studi perbandingan hukum harta kekayaan perkawinan dalam

advertisement
STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN
PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN
BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
Suratman
NIM : E0000204
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN
PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN
BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM
Disusun oleh:
SURATMAN
NIM : E0000204
Disetujui untuk Dipertahankan
Pembimbing I
Endang Mintorowati, S.H., M.H.
NIP. 130814527
Pembimbing II
Andri Astuti, S.H.
NIP. 131285214
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN
PERKAWINAN DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN
BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM
Disusun oleh:
SURATMAN
NIM : E0000204
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada:
Hari
: Rabu
Tanggal
: 14 Mei 2008
TIM PENGUJI
1. Endang Mintorowati, S.H., : .................................................
M.H.
NIP. 130814527
2. Andri Astuti, S.H.
: .................................................
NIP. 131285214
3. Djuwityastuti, S.H.
: .................................................
NIP. 130814527
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum UNS
Moh. Jamin, S.H., M.Hum.
NIP. 131570154
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami
meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”
(Q.S. al-Fatihah: 1-7)
Kupersembahkan skripsi ini
untuk seseorang yang kucintai:
Indah Nugrahaningsih
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat-Nya
kepada manusia dan ala mini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
Nabiyullah Muhammad, keluarga, sahabat, dan seluruh umat beliau. Rasa syukur
teramat dalam penulis persembahkan kepada Allah sehingga penulisan hukum
yang berjudul “Studi Perbandingan Hukum Harta Kekayaan Perkawinan dalam
Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam”
dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
Penulisan hukum ini membahas tentang ketentuan harta perkawinan,
ketentuan harta perkawinan jika ada perjanjian perkawinan, dan akibat hukum
terhadap harta kekayaan perkawinan jika ada perjanjian perkawinan yang ditinjau
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam. Hal tersebut ditulis karena
adanya kasus-kasus harta kekayaan perkawinan yang muncul di masyarakat dan
masih minimnya pemahaman masyarakat, khususnya calon suami istri terhadap
perjanjian perkawinan. Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan keilmuan terhadap persoalan tersebut.
Penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan baik moril maupun
materiil dari berbagai pihak dalam menyelesaikan penulisan hukum ini sehingga
penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Bapak Dr. Syamsul Hadi, Sp.Kj. selaku rektor Universitas Sebelas
Maret.
2.
Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum. selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
3.
Ibu Endang Mintorowati, S.H., M.Hum. selaku pembimbing skripsi
bagi penulis.
4.
Ibu
Andri
Astuti,
S.H.
selaku
pembimbing
pembimbing skripsi bagi penulis.
5.
Ibu Djuwityastuti, S.H. selaku penguji skripsi.
akademik
dan
6.
Ust. Ahmad Yani al-Hafizh yang telah mengajarkan Al-Qur’an
kepada penulis dan makna nyantri.
7.
Ust. Sholihan MC yang telah mengajarkan berbagai “pemikiran yang
lain” dan semangat berfikir.
8.
Ayahanda Ahmad Ngalimi dan Ibunda Riyati yang telah merawat dan
mendidikku dengan tulus dalam kesederhanaan, serta adik-adikku:
Sugeng, Warti, dan E’un yang kucintai walau jarak memisahkan kita
sejak kecil.
9.
Bapak Suwarjono dan Ibu Siti Aminah yang telah menjadikanku
“anaknya” penuh keikhlasan.
10. Bapak Djumbadi dan Ibu Sri Enny Purwaningsih yang telah
menerimaku sebagai belahan jiwa putri sulungnya, serta adik-adikku:
Nopa dan Ningnong yang memberikan semangat.
11. Indah Nugrahaningsih, wanita yang telah menerimaku apa adanya,
menjadikan nafas hidupku berdenyut kembali, dan melukiskan warna
hidup sejati.
12. Santri Pesantren Mahasiswa Ar-Royyan, khususnya angkatan pertama
hingga generasi Maret 2008 yang mengajarkan makna persaudaraan
dan hidup bersama: Mas Lukman, Mas Furqon, Mas Agus Virdy,
Rudi, Farisy, Dhani ‘Dokter’, Ahmad ‘Bambang’, Indra ‘Indleks’,
Hartoko, Masjudi, Auriga, Didin, Nanang, Agus Dani, Ro’uf, Abob,
Dodik, dan semuanya.
13. Ust. Bimo, Lc. dan Mas Edy ‘Abyan’ yang memberikan banyak
dukungan dan teman di masa-masa penuh cobaan.
14. Ir. Bambang Maryatno dan keluarga yang telah banyak direpotkan
semasa perjuangan di Arimatea.
15. Bunda Dewi dan Pak Nadianto yang juga selalu menyemangatiku saat
di Arimatea.
16. Teman-teman seperjuangan di KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia) Solo, FMRD (Front Mahasiswa Religius
Demokratik) yang getol menggoyang Gus Dur dan Megawati, JN
UKMI UNS tempat meneduhkan hati, DEMA (Dewan Mahasiswa)
FH UNS dan DEMA UNS, Partai Gerbang UNS, serta para kenshi di
Dojo Shorinji Kempo UNS yang mengajarkan ‘kekuatan tanpa kasih
sayang adalah kezhaliman dan kasih sayang tanpa kekuatan adalah
kelemahan’.
17. Para ustadz dan santri di Ma’had Al-Bina’, Pesantren Nurul Wahid
Kutoarjo, PUSQBA Tsaqifa, Pusat Kajian Kitab Gundul Al-Furqon,
dan Ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq.
18. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penulisan hukum
ini.
Penulis
menyadari
bahwa
penulisan
hukum
ini
masih
banyak
kekurangannya, sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik demi perbaikan
di masa datang. Semoga penulisan hukum ini bermanfaat. Amin.
Penulis, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….......
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………..
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ………………………...
KATA PENGANTAR ………………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………
ABSTRAK ……………………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
viii
x
xi
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………
B. Rumusan Masalah …………………………………………….
C. Tujuan Penelitian ……………………………………………..
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………
E. Metode Penelitian …………………………………………….
F. Sistematika Skripsi ……………………………………………
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1
6
7
7
8
13
A. Kerangka Teori ………………………………………………..
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum ………….
2. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun
1974 ……………………………………………………….
3. Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam ………………….
4. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ………………………
5. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan ………….
B. Kerangka Pemikiran ………………………………………….
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU
No. 1 dan Hukum Islam ……………………………………………
48
1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU
No. 1 Tahun 1974 …………………………………………………….
2. Ketentaun Harta Kekayaan Perkawinan Bersadarkan
Hukum Islam …………………………………………………..
48
B. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian
Perkawinan Berdasarkan UU No. 1Tahun 1974 dan Hukum
54
Islam ……………………………………………………………….
1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada
Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 tahun 1974
2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada
62
Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam ………..
C. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika
62
Ada Perjanjian Perkawinan Berdasrkan UU No. 1 Tahun 1974
dan Hukum Islam ………………………………………………….
68
1. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan
71
Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1
Tahun 1974 …………………………………………………….
2. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan
Jika Ada Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Hukum
Islam ……………………………………………………………
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ……………………………………………………….
B. Saran …………………………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkawinan
amat
penting
dalam
kehidupan
manusia,
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang
sah, pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat
sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan.
Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai,
tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami istri. Anak keturunan
dari hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan rumah tangga
dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih
dan berkehormatan. (A. Azhar Basyir, 1990: 1)
Satu hal yang harus diakui bahwa dalam setiap kehidupan
keluarga, sudah tentu akan muncul sejumlah persoalan. Persoalan
tersebut sangat beragam, baik yang menyangkut finansial, kasih
sayang, maupun sosial. ( Muhammad Kamil Hasan al-Mahami, 2006:
64)
Setelah
melangsungkan
ijab
kabul,
seorang
suami
istri
melangkah ke kahidupan baru mengarungi bahtera kehidupan nyata.
Keduanya akan berhadapan dengan realita kehidupan yang
mungkin selama sebelum menikah tidak pernah dihadapi. Mereka
akan berhadapan dengan hak dan kewajiban sebagai seorang suami
atau istri, ayah atau ibu bagi anak-anaknya, dan sebagai anggota
masyarakat. Dengan kata lain, mereka akan dihadapkan pada
persoalan keluarga dan masyarakat luas.
Salah satu akibat perkawinan adalah terhadap masalah harta.
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masalah harta
perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal
65.
Dalam
pasal-pasal
tersebut
terdapat
ketentuan-ketentuan
mengenai harta perkawinan selama tidak ada perjanjian lain
mengenainya. Menurut Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Selain itu, harta bawaan dari masing-masing suami
dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 UU No. 1 Tahun
1974 mengatur tentang hak dan tindakan hukum atas harta
perkawinan. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang harta
perkawinan jika terjadi perceraian. Sedangkan Pasal 65 UU No. 1
Tahun 1974 mengatur tentang harta perkawinan jika poligami.
Dengan demikian, bisa dimungkinkan pengaturan lain harta
perkawinan jika ada perjanjian lain mengenai hal tersebut. Dalam
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan mengenai perjanjian
perkawinan yang bisa memperjanjikan masalah harta perkawinan
yang berbeda dengan ketentuan harta perkawinan sebagaimana
telah ditentukan dalam UU Perkawinan di atas.
Pada banyak kasus, bukan hanya calon pasangan pengantin
saja yang bertengkar ketika ide perjanjian pernikahan disampaikan,
namun juga berkembang menjadi masalah keluarga antara calon
besan. Hal ini terjadi karena perjanjian perkawinan bagi kebanyakan
orang masih dianggap kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak
sesuai dengan adat Timur dan lain sebagainya. Dengan adanya
keterkaitan emosi yang begitu tinggi di antara pasangan yang akan
menikah, bisa menghalangi objektivitas untuk mengantisipasi potensi
masalah
finansial
dalam
sebuah
perkawinan,
termasuk
risiko
perceraian. Anggapan bahwa jika kita saling mencintai maka kita
tidak akan memiliki masalah keuangan, sebenarnya kurang tepat.
Faktanya, masalah keuangan tetap saja muncul tidak peduli betapa
pasangan berdua saling mencintai. Betapa besarnya masalah
keuangan yang akan muncul ketika pasangan suami istri tidak lagi
saling
mencintai
dan
memutuskan
bercerai.
(Mike
Rini,
http://www.danareksa.com, diakses tanggal 26 September 2007).
Banyak
masyarakat
yang
kurang
mengetahui
adanya
perjanjian pernikahan yang dibuat pasangan sebelum mereka
menikah, meskipun sejumlah pasangan di Indonesia sudah melakukan
hal tersebut. Selain hal itu tidak biasa dilakukan masyarakat Timur, juga
menimbulkan kesan mengecilkan arti lembaga pernikahan. Seakanakan pernikahan hanya merupakan sebuah “company” layaknya
kerjasama dalam bisnis, sehingga harus diantisipasi kerugian atau risiko
yang akan terjadi jika suatu saat terjadi perceraian.
Tidak
mengherankan jika masyarakat Indonesia sempat heboh ketika artis
Desy
Ratnasari
membuat
perjanjian
pernikahan
sebelum
ia
melangsungkan pernikahan dengan Ir. Pramugara beberapa tahun
lalu. Pro kontra pun dilancarkan masyarakat terhadap tindakan Desy
tersebut.
Drs. Saepuddin, penasihat BP4 Kandepag Kota Bandung, mengatakan
bahwa bila dicermati, pada dasarnya pernikahan itu sendiri merupakan suatu
perjanjian yang mengikat lahir dan batin atas dasar iman. Maka, sebagaimana
diatur dalam Undang-undang Perkawinan, perjanjian ini akan melahirkan
perjanjian-perjanjian baik tertulis maupun tidak. Menurutnya, Pasal 29 UU
Perkawinan secara tegas menyebutkan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Berdasarkan pasal tersebut, maka dimungkinkan untuk mengadakan
perjanjian pemisahan harta suami dan istri sebagai harta bawaan. Karena,
ketika menikah akan timbul konsekuensi waris, yang sumbernya dari harta
bawaan, mahar (bagi istri) atau hadiah dan hibah lainnya, serta harta gono
gini.
Pasal tersebut bisa menjadi landasan membuat perjanjian selain akad
nikah yang disahkan menurut undang-undang dan dicatat dalam akta
perkawinan. Dalam akta perkawinan ditegaskan bahwa apakah ada perjanjian
lain selain akad nikah. Bila secara hitam di atas putih telah dibuat perjanjian
perkawinan, maka akan ditulis pada akta perkawinan bahwa ada perjanjian
perkawinan.
Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bila melanggar batasbatas hukum, agama dan kesusilaan. Perjanjian berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak
dapat diubah, kecuali bila kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah
dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga. (http://www.pikiranrakyat.com, diakses tanggal 3 Oktober 2007).
Diah Nurwitasarim Dipl. Ing., Ketua Lembaga Dakwah dan
Pemberdayaan Potensi Muslimah (LDP2M) Permata Bandung menyatakan
bahwa fenomena perjanjian perkawinan bisa berkembang pesat di masyarakat
perkotaan, di mana budaya praktis atau instan menjadi bagian dari gaya hidup
mereka. Sehingga, bila tidak ingin direpotkan dengan masalah-masalah dalam
pernikahan yang akan mengganggu perekonomian masing-masing pasangan,
dibuatlah perjanjian-perjanjian untuk mengatur sistem hidupnya. Bila sudah
demikian, kebergantungan manusia pada sistem hukum, selain yang telah
ditetapkan Allah melalui Al-Qur’an dan as-Sunnah, akan melemah.
Ditinjau lebih jauh, adanya perjanjian pemisahan harta suami dan istri
merupakan sikap yang dibentuk dari hasil pemikiran untuk menimbang secara
matang saat memasuki jenjang pernikahan. Secara sederhana hal tersebut bisa
dilihat dari rentetan kecenderungan tersebut, di mana ada indikator yang
signifikan yaitu kecenderungan menunda menikah. Ini menandakan pola pikir
dalam merencanakan pernikahan lebih matang lagi, dengan berupaya
mengantisipasi segala sesuatunya yang bisa timbul akibat pernikahan.
Fenomena lain yang bisa mendorong adanya perjanjian tersebut angka
partisipasi kerja perempuan yang juga semakin meningkat, didorong oleh
perbaikan taraf hidup dan pendidikan yang lebih baik pula.
Selain itu, sudah menjadi suatu kewajaran seiring dengan tantangan
hidup di perkotaan yang sangat kompetitif dan dinamis, suami menghendaki
istri bekerja dengan pertimbangan untuk sama-sama membangun rumah
tangga, saling membantu dalam perekonomian. Atau, karena istri sudah
memiliki karier sebelumnya.
Semua kecenderungan yang sudah menjadi pola hidup masyarakat
perkotaan kemudian terbawa ketika memasuki jenjang pernikahan. Karena
hal inilah perjanjian pemisahan harta suami dan istri menjadi sesuatu yang
biasa terjadi dan berkembang di masyarakat.
Sepintas dapat disimpulkan bahwa perjanjian pemisahan harta muncul
dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap kemungkinan-kemungkinan
terburuk yang bisa dialami dalam berumahtangga. Bila sudah demikian, dapat
ditebak bahwa ada mosi ketidakpercayaan terhadap insitusi pernikahan,
sehingga risiko-risiko yang bisa ditimbulkan, misalnya saja perceraian, sudah
diperhitungkan sejak awal. Selanjutnya, apakah perjanjian pemisahan harta
ini diperbolehkan dalam Islam? Dikatakan boleh atau tidak boleh, bisa
menjadi sesuatu yang kontradiksi. Tidak bisa dikatakan tidak boleh, namun
juga bukan berarti boleh. Karena akan berbenturan dengan tujuan pernikahan.
Yang harus dipahami, Islam merupakan sistem hidup yang telah mengatur
segala sesuatunya demi kebaikan umat manusia, di dalamnya sudah diatur
tentang perjanjian-perjanjian, khususnya dalam berumahtangga.
Sudah menjadi fitrah dan keinginan semua orang dalam berkeluarga
bisa membangun ketentraman dan kenyamanan lahir batin sebagai keluarga
yang sakinah, mawahdah warahmah. Dalam Islam sudah jelas bahwa harta
istri sangat dihormati.
Harta bawaan istri tidak menjadi kewajiban untuk dijadikan sumber
menafkahi keluarga. Sementara bagi suami, kewajiban menafkahi menjadi
mutlak, hartanya akan dinikmati istri dan anak. Namun, bila harta yang
dibawa dan harta yang dihasilkan istri digunakan untuk kepentingan anak dan
suami itu merupakan merupakan ladang amal baginya. Hartanya sebagai
shadaqah.
Hal tersebut yang harus dipahami sehingga tidak lagi terjebak
materialistik. Visi berkeluarga ini yang harus dikedepankan, sehingga istri
tidak menjadi tampil dominan dalam keluarga karena menguasai harta yang
lebih banyak atau lebih besar. Tujuan keluarga muslim tidak hanya
kebahagiaan dunia, namun juga membangun kebahagiaan di akhirat. Jadi,
bisa saja ada perjanjian pembagian tanggung jawab dari penghasilan suami
atau istri untuk dialokasikan pada satu pos tertentu. Misalnya saja suami
hanya membiayai kebutuhan material yang besar dan berat, sementara istri
lebih mengurus kebutuhan anak.
Dalam pasal 34 UU N0. 1 Tahu 1974 dijelaskan bahwa suami wajib
melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah
tangga sesuai dengan kemampuannya. Sementara, istri wajib mengatur urusan
rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya,
masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Walaupun sudah ditegaskan dalam pasal tersebut bukan berarti istri
tidak menolong suami. Pada kasus tertentu bisa saja suami tiba-tiba berhenti
atau diberhentikan dari pekerjaanya, dan istri bisa menopang ekonomi
keluarga. Di sinilah perlu saling pengertian dan mendukung agar kehidupan
rumah tangga tetap harmonis. (http://www.pikiran-rakyat.com, diakses tanggal
3 Oktober 2007).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis bermaksud mengkaji
lebih lanjut tentang hukum perjanjian perkawinan, baik menurut UU
No. 1 Tahun 1974 maupun hukum Islam dalam bentuk penulisan
hukum dengan judul “STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA KEKAYAAN
PERKAWINAN DALAM
PERJANJIAN PERKAWINAN BERDASARKAN UU
NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM”.
