PEMETAAN DAERAH RAWAN BENCANA LONGSOR LAHAN (LANDSLIDE) DI KECAMATAN CIKONENG KABUPATEN CIAMIS Ari Sugiarto1 ([email protected]) Nedi Sunaedi2 ([email protected]) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SILIWANGI TASIKMALAYA 2013 ABSTRACT This research has a background that Subdistrict of Cikoneng is located at an hilly topography. Steep slope and rainfaal the high of this area landslide hazard. The purpose of this research is to determine what the factors geography has cause landslide hazard and mitigation system of landslide must be applied and to determine include area in to landslide hazard in Cikoneng. The methode used in this research is descriptive which serves to provide an overview of the data has been obtained. Techniques of collection the data is the study of literature, observation, study documentation, interviews, and questionnaires. The Instrument used of research is orientation of observation, interview, and questionnaires. The population in this research is that people in the subdistrict of Cikoneng of 3.443 households. The samples is used in this research is simple random sampling and judgement sampling with a total sample is 69 respondents. The result showed that the factors that happened in the landslide area in the subdistrict of Cikoneng is steep slopes is 15-25%, vegetation of land cover that underprivileged to save of slope stability, high rainfall, the rock is andesit to basalt, type of soil is latosol, land use is poorly, earthquake, and activities of human that not save of environment stability. Mitigation system of landslide hazard that must to do is mapping with made of map landslide hazard, investigate area of landslide hazard, inspection has periodic, monitoring to area of landslide hazard, and sosialization with the give knowledge to goverment and public about landslide hazard. Area of landslide hazard is Nasol Village dan Darmacaang Village because has hill topography with steep slope. Keyword: Mapping, Troubled Areas Landslide, Hazard 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana merupakan suatu hal yang sudah tidak asing lagi di masyarakat Indonesia dan apabila mendengar kata itu, maka yang terlintas dipikiran adalah hancurnya sarana dan prasarana publik, tewasnya manusia serta lingkungan yang rusak termasuk munculnya berbagai macam penyakit pasca bencana. Selain itu, bencana sangat erat kaitannya dengan penyediaan penampungan, makanan, pakaian, dan obat-obatan bagi masyarakat yang menjadi korban bencana. Pihak pemerintah mengeluarkan ketetapan yang dicetuskan pada Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengkibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Secara sederhana bencana merupakan suatu fenomena yang mampu merusak lingkungan atau menganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, sehingga minimbulkan kerugian baik harta benda, jiwa ataupun ekosistem yang rusak. Bencana dapat diartikan pula sebagai suatu gangguan yang hebat yang menyebabkan korban manusia, kerusakan harta dan lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat tersebut untuk mengatasinya dengan sumber daya yang dimilikinya (Krishna, et.al. 2008:I-2). Iklim tropis di Indonesia yang terdiri dari dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, memiliki ciri perubahan cuaca yang cukup ekstrim meliputi suhu, curah hujan dan arah angin. Ditambah topografi Indonesia yang beragam mulai dari pegunungan sampai dataran rendah menjadikannya salah satu negara yang perlu diperhitungankan potensi kebencanaannya. Selain itu, kerusakan lingkungan berupa konversi lahan bervegetasi menjadi pemukiman, pertanian, bahkan menjadi lahan yang tidak bervegetasi, membuat kualitas tanah menurun sehingga menimbulkan kerawanan akan bencana alam menjadi tinggi, salah satunya bencana alam longsor lahan. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat kerawanan longsor lahan yang tinggi, dimana banyak ditemukan topografi yang berbukit-bukit, curah hujan tinggi dan tanah yang labil (mudah bergerak). Seperti di Kabupaten Ciamis longsor lahan (land slide) telah terjadi disebagian besar wilayahnya. Salah satunya di Kecamatan Cikoneng yang bagian utara wilayahnya berbatasan langsung dengan Pegunungan Sawal. Beberapa wilayah yang berbatasan dengan Pegunungan Sawal hampir semuanya mengalami bencana longsor lahan, meliputi Kecamatan Panjalu, Kecamatan Panumbangan, Kecamatan Cihaurbeuti, Kecamatan Sindangkasih, Kecamatan Sadananya, dan Kecamatan Cikoneng. Kecamatan Cikoneng merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Ciamis memiliki karakteristik topografi yang beragam dengan dataran rendah di sebelah selatan dan sebelah utara berbukit serta tepat berdampingan dengan Pengunungan Sawal yang memiliki potensi bencana longsor lahan yang rentan karena tanahnya yang relatif labil/dinamis. Tidak adanya vegetasi penutup lahan yang mampu mengikat tanah, menyebabkan ketika terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi kemungkinan terjadinya bencana longsor lahan semakin besar. Kerusakan yang ditimbulkan tidak sedikit yang menimpa pemukiman, sarana dan prasarana umum serta lahan pertanian seperti kebun, kolam ikan, sawah dan aliran irigasi serta infrastruktur lainnya. Terdapat beberapa titik yang rawan bencana longsor lahan (land slide) khususnya dua desa yang berdampingan dengan Pegunungan Sawal yaitu Desa Nasol dan desa Darmacaang. Terhitung sejak memasuki musim hujan yaitu pada akhir September 2012 di Kecamatan Cikoneng memiliki potensi longsor lahan dengan tingkat kerawanan yang tinggi. 1.2. Tujuan Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Faktor-faktor geografi apa saja yang menyebabkan terjadinya bencana longsor lahan (land slide) di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis, untuk mengetahuhi bagaimanakah sistem mitigasi bencana longsor lahan (land slide) yang harus dilakukan dan untuk mengetahui daerah mana saja yang termasuk rawan bencana longsor lahan (landslide) di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis. 1.3. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: Dapat dijadikan bahan informasi Faktor-faktor geografi yang menyebabkan terjadinya bencana longsor lahan (land slide), mengetahuhi bagaimanakah sistem mitigasi bencana longsor lahan (land slide) yang harus dilakukan dan sebagai bahan informasi tentang daerah yang termasuk rawan bencana longsor lahan (landslide) di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis. 2. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif. Metode tersebut yaitu penelitian yang menggunakan teknik observasi, wawancara dan kuesioner mengenai keadaan sekarang ini yang sedang diteliti. Dengan menggunakan metode tersebut, penulis bertujuan untuk mengkaji tentang “Pemetaan Daerah Rawan Bencana Longsor lahan (Land Slide) di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis”, dengan cara mengumpulkan data, menyusun, dan mengklasifikasikannya sehingga data tersebut mempunyai arti dan makna. Menurut Sukmadinata, (2010:53) metode penelitian adalah rangkaiaan cara atau kegiatan pelaksanaan penelitian yang didasari oleh asumsi-asumsi dasar, pandangan-pandangan filosofis dan ideologis, pertanyaan dan isu-isu yang dihadapi. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh wilayah Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis dengan luas wilayah 3.603,154 ha dan populasi resondennya yaitu jumlah kepala keluarga dari Desa Nasol dan Desa Darmacaang Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis masing-masing sebanyak 2.224 Kepala Keluarga dan 1.199 Kepala Keluarga yang dijumlahkan menjadi 3.423 Kepala Keluarga. Jenis sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah random sampling dengan ciri setiap individu dari populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dijadikan sampel. Dalam penentuan sampel akan diambil dari populasi penduduk sebanyak 2% dari jumlah kepala keluarga yang berada di Desa Darmacaang dan Desa Nasol. Penentuan sampel ini didasarkan atas klasifikasi daerah yang memiliki karakteristik dari bencana longsor lahan yang lebih rentan dibanding daerah lainnya. Selain itu, penulis menggunakan judgemental sampling yang dilakukan dengan mengambil orang-orang yang terpilih betul oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu. Judgemental sampling akan ditujukan kepada birokrat setempat, dalam hal ini pihak Kecamatan Cikoneng, Kepala Desa Darmacaang dan Kepala Desa Nasol. Teknik pengumpulan data menggunakan pedoman observasi wawancara teknik kuisioner studi dokumentasi studi pustaka. Teknik analisis data dengan cara mengidentifikasi data yang telah diperoleh, menyusun dan mengolompokan data sejenis dalam tabulasi, menyederhanakan penyajian data tanpa mengubah subtansi dari data tersebut dalam bentuk matrik, diagram dan tabel, dan mendeskripsikan data yang terkumpul, menganalisis, dan mengiterpretasikan dalam bentuk angka untuk menarik kesimpulan. 