bab ii tinjauan pustaka - Perpustakaan Universitas Mercu Buana

advertisement
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Komunikasi Massa
1.1.1 Pengertian Komunikasi Massa
Komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim (tidak
dikenal) melalui media cetak (surat kabar, majalah, tabloid) atau elektronik
(radio, televisi), sehingga pesan yang sama diterima secara serentak dan
sesaat.1
Dennis McQuail
mengungkapkan ciri-ciri yang terdapat
pada
komunikasi massa2 :
1.
Sumber komunikasi massa bukanlah satu orang, melainkan suatu
organisasi formal, dan “sang pengirim” sering kali merupakan
komunikator profesional.
2.
Hubungan antara pengirim dan penerima bersifat satu arah dan
jarang sekali bersifat interaktif.
3.
Pesan dari komunikasi massa merupakan suatu produk dan
komoditi yang mempunyai nilai tukar, serta acuan simbolik yang
mengandung nilai “kegunaan”.
1
2
Jalaluddin Rakhmat. Psikologi Komunikasi, PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2005, hal 189.
Denis Mc Quail, Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar, hal 33
14
15
4.
Komunikasi massa seringkali mencakup kontak secara serentak
antara satu pengirim dengan banyak penerima.
Penerima
merupakan bagian dari khalayak luas.
5.
Komunikasi massa dapat menciptakan pengaruh yang luas dalam
waktu singkat dan menimbulkan respon seketika dari banyak orang
secara serentak.
1.1.2 Fungsi Komunikasi Massa
Fungsi komunikasi massa bagi khalayak bila disederhanakan mencakup
sebagai berikut 3:
1. Menyampaikan informasi (to inform)
2. Mendidik (to educate)
3. Menghibur (to entertain)
4. Mempengaruhi (to influence)
1.1.3 Jenis-jenis Media Massa
Media massa terus berkembang sesuai dengan tuntutan kehidupan
manusia yang semakin maju menuju era globalisasi. Jika pada awalnya
komunikasi massa hanya media cetak, maka seiring dengan berkembangnya
teknologi muncul media massa yang lain seperti televisi, radio, film, dan juga
internet. Kesemuanya itu masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
3
Onong Uchjana Effendy, Teori Dan Praktek, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, hal 31.
16
Tabel 2.1
Karakteristik Media Massa
Media Massa
Televisi
Karakteristik
1. Publisitas
2. Periodesitas
3. Universalitas
4. Aktualitas
5. Terdokumentasikan
Majalah
1. Penyajian lebih dalam
2. Nilai aktualitas lebih lama
3. Gambar foto lebih banyak
4. Cover (Sampul) sebagai daya tarik
Radio Siaran
1. Imajinatif
2. Auditori
3. Akrab
4. Gaya percakapan
Televisi
1. Audiovisual
2. Berpikir dalam gambar
3. Pengoperasian lebih kompleks
Film
1. Layar yang lebih luas (lebar)
2. Pengambilan gambar
3. Konsentrasi penuh
4. Identifikasi psikologis
Internet
1. Publisitas
2. Periodesitas
3. Universalitas
4. Aktualitas
5. Terdokumentasikan
Sumber : Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, dan Siti Karlinah, Komunikasi
Massa Suatu Pengantar
17
1.2 Film Sebagai Saluran Media Massa
2.2.1 Pengertian Film
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 8 Tahun 1992 tentang
perfilman Bab 1 pasal 1 :
Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media
komunikasi
massa
pandang-dengar
yang
dibuat
berdasarkan
asas
sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video,
dan / atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk,
jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses
lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan / atau lainnya.
Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi massa
visual di belahan dunia ini. Lebih dari ratusan juta orang menonton film di
bioskop, film televisi dan film video laser setiap minggunya. Di Amerika
Serikat diproduksi di Hollywood. Film yang dibuat di sini membanjiri pasar
global dan mempengaruhi sikap, perilaku dan harapan orang-orang di belahan
dunia. 4
Industri film adalah industri bisnis. Predikat ini telah menggeser
anggapan orang yang masih meyakini bahwa film adalah karya seni, yang
diproduksi secara kreatif dan memenuhi imajinasi orang-orang yang
bertujuan memperoleh estetika yang sempurna. Meskipun pada kenyataannya
4
Elvinaro, Ibid, hal 143.
18
adalah bentuk karya seni, industri film adalah bisnis yang memberikan
keuntungan, kadang-kadang menjadi mesin uang yang seringkali, demi uang
keluar dari kaidah artistik film itu sendiri. 5
2.2.2 Sejarah Perfilman di Indonesia
Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film pertama yang diputar
berjudul Lely van Java yang di produksi di Bandung tahun 1926 oleh David.
Pada tahun 1927 / 1928 Krueger Corporation memproduksi film Eulis Atjih,
dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Lutung Kasarung, Si Conat
dan Pareh. Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh
orang-orang Belanda dan Cina. Film bicara yang pertama berjudul Terang
Bulan yang dibintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar berdasarkan naskah
seorang penulis Indonesia Saerun.6
Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941,
perusahaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu
berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi
film yang diubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya
memproduksi film feature dan film dokumenter. Namun ketika bangsa
Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaannya, maka tanggal 6 Oktober
1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada Pemerintah Republik
Indonesia.