B.
Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan
salah satu bagian yang
sangat penting dalam penelitian, termasuk penelitian hukum. Agar
subyek permasalahan yang ada nanti dibahas lebih jelas, terarah,
dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka sangat penting
bagi penulis untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yang
dirumuskan penulis adalah:
1. Bagaimanakah
ketentuan
harta
kekayaan
perkawinan
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam?
2. Bagaimana ketentuan harta kekayaan perkawinan jika ada
perjanjian perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan
hukum Islam?
3. Bagaimana
akibat
hukum
terhadap
harta
kekayaan
perkawinan jika ada perjanjian perkawinan berdasarkan UU No.
1 Tahun 1974 dan hukum Islam?
C.
Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas. Tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk
mengetahui
ketentuan
mengenai
harta
kekayaan perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun
1974 dan hukum Islam.
b. Untuk
mengetahui
perkawinan
jika
ketentuan
ada
harta
perjanjian
kekayaan
perkawinan
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam.
c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap harta
kekayaan perkawinan jika ada perjanjian perkawinan
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan hukum Islam.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah pengetahuan peneliti di bidang
hukum perdata Indonesia dan hukum Islam dalam
hal perjanjian perkawinan.
b. Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh
derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D.
Manfaat Penelitian
Salah satu faktor pemilihan masalah dalam penelitian ini adalah
bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat. Karena, nilai dari sebuah
penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat diambil dari
adanya penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan
dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum
pada umumnya dan hukum perdata serta hukum Islam
pada khususnya.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi
dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang perjanjian
perkawinan menurut hukum perdata Indonesia dan hukum
Islam.
3. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitin sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan
pertimbangan
bagi
pemerintah,
khususnya
lembaga-lembaga yang bersangkutan dalam hal perjanjian
perkawinan.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dan acuan dalam hal perjanjian
perkawinan
bagi
calon
suami
istri
yang
akan
melangsungkan perkawinan.
c. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
memberikan
pemahaman
mempunyai
kepedulian
dapat
pihak-pihak
dan
membantu
terkait
ketertarikan
yang
terhadap
persoalan yang diangkat dalam penelitian ini.
E.
Metode Penelitian
Agar suatu penelitian ilmiah dapat berjalan dengan baik, maka
perlu menggunakan suatu metode penelitian yang baik dan tepat.
Metodologi merupakan suatu unsur yang mutlak harus ada didalam
penelitian
dan
pengembangan
ilmu
pengetahuan.
(Soerjono
Soekanto, 1986 : 7). Metode penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Jenis Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji bahwa
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka dinamakan penelitian hukum
normatif atau penelitin hukum kepustakaan (di samping adanya
penelitian hukum sosiologis atau empiris yang utamanya meneliti
data primer).
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan
hukum ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data
sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Ditinjau
dari
sifatnya,
penelitian
ini
bersifat
deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Maksud utamanya adalah
untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu
memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka menyusun
teori-teori baru. (Soerjono Soekanto,1986 : 10).
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
penelitian
kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif adalah pendekatan
penelitian untuk meneliti hakikat dan makna suatu hal, kemudian
dijelaskan dalam bentuk uraian.
4. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penulisan hukum ini
adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan
pustaka
berupa
keterangan-keterangan
yang
secara
tidak
langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan
dokumenter, tulisan-tulisan ilmiah, dan sumber-sumber tertulis
lainnya.
Adapun ciri-ciri umum data sekunder menurut Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji (2003 : 24) yaitu:
a. Data sekunder pada umumnya ada dalam keadaan siap
terbuat (ready-made);
b. Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi
oleh peneliti-peneliti terdahulu;
c. Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi
oleh waktu dan tempat.
5. Sumber Data
Sumber data merupakan tempat di mana data suatu
penelitian dapat diperoleh. Sumber data yang akan digunakan
dalam penulisan hukum ini adalah sumber data sekunder.
Dalam
penelitian
hukum,
data
sekunder
dilihat
dari
kekuatan mengikatnya digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat dan terdiri dari:
1) Norma atau kaidah dasar, yakni Pembukaan UndangUndang Dasar 1945.
2) Peraturan Dasar
(a)
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945;
(b)
Ketetapan-ketetapan Mejelis Permusyawaratan
Rakyat;
3) Peraturan perundang-undangan:
(a)
Undang-Undang dan peraturan yang setaraf;
(b)
Peraturan
Pemerintah
dan
peraturan
yang
setaraf;
(c)
Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf;
(d)
Keputusan Menteri dan peraturan yang setaraf;
(e)
Peraturan-peraturan daerah.
4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya
hukum adat.
5) Yurisprudensi.
6) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini
masih berlaku, seperti misalnya KUH Pidana (yang
merupakan terjemahan yang secara yuridis formil
bersifat tidak resmi dari Wetboek van Strafrecht).
b. Bahan
hukum
sekunder
yang
memberikan
penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undangundang, hasil-hasil penelitian, hasi karya dari kalangan hukum,
dan sebagainya.
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks
kumulatif, dan seterusnya. (Soerjono Soekanto, 1986 : 52).
6. Instrumen Pengumpulan Data
Kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah dengan cara mengumpulkan (dokumentasi)
data sekunder berupa dokumen-dokumen, arsip-arsip, literatur,
dan yang mendukung. Adapun penelitian ilmiah ini menggunakan
teknik studi kepustakaan dalam mengumpulkan dan menyusun
data yang diperlukan.
7. Tempat Penelitian
Tempat
penelitian
ini
penelitian
untuk
adalah
berbagai
di
memperoleh
data
perpustakaan,
dalam
yaitu
di
Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan Fakultas Hukum UNS,
Perpustakaan Pesantren Mahasiswa Ar-Royyan Solo, perpustakaan
pribadi peneliti, dan media internet.
8. Analisis Data
Proses analisis data sebenarnya merupakan pekerjaan untuk
menemukan
tema-tema
dan
merumuskan
hipotesa-hipotesa,
meskipun sebenarnya tidak ada formula yang pasti untuk dapat
digunakan merumuskan hipotesa. Adapun pada analisis data tema
dan
hipotesa
lebih diperkaya
dan
diperdalam
dengan cara
menggabungkannya dengan sumber-sumber data yang ada.
Berukut ini saran dari Bogdan dan Taylor (1975 : 82-84), yang
telah diterjemahkan oleh Moleong (1990 : 103-104) seperti di bawah
ini, yaitu:
a. Membaca dengan teliti catatan yang ada
Seluruh data dibaca dan ditelaah secara mendalam.
Seluruh bagiannya merupakan potensi yang sama kuatnya
dalam menghasilkan sesuatu yang dicari.
b. Memberi kode
Setelah membaca seluruhnya dan memperoleh kesan
tertentu, peneliti kemudian memberi kode pada data yang
ada. Setelah diberi kode, data kemudian dipelajari dan
ditelaah lagi serta disortir dan diuji untuk dimasukkan ke
dalam kelompok tertentu yang akan menjadi cikal bakal
tema.
c. Menyusun menurut tipologi
Kerangka
klasifikasi
atau
tipologi
bermanfaat dalam
menemukan tema dan pembentukan hipotesa.
d. Membaca kepustakaan yang ada kaitannya dengan
masalah dan setting penelitian.
Selama dan sesudah mengumpulkan data, kepustakaan
terkait dan relevan dengan masalah studi hendaknya dipelajari
untuk membandingkan apa yang ditemukan dari data dengan apa
yang
dikatakan
dalam
kepustakaan
profesional.
Langkah
selanjutnya dalam menganalisis dan menginterpretasikan data
kualitatif adalah merumuskan hipotesa-hipotesa atau pernyataanpernyataan (Burhan Ashshofa, 1996 : 66-68).
F.
Sistematika Skripsi
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah:
BAB I
: PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar
belakang
masalah,
rumusan
masalah,
tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika skripsi.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA
Dalam
bab
perbandingan
ini
hukum,
diuraikan
yaitu
tentang
membandingkan
sistem-sistem hukum untuk mengetahui persamaan
dan perbedaannya, tinjauan UU No. 1 Tahun 1974,
tinjauan hukum Islam, tinjauan perkawinan, tinjauan
perjanjian
perkawinan,
kerangka pemikiran.
BAB III
: PEMBAHASAN
dan
uraian
mengenai
Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian
yang
membahas
tentang
ketentuan
harta
perkawinan, ketentuan harta perkawinan jika ada
perjanjian
perkawinan,
akibat
hukum
harta
perkawinan jika ada perjanjian perkawinan yang
masing-masing ditinjau berdasarkan UU No. 1 Tahun
1974 dan hukum Islam.
BAB IV
: PENUTUP
Dalam bab ini akan diuraikan kesimpulan dari
hasil
pembahasan
dan
permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
saran-saran
mengenai
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan Hukum
a. Pengertian Perbandingan Hukum
Terdapat berbagai istilah asing mengenai
perbandingan
hukum antara lain Comparative Law,
Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris),
Droit Compare (istilah Perancis), Rechtsvergelijking (istilah
Belanda) dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende
Rechlehre (istilah Jerman). Di dalam Black’s Dictionary
dikemukakan bahwa Comparative Jurisprudence ialah
suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan
melakukan perbandingan berbagai macam sistem
hukum (the study of principles of legal science by the
comparison of various systems of law). (Barda Nawawi
Arief, 2003 : 3).
Sedangkan apabila diamati istilah asingnya,
comparative law maka dapat diartikan bahwa, titik
berat
adalah
comparative,
pada
dalam
perbandingannya
hal
ini
kalimat
atau
comparative
memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingakan).
Istilah
perbandingan
hukum
dengan
demikian
menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan
kepada segi hukumnya. Inti sedalamnya dari pengertian
istilah perbandingan hukum adalah membandingkan
sistem-sistem hukum (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
Berkaitan dengan pengertian perbandingan
hukum, ada beberapa pendapat para ahli yang
mengemukakan
pengertian
perbandingan
hukum
diantaranya sebagai berikut (Romli Atmasasmita, 2000 :
7-10):
1) Rudolf
B.
Schlesinger,
perbandingan
penyelidikan
mengatakan
hukum
dengan
bahwa
merupakan
tujuan
untuk
metoda
memperoleh
pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan
hukum
tertentu.
Perbandingan
hukum
bukanlah
perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan
bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan
teknik untuk menghadapai unsur hukum asing dari
suatu masalah hukum.
2) Winterton, mengemukakan bahwa perbandingan
hukum
adalah
membandingakan
suatu
metoda
sistem-sistem
yang
hukum
dan
perbandingan tersebut menghasilkan data sistem
hukum yang dibandingkan.
3) Gutterdige,
menyatakan
bahwa
perbandingan
hukum tidak lain merupakan suatu metoda, yaitu
metoda
perbandingan
yang
dapat
digunakan
dalam semua cabang ilmu.
4) Lemaire,
mengemukakan
perbandingan
hukum
sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga
mempergunakan
metoda
perbandingan
)
mempunyai lingkup: ( isi dari) kaidah-kaidah hukum,
persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya
dan dasar-dasar kemasyarakatannya.
5) Ole Lando, mengemukakan antara lain bahwa
perbandingan
hukum
mencakup:
“analysis
and
comparison of the laws”. Pendapat tersebut sudah
menunjukkan
kecendrungan
untuk
mengakui
perbandingan sebagai cabang ilmu hukum.
6) Hessel
Yutema,
mengemukakan
definisi
perbandingan hukum sebagai berikut: Comparative
law is simply another name for legal science and an
integral part of the more comprehensive universe of
social science, or like other branches of science it has
a universal humanistic outlook: it contemplates that
while the technique nay vary, the problems of justice
are basically the same in time and space throughout
the world.
Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk
ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu
dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilmu
lainnya perbandingan hukum memiliki wawasan
yang universal; sekalipun caranya berlainan, masalah
keadilan pada dasarnya sama baik menurut waktu
dan tempat di seluruh dunia.
7) Orucu, mengemukakan bahwa comparative law is a
legal discipline aiming at ascertaining similarities and
differences and finding out relationships between
various legal systems, their essence and style, looking
at comparable legal instutions and concepts and
trying to determine solutions to certain problems in
these system with a definite goal in mind, such as law
reform, unification etc.
Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu
hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan
perbedaan
serta
menemukan
pula
hubungan-
hubungan erat antara pelbagai sistem-sistem hukum;
melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum
dan konsep-konsep serta mencoba menentukan
suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu
dalam sistem-sistem hukum dimaksud dengan tujuan
seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum, dan
lain-lain.
Adapun
Soedjono
Dirdjosisworo
mengemukakan Perbandingan hukum adalah suatu
metode studi hukum, yang mempelajari perbedaan
sistem hukum antara negara yang satu dengan yang
lain. Atau, membanding-bandingkan sistem hukum
positif dari bangsa yang satu dengan bangsa yang lain
(Soedjono Dirdjosisworo, 1983 : 60).
R.
Soeroso,
perbandingan
hukum
S.H.
menyimpulkan
adalah
suatu
bahwa
cabang
ilmu
pengetahuan hukum yang menggunakan metode
perbandingan dalam rangka mencari jawaban yang
tepat atas problema hukum yang konkret (R. Soeroso,
1999 : 8).
Berdasarkan pendapat atau definisi tentang
perbandingan hukum yang telah diuraikan di atas
dapat dikemukakan bahwa ada dua kelompok definisi
perbandingan hukum yaitu kelompok pertama, definisi
yang
menganggap perbandingan hukum sebagai
metoda dan kelompok kedua yang menganggap
perbandingan hukum sebagai cabang ilmu hukum
(science) (Romli Atmasasmita, 2000 : 12).
Dalam hal kajian perbandingan hukum ini,
penulis akan mengkaji perbandingan hukum sebagai
salah satu bentuk dari penelitian hukum normatif atau
penelitian
hukum
kepustakaan.
Prof.
Dr.
Soerjono
Soekanto dan Sri Mamudji, S.H., M.L.L menyebutkan
bahwa
dalam
Penelitian
hukum
normatif
atau
kepustakaan itu mencakup:
a) Penelitian terhadap asas-asas hukum;
b) Penelitian terhadap sistematika hukum;
c) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan
horisontal;
d) Perbandingan hukum;
e) Sejarah hukum.
2) Manfaat Perbandingan Hukum
Manfaat atau kegunaan perbandingan sistem
hukum yaitu seperti yang diungkapkan beberapa ahli
antara lain sebagai berikut (Ade Maman Suherman,
2004 : 17-19):
a) Menurut Sudarto
Kegunaan yang bersifat umum:
(1) Memberi kepuasan bagi orang yang berhasrat
ingin tahu yang bersifat ilmiah;
(2) Memperdalam
pengertian
tentang
pranata
masyarakat dan kebudayaan sendiri;
(3) Membawa sikap kritis terhadap sistem hukum
sendiri.
Yang bersifat khusus berkaitan dengan asas
nasional aktif yang membawa konsekuensi Pasal 5
Ayat 1 KUHP.
Pendapat di atas khususnya mengenai yang
bersifat
khusus
memfokuskan
hukum pidana.
b) Rene David dan Brierly
pada
masalah
(1) Berguna dalam penelitian hukum yang bersifat
historis dan filosofis;
(2) Penting untuk memahami lebih baik dan untuk
mengembangkan hukum nasional kita sendiri;
(3) Membantu
dalam
mengembangkan
pemahaman terhadap bangsa-bangsa lain dan
oleh karena itu, memberikan sumbangan untuk
menciptakan hubungan/suasana yang baik bagi
perkembangan hubungan internasional.
c) Tahir Tungadi
(1) Berguna untuk unifikasi dan kodifikasi nasional,
regional maupun internasional;
(2) Berguna
untuk
konvensi
harmonisasi
internasional
hukum,
dengan
antara
peraturan
perundangan nasional;
(3) Untuk
pembaharuan
memperdalam
hukum
pengetahuan
yakni
dapat
tentang
hukum
nasional dan dapat secara objektif melihat
kebaikan dan kekurangan hukum nasional;
(4) Untuk menentukan asas-asas umum dari hukum
(terutama bagi para hakim pada pengadilan
internasional). Hal ini penting dalam menentukan
the general principles of law yang merupakan
sumber
yang
penting
dari
hukum
public
internasional;
(5) Sebagai ilmu pembantu bagi hukum perdata
internasional, misalnya dalam hal ketentuan HPI
suatu negara menunjuk kepada ketentuan hukum
asing yang harus diberlakukan dalam suatu kasus;
(6) Diperlukan
dalam
penasihat-penasihat
program
hukum
pendidikan
pada
bagi
lembaga
perdagangan
internasional
dan
kedutaan-
kedutaan, misalnya untuk dapat melaksanakan
traktat-traktat internasional.
d) Menurut Ade Maman Suherman
Perbandingan sistem hukum ditujukan untuk
memperoeh
suatu
pemahaman
yang
comprehensive tentang semua sistem hukum yang
eksis secara global dan paling tidak diperoleh
manfaat:
(1) Manfaat
internal,
dengan
mempelajari
perbandingan sistem hukum dapat memahami
potret budaya hukum negaranya sendiri dan
mengadopsi hal-hal yang positif dari sistem hukum
asing guna pembangunan hukum nasional;
(2) Manfaat
eksternal,
baik
individu,
organisasi
maupun negara dapat mengambil sikap yang
tepat
dalam
dengan
melakukan
negara
lain
hubungan
yang
hukum
berlainan
sistem
hukumnya;
(3) Untuk kepentingan harmonisasi hukum dalam
pembentukan hukum supranasional.
