilaku negara
dibentuk oleh
keyakinan elit,
norma kolektif,
dan identitas
sosial.
Individual
(khususnya elit) 2
Ide-ide dan
diskursus
Alexander Wendt,
John Ruggie
Sumber: Walt, Stephen M., (1998), „International Relations: One World, Many Theories‟,
Foreign Policy, no. 110, Special Edition: Frontiers of Knowledge, hal. 38.
Dalam table 1.1. diatas ditunjukkan bahwa instrumen utama dalam analisa
2
Alexander Wendt sejatinya berargumen bahwa unit analisa utama dalam perspektif
konstruktivisme adalah negara (state) namun hal ini dianggap tidak bertabrakan dengan pendapat
Walt yang lebih menekankan pada level individu (Stanton, 2002). Hal ini dikarenakan pengertian
negara menurut Wendt tidak lain adalah suatu entitas didalam sistem yang terdiri dari aktor-aktor
yang memberi dan menerima informasi didalam sistem tersebut dengan tujuan untuk menekankan
kewajiban dan tanggung jawabnya terhadap individu-individu yang bernaung dibawahnya.
5
konstruktivisme terfokus pada permasalahan ide-ide dan diskursus. Sebagaimana
yang ditulis oleh Hara (2011: 118):
“Karena pentingnya masalah ide ini, maka konsep-konsep kunci
yang sering digunakan konstruktivis berkaitan dengan proses sosial,
seperti deliberasi, wacana, norma, persuasi, identitas, sosialisasi dan
argumentasi yang semuanya atau sebagian digunakan sebagai alat dalam
perbincangan tentang globalisasi, HAM internasional, kebijakan
keamanan, politik luar negeri dan lain masalah HI.”
Hara berpendapat bahwa konsep-konsep diatas memiliki kegunaan untuk
memahami fakta sosial dan terbentuknya pandangan dominan tentang satu isu di
suatu negara. Hurd (2008: 301) juga memberikan kesimpulan yang sama terkait
sifat fundamental dari “ide” dalam konstruktivisme. Menurutnya, struktur
ideasional3 adalah aspek yang membentuk hubungan internasional, bukan struktur
material murni layaknya basis fundamental kalangan realis. Senada dengan
observasi Alexander Wendt yang berbunyi: ”500 senjata nuklir milik Inggris tidak
lebih mengancam bagi Amerika Serikat dibandingkan 5 senjata nuklir milik Korea
Utara” (1995: 73, dalam Hurd, 2008: 298). Observasi Wendt menegaskan aspek
interpretasi
yang
hanya
dapat
dianalisa
melalui
struktur
ideasional
konstruktivisme agar dapat memberikan penjelasan terhadap kelemahan struktur
material murni. Aspek interpretasi tersebut tidak semata-mata bersifat simbolis
layaknya sebuah ide didalam nalar manusia, namun lebih kepada memori kolektif
sejumlah orang yang pada kesempatan tertentu bisa saja berbentuk prosedur
pemerintah, sistem pendidikan, hingga retorika kenegaraan (Hurd, 2008: 301).
Xenofobia adalah sebuah isu yang mendapatkan legitimasinya sebagai
sebuah ide melalui rangkaian diskursus sosial layaknya pendapat Hara dan
dipertajam oleh argumen Hurd diatas. Ide tersebut melekat dalam konteks sejarah
dan secara efektif mempertahankan eksistensinya melalui dukungan institusional
(Guzzini, 2000: 148). Konsep-konsep diatas merupakan hal yang penting ketika
menganalisa perilaku xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang modern karena
fenomena tersebut tumbuh dan lestari seiring dengan proses sejarah bangsa
3
Dalam struktur ideasional, sifat empiris didapat melalui pengamatan terhadap struktur ide yang
berasal dari wacana hasil interaksi antar subjek dalam HI, lain halnya dengan landasan struktur
kalangan realis yang dapat diamati secara fisik melalui pengamatan terhadap dunia material.
6
Jepang itu sendiri. Dalam perkembangannya, proses sejarah terkait xenofobia
selalu menunjukkan adanya intervensi aktor, khususnya kalangan elit dalam tubuh
pemerintahan yang memiliki kepentingan untuk melakukan mobilisasi.