5
6
Elvinaro, Ibid, hal 143.
Siti Karlinah, Komunikasi Massa, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, hal.7.24
19
Serah terima dilakukan oleh Ishimoto dari pihak Pemerintah Militer
Jepang kepada R.M Soetarto yang mewakili Pemerintah RI. Sejak tanggal 6
Oktober 1945 lahirlah Berita Film Indonesia bersama dengan pindah dan
bergabung dengan Perusahaan Film Negara, yang pada akhirnya berubah
nama menjadi Perusahaan Film Nasional. 7
2.2.3 Fungsi Film
Film
merupakan
salah
satu
alat
komunikasi
yang
mudah
disampaikannya, mudah diterima, dan dicerna oleh manusia. Dalam fungsi
film mengandung tiga unsur, yaitu8 :
1. Sebagai Alat Penerangan
Dalam film segala informasi dapat disampaikan secara audio visual
sehingga dapat dimengerti.
2. Sebagai Alat Pendidikan
Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik,
tauladan di dalam masyarakat dan mempertontonkan perbuatan-perbuatan
yang baik.
3. Sebagai Alat Hiburan
Dalam mensejahterakan rohani manusia karena disini kepuasan batin
untuk melihat secara visual serta pembinaan kebudayaan.
7
8
Siti Karlinah, Ibid, hal.7.24
Ibid, hal.7.24
20
2.2.4 Karakteristik Film
Penempatan setting, peran, dan ide cerita masing-masing saling
mendukung. Dengan dilengkapi gambar dan alunan dialog yang ditampilkan
di layar bioskop, maka telah siap menjadi sebuah film yang disajikan kepada
penonton. Hal mendasar yang digarisbawahi di sini adalah kekuatan film
sebagai produk komunikasi massa dibandingkan produk lainnya mencakup
hal-hal sebagai berikut 9 :
1. Layar bioskop yang luas memiliki daya tarik yang besar karena
dapat menghadirkan gambar yang besar kepada pemirsanya.
2. Implementasinya dengan kehadiran layar lebar tersebut maka
pengambilan gambar dalam film bioskop termungkinkan datang
dari segala arah dengan tujuan keindahan dan artistik, sehingga
dapat mengirimkan suasana yang sebenarnya kepada penonton.
3. Pengalokasian tempat yang umumnya berada di bioskop membuat
penonton secara otomatis berkonsentrasi penuh pada isi cerita
tanpa terganggu oleh hal-hal lain.
4. Suasana yang dihadirkan oleh cerita film tak jarang mendekatkan
diri secara psikologis kepada penontonnya yang seringkali
menyamakan diri dengan tokoh-tokoh yang ada dalam jalinan
cerita.
9
Ibid, hal.7.26
21
2.2.5 Jenis-jenis Film
Perbedaan dalam ukuran lebar film yang menyangkut kepada jumlah
publik yang melihat, dan caranya publik datang untuk melihat film tersebut,
menghasilkan perbedaan menurut sifatnya yang umumnya terdiri dari jenisjenis sebagai berikut10 :
1. Film Cerita (Story Film)
Film cerita adalah jelas film yang mengandung suatu cerita, yaitu
yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang
filmnya yang tenar dan film ini didistribusikan sebagai barang dagangan.
2. Film Berita (Newsreel)
Film berita atau newsreel adalah film mengenai fakta, peristiwa
yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya berita, maka film yang disajikan
kepada publik harus mengandung nilai berita (news value).
3. Film Dokumenter (Documentary Film)
Istilah “documentary” mula-mula dipergunakan oleh sutradara
Inggris bernama John Grierson. Untuk menggambarkan suatu jenis khusus
film yang dipelopori oleh seorang Amerika bernama Robert Flaherty.
Flaherty termasuk salah seorang seniman besar dalam bidang film. Film
dokumenternya itu di definisikan oleh Grierson sebagai “karya ciptaan
mengenai kenyataan (creative treatment of actuality)”. Berbeda dengan
film berita yang merupakan rekaman kenyataan-kenyataan, maka film
10
Onong Uchjana Effendy, Komunikasi dan Filsafah Komunikasi, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hal 211-216.
22
buatan Flaherty merupakan interpretasi yang puitis yang bersifat pribadi
dari kenyataan-kenyataan.
4. Film Kartun (Cartoon Film)
Film kartun banyak menjadi konsumsi anak-anak, tokoh-tokoh
dalam film kartun buatan Walt Disney seperti Mickey Mouse, Donald
Duck, Snow White merupakan film kartun yang sudah tak asing lagi.
Timbulnya gagasan untuk menciptakan film kartun adalah dari para
seniman pelukis. Ditemukannya cinematography telah menimbulkan
gagasan kepada mereka untuk menghidupkan gambar-gambar yang
mereka lukis. Dan lukisan-lukisan itu bisa menimbulkan hal yang lucu dan
menarik.
