MEMBANGUN SOSIOLOGI INKLUSIF DALAM

advertisement
Jurnal EducatiO
Vol. 10 No. 2, Desember 2015, Hal. 214-232
MEMBANGUN SOSIOLOGI INKLUSIF DALAM PRAKTEK
PEMBELAJARAN
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu
Pintar Pada Pembelajaran Sosiologi Siswa)
Abdurrohman
Prodi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong
Email: [email protected]
Abstract
This research aimed at 1). To grow and practice diversity values and
tolearnce to students 2). Through sociology teaching, the present
researcher contributed in growing tolerance values and diversity in the
classroom. 3). Creating classrooms as social lab in tolerance life context.
This research belonged to experiment study which adopted one group
Pretest-Posttest design. Data collecting technique were observation,
interview, and documentation. While, data analysis was descriptive
qualitative. Research result showed that sociology learning by applying
smart dice games could change mindset and students’ behavior, students
who used to intolerant and exclusive have realized the importance of
tolerance, inclusive and respect to others’ difference. It was proved that
the score of pre-test before the teaching and learning process of sociology
showed that prior the sociology learning, there was 68 % students had
intolerant and exclusive views. Whereas, the rest 32% has tolerance
attitude and respect to diversity. Finally, the result of post-test with
similar questions showed 92 % students aware about the importance of
tolerance and respect the diversity of religious, ethnics, while the rest 8 %
less their awareness on the significant of tolerance.
Penelitian ini bertujuan 1). Menanamkan dan mempraktekkan nilai-nilai
keberagaman dan toleransi dan kepada siswa-siswi dalam pembelajaran
sosiologi. 2). Melalui pembelajaran Sosiologi, penulis ikut berkontribusi
dalam penyemaian nilai-nilai toleransi dan keberagaman diruang kelas. 3).
Menjadikan ruang kelas sebagai social lab dalam praksis kehidupan
bertoleransi. Penelitian ini jenis penelitian eksperimen model one group
Pretest-Posttest design. Teknik pengumpulan data menggunakan
observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan analisis data bersifat
deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
214
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
sosiologi dengan menggunakan permainan dadu pintar dapat mengubah
minset dan perilaku siswa yaitu, siswa yang sebelumnya intoleran dan
bersikap eksklusif telah menyadari akan pentingnya toleransi, bersikap
inklusif dan menghargai perbedaan. Terbukti hasil pre-tes sebelum
pelaksanaan pembelajaran sosiologi menunjukkan 68% siswa-siswi
memiliki sikap dan pandangan intoleran dan eksklusif. Sedangkan 32%
memiliki sikap toleransi dan menghormati perbedaan. Sedangkan hasil
post-tes dengan soal yang sama, menunjukkan 92 % siswa menyadari akan
pentingnya toleransi dan menghargai perbedaan agama dan etnis, sedangan
8% masih kurang menyadari akan pentingnya toleransi.
Kata Kunci: Sosiologi, Inklusif, Pendidikan Toleransi dan dadu pintar
Key Words: Sociologi, Inklusive, Tolerance Education and smart dice
A. PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia merupakan bangsa besar yang dikenal masyarakatnya multikultur.
Kondisi ini secara historis tidak lepas dari peran para founding fathers yang membangun
bangsa ini diatas fondasi kebhinnekaan. Bangsa yang multikultur adalah bangsa yang
kelompok-kelompok etnik dan budaya yang ada dapat hidup berdampingan (coexistence) secara damai yang ditandai dengan kesediaan untuk menghormati budaya
lain. (Naim & Sauqi, 2011: 126)
Dalam realitasnya, masyarakat multikultural ibarat pisau bermata dua. Ia akan menjadi
kekuatan (modal social) sekaligus ancaman yang dapat merusak aggregasi bangsa.
Apabila keragaman ini di rawat dan dijaga dengan baik maka akan menjadi rahmat yang
dapat mendorong kreativitas bangsa, pemerkayaan intelektual, dan pengembangan
sikap-sikap toleran (Hatimah, 2008:7.1). Begitu juga sebaliknya, apabila dalam
masyarakat multikultur mindset masyarakatnya masih terkooptasi oleh sifat prasangka,
kebencian, dan kecurigaan (mutual consciousness) terhadap kelompok
lain yang
berbeda (the others) maka ikatan-ikatan social (social bond) yang telah terbangun kuat
akan runtuh dan dapat mengarah pada konflik primordialistik.
Akhir-akhir ini menguatnya gejala sosial anti-keberagaman dan intoleransi telah
menggugah keprihatinan kita sebagai anak bangsa. Perilaku masyarakat yang
215
Abdurrahman
menunjukkan sentimen etnis, agama dan budaya tertentu sering hadir dalam kehidupan
kita dan menjadi ancaman serius terhadap aggregasi bangsa. Sering kita saksikan
kekerasan dan tawuran antar pelajar, sentimen mayoritas-minoritas, tindakan bullying
terhadap sesama yang berbau primordialistik merupakan sederet contoh gejala sosial
anti-keberagaman yang jamak terjadi pada masyarakat kita. Perilaku sosial masyarakat
seperti ini mengingkari fitrah sebagai bangsa yang berasaskan Bhinneka Tunggal Ika.
