PENENTUAN AWAL MASA `IDDAH MENURUTFIQH

advertisement
PENENTUAN AWAL MASA ‘IDDAH
MENURUTFIQH MUNAKAHATDAN KHI
(Studi Terhadap Pendapat Hakim Pengadilan Agama Salatiga
dan Kepala KUA Argomulyo)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah
Oleh:
MUHAMMAD FAHMI ROIS
NIM 21109009
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2013
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
b̈ Î*sùyì tBÎŽô£ ãèø9$##·Žô£ ç„ÇÎÈb̈ Î)yì tBÎŽô£ ãèø9$##ZŽô£ ç„ÇÏÈ
5. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. 6. Sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Bekerja dengan iklas tapi tidak seiklasnya
PERSEMBAHAN
Untuk Allah Swt yang dengan perintah serta izin-NYA skripsi ini dapat saya
selesaikan. Untuk kedua orang tua saya yang sangat berjasa pada hidup saya
sehimgga dengan kasih sayang dan keringatnya saya dapat menyelesaikan skripsi
ini. Untuk seluruh dosen STAIN Salatiga pada umumnya dan khususnya untuk
dosen pembimbing yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.
Dan untuk teman-teman Ahwal Al-Syahsiyyah 2009 yang sangat bersahabat.
ABSTRAK
Rois, Muhammad Fahmi. 2013. Penentuan Awal Masa ‘Iddah Menurut Fiqh
Munakahat dan KHI (Studi Terhadap Pendapat Hakim Pengadilan
Agama Salatiga dan Kepala KUA Argomulyo). Pembimbing: Drs.
Machfud, M.Ag.
Kata Kunci: penentuan, awal, ‘Iddah
Penelitian ini berusaha meneliti perbedaan konsep masa ‘Iddah antara fiqh dan
KHI. Penelitian ini mengkhususkan pada penentuan awal dimulainya masa
‘Iddah. Permasalahan utama yang akan dibahas melalui penelitian ini adalah (1)
Bagaimana penentuan awal masa ‘Iddah menurut fiqh? (2) Bagaimana penentuan
awal masa ‘Iddah menurut KHI? (3) Bagaimana pelaksanaan penentuan awal
masa ‘Iddah? Dalam pembahasan permasalahan tersebut penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir yuridis empiris.
Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan mencari literatur yang
membahas tentang masalah ‘Iddah dan wawancara kepada hakim-hakim
Pengadilan Agama Salatiga dan kepala KUA kecamatan Argomulyo.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa awal masa ‘Iddah menurut
fiqh dimulai setelah kata-kata talak diucapkan tanpa perlu adanya persidangan
sedangkan menurut KHI awal masa ‘Iddah dimulai setelah penetapan perceraian
mempunyai kekuatan hukum tetap. Implementasi penentuan awal masa ‘Iddah,
KUA menghitung awal masa ‘Iddah berdasar pada tanggal atas akta cerai.
Pedoman KUA adalah kaidah kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang
ada pada akta cerai.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Dengan mengucap rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala
limpahan rahmad, taufiq, serta hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan lancar. Berkat izin dan anugerah dari Allah SWT, penulisan
skripsi ini bertujuan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Jurusan
Syari’ah STAIN Salatiga. Tak henti-hentinya sholawat beserta salam selalu
tercurahkan kepada nabi agung Muhammad SAW, yang mengeluarkan manusia
dari kebodohan pekatnya zaman jahiliyah menuju zaman terang benderang yakni
dengan agama Islam. Dan tak lupa ucapan terima kasih untuk kedua orang tua
saya yang telah berjuang mengntarkan saya sampai pada titik ini. Segala jasa
mereka begitu besar sehingga saya tidak mungkin membalasnya.
Penulisan skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa ada bantuan,
dorongan, motivasi, serta bimbingan dari pihak yang terkait. Denganini penulis
sampaikan ucapan jazakumullah khoiron katsiron serta penghargaan setinggitingginya kepada :
1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Agselakuketua STAIN Salatiga
2. IbuDrs.
Machfud,
M.Agselakupembimbingdalampenulisanskripsiini,
yangtelahmemberikanbimbingandenganpenuhperhatiandankesabaran
3. BapakdanIbudosen
dengantulusmendidikdanmemberikanjasanyadalammenuntutilmu
STAIN Salatiga
yang
di
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga amal serta kebaikannya diterima AllahSWT, sebagai amal ibadahnya
mendapat balasan pahala yang berlipat ganda.
Tentunya skripsi ini masih banyak kekurangan, maka diharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun sehingga skripsi ini dapat bermanfaat khusunya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.Akhirnya penulis mengucapkan banyak
terima kasih.
Salatiga, 12 September 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul ............................................................................................ i
Lembar Logo Stain ....................................................................................... ii
Persetujuan Pembimbing ............................................................................ iii
Pengesahan Kelulusan ................................................................................. iv
Pernyataan Keaslian Tulisan ......................................................................... v
Motto dan Persembahan ................................................................................ vi
Abstrak ........................................................................................................ vii
Kata Pengantar .............................................................................................. viii
Daftar Isi....................................................................................................... x
Daftar Lampiran............................................................................................ xii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A.
Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah ........................................................................... 6
C.
Tujuan Penelitian ............................................................................ 6
D.
Kegunaan Penelitian ........................................................................ 6
E.
Penegasan Istilah ............................................................................. 7
F.
Telaah Pustaka ................................................................................ 8
G.
Metode Penelitian ........................................................................... 9
H.
Sistematika Penulisan ..................................................................... 14
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH ...................................... 16
A.
B.
C.
‘IddahMenurut Fiqh ........................................................................ 16
1.
Pengertian ‘Iddah ..................................................................... 16
2.
Dasar Hukum ‘Iddah ................................................................ 20
3.
Tujuan ‘Iddah ........................................................................... 24
4.
Macam dan Perhitungan ‘Iddah ................................................ 25
‘Iddah Menurut KHI ....................................................................... 31
1.
Dasar Hukum ‘Iddah ................................................................ 31
2.
Macam dan Perhitungan ‘Iddah ................................................ 32
Hikmah ‘Iddah ................................................................................ 35
BAB III. LAPORAN HASIL PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA DAN KUA ARGOMULYO ..................................................... 38
A.
Pendapat Hakim Pengadilan Agama Salatiga tentangAwal Masa ‘Iddah
........................................................................................................ 38
B.
Pendapat Kepala KUA Argomulyo tentangAwal Masa ‘Iddah ......... 47
BAB IV. ANALISIS PENENTUAN AWAL MASA ‘IDDAH MENURUT KHI
DAN FIQH ................................................................................................... 51
A.
Penentuan Awal Masa ‘Iddah menurut Fiqh .................................... 51
B.
Penentuan Awal Masa ‘Iddah menurut KHI .................................... 53
C.
Implementasi Fiqh KHI ................................................................... 54
BAB IV. PENUTUP ..................................................................................... 62
A.
Kesimpulan ..................................................................................... 62
B.
Saran ............................................................................................... 63
Daftar Pustaka .............................................................................................. 64
Lampiran-Lampiran ...................................................................................... 66
DAFTAR LAMPIRAN
1. Fotocopy Akta Cerai
2. Fotocopy Salinan Putusan
3. Fotocopy Salinan Penetapan
4. SKK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan amat penting dalam
kehidupan manusia, baik bagi
perseorangan maupun kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah,
pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat sesuai kedudukan
sebagai makhluk yang memiliki kerhormatan. Pergaulan hidup berumah
tangga dibina dalam suasana damai, tenteran dan kasih sayang antara suami
istri. Anak keturunan dari hasil yang sah menghiasi kehidupan keluarga,
sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan
berkerhormatan.
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh disebut dengan dua kata,
yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan seharihari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi. Secara
arti kata nikah berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 1 :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan dalam KHI pasal 1:
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah.
Miitsaaqan Ghaliizhan mengandung arti perjanjian yang kokoh. Dalam Al
Qur'ankata miitsaaqan ghalizhan hanya dipakai 3 kali saja:
1. Allah SWT membuat perjanjian dengan para Nabi Nuh, Ibrahim, Musa
dan Isa (Al Ahzab 73:7)
2. Allah SWT mengangkat bukit Thur di atas kepala bani Israil dan
menyuruh mereka bersumpah setia pada Allah (An Nissa 4:154)
3. Allah SWT menyatakan hubungan pernikahan (An Nissa 4:21)
Perjanjian pernikahan antara suami istri disejajarkan dengan perjanjian para
Nabi dan perjanjian dengan bani Israil, yang merupakansuatu perjanjian yang
agung dan berat.
Perjanjian antara suamiistri sedemikian kukuh, sehingga bila mereka
dipisahkan di dunia oleh kematian, maka mereka masih akan digabungkan
oleh Allah di akhirat setelah kebangkitan. Sebagaimana firman Allah dalam
Surat Yasin 56
öLèe ö/àS ã_ ºurø—r&ur’Îû@ »n=Ïß ’n?tã Å7 ͬ!#u‘F{ $#tb qä«Å3 §GãBÇÎÏÈ
Artinya: mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh,
bertelekan di atas dipan-dipan. (Departemen Agama,1998:354)
Bahkan semua anggota keluarga ikut bergabung, sebagaimana firman
Allah dalam surat Ar-Rad 23
àM »Z̈y_ 5b ô‰ tã $pktXqè=äz ô‰ tƒ` tBuryx n=|¹ ồ ÏBöN Íkɲ!$t/#uäöN ÎgÅ_ ºurø—r&uröN ÍkÉJ»­ƒÍh‘èŒur(èps3 Í́¯»n=yJ ø9$#urtb qè
=äz ô‰ tƒNÍköŽn=tã ` ÏiBÈe@ ä.5> $t/ÇËÌÈ
Artinya: (yaitu) syurga 'Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersamasama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-
isterinya dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempattempat mereka dari semua pintu;(Departemen Agama,1998:201)
Meskipun begitu kuat dan kukuhnya ikatan perkawinan, namun ikatan ini
dapat terputus. Dalam fiqh dan peraturan di Indonesia perkawinan dapat
putus karena 2 hal yaitu kematian dan perceraian. Apabila hubungan
perkawinan putus antara suami istri, maka terdapat akibat hukum yang
berlaku sesudahnya,yaitu:
1. Bila putusnya perkawinan karena perceraian, maka hubungan antara
keduanya adalah asing dalam arti harus berpisah dan tidak boleh lagi
bergaul sebagai suami istri.
2. Bila putusnya perkawinan karena perceraian, suami harus memberi
mut’ah terhadap bekas istri.
3. Bila putusnya perkawinan karena perceraian, keharusan melunasi utang
yang wajib dibayar baik dalam bentuk mahar atau nafaqah.
4. Bila putusnya perkawinan karena kematian dan perceraian maka terdapat
‘iddah bagi Istri
5. Pemeliharaan terhadap anak atau hadlanah
‘Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa
mengandung pengertian hari-hari haidh atau hari-hari suci pada wanita.
Sedangkan secara istilah, ‘iddah mengandung arti masa menunggu bagi
wanita untuk melakukan perkawinan setelah terjadinya perceraian dengan
suaminya, baik cerai hidup atau cerai mati, dengan tujuan untuk mengetahui
keadaan rahimnya atau berpikir bagi suami. Para ulama mendefinisikan
‘iddah sebagai masa waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang
ditinggal mati atau diceraikan oleh suami, yang sebelum habis masa itu
dilarang untuk dinikahkan (Nuruddin,2004:240).
Dilihat dari uraian pengertian ‘iddah di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa tujuan ‘iddah adalah memastikan kesucian dari rahim wanita dan
memberikan jangka waktu berpikir bagi suami. Jika dilihat dari tujuannya
‘iddah merupakan sesuatu perintah yang amat penting, karena menyangkut
tentang sahnya ruju’, sahnya nikah istri dengan suaminya yang baru dan
lebih penting lagi tentang penentuan nasab anak.
Terdapat perbedaan perhitungan awal masa ‘iddah pada perceraian antara
fiqh dan KHI. Jika pada fiqh awal masa ‘iddah dimulai sejak ucapan thalak
dari suami. Sedangkan pada KHI awal masa ‘iddah dihitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam
KHI awal dimulainya masa iddah disebutkan dalam pasal 153 ayat 4 yaitu:
Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu
dimulai sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai
kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena
kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
Perbedaan perhitungan awal massa ‘iddah antara fiqh dan KHI ini
memungkinkan akhir masa ‘iddah tepaut sangat jauh. Karena jika pada fiqh
langsung ketika suami mengucapkan thalak, namun pada KHI tergantung pada
lama proses persidangan. Perbedaan ini tentunya menjadi pertanyaan tentang
aturan ‘iddah dalam KHI. KHI sebagai aturan yang mengatur warga negara
Indonesia yang beragama Islam, ternyata tidak sejalan dengan aturan yang
terdapat pada fiqh.
