pembatalan sertifikat yang tumpang tindih

advertisement
1
PEMBATALAN SERTIFIKAT YANG TUMPANG TINDIH BERDASARKAN
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN
(Studi Di Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya)
OLEH :
YUNIRAWATI, S.H
A2021151058
ABSTRAK
Tesis ini membahas masalah Pembatalan Sertifikat Yang Tumpang Tindih Berdasarkan Peraturan Menteri
Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016
Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Studi Di Badan Pertanahan Kabupaten Kubu Raya). Penelitian
menggunakan metode penelitian bersifat yaitu yuridis dan kepustakaan. Dari hasil analisa dan
pembahasan memperoleh kesimpulan yaitu : Kewenangan dan Tanggungjawab Kepala Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional dalam menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan sertipikat hak milik atas
tanah berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahandi Kabupaten Kubu
Raya. Keputusan Pembatalan Sertipikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu bentuk dari
perbuatan hukum badan permerintah yaitu berupa perbuatan hukum menerbitkan Keputusan oleh Pejabat
Pemerintah yaitu Badan Pertanahan Nasional. Perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan Pembatalan
tersebut harus didasarkan pada wewenang yang sah dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar peraturan
Perundang-Undangan. Tindakan Pemerintah haruslah “Rechmatig”, yaitu suatu tindakan pemerintah
harus sesuai dengan batasan atau ukuran tertentu.
Kata Kunci: Pembatalan Sertifikat, Tumpang Tindih.
ABSTRACT
This thesis discusses the issue of Overlapping Certificate of Overlapping Certificate Under Regulation of
the Minister of Agrarian and Spatial / Head of National Land Agency of the Republic of Indonesia
Number 11 Year 2016 About Settlement of Land Case (Study at Land Agency of Kubu Raya Regency).
Research using research method that is juridical and bibliography. From the result of analysis and
discussion to get the conclusion that is: Authority and Responsibility of Head of Regional Office of
National Land Agency in issuing Decree on cancellation of land ownership certificate based on
Regulation of Minister of Agrarian and Spatial / Head of National Land Agency Number 11 Year 2016
About Settlement of Case pertanahandi Kabupaten Kubu Raya. Decision of Revocation of Land
Ownership Certificate is one form of legal action of a government body that is in the form of legal act of
issuing a Decision by a Government Official namely the National Land Agency. Legal action in the form
of the issuance of such Cancellation Decision shall be based on legitimate authority and shall not be
exercised without the basis of the laws and regulations. Government action must be "Rechmatig", ie a
government action must conform to certain limits or measures.
Kata Kunci : Cancellation of Certificate, Overlap.
2
Latar Belakang
Pada hakekatnya kepentingan individu atas tanah memang tidak boleh diabaikan begitu saja karena
masing-masing individu mempunyai hak untuk dihormati dan dilindungi kepentingannya. Hak-hak atas
tanah yang individual dan bersifat pribadi tersebut dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional mengandung
dalam dirinya unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan atau unsur kemasyarakatan tersebut ada pada tiap
hak atas tanah, karena setiap hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak
bangsa, adanya Hak bangsa inilah maka kepentingan umum untuk kemajuan bangsa haruslah lebih
didahulukan daripada kepentingan individu.
Seringkali penanganan dan penyelesaian terhadap sengketa dan konflik pertanahan dihadapkan pada
dilematisasi antara berbagai kepentingan yang sama-sama penting. Penanganan konflik pertanahan yang
terjadi jelas membutuhkan upaya yang tidak mudah. Karena itu dibutuhkan pemahaman mengenai akar
konflik, faktor pendukung dan faktor pencetusnya sehingga dapat dirumuskan strategi dan solusinya.
Dengan usaha penyelesaian akar masalah, diharapkan sengketa dan konflik pertanahan dapat ditekan
semaksimal mungkin, sekaligus menciptakan suasana kondusif dan terwujudnya kepastian hukum dan
keadilan.
Penyelesaian sengketa pertanahan berdasarkan hukum yang berlaku tersebut dilandasi oleh
konstitusi yang menegaskan bahwa Negara Indonesia sebagai suatu negara hukum. Hal ini dengan tegas
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Negara hukum pada prinsipnya
memiliki syarat-syarat esensial, antara lain harus terdapat kondisi minimum dari suatu sistem hukum
dimana hak asasi manusia dan human dignity dihormati. Pengaturan dan pengelolaan terhadap bidang
pertanahan/keagrariaan ini melalui kehadiran peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya dalam
UUPA, diyakini dapat menyelesaikan masalah/sengketa tanah baik yang sudah ada maupun yang akan
ada.
