PERGULATAN MANUSIA MENCARI TUHAN _________ _________ Taslim HM. Yasin Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111 ABSTRAK Sejauh ini telah banyak para ahli memusatkan perhatiannya kepada asal usul kepercayaan manusia. Dari studi itu muncul dua teori besar. Teori pertama, berpandangan bahwa kepercayaan manusia berawal dari percaya kepada Tuhan banyak dan akhirnya kepada Tuhan satu. Teori kedua berpendapat bahwa kepercayaan manusia yg mula-mula adalah percaya kepada Tuhan Satu (Monotheisme) Kata Kunci: Manusia, Tuhan A. Pendahuluan Para ahli Sejarah Agama beranggapan bahwa agamaagama dunia merupakan gerakan-gerakan yang telah berkembang berdasarkan pada komunitas-komunitas historis. Jadi asumsiasumsi terakhir dari setiap agama sudah barang tentu dipengaruhi oleh keputusan dari komunitas manusia dalam situasi historis dan budaya tertentu. Namun demikian, asumsi dari setiap agama itu harus mengikuti analisis-analisis kritis ilmiah yang telah dibangun Taslim HM. Yasin oleh para ahli. Kesulitan yang dihadapi adalah asumsi metodologi yang digunakan masih merupakan produk Barat yang seolah-olah kerangka rujukan satu-satunya dan objektif dalam studinya terhadap agama. Bahkan ada ahli yang memperhatikan agama-agama Timur berangkat dengan menggunakan pertanyaan atau pendekatan Barat. Memang penekanan Timur terletak pada penghayatan yang langsung terhadap totalitas atau esensi dari realitas mutlak sangat dipengaruhi oleh masyarakat Timur yang ada. Kenyataan menunjukkan bahwa para ahli Barat dengan keterkaitan mereka denga konseptualisasi, cenderung untuk menginterpretasikan fenomena agama bukan Barat itu dan berusaha untuk menerapkannya terhadap fenomena-fenomena agama di Timur. Adanya perbedaan antara ahli agama Barat dan ahli agama Timur semakin kelihatan, terutama dalam hal penggunaan metodologi dalam studinya terhadap agama-agama. Ada pandangan bahwa para ahli Barat-lah yang pertama-tama menemukan agama-agama Timur sebagai salah satu kajian akademik. Hal ini ditambah lagi banyak sarjana-sarjana dari Timur yang melanjutkan studi atau dilatih di Universitasuniversitas di Barat. 1 Diperlukan ketelitian didalam menghampiri agamaagama, terutama sekali Islam, dalam hal penggunaan metodologi yang masih merupakan produk Barat, seperti yang dikhawatirkan oleh Noeng Muhadjir bahwa sarjana Barat dalam studinya terhadap Islam berangkat dari pendekatan Antropologi. Oleh karena itu diperlukan ketelitian dan kecermatan didalam menerapkan suatu metode, hal ini diperlukan untuk menghindari kesalah-pahaman tentang suatu agama ataupun kepercayaan yang telah dianut dan berkembang dalam masyarakat. B. Perdebatan tentang Asal Usul Agama Menurut Mukti Ali ada beberapa istilah yang berkembang dalam kajian masalah agama. Di Indonesia, dengan menyebut istilah agama sudah cukup dipahami bahwa yang dimaksud ialah agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Kong Fu Tzu. Istilah “religi” tidak begitu berkembang di Indonesia, sedang istilah din dan millah 358 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 Pergulatan Manusia Mencari Tuhan dikenal di kalangan umat Islam. Istilah “religi”, dilihat dari segi akar dan kata religo, berarti mengikat, menjalin. Jadi religi menekankan segi “adanya ikatan” dengan Yang Maha Kuasa, sementara “agama” menekankan segi “adanya pengaturan atau ajaran” yang datang dari Yang Maha Kuasa. Adapun din, yang berarti keyakinan dan keimanan, kadang-kadang senada dengan dana yang berarti mengikat. Kata millah lebih menunjukan kepada religious community, sekalipun juga mempunyai pengertian religion, creed, faith, confession, denomination. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Johnson yang menyatakan bahwa “defining religion is a difficult task because religion is so complex”. Selalu agama merupakan masalah yang komplek, tipe agama juga bermacammacam. Oleh karena itu usaha membuat definisi agama yang mencakup seluruhnya selalu akan mengalami kesulitan. Sekalipun demikian, usaha mendapatkan pengertian dan pemahaman tentang agama secara umum tetap selalu diupayakan.2 Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan oleh banyak sarjana, jelas sekali bahwa apa yang disebut agama, tidak dapat dilepaskan dari adanya kepercayaan terhadap Tuhan, yang oleh para ilmuan disebut dengan kekuatan yang menguasai alam dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, hal yang sangat mendasar dalam membicarakan masalah agama adalah adanya keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Unsur utama agama adalah adanya kepercayaan dari keimanan terhadap Tuhan. Kepercayaan terhadap kehidupan sesudah mati, sekalipun esensial dalam agama, kepercayaan terhadap Malaikat, Nabi dan Rasul, Kitab Suci dan lain sebagainya, adalah tindak lanjut dari kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan demikian dapat dikatakan tidak mungkin ada agama tanpa Tuhan, sekalipun dari sudut keilmuan terbukti bahwa manusi mungkin mencari atau menemukan Tuhan tanpa melalui agama. Dari sudut keilmuan setiap agama pasti memiliki: (1) Sistem kepecayaan terhadap Tuhan; (2) Sistem upacara perilaku keagamaan; (3) Sistem aturan yang mengatur tata cara dan perilaku hubungan antara Tuhan dan manusia, antara manusia dengan manusia. Dari segi yang pertama akan terlihat pola agama yang monoteis, polities, pantheis, dan sebagainya. Dari sini timbul kajian tentang pemahaman terhadap sifat-sifat Tuhan dan SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 359 Taslim HM. Yasin hubungannya dengan alam dan manusia; kajian tentang buktibukti adanya Tuhan dan usaha pemahaman manusia. Dari aspek kedua, lahir beberapa pemikiran keagamaan, pengalaman perilaku keagamaan, pengalaman dalam rangka ibadah, ketaatan, pengabdian, pengorbanan, zikir dan pikir, dan sebagainya, dan jika dilihat dari aspek yang ketiga akan terdapat kitab suci dan teks-teks keagamaan, fungsi agama, pranata agama, sejarah agama, dan lain sebagainya. Sejak kapan agama muncul dalam kehidupan manusia agaknya masih perlu penegasan. Kajian agama dari aspek Antropologi dengan teori evolusinya, aspek empiriknya, data peninggalan keagamaan, dan muncul berbagai variasi dalam kajian agama yang berusaha menerapkan konsep dan teori ilmiah tertentu terhadap agama, menambah kesulitan kapan agama itu muncul. Berbagai teori Antropologi berpegang pada adanya perkembangan dalam agama, mulai dari agama primitive hingga perkembangan yang terakhir dan sempurna. Ada juga yang merinci bahwa perkembangan dalam agama itu hanya terjadi dalam masalah sistem tata upacara dan sistem aturan saja, sementara sistem kepercayaan tidak mengalami perkembangan sebab sejak semula agama muncul dalam kehidupan manusia dengan pandangan yang monoteis. Pandangan-pandangan lain seperti dinamisme, animisme, henoteisme, katenoteisme dan politeisme, merupakan proses degenerasi dari pandangan monoteisme. Dalam analisis E.B. Tylor bahwa animisme dianggap sebagai asal usul agama. Hal ini dia dasarkan pada hasil penelitiannya bahwa manusia telah percaya kepada “jiwa”. Mengapa manusia sederhana itu menyadari tentang adanya jiwa atau roh, dikarenakan yang tampak dan dialaminya sebagai berikut: 1. Peristiwa hidup dan mati Bahwa adanya hidup karena adanya gerak dan gerak itu terjadi karena adanya “jiwa”. Selama jiwa itu ada dalam tubuh maka nampak tubuh itu bergerak, apabila jiwa itu lepas dari tubuh berarti mati dan tubuh tidak bergerak lagi. 360 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 Pergulatan Manusia Mencari Tuhan 2. Peristiwa mimpi Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami mimpi dimana tubuh itu diam dan masih ada gerak (nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari jiwanya terlepas dan gentayangan ke tempat lain, sehingga jiwa yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang lain, baik jiwa manusia yang masih hidup atau yang sudah mati, mungkin juga dengan jiwa makhluk yang lain. Kemudian setelah jiwa itu kembali ke dalam tubuh maka ia menjadi sadar, ingat dan bergerak kembali. Demikian menurut Tylor manusia yang masih sederhana telah menyadari tentang adanya jiwa, yang bersemayam dalam tubuh yang menyebabkan manusia itu hidup dan ada jiwa yang sudah lepas dari tubuh sudah