Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi STATUS PURA MERU CAKRANEGARA DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI Joko Prayitno ABSTRACT Pura Meru Cakranegara is a part of the history of Hindus in Lombok, which serves as a means of unifying the people of Bali in Lombok, especially in terms of the teachings of Hinduism. This paper is discusses on the Management and worship conducted by the pengamong of the temple, and the status of the Meru temple Cakranegara Theological perspective. Research using symbolic interactional theory, religious and symbolic using qualitative research. The studyof subjects were determined by purposive sampling. the data collection methods of observation, interview and documentation. From it, the results obtainedis that the management Meru temple Cakranegara etiquette conducted by the board, which represents the Sanggars and also determined by the Priests of the temple. Worship performed on the full moon of usaba Kapat and Kuningan by invoking Tri Murti on the eleven and nine storied Meru and invoking gods and godesses of the Sanggar. Thestatus of Meru temple Cakranegara in Theological perspective based on its functions including as Jagat temple, while based on its characteristics including as Kayangan Jagat temple . Keywords : Cakranegara, Meru, Sanggar. PENDAHULUAN Salah satu warisan budaya umat Hindu di Lombok yang berupa bangunan Pura banyak terdapat di wilayah Cakranegara, Mataram, Pagesangan, Pagutan dan sekitarnya. Pura-pura ini merupakan peniggalan yang memiliki nilai penting bagi perkembangan tradisi dan budaya. Salah satu pura yang menjadi bagian dari sejarah keberadaan Umat Hindu di Lombok adalah ”Pura Meru Cakranegara”. Pura Meru Cakranegara adalah salah satu Pura yang paling besar yang berada di Pulau Lombok. Pura Meru Cakranegara berfungsi sebagai tempat persembahyangan bagi pemeluk Hindu. Menurut Tim (2004 :73) disamping sebagai sarana kegiatan ritual keagamaan, bila dikaji latar belakangnya dibangunnya pura ini, secara politis berfungsi sebagai sarana pemersatu bagi orang-orang Bali yang ada di Lombok, terutama dalam hal menjalankan ajaran agama yang dianutnya, karena pada waktu itu di lombok terdapat beberapa buah kerajaan kecil dari orang-orang Bali. Pura Meru didirikan pada tahun 1744 oleh kerajaan Singasari yang juga dikenal dengan Kerajaan Karangasem Sasak (Tim, 2004 :75). Pura ini didirikan 61 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi selain untuk sembahyang, juga digunakan untuk mempersatukan seluruh klan atau kasta yang berpengaruh di Cakranegara pada waktu itu. Adapun sanggar / banjar yang mengempon atau yang menjadi pengrembe pura meru terdiri dari 33 banjar yang ada di wilayah Cakranegara dan sekitarnya. Sanggar/banjar ini berkumpul setiap tahun untuk mengadakan usaha (pujawali). Pura Meru Cakranegara setiap tahun diadakan upacara Pujawali atau usadha, yaitu upacara besar pada bulan purnama bulan ke-4 (Purnama Sasih Kapat) menurut perhitungan kalender Bali, biasanya jatuh pada bulan September-Oktober tarikh Masehi. Pura Meru Cakranegara di among oleh 33 kelompok yang tersebar di wilayah Cakranegara. Setiap kelompok pemaksan pengamong, memiliki sebuah sanggar yang dibangun di dalam Utama mandala Pura dan distanakan satu Bhattara yang disungsung oleh kelompok tersebut. Agama Hindu sebagai agama tertua didunia, setidak-tidaknya mempunyai banyak ajaran yang tidak mudah dimengerti sebagai akibat pertumbuhan dan perpaduan berbagai tradisi yang berkembang diberbagai wilayah yang luas tanpa terkendalikan. Berbagai perbedaan konsep dan pengertian telah berkembang sebagai akibat perbedaan cara berpikir dan cara penafsirannya atas satu pokok keimanan yang sama tentang Tuhan. Oleh karena itu, menjadi satu keharusan yang tidak dapat dielakkan untuk mengkaji pokok-pokok tentang theologi Hindu sebagai keimanan dalam sistem penghayatan sebagaimana dalam berbagai ungkapan dalam Weda. Bertolak dari hal inilah maka akan di kaji tentang Status Pura Meru Cakranegara dalam perspektif teologi. PROFIL PURA MERU CAKRANEGARA Pura Meru Cakranegara sebuah karya besar dan mengagumkan dari orang Bali, terletak berseberangan dengan Taman Mayura dan didirikan pada tahun 1744 oleh kerajaan Singasari yang juga dikenal dengan Kerajaan Karangasem Sasak (Tim, 2004 :75). Letak Pura berada di tengah kota yang dapat dijangkau banyak kendaraan umum dan dekat fasilitas wisata yang sangat baik. Pura Meru Cakranegara adalah salah satu pura yang sangat menarik dan indah karena banyak di jumpai arsitektur bercorak Bali Tradisional, yang merupakan peninggalan kerajaan Karangasem atau kerajaan Hindu yang ada di Lombok zaman Dulu, yang sekarang berada di kecamatan Cakranegara Kota Mataram Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pura Meru Cakranegara memiliki ukuran tapak datar dengan panjang ± 174 meter dengan lebar 51 meter, atau memiliki luas sekitar 8.873 m2 (88,73 are). Pada tahun 1979 dilakukan pemugaran, khususnya pada candi bentar dan bale kulkul yang memberi petunjuk (sepertinya) bentuk dan ragam hiasnya sudah mendapat penyempurnaan motif pepalihan dan ukiran Bali menurut kosala kosali. Adanya pemugaran ini juga sedikit mengubah konsep arah masuk utama dari luar 62 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi pura. Yang pada mulannya posisi candi bentar berada pada sumbu simetri yang sama dengan aksis kori agung, dulu candi bentar ini dari barat lurus ke Jeroan, sampai utara begitu pula kedudukan bale kulkul yang sekarang dibangun pada sudut barat laut halaman terluar pura (bencingah/jaba pisan) (Muditha, 2012 :9). Napak datar atau tapak (site) Pura Meru memanjang kea rah timur – barat atas empat bagian peruntukan (mandala), secara berturut-turut yaitu utama mandala, madya mandala , nista mandala dan bencingah/jaba pisan. Antara mandala yang satu dengan mandala yang lainnya memiliki perbedaan ketinggian tanah yang dibatasi oleh Tembok penyengker sesuai dengan makna tingkatan kesuciannya. Utama Mandala berada pada posisi yang paling Tinggi, disusul kemudian makin rendah dari madya, nista sampai bencingah/jaba pisan. Pada halaman bencingah terdapat Bale kul-kul, candi bentar yang berada disisi utara, rumah penjaga dan toilet. Candi bentar berada disebelah utara menjulang tinggi memiliki sejenis peletasan (tagtagan) yang berada di sisi dinding tembok sebelah utara. Sebelum memasuki areal madya, pada as tembeok pembatas antar halaman terdapat gelung kori, yang disisi kiri kanannya (dekat paduraksa tembok samping), terdapat pemedal alit, dengan sebelah arca raksasa. Pada halaman madya mandala ini hanya berjejer dua buah gugus masa bangunan, disebut bale petandakan, bertiang delapan serta balai gong. Disekitarnya terdapat beberapa pohon cempaka dan kamboja. Menuju ke wilayah utama mandala harus melewati kori agung yang berada pada as tembok pembatas, yang disebelah kiri kanannya juga memiliki pemedal alit. Di utama mandala berjejer tiga buah bangunan meru bertumpang Sembilan 2 buah dan bertumpang sebelas satu buah. Bangunan meru bertumpang sebelas sebagai simbul lambang Siwa, bangunan meru bertumpang Sembilan sisi selatan simbol Brahma dan bangunan meru bertumpang Sembilan sisi utara merupakan simbul Wisnu. Susunan bangunan meru terdiri atas bagian kepala (atap bertumpang), bagian badan (ruang pemujaan) dan segmen kaki (bebaturan). Sistem konstruksi tumpang atap bertumpu pada titi mahmah (penunjang tiang tumpang yang ada diatasnya), yang bentuknya mengecil makin keatas, sudut-sudut atapnya berbentuk limas terpancung, kemudian atap puncak berpusat satu dalam ikatan petaka, didekap murdha sebagi puncak penutup. Dalam utama mandala selain berjejer dua buah bangunan meru bertumpang Sembilan dan sebuah bangunan meru bertumpang sebelas, di hadapan bangunan ini juga terdapat tiga buah palinggih, yaitu Palinggih Padmasana, Ngerurah dam Sanggar agung. Ketiganya tidak beratap, bentuk menyerupai padma dengan bebaturan berbentuk segi empat panjang. Palinggih yang paling kecil berada ditengah-tengahnya (ngerurah). Didepan pesimpangan ini terdapat sebuah sumur berdiameter sekitar satu meter, memiliki dua buah pilar dan sebuah balok yang bertumpu pada kedua pilar tadi. Di sebelah sumur terletak bale payuman (tempat 63 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi banten) bertiang empat yang juga beratap genteng, kemudian disebelah selatannya terdapat bale tenget bertiang enam, digunakan bila menyajikan tari-tarian sacral maka sekaa gong metabuh disana. Hamper sepanjang sisi kanan dan belakang area utama mandala, berdiri jejeran sanggar atau persimpangan dari Ida Bhatara yang melinggih. Semua bangunan yang disebut sanggar ini merupakan gugus bangun kecil bertiang enam terbuat dari kayu di cat putih beratap ijuk. Keseluruhan berjumlah 29 buah, 13 sepanjang sisi utara menghadap keselatan dan 16 sisi timur menghadap ke barat, yang berada dibelakang bangunan meru. Pada kori agung yang terdapat pada tembok pembatas Mandala di dalam Pura (antara utama mandala dan madya mandala), ini hampir tak memiliki ragam hias, baik pada gidat, pengawak, maupun sipah, kecuali memiliki subeng berukuran kecil di kiri kanan dan betala berukir di bubung atapnya. Bahan bakunya seluruhnya dari bata pripihan merah (bata gosok), bentuk dan tampilannya terlihat masih sangat asli. Didepan kori, pada apit lawang, berdiri sepasang Arca Subali dan Sugriwa. Pada sisi kiri dan kanan terdapat pemedal alit (pintu samping) sebagai area sirkulasi bagi pemedek atau umat Hindu yang akan tangkil bersembahyang yang masing-masing memili sebuah apit lawang berarca raksasa. Jalan masuk ke kori agung ini tidak memiliki undag (anak tangga), tetapi hanya berupa ramp (kemiringan) naik sekitar 20 derajat menuju lubang pintu, berupa jalan setapak berlapis paping blok yang dibingkai dengan semen bercat putih, diteruskan dengan jalan setapak didepannya yang terbuat dari beton cetak/paping blok. Bentuk lawangnya masih orisinal, sebagaimana yang dijumpai pada kebanyakan pura di Bali, pada lawang kerap ditemukan ulap-ulap, gegayoran (petitis) gabag-gabagan (obag-obag) atau daun-daun pintu, adeg-adeg (bagian kusen yang menempel langsung pada pengawak kori, dan dange-dange (dedange). Tembok penyengker pada area utama mandala dan madya mandala pura relative tebal (± 45 cm) dan tinggi berkisar 260 – 270 cm dari muka tanah. Seluruhnya terbuat dari bahan batu gosok merah, bercorak polos, tanpa hiasan atau pepalihan, hanya pada bagian atas tembok dari susunan bata gosok yang menonjol dan memanjang mengikuti panjang tembok. PENGELOLAAN PURA MERU CAKRENEGARA Cakranegara