Khusus terhadap kewenangan kepada instansi pertanahan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan,
maka permasalahan yang sering muncul adalah apakah ada dasar hukum yang mengatur bahwa lembaga
pemerintah yang diwakili oleh instansi Badan Pertanahan Nasional diberi kewenangan untuk melakukan
penyelesaian sengketa pertanahan. Konkritnya, sejauh mana kewenangan Pemerintah dalam hal ini
Kanwil Badan Pertanahan Nasional dalam perannya menyelesaikan sengketa pertanahan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pertanyaan tersebut memang tidak memperoleh jawaban dari ketentuan pasal-pasal yang diatur
dalam UUPA, namun jika ditelusuri dari aturan pelaksanaannya terutama yang menyangkut mengenai
peraturan pembentukan Badan Pertanahan Nasional mulai dari Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun
1988 hingga Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional, telah ada
organ yang diberi tugas dan fungsi untuk menyelesaikan sengketa di bidang pertanahan. Berdasarkan
3
ketentuan Pasal 3 huruf f Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2015 diatur bahwa Badan Pertanahan
Nasional
menyelenggarakan
fungsi
antara
lain
perumusan
dan
pelaksanaan
kebijakan
di
bidangpengendalian dan penanganan sengketa dan perkara pertanahan.
Adapun untuk melaksanakan kewenangan tersebut telah ditetapkan mengenai aturan yang menjadi
mekanismenya yakni dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan. Untuk
mengetahui secara jelas mengenai kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan itulah
penelitian ini dilakukan. Hal itu penting karena apabila ada landasan hukum yang jelas disertai contoh
implementasi yang sudah dilaksanakan, maka diharapkan sengketa pertanahan yang terus bertambah
mendapatkan cara yang tepat dan cepat untuk penyelesaiannya secara tuntas. Hal tersebut menjadi urgensi
dari penelitian yang akan dilakukan, sehingga pada akhirnya dapat menyelesaikan dan mengurangi secara
kuantitatif jumlah sengketa pertanahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Ateng Syafrudin bahwa kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaan
yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh Undang-Undang. Di dalam kewenangan terdapat
wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden). Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik,
lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah
(bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta
distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.1
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional, bahwa
Badan Pertanahan Nasional sebagai lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut, BPN dikoordinasikan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang. Salah satu kegiatan dalam
program strategis BPN adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan. Sengketa pertanahan adalah
perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak
luas secara sosio-politis.
Suatu peristiwa dapat disebut sebagai sengketa pertanahan tentunya haruslah memenuhi beberapa
unsur-unsur dari sengketa tersebut. Dalam memahami apa yang dimaksud dengan sengketa pertanahan,
terkadang dibingungkan dengan permasalahan tanah yang pada umumnya dinamakan dengan istilah
sengketa.
1
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab,
Jurnal Pro Justisia Edisi IV,Universitas Parahyangan, Bandung, 2000, hlm. 22.
4
Terjadinya sengketa pertanahan secara objektif disebabkan oleh tingginya peningkatan jumlah
penduduk, terbatas luasnya tanah yang tersedia, ketidakseimbangan kepentingan antara berbagai pihak
dalam kehidupan sosial masyarakat, dan kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam bidang
pertanahan, serta kurang sempurnanya administrasi dan manajemen pertanahan sehingga sering menjadi
pemicu terjadinya sengketa tanah.
Selain akan tercapainya tujuan hukum, penyelesaian sengketa pertanahan oleh BPN juga
diharapkan dapat menjadi alternatif oleh masyarakat pencari keadilan ditengah minimnya kepercayaan
masyarakat kepada lembaga peradilan. Dengan demikian asas pemeriksaan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 yang
selama ini dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya dapat diadopsi oleh BPN melalui mekanisme
penyelesaian sengketa sesuai ketentuan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Penyelesaian sengketa pertanahan, dibedakan menjadi 2, yaitu melalui jalur diluar peradilan/non
litigasi
(Perundingan/musyawarah
atau
negotiation,
Konsiliasi/conciliation,
Mediasi/Mediation,
Arbitrase/arbitran) dan jalur peradilan/litigasi. Apabila usaha musyawarah tidak menemukan kesepakatan
maka yang bersangkutan/pihak yang bersengketa dapat mengajukan masalahnya ke Pengadilan
(Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara).2
Terkait dengan penjelasan tersebut di atas, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan telah meneken aturan terbaru di bidang pertanahan terkait
dengan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan pada 21 Maret 2016 yang lalu. Aturan itu
diterbitkan lantaran aturan sebelumnya, yakni tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus
Pertanahan dinilai tidak berjalan efektif.
Lewat aturan yang terbaru ini, yakni
tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, diharapkan
penyelesaian kasus pertanahan dapat dijalankan secara lebih efektif. Dari catatan hukumonline, terdapat
sejumlah hal penting dalam aturan ini yang mesti diperhatikan ketika seseorang mendapati kasus
pertanahan di kemudian hari.