Selain itu dalam KHI disebutkan bahwa awal tenggang waktu tunggu
dimulai sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan
hukum tetap, disini juga menimbulkan pertanyaan. Kapan putusan putusnya
perkawinan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap? Karena jika dilihat dari
konsep fiqh, harusnya sejak pembacaan akta ikrar thalak. Namun jika dilihat
secara hukum formal hukum perdata, putusan pengadilan dianggap memiliki
kekuatan hukum tetap setelah 14 hari dari pembacaan putusan dan tidak
terdapat banding dari pihak lawan.Dilihat dari banyaknya perbedaan tentang
konsep perhitungan awal masa ‘iddahantara fiqh dan KHI maka disini penulis
merasa penelitian tentang “PENETAPAN AWAL MASA ‘IDDAH
MENURUT FIQH MUNAKAHAT DAN KHI (Studi Terhadap Pendapat
Hakim Pengadilan Agama Salatiga dan KUA Argomulyo)” penting untung
diteliti
B. Rumusan Masalah
Untuk melakukan proses penelitian, agar penelitian yang dilakukan tidak
keluar dari jalur pembahasan maka peneliti membatasinya dalam hal sebagai
berikut:
1. Bagaimana penentuan awal masa ‘iddah menurut fiqh?
2. Bagaimana penentuan awal masa ‘iddah menurut KHI?
3. Bagaimana pelaksanaan penentuan awal masa ‘iddah?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
1. Untuk memahami penentuan awal masa ‘iddah menurut fiqh
2. Untuk memahami penentuan awal masa‘iddah menurut KHI
3. Untuk memahami pelaksanaan penentuan awal masa ‘iddah
D. Kegunanaan Penelitian
Adapun kegunaan yang penulis harapkan dari penelitian ini, diantaranya
adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis
Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan dalam
bidang Hukum Islam dan juga menambah bahan pustaka bagi Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, khususnya dalam masalah
‘iddah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman baru
yang lebih komprehensif mengenai penentuan awal masa ‘iddah.
2. Secara praktis
a. Secara praktis manfaat penelitian ini sebagai sumbangan ilmu
pengetahuan pada umumnya dan sebagai sumbangan ilmu Hukum
Islam pada khususnya, terutama terhadap masalah yang berkaitan
dengan ‘iddah.
b. Sebagai sumbangan pemikiran kepada para pihak yang terkait dengan
penentuan awal masa ‘iddah.
c. Digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
sarjana pada program studi Ahwal Al- Syakhsiyyah Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Untuk mendapat kejelasan judul di atas, penulis perlu memberikan
penegasan dan batasan istilah yang ada. Istilah-istilah di atas adalah:
Menurut bahasa, kata‘iddah berasal dari kata ’adad (bilangan dan ihshaak
(perhitungan), seorang wanita yang menghitung dan menjumlah hari dan masa
haidh atau masa suci. ‘Iddah adalah waktu menunggu bagi istri yang
perkawinannya putus dengan suami. Pada masa ‘’iddah ini perempuan belum
boleh melangsungkan pernikahan kembali dengan laki-laki lain.
Perngertian penentuan awal masa ‘iddah adalah penentuan kapan hari
pertama dihitungnya ‘iddah. ‘Iddah yang dibahas pada penelitian ini adalah
‘iddah bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian.Penulis
menggunakan kata ‘iddah sebagai masa tunggu bagi perceraian karena pada
masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati suaminya sering disebut ihdad.
F. Telaah Pustaka
Telaah terhadap penelitian terdahulu dibutuhkan untuk memperjelas,
menegaskan, melihat kelebihan dan kelemahan berbagai teori yang digunakan
penulis lain pembahasan masalah yang serupa. Selain itu penelitian terdahulu
perlu disebutkan dalam sebuah penelitian untuk memudahkan pembaca
membandingkan perbedaaan hasil kesimpulan oleh penulis dengan peneliti
yang lain dalam melakukan pembahasan tema yang hampir serupa.
Penelitian ini tentu saja bukan merupakan penelitian pertama yang
mengangkat permasalahan ‘Iddah. Ada penelitian terkait dengan ‘iddah, salah
satunya yang telah dilakukan oleh penghulu KUA di daeraah kantor
Kementrian Agama Kabupaten Serang, Daerah Istimewa Yogyakarta yang
tentunya dengan fokus dan permasalahan yang berlainan.
Penelitian tentang ‘iddah, sebelumnya pernah dilakukan oleh Eko
Mardiono
yang
diupload
di
blog
miliknya
Ekomardion(http://ekomardion.blogspot.com)dengan judul Tanggal Menjadi
Janda. Penelitian ini menggunakan 3 pendekatan, yang pertama, pendekatan
aspek gramatikal yang dimaksud pendekatan aspek gramatikal di sini ialah
pengkajian permasalahan dengan cara menganalisis tatabahasa, jenis, dan
susunan kalimat yang digunakan dalam akta cerai. Yang keduaPendekatan
Aspek Format Akta, yaitu pengkajian dengan pendekatan aspek ini adalah
penelaahan permasalahan dengan cara menganalisis bentuk dan format akta.
Dengan pendekatan aspek ini, akan bisa diketahui kedudukan beberapa
tanggal yang tercantum dalam berbagai bagian akta. Yang ketiga pendekatan
aspek yuridis formal,yang dimaksud pendekatan dengan aspek yuridis formal
ini adalah analisis suatu masalah dengan cara merujukkan kembali kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada kesimpulan diterangkan
bahwa ‘iddah dihitung sejak tanggal keluarnya akta.
G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif yang meliputi:
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi
kasus dengan menggunakan metode yuridis empiris. Penelitian ini juga
termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research) dalam
pelaksanaannya menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif,
yang umumnya menggunakan strategi multi metode yaitu, wawancara,
pengamatan, serta penelaahan dokumen/study documenter yang antara satu
dengan
yang
lain
saling
melengkapi,
memperkuat,
dan
saling
menyempurnakan (Sukmadinata, 2005: 108).
Lebih spesifiknya penelitian ini mengadopsi pendekatan grounded
Teory, menurut Daymond dan Holloway (2008: 180-181) yaitu, sebuah
pendekatan
yang
refleksif
terbuka
dimana
pengumpulan
data,
pengembangan konsep teoritis, serta ulasan literatur berlangsung dalam
proses siklus berkelanjutan. Dalam laporan penelitian ini, data berasal dari
naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, dan dokumen
resmi lainnya.
2. Kehadiran Peneliti
Penelitian dan pengumpulan data-data di Pengadilan Agama
Salatiga KUAdimulai pada tanggal 25 Agustus sampai 2 September 2013
dengan disertai penyusunan laporan hasil penelitian ini.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Pengadilan Agama Salatiga dan
KUA Argomulyo. Adapun alasan pemilihan tempat adalah karena
keduanya terkait dengan masalah penentuan awal masa ‘iddah. Upaya
peningkatan dan pemahaman pengetahuan mengenai Hukum Islam
khususnya mengenai penetapan awal perhitungan ‘iddahharus secara
berlajut dikembangkan. Agar tidak terjadi kesenjangan antara norma
hukum positif dan norma yang berkembang di masyarakat.
4. Sumber Data
Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari obyek yang
diteliti. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ini adalah kata-kata,
tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (sumber
data tertulis, foto, dll) (Moleong, (2007: 157).
Sumber data dibagi menjadi dua yaitu:
a. Data Primer
Data atau informasi yang diperoleh langsung dari orang-orang
yang terlibat atau mengetahui seluk beluk persoalan. Masukan data ini
diperoleh data melalui: Hakim Pengadilan Agama Salatiga, Kepala
KUA Argomulyo dan para pihak yang bersangkutan. Sedangkan dalam
pengambilan data dilakukan dengan bantuan catatan lapangan, dan
dengan bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu observasi
dilakukan dengan melakukan pengamatan di Pengadilan Agama
Salatiga dan KUA Argomulyo.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain
selain data primer. Diantaranya Al Qur’an, Hadits, buku-buku literatur,
internet, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi lembaga-lembaga
yang terkait dengan penelitian ini. Data tersebut diantaranya bukubuku referensi.Buku-buku referensi ialah: koleksi buku yang memuat
informasi yang spesifik, paling umum, serta paling banyak dirujuk
untuk
keperluan
cepat.
Yang
termasuk
buku-buku
referensi
diantaranya kamus, baik umum ataupun biografi, buku indeks, buku
biografi yang berisi informasi buku-buku bidang atau aspek tertentu,
dan sebagainya(Mestika,2004: 10).
5. Prosedur Pengupulan Data
Metode-metode yang digunakan dalam pengumpulan data yang
diperlukan yaitu:
a. Metode wawancara mendalam (depth interview)
Dalam metode ini penulis menggunakan teknik interview guide
yaitu, cara pengumpulan data dengan menyampaikan secara langsung
daftar pertanyaan yang telah disusun sebelumnya guna memperoleh
jawaban yang langsung pula dari para responden. (Koentjaraningrat,
1986:138). Adapun wawancara yang dilakukan ditujukan kepada
hakim Pengadilan Agama Salatiga dan Kepala KUA Argomulyo.
b. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan
cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada, berkaitan
dan relevan. Dalam melaksanakan metode ini, peneliti menyelidiki
benda-benda tertulis seperti buku, peraturan rapat, catatan harian,
agenda kegiatan, dan sebagainya (Arikunto, 1989: 131). Metode ini
digunakan untuk memperoleh data, sejarah, dan seluk beluk yang
terkait dengan Putusan Pengadilan Agama Salatiga dan KUA
Argomulyo.
c. Metode Observasi
Metode Observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan
pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki. Sedangkan teknik
observasi yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
terjun langsung kelapangan yang hendak diteliti.
6. Analisis Data
Setelah data terkumpul, penyusun berusaha mengklarifikasikan
untuk menganalisis, sehingga diperoleh kesimpulan akhir. Adapun metode
analisis data yang akan dipakai untuk menganalisis dalam pembahasan ini
adalah, data kualitatif dengan menggunakan metode berfikir induksi dan
deduksi.
a. Induksi yaitu, analisa dari data-data yang bersifat khusus, kemudian
ditarik konklusinya yang dapat digeneralisasikan menjadi kesimpulan
yang bersifat umum.
b. Deduksi yaitu, analisa dari data-data yang bersifat umum, kemudian
diambil kesimpulan yang bersifat khusus.
7. Pengcekan Keabsahan Data
Dalam hal pengecekan keabsahan data penelitian terhadap
beberapa kriteria keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara
tepat. Teknik pemeriksaannya yaitu, dalam penelitian ini harus terdapat
kredibilitas yang dibuktikan dengan
ketekunan pengamat, triangulas,
pengecekan sejawat kecukupan referensi, adanya kriteria kepastian dengan
teknik uraian rinci dan audit kepastian.
Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam
penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan
pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin
validitas data akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk
keperluan
pengecekan
atau
sebagai
pembanding
terhadap
data
itu.(Moleong, 2006: 330). Validitas data akan membuktikan apakah data
yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada dilapangan atau tidak. Dengan
demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan dikontrol oleh data
yang sama dari sumber yang berbeda.
8. Tahap-tahap Penelitian
a. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan dilakukan dengan penelitian literatur-literatur
tentang ‘iddah.
b. Pengembangan desain
Setelah didapati pengetahuan yang cukup tentang konsep-konsep
‘iddah, kemudian penulis melakukan observasi ke obyek penelitian
untuk melihat secara langsung praktek pada penentuan awal masa
‘iddah oleh Pengadilan Agama Salatiga dan KUA Argomulyo.
c. Penelitian Sebenarnya
H. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika ini akan dijelaskan mengenai beberapa uraian pada
pembahasa sebelumnya yang mana dalam penelitian ini akan dibahas dalam 5
Bab.
BAB I berisi pendahuluan untuk mengantarkan pembahasan skripsi secara
keseluruhan. Bab ini terdiri dari enam sub bab : latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan, kegunaan, penegasan istilah, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II akan dideskripsikan tinjauan umum tentang ‘iddah menurut fiqh dan
KHI. Bab ini terdiri dari beberapa sub bab, antara lain: pengertian, dasar
hukum, macam-macam, tujuan dan konsep perhitungan ‘iddah serta
hikmahnya.
BAB III memuat uraian tentang data dan temuan yang diperoleh di Pengadilan
Agama Salatiga dan KUA Argomulyo, yang berisi: hasil wawancara dengan
hakim Pengadilan Agama dan kepala KUA berupa biografi hakim,
pemahaman tentang penentuan awal masa ‘iddah.
BAB IV akan diberikan analisis terhadap konsep penentuan awal masa ‘iddah,
dan implementasi fiqh KHI.
