KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI

advertisement
1
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN
PARTAI POLITIK DAN PENCALONAN LEGISLATIF
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
NUNI SILVANA
E1A009022
KEMENTERIA N PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2013
2
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM KEPENGURUSAN PARTAI
POLITIK DAN PENCALONAN LEGISLATIF
OLEH :
NUNI SILVANA
E1A009022
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
DISETUJUI DAN DITERIMA
PADA TANGGAL : ...................................
Penguji I/
Pembimbing I
Penguji II/
Pembimbing II
Satrio Saptohadi, SH, MH
NIP. 19541018 198303 1 002
Tenang Haryanto, SH, MH
NIP. 19620622 1987021001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, SH, M.Hum
NIP. 19640923 198901 1 001
Penguji III
H.A. Komari, SH, M.Hum
NIP. 19540606 198011 1 001
3
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat Rahmat dan karunia -Nya
sehingga penyusunan skripsi yang berjudul “Keterwakilan Perempuan dalam
Kepengurusan Partai Politik dan Pencalonan Legislatif” dapat selesai tepat pada
waktunya tanpa halangan suatu apa.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sedalam-dalamnya kepada :
1. Dr. Angkasa Sudigdo, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
2. Satrio Saptohadi, SH, MH selaku pembimbin g I dan Tenang Haryanto,
SH, MH selaku pembimbing II.
3. H.A Komari, SH, M.Hum selaku dosen penguji.
4. Segenap dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto.
5. Kawan-kawan seperjuangan di LPM Pro Justitia (PJ) atas diskusi, ilmu,
dan pengalamannya. Teruslah berjuang.
6. Kawan sepermainan di kampus, kawan SMA, kawan SMP yang bahkan
hingga kini masih berkawan dengan baik.
7. Kawan-kawan Front Mahasiswa Nasional (FMN) atas persahabatannya.
Majulah dengan idealismemu.
8. Rekan-rekan seperjuangan dan semua pih ak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang juga ikut membantu dalam penyusunan skripsi ini.
4
Semoga Allah membalas kebaikan mereka dan berkah yang melimpah serta
dalam lindungannya, amien.
Akhirnya diharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
mereka yang membutuhkan serta dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam ilmu
hukum.
Purwokerto, Februari 2013
Penulis
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................
ii
PRAKATA .......................................................................................................
iii
DAFTAR ISI ....................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................
viii
ABSTRACT ......................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B.
Perumusan Masalah .................................................................
4
C.
Tujuan Penelitian .....................................................................
5
D.
Kegunaan Penelitiaan ...............................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Gender ..... .................................................................................
B.
Convention of the Elimination of All Forms
7
Of Discrimination Agaianst Women (CEDAW) atau
Konvensi Penghapusan segala diskriminasi
terhadap Perempuan ................................................................ 19
C.
Hak Konstitusional .................................................................... 22
D.
Partai Politik .............................................................................. 27
6
E.
Pemilihan Umum.......................................................................
34
F.
Affirmatif...................................................................................
40
G.
Legislatif.......................…………………………......................
40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan ..................................................................
42
B. Pendekatan Masalah ................................................................
42
C. Spesifikasi
Penelitian
................................................................
43
D. Sumber Bahan Hukum ............................................................ 43
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum ....................................
F.
44
Metode Penyajian Bahan Hukum ........................................... 44
G. Metode Analisis Bahan Hukum ............................................... 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian .......................................................................... 46
B. Pembahasan ............................................................................... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 86
B. Saran ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
87
7
DAFTAR TABEL
Tabel 1 ............................................................................................................
30
Tabel 2 ............................................................................................................
61
Tebel 3 ............................................................................................................
62
Tabel 4 ............................................................................................................
74
Tabel 5 ............................................................................................................
81
Tabel 6 ...........................................................................................................
82
8
ABSTRAK
Gerakan perempuan di Indonesia tidak dapat dipungkiri adalah karena
pengaruh dari gerakan perempuan internasional. Puncak dari gerakan emansipasi
ini adalah dengan diratifikasinya Convention of the Elimination of All Forms of
Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjadi Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984. Hak-hak politik juga merupakan bagian dari perjuangan perempuan
Indonesia.
Dalam hal partisipasi politik, perempuan telah diberi kuota tersendiri baik
dalam kepengurusan partai politik maupun pencalonan legislatif yaitu sebesar
30%. Hanya saja ternyata pengaturan ini masih dirasa setengah hati karena tidak
ada sanksi yang tegas bagi partai politik yang tidak menjalankan perintah undangundang tersebut.
Dari aspek sosiologis sendiri juga masih menyimpan permasalahan ya ng
berarti, mulai dari minat perempuan yang masih minim dalam ranah politik
maupun permasalahan bias gender yang dialami perempuan utamanya perempuan
Indonesia dewasa ini.
Kebijakan pemilu yang sedemikian rupa dilakukan untuk menguatkan
kebijakan affirmasi rupanya juga belum membuahkan hasil yang maksimal
apabila dilihat dari aspek kuantitas perempuan yang duduk di legislatif.
Permasalahan ini juga belum mencakup aspek kualitas dari perempuan yang
duduk di legislatif.
Kata Kunci : gender, partai politik, pemilu.
9
ABSTRACT
The women's movement in Indonesia can not be denied is due to the
influence of the international women's movement. The highlight of the
emancipation movement was the ratification of Convention of the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) or the Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women into Law No. 7 of
1984. Political rights are also part of the struggle of women in Indonesia.
In terms of political participation, women have been given a separate
quota both in the management of political parties and nomination of the
legislature that is equal to 30%. It just turned out this setting still feels halfhearted because there is no strict sanctions for political parties that do not run the
command of the law.
From the sociological aspect still had significant problems, ranging from
lack of interest in women who are still in the realm of politics and gender bias
issues that women experience primarily women in Indonesia today.
Election policy conducted in such a way to strengthen affirmations policy
apparently has not yielded maximum results when viewed from the aspect of
quantity of women serving in the legislature. This problem also does not include
quality aspects of women sitting in the legislature.
Key Word : gender, political parti, ellection.
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Wacana mengenai gender dan hukum makin santer terdengar di
masyarakat. Ada pandangan dalam masyarakat yang beranggapan bahwa apabila
dalam masyarakat dibutuhkan perbaikan situasi dan kondisi, maka yang menjadi
sasaran perubahannya adalah aspek hukumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
ahli hukum Roscoe Pond bahwa hukum adalah alat mengubah masyarakat “Law
as tool of social engineering”. Kesetaraan gender sendiri menjadi kata yang
sering didengar di masyarakat.
Konsep kesetaraan gender ini memang merupakan suatu konsep yang
sangat rumit dan mengandung kontroversi. Hingga saat ini belum ada konsensus
mengenai pengertian dari kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ada yang
mengatakan bahwa kesetaraan yang dimaksud adalah kesamaan hak dan
kewajiban, yang tentunya masih belum jelas. Kemudian ada pula yang
mengartikannya dengan konsep mitra kesejajaran antara laki-laki dan perempuan,
yang juga masih belum jelas artinya. Sering juga diartikan bahwa antara laki-laki
dan perempuan memiliki hak yang sama dalam melakukan aktualisasi diri,
namun harus sesuai dengan kodratnya masing-masing. 1
Kesetaraan gender dapat juga berarti adanya kesamaan kondisi bagi lakilaki maupun perempuan dalam memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,
ekonomi, sosial dan budaya, pendidikan, dan pertahanan & keamanan nasional
(hankam nas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki sehingga dengan demikian antara perempuan dan lakilaki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan,
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki
akses berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya
dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan
dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan
penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya.
1
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 59
11
Keadilan gender merupakan suatu proses dan perlakuan adil terhadap kaum lakilaki dan perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada lagi pembakuan
peran, beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan
maupun laki-laki. 2
Hukum nasional sudah merumuskan apa makna kesetaraan gender, seperti
diatur dalam Instruksi Preside n Nomor 9 Tahun 2000 dimana dinyatakan bahwa :
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan
dan berpartisipasi dala m kegiatan politik, ekonomi, sos ial budaya dan pertahanan
dan kemanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. 3
Namun, meskipun secara yuridis telah ada instrument-instrumen yang
menjamin hak-hak perempuan, ternyata permasalahan sesungguhnya justru
berakar
dari
masyarakatnya. Gender inequalities
(ketidakadilan
gender)
merupakan sistem dan struktur dimana kaum laki-laki dan perempuan menjadi
korban dari sistem tersebut. Dengan demikian agar dapat memahami perbedaan
gender yang menyebabkan ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai
manifestasinya, yaitu sebagai berikut :
a. Subordinasi
Subordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap kaum
perempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
penting muncul dari adanya aggapan bahwa perempuan itu emosional atau
irasional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan
bentuk dari subordinasi yang dimaksud. Proses subordinasi yang
disebabkan karena gender terjadi dalam segala macam bentuk dan
mekanisme yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Dalam kehidupan di masyarakat, rumah tangga, dan bernegara, banyak
kebijakan yang dikeluarkan tanpa menganggap penting kaum perempuan.
Misalnya ada peraturan yang dikeluarkan pemerintah dimana jika suami
akan pergi belajar (ja uh dari keluar ga) dapat mengambil keputusan sendiri
sedangkan bagi istri harus dapat seizin suami. Hal ini sebenarnya muncul
dari kesadaran gender yang tidak adil. 4
2
Ibid, halaman 60
Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Jender, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, halaman 8
44
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, halaman 11
3
12
b. Stereotipe
Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis kelamin
tertentu, secara umum dinamakan stereotipe. Akaibat dari stereotipe ini
biasanya timbul diskriminasi dan berbagai ketidakadilan. Salah satu
bentuk stereotipe ini adalah bersumber dari pandangan gender. Banyak
sekali bentuk stereotipe yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan ke pada
pada umumnya kaum perempuan sehingga berakibat menyulitkan,
membatasi, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Misalnya
adalah keyakinan di masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah
maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya
sebagai tambahan saja sehingga pekerja perempuan boleh saja dibayar
lebih rendah dibanding laki-laki. Selain itu ada juga anggapan dari
masyarakat yang melihat bahwa tugas perempuan adalah melayani suami.
Stereotipe seperti ini memang suatu hal yang wajar, namun, berakibat pada
menomorduakan pendidikan bagi kaum perempuan. Steretiotipe pada
contoh diatas dapat terjadi dimana-mana. 5
c. Beban Kerja
Peran gender perempuan dalam anggapan masyarakat luas adalah
mengelola rumah tangga sehingga banyak perempuan yang menanggung
beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama dari laki-laki. Kaum
perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi
kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah
tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Bahakan bagi kalangan
keluarga miskin, beban yang harus ditanggung oleh perempuan sangat
berat apalagi jika si perempuan ini harus bekerja diluar sehingga harus
memikul beban kerja yang ganda. Bagi masyarakat yang memiliki tingkat
ekonomi cukup, beban kerja domestik sering kali dilimpahkan kepada
pembantu rumah tangga (domestic workers). Dengan demikian sebenarnya
perempuan merupakan korban bias gender itu sendiri. 6
Dari uraian diatas, maka diambil kesimpulan bahwa menifestasi
ketidakadilan gender ini telah mengakar mulai dari keyakinan di masingmasing orang, keluarga, hingga pada tingkat Negara yang bersifat global.
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut secara dialektika saling
mempengaruhi
dan
saling
terkait.
Manifestasi
ketidakadilan
itu
tersosialisasi kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang
akhirnya lambat laun baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa
5
6
Ibid, halaman 12
Ibid, halaman 16
13
dan pada akhirnya diyakini bahwa peran gender itu seolah-olah merupakan
suatu kodrat. Struktur dan sistem ketidakadilan gender yang diterima
lambat laun mulai tercipta dan sudah tidak lagi dirasakan ada sesuatu yang
salah.
Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas,
golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya.
Hubungan gender dengan politik dapat ditemukan mulai dari lingkungan
keluarga antara suam i dan isteri sampai pada tataran kemasyarakatan yang
lebih luas, misalnya dalam politik praktis. Tataran hubungan kekuasaan itu
pun bervariasi, mulai dari tataran simbolik, dalam penggunaan bahasa dan
wacana sampai pada tataran yang lebih riil dalam masalah perburuhan,
migrasi, kekerasan, tanah, dan keterwakilan perempuan dalam partai
politik.
B. Perumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, dapat ditarik perumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimanakah penentuan kuota perempuan dalam kepengurusan Partai
Politik dan pencalonan legislatif?
2. Apakah penentuan kuota bagi perempuan di kepengurusan Partai
Politik dan pencalonan legislatif sudah sesuai dengan Konvensi
Perempuan sebagaima na diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 dalam upaya perjuangan hak perempuan?
14
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui penentuan kuota bagi perempuan di kepengurusan
Partai Politik dan pencalonan legislatif;
2.
Untuk mengetahui penentuan kuota ba gi perempuan di kepengurusan
Partai Politik dan pencalonan legislatif sudah sesuai dengan Konvensi
Perempuan sebagaimana diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 dalam upaya perjuangan hak perempuan.
D. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
a. Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan gambaran
tentang kondisi perempuan dalam partai politik dan Legislatif;
b. Dengan penelitian ini diharapkan akan memberikan informasi
mengenai usaha-usaha pemerintah dalam memperjuangkan hakhak perempuan;
c. Dengan penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur ilmiah,
diskusi seputar hukum yaitu Hukum Tata Negara khususnya
hukum dan HAM, hukum dan sistem politik, hukum kepartaian
pemilu, serta hukum dan kajian wanita.
2. Kegunaan Praktis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan menjadi pemicu bagi
perempuan dalam berpartisipasi di partai politik dan Legislatif, serta
menjadi referensi bagi masyarakat dalam kehidupan sosial, politik, dan
15
hukum. Sedangkan bagi par tai politik dan pemerintah penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan referensi dalam pembentukan kebijakan
yang sesuai bagi cita hukum untuk menjalankan Negara yang berdasar
hukum secara benar.
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gender
a. Pengetian Gender
Istilah gender dengan pemaknaan seperti yang digunakan pada saat
ini pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller untuk memisahkan
pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat
sosial budaya dengan pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik
biologis. Gagasan ini dapat dilihat sebagai bagian dari rangkaian
gagasan yang diperkenalkan oleh Simone de Beauvoir di tahun 1949
dalam bukunya Le Deuxieme Sexe. Beauvoir mengemukakan bahwa
dalam masyarakat (pada waktu itu) perempuan sama dengan warga
negara kelas dua dalam masyarakat, seperti seorang Yahudi atau
Negro. Dibanding laki-laki, maka perempuan adalah warga kelas dua
yang sayangnya lebih sering tidak nampak (not exist). 7
Perbedaan biologis merupakan perbedaan jenis kelamin (sex)
adalah kodrat Tuhan yang secara permanen berbeda dengan pengertian
gender. Gender merupakan behavioral differences (perbedaan
perilaku) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara
sosial, yakni perbedaan yang bukan ketentuan Tuhan melainkan
diciptakan oleh manusia (bukan kodrat) melalui proses sosial dan
kultural yang panjang. Jadi, perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan bukanlah sekedar biologis, namun melalui proses kultural
dan sosial. Dengan demikian, gender dapat berubah-ubah dari tempat
ke tempat, dari waktu ke waktu, bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan
jenis kelamin biologis akan tetap tidak berubah. 8
Dalam Women Studies Enslikopedia dijelaskan bahwa gender
adalah suatu konsep kultur, berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam hal peran, tingkah laku, mentalitas dan karakteristik emosional
antara laki- laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 9
Sedangkan Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and
Gender : an introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for
women and man). Pendapat ini sejalan dengan pendapat umumnya
kaum feminis seperti Linda L. Lindsey, yang menganggap semua
ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki
7
Riant Nugroho,Gender dan Administrasi Publik , Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman 31
Ibid, halaman 32
9
Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, halaman 3
8
17
atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given
society defines as masculine or feminine is a component of gender).10
Sementara itu, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Republik Indonesia, mengartikan gender adalah peran-peran sosial
yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab dan
kesempatan laki-laki dan perempuan yang diharapkan masyarakat agar
peran-peran sosial tersebut dapat dilakukan oleh keduanya (laki-laki
dan perempuan).
b. Sejarah Gerakan Perempuan di Indonesia
Ide-ide Kartini maupun gerakan organisasi-organisasi perempuan
dalam menakan lahirnya Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan di era 50-an yang mengambil model perjuangan feminis
liberal dalam bidang reformasi hukum. Hal ini kemudian meningkat
pada gerakan-gerakan perempuan pada isu-isu lainnya seiring dengan
perkembangan zaman.
