MENGGALI PEMAHAMAN SISWA TENTANG REAKSI KIMIA

advertisement
MENGGALI PEMAHAMAN SISWA TENTANG REAKSI KIMIA
DENGAN PENDEKATAN FENOMENOGRAFI DI SALAH SATU SMP
NEGERI KABUPATEN MALANG
Endriani, Sri Rahayu dan Prayitno
Universitas Negeri Malang
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) menemukan
pemahaman siswa tentang reaksi kimia, dan (2) mengetahui konsep alternative
siswa tentang reaksi kimia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
jenis fenomenografi. Subyek penelitian adalah 30 siswa di SMP Kabupaten
Malang yang dipilih secara purposive sampling. Temuan penelitian yang
diperoleh adalah sebagai berikut (1) pemahaman siswa dapat dikategorikan
dalam enam kategori deskripsi yaitu deskripsi sederhana, perpindahan,
modifikasi, transformasi, intermediet, reaksi kimia, dan (2) Peneliti juga
menemukan lima konsep alternatif siswa tentang reaksi kimia.
Kata-kata Kunci: pemahaman konsep, konsep alternative, reaksi kimia,
pendekatan fenomenografi
Ilmu kimia merupakan ilmu yang mempelajari struktur materi, sifat-sifat
materi, perubahan suatu materi menjadi materi lain, serta energi yang menyertai
perubahan materi (Silberberg, 2009:4). Dalam bidang pendidikan di Indonesia
ilmu kimia secara resmi diajarkan di tingkat SMA, namun mulai tingkat dasar (SD
dan SMP) ilmu kimia sudah mulai diperkenalkan dalam mata pelajaran IPA.
Tujuan pembelajaran IPA di SD dan SMP adalah agar peserta didik mampu
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang
bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Konsep-konsep
dalam kimia secara umum tersusun berjenjang (Kean dan Middlecamp, 1985:5).
Dalam memahami konsep yang tingkatannya lebih tinggi perlu pemahaman yang
benar terhadap konsep yang lebih dasar (Effendy, 2002:8). Selain itu untuk
memahami ilmu kimia siswa harus mampu menggunakan tiga representasi yaitu
makroskopik, submikroskopik, dan simbolik (Johnstone dalam Taber, 2013:157).
Representasi makroskopik meliputi fenomena makro yang dapat diamati dan
dilihat secara langsung, submikroskopik berhubungan dengan konsep abstrak
seperti atom, molekul, ion, sedangkan representasi simbolik mencakup simbol,
rumus maupun persamaan reaksi.
Siswa dalam belajar kimia seharusnya mampu menyatakan ketiga
representasi tersebut secara bersama-sama. Namun dalam praktiknya banyak
siswa mengalami kesulitan dalam merepresentasikan aspek submikroskopik.
Kesulitan ini dikarenakan siswa tidak memiliki konsep-konsep kimia yang
melandasi konsep yang dipelajari (Eilks, Moellering, Valanides, 2007:271).
Kesulitan dalam belajar kimia dapat menimbulkan konsep alternatif. Menurut
Nakhleh (1992:191) konsep alternatif adalah suatu konsep yang berbeda dengan
pemahaman masyarakat ilmiah namun konsep ini digunakan terus menerus untuk
menjelaskan konsep-konsep lain yang berhubungan.
Menurut Marton (dalam Ludanyi dan Toth, 2007) fenomenografi adalah
“..... a research approach for describing qualitatively the different ways in which
people experience, conceptualize, perceive, and understand various aspect of, and
1
2
phenomena in, the world around them”. Sedangkan Huggard dan Stamouli (2007)
mendefinisikan fenomenografi sebagai “research project reveals the qualitatively
different ways in which phenomena can be experienced, understood or perceived
by a student cohort”. Selanjudnya Ludanyi dan Toth (2007) mengartikan
fenomenografi “ research which focuses on identifying and describing the
qualitatively different ways in which people understand phenomena in the world
around them ”. Berdasarkan penjabaran tadi, fenomenografi dapat diartikan suatu
metode untuk mengetahui pemahaman masing-masing individu dalam memahami
dan mengkonseptualisasikan berbagai aspek terhadap suatu fenomena yang ada
disekeliling mereka. Konseptualisasi fenomena merupakan salah satu karateristik
dari fenomenografi. Selain itu fenomenografi juga memiliki beberapa karateristik
yang menjadi ciri utama dari metode ini. Misalnya saja mendeskripsikan
berbabagai pandangan yang berbeda dalam memaknai suatu fenomena, cara-cara
manusia dalam memahami dan memaknai fenomena (Larsson, Holmstrom,
2007:56). Disamping itu Abrahamsson (2005:367) menyatakan fenomenografi
memiliki kekhususan dalam memandang bagaimana hubungan antara suatu
fenomena dengan pemahaman dasar masing-masing individu dalam memahami
dunia di sekitar mereka. Menurut Stamouli dan Huggard (2007:181) pemahaman
individu dalam penelitian fenomenografi akan memunculkan kategori deskripsi,
yang selanjutnya kategori deskripsi ini disusun secara hierarkis berdasarkan
tingkat kebenaran pemahaman mereka.