2.3 Konsep Kritik Pendidikan
2.3.1 Pengertian Pendidikan
Dalam buku Pengantar Pendidikan, Redja Mudyahardjo mendefinisikan
pendidikan dalam arti luas, dalam arti sempit, dan dalam arti luas terbatas.11
1. Definisi Pendidikan dalam arti luas
Pendidikan adalah hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan
individu.
11
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2001, hal 6.
23
2. Definisi Pendidikan dalam arti sempit
Pendidikan adalah sekolah. Pendidikan adalah pengajaran yang di
selenggarakan sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan
adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan
remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang
sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugastugas sosial mereka.
3. Definisi Pendidikan alternatif atau dalam arti luas terbatas
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan pengajaran,
dan/atau latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah
sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat
memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat di masa
yang akan datang.
Kaum Behaviouris seperti B.Watson, B.F. Skinner, lester Frank Ward
cenderung mendefinisikan pendidikan dalam arti sempit. Sekurangkurangnya mereka mempunyai pandangan yang optimis terhadap peranan
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan, dan pesimis atau meragukan
peranan pendidikan dalam bentuk-bentuk pengalaman belajar dalam hidup
yang tidak dilembagakan. Mereka mempunyai keyakinan yang kuat tentang
masa depan sekolah sebagai hal yang berkenaan dengan rekayasa
pengubahan tingkah laku. Sekolah hendaknya dirancang seperti halnya
dengan para insinyur yang bekerja merancang sebuah mesin yang canggih.
24
Sekolah sebagai lembaga berlangsungnya proses rekayasa perubahan tingkah
laku didasarkan pada kurikulum yang dirancang secara ilmiah dan bentukbentuk kegiatannya harus diorganisasikan dengan penuh perhatian dan
dilaksanakan dengan penuh disiplin. 12
Bertitik tolak dari asas-asas dan dasar-dasar pendidikan Taman Siswa,
Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai proses pembudayaan
kodrat alam setiap individu yang kemampuan-kemampuan bawaan untuk
dapat mempertahankan hidup, yang tertuju pada pencapaian kemerdekaan
lahir dan batin.13
2.3.2 Sekilas Sejarah Pendidikan di Indonesia
Pendidikan Nasional Indonesia merdeka secara formal dimulai sejak
Indonesia menyatakan kemerdekaannya, yaitu 17 Agustus 1945. Pendidikan
Nasional Indonesia Merdeka merupakan kelanjutan dari cita-cita dan praktekpraktek pendidikan masa lampau. Apa yang menjadi landasan historis
Pendidikan Nasional Indonesia Merdeka adalah cita-cita dan praktek-praktek
pendidikan masa lampau yang tersurat atau tersirat masih menjadi dasar
penyelenggaraan pendidikan Nasional Indonesia Merdeka. Yang menjadi
dasar penyelenggaraan pendidikan nasional Indonesia Merdeka, dapat
dibedakan dalam tiga tonggak, yaitu14 :
12
Redja Mudyahardjo, Ibid, hal 6.
Ibid, hal 302.
14
Ibid, hal 214.
13
25
a. Pendidikan
Tradisional,
yaitu
penyelenggaraan pendidikan di
nusantara yang dipengaruhi oleh agama Hindu, Budha, Islam, Katolik,
dan Protestan.
b. Pendidikan Kolonial Barat, yaitu penyelenggaraan pendidikan di
nusantara Indonesia olah pemerintah kolonial Belanda.
c. Pendidikan Kolonial Jepang, yaitu penyelenggaraan pendidikan di
nusantara Indonesia oleh pemerintah militer Jepang zaman Perang
Dunia II.1
2.3.3 Fungsi Pendidikan
Pendidikan nasional mempunyai tugas utama agar tiap-tiap warga
negara berhak mendapatkan pengajaran (UUD 1945, pasal 31). Fungsi
pendidikan
Nasional
adalah
mengembangkan
kemampuan
serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam
rangka upaya mewujudkan tujuan nasional (UU No 2 Th 1989, pasal 3). Hal
ini mengandung arti bahwa fungsi Pendidikan Nasional adalah 15 :
a. Memerangi segala kekurangan, keterbelakangan dan kebodohan.
b. Memantapkan ketahanan nasional.
c. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan berlandaskan kebudayaan
bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
15
Redja Mudyahardjo, Ibid, hal 198.
26
2.3.4 Kritik Pendidikan
Biasanya kritik itu masih sering dianggap sebagai sebuah penghinaan.
