MENGGALI PEMAHAMAN SISWA TENTANG REAKSI KIMIA DENGAN PENDEKATAN FENOMENOGRAFI DI SALAH SATU SMP NEGERI KABUPATEN MALANG Endriani, Sri Rahayu dan Prayitno Universitas Negeri Malang Email: [email protected], [email protected], [email protected] ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) menemukan pemahaman siswa tentang reaksi kimia, dan (2) mengetahui konsep alternative siswa tentang reaksi kimia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis fenomenografi. Subyek penelitian adalah 30 siswa di SMP Kabupaten Malang yang dipilih secara purposive sampling. Temuan penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut (1) pemahaman siswa dapat dikategorikan dalam enam kategori deskripsi yaitu deskripsi sederhana, perpindahan, modifikasi, transformasi, intermediet, reaksi kimia, dan (2) Peneliti juga menemukan lima konsep alternatif siswa tentang reaksi kimia. Kata-kata Kunci: pemahaman konsep, konsep alternative, reaksi kimia, pendekatan fenomenografi Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari struktur materi, sifat-sifat materi, perubahan suatu materi menjadi materi lain, serta energi yang menyertai perubahan materi (Silberberg, 2009:4). Dalam bidang pendidikan di Indonesia ilmu kimia secara resmi diajarkan di tingkat SMA, namun mulai tingkat dasar (SD dan SMP) ilmu kimia sudah mulai diperkenalkan dalam mata pelajaran IPA. Tujuan pembelajaran IPA di SD dan SMP adalah agar peserta didik mampu mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep-konsep dalam kimia secara umum tersusun berjenjang (Kean dan Middlecamp, 1985:5). Dalam memahami konsep yang tingkatannya lebih tinggi perlu pemahaman yang benar terhadap konsep yang lebih dasar (Effendy, 2002:8). Selain itu untuk memahami ilmu kimia siswa harus mampu menggunakan tiga representasi yaitu makroskopik, submikroskopik, dan simbolik (Johnstone dalam Taber, 2013:157). Representasi makroskopik meliputi fenomena makro yang dapat diamati dan dilihat secara langsung, submikroskopik berhubungan dengan konsep abstrak seperti atom, molekul, ion, sedangkan representasi simbolik mencakup simbol, rumus maupun persamaan reaksi. Siswa dalam belajar kimia seharusnya mampu menyatakan ketiga representasi tersebut secara bersama-sama. Namun dalam praktiknya banyak siswa mengalami kesulitan dalam merepresentasikan aspek submikroskopik. Kesulitan ini dikarenakan siswa tidak memiliki konsep-konsep kimia yang melandasi konsep yang dipelajari (Eilks, Moellering, Valanides, 2007:271). Kesulitan dalam belajar kimia dapat menimbulkan konsep alternatif. Menurut Nakhleh (1992:191) konsep alternatif adalah suatu konsep yang berbeda dengan pemahaman masyarakat ilmiah namun konsep ini digunakan terus menerus untuk menjelaskan konsep-konsep lain yang berhubungan. Menurut Marton (dalam Ludanyi dan Toth, 2007) fenomenografi adalah “..... a research approach for describing qualitatively the different ways in which people experience, conceptualize, perceive, and understand various aspect of, and 1 2 phenomena in, the world around them”. Sedangkan Huggard dan Stamouli (2007) mendefinisikan fenomenografi sebagai “research project reveals the qualitatively different ways in which phenomena can be experienced, understood or perceived by a student cohort”. Selanjudnya Ludanyi dan Toth (2007) mengartikan fenomenografi “ research which focuses on identifying and describing the qualitatively different ways in which people understand phenomena in the world around them ”. Berdasarkan penjabaran tadi, fenomenografi dapat diartikan suatu metode untuk mengetahui pemahaman masing-masing individu dalam memahami dan mengkonseptualisasikan berbagai aspek terhadap suatu fenomena yang ada disekeliling mereka. Konseptualisasi fenomena merupakan salah satu karateristik dari fenomenografi. Selain itu fenomenografi juga memiliki beberapa karateristik yang menjadi ciri utama dari metode ini. Misalnya saja mendeskripsikan berbabagai pandangan yang berbeda dalam memaknai suatu fenomena, cara-cara manusia dalam memahami dan memaknai fenomena (Larsson, Holmstrom, 2007:56). Disamping itu Abrahamsson (2005:367) menyatakan fenomenografi memiliki kekhususan dalam memandang bagaimana hubungan antara suatu fenomena dengan pemahaman dasar masing-masing individu dalam memahami dunia di sekitar mereka. Menurut Stamouli dan Huggard (2007:181) pemahaman individu dalam penelitian fenomenografi akan memunculkan kategori deskripsi, yang selanjutnya kategori deskripsi ini disusun secara hierarkis berdasarkan tingkat kebenaran pemahaman mereka. Beberapa penelitian fenomenografi reaksi kimia juga telah dilakukan penelitian fenomenografi, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Driver (1994), Rahayu dan Tytler (1999), Horton (2004), Varjola dan Ahtee (2007). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Driver menemukan bahwa penyusutan dan munculnya gelembung adalah tanda dari reaksi kimia. Sedangkan hasil penelitian Rahayu dan Tytler (1999) menyebutkan materi baru tercipta karena materi awal yang hancur selama pembakaran. Selanjutnya Horton menemukan jika pembakaran merupakan perubahan wujud dari padat atau cair menjadi gas dan massa zat hasil reaksi kimia tidak sama dengan massa reaktan sebelum terjadi reaksi. Penelitian Varjola dan Ahtee menghasilkan temuan konsep alternatif yaitu saat dua senyawa bercampur akan terjadi reaksi kimia. Konsep alternatif tentang reaksi kimia yang telah ditemukan menunjukkan bahwa siswa belum paham tentang reaksi kimia. Reaksi kimia merupakan landasan untuk belajar kimia lebih lanjut karena hampir semua materi kimia selalu melibatkan reaksi kimia. Konsep alternatif yang ditemukan dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa tentang reaksi kimia. Selain itu dengan mengetahui konsep alternatif siswa dapat diberikan perlakuan yang sesuai dalam membimbing siswa belajar kimia lebih lanjut agar tidak muncul kembali konsep alternatif dikemudian hari (Stamouli, Ireland, 2007:181). Berdasarkan uraian di atas, perbedaan siswa dalam mengkonseptualisasi objek atau fenomena dapat diidentifikasi dengan pendekatan fenomenografi. Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan, penelitian tentang reaksi kimia dengan pendekatan fenomenografi di tingkat SMP belum pernah dilakukan di Kabupaten Malang. Oleh karena itu, peneliti bermaksud melakukan penelitian yang berjudul “Mengidentifikasi Pemahaman Siswa tentang Reaksi Kimia dengan Pendekatan Fenomenografi di Salah Satu SMP Negeri Kabupaten Malang”. 3 METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis fenomenografi. Peneliti berkeinginan untuk mengidentifikasi pemahaman siswa terhadap fenomena reaksi kimia dan konsep alternatif apa saja yang dialami siswa. Peneliti mewawancarai setiap partisipan dengan menggunakan protokol wawancara sebagai pedoman wawancara yang akan ditanyakan kepada siswa. Selain itu, peneliti juga meminta siswa untuk menggambarkan pemahaman mereka terhadap fenomena reaksi kimia yang diberikan. Penelitian dilakukan di salah satu SMP Negeri Kabupaten Malang yang dianggap mewakili sekolah negeri pada umumnya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-April 2013. Sumber data penelitian atau partisipan adalah siswa kelas VIII di salah satu SMP Negeri Kabupaten Malang tahun ajaran 2012/2013 yang telah menerima materi perubahan fisika dan perubahan kimia yang dipilih secara purposive sampling. Setelah wawancara dilakukan, peneliti mentranskrip hasil rekaman wawancara. Transkrip tersebut diidentifikasi dan dianalisis tiap jawaban siswa terkait dengan fenomena dan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Transkrip wawancara kemudian dikategorikan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa dan menganalisis konsep alternatif apa saja yang dialami siswa. Pengkategorian pemahaman siswa mengacu dan mengkonfirmasi hasil pengkategorian Rahayu dan Tytler (1999). Selanjutnya dilakukan pengecekan keabsahan dengan teman sejawat, co-judging, dan check re-check. HASIL PENELITIAN Pemahaman Siswa tentang Fenomena Reaksi Kimia 1. Deskripsi Sederhana Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini adalah siswa yang menganggap bahwa reaksi kimia merupakan proses yang terjadi begitu saja. Siswa menganggap bahwa zat baru yang terbentuk pasti terbentuk dengan perubahan yang terjadi pada zat awalnya. 