di rencanakan berdasarkan kosmologi Hindu-Bali. Awal mula pembentukan Cakranegara adalah sebagai kota kerajaan Hindu di pulau Lombok, yang pada masa itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Hindu Karangasem di pulau Bali. Namun saat ini terjadi banyak pergeseran nilai dan ketidak sesuaian dengan dengan nilai kosmologi Hindu-Bali pada kawasan Cakranegara, hal ini dikarenakan oleh usaha pemerintah yang hanya berupa preservasi bangunan bersejarahnya saja belum kearah yang lebih luas seperti konservasi kawasan, hal tersebut mendasari perlunya sebuah konsep konservasi yang sesuai dengan 64 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi kosmologi Hindu-Bali di Cakranegara. Pura Meru Cakranegara didirikan oleh dinasti kerajaan Singasari Karang Asem Lombok, semasa Raja A.A Anglurah Ketut Karang Asem pada tahun 1744. Pada awal berdirinya sampai dengan tahun 1894, Pura Meru Cakranegara diurus oleh keluarga Puri/Raja. Setelah itu pada jaman Penjajahan Belanda sampai dengan jaman Jepang, Pura Meru masih diurus oleh Pemerintah (para Punggawa, Setingkat Camat). Pada jaman kemerdekaan, sampai dengan tahun 1950, Pura Meru Cakranegara diurus oleh Punggawa. Pada tahun 1951 dibentuk wadah Krama Pura Pusat (dengan ketuanya A.A. Made Baryang Wangsa), yang tugas dan fungsinya mengurus Pura-pura Besar di seluruh Lombok. Baru pada tahun 1964, dengan prakarsa beberapa tokoh muda pada waktu itu, pada tiap-tiap Pura Besar dibentuk Krama Pura, termasuk Pura Meru Cakranegara dibentuk wadah Krama Pura Meru Cakranegara yang sifatnya otonom, yang mana pemegang kekuasaan tertinggi adalah Rapat Pengamong Sanggar, sehingga menjadi tradisi dalam penyelenggaraan berorganisasi di Krama Pura Meru sampai saat ini. (Pasal 1 Anggaran Dasar Krama Pura Meru Cakranegara). Usaba Pura Meru dilaksanakan pada setiap Purnama Kapat (sekitar bulan Oktober). Dalam perjalanan sejarah pelaksanaan Usaba Meru, sejak pertama kali (tahun 1745) sampai dengan sekarang tahun 2012, tidak pernah terputus, walaupun dalam keadaan sesulit apapun dalam masa awal kejatuhan pemerintahan kerjaan, dalam masa penjajahan Belanda/Jepang, masa awal kemerdekaan atau dalam masa transisi lainnya. Hal ini menunjukkan keteguhan/ketahanan umat Hindu dari masa kemasa dan juga berkat Waranugraha Hyang Widi Wasa/Bhatara-bhatari yang melingga di Pura Meru. Pura Kelepug Mayura merupakan bagian tak terpisahkan dari Pura Meru, sehingga dalam pelaksanaan upacara Usaba Meru, senantiasa meaksanakan upacara melasti (2 kali) ke Pura Kelepug Mayura. Rankaian upacara usaba Pura Meru Cakranegara adalah sebagai berikut : 1. Pemasangan abah-abah dan lapan, tiga hari sebelum Usaba (H-3). 2. Jempana kodal, siap dimasing-masing sanggar (H-3). 3. Nuhur Bhatara Gde Lingsar dan Bhatara Ayu Mas Batu Dendeng (H-2/sore) 4. Mendak Tirtha ke Pura Segara Ampenan (H-1/sore) dan Pamuspayan. 5. Rahina Usaba (hari-H) pada “Purnama Kapat” dengan acara : a. Melasti ke Pura Meru Kelepug Mayura sekitar pukul 09.00 wita b. Ngaturang Piodalan di Pura Meru Kelepug sekitar pukul 15.00 wita c. Pemuspayan, dengan didahului dengan Puja Trisandya pukul 17.00 wita sampai selesai (diisi dengan tari-tarian, laporan ketua Krama Pura Meru Cakranegara). 6. Rahina Ngelukar (H+1), dengan acara : a. Melasti ke Pura Meru Kelepug Mayura (sekitar pukul 09.00 wita). 65 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi b. Pamuspayan. c. Mapurwadaksina 1) Di Jero Pura 3 x (ditiga Mandala). 2) Di Perempatan Agung Cakranegara 3 x (tiga kali). 7. Rahina Ngelemekin (H+2), dengan cara : a. Pamuspayan (sore, sekitar pukul 17.30 wita). b. Nganyud/Ngelukar Kebun Odek ke Pantai Pura Segara. Setelah selesai Pamuspayan (butir 7-a) dan ngelungsur Amerta, para pengamong sanggar langsung ngelugas/membongkar abah-abah dan lapan, kecuali Sanggar Bhatara Gde Lingsar (Kr. Songgkang), Ngelukas esok harinya. Pengamong Sanggar Pura Meru Cakranegara berjumlah 33 Sanggar. Pengamong berasal dari kata gamongan, secara etimologi Gamongan berasal dari bahasa sanskerta dari urat kata Gama, yang berarti: perjalanan, jalan, atur, agama // karena lafal nuruf “ma” diucapkan sesuai dengan bahasa masyarakat setempat menjadi gamo // lafal huruf “mo” diucapkan, ditegaskan tersirat mendapat konsonan (diftong) “ng” diakhir ucapan menjadi gamong // dari gamong mendapat akhiran (sufiks) “an” menjadi Gamongan. Jadi Gamongan berarti pengamong atau pelayan, dengan perkataan lain, umat yang melayani sebuah tempat yang disucikan dalam perjalanan menuju kesucian diri terhadap Tuhan, dewa, bhatara yang dipuja. Pengamong Sanggar Pura Meru Cakranegara berjumlah 33 sanggar yaitu berurutan: 1. Bhattȃra Gunung Agung/Bhatara Lingsir : Karang Sampalan (Bhattȃra Tuh Langit Gunung Agung) 2. Bhattȃra Bagus Naga Basukih : Karang Sidemen 3. Bhattȃra Gde Maspait : Banjar Mantri 4. Bhattȃra Ayu Mas Meketel : Karang Bengkel 5. Bhattȃra Bukit Mangu : Karang Kecincang 6. Hyang Geni Jaya : Carik Kauh 7. Bhattȃra Anda Kasa : Karang Belumbang 8. Bhattȃra Pura Puseh : Karang Kauhan 9. Bhattȃra Bagus Siluman : Karang Siluman 10. Bhattȃra Bagus Gde Bukit : Karang Keri II / Lilir 11. Bhattȃra Gunung Agung/ Ring Sakenan : Sweta 12. Bhattȃra Bagus Sakti Bobotoh : Karang Pendem 13. Bhattȃra Bagus Segara Muncar : Karang Seraya 14. Bhattȃra Gde Gunung Pangsung : Karang Keri