Gejala anti-keberagaman dan intoleransi juga telah merasuk dalam praksis pendidikan
baik pada ranah kebijakan maupun ranah tindakan. Sering kita dengar dan saksikan
sikap intoleransi ditunjukkan oleh siswa seperti enggan mengucapkan selamat hari raya
kepada temannya yang berbeda agama, membentuk eksklusivitas kelompok-kelompok
berdasarkan kategori sosial berdasarkan etnis, budaya dan agama tertentu merupakan
sederat gejala anti keragaman dan intoleransi yang dapat mengusik persatuan. Bahkan
ada sekolah dimana siswanya dari agama tertentu tidak boleh merayakan hari besar
agama dilingkungan sekolah (Kompas,13/11/2014). Yang lebih memprihatinkan lagi ada
sekolah yang membuat kebijakan kontroversial anti keberagaman yaitu larangan
memakai jilbab bagi siswi yang beragama Islam.
Gejala anti keberagaman dan intoleransi tersebut tidak dapat dibenarkan. Sebagai
seorang pendidik gejala anti keberagaman dan intoleransi ini perlu diantisipasi dan
direspon melalui praksis pembelajaran dikelas. Di lingkungan sekolah, sikap toleransi
dan kebersamaan harus menjadi pilar penting. Sekolah sebagai salah satu bentuk sistem
social yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat dengan latar belakang berbeda:
ekonomi, keluarga, agama, budaya bahkan minat dan prestasi. Dengan perbedaan ini
tidak mustahil dalam masyarakat sekolah akan terjadi benturan kepentingan yang
mengarah kepada sentimen ideologis dan eksklusivitas kelompok. Oleh sebab itu perlu
ada upaya-upaya secara sengaja dan kontinyu yang diarahkan untuk menyebarkan nilainilai toleransi di lingkungan sekolah.
Ada beberapa penelitian yang menunjukkan pentingnya toleransi dilingkungan sekolah.
Julianti (2013) dalam penelitiannya menjelaskan tentang pelaksanaan internalisasi nilai
216
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
toleransi pada pembelajaran PKn melalui model telling story dalam mengatasi masalah
tawuran sekolah menengah di Sukabumi dikategorikan berhasil. Penelitian ini menunjukkan
bahwa model telling story cocok digunakan untuk mengatasi tawuran antar pelajar yang
marak terjadi di Sukabumi.
Rahmah (2012) dalam penelitiannya menjelaskan tentang Pendidikan Religiositas dapat
meningkatkan sikap toleransi siswa yang berbeda agama di kelas XI SMA BOPKRI 1
Yogyakarta baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa dengan adanya Pendidikan Religiositas, semakin berkembangnya
sikap toleransi siswa terhadap sesama teman yang berbeda agama, dengan guru, dengan
yang lain baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakat. Siswa saling menghormati,
santun terhadap guru, saling tolong menolong dan semakin lebih baik lagi
Berdasarkan hasil penelitian diatas, peneliti tertarik meneliti pendidikan toleransi dengan
menggunakan permainan dadu pintar diruang kelas. Penelitian ini penting dilakukan
karena pendidikan toleransi tidak sekedar
ditanamkan (knowing) dikalangan siswa
tetapi harus dipraktekkan (doing) dan dikembangkan menjadi bagian dari budaya
sekolah sehingga siswa dapat hidup berdampingan, saling menghargai, saling
menghormati antar sesama yang memiliki latarbelakang agama dan budaya yang
berbeda. Disamping itu pendidikan toleransi atau multikultural selama ini masih sekedar
menjadi perbincangan akademik (academic world) dan belum ditransformasikan dalam
tindakan nyata dalam keseharian (real world).
Penelitian ini bertujuan 1). Menanamkan dan mempraktekkan nilai-nilai keberagaman
dan toleransi dan kepada siswa-siswi melalui pembelajaran sosiologi. 2). Melalui
pembelajaran Sosiologi, penulis ikut berkontribusi dalam penyemaian nilai-nilai
toleransi dan keberagaman. 3). Menjadikan ruang kelas sebagai social lab dalam praksis
kehidupan bertoleransi.
217
Abdurrahman
Toleransi
Toleransi adalah penghormatan, penerimaan dan penghargaan tentang keragaman yang
kaya akan kebudayaan dunia kita, bentuk ekspresi kita dan tatacara sebagai manusia. Hal
itu di pelihara oleh pengetahuan, keterbukaan, komunikasi, dan kebebasan pemikiran,
kata hati dan kepercayaan. Toleransi adalah harmoni dalam perbedaan (Unesco Apnieve,
2000:54). Toleransi adalah sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku,
etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. (Pusat
Kurikulum, 2010: 9-10).