4 respon dari total 180 jawaban siswa (2,22%) menjelaskan reaksi kimia dengan kategori ini. 2. Proses Perpindahan Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini menganggap bahwa reaksi kimia merupakan merupakan proses perubahan yang terjadi karena zat berubah dari zat satu ke zat lain, namun jenis zat sebelum dan sesudah mengalami perubahan tetap sama. 28 respon dari total 180 jawaban siswa (15,56%) menjelaskan reaksi kimia dengan kategori ini. 3. Proses Modifikasi Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini menganggap bahwa reaksi kimia merupakan proses perubahan dari suatu zat menjadi zat lain, namun yang berubah hanya wujud, sifat, ukuran, dan bentuk dari zat tersebut. Adanya perbedaan wujud, ataupun bentuk tidak mempengaruhi kandungan zat di dalamnya. Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa 79 respon (43,89%) menunjukkan kategori ini. 4 4. Proses Transformasi Kategori ini menggambarkan konsepsi siswa yang menganggap bahwa pembentukan zat baru proses perubahan dari suatu zat menjadi zat lain, namun dalam proses perubahannya zat yang bersangkutan tidak berinteraksi dengan zat lain. Sebanyak 79 respon atau 43,89% menunjukkan adanya siswa-siswa yang memahami reaksi kimia dengan menggunakan konsep transformasi. 5. Proses Intermediet Kebanyakan siswa yang menjelaskan keenam fenomena dengan kategori ini mampu menjelaskan reaksi kimia dengan interaksi antar reaktan yang mengarah benar. Masing-masing reaktan saling bereaksi membentuk zat baru yang memiliki sifat yang berbeda dari awalnya dan tidak dapat dikembalikan menjadi zat awal dengan cara fisika. Sebanyak 17 respon dari 180 respon (9,44%) menunjukkan respon pemahaman tentang reaksi kimia dengan kategori ini. 6. Proses Reaksi Kimia Kategori ini memiliki tingkat kebenaran paling tinggi. Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini telah memahami bahwa adanya interaksi kimia antar zat menyebabkan terbentuknya zat baru, dengan penjelasan reaksi antar atomnya. Hasil analisis terhadap 180 respon secara keseluruhan, 1,67% (3 respon) menunjukkan respon siswa yang telah benar-benar memahami reaksi kimia. Konsep Alternatif Siswa tentang Reaksi Kimia 1. Pembakaran spiritus identik dengan penguapan spiritus Berdasarkan pendapat 12 siswa, embun yang dihasilkan dari pembakaran spiritus adalah spiritus itu sendiri. Spiritus mengalami perubahan wujud dari cairan menjadi uap kemudian mengembun kembali dan menempel pada dinding beaker glass. 2. Setiap zat yang menghasilkan air saat dipanaskan atau dibakar, maka zat tersebut pasti mengandung air 10 dari 30 siswa (33,33%) memiliki konsep tersebut. Air yang muncul sebagai hasil reaksi merupakan campuran air dalam zat awal yang menguap akibat dipanaskan atau dibakar. Meskipun zat tersebut murni dan secara fisik berupa zat yang kering, 3. Konsep Massa dalam Reaksi Kimia Sebelum dan Sesudah Reaksi Tidak Sesuai dengan Hukum Kekekalan Massa Paku dalam Proses Perkaratan Sama Dengan Massa Paku yang Berkarat Konsep massa dalam perkaratan ini dipahami oleh 9 siswa (30,00%). Siswa sudah mampu menjelaskan dengan benar reaksi antara logam oksigen hingga membentuk karat, namun siswa mengabaikan massa oksigen yang bereaksi sehingga mereka menganggap massa logam setelah dan sebelum berkarat adalah sama. 5 Massa Paku yang Berkarat Lebih Ringan daripada Paku Awal Perkaratan mengurangi massa logam Pada fenomena perkaratan logam, logam yang telah berkarat memiliki massa yang lebih ringan karena sebagian siswa menganggap ada bagian dari dari logam yang hilang terkeropos. Konsep alternatif ini dipahami oleh 7 siswa dari 30 siswa (23,33 %). 4. Pembakaran Zat (Spiritus, Gula, Kertas, Kayu) Tidak Menghasilkan Zat Baru, hanya Terjadi Perubahan Kenampakan Fisik dan Zatnya Tetap Sama Siswa yang memiliki pola berpikir seperti pola 3 (tiga) adalah 50% siswa golongan B (S2, S4) dan 60% siswa golongan C (S5, S9, S10). Gambaran pola pikir siswa dalam merepresentasikan aliran elektron pada sel elektrolisis seperti pola 3(tiga) dapat dilihat pada Gambar 1.10 berikut. 