I 15. Bhattȃra Bagus Peninjoan : Yasakambang/ L. Kelor 16. Bhattȃra Ketut Peninjoan : Jeruk Manis 17. Bhattȃra Rambut Siwi : Karang Jero/Pekandelan 66 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. Bhattȃra Bagus Njongyang : Karang Kelebut Bhattȃra Bagus Pemberatan : Karang Lelede Bhattȃra Gde Bagus Padang/ Silayukti : Angan Telu Bhattȃra Bagus Bungaya : Negara Sakah Bhattȃra Gde Rambut Petung : Karang Jero Bhattȃra Gde Tegah : Karang Tulamben Bhattȃra Bagus Pande : Banjar Pande Bhattȃra Bagus Tusan : Banjar Pande Bhattȃra Gunung Rinjani : Banjar Ganjih Bhattȃra Bagus Lombok : Karang Jasi Bhattȃri Ayu Mas Batu Dendeng : Karang Jangu/Tungak Bela Bhattȃra Gde Lingsar : Karang Songkang Sanggar Agung : Karang Bangbang Meru Kaler/Utara : Karang Kelebut Meru Tengah : Karang Tangkeban Meru Kelod/Selatan : Pamotan Hubungan Krama Pura Meru dengan pengamong sangggar tidak bersifat komando (hirarki verikal), tetapi bersifat koordinatif. Oleh karena itu krama Pura Meru Cakranegara tidak boleh mencampuri hak otonom Pengamong Sanggar dalam mengurus/mengelola “rumah tangga” organisasi sanggarnya. Ketentuan ini berjalan sejak dahulu. Kecuali dalam keadaan cuntaka karena kematian dan karena sebab-sebab yang dapat dipertanggung-jawabkan, setiap pengamong Sanggar wajib turut serta dalam pelaksanaan Usaba Pura Meru Cakranegara dan Persembahyangan Hari Raya Kuningan. Ini berarti bahwa selain karena cuntaka, tidak boleh ada pengamong sanggar yang absen dalam Usaba Meru atau persembahyangan Hari raya Kuningan jikalau absen karena cuntaka maka wajib memebrikan secara tertulis kepada pengurus Krama Pura Meru. Dalam pengelolaan Pura Meru cakranegara maka sejak tahun 1964 didirikanlah sebuah organisasi sosial keagamaan yang bersifat Krama Pura Meru Cakranegara (Anggaran dasar Krama Pura Meru Cakranegara, Pasal 1). Krama Pura Meru Cakranegara bertujuan mengkoordinasikan pelaksanaan Upacara di Pura Meru Cakranegara untuk mewujudkan bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan Bhattȃra- Bhattȃri yang melingga di Pura dalam rangka mewujudkan Dharma, Artha, kama dan Moksa. Krama Pura Meru Cakranegara melaksanakan kegiatan pada bidang sosialkeagamaan dan sosial budaya. Fungsi Krama Pura Meru adalah sebagai berikut : pertama, menciptakan atau mengupayakan suasana kondusif dalam pelaksanaan upacara di Pura Meru Cakranegara; kedua, menjaga dan melestarikan kebersamaan umat Hindu; dan ketiga, menjaga dan melestarikan keberadaan Pura Meru Cakranegara. Sedangkan Tugas Pokok Krama Pura Meru adalah : pertama, Melaksanakan upacara Usaba Pura Meru (termasuk Pura Meru Kelepug Mayura) 67 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi pada setiap purnama sasih Kapat; dan kedua, Meningkatkan pembinaan pengamong Sanggar agar pelaksanaan upacara di Pura Meru berjalan tertib, lancar dan sukses. Upacara persembahyangan di Pura Meru Cakaranegara pada setiap hari raya Kuningan dipimpin oleh Pedanda. Sedangkan dalam Upacara Usaba Pura Meru Cakranegara pada hari Usaba dipuput oleh Pedanda Siwa dan Pedanda Buda. Upacara Usaba Pura Meru Cakranegara pada hari Pengadegan, Pemedek, Penglukar dan Pengelemek di Puput oleh Pedanda. Dalam setiap upacara, kegiatan juga di bantu oleh Pemangku. Pemangku Pura Meru Cakranegara terdiri dari Pemangku Ageng dan Pemangku Sanggar. Pemangku Ageng ditunjuk oleh pengurus Krama Pura Meru Cakranegara sedangkan pemangku sanggar ditentukan oleh pengamong sanggar. Jadi sampai saat ini Pura Meru Cakranegara di kelola oleh sebuah lembaga yang bernama Krama Pura Meru Cakranegara. PEMUJAAN DI PURA MERU CAKRANEGARA Pemujaan dapat dilakukan oleh setiap orang, dimana saja (baik di Pura, di rumah, dan sebagainya), kapan saja, sendiri atau bersama-sama. Pemujaan tidak hanya dilakukan dengan kata-kata tetapi dapat disampaikan dengan bahasa lain, misalnya dengan menggunakan symbol atau alat-alat sebagai pengganti bahasa. Di masyarakat Hindu dalam melakukan pemujaan dengan menggunkan symbolsimbol atau sarana-sarana lain, sangat lazim kita jumpai yaitu terutama dalam pelaksanaan yadnya. Oleh sebab itu karena adanya pemujaan tersebut diatas, maka dibedakan menjadi : 1. Pemujaan dilakukan dengan cara pengucapan kata-kata misalnya dengan pengucapan mantra-mantra atau japa-japa baik menurut bahasa yang terdapat di dalam Weda maupun menurut bahasa pada kalimat yang terlebih dhulu menurut tujuan. 2. Pemujaan dengan menggunakan sesajen atau alat-alat yang merupakan bahasa simbol. 3. Dengan menggunakan doa mantra dan symbol, misalnya sesajen, yang disebut yajnya (Pudja, 1984 : 74). Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tampak yajnya memegang peranan yang penting sebagai salah satu cara pemujaan, namun ditegaskan pula bahwa pemujaan dengan yajnya buksn merupakan satu-satunya cara karena di dalam Reg Weda IV.25 dinyatakan doa tanpa sesajen dapat pula dilakukan (Pudja, 1984 : 74). Ini berarti dalam melakukan pemujaan menurut agama Hindu tidaklah mutlak syarat sesajen itu. Setiap orang dapat memuja Tuhan. Dengan adanya uraian diatas, jangan lantas menghapuskan pelaksanaan yajnya (sesajen) itu karena yajna mempunyai tujuan sebagai berikut. 