Toleransi sesungguhnya berkembang dalam kerangka adanya keberagaman, utamanya
adalah keberagaman agama dan budaya termasuk didalamnya kebiasaan-kebiasaan,
tradisi atau adat istiadat yang menyertainya. Oleh sebab itu semakin keberagaman suatu
bangsa atau suatu masyarakat, maka akan semakin besar pula tuntutan bagi keharusan
pengembangan nilai-nilai toleransi dalam kehidupan masyarakat dan individu sehingga
akan terwujud keserasian dan keharmonisan hidup jauh dari konflik-konflik dan
ketegangan-ketegangan social terlebih lagi pertentangan dan permusuhan antar
sesamanya dalam masyarakat (Endang, 2009: 92)
Penghormatan terhadap keragaman mengandung pengertian bahwa setiap orang dituntut
untuk mampu melihat perbedaan yang ada pada orang lain atau kelompok lain sebagai
sesuatu yang tidak harus dipertentangkan dengan apa yang ia miliki. Sesuatu
karakteristik yang berbeda pada orang lain tersebut hendaknya dipandang sebagai bagian
yang memberi kontribusi bagi semakin kaya dan luasnya kebiasaan dan budaya secara
keseluruhan (Endang, 2009: 92)
Penegasan terhadap makna toleransi dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam
lingkungan sekolah sebagai salah satu bentuk dari suatu sistems social menjadi penting
adanya, sebab jangan sampai terjadi penolakan terhadap nilai-nilai toleransi hanya
dikarenakan individu atau kelompok merasa cemas dan khawatir bahwa dengan toleransi
itu menjadi bentuk perendahan diri dan pemujaan terhadap orang lain. Toleransi
218
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
terutama adalah suatu sikap yang aktif didorong oleh pengakuan atas hak-hak asasi
manusia universal dan kebebasan fundamental orang lain. (Unesco Apnieve, 2000:54)
Pendidikan Multikultural :Dari Monokultur menuju Multikultur
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural hingga saat ini belum
begitu jelas dan masih debatable dikalangan ilmuwan. Namun demikian, bukan berarti
pengertian pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Tetapi para ilmuawan
berbeda pendapat dalam menjelaskan definisi pendidikan multikultural. Menurut
Andersen Dan Cusher (dalam Mahfud, 2010, hal: 175) Pendidikan multikultural dapat
diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Sedangkan James Banks
(dalam Mahfud, 2010: 175) mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan
untuk people of color. Artinya pendidikan ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan atau sunnatullah)
Istilah pendidikan multicultural dapat digunakan baik pada tataran deskriptif maupun
normative yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang
berkaitan dengan masyarakat multicultural. Dalam konteks dekriptif ini, kurikulum
pendidikan multicultural seharusnya mencakup kajian-kajian seperti toleransi, tematema
tentang
perbedaan
cultural,
agama
bahaya
diskriminasi,
pluralitas,
multikulturalisme dan kajian-kajian lain yang relevanlain-lain (Mahfud, 2010: 180)
Selama ini kebijakan pendidikan masih banyak diwarnai semangat monokultur, dan
bukan semangat multikultur. Monokulturalisme lebih
kebudayaan
yang
ada
sebagai
sebuah
kesatuan
menekankan penyatuan
keseragaman.
Sedangkan
Multikulturalisme menekankan pada pengakuan kesetaraan terhadap perbedaanperbedaan yang ada. Dalam pendidikan monokultur, seluruh pengelolaan input, proses
dan output pendidikan lebih mengacu kepada nilai-nilai budaya dominan di sekitar
sekolah atau madrasah sendiri. Nilai-nilai budaya yang lemah ditempatkan ditepi batas
(pinggiran) dari proses pendidikan. (Maliki, 2010 : 252)
219
Abdurrahman
Pendidikan monokultur bukan saja telah menyebabkan terjadinya proses peminggiran
budaya non-dominan, tetapi juga menumbuhkan sensivitas terhadap perbedaan.
Sementara perkembangan masyarakat kian mengarah kepada keanekaragaman budaya,
latarbelakang sosial, pilihan politik, status ekonomi, bahasa maupun etnisitas.
Sementara itu belum banyak yang menyadari bahwa kehidupan semakin majemuk.
Namun, paradigma pendidikan belum diubah. Pendidikan masih menggunakan
paradigma tunggal. Ditengah masyarakat yang kian majemuk, pandangan yang serba
tunggal
itu bisa melahirkan berbagai masalah. Pendidikan monokultur hanya
melahirkan manusia yang hanya bisa bergaul dengan orang lain yang pandangannya
sama, cara berfikirnya sama, bahasanya juga sama, cara mengucapkan salam sama,
pilihan politiknya sama. Mereka yang dididik dengan pendidikan monokultur
memandang orang lain yang berbeda bahasa, cara mengucapkan salam, budaya, dan
pilihan politiknya berbeda sebagai pihak lain yang tidak perlu diperhatikan dan dibela
dan bahkan bisa menjadi ancaman yang dianggap sebagai musuh yang harus
disingkirkan (Maliki, 2010 : 252).
Sedangkan pendidikan multikultur mencoba menggantikan perspektif monokultur.
Pendidikan multikultur mengajak melihat perbedaan sebagai sesuatu yang wajar.
Pendidikan multikultur melahirkan manusia-manusia yang siap bergaul, berinteraksi,
bekerjasama, saling mengisi, saling menghargai, saling menghormati dengan orang lain,
meski cara hidup berbeda, ucapan salamnya berbeda, status sosial ekonominya berbeda.
Jika disepakati, perspektif multikultur harus menggantikan monokultur, maka
pendidikan termasuk lingkungan madrasah harus dipersiapkan proses managemen dan
kurikulum serta strategi pembelajaran yang relevan. (Maliki, 2010:254) Di level sekolah,
siswa diberi ruang untuk menciptakan struktur pengetahuan dan construct tentang
identitas budaya mereka sendiri. Perspektif ini mengimplikasikan keharusan menerima
keragaman konstruks siswa, karena memang siswa sekolah datang dari berbagai
latarbelakang nilai, keyakinan,kultur, etnis, ideologi maupun agama. Dalam konteks
inilah pendidikan tidak bisa dikemas dengan cara monokultur, melainkan tetap harus
220
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
menyediakan ruang bagi siswa untuk bisa memasuki arus transformasi sosial yang
menuntut kesederajatan, demokrasi, dan keadilan ditengah pluralitas budaya (Dalam
Maliki, 2010, hal 266).