Beberapa penelitian fenomenografi reaksi kimia juga telah dilakukan
penelitian fenomenografi, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Driver
(1994), Rahayu dan Tytler (1999), Horton (2004), Varjola dan Ahtee (2007).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Driver menemukan bahwa penyusutan dan
munculnya gelembung adalah tanda dari reaksi kimia. Sedangkan hasil penelitian
Rahayu dan Tytler (1999) menyebutkan materi baru tercipta karena materi awal
yang hancur selama pembakaran. Selanjutnya Horton
menemukan jika
pembakaran merupakan perubahan wujud dari padat atau cair menjadi gas dan
massa zat hasil reaksi kimia tidak sama dengan massa reaktan sebelum terjadi
reaksi. Penelitian Varjola dan Ahtee menghasilkan temuan konsep alternatif yaitu
saat dua senyawa bercampur akan terjadi reaksi kimia. Konsep alternatif tentang
reaksi kimia yang telah ditemukan menunjukkan bahwa siswa belum paham
tentang reaksi kimia. Reaksi kimia merupakan landasan untuk belajar kimia lebih
lanjut karena hampir semua materi kimia selalu melibatkan reaksi kimia. Konsep
alternatif yang ditemukan dapat digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa
tentang reaksi kimia. Selain itu dengan mengetahui konsep alternatif siswa dapat
diberikan perlakuan yang sesuai dalam membimbing siswa belajar kimia lebih
lanjut agar tidak muncul kembali konsep alternatif dikemudian hari (Stamouli,
Ireland, 2007:181).
Berdasarkan uraian di atas, perbedaan siswa dalam mengkonseptualisasi
objek atau fenomena dapat diidentifikasi dengan pendekatan fenomenografi. Berdasarkan observasi awal yang telah dilakukan, penelitian tentang reaksi kimia
dengan pendekatan fenomenografi di tingkat SMP belum pernah dilakukan di
Kabupaten Malang. Oleh karena itu, peneliti bermaksud melakukan penelitian
yang berjudul “Mengidentifikasi Pemahaman Siswa tentang Reaksi Kimia
dengan Pendekatan Fenomenografi di Salah Satu SMP Negeri Kabupaten
Malang”.
3
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis fenomenografi.
Peneliti berkeinginan untuk mengidentifikasi pemahaman siswa terhadap
fenomena reaksi kimia dan konsep alternatif apa saja yang dialami siswa. Peneliti
mewawancarai setiap partisipan dengan menggunakan protokol wawancara
sebagai pedoman wawancara yang akan ditanyakan kepada siswa. Selain itu,
peneliti juga meminta siswa untuk menggambarkan pemahaman mereka terhadap
fenomena reaksi kimia yang diberikan.
Penelitian dilakukan di salah satu SMP Negeri Kabupaten Malang yang
dianggap mewakili sekolah negeri pada umumnya. Penelitian ini dilakukan pada
bulan Januari-April 2013. Sumber data penelitian atau partisipan adalah siswa
kelas VIII di salah satu SMP Negeri Kabupaten Malang tahun ajaran 2012/2013
yang telah menerima materi perubahan fisika dan perubahan kimia yang dipilih
secara purposive sampling.
Setelah wawancara dilakukan, peneliti mentranskrip hasil rekaman
wawancara. Transkrip tersebut diidentifikasi dan dianalisis tiap jawaban siswa
terkait dengan fenomena dan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Transkrip
wawancara kemudian dikategorikan sesuai dengan tingkat pemahaman siswa dan
menganalisis konsep alternatif apa saja yang dialami siswa. Pengkategorian
pemahaman siswa mengacu dan mengkonfirmasi hasil pengkategorian Rahayu
dan Tytler (1999). Selanjutnya dilakukan pengecekan keabsahan dengan teman
sejawat, co-judging, dan check re-check.
HASIL PENELITIAN
Pemahaman Siswa tentang Fenomena Reaksi Kimia
1. Deskripsi Sederhana
Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini adalah siswa yang
menganggap bahwa reaksi kimia merupakan proses yang terjadi begitu saja. Siswa
menganggap bahwa zat baru yang terbentuk pasti terbentuk dengan perubahan
yang terjadi pada zat awalnya. 4 respon dari total 180 jawaban siswa (2,22%)
menjelaskan reaksi kimia dengan kategori ini.
2. Proses Perpindahan
Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini menganggap bahwa reaksi
kimia merupakan merupakan proses perubahan yang terjadi karena zat berubah
dari zat satu ke zat lain, namun jenis zat sebelum dan sesudah mengalami
perubahan tetap sama. 28 respon dari total 180 jawaban siswa (15,56%)
menjelaskan reaksi kimia dengan kategori ini.
3. Proses Modifikasi
Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini menganggap bahwa reaksi
kimia merupakan proses perubahan dari suatu zat menjadi zat lain, namun yang
berubah hanya wujud, sifat, ukuran, dan bentuk dari zat tersebut. Adanya perbedaan wujud, ataupun bentuk tidak mempengaruhi kandungan zat di dalamnya.