Pertama, kasus pertanahan sendiri membedakan yang namanya sengketa, konflik, dan perkara
pertanahan. Sengketa tanah sendiri merupakan perselisihan antara orang perseorangan, badan hukum, atau
lembaga yang tidak berdampak luas. Sementara konflik tanah adalah perselisihan pertanahan baik orang,
kelompok, organisasi, badan hukum yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
Sedangkan, perkara tanah sendiri adalah perselisihan pertanahan yang penanganan perkara dan
penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
2
Sarjita, Teknik danStrategiPenyelesaianSengketaPertanahan,TugujogjaPustaka, Yogyakarta, 2005, hlm. 9.
5
Kedua, dalam aturan ini dibedakan penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan
datangnya laporan. Pasal 4 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 membedakan jenis laporan
berdasarkan dua jalan, yakni inisiatif dari kementerian dan pengaduan masyarakat. Dimana, terhadap dua
mekanisme laporan itu dibedakan masing-masing proses administrasi dan pencatatan penanganan aduan
yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan diregister.
Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara mendalam untuk mengukur dan
mengetahui apakah kasus pertanahan itu menjadi kewenangan kementerian. Pasal 11 ayat (3) Permen
Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan
kementerian, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Sengketa atau konflik itu antara lain,
kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas, kesalahan prosedur
dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam
proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah
terlantar, tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat
kesalahan.
Selanjutnya, kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah, kesalahan
prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti, kesalahan dalam memberikan informasi data
pertanahan, kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin, Penyalahgunaan pemanfaatan ruang, serta
kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tidak berwenang
menangani kasus pertanahan. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat mengambil inisiatif
untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi. Jalur mediasi dalam aturan
ini ditempuh juga untuk jenis sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau
yang bukan menjadi kewenangan kementerian.
Penyelesaian melalui jalur mediasi dapat ditempuh apabila para pihak sepakat melakukan
perundingan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak. Jika salah satu pihak
saja menolak, maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Teknisnya, mediasi dilakukan paling lama 30 hari dimana untuk mediatornya berasal dari kementerian,
Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan.
Dalam hal mediasi ditemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian
berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak. Setelah itu, perjanjian perdamaian itu
didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum
mengikat. Yang perlu dicatat, mediasi dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali secara patut, para
6
pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir. Sehingga, para pihak dipersilahkan menyelesaikan
sengketa atau konflik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketiga, terkait dengan eksekusi. Keputusan penyelesaian sengketa atau konflik dilaksanakan oleh
Kepala Kantor Pertanahan. Terhadap keputusan itu wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah
untuk menunda pelaksanaannya. Pasal 33 ayat (2) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan
ada tiga alasan yang sah untuk menunda pelaksanaan. Ketiganya, yakni sertifikat yang akan disita oleh
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, tanah yang menjadi objek
pembatalan menjadi objek hak tanggungan, serta tanah telah dialihkan kepada pihak lain.
Keempat, terkait dengan penanganan perkara. Dalam konteks ini, penanganan perkara yang
dilaksanakan dalam perkara di peradilan perdata atau tata usaha negara (TUN) dimana Kementerian
Agraria dan Tata Ruang menjadi pihak. Kalau kementerian kalah dalam perkara, Kementerian dapat
melakukan upaya hukum meliputi perlawanan (verzet), banding, kasasi dan peninjauan kembali.
Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan
kecuali terdapat alasan yang sah untuk ditunda, diantaranya objek putusan terdapat putusan lain yang
bertentangan, terhadap objek putusan sedang dalam status diblokir atau sita oleh kepolisian, kejaksaan,
pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, serta alasan-alasan lain yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 50 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 mengatur bahwa terhadap putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan permohonan pelaksanaan melalui Kantor
Pertanahan setempat atau langsung diajukan ke Kementerian, khusus dalam hal permohonan pembatalan
penetapan tanah terlantar.
Sebagai salah satu contoh kasus penghapusan Sertifikat Hak Milik 301 Dan Sertifikat Hak Milik
302 yang tumpang tindih dengan Sertifikat Hak Pakai Nomor 2268 Milik PT. Angkasa Pura II (Persero).
Di dalam kasus ini PT. Angkasa Pura II (Persero) memiliki asset berupa tanah dengan Sertifikat Hak
Pakai Nomor 2268 seluas 158,515 m² yang terletak di Desa Arang Limbung Kecamatan Sei. Raya
Kabupaten Pontianak, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 1991, dengan kronologis kasus sebagai
berikut :
1. Bahwa PT. Angkasa Pura II (Persero) memiliki asset berupa tanah dengan sertifikat hak pakai
nomor 2268 seluas 158,515 m² yang terletak di Desa Arang Limbung Kecamatan Sei. Raya
Kabupaten Pontianak, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 1991.