BAB V sebagai penutup akan diberikan kesimpulan akhir disertai dengan
saran-saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH
A. ‘IDDAHMENURUT FIQH
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena
ditalak atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum
yaitu ‘iddah. Keharusam ber-’iddah merupakan perintah Allah yang
dibebankan kepada bekas istri yang telah dicerai. Untuk memudahkan
pembahasan kita mengenai
pembahasan mengenai ‘iddah, maka akan
diterangkan pengertian, dasar hukum, dan macam-macam dan perhitungan
‘iddah, sebagai berikut.
1. Pengertian
a. Secara Etimologi
‘Iddah adalah bahasa Arab yang berasal dari akar kata ‘addaya’uddu- ‘idatan dan jamaknya adalah ‘idad, secara arti kata
(etimologi) berarti menghitung atau hitungan. Kata ini digunakan
untuk maksud ‘iddah karena dalam masa itu si perempuan yang ber’iddah menunggu berlalunya waktu (Syarifuddin, 2006:303).
Wahbah Zuhaili mengemukakan :
‫ ﻣﺎﺧﻮﺫﺓ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺪﺩ ﺍﻻﺳﺘﻤﺎﻟﻬﺎ ﻋﻠﻰ ﻋﺪﺩﺍ ﻻﻗﺮﺍﺀ ﺍﻭ‬,‫ ﺍﻻﺣﺼﺎﺀ‬:‫ﻭﻫﻮ ﻟﻐﺔ‬
‫ﺍﻻﺷﻬﺮ‬
‫ﻏﺎﻟﺒﺎ‬
Artinya : “Iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari
kata Adad (Bilangan) karena mencakup atas bilangan dari
beberapa quru’ dan beberapa bulan menurut kebiasaan.”
Sayyid Sabiq (1987:150) memaparkan :
ِّ‫ ﺗَﺤْﺼِﯿْﮭِﻤَﺎاَي‬: َ‫اﻻَﺣْﺼَﺎء‬. ‫ اﻟﻌَﺪَدِﻣِﻨَّﺨُﻮْذَةُﻣَﺎ‬: َّ‫ةُااﻟﻌِﺪ‬
ِ‫وَاﻻَﻗْﺮَاءِاﻻَﯾَّﺎﻣِﻤِﻨَّﻮَﺗُﻌَﺪِّھِﺎﻟﻤَﺮْاَة‬
Artinya : “Iddah terampilan dari kata ‘Adad, artinya menghitung,
maksudnya perempuan yang menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya.”
Adapun pendapat Abdurrahman Aljaziri menyebutkan:
‫ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻓﻰ ﺍﻟﻠﻐﺔ ﻣﺎﺣﻮﺩﺓ ﻣﻦﺍﻟﻌﺪﺩ ﻫﻰ ﻣﺼﺪﺭ ﺳﻤﺎﻋﻰ ﻟﻌﺪ ﺑﺴﻰ ﺍﺣﺺ‬
‫ﺗﻄﻠﻖ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﻟﻐﺔ ﻋﻠﻰﺍﻳﺎﻡ ﺣﻴﺺﺍﻟﻤﺮﺍﺓ ﺍﻭﺍﻳﺎﻡ‬
‫ﻇﻬﺮﻩ‬
Artinya : “Iddah menurut bahasa berasal dari kata ‘adad yaitu
masdar sima’i bagi ‘adda yang berarti menghitung. Selain itu
dipakai juga istilah iddah menurut bahasa pada hari-hari haidnya
seorang perempuan atau sucinya.”
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh
tersebut dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa
berasal dari kata ‘adda yang berarti bilangan, menghitung, dan
menahan. Maksudnya perempuan menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya setelah diceraikan suaminya.
b.
Secara Terminologi
Mengenai definisi ‘iddah menurut terminologi terdapat beberapa
redaksi yang berbeda dari para fuqoha’ sesuai dengan sudut pandang
masing-masing. Di antaranya ada yang mengemukakan defenisi
‘iddah dengan menekankan kepada macam-macam ‘iddah, ada yang
mengutamakan tujuan dan ada yang mengedepankan sebab. Sekalipun
redaksinya berbeda tapi semuanya bermuara pada tujuan yang sama.
Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian ‘iddah
menurut istilah yaitu :
‫وھﻲﻣﺪةﺗﺘﺮﺑﺺﻓﯿﮭﺎاﻟﻤﺮاةﻟﻤﻌﺮﻓﺔﺑﺮاةرﺟﻤﮭﺎاوﻟﻠﺘﻌﺒﺪاوﻟﺘﻔﺠﻌﮭﺎ‬
‫ﻋﻠﻰزوج‬
Artinya : “Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan
untuk mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan
ibadah atau untuk menghilangkan rasa duka karena kematian
suami.”
Definisi iddah yang dikemukakan oleh Abi Yahya al Zakaria tersebut
lebih mengutamakan tujuan iddah. Adapun tujuan iddah ini adalah
untuk mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan, untuk
melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka bagi
seorang perempuan yang kematian suaminya (Wahyudi,2009:10).
Sayyid sabiq (1987:150) memberikan definisi tentang iddah yakni :
َ‫اﻟﺘَﺰَوِّﯾْﺠُﻌَﻨْﻮَﺗﻤﺘﻨﻌﺎﻟﻤَﺮْاَةُﻧِﯿْﮭَﺎﺗَﻨْﺘَﻈِﺮُاﻟَّﺘِﯿﺎﻟﻌِﺪَّةُاِﺳْﻤُﮭِﻲ‬
ْ‫ ﻟَﮭَﻔَﺮَاﻗَﺎَو‬,َ‫زَوْﺟُﮭَﺎوَﻓَﺎةَﺑَﻌْﺪ‬
Artinya : Iddah adalah nama dari suatu masa, dimana seorang
perempuan dalam masa itu menunggu dan menahan diri dari
melangsungkan pernikahan setelah suaminya wafat atau dicerai
oleh suaminya.
Sayyid Sabiq dalam mengemukakan pendapatnya tentang definisi
iddah lebih menekankan pada sebab ‘iddah itu sendiri di mana ‘iddah
merupakan masa menunggu bagi perempuan. Selama masa tunggu itu
ia tidak boleh kawin dengan laki-laki lain. Adanya ‘iddah itu
disebabkan oleh kematian suami atau karena perceraian.
SedangkanIsmail al-Shan’ani menjelaskanpengertian‘iddah
adalah‫ﺍﻟﻤﺮﺍﺓ‬
‫ﻣﺪﺓ ﺗﺘﺮﺑﺺ ﻓﻴﻬﺎ‬
(masa tunggu)
yang
dilalui
oleh
seorang
perempuan. Definisi ini masih perlu penjelasan mengenai apa yang
tunggu, kenapa menunggu, dan untuk apa menunggu. Adapun definisi
Ismail al-Shan’ani yang menjawab apa yang ditunggu dan kenapa
menunggu sebagai berikut:
‫ﺍﺳﻢ ﻟﻤﺪﺓ ﺗﺘﺮﺑﺺ ﺑﻬﺎﺍﻟﻤﺮﺍﺓ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺰﻭﻳﺞ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺯﻭﺟﻬﺎ ﻭﻓﺮﺍﻗﻪ‬
‫ﻟﻬﺎ‬
Artinya: Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan
menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena
wafatnya suaminya atau bercerai dengan suaminya.
Definisi untuk apa dia menunggu dapat ditemukan dalam definisi di
bawah ini, yang bunyinya:
‫ﻣﺪﺓ ﺗﺘﺮﺑﺺ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻤﺮﺍﺓ ﻟﺘﻌﺮﻑ ﺑﺮﺍﺋﺔ ﺭﺣﻤﻬﺎ ﺍﻭ‬
‫ﻟﻠﺘﻌﺒﺪ‬
Artinya: masa tunggu yang haru dilalui oleh seorang perempuan
untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk
beribadah (Syarifuddin, 2006:304).
Sementara itu ulama Hanafiah sebagaimana yang dikutip oleh
Abdurrahman Al-Jaziri berpendapat bahwa defenisi ‘iddah adalah:
‫ﺍﻧﻬﺎ ﺗﺮﺑﺺ ﻣﺪﺓ ﻣﻌﻠﻮﻣﺔ ﺗﻠﺮﻡ ﺍﻟﻤﺮﺍﺓ ﺑﻌﺪ ﺯﻭﺍﻝ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﺻﺤﻴﺤﺎ ﺑﺸﺒﻬﺔ‬
‫ﺍﺫﺍ ﺗﺎﻛﺪ ﺑﺎﻟﺪﺧﻮﻝ‬
‫ﺍﻭﺍﻟﻤﻮﺕ‬
Artinya : “Iddah adalah masa menunggu bagi seorang perempuan
yang harus dilaksanakannya setelah putusnya perkawinan, baik
perkawinan secara sah atau pun secara shubhat atau apabila ia
yakin telah terjadi dukhul atau karena kematian.”
Menurut ulama Hanafiah, ‘iddah diwajibkan karena putusnya suatu
perkawinan secara sah atau shubhat dengan syarat telah terjadi
hubungan suami istri (dukhul)
Beranjak dari beberapa definisi yang dipaparkan oleh para ulama
tersebut dapat dirumuskan bahwa ‘iddah menurut syariat Islam ialah
masa tunggu bagi seorang perempuan yang pada masa tersebut ia
dilarang kawin dengan laki-laki lain. Masa tunggu ini dijalani karena
ada sebab, yaitu istri yang ditalak oleh suaminya dan telah digauli atau
istri yang ditinggal mati oleh suaminya.
2. Dasar Hukum
Aturan ‘iddah ditujukan bagi perempuan yang bercerai dari suaminya,
tidak ditujukan bagi laki-laki atau suami. Perempuan yang dicerai suami
dalam bentuk apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil atau tidak,
masih berhaid atau tidak, wajib menjalani ‘iddah (Syarifuddin, 2006:304).
Seluruh imam mazhab sepakat atas wajibnya ‘iddah, landasan dasarnya
terdapat pada al-Qur’an dan Hadist.
a.
Dasar hukum dari firman Allah SWT dapat dilihat dalam :
1) Surat al Baqarah ayat: 228
àM »s)¯=sÜ ßJ ø9$#uršÆ
óÁ ­/uŽtItƒ£̀ ÎgÅ¡ àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4Ÿw ur‘@ Ïts†£̀ çlm;b r&z̀ ôJ ç
Fõ3 tƒ$tBt, n=y{ ª! $#þ’Îû£̀ ÎgÏB%tn ö‘r&b Î)£̀ ä.£̀ ÏB÷sル! $Î/ÏQ öqu‹ø9$#ur̍Åz Fy $#4£̀ åkçJs9qã
èç/ur‘, ym r&£̀ Ïd ÏjŠtÎ/’Îûy7 Ï9ºsŒ÷b Î)(#ÿrߊ#u‘r&$[s »n=ô¹ Î)4£̀ çlm;urã@ ÷WÏB“ Ï% ©!$#£̀ ÍköŽn=tã Å
$ rá÷èpRùQ$Î/4ÉA $y_ Ìh=Ï9ur£̀ ÍköŽn=tã ×py_ u‘yŠ3ª! $#ur͕tã îLìÅ3 ym ÇËËÑÈ
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari
akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam
masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang
dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana(Departemen Agama,1998:28).
Firman Allah SWT di atas menjelaskan kewajiban ber-’iddah
bagi perempuan yang ditalak, yaitu tiga kali quru’. Asbabun
nuzul ayat ini berkaitan erat dengan Asma binti Yazid bin Sakan
al Anshariyah. Dia pada waktu diceraikan oleh suaminya di
zaman Rasulullah SAW disaat itu belum ada hukum iddah bagi
seorang
perempuan
yang
dijatuhi
talak
oleh
suaminya.
Sehubungan dengan itu Allah menurunkan ayat ini sebagai
ketegasan hukum bagi perempuan yang diceraikan suaminya dan
untuk memberikan penjelasan tentang betapa pentingnya masa
iddah sebab dengan demikian dapat diketahui apakah perempuan
yang diceraikan itu dalam keadaan hamil atau tidak.
2) Surat al Baqarah ayat 234
tûïÏ% ©!$#urtb öq©ùuqtFãƒöN ä3 ZÏBtb râ‘x‹ tƒur%[` ºurø—r&z̀ óÁ ­/uŽtItƒ£̀ ÎgÅ¡ àÿ Rr'Î/spyèt/ö‘r&9åkô
­r&#ZŽô³ tã ur(............
Artinya: Dan orang-orang yang meninggal di antara kamu
dengan meninggalkan istri-istrinya (hendaklah para istri
itu) beridah empat bulan sepuluh hari... (Departemen
Agama,1998: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa istri yang kematian suaminya
wajib ber-’iddah empat bulan sepuluh hari. Kewajiban ‘iddah ini
juga berlaku terhadap perempuan yang ditinggal mati oleh
suaminya meskipun mereka belum bercampur sebagai suami istri.