Berdasarkan hasil analisa diketahui bahwa 79 respon (43,89%) menunjukkan
kategori ini.
4
4. Proses Transformasi
Kategori ini menggambarkan konsepsi siswa yang menganggap bahwa
pembentukan zat baru proses perubahan dari suatu zat menjadi zat lain, namun
dalam proses perubahannya zat yang bersangkutan tidak berinteraksi dengan zat
lain. Sebanyak 79 respon atau 43,89% menunjukkan adanya siswa-siswa yang
memahami reaksi kimia dengan menggunakan konsep transformasi.
5. Proses Intermediet
Kebanyakan siswa yang menjelaskan keenam fenomena dengan kategori ini
mampu menjelaskan reaksi kimia dengan interaksi antar reaktan yang mengarah
benar. Masing-masing reaktan saling bereaksi membentuk zat baru yang memiliki
sifat yang berbeda dari awalnya dan tidak dapat dikembalikan menjadi zat awal
dengan cara fisika. Sebanyak 17 respon dari 180 respon (9,44%) menunjukkan
respon pemahaman tentang reaksi kimia dengan kategori ini.
6. Proses Reaksi Kimia
Kategori ini memiliki tingkat kebenaran paling tinggi. Siswa yang menjelaskan dengan kategori ini telah memahami bahwa adanya interaksi kimia antar
zat menyebabkan terbentuknya zat baru, dengan penjelasan reaksi antar atomnya.
Hasil analisis terhadap 180 respon secara keseluruhan, 1,67% (3 respon) menunjukkan respon siswa yang telah benar-benar memahami reaksi kimia.
Konsep Alternatif Siswa tentang Reaksi Kimia
1. Pembakaran spiritus identik dengan penguapan spiritus
Berdasarkan pendapat 12 siswa, embun yang dihasilkan dari pembakaran
spiritus adalah spiritus itu sendiri. Spiritus mengalami perubahan wujud dari
cairan menjadi uap kemudian mengembun kembali dan menempel pada dinding
beaker glass.
2. Setiap zat yang menghasilkan air saat dipanaskan atau dibakar, maka zat
tersebut pasti mengandung air
10 dari 30 siswa (33,33%) memiliki konsep tersebut. Air yang muncul
sebagai hasil reaksi merupakan campuran air dalam zat awal yang menguap akibat
dipanaskan atau dibakar. Meskipun zat tersebut murni dan secara fisik berupa zat
yang kering,
3. Konsep Massa dalam Reaksi Kimia Sebelum dan Sesudah Reaksi Tidak
Sesuai dengan Hukum Kekekalan Massa
 Paku dalam Proses Perkaratan Sama Dengan Massa Paku yang
Berkarat
Konsep massa dalam perkaratan ini dipahami oleh 9 siswa (30,00%).
Siswa sudah mampu menjelaskan dengan benar reaksi antara logam oksigen
hingga membentuk karat, namun siswa mengabaikan massa oksigen yang
bereaksi sehingga mereka menganggap massa logam setelah dan sebelum
berkarat adalah sama.
5
 Massa Paku yang Berkarat Lebih Ringan daripada Paku Awal
Perkaratan mengurangi massa logam Pada fenomena perkaratan
logam, logam yang telah berkarat memiliki massa yang lebih ringan karena
sebagian siswa menganggap ada bagian dari dari logam yang hilang
terkeropos. Konsep alternatif ini dipahami oleh 7 siswa dari 30 siswa
(23,33 %).
4. Pembakaran Zat (Spiritus, Gula, Kertas, Kayu) Tidak Menghasilkan Zat
Baru, hanya Terjadi Perubahan Kenampakan Fisik dan Zatnya Tetap
Sama
Siswa yang memiliki pola berpikir seperti pola 3 (tiga) adalah 50% siswa
golongan B (S2, S4) dan 60% siswa golongan C (S5, S9, S10). Gambaran pola
pikir siswa dalam merepresentasikan aliran elektron pada sel elektrolisis seperti
pola 3(tiga) dapat dilihat pada Gambar 1.10 berikut.
5. Hasil Reaksi Dapat Dikembalikan Menjadi Bentuk Awal Sebelum Reaksi
dengan Cara Fisika
Pemahaman ini dipahamai oleh 4 dari 30 siswa (13,33%). Pada reaksi
pembakaran gula dan perkaratan paku siswa menganggap hasil pembakaran gula
dan paku berkarat dapat dikembalikan menjadi reaktan awal dengan cara fisika
(dibekukan, diamplas).