5. Hasil Reaksi Dapat Dikembalikan Menjadi Bentuk Awal Sebelum Reaksi dengan Cara Fisika Pemahaman ini dipahamai oleh 4 dari 30 siswa (13,33%). Pada reaksi pembakaran gula dan perkaratan paku siswa menganggap hasil pembakaran gula dan paku berkarat dapat dikembalikan menjadi reaktan awal dengan cara fisika (dibekukan, diamplas). PEMBAHASAN Pemahaman Siswa dalam Bentuk Kategori Deskripsi 1. Deskripsi sederhana Kategori ini dipahami oleh 4 dari 180 respon siswa (2,22%) menjelaskan reaksi kimia merupakan proses yang deskripsi sederhana. Siswa yang memahami fenomena pembakaran kertas dan pembakaran kayu dengan kategori ini menganggap bahwa kertas dan kayu yang dibakar pasti akan menghasilkan abu dan arang sesuai dengan hasil pengamatan mereka. Siswa hanya melihat perubahan secara makroskopiknya saja. Perubahan pada tingkat submikroskopik, misalnya pemutusan ikatan pada reaktan dan pembentukan ikatan pada zat hasil reaksi belum siswa ketahui. Kategori deskripsi “deskripsi sederhana” ini sama dengan hasil pengkategorian dari penelitian Rahayu dan Tytler (1999) yaitu kategori “just like that”. 2. Proses Perpindahan Kategori ini dipahami oleh 28 dari 180 respon siswa (15,56%) menjelaskan reaksi kimia merupakan proses perubahan yang terjadi karena zat berubah dari zat satu ke zat lain, namun jenis zat sebelum dan sesudah mengalami perubahan tetap sama. Misalnya kandungan air dalam spiritus dan gula yang berpindah dari dalam spirtus dan gula ke dinding beaker glass dalam bentuk embun air, pada fenomena perkaratan, karat dipindahkan dari lingkungan sekitar logam misalnya dari udara menuju logam. Contoh lainnya pada fenomena pembakaran kertas dan kayu, karbon dalam abu dan arang dipindahkan dari zat awal (kertas dan kayu) dan ke lingkungan sekitarnya. Siswa menganalogikan terjadinya reaksi kimia sebagai proses perpindahan karena mereka hanya melihat peristiwa tersebut dari segi makroskopiknya. Siswa bahkan tidak mengetahui 6 adanya zat lain yang terlibat dalam reaksi kimia. Siswa menyimpulkan perpindahan sebagai akibat adanya pemisahan campuran di dalam zat yang direaksikan. Siswa memprediksi bahwa zat yang nampak sebagai hasil reaksi yang telah ada di dalam zat awalnya. Namun siswa tidak memahami tingkatan submikroskopik, misalnya susunan atom-atomnya. Hasil pengkategorian ini sesuai dengan hasil penelitian Andersson (1986), Rahayu dan Tytler (1999), dan Yunilia (2012) yang juga menghasilkan pengkategorian “displacement” atau “perpindahan”. 3. Proses Modifikasi Kategori ini dipahami oleh 79 dari 180 respon siswa (43,89%) menggambarkan reaksi kimia sebagai proses modifikasi. Selama reaksi berlangsung tidak terbentuk zat baru, hanya terjadi modifikasi dari zat awal. Modifikasi yang terjadi pada zat awal adalah modifikasi dalam hal bentuk, tekstur, ukuran dan sifat-sifat lain yang dianggap tidak mengubah jenis zat yang terkandung di dalamnya. Zat-zat tersebut hanya berubah dari segi makroskopiknya sesuai dengan pengamatan indera mereka. Misalnya pada fenomena pembakaran kertas dan kayu, sebagian siswa menganggap bahwa abu dan arang merupakan bentuk lain dari kertas dan kayu yang berbeda ukuran, bentuk, dan kekuatan saja. Sedangkan zat yang terkandung di dalamnya tetap sama. Selanjutnya pada fenomena pembakaran spiritus dan gula, uap yang muncul dianggap sebagai zat awal yang termodifikasi kemudian menguap menjadi uap spiritus dan uap gula. Penjelasan ini menunjukkan bahwa siswa belum mampu membedakan perubahan fisika dan perubahan kimia. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Johnson (1997) yang juga menemukan bahwa siswa yang berumur 11-14 masih kesulitan dalam membedakan perubahan fisika dan perubahan kimia. Kategori modifikasi juga pernah digunakan oleh Andersson (1986), Rahayu dan Tytler (1999), dan Yunilia (2012) pada penelitian mereka. 4. Proses Transformasi Kategori ini dipahami oleh 49 dari 180 respon siswa (27,22%) sudah mampu menyebutkan terbentuknya zat baru, namun penjelasan siswa tentang bagaimana reaksi yang terjadi antar reaktan hingga terbentuk zat baru masih belum benar. Disamping itu siswa belum mampu menyebutkan reaktan lain yang ada dalam reasksi tersebut. Kesulitan siswa dalam menyebutkan zat lain yang terlibat dalam reaksi dikarenakan zat lain yang terlibat berwujud gas, misalnya gas oksigen dalam proses pembakaran. Siswa yang menjelaskan reaksi kimia sebagai proses transformasi masih memahami reaksi kimia pada tingkat makroskopiknya saja, belum sampai pada tingkat submikroskopik. Siswa masih mengamati apa saja yang nampak pada pengamatan mereka sebelum dan sesudah reaksi tetapi mengabaikan hal-hal yang tidak nampak pada pengamatan mereka misalnya reaktan yang berwujud gas. Sedangkan pada tingkat submikroskopiknya siswa belum mengerti bagaimana perubahan sususan atom pada reaktan dan produk. Hal ini menunjukkan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki siswa dalam menjelaskan reaksi kimia dari segi submikroskopiknya. Hasil pengkategorian ini sesuai dengan hasil pengkategorian yang dilakukan oleh Rahayu dan Tytler (1999) dan Yunilia (2012). 