1. Untuk menghubungkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan, 2. Sebagai tanda terima kasih atas segala rahmat yang telah dilimpahkan-Nya. 68 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi 3. Untuk mencapai kesucian, membebaskan diri dari segala dosa demi tercapainya kesempurnaan lahir dan batin (Mas Putra, 1982:1). Manusia adalah mahluk social yang artinya bahwa manusia harus ditengahtengah pergaulan hidup, disanalah manusia berkembang sesuai dengan kondisi dan situasi. Religi dan upacara keagamaan memang merupakan satu unsur dalam kehidupan masyarakat suku bangsa manusia di dunia yang telah banyak menarik perhatian para pengarang etnografi (Koentjaraningrat, 1985 : 11). Dengan demikian religi adalah salah satu unsure dari kehidupan masyarakat suku bangsa Indonesia di Dunia. Mengenai dasar-dasar religi bahwa setiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri 4 komponen (Koentjaraningrat, 1985 : 144), yaitu : pertama, Emosi keagamaan; kedua, sistem keyakinan; ketiga, sistem upacara, dan keempat, umat atau kesatuan sosial yang menganut system keyakinan dan yang menjalankan system ritus dan upacara. Keempat komponen religi berkaitan satu sama lainnya, karena setiap religi pasti memiliki unsur-usur tersebut, sehingga menyebabkan manusia menjadi serba religi. Pemujaan di pura Meru Cakranegara secara rutin dilakukan saat usaba Pura dan saat Hari raya Kuningan, sedangkan untuk hari-hari bias disesuakian dengan keperluan umat. Untuk kegiatan usaba atau Piodalan di pura ini dilakukan setiap Purnama Kapat. Urutan kegiatan piodalan Pura Meru Cakranegara secara rinci adalah adalah sebagi berikut : 1) Gotong Royong; 2) Matur Piuning; 3) Pasang Abah-abah / Lapan; 4) Tabuh Rah; 5) Jempana sudah Melingga di Sanggar masingmasing; 6) Mendak Bhatara Gede Lingsar dan Bhatari Ayu Mas Batu Denden; 7) Mendak Tirtha; 8) Mendak Tirtha ke Pura Segara Ampenan, Pemangku dan Pemedek berangkat dari sanggar masing-masing; 9) Kembali dari Pura Sanggar Mesandekan di depan Pura Tanggun Desa Pajang; 10) Semua Jempana berangkat mendak tirtha dari Pura Meru ke Pajang Mataram; 11) Kembali dari mendak tirtha Masendakan di depan Candi Bentaram, Maturan Pisegeh; 12) Semua Jempana Melingga di Sanggar masing-masing; 13) Tri Sandya dan Pamuspayang; 14) Maturang Canang Sekar di Sanggar-sanggar; 15) Rahina Usaba; 16) Melasti ke Pura Kelepuk Mayura 17) Pamuspayan di Pura Lepuk Mayura; 18). Pamuspayang di Pura Meru; 19) Rahina Ngelukar; 20) Melasti ke Pura Kelepuk Mayura; 21) Pemuspayan ke Pura Meru; 21) Mapurwadaksina di halaman Pura Meru, 3 (tiga) Putaran. Lanjut ke jalan raya, 3 (tiga) putaran.; 22) Selesai mapurwadaksina, jempana kembali ke pemaksan/penyimpanan masing-masing; 23) Rahina Ngelemekin; 24) Trisandya dan pamuspayan; 25) Nganyud kedon Odeq ke Ampenan. Pura Meru Cakranegara dipandang sebagai tempat mempertebal keyakinan untuk memohon keselamatan lebih-lebih pada saat menghadapi marabahaya, maka pura dibangun atas landasan dan tujuan seperti itu, sehingga kekuatan-kekuatan supranatural alam sekitar menjadi keyakinannya, karena sifat keabstrakannya dari 69 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi kekuatan itu, kemudian dibangun parahyangan untuk menghormati penguasa alam ditempat itu yang telah member perlindungan atau keselamatan. Keyakinan ini terbawa manakala para masyarakat Hindu berada di tempat tinggal yang lain (tempat perantauan) tidak melupakan cikal bakal sejarah kehidupan yang pertama ketika menginjakan kaki di Pulau Lombok. Pemujan di Pura Meru Cakranegara terlihat pada Pemujaan Dewa Tri Murti hal ini disimbulkan dengan penggunaan tiga buah bangunan Meru. Banguan meru tersebut adalah bangunan meru bertumpang sebelas sebagai simbul Siwa; bangunan meru bertumpang Sembilan di sisis selatan simbul Brahma dan bangunan meru bertumpan Sembilan di sisi utara symbol Wisnu. Selain itu setiap pengamong yang di satukan dengan pemaksan menstanakan bhattara yang disungsung untuk di stanakan dalam sebuah bangunan palinggih sanggar. STATUS PURA MERU CAKRANEGARA PERSPEKTIF TEOLOGIS Pembagian halaman pura didasarkan atas konsepsi makrocosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari "Tri Loka", yaitu: Bhur - Loka (Bumi), Bhwah - loka (langit) dan Swah loka (Sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halainan ( tingkat) adalah lambang dari alam atas (Urdhah ) dan alam bawah (adhah), yai tu Akasa dan Pritiwi. Sedang pembagian pura atas 7(tujuh) bagian/ halaman atau tingkatan adalah lambang dari " Saptaloka" yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam ke atas, yang terdiri dari : Bhur Loka, Bhwah Loka, Swah - Loka, Maha - Loka, Jana - loka, Tapa - Loka dan Satya - Loka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari " Ekabhuwana" , yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada pelinggih - pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu adalah lambang dari "prakrti" (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis "purusa" (unsur kejiwaan / spiritual alam semesta). Penunggalan Konsepsi Prakrti dengan Purusa dalam struktur suatu pura adalah merupakan simbolis dari pada " Super natural power ". Hal itulah yang menyebabkan orang orang dapat merasakan adanya getaran spiritual atau Super natural of power (Tuhan Yang Maha Esa) dalam suatu Pura. Dari wawancara dengan Penjaga Pura (Gde Rembe) dakatakan bahwa Pura Meru didirikan pada tahun 1740 dan diresmikan tahun 1744 oleh keluarga