3. PEMBAHASAN Hipotesis Pertama Faktor-faktor yang mempengaruhi bencana longsor lahan (landslide) di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis adalah kemiringan lereng, vegetasi penutup lahan, kondisi hidrologi, jenis batuan, kondisi tanah, penggunaan lahan, gempa bumi, dan aktivitas manusia. Hipotesis Kedua Proses mitigasi bencana longsor lahan yang harus dilakukan penduduk Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis diantaranya adalah: Pemetaan, penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan dan sosialisasi. Hipotesis Ketiga Daerah yang termasuk rawan bencana longsor lahan (landslide) diantaranya adalah daerah yang memiliki kemiringan lereng yang curam, jenis tanah yang kurang padat, dan curah hujan yang tinggi. 3.1. Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis sebagai Daerah yang Rawan Bencana Longsor lahan (Landslide) Berdasarkan hasil penelitian, Kecamatan Cikoneng merupakan daerah yang rawan bencana longsor lahan (landslide) dikarenakan beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu kemiringan lereng, jenis batuan, jenis tanah, jenis vegetasi, penggunaan lahan, curah hujan, getaran, dan aktivitas manusia. 3.1.1. Kemiringan lereng Kondisi kemiringan lereng lebih dari 25o perlu mendapat pengawasan yang ketat karena besar kemungkinan terjadinya longsor. Akan tetapi tetap masih memperhitungkan faktor-faktor lainnya. Wilayah perbukitan menjadi tempat bagi lereng yang terjal. Kemiringan lereng Kecamatan Cikoneng berkisar antara 15 – 25% dengan ketinggian antara 400 – 800 meter diatas permukaan laut (mdpl). Di bagian utara Kecamatan Cikoneng ketinggian mencapai 900 mdpl dengan kemiringan lereng lebih dari 40%. 3.1.2. Vegetasi Penutup Lahan Vegetasi yang berperan pada bencana longsor lahan dimana jika tumbuhan tersebut memiliki perakaran yang mamu menembus sampai batuan dasar, maka fungsinya sangat vital sebagai penahan lereng. Vegetasi di Kecamatan Cikoneng pada sekitar lereng didominasi oleh tanaman liar berakar serabut sehingga dengan akar tersebut kurang mampu menahan pergerakan tanah yang disebabkan oleh air. Posisi tanaman keras dan kerapatannya yang mempuyai akar yang kuat akan mempengaruhi faktor keamanan lereng. Jenis vegetasi pada umumnya adalah pohon malaka, cengkeh, kelapa yang sifatnya tahunan. Sedangkan tanaman musiman yang tumbuh adalah palawija dan monokultura. Dibagian lereng tidak sedikit dijumpai teknik terasering untuk pesawahan. 3.1.3. Kondisi Hidrologi Derasnya hujan mengakibatkan air yang meresap tanah dan tertahan akan meningkatkan debit dan volumenya yang mengakibatkan air dalam lereng menekan tanah karena berat massanya yang akn menimbulkan longsor. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan terbukanya pori-pori tanah hingga terjadi rekahan tanah. Ketika hujan turun, air mengisi bagian tanah dan mengankut material tanah. Pada awal musim hujan, intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi, sehingga kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam waktu singkat. Pada kondisi seperti inilah kerap kali terjadinya longsor lahan. 3.1.4. Jenis Batuan Batuan yang diatasnya terdapat tanah dengan ketebalan yang tipis dan tidak kompak akan sangat membahayakan. Dimana air yang meresap tanah akan terhaang oleh batuan yang selanjutnya batuan menjadi bidang gelincir untuk menghasilkan longsor. Kecamatan Cikoneng yang memiliki struktur geologi hasil erupsi gunungapi tua Gunung Sawal (QTvs) yang terdiri dari breksi gunungapi, breksi lahar, tufa dan lava bersusunan andesit-basal dari Gunung Sawal membuat kondisi batuan sangat mempengaruhi bencana longsor lahan di daerah ini. 3.1.5. Kondisi Tanah Kondisi tanah (tekstur dan struktur) sangat mempengaruhi potensi longsor. Tanah yang mudah menyerap air akn lebih berpotensi dibanding dengan tanah yang padat. Kecamatan Cikoneng memiliki jenis tanah andosol dan inceftisol (latosol) . Tanah latosol memiliki kandungan mineral primer dan unsur hara rendah, pH rendah antara 4.5 - 5.5 dan strukturnya remah. Warna tanah merah, cokelat kemerahan, cokelat, cokelat kekuningan dan kuning, tergantung dari bahan induk, umur, iklim dan ketinggian. Jika tanah latosol jenuh air karena intensitas hujan yang tinggi, tanah latosol mudah mengalami longsor. Hal inilah yang menyebabkan tanah latosol sering mengalami longsoran. 