7 5. Proses Intermediet Kategori ini dipahami oleh 17 dari 180 respon siswa (9,44%) menjelaskan reaksi kimia dengan interaksi antar reaktan yang mengarah benar dari segi makroskopiknya. Masing-masing reaktan saling bereaksi membentuk zat baru dan tidak dapat dikembalikan menjadi zat awal melalui cara fisika. Selain itu siswa sudah mampu menyebutkan reaktan lain yang berwujud gas misalnya oksigen. Kekurangan dari kategori ini siswa belum mampu menjelaskan reaksi kimia dari segi submikroskopiknya. Siswa belum mampu menjelaskan bagaimana pemutusan dan pembentukan ikatan dan penyusunan atom-atom selama proses reaksi kimia. Misalnya dalam proses perkaratan paku, siswa mampu menjelaskan proses terbentuknya karat dari segi makroskopiknya. Karat dapat terbentuk karena besi bersatu dengan oksigen menbentuk karat yang memiliki sifat berbeda dari paku awal. Karat ini tidak dapat dikembalikan menjadi paku kembali melalui cara fisika. Munculnya reaktan lain (oksigen) juga sudah dapat mereka sebutkan, karena oksigen bereaksi dengan paku membentuk zat baru (karat). Penjelasan lebih lanjut dari segi submikroskopik misalnya susunan atom pada reaktan dan hasil reaksi belum mampu dijelaskan oleh siswa. Kategori intermediet ini merupakan kategori baru yang ditemukan berdasarkan data dan tidak ditemukan oleh Rahayu dan Tytler (1999). Kategori ini terbentuk dari pemahaman siswa mengenai keenam fenomena reaksi kimia yang mengarah benar. Pemahaman siswa terbilang sedikit benar menjelaskan hakikat reaksi kimia, terutama pada tingkat makroskopiknya namun belum mampu menjelaskan pada tingkat partikelnya. Sehingga belum bisa dimasukkan dalam kategori reaksi kimia atau kategori “chemical reaction” pada hasil penelitian Rahayu dan Tytler (1999) 6. Proses Reaksi Kimia Kategori ini dipahami oleh 3 dari 180 respon siswa (1,67%) menjelaskan reaksi kimia sebagai interaksi antar reaktan yang menghasilkan zat baru, dengan penjelasan tambahan tentang reaksi antar atomnya. Siswa mampu mengidentifikasi adanya zat lain yang terlibat dalam reaksi, misalnya zat yang berwujud gas. Penjelasan yang mereka berikan tidak hanya terbatas pada tingkat makroskopiknya saja namun mulai mengarah ke tingkat partikelnya. Pada tingkat makroskopik siswa menjelaskan reaksi kimia sebagai proses interaksi antar reaktan yang menghasilkan zat baru yang memiliki sifat yang berbeda dari awalnya dan tidak dapat dikembalikan dengan cara fisika. Selanjutnya siswa sudah mampu menyebutkan reaktan lain yang berwujud gas dalam proses reaksi kimia misalnya oksigen. Konsep massa yang dijelaskan siswa juga sudah benar antara massa sebelum dan sesudah reaksi. Penjelasan siswa pada tingkat submikroskopik mulai menjelaskan tentang ikatan antar atom dengan bahasa mereka sendiri. Contohnya pada proses perkaratan paku, pada tingkatan makroskopiknya proses reaksi kimia dijelaskan dengan proses reaksi antar paku dengan oksigen yang ada di sekitar paku yang menghasilkan zat baru yang sebelumnya tidak ada. Zat baru yang dimaksud adalah karat dengan sifat dan wujud fisik yang berbeda dari zat awalnya. Pada tingkat submikroskopiknya siswa menjelasakan bagaimana karat terbentuk dari proses pembentukan ikatannya. Karat terbentuk dari hasil bersatunya Fe dengan O2. Penjelasan siswa kemudian berlanjut dengan atom Fe yang berikatan dengan atom O, namun siswa belum 8 mampu menjelaskan apa rumus senyawa dari karat. Kategori reaksi kimia ini sama dengan hasil pengkategorian Yunilia (2012). Selain itu Andersson (1986) serta Rahayu dan Tytler (1999) menamakan kategori reaksi kimia ini dengan kategori “chemical interaction”.Setelah keseluruhan respon siswa yang dikelompokkan menjadi kategori deskripsi selesai dianalisia, didapatkan perbedaan pengkategorian dengan Rahayu dan Tytler (1999). Perbedaan tersebut adalah ditemukannya kategori baru yaitu kategori intermediet dan tidak ditemukannya kategori transmutasi pada penelitian ini. Hasil analisa data juga menghasilkan temuan bahwa respon jawaban