Sedangkan
Soerjono
Soekanto
(1986
:
263)
mengemukakan bahwa kegunaan dari penerapan
perbandingan
hukum
antara
lain
memberikan
pengetahuan tentang persamaan dan perbedaaan
antara pelbagai bidang tata hukum dan pengertian
dasar sistem hukum. Dengan pengetahuan tersebut,
maka
lebih
mudah
untuk
mengadakan
unifikasi,
kepastian hukum maupun penyederhanaan hukum.
Hasil-hasil
bermanfaat
perbandingan
bagi
hukum
penerapan
akan
hukum
sangat
di
suatu
masyarakat majemuk seperti Indonesia, terutama untuk
mengetahui
bidang-bidang
mana
yang
dapat
diunifikasikan dan bidang manakah yang harus diatur
dengan hukum antartata hukum.
Adapun
tujuan
mempelajari
perbandingan
hukum menurut Prof. R. Subekti yaitu kita tidak sematamata ingin mengetahui perbedaan-perbedaan itu,
tetapi yang penting adalah untuk mengetahui sebabsebab adanya perbedaan-perbedan tesebut. Untuk itu,
kita perlu mengetahui latar belakang dari peraturanperaturan hukum yang kita jumpai.
2.
Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun
1974
a. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut UU N0. 1 Tahun
1974
1) Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir
adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya
suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan dan
wanita untuk hidup bersama, atau dengan kata lain disebut
“hubungan formil”. Hubungan formil ini nyata dan mengikat
pihak
yang
bersangkutan
maupun
orang
lain
dan
masyarakat. Ikatan batin adalah hubungan yang tidak
formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat tapi harus ada.
Karena, tanpa ikatan batin, maka ikatan lahir akan rapuh.
(K. Wantjik Saleh, 1980 : 14-15).
2)
Tujuan Perkawinan
Dari pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, maka tujuan perkawinan
adalah
membentuk
keluarga
(rumah
tangga)
yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Dari tujuan perkawinan di atas berarti: perkawinan
berlangsung seumur hidup, cerai diperlukan syarat-syarat
yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami istri
saling
membantu
untuk
mengembangkan
diri.
Suatu
keluarga akan bahagia jika kebutuhan pokok jasmani dan
rohaninya terpenuhi. (Salim H.S., 2003 : 62).
3) Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 s.d.
Pasal 7 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Dalam pasal-pasal
tersebut ditentukan dua syarat perkawinan, yaitu syarat
intern dan syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat yang
berkaitan
dengan
pihak
yang
akan
melaksanakan
perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah syarat yang
berkaitan dengan formalitas-formalitas dalam pelaksanaan
perkawinan.
Adapun
kedua
syarat
tersebut
dapat
dijelaskan di bawah ini (Salim H.S., 2003 : 62-63).
Syarat-syarat intern perkawinan adalah:
a) Persetujuan kedua belah pihak;
b) Izin
dari
kedua
orang
mencapai umur 21 tahun;
tua
apabila
belum
c) Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16
tahun, kecuali ada dispensasi dari pengadilan
atau camat atau bupati;
d) Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin;
e) Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus
lewat masa tunggu
(iddah). Bagi wanita yang
putus perkawinannya karena perceraian, masa
iddah-nya 90 hari, dan jika karena kematian 130
hari.
Syarat-syarat ekstern perkawinan adalah:
a) Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat
Nikah, Talak, dan Rujuk;
b) Pengumuman,
yang
ditandatangani
oleh
Pegawai Pencatat yang memuat:
(1) Nama,
pekerjaan,
umur,
tempat
agama/kepercayaan,
kediaman
dari
calon
mempelai dan dari orang tua calon. Selain
itu, disebutkan juga nama istri atau suami
yang terdahulu;
(2) Hari, tanggal, jam, dan tempat perkawinan
dilangsungkan.
Jika syarat-syarat di atas, baik syarat intern maupun
syarat
ekstern
terpenuhi,
maka
perkawinan
dapat
dilangsungkan.
4)
Sahnya Perkawinan
Suatu perkawinan dianggap sah apabila memenuhi
hal-hal berikut ini, yaitu (Salim H.S., 2003 : 64-65) :
a) Telah dilangsungkan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing (Pasal 2 ayat (1) UU No.
1 Tahun 1974);
b) Dicatat menurut peraturan perundang-undangan
(Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974).
Perkawinan dilangsungkan menurut hukum agama
dan
kepercayaan
masing-masing
bertujuan
untuk
menghindari konflik hukum antara hukum adat, hukum
agama, dan hukum antargolongan. Sedangkan tujuan
pencatatan perkawinan adalah:
a) Untuk menjadikan peristiwa perkawinan menjadi jelas,
baik oleh yang bersangkutan maupun pihak lain;
b) Sebagai alat bukti bagi anak-anaknya di kemudian
hari jika timbul sengketa antara anak kandung dan
anak tiri;
c) Sebagai dasar pembayaran tunjangan istri atau
suami bagi Pegawai Negeri Sipil.
5) Akta Perkawinan
Akta perkawinan dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun
1974 diatur dalam Pasal 11 dan 12 PP No. 9 Tahun 1975.
(Djaja S. Meliala, 2003 : 56).
Akta perkawinan adalah bukti suatu perkawinan.
Akta perkawinan itu dianggap sah, kecuali kalau dapat
dibuktikan adanya kepalsuan. Sebagai alat bukti, maka
akta perkawinan memiliki tiga sifat, yaitu:
a) Sebagai satu-satunya alat bukti yang memiliki arti
mutlak;
b) Sebagai alat bukti penuh, artinya, di samping akta
perkawinan itu tidak dapat dimintakan alat-alat bukti
lain;
c) Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa sehingga
bukti
lawannya
tidak
dapat
melemahkan
akta
perkawinan itu.
6)
Akibat Perkawinan
Perkawinan membawa akibat bagi pihak yang
melangsungkannya dan pihak lain yang berkaitan. Dalam
peraturan perundang-undangan, perkawinan membawa
tiga akibat, yaitu:
a) Adanya hubungan suami istri;
b) Hubungan orang tua dengan anak;
c) Masalah harta kekayaan.
Akibat perkawinan dalam masalah harta kekayaan
adalah adanya ketentuan hukum dalam masalah harta
perkawinan. Mengenai harta kekayaan perkawinan akan
dibahas dalam subbab tersendiri.
b) Tinjauan
Umum
Tentang
Harta
Kekayaan
Perkawinan
Menurut UU No. 1 Tahun 1974
Menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, harta
kekayaan perkawinan diatur dalam Pasal 35 s.d. Pasal 37.
Dalam ketentuan tersebut dibedakan antara harta bersama
dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang
diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan
masing-masing suami istri adalah harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Harta bawaan
di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang
para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2)) (Salim
H.S., 2003 : 75).
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat
bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan
harta bawaan masing-masing suami dan istri mempunyai
hak
sepenuhnya
untuk
melakukan
perbuatan
hukum
mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (1) dan (2)). Jika
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan
“hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum
adat, dan hukum lainnya (Hilman Hadikusuma, 1990 : 122123).
3.
Tinjauan Umum Tentang Hukum Islam
a.
Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun
fiqih dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bidang ibadah
(mahdhah) dan bidang muamalah (ghairu mahdhah).
Ibadah (mahdhah) adalah tata cara dan upacara yang
wajib dilakukan seseorang muslim dalam berhubungan
dengan Allah seperti menjalankan sholat, membayar zakat,
menjalankan ibadah haji. Tata cara dan upacara ini tetap
tidak dapat ditambah-tambah maupun dikurangi dimana
ketentuannya telah diatur dengan pasti oleh Allah dan
dijelaskan oleh Rasul-Nya. Dengan demikian tidak mungkin
ada proses yang membawa perubahan dan perombakan
secara asasi mengenai hukum, susunan, cara dan tata cara
ibadat. Yang mungkin berubah adalah penggunaan alatalat modern dalam pelaksanaannya. Adapun muamalat
(ghairu mahdhah) dalam pengertian yang luas yakni
ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan
kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan tersebut
terbatas pada yang pokok-pokok saja. Karena itu sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad manusia yang
memenuhi syarat untuk melakukan usaha itu (Mohammad
Daud Ali, 1999 : 48-49).
Jika kita bandingkan hukum Islam bidang muamalah
dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum
privat (hukum perdata) dengan hukum publik, maka
sama halnya dengan hukum adat di tanah air kita, hukum
Islam tidak membedakan (dengan tajam) antara hukum
perdata dengan hukum publik. Ini disebabkan karena
menurut sistem hukum Islam pada hukum perdata
terdapat segi-segi publik dan pada hukum publik ada
segi-segi perdatanya.
Itulah sebabnya maka dalam hukum Islam tidak
dibedakan kedua bidang hukum ini. Yang disebutkan
adalah
bagian-bagiannya
saja
seperti
misalnya,
munakahat, wirasah, muamalat dalam arti khusus, jinayat
atau ukubat, al-ahkam as-sulthaniyah (khilafah), siyar,
dan mukhasamat (H.M. Rasjidi, dalam Muhammad Daud
Ali, 1999 : 50).
Apabila hukum Islam disistematikan seperti hukum
Eropa yaitu hukum perdata dan hukum publik, maka
hukum Islam dapat kita sistematikan berupa hukum
perdata Islam dan hukum publik Islam. Hukum perdata
Islam terdiri dari:
1)
Munakahat, yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian serta
akibat-akibatnya.
2)
Wirasah,
mengatur
segala
masalah
yang
berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta
peninggalan serta pembagian warisan.
3)
Muamalat, dalam arti yang khusus mengatur masalah
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan
manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa, pinjam
meminjam, perserikatan, dan sebagainya.
Sedangkan hukum publik Islam terdiri dari:
1)
Jinayat,
yang
memuat
perbuatan-perbuatan
aturan-aturan
yang
menenai
diancam
dengan
hukuman baik dalam jarimah hudud maupun dalam
jarimah ta’zir. Yang dimaksud dengan jarimah adalah
perbuatan pidana. Jarimah hudud adalah perbuatan
pidana yang telah ditentukan bentuk dan batas
hukumannya dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi
Muhammad (hudud jamak dari hadd = batas).
Jarimah ta’zir adalah perbuatan pidana yang bentuk
dan
ancaman
hukumannya
ditentukan
oleh
penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya.
2)
Al-ahkam as-sulthaniyah, membicarakan soal-soal
yang
berhubungan
pemerintahan,
baik
dengan
pemerintah
kepala
negara,
pusat
maupun
daerah, tentara, pajak, dan sebagainya.
3)
Siyar, mengatur urusan perang dan damai, tata
hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
4)
Mukhasamat, mengatur soal peradilan, kehakiman,
dan hukum acara (Mohammad Daud Ali,1999 : 51).
b) Tujuan dan Sumber Hukum Islam
Tujuan hukum Islam secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan pada manusia dan mendatangkan
kemaslahatan bagi mereka, mengarahkan mereka kepada
kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan akherat, dengan jalan mengambil segala
manfaat dan mencegah atau menolak yang madharat,
yakni yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan
manusia. Sedangkan Abu Ishaq as-Shatibi merumuskan lima
tujuan hukum Islam, yaitu memelihara agama, jiwa, akal,
keturunan dan harta yang disebut “maqashid al-khamsah”
(M. Farkhan M, 2006 : 56).
Adapun sumber hukum Islam yaitu:
1)
Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang
pertama dan utama. Ia memuat kaidah-kaidah
hukum fundamental (asasi) yang perlu dikaji
dengan teliti dan dikembangkan lebih lanjut.
2)
As-Sunnah (Al-Hadits)
As-Sunnah (Al-Hadits) adalah sumber hukum
Islam kedua setelah Al-Qur’an, berupa perkataan
(sunnah qauliyah), perbuatan (sunnah fi’liyah),
dan sikap diam (sunnah taqririyah atau sunnah
sukutiyah) Rasulullah yang tercatat (sekarang)
dalam
kitab-kitab
hadits.
Ia
merupakan
penafsiran serta penjelasan otentik tentang AlQur’an.
3)
Akal Pikiran (Ra’yu)
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah akal
pikiran (ra’yu) manusia yang memenuhi syarat
untuk
berusaha,
berikhtiar
dengan
seluruh
kemampuan yang ada padanya, memahami
kaidah-kaidah hukum yang fundamental yang
terdapat dalam Al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum
yang bersifat umum yang terdapat dalam sunnah
Nabi dan merumuskannya menjadi garis-garis
hukum yang dapat diterapkan pada suatu kasus
tertentu. Atau berusaha merumuskan garis-garis
atau kaidah hukum yang pengaturannya tidak
terdapat di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits.
Adapun
jalan atau cara yang digunakan di
antaranya, yaitu:
(1)
Ijmak, yaitu persetujuan atau kesesuaian
pendapat
para
ahli
mengenai
suatu
masalah pada suatu tempat di suatu masa.
(2)
Qiyas, yaitu menyamakan hukum suatu hal
yang tidak terdapat ketentuannya di dalam
Al-Qur’an dan as-Sunnah atau al-Hadits
dengan hal (lain) yang hukumnya disebut
dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul (yang
terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena
persamaan
illat
(penyebab
atau
alasannya).
(3)
Istidal, yaitu menarik kesimpulan dari dua
hal yang berlainan.
(4)
Mashalih
al-mursalah,
yaitu
cara
menemukan hukum sesuatu hal yang tidak
terdapat ketentuannya, baik dalam AlQur’an
maupun
kitab-kitab
hadits
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan
masyarakat atau kepentingan umum.
(5)
Istihsan, yaitu cara menemukan hukum
dengan jalan menyimpang dari ketentuan
yang
sudah
ada
demi
keadilan
dan
kepentingan sosial.
(6)
Istishab, yaitu menetapkan hukum sesuatu
hal
menurut
sebelumnya,
keadaan
sampai
yang
terjadi
ada
dalil
yang
‘urf
yang
tidak
mengubahnya.
(7)
Adat
istiadat
atau
bertentangan dengan hukum Islam dapat
dikukuhkan
masyarakat
tetap
terus
berlaku
yang
bagi
bersangkutan.
(Muhammad Daud Ali, 1999 : 100-111).
c.Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Menurut Hukum Islam
1) Pengertian Perkawinan
Menurut syari’at (hukum) Islam, hakikat perkawinan
adalah
akad
antara
calon
suami
istri
untuk
membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri,
yaitu akad antara calon laki (suami) istri untuk memenuhi
hajat
jenisnya
menurut
yang
diatur
oleh
syari’at.
Sedangkan yang dimaksud dengan akad adalah ijab
dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari
pihak calon suami atau wakilnya (Mahmud Yunus, 1977 :
1).
2) Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah
untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam
rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia
dengan
dasar
cinta
dan
kasih
sayang
untuk
mendapatkan keturunan yang sah dalam masyarakat
dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
syari’at (Ny. Soemiyati, 1986 : 12). Dengan kata lain,
tujuan perkawinan menurut hukum Islam ialah agar turut
(tunduk kepada) perintah Allah untuk memperoleh
turunan yang sah dalam masyarakat dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur (Mahmud Yunus,
1977 : 1).
3) Rukun dan Syarat Perkawinan
Rukun
dipenuhi
perkawinan
dalam
perkawinan
adalah
sesuatu
pelaksanaan
adalah
sesuatu
yang
perkawinan.
yang
harus
harus
Syarat
dipenuhi
sebelum pelaksanaan perkawinan.
Rukun perkawinan ada lima, yaitu:
a) Calon suami, dengan syarat: Islam, tidak dipaksa,
bukan mahramnya, tidak sedang haji atau umrah.
b) Calon istri, dengan syarat: Islam, bukan mahramnya,
tidak sedang haji atau umrah, tidak sedang dalam
masa iddah, tidak bersuami, mendapat izin wali.
c) Wali, dengan syarat: Islam, dewasa, sehat akalnya,
tidak fasik.
d) Dua orang saksi, dengan syarat: Islam, dewasa, sehat
akalnya, tidak fasik, hadir dalam akad perkawinan.
e) Ijab kabul, dengan syarat: dengan mengatakan
nikah atau zawaj (kawin), ada kecocokan antara ijab
dan kabul, berturut-turut (tidak dilakukan di lain
waktu), tidak ada syarat yang memberatkan dalam
pernikahan itu (Khuslan Haludi dan Abdurrahim Sa’id,
2004 : 135-136).
4) Sahnya Perkawinan
Dalam
hukum
Islam,
nikah
dianggap
sah
jika
memenuhi rukun-rukun perkawinan, yaitu (Abu Bakr Jabir alJazairi, 2006 : 575-577):
a) Adanya wali nikah;
b) Adanya dua orang saksi;
c) Adanya akad nikah;
d) Adanya mahar.
5) Akta Perkawinan
Dalam
hukum
Islam
tidak
secara
tegas
sebuah
perkawinan harus dicatat dalam sebuah akta perkawinan,
tetapi jika akta perkawinan itu memberikan maslahat
(kebaikan) bagi para pihak, maka hukum Islam juga tidak
melarang perkawinan dicatat dalam akta perkawinan. Hal
yang demikian itu termasuk hal yang mubah (boleh
dilakukan).
6) Akibat Perkawinan
Perkawinan menurut hukum Islam membawa tiga
akibat, yaitu:
a) Adanya hubungan suami istri;
b) Hubungan orang tua dengan anak;
c) Masalah harta kekayaan.
d. Tinjauan Umum Tentang Harta Kekayaan Perkawinan Menurut
Hukum Islam
Hukum Islam tidak mengatur tentang harta bersama
dan harta bawaan ke dalam ikatan perkawinan. Yang ada
hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau
wanita
serta
berlangsung.
maskawin
Dalam
(mahar)
Al-Qur’an
ketika
terdapat
perkawinan
ayat
yang
menyatakan:
“... Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan ....”