2. Bahwa PT. Angkasa Pura II (Persero) dalam memperoleh alas hak atas tanah tersebut sudah
sesuai dengan prosedur dan tata cara yang berlaku dengan kronologis sebagai berikut :
- Bahwa PT. Angkasa Pura II (Persero) pada tanggal 11 Oktober 1975 pernah mengajukan
permohonan hak pakai atau hak beheer terhadap tanah yang disengketakan tersebut yang
dibuat oleh Kepala Pelabuhan Udara Supadio Pontianak yang pada saat itu adalah
Soemadijono yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri u.p. Direktur Jenderal Agraria
7
dan kepada Gubernur KDH Tk. I Kalimantan Barat melalui Bupati KDH Tk. II Pontianak
u.p. Kepala Sub Direktorat Agraria di Mempawah.
- Bahwa setelah itu pada tanggal 18 Maret 1981 PT. Angkasa Pura II (Persero) kembali
mengajukan permohonan hak pakai atau hak beheer yang dibuat oleh Kepala Pelabuhan
Udara Supadio Pontianak atas nama Witoyo yang ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri
up. Direktorat Jenderal Agraria di Jakarta dan kepada Gubernur KDH Tk I Propinsi
Kalimantan Barat up. Kepala Direktorat Agraria di Pontianak melalui Walikotamadya/Bupati
Kepala Daerah Tk II up. Kepala Kantor Agraria di Mempawah, dengan maksud untuk
perluasan lapangan udara Supadio, kantor dan rumah dinas.
- Bahwa permohonan tersebut diajukan berdasarkan Berita Acara Ganti Rugi tanah Daerah Tk.
II Pontianak tanggal 26 Juni 1975 No. 03/G.R./Sei Raya-1975.
- Bahwa terhadap permohonan tersebut Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan Nomor
448/P/1981 tanggal 20 Oktober 1981 yang isinya memberikan hak pakai kepada Direktorat
Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan atas tanah seluas 159,11 ha yang
terletak di Jl. Adisucipto Desa Arang Limbung Kec. Sei. Raya Kab. Pontianak yang berasal
dari tanah hak milik adat yang selanjutnya dikuasai langsung oleh negara.
- Bahwa Surat Keputusan Gubernur tersebut dikeluarkan berdasarkan:
 Surat permohonan dari Witoyo tanggal 18 Maret 1981,
 Risalah pemeriksaan tanah yang dibuat oleh Panitia Pemeriksaan tanah di Mempawah
tanggal 29 April 1981 Nomor AC/PHT/II/202/P/81,
 Surat Kepala Kantor Agraria Kabupaten Pontianak tanggal 2 Juni 1981 No.
AG/PHT/III/276/P/1981,
 Foto copy Berita Acara Panitia Pembebasan Tanah Kabupaten Pontianak tanggal 26 Juni
1975 No. 03/G.R./Sei Raya – 1975,
 Surat Pernyataan Pelepasan hak tanggal 26 Juni 1975 dan Surat Keterangan Tanah
Kepala Kampung Arang Limbung tanggal 2 Desember 1975 No.1128/TN/75, tanggal 25
Oktober 1975 No. 1027/TN/75 dan tanggal 24 Oktober 1975 No. 1026/TN/75.
- Bahwa dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur tersebut, setelah PT. Angkasa Pura
II (Persero) memenuhi seluruh persyaratan yang tercantum di dalam Surat Keputusan
Gubernur tersebut Kepala Kantor Agraria yang pada saat itu dijabat oleh Hartojo an. Bupati
KDH Tk. II Pontianak mengajukan permohonan Sertifikat Hak Pakai dengan surat nomor
AG/PHT/III/276/P/1981 tanggal 2 Juni 1981 yang ditujukan kepada Gubernur KDH Tk. I up.
Kepala Direktorat Agraria di Pontianak atas tanah dimaksud.
- Bahwa selanjutnya berdasarkan permohonan tersebut Kepala Kantor Agraria Kabupaten
Pontianak menerbitkan Sertifikat Hak Pakai nomor 677 pada tanggal 10 Nopember 1981
kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Departemen Perhubungan berkedudukan di
Pontianak yang dalam hal ini dikuasai oleh PT. Angkasa Pura II (Persero) terhadap tanah
seluas ± 159,11 ha yang terletak di Desa Arang Limbung di Jalan Adisucipto yang berasal
dari tanah negara.
- Bahwa selanjutnya karena adanya peralihan Direktorat Jenderal Perhubungan ke Perum
Angkasa Pura, maka Kanwil Departemen Perhubungan meminta sebagian assetnya berupa
tanah, oleh karena itu Sertifikat Hak Pakai 677 tahun 1981 dipecah menjadi sertifikat hak
pakai nomor 2267 seluas 5.950 m² yang terletak di Desa Kuala Dua Kecamatan Sei Raya
Kabupaten Pontianak dan sertifikat hak pakai nomor 2268 seluas 158,515 m² yang terletak di
Desa Arang Limbung Kecamatan Sei. Raya Kabupaten Pontianak, yang dikeluarkan pada
tanggal 14 Maret 1991.