3.1.6. Penggunaan Lahan Ruang yang tersedia seharusnya memiliki keseimbangan yang baik antara kepentingan manusia dan lingkungan. Pembangunan pemukiman yang semakin meningkat seiring dengan jumlah penduduk yang bertambah menyebabkan alih fungsi lahan sering terjadi. Ditambah penggunaan lahan dengan lereng terjal membuat potensi bencana longsor lahan semakin meningkat. Vegetasi dengan akar kuat yang seyogianya mampu mengurangi laju air dan parekat tanah, kini berubaha menjadi pondasi bangunan, jalan, ladang dan sebagainya yang membuat kondisi air dan tanah tidak stabil. 3.1.7. Gempa Bumi Pergerakan lapisan bumi membuat kondisi fisik dipermukaan pun berubah. Gempa bumi atau getaran yang terjadi di dekat daerah rawan longsor. Getaran bisa bersumber dari pergerkan kendarann, industri, ledakan dan sebagainya 3.1.8. Aktivitas Manusia Faktor fisik seperti yang telah dijelaskan diatas memang mempengaruhi longsor lahan. Namun, aktivitas manusia menjadi faktor utama dimana manusia yang memiliki akal dan pikiran seharusnya mampu mengolah lingkungan dengan arif dan bijaksana. Beban tambahan yang ada di atas lereng membuat tanah yang menopang lereng menjadi tertekan karena beban tambahan tersebut. Beban tambahan bisa berbentuk pemukiman, pertanian, jalan dan lain-lain. 3.2. Mitigasi Bencana Longsor Lahan (Landslide) yang Harus Dilakukan oleh Masyarakat Di Kecamatan Cikoneng Kabupaten Ciamis Tindakan mitigasi untuk mengurangi risiko bencana longsor lahan yang harus diterapkan di Kecamatan Cikoneng adalah: 3.2.1. Pemetaan Membuat informasi mengenai daerah-daerah yang rawan bahaya longsor lahan dalam bentuk peta yang dapat disebarluaskan kepada masyarakat. Pada (landslide) di Kecamatan beberapa kejadian longsor lahan Cikoneng, pihak BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) telah membuat peta gerakan tanah, namun hal itu hanya sampai secara verbal saja kepada pihak pemerintahan Kecamatan Cikoneng serta masyarakatnya, informasi penting dengan bukti fisik tidak dapat terealisasikan dengan baik. 3.2.2. Penyelidikan Mempelajari apa penyebab dan akibat dari bencana longsor lahan agar dapat digunakan untuk merencanakan penanggulangan bencana dan pembangunan wilayah. Dalam hal ini pemerintah setempat, instansi-instansi terkait beserta perwakilan masyarakat turut menyelidiki dan secara bersama-sama memahami keadaan wilayahnya untuk lebih mempersiapkan diri di masa depan. Namun yang lebih ditekankan pada waktu itu adalah masyarakat di lingkungan kejadian longsornya saja, tanpa partisipasi dari desa yang lain yang seharusnya diketahui oleh khalayak secara umum. 3.2.3. Pemeriksaan Melakukan pemeriksaan atau pengecekan pada saat dan sesudah terjadi bencana longsor lahan, sehingga dapat diketahui penyebab terjadinya longsor lahan, kondisi bencana, serta cara penanggulangannya. Bersamaan dengan penyelidikan terjadinya longsor, di Kecamatan Cikoneng pun telah dilakukan pemeriksaan oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Instansi terkait juga mengajak kepada setiap warga yang mau ikut pada pemeriksaan kondisi wilayah Kecamatan Cikoneng. 3.2.4. Pemantauan Pemantauan di Kecamatan Cikoneng dilakukan pada daerah rawan longsor lahan dan daerah strategis secara merata, agar masyarakat mengetahui tingkat bahaya daerah tersebut. Daerah yang telah dipantau baik bersama-sama dengan instansi terkait maupun masyarakat adalah Desa Nasol. 3.2.5. Sosialisasi Sosialisasi dilakukan dengan memberikan pemahaman pada pemerintah dan masyarakat umum tentang bencana longsor lahan dan akibat yang ditimbulkannya. Sosialisasi juga dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain menyebarkan informasi melalui leaflet, poster, dan sebagainya atau melakukan sosialisasi secara langsung kepada masyarakat dan pemerintah. Sejauh ini hal tersebut masih sulit untuk dilakukan, sehingga masyarakat tidak mempunyai pengetahuan secara detail mengenai longsor lahan (landslide). 