(Q.S. an-Nisa’: 32)
Ayat
tersebut
bersifat
umum,
tidak
ditujukan
terhadap suami atau istri. Dengan demikian, tidak ditujukan
kepada suami istri saja, melainkan kepada semua pria dan
wanita. Jika mereka berusaha dalam kehidupannya seharihari, maka hasil usaha mereka merupakan harta pribadi
yang dimiliki dan dikuasai oleh pribadi masing-masing.
Dalam kaitannya dengan perkawinan, ayat tersebut
dapat dipahami bahwa ada kemungkinan dalam suatu
perkawinan akan ada harta bawaan dari istri yang terpisah
dari harta suami. Masing-masing suami dan istri menguasai
dan memiliki hartanya sendiri-sendiri. Sedangkan harta
bersama (harta pencarian) milik bersama suami istri tidak
ada, dan harta bawaan istri itu kemudian bertambah
dengan maskawin yang diterimanya dari suaminya (Hilman
Hadikusuma, 1990 : 126-127).
4. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
a. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Menurut Hukum Perdata
Masalah perjanjian masuk dalam lingkup hukum
perdata yang terdapat dalam KUH Perdata, dan tidak
terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974. Namun demikian, UU
No. 1 Tahun 1974 yang mengatur perjanjian perkawinan
masih tetap memiliki hubungan dengan KUH Perdata
terhadap masalah-masalah yang di UU No. 1 Tahun 1974
tidak diatur. Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang
merupakan salah satu bentuk perjanjian, pada prinsipnya
mengikuti ketentuan KUH Perdata selama tidak diatur dalam
UU No. 1 Tahun 1974. Dalam hal ini, masalah tinjauan
mengenai “perjanjian” didasarkan pada KUH Perdata.
Yang dimaksud dengan perjanjian menurut Pasal
1313 KUH Perdata yaitu “suatu perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.”
Prof. Subekti menyatakan bahwa perjanjian adalah
suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain
atau
di
mana
dua
orang
itu
saling
berjanji
untuk
melaksanakan suatu hal (Subekti, 1976 : 1)
Menurut pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya
perjanjian
diperlukan
empat
syarat,
yaitu:
adanya
kesepakatan para pihak, kecakapan para pihak, mengenai
suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal (Subekti,
2001 : 339).
Dua syarat pertama merupakan syarat subyektif
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang
mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir
adalah syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya itu
sendiri
atau
obyeknya
dari
perbuatan
hukum
yang
dilakukan. Suatu perjanjian batal demi hukum jika syarat
subyektif tidak terpenuhi, dan suatu perjanjian dapat
dibatalkan jika syarat obyektif tidak terpenuhi.
Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dsapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak yang berjanji, atau karena
alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup
untuk itu. Selain itu, suatu perjanjian hendaknya dibuat
dengan itikad baik dari pihak yang berjanji (Pasal 1338 KUH
Perdata).
Dalam KUH Perdata terkandung asas-asas perjanjian,
yaitu:
1) Asas kebebasan berkontrak;
2) Asas konsensualisme;
3) Asas kekuatan mengikat;
4) Asas persamaan hukum;
5) Asas kepastian hukum;
6) Asas kebiasaan;
7) Asas itikad baik;
8) Asas kepercayaan.
b. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam, perjanjian termasuk dalam
lapangan muamalah yang diperbolehkan. Ayat Al-Qur’an
menyatakan:
"Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya." (Q.S. Al Isrâ' : 34)
Dalam
kitab
Fiqhu
as-Sunnah,
Sayyid
Sabiq
mengemukakan bahwa disyaratkan pada janji (perjanjian)
yang wajib dihormati dan dipenuhi, hal-hal berikut ini, yaitu :
1)
Tidak
menyalahi
hukum
syariat
yang
disepakati
adanya.
Sabda Rasulullah saw. :
"Segala bentuk persyaratan yang tidak ada
dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun seribu
syarat."
Yang dimaksud dengan 'kitab Allah' dalam pengertian
di atas adalah hukum Allah, yaitu syariat (hukum) Islam.
2)
Harus sama-sama ridha (rela, ikhlas) dan ada pilihan
(tidak
dalam
paksaan)
karena
sesungguhnya
pemaksaan menafikan kemauan dan tidak ada
penghargaan terhadap akad (perjanjian) yang tidak
memenuhi keabsahannya.
3)
Harus
jelas
dan
gamblang,
tidak
samar
dan
tersembunyi, sehingga tidak diinterpretasikan kepada
suatu
interpretasi
kesalahpahaman
yang
pada
bisa
menimbulkan
waktu
penerapannya
(pelaksanaannya) (Sayyid Sabiq, 1978 : 196).
Dalam hukum Islam sebuah janji harus dipenuhi dengan baik.
Penghormatan
teerhadap
perjanjian
menurut
Islam
hukumnya wajib, melihat pengaruhnya yang positif dan
perannya yang besar dalam memelihara perdamaian dan
melihat
urgensinya
dalam
mengatasi
kemusykilan,
menyelesaikan perselisihan dan menciptakan kerukunan.
Dalam Al-Qur'an dinyatakan mengenai perjanjian:
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu." (Q.S.
Al Mâ'idah : 1)
"Dan penuhilah janji. Sesungguhnya janji itu pasti diminta
pertanggungjawabannya." (Q.S. Al Isrâ' : 34)
5. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan
a. Tinjuan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan Menurut UU
No. 1 Tahun 1974
1) Pengertian Perjanjian Perkawinan
Ada beberapa istilah untuk perjanjian perkawinan
yang
digunakan,
antara
lain
“perjanjian
kawin”,
“perjanjian pranikah” atau dalam Burgelijk Wetboek
disebut
“huwelijksvoorwaarden”,
sedangkan
dalam
bahasa Inggris disebut “prenuptial agreement”.
Pengertian perjanjian perkawinan menurut Pasal 29
ayat (1) UU No. 1 Tahun 1074 adalah perjanjian bersama
secara tertulis antara calon suami istri pada waktu atau
sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh
Pegawai pencatat perkawinan di mana isinya berlaku
juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.
Menurut Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., perjanjian
perkawinan adalah “perjanjian yang dibuat oleh calon
suami
istri
sebelum
dilangsungkan
atau
untuk
pada
saat
mengatur
perkawinan
akibat-akibat
perkawinan terhadap harta benda mereka”. (Titik
Triwulan Tutik, 2006 : 128). Sedangkan Salim H.S., S.H., M.S.
mengartikan perjanjian perkawinan sebagai “perjanjian
yang dibuat oleh calon pasangan suami istri sebelum
atau
pada saat perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan
mereka”. (Salim H.S., 2003 : 72).
2) Pengaturan Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan diatur dalam KUH Perdata, UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan Inpres No. 1 Tahun
1991. Dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 139 s.d.
Pasal 154,
sedangkan dalam UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974 diatur dalam Pasal 29, dan dalam Inpres No.
1 Tahun 1991 diatur dalam Pasal 45 s.d. 51.
3) Alasan dan Maksud Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dibuat untuk memperjanjikan
hal-hal yang ingin diperjanjikan oleh pasangan calon
suami istri setelah perkawinan berlangsung. Secara
umum, suatu perjanjian perkawinan dibuat dengan
alasan sebagai berikut (Titik Triwulan Tutik, 2006 : 129) :
a) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang
lebih besar pada salah satu pihak daripada pihak
yang lain;
b) Kedua
belah
pihak
masing-masing
membawa
masukan (aanbrengst) yang cukup besar;
c) Masing-masing
mempunyai
usaha
sendiri-sendiri
sehingga andaikata salah satu jatuh (failliet), yang
lain tidak tersangkut;
d) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum
kawin,
masing-masing
sendiri-sendiri.
akan
bertanggunggugat
Maksud pembuatan perjanjian perkawinan adalah
untuk
mengadakan
penyimpangan
terhadap
ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama
(Pasal 119 KUH Perdata). Dengan demikian para pihak
bebas menentukan bentuk hukum yang dikehendaki
atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.
Alasan
diserahkan
dan
maksud
kepada
perjanjian
para
pihak,
perkawinan
asalkan
tidak
melanggar tata susila yang baik atau tata tertib umum
dan beberapa hal yang ditentukan dalam KUH Perdata
(Pasal 139 KUH Perdata), tidak melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974).
4) Waktu dan Berlakunya Isi Perjanjian Perkawinan
Dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
disebutkan bahwa perjanjian perkawinan dilakukan
pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
(Pasal 29 ayat (1)). Perjanjian perkawinan tersebut
berlaku sejak perkawinan dilangsungkan dan selama
perkawinan
berlangsung,
perjanjian
tersebut
tidak
dapat diubah kecuali bila dari kedua belah pihak (suami
istri) ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan
tidak merugikan pihak ketiga (Pasal 29 ayat (3) dan (4)).
Isi perjanjian perkawinan berlaku bagi pihak yang
mengadakan
perjanjian,
yaitu
suami
istri
yang
bersangkutan, juga berlaku bagi pihak ketiga yang
bersangkutan pula (Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan No.
1 Tahun 1974).
5) Isi dan Sahnya Perjanjian Perkawinan
Berdasarkan pengertian perjanjian perkawinan yang
telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa isi
perjanjian perkawinan adalah memperjanjikan masalah
harta kekayaan suami istri yang bersangkutan. Namun
demikian, jika melihat pasal-pasal yang mengatur
perjanjian perkawinan UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
maka isi perjanjian tidak hanya mengatur masalah harta
kekayaan, tapi boleh juga mengatur hal lain selain harta
kekayaan. Isi perjanjian perkawinan mengenai hal lain
selain harta kekayaan tidak dibatasi dan sangat luas.
Hal tersebut tetap sah asalkan tidak melanggar tertib
umum, batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan
(Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).
Mengenai isi perjanjian perkawinan, UU Perkawinan
tidak
membahas,
yang
ada
bahwa
perjanjian
perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum,
agama, dan kesusilaan. Dengan demikian, mengenai isi
perjanjian perkawinan diserahkan kepada pejabatpejabat
umum
yang
memiliki
wewenang
untuk
memberikan penafsirannya. (Titik Triwulan Tutik, 2006 :
130-131).
Dalam peraturan pelaksanaan UU Perkawinan sendiri,
yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975,
sepanjang
mengenai
mengatur
lebih
pembatasan
apakah
Sehingga
apa
mengenai
dengan
perjanjian
lanjut
saja
harta
perkawinan
tentang
yang
demikian,
pembatasan-
dapat
benda
tidak
diperjanjikan,
atau
sepanjang
yang
lain.
mengenai
perjanjian perkawinan luas sekali perumusannya yang
dapat ditafsirkan banyak berbagai hal. (Soedaryo
Soimin, 2002 : 20).
Tidak
ditentukan
perjanjian
itu
mengenai
apa,
umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada
pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa
perjanjian
tersebut
luas
sekali,
dapat
mengenai
berbagai hal. Dalam penjelasan pasal 29 UU Perkawinan
No. 1 Tahun 1974 hanya disebutkan bahwa yang
dimaksud “perjanjian” itu tidak termasuk “ta’lik talak”. (K.
Wantjik Saleh, 1980 : 32).
Asas
kebebasan
kedua
belah
pihak
dalam
menentukan isi perjanjian perkawinan dibatasi oleh
ketentuan-ketentuan sebagai berikut (Titik Triwulan Tutik,
2006 : 131) :
a) Tidak
membuat
janji-janji
(bedingen)
yang
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban
umum;
b) Perjanjian perkawinan tidak boleh mengurangi hakhak
karena
kekuasaan
suami,
hak-hak
karena
kekuasaan orang tua, hak-hak suami istri yang hidup
terlama;
c) Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan
hak atas peninggalan;
d) Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan
memikul hutang lebih besar daripada bagiannya
dalam aktiva;
e) Tidak dibuat janji-janji bahwa harta perkawinan akan
diatur oleh undang-undang negara asing.
6) Prosedur dan Bentuk Perjanjian Perkawinan
Prosedur perjanjian perkawinan adalah dibuat oleh
kedua
belah
pihak
calon
suami
istri
dengan
kesepakatan bersama secara tertulis yang dilakukan
pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
dengan disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
(Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974).
Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan
tidak dapat diubah kecuali jika dari kedua belah pihak
ada perjanjian untuk mengubah dan tidak merugikan
pihak ketiga (Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan No. 1
Tahun 1974).
b. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Perkawinan Menurut
Hukum Islam
Dalam hukum Islam, walaupun tidak dinyatakan
secara tegas sebelum atau ketika perkawinan berlangsung
dapat diadakan
hadis
Nabi
perjanjian
Muhammad,
perkawinan
namun
dalam
berdasarkan
penerapan
perjanjian sebagai syarat perkawinan terdapat beberapa
pendapat mengenai hal itu di kalangan ulama mazhab
Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqhu as-Sunnah,
mengemukakan penjelasan mengenai ijab kabul yang
disertai dengan syarat beserta siapa yang berpendapat
seperti itu. Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa apabila dalam
ijab kabul diiringi dengan suatu syarat, baik syarat itu masih
termasuk dalam rangkaian perkawinan, atau menyalahi
hukum perkawinan, atau mengandung manfaat yang akan
diterima oleh perempuannya, atau mengandung syarat
yang dilarang oleh agama, maka masing-masing syarat
tersebut mempunyai ketentuan hukum tersendiri yang
secara ringkas disebutkan di bawah ini, yaitu:
1) Syarat yang wajib dipenuhi.
Syarat yang wajib dipenuhi yaitu yang termasuk
dalam rangkaian dan tujuan perkawinan serta tidak
mengandung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan
Rasul-Nya, seperti: menggauli dengan baik; memberikan
nafkah/belanja, pakaian, dan tempat tinggal yang
pantas; tidak mengurangi sedikit pun hak-haknya dan
memberikan bagian kepadanya sama dengan istriistrinya yang lain (jika ta‘addud atau poligami); tidak
boleh keluar rumah suaminya kecuali jika diizinkan; tidak
mencemarkan suaminya; tidak berpuasa sunnah kecuali
jika diizinkan suaminya; tidak menerima tamu orang lain
di rumah suaminya kecuali dengan izin suami; dan tidak
membelanjakan harta suaminya kecuali dengan izin
suami; dan lain sebagainya.
2) Syarat yang tidak wajib dipenuhi.
Di antara syarat yang tidak wajib dipenuhi tetapi
akad nikahnya sah, yaitu syarat yang menyalahi hukum
perkawinan, seperti: tidak memberi nafkah/belanja;
tidak mau
bersetubuh atau
memisahkan
diri
dari
kawin tanpa mahar;
istrinya;
istrinya
yang
harus
memberikan nafkah atau memberi sesuatu hadiah
kepada
suaminya;
dalam
sepekan
hanya
tinggal
bersama semalam atau hanya mau tinggal dengan
istrinya di siang hari, tidak di malam harinya.
Syarat-syarat di atas semuanya batal dengan
sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum perkawinan
dan mengandung hal-hal yang mengurangi hak-hak
suami istri sebelum ijab kabul. Oleh karena itu, tidak sah,
sebagaimana kalau seorang Syafi'i yang mengurangi
hak-hak barang Syuf'ahnya sebelum dijual.
Adapun akadnya sendiri tetap sah, karena syaratsyaratnya
tadi
berada
di
luar
ijab
kabul,
yang
menyebutnya tidak berguna dan tidak disebutnya pun
tidaklah merugikan. Oleh karena itu, akadnya tidak
batal, sebagaimana kalau disyaratkan mahar yang
haram waktu ijab kabul. Sebab, pernikahan seperti ini
tetap sah, sekalipun tidak disebut apa yang nanti harus
menjadi mas kawinnya. Jadi, ijab kabul dengan adanya
syarat yang batal itu tetap sah.
3) Syarat-syarat yang hanya untuk perempuannya.
Di antara syarat-syarat yang guna dan faedahnya
untuk perempuannya saja, seperti: suaminya tidak boleh
menyuruh
dia
keluar
dari
rumah
atau
kampung
halamannya; tidak mau pergi bersamanya; atau tidak
mau dimadu; dan lain sebagainya.
Dalam hal ini terdapat dua pendapat. Pendapat
pertama,
segolongan
ulama
berpendapat
bahwa
nikahnya tetap sah dan syarat-syarat tersebut tidak
berlaku, dan suaminya tidak harus memenuhinya.
Pendapat kedua, segolongan ulama lain berpendapat
bahwa wajib memenuhi apa yang sudah disyaratkan
kepada istrinya, dan jika tidak dipenuhi, maka istrinya
berhak minta fasakh.
Pendapat
pertama
merupakan
paham
Abu
Hanifah, Syafi'i, dan sebagian besar ulama. Alasan
mereka berpendapat demikian adalah sebagai berikut :
Rasulullah saw. pernah bersabda :
"Orang Islam itu terikat dengan syarat-syarat
(perjanjian) mereka, kecuali jika syarat tersebut
menghalalkan yang haram, atau mengharamkan
yang halal."
Mereka
mengatakan
bahwa
syarat
yang
mengharamkan yang halal tersebut di atas, yaitu:
bermadu (ta‘addud atau poligami), melarang keluar
rumah dan pergi bersama, yang kesemuanya ini
dihalalkan oleh agama.
Sabda Rasulullah saw. :
"Segala bentuk persyaratan yang tidak ada
dalam kitab Allah adalah batil, sekalipun seribu
syarat."
Mereka mengatakan bahwa syarat di atas tidak ada
dalam
kitab
Allah,
karena
memang
tidak
ada
ketentuannya dalam agama. Mereka juga mengatakan
bahwa syarat-syarat tersebut di atas tidak mengandung
kemaslahatan dalam perkawinan dan tidak pula masuk
dalam rangkaiannya.
Adapun pendapat kedua adalah paham Umar
bin Khattab, Sa‘ad bin Abi Waqash, Mu‘awiyah, ‘Amru
bin ‘Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus,
Auza‘i, Ishaq, dan golongan Hambali. Alasan mereka
berpendapat demikian adalah sebagai berikut :
Firman Allah ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu."