Dengan demikian, hal yang paling urgen dalam pengembangan pendidikan multikultural
adalah penyadaran akan pentingnya nilai-nilai yang menopang budaya plural. Nilai-nilai
itu harus dikembangkan menjadi bagian dari budaya sekolah. Artinya sekolah tidak
hanya di desain sebagai institusi untuk transfer of knowledge dan pengembangan potensi
dalam perspektif monokultur, tetapi institusi pendidikan harus menjadi arena bagi siswa
yang dikembangkan atas dasar prinsip multikultur
Sosiologi
Istilah sosiologi berasal dari bahasa Yunani socius (kawan) dan logos (ilmu). Obyek
material sosiologi adalah manusia dan obyek formalnya adalah hubungan antar manusia.
Dalam kaitan ini sosiologi kemudian mempelajari berbagai bentuk relasi sosial yang
mempengaruhi tindakan manusia.
Kelahiran sosiologi lazim dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama
August Comte (1798-1857) yang dengan kreatif telah menyusun sintesis berbagai
macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat
dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh
Comte diberi nama social Physics (fisika sosial), kemudian diubahnya sendiri menjadi
sociology, karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan
ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistik sosial berasal dari Belgia bernama
Adophe Quetelet. Berdasarkan sumbangsih pikiran-pikiran August Comte kemudian ia
dikenal sebagai bapak sosiologi.
Comte membagi sosiologi kedalam dua aspek besar, yaitu yang disebut statika sosial
(social statics) dan dinamika sosial (social dynamics). Statika sosial melihat struktur
atau bentuk, sedangkan aspek dinamika sosial melihat perubahan. Statika dan dinamika
221
Abdurrahman
hanyalah dua aspek teori, bukan dua kategori fakta. Statika merujuk pada konsep order
yang didalamnya terkandung harmoni yang permanen diantara berbagai kondisi sosial.
Sedangkan dinamika merujuk pada konsep progress yang didalamnya terdapat sebuah
perkembangan. Didalam konsep order ditekankan bahwa bagian-bagian dari masyarakat
(seperti keluarga, ekonomi dan politik) tidak dapat dimengerti secara terpisah, tetapi
harus dilihat sebagai satu kesatuan yang saling berhubungan. Sedangkan konsep
progress ditekankan bahwa dalam membaca fenomena sosial perlu melihat masyarakat
secara keseluruhan sebagai unit analisis. Dari sana kemudian dilihat perkembangannya
dari waktu ke waktu dan memperkuat keyakinan pada diri Comte bahwa semua
masyarakat bergerak dengan melalui tahap perkembangan tertentu secara pasti dari
kondisi yang sederhana menuju kearah yang lebih kompleks (Usman,2012: 2).
Ada seorang pakar yang berusaha memperjelas definisi sosiologi yaitu waters dan
Crooks yang menyatakan bahwa sosiologi adalah analisis yang sistematis tentang
struktur tindakan sosial. Dalam definisi ini paling tidak terkandung empat elemen
penting. Pertama,tindakan yang dikaji adalah dalam karakter sosial (bukan individual).
Tindakan sosial berarti tindakan yang ditujukan untuk orang lain (bukan bagi dirinya
sendiri), mempunyai konsekuensi bagi orang lain atau merupakan konsekuensi dari
tindakan orang lain (ada hubungan timbal balik). Kedua, tindakan sosial yang dipelajari
oleh sosiologi tersebut adalah berstruktur. Struktur disini berarti pola atau regulasi,
karena itu analisis sosiologi dapat mengindentifikasi, proses dan implikasi tindakan
sosial. Dalam konteks ini sosiologi bukan hanya semata-mata penjelasan deskriptif tetapi
berusaha memahami kaitan antara elemen-elemen tindakan sosial. Ketiga, penjelasan
sosiologi bersifat analitis. Ini berarti bahwa dalam menjelaskan tindakan sosial
berlandaskan prinsip-prinsip teori dan metodologi penelitian tertentu, jadi bukan
berdasarkan konsensus-konsensus yang hanya berlaku khusus. Hasil studi seorang ahli
sosiologi dapat dikomunikasikan kepada orang lain, bahkan dapat dikaji lanjut atau diuji
oleh orang lain. Keempat, penjelasan sosiologi adalah sistematis, artinya dalam
memahami tindakan sosial sosiologi menempatkan dirinya sebagi suatu disiplin yang
222
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
mengikuti aturan-aturan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Ustman,
2012:4-6).
Sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sosiologi memiliki ciri-ciri:
a. Bersifat Empiris, artinya sosiologi dalam melakukan kajian tentang masyarakat
didasarkan pada hasil observasi, tidak spekulatif dan hanya menggunakan akal sehat
(commonsense)
b. Bersifat teoritis, sosiologi berusaha menyusun abstraksi dan hasil-hasil observasi.