3) Surat at talak ayat 4
‘ Ï«¯»©9$#urz̀ ó¡ ͳtƒz̀ ÏBÇÙ ŠÅs yJ ø9$#` ÏBö/ä3 ͬ!$|¡ ÎpSÈb Î)óO çFö;s?ö‘$#£̀ åkèE£‰ ÏèsùèpsW»n=rO9ßgô
© r&‘ Ï«¯»©9$#uróO s9z̀ ôÒ Ïts†4àM »s9'ré&urÉA $uH÷q F{ $#£̀ ßgè=y_ r&b r&z̀ ÷èŸÒ tƒ£̀ ßgn=÷Hxq 4̀ t
BurÈ, ­Gtƒ©! $#@ yèøgs†¼ã&©!ồ ÏB¾Ín͐öDr&#ZŽô£ ç„ÇÍÈ
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuanperempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya
(Departemen Agama,1998:446).
Dari penjelasan di atas Surat at talak ini membicarakan tentang
lamanya masa ‘iddah perempuan-perempuan yang diceraikan
oleh suaminya. Perempuan yang tidak haid karena menopause
atau karena masih kecil, iddahnya tiga bulan, dan perempuan
yang hamil ‘iddah-nya sampai melahirkan.
b. Dasar hukum dari hadist Nabi SAW
Sedangkan hadist yang mengandung hukum dasar ‘iddah terdapat
pada hadist yang disampaikan Aisyah menurut riwayat Ibnu Majah
dengan yang bunyinya:
‫ﺍﻣﺮ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﺮﻳﺮﺓ ﺍﻥ ﺗﻌﺘﺪ ﺑﺜﻼﺙ‬
‫ﺣﻴﺾ‬
Artinya: Nabi SAW menyuruh baurairah untuk ber-’iddah selama
tiga kali haid.
Hadist lain yang berkaitan dengan ‘iddah ini dapat dilihat dalam sabda
Nabi SAW yang suaminya mauquf, yaitu :
‫ﻭﻋﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻓﻰ ﺍﻣﺮﺍﺓ ﺍﻟﻤﻔﻘﻮﺩ ﺗﺮﺑﺺ ﺍﺭﺑﻊ ﺳﻨﻴﻦ ﺛﻢ ﺗﻌﺘﺪ‬
‫ﺍﺭﺑﻌﺔ ﺍﺷﻬﺮ ﻭﻋﺸﺮﺍ‬
Artinya: Dari Umar ra berkata : bagi perempuan yang kehilangan
suaminya dan ia tidak menetahui di mana suaminya berada,
sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun,
kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari. (hadist
riwayat Malik)
Hadist diatas mengisahkan seorang istri yang kehilangan suami.
Dalam
kisah
tersebut
dinyatakan
bahwa
suaminya
hilang
disembunyikan jin selama empat tahun. Setelah siistri mengetahui
suaminya hilang, dia pergi menghadap Umar bin Khattab dan Umar
menyuruh perempuan itu menunggu selama empat tahun, sesudah
berlalu empat tahun, Umar memanggil wali si suami dan
memerintahkanya untuk menceraikan perempuan itu sebagai wali dari
suaminya. Kepada perempuan itu umar memerintahkan agar ber’iddah empat bulan sepuluh hari.
c.
Dasar hukum dari ijmak
Berdasarkan ayat dan hadist di atas, ulama fiqh sepakat
menyatakan bahwa perempuan yang muslimah yang telah bercerai
dengan suaminya wajib menjalani ‘iddah. Dengan memperhatikan
firman Allah di atas dan sabda Nabi SAW, serta ulama, maka tidak
dapat disangkal lagi bahwa setiap perempuan wajib menjalani masa
iddah yang disebabkan oleh :
1) Kematian suami
2) Putusnya ikatan perkawinan dengan jalan talak, khuluk, ataupun
fasakh.
3) Watha’ syubhat
3. Tujuan ‘iddah
Setiap perintah Allah pasti memiliki tujuan, begitu juga dengan’iddah.
Tujuan diadakannya ‘iddah sebagai berikut:
a. Bagi perceraian antara suami istri yang telah bercampur, ‘iddah
diadakan dengan maksud mengetahuai kekosongan rahim. Mengetahui
kekosongan rahim sangat penting untuk memastikan bahwa mantan
suami tidak meninggalkan benih. Ini bertujuan menjaga agar tidak
sampai terjadi percampucaran/kekacauan nasab bagi anak yang
dilahirkan.
b. Perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat atau miistaqan
ghalizhaan, oleh karena itu pernikahan ini harus diupayakan agar tidak
putus. Pada bagian ini ‘iddah bertujuan bagi suami istri berpikir untuk
melanjutkan berumah tangga (ruju’).
c. Dalam
cerai mati,
‘iddah
merupakan masa
berkabung atas
meninggalnya suami.
d. Untuk menunjukan betapa pentingnya masalah perkawinan dalam
ajaran Islam. Perkawinan merupakan peristiwa yang amat penting
dalam hidup manusia dan merupakan jalan yang sah untuk memenuhi
hasrat naluri hidup serta dalam waktu sama merupakan salah satu
macam ibadah kepada Allah itu jangan sampai mudah diputuskan.
Oleh karenanya, perkawinan merupakan peristiwa dalam hidup
manusia yang harus dilaksanakan dengan cara dewasa; dipikirkan
sebelum dilaksanankan dan dipikirkan masak-masak pula apabila
harus bercerai (Basyir, 1999:95).
4. Macam dan Perhitungan ‘iddah
Ditinjau dari sebab-sebab putusnya perkawinan dan keadaan dari istri
iddah dibagi menjadi kedalam beberapa macam. Masing-masing macam
memiliki lama perhitungan masanya tersendiri.
a. Cerai Mati
‘iddah perempuan yang ditinggal mati suami, baik telah digauli
atau belum. ‘iddah-nya adalah selama 4 bulan sepuluh hari. Dalam hal
ini tidak terdapat perbedaan di kalangan ulama. Yang menjadi dasar
hukumnya adalah firman Allah dalam suratAl-Baqarah ayat 234
tûïÏ%©!$#urtb öq©ùuqtFãƒöN ä3 ZÏBtb râ‘x‹ tƒur%[` ºurø—r&z̀ óÁ ­/uŽtItƒ£̀ Îg Å¡ àÿ Rr'Î/spyèt/ö‘r&9åkô­r&#ZŽô³ t
ã ur(#sŒÎ*sùz̀ øón=t/£̀ ßgn=y_ r&Ÿx sùy $oYã_ ö/ä3 øŠn=tæ $yJ ŠÏùz̀ ù=yèsùþ’ Îû£̀ ÎgÅ¡ àÿ Rr&Å$ râ÷êyJ ø9$Î/3ª
! $#ur$yJ Î/tb qè=yJ ÷ès?׎Î6yz ÇËÌÍÈ
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat
(Departemen Agama,1998:30)
Ayat ini secara tegas dan umum mengatakan keharusan istri yang
ditinggal mati suami wajib menjalani ‘iddah selama 4 bulan sepuluh
hari. Tidak berlaku ketentuan surat Al-Azhab. 33:49, tidak berlaku
‘iddah sebelum digauli. Ketentuan ini disepakati oleh seluruh ulama.
b. Belum Dicampuri
Para ulama mazhab sepakat bahwa wanita yang ditalak sebelum
dan sebelum khalwat, tidak ber-’iddah. Namun terdapat perbedaan
pendapat pada wanita yang telah ber-khalwat namun
belum
dicampuri. Sebagian mengatakan wajib ber-’iddah dan sebagian lain
sebaliknya.
Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat, apabila suami telah berkhalwat dengannya tetapi tidak sampai dicampuri kemudian ditalak,
maka istri tersebut wajib ber-’iddah.‘iddahnya sama dengan istri yang
telah dicampuri.
Imamiyah dan Syafi’i berpendapat, khalwat tidak mengakibatkan
apapun. Oleh karena itu perempuan yang telah berkhalwat namun
belum dicampuri tidak memiliki ‘iddah.
c. ‘Iddah wanita hamil
Bagi istri yang ditalak dalam keadaan hamil, ‘iddah-nya sampai
melahirkan. Ketentuan ini terdapat pada firman Allah dalam surat AtThalaq ayat 4
àM »s9'ré&urÉA $uH÷q F{ $#£̀ ßgè=y_ r&b r&z̀ ÷èŸÒ tƒ£̀ ßg n=÷Hxq 4̀ tBurÈ, ­Gtƒ©! $#@ yèøgs† ¼ã&©!ồ ÏB¾Ín͐öDr&
#ZŽô£ ç„ÇÍÈ
Artinya: ......... Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.
Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (Departemen
Agama,1998:446)
Ayat di atas dikuatkan dengan hadist nabi yang berasal dari alMiswar bin Mukrimah menurut riwayat Al-Bukhari yang bunyinya:
‫ﺍﻥﺳﺒﻴﻌﺔ ﺍﻷﺳﻼﻣﻴﺔ ﻧﻔﺴﺖ ﺑﻌﺪ ﻭﻓﺎﺓ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺑﻠﻴﺎﻝ ﻓﺠﺎﺀﺕ ﺍﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻰ‬
‫ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﺎﺳﺘﺎﺫﻧﺖ ﺍﻥﺗﻨﻜﺢ ﻓﺎﺫﻥ ﻟﻬﺎ‬
‫ﻓﻨﻜﺤﺖ‬
Artinya: bahwasanya Su’aibah al-Aslamiyah melahirkan anak
setelah beberapa hari suaminya meninggal dan dia datang kepada
Nabi SAW, meminta izin untuk kawin lagi. Nabi memberikan izin
kepadanya dan dia melangsungkan perkawinan.
‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya merupakan
perbincangan di kalangan ulama, baik dalam keadaan ditinggal mati
suaminya. Ini disebabkan di satu sisi dia sedang hamil (ketentuan AtThalaq.65:2), di sisi lain perempuan tersebut ditinggal mati suaminya
(ketentuan Al-Baqarah.2:234).
Jumhur ulama berpendapat bahwa perempuan tersebut menjalani
masa ‘iddah sampai melahirkan anak, meskipun dia juga dalam
keadaan ‘iddah cerai mati. Pendapat lain dikemukakan Ibnu Abbas dan
diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib yang berpendapat bahwa
‘iddah wanita hamil dalam keadaan cerai mati adalah masa terpanjang
antara melahirkan dan empat bulan sepuluh hari.
d. Sudah Dicampuri Tidak dalam Keadaan Hamil
1) Sedang Haidh
‘iddah bagi wanita yang sudah dicampuri tidak dalam keadaan
hamil dan tidak dalam keadaan haidh adalah 3 quru’. Adapun dasar
hukumnya adalah firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 228
àM »s)¯=sÜ ßJ ø9$#uršÆ
óÁ ­/uŽtItƒ£̀ Îg Å¡ àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4.....
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'........ (Departemen Agama,1998:30)
Terdapat perbedaan diantara ulama tentang maksud dari tiga
quru’, apakah tiga kali suci atau tiga kali haid. Ulama Hanafiyah
dan Imam Ahmad berpendapat bahwa lafadz quru’ berarti haidh.
Petunjuk yang digunakan oleh para ulama ini adalah surat AtThalaq ayat 4
‘ Ï«¯»©9$#urz̀ ó¡ ͳtƒz̀ ÏBÇÙ ŠÅs yJ ø9$#` ÏBö/ä3 ͬ!$|¡ ÎpSÈb Î)óO çFö;s?ö‘$#£̀ åkèE£‰ ÏèsùèpsW»n=rO9ßgô© r&
‘ Ï«¯»©9$#uróO s9z̀ ôÒ Ïts†4.....
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka
adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan
yang tidak haid (Departemen Agama,1998:446)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa orang yang tidak
haidh lagi ‘iddah-nya diperhitungkan dengan bulan. Kalau begitu
bila dia masih haidh, maka ‘iddahnya adalah tiga kali suci.
Ulama Syafi’iyah, Malikiyah, Zhahiriyah dan Syi’ah Imamiyah
berpendapat bahwa ‘iddahadalah tiga kali suci. Alasan yang
digunakan oleh ulama ini adalah firman AllahAt-Thalaq ayat 4
......#sŒÎ)ÞO çFø) ¯=sÛ uä!$|¡ ÏiY9$#£̀ èd qà)Ïk=sÜ sù Æ
ÍkÌE£‰ ÏèÏ9......
Artinya:....apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)..... (Departemen
Agama,1998:446)
Yang dimaksud ‘iddah pada ayat tersebut adalah masa yang
langsung masuk ‘iddah. Masa tersebut adalah masa suci. Dengan
begitu adalah dengan tiga kali suci.