(Q.S. Al Mâ'idah : 1)
Sabda Rasulullah saw. :
"Orang Islam itu terikat dengan syarat-syarat
(perjanjian) mereka."
Hadis Bukhari, Muslim, dan lain-lain yang diriwayatkan
dari ‘Uqbah bin ‘Amir, Rasulullah saw. bersabda :
"Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu
yang menjadikan halalnya hubungan kelamin
(persetubuhan) bagi kamu."
Maksud dari hadis di atas adalah bahwa perjanjian yang
paling patut untuk ditunaikan ialah perjanjian dalam
perkawinan,
kerena
masalahnya
paling
sungguh-
sungguh dan paling berat.
Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya
sendiri, pernah seorang laki-laki kawin dengan seorang
perempuan dengan janji tetap tinggal di rumahnya.
Kemudian, suaminya bermaksud mengajaknya pindah.
Lalu, mereka (keluarganya) mengadukan kepada Umar
bin Khattab. Maka, Umar bin Khattab memutuskan
bahwa perempuan itu berhak atas janji suaminya. Di sini,
hak suami atas istri batal karena ada perjanjian.
Selain itu, karena janji-janji yang diberikan oleh suami
kepada
maksud,
perempuan
yang
menghalangi
mengandung
asalkan
perkawinan.
manfaat
maksudnya
Maka,
sah
tadi
dan
tidak
hukumnya,
sebagaimana kalau perempuan mensyaratkan agar
suaminya mau membayar maharnya lebih tinggi lagi.
Ibnu Qudamah menguatkan pendapat (kedua)
ini dan melemahkan pendapat yang pertama. Ia
berkata: “Adapun pendapat
yang kami dengar dari
para sahabat (Nabi saw.) setahu kami tidak ada yang
berlainan di zaman mereka itu, bahkan sudah menjadi
ijmak.” Rasulullah saw. pun bersabda : "Setiap syarat
yang tidak ada di dalam agama Allah adalah batal,
sekalipun ada seratus syarat." Maksudnya, syarat yang
tidak
ada
dalam
hukum
Allah dan agama-Nya.
Padahal, masalah ini (perjanjian dalam perkawinan)
hukumnya boleh sebagaimana telah kami terangkan
alasan-alasan yang membolehkannya, dan alasanalasan
yang
menyalahi
pendapat
yang
mengatakannya boleh. Karena itu, orang yang menolak
pendapat tersebut haruslah memberikan dalil-dalilnya.
Jika mereka berkata bahwa perjanjian seperti di
atas itu berarti mengharamkan yang halal, maka kami
jawab : bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi
maksudnya untuk memberikan kepada perempuan hak
meminta
fasakh
bilamana
si
suami
tidak
dapat
memenuhi persyaratan yang diterimanya. Dan, jika
mereka berkata bahwa hal itu tidak ada maslahatnya,
maka kami jawab : hal itu tidak benar, bahkan hal itu
merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuannya,
karena apa yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu
pihak yang mengadakan akad berarti pula menjadi
maslahat di dalam akadnya.
Pendapat Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa
bagi orang yang berakal sehat, apabila mengadakan
perjanjian, yang perjanjian itu mengandung kebaikan
bagi tujuan yang hendak dicapainya, tidaklah ia akan
mau mundur atau mengkhianatinya. Seperti batas
waktu pinjam-meminjam barang, membayar harga
barang-barang tertentu
yang terjadi di beberapa
tempat, menjelaskan keadaan barang-barang yang
dijualbelikan,
dan
keterampilan
tertentu
yang
disyaratkan kepada salah seorang dari suami istri.
Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada
dibiarkan tanpa syarat, atau bahkan lebih berguna lagi
daripada kalau tidak diberi syarat sama sekali.
4) Syarat-syarat yang dilarang agama.
Ada syarat-syarat yang oleh agama dilarang dan
diharamkan untuk menepatinya, yaitu perempuan yang
mensyaratkan
kepada
suaminya
agar
mentalak
madunya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah melarang seorang
laki-laki meminang pinangan saudaranya, atau membeli
barang yang akan dibeli saudaranya, dan perempuan
yang minta madunya ditalak agar dia dapat mengambil
sepenuhnya piring atau bejana bagian saudaranya,
padahal rezekinya itu sudah ada dalam ketetapan
Allah. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam lafazh lain, riwayat Bukhari dan Muslim
dikatakan, Nabi melarang perempuan mensyaratkan
madunya ditalak.
Dari
Abdullah
bin
Umar,
Rasulullah
pernah
bersabda :
"Tidak halal bagi perempuan yang dikawin
dengan meminta lainnya agar ditalak." (H.R.
Ahmad)
Larangan hadis tersebut menunjukkan batalnya
perbuatan yang dilarang, oleh karena perempuan itu
mensyaratkan kepada suaminya untuk menceraikan
madunya, menggugurkan hak memadu
dan hak
madunya. Maka, syaratnya tidak sah sebagaimana
kalau
dia
mensyaratkan
kepada
suaminya
agar
membatalkan jual belinya.
Apa
bedanya
antara
perempuan
yang
mensyaratkan agar suaminya tidak kawin dengan
perempuan lain, dengan mentalak madunya, di mana
yang pertama dibolehkan, sedangkan yang kedua
dibatalkan?
Jawaban Ibnu Qayyim tentang masalah tersebut
menyatakan bahwa perbedaan antara kedua hal di
atas, karena meminta agar madunya diceraikannya
berarti merugikan perempuan lain, menyakitkan hatinya,
merusak rumah tangganya, memberikan kesempatan
kepada musuh-musuh untuk menghinanya, karena dia
ditinggalkan untuk kawin dengan orang lain. Karena
itulah, agama membedakan hukum kedua hal tersebut,
dan mengqiaskan yang pertama kepada yang kedua
dalam perkara ini hukumnya batal.
Kesimpulan dari penjelasan di atas adalah tidak
diperbolehkannya melakukan perjanjian sebagai syarat
perkawinan
yang
syarat-syarat
tersebut
dilarang
agama.
B.
Kerangka Pemikiran
Perbandingan hukum atau dalam istilah asingnya disebut
comparative law dapat diartikan bahwa titik berat bahasannya
adalah pada perbandingannya atau comparative, dalam hal ini
kalimat
comparative
dibandingkan).
Istilah
memberikan
sifat
perbandingan
kepada
hukum
hukum
dengan
(yang
demikian
menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi
hukumnya. Inti sedalamnya dari pengertian istilah perbandingan
hukum
adalah
membandingkan
sistem-sistem
hukum
(Romli
Atmasasmita, 2000 : 7).
Dalam berbagai pendapat para tokoh hukum, diskusi mengenai
perbandingan hukum ini membentuk polarisasi pengertian. Di satu sisi
para tokoh hukum berpendapat bahwa perbandingan hukum
merupakan suatu metode, sedangkan di sisi lain para tokoh hukum
yang tidak sependapat menggolongkan perbandingan hukum
sebagai cabang ilmu pengetahuan. Pada intinya, kedua pandangan
mengenai perbandingan hukum ini sebenarnya mengerucut pada
tujuan yang sama yaitu menghasilkan suatu pembaharuan hukum
(Indianto Suhardi, 2005 : 42).
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian tertulis antara calon
suami istri sebelum atau pada waktu pernikahan dilangsungkan
dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap
harta benda mereka maupun masalah lain selain harta benda. Salah
satu
hal
penting
yang
perlu
diperhatikan
dalam
perjanjian
perkawinan adalah peraturan hukum yang dijadikan pedoman
dalam perjanjian perkawinan tersebut, karena perjanjian perkawinan
akan menimbulkan konsekuensi hukum (akibat hukum) seperti hak
dan kewajiban, baik bagi suami dan istri maupun konsekuensi hukum
terhadap pihak ketiga yang bersangkutan.
Dalam
penelitian
ini,
penulis
mencoba
menggunakan
perbandingan hukum untuk membandingkan UU No. 1 Tahun 1974
dengan sistem hukum Islam dalam melihat bentuk-bentuk hubungan
hukum dalam perjanjian perkawinan. Sehingga, dari judul penelitian
yang diangkat penulis, yaitu “STUDI PERBANDINGAN HUKUM HARTA
KEKAYAAN
PERKAWINAN
DALAM
PERJANJIAN
PERKAWINAN
BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM”, kerangka
pemikirannya dapat disusun sebagai berikut:
Harta Kekayaan
Perkawinan
·
·
·
Ketentuan harta kekayaan
perkawinan
Ketentuan harta kekayaan
perkawinan jika ada perjanjian
perkawinan
Akibat hukum terhadap harta
kekayaan perkawinan jika ada
Hukum Islam
Al-Qur’an
UU No. 1 Tahun 1974
as-Sunnah
Persamaan dan
Perbedaan
Pembaharuan
hukum, Unifikasi
hukum, Harmonisasi
Gambar 1 : Kerangka Pemikiran Penelitian
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun
1974 dan Hukum Islam
1. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan UU No. 1
Tahun 1974
Masalah harta benda atau harta kekayaan merupakan
masalah pokok dalam pekawinan yang dapat menimbulkan
pelbagai perselisihan dalam perkawinan, sehingga akan
menghilangkan
kerukunan
hidup
berumah
tangga.
Menginngat pentingnya masalah tersebut, UU No. 1 tahun 1974
tentang
Perkawinan
memberikan
ketentuan-ketentuan
masalah harta kekayaan perkawinan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 (K. Wantjik Saleh, 1976
: 35)
Adapun ketentuan mengenai harta kekayaan perkawinan
dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974
adalah sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Harta
benda
yang
diperoleh
selama
perkawinan
menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
Pasal 36
(1) Mengenai
harta
bersama
suami
atau
istri
dapat
bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri
mempunyai
hak
sepenuhnya
untuk
melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama
diatur menurut hukumnya masing-masing.
Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, harta
kekayaan perkawinan dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(Rachmadi Usman, 2006 : 369):
a. Harta milik bersama (harta bersama), yaitu harta benda
yang
diperoleh
selama
dalam
ikatan
perkawinan
berlangsung sebagai hasil usaha suami istri bersama atau
salah seorang di antara keduanya.
b. Harta milik sendiri, yang terbagi dalam dua jenis, yaitu:
1) Harta bawaan, yaitu harta benda masing-masing suami
istri yang dimilikinya sebelum perkawinan dilangsungkan
dan kemudian di bawa ke dalam perkawinan.
2) Harta perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh
masing-masing suami istri sebagai hadiah atau warisan
sesudah perkawinan dilangsungkan.
Berdasarkan bunyi Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
yang intinya menyatakan bahwa harta bersama adalah harta
benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung antara
suami istri. Pasal 35 ayat (1) tersebut tidak menyebutkan secara
jelas mengenai atas jerih payah atau hasil kerja siapa harta
bersama itu diperoleh, apakah hasil kerja suami atau istri. Dalam
pasal tersebut yang jelas adalah harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama yang dimiliki
bersama oleh suami istri tanpa memperhitungkan siapa yang
bekerja menghasilkan harta benda tersebut (Abdurrahman dan
Riduan Syahrani, 1978 : 28).
Jika dilihat dalam Penjelasan atas UU No. 1 tahun 1974 juga
tidak menjelaskan mengenai masalah ini, sehingga dengan
demikian
tidak
menjadi
persoalan
siapa
yang
bekerja
menghasilkan harta bersama. Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) UU
No. 1 Tahun 1974, apabila harta itu atas hasil kerja suami, istri
tetap memiliki hak atas harta tersebut. Begitu sebaliknya,
apabila harta itu atas hasil kerja istri, suami juga memiliki hak atas
harta tersebut, karena harta bersama tidak mempersoalkan atas
hasil kerja siapa.
Jika ditinjau dari kenyataan hidup sekarang, ketentuan
Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 adalah kurang adil karena
dalam pasal tersebut tidak ada kejelasan mengenai “hasil kerja
siapa”, apakah harta yang menjadi harta bersama itu hasil kerja
suami atau hasil kerja istri. Jika suami yang bekerja dan istri tidak
bekerja, kemudian si istri mendapatkan penghidupan yang
layak adalah sebuah keharusan karena suami sebagai kepala
rumah
tangga
yang
wajib
memberikan
segala
sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai Pasal 31 ayat (3) dan
Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, akan tetapi jika istri yang
bekerja dan suami tidak bekerja, sedangkan harta hasil kerja istri
menjadi harta bersama adalah tidak adil karena seharusnya
suami yang menjadi pokok dalam mencari penghidupan
keluarga. Kenyataan ini semakin terasa ketika sekarang ini
banyak istri yang bekerja sementara suami mereka tidak
bekerja, atau istri lebih banyak menghasilkan harta daripada
suaminya.
Jika dilihat dari rasa keadilan dan kesetaraan laki-laki dan
perempuan dalam rumah tangga apabila yang bekerja
mencari harta adalah istri, maka Pasal 35 ayat (1) juga tidak adil,
apalagi jika nantinya terjadi perceraian, karena harta bersama
akan dibagi dua. Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun
1984 Tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita disebutkan bahwa tidak boleh ada diskriminasi
terhadap wanita dalam semua urusan yang berhubungan
dengan perkawinan dalam hubungan keluarga atas dasar
persamaan antara pria dan wanita, khususnya akan menjamin
hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan
pemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan
dan memindahtangankan harta benda baik secara cumacuma maupun dengan penggantian uang.
Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984
Tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita, maka seorang istri mempunyai persamaam
dengan suami dalam memiliki (hak milik) suatu harta benda,
memperoleh harta benda, mengurus administrasi harta benda,
melakukan pengelolaan, dan menikmati harta benda dari hasil
kerja atau usahanya. Selain itu, istri juga memiliki hak yang sama
dengan suami untuk memindahtangankan harta bendanya
baik dengan cuma-cuma
atau dengan penggantian uang.
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984
menempatkan istri pada posisi yang adil terhadap hak-hak yang
dimiliki suami dalam masalah harta benda dalam perkawinan,
sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak memberikan
kejelasan mengenai hal-hal tersebut sebagaimana tercantum
dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf h UU No. 7 Tahun 1984.
Adapun dalam Pasal 51 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Azasi Manusia dinyatakan bahwa seorang istri
selama
dalam
ikatan
perkawinan
mempunyai
hak
dan
tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal
yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan
dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan
harta bersama. Sedangkan pada Pasal 51 ayat (2) UU No. 39
Tahun 1999 menyatakan bahwa setelah putusnya perkawinan,
seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan
suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta
bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun
1974, harta benda milik bersama berada di bawah penguasaan
suami istri sejak perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak.
Suami maupun istri pun hanya dapat bertindak terhadap harta
benda milik bersama berdasarkan atas persetujuan kedua belah
pihak. Dengan demikian, jika salah satu pihak, baik suami atau
istri tidak setuju dengan suatu tindakan terhadap harta bersama,
maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan. Berarti pula
persetujuan kedua belah pihak dari suami dan istri menjadi
syarat dapat dilakukannya suatu tindakan terhadap harta
benda milik bersama. Keadaan harta milik bersama yang
demikian itu dapat dijadikan sebagai barang jaminan (agunan)
oleh suami atau istri atas persetujuan pihak suami atau istrinya.
Persetujuan tersebut tidak harus dinyatakan dengan tegas, tapi
dapat saja diberikan secara diam-diam (Rachmadi Usman, 2006
: 370).
Riduan Syahrani, S.H. (1978 : 32) juga berpendapat bahwa
syarat persetujuan kedua belah pihak handaknya dipahami
sedemikian rupa dengan luwes, di mana tidak dalam segala hal
mengenai penggunaan harta bersama itu diperlukan adanya
persetujuan kedua belah pihak secara formal atau secara
tegas. Dalam beberapa hal tertentu, persetujuan kedua belah
pihak harus dianggap ada, sebagai persetujuan yang diamdiam. Contoh dalam hal ini adalah penggunaan harta bersama
untuk keperluan hidup sehari-hari. Hal tersebut bertujuan untuk
menghindari kesan kaku suami istri dalam pergaulan hidup
bersama di tengah-tengah keluarga dan masyarakat, sehingga
akan terlihat sangat kaku apabila seorang istri harus selalu minta
persetujuan suaminya setiap hari hanya untuk mengunakan
uang membeli bumbu masak.
Persoalannya
adalah
dalam
hal
apa
dan
apakah
penggunaan harta bersama itu diharuskan adanya persetujuan
kedua belah pihak? Sebaliknya juga, dalam hal apa dan
penggunaaan harta bersama yang bagaimana yang dianggap
telah ada persetujuan kedua belah pihak sebagai persetujuan
diam-diam? Persoalan ini hendaknya dilihat secara kasuistis,
yakni dengan melihat pada keadaan sosial ekonomi, tata hidup
dan kehidupan suami istri, serta kehidupan masyarakat di mana
suami istri itu tinggal.
Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut
dan melihat Penjelasan Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan
“cukup jelas”, maka harta bersama dapat digunakan oleh
suami maupun istri untuk keperluan apa saja dan berapa pun
jumlahnya asalkan ada persetujuan dari kedua belah pihak.
Pasal 36 ayat (1) dan penjelasannya tidak menyebutkan untuk
hal apa saja dan berapa jumlah harta bersama yang bisa
digunakan oleh suami maupun istri. Dengan demikian ada
kebebasan bagi suami atau istri untuk menggunakan harta
bersama.
Adanya hak bagi suami dan istri untuk menggunakan harta
bersama dengan persetujuan keduanya (secara timbal balik)
adalah sudah sewajarnya. Hal tersebut mengingat bahwa hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan berumah tangga dan
pergaulan hidup dalam masyarakat. Masing-masing suami
maupun istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang dan
berhak
untuk
melakukan
perbuatan
hukum.
Hal
itu
sebagaimana ditegaskan secara jelas dalam Pasal 31 ayat (1)
dan (2) UU No. 1 Tahun 1974 mengenai hak dan kewajiban
suami istri.