PEMBAHASAN
Pemahaman Siswa dalam Bentuk Kategori Deskripsi
1. Deskripsi sederhana
Kategori ini dipahami oleh 4 dari 180 respon siswa (2,22%) menjelaskan
reaksi kimia merupakan proses yang deskripsi sederhana. Siswa yang memahami
fenomena pembakaran kertas dan pembakaran kayu dengan kategori ini
menganggap bahwa kertas dan kayu yang dibakar pasti akan menghasilkan abu
dan arang sesuai dengan hasil pengamatan mereka. Siswa hanya melihat
perubahan secara makroskopiknya saja. Perubahan pada tingkat submikroskopik,
misalnya pemutusan ikatan pada reaktan dan pembentukan ikatan pada zat hasil
reaksi belum siswa ketahui. Kategori deskripsi “deskripsi sederhana” ini sama
dengan hasil pengkategorian dari penelitian Rahayu dan Tytler (1999) yaitu
kategori “just like that”.
2. Proses Perpindahan
Kategori ini dipahami oleh 28 dari 180 respon siswa (15,56%)
menjelaskan reaksi kimia merupakan proses perubahan yang terjadi karena zat
berubah dari zat satu ke zat lain, namun jenis zat sebelum dan sesudah mengalami
perubahan tetap sama. Misalnya kandungan air dalam spiritus dan gula yang
berpindah dari dalam spirtus dan gula ke dinding beaker glass dalam bentuk
embun air, pada fenomena perkaratan, karat dipindahkan dari lingkungan sekitar
logam misalnya dari udara menuju logam. Contoh lainnya pada fenomena
pembakaran kertas dan kayu, karbon dalam abu dan arang dipindahkan dari zat
awal (kertas dan kayu) dan ke lingkungan sekitarnya. Siswa menganalogikan
terjadinya reaksi kimia sebagai proses perpindahan karena mereka hanya melihat
peristiwa tersebut dari segi makroskopiknya. Siswa bahkan tidak mengetahui
6
adanya zat lain yang terlibat dalam reaksi kimia. Siswa menyimpulkan
perpindahan sebagai akibat adanya pemisahan campuran di dalam zat yang
direaksikan. Siswa memprediksi bahwa zat yang nampak sebagai hasil reaksi yang
telah ada di dalam zat awalnya. Namun siswa tidak memahami tingkatan
submikroskopik, misalnya susunan atom-atomnya. Hasil pengkategorian ini
sesuai dengan hasil penelitian Andersson (1986), Rahayu dan Tytler (1999), dan
Yunilia (2012) yang juga menghasilkan pengkategorian “displacement” atau
“perpindahan”.
3. Proses Modifikasi
Kategori ini dipahami oleh 79 dari 180 respon siswa (43,89%)
menggambarkan reaksi kimia sebagai proses modifikasi. Selama reaksi
berlangsung tidak terbentuk zat baru, hanya terjadi modifikasi dari zat awal.
Modifikasi yang terjadi pada zat awal adalah modifikasi dalam hal bentuk,
tekstur, ukuran dan sifat-sifat lain yang dianggap tidak mengubah jenis zat yang
terkandung di dalamnya. Zat-zat tersebut hanya berubah dari segi
makroskopiknya sesuai dengan pengamatan indera mereka. Misalnya pada
fenomena pembakaran kertas dan kayu, sebagian siswa menganggap bahwa abu
dan arang merupakan bentuk lain dari kertas dan kayu yang berbeda ukuran,
bentuk, dan kekuatan saja. Sedangkan zat yang terkandung di dalamnya tetap
sama. Selanjutnya pada fenomena pembakaran spiritus dan gula, uap yang muncul
dianggap sebagai zat awal yang termodifikasi kemudian menguap menjadi uap
spiritus dan uap gula. Penjelasan ini menunjukkan bahwa siswa belum mampu
membedakan perubahan fisika dan perubahan kimia. Hasil penelitian ini sesuai
dengan hasil penelitian Johnson (1997) yang juga menemukan bahwa siswa yang
berumur 11-14 masih kesulitan dalam membedakan perubahan fisika dan
perubahan kimia. Kategori modifikasi juga pernah digunakan oleh Andersson
(1986), Rahayu dan Tytler (1999), dan Yunilia (2012) pada penelitian mereka.
4. Proses Transformasi
Kategori ini dipahami oleh 49 dari 180 respon siswa (27,22%) sudah
mampu menyebutkan terbentuknya zat baru, namun penjelasan siswa tentang
bagaimana reaksi yang terjadi antar reaktan hingga terbentuk zat baru masih
belum benar. Disamping itu siswa belum mampu menyebutkan reaktan lain yang
ada dalam reasksi tersebut. Kesulitan siswa dalam menyebutkan zat lain yang
terlibat dalam reaksi dikarenakan zat lain yang terlibat berwujud gas, misalnya gas
oksigen dalam proses pembakaran. Siswa yang menjelaskan reaksi kimia sebagai
proses transformasi masih memahami reaksi kimia pada tingkat makroskopiknya
saja, belum sampai pada tingkat submikroskopik. Siswa masih mengamati apa
saja yang nampak pada pengamatan mereka sebelum dan sesudah reaksi tetapi
mengabaikan hal-hal yang tidak nampak pada pengamatan mereka misalnya
reaktan yang berwujud gas. Sedangkan pada tingkat submikroskopiknya siswa
belum mengerti bagaimana perubahan sususan atom pada reaktan dan produk. Hal
ini menunjukkan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki siswa dalam
menjelaskan reaksi kimia dari segi submikroskopiknya. Hasil pengkategorian ini
sesuai dengan hasil pengkategorian yang dilakukan oleh Rahayu dan Tytler
(1999) dan Yunilia (2012).