Secara
priodisasi,
perjuangan
perempuan
Indonesia
dapat
dikategorikan kedalam 4 (empat) Periode , yaitu :
1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan;
2. Periode setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945-1965);
3. Periode Pasca 1965 (Orde Baru);
4. Periode Reformasi (1998-sekarang).
10
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, halaman 5.
18
1. Periode sebelum Proklamasi Kemerdekaan
Pada periode ini, referensi yang dapat kita jadikan rujukan
adalah surat-surat Kartini yang dibukan pada awal abad ke-20.
Dalam surat Kartini digambarkan mengenai perlakuan tidak adil
yang dialami oleh perempuan Indonesia, khususnya dalam
lingkup keluarga. Sebenarnya kondisi ini tidak jauh berbeda
dengan kondisi perempuan Barat pada masa itu. Hanya saja,
perempuan barat cenderung menyalahkan laki-laki karena
kondisinya, sedangkan Kartini secara proporsional menempatkan
penindasar perempuan sebagai akibat dari permasalahan sistem
budaya masyarakatnya.
Strategi perjuangan yang dilakukan oleh Kartini untuk
mengalami masalah yang dialami kaumnya adalah dengan melalui
pendekatan pendidikan. Kartini berpandangan bahwa pendidikan
dianggap syarat utama untuk membebaskan diri dari segala
kekurangan. 11 Disamping itu, Kartini menganjurkan agar kaum
muda mengadakan persatuan untuk berjuang mencapai cita-cita
bagi kemajuan bangsanya.
Seruan Kartini tentang pentingnya persatuan dicamkan
sungguh-sungguh oleh para pemuda Indonesia yang saat itu
belajar di negeri Belanda. Terbukti mereka mendirikan Indische
Vereeniging pada tahun 1911. Perkumpulan itu kemudian diberi
nama Perhimpunan Indonesia. Di Indonesia baru pada tahun 1912
didirikan organisasi perempuan yaitu Poetri Mardika atas bantuan
kaum pria dari perkumpulan Boedi Oetomo. 12
11
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, halaman 89.
12
Loc.cit
19
Gerakan Poetri Mardika dapat dikatakan sebagai pionir
karena setelah itu banyak berdiri organisasi perempuan baru
seperti Jong Java Meisjeskring (Kelompok Pemudi Jawa Muda)
tahun 1917 dan Aisyiyah (Pemudi Muhammadiyah) tahun 1917.
Disamping itu ada juga Wanita Islam, Muslimat NU, Wanita
Tarbiyah, PWKI (Persatuan Wanita Kristen Indonesia).
Bila dibandingkan dengan organisasi wanita lain, organisasi
wanita yang terkait dengan agama justru lebih berakar dan
memiliki massa yang cukup besar karena jangkauannya yang luas
sampai ke pelosok dimana ada tempat ibadah dan pusat
pendidikan yang terkait pada agama tersebut. 13
Pada masa itu, baik organisasi kepemudaan maupun
organisasi perempuan mengalamai perasaan tertindas akibat
kolonialisasi Belanda sekitar tahun 20-an dan 30-an. Sehingga
puncaknya adalah tahun 1928 dengan adanya ikrar Sumpah
Pemuda tentang perlunya persatuan dan kesatuan bangsa.
Akumulasi dari perasaan tertindas akibat kolonialisasi
tersebut kemudian mengkristal dan memunculkan semangat
nasionalisme di setiap anak bangsa, termasuk kaum perempuan
Indonesia. Perjuangan perempuan pada zaman kolonial Belanda
secara esensi tidak hanya melawan kolonial Belanda tetapi juga
sudah berani menuntut dan mengajukan resolusi-resolusi antara
13
Ibid, halaman 91
20
lain Indonesia Berparlemen pada 1938, dengan mengadakan aksi
dan menuntut adanya hak memilih dan dipilih. Tuntutat itu
akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda dengan
memberi hak pilih bagi perempuan pribumi (Indonesia) dengan
duduknya perempuan Indonesia di Gemeenteraad (DPRD tingkat
II) antara lain :
1. Emma Puradierja di Bandung;
2. Sri Umiyati di Cirebon;
3. Soenaryo Mangunpuspito di Semarang;
4. Siti Sundari di Surabaya. 14
2. Periode Setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945 -1965)
Pergerakan
perempuan
mulai
bangkit
lagi
sejak
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945. Hal ini tampak dari munculnua organisasi-organisasi
perempuan yang gerakannya bertujuan untuk mempertahankan
kemerdekaan seperti Laskar Putri Indonesia (LPI) di Surakarta,
Pusat Tenaga Perjoangan Wnita Indonesia (PTPWI), Laskar
Wanita
Indonesia
(LASWI),
Persatuan
Wanita
Indonesia
(PERWARI) yang terbentuk setelah bubarnya Fujinkai Wanita
Negara Indonesia (WANI). Di Yogyakarta pada tahun 1946 juga
terbentuk laskar perempuan yang bernama Wanita Pembantu
Perjuangan (WPP).
14
Ibid, halaman 93
21
Pada 1948 pemerinah membentuk Korps Polisi Wanita
(POLWAN),
diikuti
oleh
Korps
Wanita
Angkatan
Darat
(KOWAD) pada tahun 1961, Korps wanita Angkatan Laut
(KOWAL) tahun 1962, Korps Wanita Angkatan Udara (WARA)
tahun 1963.
3. Periode Pasca 1965 (Orde Baru)
Awal periode ini bertitik tolak saat diselenggarakannya
Musyawarah Kerja Sekretariat Bersama (SEKBER) GOLKAR
pada Desember 1965. Konsolidasi itu disusun dalam 10 koordinasi
dan disingkat KOSI. Di dalamnya ada KOSI Wanita dengan
jumlah anggota sebanyak 23 organisasi wanita yang tergabung
dalam koordinasi Wanita SEKBER GOLKAR.
Gerakan perempuan Indonesia juga mencakup Pusat Studi
Wanita (PSW), yaitu kelompok di perguruan tinggi yang
menjadikan masalah wanita sebagai bahan studi ilmiah. Pelopor
berdirinya adalah Kelompok Studi Wanita FISIP UI yang dibentuk
pada 1979. Sampai saat ini, ada 62 pusat studi wanita yang tercatat
di seluruh Indonesia. Melalui penelitian sosial, PSW dapat
menangkap situasi dan kondisi wanita di daerah masing-masing.
Pada umumnya, organisasi perempuan tersebut memiliki
kegiatan dibidang ekonomi (koperasi), pendidikan, pembinaan
mental dan budaya (keagamaan, ideologi negara, budi pekerti),
22
bidang
kesehatan
(penyuluhan
keluarga
berencana),
dan
kesejahteraan sosial (panti asuhan).
Dibalik maraknya aktivitas organisasi perempuan pada masa
orde baru ternyata ada semacam jejak trauma atas penghianatan
PKI yang berimbas pada kebebasan jalannya institusi termasuk
dalam hal ini organisasi perempuan. Tak dapat dipungkiri bahwa
peristiwa pemberontakan PKI membawa perubahan besar dan
mendasar bagi perkembangan hidup masyarakat. Termasuk pada
gerakan perempuan karena dampaknya adalah tumbuhnya sikap
syak wasangka. Ketakutan kemungkinan terjadinya pengkhianatan
lagi membayang selalu dan dianggap sebagai bahaya laten.
Fenomena ini seakan dijadikan pembenaran untuk memberlakukan
bermacam mekanisme seperti : sensor, pengawasan, ijin rapat dan
lain-lain untuk menjaga terjadinya penyimpangan dari kebijakan
dan pandangan Orde Baru. Disamping itu dimasa Orde Baru tak
sedikit permasalahan perempuan yang mengemuka seperti :
kekerasan terhadap perempuan akibat pelaksanaan DOM di Aceh,
kasus Marsinah, kurangnya perlindungan Tenaga Kerja Wanita
(TKW) kita di luar negeri, dsb. Kesemua permasalahan itu
tentunya menjadi keprihatinan bersama sehingga praktik-praktik
tertindasnya perempuan tadi perlu segera dilakukan reformasi,
khususnya bidang politik, ekonomi, maupun hukum. 15
4. Periode Reformasi (1998 -sekarang)
Periode yang ditandai dengan lengsernya mantan presiden
Soeharto memang mencuatkan harapan besar bagi tumbuhnya
proses demokratisasi di Indonesia. Demokratisasi ini diharapkan
menjadi atmosfer dalam perkembangan organisasi perempuan.
Dibalik harapan itu ternyata ada hal yang perlu diantisipasi
utamanya tentang upaya keberpihakan kepada perempuan. Sebagai
salah satu contoh yang terjadi di Sumatera Barat. Dengan adanya
otonomi daerah, Sumatera Barat kembali ke sistem pemerintahan
nagari yang jelas-jelas bersifat patriarki. Sistem nagari ini
15
Ibid, halaman 101
23
menganut keterwakilan dari suku-sukuuntuk duduk menjadi wali
nagari. Yang memilih wali nagari ini adalah masing-masing kepala
suku. Dalam sejarahnya tidak pernah ada perempuan terpilih
menjadi wali nagari.
Beberapa agenda ataupun pekerjaan rumah yang perlu
diperhatikan adalah melakukan redifinisi pembangunan yang
melibatkan kepentingan dan kebutuhan perempuan sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari kegiatan pembangunan masyarakat. Hal
itu diharapkan sebagai upaya untuk dapat mempengaruhi kebijakan
pemerintah (pusat maupun daerah) yang tertuang dalam peraturan
perundang-undangan yang ada agar semuanya menjadi responsif
dan peka gender. 16
c. Aliran-Aliran Feminis
Para femisis mempunyai kesadaran yang sama akan
terjadinya ketidakadilan gender, tetapi mereka berbeda dalam
menganalisis sebab-sebabnya, hal ini mengakibatkan terjadinya
perbedaan aliran feminis termasuk di dalamnya adalah bentuk,
target, dan strategi perjuangan yang mereka lakukan. 17
1. Feminisme Liberal
Feminis liberal memiliki pandangan mengenai negara sebagai
penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang
berbeda yang berasal dari te ori pluralisme negara. Mereka
menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria, yang
terefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat maskulin, tetapi
mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat
oleh kekuatan dan pengaruh kaum pria tadi. 18
2. Feminisme Radikal
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau
dominasi sosial berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun
1960-an. Aliran ini memandang sumber ketertindasan perempuan
adalah sistem patriarki. Sehingga dalam ranah yang ekstrem, aliran
16
Ibid, halaman 104
Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, halaman 28
18
Ibid, halaman 29
17
24
ini melahirkan antipati terhadap sistem patriarki ang berimbas pada
anti laki-laki dan merupakan alasan lahirnya lesbianisme.
Oleh karena itu aliran ini mempermasalahkan antara lain tubuh
serta hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa laki-laki
dan perempuan, dan dikotomi privat publik.
3. Feminisme Radikal Libertarian
Feminisme ini menganggap bahwa gender sangat merugikan
karena mengharuskan perempuan untuk feminin saja, dan laki-laki
untuk maskulin saja. Solusi yang ditawarkan adalah androgini.
Mengenai seksualitas, paham ini menekankan agar perempuan
dapat menikmati semua jenis kegiatan seksual: heteroseksual,
lesbian, autuerotik, dan lain-lain. Mengenai reproduksi, kelompok
ini menganggap teknologi reproduksi sebagai agen pembebasa
perempuan karena dengan teknologi itu perempuan tidak lagi harus
menjadi ibu biologis.19
4. Feminisme Radikal Kultural
Menurut paham ini, masalah femininitas ada pada penilaian
yang rendah atas sifat-sifat feminin. Solusi yang ditawarkan
menurut paham ini adalah menolak androgini dan mencoba
memberi makna baru kepada femininitas. Mengenai seksualitas,
kelompok ini menekankan bahaya seks heteroseksual dengn
asumsi bahwa laki-laki mengontrol seksual perempuan. Apa
yangbersifat seksual bersifat politis. Hubungan perempuan dan
laki-laki adalah paradigma dari keseluruhan hubungan kekuasaan.
Kelemahan pendekatan ini terletak pada kecenderungannya
untuk memusatkan perhatian pada pembedaan karakteristik antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini berbahaya karena bersifat
19
Ibid, halaman 68
25
deterministik dan dapat menciptakan suatu pandangan bahwa
pembedaan ini bersifat permanen sehingga tidak ada peluang untuk
mengubah pola hubungan gender yang selama ini ada.
5. Feminisme Marxis
Bagi aliran ini penindasan perempuan adalah bagian dari
penindasan kelas dalam hubungan produksi. Oleh karena itu
persoalan perempuan selalu terkait dengan kerangka kritik atas
kapitalisme. Menurut aliran feminisme Marxisme, penindasan
kaum perempuan telah dilanggengkan kapitalisme dengan berbagai
cara dan alasan yang menguntungkan kaum kapitalis.
Penguatan penindasan kaum perempuan diantaranya adalah
dengan :
1.
Eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang
diperlukan guna membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik
bekerja lebih produktif;
2.
Kaum
perempuan
dianggap
bermanfaat
bagi
sistem
kapitalisme dalam reproduksi buruh murah;
3.
Memasukan perempuan sebagai buruh juga menguntungkan
kaum kapitalis. Hal ini dikarenakan upah buruh perempuan
lebih murah dibandingkan laki-laki, dan posisi perempuan
sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas.
Dengan pengaruh dari sistem kapitalisme maka menurut
feminisme ini penindasan perempuan merupakan eksploitasi yang
26
bersifat struktural.
Aliran
ini
melihat
yang
menyebabkan
penindasan kaum perempuan adalah sistem kapitalisme.
Bagi feminisme ini emansipasi perempuan akan tercapai jika
perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah
tangga. Unsur kunci feminisme ini adalah pada anggapan bahwa
kapitalisme atau penindasan kelas merupakan penindasan utama.
Penindasan kelas khus usnya dikaitkan dengan dengan para
kapitalisme menguasai wanita dalam kedudukan-kedudukan yang
direndahkan.
Wanita ditekan karena adanya struktur ekonomi. Kaum
feminisme Marxis beranggapan hanya setelah penindasan ekonomi
dipecahkan, penindasan patriarki bisa dihapuskan. Perubahan
masyarakat dapat dicapai dengan perubahan sosial radikal dalam
struktur
ekonomi
dan
penghancuran
ketidaksamaan
yang
berdasarkan kelas. Fokusnya adalah pada faktor -faktor struktural
mengenai penindasan sebagai lawan dari kesempatan-kesempatan
individual.
6. Feminisme Sosialis
Bagi feminisme sosialis patriarkis maupun
sebagai
penindasan
utama.
Feminisme
ini
kelas dianggap
menggunakan
pendekatan historis Marxian untuk memahami struktur penindasan
perempuan terutama dalam kaitannya dengan struktur jenis
kelamin, keluarga,dan hirarki pembagian kerja seksual. Cara
27
memecahkan masalah ini menurut feminisme sosialis adalah
dengan
perubahan-perubahan sosial radikal institusi-institusi
masyarakat.
Penjelasan teoritis feminis sosialis meliputi tiga tujuan,
yaitu:
1.
Mencapai kritik yang distingtif dan saling berkaitan terhadap
penindasan patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang
pengalaman perempuan;
2.
Mengembangkan metode yang eksplisit dan memadai untuk
analisis sosial yang berasal dari pemahama n matrialisme
historis yang diperluas;
3.
Menggabungkan pemahaman terhadap signifikansi ide dengan
analisis matrialis atas determinasi persolan manusia .
Asumsi dasar yang digunakan feminisme ini adalah
masyarakat kapitalis bukan satu-satunya penyebab keterbelakangan
perempuan. Analisis patriarki perlu dikawinkan dengan analisis
kelas, sehingga analisa eksploitasi kelas dari sistem kapitalisme
harus
disertai
dengan
analisis
ketidakadilan
gender
yang
mengakibatkan dominasi, subordinasi, dan marginalisasi atas kaum
perempuan.
