PEMISAHAN HARTA BERSAMA (GONO GINI) DALAM PRAKTEK HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Mengenal Lembaga Pisah Harta Sebelum membahas mengenai pemisahan harta dalam suatu perkawinan, maka perlu dipelajari dan dikaji terlebih dahulu beberapa kaidah hukum yang terkait agar dapat menghasilkan pemahaman yang matang, yaitu mengenai keluarga, mengenai perkawinan, dan mengenai harta benda itu sendiri. Menurut hukum Indonesia, lembaga Pisah Harta termasuk dalam kelompok Hukum Perkawinan (Marriage Law) yang mengatur mengenai harta benda (Hukum Kebendaan/Zakenrecht), sedangkan Hukum Perkawinan itu sendiri merupakan bagian dari Hukum Keluarga (Family Law). Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut “UU Perkawinan”), setiap Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia tunduk kepada ketentuanketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek/“KUHPerdata”), Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia (Huwelijk Ordonantie Christen Indonesia) No. 74 Tahun 1933, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan. Mengenai harta benda, Hukum Perkawinan Indonesia menganut prinsip atau asas “Persatuan Harta” antara suami isteri, yaitu seluruh harta benda atau harta kekayaan yang diperoleh suami dan isteri selama perkawinan akan menjadi Harta Bersama, dimana suami dan istri tersebut, mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap harta benda yang menjadi Harta Bersama tersebut. Dengan demikian kita dapat mengetahui bahwa baik suami maupun isteri, keduanya berhak menikmati setiap harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan berlangsung, dalam prosentase pembagian yang sama besarnya. Namun perlu diingat, bahwa apabila ternyata terdapat hutang dan/atau kerugian, maka mereka juga mempunyai kewajiban yang sama besarnya untuk menanggung semua hutang dan/atau kerugian yang terjadi selama perkawinan mereka berlangsung, yang akan diperhitungkan sepenuhnya dari Harta Bersama. Hal inilah, salah satunya yang mendasari pemikiran bahwa diperlukan adanya suatu lembaga Pisah Harta di dalam suatu perkawinan. B. Cara Melakukan Pemisahan Harta Menurut hukum positif (hukum yang berlaku saat ini) dan praktek di lapangan mengenai lembaga Pisah Harta, untuk melakukan pemisahan terhadap Harta Bersama maka dapat menggunakan cara-cara yang diatur dalam Pasal 29 Ayat (1) UU Perkawinan, yaitu yang berbunyi: “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. Ketentuan hukum tersebut mengharuskan adanya suatu perjanjian tertulis yang dibuat oleh para pihak untuk mengatur besaran pembagian terhadap Harta Bersama, dimana kemudian perjanjian tersebut disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan (KUA bagi yang beragama Islam, dan Catatan Sipil bagi yang beragama selain Islam). Perjanjian ini dalam praktek dinamakan Perjanjian Pra-Nikah (Prenuptial Agreement) atau yang biasa disebut juga dengan “Perjanjian Pisah Harta”. Akan tetapi terdapat satu syarat yang harus dipenuhi dalam pembuatan Perjanjian Pisah Harta tersebut, yakni harus dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Hal ini berarti sudah tertutup kemungkinan untuk melakukan pemisahan harta apabila perkawinan telah dilangsungkan. Dalam praktek sehari-hari, Penulis menemukan banyak sekali pasangan suami isteri, baik sesama WNI ataupun perkawinan campuran (WNI dengan WNA), yang mengeluhkan soal ini. Kelalaian melakukan pemisahan harta ini disebabkan karena ketidaktahuan mereka akan adanya lembaga Pisah Harta sebelum perkawinan, atau bisa saja mereka baru mengetahui manfaatnya justru setelah mereka menikah. Mereka kemudian mengeluhkan ketatnya aturan hukum yang melarang mereka untuk melakukan pemisahan harta setelah menikah, sementara kebutuhan situasional di lapangan bersifat mendesak. Untuk mengatasi persoalan tersebut diperlukan adanya suatu langkah-langkah terobosan hukum, dimana menurut pengamatan dan pengalaman Penulis, pemisahan harta setelah menikah dapat dilakukan melalui suatu proses di lembaga peradilan yang berwenang. C. Pemisahan Harta Bersama Yang Dilakukan Setelah Menikah Perjanjian Pisah Harta yang