1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang berada di antara dua wilayah biogeografis utama yaitu Benua Asia dan Australia yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang melimpah. Karena banyaknya kekayaan flora dan fauna yang dimiliki, maka Indonesia dikenal sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi atau “Mega Biodiversity”. Menurut Hariri (2010), keanekaragaman hayati Indonesia yang tinggi dapat dijumpai di daerah hutan hujan tropis. Pramono (2009), menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi fauna melimpah yang tersebar di kurang lebih 17.000 pulau. Jenis-jenis fauna yang terdapat di Indonesia antara lain: 705 jenis mamalia, 1.604 jenis burung, 749 jenis reptilia, 15.000 jenis insekta, 4.080 jenis ikan, 3.350 jenis moluska serta 2.827 jenis invertebrata. Maraknya pembukaan hutan dan perburuan liar menyebabkan sejumlah spesies tersebut terancam punah, salah satunya adalah Tarsius atau biasa disebut monyet hantu. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000), Tarsius digolongkan dalam genus Tarsius, famili Tarsiidae. Genus Tarsius berdasarkan kajian morfologi yang ditunjang dengan data vokalisasi, dikelompokkan ke dalam enam spesies, lima diantaranya terdapat di Sulawesi yaitu T. spectrum, T. dianae, T. pumilus, T. sangiriensis, dan T. pelengensis dan satu spesies T. bancanus ditemukan di Sumatera Selatan dan Kalimantan (Musser dan Dagosto, 1987; Groves, 2001). Tarsius termasuk kelompok primata, yang mempunyai keunikan filogenetik yang sangat menarik serta menjadi 2 perdebatan kontroversial dikalangan Taksonom selama beberapa dekade belakangan ini. Tarsius memiliki keunikan yaitu antara lain bola mata yang besar, ukuran tubuh yang sangat kecil serta didukung dengan warna yang menarik. Tarsius merupakan hewan nocturnal, obligat animalivor (terutama serangga), dapat beradaptasi secara ekstrim untuk menempel vertikal dan melompat dalam melakukan pergerakan dan menangkap mangsa. Dibandingkan dengan primata kecil lainnya, Tarsius mempunyai masa gestasi (178-180 hari), dan masa hidup yang panjang (12 tahun) (Roberts, 1994). Keberadaan Tarsius pada suatu lokasi dapat diketahui melalui suara dan petunjuk bau urin. Tarsius bancanus di pulau Belitung tidak mengeluarkan suara duet di pagi hari seperti Tarsius di Sulawesi (Yustian et al., 2009). Pada T. dianae dewasa dan remaja di pagi hari sering menunjukkan nyanyian duet yang memperkuat ikatan kelompok dan digunakan sebagai pernyataan teritorialnya (Merker et al., 2005). Tarsius spectrum jantan dan betina dapat mengatur struktur dari nada suaranya, khususnya dalam alunan nadanya. Sementara T. dianae menunjukkan saling berkoordinasi (Nietsch, 1999). Tarsius sering disebut sebagai hewan yang memiliki perilaku territorial. Daerah jelajah betina dapat dikunjungi oleh lebih dari satu jantan, dan kisaran jelajah satu individu jantan dapat meliputi daerah jelajah lebih dari satu betina. Daerah jelajah jantan lebih luas daripada daerah jelajah betina. Hal ini dikarenakan Tarsius betina lebih mempergunakan daerah jelajahnya untuk mencari makan, sedangkan 3 yang jantan lebih mempergunakan daerah jelajahnya sebagai daerah territorial dan mencari pasangan (Yustian et al., 2009). Tarsius bancanus umumnya menghabiskan waktu siang harinya menempel pada dahan yang berdiameter 2 cm atau merambat dengan sudut 50-90o sampai horizontal. Tempat tidur biasanya terletak di ketinggian antara 4,0-5,5 m, tetapi kadangkala dapat tidur serendah 2,5 m (Crompton and Andau, 1987). Tarsius spectrum banyak menghabiskan waktu malamnya bergabung dengan yang lainnya, mereka meningkatkan banyak waktu mencari makan ketika di lokasi kurang dari atau sama dengan 10 m dari anggota kelompok dewasa lainnya. Perilaku hidup berkelompok dari T. spectrum ini untuk mengurangi gangguan dari predator, mengurangi dari