3. Bahwa terhadap Sertifikat Hak Pakai Nomor 2268 tahun 1991 pernah diputus di Pengadilan
Tata Usaha Negara Pontianak dalam perkara:
- Antara Penggugat Usman Bin Muhammad Lahir melawan Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten Pontianak sebagai Tergugat dan PT. (Persero) Angkasa Pura II Bandar Udara
Supadio Pontianak selaku Tergugat II Intervensi yang dimenangkan oleh pihak tergugat
8
dalam putusan nomor 20/G/PTUN-PTK/2005 tanggal 1 Desember 2005. Demikian juga
dalam putusan tingkat banding Majelis Hakim menguatkan putusan tingkat pertama yang
dimenangkan oleh tergugat dengan putusan nomor 171/B/2006/PT.TUN.JKT tanggal 29
Januari 2007. Dengan demikian perkara tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap,
karena penggugat tidak melakukan upaya hukum selanjutnya.
- Antara Penggugat Rusdi, dkk melawan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Pontianak
sebagai Tergugat dan PT. Angkasa Pura II (Persero) Bandar Udara Supadio Pontianak selaku
Tergugat II Intervensi yang juga dimenangkan oleh pihak Tergugat dalam putusan nomor
33/G/PTUN-PTK/2005 tanggal 24 Januari 2006. Demikian juga pada tingkat banding dengan
putusan No. 168/B/2006/PT.TUN.JKT yang menguatkan putusan Majelis Hakim di tingkat
pertama, sehingga perkara tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap karena
penggugat tidak melakukan upaya hukum selanjutnya.
- Antara Penggugat M. FIRDAUS dan JAMALUDDIN Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten
Kubu Raya sebagai Tergugat dan PT. Angkasa Pura II (Persero) Bandar Udara Supadio
Pontianak selaku Tergugat II Intervensi yang juga dimenangkan oleh pihak Tergugat dalam
Putusan No. 60 /G/2013/PTUN.PTK tanggal 8 Juli 2014. Selanjutnya para pihak tidak
melakukan upaya hukum sehingga perkara tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang
tetap.
4. Bahwa selain itu di Pengadilan Negeri Mempawah objek a quo pernah digugat oleh :
- Paino, dkk melawan Departemen Perhubungan dan Telekomunikasi RI, cq. Direktorat
Jenderal Perhubungan RI, cq. Kepala Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Propinsi Kalbar
selaku Tergugat I dan PT. (Persero) Angkasa Pura II Bandar Udara Supadio Pontianak selaku
Tergugat II, yang dimenangkan oleh pihak Tergugat dengan putusan perkara no.
35/Pdt.G/2006/PN.MPW tanggal 12 April 2006. Perkara tersebut sampai pada tingkat
Peninjauan Kembali dengan putusan No. 01/PDT.PK/2010/PN.MPW tanggal 10 Juni 2010
tetap dimenangkan oleh pihak Tergugat II, sehingga dengan demikian perkara tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
- Syarif Ismail Yan Bin Syarif Ibrahim Baron Alkadrie, dkk melawan Departemen
Perhubungan dan Telekomunikasi RI, cq. Direktorat Jenderal Perhubungan RI, cq. Kepala
Dinas Perhubungan dan Telekomunikasi Propinsi Kalbar selaku Tergugat I, PT. (Persero)
Angkasa Pura II Bandar Udara Supadio Pontianak selaku Tergugat II dan Kepala Kantor
Badan Pertanahan Pontianak selaku Tergugat III dengan putusan no. 10/Pdt.G/2007/PN.MPW
tanggal 18 Maret 2008 dimenangkan oleh pihak Tergugat II bahkan sampai pada tingkat
kasasi dengan putusan nomor 768 K/PDT/2009 tanggal15 Oktober 2009.
5. Bahwa Sertifikat Hak Milik No. 301 atas nama Sri Darwati dengan luas ± 3,5 Ha dan Sertifikat
Hak Milik No. 302 atas nama Syarif Abdul Fatah dengan luas ± 7,5. Klaim kepemilikan tanah
tersebut overlapping (tumpang tindih) dengan Sertifikat Hak Pakai No. 2268
Permasalahan
Upaya-Upaya yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kubu Raya dalam mengatasi
permasalahan tersebut ?
Pembahasan
Kendala-Kendala apa saja yang dihadapi oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
menerbitkan Keputusan tentang Pembatalan sertifikat hak milik atas tanah di Kabupaten Kubu
Raya
9
Menurut Muhammad Yamin Lubis bahwa akar masalah pertanahan dipastikan pada 3 (tiga)
hal yang hakiki: Pertama, manusianya. Kedua, hukum yang mengaturnya dan Ketiga, lembaga yang
menjalankan hukum tersebut atau dalam mengejawantahkan aturan hukum pertanahan termasuk orang
yang bekerja dalam lembaga itu.3
Adapun pelaksanaan kewenangan Kanwil BPN dalam menangani penyelesaian sengketa
pertanahan, diketahui bahwa terdapat kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya yakni berkaitan
dengan faktor manusianya atau para pihak yang bersengketa.