Padahal kritik
itu
merupakan suatu evaluasi untuk
meningkatkan
pemahaman, dan memperluas apresiasi. Pendidikan merupakan suatu usaha
untuk mencapai suatu tujuan pendidikan. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan (1979) menjelaskan bahwa pendidikan merupakan suatu sistem
yang mempunyai unsur-unsur tujuan / sasaran pendidikan, peserta didik,
pengelola pendidikan, struktur / jenjang, kurikulum dan peralatan / fasilitas.16
P.H. Combs (1982) mengemukakan dua belas komponen pendidikan,
yaitu sebagai berikut :
a. Tujuan dan Prioritas
Fungsinya mengarahkan kegiatan sistem pendidikan.
b. Peserta Didik
Fungsinya adalah belajar. Diharapkan peserta didik mengalami proses
perubahan tingkah laku sesuai dengan tujuan sistem pendidikan.
c. Manajemen atau Pengelolaan
Fungsinya mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai sistem
pendidikan.
d. Struktur dan Jadwal Waktu
Untuk mengatur pembagian waktu dan kegiatan. Contohnya pembagian
waktu ujian, wisuda, seminar, kegiatan belajar mengajar.
16
H.Fuad Ihsan, Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta, 2008, hal 110.
27
e. Isi dan Bahan Pengajaran
Menggambarkan luas dan dalamnya bahan pengajaran yang harus
dikuasai peserta didik, mengarahkan dan mempolakan kegiatankegiatan dalam proses pendidikan.
f. Guru dan Pelaksana
Menyediakan bahan pelajaran dan menyelenggarakan proses belajar
untuk peserta didik.
g. Alat Bantu Belajar
Untuk memungkinkan terjadinya proses pendidikan yang lebih menarik
dan bervariasi. Contohnya, film buku, papan tulis, peta.
h. Fasilitas
Untuk tempat terselenggaranya proses pendidikan. Contohnya, gedung
dan laboratorium beserta perlengkapannya.
i. Teknologi
Memperlancar dan meningkatkan hasil guna proses pendidikan.
j. Pengawasan Mutu
Membina peraturan-peraturan dan standar pendidikan. Contohnya,
peraturan tentang peserta didik dan staf pengajar.
k. Penelitian
Memperbaiki dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan penampilan
sistem pendidikan.
28
l. Biaya
Melancarkan proses pendidikan dan menjadi petunjuk tentang tingkat
efisiensi sistem pendidikan. Contohnya, sekarang biaya pendidikan
menjadi tanggung jawab bersama antara keluarga, pemerintah, dan
masyarakat.
Pendidikan di Indonesia terlihat sekali perbedaan kesenjangan
sosialnya. Pendidikan yang belum merata di segala pelosok daerah
mengakibatkan banyaknya anak-anak yang tidak mendapatkan ilmu dan
menjadi
suatu
permasalahan
yang
memang
sudah
berkepanjangan.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang, sehingga hasilnya tidak dapat
dinikmati dalam kurun waktu yang singkat. Akan tetapi semua pihak tentu
bersepakat bahwa hanya dengan membangun pendidikan, sebuah bangsa
dapat menjadi bangsa yang maju. 17
Menurut pendapat Agus Suwignyo seorang Pedagog FIB UGM
(Kompas Online, 3 September 2009) meski mewarisi sistem kolonial,
pendidikan kita dibangun dan dibesarkan dalam tradisi kritik nasionalis.
Pendiri Sarekat Islam, Taman Siswa, Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah
yang
dikategorikan
”liar”
oleh pemerintah
kolonial
menyandarkan
keberhasilan perjuangan politik pada ketangguhan kritik yang dibangun.
David J Flinders dan Elliot W Eisner (2000) menyebut kritik
pendidikan sebagai ”pendekatan yang menghidupkan keragaman dan aneka
17
Joko Wahyono, Sekolah Kaya Sekolah Miskin, Guru Kaya Guru Miskin. PT Elex Media
Komputindo, Jakarta, 2010, hal 10.
29
peluang belajar dalam interaksi dalam ruang kelas”. Sementara itu, Mary
Stokrocki (1991) mengurai sebagai a research process of describing,
analyzing, interpreting, and evaluating an everyday school activity in order
to understand it more fully (proses penelitian yang menggambarkan,
menganalisis, menafsirkan, dan mengevaluasi kegiatan sekolah sehari-hari
dalam rangka memahami lebih utuh).
Kritik menjadi kekuatan perlawanan atas sistem pendidikan yang
hegemonik, diskriminatif, dan hanya terpaku pada misi reproduksi kelas
sosial. Tradisi kritik yang tangguh itu kini luntur atau bahkan lenyap.
Indikasinya, semakin deras kritik dilontarkan atas suatu kebijakan
pendidikan, semakin keukeuh kebijakan dipertahankan. Kunci efektivitas
kritik adalah campuran verbalitas, frekuensi kritik, dan rasionalitas substansi.
Selain itu perlu disadari, ranah se-publik pendidikan adalah ekosistem aneka
kepentingan. Implikasinya, tiap kebijakan dan praktik pendidikan pasti
bermuatan politis. 18
Paradigma kritis bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas,
tetapi juga berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari kekuasaan
tersebut, melalui mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat
berpengaruh, dan menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. Dalam
bahasan kritik pendidikan ada dua dimensi. Pertama, dimensi internal yang
berkaitan dengan dunia pendidikan itu sendiri, kelembagaan kandungan atau
muatan pendidikan, dan terakhir, proses- proses pendidikan yang berlangsung
18
www.kompas.com “Kritik Pendidikan” Di akses pada Tanggal 30 April 2011.