Dalam keadaan seorang beristri lebih dari satu orang
(poligami), menurut ketentuan Pasal 65 ayat (1) UU No. 1 Tahun
974, istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas
harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri
kedua atau berikutnya itu terjadi. Masing-masing istri memiliki
hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing. Dengan demikian, menurut
ketentuan Pasal 65 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan bahwa
harta benda milik bersama dari perkawinan seorang suami yang
memiliki istri lebih dari satu orang, masing-masing terpisah dan
berdiri sendiri-sendiri (Rachmadi Usman, 2006 : 370).
2. Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Berdasarkan Hukum
Islam
Dalam hukum Islam tidak diatur secara tegas mengenai
hukum harta perkawinan. Menurut Hazairin, di dalam Al-Qur’an
tidak mengandung ketentuan tentang harta bersama dalam
perkawinan, juga sunnah (hadis) Rasulullah Muhammad. Sunnah
Rasulullah hanya menyebut soal syirkah. Oleh karena itu, untuk
mengaturnya menjadi hak otonom setiap masyarakat Islam
dengan
cara
(kesepakatan)
syura
bainahum,
yaitu
bermusyawarah
di antara mereka. (Hazairin dalam Rachmadi
Usman, 2006 : 371).
Pendapat Hazairin ini juga senada dengan Anwar
Harjono yang menulis mengenai harta bersama, yakni harta
yang diperoleh suami istri selama dalam perkawinan, tidak
diatur dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, diserahkan sepenuhnya
kepada mereka yang bersangkutan untuk mengaturnya. Selain
itu ada lagi H. Abdoeraoef, S.H. yang menuliskan dalam
disertasinya dengan menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an tidak
ada peraturan-peraturan mengenai harta perkawinan.
Pendapat Hazairin dan yang senada dengannya dikritik
dan tidak disepakati oleh Prof. Dr. T. Jafizham, S.H. dengan
menyatakan bahwa pendapat tersebut tidak sejalan dengan
tafsiran Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974, di mana dalam pasal
tersebut terdapat ketentuan hukum agama dalam masalah
harta benda perkawinan (T. Jafizham, 2006 : 117).
Dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa
jika perkawinan putus karena perceeraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Penjelasan Pasal 37 UU No.
1 Tahun 1974 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“hukumnya masing-masing” adalah hukum agama, hukum
adat, dan hukum lainnya. Dengan demikian, ada hukum
agama Islam yang mengatur masalah harta perkawinan.
Prof. Dr. T. Jafizhman, S.H. menyatakan bahwa suatu hal
yang aneh jika agama Islam tidak mengatur masalah harta
benda perkawinan, karena semua persoalan diatur oleh hukum
Islam, ditentukan pula hukumnya. Tidak ada satu pun yang
tertinggal dan tidak dibahas. Tentang tidak diaturnya dalam AlQur’an secara eksplisit, jelas, dan rinci, bukan berarti tidak diatur
oleh hukum Islam. benar bahwa Al-Qur’an adalah sumber
hukum utama dan pertama, tetapi masih ada sumber hukum
Islam yang lain, yaitu hadis Nabi Muhammad dan lainnya. hadis
Nabi Muhammad berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dan juga bisa berfungsi membuat hukum
baru yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an (T. Jafizhman, 2006
: 118).
Walaupun mungkin tidak disebutkan secara eksplisit,
jelas, dan rinci dalam Al-Qur’an, tetapi ada prinsip-prinsip hukum
yang dapat ditarik darinya dari hadis Nabi Muhammad.
Prof. Dr. T. Jafizhman, S.H. mengemukakan bahwa dasar
hukum harta benda perkawinan berdasar dari hukum syarikat
yang diatur dalam hadis Nabi Muhammad seperti berikut (T.
Jafizhman, 2006118):
Dari Abu Hurairah, dia berkata, telah bersabda Rasulullah
saw., Allah ta’ala telah berfirman: “Aku adalah orang
yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat, selama
salah seorang dari mereka tidak mengkhianati temannya.
Maka, apabila salah seorang berkhianat, Aku keluar dari
mereka.” (H.R. Abu Dawud dan disahkan oleh Hakim)
Dari Saib al-Mahzumi, bahwasanya ia adalah sekutu Nabi
Muhammad saw. sebelum menjadi Rasul. Dia datang
pada hari terbukanya kota Makkah. Maka Nabi berkata:
“Selamat datang saudaraku dan sekutuku.” (H.R. Ahmad,
Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Ada dua pendapat yang berkembang mengenai harta
bersama dalam perspektif hukum Islam. Pendapat pertama,
menyatakan
bahwa
dalam
percampuran
harta
kekayaan
hukum
antara
Islam
tidak
suami
istri
dikenal
karena
perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan
dikuasai sepenuhnya oleh istri. Begitu pula harta kekayaan milik
suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai sepenuhnya oleh
suami. Oleh karena itu, wanita yang bersuami tetap dianggap
cakap bertindak tanpa bantuan suami dalam soal apapun juga
termasuk mengurus harta benda sehingga ia dapat melakukan
segala perbuatan hukum dalam masyarakat.
Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan pada dua
ayat Al-Qur’an, yaitu Q.S. an-Nisa’: 32 yang menyatakan bahwa
bagi laki-laki dan wanita masing-masing ada bagian dari apa
yang mereka usahakan, dan Q.S. al-Baqarah: 228 yang
menyatakan bahwa para
wanita mempunyai
hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf
(baik).
“... Bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada
bahagian dari apa yang mereka usahakan ....” (Q.S. anNisa’: 32)
“... Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang makruf ....”
(Q.S. al-Baqarah: 228)
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengenai Q.S. al-Baqarah: 228
menyatakan bahwa para istri mempunyai hak atas suami
mereka seperti hak yang dimiliki suami atas diri mereka. Masingmasing dari keduanya harus menunaikan hak tersebut dengan
cara yang baik (Ibnu Katsir, 2004 : 449).
Karena istri mendapat perlindungan, baik tentang nafkah
lahir, nafkah batin, moral dan material maupun tempat tinggal,
biaya
pemeliharaan
maupun
pendidikan
anak,
menjadi
tanggung jawab penuh suami sebagai kepala rumah tangga.
Dengan demikian, istri dianggap pasif menerima apa yang
datang dari suami. Oleh karena itu, tidak ada harta bersama
antara suami istri. Sepanjang apa yang diberikan oleh suami
kepada istrinya di luar pembiayaan rumah tangga dan
pendidikan anak, misalnya hadiah berupa perhiasan, maka
itulah yang menjadi hak istri dan tidak boleh diganggu gugat
oleh suami. Apa yang diusahakan oleh suami keseluruhannya
tetap menjadi milik suami, kecuali bila terjadi syirkah (M. Idris
Ramulyo dalam Rachmadi usman, 2006 : 371).
Dengan demikian, pada dasarnya dalam perspektif
hukum Islam, masing-masing suami istri memiliki kewenangan
penuh terhadap harta milik pribadinya. Suami tidak berwenang
mencampuri harta milik pribadi istri meskipun di antara mereka
telah terjadi perkawinan, karena harta tersebut tetap berada di
bawah penguasaan dan milik penuh istri. Demikian juga jika
suami hendak menggunakan harta milik istri, maka ia harus
meminta
persetujuan
dari
istrinya.
Namun
demikian,
kebersamaan dapat diwujudkan melalui syirkah.
Pada dasarnya menurut hukum Islam, harta suami istri itu
terpisah. Dengan demikian, masing-masing memiliki hak untuk
menggunakan
atau
membelanjakan
hartanya
dengan
sepenuhnya tanpa boleh diganggu pihak lain. Dr. Lutfi, seorang
ahli hadis dari Universitas Yordania dan Universitas Kebangsaan
Malaysia menyatakan bahwa dalam perkawinan ada dua hak,
yaitu hak milik dan hak guna. Dr. Lutfi juga menyatakan dari
sudut fikih ditentukan bahwa harta yang dibawa suami adalah
milik suami. Begitu pula harta yang dibawa istri adalah harta
milik istri, sedangkan harta yang didapat di dalam perkawinan
adalah milik dari pihak yang mencari atau mendapatkannya,
sehingga dengan demikian harta yang didapat suami adalah
milik suami, sementara harta yang didapat istri adalah milik istri.
Konsekuensi dari ketentuan tersebut berarti rumah dan barangbarang di dalam rumah tangga itu adalah milik yang membeli
atau mendapatkannya. Meskipun demikian, di dalam rumah
tangga terdapat pula hak guna yang memungkinkan anggota
rumah tangga menggunakan barang-barang di dalam rumah
itu bersama-sama, misalnya menggunakan peralatan rumah
tangga serta barang lain seperti kursi dan meja. (http://www.
sarikata.com, diakses tanggal 7 April 2008).
Jika dilihat dari kenyataan sekarang, pendapat yang
pertama ini lebih adil, mengingat masing-masing memiliki hak
atas hasil kerjanya sendiri-sendiri. Dengan demikian tidak terjadi
suatu ketimpangan dalam hal perolehan harta perkawinan dan
hak memilikinya. Jika istri bekerja, maka hasil kerjanya menjadi
miliknya. Jika suami bekerja, maka hasil kerjanya menjadi
miliknya,
di
samping
ia
punya
kewajiban
menghidupi
keluarganya sebagai kepala keluarga.
Prof. Dr. Mahmud Yunus menjelaskan pula bahwa
maskawin yang diberikan suami kepada istrinya menjadi hak
milik istri dan dikuasai sepenuhnya oleh istri. Terhadap maskawin
ini
istri
berhak
membelanjakannya,
menghibahkannya,
mensedekahkannya, dan lainnya dengan tiada perlu meminta
izin kepada wali atau suaminya.
Prof. Dr. Mahmud Yunus juga menjelaskan bahwa harta
benda istri lainnya selain maskawin tetap menjadi hak milik istri
dan tidak ada hak suami untuk menghalanginya, kecuali jika istri
itu safih (pemboros, tidak pandai berbelanja), maka istri boleh
dihajar (dilarang) ber-tasarruf (boros) dengan harta bendanya.
Pendeknya, kekuasaan istri terhadap harta bendanya tetap
berlaku dan tiada berkurang karena perkawinan. Tentang ini
telah sepakat para ulama.
Selain
itu,
suami
tidak
boleh
suami
tidak
boleh
membelanjakan harta benda istri untuk belanja keperluan
rumah tangga kecuali dengan izin istri. Harta benda istri yang
digunakan untuk belanja rumah tangga menjadi hutang atas
suami dan suami wajib membayar kepada istrinya kecuali jika
dibebaskan oleh istrinya. Hal ini karena nafkah rumah tangga
menjadi tanggung jawab suami. Namun, jika istri berbelanja
lebih dari cukup dengan harta bendanya sendiri dan dengan
kemauannya sendiri, maka istri tidak berhak meminta ganti
kepada suaminya. Tentang hal ini pun ulama telah sepakat.
Harta yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing
pihak adalah harta bawaan masing-masing sebelum terjadi
perkawinan ataupun harta yang diperoleh masing-masing pihak
dalam masa perkawinan yang merupakan hasil kerja mereka
masing-masing dan bukan sebagai hasil usaha bersama. Yang
termasuk harta ini misalnya adalah menerima warisan, hibah,
hadiah, dan sebagainya.
Sebagaimana dikatakan oleh Sajuti Thalib, ditinjau dari
segi
asal-usulnya,
harta
kekayaan
suami
istri
dapat
dikelompokkan ke dalam:
a. Harta bawaan, yaitu harta masing-masing suami istri yang
telah dimilikinya sebelum mereka menikah.
b. Harta masing-masing suami istri yang dimilikinya setelah
mereka berada dalam hubungan perkawinan melalui
hadian, hibah, dan wasiat atau warisan.
c. Harta yang berasal dari usaha salah
seorang suami istri
yang diperoleh selama mereka berada dalam hubungan
perkawinan.
d. Harta yang diperoleh atas usaha bersama selama mereka
berada dalam hubungan perkawinan.
Selain itu, dalam hukum Islam masih dikenal lagi harta
peninggalan dan harta kewarisan. Harta peninggalan adalah
harta milik pribadi suami istri yang ditinggalkan, karena yang
bersangkutan meninggal dunia atau menyatakan gaib. Adapun
harta kewarisan adalah harta peninggalan seorang pewaris
yang
telah
dikurangi
dengan
biaya-biaya
pemakaman,
membayar hutang (jika ada), dan melaksanakan wasiat pewaris
sendiri yang bersangkutan dengan harta peninggalannya (M.
Hidjazi Kartawidjaya dalam Rachmadi Usman, 2006 : 369-370).
Adapun menurut Soemiyati, S.H. (Soemiyati, 1986 : 99)
harta
kekayaan
perkawinan
jika
ditinjau
dari
asalnya
digolongkan menjadi tiga, yaitu:
a. Harta masing-masing suami istri yang telah dimilikinya
sebelum
kawin,
baik
diperolehnya
karena
mendapat
warisan atau usaha-usaha lainnya. Harta ini disebut harta
bawaan.
b. Harta masing-masing suami istri yang diperolehnya selama
selam
berada
dalam
hubungan
perkawinan
tetapi
diperoleh bukan karena usaha mereka bersama-sama
maupun sendiri-sendiri, tetapi diperoleh karena hibah,
warisan ataupun wasiat untuk masing-masing.
c. Harta yang diperoleh setelah mereka berada dalam
hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau
salah satu pihak dari mereka. Harta ini disebut harta
pencaharian.
Selanjutnya, yang menjadi persoalan adalah status harta
pencaharian. Apakah harta pencaharian itu dapat dianggap
sebagai harta bersama dari suami istri? Ataukah istri hanya
berhak
atas
harta
yang
telah
diberikan
oleh
suaminya
kepadanya, misalnya: nafkah, barang-barang perhiasan, atau
lainnya yang telah jelas diberikan kepadanya?
Al-Qur’an
maupun
hadis
Nabi
Muhammad
tidak
menjelaskan secara tegas dan terperinci bahwa harta yang
diperoleh selama dalam hubungan perkawinan menjadi milik
suami sepenuhnya, dan juga tidak menjelaskan dengan tegas
bahwa
harta
yang
diperoleh
selama
dalam
hubungan
perkawinan itu menjadi milik bersama. Dengan demikian,
masalah ini merupakan masalah yang perlu ditentukan dengan
cara ijtihad, yaitu dengan menggunakan akal pikiran manusia di
mana hasil oemikiran tersebut harus sesuai dan bersumber
dengan jiwa ajaran Islam.
Menentukan
status
pemilikan
harta
selama
dalam
hubungan perkawinan adalah penting sekali untuk memperoleh
kejelasan mengenai staus harta tersebut jika di kemudian hari
terjadi
perceraian,
walaupun
perceraian
sangat
tidak
diinginkan, atau jika terjadi kematian salah satu pihak suami
atau istri. Dalam hal terjadi kematian salah satu pihak, jika status
hartanya jelas, maka akan mudah ditentukan mana harta
peninggalan yang dapat diwariskan kepada para ahli warisnya.
Sedangkan dalam hal terjadi perceraian, jika status hartanya
jelas, maka dapat dengan segera ditentukan harta mana yang
menjadi hak istri dan harta mana yang menjadi hak suami.
Dengan kejelasan status harta tersebut dapat menghindarkan
persengketaan ahli waris maupun antara suami istri yang
bercerai.
Dalam hukum perkawinan Islam, istri memiliki hak nafkah
yang wajib dipenuhi oleh suami. Oleh karena itu, pada dasarnya
harta
yang
menjadi
hak
istri
selama
dalam
hubungan
perkawinan adalah nafkah yang diperoleh dari suaminya untuk
hidupnya. Selain itu, dimungkinkan juga ada pemberianpemberian tertentu dari suami kepada istri, misalnya perhiasan,
alat-alat rumah tangga, dan lainnya yang pada umumnya
langsung dipakai oleh pihak istri. Ketentuan yang demikian ini
berlaku jika yang berusaha atau bekerja mencari nafkah hanya
suami saja, sedangkan istri tidak ikut serta bekerja sama sekali.
Namun demikian, jika keperluan rumah tangga diperoleh
karena usaha bersama antara suami dan istri, maka dengan
sendirinya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Besar kecilnya harta yang menjadi bagian suami
atau istri tergantung kepada banyak atau sedikitnya usaha
yang mereka lakukan dalam memenuhi kebutuhan rumah
tangganya itu. Jika usaha keduanya sama-sama kuat, maka
harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak adalah seimbang.
Jika suami lebih banyak usahanya dibandingkan istrinya, maka
hak suami lebih besar daripada hak istri. Demikian pula
sebaliknya, jika istri
lebih banyak usahanya dibandingkan
suaminya, maka hak istri atas harta bersama juga lebih besar
daripada hak suaminya.
Prof. Dr. Mahmud Yunus menjelaskan bahwa tambahan
harta
benda
karena
usaha
bersama
suami
istri
selama
perkawinan menjadi hak milik bersama antara suami istri. Jika istri
turut berusaha mencari rezeki bersama suaminya, padahal yang
demikian itu bukan kewajiban istri, maka istri berhak mendapat
keuntungan dari usaha tersebut menurut besar kecilnya usaha
suami istri itu. Apabila suami istri bekerja sama beratnya dan
sama banyaknya, maka keuntungannya 50% untuk masingmasing. Tetapi, apabila usaha istri hanya sekedar membantu
suaminya, maka ia berhak mendapat untung menurut besar
kecil bantuannya itu. Jika besar bantuannya, maka besar pula
untungnya,
begitu
sebaliknya
menurut
neraca
keadilan.
Mengenai hal ini tidak ada khilafiyah (perbedaan pendapat) di
kalangan ulama. Dengan demikian, jika perkawinan itu putus
karena suatu sebab, maka harta benda tersebut dibagi menurut
keseimbangan besar kecilnya usaha suami istri itu (Mahmud
Yunus, 1977 : 109).