Terkait dengan para pihak yang bersengketa di sini maksudnya adalah manusia yang berada di
atas tanah tersebut yang tidak dapat terpisahkan hidupnya dengan tanah, atau pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan atas tanah dan merasa lebih berhak atas tanah tersebut dengan alasan atau dalil
yang mengakui punya alas hak atau hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu.
Persoalan dalam penanganan penyelesaian sengketa pertanahan yang dilaksanakan
berdasarkan kewenganan yang ada pada instansi Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kubu Raya yang
dapat menjadi kendala apabila dalam benak para pihak yang bersengketa telah bergeser dari cara-cara
musyawarah mufakat kepada cara-cara kekerasan hati untuk tetap bertahan dengan prinsip masing-masing
tanpa mau mengalah, sehingga para pihak tidak siap untuk berperan aktif dalam penyelesaian sengketa.
Bahkan salah satu pihak dapat menghalang-halangi cara penyelesaian yang ditempuh oleh instansi Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia, sehingga BPN Kabupaten Kubu Raya dalam hal ini terhalang
untuk melaksanakan kewenangan dalam menyelesaikan sengketa pertanahan.
Dalam hal ini jelas bahwa faktor kesiapan para pihak untuk bermusyawarah dan menerima
opsi penyelesaian yang ditawarkan instansi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, khususnya
BPN Kabupaten Kubu Raya, merupakan hal yang sangat penting mengingat tanpa kesiapan dan kesediaan
para pihak untuk bernusyawarah, maka upaya penanganan dan penyelesaian sengketa pertanahan yang
didasarkan pada kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat terlaksana
dengan baik.
Namun terhadap keberhasilan penyelesaian sengketa sebagaimana tersebut di atas terdapat
beberapa cacatan menyangkut pihak-pihak yang bersengketa. Dalam sengketa tersebut yang bertindak
sebagai pihak adalah keluarga mantan Presiden Republik Indonesia yang saat ini dan pada saat
penyelesaian sengketa dimaksud sedang berada dalam kekuasaan, sehingga dalam penyelesaian sengketa
tersebut terkesan bahwa sistem bekerja secara cepat dan sesuai harapan. Kementerian Agraria dan Tata
Ruang / Badan Pertanahan Nasional melaksanakan kewenangannya sesuai ketentuan begitupun halnya
BPN Kabupaten Kubu Raya dengan cepat merespon petunjuk dan perintah pimpinannya secara cepat dan
3
Muhammad Yamin Lubis, Hukum Agraria Mengatasi Masalah Pertanahan, opini pada Harian Waspada
Medan, terbitan tanggal 27 Desember 2010, hlm. B.4.
10
sesuai ketentuan. Pertanyaannya apakah perlakuan tersebut akan sama apabila yang menjadi pihak dalam
penyelesaian sengketa adalah masyarakat biasa. Terhadap hal tersebut menurut keterangan dari aparatur
BPN Kabupaten Kubu Raya ternyata masih banyak sengketa serupa yang penyelesaiannya berlarut-larut.
Kantor BPN Kabupaten Kubu Raya dalam hal ini terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan
mengenai langkah apa yang akan ditempuh. Padahal pada prinsipnya BPN Kabupaten Kubu Raya dalam
permohonan penetapan hak dan pembelian atas tanah dan rumah/bangunan yang disengketakan
berwenang mengusulkan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional mengenai siapa yang paling berhak untuk mengajukan permohonan hak dan pembelian atas
tanah dan bangunan rumah.
Upaya-Upaya yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dalam
mengatasi permasalahan tersebut
1. Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum terutama bagi rakyat dengan “tindak pemerintah” sebagai titik
sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat) sehingga dibedakan dua macam
perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu: perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan
hukum yang represif.4Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindak pemerintahan
bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan
dan perlindungan terhadap hak-hak azazi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan
dan peletakan kewajiban pada masyarakat dan pemerintah. Sejalan dengan itu, A.J.Milne dalam
tulisannya yang berjudul “ The Idea of Human Rights” mengatakan : “A regimewhich protects
human rights is good, one which fails to protect them or worse still does not acknowledge their
existence is bad”. Dengan demikian dalam usaha merumuskan prinsip-prinsip perlindungan
hukum bagi rakyat berdasarkan Pancasila, diawali dengan uraian tentang konsep dan deklarasi
tentang hak-hak azazi manusia. Dalam hal ini diuraikan tentang beberapa aspek yang
menyangkut konsep dan deklarasi tentang hak-hak azazi manusia, yaitu: istilah, perkembangan
konsep tentang hak-hak azazi manusia, deklarasi tentang hak-hak azazi manusia, hak-hak azazi
manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pancasila dan hak-hak azazi manusia dan
perumusan suatu daftar hak-hak azazi manusia di Indonesia. Para pencari keadilan dapat
menuntut dari negara dan alatnya agar mereka berkelakuan normal. Setiap kelakuan yang
4
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, h. 1 - 2.