Terdapat tiga kerangka kerja konstruktivis terkait dengan sistem ketika
menganalisa fenomena substantif dalam hubungan internasional seperti xenofobia,
yaitu: intersubjective understanding, hubungan agen dan struktur, serta hubungan
struktur ide dan perilaku aktor (Copeland, 2006a: 3-4; 2006b, dalam Hara, 2011:
119-122). Aspek intersubjective understanding memberikan penjelasan bahwa
dunia politik dikendalikan oleh berbagai ide, norma, konsepsi, asumsi, dan nilai
yang secara luas dan bersama-sama (Hara, 2011: 119). Dalam balutan pandangan
konstruktivis, aspek ini memberikan asumsi bahwa ide-ide tersebut merupakan
konstruksi mental (kepercayaan, prinsip, sikap) yang melandasi perilaku dan
kebijakan aktor (Tannenwald, 2005: 15, dalam Hara, 2011: 119). Dengan
demikian, terbentuk suatu struktur ideasional yang hanya dapat diamati melalui
pemahaman terhadap konstruksi mental para aktor tersebut (Hara, 2011: 120).
Aspek kedua adalah hubungan agen dan struktur. Menurut Hara (2011:
121), struktur ideasional dan para agen atau aktor-aktor saling membentuk dan
menentukan satu sama lain. Hara melanjutkan bahwa struktur ideasional berperan
dalam proses pembentukan kepentingan dan identitas aktor, akan tetapi struktur
juga merupakan produk dari sebuah intersubjective understanding yang
merupakan landasan berdirinya struktur ideasional. Kesalinghubungan tersebut
terus menerus terjadi dan saling menopang antara satu dengan yang lainnya4.
Aspek yang terakhir adalah hubungan struktur ide dan perilaku aktor yang
menyatakan bahwa struktur ideasional berpengaruh membentuk (constitutive) dan
mengatur (regulative) perilaku aktor 5 . Menurut Hara (2011: 120), pengaruh
tersebut mengarahkan aktor untuk mendefinisikan kembali kepentingan dan
identitas mereka dalam proses interaksi. Cara aktor dalam memproyeksikan diri
4
Sebagai perbandingan, aspek hubungan agen dengan struktur dalam perspektif realisme hanya
dapat terwujud melalui respon agen terhadap struktur tanpa timbal balik. Sementara perspektif
konstruktivisme memiliki timbal balik antara agen dan struktur yang saling mendefinisikan.
5
Berlainan dengan hubungan antara struktur material dan perilaku aktor dalam perspekif realisme
yang berdiri diatas argumen bahwa struktur internasional mempunyai pengaruh langsung (bersifat
kausal) terhadap perilaku negara (aktor).
7
terkait dengan siapa mereka, tujuan, dan peran yang mereka yakini harus
dilakukannya dibentuk oleh hubungan struktur ideasional ini (Copeland, 2006a: 34, dalam Hara, 2011: 120).
Bagan 1.1.
Bagan Kerangka Konseptual Skripsi
Perspektif Konstruktivisme
Intersubjective
Understanding
Hubungan Agen dan
Struktur
Identitas (Wendt)
Norma (Kratochwil) &
Speech Acts (Onuf)
Karakteristik identitas budaya sebagai landasan
konstruksi norma sosial yang diyakini secara
kolektif oleh masyarakat
Teori Xenofobia Isolasi
Hubungan Struktur Ide
dan Perilaku Aktor
Rezim penguasa yang
berkeyakinan untuk
membawa perubahan
dan restrukturisasi.
Teori Xenofobia Kambing Hitam & Biokultural
Eksistensi Perilaku Xenofobia
Selain ketiga aspek umum tersebut, terdapat tiga konsep dasar dalam
analisa konstruktivisme, yaitu: Identitas (Alexander Wendt), Norma (Friedrich
Kratochwil), dan Speech Acts (Nicholas Onuf). Ketiganya digunakan dalam
skripsi sebagai bagian dari kerangka konseptual utama.
Identitas.
Konsep identitas karya Alexander Wendt dalam “Anarchy is what States
Make of it” (1992), menjadi aspek krusial dalam setiap tulisan konstruktivisme
(Guzzini, 2000). Hopf (1998: 174-175) menjelaskan bahwa identitas diperlukan
untuk membuat prediksi dan menciptakan keteraturan agar dunia tidak terjerumus
dalam kekacaubalauan (chaos). Menurut Wendt (1992), identitas bukanlah sesuatu
yang terberi (given), melainkan merupakan hasil dari suatu proses konstruktif
8
dalam ranah sosial melalui shared ideas. Wendt menjelaskan bahwa:
“Konsep identitas [...] berfungsi sebagai mata rantai yang krusial
antara struktur lingkungan dan kepentingan. Istilah [identitas] muncul
dari psikologi sosial, mengacu pada citra individualitas dan ke-khas-an
(kepribadian / „selfhood‟) yang dimiliki dan diproyeksikan oleh aktor dan
terbentuk (termodifikasi seiring waktu) melalui hubungan terhadap „aktor
lain‟ yang signifikan. Dengan demikian, istilah [identitas] (berdasarkan
konvensi) merujuk pada citra diri dan orang lain yang dibangun dan
berevolusi secara mutual” (dalam Zehfuss, 2002: 46).