30
di dalamnya. Dan kedua, dimensi eksternal, yang berkaitan dengan kondisi di
luar pendidikan yang bagaimana pun mempengaruhi dunia pendidikan secara
keseluruhan. Secara internal, kritik terhadap pendidikan pada dasarnya
merepresentasikan gugatan terhadap dunia pendidikan, yang dinilai telah
gagal melahirkan peserta didik yang kompeten, baik dari segi keilmuan,
keahlian, keterampilan, dan keahlian baik untuk kehidupan individualnya
maupun dalam kaitannya dengan kehidupan kemasyarakatan lebih luas. 19
Kerangka pemikiran pendidikan kritis yang sudah menjadi klasik dari
tokoh-tokoh seperti Ivan IIIich atau Paulo Freire menyebut kegagalan itu
bersumber dari berbagai hal. IIIich menyimpulkan, kelembagaan pendidikan
di negara-negara berkembang tidak akan membawa perubahan apa-apa.
(IIIich, 1979:10). Kritik yang tak kurang kerasnya juga dikemukakan Freire.
Menurut Freire, pendidikan yang seharusnya mampu membebaskan manusia
dari keterbelakangan dan kebodohan, ternyata hanya menjadi alat penindasan
bagi kekuasaan. (Freire, 1978:58).20
Pendapat yang sama juga dikemukakan Everett Reimer, dalam artikel
“School is Dead” ia menyatakan, bahwa sekolah bagi kebanyakan orang
adalah institusi untuk mendukung hak-hak istimewa (privilege), dan pada
waktu yang sama merupakan instrument bersama untuk mobilitas vertikal.
Secara retorik Reimer mengajukan pertanyaan: “Apa implikasi dari sistem
19
Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta
2002, hal 149
20
Azyumardi, ibid, hal 149.
31
pendidikan semacam itu? Apa betul-betul ada proses belajar, demokrasi, dan
kreativitas belajar yang sesungguhnya?21
Reimer menjawabnya, bahwa sistem kelembagaan pendidikan membuat
banyak anak di dunia tidak dapat menikmati pendidikan. Kalaupun mereka
memperolehnya, maka dengan segera anak-anak itu akan mengalami putus
sekolah. Sebagian besar negara di muka bumi tidak mampu mengusahakan
pendidikan pada standar minimal bagi mereka yang membutuhkannya.
Dalam waktu yang sama, biaya sekolah di mana-mana meningkat lebih cepat
daripada pertumbuhan pendapatan nasional. Untuk meratakan pendidikan,
maka kelembagaan pendidikan seperti sekolah harus dilenyapkan karena
gagal menjalankan fungsinya.22
2.4 Konstruksi Makna Dalam Simbolisasi Film
Film merupakan medium komunikasi massa yang ampuh sekali, bukan
saja untuk hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramahceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat
pembantu dalam memberikan penjelasan. Bahkan filmnya sendiri banyak yang
berfungsi sebagai medium penerangan dan pendidikan secara penuh, artinya
bukan sebagai alat pembantu dan juga tidak perlu dibantu dengan penjelasan,
melainkan medium penerangan dan pendidikan yang komplit. 23
21
Ibid, hal 150.
Ibid, hal 150.
23
Onong Uchjana Effendy, Komunikasi dan Filsafah Komunikasi, Bandung, Citra Aditya Bakti,
2003, hal 209
22
32
Lembaga pendidikan sebagai sebuah ruang di mana bahasa, simbol dan
ilmu pengetahuan diproduksi dan disebarluaskan dan seharusnya tidak dilihat
sebagai sebuah alat kekuasaan dominan yang pasif. Sebaliknya, lembaga
pendidikan membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya sebuah perang
simbol dalam rangka memperebutkan penerimaan publik atas gagasan-gagasan
ideologis yang diperjuangkan, misalnya gagasan mengenai netralitas pendidikan
atau pendidikan yang bebas nilai komersial. 24
Kekuatan simbol dan kekuatan ide mempunyai peranan penting bagi
institusi pendidikan, dalam upaya merebut penerimaan publik. Lembaga
pendidikan harus menciptakan secara terus-menerus citra (image), makna
(meaning) dan nilai-nilai (value), sebagai cara untuk merebut dominasi kultural
dan intelektual, di dalam sebuah perjuangan politik simbol. Akan tetapi, ironisnya,
lembaga pendidikan sebagai penghasil konsep, ide, gagasan, citra, dan makna
jatuh sebagai alat hegemoni semata, ketika gagasan dan citra yang dihasilkannya
merupakan legitimasi dari sistem kekuasan yang mengendalikannya, seperti
sistem kekuasaan (ekonomi) kapitalisme. 25
Makna dikonstruksi dalam materi melalui tanda-tanda dan khususnya
konvensi-konvensi. Pengkonstruksian ini adalah sesuatu yang dilakukan oleh
audiens serta produser. Makna tersebut bukan merupakan sesuatu yang
menyerupai parsel yang dibungkus dan diberikan kepada audiens. Makna tersebut
lebih menyerupai cetak biru untuk suatu struktur yang diharapkan oleh para
24
Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Jalasutra. 2006, hal 357
25
Piliang, Ibid, hal 357.