11
merubah kelakuan yang normal dan melahirkan kerugian-kerugian, dapat digugat. Dengan
demikian, negara dapat digugat karena berfungsi yang tidak teratur. Pikiran ini diketengahkan
oleh R. Kranenburg sendiri. Untuk negara Republik Indonesia, dengan berdasarkan prinsip
keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat yang berdasarkan azaz kerukunan, peradilan
merupakan sarana terakhir dalam penyelesaian sengketa antara rakyat dan pemerintah.
2. Konsekuensi Yuridis diterbitkan Keputusan Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah.
Sertifikat Hak Milik Atas Tanah merupakan salah satu Keputusan Tata Usaha Negara
sebagai tanda bukti yang kuat kepemilikan hak atas tanah. Namun apabila terhadap Sertifikat
tersebut terdapat kesalahan administrasi dalam penerbitannya dan terdapat putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan sertifikat tersebut tidak sah,
maka bagi pihak yangberkepentingan dapat mengajukan permohonan pembatalan Sertifikat Hak
Milik Atas Tanah yang dimaksud.Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum akan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di
Indonesia”. Jadi dengan diterbitkannya Sertifikat Hak Milik Atas Tanah sebagai wujud dari
penyelesaian kasus pertanahan maka akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang
berkepentingan atas hak milik atas tanah tertentu.Sertifikat Hak Milik Atas tanah merupakan
salah satu Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Oleh karena Sertifikat Hak Milik Atas tanah merupakan keputusan, maka secara teoritik dalam
hal dilakukannya Pembatalan keputusan dapat terjadi karena batal (nietig), batal demi hukum
(van rechtswege nietig) dan dapat dibatalkan (vernietgbaar).
Jadi dalam hal ini suatu Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dapat dilakukan
tanpa harus dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (dalam
hal ini dapat dikatakan pembatalan karena kesalahan administrasi) dan didasarkan dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap Sertifikat Hak
Milik Atas tanah yang terdapat kesalahan administrasi dalam artian terdapat kesalahan prosedur
dalam penerbitannya, diterbitkan Keputusan pembatalannya dimana dalam penerbitan
Keputusan Pembatalan tersebut tidak harus adanya Putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, melainkan Putusan Pengadilan hanya sebagai data pendukung dalam
menerbitkan Keputusan Pembatalan sebagaiama BerdasarkanPeraturan Menteri Agraria Dan
Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016
Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan, dalam rangka penyelesaian kasus pertanahan menjadi
batal demi hukum, dan konsekuensi hukum yang ditimbulkan yaitu Sertifikat Hak Milik Atas
tanah tersebut dianggap tidak pernah ada atau tidak pernah diterbitkan (ex. tunc), dalam artian
12
bahwa Sertifikat tersebut dianggap batal terhitung sejak diterbitkannya Sertifikat Hak Milik
tersebut. Sedangkan apabila terdapat putusan pengadilan atas suatu sengketa Sertifikat Hak Milik
Atas tanah yang amar putusannya menyatakan Sertifikat Hak Milik batal, tidak mempunyai
kekuatan hukum tetap atau Sertifikat Hak Milik Atas Tanah tidak sah, Sertifikat Hak Milik
tersebut tidak serta merta menjadi batal, melainkan harus dilakukan pembatalan dengan
diterbitkan Keputusan Pembatalan oleh pejabat yang mempunyai wewenang untuk itu, karena
hakim tidak dapat secara langsung membatalkan Keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah
sebagaimana dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No. 350 K/Sip/1968 tanggal 3 Mei
1969 dan Putusan Mahkamah Agung No. 716 K/Sip/1973 tanggal 5 September 1973. Dalam
Penerbitan Keputusan Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah sebagai pelaksanaan Putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang amar putusannya antara lain menyatakan
Sertifikat Hak Milik Atas tanah batal demi hukum, batal, tidak sah atau tidak mempunyai
kekuatan hukum tetap yang menyebabkan Sertifikat Hak Milik Atas tanah yang dibatalkan
kembali pada status semula, maka konsekuensi yuridis yang ditimbulkan adalah Sertifikat Hak
Milik Atas Tanah menjadi batal sejak Sertifikat tersebut diterbitkan (ex.tunc).
Namun dalam hal ini, walaupun diterbitkannya Keputusan Pembatalan Sertifikat Hak
Milik Atas Tanah dapat memberikan kepastian hukum berkaitan dengan status kepemilikan
tanah, tidak semua pihak-pihak yang bersangkutan dapat menerima Keputusan Pembatalan
Sertipkat Hak Milik Atas tanah yang telah diterbitkan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa
pihak-pihak yang merasa keberatan atas diterbitkannya Keputusan pembatalan sehingga
menimbulkan sengketa dapat mengajukan keberatan kepada instansi yang berwenang
menerbitkan Keputusan Pembatalan Sertifikat Hak Milik Atas Tanah atau yang disebut dengan
upaya administratif maupun upaya hukum dengan mengajukan gugatan di pengadilan.