Pernyataan tersebut memberikan penegasan bahwa identitas muncul dari
balik proses berkelanjutan dan melibatkan diskursus kolektif yang tidak hanya
bertumpu pada satu kapasitas otak manusia (Wendt, 1999, dalam Hurd, 2008:
301). Diskursus tersebut dikonstruksikan oleh aktor-aktor sebagai media
mobilisasi demi mencapai suatu kepentingan yang terus berubah seiring
berjalannya waktu. Dengan begitu, aspek identitas dapat bertransformasi demi
beradaptasi dengan kepentingan melalui proses pembelajaran sosial (Zehfuss,
2002: 46). Dalam perspektif konstruktivisme, proses tersebut terletak pada
variabel “the spread of collective idea or knowledge” sebagai mekanisme
pembentukan atau perubahan suatu struktur identitas, norma, budaya, dan institusi
yang ada (Clunan, 2000: 106). Variabel tersebut memiliki sifat intersubjective
(terbagi-bagi
kedalam
sejumlah
banyak
orang)
dan
institutionalized
(diekspresikan dalam pola perilaku dan identitas) (Hurd, 2008: 301).
Norma.
Kratochwil dalam “Rules, Norms, and Decisions” (1989) menjelaskan
konsep norma sebagai hasil dari pembelajaran atas kesalahan di masa lalu
sehingga tercipta aturan baru di masa sekarang. Aturan itulah yang disebut sebagai
norma. Dalam perspektif konstruktivisme, sifat norma tidak hanya mengatur
namun juga membangun. Norma, bersama dengan adat istiadat, budaya, dan
proses pembelajaran sosial lainnya dapat merubah perilaku (Tsai, 2009: 21)
sebagai syarat bagi terbentuknya identitas dan kepentingan aktor (Finnemore,
1996: 128, dalam Tsai, 2009: 22). Layaknya tulisan Hurd (2007a, dalam Hurd,
2008: 304) yang menyatakan dalam hubungannya terhadap norma, negara pada
9
dasarnya akan sangat giat menyelaraskan dua hal secara simultan, yaitu merubah
pola perilakunya agar seirama dengan aturan yang ada, dan merekonstruksi aturan
yang ada agar dapat memperkenankan perilakunya tersebut.
Dalam skripsi ini, uraian mengenai norma sebagai aspek yang
melestarikan perilaku xenofobia akan ditelusuri melalui analisa terhadap diskursus
yang menciptakan bandwagon effect ditengah masyarakat. Efek tersebut
memberikan momentum bagi aktor yang memiliki kepentingan untuk melakukan
mobilisasi. Sebagaimana yang ditulis oleh Snyder (2004) bahwa kalangan
konstruktivis
amat
tertarik
oleh
peran
aktor-aktor
yang
berpotensi
memperkenalkan ide-ide baru dan bertindak seolah sedang mengemban misi suci
membawa perubahan. Dengan berpegang pada paradigma itu maka penelitian
yang lebih spesifik terhadap aktor sebagai agen perubahan dapat dilakukan
dengan memanfaatkan konsep norma milik Kratochwil sebagai batu loncatan.
Speech Acts.
Konsep speech acts diperkenalkan oleh Nicholas Onuf dalam bukunya
“World of Our Making” (1989). Speech acts memberikan asumsi bahwa segala
macam diskursus yang dilakukan manusia, baik secara verbal maupun tertulis
akan mempengaruhi fenomena hubungan internasional. Fakta, bagi Onuf adalah
perbuatan yang dilakukan, tindakan yang dilaksanakan dan kata-kata yang
diucapkan. Onuf memberikan asumsi bahwa speech acts berperan dalam merubah
fungsi bahasa menjadi tidak hanya deskriptif, namun juga mengujarkan
(performative) ide hingga menginspirasi orang lain agar bertindak (Zehfuss, 2002:
20).
Keberhasilan peran speech act dalam mengelola konstruksi sosial sangat
bergantung pada respon lawan bicara. Menurut Onuf (dalam Zehfuss, 2002, 2021), jika speech acts dilakukan secara berulang kali hingga menghasilkan suatu
konsekuensi, maka ia berubah menjadi konvensi dan pada saat inilah aktor akan
berperan dalam mengolah konvensi tersebut menjadi rule ketika ada kepentingan
yang mendorong tindakannya tersebut. Setelah rule tercipta, maka aktor yang
bertanggung jawab dalam proses ini turut menjadi subjek dalam mematuhi rule.