usaha pembunuhan terhadap anaknya, atau meningkatkan kesempatan perkawinan (Gursky, 2005). Di hutan bebas, T. bancanus memakan Orthoptera (belalang), Coleoptera (kumbang), katak terbang dan ketam, yang relatif besar untuk ukuran tubuhnya. Di tempat konservasi satwa tersebut sering membuang sebagian dari mangsanya, sedangkan yang lepas di hutan bebas tidak demikian, memakan semua mangsanya. Mangsa vertebrata dicerna dalam waktu yang lama. Eksoskeleton dari Coleoptera dan Orthoptera memperpanjang masa cerna, dan perjalanan di usus memakan waktu lebih dari 10 jam, dikarenakan fragmen khitin dapat menghambat fermentasi oleh mikroflora usus (Crompton et al., 1998). Keragaman ukuran daerah jelajah dan sumber-ukuran serangga, struktur tumbuh-tumbuhan, atau tempat beristirahat, memfasilitasi keragaman ekspresi di 4 dalam sistem perkawinan T. spectrum. Sistem perkawinan poliginous, jika ketersediaan berlimpah dari daerah jelajah, sumber dan tempat istirahat lebih luas. Sedangkan monogamous, jika kurang tersedianya sumber-sumber tersebut (GurskyDoyen, 2010). Tarsius bancanus bersifat poliestrus, betina dapat memulai lagi siklus seksualnya dalam 2 minggu setelah melahirkan. Jantannya memberikan perhatian sebagai indukan secara tidak langsung dan dapat mengusik dan bahkan melukai atau membunuh anaknya sendiri (Roberts and Kohn, 1993). Tarsius spectrum dan T. dianae dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat beragam, termasuk di hutan primer yang rapat dan hutan sekunder, serta di lingkungan yang lebih terbuka, seperti rawa-rawa mangrove atau semak belukar dan padang rumput (Nietch, 1999). Perkebunan kopi dan kakao di luar hutan hanya memberikan kondisi tempat tinggal yang kurang baik, tetapi dapat menjadi batu loncatan untuk berkoloni dari bagian hutan lain atau untuk berkoloni kembali di suatu area tumbuhan besar atau yang baru di tanam (Merker et al., 2004). Tumbuhan merambat yang tidak beraturan secara alami membentuk tempat berteduh saat tidur, memberikan perlindungan dari hujan dan untuk persembunyian bagi T. bancanus. Di hutan primer jarang terdapat tumbuhan merambat, maka Tarsius akan tidur di hutan sekunder, di zona pohon merambat, atau di tepi sungai hutan primer atau di dekat perbatasan dengan hutan sekunder (Crompton and Andau, 1987). Tarsius menghindari daerah yang kosong tidak ada tumbuhan dan ladang padi. Hutan bambu, dan perkebunan kakao, dimana keduanya juga dihindari atau tidak disukai, 5 sedangkan hutan sekunder, padang rumput Imperata cylindrical (alang-alang), semak belukar rapat, bekas hutan atau hutan bambu yang jarang, sangat disukai sebagai tempat istirahat yang nyaman dan berkeliaran (Merker and Yustian, 2008). Hal ini yang mendorong satwa endemik ini sebagai komoditi perdagangan yang eksotik dan potensial. Selain itu, keberadaan satwa endemik ini mulai memprihatinkan dengan semakin berkurangnya habitat alaminya. Upaya menjaga eksistensi , perlindungan dan kemurnian genetik bagi kelestarian satwa ini, maka perlu penelaahan satwa ini secara lebih rinci terutama pada tingkat genom dengan pemakaian metode molekuler. Hal ini penting dilakukan mengingat karakteristik serta informasi mengenai satwa ini dapat diketahui dengan pasti agar langkah pelestarian dapat diambil secara maksimal. Menurut Widayanti et al. (2006), kajian ilmiah mengenai karakteristik genom satwa ini masih terbatas sehingga perlu dilakukan penelitian yang dapat memberikan sumbangan informasi yang lebih akurat. Deoxyribonucleic acid mitokondria (mtDNA) merupakan organel pada sel eukariotik yang berfungsi dalam mekanisme respirasi seluler antara lain berperan dalam reaksi oksidasi dari siklus asam trikarboksilat, transfer elektron, serta metabolisme energi (Campbell et al., 2002). Belakangan ini sejumlah penelitian membuktikan bahwa mtDNA dapat digunakan sebagai penanda maternal (Hou et al., 2007). Hal ini didukung oleh kelebihan-kelebihan mtDNA yang tidak dijumpai pada DNA inti, seperti ukuran mtDNA sekitar 16,5 kb lebih kecil dibanding DNA inti, laju evolusi yang sangat cepat, diturunkan dari garis maternal serta dapat diperoleh dari sampel yang telah mengalami degradasi (Rane, 2011). 