mati. Apabila tubuh sudah mati, karena tubuh sudah membusuk, tubuh sudah hancur tidak utuh lagi, tubuh sudah di kubur ke dalam tanah, tubuh sudah dibakar menjadi abu, maka jiwanya sudah tidak ada lagi. Jiwa yang sudah lepas dari tubuh itu gentayangan tanpa wujud di alam sekitar, jiwa-jiwa inilah yang dikatakan roh-roh halus atau “spirit” yang disebut “jin” atau ‘hantu’ dan sebagainya. Roh-roh halus itu terdapat pada kayu-kayu besar, di sungai-sungai, di lautan, dihutan rimba, pada bangunan rumah tua atau rumah kosong atau di kuburan (keramat) dan di tempattempat lain yang dikatakan angker. Sebagaimana kehidupan manusia begitu pula halnya dengan roh-roh halus ada yang baik dan ada yang jahat, ada yang melindungi kehidupan manusia dan ada yang selalu menggoda dan mengganggu kehidupan manusia. Bahkan pada tubuh manusia yang lemah karena menderita sakit, atau pada anak-anak yang berperilaku aneh dapat kemasukan roh-roh halus (kesurupan). Agar roh-roh halus itu tidak mengganggu kehidupan manusia, dan kepadanya dapat dimintakan bantuan, maka karena kemampuan manusia itu terbatas, merasa rendah diri atau takut, manusia merasa wajib menghormatinya, memelihara dan melayaninya, dan meminta perlindungan kepadanya. Dengan demikian terjadilah hubungan antara manusia dan roh-roh halus, yang dilakukannya dengan cara dan upacara keagamaan. Misalnya dengan penyampaian sajian (sajen) pembacaan mantera SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 361 Taslim HM. Yasin atau do’a-do’a, dengan perapian membakar kemenyan, dengan membuat api unggun, bernyanyi-nyanyi suci dan melakukan taritarian dan bunyi-bunyian suci, dan sebagainya. Menurut Tylor kepercayaan manusia sederhana terhadap jiwa (latin: anima) di alam sekitarnya itulah yang disebut ‘Animisme’ yang merupakan asal mula agama, yang kemudian berkembang menjadi ‘Dinamisme’, ’Politheisme’ dan akhirnya ‘Monotheisme’. Dengan demikian ‘Animisme’ ini adalah paham kepercayaan manusia tentang adanya jiwa, yang meliputi hal-hal berikut: a. Bahwa di dunia itu tidak ada benda yang tidak berjiwa, kesemuanya itu hidup karena ada jiwa; b. Bahwa yang terpenting adalah ‘jiwa’ dan bukan ‘benda’ (materi) karena tanpa jiwa maka semuanya akan mati; c. Bahwa mahluk yang tidak berwujud itu ada, yang disebut jin, atau hantu dan lainnya, yang terdapat dimana-mana; d. Bahwa matahari, bulan, bintang-bintang, bergerak dan bercahaya karena mempunyai jiwa.3 Oleh karena tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk berhubungan, bergaul dan berbicara dengan rohroh halus, maka muncullah manusia yang mampu untuk itu, yang disebut dukun-dukun, orang-orang keramat, orang-orang suci, para ahli sihir dan lainnya. Menurut R.R.Marett apa yang dikemukakan oleh Tylor tentang Animisme itu mendapat kecaman dari sarjana lainnya, terutama mengenai kesadaran manusia tentang jiwa, apakah manusia dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana sudah mampu berpikir tentang adanya jiwa. R.R. Marett seorang sarjana Antropologi Inggris di dalam bukunya ‘The Threshold of Religion’ (1990), setelah 36 tahun teori Animisme berkembang, berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya masih sangat sederhana belum mungkin dapat berpikir dan menyadarinya tentang adanya ‘jiwa’. Jadi katanya pokok pangkal dari perilaku keagamaan bukanlah kepercayaan terhadap roh-roh halus, melainkan timbul karena perasaan rendah diri manusia terhadap berbagai gejala dan peristiwa yang dialami manusia dalam hidupnya. Karena manusia itu lemah, tidak mampu mengimbangi atau merasa kagum terhadap gejala atau peristiwa yang luar biasa yang melebihi dari kekuatan dirinya dan atau 362 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 Pergulatan Manusia Mencari Tuhan kekuatan yang pernah dialaminya, sehingga kekuatan itu bersifat supernatural. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya yang supernatural itu sudah ada sejak sebelum manusia menyadari adanya roh-roh halus (animisme). Oleh karenanya teori Marett ini sering dikatakan pula prae-animisme. Pemikiran J.G. Frazer berbeda dengan pemikiran E.B. Tylor tentang asal usul agama. Dia berpandangan bahwa kepercayaan manusia yang pertama bersifat “magic”.Manusia itu dalam memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya dengan menggunakan akal dan sistem pengetahuan. Akal manusia itu terbatas, semakin rendah budaya manusia semakin kecil dan terbatas kemampuan akal pemikiran dan pengatahuannya dikarenakan ketidak mampuannya menggunakan akal dan pikirannya untuk memecahkan permasalahan, maka ia menggunakan ‘magic’ (Yunani: magela) atau ilmu gaib atau ilmu sihir. Magic itu adalah tanggapan hidup berbagai masyarakat bangsa, sejak zaman purba maupun sekarang masih ada. Orang memperkirakan bahwa para ahli magic itu dengan mantera, jimat dan upacara yang dilakukannya dapat menguasai atau mempengaruhi alam sekitarnya, sehingga dengan cara-cara yang tidak lazim baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa dapat dipengaruhinya. Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya menggunakan magic untuk mengatasi masalah yang berada di luar batas kemampuan akalnya, kemudian dikarenakan ternyata usahanya dengan magic tidak berhasil maka mulailah ia percaya bahwa alam semesta ini didiami oleh para mahluk halus, roh-roh halus yang lebih berkuasa daripadanya. Seterusnya ia mulai mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus itu, sehingga dengan demikian timbullah agama (religi). Jadi perbedaan antara ‘magic’ dan ‘agama’ adalah jika magic merupakan suatu sistem sikap dan perilaku manusia untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan menggunakan kekuatan gaib yag ada dalam alam, sedangkan agama (religi) adalah suatu sistem sulap dan perilaku manusia untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan bersandar atau menyerah diri pada kemauan dan kekuasaan makhluk halus yang menepati alam. SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 363 Taslim HM. Yasin Dilihat dari maksud dan tujuannya, maka magic atau magi itu dapat dibedakan antara ‘Magi Putih’ dan ‘Magi Hitam’. Dikatakan magi putih kalau maksud dan tujuannya baik, sebaliknya jika maksud dan tujuannya buruk, maka disebut Magi Hitam. Sampai sekarang magi itu masih ada seperti yang disebut ‘Shamanisme’ yang terdapat di kalangan penduduk pribumi Eskimo, Oceania, Afrika dan suku Lap dan yang disebut ‘Voodooime’ (voodoo) pada suku-suku pribumi di Amerika. Dalam mempelajari magic itu dari segi Antropologi perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut: 1. Siapa orang yang melaksanakan atau memimpin pelaksanaan acara dan upacara magic itu; 2. Bagaimana cara dan upacara magic itu dilakukan dan ditempat yang bagaimana; 3. Alat-alat apa saja yang digunakannya melakukan upacara itu, dan bagaimana caranya menggunakannya; 4. Ucapan atau kata-kata apa yang digunakannya dalam membaca mantera, atau do’a dan sebagainya; 5. Jika diramu bahan obat, dari bahan apa dan bagaimana cara meramunya, dan untuk pengobatan apa. Kalau E.B. Tylor menyatakan bahwa agama berasal dari animisme, Frazer dari Magic, maka W. Schmidt lebih menekankan bahwa kepercayaan manusia yang pertama adalah bersifat “mono-theisme”.maksudnya adalah kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan, sesungguhnya bukan penemuan baru tetapi juga sudah tua. Pendapatnya ini sebenarnya berasal dari pendapat ahli sastra Inggris A. Lang, yang meramunya dari berbagai kesusastraan rakyat dari berbagai bangsa di dunia dalam bentukbentuk dongeng yang melukiskan adanya tokoh Dewa Tunggal. Bahwa di berbagai suku bangsa bersangkutan sudah ada kepercayaan terhadap adanya satu Dewa yang merupakan dan dianggap Dewa tertinggi yang mencipta alam semesta dan seluruh isinya, serta sebagai penjaga ketertiban alam dan kesusilaan.4 Menurut A. Lang contoh dari suku bangsa yang percaya terhadap adanya tokoh Dewa tertinggi itu terdapat pada masyarakat yang masih rendah tingkat budayanya di Australia, di kepulauan Andaman dan pada beberapa suku penduduk pribumi di Amerika utara. Jadi dalam berbagai hal terbukti bahwa kepercayaan pada satu Tuhan bukan karena adanya pengaruh 364 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 Pergulatan Manusia