10
Dengan begitu, Onuf memberikan penegasan bahwa pada dasarnya rules-lah yang
secara
lebih
kuat
menggenggam
aktor
dalam
hubungan
internasional
dibandingkan dengan anarki.
Dinamika inilah yang membuka argumen Onuf menuju eksploitasi rule
oleh aktor yang masing-masing memiliki kepentingan untuk mendapatkan kontrol
atas berbagai sumber daya. Dalam kesimpulannya, Onuf menyatakan bahwa:
“Peraturan (rules) menyokong eksistensi struktur kekuasaan
sehingga menguntungkan pihak yang memiliki wewenang terhadapnya.
Mereka yang „mengatur‟ secara alamiah mendapatkan posisi tawar yang
lebih besar dalam mengelola peraturan (rules), karena pada dasarnya
peraturan (rules) tersebutlah yang membuat mereka tetap berkuasa”.
Onuf menambahkan bahwa budaya adalah mekanisme yang mendukung
berdirinya rules. Sehingga untuk memahami esensi dari rules, maka penelitian
yang komprehensif terhadap budaya yang menciptakannya harus dilakukan
terlebih dahulu.
D.
Hipotesa
Melalui uraian kerangka konseptual di atas maka dapat ditarik hipotesa
bahwa perilaku xenofobia masih terdapat dalam sistem masyarakat Jepang
modern karena dua faktor utama. Faktor pertama berasal dari struktur nilai dan
budaya masyarakat Jepang yang terbentuk dari tradisi. Warisan nilai dan budaya
bangsa yang bercirikan eksklusivisme membentuk pola pikir generasi bangsa
Jepang modern yang cenderung bersifat xenofobia. Diskursus mengenai
xenofobia di muka publik dikendalikan sepenuhnya oleh aspek harmoni sebagai
norma sosial yang secara kolektif diyakini oleh masyarakat. Norma tersebut
menjadi landasan justifikasi maupun introspeksi diri masyarakat Jepang terhadap
eksistensi perilaku xenofobia.
Faktor berikutnya berasal dari aktor-aktor politik dalam negeri yang
memiliki kepentingan untuk melakukan mobilisasi isu. Pemerintah Jepang mulai
kembali menggencarkan wacana nasionalisme tatkala perkembangan politik
keamanan regional mulai kembali memanas. Perselisihan antara Jepang dan
negara-negara tetangganya mendorong kemunculan sentimen xenofobia ke
11
permukaan. Namun, pemerintah justru memanfaatkan momentum tersebut untuk
mengembalikan
hak-hak
konstitusional
Jepang
sebagai
sebuah
“negara
sewajarnya” dengan berpedoman pada kejayaan nasionalisme masa lalu.
E.
Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terbagi dalam empat bab sebagai berikut :
BAB I berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah,
kerangka konseptual, hipotesa, dan sistematika penulisan.
BAB II disusun untuk menjelaskan latar belakang sejarah Jepang dalam
membentuk identitas nasional dan pendewasaan diri menjadi sebuah negara
modern. Fokus utama dalam bagian awal bab ini adalah konsep “Semangat Jepang”
sebagai sebuah haluan nilai yang melandasi keunikan budaya Jepang. Dilanjutkan
dengan analisa terhadap studi kasus “The Diene Report” sebagai tonggak sejarah
yang melegitimasi eksistensi xenofobia dalam sistem masyarakat Jepang modern.
Bagian pertengahan bab ini berisikan fokus analisa terhadap xenofobia sebagai
fenomena sosial sekaligus memberikan gambaran situasi dan kondisi masyarakat
terdampak. Penghujung bab ini berisikan perumusan faktor identitas budaya
bangsa Jepang sebagai landasan konstruksi norma sosial pendorong perilaku
xenofobia.
BAB III disusun untuk menjelaskan hubungan antara struktur ideasional
dengan perilaku aktor yang membuat perilaku xenofobia terus lestari. Bagian
awal bab ini berisikan materi seputar manifestasi dari speech acts yang dilakukan
aktor-aktor politik Jepang sebagai bagian dari upaya konstruksi realitas yang
sesuai dengan kepentingan pemerintah. Dilanjutkan oleh analisa terhadap agenda
esoteris pemerintah dalam mendorong reformasi konstitusi sebagai ujung tombak
sentimen nasionalisme. Bagian akhir bab ini berisikan analisa terhadap formulasi
faktor terakhir dalam skripsi ini, yaitu: faktor rezim penguasa yang berkeyakinan
untuk membawa perubahan dan restrukturisasi.
BAB IV merupakan kesimpulan dari uraian dalam bab-bab pembahasan.
12
Download