6 Deoxyribonucleic acid mitokondria memiliki dua bagian yaitu daerah coding (daerah penyandi) dan non coding (non penyandi). Kajian molekuler Tarsius sp. pada mtDNA telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Shekelle, 2003; Widayanti dan Solihin, 2006). Kajian molekuler gen penyandi 12S rRNA pada Tarsius telah diteliti oleh Shekelle (2003). Selain itu, kajian daerah D-loop Tarsius sp. juga telah dilakukan oleh Widayanti dan Solihin (2007). Hasil yang diperoleh dari penelitian Widayanti dan Solihin (2006) membuktikan bahwa daerah D-loop mtDNA tidak dapat dijadikan penanda genetik karena memiliki homologi yang tinggi. Hasil penelitian tentang sekuen gen COX2 (Widayanti et al., 2010) dan gen ND3 (Widayanti et al., 2011) dapat dijadikan patokan untuk membedakan Tarsius asal Lampung, Sumatera dengan Tarsius asal Sulawesi, namun tidak dapat membedakan antar spesies Tarsius asal Sulawesi. Pengkajian pada gen Cyt b (Widayanti et al., 2006) dapat dipakai sebagai penanda genetik walaupun hanya pada tingkat nukleotida saja, pada level asam amino tidak mendukung. Hasil penelitian Widayanti (2010) tentang kajian gen ATP8 pada Tarsius sp. dapat dipakai sebagai penanda genetik untuk membedakan Tarsius asal Lampung, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, maka masih dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mendapatkan penanda genetik lain yang lebih spesifik untuk dapat mengklasifikasi spesies Tarsius. Diharapkan kajian molekuler gen cytochrome c oxidase subunit 1 (COX1) dapat digunakan sebagai penanda genetik untuk identifikasi spesies Tarsius sehingga konservasi satwa ini dapat bermanfaat dan berhasil guna. 7 B. Rumusan Masalah 1. Adakah keragaman genetik gen COX1 pada Tarsius sp.? 2. Apakah gen COX1 dapat digunakan sebagai penanda genetik pada Tarsius sp.? 3. Apakah gen COX1 dapat mengungkap afiliasi Tarsius sp. dengan primata lain? C. Keaslian Penelitian Kajian molekuler gen penyandi 12SrRNA pada Tarsius yang dilakukan Shekelle (2003) dan pada daerah D-loop parsial dengan teknik sekuensing DNA telah dilakukan tetapi tidak dapat digunakan sebagai penanda genetik karena diversitas genetik yang rendah (Widayanti et al., 2007), kemudian dilakukan juga penelitian pada gen cytochrome b parsial dengan teknik sekuensing dan dapat digunakan untuk membedakan antar spesies Tarsius, walaupun pada tingkat asam amino tidak menunjukkan adanya variasi (Widayanti et al., 2006). Kajian molekuler gen COX2 dan gen ND3 DNA mitokondria telah dilakukan Widayanti et al. (2010 dan 2011), namun sekuen nukleotida gen COX2 hanya dapat membedakan T. bancanus (asal Sumatra) dengan T. spectrum (Sulawesi Utara) dan T. dianae (Sulawesi Tengah), sedangkan T. spectrum dan T. dianae tidak dapat dibedakan. Sekuen nukleotida gen ND3 karena homologinya yang tinggi tidak dapat untuk membedakan T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae. Selanjutnya Widayanti (2010) melakukan penelitian pada gen ATP8 mitokondria Tarsius sp. dan sekuen nukleotida gen tersebut dapat untuk membedakan T. bancanus, T. spectrum dan T. dianae, walaupun pada tingkat asam amino kurang memberikan hasil yang baik, sehingga perlu penelitian tentang 8 keragaman genetik pada gen COX1 antar spesies Tarsius, karena gen COX1 belum pernah dilakukan pada Tarsius sp. D. Tujuan Penelitian Mengkaji kemungkinan gen COX1 untuk digunakan sebagai penanda genetik pada identifikasi spesies Tarsius. E. Manfaat Penelitian Membantu upaya pelestarian Tarsius melalui identifikasi spesies secara tepat menggunakan gen COX1.