Mencari Tuhan agama Kristen dan Islam. Malahan kata A Lang pada bangsabangsa yang tingkat kebudayaannya terhadap satu Tuhan terdesak oleh pengaruh kepecayaan terhadap makhluk-makhluk halus, dewa-dewa alam, hantu-hantu dan sebagainya. Jadi kata A Lang sebenarnya kepercayaan terhadap Dewa tertinggi itu sudah sangat tua dan mungkin merupakan bentuk agama yang tertua. Apa yang dikemukakan A Lang itu kemudian diolah lebih lanjut oleh W. Schmidt, yang bukan saja merupakan tokoh Antropologi, tetapi juga sebagai pendeta Katolik. Ia pernah menjadi Guru Besar di perguruan tinggi di Australia, kemudian di Swis, dalam rangka mendidik para calon pendeta penyiar agama Katholik dari organisasi Societas Verbi Davini. Hal mana bagi W. Schmidt sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya di mana agama itu berasal dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada manusia sudah ada sejak adanya manusia di muka bumi. Jadi sejak masyarakat manusia masih rendah tingkat budayanya memang sudah ada ‘Uroffenbarung’ atau Titah Tuhan yang murni, sehingga kepercayaan ‘Urmonotheismus’ yaitu kepercayaan yang asli dan bersih dari berbagai khurafat, memang sudah sejak zaman purba dimana tingkat budaya masyarakat masih sangat sederhana. Hanya karena tangan-tangan manusialah yang menyebabkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu menjadi rusak, dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemujaan kepada makhluk-makhluk halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa, yang diciptakan oleh akal pikiran manusia sendiri. Durkheim salah seorang filosof dan sosiolog Prancis menyatakan bahwa pada masyarakat yang masih sederhana tingkat budayanya belum mungkin dapat menyadari dan memahami tentang Jiwa yang berada dalam tubuh manusia yang hidup dan jiwa yang sudah lepas dari tubuh menjadi roh-roh halus dari orang yang sudah mati. Menurut Durkheim bahwa dasar-dasar dari adanya agama itu adalah sebagai berikut: a. Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangnya kegiatan keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah dikarenakan adanya suatu ‘getaran jiwa’ yang menimbulkan ‘emosi keagamaan’. Timbulnya getaran jiwa itu dikarenakan rasa sentimen kemasyarakatan, yaitu suatu keterikatan dalam perasaan kemasyarakatan berupa rasa cinta, rasa bakti, dan lainnya di SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 365 Taslim HM. Yasin dalam kehidupan masyarakatnya; b. Rasa sentimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan, sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan perilaku keagamaan. Sikap perilaku keagamaan itu tidak selamanya berkobar dalam hati nurani manusia, oleh karenanya ia harus diperlihara dan dikobarkan agar tidak menjadi lemah dan tanpa semangat. Salah satu cara mengobarkan sentimen kemasyarakatan itu ialah dengan mengadakan pertemuan-pertemuan yang sangat besar; c. Emosi keagamaan yang timbul karena rasa sentiment kemasyarakatan itu membutuhkan adanya maksud dan tujuan. Tujuan yang bagaimanakah sifatnya yang menyebabkan adanya daya tarik dari emosi keagamaan itu, bukanlah sifatnya yang luar biasa, aneh, megah, ajaib, menarik dan sebagainya, tetapi ialah adanya tanggapan umum dari masyarakat pendukungnya. Misalnya karena adanya peristiwa kebutuhan yang dialami dalam sejarah kehidupan masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak orang dalam masyarakat itu. Tujuan yang menjadi objek emosi keagamaan itu juga mempunyai fungsi sebagai pemelihara emosi keagamaan, misalnya dianggap sakral dan bersifat keramat yang berhadapan dan berlawanan dengan objek yang tidak ‘ritual value’, yang lain yang tidak bernilai keagamaan; d. Objek yang sacral biasanya merupakan lambang dari masyarkat misalnya pada suku-suku pribumi di Australia yang menjadi objek yang sakral berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda tertentu yang disebut ‘Totem’. Adanya totem berupa sejenis binatang atau benda tertentu menggambarkan yang jelas apa yang berada dibelakang sebagai sendi dari totem itu, ialah adanya suatu kelompok masyarakat (klen) yang menjadi pendukungnya. Menurut Durkheim pengertian tentang ‘emosi keagamaan’ dan ‘sentimen kemasyarakatan’ sebagaimana dikemukakan di atas adalah pengertian dasar yang merupakan inti dari setiap agama. Sedangkan kegiatan berhimpunnya masyarakat, kesadaran terhadap tujuan atau abjek yang sakral yang bertentangan dengan sifat duniawi (profane) serta totem sebagai perlambang masyarakat, adalah bertujuan untuk mempertahankan kehidupan emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan. Untuk memenuhi tujuan tersebut maka dilaksanakan bentuk upacara, kepercayaan dan mythology (ilmu tentang cerita-cerita kuno). 