2) Ketika Suci
Perempuan yang sudah digauli pada masa suci dan tidak dalam
keadaan hamil, ‘iddah-nya adalah 3 bulan. Dasar perhitungannya
adalah firman Allah At-Thalaq 1
$pkš‰r'¯»tƒÓ É<Z̈9$##sŒÎ)ÞO çFø)¯=sÛ uä!$|¡ ÏiY9$#£̀ èd qà)Ïk=sÜ sù Æ
ÍkÌE£‰ ÏèÏ9(#qÝÁ ôm r&urno£‰ Ïèø9$#(#
qà)¨?$#ur©! $#öN à6 ­/u‘(........
Artinya: Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu,
maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka
dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah
waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.......
(Departemen Agama,1998:445).
e. ‘Iddah istri yang tidak berhaid
Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya atau
ditinggalmati oleh suaminya maka mereka (istri) beriddah selama 3
bulan. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan
perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, baik ia sama sekali
tidak berhaid sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus
haidnya (Syarifuddin, 2006:318). Hal ini berdasarkan pada firman
Allah Ath Thalaq ayat 4yang berbunyi sebagai berikut:
‘ Ï«¯»©9$#urz̀ ó¡ ͳtƒz̀ ÏBÇÙ ŠÅs yJ ø9$#` ÏBö/ä3 ͬ!$|¡ ÎpSÈb Î)óO çFö;s?ö‘$#£̀ åkèE£‰ ÏèsùèpsW»n=rO9ßgô© r&‘ Ï«¯»©9$
#uróO s9z̀ ôÒ Ïts†4..........
Artinya: dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu raguragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid ....... (Departemen Agama,1998:446)
B. ‘IDDAHMENURUT KHI
Dalam KHI ‘iddahdisebut dengan waktu tunggu. Konsep-konsep
mengenai waktu tunggu yang terdapat pada KHI diambil dari fiqh. Berikut
akan diterangkan tentang dasar hukum dan macam-macam serta perhitungan
waktu tunggu menurut KHI.
1. Dasar Hukum ‘iddah
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya dari suaminya,
berlaku baginya waktu tunggu (masa ‘iddah), kecuali apabila seorang istri
dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dukhul), baik karena
kematian, perceraian atau atas keputusan pengadilan. Dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan pada Pasal 153, 154 dan 155 (Rofiq, 2013:245).
Pasal 153 ayat (1) Kompilasi menyatakan:
Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau ‘iddah kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus
bukan karena kematian suami.
Dasarnya, firman Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 49:
$pkš‰r'¯»tƒtûïÏ%©!$#(#þqãZtB#uä#sŒÎ)ÞO çFós s3 tRÏM »oYÏB÷sßJ ø9$#¢O èO£̀ èd qßJ çGø)¯=sÛ ` ÏBÈ@ ö6s%b r& Æ
è
d q¡ yJ s?$yJ sùöN ä3 s9£̀ ÎgøŠn=tæ ồ ÏB;o£‰ Ïã $pktXr‘‰ tF÷ès?(£̀ èd qãèÏnGyJ sù£̀ èd qãm ÎhŽ| ur%[n #uŽ| W
x ŠÏHsd ÇÍÒÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak
wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya
(Departemen Agama,1998:49).
2. Macam-Macam dan Perhitungan Waktu Tunggu
Adapun macam-macam waktu tunggu atau masa ‘iddahdapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Putus Perkawinan karena Ditinggal Mati Suami
Ketentuan ini dalam Kompilasi diatur dalam Pasal 153 ayat (2) huruf
a, yang bunyinya:
Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla addukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
Ini berdasar pada firman Allah Al-Baqarah 234
tûïÏ%©!$#urtb öq©ùuqtFãƒöN ä3 ZÏBtb râ‘x‹ tƒur%[` ºurø—r&z̀ óÁ ­/uŽtItƒ£̀ Îg Å¡ àÿ Rr'Î/spyèt/ö‘r&9åkô­r&#ZŽô³ t
............ ã u
r
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari......
(Departemen Agama,1998:30)
Ketentuan tersebut diatas berlaku bagi istri yang ditinggal mati
suaminya dalam keadaan tidak hamil. Apabila istri tersebut dalam
keadaan hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai
melahirkan. Ketentuan ini tertera pada Pasal 153 ayat (2) huruf d KHI
yang bunyinya:
Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda
tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai
melahirkan.
Pasal ini berdasar Al-Qur’an surat Al-Thalaq ayat 4:
‘ Ï«¯»©9$#urz̀ ó¡ ͳtƒz̀ ÏBÇÙ ŠÅs yJ ø9$#` ÏBö/ä3 ͬ!$|¡ ÎpSÈb Î)óO çFö;s?ö‘$#£̀ åkèE£‰ ÏèsùèpsW»n=rO9ßgô© r&‘ Ï«¯»©9$
#uróO s9z̀ ôÒ Ïts†4àM »s9'ré&urÉA $uH÷q F{ $#£̀ ßgè=y_ r&b r&z̀ ÷èŸÒ tƒ£̀ ßgn=÷Hxq 4̀ tBurÈ, ­Gtƒ©! $#@ yèøgs†
¼ã&©!ồ ÏB¾Ín͐öDr&#ZŽô£ ç„ÇÍÈ
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu raguragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak
haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya
kemudahan
dalam
urusannya
(Departemen
Agama,1998:446)
b. Putus Perkawinan karena Perceraian
Waktu tunggubagi istri yang dicerai suaminya ada beberapa
kemungkinan, sebagai berikut:
1) Dalam Keadaan Hamil
Apabila istri dicerai suaminya dalam keadaan hamil maka
‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya (pasal 153 KHI)
2) Dalam Keadaan Tidak Hamil
a) Apabila istri dicerai sebelum terjadi hubungan kelamin, maka
tidak berlaku masa ‘iddahbaginya, yang tertera dalam Pasal
153 ayat (1)
b) Apabila istri dicerai suami setelah terjadi hubungan kelamin
(dukhul):
i. Bagi yang masih datang bulan, waktu tunggunya ditetapkan
3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, yang
tertera dalam Pasal 153 ayat (2) huruf b KHI.
ii. Bagi yang tidak atau belum berdatang bulan masa ‘iddahnya tiga bulan atau 90 hari, yang tertera dalam Ps.153 ayat
(2) huruf b KHI. Tidak datang bulan disini maksudnya
adalah wanita tersebut telah memasuki masa bebas haid
atau menopouse (ayisah).
iii. Bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani
‘iddahtidak haid karena menyusui maka ‘iddah-nya menjadi
3 (tiga) kali suci, yang tertera dalam Pasal 153 ayat 5 KHI.
iv. Dalam keadaan pada ayat (5) tersebut bukan karena
menyusui, maka ‘iddah-nya selama satu tahun, akan tetapi
bila dalam satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka
‘iddah-nya menjadi tiga kali suci.
c. Putus Perkawinan karena Khulu’, Fasakh dan Li’an
Waktu ‘iddahbagi janda yang putus perkawinannya karena khulu’
(cerai gugat atas dasar tebusan atau ‘iwadl dari istri), fasakh (putus
perkawinan misalnya karena salah satu murtad atau sebab lain yang
seharusnya dia tidak dibenarkan kawin) atau li’an, maka waktu tunggu
berlaku seperti ‘iddahtalak, yang tertera dalam Pasal 155 KHI.
d. Istri Ditalak Raj’i kemudian Ditinggal Mati Suami
Apabila ditalak raj’i kemudian dalam waktu ‘iddah sebagaimana
diatur dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan (6) Pasal 153 KHI ditinggal
mati oleh suaminya, maka ‘iddah-nya berubah menjadi empat bulan
sepuluh hari atau 130 hari, terhitung saat matinya suami.
Jadi dalam hal ini, masa ‘iddahyang telah dilalui pada saat suaminya
masih hidup tidak dihitung, akan tetapi dihitung dari saat kematian.
Sebab keberadaan istri yang dicerai selama menjalani masa ‘iddah,
dianggap masih terikat perkawinan, karena bekas suaminya itulah yang
paling berhak untuk merujuknya, selama masih dalam masa ‘iddah(AlBaqarah:228) (Rofiq, 2013:250).
C. HIKMAH ‘IDDAH
Ditetapkannya
‘iddah
bagi
isteri
setelah
putusnya
perkawinan
mengandung hikmah, antara lain sebagai berikut:
1. ‘Iddah bagi istri yang ditalak raj’i oleh suaminya mengandung arti
memberi kesempatan secukupnya kepada bekas suami istri itu untuk
memikirkan, merenungkan dan memperbaiki diri dan pribadi masingmasing, memahami kekurangannya, mempertimbangkan kemaslahatan
hidup
bersama
dimasa-masa
selanjutnnya,
mengenang
jasa
dan
mengenang kebaikan hati pihak yang satu terhadap pihak yang lain,
mempertimbangkan nasib anak-anaknya, kesemuanya itu dianalisa dalam
suasana hati yang tenang dan hati yang dingin. Dengan demikian masingmasing pihak berkesempatan luas untuk mempertimbangkan kesemuanya
itu dengan sebaik-baiknya kemudian bersepakat ruju' kembal sebagai
suami istri.
2. ‘Iddah bagi istri yang ditalak bain oleh suaminya atau perceraian dengan
keputusan pengadilan berfungsi antara lain untuk meyakinkan bersihnya
kandungan istri dari akibat hubungannya dengan suami, baik dengan
menunggu beberapa kali suci/haidh, beberapa bulan tertentu, atau
melahirkan kandungannya, agar dengan demikian terpelihara kemurnian
keturunan dan nasab anak yang dilahirkannya itu, tidak tercampur dengan
laki-laki lain. Juga ‘iddah memberi kesempatan kepada bekas suami untuk
kawin kembali dengan akad nikah yang baru dengan bekas istrinya selama
dalam masa ‘iddah tersebut jika itu dipandang maslahat.
3. ‘Iddah bagi istri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah dalam rangka
berbela sungkawa dan sebagai tanda setia kepada suaminya yang
dicintainya itu, menormalisir kegoncangan jiwa istri akibat ditinggal oleh
kekasihnya itu. Dalam pada itu selama ‘iddah tersedia waktu yang cukup
dan dalam suasana tenang bagi istri dan keluarga suami untuk
menyelesaikan segala hak dan kewajiban yang bertalian dengan suaminya,
merencanakan dan memikirkan secara matang nasib anak-anak yang
ditnggal mati itu. Ber’iddah akibat ditinggal mati suami menjadi bukti
kesetiaan istri, sebab susah dan gundah hati itu memerlukan waktu untuk
menjadi hilang dan pulih kembali. Oleh karena itu dalam masa ‘iddah
karena ditinggal mati, istri disuruh berihdad, yakni mencegah, diri dari
berpakaian menyala, bermake up dan memekai wangi-wangiam, sesuai
dengan suasana berkabung dan tanda kesetiaan.
Penetuan masa ‘iddah menurut Hukum Islam ditetapkan dngan
memperhatikan keadaan istri pada saat terjadi putunya perkawinan
dimaksud, yakni antara suami dan istri telah berkumpul atau belum,
putunya perkawiana itu karena suami meninggal dunia atau bercerai dalam
keadaam sama-sama hidup, apakah pada saat purunya perkawinan itu istri
dalam keadaan hamil atau tidak hamil, serta apakah pada saat putusnya
perkawinan istri belum pernah berhaidh (menstruasi), masih berhaidh,
ataukah sudah lepas haidh (Departemen Agama, 1985: 277).
BAB III
LAPORAN HASIL PENELITIAN DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
DAN KUA ARGOLMUYO
A. HAKIM PENGADILAN AGAMA SALATIGA TENTENG
PENENTUANAWAL MASA ‘IDDAH
1. HAKIM I
a. Profil
1) Nama
: Drs. H. Machmud, SH
2) Alamat
: Jl. Pungkuran 1 RT 04/2 Mranggen, Kab. Demak.
3) TTL
: Semarang, 01 Januari 1957
4) Riwayat Pendidikan
a) SD/MI
: SD
b) SLTP/MTs
: KMI
c) SLTA/MA
: KMI
d) Strata 1
: Fak. Syari’ah
: Fak. Hukum Undaris
e) Pondok Pesantren
5) Pengalaman Organisasi
: Gontor
: Seksi Pendidikan HMI Cabang
Semarang tahun 1979
b. Hasil Wawancara
Perhitungan ‘iddah merupakan wewenang KUA, dalam masalah
‘iddahPengadilan Agama hanya berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara perceraian. Penetapan yang dimaksud dalam
pasal 153 ayat (4) adalah penetapan perceraian. Pada pasal tersebut
penetapan baru dihitung sebagai awal masa ‘iddah apabila telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. Penetapan dikatakan mempunyai
kekuatan hukum tetap apabila setelah 14 hari dari penetapan tidak ada
upaya hukum baik berupa banding, peninjauan kembali atau kasasi jika
kedua pihak hadir. Apabila salah satu pihak tidak hadir maka
penetapan berkekuatan hukum tetap setelah 14 hari dari pemberitahuan
kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan putusan.