Abstraksi adalah kerangka dari unsur-unsur yang didapat didalam observasi,
disusun secara logis, serta memiliki tujuan untuk menjelaskan hubungan sebab
akibat.
c. Bersifat kumulatif. Teori-teori sosiologi dibentuk berdasarkan teori-teori yang telah
ada sebelumnya dalam arti memperbaiki, memperluas, dan memperhalus teori-teori
lama.
d. Bersifat non-etis. Yang dilakukan sosiologi bukan mencari baik buruknya suatu
fakta tetapi menjelaskan fakta-fakta tersebut secara analitis. Oleh sebab itu seorang
sosiolog tidak bertugas untuk berkhutbah dan mempergunjingkan baik-buruknya
tingkah laku sosial suatu masyarakat
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen model one group Pretest-Posttest
design. Maksudnya desain pada penelitian ini membutuhkan pr-etes sebelum diberi
perlakuan. Dengan demikian hasil perlakuan (treatment) dapat membandingkan dengan
keadaan sebelum diberi perlakuan (Sugiyono, 2009:110). . Teknik pengumpulan data
menggunakan angket, observasi, wawancara dan dokumentasi, sedangakan analisis data
bersifat deskriptif kualitatif . Penelitian ini berlokasi di MA NW Pancor. Sekolah ini
merupakan sekolah homogen dimana siswa-siswinya berlatarbelakang agama, etnis dan
budaya yang sama agar mereka mendapat perspektif keberagamaan sebagai bagian dari
kebangsaan mereka. Sedangkan tahapan penelitian sebagai berikut; 1). Tahap Studi
223
Abdurrahman
pendahuluan. Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah membuat kalimat-kalimat
yang mengilustrasikan nilai-nilai toleransi dan membuat rancangan desain dadu pintar,
2). Tahap pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan permainan dadu pintar. 3).
Tahap evaluasi meliputi proses pelaksanaan pembelajaran dan hasil melalui tes akhir.
C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Penerapan Permainan Dadu Pintar Dalam Pembelajaran Sosiologi
A.
Tahap Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan merupakan bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dengan
kegiatan pembelajaran lainnya. Pendidikan Toleransi akan berhasil dengan baik apabila
guru dapat menciptakan suasana kelas yang kondusif sehingga setiap siswa belajar
menerima perbedaan sebagai suatu kebersamaan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap
pendahuluan ini meliputi penciptaan kondisi awal pembelajaran, kegiatan apersepsi, dan
penilaian awal (pre-test). Dalam penciptaan kondisi awal pembelajaran, guru
melakukan beberapa kegiatan, yaitu:
1) Menggunakan permainan dadu pintar dalam pembelajaran sosiologi. Metode ini
dipilih untuk menciptakan image bahwa belajar sosiologi itu asyik, menyenangkan,
penuh damai, toleran dan membuat suasana kelas menjadi hidup.
2) Menciptakan suasana belajar yang demokratis.
Karena siswa memiliki latarbelakang agama, etnis, budaya yang berbeda maka guru
harus menciptakan suasana belajar yang demokratis sehingga siswa merasa dihargai dan
diperhatikan tanpa memandang perbedaan latarbelakang etnis, agama dan budaya.
3) Menciptakan suasana belajar yang penuh toleransi.
Dengan perbedaan latarbelakang agama, budaya yang dimiliki oleh siswa, maka guru
harus mampu menciptakan toleransi diantara para siswa. Untuk menciptakan susasana
belajar yang penuh toleransi, guru melakukan eksperimen dengan membagi siswa secara
berkelompok pada setiap kelas, yaitu di kelas XI IPS1 dan kelas XI IPS 2. Masingmasing kelas dibagi menjadi 4 kelompok, sedangkan masing-masing kelompok
berjumlah 4 orang berdasarkan etnis atau agama, yaitu etnis Sasak, Jawa, Bali dan
Tionghoa.
224
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
Selanjutnya,
guru
melakukan
kegiatan
apersepsi.
Apersepsi
berfungsi
untuk
mempersiapkan kondisi awal belajar siswa terutama kesiapan siswa dalam menghadapi
pelajaran. Dengan adanya perbedaan latarbelakang agama, etnis yang dimiliki siswa,
melalui apersepsi diharapkan terjadi proses asimilasi dan integrasi pengetahuan pada diri
siswa.
Sedangkan Pre-test dilakukan untuk mengukur pemahaman siswa tentang pendidikan
toleransi dalam praktek kehidupan sehari-hari dengan cara menjawab soal-soal yang
mengangkat kasus-kasus toleransi .
Berdasarkan hasil pre-tes diperoleh hasil yaitu 68% siswa-siswi
belum memiliki
mindset dan sikap toleran terhadap sesama yang berbeda suku atau agama. Sedangkan
32% memiliki sikap toleransi dan menghormati perbedaan. Yang menarik dari 8 soal
pre-tes yang diberikan, ada satu soal yaitu soal nomer 8 tentang kriteria memilih
pemimpin. Pada soal nomer 8 itu mayoritas jawaban siswa cenderung primordialistik
dalam memilih pemimpin. Rata-rata mereka memilih calon pemimpin yang segama atau
seetnis walaupun calon pemimpin pilihannya itu memiliki sifat tidak jujur dan tidak adil.
B.
Tahap Pelaksanaan
Tahap ini merupakan tahap kegiatan pelaksanaan pendidikan toleransi dalam
pembelajaran sosiologi yang menekankan pada penyemaian nilai-nilai toleransi,
menekankan hidup harmoni dan menghargai perbedaan (unity in diversity). Pada tahap
pelaksanaan ini semua siswa duduk dilantai berdasarkan kelompok masing-masing.
Ditengah-tengah mereka terdapat dadu dan selembar papan karton yang sudah di gambar
6 kotak. Tiap-tiap kotak diberi di nomer 1 sampai 6 dan tiap-tiap nomer ditempel
selembar kertas yang tertulis perintah. Berikut ini rincian perintah yang tertera di papan
karton
Tabel 01: Beberapa kalimat perintah
KOTAK
NOMER
1
PERINTAH
Ucapkan kalimat yang menunjukkan “Cinta damai” kepada teman anda dari
etnis /atau agama lain
225
Abdurrahman
2
3
4
5
6
Apa yang anda lakukan kepada teman anda yang berbeda agama merayakan
hari raya agamanya?