7
5. Proses Intermediet
Kategori ini dipahami oleh 17 dari 180 respon siswa (9,44%) menjelaskan
reaksi kimia dengan interaksi antar reaktan yang mengarah benar dari segi
makroskopiknya. Masing-masing reaktan saling bereaksi membentuk zat baru dan
tidak dapat dikembalikan menjadi zat awal melalui cara fisika. Selain itu siswa
sudah mampu menyebutkan reaktan lain yang berwujud gas misalnya oksigen.
Kekurangan dari kategori ini siswa belum mampu menjelaskan reaksi kimia dari
segi submikroskopiknya. Siswa belum mampu menjelaskan bagaimana pemutusan
dan pembentukan ikatan dan penyusunan atom-atom selama proses reaksi kimia.
Misalnya dalam proses perkaratan paku, siswa mampu menjelaskan proses
terbentuknya karat dari segi makroskopiknya. Karat dapat terbentuk karena besi
bersatu dengan oksigen menbentuk karat yang memiliki sifat berbeda dari paku
awal. Karat ini tidak dapat dikembalikan menjadi paku kembali melalui cara
fisika. Munculnya reaktan lain (oksigen) juga sudah dapat mereka sebutkan,
karena oksigen bereaksi dengan paku membentuk zat baru (karat). Penjelasan
lebih lanjut dari segi submikroskopik misalnya susunan atom pada reaktan dan
hasil reaksi belum mampu dijelaskan oleh siswa.
Kategori intermediet ini merupakan kategori baru yang ditemukan
berdasarkan data dan tidak ditemukan oleh Rahayu dan Tytler (1999). Kategori ini
terbentuk dari pemahaman siswa mengenai keenam fenomena reaksi kimia yang
mengarah benar. Pemahaman siswa terbilang sedikit benar menjelaskan hakikat
reaksi kimia, terutama pada tingkat makroskopiknya namun belum mampu
menjelaskan pada tingkat partikelnya. Sehingga belum bisa dimasukkan dalam
kategori reaksi kimia atau kategori “chemical reaction” pada hasil penelitian
Rahayu dan Tytler (1999)
6. Proses Reaksi Kimia
Kategori ini dipahami oleh 3 dari 180 respon siswa (1,67%) menjelaskan
reaksi kimia sebagai interaksi antar reaktan yang menghasilkan zat baru, dengan
penjelasan tambahan tentang reaksi antar atomnya. Siswa mampu
mengidentifikasi adanya zat lain yang terlibat dalam reaksi, misalnya zat yang
berwujud gas. Penjelasan yang mereka berikan tidak hanya terbatas pada tingkat
makroskopiknya saja namun mulai mengarah ke tingkat partikelnya.
Pada tingkat makroskopik siswa menjelaskan reaksi kimia sebagai proses
interaksi antar reaktan yang menghasilkan zat baru yang memiliki sifat yang
berbeda dari awalnya dan tidak dapat dikembalikan dengan cara fisika.
Selanjutnya siswa sudah mampu menyebutkan reaktan lain yang berwujud gas
dalam proses reaksi kimia misalnya oksigen. Konsep massa yang dijelaskan siswa
juga sudah benar antara massa sebelum dan sesudah reaksi. Penjelasan siswa pada
tingkat submikroskopik mulai menjelaskan tentang ikatan antar atom dengan
bahasa mereka sendiri. Contohnya pada proses perkaratan paku, pada tingkatan
makroskopiknya proses reaksi kimia dijelaskan dengan proses reaksi antar paku
dengan oksigen yang ada di sekitar paku yang menghasilkan zat baru yang
sebelumnya tidak ada. Zat baru yang dimaksud adalah karat dengan sifat dan
wujud fisik yang berbeda dari zat awalnya. Pada tingkat submikroskopiknya siswa
menjelasakan bagaimana karat terbentuk dari proses pembentukan ikatannya.