Ada perbedaan antara penetapan cerai talak dan cerai gugat,
tentang kapan ‘iddah mulai dihitung. Pada cerai talak‘iddah sejak
pembacaan ikrar talak. Proses persidangan sebelum pembacaan ikrar
talak,
apabilaPengadilan
Agama
berkesimpulan
tidak
dapat
didamaikan lagi dan cukup alasan maka pengadilan mengeluarkan
putusan mengabulakan permohonan pemohon. Dan atas putusan ini
istri berhak mengajukan upaya hukum. Setelah habis jangka waktu
pengajuan upaya hukum dengan kata lain telah bekekuatan hukum
tetap maka diadakan sidang pembacaan ikrar talakdengan dilanjutkan
penetapan. Sedangkan pada cerai gugat ‘iddah dihitung sejak putusan
berkekuatan hukum tetap. Proses persidangan sebelum dibacakan
putusan
apabila
pengadilan
telah
berkesimpulan
tidak
dapat
didamaikan lagi maka pengadilan mengeluarkan putusan dan atas
putusan ini suami berhak mengajukan upaya hukum.
Selama masa persidangan antara termohon dan pemohon masih
suami istri. Kedudukan, kewajiban dan hak antara keduanya masih
sama. Dalam persidangan mereka masih boleh berkumpul, namun
ketika akan dibacakan ikrar talak maka keduanya tidak diperbolehkan
berkumpul dalam masa suci ketika pembacaan ikrar talak. Ini
bertujuan untuk menghindari jatuhnya talak bid’i
2. Hakim II
a.
Profil
1) Nama
2) Alamat
: Muhsin, SH
: PA Salatiga
3) TTL
: Temanggung, 15 Mei 1956
4) Riwayat Pendidikan
a) SD/MI
: MI (1968)
b) SLTP/MTs
: MTs (1974)
c) SLTA/MA
: MA (1978)
d) Strata 1
: UNU (1983), Unv (1993)
e) Pondok Pesantren
:
5) Pengalaman Organisasi
:
b. Hasil Wawancara
‘Iddah merupakan waktu tunggu bagi wanita yang perkawinannya
putus baik karena kematian, talak atau cerai gugat. Awal masa ‘iddah
bagi cerai mati dihitung sejak meninggalnya suami sedangkan ‘iddah
bagi cerai talak dan cerai gugat dihitung setelah penetapan perceraian
Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap. Suatu
penetapan berkekuatan hukum tetap apabila telah habis waktu untuk
melakukan upaya hukum. Habisnya waktu untuk melakukan upaya
hukum apabila 14 hari setelah penetapan tidak ada upaya hukum jika
keduanya hadir dalam pembacaan penetapan atau 14 hari setelah
pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir dalam pembacaan
penetapan. Jika ada upaya hukum maka ‘iddah dihitung setelah
penetapan dari upaya hukum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebagai bukti perceraian Pengadilan Agama mengeluarkan Akta
cerai yang dikeluarkan selambat-lambatnya 7 hari setelah penetapan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam akta cerai terdapat 2
tanggal, yang pertama tanggal putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap/tanggal pembacaan ikrar talak dan tanggal kedua tanggal
jatuhnya putusan Pengadilan.
3. Hakim III
a. Profil Hakim
1) Nama
: Drs. Jaenuri, M.H.
2) Alamat
: Desa Kadipiro, Kec. Tuntang, Kab Semarang.
3) TTL
: Pati, 23 April 1964
4) Riwayat Pendidikan
a) SD/MI
: Miftahul Huda Pati
b) SLTP/MTs
: Lanatut Thalibin Pati
c) SLTA/MA
: Lanatut Thalibin Pati
d) Strata 1
: IAIN Walisongo Semarang
e) Strata 2
: Unissula Semarang
f) Pondok Pesantren
: Nurwiyyah Kajen Pati
5) Pengalaman Organisasi
: Osis, Senat Mahasiswa, PMII, NU
b. Hasil Wawancara
‘Iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena perceraian
menurut pasal 153 ayat (4) KHI dihitung sejak penetapan mempunyai
hukum tetap. Sebenarnya perkawinan pada hakikatnya putus ketika
pembacaan putusan. Ini berdasar pada bunyi pasal 114 KHI yang
mengatur bahwa perceraian yang sah yang dilakukan didepan
persidangan. Namun sesuai asas lex specialis derogate lex generalis,
maka yang dipakai dalam menetukan awal masa ‘iddah adalah pasal
153 ayat (4) KHI. Arti dari asas lex specialis derogate lex
generalisadalah peraturan yang khusus mengesampingkan aturan yang
bersifat umum. Pasal 153 ayat (4) ini secara khusus mengatur tentang
dimulainya masa ‘iddah sedangkan pasal 114 KHI mengatur secara
umum perceraian harus dilakukan di Pengadilan.
Suatu penetapan dapat dikatakan memiliki kekuatan hukum tetap
setelah 14 hari penetapan dibacakan dan tidak ada upaya hukum baik
berupa banding, peninjauan kembali atau kasasi jika keduanya hadir
atau 14 hari setelah pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir.
Apabila sebelum penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap,
dilakukan upaya hukum dan pada upaya hukum tersebut pernikahan
tetap putus maka ‘iddah dihitung sejak penetapan upaya hukum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
4. Hakim IV
a. Profil Hakim
1) Nama
: Dra. Hj Farida, M.H
2) Alamat
: Jl. Bulu Stalan V/701 Semarang
3) TTL
: Semarang, 20 Maret 1954
4) Riwayat Pendidikan
a) SD/MI
: Al Khairiyyah Semarang (1966)
b) SLTP/MTs
: Muallimat Semarang
c) SLTA/MA
: Muallimat Semarang (1976)
d) Strata 1
: Sarjana Muda Fak. Syari’ah IAIN
SunanKalijaga Yogyakarta (1976)
: Fak. Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang (1985)
e) Strata 2
: Fak. Hukum Unissula Semarang
(2003)
f) Pondok Pesantren
5) Pengalaman Organisasi
:
:
b. Hasil Wawancara
Ber’iddah diwajibkan bagi wanita yang putus perkawinannya baik
karena kematian atau cerai. Pada wanita yang ditinggal mati suami
‘iddahnya dimulai sejak suami meninggal sedangkan bagi wanita yang
bercerai dengan suami dimulai sejak perceraian. Dalam pasal 114 KHI
yang dianggap sah adalah yang dilakukan di depan persidangan.
Dengan ini perceraian yang terjadi diluar persidangan belum menjadi
awal dihitungnya ‘iddah. Tujuan perceraian harus dilakukan didepan
persidangan agar tercipta tertib administrasi sehingga dapat terwujud
kepastian hukum, dapat menjamin terpenuhinya hak-hak pihak yang
bercerai dan agar tidak terjadi perceraian yang semena-mena.
Pada pasal 153 ayat (4) KHI dimulainya ‘iddah bagi wanita sejak
penetapan perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap. Yang
dimaksud penetapan mempunyai hukum tetap apabila tidak ada upaya
hukum setelah 14 dari penetapan jika keduanya hadir. Jika ada yang
tidak hadir dihitung sejak
pemberitauan kepada pihak yang tidak
hadir. Apabila terdapat upaya hukum terhadap penetapan maka
perceraian belum terjadi. Jika pada upaya hukum pernikahan tetap
putus maka ‘iddah dihitung sejak penetapan dari upaya hukum
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ada perbedaan bentuk perceraian antara cerai talak dan cerai
gugat.
Pada dasar talak adalah hak milik laki-laki ‫ﺍﻟﻂﻼﻕﺑﺎﻟﺮﺟﻞ‬, atas dasar
ini
sidang cerai talak berupa pengabulan permohonan izin dari laki-laki
untuk menjatuhkantalak kepada istrinya. Dikarena talak merupakan
hak suami maka suami berhak tidak menjatuhkannya, meskipun telah
jatuh putusan tentang pengabulan permohonan menjatuhkan. Jangka
waktu maksimal pembacaan ikrar talak adalah 6 bulan setelah putusan.
Apabila setelah 6 bulan talak tidak dijatuhkan maka putusannya
dianggar gugur. Pada cerai talakperkawinan dianggap putus sejak
pembacaan ikrar talak, sehingga ‘iddahnya dimulai sejak ikrar talak.
Sedangakan pada cerai gugat berupa gugatan istri menjatuhkan talak.
Apabila gugatan dikabulkan, maka Pengadilan Agama menjatuhkan
putusan berupa menjatuhkan talak. Sehingga putusnya perkawinan
sejak putusan itu dibacakan. Pada cerai gugat ‘iddah baru dihitun
setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap.
5. Hakim V
a. Profil Hakim
1) Nama
: Suyanto SH, MH
2) Alamat
: Ngadireso, Kec. Teras, Kab. Boyolali
3) TTL
: Boyolali, 14 Juni 1955
4) Riwayat Pendidikan
a) SD/MI
: SD Kadirejo (1968)
b) SLTP/MTs
: PGAP (1972)
c) SLTA/MA
: PGAA (1975)
d) Strata 1
: Fak. Syari’ah UI Solo (1980)
: Fak. Hukum Undaris (1993)
e) Strata 2
: Fak. Hukum UNS (2010)
f) Pondok Pesantren
5) Pengalaman Organisasi
b. Hasil Wawancara
‘Iddah diwajibkan bagi janda baik karena cerai mati, cerai talak
atau cerai gugat. Pada cerai mati ‘iddah dihitung sejak meninggalnya
suami sedangkan pada cerai talak dan gugat dihitung sejak penetapan
perceraian mempunyai kekuatan hukum tetap. Suatu penetapan
mempunyai kekuatan hukum setelah 14 hari dari penetapan tidak ada
upaya hukum jika keduanya hadir atau 14 hari setelah pemberitahuan
kepada pihak yang tidak hadir.
Dimulainya ‘iddah antara cerai talak dan gugat berbeda,pada cerai
talak dimulai sejak penetapan setelah pembacaan ikrar talak. Alur dari
jatuhnya penetapan adalah pembacaan putusan bahwa permohonan
ikrar talak dikabulkan.Setelah putusan tersebut bekekuatan hukum
tetap, pengadilanmenetukan hari pembacaan ikrar talak. Sesaat setelah
pembacaan ikrar talak, Majelis Hakim mengeluarkan penetapan yang
menerangkan bahwa telah dibacakan ikrar talak. Sedangkan pada cerai
gugat‘iddah dihitung sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
Jika sebelum habis jangka waktu pengajuan upaya hukum terdapat
upaya hukum maka perkawinan belum putus, sehingga ‘iddah belum
dimulai. Apabila pada upaya hukum perkawinan tetap putus maka
‘iddah dimulai sejak penetapan upaya hukum mempunyai kekuatan
hukum tetap. Intinya ‘iddah baru dihitung apabila penetapan baik di
tingkat pertama, banding, peninjauan kembali atau kasasi telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sebelum suatu penetapan mempunyai kekuatan hukum tetap
hubungan antara termohon dan pemohon masih sebagai suami dan
istri. Hak dan kewajiban keduanya masih sama. Selama persidangan
masih diperbolehkan berkumpul, akan tetapi mendekati putusan
keduanya diberi tahu oleh hakim agar tidak melakukannya. Ini
bertujuan agar tidak terjadi talak bid’i.
B. PENDAPAT KEPALA KUA ARGOMULYO TENTANGAWAL MASA
‘IDDAH
1. Profil Kepala KUA Argomulyo
a. Nama
: Imam Talmisani, S.Ag
b. Alamat
: Kebonwage Rt 01/05 Ds. Kebumen, Kec. Banyubiru
c. TTL
: Kab. Semarang, 01 Oktober 1975.
d. Riwayat Pendidikan
1) SD/MI
: SD Kebumen (1975)
2) SLTP/MTs
: SMP Al-Muayyad Surakarta (1991)
3) SLTA/MA
: MA Tebuireng Jombang (1993)
4) Strata 1
: IAIN Walisongo Semarang (1999)
5) Pondok Pesantren
: Al-Muayyad Surakarta (1991)
: Tebuireng Jombang (1993)
e. Pengalaman Organisasi :
2. Hasil Wawancara
Aturan awal masa ‘iddah merupakan salah satu pembaharuan
hukum yang bersifat administratif. Tujuan dari pembaharuan ini agar
tercipta tertib administrasi sehingga dapat memberi kepastian hukum
kepada pihak-pihak yang bersangkutan.Penentuan awal masa ‘iddah dalam
KHI hanya diatur secara umum, yang diatur secara terperinci hanya durasi
‘iddah. Dahulu ‘iddah dihitung sejak terjadinya penetapan, karena
dianggap secara hakikat putusnya perkawinan dimulai sejak penetapan.