Pendapat kedua, menyatakan bahwa mulai saat akad
nikah dilangsungkan, maka demi hukum sejak saat itu telah
terjadi percampuran atau persatuan harta kekayaan, sehingga
tidak perlu lagi diperjanjikan sebagaimana pendapat yang
pertama.
Sajuti Thailib dan Hazairin mengakui hal ini bahwa harta
yang diperoleh suami dan istri karena usahanya adalah harta
bersama, baik mereka bekerja bersama-sama atau suami saja
yang bekerja, sedangkan istrinya hanya mengurus rumah
tangga beserta anak-anak di rumah. Sekali mereka terikat
dalam
perjanjian
perkawinan
sebagai
suami
istri,
maka
semuanya menjadi bersatu, baik harta maupun anak-anak.
Tidak perlu didiringi dengan syirkah, sebab perkawinan dengan
ijab kabul serta memenuhi persyaratan lain-lainnya sudah dapat
dianggap adanya syirkah antara suami istri tersebut (Rachmadi
Usman, 2006 : 373).
B.
Ketentuan
Harta
Kekayaan
Perkawinan
Jika
Ada
Perjanjian
Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam
1.
Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian
Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974
Dalam UU No. 1 Tahun 1974 terdapat Bab V Pasal 29
yang mengatur tentang perjanjian perkawinan. Adapun
bunyi Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut adalah:
Pasal 29
(1) Pada
waktu
atau
sebelum
perkawinan
dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan , setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana
melanggar
batas-batas
hukum,
agama,
dan
kesusilaan.
(3) Perjanjian
tersebut
berlaku
sejak
perkawinan
dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut
tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah
pihak
ada
perjanjian
untuk
mengubah
dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Perjanjian
perkawinan
sebagaimana
disebutkan
pada pasal-pasal di atas memiliki banyak kemungkinan
mengenai isi perjanjiannya. K. Wantjik Saleh mengatakan
bahwa tidak ditentukan perjanjian itu mengenai apa,
umpamanya mengenai harta benda. Karena tidak ada
pembatasan itu, maka dapat disimpulkan bahwa perjanjian
tersebut luas sekali, dapat mengenai berbagai hal. Dalam
penjelasan pasal 29 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hanya
disebutkan bahwa yang dimaksud “perjanjian” itu tidak
termasuk “ta’lik talak” (K. Wantjik Saleh, 1980 : 32).
Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 memang memberikan
ruang lebih lebar mengenai isi perjanjian. Artinya, isi
perjanjian perkawinan yang akan dilakukan oleh calon
suami istri sangat luas wilayahnya, bisa menyangkut masalah
harta maupun selainnya. Hal ini sependapat juga dengan
Prof. H. Hilma Hadikusuma, S.H. yang menyatakan bahwa isi
perjanjian perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 “lebih
terbuka” tidak saja yang menyangkut perjanjian kebandaan
tetapi juga yang lain.
Sedangkan R. Subekti menyatakan bahwa baik KUH
Perdata maupun UU Perkawinan mengenal apa yang
dinamakan “perjanjian perkawinan”. Ini adalah suatu
perjanjian
mengenai
harta
benda
suami
istri
selama
perkawinan mereka, yang menyimpang dari sari asas atau
pola yang ditetapkan oleh Undang-undang.
Banyak yang sependapat dengan pernyataan R.
Subekti di atas. Masyarakat umum juga beranggapan
bahwa perjanjian perkawinan lebih banyak mengatur
masalah harta perkawinan, karena masalah yang paling
rawan dan rumit dalam perkawinan sehingga memerlukan
perjanjian adalah masalah harta, walaupun masalah yang
lain selain harta juga cukup rumit jika ada masalah.
Jika kita melihat beberapa pendapat di website hukum
mengenai isi perjanjian, kebanyakan menyatakan bahwa perjanjian
perkawinan dalam UU Perkawinan adalah suatu perjanjian
mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka, yang
menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undangundang. Materi yang diatur dalam perjanjian tergantung pada
pihak-pihak calon suami istri, asalkan tidak bertentangan dengan
hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan.
Perjanjian semacam ini biasanya berisi janji tentang harta benda
yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Pada umumnya
berupa perolehan harta kekayaan terpisah, masing-masing pihak
memperoleh apa yang diperoleh atau didapat selama perkawinan,
termasuk keuntungan dan kerugian (http://www.hukumonline.com,
diakses tanggal 3 Oktober 2007).
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU No. 1 Tahun 1974 dan
pendapat para pakar, pada umumnya mereka menganggap bahwa
isi perjanjian perkawinan adalah mengatur harta perkawinan.
Bagaimana selanjutnya ketentuan harta kekayaan perkawinan jika
ada perjanjian perkawinan?
Ketentuan harta perkawinan menurut Pasal 35 UU No. 1
Tahun 1974 menyatakan bahwa:
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan
menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan
harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan
masing-masing
sepanjang
para
pihak
tidak
menentukan lain.
Berdasarkan Pasal 35 UU No. 1 tahun 1974 tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa jika tidak ada perjanjian perkawinan
mengenai harta perkawinan, maka dengan sendirinya terjadi
kebersamaan harta yang terbatas (penyatuan harta terbatas) antara
suami istri. Adapun yang dimaksud dengan “terbatas” adalah
terbatas pada harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
berlangsung yang bukan berasal dari hadiah atau warisan. Dengan
demikian, yang menjadi harta bersama hanya harta yang diperoleh
selama perkawinan.
Sebaliknya,
jika
calon
suami
istri
yang
hendak
melangsungkan perkawinan menghendaki kebersamaan harta yang
menyeluruh,
maka
mereka
harus
mengadakan
perjanjian
perkawinan mengenai hal tersebut. Yang demikian itu dapat
disimpulkan dari kata-kata pada akhir Pasal 35 ayat (2) UU No. 1
Tahun 1974 yang berbunyi: “... sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.” Adapun yang dimaksud dengan “sepanjang para
pihak tidak menentukan lain” adalah “perjanjian perkawinan” (R.
Soetojo Prawiromahidjojo, 1986 : 68).
Berdasarkan
menghendaki
penjelasan di atas, jika calon suami istri
kebersamaan
harta
(penyatuan
harta)
yang
menyeluruh meliputi harta harta bersama dan harta bawaan
masing-masing suami istri, maka mereka dapat melakukan
perjanjian perkawinan yang isinya mengatur hal tersebut.
Kebersamaan harta yang menyeluruh ini merupakan
“penyimpangan” dari ketentuan dalam Pasal 35 UU No. 1 Tahun
1974
yang
sebenarnya
dalam
pasal
tersebut
menentukan
kebersamaan harta terbatas. Akan tetapi, karena dalam Pasal 35
ayat (2) memungkinkan adanya perjanjian perkawinan yang
mengatur kebersamaan harta yang menyeluruh, maka perjanjian
perkawinan mengatur hal lain yang menyimpang dari ketentuan
awal Undang-undang, dan hal ini sah.
Selanjutnya, Pasal 36 UU No. 1 Tahun 1974 yang
berbunyi:
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama suami atau istri dapat
bertindak
atas perjanjian kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan
istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 36 UU No. 1 Tahun1974 di atas mengatur harta
perkawinan yang tidak ada perjanjian perkawinan di
dalamnya, sehingg ketentuan mengenai harta bersama
dan harta bawaan suami istri tetap sebagaimana tercantum
dalam pasal tersebut.
Menurut
R.
Soetojo
Prawiromahidjojo
(R.
Soetojo
Prawiromahidjojo, 1986 : 68) dari uraian mengenai Pasal 35 dan
Pasal 36 UU No. 1 Tahun di atas, maka dapat diketahui bahwa
perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan dapat dibuat
yang isinya:
a. Kebersamaan
harta
(penyatuan
harta)
yang
menyeluruh/bulat.
b. Peniadaan setiap kebersamaan harta.
Perjanjian
perkawinan
yang
isinya
mengenai
kebersamaan harta yang menyeluruah atau penyatuan
harta bulat dibuat sebagai penyatuan harta bersama dan
harta
bawaan
calon
suami
istri
sebagaimana
telah
dijelaskan di atas. Sedangkan jika calon suami istri ingin
harta mereka benar-benar terpisah, baik terpisahnya harta
bersama
(tidak
ada
harta
bersama)
maupun
harta
bawaan, maka mereka dapat mengadakan perjanjian
perkawinan
yang
lain
juga.
Pendapat
R.
Soetojo
Prawiromahidjojo mengenai perjanjian perkawinan yang
isinya peniadaan setiap kebersamaan harta selaras dengan
nilai-nilai persamaan antara suami istri dalam perkawinan.
Dengan adanya peniadaan kebersamaan harta tersebut
berarti masing-masing memiliki hak yang sama berkaitan
dengan harta yang mereka peroleh masing-masing selama
perkawinan. Suami memiliki hak terhadap harta yang
diperolehnya
tanpa
meninggalkan
kewajibannya
menafkahi keluarga. Istri pun memiliki hak terhadap harta
yang diperolehnya tanpa ada intervensi dari suami.
Jika antara calon suami istri mengadakan perjanjian
perkawinan yang menentukan “tidak ada kebersamaan
harta yang menyeluruh” atau “tidak ada penyatuan harta
bulat”, maka masing-masing memiliki dan berhak hanya
atas hartanya masing-masing. Walaupun demikian, hak dan
kewajiban sebagai suami istri dalam kehidupan rumah
tangga tetap harus dilaksanakan dengan baik. Artinya,
walaupun suami memiliki harta sendiri dan istri memiliki harta
sendiri, tapi si suami tetap harus memberikan nafkahnya
sebagai kepala rumah tangga kepada istri dan anakanaknya
dengan
baik.
Perjanjian
perkawinan
yang
demikian selaras dengan rasa keadilan dan nilai-nilai
persamaan antara suami istri dalam perkawinan, khususnya
masalah harta selama perkawinan yang mereka hasilkan
masing-masing.
Adapun untuk kebersamaan harta terbatas menurut
ketentuan Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tidak perlu dibuat
perjanjian perkawinan yang isinya mengatur hal tersebut
karena tanpa perjanjian perkawinan pun sudah dengan
sendirinya
terjadi
kebersamaan
harta
yang
terbatas
(penyatuan harta terbatas). Kebersamaan harta terbatas di
sini adalah terbatas pada kebersamaan
harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung, dan bukan
harta bawaan masing-masing suami istri.
Hal penting dalam perjanjian perkawinan mengenai
harta perkawinan adalah adanya itikad baik dari para pihak
untuk melaksanakan perjanjian sehingga perjanjian bisa
terlaksana dengan baik dan perkawinan berlangsung
dengan tenteram.
2.
Ketentuan Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada Perjanjian
Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam
Pada
dasarnya
ketentuan
harta
kekayaan
perkawinan dalam hukum Islam adalah terpisah antara
harta suami dan istri dengan tidak ada harta bersama.
Selain ketentuan umum sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas, dimungkinkan juga antara suami istri mengadakan
perjanjian percampuran harta kekayaan yang diperoleh
suami dan atau istri atas usaha bersama suami istri atau
usaha sendiri-sendiri selama dalam hubungan perkawinan.
Perjanjian harta perkawinan yang demikian ini merupakan
pengecualian
dari
ketentuan
umum
mengenai
harta
kekayaan perkawinan. Percampuran harta suami istri inilah
yang disebut dengan syirkah.
Selain itu, dimungkinkan juga antara suami istri
mengadakan syirkah sebagai sebuah bentuk perjanjian
perkawinan untuk harta
yang telah dimiliki sebelum
terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh selama
perkawinan yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tapi
diperoleh karena warisan maupun pemberian khusus yang
diperuntukkan bagi masing-masing.
Mengenai harta suami istri yang telah dimiliki sebelum
terjadinya perkawinan atau harta yang diperoleh selama
perkawinan yang bukan karena usahanya sendiri-sendiri tapi
diperoleh karena warisan maupun pemberian khusus yang
diperuntukkan bagi masing-masing, harta tersebut tetap
menjadi milik sendiri-sendiri, namun dapat juga dicampurkan
menjadi harta milik bersama dengan suatu perjanjian yang
dibuat dengan cara-cara tertentu (Soemiyati, 1986 : 99-101).
Yang dimaksud oleh Sumiyati sebagai “cara-cara tertentu”
di sini adalah syirkah.
Dalam
kitab
Bidayatul
Mujtahid
wa
Nihayatul
Muqtashid karya Ibnu Rusyd (Ibnu Rusyd, 2002 : 143), syirkah
secara
bahasa
artinya
percampuran.
Syirkah
adalah
percampuran sesuatu harta benda dengan harta benda
lain sehingga tidak dibedakan lagi satu dari yang lain.
Menurut istilah hukum fikih, istilah syirkah itu adalah hak dua
orang
atau
lebih
terhadap
sesuatu
(Ismuha
dalam
Rachmadi Usman, 2006 : 371).
Sebagaimana dikatakan oleh Sajuti Thalib, dalam
pemikiran mazhab Syafi’ dan Hanafi, syirkah itu ada tiga
jenisnya (Mohammad Daud Ali dalam Rachmadi Usman,
2006 : 372), yaitu:
a.
Syirkah
‘inan (milik), yakni syirkah terhadap suatu
kekayaan tanpa sengaja dibuat perjanjian khusus untuk
itu.
b.
Syirkah
mufawadah,
yakni
syirkah
yang
sengaja
dibentuk dengan memasukkan harta kekayaan tertentu
ke dalam syirkah itu.
c.
Syirkah abdan, yakni syirkah yang sengaja dibentuk
dengan pemberian jasa.
Melihat pada bentuk-bentuk syirkah di atas, adapun
mengenai terjadinya percampuran harta kekayaan suami
istri (harta syirkah) dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Dengan mengadakan perjanjian syirkah secara nyatanyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah
berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan,
baik untuk harta bawaan masing-masing atau harta
yang diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan
atas
usaha
pencaharian.
mereka
sendiri-sendiri
ataupun
harta
b. Syirkah dapat ditetapkan dengan undang-undang atau
peraturan perundangan, bahwa harta yang diperoleh
atas usaha salah seorang suami atau istri atau keduaduanya dalam masa adanya hubungan perkawinan,
yaitu harta pencaharian adalah harta bersama suami
istri tersebut.
c. Di samping dengan dua cara di atas, percampuran
harta kekayaan suami istri (syirkah) dapat pula terjadi
dengan kenyataan kehidupan pasangan suami istri
tersebut.
Cara ketiga ini hanya khusus untuk harta bersama atau
syirkah pada harta kekayaan atas usaha yang diperoleh
selama
perkawinan.
Dengan
cara
diam-diam
memanga telah terjadi percampuran harta kekayaan
suami istri apabila dalam kenyataannya bersatu dalam
mencari hidup. Mencari hidup dalam hal ini tidak hanya
masalah nafkah saja dengan usaha keluar rumah saja,
tetapi juga harus dilihat dari sudut pembagian kerja
dalam
rumah
tangga.
Walaupun
mungkin
dalam
kenyataannya yang bekerja adalah suami, tetapi jika
istri tidak dapat melaksanakan urusan rumah tangganya
dengan baik, maka usaha suami pun tidak akan maju.
Oleh karena itulah, dalam hal pengumpulan harta
kekayaan rumah tangga banyak tergantung pada
manajemen dan pembagian pekerjaan yang baik
antara suami istri (Sajuti Thalib dalam Soemiyati, 2006 :
101 dan Rachmadi Usman, 2006 : 372).
Berdasarkan
terjadinya
percampuran
harta
kekayaan suami istri (harta syirkah) di atas, maka cara
pertama, yaitu mengadakan perjanjian syirkah secara
nyata-nyata tertulis atau diucapkan sebelum atau sesudah
berlangsungnya akad nikah dalam suatu perkawinan, baik
untuk harta bawaan masing-masing atau harta yang
diperoleh selama dalam perkawinan tetapi bukan atas
usaha mereka sendiri-sendiri ataupun harta pencaharian
dapat
dilakukan
dengan
atau
sebagai
perjanjian
perkawinan.
C.
Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada
Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 dan Hukum
Islam
1.
Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada
Perjanjian Perkawinan Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974
Perjanjian
perkawinan
berlaku
selama
perkawinan
berlangsung dan selama para pihak tidak menentukan untuk
merubahnya dengan kesepakatan kedua belah pihak. Oleh
karena itu jika perkawinan putus, maka perjanjian perkawinan
pun putus dengan membawa akibat hukum pada harta yang
diperjanjikan. Putusnya perkawinan yang juga secara otomatis
memutus perjanjian perkawinan adalah kematian salah satu
pihak dan perceraian.
UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan secara jelas
bagaimana akibat hukum harta kekayaan perkawinan yang
ada perjanjian perkawinan mengenai harta tersebut. Jika ada
perjanjian kawin mengenai harta perkawinan dengan demikian
perjanjian perkawinan tersebut berfungsi sebagi undangundang bagi pihak suami istri yang mengadakan perjanjian
perkawinan. Oleh karena itu, akibat hukum terhadap harta
yang diperjanjikan adalah sesuai dengan ketentuan dalam
perjanjian perkawinan.
Jika perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama,
maka
harta
tersebut
menjadi
milik
bersama
di
mana
penggunaannya juga harus dengan persetujuan bersama. Jika
perjanjian perkawinan memperjanjikan harta terpisah, maka
harta tersebut menjadi milik masing-masing dan yang berhak
menggunakannya juga masing-masing pihak.
Jika salah satu pihak meninggal dunia, maka akibat
hukumnya
juga
sebagaimana
yang
diperjanjikan.
Jika
perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama, maka
harta tersebut di atur sesuai Undang-undang, yaitu mengikuti
ketentuan hukum agamanya masing-masing. Hal ini karena
dalam Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa: “bila
perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing”. Kata-kata “hukumnya
masing-masing” dalam pasal tersebut adalah hukum yang
dianut oleh pihak yang melangsungkan perkawinan dan
kemudian
mengadakan
perjanjian
perkawinan.