3.3. Daerah rawan longsor lahan (land slide) di Kecamatan Cikoneng Berdasarkan hasil penelitian bahwa daerah yang rawan bencana longsor lahan di Kecamatan Cikoneng adalah lereng yang curam, jenis tanah yang kurang padat dan curah hujan yang tinggi. 3.3.1. Kemiringan lereng yang curam Kemiringan lereng yang curam dapat mempengaruhi besarnya erosi karena sudut ketajaman lereng akan berpengaruh terhadap pergerakan air dalam memecahkan dan mengangkut partikel tanah. Kemiringan lereng Kecamatan Cikoneng berkisar antara 15˚-25˚yang berpotensi longsor lahan tinggi. Gambar 1. Kemiringan lereng yang curam Sumber: dokumentasi hasil penelitian (2013) 3.3.2. Jenis tanah yang kurang padat Tanah latosol yang bmenjadi jenis tanah dominan di Kecamatan Cikoneng memiliki kandungan mineral primer dan unsur hara rendah, pH rendah antara 4.5 - 5.5 dan strukturnya remah sebagai hasil pelapukan Gunung Sawal. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini memiliki komposisi sebagian besar lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Pada musim hujan dengan curah hujan berkuantitas tinggi ditambah tidak adanya tanaman keras berakar kuat dan dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana longsor lahan. Batuan endapan gunungapi dan batuan sedimen berukuran pasir dan campuran antara kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Derajat porositas batuan juga berperan dimana apakah batuan tersebut mudah diresapi air atau tidak (Akub, 1998:70). 3.3.3. Curah hujan yang tinggi Air menjadi alat angkut longsor lahan yang paling sering terjadi. Curah hujan yang tinggi dengan intensitas dan lamanya hujan berperan dalam menentukan persentase terjadinya longsor. Air denagn kuantitas yang banyak tidak dapat ditahan oleh tanah yang akhirnya terjadilah longsor lahan. Gambar 2. Citra Foto Kecamatan Cikoneng dengan Titik-TitikDaerah Rawan Longsor Sumber: dokumentasi hasil penelitian (2013) 4. SIMPULAN dan saran Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasannya, maka penelitian ini dapat disimpulkan : 4.1. SIMPULAN Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bencana longsor lahan di Kecamatan Cikoneng adalah: 1) Lereng yang curam dengan kemiringan lebih dari 25%, 2) Jenis batuan yang merupakan hasil gunungapi tua berupa andesit sampai basal, 3) Curah hujan yang tinggi membuat tanah mudah jenuh oleh air, 4) jenis tanah latosol yang mudah sekalin tererosi, 5) Gempabumi yang pernah terjadi mengakibatkan tanah, badan jalan, lantai, dan rumah menjadi retak, 6) Kondisi vegetasi penutup lahan diantaranya semak belukar dan tanaman liar yang tidak terlalu baik sebagai penahan air dan pengikat tanah, 7) Penggunaan lahan yang kurang baik dengan dijadikannya lereng sebagai lahan pertanian dan pemukiman, 8) Aktivitas manusia yang tidak menjaga lingkungan, khusunya di daerah sekitar lereng. Sistem mitigasi bencana yang harus dilakukan adalah pemetaan dengan membuat peta rawan bencana, menyelidiki daerah yang rawan longsor, pemeriksaan yang dilakukan secara berkalaa, pemantauan yang dilakukan pada daerah rawan longsor, dan sosialisasi dengan memberikan pengetahuan pada pemerintah dan masyarakat umum tentang bencana longsor lahan. Daerah yang termasuk ke dalam rawan longsor di Kecamatan Cikoneng adalah Desa Nasol dan Desa Darmacaang dengan karakteristik daerah yang memiliki kemiringan lereng lebih dari 25%, jenis tanah yang gembur seperti latosol yang ketika sudah jenuh air mudah longsor, curah hujan yang tinggi diatas. 4.2. SARAN Masyarakat yang berada di daerah rawan bencana tanah longsor harus terus dibina dan dibimbing untuk menjaga keseimbangan lingkungan supaya dapat meminimalisir dampak yang ditimbulkan jika terjadi bencana tanah longsor. Wilayah yang mengelilingi Pegunungan Sawal seperti Kecamatan Cikoneng, Kecamatan Sindangkasih, Kecamatan Cihaurbeuti, dan lainnya sangat baik untuk dijadikan objek studi kajian geografi yang berhubungan dengan mata kuliah mitigasi bencana, geografi tanah, geologi, dan geomorfologi. DAFTAR PUSTAKA Pribadi, Krishna S, et al. (2008). Buku Pegangan Guru Pendidikan Siaga Bencana. Bandung: Pusat Mitigasi Bencana - Institut Teknologi Bandung. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Tisnasomantri, Akub. (1998). Geomorfologi Umum. Bandung: FPIPS-IKIP Bandung.