7. Feminisme Postkolonial
Dasar pandangan ini berakar dari penolakan universalitas
pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di
negar dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan
perempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia
28
ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain
mengalami penindasan berbasis gender, mereka juga mengalami
penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi
kolonialisasi menjadi fokus utama feminisme postkolonial yang
pada intinya menggugat penjajahan baik fisik, pengetahuan, nilainilai, cara pandang, meupun mentalitas masyarakatnya. Beverly
Lindsay dalam bukunya Compatative Perspectives on Third World
Women : The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan,
“hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin,
dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi,
sosial, dan pendidikan”.20
8. Feminisme Islam
Feminisme Islam mengkritik feminisme barat yang cenderung
ke arah sekuler. Menurut teologi feminisme Islam, konsep hak-hak
asasi manusia yang tidak berlandaskan visi transendental
merupakan hal yang tragis. Sehubungan dengan itu mereka
berpandangan bahwa gerakan perempuan Islam harus berpegang
pada paradigma agama Islam agar tidak menjadi sekuler. Fatima
Merniss (1988) dan Issa J. Boullata (1989) secara terpisah
menegaskan bahwa perempuan Islam harus mengembangkan
program -program feminisnya dengan menggunakan kerangka
acuan yang Islami. 21
B. Convention of the Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women (CEDAW) atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) adalah suatu
instrumen standar internasional yang diadopsi oleh
Perserikatan Bangsa -Bangsa pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tanggal 3
Desember 1981. Pada tanggal 18 Maret 2005, 180 negara lebih dari sembilan
puluh persen negara-negara anggota PBB, merupakan Negara Peserta Konvensi.
20
Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, halaman 35
21
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, halaman 86.
29
Dalam pelaksanaannya, Konvensi Perempuan mewajibkan negara peserta
untuk mengajukan suatu laporan kepada Sekertaris Jenderal mengenai tindakan
legislatif, yudikatif, administratif atau lainnya yang telah mereka ambil untuk
melaksanakan konvensi dalam waktu satu tahun setelah konvensi ini berlaku dan
kemudian sekurang-kurangnya setiap empat tahun sesudahnya atau kapan saja
komite tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan memintanya.
Komite bertemu sekali setahun untuk meninjau laporan-laporan ini dan membahas
kemajuan hak-hak perempuan berdasar konvensi. Selain laporan dari pemerintah,
para pembela hak-hak perempuan mengajukan informasi dalam bentuk “laporan
negara alternatif” atau bayangan yang menyajikan pandangan mereka sendiri
tentang hak-hak asasi manusia kaum perempuan di negara mereka. Para anggota
Konvensi Perempuan semakin banyak menggunakan laporan semacam ini sebagai
suatu sumber informasi ketika membahas laporan negara. 22
Indonesia sendiri telah meratifikasi konvensi ini melalui Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1984. Dalam penelitian ini, konvensi ini selanjutnya disebut
sebagai Konvensi Perempuan. Reservasi atau deklarasi formal oleh negara yang
tidak mengikatkan diri dengan bagian-bagian tertentu dari perjanjain pada saat
meratifikasi konvensi. Walaupan pasal 8 Konvensi Perempuan pada umumnya
membolehkan reservasi, tetapi pasal 28 ayat 2 sesungguhnya secara jelas tidak
membedakan reservasi yang bertentangan dengan sasaran dan tujuan konvensi.
Namun cukup banyak negara yang melakukan ratifikasi dengan reservasi
substansif, terutama yang menyangkut pasal 2 sebagai persyaratan ini yang
mewajibkan pemerintah menghapuskan diskriminasi melalui semua langkahlangkah yang mungkin diambil, maupun bidang-bidang yang sangat fundamental
bagi perempuan, yaitu hukum keluarga, kapasitas hukum , dan
kewarganegaraan. 23
Indonesia sendiri yang telah meratifkasi Konvensi perempuan,
menyatakan dalam pasal 1 Undang-undang nomor 7 tahun 1984 bahwa
pengesahan Konvensi Wanita dilakukan dengan reservasi perhadap pasal 29 ayat
(1) tentang penyelesaian perselisihan antara dua atau le bih negara peserta
Konvensi Perempuan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi Perempuan.
Penjelasan umum Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Perempuan, yang mengatakan bahwa dalam
pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib disesuaikan dengan tata
kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta normanorma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas oleh masyarakat
Indonesia. Isi penjelasan ini dapat merupakan kelemahan jika dibaca dan hendak
diterapkan terlepas dari keseluruhan undang-undang. Sehubungan dengan
22
23
Ibid, halaman 49
Loc.cit
30
rumusan penjekasan ini perlu disimak selain tujuan yang tercantum dalam judul
konvensi ini, juga diktum menimbangnya, pasal 2 Konvensi Wanita juga
merumuskan bahwa negara termasuk Indonesia mengutuk diskriminasi terhadap
wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala
cara yang cepat dan tanpa ditunda -tunda kebijakan menghapus diskriminasi
terhadap perempuan, pasal 2f Konvensi Perempuan yang menentukan bahwa
negara wajib membuat peraturan yang tepat untuk mengubah pola tingkah laku
sosial dan budaya pria dan wanita untuk mencapai penghapusan prasangkaprasangka dan kebiasaan dan segala praktek-praktek lainnya yang berdasar atas
inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasar peren
stereotipe bagi pria dan wanita. 24
Konvensi Perempuan menegaskan kembali bahwa semua manusia
dilahirkan bebas, memiliki harkat dan martabat serta hak yang sama. Oleh karaena
itu negara wajib menjamin persamaan hak antara pria dan wanita dibidang
ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik. Jaminan ini hendaknya tertuang secara
yuridis dalam peraturan perundang-undangan yang diberlakukan secara nyata, dan
yang paling penting hak-hak serta persamaan hak antara pria dan wanita tersebut
benar-benar dinikmati secara nyata. Jadi bukan hanya hak ‘de jure’ tetapi juga
akses secara ‘de facto’, bukan hanya persamaan formal tetapi juga persamaan
substantif atau riil. 25
Konvensi ini memberi perlindungan terutama dibidang ketenagakerjaan.
Akan tetapi hak-hak yang dicanangkan dalam undang-undang itu banyak yang
tidak dilaksanakan, seperti juga banyak ketentuan dalam berbagai undang-undang
lain. Memang penegakan hukum (law enforcement) terkenal sangat lemah di
Indonesia seka lipun pemerintah Indonesia telah menandatangani Protocol dari
konvensi ini pada tahun 2002. 26
Konvensi Hak Politik Perempuan, yang pada 1952 diterima PBB dan
telah diratifikasi oleh DPR melalui Undang-Undang nomor 68 tahun 1958, pada
pasal 1 menetapkan bahw a ; “Perempuan berhak memberikan suara dalam semua
pemilihan dengan status sama dengan pria tanpa diskriminasi (Women shall be
entitled to vote in all elections on equal terms with men without any
discrimination”. Hak ini telah dilaksanakan dalam pemilu 1955. 27
24
Ache Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan : UU No.7 tahun 1984
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
Buku Obor, Jakarta, 2007, halaman 22
25
Ibid, halaman 24
26
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman
257
27
Ibid, halaman 258
31
C. Hak Konstitusional
Dalam hubungan dengan kekuasaan Negara, hak-hak warganegara diatur
dalam konstitusi sebagai perlindungan dari perbuatan yang kemungkinan
dilakukan penyelenggara Negara. Sebagai pemegang kedaulatan rakyat, wujud
demokrasi bukan ha nya tampak dari penentuan mereka yang duduk dalam kursi
kekuasaan Negara melalui hak pilih rakyat yang menjadi salah satu hak
konstitusional, tetapi juga tampak dari hak-hak yang diatur dalam konstitusi,
yang merupakan batas yang tidak bisa dilanggar ole h penyelenggara Negara
dalam menjalankan kekuasaan Negara, yaitu baik sebagai hak warga Negara atau
hak asasi. Dalam UUD 1945 ada hak-hak yang secara tegas disebut sebagai hak
asasi, yang termuat dalam Bab XA UUD 1945, yang merupakan hak yang
melekat pa da harkat dan martabat manusia sejak lahir, seperti hak untuk hidup,
hak untuk diperlakukan sama dan hak untuk mendapat kepastian hukum dan
keadilan serta sejumlah hak-hak asasi lainnya. Hak asasi tersebut dikatakan
sesungguhnya tidak tergantung pada Nega ra, dan telah ada sebelum Negara
lahir. 28
Yang dimaksud sebagai hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada
diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human rights) itu
berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Namun, karena
hak asasi manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga
juga telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara atau
“constitutional rights”.29
Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights”
identik dengan “human rights”. Terdapat hak konstitusional warga negara (the
citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam
pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara
untuk menduduki jabatan dala m pemerintahan adalah “the citizen’s constitutional
rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena
itu, tidak semua “the citizen’s rights” adalah “the human rights”, akan tetapi dapat
dikatakan bahwa semua “the human rights” juga adalah sekaligus merupakan “the
citizen’s rights”.30
Pengertian-pengertian mengenai hak warga negara juga harus dibedakan
pula antara hak konstitusional dan hak legal. Hak konstitutional (constitutional
rights) adalah hak-hak yang dijamin di dalam dan oleh UUD 1945, sedangkan
hak-hak hukum (legal rights) timbul berdasarkan jaminan undang-undang dan
peraturan perundang-undangan di bawahnya (subordinate legislations). Setelah
28
Maruarar Siahaan, Hak Konstitusional dalam UUD 1945 , www.elsam.or.id, diunduh pada
tanggal 1 Oktober 2012
29
Jimly Assiddiqie, Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangan Penegakannya,
www.jimly.com, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012
30
Loc. cit
32
ketentuan tentang hak asasi manusia diadopsikan secara lengkap dalam UUD
1945, pengertian tentang hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dapat
dikaitkan dengan pengertian “constitutional rights” yang dijamin dalam UUD
1945. Selain itu, setiap warga negara Indonesia memiliki juga hak-hak hukum
yang lebih rinci dan operasional yang diatur dengan undang-undang ataupun
peraturan perundang-undangan lain yang lebih rendah. Hak-hak yang lahir dari
peraturan di luar undang-undang dasar disebut hak-hak hukum (legal rights),
bukan hak konstitusional (constitutional rights).
Menjadi Warga Negara Republik Indonesia menurut UUD 1945
mempunyai arti yang sangat penting dalam sistem hukum dan pemerintahan.
UUD 1945 mengakui dan menghormati hak asasi setiap individu manusia yang
berada dalam wilayah negara Republik Indonesia. Penduduk Indonesia, apakah
berstatus sebagai Warga Negara Indonesia atau bukan diperlakukan sebagai
manusia yang memiliki hak dasar yang diakui universal. Prinsip-prinsip hak asasi
manusia itu berlaku pula bagi setiap individu Warga Negara Indonesia. Bahkan, di
samping jamin an hak asasi manusia itu, setiap Warga Negara Indonesia juga
diberikan jaminan hak konstitusional dalam UUD 1945. 31
Sedangkan pengertian HAM menurut Undang-Undang nomor 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi
penghormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
31
Jimly
Assiddiqie,
Hak
Konstitusional
Perempuan
www.jimly.com, diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012
dan
Tantangan
Penegakannya,
33
1. Hak Asasi Manusia di Indonesia
a. Masa Demokrasi Parlementer
Hak asasi yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945
tidak termuat dalam suatu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam
beberapa pasal, terutama pasal 27-31, dan mencakup baik bidang
politik maupun ekonomi, sosial dan budaya, dalam jumlah terbatas
dan dirumuskan secara singkat. Perlu dicatat bahwa pada saat
Undang-Undang Dasar 1945 dirumuskan, Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia belum ada, dan dengan demikian tidak dapat dijadikan
rujukan. 32
Ternyata bahwa pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan,
ada perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi manusia dalam
negara demokrasi. Pertentangan tersebut disimpulkan antara kubu
M.Yamin disatu pihak, dengan kubu soepomo dan Soekarno di pihak
lain. Palam pandangan Soepomo, HAM sangat identik dengan idiologi
liberal-individu, dengan demikian sangat tidak cocok dengan sifat
masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah membayangkan kalau
negara yang berazazkan kekeluargaan akan terja di konflik atau
penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau pemerintah
merupakan suatu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah
tubuh yang sama. Yamin menolak pandangan demikian, menurutnya
tidak ada dasar apapun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak
memasukkan HAM dalam Undang-Undang Dasar yang mereka
rancang. Walhasil dari pertentangan tersebut dicapai kompromi untuk
memasukkan beberapa prinsip HAM kedalam UUD yang sedang
mereka rancang. Wujud dari kompromi tersebut adalah apa yang
diatur dalam UUD 1945. 33
Sementara itu dalam masyarakat cukup banyak kalangan yang
berpendapat bahwa hak asasi tidak merupakan gagasan liberal belaka,
sebab dalam menyusun dua undang-undang dasar berikutnya, yaitu
1949 dan 1950, ternyata hak asasi ditambah dan diperlengkap.
Undang-Undang Dasar 1949 merupakan undang-undang dasar yang
paling lengkap perumusannya dibanding dengan dua undang-undang
dasar lain. Dalam hubungan ini perlu disebut pendapat M.Yamin
dalam buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indones ia bahwa
Konstitusi RIS 1949 dan UUD RI 1950 adalah dua dari beberapa
konstitusi yang telah berhasil memasukkan hak asasi seperti keputusan
32
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010,
halaman 248.
33
Muladi, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep dan Implikasi dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat), Refika Aditama, Bandung, 2005, halaman 10
34
United Nation Organization (UNO atau PBB) itu kedalam Piagam
Konstitusi. 34
b. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan kembalin ya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya
hak asasi kembali terbatas jumlahnya. Di bawah presiden Soekarno
beberapa hak asasi, sperti hak mengeluarkan pendapat, secara
berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar didreidel,
seperti Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai dibubarkan,
seperti Masyumi dan PSI dan pemimpinnya, Moh.Natsir dan Syahrir
ditahan. Sementara itu, pemenuhan hak asasi ekonomi sama sekali
diabaikan; tidak ada garis jelas mengenai kebijakan ekonomi. Biro
Perancang Negara yang telah menyusun Rencana Pembangunan Lima
Tahun 1956-1961 dan melaksanakannya selama setahun dibubarkan.
Rencana itu diganti Rencana Delapan Tahun, yang tidak pernah
dilaksanakan. Perekonomian Indonesia mencapai titik terendah.
Akhirnya pada tahun 1966 Demokrasi Terpimpin diganti dengan
Demokrasi Pancasila atau Orde Baru. 35
c. Masa Demokrasi Pancasila
Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi
uang yetmuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis
Permusyawaratan rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian
menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia serta
Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang
MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan
sebagai bahan acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang
telah selesai merumuskan hak asasi secara terperinci, tetapi
dibubarkan pada tahun 1959. 36
Rancangan piagam MPRS, disamping mencakup hak politik dan
ekonomi, juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara.
Akan tetapi, karena masa sidang yang telah ditetapkan sebelumnya
sudah berakhir, maka Rancangan Piagam tidak jaadi dibicarakan
dalam sidang pleno. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan
Hak Asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami
perubahan.
34
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman
249.
35
Ibid, halaman 250.
36
Loc.cit
35
Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk
menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain
kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar.
Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan
ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin
Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers(SIUPP). Telah
terjadi pembreidelan terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah
Tempo, Detik, Editor (1994). Konflik di Aceh dihadapkan dengan
kekerasan militer melalui Derah Operasi Militer (DOM). Banyak
kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Periok (1984)
dan Peristiwa Trisakti. Akhirnya presiden Soeharto dijatuhkan oleh
para mahasiswa pada bulan Mei tahun 1998, dan masa reformasi di
mulai. 37
d. Masa Reformasi
Dalam masa reformasi Indonesia meratifikasi dua Konvensi Hak
Asasi Manusia yang penting, yaitu Konvensi Menentang Penyiksaan
dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi,
atau Merendahkan, dan Konvensi Internasional Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial.
Terutama dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, pada
masa ini hak ini benar-benar dapat terlaksana. Hal ini dibuktikan
dengan
banyaknya
diskusi,
ataupun
seminar-seminar
yang
mengkritik pemerintah. Begitu juga media massa dalam talk shownya dan berbagai LSM. Lewat berbagai demonstrasi, baik
presiden Habibie maupun presiden Abdurahman Wahid meletakkan
jabatan karena arus demonstrasi.