Dengan
demikian, dalam penelitian ini fokusnya adalah hukum Islam,
yang berarti dilakukan oleh orang Islam, maka “hukumnya
masing-masing” di sini adalah hukum Islam.
Walaupun
pasal
tersebut
menyatakan
putusnya
perkawinan karena perceraian, tapi karena masalah putusnya
perkawinan yang berakibat pada perjanjian perkawinan tidak
ada pasal yang menyatakannya secara jelas tentang kematian
salah satu pihak, maka akibat hukum terhadap harta yang ada
perjanjiannya juga kembali pada hukum Islam.
2.
Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Perkawinan Jika Ada
Perjanjian Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam
Bila terjadi perceraian, masing-masing suami/istri berhak
atas harta masing-masing sesuai konsep harta milik dalam
perkawinan. Istri berhak mendapat nafkah iddah dan suami
wajib memberikan nafkah itu, dan harta yang didapat selama
perkawinan dibagi sesuai konsep kepemilikan harta, dibagi
dua jika disyaratkan sebelum akad, atau milik istri jika
disyaratkan sebelum akad.
Apabila
harta
perkawinan
adalah
harta
syirkah,
kemudian terjadi perceraian atau talak, maka harta syirkah
tersebut dibagi antara suami istri yang turut berusaha dalam
syirkah. Dalam yurisprudensi di Indonesia dapat dilihat keadaan
ini pada Keputusan Landraad Serang tertanggal 29 Agustus
1929, yang didasarkan pada pendapat Raad van Justitie
Jakarta tanggal 28 Desember 1928, menetapkan bahwa tidak
ada milik bersama antara suami istri, meskipun barang-barang
diperoleh karena pekerjaan dan kewajiban bersama kecuali
jika hal itu dengan jelas disetujui pada waktu perkawinan.
Selain itu, dapat juga dilihat dalam Ketetapan/Fatwa
Syarikah tentang harta bersama antara suami istri yang
ditetapkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Timur tanggal 7
Februari
1978
Nomor
21/C/1978,
dalam
pertimbangan
hukumnya dinyatakan: “Apabila terjadi syirkah (syirkah harta
bersama) pada suatu masa tertentu, maka harta tersebut
dibagi dua, karena terjadi perceraian atau meninggal dunia
salah satu pihak. Demikian juga dengan Fatwa Pengadilan
Agama Jakarta Timur tanggal 28 April 1975 Nomor 54/C/1975
(M. Idris Ramulyo dalam Rachmadi Usman, 2006 : 372-373).
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah penulis
uraikan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai
berikut:
1.
Ketentuan harta kekayaan perkawinan berdasarkan UU No.
1 Tahun 1974 diatur dalam pasal 35 sampai dengan Pasal
37. Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 jika ditinjau dengan
kenyataan hidup sekarang dinilai tidjelas dan kurang adil,
karena
tidak
ada
kejelasan
mengenai
siapa
yang
menghasilkan harta tersebut apakah hasil kerja suami atau
istri. Ketentuan harta kekayaan perkawinan dalam hukum
Islam ada dua pendapat. Pendapat pertama, menyatakan
bahwa dalam hukum Islam tidak dikenal percampuran
harta kekayaan antara suami istri karena perkawinan.
Pendapat
pertama
ini
yang
kuat.
Pendapat
kedua,
menyatakan bahwa mulai saat akad nikah dilangsungkan,
maka demi hukum sejak saat itu telah terjadi percampuran
atau persatuan harta kekayaan, sehingga tidak perlu lagi
diperjanjikan sebagaimana pendapat yang pertama.
2.
Ketentuan harta kekayaan perkawinan jika ada perjanjian
perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam
Bab
V
Pasal
29,
yaitu
mengatur
tentang
perjanjian
perkawinan. Calon suami istri bisa melakukan perjanjian
perkawinan mengenai harta kekayaan perkawinan sebelum
perkawinan dilangsungkan sebagai penyimpangan dari
asas atau pola yang ditetapkan undang-undang, baik
mengenai baik kebersamaan harta yang menyeluruh
maupun pemisahan harta perkawinan atas harta bersama
(tidak ada kebersamaan harta menyeluruh). Dalam hukum
Islam antara suami istri dapat mengadakan syirkah sebagai
sebuah bentuk perjanjian perkawinan untuk harta
yang
telah dimiliki sebelum terjadinya perkawinan atau harta
yang diperoleh selama perkawinan yang bukan karena
usahanya sendiri-sendiri tapi diperoleh karena warisan
maupun
pemberian
khusus
yang
diperuntukkan
bagi
masing-masing.
3.
Akibat hukum terhadap harta kakayaan perkawinan jika
ada perjanjian perkawinan berdasarkan UU No. 1 Tahun
1974. UU No. 1 Tahun 1974 tidak menyebutkan secara jelas
bagaimana akibat hukum harta kekayaan perkawinan yang
ada perjanjian perkawinan mengenai harta tersebut. Jika
perjanjian perkawinan memperjanjikan harta bersama,
maka harta tersebut di atur sesuai undang-undang, yaitu
mengikuti ketentuan hukum hukum Islam. Dalam hukum
Islam, jika terjadi perceraian atau talak, harta syirkah
tersebut dibagi antara suami istri yang turut berusaha dalam
syirkah.
B. Saran
1. Pemerintah segera merevisi UU No. 1 Tahun 1974, khususunya
pasal mengenai harta bersama perkawinan ketika terjadi
perceraian,
di
mana
pembagian
menjadi
dua
tanpa
memperhatikan siapa yang menghasilkan harta tersebut
terutama jika istri yang bekerja. Hal ini tidak adil jika dilihat
sekarang banyak istri yang bekerja lebih daripada suaminya.
Hendaknya undang-undang memberikan hak yang adil dan
tidak bias gender.
2. Pemerintah,
khususnya
lembaga
perkawinan
melakukan
sosialisasi kepada masyarakat mengenai tujuan dan manfaat
perjanjian perkawinan untuk menjaga hak-hak suami istri secara
adil dan berimbang.
3. Pemerintah, khususnya lembaga perkawinan memberikan
perhatian kepada kasus-kasus harta perkawinan secara adil
agar tercipta keselarasan dalam keluarga di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman dan Riduan Syahrani. 1978. Masalah-masalah Hukum
Perkawinan di Indonesia. Bandung: Alumni.
Abu Bakr Jabir al-Jazairi. 2006. Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim.
Jakarta: Darul Falah.
Achmad Ichsan, S.H. 1986. Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam:
SuatuTinjauan dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Ade Maman Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
A. Azhar Basyir. 1990. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: Perpustakaan
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Barda Nawawi Arief. 2003. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Burhan Ashshofa. 1996. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Djaja S. Meliala. 2006. Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan
Hukum Keluarga. Bandung: CV. Nuansa Aulia.
Ibnu Katsir. 2004. Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i.
Ibnu Rusyd. 2002. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Jakarta:
Pustaka Amani.
Indianto Suhardi. 2005. Studi Perbandingan Hukum Kartu Kredit Antara
Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam. Surakarta : Skripsi.
K.
Wantjik Saleh. 1980. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Khuslan Haludhi dan Abdurrohim Sa’id. 2004. Integrasi Budi Pekerti dalam
Pendidikan Agama Islam. Surakarta: Tiga Serangkai.
Mahmud Yunus. 1977. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT
Hidakarya Agung.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press).
M. Farkhan M., Moh. Muchtarom, dkk. 2006. Pendidikan Agama Islam.
Surakarta: UNS Press.
Moch. Chidir Ali, dkk. 1993. Pengertian-pengertian Elementer Hukum
Perjanjian Perdata. Bandung: Mandar Maju.
Mohammad Daud Ali.1999. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Muhammad Kamil Hasan al-Mahami. 2006. Al-Mausû'ah Al-Qur'âniyyah
(Ensiklopedi Al-Qur'an). Jakarta: PT Kharisma Ilmu.
Rachmadi
Usman.
2006.
Aspek-aspek
Hukum
Perorangan
dan
Kekeluargaan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soeroso. Perbandingan Hukum Perdata. 1999. Jakarta. Sinar Grafika.
R.
Soetojo
Prawiromahidjojo.
1986.
Pluralisme
dalam
Perundang-
undangan Perkawinan di Indonesia. Suarabaya: Airlangga
University Press.
R. Subekti. 2000. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta. PT. Pradnya
Paramita.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 1996. Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: CV.
Mandar Maju.
Salim H.S. 2003. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar
Grafika.
Soedharyo Soimin. 2002. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum
Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat. Jakarta:
Sinar Grafika.
Soemiyati.
1986.
Hukum
Perkawinan
Islam
dan
Undang-undang
Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.
Soedjono Dirdjosisworo. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. 2003: PT.Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia (UI Press).
Subekti. 1970. Pokok-pokok dari Hukum Perdata. Jakarta: PT. Pembimbing
Masa.
Subekti. 1976. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa.
Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
T. Jafizham. 2006. Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum
Perkawinan Islam. Jakarta: PT Mestika.
http://www.danareksa.com, diakses tanggal 26 September 2007.
http://www.pikiran-rakyat.com, diakses tanggal 3 Oktober 2007.
http://www.hukumonlne.com, diakses tanggal 3 Oktober 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
LAMPIRAN
Lampiran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
Bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional,
perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara.
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973.
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKAWINAN.
BAB I
DASAR PERKAWINAN
Pasal 1
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Pasal 2
(1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 3
(1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
(2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan.
Pasal 4
(1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan
kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang
suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5
(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan
tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
BAB II
SYARAT-SYARAT PERKAWINAN
Pasal 6
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini
cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu
untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan
lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2),
(3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal
ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain.
Pasal 7
(1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada
Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut
dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan
dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (6).
Pasal 8
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam
hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang
kawin.
Pasal 9
Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi,
kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 10
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai
lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan
lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
Pasal 11
(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah lebih lanjut.
Pasal 12
Tata-cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan
tersendiri.
BAB III
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal l3
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 14
(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus
keatas dan kebawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari salah seorang calon
mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan,
sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi
calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti
tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 15
Barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru,
dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.
Pasal 16
(1) Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12
Undang-undang ini tidak dipenuhi.
(2) Mengenai Pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai
pencatat perkawinan.
(2) Kepada calon-calon mempelai diberi tahukan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini oleh pegawai pencatat perkawinan.
Pasal 18
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik
kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah.
Pasal 19
Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.
Pasal 20
Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu
melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan dalam
Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-undang ini meskipun
tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 21
(1) Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut
ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan
perkawinan.
(2) Didalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan
perkawinan. oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan
tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada
pengadilan didalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan
penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat
keterangan penolakan tersebut diatas.
(4) Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan,
agar supaya perkawinan dilangsungkan.
(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan
penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi
pemberitahuan tentang maksud mereka.
BAB IV
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 22
Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.
Pasal 23
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pasal 24
Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah
pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan
yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undangundang ini.
Pasal 25
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum
dimana perkawinan dilangsungkan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau
isteri.
Pasal 26
(1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2
(dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
(2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1)
pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak
berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.
Pasal 27
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan
apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya,
dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami
isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan,
maka haknya gugur.
Pasal 28
(1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama,
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB V
PERJANJIAN PERKAWINAN
Pasal 29
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Pasal 30
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.
Pasal 32
(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh
suami isteri bersama.
Pasal 33
Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.
Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan
gugutan kepada Pengadilan.
BAB VII
HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya
untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya
masing-masing.
BAB VIII
PUTUSNYA PERKAWINAN SERTA AKIBATNYA
Pasal 38
Perkawinan dapat putus karena :
a. kematian,
b. perceraian dan
c. atas keputusan Pengadilan.
Pasal 39
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tatacara perceraian didepan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Pasal 40
(1) Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan.
(2) Tatacara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan tersendiri.
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
BAB IX
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 42
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah.
Pasal 43
(1) Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan keluarga ibunya.
(2) Kedudukan anak tersebut ayat (1) diatas selanjutnya akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 44
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya,
bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu akibat
daripada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak
yang berkepentingan.
BAB X
HAK DAN KEWAJIBAN ANTARA ORANG TUA DAN ANAK
Pasal 45
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.
Pasal 46
(1) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan
keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.
Pasal 47
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan
diluar Pengadilan.
Pasal 48
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap
yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Pasal 49
(1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak
atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat
yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal :
a. la sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. la berkelakuan buruk sekali.
(2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
BAB XI
PERWALIAN
Pasal 50
(1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah kekuasaan wali.
(2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.
Pasal 51
(1) Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua,
sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang
saksi.
(2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
(3) Wali wajib mengurus anak yang dibawah penguasaannya dan harta bendanya sebaikbaiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.
(4) Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta
benda anak atau anak-anak itu.
(5) Wali bertanggung-jawab tentang harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya
serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.
Pasal 52
Terhadap wali berlaku juga Pasal 48 Undang-undang ini.
Pasal 53
(1) Wali dapat dicabut dari kekuasaannya, dalam hal-hal yang tersebut dalam Pasal 49
Undang-undang ini.
(2) Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal
ini, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Pasal 54
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang dibawah
kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan Keputusan
Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.
BAB XII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN
Bagian Pertama
Pembuktian asal-usul anak
Pasal 55
(1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik,
yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.
(2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan
yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
(3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan
akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Perkawinan diluar Indonesia
Pasal 56
(1) Perkawinan yang dilangsungkan diluar Indonesia antara dua orang warganegara
Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu
dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini.
(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali diwilayah Indonesia, surat
bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat
tinggal mereka.
Bagian Ketiga
Perkawinan Campuran
Pasal 57
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 58
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan
campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam
Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku.
Pasal 59
(1) Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya
perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
mengenai hukum perdata.
(2) Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undangundang Perkawinan ini.
Pasal 60
(1) Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syaratsyarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masingmasing telah dipenuhi.
(2) Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan
karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh
mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang
mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.
(3) Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu,
maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan
tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan
pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
(4) Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu
menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
(5) Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah
keterangan itu diberikan.
Pasal 61
(1) Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.
(2) Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih
dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan
pengganti keterangan yang disebut dalam Pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.
(3) Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui
bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan.
Pasal 62
Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1)
Undang-undang ini.
Bagian Keempat
Pengadilan
Pasal 63
(1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-undang ini ialah :
a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
b. Pengadilan Umum bagi lainnya.
(2) Setiap Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan-peraturan lama,
adalah sah.
Pasal 65
(1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama
maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuanketentuan berikut:
a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan
anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang
telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
(2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut
Undang-undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat
(1) pasal ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen
Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde
Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 67
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang
pelaksanaannya secara efektif lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Hal-hal dalam Undang-undang ini yang memerlukan pengaturan pelaksanaan, diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
JENDERAL TNI.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 1974
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
SUDHARMONO, SH.
MAYOR JENDERAL TNI.
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 1
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1974
TENTANG
PERKAWINAN
PENJELASAN UMUM:
1. Bagi suatu Negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi
berbagai golongan dalam masyarakat kita.
2. Dewasa ini berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warganegara
dan berbagai daerah seperti berikut :
a. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku hukum Agama
yang telah diresipiir dalam Hukum Adat;
b. bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat;
c. bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks
Ordonnantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);
d. bagi orang Timur Asing Cina dan warganegara Indonesia keturunan Cina berlaku
ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan;
e. bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warganegara Indonesia keturunan
Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum Adat mereka;
f. bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
3. Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, maka
Undang-undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, sedangkan di lain fihak
harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.
Undang undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan
ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Keper- cayaannya itu dari yang
bersangkutan.
4. Dalam Undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai
perkawinan dari segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah
disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini adalah sebagai
berikut:
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu
suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan sprituil dan
material.
b. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.itu; dan
disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwaperistiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam
pencatatan.
c. Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki oleh yang
bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkan, seorang
suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami
dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak- pihak yang
bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan.
d. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri itu harus telah masak
jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan
tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan
yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan diantara calon suami
isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu, perkawinan mempunyai hubungan
dengan masalah kependudukan. Ternyatalah bahwa batas umur yang lobih rendah bagi
seorang wanita untuk kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung
dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria
maupun bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun
bagi wanita.
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan
sejahtera, maka undang- undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya
perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan Sidang
Pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumahtangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh
suami-isteri.
5. Untuk menjamin kepastian hukurri, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku, yang
dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula apabila mengenai
sesuatu hal Undang-undang ini tidak mengatur dengan sendirinya berlaku ketentuan yang
ada.
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agama/kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai peranan yang
penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak dan kewajiban
orang tua.
Pasal 2
Dengan perurnusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada Perkawinan diluar hukum rnasingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam
Undang- undang ini.
Pasal 3
1. Undang-undang ini menganut asas monogami.
2. Pengadilan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat yang tersebut
dalam Pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan
hukum perkawinan dari salon suami mengizinkan adanya poligami.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
1. Oleh karena perkawinan mernpunyai rnaksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan Perkawinan
tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti
mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang
sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang ini.
2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.
4. Cukup jelas.
5. Cukup jelas.
6. Cukup jelas.
Pasal 7
1. Untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan keturunan, perlu ditetapkan batas-batas
umur untuk perkawinan.
2. Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang pemberian dispensasi terhadap perkawinan yang dimaksud pada ayat (1) seperti
diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (S. 1933 Nomor 74) dinyatakan tidak berlaku.
3. Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk
keluarga yang kekal maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu
perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga
suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ketentuan Pasal 12 ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang
Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Pengertian "dapat" pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana
menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan "perjanjian" dalam pasal ini tidak termasuk taklik-talak.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Apabila perkawinan Putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut Hukumnya
masing-masing.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Yang dimaksud dengan "hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat
dan hukum lainnya.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
1. Cukup jelas.
2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk pereeraian adalah :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang libel
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak inelakukan kekeiaman atau penganiayaan berat yang mernbahayakan
terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.
3. Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Pengadilan mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Yang dimaksud dengan "kekuasaan" dalam pasal ini tidak termasuk kekuasaan sebagai
wali-nikah.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 3019
Download