penguasa cakranegara yang bernama Anak Agung Ketut Angurah Karangasem. Pura ini didirikan selain untuk sembahyang, juga digunakan untuk mempersatukan seluruh klan atau kasta yang berpengaruh di Cakranegara pada waktu itu. Adapun sanggar/banjar yang mengempon atau yang menjadi pengrembe pura meru terdiri dari 33 kelompok yang ada di wilayah Cakranegara dan sekitarnya. Sanggar/banjar 70 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi ini berkumpul setiap tahun untuk mengadakan usaha (pujawali) setiap purnama kapat yang jatuh sekitar bulan september atau bulan Oktober. Sedangkan dari observasi didapatkan bahwa wilayah Pura Meru Cakranegara terdiri dari 3 mandala yaitu utama Mandala, Madya Mandala, Nista Mandala. Di Utama mandala terdapat 29 Sanggar yang beratap ijuk (Bertumpang Satu), 2 Meru tumpang 9, 1 Meru Tumpang 11, dan 2 Padmasana (1 Sanggar). Sehingga jumlah keseluruhan sanggar yang ada di wilayah utamaning mandala 30 sanggar dan 3 Meru. Di Madya mandala terdapat 2 bale Panggung yang sementara difungsikan sebagai tempat bale gong atau sebagai tempat rapat. Sedangkan di nista mandala ditempatkan 2 orang penjaga yang bertugas membersihkan pura meru. Fasilitas Pura Meru Cakranegara adalah dengan adanya listrik sampai sekarang masih terpasang dengan baik; Air, sampai sekarang mengalir dan toilet/ WC masih layak digunakan. Meru adalah salah satu bentuk niyasa berupa bangun suci stana Ida Bhatara yang dalam tradisi beragama Hindu di Bali disebut palinggih (Sunasdyana : 2010, 13). Palinggih meru terdiri tiga bagian yaitu : bagian pertama adalah pondamen atau bebaturan, dibuat dari bahan batu, semen, paras, batu-batu, dengan ornamen yang disebut karang gajah, karang paksi, dan karang bun. Bagian kedua, diatas bebaturan ada gedong yang biasanya dibuat dari bahan kayu atau pasangan batu. Bagian ketiga, atab atau kereb yang bertumpang-tumpang, dibuat dari bahan kayu dan ijuk. Terkadang atap bertumpang ini dibuat pula dari bahan seng, genting, atau semen-beton. Di dalam gedong disimpan simbol-simbol Ida Bhatara berupa patung dari bahan kayu, jinah bolong atau bahan lainnya yang bermutu tinggi, dan tidak jarang dibuat dari logam murni atau hanya dilapisi emas/perak. Meru merupakan salah satu bangunan suci umat Hindu suku Bali, yang sangat agung, megah dan monumental, surat dengan kandungan makna simbolis dan kekuatan religius. Meru dijumpai pada pura besar di Bali dengan ciri khasnya adalah atapnya yang betumpang tinggi. Meru tidak hanya dijumpai di pura, tetapi juga pada upacaraupacara ngaben (kremasi) di Bali sebagai wadah sawa atau watang (mayat) pada upacara pitra yadnya. Meru dibangun berdasarkan pada keakuratan proporsi, logika teknik konstruksi dan keindahan ragam hias, yang berpegang teguh kepada kearifan lokal arsitektur tradisional Bali seperti Hasta Kosala Kosali, Hasta Bumi, Lontar Andha Buana, Lontar Janathka, dan lain-lain. Konstruksi meru merupakan konstruksi tahan gempa yang telah teruji keandalannya. Gempa yang sangat dahsyat dengan kekuatan sangat besar pernah terjadi di Bali (seperti seririt, Buleleng), dimana bangunan konstruksi modern banyak yang roboh, namun bangunan-bangunan suci di Bali khususnya meru masih berdiri dengan kokoh, kuat, stabil, dan tegak (Sunasdyana : 2010, 13). Meru, didasarkan pada kutipan yang tercantum dalam lontar-lontar warisan leluhur seperti Lontar Andha Bhuana, mengandung makna simbolis sebagai berikut, : 71 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi “matang nyan meru mateges, me, ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa; muah ru, ngaran guru, ngaran bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak. Meru ngaran pratiwimbha andha bhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung alit”. Artinya, “oleh karena itu meru berasal dari kata me, berarti me, berarti meme = ibu = pradana tattwa, sedangkan ru berarti guru = bapak= purusa tattwa, sehingga meru berarti batur kelawasan petak (cikal bakal leluhur). Meru berarti lambang atau simbol alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan lapisan alam, yaitu bhuana agung dan bhuana alit”. Berdasarkan keterangan dalam lontar Andha Bhuana tersebut, meru memiliki dua makna simbolis yaitu meru sebagai simbolisasi dari cikal bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta. Lebih lanjut diuraikan, meru punya dua makna sebagai berikut, : Meru sebagai perlambang atau perwujudan dari gunung Mahameru, gunung adalah perlambang alam semesta sebagai stana para Dewata, Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) atau papulaning Sarwa Devata. Meru mempunyai makna simbolis dari gunung juga diuraikan dalam Lontar Tantu Pagelaran, Kekawin Dharma Sunia dan Usana Bali. Dalam hal ini, meru sebagai Dewa Pratista tertadapat dalam kompleks pura seperti Pura Sad kahyangan, Kahyagan Jagad dan Kahyangan Tiga. 2. Meru melambangkan “Ibu” dan “Bapak” sebagaimana diuraikan dalam lontar Andha Bhuana. Ibu mengandung pengertian ibu Pertiwi yaitu unsur pradhana tattwa dan Bapak mengandung makna “Aji Akasa” yaitu unsur purusa tattwa. Manunggalnya pradhana dan purusa itulah merupakan kekuatan yang maha besar yang menjadi sumber segala yang ada di bumi. Inilah yang merupakan landasan bahwa meru berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur di kompleks