Upaya hukum administratif merupakan suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seseorang atau badan hukum yang merasa dirugikan akibat diterbitkan suatu keputusan yang
dikeluarkan oleh Organ atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dilakukan dilingkungan
pemerintahan sendiri.
Kesimpulan
Prosedur pembatalan sertifikat yang tumpang tindih berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Dan
Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 Tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan di Kabupaten Kubu Raya. Salah satu bentuk dari perbuatan hukum badan
permerintah yaitu berupa perbuatan hukum menerbitkan Keputusan oleh Pejabat Pemerintah yaitu Badan
Pertanahan Nasional. Perbuatan hukum berupa penerbitan Keputusan Pembatalan tersebut harus
13
didasarkan pada wewenang yang sah dan tidak boleh dilakukan tanpa dasar peraturan PerundangUndangan. Tindakan Pemerintah haruslah “Rechmatig”, yaitu suatu tindakan pemerintah harus sesuai
dengan batasan atau ukuran tertentu. Kendala-Kendala yang dihadapi oleh Kepala Kantor Badan
Pertanahan Nasional Kabupaten Kubu Raya dalam membatalkan sertipikat yang tumpang tindih di
Kabupaten Kubu Raya. Adapun pelaksanaan kewenangan Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Kubu Raya dalam menangani penyelesaian sengketa pertanahan, diketahui bahwa terdapat
kendala yang ditemui dalam pelaksanaannya yakni berkaitan dengan faktor manusianya atau para pihak
yang bersengketa. Terkait dengan para pihak yang bersengketa di sini maksudnya adalah manusia yang
berada di atas tanah tersebut yang tidak dapat terpisahkan hidupnya dengan tanah, atau pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan atas tanah dan merasa lebih berhak atas tanah tersebut dengan alasan atau dalil
yang mengakui punya alas hak atau hubungan hukum dengan bidang tanah tertentu. Upaya-Upaya yang
dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kubu Raya dalam
mengatasi permasalahan tersebut ialah Perlindungan hukum terutama bagi rakyat dengan “tindak
pemerintah” sebagai titik sentral, (dikaitkan dengan perlindungan hukum bagi rakyat) sehingga dibedakan
dua macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu: perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan
hukum yang represif. Penanganan Kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum akan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di Indonesia”. Jadi dengan diterbitkannya
Sertipikat Hak Milik Atas Tanah sebagai wujud dari penyelesaian kasus pertanahan maka akan
memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang berkepentingan atas hak milik atas tanah tertentu
14
Daftar Pustaka
Alexander Seran, 1999, Moral Politik Hukum, Obor, Jakarta.
Bachsan Mustafa, 1985, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Tanpa Tahun, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta.
Hasan Basri Durin, 2002, Kebijaksanaan Agraria/Pertanahan Masa Lampau, Masa Kini, dan Masa
Mendatang Sesuai dengan Jiwa dan Roh UUPA, termuat dalam Buku Reformasi Pertanahan,
CV. Mandar Maju, Bandung.
Hari C. Hand, 1994, Modern Jurisprudence, International Law Book Service, Kuala Lumpur.
Lutfi Ibrahim Nasoetion, 2002, Evaluasi Pelaksanaan UUPA Selama 38 Tahun dan Program Masa Kini
dan masa Mendatang Dalam Menghadapi Globalisasi, termuat dalam Buku Reformasi
Pertanahan, CV. Mandar Maju, Bandung.
Marbun, S.F., 1997, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.
-------------------, dan Moh. Mahfud MD., 1987, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,
Yogyakarta.
Mertokusumo, Sudikno, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.
------------------, 1996, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
M. Sitomurang, Viktor dan Juhir Yusuf, 1994, Aspek Hukum Pengawasan Melekat, Dalam Lingkungan
Aparatur Pemerintah, Jakarta, Reneka Cipta.
Nasution, 1988, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, Tarsito, Bandung, 1988.
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya.
Prajudi Admosudirdjo, 1983, Hukum Adminitrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.
OC. Kaligis, 2002, Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha negara di Indonesia, Buku Pertama, Alumni,
Bandung.
-----------------, 2002, Praktek-Praktek Peradilan Tata Usaha negara di Indonesia, Buku Kedua, Alumni,
Bandung.
Riawan Tjandra, W., 2005, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Universitas Atma
Jaya, Yogyakarta.
Soekanto, Soerjono, tanpa tahun, Presfektis Teoritis studi Hukum Dalam Masyarakat, Erlangga, Jakarta.
----------------, dan Sri Mamoedji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
15
Subekti, R., dan R. Tjitrosudibio, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Keduapuluh
Delapan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Wiyono, R., 2008, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta.
Download