siswa yang tertinggi adalah kategori C (kategori modifikasi) dan kategori D (kategori transformasi) dengan persentase 43,89%, 27,22%. Sedangkan dalam penelitian Rahayu dan Tytler (1999) kategori terbanyak adalah “modification” dan “simple description” dengan persentase 21,70%, 15,809%. Sampel dari kedua penelitian berbeda. Sampel pada penelitian ini adalah siswa SMP sedangkan sampel dalam penelitian Rahayu dan Tytler (1999) adalah siswa sekolah dasar (primary school). Perbandingan dari kedua hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belum memahami reaksi kimia pada tingkat submikroskopik condong menggunakan pemahaman modifikasi dalam menjelaskan fenomena reaksi kimia. Konsep Alternatif dalam Kategori Deskripsi Reaksi Kimia 1. Pembakaran Spiritus Identik dengan Penguapan Spirtus Konsep alternatif ini dipahami oleh 12 dari 30 siswa (40,00%). Keduabelas siswa memahami pembakaran merupakan proses yang sama dengan proses penguapan, padahal kedua proses ini berbeda. Dalam pembakaran, terjadi interaksi antara zat yang dibakar dengan oksigen sedangkan penguapan merupakan proses perubahan fisika dari wujud cair menjadi uap . Hasil reaksi dari kedua proses tersebut juga berbeda. pembakaran akan menghasilkan zat baru sedangkan penguapan hanya mengubah wujud zat namun jenis zatnya tetap sama. Pada fenomena pembakaran spiritus, siswa mengidentikkannya dengan proses penguapan spirtus. Setelah spiritus selesai dibakar, dinding beaker glass yang digunakan sebagai penutup basah. Ketika siswa diminta memberi penjelasan, sebagian dari mereka menjawab bahwa itu adalah embun spiritus yang menguap akibat dibakar. Pemahaman ini dimungkin karena siswa belum dapat membedakan dengan jelas antara perubahan fisika dengan reaksi kimia. Konsep alternatif ini sesuai dengan konsep alternatif yang ditemukan oleh Pfundt (dalam Ahtee dan Varjola, 2007:306 ) yaitu “burning of alcohol same with evaporation of water”. 2. Setiap Zat yang Menghasilkan Air Saat Dipanaskan atau Dibakar, maka Zat Tersebut Pasti Mengandung Air Pernyataan ini muncul dari 10 siswa (33,33%) yang menjelaskan reaksi kimia sebagai proses terjadinya perpindahan. Pada fenomena pembakaran spiritus dan pembakaran gula, embun yang dihasilkan adalah embun dari uap-uap air. Uap air tersebut bukan merupakan hasil reaksi antara spiritus dengan oksigen maupun reaksi antara gula dengan oksigen, tetapi telah ada di dalam spiritus maupun gula sejak awal. Air dalam gula dan spiritus akan terlepas jika terkena panas. Air yang sebenarnya merupakan produk reaksi hanya dianggap sebagai hasil perpindahan dari zat awal sebelum reaksi menuju zat sesudah reaksi. Konsep alternatif ini muncul karena siswa hanya melihat proses yang terjadi secara makroskopik saja. 9 Mereka hanya melihat apa yang terlihat namun tidak memikirkan apa yang terjadi di tingkat partikelnya (subsubmikroskopik) seperti pemutusan dan pembentukan ikatan. Konsep alternatif ini sesuai dengan konsep alternative yang ditemukan oleh Andersson (1986) yaitu “combustion product must have existed from the start in order to be separated out when the substance burns”. 3. Konsep Massa dalam Reaksi Kimia Sebelum dan Sesudah Reaksi tidak Sesuai dengan Hukum Kekekalan Massa Massa Paku dalam Proses Perkaratan Sama dengan Massa Paku yang Berkarat Konsep alternatif ini dipahami oleh 9 dari 30 siswa (30%) yang mengutarakan konsep alternatif ini memahami bahwa massa paku sebelum dan sesudah reaksi akan sama. Siswa mengetahui karat sebagai hasil reaksi antara paku dengan oksigen. Massa oksigen tidak memperhitungkan oleh siswa sehingga massa paku sebelum dan sesudah berkarat adalah sama. Pemahaman ini muncul karena siswa menganggap massa oksigen sangat kecil dan mudah hilang ke lingkungan sehingga bisa diabaikan. Siswa lebih memfokuskan perhatiannya pada segi makroskopiknya saja, mereka tidak menyadari bahwa partikel penyusun paku telah berubah. Terdapat atom oksigen yang berikatan dengan paku sehingga terbentuk karat. Konsep alternatif ini memiliki kemiripan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Christopher Horton (2007) yaitu “(1) a rusting nail won’t change weight dan (2) the iron had only reacted with the oxygen in the air which does not weight anything”. Massa Paku yang Berkarat Lebih Ringan daripada Paku