33
produser media untuk diikuti oleh audiens dan yang dirancang oleh para produser
tersebut sangat cermat. Namun, audiens dapat membangun sesuatu yang lain dari
desain ini. Audiens bukanlah penerima yang pasif terhadap apa yang ditawarkan
oleh media.26
Sebagian dari makna film, televisi, dan materi foto berasal dari
kemampuan kita untuk dapat mendekode tanda-tanda. Kombinasi pelbagai kode
dan konvensi dapat membentuk makna seperti pemotongan (cut) antara gambargambar dan jarak dekat (close ups) dua orang dalam satu kelompok yang jelas
saling memandang, yang berarti bahwa terdapat satu kaitan atau hubungan di
antara keduanya. Efek gelombang dan melarut (dissolve) untuk merepresentasikan
pergeseran mundur ke masa lampau. Orang-orang dapat langsung memotong
adegan dan meneruskan kisah. 27
Barthes (1977) menunjuk cara ketiga penandaan dalam orde ini. Dia
mengistilahkannya dengan simbolik. Sebuah objek menjadi sebuah simbol tatkala
simbol itu berdasarkan konvensi dan penggunaan, maknanya mampu untuk
menunjuk sesuatu yang lain. Roll Royce merupakan simbol kemakmuran, dan dan
sebuah adegan dalam sandiwara yang menunjukkan seorang pria dipaksa untuk
menjual Roll Royce-nya bisa menjadi simbol kegagalannya dalam bisnis dan
hilangnya keberuntungan. Barthes menggunakan contoh seorang Tsar muda
dalam Ivan the Terrible yang dibaptis dengan koin emas sebagai adegan simbolik
yang menunjukkan emas sebagai simbol kemakmuran, kekuasaan, dan status.28
26
Graeme Burton, Yang Tersembunyi Di Balik Media, Jalasutra, Jogyakarta, 2008, hal 39.
Graeme, Ibid hal 37.
28
John Fiske, Cultural And Communication Studies, Jalasutra, 2008, hal 126.
27
34
Suatu simbol dari prespektif kita, adalah sesuatu yang memiliki signifikasi
dan resonansi kebudayaan. Pengikut Saussure memandang simbol secara
konvensional. Simbol tersebut memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan
memiliki makna yang mendalam. Kita mempelajari pengertian simbol dan
mengasosiasikannya dengan semua jenis kejadian, pengalaman dan yang sebagian
besar memiliki pengaruh emosional bagi kita dan orang lain. 29
Setiap objek yang bisa digunakan untuk mengidentifikasikan sesuatu atau
untuk menandai konvensi, atau konvensi itu sendiri bisa merupakan simbol.
Simbol adalah sesuatu yang disebut oleh Morris dengan istilah tanda dari tanda,
yaitu “tanda yang diproduksi sebagai pengganti satu tanda lain, dan tanda lain itu
adalah sinonim dari tanda tersebut”. Definisi itu diberlakukan juga pada
penggunaan umum istilah simbol, dalam bahasa Prancis, ketika orang mengacu
pada simbol-simbol matematika, logika, kimia, yang memang merupakan cara
penulisan sesuatu yang ditempat lain memiliki definisi lain. Simbol memiliki jenis
fungsi yang sama dengan jenis fungsi yang dilakukan oleh simbol-simbol yang
berasal dari zaman Yunani kuno. Simbol yang kita bicarakan ini dibangun dengan
dasar konvensi. 30
Simbol adalah tanda yang mewakili sesuatu yang proses pembentukan
simbol itu tidak mengikuti aturan tertentu. Secara umum, seperti gerak tangan
29
Arthur Asa Berger, Pengantar Semiotika Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara
Wacana, 2010, hal 28
30
Jeanne Martinet, Semiologi, Jalasutra hal 100.
35
tertentu, kata-kata adalah simbolik. Akan tetapi, penanda apapun, objek, suara,
gambar, warna, nada musik dan sebagainya memiliki makna simbolik. 31
Simbol adalah sesuatu yang berdiri atau ada untuk sesuatu yang lain,
kebanyakan diantaranya tersembunyi atau setidaknya tidak jelas. Sebuah simbol
dapat berdiri untuk suatu institusi, cara berpikir, ide, harapan dan banyak hal lain.
Sosok pahlawan pria atau wanita seringkali simbolis sifatnya dengan demikian
dapat diinterpretasikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan
sosok pahlawan tersebut. Hinsie dan Campbell mendefinisikan simbolisme
sebagai sebuah tindakan atau proses penampilan suatu tatanan atau ide dengan
menstubstitusikan obyek, tanda atau signal. 32 Jadi dalam penelitian ini,
mengungkap tanda-tanda pada gambar yang berkaitan mengenai objek
penandanya sebagai suatu simbolisasi kritik pendidikan.