pura Pedarman di Besakih. Di sini, meru sebagai Atma Pratista yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur atau sebagai Dewa Pitara. Meru sebagai perlambang atau simbolis alam semesta, tingkatan atapnya merupakan simbolis tingkatan lapisan alam yaitu bhuana agung (alam besar atau makrokosmos) dan bhuana alit (alam kecil atau mikrokosmis) dari bawah ke atas sebanyak sebelas. Beberapa makna dari tingkatan meru tersebut jika ditinjau dari jumlah dan diangkakan diantaranya 1 = Sekala; 2 = Niskala; 3 = Cunya; 4 = Taya; 5 = Nirbana; 6 = Moksa; 7 = Suksmataya; 8 = Turnyanta; 9 = Ghortyanta; 10 = Acintyataya; dan 11 = Cayen. Semakin pemaknaan yang disebutkan diatas, ada juga meru beratap 21, namun biasanya ini dapat dilihat pada wadah atau bade pada saat ada upacara ngaben di Bali. Meru “khususnya” ini memiliki pengertian Dasa Dewata sebagai dasar pokok, kemudian ditambah 11 tangga atma sebagai kelanjutnya. 1. 72 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi Tingkatan-tingkatan atap meru adalah simbolisasi paenyatuan dasa aksara (huruf suci) sebagai urip (jiwa) dari meru atau alam semesta. Sepuluh huruf suci ini merupakan urip bhuana yang letaknya di 10 penjuru alam semesta termasuk ditengah. Ke-10 huruf itu adalah huruf suci sa (letaknya di timur, dewanya Iswara dan warnanya putih); ba (selatan, Brahma, merah); ta (barat, Mahadewa, kuning); a (utara, Wisnu, hitam); i (tengah, Ciwa, campuran atau panca warna); na (tenggara, Mahesora, merah muda atau dadu); ma (barat daya, Rudra, jingga); si (barat laut, Sangkara, hijau); wa (timur laut, Sambu, biru) dan ya (tengah atas, Ciwa, panca warna). Penunggalan 10 huruf itu menjadi satu lambang aksara suci bagi umat Hindu yaitu Omkara (huruf suci Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa). Sedangkan pengejawantahan ke-10 huruf suci Omkara dalam meru diuraikan sebagai berikut: 1. Meru beratap 11 adalah lambang dari 11 huruf suci yaitu 10 huruf suci + huruf suci Omkara sebagai lambang Eka Dasa Dewata. 2. Meru beratap 9 adalah lambang 8 huruf di seluruh penjuru ( sa, ba, ta, a, na, ma, si, wa) + satu huruf Omkara di tengah, 9 huruf itu lambang Dewata Nawa Sanga. 3. Meru beratap 7 adalah lambang 4 huruf (sa, ba, ta, a) + 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya). Ini lambang Sapta Dewata. 4. Meru beratap 5 adalah simbolis dari 5 huruf (sa, ba, ta, a) + satu huruf Omkara di tengah. Ini lambang Panca Dewata. 5. Meru beratap 3 adalah simbolis dari 3 huruf di tengah (i, Omkara, ya), merupakan lambang Tri Purusa yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. 6. Meru beratp 2 adalah simbolis dari dua huruf di tengah (i,ya) dalah lambang dari purusa dan pradhana (ibu-Bapak). 7. Meru beratap satu adalah simbolis dari penunggalan ke-10 huruf suci itu yaitu “Om” atau Omkara sebagai perlambang Sang Hyang Tunggal (Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.) Berdasarkan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu ke x tanggal 28 Mei 1984 dalam Titib (2003 : 99) ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut : 1. Beradasarkan atas Fungsinya : a) Pura Jagat yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhava-Nya (manifestasinya). b) Pura Kawitan yaitu pura sebagai tempat suci untuk memuja ”Attmasiddhadevata” (roh suci leluhur). 2. Berdasarkan atas Karakterisasinya : 73 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi a) b) c) d) Pura Kahyangan Jagat, yaitu pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam aneka prabhava-Nya (manifestasinya) misalnya Pura sad Kahyangan dan pura Kahyangan Jagat. Pura Kahyangan Desa (teritoria) yaitu pura yang disungsung (dipuja/dipelihara) oleh desa Pakraman atau desa Adat. Pura Swagina (pura fungsional) yaitu pura yang penyungsungnya terikat oleh ikatan swagina (kekaryaan) yang memiliki profesi sama dalam mata pencaharian, seperti pura Subak, pura Melanting. Pura Kawitan yaitu pura yang penyungsungnya ditentukan oleh ikatan ”Wit” atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti : Sanggah, Pamarajan, Ibu, Dadya, Batur, Panataran, Padharman. Dalam konteks pembangunan pura di Lombok, secara mendasar orangorang Bali telah memiliki konsep yang dikembangkan oleh Mpu Kuturan dan Dang Hyang Dwijendra jauh sebelum mereka melakukan urban ke Lombok. Jadi pengetahuan tentang tri kahyangan sesungguhnya sudah dimiliki. Namun konsep seperti itu akan menjadi berubah ketika mereka keluar dari wilayah Bali. Kondisi alam, kondisi social masyarakat dan keagamaan penduduk ditempat kediaman barunya, memaksa harus mengkaji ulang konsep itu dan disesuaikan dengan kebutuhan pada saat itu (Budhita, 2007 : 54). Pura Meru Cakranegara, bisa ditemukan pada mandala utama atau ruang paling akhir dari berbagai ruangan yang ada. Jika diperhatikan dari kejauhan atau dari jaba pura bisa terlihat menjulang paling tinggi diantara bangunan yang lainnya. Hal ini menunjukkan secara nyata bahwa bangunan palinggih Meru merupakan bangunan yang paling diutamakan. Keutamaan dari bangunan ini terlihat secara fisik maupun secara ritual. Secara fisik, dalam keseharian nampak jelas terlihat keberadaannya yang memang dibuat sedemikian rupa ketinggiannya sesuai tingkatan siapa yang dilinggihkan. Semakin tinggi posisi yang menghuni bangunan itu, maka tingkatan merunya juga