Pada saat ini awal ‘iddah dihitung berdasarkan berdasarkan redaksi
kalimat dalam akta cerai. Redaksi kalimat dalam Model A.III.3 (akta cerai)
adalah sebagai berikut :
“Panitera Pengadilan Agama . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
menerangkan, bahwa pada hari ini . . . . . . . . ,tanggal . . . . . . . . . . . . . . M,
bersamaan dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . H,
berdasarkan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Nomor. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . M, yang
telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi perceraian antara:
……………”.
Kalimat di atas menggunakan susunan
kalimat majemuk
bertingkat. Terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat. Induk kalimatnya
adalah :
“Panitera Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah . . . . . . . . . . . . . .
menerangkan, bahwa pada hari ini . . . . . . . . . , tanggal . . . . . . . . . . . . . M,
bertepatan dengan tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . H,”
Sedangkan anak kalimatnya adalah :
“berdasarkan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Nomor . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . tanggal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . M,
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.”
Menurut kaidah tatabahasa Indonesia, yang menjadi pesan utama
dalam kalimat majmuk bertingkat adalah pesan yang terkandung dalam
induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Pesan dalam anak kalimat
merupakan bagian yang berada di bawah pesan utama induk kalimat
sebagai tambahan keterangan.
Dengan demikian, terjadinya perceraian adalah tanggal yang
tercantum dalam induk kalimat, bukan dalam anak kalimat. Tanggal yang
tercantum dalam induk kalimat adalah tanggal terjadinya perceraian yang
sekaligus sebagai tanggal akta cerai. Sedangkan tanggal yang tercantum
dalam anak kalimat adalah tanggal putusan atau penetapan yang
digunakan sebagai dasar pernyataan telah terjadinya perceraian. Jadi,
tanggal terjadinya perceraian adalah sama dengan tanggal dikeluarkannya
akta cerai dan pada tanggal itu ‘iddah dimulai.
BAB IV
ANALISIS PENENTUAN AWAL PERHITUNGAN ‘IDDAHMENURUT
KHI DAN FIQH
A. Penentuan Awal Masa ‘Iddah Menurut Fiqh
Dalam fiqh ‘iddah dimulai setelah diucapkannya kata-kata talak oleh
suami. Terdapat perbedaan pendapat tentang sahnya talak ulama sunni
mengatakan talaksah tanpa perlu adanya saksi.Ini karena meskipun bercanda
talak telah dinggap jatuh, yang berdasarkan pada hadist:
،ُ‫اﻟﻨﱢﻜَﺎح‬،ُ‫وَاﻟﺮﱠﺟْﻌَﺔُوَاﻟﻄﱠﻼَق‬: ٌ‫ﺟِﺪﱡھُﻨﱠﺜَﻼَث‬،‫ﺟِﺪﱞوَھَـﺰْﻟُﮭُﻨﱠﺠِﺪﱞ‬
Artinya: Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama
dianggap serius: (1) nikah, (2) talak dan (3) rujuk (HR. Abu Daud (VI/26)
no. 2180), Tirmidzi (II/328 no.1195) dan Ibnu Majah (I/658 no. 2039)).
Sedangkan ulama Syi’ah berpendapat bahwa talaksah apabila ada 2 saksi. Ini
didasarkan pada Alqur’an ayat 2 surat Ath-Thalaq yang berbunyi:
...............(#r߉ Íkô­r&urô“ ursŒ5A ô‰ tã óO ä3 ZÏiB(#qßJ ŠÏ%r&urnoy‰ »yg¤± 9$#¬! 4ö...................
Artinya: ......dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah.........(Departemen Agama,1998:445)
Dasar hukum ‘iddah adalah surat Al-baqarah ayat 228 di bawah ini:
................
àM »s)¯=sÜ ßJ ø9$#uršÆ
óÁ ­/uŽtItƒ£̀ Îg Å¡ àÿRr'Î/spsW»n=rO&äÿrãè%4
Artinya: wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'............(Departemen Agama,1998:28).
Perhitungan ‘iddah bagi wanita berhaid yang ditalak suaminya dihitung
dengan quru’ atau masa suci istri.Berbeda dengan bentuk-bentuk ‘iddah yang
lain yang dihitung dengan perhitungan bulan dan hari. Masa suci adalah
masa dimana terlepasnya wanita dari haid sampai hari sebelum hari pertama
haid berikutnya. Masa suci yang dihitung dalam ‘iddah adalah masa suci
dimana pada masa itu tidak terjadi pergaulan. Berdasar pada aturan
perhitungan dengan masa suci di atas maka ‘iddah dihitung sejak masa suci
pertama setelah jatuhnya talak. Jika talak jatuh pada awal, pertengahan atau
akhir dari suatu masa suci dan belum terjadi pergaulan maka masa suci pada
jatuhnya talak itu sudah dihitung sebagai masa suci yang pertama. Namun jika
talak jatuh pada saat haid atau sudah terjadi pergaulan maka ‘iddah mulai
dihitung pada masa suci berikutnya, ini berdasar pada hadist yang berbunyi:
‫ﻓﻰ ﻋﻬﺪ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ‬-‫ﻭﻫﻰ ﺣﺎﺋﺾ‬-‫ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ )ﺍﻧﻪ ﻁﻠﻖ ﺍﻣﺮﺍﺗﻪ‬
:‫ﻓﻘﻞ‬, ‫ﻓﺴﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ‬, ‫ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
,‫ ﺛﻢ ﺗﻂﻬﺮ ﺍﻥ ﺳﺎﺀ ﺍﻣﺴﻚ ﺑﻌﺪ‬,‫ ﺛﻢ ﺗﺤﻴﺾ‬,‫ ﺛﻢ ﺍﻟﻴﻤﺴﻜﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﺗﻂﻬﺮ‬,‫ﻣﺮﻩ ﻓﻠﻴﺮﺍﺟﻌﻬﺎ‬
‫ ﻓﺘﻠﻚ ﺍﻟﻌﺪﺓ ﺍﻟﺘﻰ ﺍﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻥ ﺗﻂﻠﻖ ﺍﻟﺴﺎﺀ( ﻣﺘﻔﻖﻋﻠﻴﻪ‬,‫ﻭﺍﻥ ﺷﺎﺀ ﻁﻠﻖ ﺑﻌﺪ ﺍﻥ ﻳﻤﺲ‬
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwa ia menceraikan istrinya ketika sedang
haid pada zaman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Lalu Umar
menanyakan hal itu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan
beliau bersabda: "Perintahkan agar ia kembali padanya, kemudian
menahannya hingga masa suci, lalu masa haid dan suci lagi. Setelah itu
bila ia menghendaki, ia boleh menahannya terus menjadi istrinya atau
menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa
iddahnya yang diperintahkan Allah untuk menceraikan Allah untuk
menceraikan istri." Muttafaq Alaihi
Sedangkan bagi wanitatidak berhaid yang ditalak iddahnya dihitung
dengan perhitungan hari dan bulan, sesuai dengan Ath-Thalaq ayat 4:
‘ Ï«¯»©9$#urz̀ ó¡ ͳtƒz̀ ÏBÇÙ ŠÅs yJ ø9$#` ÏBö/ä3 ͬ!$|¡ ÎpSÈb Î)óO çFö;s?ö‘$#£̀ åkèE£‰ ÏèsùèpsW»n=rO9ßgô© r&‘ Ï«¯»©9$#uróO s9z̀ ô
..........
Ò Ïts†
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di
antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid . . . . . .(Departemen
Agama,1998:446)
Berdasar ayat di atas maka perhitungan awal ‘iddahnya dimulai sejak hari
jatuhnya talak.
B. Penentuan Awal Masa ‘Iddah Menurut KHI
Sesuai dengan pasal 153 ayat 4 KHI perhitungan Awal Masa ‘iddah
dimulai sejak penetapan oleh Pengadilan Agama yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Penetapan yang dimaksud pasal tersebut adalah
penetapan perceraian. Perceraian yang diakui di Indonesia adalah perceraian
yang sesuai dengan pasal KHI 115 yaitu perceraian yang dilakukan dihadapan
sidang Pengadilan Agama. Jadi perceraian dalam bentuk apapun yang
dilakukan diluar persidangan dianggap tidak pernah ada.Ini menyebabkan
‘iddah dihitung berdasarkan perceraian yang dilakukan didepan sidang
Pengadilan Agama.
Dalam pasal 115 KHI perceraian yang sah adalah perceraian yang
dilakukan didepan persidangan. Ini menunjukkan bahwa secara hakikat
perkawinan putus sejak penetapan didepan pesidangan. Namun dalam pasal
153 ayat (4) KHI ‘iddah dihitung sejak penetapan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Pasal ini menunjukan bahwa perceraian terjadi secara
formal setelah mempunyai kekuatan hukum.Jika demikian terdapat awal masa
‘iddah secara hakikat dan secara formal yang menyebabkan selesainya pun
akan berbeda. Menjadi permasalah jika laki-laki ketika merujuk istrinya pada
saat ‘iddah berdasarkan jatuhnya talak secara hakikat telah habis sedangkan
secara formal belum habis. Apabila itu terjadi maka ruju dapat dikatakan
secara hakikat tidak sah namun secara formal sah. Dalam peraturan
perundang-undangan terdapat asaslex specialis derogate lex generalis
yangartinya peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
khusus
mengesampingkan peraturan-perundangan yang bersifat umum. Berdasar asas
tersebut maka pasal yang mengatur perceraian bersifat formal yang dipakai,
karena secara khusus pasal ini mengatur waktu jatuhnya talak yang dipakai
dalam perhitungan masa ‘iddah.
Yang dimaksud mempunyai kekuatan hukum tetap adalah penetepan yang
setelah 14 hari tidak terdapat upaya hukum jika keduanya hadir atau 14 hari
setelah pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir jika salah satu pihak
tidak hadir.Jika ada upaya hukum terhadap penetapan perceraian maka
penetapan tersebut belum berkekuatan hukum sehingga kedudukan mereka
masih suami istri yang sah. Hak dan kewajiban mereka selama belum jatuh
penetapan berkekuatan hukum tetap masih sebagai suami istri. Dan apabila
penikahan tetap putus pada penetapan upaya hukum berikutnya maka ‘iddah
dimulai sejak penetapan tersebut memiliki kekuatan hukum tetap.
Sebagai bukti perceraian Pengadilan Agama mengeluarkan akta cerai.
Dalam bagian isi akta cerai terdapat dua tanggal, tanggal atas dan tanggal
bawah. Tanggal atas adalah hari dimana suatu penetapan mempunyai kekuatan
hukum, sedangkan tanggal bawah adalah hari dimana jatuhnya putusan.
Selisih hari tanggal atas dan bawah antara akta cerai satu dengan akta cerai
lain berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya ketidakhadiran salah satu
pihak yang berperkara ketika pembacaan penetapan atau tergantung
pembacaan talak. Yang menyebabkan awal durasi pengajuan upaya banding
diundur, menunggu pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir.
Tanggal akta cerai yang dipakai KUA dalam menentukan awal ‘iddah
adalah tanggal atas. Dasar KUA memakai tanggal atas adalah merujuk pada
kaidah kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia dalam memaknai akta
cerai. Tanggal atas merupakan kepala kalimat dari tanggal bawah. Anak
kalimat berfungsi sebagai penjelas kepala kalimat. Maka inti dari kalimat
majemuk dalam akta cerai adalah tanggal atas.
C. Implementasi Fiqh KHI
Perceraian merupakan penyebab adanya perintah ‘iddah bagi wanita.
Dengan ini maka perlu difahami tentang konsep perceraian dalam fiqh dan
KHI. Terdapat perbedaan konsep yang berkaitan dengan sahnya perceraian
antara fiqh dan KHI. Dalam KHI sah-nya perceraian apabila dilakukan di
depan persidangan, yang terdapat pada pasal 115, yaitu
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama
setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak"
Untuk lebih mempermudah pembahasan maka yang dibahas adalah cerai
talak. Dalam perturan perundang-undangan diatur mengenai tata cara
menjatuhkan talak dalam pasal 129 KHI, maka tata cara menjatuhkan talak
tersebut adalah sebagai berikut
Suami yang akan menceraikan isterinya mengjukan permohonan ke
Pengadilan Agama dalam hal ini Pengadilan Agama di tempat tinggalnya,
yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya
disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar
diadakan sidang untuk keperluan itu.
Selanjutnya Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat dan
dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil suami isteri
tersebut untuk diadakan pemeriksaan seperlunya. Dan secara praktis pihak
suami disebut pemohon dan pihak isteri disebut termohon.Dalam setiap
kesempatan sebelum terjadinya talak, pengadilan harus selalu berusaha untuk
mendamaikan suami isteri agar perceraian tidak jadi terlaksana. Dalam usaha
perdamaian tersebut Pengadilan dapat meminta bantuan kepada orang yang
atau
badan
penasehat,
seperti BP4
(Badan Penasehat
Perkawinan,
Perselisihan, dan Perceraian) atau badan lain untuk memberi nasehat kepada
suami isteri tersebut.