Ucapkan kalimat yang menunjukkan “motivasi” ketika teman anda yang
berbeda agama/etnis “prestasinya” menurun
Apa yang anda lakukan ketika teman sekelas anda yang berbeda agama
menjadi siswa berprestasi “siswa teladan”
Apa yang anda lakukan ketika teman sekelas anda yang berbeda agama atau
suku orangtuanya meninggal?
Apa yang anda ucapkan atau lakukan ketika teman anda yang berbeda
agama mengundang anda kerumahnya untuk makan-makan pada hari Raya
agamanya?
Setelah semua siswa sudah siap belajar, maka guru memulai pelajaran sosiologi dengan
menggunakan permainan dadu pintar. Berikut ini hasilnya;
Rizal (kelas XI IPS 1) diminta maju ke depan untuk mengambil dadu kemudian
melemparnya. Angka dadu yang terpilih adalah nomer 4. Kemudian Rizal mengambil
kertas nomer 4 yang tertempel dikertas karton sesuai dengan angka yang ditunjukkan
oleh dadu. Sebelum kartu dibuka, peneliti sebagai fasilitator memanggil Norsi untuk
maju kedepan. Dalam hal ini Rizal dan Norsi dianggap berbeda etnis. Kemudian kartu
itu dibuka dan tertera perintah yang berbunyi “Apa yang anda lakukan ketika teman
sekelas anda yang berbeda agama menjadi siswa berprestasi “siswa teladan”. Maka
Rizal yang beretnis Jawa mengatakan kepada Mirwan yang beretnis Sasak “Selamat ya
atas prestasimu, semoga tetap sukses dimasa depan”. Kemudian Mirwan menjawab
“terima kasih, semoga kamu juga berprestasi pada masa-masa mendatang”
Giliran selanjutnya Mas’ud (XI IPS1) maju kedepan untuk mengambil dadu dan
melemparnya. Angka dadu yang terpilih adalah nomer 1. Sebelum Mas’ud mengambil
kertas nomer 1 guru sosiologi meminta Watani maju kedepan berhadap-hadapan dengan
Mas’ud. Dalam hal ini Masud dan Watani berbeda etnis. Mas’ud dari Jawa dan watani
dari suku Sasak. Kemudian Mas’ud mengambil kertas yang tertempel di nomer 1 sesuai
dengan angka yang ditunjukkan oleh dadu. Kemudian kertas dibuka dan tertera perintah
berbunyi” ucapkan kalimat yang menunjukkan “cinta damai” kepada teman anda dari
etnis atau agama lain”. Maka Mas’ud berkata kepada Watani “ kita walaupun berbeda
226
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
etnis kita tetap bersatu, bhinneka tunggal Ika” sambil keduanya berpelukan dan
bersalaman.
Gina (kelas XI IPS 2) maju ke depan mengambil dadu kemudian melemparnya. Angka
dadu yang terpilih adalah nomer 3. Kemudian Gina mengambil kertas nomer 3 yang
tertempel dikertas karton sesuai dengan angka yang ditunjukkan oleh dadu. Sebelum
kartu dibuka, peneliti sebagai fasilitator memanggil Lia untuk maju kedepan. Dalam hal
ini Gina berasal dari Bali dan Lia berasal dari etnis Tionghoa. Kemudian kartu itu
dibuka dan tertera perintah yang berbunyi “Ucapkan kalimat yang menunjukkan
“motivasi” ketika teman anda yang berbeda agama atau etnis prestasinya menurun”.
Maka Gina yang berasal dari Bali mengatakan kepada Lia yang beretnis Tionghoa
“Saya dengar katanya nilai rata-rata dirapor kamu turun sehingga rangking kamu turun
menjadi rangking 3”, tanya Gina. Kemudian Lia menjawab, ya.
Gina menjawab,
“semoga kamu tetap semangat belajar agar dapat mendapat rangking satu lagi pada
semester mendatang”. Kemudian Lia mengucapkan terimakasih, seraya mengatakan
kepada Gina “semoga kamu juga bisa berprestasi lebih baik lagi”.
Giliran selanjutnya adalah Ryan (kelas XI IPS 2) maju ke depan mengambil dadu
kemudian melemparnya. Angka dadu yang terpilih adalah nomer 6. Kemudian Ryan
mengambil kertas nomer 6 yang tertempel dikertas karton sesuai dengan angka yang
ditunjukkan oleh dadu. Sebelum kartu dibuka, peneliti sebagai fasilitator memanggil
Nila untuk maju kedepan. Dalam hal ini Ryan beragama Katolik dan Lia beragama
Islam. Kemudian kartu itu dibuka dan tertera perintah yang berbunyi “Apa yang anda
ucapkan atau lakukan ketika teman anda yang berbeda agama mengundang anda
kerumahnya untuk makan-makan pada hari Raya agamanya?. Ryan yang beragama
Katolik mengatakan kepada Lia yang beragama Islam “saya akan mengundang kamu
besok pada hari Natal, datang ya, tanya Ryan. Kemudian Lia menjawab, InsyaAllah, dan
bertanya, acara apa dirumahnya pada hari Natal?. Ryan menjawab, kita syukuran
makan-makan saja dengan teman, tetangga dan family. Oh gitu jawab Lia. Semua
227
Abdurrahman
teman-teman kelas diundang semua? Tanya Lia. Ya semua teman kelas saya panggil
semua tanpa terkecauli. Jawab Ryan.