Awal Konsep alternatif ini dipahami oleh 7 dari 30 siswa (23,33%) beranggapan bahwa paku yang telah rapuh karena berkarat sebagian partikel penyusun paku telah berkurang. Siswa hanya melihat perubahan paku tersebut dari segi fisiknya, siswa tidak menyadari bahwa partikel penyusun logam berkarat telah berubah. Penjelasan lain mengenai penyebab berkurangnya massa paku justru karena sebagian paku telah bereaksi dengan zat lain sehingga paku akan keropos dan meninggalkan lubang sehingga massa logam akan berkurang. Siswa tidak memperhitungkan massa karat yang terbentuk sebagai hasil reaksi. Konsep alternatif ini identik dengan hasil penelitian Christoper Horton (2007) yang menyatakan “a rusting nail will lose weight”. 4. Pembakaran Zat (Spiritus, Gula, Kertas, Kayu) Tidak Menghasilkan Zat Baru, hanya Mengalami Perubahan Kenampakan Fisik dan Zatnya Tetap Sama Konsep alternatif ini dimiliki oleh 12 siswa (40,00%) yang memahami reaksi kimia sebagai proses modifikasi. Menurut siswa reaksi kimia hanya merubah penampilan fisik dari reaktan. Perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan bentuk, wujud, bau, atau rasa. Terjadinya perubahan tersebut dianggap tidak mengindikasikan terjadinya perubahan partikel penyusun materi. Konsep alternatif ini muncul karena siswa tidak memahami reaksi kimia dari sisi submikroskopiknya. Siswa hanya melihat perubahan yang dapat diamati dengan indera mereka. Hal ini juga dapat menjadi penyebab kesulitan bagi siswa untuk membedakan perubahan fisika dan perubahan kimia. Tidak sedikit siswa yang me- 10 nganggap peristiwa pembakaran sebagai proses perubahan fisika saja karena hanya menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, ukuran dan kekuatan dari reaktannya. Konsep alternatif yang sama juga telah ditemukan oleh Rahayu dan Tytler (1999) yaitu “children frequently are unable to differentiate between chemical and physical changes”. 5. Hasil Reaksi Dapat Dikembalikan Menjadi Bentuk Awal Sebelum Reaksi dengan Cara-Cara Fisika Pada fenomena pembakaran gula dan perkaratan paku 4 siswa (13,33%) menganggap hasil reaksi dari proses pembakaran dan perkaratan dapat dikembalikan menjadi reaktan awal dengan cara fisika (dibekukan, diamplas). Hasil reaksi dari proses pembakaran dan perkaratan dianggap siswa masih memiliki sifat yang sama dengan zat awal sebelum reaksi. Zat hasil reaksi hanya mengalami perubahan secara fisik saja tanpa dibarengi dengan perubahan pada tingkat partikelnya. Hasil pembakaran gula yang berbentuk embun dianggap memiliki sifat yang sama dengan gula namun hanya berbeda penampakan fisiknya saja. Cara pembekuan dianggap dapat mengembalikan hasil pembakaran gula menjadi gula awal. Paku yang telah berkarat juga dianggap memiliki sifat yang sama dengan paku awal, sehingga dikembalikan menjadi paku awal dengan jalan diamplas karatnya. Konsep alternatif ini muncul dari pemikiran 4 siswa yang mengamati perubahan makroskopik selama reaksi saja tanpa memperhatikan perubahan yeng terjadi pada tingkat subsubmikroskopiknya. Pada tingkatan makroskopiknya siswa menganggap bahwa reaksi pembakaran dan perkaratan termasuk dalam perubahan fisika. Mereka tidak memahami hakikat reaksi kimia yang sangat berbeda dengan perubahan fisika di mana dalam perubahan kimia atau reaksi kimia terjadi perubahan tingkat partikel pada reaktan dan produk yang membuat hasil reaksi tidak dapat dikembalikan menjadi bentuk awal. Hakikat reaksi kimia yang sebenarnya adalah “chemical reaction are introduced as changes of discrete particles (e.g., Hesse & Anderson dalam Eilks, Moellering, Valanides, 2007), and these changes are later explained as a rearrangement of the building blocks of these particles, into new discrete particles forming the new substance or subtances” (Eilks, Moellering, Valanides, 2007). PENUTUP Kesimpulan Pemahaman siswa terhadap fenomena reaksi kimia dapat dikategorikan sebagai berikut: (1) deskripsi sederhana, (2) proses perpindahan, (3) proses modifikasi, (4) proses transformasi, (5) proses intermediet, dan (6) proses reaksi kimia. Konsep alternatif siswa dalam reaksi kimia terdiri dari lima konsep, yaitu: (1) Pembakaran spiritus identik dengan penguapan spiritus, (2) Setiap zat yang menghasilkan air saat dipanaskan atau dibakar, maka zat tersebut pasti mengandung air, (3) Konsep massa dalam reaksi kimia sebelum dan sesudah reaksi berbeda tidak sesuai dengan hukum kekekalan massa, meliputi massa paku dalam proses perkaratan sama dengan massa paku yang berkarat dan massa paku yang berkarat lebih ringan daripada paku awal, (4) Pembakaran zat (spiritus, gula, kertas, kayu) tidak menghasilkan zat baru, hanya mengulami perubahan dan zatnya tetap sama, (5) Hasil reaksi dapat dikembalikan ke bentuk awal sebelum reaksi dengan cara-cara fisika. 