Apabila pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak
mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan maka Pengadilan
menjatuhkan putusan yang isinya mengabulkan permohonan pemohon,
memberi izin kepada pemohon untuk mengikrarkan talak terhadap pemohon
di muka sidang.Dan atas putusan ini penggugat berhak mengajukan upaya
hukum. Apabila tidak ada upaya hukum/atau telah mempunyai kekuatan
hukum tetap makasetelah itu dapat dibacakan ikrar talak.
Islam menentukan bahwa talak merupakan hak sepenuhnya yang berada
ditangan suami. Dengan demikian menurut pandangan fikih klasik, suami
boleh menjatuhkan talak kepada isterinya kapan saja dan dimana saja. Karena
dalam hadist dibawah ini talak yang dilakukan dengan bercanda saja dihukumi
serius, yang bunyinya:
Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:
،ُ‫اﻟﻨﱢﻜَﺎح‬،ُ‫وَاﻟﺮﱠﺟْﻌَﺔُوَاﻟﻄﱠﻼَق‬: ٌ‫ﺟِﺪﱡھُﻨﱠﺜَﻼَث‬،‫ﺟِﺪﱞوَھَـﺰْﻟُﮭُﻨﱠﺠِﺪﱞ‬
Artinya: Tiga perkara yang serius dan bercandanya sama-sama
dianggap serius: (1) nikah, (2) talak dan (3) rujuk (HR. Abu Daud (VI/26)
no. 2180), Tirmidzi (II/328 no.1195) dan Ibnu Majah (I/658 no. 2039)
Selanjutnya terkait dengan tata cara menjatuhkan talak para ulama berbeda
pendapat mengenai perlu tidaknya saksi dalam menjatuhkan talak. Jumhur
fuqaha berpendapat bahwa talak dapat terjadi tanpa dipersaksikan dihadapan
orang lain, karena talak adalah hak suami sehingga suami bisa saja sewaktuwaktu menggunakan haknya tanpa menghadirkan dua orang saksi dan sahnya
talak tidak tergantung kepada kehadiran saksi. Disamping itu, menurut mereka
tidak ada hadits dari Rasulullah SAW atau atsar sahabat yang menunjukkan
diperlukannya kesaksian dalam menjatuhkan talak. Sebagaimana dijelaskan
oleh Sayyid al-Sabiq (1987:210) sebagai berikut:
Jumhur fuqaha yang terdahulu maupun kemudian berpendapat
bahwa talak sah tanpa harus dipersaksikan dihadapan orang lain. Sebab
talak adalah termasuk hak suami. Ia tidak memerlukan kepada bukti untuk
menggunakan haknya. Dan tidak ada keterangan dari Nabi SAW maupun
para sahabatnya yang menunjukkan adanya keperluan saksi dalam
menjatuhkannya.
Namun golongan Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa mempersaksikam
talak menjadi syarat sah talak, sebagaimana dijelaskan oleh al-Sayyid Sabiq
(1978:240) sebagai berikut:
Mereka berkata: Mempersaksikan talak itu menjadi syarat sahnya
talak alas an mereka, yaitu firman Allah SWT dalam surat Al-Thallaq
(danpersaksikan olehmu dengan dua saksi yang adil diantara kamu dan
tegakkanlah kesaksian karena Allah) al-Thabrisi menyebutkan pada
zahirnya ayat ini memerintahkan menghadirkan saksi untuk menjatuhkkan
talak. Dan ada diriwayatkan dari ahli Bait (keluarga Rasulullah) semua,
dan memepersaksikan talak hukumnya wajib serta masuk syarat sahnya
talak.
Apabila kita perhatikantuntunan islam melanggengkan ikatan perkawinan
dan larangan untuk menjatuhkan talak kecuali dalam keadaan dharurah, maka
berdasarkan itu dapat disimpulkan bahwa UU atau ketentuan yang akan
diberlakukan harus menerapkan asas "mempersulit putusnya perkawinan".
Usaha mempersulit putusnya perkawinan ini telah ada dalam proses
persidangan seperti yang diterangkan di atas. Adapun nash yang menuntut
untuk melanggengkan ikatan perkawinan adalah firman Allah SWT dalam
surat al-Nisa' ayat 35:
b Î)uróO çFøÿÅz s- $s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/(#qèWyèö/$sù$VJ s3 ym ồ ÏiB¾Ï&Î#÷d r&$VJ s3 ym urồ ÏiB!$ygÎ=÷d r&b Î)!#y‰ ƒÌãƒ$[s »n=ô
¹ Î)È, Ïjùuqリ! $#!$yJ åks]øŠt/3̈b Î)©! $#tb %x.$J̧ ŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam
dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu.
Sesungguhnya
Allah
Maha
Mengetahui
lagi
Maha
Mengenal(Departemen Agama,1998:66).
Ayat
diatas
menjelaskan
bahwa
jika
seorang
melihat
indikasi
persengketaan antara sepasang suami isteri, maka hendaklah ia mengutus
seorang hakam dari pihak suami isteri. Bahkan dalam ayat tersebut dijelaskan,
jika kedua hakam itu berupaya semaksimal mungkin untuk mendamaikan
sepasang suami isteri itu maka Allah menjanjikan sepasang suami isteri itu
akan mendapat Taufik. Berdasarkan ayat diatas dapat disimpulkan bahwa
sebenarnya syara' sangat menginginkan agar ikatan perkawinan tersebut
sedapat mungkin dipertahankan.
Disamping itu dijelaskan juga dalam hadits bahwa Nabi SAW
menyatakan, talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah
SWT. Sebagaimana disebutkannya dalam hadit sebagai berikut:
‫ ﺍﺑﻐﺾ‬:‫ﻋﻦﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﻞ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ‬
‫ﺍﻟﺤﻼﻝ‬
‫ﺍﻟﻂﻼﻕ‬
‫ﺍﻟﻠﻪ‬
‫ﻋﻨﺪ‬
(‫)ﺭﻭﺍﻩﺍﺑﻮﺩﺍﻭﺩﻭﺻﺤﺤﻪﺍﻟﺤﻜﻢﻭﺭﺟﺢﺍﺑﻮﺣﺎﺗﻢﺍﺭﺳﺎﻟﻪ‬
Artinya:"Diterima dari Ibn 'Umar r.a ia berkata bahwa Rasulullah SAW
pernah bersabda: Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah SWT
adalah talak" (H.R. Abu Daud dan Ibn Majah, al-Hakim men-shahihkannya, namun Abu Hatim menyatakan mursalnya).
Berdasarkan hadits diatas,talak hanya boleh dijatuhkan dalam keadaan
darurat. Artinya apabila masih ada jalan untuk berdamai maka sedapat
mungkin sepasang suami isteri itu mengambil jalan damai tersebut.
Adapun ayat yang mengharuskan keberadaan saksiadalah firman Allah
SWT dalam surat al-Thalaq ayat 2:
.............(#r߉ Íkô­r&urô“ ursŒ5A ô‰ tã óO ä3 ZÏiB(#qßJ ŠÏ%r&urnoy‰ »yg ¤± 9$#¬! 4...........
Artinya:......Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah…(Departemen Agama,1998:445)
Ayat diatas menjelaskan perintah keberadaan saksi dalam melakukan suatu
tindakan hukum. Oleh karena jatuhnyatalak mempunyai akibat hukum yang
cukup besar maka dalam talak juga diperlukan adanya saksi.
Jadi berdasar nash-nash diatas, maka ketentuan yang berlaku di Indonesia
bagi umat Islam yang menyatakan bahwa talakhanya jatuh di Pengadilan
Agama, sebagaiman yang terdapat dalam pasal 115 KHI telah sesuai dengan
tuntunan Islam. Sedangkan hadist yang menyatakan bahwa talak telah jatuh
walaupun diucapkan dengan bercanda, dapat diartikan merupakan ramburambu bagi laki-laki dalam mengucapkan kata talak. Kata talak harus
diucapkan sesuai dengan maksudnya.
Usaha mempersulit perceraian termasuk usaha menghidari madarat.
Madarat yang timbul apabila perceraian mudah dilakukan dapat mengurangi
kesakralan pernikahan. Jika perceraian mudah putus maka akan timbul
perspektif bahwa pernikahan tidak berbeda dengan pacaran,berganti-ganti
pasangan semaunya. Selain itu efek bagi anak-anak yang orang tuanya
bercerai, perhatian setelah perceraiankepada mereka tidak utuh dari kedua
orang tuanya. Ini akan menyebabkan mereka mencari orang lain di luar untuk
menggantikan. Ketika ia di luar mendapatkan pengganti yang buruk maka ini
merupakan bahaya, karena pada masa ini mereka belum bisa menyaring mana
contoh yang baik dan yang tidak. Dengan demikian usaha mempersulit
putusnya perkawinan telah sesuai dengankaidah fiqh untuk menghindari
perbuatan madharat yang berbunyi:
‫ﺍﻟﻀﺮﺭﻳﺰﻝ‬
Artinya: kemadaratan harus dihilangkan
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah penyusunan skripsi ini ditarik 3 kesimpulan sesuai dengan rumusan
masalah, sebagai berikut:
1. Dalam fiqh penentuan awal masa ‘iddah tergantung pada kondisi wanita
saat perceraian terjadi dalam keadaan suci sedang haid, sudah dikumpuli
dalam masa suci atau tidak berhaid. Pada wanita berhaid yang bercerai
dalam keadaan suci dan belum berkumpul pada masa suci ‘iddahnya
dumulai sejak masa suci saat terjadinya perceraian. Pada wanita berhaid
yang bercerai dalam keadaan haid atau telah berkumpul pada masa suci
saat bercerai ‘iddahnya mulai dihitung pada masa suci setelahnya. Dan
pada wanita yang tidak berhaid, ‘iddahnya dihitung sejak hari jatuhnya.
2. Dalam KHI ‘iddah dihitung sejak penetapan perceraian yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Penetapan berkekuatan hukum tetap apabila tidak
ada upaya hukum dari tergugat selama batas waktu pengajuan upaya
hukum. Apabila ada upaya hukum, maka ‘iddah dihitung sejak penetapan
upaya hukum telah berkekuatan hukum tetap.
3. Pelaksanaan penentuan awal masa ‘iddah dilakukan oleh KUA
berdasarkan tanggal atas/induk kalimat yang terdapat pada isi dari akta
cerai. Tanggal atas pada akta cerai adalah tanggal dimana pembacaan akta
talak pada cerai talak atau tanggal putusan bekekuatan hukum tetap pada
cerai gugat.
B. SARAN
1. Pengadilan Agama merupakan lembaga yang menjadi tempat umat Islam
menyelesaikan perkara perdata Islam diharapkan dapat menjaga dan
menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.
2. Dalam penentuan awal masa ‘iddah KUA diharapkan menentukan awal
masa ‘iddah secara teliti, agar tidak melanggar ketentuan dan hak-hak para
pihak terpenuhi.
3. Pengadilan Agama diharapkan teliti dalam mengisi tanggal yang ada pada
akta cerai agar ketepatan dalam perhitungan‘iddah akurat.
4. Di luar tugas dari KUA dan Pengadilan Agama dalam penentuan awal
masa ‘iddah, masyarakat diharapkan ikut berperan serta.
5. Seharusnya batas maksimal pembacaan ikrar talak dipersingkat atau ikrar
talak harus dibacakan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Agar
dapat memberikan kepastian hukum bagi wanita, dengan panjangnya yang
selama 6 bulan tentunya ini merugikan wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Basyir, Azhar. 1999. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press.
Departemen Agama. 1998. Al-Qur’an Dan Terjemahannya (Ayat Pojok Bergaris).
Semarang : CV. Asy Syifa’.
Departemen Agama. 1985. Ilmu Fiqh. Jakarta: Departemen Agama.
Karisma Publishing. 2009. Hukum Perkawinan Indonesia (UU RI No. TAHUN
1974).Tangerang: SL Media.
Koentjaraningrat.
1997.
Metode-Metode
Penelitian
Masyarakat.
Jakarta:Gramedia.
Moloeng, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Karya
Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Syaifuddi, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Antara
FikihMunakahat dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana.
Sabbiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib,
“Fikih Sunnah. Bandung: Al Ma’arif.
Sabbiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah, jilid 8, diterjemahkan Muhammad Thalib,
“Fikih Sunnah. Bandung: Al Ma’arif.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Wahyudi, Muhammad Isna. 2009. Fiqih Iddah; Klasik dan
Kontemporer.Yogyakarta:Pustaka Pesantren.
Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan
OborIndonesia.
Download