Selama permainan berlangsung, peneliti sebagai fasilitator sekaligus observer bertugas
mengamati dan mencatat perilaku siswa terhadap temanya sekelasnya. Peneliti juga
menghimbau siswa agar mendengar dan menyimak baik-baik ketika temannya belajar
mempraktekkan sikap toleransi dengan menggunakan permainan dadu pintar.
C.
Tahap Penutup dan Kesimpulan
Setelah pembelajaran sosiologi dengan menggunakan permainan dadu pintar selesai,
maka guru mengadakan penilaian baik secara lesan maupun tulisan. Selanjutnya guru
matapelajaran bersama peneliti memberi post-test dimana soalnya sama dengan soal pretes. Berdasarkan hasil post-test diperoleh hasil 92 % siswa menyadari dan pentingnya
toleransi dan menghargai perbedaan dengan sesama teman yang berbeda agama dan
etnis. Sedangkan 8% masih belum menyadari akan pentingnya toleransi dan cenderung
bersikap eksklusif. Hasil ini menunjukkan bahwa pembelajaran sosiologi dengan
menggunakan permainan dadu pintar berhasil mengubah mindset dan perilaku siswa.
Setelah
post-tes
multikulturalisme,
kemudian
guru
yaitu menekankan
sosiologi
menyimpulkan
materi
tentang
pentingnya toleransi, saling menghargai
perbedaan, dan bersikap inklusif antar sesama yang berbeda agama, budaya dan etnis
yang menjadi ciri keindonesiaan kita berdasarkan bhinneka Tunggal Ika. Karena dengan
toleransi Indonesia akan kuat, maju dan menjadi negara yang beradab.
2. Pendidikan Toleransi
Wacana multikulturalisme dan Pendidikan toleransi mulai ramai dibicarakan dikalangan
akademisi, praktisi budaya dan aktivis Indonesia pada awal tahun 2000, (Lihat Mahfud,
2010:108). Sebagaimana yang kita ketahui bersama kemajemukan merupakan cirikhas
bangsa Indonesia., masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari
beranekaragam etnis, agama, budaya, dan bahasa. Keberagaman ini adalah sebuah
keniscayaan yang tidak bisa dielakkan dan merupakan anugerah dari Tuhan yang wajib
kita pelihara. Namun kita menyadari bahwa realitas masyarakat yang majemuk seperti
228
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
Indonesia akan berdampak positif maupun negatif terhadap keutuhan eksistensi sebuah
bangsa. Satu sisi kemajemukan masyarakat sering memicu konflik horizontal yang
berbau primordial. Namun disisi lain kemajemukan sebuah masyarakat dapat
memperkaya khazanah kebangsaan kita yang berasaskan “bhinneka tunggal Ika”
Berdasarkan penjelasan diatas, maka diperlukan paradigma pendidikan yang relevan
dengan karakter masyarakat Indonesia yaitu, pendidikan toleransi. Hal ini penting
karena keutuhan sebuah bangsa yang majemuk sangat ditentukan oleh sejauhmana
generasi penerusnya mengakui perbedaan serta terbuka untuk saling menghormati dan
menghargai antar sesama yang berbeda (unity in diversity). Pendidikan toleransi
merupakan sarana membangun toleransi atas keragaman. Dalam hal ini penulis lebih
memilih istilah pendidikan toleransi daripada pendidikan multilkultural karena hemat
penulis lebih praksis. Bukan sekedar wacana tetapi realitas dinamik, bukan sekedar katakata, tetapi tindakan yang harus diperjuangkan. Bukan sekedar istilah atau simbol
kegenitan intelektual tetapi keberpihakan dalam menawarkan solusi kebangsaan melalui
jalur pendidikan.
Dalam praksis pembelajaran, pendidikan toleransi sebagai sarana membangun toleransi
atas keragaman dikalangan siswa sekaligus ingin menanamkan nilai-nilai toleransi dan
kebersamaan melalui alam bawah sadar mereka. Cara ini merupakan tahap awal untuk
menyemai kebersamaan dan toleransi ditengah perbedaan latarbelakang etnis dan agama
di sekolah. Hal ini penting dilakukan karena umumnya siswa hanya diajarkan (knowing)
nilai-nilai toleransi secara teoritis, sedangkan perilaku keseharian mereka masih
menunjukkan kuatnya sentiment primordial berdasarkan etnis, agama dan budaya
tertentu. Lagi pula secara praksis nilai-nilai toleransi belum ditransformasikan ke dalam
tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari (the real world). Maka tidak heran banyak
tindakan intoleran dan perilaku eksklusif menghinggapi kalangan siswa seperti tidak
mau mengucapkan selamat hari raya kepada temannya yang beragama lain, membentuk
eksklusivitas kelompok-kelompok berdasarkan kategori sosial; etnis, budaya dan agama
229
Abdurrahman
tertentu dan cenderung memilih ketua kelas berdasarkan pertimbangan kesamaan etnis,
agama yang sama walaupun secara moral dan etika tidak layak untuk dipilih.