Tahun-tahun pertama reformasi ditandai oleh konflik horizontal,
antara lain di Ambon, Poso, dan Kalimantan, dimana pelanggaran
hak asasi manusia dilakukan oleh kelompok masyarakat sendiri.
37
Ibid, halaman 251
36
Aparat penegak hukum nampaknya tidak mampu atau tidak bersedia
menangani berbagai sengketa ini. Akan tetapi, di dalam masa
reformasi ini hak asasi ekonomi telah mengalami kemunduran tajam.
Beberapa kemajuan yang telah tercapai dibidang pertumbuhan
ekonomi, pemberantasan pengangguran, dan pendapatan perkapita
mengalami kemunduran.
D. Partai Politik
1. Pengertian Partai Politik
Manurut pengertian dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2011, Partai Politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara
sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita -cita untuk
memperjuangkan
dan
membela
kepentingan
politik
anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu
kelompok terorganisir yang anggota -anggotanya mempunayi orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah
memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
37
(biasanya)
dengan
programnya.
38
cara
konstitusional
untuk
melaksanakan
Sigmund Neuman dalam buku karnyanya, Modern Political
Parties, mengemukakan definisi sebagai berikut : partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebur dukungan rakyat melalui
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the
articulate organization of society’s active political agents; those who
are concerned with the control og govermental polity power, and who
compate for popular support with other group or groups holding
divergent views.)39
Prof. Carl J. Friedrich dalam bukunya Constitutional Goverments
and Democracy merumuskan bahwa “partai politik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan
untuk menjamin dan mempe rtahankan pemimpin-pemimpinnya, tetap
mengendalikan pemerintahan dan lebuh jauh lagi memberikan
keuntungan-keuntungan terhadap anggota partai baik materiil maupun
spiritual”.40
Melihat rumusan-rumusan diatas jelaslah bahwa tujuan partai
politik ialah mengua si negara atau pemerintahan baik secara
parlementer maupun ekstra parlementer, atau dengan kata lain baik
secara konstitusionil yaitu ikut serta dalam pemilihan umum dan
secara inkonstitusional yaitu dengan cara revolusi atau coup d’etat. 41
2. Sejarah Partai Politik
Partai Politik pertama-tama lahir di negara-negara Eropa Barat
seperti Inggris dan Perancis pada akhir abad 18-an. Kegiatan-kegiatan
politik dipusatkan pada kelompok-kelompok politik dalam parlemen.
Kegiatan
ini
mula -mula
bersifat
elitis
dan
Aristokratis,
mempertahankan kepentingan kaum bangsawan terhadap tuntutantuntutat raja. Dengan meluasnya hak pilih, maka kegiatan politk juga
berkembang di luar parlemen dengan terbentuknya panitia -panitia
38
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman
404
39
Loc.cit
40
Sukarna, Sistem Politik, Alumni, Bandung, 1981, halaman 89
41
Ibid, halaman 90
38
pemilihan yang mengatur pengumpulan suara para pendukungnya
menjelang masa pemilihan umum.
Maka pada akhir abad ke-19
lahirlah partai politik, yang pada masa selanjutnya berkembang
menjadi penghubung (link) antara rakyat di satu pihak dengan
pemerintah di pihak lain.
Partai semacam ini dalam prakteknya hanya mengutamakan
kemenangan dalam pemilihan umum, sedangkan pada masa antara dua
pemilihan umum biasanya kurang aktif. Partai ini dinamakan
patronage party (partai lindungan yang dapat dilihat dalam rangka
patron client relationship ), yang juga bertindak semacam broker.
Partai mengutamakan kekuasaan berdasarkan keunggulan jumlah
anggota, maka itu ia sering dinamakan partai massa.
Dalam perkembangan selanjutnya di dunia Barat timbul pula partai
yang lahir di luar parlemen. Partai-partai ini kebanyakan bersandar
pada suatu asas atau ideologi atau weltanschauung tertentu seperti
sosialisme, fasisme, komunisme, kristen demokrat, dan sebagainya.
Dalam partai semacam ini disiplin partai lebih ketat. Pemimpin partai
yang biasanya sangat sentralitas menjaga kemurnian doktrin politik
yang dianut dengan jalan mengadakan saringan terhadap calon
anggotanya dan memecat anggota yang menyimpang dari garis partai
yang telah ditetapkan. Pendidikan kader sangat diutamakan dalam
partai jenis ini. Partai kader biasanya lebih kecil dari partai massa.
39
Pada masa menjelang Perang dunia I telah timbul klasifikasi partai
berdasarkan ideologi dan ekonomi, yaitu partai “kiri” dan “kanan”.
Pembagian ini berasal dari Revolusi Perancis waktu parlemen
mengadakan sidang pada tahun 1879. Para pendukung raja dan struktur
tradisional duduk di sebelah kanan panggung ketua, sedangkan mereka
yang ingin perubahan dan reformasi duduk di sebelah kiri.
Tabel 1
Pembedaan Ideoligi “Kiri” dan “Kanan”
“Kiri”
“Kanan”
•
Perubahan, kemajuan.
•
Status quo
•
Kesetaraan
•
Privilege (untuk lapisan
(equality )
untuk lapisan bawah.
•
Campur
tangan
(dalam
negara
atas)
•
Pasar bebas
•
Kewajiban
kehidupan
sosial/ekonomi)
•
Hak
Menjelang Perang Dunia ke II, ada kecenderungan pada partaipartai politik di dunia Barat untuk meninggalkan tradisi membedakan
antara berbagai jenis partai. Hal ini disebabkan karena keinginan partai
kecil untuk menjadi partai besar dan menang dalam pemilihan umum,
partai- partai itu menyadari bahwa untuk memenangi pemilu mereka
perlu dukungan besar dari pemilih dengan merangkul pemilih tengah.
40
Karena perkembangan ini, telah timbul sejenis partai modern yang
oleh Otto Kirchimer disebut partai catch all. Yaitu partai yang ingin
menghimpun semaksimal mungkin dukungan dari bermacam-macam
kelompok masyarakat dan dengan sendirinya menjadi lebih inklusif.
Ciri khas dari partai semacam ini adalah terorganisasi secara
profesional
dengan
staff
yang
bekerja
penuh
waktu,
dan
memperjuangakan kepentingan umum daripada kepentingan satu
kelompok saja. Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) adalah contoh dari partai catch all.
3. Klasifikasi Sistem Kepartaian
Banyak ahli yang memberikan klasifikasinya tentang partai
politik, hanya saja, yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem
kepartaian sebagaimana dijelaskan oleh Maurice Duverger. Sistem
kepartaian (Party System) pertama kali dijelaskan oleh Maurice
Duverger dalam bukunya Political Parties. Duverger mengklasifikasi
sistem kepartaian dalam tiga kategori, sistem partai-tunggal, sistem
dwi-partai, dan sistem multi-partai.
a. Sistem Partai Tunggal
Istilah ini telah tersebar luas di kalangan masyarakat dan
dipakai baik untuk partai yang benar-benar merupakan satusatunya partai dalam suatu negara maupun untuk partai yang
mempunyai kedudukan dominan di antara beberapa partai lain.
41
Pola partai tunggal terdapat di beberapa negara: Afrika,
China, dan Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan
beberapa negara Eropa Timur terdapat dalam kategori ini. Suasana
kepartaian dinamakan non kompetitif karena se mua partai harus
menerima pimpinan dari partai yang dominan, dan tidak
dibenarkan bersaing dengannya.
42
Terutama di negara-negara
yang baru merdeka, ada kecenderuangan kuat untuk memakai pola
partai tunggal karena pimpinan dihadapkan pada kondisi
bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta
suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya.
Di Indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai
tunggal sesuai dengan pemikiran yang pada saat itu banyak dianut
di negara -negara ya ng baru melepaskan diri dari rezim kolonial.
Diharapkan partai itu akan menjadi “motor perjuangan”. Akan
tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum
terbentuk secara kongkret. Penolakan ini antara lain disebabkan
karena dianggap berbau fasis. 43
b. Sistem Dwi Partai
Dalam sistem ini, partai-partai dengan jelas dibagi dalam
partai yang berkuasa (karena menang dalam pemilihan umum) dan
partai oposisi (karena kalah dalam pemilihan umum). Dalam
persaingan memenangkan pemilihan umum, kedua partai berusaha
untuk merebut dukungan orang-orang yang ada ditengah dua
partai dan yang sering dinamakan pemilih terapung (floating vote)
atau pemilih di tengah (median vote ). Dewasa ini hanya beberapa
42
43
Ibid, halaman 415
Ibid, halaman 416
42
negara yang memiliki ciri-ciri sistem dwi partai, yaitu Inggris,
Amerika Serikat, Filipina, Kanada, dan selandia Baru. Oleh
Maurice Duverger malahan dikatakan bahwa sistem ini adalah
khas Anglo Saxon .
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling
ideal dalam menjalankan sistem dwi partai ini. Partai buruh dan
partai konservatif boleh dikatakan tidak mempunyai pandangan
yang jauh berbeda mengenai azaz dan tujuan politik, dan
perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu menganggu
kontinuitas kebijakan pemerintahan. Perbedaan yang pokok antara
kedua partai hanya berkisar pada cara serta kecepatan
melaksanakan berbagai program pembauran yang menyangkut
masalah sosial, perdagangan dan industri. Partai buruh lebih
condong agar pemerintah melaksanakan pengendalian dan
pengawasan terutama di bidang ekonomi, sedangkan partai
Konservatif cenderung memilih cara-cara kebebasan berusaha. 44
Di Indonesia pada tahun 1968 ada usaha untuk mengganti
sistem multi partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi
partai agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang
telah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa ekses
dirasakan menghalangi badan eksekutif untuk menyelenggarakan
pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi partai ini,
sesudah diperkenalkan di beberapa wilayah, ternyata mendapat
tantangan dari parta i-partai yang merasa terancam eksistensinya.
Akhirnya gerakan ini dihentikan pada tahun 1969. 45
c. Sistem Multi Partai
Sistem multi partai ditemukan antara lain di Indonesia,
Malaysia, Nederland, Australia, Perancis, Swedia, dan Federasi
Rusia.
Sistem multi partai, apalagi apabila dihubungkan dengan
sistem parlementer, mempunyai kecenderungan untuk menitik
beratkan kekuasaan pada badan legislatif, sehingga peren badan
44
45
Ibid, halaman 417
Loc.cit
43
eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Di lain pihak, partai-partai
oposisi pun kurang memainkan peranan yang jelas karena
sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak untuk duduk
dalam pemerintahan koalisi baru. Dalam sistem semacam ini
masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai
jenis sistem multi partai. Sistem ni telah melalui beberapa tahap
dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai tahun 1989
indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi partai
yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu,
sambil menghindari unsur negatifnya.
E. Pemilihan Umum (Pemilu)
Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 8 tahun 2012
tentang Pemilihan Umum Anggora Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah, Pemilihan Umum, selanjutnya
disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indones ia Tahun 1945.
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum
dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada dua prinsip
pokok, yaitu single member constituency (satu pemilihan satu daerah memilih satu
44
wakil;biasanya disebut sistem distrik) dan multi member constituency (satu daerah
pemilihan memiliki beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan
berimbang).
a. Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan
didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang
biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk
keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah
wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah
distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang
terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada
calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak
diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Jadi,
tidak ada sistem menghitung suara lebih seperti yang dikenal dalam
Sistem Perwakilan Berimbang. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah
suara 100.000, ada dua calon, yakni A dan B. Calon A memperoleh
60.000 dan B 40.000 suara. Maka calon A memperoleh kemenangan,
sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem
pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serika dan India.
Sistem
beberapa kelemahan :
“Single
Member Constituency” mempunyai
45
1. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan
golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam
beberapa distrik.
2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah
dalam
suatu
distrik,
kehilangan
suara -suara
yang
telah
mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak
diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang
mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai
jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongangolongan yang merasa dirugikan.
Di samping kelemahan-kelemahan tersebut di atas ada banyak se gi
positifnya, yang oleh negara-negara yang menganut sistem ini dianggap
lebih menguntungkan daripada sistem pemilihan lain:
1.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal
oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk
distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk
memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula, kedudukannya
terhadap partainya. akan lebih bebas, oleh karena dalam pemilihan
semacam ini faktor personalitas dan ke pribadian seseorang
merupakan faktor yang penting.
2.
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik
karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan
hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk me-
46
nyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru
dapat sekedar dibendung, sistem ini mendorong ke arah penyederhanaan partai tanpa diadakan paksaan. Maurice Duverger
berpendapat bahwa dalam negara seperti Inggris dan Amerika.
sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwipartai.
3.
Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan
mempertingkat stabilitas nasional.
4.
Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
b. Sistem Perwakilan Berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan
dari sistem distrik. Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi Yang
diperoleh oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan
jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan sesuatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000, yang berarti bahwa sejumlah pemilih tertentu (dalam hal ini 400.000 pemilih) mempunyai
satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Jumlah total anggota dewan perwakilan rakyat ditentukan atas dasar perimbangan (1 :
400.000) itu. Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan yang
besar, akan tetapi untuk keperluan teknis-administratif dibagi dalam
beberapa daerah pemilihan yang besar (yang lebih besar dari pada
distrik dalam Sistem Distrik), di mana setiap daerah pemilihan
47
memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam
daerah pemilihan itu. Jumlah wakil dalam setiap daerah pemilihan
ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemilihan itu, dibagi
dengan 400.000.
Dalam sisitim ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh oleh sesuatu partai atau golongan dalam sesuatu
daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima
oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain. untuk
menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi
tambahan.
Sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan
beberapa prosedur lain antara lain dengan Sistem Daftar (List System).
Dalam Sistem Daftar setiap partai atau golongan mengajuktin satu
daftar calon dan si pemilih memilih salah satu daftar darinya dan
dengan demikian memilih satu partai dengan semua calon yang
diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang
direbutkan. Sistem Perwakilan Berimbang dipakai di Negeri Belanda,
Swedia, Belgia, Indonesia tahun 1955 dan 1971 dan 1976.
Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan:
1.
Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partaipartai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacammacam golongan dalam masyarakat; mereka lebih cenderung untuk
mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong
48
untuk
mencari
Umumnya
dan
dianggap
memanfaatkan
bahwa
sistem
persamaan-persamaan.
ini
mempunyai
akibat
memperbanyak jumlah partai.
2.
Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan
kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah mernilih nya.
Hal ini disebabkan oleh karena diangga p bahwa dalam pe milihan
semacam
ini
partai
lebih
menonjol
peranannya
daripada
kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan pimpin an
partai.
3.
Banyaknya partai mempersukar terbentuknya pemerintah yang
stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi
dari dua partai atau lebih.
Di samping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu
keuntungan yang besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif
dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis
tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecil
pun, dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat.
Masyarakat yang heterogeen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada
sistem ini, oleh karena dianggap lebih menguntungkan bagi
masing-masing golongan.
49
F. Affirmatif
Affirmatf atau di Eropa dikenal sebagai diskriminasi positif menunjuk
kepada kebijakan yang bertujuan untuk menyebarluaskan akses
ke pendidikan atau pekerjaan bagi kelompok non-dominan secara sosial-politik
berdasarkan sejarah (terutama minoritas atau perempuan). Motivasi untuk aksi
afirmatif adalah mengurangi efek diskriminasi dan untuk mendorong institusi
publik seperti universitas, rumah sakit, dan polisi untuk lebih dapat mewakili
populasi. 46
Langkah-tindak atau tindakan khusus sementara (pasal 4 (1) konvensi
Perempuan), yaitu langkah tindak yang dilakukan untuk mencapai kesetsaraan
dalam kesempatan dan perlakuan bagi perempuan dan la ki-laki, dan
mempercepat kesetaraan defacto antara laki-laki dan perempuan. 47
Dukungan terhadap affirmatif
juga terdapat dalam Pasal 46 Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yaitu “Sistem
pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem
pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita
sesuai persyaratan yang ditentukan”.
G. Legislatif
Legislatif adalah badan
deliberatif pemerintah dengan
kuasa
membuat hukum.