2.5 Semiotika
Secara etimologis, semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang
berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai suatu yang atas dasar
konvensi sosial yang terbangun sebelumnya dapat dianggap mewakili sesuatu
yang lain. Sedangkan secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai
ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh
kebudayaan sebagai tanda.33
31
Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotika Media, Jalasutra, Yogyakarta, 2010, hal 48.
Arthur Asa Berger, Media Analysis Techniques, Andi Offset, Yogyakarta, 2000, hal 84.
33
Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, Mitra wacana Media, 2011, hal 5.
32
36
Tokoh semiotika yang terkenal ada dua tokoh yakni, Ferdinand de
Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Kedua tokoh
tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu
sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika Serikat. Latar belakang
keilmuan adalah linguistik, sedangkan Pierce filsafat. Saussure menyebut ilmu
yang dikembangkannya semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotika. 34
Dalam pandangan Piliang, penjelajahan semiotika sebagai kajian ke dalam
berbagai cabang keilmuan ini di mungkinkan karena adanya kecenderungan untuk
memandang berbagai wacana sosial sebagai fenomena bahasa. Dengan kata lain,
bahasa dijadikan model dalam berbagai wacana sosial. Berdasarkan pandangan
semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat dianggap sebagai fenomena bahasa.
Maka semuanya dapat juga dipandang sebagai tanda. Hal ini dimungkinkan
karena luasnya pengertian tanda itu sendiri. 35
Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat
teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda.
Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukandalam sesuatu,
suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah
isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu gerak syaraf, berjalan
sempoyongan, kelengahan, menatap, kekhawatiran, kesabaran, semuanya itu
dianggap sebagai tanda. 36
34
Sumbo Tinarbuko, Semiotika Komunikasi Visual, Jalasutra, 2008 hal 11.
Ibid, hal 11.
36
Ibid, hal 12.
35
37
Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang
dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda
dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh
ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian
disebut indeks. Tanda seperti ini disebut metomini. Contoh indeks adalah tanda
panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu. Langit
berawan tanda hari akan hujan. Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya
berdasarkan hukum konvensi. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu
informasi sehingga bersifat komunikatif. Ia mampu menggantikan sesuatu yang
lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. 37
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari
jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia.
Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memakai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.38
Penelitian ini menggunakan teori Pierce melihat subjek sebagai bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari proses signifikasi. Model Triadic Pierce tanda
37
38
Tinarbuko, Ibid, hal 14.
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. 2009 hal 15..
38
dalam pandangan Pierce selalu berada dalam proses perubahan tanpa henti yang
disebut proses semiosis tak terbatas (unlimitied semiosis), yaitu proses penciptaan
rangkaian interpretan tanpa akhir. Model Triadik Pierce ini memperlihatkan tiga
elemen
utama
pembentuk
tanda,
yaitu
representamen
(sesuatu
yang
merepresentasikan sesuatu yang lain), objek (sesuatu yang direpresentasikan) dan
intepretan (interpretasi seseorang tentang tanda). 39
Menurut Pierce, sebuah analisis tentang esensi tanda mengarah pada
pembuktian bahwa setiap tanda ditentukan oleh objeknya. Pertama, dengan
mengikuti sifat objeknya, ketika kita menyebut tanda sebuah ikon. Kedua,
menjadi kenyataan dan keberadaannya berkaitan dengan objek individual, ketika
kita menyebut tanda sebuah indeks. Ketiga, kurang lebih, perkiraan yang pasti
bahwa hal itu diinterpretasikan sebagai objek denotif sebagai akibat dari suatu
kebiasaan ketika kita menyebut tanda sebuah simbol.40
Semiotika, sebagaimana dijelaskan Ferdinand de Saussure dalam Course
in General Linguistics, adalah ilmu yang mempelajari peran tanda (sign) sebagai
bagian dari kehidupan sosial. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari struktur,
jenis, tipologi, serta relasi-relasi tanda dalam penggunaannya di dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, semiotika mempelajari relasi diantara komponenkomponen tanda, serta relasi antara komponen-komponen tersebut dengan
masyarakat penggunaannya.41
39
Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Jalasutra
2010, hal 267.
40
Sobur, Ibid hal 35.
41
Piliang, Ibid, hal 47.