Karat terbentuk dari hasil bersatunya Fe dengan O2. Penjelasan siswa kemudian
berlanjut dengan atom Fe yang berikatan dengan atom O, namun siswa belum
8
mampu menjelaskan apa rumus senyawa dari karat. Kategori reaksi kimia ini
sama dengan hasil pengkategorian Yunilia (2012). Selain itu Andersson (1986)
serta Rahayu dan Tytler (1999) menamakan kategori reaksi kimia ini dengan
kategori “chemical interaction”.Setelah keseluruhan respon siswa yang
dikelompokkan menjadi kategori deskripsi selesai dianalisia, didapatkan
perbedaan pengkategorian dengan Rahayu dan Tytler (1999). Perbedaan tersebut
adalah ditemukannya kategori baru yaitu kategori intermediet dan tidak
ditemukannya kategori transmutasi pada penelitian ini. Hasil analisa data juga
menghasilkan temuan bahwa respon jawaban siswa yang tertinggi adalah kategori
C (kategori modifikasi) dan kategori D (kategori transformasi) dengan persentase
43,89%, 27,22%. Sedangkan dalam penelitian Rahayu dan Tytler (1999) kategori
terbanyak adalah “modification” dan “simple description” dengan persentase
21,70%, 15,809%. Sampel dari kedua penelitian berbeda. Sampel pada penelitian
ini adalah siswa SMP sedangkan sampel dalam penelitian Rahayu dan Tytler
(1999) adalah siswa sekolah dasar (primary school). Perbandingan dari kedua
hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang belum memahami reaksi kimia
pada tingkat submikroskopik condong menggunakan pemahaman modifikasi
dalam menjelaskan fenomena reaksi kimia.
Konsep Alternatif dalam Kategori Deskripsi Reaksi Kimia
1. Pembakaran Spiritus Identik dengan Penguapan Spirtus
Konsep alternatif ini dipahami oleh 12 dari 30 siswa (40,00%). Keduabelas
siswa memahami pembakaran merupakan proses yang sama dengan proses
penguapan, padahal kedua proses ini berbeda. Dalam pembakaran, terjadi
interaksi antara zat yang dibakar dengan oksigen sedangkan penguapan
merupakan proses perubahan fisika dari wujud cair menjadi uap . Hasil reaksi dari
kedua proses tersebut juga berbeda. pembakaran akan menghasilkan zat baru
sedangkan penguapan hanya mengubah wujud zat namun jenis zatnya tetap sama.
Pada fenomena pembakaran spiritus, siswa mengidentikkannya dengan proses penguapan spirtus. Setelah spiritus selesai dibakar, dinding beaker glass yang digunakan sebagai penutup basah. Ketika siswa diminta memberi penjelasan, sebagian
dari mereka menjawab bahwa itu adalah embun spiritus yang menguap akibat dibakar. Pemahaman ini dimungkin karena siswa belum dapat membedakan dengan
jelas antara perubahan fisika dengan reaksi kimia. Konsep alternatif ini sesuai
dengan konsep alternatif yang ditemukan oleh Pfundt (dalam Ahtee dan Varjola,
2007:306 ) yaitu “burning of alcohol same with evaporation of water”.
2. Setiap Zat yang Menghasilkan Air Saat Dipanaskan atau Dibakar, maka
Zat Tersebut Pasti Mengandung Air
Pernyataan ini muncul dari 10 siswa (33,33%) yang menjelaskan reaksi
kimia sebagai proses terjadinya perpindahan. Pada fenomena pembakaran spiritus
dan pembakaran gula, embun yang dihasilkan adalah embun dari uap-uap air. Uap
air tersebut bukan merupakan hasil reaksi antara spiritus dengan oksigen maupun
reaksi antara gula dengan oksigen, tetapi telah ada di dalam spiritus maupun gula
sejak awal. Air dalam gula dan spiritus akan terlepas jika terkena panas. Air yang
sebenarnya merupakan produk reaksi hanya dianggap sebagai hasil perpindahan
dari zat awal sebelum reaksi menuju zat sesudah reaksi. Konsep alternatif ini
muncul karena siswa hanya melihat proses yang terjadi secara makroskopik saja.
9
Mereka hanya melihat apa yang terlihat namun tidak memikirkan apa yang terjadi
di tingkat partikelnya (subsubmikroskopik) seperti pemutusan dan pembentukan
ikatan. Konsep alternatif ini sesuai dengan konsep alternative yang ditemukan
oleh Andersson (1986) yaitu “combustion product must have existed from the
start in order to be separated out when the substance burns”.
3. Konsep Massa dalam Reaksi Kimia Sebelum dan Sesudah Reaksi tidak
Sesuai dengan Hukum Kekekalan Massa
 Massa Paku dalam Proses Perkaratan Sama dengan Massa Paku yang
Berkarat
Konsep alternatif ini dipahami oleh 9 dari 30 siswa (30%) yang
mengutarakan konsep alternatif ini memahami bahwa massa paku sebelum
dan sesudah reaksi akan sama. Siswa mengetahui karat sebagai hasil reaksi
antara paku dengan oksigen. Massa oksigen tidak memperhitungkan oleh
siswa sehingga massa paku sebelum dan sesudah berkarat adalah sama.
Pemahaman ini muncul karena siswa menganggap massa oksigen sangat kecil
dan mudah hilang ke lingkungan sehingga bisa diabaikan. Siswa lebih
memfokuskan perhatiannya pada segi makroskopiknya saja, mereka tidak
menyadari bahwa partikel penyusun paku telah berubah. Terdapat atom
oksigen yang berikatan dengan paku sehingga terbentuk karat. Konsep
alternatif ini memiliki kemiripan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Christopher Horton (2007) yaitu “(1) a rusting nail won’t change weight dan
(2) the iron had only reacted with the oxygen in the air which does not weight
anything”.