Legislatif
dikenal
dengan
beberapa
nama,
yaitu parlemen, kongres, dan asembli nasional. Dalam sistem Parlemen, legislatif
adalah badan tertinggi dan menujuk eksekutif. Dalam sistem Presidentil, legislatif
adalah cabang pemerintahan yang sama, dan bebas, dari eksekutif. Sebagai
tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk
menaikkan pajak dan menerapkan budget dan pengeluaran uang lainnya.
Legislatif juga kadangkala menulis perjanjian dan memutuskan perang. 48
46
http://id.wikipedia.org, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012
Achie Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan : UU No. 7 tahun 1984
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
Buku Obor, Jakarta, 2007, halaman 137
47
48
http://id.wikipedia.org, diunduh pada tanggal 5 Oktober 2012
50
Berdasarkan UUD 1945 hasil perubahan, kekuasaan legislatif ada di DPR,
(pasal 20 ayat (1)) bukan MPR atau DPD. Kekuasaan pada DPR diperbesar
dengan diantaranya : DPR diberikan kekuasaan memberikan pertimbangan kepada
presiden dalam mengangkat Duta Besar dan menerima penempatan Duta Besar
lain (pasal 13 ayat (2) dan (3)); memberikan amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat
(2)), DPR juga diberikan kekuasaan dalam bentuk pemberian persetujuan apabila
Presiden hendak membuat perjanjian dengan negara lain, menyangkut bidang
perekonomian, perjanjian damai, menyatakan perang serta perjanjian internasional
lainnya yang berpengaruh terhadap integritas wilayah (pasal 11 ayat (2) dan (3)).
DPR juga diberi hak budget (pasal 23 ayat (3)), memilih anggota BPK, dengan
memperhatikan saran DPD (pasal 23F ayat (1)), memberikan hak persetujuan
dalam hal presiden mengangkat atau memberhentikan anggota Komisi Yudisial
(pasal 24B ayat (3)), menominasikan tiga orang hakim mahkamah konstitusi
(pasal 24C ayat (3)). 49
Di dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, ditegaskan bahwa DPR terdiri atas
anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasar hasil
pemilihan umum. Anggota DPR berjumlah lima ratus lima puluh orang,
keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden. Masa jabatan anggota
DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru
mengucap sumpah/ janji. 50
49
Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta,
2007, halaman 108
50
Loc.cit
51
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis
dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas dengan pendekatan perundang-undangan. Pendekatan perundangundangan digunakan karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.
B. Pendekatan Masalah
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yuridis normatif ini ada 3
pendekatan, yaitu:
a. Pendekatan Undang-Undang (Statute Aproach)
Pendekatan Undang-Undang adalah pendekatan yang dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang yang bersangkut paut dengan
permasalahan hukum yang diteliti. 51
b. Pendekatan Konsepsional (Conceptual approach).
Pendekatan konsepsional adalah pendekatan yang menggunakan
pandangan dan doktrin dari ilmu hukum dalam mengkonsepsikan
51
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif, Kencana, Jakarta, 2010, halaman 93
52
permasalahan hukum yang tidak diatur dalam peraturan hukum yang
ada.52
c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Hukum pada masa kini dan pada masa lampau merupakan suatu
kesatuan yang berhubungan erat, sambung menyambung dan tidak
putus sehingga dikatakan bahwa kita dapat memahami hukum pada
masa kini dengan mempelajari sejarah. Mengingat tata hukum yang
berlaku sekarang mengandung anasir-anasir dari tata hukum yang silam
dan membentuk tunas-tunas tentang tata hukum pada masa yang akan
datang.
C. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang selain
melukiskan keadaan, obyek, atau peristiwa juga keyakinan tertentu akan diambil
kesimpulan-kesimpulan dari obyek persoalan yang dikaitkan dengan teori-teori
hukum dan praktek hukum positif yang menyangkut permasalahannya.
D. Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat :
1. Peraturan Dasar, yaitu UUD 1945;
2. Peraturan perundang-undangan.
52
Ibid, hal 137
53
b. Bahan Hukum Sekunder
Yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, seperti misalnya, rancangan undang-undang, hasil-hasil
penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 53
c. Bahan Hukum Tersier
Yakni
bahan
yang
memberikan
petunjuk
maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya
adalah kamus, enslikopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.
54
E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dengan cara melakukan inventarisasi
peraturan
undang-undang
yakni,
Dalam
penelitian
ini
peneliti
hanya
menggunakan data sekunder belaka, dan metode yang digunakan untuk proses
pengumpulan data ialah dengan studi kepustakaan, in ternet browsing, telaah
artikel ilmiah, telaah karya ilmiah sarjana dan studi dokumen, termasuk di
dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar dan dokumen resmi lainya
yang relevan dengan masalah yang diteliti kemudian diidentifikasi dan dipelaja ri
sebagai satu kesatuan yang utuh.
F. Metode Penyajian Bahan Hukum
Bahan-bahan penelitian yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk teks
deskriptif naratif yang disusun secara sistematis sebagai suatu kesatuan yang utuh,
53
Soeryono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali
Press, Jakarta, 1986, halaman 15
54
Loc.Cit
54
yang didahului dengan pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan diteruskan dengan analisa
bahan, dan hasil pembahasan serta diakhiri dengan simpulan.
G. Metode Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang telah diperoleh dan diinventarisir akan dianalisis secara
kualitatif , yaitu analisis yang dilakukan dengan memahami dan merangkai bahan
hukum yang telah dikumpulkan dan disusun secara sistematis yang akhirnya akan
ditarik kesimpulan pada karya tulis ini.
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Makna Ratifikasi Convention of the Elimination of All Forms of
Discrimination
Againts
Women
(CEDAW)
atau
Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Dalam upaya melindungi hak perempuan,
secara historis,
perjuangan penegakan hak perempuan baik secara internasional maupun
lokal Indonesia, mengalami perjalanan panjang hingga melahirkan
Konvensi Perempuan. Sebelumnya, Indonesia pun telah meratifikasi
Perjanjian mengenai Hak Politik Perempuan (Convention of the Political
Right of Women). Kemudian pada tahun 1993, Indonesia telah menerima
Deklarasi Wina yang sangat mendukung kedudukan perempuan. Deklarasi
Wina sangat mendukung pemberdayaan perempuan. Pasal 1, 18
menyatakan bahwa “Hak asas i perempuan serta anak adalah bagian dari
hak asasi yang tidak dapat dicabut (inalienable), integral dan tidak dapat
dipisahkan (indivisible )”.
Kemudian untuk mamantapkan perjuangan hak-hak perempuan,
Indonesia kemudian meratifikasi Convention of the Elimination of All
Forms of Discrimination Againts Women (CEDAW) atau Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menjadi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
56
Penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Pasal 1 undang-undang
ini memberikan jaminan bagi perempuan agar perempuan tidak
memperoleh diskriminasi atau dengan kata lain pasal ini menghendaki
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan “Untuk tujuan Konvensi
ini, istilah: “diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan,
pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang
mempunyai dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan
pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan
kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau bidang lainnya oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan
mereka, atas dasar kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”. Dan
undang-undang ini juga menghendaki adanya tindakan khusus dalam
rangka perjuangan hak perempuan seperti dijelaskan dalam pasal 4 ayat
(1) “Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh Negara-negara
Peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara lakilaki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana
didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan
dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini
seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan
kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dic apai”
Ketentuan pasal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam UUD
1945, jadi meskipun konvensi ini merupakan konvensi internasional yang
kaedah-kaedahnya berasal dari luar, isi substansi yang berkaitan dengan
57
perjuangan hak perempuan dapat diterima di Indonesia. Berarti ketentuan
konvensi dapat “dieksekusi” di Indonesia.
Dilihat dari aspek gender. Konvensi ini dapat dikatakan sebagai
gerekan perempuan dengan aliran liberal. Terori ini mendasarkan dirinya
pada teori Hukum Alam dari John Locke, bahwa pada dasarnya memiliki
hak yang sama baik laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, dalam
prakteknya, pemenuhan hak-hak ini, yang merupakan hak asasi hanya
dapat dinikmati sepenuhnya oleh laki-laki, sedangkan perempuan tidak
dapat menikmati pemenuhan hak-hak ini. Hal ini disebabkan kondisi
rasionalitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perempuan
dianggap lebih rendah rasionalitasnya daripada laki-laki, oleh karena itu
perempuan tidak diberikan secara penuh hak-haknya. Hal ini lah terjadi di
barat sampai dengan awal abad ke-20.
Beberapa feminis teoritis awal berusaha untuk memasukkan ide
bahwa perempuan juga merupakan makhluk yang sama dengan laki-laki,
dan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Sehingga tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Feminis liberal memberi
landasan teori bahwa laki-laki sama dengan perempuan, hanya saja karena
perempuan dibuat bergantung pada laki-laki, maka rasionalitasnya
menurun dan menonjolkan aspek emosional. Apabila perempuan tidak
bergantung pada laki-laki dan tidak berkiprah domestik, maka perempuan
akan menjadi sama rasionalitasnya dengan laki-laki.
58
Gerakan perempuan barat akhirnya merambat juga ke Indonesia
melalui konvensi ini, karena menurut feminisme liberal, tidak ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan sehingga tidak boleh ada
diskriminasi antara keduanya. Salah satu contohnya adalah dalam ranah
hukum perkawinan, karena memang feminisme liberal juga menyoroti
hukum perkawinan atau pun isntitusi keluarga. Oleh karena itu salah satu
pemikir feminis teoritis awal John Stuart Mill, dalam bukunya The Subject
of Women (1869) mengkritik pekerjaan perempuan di sektor domestik
sebagai pekerjaan irasional, emosional, dan tiranis. Secara a contrario Mill
mengajak kaum perempuan untuk merebut hak-haknya diranah publik
seperti ranah politik salah satunya.
Dalam gerakannya, feminisme liberal memang memfokuskan
perjuangan gerakan perempuan dalam aspek hukum. Hal ini bertujuan
untuk menjamin agar hak perempuan dapat terjamin pelaksanaannya.
Perjuangan dalam aspek hukum tentu saja sangat menonjol dalam ikhwal
hukum yang mengatur institusi perkawinan. Institusi perkawinan
mendapat perhatian utama dikarenakan dalam institusi ini seringkali
dianggap bahwa kepala rumah tangga adalah laki-laki, hal ini juga masih
berlaku di Indonesia. Karena pandangan semacam inilah seringkali
gerakan perjuangan perempuan seringkali berhadapan dengan feminisme
Islam.
Dengan diiratifikasinya CEDAW menjadi Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1984, maka secara de yure Indonesia telah menyepakati untuk
59
meniadakan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, hal ini sesuai
dengan isi pasal 1 CEDAW “Untuk tujuan Konvensi ini, istilah:
“diskriminasi terhadap perempuan” berarti segala pembedaan, pengucilan
atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai
dampak atau tujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengakuan,
penikmatan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya
oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan”.
Pemerintah
Indonesia
juga
telah
bersepakat
untuk
memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dan untuk melakukan
tindakan khusus dalam rangka perjuangan hak-hak perempuan Indonesia,
karena hal tersebut juga merupakan muatan dari CEDAW dalam Pasal 3
“Negara -negara Peserta wajib melakukan segala langkah-tindak yang
diperlukan, khususnya dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan budaya,
termasuk membuat peraturan perundang-undangan, untuk memastikan
perkembangan dan pemajuan perempuan sepenuhnya, dengan tujuan untuk
menjamin bagi mereka penerapan dan penikmatan hak-hak asasi dan
kebebasan fundamental atas dasar kesetaraan dengan laki-laki”. Juga
tercantum dalam pasal Pasal 4 ayat (1) ” Penerapan tindakan-tindakan
khusus sementara oleh Negara-negara Peserta yang ditujukan untuk
mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak
dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi
60
ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar
yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus
dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan
telah dicapai”. Serta pasal Pasal 5 ”Negara-negara Peserta wajib
melakukan langkah-langkah-tindak yang tepat: (a) Untuk mengubah pola
tingkah-laku sosial dan budaya laki- laki dan perempuan, dengan maksud
untuk mencapai penghapusan prasangka dan kebiasaan dan segala praktek
lainnya yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis
kelamin atau peran-peran stereotip laki-laki dan perempuan”.
2. Penentuan Kuota Perempuan dalam Kepengurusan Partai Politik dan
Pencalonan Legislatif
Hak konstitusional warga negara Indonesia yang juga merupakan
hak asasi manusia telah diakomodir secara jelas dalam UUD 1945 sebagai
dasar hukum tertinggi yang berlaku di Indonesia. Sebagai dasar hukum
tertinggi tentu saja aturan ini memayungi segala perundangan di
bawahnya. Dalam ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 sering kali
didengan frasa “setiap orang”, “segala warga negara”, ataupun “setiap
warga negara”. Hal ini menunjukan bahwa ketentuan dalam UUD 1945
ditujukan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan
apapun, atau dengan kata lain, ketentuan ini berlaku baik untuk laki-laki
maupun untuk perempuan. Hak-hak tersebut diakui dan dijamin untuk
setiap warga negara baik laki-laki maupun perempuan.
61
Dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Segala
warga
negara
bersamaan
kedudukannya
di
dalam
hukum
dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya”. Pemerintah disini dapat diartikan sebagai
pemerintah dalam arti luas yang meliputi eksekutif, legislatif, dan
yudikatif.
Dari situ nampak bahwa pasal tersebut telah ber sifat emansipatif
bagi semua warga negara. Hanya saja, emansipastif belum tentu peka
gender. Apabila hanya berhenti pada pasal itu, maka hak perempuan dalam
berpolitik tentu belum dapat diperjuangkan dikarenakan permasalahan
utama bukan terletak pada terbukanya kesempatan melainkan pada
dorongan baik dari masyarakat maupun dari institusi bagi perjuangan hak
politik perempuan. Karena yang menjadi soal adalah pandangan sosial
masyarakat terhadap perempuan dalam ranah politik, masyarakat
beranggapan bahwa politik bukan merupakan wilayah yang pantas untuk
dimasuki perempuan.
Hal ini perlu disadari bahwa pemenuhan hak konstitusional warga
negara berangkat dari kondisi masyarakat yang sungguh beragam, karena
memang bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang maje muk.
Meskipun secara de yure segala kesempatan telah terbuka bagi semua
elemen masyarakat, namus secara de facto beberapa elemen masyarakat
kesulitan untuk mengakses beberapa hak yang sebenarnya telah terbuka
dan emansipatif. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa struktur sosialah
62
yang menjadi faktor yang meminggirkan golongan masyarakat tertentu
dalam mengakses hak-haknya.
Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan
berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”. Pasal ini memberikan angin segar dan memperkokoh
ketentuan dalam pasal 28H UUD 1945.
Namun, dalam perlindungan dan pemenuhan hak konstitutif yang
tidak mempertimbangkan adanya perbedaan dalam masyarakat justru akan
semakin memperjauh atau bahkan mempertahankan perbedaan yang sudah
ada dalam masyarakat. Dalam pemenuhan hak konstitusional, seringkali
diperlukan suatu tindakan khusus terhadap kelompok tertentu. Tindakan
ini dila kukan dengan tujuan agar setiap warga negara memperoleh
perlindungan dan kemampuan yang sama dalam rangka perlindungan dan
pemenuhan
hak
konstitusionalnya.
Oleh
karena
itu
UUD
1945
mengakomodir kebutuhan itu dalam pasal 28H ayat (2) “Setiap orang
berhak me ndapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan
keadilan”. Kebijakan ini adalah kebijakan yang sering disebut dengan
affirmatif.
Dalam kebijakan ini, salah satu kelompok masyarakat yang
memerlukan tindakan khusus dalam rangka melindungi dan mewujudkan
hak konstitusionalnya adalah perempuan. Posisi perempuan dalam
63
masyarakat seringkali diletakan dibawah laki-laki. Namun meskipun hakhaknya telah diakomodir dalam perundang-undangan, seringkali hak
tersebut sulit untuk diakses. Hal ini diakibatkan karena pandangan yang
bias gender terhadap perempuan yang mengakibatkan terjadinya
diskriminasi gender secara de facto meskipun hal ini telah dihilangkan
secara de yure. Stereotipe terhadap perempuan masih kuat berkembang di
masyarakat meskipun hak-hak perempuan telah emansipatif.
Dalam lingkup hukum, di Indonesia telah lahir beberapa undangundang yang responsif gender, contohnya adalah Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam undang-undang ini secara jelas nyata mengharuskan partai politik
menyertakan paling sedikit 30% perempuan dalam kepengurusannya, serta
mencalonkan paling sedikit 30% perempuan dari keseluruhan calon
anggota legislatif yang diikutsertakan dalam proses pemilihan umum.