39
Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh
yang semakin kuat dan luas, signifikasi semiotika tidak saja sebagai metode kajian
(decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Sebagai
metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang
seperti antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, media studies, dan
cultural studies. Sebagai metode penciptaan semiotika mempunyai pengaruh pula
pada bidang-bidang desain produk, arsitektur, desain komunikasi visual, seni tari,
seni rupa, dan juga seni film. 42
Tanda-tanda (sign) adalah baris atau dasar dari seluruh komunikasi kata
pakar komunikasi Little John yang terkenal dengan bukunya “Theories on Human
Behaviour” (1996). Menurut Little John manusia dengan perantaraan tanda-tanda
dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya dan banyak hal yang bisa
dikomunikasikan di dunia ini. 43
2.6 Perspektif Teori Kekuasaan
Dunia pendidikan yang sesungguhnya dibangun berlandaskan nilai-nilai
objektivitas, keilmiahan, dan kebijaksanaan, sebagai nilai dasar dalam pencarian
pengetahuan, kini dimuati oleh nilai-nilai komersial, sebagai refleksi dari
keberpihakan pada kekuasaan kapital. Pendidikan sebagai wacana pengetahuan
dan kebenaran, kini dijadikan sebagai wacana pencarian keuntungan. Tercipta
42
43
Sobur, Ibid, hal 35.
Indiwan Seto, loc.cit, hal 6.
40
sebuah relasi baru pengetahuan, yang tidak saja berupa relasi kekuasaan dan
pengetahuan akan tetapi juga keuntungan dan pengetahuan. 44
Salah satu hal yang menarik dari konsep Foucault tesisnya mengenai
hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Kuasa tidak dimiliki tetapi
dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara
strategis berkaitan satu sama lain. Menurut Foucault strategi kuasa berlangsung
dimana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem
regulasi, dimana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama
lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak akan datang dari
luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan dan hubungan itu dari dalam.
Sebagai contoh disebutkan pula dalam hubungan-hubungan sosial ekonomi,
hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi,
dinas kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Setiap masyarakat mengenal
beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran, yaitu beberapa diskursus
diterima atau diedarkan sebagai benar atau tidak benar. 45
Ketika pendidikan menjadi bagian inheren dari sistem kapitalisme, maka
berbagai paradigma, metode, dan teknik-teknik yang dikembangkan di dalamnya
menjadi sebuah cara untuk mengukuhkan hegemoni kapitalisme tersebut. Metode
pemberian keterampilan, pembentukan watak, penciptaan karakter, pembangunan
mental, diarahkan sedemikian rupa, sehingga semuanya mendukung hegemoni
kapitalisme. Di dalamnya, pengetahuan tidak saja menjadi sebuah alat untuk
44
Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
Jalasutra, Jogyakarta, 2006, hal 355.
45
Eriyanto, op.cit, hal 66.
41
mencari keuntungan, akan tetapi menjadi bagian dari objek komersialisasi itu
sendiri. Pengetahuan itu kini diproduksi sebagai komoditi, untuk diperdagangkan
dalam rangka memperoleh keuntungan, di dalam sebuah merkantilisme
pengetahuan.46
Merkantilisme pengetahuan dalam pendidikan telah menggiring dunia
pendidikan ke arah berbagai bentuk pendangkalan, pemassalan, dan populerisme
sebagai nilai-nilai dasar komersialisme. Yang kemudian berkembang adalah
model-model pendidikan yang mengutamakan dimensi-dimensi pengetahuan yang
pragmatis, strategis, dan ekonomis sebagai bagian dari bentuk hegemoni kultural
kapitalisme, dan sebaliknya menghambat dimensi-dimensi humanis, sosiologis,
atau spiritual dari pengetahuan, yang dianggap tidak mendukung hegemoni
tersebut. Pendidikan kemudian menjelma menjadi alat hegemoni kapitalisme,
yaitu alat untuk mempertahankan dominasinya atas berbagai sistem-sistem yang
membentuk dan sekaligus dieksploitasinya. 47
Konstruksi realitas lewat media, menempatkan masalah representasi
menjadi isu utama dalam penelitian kritis. Akan tetapi, berbeda dengan pandangan
pluralis yang melihat realitas adalah sesuatu yang ada dan terbentuk dengan
sendirinya, dalam tradisi kritis realitas tersebut diproduksi oleh representasi dari
kekuatan-kekuatan sosial dominan yang ada dalam masyarakat. Menurut Stuart
Hall bukan hanya mengubah pandangan mengenai realitas, tetapi juga
berargumentasi bahwa media adalah kunci utama dari kekuasaan tersebut, melalui
46
47
Piliang, Ibid, hal 355.
Ibid, hal 355
42
mana nilai-nilai kelompok dominan dimapankan, dibuat berpengaruh, dan
menentukan apa yang diinginkan oleh khalayak. 48
Lembaga pendidikan berfungsi sebagai alat hegemoni yaitu sebagai alat
menyebarkan dan memperkuat gagasan dan sistem ideologi tertentu yang bersifat
dominan seperti kapitalisme. Kapitalisme, dengan berbagai cara menggunakan
kekuatan simbolik untuk mengkonstruksi realitas sosial atau merepresentasikan
realitas melalui institusi pendidikan. Dalam konteksi institusi pendidikan, seorang
pengajar yang dianggap memiliki kompetensi simbolik didengar, dipercaya,
dipatuhi, dan diikuti kata-katanya disebabkan setiap tindakannya diberi otoritas
oleh lembaga-lembaga yang kuat (negara, perusahaan). 49
48
49
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, LKIS, 2009 hal 29
Piliang, op.cit, hal 359.
Download