lebih banyak, demikian juga semakin rendah jumlah yang distanakan, maka merunya juga semakin rendah. Begitu juga secara ritual, bahwa ketika mengadakan acara upacara keagamaan, maka diantara palinggih meru yang ada, terdapat pelakuan yang khusus bagi kedudukan yang distanakan. Dalam memperlakukan palinggih meru disaat ritual, maka palinggih yang paling tinggi tingkatan merunya akan dinomorsatukan. Keadaan diatas bisa dilihat ketika ritual sedang berlangsung, maka didalam menjalankan atau menghaturkan sesajian atau banten, maka terlebih dahulu pada palinggih yang paling tinggi dan seterusnya menuju pada yang lebih rendah sampai selesai diluar atau palinggih paling luar. Hal ini bukan berarti yang lain sebagai palinggih yang rendah, namun dalam perilaku ritual seperti sor singgih atau sopan santun dalam masyarakat Indonesia. Penempatan palinggih meru yang menempati Mandala Utama dari Trimandala yang ada, menunjukkan bahwa palinggih meru meiliki peranan yang penting. Jika di Pura lainnya pada umumnya sebagai 74 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi palinggih adalah Padmasana, maka di lokasi penelitian tidak demikian. Keadaan ini menunjukkan bahwa mereka masih mempertahankan sistem pemujaan Bali Kuno konsep dari Mpu Kuturan yang artinya bahwa para dewa atau leluhur ditempatkan atau distanakan didalam palinggih meru. Berbeda dengan keadaan pura lainnya yang sudah memakai konsep terakhir, yaitu menempatkan palinggih padmasana sebagai palinggihnya Sanghyang Tunggal yang merupakan konsep dari Danghyang Nirarta. Bila dilihat dan dipahami dengan cermat maka Pura Meru Cakranegara berdasarkan fungsinya termasuk pura Jagat dan berdasarkan atas karakteristiknya Purah Kayangan Jagat. Hal ini dapat dilihat dari Meru secara tata letak berada pada tempat pemujaan di halaman utama (jeroan), Dari segi orientasi, meru bertumpang sebelas dan diapit dua buah miru tumpang sembilan menghadap ke barat sebagai tempat pemujaan utama berderet pada sisi timur dari utara ke selatan (kaja-kelod) dengan bangunan-bangunan padmasana, ngerurah, dan sanggar agung. sehingga arah pemujaan menghadap ke timur ke arah matahari terbit. Meru tumpang sebelas yang berada di tengah melambangkan Siwa, Meru bertumpang Sembilan yang berada di sisi utara melambangkan Wisnu dan Meru bertumpang Sembilan di sisi selatan melambangkan Brahma. PENUTUP Dari hasil analisis dan evaluasi data yang telah diuraikan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan Pura Meru Cakranegara dilakukan oleh pengurus krama pura Meru Cakranegara yang merupakan perwakilan dari perwakilan dari 33 kelompok sanggar/pemaksan yang ada dengan ditentukan juga pemangku untuk bertugas tetap di Pura Meru dan Pemangku pemaksan masing-masing Pengamong Pura. Pemujaan yang dilakukan oleh Pengamong Pura Meru Cakranegara dilakukan pada saat Usaba yang berlangsung pada saat purnama kapat dan pada saat Hari raya Kuningan dengan menstanakan Tri Murti dengan Meru Tumpang Sebelas dan Sembilan serta menstanakan Bhatara/i yang distanakan di sanggarsanggar yang ada. Status Pura Meru Cakranegara dalam perspektif Teologi berdasarkan fungsinya termasuk pura Jagat, sedangkan berdasarkan karakteristiknya termasuk Pura Kayangan Jagat. DAFTAR PUSTAKA Agung, Anak Agung Ketut, 1991, Kupu Kuning yang Terbang di Selat Lombok (lintasan Sejarah Kerajaan karangasem 1661-1950). Denpasar : Upasastra. Buditha, S. Nyoman, dkk., 2007. Implementasi Konsep Ajaran Mpu Kuturan dan Dang Hyang Dwijendra Dalam Pembangunan Parahyangan di Lombok. Laporan Penelitian Kelompok STAH Negeri Gde Pudja Mataram 75 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013 Joko Prayitno, Status Pura Meru Cakranegara Dalam Perspektif Teologi Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Muditha, I Nyoman, 2012. Pura Meru Cakranegara Lombok. Tugas Acara Agama Hindu Jurusan Filsafat STAH negeri Gde Pudja Mataram. Ningrat, I Nengah Asrama, 2010. Pemujaan Bhatara Dalem Balingkang di Desa Pinggan, Kintamani, Bangli. Laporan Tesis Program Studi Brahmawidya Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Pals, Daniel, L., 2011, Seven Theories Of Religion, Yogyakarta : IRCiSoD. Sirtha, I Nyoman. 2002. Pengendalian Sosial dalam Masyarakat Yang Berubah, Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. IGN. Bagus (penyunting). Denpasar : Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana. Ningrat, I Nengah Asrama, 2010. Badawangnala Dalam Palinggih Meru di Pura Penataran Agung Dalem Balingkang Desa Pinggan Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli (Perspektif Teologi). Laporan Tesis Program Studi Brahmawidya Program Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Sokaningsih, Ni Made. 2007. Durga Mahisasura Mardini. Surabaya : Paramita. Titib, I Made, 1996, Weda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan, Surabaya : Paramita. ............, 2003. Teologi & Simbol-simbol Dalam Agama Hindu, Surabaya : Paramita. Handayani, Usri Indah. Suhadi,dkk., 2004, Peninggalan Sejarah Dan Kepurbakalaan Nusa Tenggara Barat, Mataram : Museum Propinsi Nus Tenggara Barat. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha. 2000. Teori Tentang Simbol. Denpasar : Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia. 76 Shopia Dharma, Volume I Edisi 1 Nomor 1 Juli – Desember 2013