Apabila dilihat dari aspek hak asasi manusia, yaitu dari UndangUndang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka
pengaturan
tentang
keterwakilan
perempuan
sudah
seirama
dan
merupakan pencerminan dari perjuangan hak asasi perempuan. Karena
memang dalam pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia secara eksplisit menyatakan bahwa sistem pemilihan
umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legsislatif dan sistem
64
pengangkatan dibidang eksekutif
dan yudikatif harus menjamin
keterwakilan perempuan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah perempuan Indonesia
mencapai 101.625.816 jiwa atau sekitar 51 persen dari seluruh jumlah
penduduk. Maka yang menjadi persoalan adalah, mengapa dari jumlah
pendudukan Indonesia yang kondisinya semacam ini justru hanya
mengatur
tentang
keterwakilan
perempuan
sebesar
30%
dalam
kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif, apalagi dari 30%
perempuan yang merupakan calon legislatif belum tentu akan tercapai
30% dari jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif.
Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
partai Politik dijelaskan bahwa Undang-Undang ini mengakomodasi
beberapa paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi
demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaruan yang mengarah pada
penguatan sistem dan kelembagaan Partai Politik, yang menyangkut
demokratisasi internal Partai Politik, transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan kesetaraan gender dan
kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional berbangsa dan
bernegara. Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan
politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban,
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa
65
dan bernegara. Untuk itu, pendidikan politik terus ditingkatkan agar
terbangun karakter bangsa yang merupakan watak atau kepribadian bangsa
Indonesia yang terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilainilai kebangsaan yang lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara
lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi
pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.
Dilihat secara historis, memang ini adalah undang-undang Partai
Politik pertama yang mencantumkan kuota affirmatif bagi perempuan, hal
ini membuktikan bahwa kesetaraan gender telah diakomodir disini dengan
wujud penentuan kuota bagi perempuan dengan tujuan perjuangan hak
konstitusional perempuan.
Dalam naskah akademik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik, disebutkan bahwa salah satu fungsi Partai Politik
adalah sebagai sarana pendidikan politik dan sarana rekrutmen politik,
pendidikan politik disini dimaknai bahwa partai politik akan mendidik
masyarakatnya agar memiliki kesadaran berpolitik yang memadai dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pendidikan politik ini
diharapkan akan menyadarkan masyarakat akan hak-haknya. Dimana
perempuan adalah salah satu bagian dari masyarakat yang juga perlu untuk
memperoleh hak-hak berpolitiknya terutama setelah adanya pengaturan
tersebut diatas.
Pendidikan politik juga erat kaitannya dengan rekrutmen politik
yang dilakukan oleh partai politik, karena partai politik tentu saja akan
66
merekrut kader-kader yang berkopenten untuk menjadi pengurus maupun
untuk dijadikan calon dalam bursa legislatif.
Bagi kaum feminis liberal, pendidikan memiliki posisi yang
strategis bagi persamaan tingkat rasionalitas antara laki-laki dan
perempuan. Pendidikan disini akan membuka pengetahuan politik ya ng
memang merupakan hak dari kaum perempuan agar dirinya dalam terlibat
dalam partai politik pada khususnya dan politik praktis pada umumnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
DPR, DPD, dan DPRD juga mengatur tentang keterwakilan perempuan
sebesar 30% dari jumlah keseluruhan calon anggota legislatif yang
dicalonkan oleh partai politik. Hanya saja, ketentuan ini tidak dapat
menjamin apakah jumlah perempuan yang berhasil menduduki kursi
legislatif apakah telah sesuai dengan ketentuan ata ukah belum.
Indonesia sebagai negara demokrasi, telah melalakukan beberapa
kali pemilihan umum dalam sejarah negaranya. Tercatat telah 10 (sepuluh)
kali pemilihan umum sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
pada 17 Agustus 1945. Pemilihan umum pertama tahun 1955 dan
pemilihan umum terakhir pada 2009 silam. Di awal tahun 2013 ini,
Indonesia tengah bersiap menghadapi pemilihan umum ke 13 (tiga belas)
pada 2014 mendatang.
Kesepuluh pemilu tersebut dilaksanakan dalam 3 (tiga) era
kepemimpinan, yakni masa orde lama, orde baru, dan reformasi. Selama
masa reformasi sendiri yang sedang kita rasakan saat ini, Indonesia telah
67
melakukan 3 (tiga) kali pemilihan umum, yakni tahun 1999, 2004, dan
2009.
Setiap kali menjelang pemilihan umum, selalu saja terjadi
perubahan undang-undang yang mengatur tentang partai politik dan
pemilihan umum. Pada pemilu tahun 1999, pelaksanaan pemilihan umum
diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan
Umum, sedangkan partai politik peserta pemilu diatur melalui UndangUndang Nomor 2 Tahun 1999.
Kemudian pemilihan umum 2004. Menjelang pemilihan umum
2004, undang-undang dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Undang-undang juga mengalami perubahan kembali menjelang
pemilihan umum 2009. Perubahan persebut menjadi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, dan Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Dan terakhir menjelang pemilihan umum 2014 mendatang,
undang-undang
juga telah disesuaikan oleh para anggota legislatif
menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD.
68
Dalam 2 (tiga) pemilu terakhir yang telah diselenggrakan di
Indonesia, perempuan mulai menerima perhatian dalam ranah politik.
Terbukti pada tahun 2004 telah diatur mengenai keterwakilan perempuan
dalam kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Ketentuan
tentang pengaturan ini disebut dengan affirmatif atau tindakan khusus
sementara dalam rangka mendorong agar perempuan dapat terwakili di
kepengurusan partai politik dan pencalonan legislatif. Tindakan ini bukan
merupakan diskriminasi.
Dalam pemilu tahun 1999, baik Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik maupun Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum belum ada yang mengatur tentang keterwakilan
perempuan.
Barulah pada pemilihan umum tahun 2004 diatur mengenai
keterwakilan
perempuan
dalam
kepengurusan
partai
politik
dan
pencalonan legislatif. Hal ini diatur melalui Pasal 13 ayat (3) UndangUndang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik “Kepengurusan
partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum
musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”.
Sedangkan
pengaturan
mengenai
keterwakilan
perempuan
dalam
pencalonan legislatif telah diatur secara lebh jelas dalam Pasal 65 ayat(1)
undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
DPR, DPD, dan DPRD “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat
69
mengajukan
calon
Anggota
DPR,
DPRD
Provinsi,
dan
DPRD
Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”.
Sedangkan dalam perhelatan pemilihan umum tahun 2009,
perempuan memiliki kuota baik dalam kepengurusan partai politik
maupun dalam pencalonan legislatif. Dalam kepengurusan partai politik
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik pasal 2 ayat (2) “Pendirian dan pembentukan Partai Politik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan”, serta dalam ayat (5) “Kepengurusan
Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun
dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan”. Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan
partai politik juga diatur dalam Pasal 20 “Kepengurusan Partai Politik
tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan
perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam
AD dan ART Partai Politik masing-masing”. Sedangkan mengenai
keterwakilan dalam pencalonan legislatif diatur dalam Pasal 8 ayat (1)
huruf d Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD “Menyertakan sekurang-kurangnya 30%
(tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai
politik tingkat pusat”. Kemudian dalam Pasal 53 “Daftar bakal calon
70
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga
puluh perseratus) keterwakilan perempuan”. Dan dalam pasal 55 ayat (2)
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap
3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
perempuan bakal calon”.
Kemudian undang-undang ini dirubah menjadi Undang-Undang
Nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, dan ketentuan 30% ini tidak
mengalami perubahan. Ketentuan juga tidak berubah dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD. Kedua undang-undang ini akan digunakan dalam
pemilihan umum tahun 2014 mendatang.
3. Keterwakilan Perempuan dalam Legislatif
Tabel 2
Jumlah Perempuan di DPR
Pemilu
Total Anggota
Jumlah Anggota
Persentase
DPR
Perempuan
1955
272
17
6,25
1971
460
36
7,83
1977
460
29
6,30
1982
460
39
8,48
1987
500
65
13,00
1992
500
62
12,50
71
1997
500
54
10,80
1999
500
45
9,00
2004
550
61
11,09
2009
560
101
17,86
Tabel 3
Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif
Nasional dan Provinsi Hasil Pemilu 2009
PROVINSI
L
%
P
%
Aceh
13
100
0
0
Sumatra Utara
28
93,3
2
6,7
Sumatra Barat
13
92,9
1
7,1
Riau
10
90,9
1
9,1
Jambi
1
33,33
2
66,7
Sumatra Selatan
4
57,1
3
42,9
Bengkulu
16
94,1
1
5,9
Lampung
3
100
0
0
Bangka Belitung
3
75
1
25
Kepulauan Riau
13
72,2
5
27,8
DKI Jakarta
16
76,2
5
23,8
Jawa Barat
70
76,9
21
23,1
Jawa Tengah
17
77,3
5
22,7
72
DI Yogyakarta
68
88,3
9
11,7
Jawa Timur
7
87,5
1
12,5
Banten
66
75,9
21
24,1
Bali
9
100
0
0
Nusa Tenggara Barat
10
100
0
0
Nusa Tenggara Timur
12
92,3
1
7,7
Kalimantan Barat
9
90
1
10
Kalimantan Tengah
6
75
2
25
Kalimantan Selatan
11
100
0
0
Kalimantan Timur
4
66,7
2
33,3
Sulawesi Utara
5
83,3
1
16,7
Sulawesi Tengah
5
83,3
1
16,7
Sulawesi Selatan
21
87,5
3
12,5
Sulawesi Tenggara
3
100
0
0
Gorontalo
4
80
1
20
Sulawesi Barat
2
66,7
1
33,3
Maluku
3
75
1
25
Maluku Utara
0
0
3
100
Irian Jaya Barat
7
70
3
30
Papua
2
66,7
1
33,3
Indonesia
461
82,3
99
17,7
73
Ketimpangan besar dalam keterwakilan perempuan di DPR, dan
lebih buruk lagi kondisi di DPRD, jelas menyalahi konsep mikrokosmos
lembaga perwakilan. Dalam konsep ini diandaikan bahwa lembaga
perwakilan terdiri atas berbagai karakter kelompok signifikan berdasarkan
seks, ras, dan kelas. Keadaan itu juga menyalahi model perwakilan
fungsional karena perempuan tidak memiliki juru bicara yang cukup
dalam pengambilan keputusan di lembaga perwakilan.
Itu artinya, jika perempuan Indonesia hanya diwakili oleh beberapa
orang saja, sebanyak 101 juta lebih perempuan Indonesia terdiskriminasi
oleh kebijakan DPR. Oleh karena itu, perlu dilakukan kembali pemaknaan
demokrasi perwakilan, dengan menekankan pentingnya politik kehadiran
(the political of presence), yaitu kesetaraan perwakilan antara laki-laki dan
perempuan, keseimbangan perwakilan di antara kelompok-kelompok yang
berbeda, dan melibatkan kelompok-kelompok termarjinalkan ke dalam
lembaga perwakilan.
Ketidakseimbangan
komposisi
anggota
legislatif
Indonesia
sekaligus menjadi representasi masyarakat patriarkhi, di mana laki-laki
mengatur kehidupan sesuai dengan kepentingan politik kelaki-lakiannya.
Dalam masyarakat patriarkhi, laki-laki mencegah perempuan memasuki
ruang publik, sementara mereka bolak-balik memasuki ruang privat dan
ruang publik dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mereka buat dan
menguntungkan dirinya.
74
Data diatas menunjukan bahwa ternyata jumlah perempuan yang
menduduki kursi legislatif masih kurang jka dibandingkan dengan jumlah
perempuan di Indonesia. Padahal telah ada affirmatif bagi terwujudnya
keterwakilan perempuan di legislatif.
Meskipun rata-rata, dari periode ke periode jumlah perempuan di
legislatif mengalami kenaikan, tetapi jumlah ini masih juga belum
mewakili perempuan. Dibawah ini adalah tabel sejarah kepartaian
Indonesia untuk lebih memahami sejarah kepartaian yang berpengaruh
terhadap jumlah perempuan di legislatif.
4. Kendala Keterwakilan Perempuan
Masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat dengan adat
timur seringkali menganggap bahwa dunia politik adalah ranah laki-laki,
sehingga tidak selayaknya perempuan masuk ke dunia politik. Pemikiran
semacam ini sebenarnya merupakan suatu pemikiran yang bias gender
atau mencampur adukkan antara gender dan jenis kelamin. Padahal
diantara keduanya berbeda.
Permasalahan ini seringkali menjadi masalah pula bagi Partai
Politik dalam merekrut kader-kader perempuan yang berkualitas. Ini
menunjukan bahwa pendidikan politik masyarakat khususnya kaum
perempuan masihlah kurang atau terlalu minim. Karena pangangan yang
bias gender bahwa dunia politik adalah milik laki-laki akan menghambat
75
affirmatif itu sendiri, meskipun telah dibuat suatu regulasi yang berpihak
kepada perempuan.
Namun kondisi ini menunjukan bahwa sesungguhnya Partai Politik
sendiri telah gagal dalam menjalankan fungsinya. Fungsi yang dimaksud
yaitu fungsi pendidikan politik sebagaimana diatur dalam pasal 31
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai Politik, “(1) Partai
Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang
lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender dengan tujuan antara lain : a. peningkatkan kesadaran
hak
dan
kewajiban
masyarakat
dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara; b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
dan c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter
bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. (2)
Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
untuk membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.”
Jelas dan nyata bahwa Partai Politik memiliki fungsi untuk
memberikan
pendidikan
politik
kepada
masyarakat
agar
dapat
meningkatkan partisipasi politik dalam kehidupan perpolitikan Indonesia
dengan keadilan gender sesuai dengan pancasila.
Karena apabila fungsi pendidikan politik telah terlaksana dengan
bak, seharusnya Partai Politik tidak mengalami kesulitan dalam merekrut
kader-kader perempuan yang berkualitas.
76
B. Pembahasan
Sebelum membahas tentang Hak Konstitusional, perlu juga dipahami
terlebih dahulu mengenai konsep Hak Asasi Manusia. Secara sederhana, hak asasi
manusia dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki oleh manusia, hak asasi
manusia keberadaannya tidak tergantung dan berasal dari manusia, melainkan dari
dzat yang lebih tinggi dari manusia. Oleh karena itu, hak asasi tidak bisa
direndahkan da n dicabut oleh hukum positif manapun, bahkan dengan prinsip
demikian, hak asasi wajib diadiopsi oleh hukum positif. 55
Hak Konstitusional di Indonesia diatur dalam UUD 1945 yang
didalamnya telah memuat konsep hak asasi manusia bagi seluruh warga negara
Indonesia. UUD 1945 juga memberikan aturan tentang perlakuakn khusus bagi
warga negara golongan tertentu yang memerlukan perlakuan khusus dalam
pemenuhan hak konstitusionalnya.
Di samping itu, terdapat pula ketentuan mengenai jaminan hak asasi
manusia tertentu yang hanya berlaku bagi Warga Negara atau setidaknya bagi
Warga Negara diberikan kekhususan atau keutamaan-keutamaan tertentu,
misalnya, hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan dan lain-lain yang secara
bertimbal balik menimbulkan kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak-hak itu
khusus bagi Warga Negara Indonesia. Artinya, negara Republik Indonesia tidak
wajib memenuhi tuntutan warga negara asing untuk bekerja di Indonesia ataupun
untuk mendapatkan pendidikan gratis di Indonesia. Hak-hak tertentu yang dapat
dikategorikan sebagai hak konstitusional Warga Negara adalah:
a.
55
Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak
konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak
yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2) menyatakan,
“Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia (Upaya Mewujudkan
Masyarakat yang Demokratis), Pusataka Pelajar, Yogyakarta, halaman 17
77
b.
c.
d.
yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi,
“Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam
pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap
Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap
Warga Negara berhak mendapat pe ndidikan”; Ketentuan-ketentuan
tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi
setiap orang yang berada di Indonesia;
Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap
orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga
Negara Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu.
Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap
orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat membatasi
hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing
dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan
penghidupan atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama
masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini
bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang
berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak
mungkin dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut
campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara
bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan
sosial tertentu. Demikian pula orang warga negara asing tidak
berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan
mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2)
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang
sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga
diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing
yang merupakan tanggungjawab negara asalnya sendiri untuk
memberikan perlakuan khusus itu;
Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi
melalui prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan
Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Guber nur, Bupati dan Wakil
Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa, Hakim
Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR,
DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI,
Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara,
dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan,
baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
Hak Warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu
(appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi
negara, jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan
78
struktural dan fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan
jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan. 56
Setiap jabatan (office, ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban
serta tugas dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau
perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing (official,
ambtsdrager, fungsionaris) sebagai subyek yang menjalankan jabatan tersebut.
Semua jabatan yang dimaksud di atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki
oleh warga negara Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27
ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal
28D ayat (3) berbunyi, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintahan ”. Dengan demikian, setiap warga ne gara
Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan pemerintahan
Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas. Penekanan status sebagai
warga negara ini penting untuk menjamin bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak
akan diisi oleh orang-orang yang bukan warga negara Indonesia. Dalam hal warga
negara Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan sebagaimana
dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia dan sebagai warga
negara terkait erat dengan tugas dan kewenangan jabatan yang dipegangnya.
Kebebasan yang dimiliki oleh setiap orang dibatasi oleh status seseorang sebagai
warga negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula oleh jabatan
kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang bersangkutan. Karena itu,
setiap warga negara yang memegang jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya
masing-masing. 57
Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau menggugat
keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan hak konstitusional Warga
Negara yang bersangkutan. Upaya hukum dimaksud dapat dilakukan (i) terhadap
keputusan administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie), (ii)
terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan), baik materiil
maupun formil, dengan cara melakukan substantive judicial review (materiile
toetsing) atau procedural judicial review (formele toestsing), atau pun (iii)
terhadap putusan hakim (vonnis) dengan cara mengajukannya ke lembaga
pengadilan yang lebih tinggi, yaitu tingkat banding, kasasi, atau peninjauan
kembali. Misalnya, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa perorangan Warga Negara Indonesia
dapat menjadi pemohon perkara pengujian undang-undang terhadap undangundang dasar, yaitu dalam hal yang bersangkutan menganggap bahwa hak
(dan/atau kewenangan) konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu
undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.58
56
Loc. Cit
Loc.cit
58
Loc.cit
57
79
Dalam suatu negara demokrasi, hak konstitusional warga negaranya akan
diwujudkan salah satunya melalui mekanisme pemilihan umum dalam rangka
menempatkan wakil-wakil rakyat dalam kursi kepemimpinan baik itu kursi kepala
negara, kepala daerah, maupun kursi legislatif. Disinilah partai politik memainkan
fungsi-fungsinya sebagai pihak yang akan menjadi kendaraan dalam penempatan
pemimpin-pemimpin tersebut.
Di negara Indonesia yang berasaskan demokrasi, fungsi partai politik
menurut Miriam Budiarjo dapat dijabarkan adalah empat fungsi, yaitu :
a. Sebagai sarana Komunikasi Politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompleks, banyak ragam
pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pendapat atau aspirasi
seseorang atau suatu kelompok akan hilang tak berbekas seperti suara
di padang pasir apabila tidak ditampung dan digabung dengan
pendapat dan aspirasi dari orang lain yang senada. Proses ini
dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation).
Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi diolah dan
dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan
perumusan kepentingan (interest articulation). Agregasi dan artikulasi
itulah salah satu fungsi penting partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakan.
Usul kebijakan ini dimasukkan kedalam program atau platform partai
(goal fo rmulation ) untuk diperjuangkan atau disampaikan melalui
parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public
policy).
Disisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan
menyebar luaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan
pemerintah. Dalam menjalankan fungsi ini partai politik sering disebut
sebagai perantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house
of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi
pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga
masyarakat sebagai “pengeras suara”.
b. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya
masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan
nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian
sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya
budaya politik (political culture) suatu bangsa. Di sinilah letaknya
partai dalam memainkan sebagai sarana sosialisasi politik.
80
Pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara
yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus kader,
penataran, dan sebagainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat
menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggotaanggotanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dan menempatkan kepentingan-kepentingan
sendiri dibawah kepentingan nasional.
c. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan,
baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional
yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh
kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang
berkualitas ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih
besar untuk mengembangkan diri.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga
berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan.
Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai,
sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih
calon-calon pemimpin.
d. Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di
masyarakat yang bersifat heterogen. Disini peran partai politik
diperlukan untuk membantu mengatasinya. Secara ringkas dapat
dikatakan bahwa partai politik dapat menjadi penghubung psikologis
dan organisasional antara warga negara dengan pemerintahnya. Selain
itu partai juga melalukan konsolidasi dan artikulasi tuntutat-tuntutan
yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat.
Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes
pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang
cakap untuk menduduki posisi eksekutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi
ini dapat dijadikan instrumen untuk mengukur keberhasilan atau
kegagalan partai politik di negara demokrasi. 59
Partai politik sebagai sarana pendudukan wakil-wakil rakyat di legislatif
memiliki suatu tugas tambahan dalam fungsinya dalam hal sarana pendidikan
politik dan rekrutmen politik, yakni dalam hal mewujudkan hak konstitusi
perempuan. Dasar berpijak dari perwujudan hak konstitusional perempuan adalah
59
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, halaman
405
81
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan
Segala Diskriminasi Terhadap Perempuan.
Dalam hukum positif di Indonesia kebutuhan spesifik ini juga sudah
diakomodir dalam pasal 28 huruf H ayat 2 UUD 1945 yang dinyatakan bahwa,
“Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”.
Hanya saja secara teoritis terdapat beberapa istilah berbeda untuk pemenuhan
kebutuhan spesifik ini, yaitu “affirmatif” atau “diskriminasi positif” ataupun
“menejemen berlandaskan hasil” (result based management). Konsep ini (result
based management) lebih memfokuskan pada “hasil” dimana kebijakan menerima
perbedaan hanya sebatas pada “proses” demi tercapainya “hasil”. Rasional
perlunya konsep diskriminasi positif ini karena perlakuan yang sama antara lakilaki dan perempuan tidak selalu memberikan has il yang positif bahkan tetap
melanggengkan bias gender karena kondisi ketidakadilan gender yang dialami
perempuan. 60
Mekanisme dalam mendudukan wakil-wakil rakyat dalam legislatif tentu
saja melalui pemilihan umum, dewasa ini partai politik yang dituntut untuk
mendudukkan perempuan dalam legislatif. Dalam hal ini ada beberapa faktor
yang mempengaruhi, termasuk kebijakan pemilihan umum juga berperan
terhadapnya.
Variabel teknis pemilu bisa dibedakan atas variabel teknis pemilu tidak
langsung dan variabel teknis langsung. Terdapat dua variabel teknis pemilu tidak
langsung, yaitu pembatasan partai politik peserta pemilu (electoral threshold ) dan
pembatasan parpol masuk parlemen (parliamentary threshold ). Sedang variabel
teknis langsung meliputi: (1) penetapan daerah pemilihan, (2) metode pencalonan,
(3) metode pemberian suara, (4) formula perolehan kursi, dan (5) formula
penetapan calon terpilih.
Pengaruh pembatasan parpol peserta pemilu bagi keterpilihan calon-calon
perempuan dapat dipahami sebagai berikut: jika jumlah parpol peserta pemilu
sedikit, peluang keterpilihan calon perempuan besar, karena perolehan kursi
terkonsentrasi hanya pada beberapa parpol. Dalam hal ini berlaku kecenderungan,
semakin banyak kursi yang didapatkan parpol, semakin besar pula peluang calon
perempuan terpilih. Sebaliknya, bila perolehan kursi tersebar ke banyak parpol,
peluang perempuan lebih kecil karena parpol yang hanya mendapat sedikit kursi
(katakanlah satu atau dua kursi) cenderung tidak menyertakan calon perempuan di
dalamnya.
60
Ibid, halaman 7
82
Sementara itu penerapan parliamentary threshold dalam praktik pemilu
proporsional juga menguntungkan perempuan. Berlaku kecenderungan bahwa
semakin besar angka parliamentary threshold, semakin sedikit parpol masuk
parlemen; dan semakin sedikit parpol masuk parlemen, semakin besar perolehan
kursinya sehingga calon perempuan yang terpilih juga semakin besar. Lalu
bagaimana pengaruh variabel teknis langsung terhadap keterpilihan calon-calon
perempuan.
Pertama, pembentukan daerah pemilihan (dapil). Dalam sistem
proporsional, jumlah kursinya selalu banyak (multi-member constituency).
Berdasarkan jumlah kursi di setiap dapil, terdapat tiga tipe dapil, yaitu: pertama,
kursi kecil (2-5 kursi); kedua, kursi menengah (6-10 kursi); dan kursi besar (lebih
dari 11 kursi). Jumlah kursi besar memang menguntungkan perempuan karena
kian banyak perempuan yang bisa dicalonkan. Namun apabila dilihat dari calon
terpilih, jumlah kursi besar merugikan perempuan karena perolehan kursi tersebar,
padahal calon utama setiap parpol biasanya laki-laki.
Kedua, metode pencalonan. Metode pencalonan dalam sistem proporsional
dibedakan atas daftar tertutup (close List PR) dan daftar terbuka (open List PR),
serta MPP dan STV. Metode pencalonan tertutup justru menguntungkan
perempuan, lebih-lebih bila daftar calon disusun secara selang-seling atau zigzag:
calon laki-laki–calon perempuan atau calon perempuan–calon laki-laki. Karena
dengan daftar calon tertutup pemilih hanya memilih parpol dan calon terpilih
ditentukan berdasarkan nomor urut; jika parpol meraih sedikitnya dua kursi, bisa
dipastikan terdapat perempuan di dalamnya.
Ketiga, metode pemberian suara, yang terkait langsung dengan metode
pencalonan. Jika metode pencalonan menggunakan Close List PR, pemilih cukup
memilih parpol saat me mberikan suaranya. Sebaliknya pada daftar terbuka,
pemilih bisa memilih parpol dan calon, atau calon saja. Bagaimanapun
metodenya, berdasarkan pengalaman di banyak negara, metode memberikan suara
kepada parpol adalah yang paling menguntungkan calon perempuan.
Keempat, formula perolehan kursi. Para ahli pemilu membedakan dua
jenis formula perolehan kursi, yaitu: pertama, metode kuota, di antaranya yang
banyak dipakai adalah varian Hamilton/Hare/Niemeyer; dan kedua , metode
divisor dengan varian metode d’Hondt dan metode Webster/St Lague. Dengan
melihat berapa banyak parpol yang memperoleh kursi di setiap dapil, metode
d’Hondt menguntungkan calon perempuan.
Kelima , formula calon terpilih. Penetapan calon terpilih sangat
menguntungkan calon perempuan apabila dilakukan berdasarkan nomor urut
sebagaimana metode pencalonan List PR. Memainkan variabel teknis langsung
maupun tidak langsung dalam sistem pemilu tersebut bisa dimanfaatkan gerakan
keterwakilan perempuan untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen
melalui pemilu yang demokratis. Pada titik inilah berbagai model kebijakan
afirmasi mendapat ruang untuk diadopsi dalam pengaturan sistem pemilu melalui
undang-undang pemilu. 61
61
Sidik Pramono, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan (Penguatan Kebijakan Afirmasi),
www.kemitraan.or.id, dunduh tanggal 17 Januari 2013
83
Tabel 4
Sejarah Perkembangan Partai Politik di Indonesia
Periode
Sistem Pemerintahan
Sistem Partai
Pemerintahan
1908-1942
Zaman Kolonial
Sistem multi partai
1942-1945
Zaman Pendudukan Jepang
Partai Politik Dilarang
17
Agustus Zaman
1945
Demokrasi
Parlementer
A. Masa Perjuangan
17 Agustus 14 November
1. Sistem Presidensial; Satu partai PNI
UUD 1945
1945
14 November
2. Sistem
1945-
Paerlementer; UUD
Agustus 1949
1945
1949-1950
Sistem multi partai
3. Sistem Parlementer; Sistem multi partai
UUD RIS
1950-1955
B. Masa
Pembangunan
Sistem
multi
Pemilihan
umum
partai.
1955
4. Sistem Parlementer; menghasilkan 27 partai dan
UUD 1950
1
perorangan
yang
memperoleh kursi di DPR
1955-1959
5. Sistem Parlementer; Sistem multi partai
84
UUD 1950
1959-1965
Demokrasi
Terpimpin; Maklumat
UUD 1945
November
1945
Diadakan
penyederhanaan
1. 1959
Pemerintah
3
dicabut.
partai sehingga hanya 10
partai yang diakui : PKI,
PNI, NU, Partai Katolik,
Partindo, Parkindo, Partai
Murba, PSII Arujdi, IPKI
dan
Partai
Islam
Perti.
Masyumi
dan
PSI
dibubarkan
pada
tahun
1960.
2. 1960
Dibentuk
yang
front
mewakili
nasional
semua
kekuatan politik. PKI masuk
berdasarkan
Nasakom.
prinsip
ABRI
masuk
lewat IPKI.
1965-1998
Demokrasi
Pancasila;
UUD 1945
1. 1966
PKI
dan
bubarkan
Partindo
di
85
2. 27 Juli 1967
Konsensus nasional a.l 100
anggota DPR diangkat.
3. 1967-1969
Eksperimen dwi partai dan
dwi group dilakukan di
beberapa kabupaten di Jawa
Barat,
namun
dihentikan
pada awal 1969.
4. 1971
Pemilihan umum dengan 10
partai
5. 1973
Penggabungan
menjadi
3
partai
partai
yaitu
Golkar, PDI, dan PPP
6. 1977, 1982, 1987, Pemilihan
1992, dan 1997
umum
hanya
diikuti ole h tiga orsospol
(sistem
multi
partai
terbatas) PPP, Golkar, PDI.
1998
Mei)...
7. 1982
Pancasila satu-satunya azaz
8. 1984
NU Khittah
9. 1996
PDI pecah
(21 Reformasi;
UUD
yang diamandemen
1945 Kembali ke sistem multi
partai.
Pemilu dengan 48 partai; 21
partai masuk DPR.
86
Pemilu dengan 24 partai; 7
partai masuk DPR, yaitu
Golkar, PDIP, PKB, PPP,
Partai Demokrat, PKS, dan
PAN.
Terhadap produk hukum undang-undang sendiri, kesetaraan gender telah
diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (biasa
disingkat Konvensi Wanita). Sejak itu pula, Konvensi ini resmi menjadi sumber
hukum formal berkekuatan/berkedudukan setingkat dengan undang-undang.
Ratifikasi telah diatur dalam Undang-Undang nomor 24 tahun
2000 tanggal 23 Oktober 2000, tentang Perjanjian Internasional yang menentukan
dalam : pasal 1 butir 2: pengesahan (perjanjian internasional) adalah perbuatan
hukum untuk mengikat diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk
ratifikasi (ratification ), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), dan
persetujuan (approval).62
Makna ratifikasi Konvensi Wanita yang memerlukan perhatian khusus
adalah yang tersurat dan tersirat dalam pasal 1 Undang-Undang nomor 7 tahun
1984 yang mengatakan bahwa Pengesahan Konvensi Wanita dilakukan dengan
pensyaratan (reservation) terhadap pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian
perselisihan antara dua atau lebih Negara peserta Konvensi Wanita mengenai
penafsiran atau penerapan Konvensi ini. Indonesia mengakui cara interpretasi
hukum yang dikembangkan ilmu hukum, seperti penafsiran atau interpretasi
gramatikal, sistematis, historis undang-undang dan historis hukum, teleologis
yaitu berdasarkan tujuan hukum secara tekstual, kontekstual ata u sosiologis, dan
komparatif. Karena tujuan menjadi dasar maka tolak ukur yang dipakai adalah
62
Ibid, halaman 20
87
tujuan Konvensi Wanita yaitu penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
wanita dan terwujudnya keadilan dan kesetaraan gender. Penjelasan umum
Undang-Undang nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Wanita, yang
mengatakan bahwa dalam pelaksanaannya, ketentuan dalam Konvensi ini wajib
disesuaikan dengan tata kehidupan masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya,
adat istiadat serta norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara
luas oleh masyarakat Indonesia.63
Implikasinya adalah, bahwa aparat negara, aparat provinsi dan daerah
lainnya, legislator di pusat maupun daerah, aparat penegak hukum baik pusat
maupun daerah dapat dituntut pertanggung jawabannya (accountable) jika :
a. Masih ada ketentuan hukum yang diskriminatif;
b. Tidak ditegakan perlindungan hukum bagi wanita terhadap
praktek/tindakan diskriminasi;
c. Lembaga-lembaga negara dan penajabt pemerintah itu sendiri melalukan
diskriminasi. 64
Konvensi Perempuan merupakan perjanjain internasional tentang
perempuan yang paling komperhensif, menetapkan kewajiban hukum yang
mengikat untuk mengakhiri diskriminasi. Konvensi ini menetapkan persamaan
antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Diskriminasi terhadap perempuan akan dihapuskan melalui
langkah-langkah hukum, kebijakan dan program maupun melalui kegiatan khusus
permanen untuk mempercepat persamaan, atau kesetaraan perempuan yang
diartikan sebagai tindakan non diskriminasi. 65
Dasar hukum Undang-Undang tentang ratifikasi Konvensi Wanita seperti
terlihat dalam diktum Mengingat bukan suatu undang-undang tetapi langsung
UUD 1945 pasal 27 ayat (1) dan TAP MPR No.II/MPR/1983 tentang GBHN.