366 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 Pergulatan Manusia Mencari Tuhan Ketiga unsur ini menentukan bentuk lahir dari suatu agama di dalam masyarakat tertentu, yang menunjukan ciri-ciri perbedaan yang nyata dari berbagai agama di dunia. Tylor, satu abad yang lalu telah mendefinisikan agama sebagai satu kepercaya dalam bentuk spiritual. Sejumlah ahli Antropologi social modern sudah kembali kesuatu perluasan definisi agama dalam pengembangan kehidupan sosial masyarakat terhadap manusia biasa atau kekuatannya. Ahli lainnya mengikuti Durkheim, telah berusaha menemukan beberapa nilai khusus tentang kesucian yang mengatasi agama dan kepercayaan duniawi.5 Pandangan yang paling tegas mengenai asal-usul kepercayaan umat manusia datang dari Muhammad Abduh. Menurutnya kepercayaan manusia yang pertama sekali adalah bersifat tauhid yaitu percaya kepada adanya satu Tuhan dan tidak mengalami evolusi. Yang mengalami evolusi adalah wahyu yang diberikan oleh Allah kepada para nabi-Nya, dari satu nabi kepada nabi yang lain. Rasul-rasul yang terdahulu adalah rasulrasul nasional, diberi wahyu sesuai dengan kecerdasan masyarakat dan zaman yang diajarinya. Demikianlah, maka proses wahyu itu berkembang. Ada kalanya seorang nabi itu diutus hanya untuk waktu sesaat, ada pula hanya untuk satu kaum, hingga akhirnya sempurnalah wahyu itu dalam risalah yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad adalah nabi yang paling akbhir, nabi universal untuk seantaro umat manusia dan seluruh zaman. Jadi, harus diingat bahwa Muhammad Abduh dalam pandangannya mengenai Tuhan sama sekali tidak menggunakan teori evolusionisme. Percaya kepada satu Tuhan tidak pernah mengalami perubahan. Artinya sejak semula dari tauhid tetap tauhid. 6 C. Kesimpulan Sejak dari awal sudah dapat diduga bahwa menghampiri asal usul agama dengan menggunakan pendekatan Antropologi akan banyak mendapat kesulitan dan tantangan terutama datang dari para teolog. Hal ini desebabkan, pendekatan Antropologi mengedepankan bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan dari keadaan yang sederhana kearah perkembangan yang lebih SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 367 Taslim HM. Yasin sempurna. Agama, bagi mereka, adalah satu aspek saja dari kebudayaan manusia yang tunduk kepada hukum alam, samadengan lembaga atau pranata sosial lainnya. Kurang tepat kalau pendekatan Antropologi dijadikan satu-satunya dasar dalam studinya tentang asal usul agama, terutama dalam usahanya untuk menyelidiki Yang Maha Agung. Di samping hal ini bersifat ghaib, tetapi juga pendekatan Antropologi tidak akan mampu menyelami hakikat yang sesungguhnya atas kebesaran dan kesucian Yang Maha Agung tersebut. Untuk itulah maka para teolog menolak pendekatan Antropologi dalam kaitan menentukan asal usul kepercayaan umat manusia yaitu dari politheisme menuju monotheisme. Bagi para teolog umat manusia sejak dari awal sudah percaya kepada adanya Tuhan yang satu. Catatan Akhir H.A. Mukti Ali, Asal-Usul Agama, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1970, hal.7 2 H.A.Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, 1993, hal. 494. 3 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal.21 4 H.Hilman, Antropologi Agama, Citra Aditya, Bandung, 1993, hal.16-38. 5 Syamsuddin Abdullah, Ilmu Agama, Yogyakarta, 1971, hal.2-6. 6 H.A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Yayasan Nida, Yogyakarta, 1970, hal.25-27. 1 368 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009