Disinilah seharusnya pendidikan harus mendobrak perbedaan, memberikan pencerahan
tentang pentingnya “keberagaman” yang menjadi kekeyaan bangsa berdasarkan
Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu melalui pendidikan toleransi dalam pembelajaran
sosiologi siswa yang memiliki latar belakang agama, etnis dan budaya berbeda di
bimbing untuk saling mengenal, mengakui dan menghormati adat-istiadat, kebiasaankebiasaan mereka satu sama lain.
Disinilah pentingnya pelajaran sosiologi dalam
membawa misi inklusivitas dan toleransi melalui praksis pembelajaran dikelas
Di samping itu, melalui pembelajaran sosiologi dengan menggunakan permainan dadu
ini sekaligus menepis anggapan yang telah menghinggapi kebanyakan siswa tingkat
SLTA. Ilmu Sosiologi itu membosankan. Sajiannya bertele-tele dan untuk menguasainya
dibutuhkan kemampuan menghafal yang luar biasa (tex book). Steriotipe kurang
simpatik ini terajut dari impresi sosiologi yang mengkaji masalah-masalah sosial secara
teoritis dimana penyajiannya bersifat monoton kurang menyentuh konteks kehidupan
sehari-hari (Muslich, 2009).
D. SIMPULAN
Masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menyadari sebagai bangsa yang majemuk
dengan Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan etnis, agama dan budaya masih dianggap
sebagai ancaman bukan sebagai kekuatan yang menyatukan bangsa. Sekolah sebagai
tempat dimana para generasi penerus bangsa belajar “menghargai dan menerima
perbedaan “justru sering menciptakan “lembaran hitam” akibat ulah dikalangan siswa
yang banyak melakukan tindakan intoleran, anti keragaman dan eksklusivitas kelompok
berdasarkan sentiment primordial. Karena itu dalam pembelajaran sosiologi peneliti
mencoba menggunakan permainan dadu pintar dalam praksis pembelajaran di kelas. Hal
ini dilakukan dengan harapan sosiologi dapat mengemban misi inklusivitas dengan cara
menanamkan toleransi baik di sekolah maupun di masyarakat. Dengan menggunakan
230
Membangun Sosiologi Inklusif Dalam Praktek Pembelajaran
(Studi Pendidikan Toleransi Dengan Penerapan Permainan Dadu Pintar Pada
Pembelajaran Sosiologi Siswa)
permainan dadu pintar dalam pembelajaran sosiologi, awalnya 68% siswa-siswi belum
memiliki mindset dan sikap toleran terhadap sesama yang berbeda suku atau agama dan
32% memiliki sikap toleransi dan menghormati perbedaan.
Namun setelah menggunakan permainan dadu pintar 92 % siswa menyadari akan
pentingnya toleransi dan menghargai perbedaan terhadap sesama teman yang berbeda
agama dan etnis. Sedangkan 8% masih belum menyadari akan pentingnya toleransi dan
masih bersikap eksklusif. Alhasil, penyemaian nilai-nilai toleransi, dan sikap inklusif
berhasil dilaksanakan melalui pembelajaran sosiologi di lingkungan sekolah sehingga
dapat menepis anggapan bahwa pembelajaran sosiologi terkesan kaku, teoritis dan
membosankan.
DAFTAR PUSTAKA
Endang, Busri. Mengembangkan sikap toleransi dan kebersamaan di kalangan siswa,
Jurnal Visi Ilmu Pendidikan (J-VIP) Vol.1, No. 2 Edisi Agustus 2009
Hatimah, Ihat. (2008). Pembelajaran berwawasan Kemasyarakatan, Jakarta, Universitas
terbuka
Julianti, Internalisasi nilai Toleransi Melalui Model Telling Story Pada Pembelajaran PKN
Untuk Mengatasi Masalah Tawuran (Studi Kasus Tawuran Pelajar Sekolah Menengah
di Sukabumi), Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 14 No. 1, April 2013
Kompas.com, diakses pada 21/1/ 2014.
Maliki, Zainuddin. (2010) Sosiologi Pendidikan, Yogyakarta, Gadjah Mada university
Press.
Muslich, Masnur. (2009). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual
Panduan Guru, Kepala Sekolah, Dan Pengawas sekolah, Jakarta, Bumi Aksara
Mahfud, Chairul. (2010). Pendidikan Multikultural, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Martono, Nanang, (2010). Pendidikan Bukan Tanpa Masalah mengungkap
Problematika Pendidikan dari Perspektif Sosiologi, Yogyakarta, Gava Media
231
Abdurrahman
Naim, Ngainun & Ahmas Sauqi, (2011). Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi,
Yogyakarta, Ar-ruzz Media
Pusat Kurikulum. (2010). Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pengajaran
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter
Bangsa Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Kementerian
Pendidikan Nasional Badan Penelitan dan Pengembangan Pusat Kurikulum.
Rahma, Itsna Fitria. (2012). Menumbuhkembangkan SikaToleransi Siswa Beda Agama
Melalui Pelajaran Pendidikan Religiositas Kelas XI di SMA BOPKRI 1
Yogyakarta, Skripsi, UIN Sunan kalijaga Yogyakarta
Sugiyono. (2009). Metode penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Dan R&B, Bandung, Alfabeta
Usman, Sunyoto. (2012). Sosiologi Sejarah, Teori Dan Metodologi, Yogyakarta,
Pustaka pelajar
UNESCO-APNIEVE, (2000). Belajar untuk hidup bersama dalam damai dan harmoni,
Kantor Principal Unesco untuk Kawasan Asia Pasifik, Bangkok dan Universitas
Pendidikan Indonesia
232
Download