Dalam diktum menimbang butir a, dinyatakan bahwa segala bentuk diskriminasi
terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD
1945.
63
66
Ibid, halaman 21
Ibid, halaman 23
65
Tri Lisiani Prihatinah, Hukum dan Kajian Gender , Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2010, halaman 48
66
Ache Sudiarti Luhulima, Bahan Ajar tentang Hak Perempuan : UU No.7 tahun 1984
Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita,
Buku Obor, Jakarta, 2007, halaman 21
64
88
Konsekuensi dari Ratifikasi Konvensi Wanita yaitu Negara Republik
Indonesia menyetujui pernyataan :
a. Mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya;
b. Bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat, tanpa
ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap wanita.
Gerakan perempuan di Indonesia tidak dapat dielakkan lagi adalah karena
pengaruh dari gerakan-gerakan perempuan Internasional, Feminisme liberal
berkembang di barat pada abad ke-18, bersamaan dengan semakin populernya
arus pemikiran baru (enlighment atau age of reason ). Dasar yang dipakai adalah
doktrin John Locke tentang Natural Right (hak asasi manusia), yaitu memandang
semua orang diciptakan dengan hak-hak yang sama dan mereka mempunyai hakhak yang sama untuk memajukan dirinya. Feminisme ini menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual.
Menurut feminisme liberal, agar persamaan hak antara pria dan wanita
dapat terjamin pelaksanaannya, maka perlu ditunjang oleh dasar hukum yang
kuat. Oleh karena itu feminisme liberal lebih memfokuskan perjuangan mereka
pada perubahan segala undang-undang dan hukum yang dianggap dapat
melestarikan institusi keluarga yang patriarkal. 67
Feminisme liberal berlandaskan teori bahwa subordinasi perempuan
terjadi karena ada sekumpulan budaya dan hukum yang membatasi akses dan
sukses perempuan dalam sektor publik. Pembatasan itu terjadi karena ada
keyakinan yang salah bahwa perempuan tidak sekuat dan secerdas laki-laki.
Dalam mengembangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, ada
dua paradigma. Paradigma pertama disebut Women in Devolepment (WID). Istilah
67
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, halaman 65.
89
ini pettama kali digunakan oleh Women’s Committee of the Washington D.C
Chapter of the Society for International Development pada awal 1970-an. Mulai
saat itu WID digunakan sebagai pendekatan terhadap isu-isu perempuan dengan
didasarkan pada paradigma modernisasi. Konsep ini mengikutsertakan partisipasi
perempuan dalam pembangunan. Prinsip-prinsip ini dasarnya berangkat dari
gagasan bahwa perempuan berada dibelakang karena mereka tidak ikut serta
dalam pembangunan.
Isu yang berkembang adalah bahwa perempuan ke kurangan akses kedalam
nilai pembangunan, khususnya dalam konteks ekonomi. Seperti yang
diungkapkan oleh Razavi dan Miller, meskipun didukung oleh suatu analisis yang
mengedepankan subordinasi perempuan, pendekatannya cenderung terkonsentrasi
pada tidak adanya akses bagi perempuan kedalam sumber-sumber (pembangunan)
sebagai kunci subordinasi mereka tanpa mempertanyakan lagi peran hubungan
gender dalam membatasi akses-akses tadi. 68 Sasaran dari pendekatan ini adalah
kalangan perempuan dewasa yang secara ekonomi miskin. Bagi kalangan liberal
dari barat sangat terasa pengaruhnya dengan pendekatan WID ini. Pada masa
itulah maka dumulailah proyek-proyek yang berusaha keras untuk meningkatkan
akses perempuan khususnya perempuan dewasa miskin untuk dapat meningkatkan
pendapatannya. Proyek yang dijalankan untuk meningkatakan pendapatan
perempuan ini contohnya melalui kegiatan-kegiatan keterampilan, seperti menjait,
menyulam, dan lain sebagainya. 69
Proyek seperti ini ternyata dalam pelaksanaannya sering mengalami
kegagalan. Penyebab dari kegagalan ini antara lain karena, pertama, pelaksana
proyek dengan mudah mengasumsikan bahwa semua perempuan pada dasarnya
memiliki keterampilan-keterampilan seperti itu. Padahal pada kenyataannya, tidak
semua perempuan memiliki keterampilan atau mempunyai keinginan untuk
memilih kegiatan-kegiatan seperti : menjahit, menyulam, dan lain sebagainya.
Kedua, hasil kerajinan yang dibuat perempuan-perempuan tersebut, baik dari segi
motof maupun desain ternyata kurang mendapat respon yang baik di pasaran.
Akibatnya produk-produk mereka tidak laku terjual, dan ini sangat berkaitan
karena pelaksana proyek kurang bisa membaca selera pasar. Selain itu dalam
pelaksanaannya proyek-proyek ini kurang ditangani secara serius, sehungga
kesannya hanya mer upakan proyek yang bersifat amal semata, bukan berdimensi
pemberdayaan. Umumnya pemikiran-pemikiran dari pelaksana proyek masih
terjebak dalam penilaian sterotipe perempuan, dimana perempuan hanyalah
68
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman
73.
69
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, halaman 138.
90
pencari nafkah nomor dua, karena suamilah yang dianggap pencari nafkah utama.
Hasil yang didapat dari proyek ini diasumsikan hanyalah untuk sekedar
menambah pendapatan keluarga. 70
Gender and Development (GAD) merupakan paradigma baru-dan keduadalam meletakkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Paradigma ini di
banyak tempat menggantikan paradigma pertama. WID dengan latar belakang
modernisasi digantikan oleh GAD dengan pendekatan pembangunan pasca
modernis. Sebenarnya, transfomasi tidak terjadi secara langsung dari WID ke
GAD, melainkan melalui era WAD (Women and Development) yang dapat dilihat
sebagai berikut :71
Tabel 5
WID, WAD, dan GAD
WID
Asal-usul
Tahun
WAD
1970- Pertengahan
GAD
Tahun 1980-an,
an,
tahun 1970-an, alternatif
diperkenalkan
muncul sebagai WID
oleh
dari
kaum kritik terhadap
feminis liberal WID
Amerika
Landasan
Modernisasi
Dependensi
Teori
Fokus
70
Feminis,
sosialis
Partisipasi
Kritisi
bahwa Pendekatan
perempuan
pengintegrasian
dalam
pada praktiknya berkenaan
pembangunan
adalah
dengan
peran
marginanlisasi.
gender
dan
holistik
Ibid, halaman 139
Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008, halaman
75.
71
91
peran sex.
Kontribusi
Perempuan
Pemahaman
Kesetaraan dan
nampak dalam terhadap
kebersamaan
proses
kesenjangan
laki-laki
pembangunan
struktural.
perempuan
dan
dalam
pembangunan.
Gambaran
Perempuan
Desakan
Penolakan
Umum
dianggap
perubahan
dikotomi
dipisahkan dari struktural
publik/domesti
pembangunan,
k;
karena
dalam
itu penguasaan
penguatan
hak-hak
harus
sumberdaya
perempuan
diintegrasikan.
produktif
untuk mencapai
kesetaraan
relasi
dengan
laki-laki.
Tabel 6
WID versus GAD
WID
Pendekatan
GAD
Berusaha
Berusaha
mengintegras ikan
memberdayakan dan
92
perempuan kedalam mentransformasi
proses pembangunan
hubungan tak setara
antara laki-laki dan
perempuan
Fokus
Perempuan
Hubungan
setara
laki-laki
dan
perempuan
Permasalahan
Pengesampingan
perempuan
Hubungan kekuatan
dari tak
proses pembangunan
setara
yang
menghalangi
pembangunan
yang
layak dan partisipasi
penuh masyarakat.
Sasaran
Pembangun
lebih
efisien
yang Pembangunan
yang
dan layak
efektif
dan
berkelanjutan. Lakilaki dan perempuan
berbagi
dalam
pembagian
keputusan
dan
kekuasaan.
Strategi
Menerapkan proyekproyek
Mengidentifikasi dan
perempuan, memperuntukkan
93
unsur-unsur
perempuan,
kebutuhan
dan pendek
jangka
yang
proyek-proyek
ditentukan oleh laki-
terpadu.
laki dan perempuan
Meningkatkan
untuk meningkatkan
produktivitas
dan kondisi
mereka.
penghasilan
Mengidentifikasi dan
perempuan.
memperuntukkan
Meningkatkan
kepentingan laki-laki
kemampuan
dan
perempuan
dalam untuk
mengelola
rumah panjang.
perempuan
jangka
tangganya.
Hingga hari ini, paradigma yang mengedepan adalah WID dan GAD
karena paradigma WAD fokus kepada konsep kritis semata dan tidak mampu
memberikan solusi atau alternatif yang dapat dilaksanakan, sama dengan karakter
pendekatan dependensia dalam pembangunan. Namun, sebagaimana halnya
paradigma dalam ilmu sosial, GAD tidaklah menggantikan WID melainkan hanya
meminggirkan. Artinya, GAD menjadi arus tengah (mainstream) sementara kedua
paradigma lain berada dipinggir. Bahkan, masih banyak negara yang
menggunakan secara bersamaan paradigma WID atau gabungan WID dengan
GAD.72
72
Ibid, halaman 76
94
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai politik telah secara
tegas dicantumkan dalam Undang-Undang Partai Politik, yaitu sebesar 30%
dari keseluruhan pengurus Partai Politik, baik di pusat maupun di daerah.
Terhadap pencalonan legislatif pun telah diatur dalam Undang-Undang
Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dengan kuota yang sama yaitu 30% dari
keseluruhan calon yang diajukan Partai Politik. Hanya saja, meskipun dalam
pencalonan legislatif telah diatur tentang ba tas keterwakilan perempuan,
tetapi jumlah perempuan yang berhasil duduk di kursi legislatif masih
belum mencapai kuota yang dicalonkan yakni sebesar 30%
2.
Ketentuan tentang kuota bagi perempuan dalam kepengurusan Partai Politik
dan pencalonan legislatif suda h sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Karena memang undang-undang ini
menghendaki agar dilakukan affirmatif dalam menperjuangkan hak politik
perempuan. Dan ke bijakan ini bukan merupakan diskriminasi.
95
B. Saran
Dari
hasil
penelitian dan pembahasan tentang
Keterwakilan
Perempuan Dalam Kepengurusan Partai Politik dan Pencalonan Legislatif,
penulis menyarankan agar dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut
perempuan, hendaklah pemerintah lebih peka gender dan lebih memahami
kondisi perempuan Indonesia. Peka gender disini berarti dalam pembuatan
peraturan yang berkaitan dengan perempuan, haruslah terlebih dahulu
diketahui hubungan relasi antara laki-laki dan perempuan yang terjadi di
masyarakat dan perkembangannya, karena memang emansipasi belum tentu
peka gender.
Pendidikan politik yang memadai juga mutlak diperlukan dalam
rangka terwujudnya cita-cita emansipasi bagi perempuan. Dalam hal ini partai
politik dengan fungsi sosialisasi politik menjadi garda terdepan dalam
memberikan
pendidikan
politik
terutama
kepada
perempuan,
dimana
pendidikan politik ini akan ditindak lanjuti dalam proses rekrutmen sendiri.
Walaupun memang perlu diinsyafi bahwa stereotipe yang disandang
perempuan Indonesia justru menjadikan kesadaran perempuan menjadi minim
terhadap dunia politik, namun hal ini bukan berarti tanpa penyelesaian.
Institusi keluarga yang menjadi akar dari masyarakat perlu mengalami
perubahan dalam pandangannya mengenai kedudukan anggota keluarga.
Adalah sudah tidak relevan lagi terjadi ketergantungan seorang istri kepada
suaminya karena hal ini adalah akar dari permasalahan perempuan. Perempuan
seringkali disubordinasikan dalam keluarga yang lagi- lagi menjadikan
96
perempua n semakin tidak berminat dalam dunia politik. Oleh karena itu
perempuan juga harus sadar mengenai hak-haknya terutama hak-hak
politiknya.
97
Daftar Pustaka
Pustaka Buku
Budiardjo, Miriam. 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik , Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama
Fakih, Mansour. 1999, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar
Hasbullah, M.Afif, 2005, Politik Hukum Konvensi HAM di Indonesia Upaya
Mewujudkan Masyarakat yang Demokratis, Lamongan, UNISDA
Huda, Ni’Matul. 2007, Lembaga Negara Masa Transisi Menuju Demokrasi,
Yogyakarta, UII Press
--------------------. 2010, Hukum Tata Negara Indonesia , Jakarta, Rajawali
Press
Ibrahim, Johnny. 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif ,
Malang, Bayu Media
Koirudin. 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar
Luhulima, Ache Sudiarti. 2007, Bahan Ajar Tentang Hak Perempuan : UU
No. 7 tahun 1984 Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, Jakarta, Obor
Mas’oed, Mochtar. 1986, Perbandingan Sistem Politik , Yogyakarta,
Universitas Gadjah Mada Press
Mar’Iyah Chusnul, 2000, Radio dan Politik Perempuan , Deli Serdang,
Yayasan Hapsari Perbaungan
Marzuki, Peter Mahmud. 2010, Penelitian Hukum Normatif , Jakarta,
Gramedia
MD, Mahfud. 1999, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Yogyakarta, Gama
Media
Muladi, 2005, Hak Asasi Manusia (Hakekat, Konsep, & Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan Masyarakat), Bandung, Refika Aditama
-----------------. 2011, Politik Hukum di Indonesia , Jakarta, Rajawali Press
98
Nugroho, Riant. 2008, Gender dan Administrasi Publik , Yogyakarta, Pustaka
Pelajar
---------------------. 2011, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di
Indonesia, Yogyakarta, Pustaka Pelajar
Prihatinah, Tri Lisiani. 2010, Hukum dan Kajian Jender, Semarang, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Soekanto, Soerjono. 1986, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta, rajawali Press
Sukarna. 1981, Sistem Politik , Bandung, Alumni
Sunggono, Bambang. 2006, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja
Grafindo Persada
Syamsudin, M. 2007. Oprasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja
Grafindo Persada
Perundang -Undangan
UUD 1945
Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan
Undang-Undang No.2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
Undang-Undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD
Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik
Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
Undang-Undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota, DPR,
DPD, dan DPRD
Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik
99
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggora DPR,
DPD, dan DPRD
Internet
Assiddiqie, Jimly. Hak Konstitusional Perempuan dan Tantangn
Penegakannya, http://www.jimly.com , diunduh pada tanggal 1 Oktober
2012
Manar, Dzunuwanus Ghulam. Perempuan di Ranah Politik : Ancaman atau
Peluang , http://eprints.undip.ac.id, diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012
Siahaan, Maruarar. Hak Konstitusi dalam UUD 1945 , http://www.elsam.or.id,
diunduh pada tanggal 1 Oktober 2012
Sidik Pramono, Meningkatkan Keterwakilan Perempuan (Penguatan Kebijakan
Afirmasi), http:// www.kemitraan.or.id, diunduh pada tanggal 17 Januari 2013
Sondakh, Angelina. Perempuan & Politik , http://www.angelinasondakh.com,
diunduh pada tanggal 2 Oktober 2012
Download