11 Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka akan dipaparkan beberapa saran yang dapat disampaikan peneliti sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan. Saran-saran tersebut yaitu (1) Proses pembelajaran disarankan lebih berpusat pada siswa dan bersifat kontekstual dengan menghubungkan materi pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Pentingnya mengetahui pengetahuan awal siswa sebelum pembelajaran dan adanya revisi serta penguatan materi sebelum pembelajaran diakhiri, dan (2) Penjelasan konsep di tingkat submikroskopik dapat dibantu dengan menggunakan media pembelajaran sehingga siswa memiliki gambaran tentang proses yang terjadi di tingkat partikuler. DAFTAR RUJUKAN Abrahamsson. 2005. Making Sense of the Challenge of Smoking Cessation during Pregnancy: a Phenomenographic Approach. Health Education Research, 2 (3): 367-378 Ahtee, M. & Varjola, I. 2007. Students’ Understanding of Chemical Reaction. International Journal of Science Education, 20 (3): 305-316. Andersson, B. 1986. Pupils’ Explanations of Some Aspects of Chemical Reactions. Journal of Science Education, 70 (5): 549-563. Ebenezer, J.V. & Erickson, G.L. 1996. Chemistry Students’ Conception of Solubility: A Phenomenography. Science Education, 80 (2): 181-201 Ebenezer, J.V. & Fraser, D.M. 2000. First Year Chemical Engineering Students’ Conceptions of Energy in Solution Processes: Phenomenographic Categories for Common Knowledge Construction, The South African Foundation for Research Development. 509-539. Eilks, I., Moellering, J. & Valanides, N. 2007. Seventh-grade Students’ Understanding of Chemical Reactions : Reflections from an Action Research Interview Study. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3 (4): 271-286. Horton, C. 2004. Student Misconceptions and Preconceptions in Chemistry. California Journal of Science Education, 2 (7): 2007 Horton, C. 2007. Student Alternative Conceptions in Chemistry. California Journal of Science Education, 7 (2): 2007. Kean, E. & Middlecamp, C. 1984. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: Gramedia. Larsson, J., Holmstrom, I. 2007. Phenomenographic or Phenomenological Analysis: Does it Matter? Examples from a Study on Anaesthesiologists’ work. International Journal of Qualitative on Studies on Health and Wellbeing, (2): 55-64. Nahum. T.L., Hofstein, A., Naaman, R.M., & Bardov, Z. 2004. Can Final Examination Amplify Students’ Misconception in Chemistry? Chemistry Education: Research and Practice, 5 (3): 301-325. Nakhleh, M. B. 1992. Why Some Students Don’t Learn Chemistry. Journal of Chemical Education, 69 (3):191-196. 12 Rahayu, S. & Tytler, R. 1999. Progression in Primary School Children’s Conceptions of Burning: Toward an Understanding of the Concept of Substance. Research in Science Education, 29 (3): 295-312. Rahayu, S. 2000. Menggali Konsepsi Siswa tentnag Sains dengan Pendekatan Fenomenografi. Jurnal Pendidikan MIPA dan Pembelajarannya, 29 (1): 115-133. Silberberg, S. & Martin. 2010. Principles of General Chemistry. New York: Mcgraw-hill Stamouli, I. & Huggard, M. 2007. Phenomenography as A Tool for Understanding Our Student. International Symposium for Engineering Education, 181-186 Taber, K.S. 2013. Revisiting the Chemistry Triplet: Drawing Upon the Nature of Chemical Knowledge and the Psychology of Learning to Inform Chemistry Education. Chemistry Education Research and Practice, 14: 156-168. Toth, Z. & Ludanyi, L. 2007. Combination of Phenomenography with Knowledge Space Theory to Study Students’ Thinking Patterns in Describing An Atom. Chemistry Education Research and Practice, 8 (3): 327-336. Yunilia. 2012. Menggali Konsepsi Siswa Kelas X Sma Negeri 1 Malang Tentang Reaksi Kimia dengan Pendekatan Fenomenografi. Skripsi tidak diterbitkan. UM: Malang