 Massa Paku yang Berkarat Lebih Ringan daripada Paku Awal
Konsep alternatif ini dipahami oleh 7 dari 30 siswa (23,33%)
beranggapan bahwa paku yang telah rapuh karena berkarat sebagian partikel
penyusun paku telah berkurang. Siswa hanya melihat perubahan paku tersebut
dari segi fisiknya, siswa tidak menyadari bahwa partikel penyusun logam
berkarat telah berubah. Penjelasan lain mengenai penyebab berkurangnya
massa paku justru karena sebagian paku telah bereaksi dengan zat lain
sehingga paku akan keropos dan meninggalkan lubang sehingga massa logam
akan berkurang. Siswa tidak memperhitungkan massa karat yang terbentuk
sebagai hasil reaksi. Konsep alternatif ini identik dengan hasil penelitian
Christoper Horton (2007) yang menyatakan “a rusting nail will lose weight”.
4. Pembakaran Zat (Spiritus, Gula, Kertas, Kayu) Tidak Menghasilkan Zat
Baru, hanya Mengalami Perubahan Kenampakan Fisik dan Zatnya Tetap
Sama
Konsep alternatif ini dimiliki oleh 12 siswa (40,00%) yang memahami
reaksi kimia sebagai proses modifikasi. Menurut siswa reaksi kimia hanya
merubah penampilan fisik dari reaktan. Perubahan yang terjadi dapat berupa
perubahan bentuk, wujud, bau, atau rasa. Terjadinya perubahan tersebut dianggap
tidak mengindikasikan terjadinya perubahan partikel penyusun materi. Konsep
alternatif ini muncul karena siswa tidak memahami reaksi kimia dari sisi
submikroskopiknya. Siswa hanya melihat perubahan yang dapat diamati dengan
indera mereka. Hal ini juga dapat menjadi penyebab kesulitan bagi siswa untuk
membedakan perubahan fisika dan perubahan kimia. Tidak sedikit siswa yang me-
10
nganggap peristiwa pembakaran sebagai proses perubahan fisika saja karena hanya menyebabkan terjadinya perubahan bentuk, ukuran dan kekuatan dari
reaktannya. Konsep alternatif yang sama juga telah ditemukan oleh Rahayu dan
Tytler (1999) yaitu “children frequently are unable to differentiate between
chemical and physical changes”.
5. Hasil Reaksi Dapat Dikembalikan Menjadi Bentuk Awal Sebelum Reaksi
dengan Cara-Cara Fisika
Pada fenomena pembakaran gula dan perkaratan paku 4 siswa (13,33%)
menganggap hasil reaksi dari proses pembakaran dan perkaratan dapat
dikembalikan menjadi reaktan awal dengan cara fisika (dibekukan, diamplas).
Hasil reaksi dari proses pembakaran dan perkaratan dianggap siswa masih
memiliki sifat yang sama dengan zat awal sebelum reaksi. Zat hasil reaksi hanya
mengalami perubahan secara fisik saja tanpa dibarengi dengan perubahan pada
tingkat partikelnya. Hasil pembakaran gula yang berbentuk embun dianggap
memiliki sifat yang sama dengan gula namun hanya berbeda penampakan fisiknya
saja. Cara pembekuan dianggap dapat mengembalikan hasil pembakaran gula
menjadi gula awal. Paku yang telah berkarat juga dianggap memiliki sifat yang
sama dengan paku awal, sehingga dikembalikan menjadi paku awal dengan jalan
diamplas karatnya. Konsep alternatif ini muncul dari pemikiran 4 siswa yang
mengamati perubahan makroskopik selama reaksi saja tanpa memperhatikan
perubahan yeng terjadi pada tingkat subsubmikroskopiknya. Pada tingkatan
makroskopiknya siswa menganggap bahwa reaksi pembakaran dan perkaratan
termasuk dalam perubahan fisika. Mereka tidak memahami hakikat reaksi kimia
yang sangat berbeda dengan perubahan fisika di mana dalam perubahan kimia
atau reaksi kimia terjadi perubahan tingkat partikel pada reaktan dan produk yang
membuat hasil reaksi tidak dapat dikembalikan menjadi bentuk awal. Hakikat
reaksi kimia yang sebenarnya adalah “chemical reaction are introduced as
changes of discrete particles (e.g., Hesse & Anderson dalam Eilks, Moellering,
Valanides, 2007), and these changes are later explained as a rearrangement of
the building blocks of these particles, into new discrete particles forming the new
substance or subtances” (Eilks, Moellering, Valanides, 2007).