dilakukan setelah menikah atau “Perjanjian Pasca-Nikah” (Postnuptial Agreement) adalah perjanjian tertulis yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan, yang mengatur pemisahan dan/atau pembagian terhadap Harta Bersama atau gono gini. Perjanjian ini tidak dikenal dalam Hukum Perkawinan Indonesia, namun demikian pemisahan harta dengan cara ini merupakan terobosan hukum yang dapat menjadi solusi bagi para pihak yang membutuhkannya. Ada banyak hal yang menjadi kebutuhan situasional di lapangan yang membutuhkan adanya pemisahan terhadap Harta Bersama atau gono gini, yaitu antara lain: 1. Kebutuhan bagi WNI yang menikah dengan WNA untuk memperoleh Hak Milik atas properti berupa tanah dan bangunan (rumah); 2. Salah satu pihak (suami atau isteri) memiliki resiko pekerjaan yang tinggi, yang dapat berpengaruh terhadap Harta Bersama; 3. Kebutuhan untuk memisahkan Harta Bersama dari perkawinan yang sebelumnya; dan 4. Mempunyai usaha atau bisnis yang beresiko tinggi dimana ada kemungkinan akan mengalami krisis. Berdasarkan berbagai kebutuhan tersebut itulah maka dirasa cukup krusial untuk mengadakan pembaharuan hukum di Indonesia, khususnya mengenai Hukum Perkawinan. Namun demikian, sementara menunggu perubahan itu datang, beberapa cara berikut ini dapat digunakan dalam membuat suatu terobosan hukum untuk melakukan pemisahan harta suami-isteri setelah mereka menikah, yaitu antara lain: Membuat Perjanjian Pasca-Nikah (Postnuptial Agreement) Secara Tertulis Dalam membuat Perjanjian Pasca-Nikah (Postnuptial Agreement), patut diperhatikan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah (valid) menurut hukum Indonesia. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian maka diperlukan syarat-syarat sebagai berikut: 1) Adanya kesepakatan diantara para pihak yang membuatnya; 2) Kecakapan menurut hukum; 3) Adanya suatu hal tertentu yang diperjanjikan; dan 4) Adanya suatu sebab atau alasan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Meminta Pengesahan dari Lembaga Peradilan Yang Berwenang Pengesahan dari suatu lembaga peradilan mutlak diperlukan dalam melakukan langkah-langkah terobosan hukum melakukan pemisahan harta setelah menikah. Ketentuan yang dipakai untuk meminta pengesahan tersebut mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku. Dibutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk mengikuti proses persidangan yang digelar untuk memeriksa perkara pemisahan harta setelah menikah (Postnuptial) tersebut. Setidaknya berdasarkan praktek di lapangan, persidangan yang cukup memakan waktu adalah pada saat pemeriksaan buktibukti dan saksi-saksi di hadapan Hakim. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan persiapan yang matang sebelum maju ke persidangan. Mencatatkan Pemisahan Harta Bersama Setelah Menikah Bila proses persidangan telah dilalui dan permintaan untuk melakukan pemisahan harta setelah menikah telah dikabulkan oleh hakim, maka langkah berikutnya yang juga penting untuk dilakukan adalah mencatatkan adanya pisah harta tersebut pada kutipan Akta Perkawinan. Bagi pasangan suami isteri yang beragama Islam maka pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), sedangkan bagi yang beragama selain Islam wajib dilakukan di Kantor Catatan Sipil. ******** Author: Dhanu Prayogo, SH. Credits to: Rolan Nainggolan, Bismar Lubis & Eka Putra Wijaya. © PRAYOGO ADVOCATEN Law Office – September 2016 All rights reserved. Semua pertanyaan yang berhubungan dengan Perkawinan (Hukum Keluarga) dan Harta Benda dapat ditujukan melalui email kami maupun dengan mengisi Form Konsultasi yang dapat diisi secara langsung pada website ini maupun unduh (download) pada pilihan Menu Download. PRAYOGO ADVOCATEN Law Office mempunyai pengalaman bertahun-tahun dalam menangani permasalahan yang berhubungan dengan Perkawinan (Hukum Keluarga) dan Harta Benda. Biaya jasa yang kami kenakan selalu kami sampaikan di awal sebelum menutup kesepakatan dengan membuat Perjanjian Jasa Hukum (Legal Services Agreement). Sehingga tidak akan ada biaya-biaya yang akan timbul dikemudian hari, selain dari biaya yang telah disepakati.