PENUTUP
Kesimpulan
Pemahaman siswa terhadap fenomena reaksi kimia dapat dikategorikan
sebagai berikut: (1) deskripsi sederhana, (2) proses perpindahan, (3) proses
modifikasi, (4) proses transformasi, (5) proses intermediet, dan (6) proses reaksi
kimia. Konsep alternatif siswa dalam reaksi kimia terdiri dari lima konsep, yaitu:
(1) Pembakaran spiritus identik dengan penguapan spiritus, (2) Setiap zat yang
menghasilkan air saat dipanaskan atau dibakar, maka zat tersebut pasti
mengandung air, (3) Konsep massa dalam reaksi kimia sebelum dan sesudah
reaksi berbeda tidak sesuai dengan hukum kekekalan massa, meliputi massa paku
dalam proses perkaratan sama dengan massa paku yang berkarat dan massa paku
yang berkarat lebih ringan daripada paku awal, (4) Pembakaran zat (spiritus, gula,
kertas, kayu) tidak menghasilkan zat baru, hanya mengulami perubahan dan
zatnya tetap sama, (5) Hasil reaksi dapat dikembalikan ke bentuk awal sebelum
reaksi dengan cara-cara fisika.
11
Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian, maka akan dipaparkan beberapa
saran yang dapat disampaikan peneliti sehubungan dengan penelitian yang telah
dilakukan. Saran-saran tersebut yaitu (1) Proses pembelajaran disarankan lebih
berpusat pada siswa dan bersifat kontekstual dengan menghubungkan materi
pembelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Pentingnya mengetahui pengetahuan
awal siswa sebelum pembelajaran dan adanya revisi serta penguatan materi
sebelum pembelajaran diakhiri, dan (2) Penjelasan konsep di tingkat
submikroskopik dapat dibantu dengan menggunakan media pembelajaran
sehingga siswa memiliki gambaran tentang proses yang terjadi di tingkat
partikuler.
DAFTAR RUJUKAN
Abrahamsson. 2005. Making Sense of the Challenge of Smoking Cessation during
Pregnancy: a Phenomenographic Approach. Health Education Research, 2
(3): 367-378
Ahtee, M. & Varjola, I. 2007. Students’ Understanding of Chemical Reaction.
International Journal of Science Education, 20 (3): 305-316.
Andersson, B. 1986. Pupils’ Explanations of Some Aspects of Chemical
Reactions. Journal of Science Education, 70 (5): 549-563.
Ebenezer, J.V. & Erickson, G.L. 1996. Chemistry Students’ Conception of
Solubility: A Phenomenography. Science Education, 80 (2): 181-201
Ebenezer, J.V. & Fraser, D.M. 2000. First Year Chemical Engineering Students’
Conceptions of Energy in Solution Processes: Phenomenographic
Categories for Common Knowledge Construction, The South African
Foundation for Research Development. 509-539.
Eilks, I., Moellering, J. & Valanides, N. 2007. Seventh-grade Students’
Understanding of Chemical Reactions : Reflections from an Action
Research Interview Study. Eurasia Journal of Mathematics, Science &
Technology Education, 3 (4): 271-286.
Horton, C. 2004. Student Misconceptions and Preconceptions in Chemistry.
California Journal of Science Education, 2 (7): 2007
Horton, C. 2007. Student Alternative Conceptions in Chemistry. California
Journal of Science Education, 7 (2): 2007.
Kean, E. & Middlecamp, C. 1984. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta:
Gramedia.
Larsson, J., Holmstrom, I. 2007. Phenomenographic or Phenomenological
Analysis: Does it Matter? Examples from a Study on Anaesthesiologists’
work. International Journal of Qualitative on Studies on Health and Wellbeing, (2): 55-64.
Nahum. T.L., Hofstein, A., Naaman, R.M., & Bardov, Z. 2004. Can Final
Examination Amplify Students’ Misconception in Chemistry? Chemistry
Education: Research and Practice, 5 (3): 301-325.
Nakhleh, M. B. 1992. Why Some Students Don’t Learn Chemistry. Journal of
Chemical Education, 69 (3):191-196.
12
Rahayu, S. & Tytler, R. 1999. Progression in Primary School Children’s
Conceptions of Burning: Toward an Understanding of the Concept of
Substance. Research in Science Education, 29 (3): 295-312.
Rahayu, S. 2000. Menggali Konsepsi Siswa tentnag Sains dengan Pendekatan
Fenomenografi. Jurnal Pendidikan MIPA dan Pembelajarannya, 29 (1):
115-133.
Silberberg, S. & Martin. 2010. Principles of General Chemistry. New York:
Mcgraw-hill
Stamouli, I. & Huggard, M. 2007. Phenomenography as A Tool for
Understanding Our Student. International Symposium for Engineering
Education, 181-186
Taber, K.S. 2013. Revisiting the Chemistry Triplet: Drawing Upon the Nature of
Chemical Knowledge and the Psychology of Learning to Inform
Chemistry Education. Chemistry Education Research and Practice, 14:
156-168.
Toth, Z. & Ludanyi, L. 2007. Combination of Phenomenography with Knowledge
Space Theory to Study Students’ Thinking Patterns in Describing An
Atom. Chemistry Education Research and Practice, 8 (3): 327-336.
Yunilia. 2012. Menggali Konsepsi Siswa Kelas X Sma Negeri 1 Malang Tentang
Reaksi Kimia dengan Pendekatan Fenomenografi. Skripsi tidak
diterbitkan. UM: Malang
Download