Metodologi Penelitian Hadis: Dari Kerangka

advertisement
PERGULATAN MANUSIA
MENCARI TUHAN
_________
_________
Taslim HM. Yasin
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh, 23111
ABSTRAK
Sejauh ini telah banyak para ahli memusatkan perhatiannya kepada asal
usul kepercayaan manusia. Dari studi itu muncul dua teori besar. Teori
pertama, berpandangan bahwa kepercayaan manusia berawal dari
percaya kepada Tuhan banyak dan akhirnya kepada Tuhan satu. Teori
kedua berpendapat bahwa kepercayaan manusia yg mula-mula adalah
percaya kepada Tuhan Satu (Monotheisme)
Kata Kunci: Manusia, Tuhan
A. Pendahuluan
Para ahli Sejarah Agama beranggapan bahwa agamaagama dunia merupakan gerakan-gerakan yang telah berkembang
berdasarkan pada komunitas-komunitas historis. Jadi asumsiasumsi terakhir dari setiap agama sudah barang tentu dipengaruhi
oleh keputusan dari komunitas manusia dalam situasi historis dan
budaya tertentu. Namun demikian, asumsi dari setiap agama itu
harus mengikuti analisis-analisis kritis ilmiah yang telah dibangun
Taslim HM. Yasin
oleh para ahli. Kesulitan yang dihadapi adalah asumsi metodologi
yang digunakan masih merupakan produk Barat yang seolah-olah
kerangka rujukan satu-satunya dan objektif dalam studinya
terhadap agama.
Bahkan ada ahli yang memperhatikan agama-agama Timur
berangkat dengan menggunakan pertanyaan atau pendekatan
Barat. Memang penekanan Timur terletak pada penghayatan yang
langsung terhadap totalitas atau esensi dari realitas mutlak sangat
dipengaruhi oleh
masyarakat Timur yang ada. Kenyataan
menunjukkan bahwa para ahli Barat dengan keterkaitan mereka
denga konseptualisasi, cenderung untuk menginterpretasikan
fenomena agama bukan Barat itu dan berusaha untuk
menerapkannya terhadap fenomena-fenomena agama di Timur.
Adanya perbedaan antara ahli agama Barat dan ahli
agama Timur semakin kelihatan, terutama dalam hal penggunaan
metodologi dalam studinya terhadap agama-agama. Ada
pandangan bahwa para ahli Barat-lah yang pertama-tama menemukan agama-agama Timur sebagai salah satu kajian
akademik. Hal ini ditambah lagi banyak sarjana-sarjana dari
Timur yang melanjutkan studi atau dilatih di Universitasuniversitas di Barat. 1
Diperlukan ketelitian didalam menghampiri agamaagama, terutama sekali Islam, dalam hal penggunaan metodologi
yang masih merupakan produk Barat, seperti yang dikhawatirkan
oleh Noeng Muhadjir bahwa sarjana Barat dalam studinya
terhadap Islam berangkat dari pendekatan Antropologi. Oleh
karena itu diperlukan ketelitian dan kecermatan
didalam
menerapkan suatu metode, hal ini diperlukan untuk menghindari
kesalah-pahaman tentang suatu agama ataupun kepercayaan yang
telah dianut dan berkembang dalam masyarakat.
B. Perdebatan tentang Asal Usul Agama
Menurut Mukti Ali ada beberapa istilah yang berkembang
dalam kajian masalah agama. Di Indonesia, dengan menyebut
istilah agama sudah cukup dipahami bahwa yang dimaksud ialah
agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Katolik, Kristen
Protestan, Hindu, Budha dan Kong Fu Tzu. Istilah “religi” tidak
begitu berkembang di Indonesia, sedang istilah din dan millah
358 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009
Pergulatan Manusia Mencari Tuhan
dikenal di kalangan umat Islam. Istilah “religi”, dilihat dari segi
akar dan kata religo, berarti mengikat, menjalin. Jadi religi
menekankan segi “adanya ikatan” dengan Yang Maha Kuasa,
sementara “agama” menekankan segi “adanya pengaturan atau
ajaran” yang datang dari Yang Maha Kuasa. Adapun din, yang
berarti keyakinan dan keimanan, kadang-kadang senada dengan
dana yang berarti mengikat. Kata millah lebih menunjukan kepada
religious community, sekalipun juga mempunyai pengertian religion,
creed, faith, confession, denomination. Pendapat senada juga
dikemukakan oleh Johnson yang menyatakan bahwa “defining
religion is a difficult task because religion is so complex”. Selalu agama
merupakan masalah yang komplek, tipe agama juga bermacammacam. Oleh karena itu usaha membuat definisi agama yang
mencakup seluruhnya selalu akan mengalami kesulitan. Sekalipun
demikian, usaha mendapatkan pengertian dan pemahaman
tentang agama secara umum tetap selalu diupayakan.2
Dari berbagai pengertian yang telah dikemukakan oleh
banyak sarjana, jelas sekali bahwa apa yang disebut agama, tidak
dapat dilepaskan dari adanya kepercayaan terhadap Tuhan, yang
oleh para ilmuan disebut dengan kekuatan yang menguasai alam
dan kehidupan manusia. Oleh karena itu, hal yang sangat
mendasar dalam membicarakan masalah agama adalah adanya
keimanan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Unsur utama agama
adalah adanya kepercayaan dari keimanan terhadap Tuhan.
Kepercayaan terhadap kehidupan sesudah mati, sekalipun
esensial dalam agama, kepercayaan terhadap Malaikat, Nabi dan
Rasul, Kitab Suci dan lain sebagainya, adalah tindak lanjut dari
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan
demikian dapat dikatakan tidak mungkin ada agama tanpa
Tuhan, sekalipun dari sudut keilmuan terbukti bahwa manusi
mungkin mencari atau menemukan Tuhan tanpa melalui agama.
Dari sudut keilmuan setiap agama pasti memiliki: (1)
Sistem kepecayaan terhadap Tuhan; (2) Sistem upacara perilaku
keagamaan; (3) Sistem aturan yang mengatur tata cara dan
perilaku hubungan antara Tuhan dan manusia, antara manusia
dengan manusia. Dari segi yang pertama akan terlihat pola agama
yang monoteis, polities, pantheis, dan sebagainya. Dari sini timbul
kajian tentang pemahaman terhadap sifat-sifat Tuhan dan
SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 359
Taslim HM. Yasin
hubungannya dengan alam dan manusia; kajian tentang buktibukti adanya Tuhan dan usaha pemahaman manusia. Dari aspek
kedua, lahir beberapa pemikiran keagamaan, pengalaman perilaku keagamaan, pengalaman dalam rangka ibadah, ketaatan,
pengabdian, pengorbanan, zikir dan pikir, dan sebagainya, dan
jika dilihat dari aspek yang ketiga akan terdapat kitab suci dan
teks-teks keagamaan, fungsi agama, pranata agama, sejarah
agama, dan lain sebagainya.
Sejak kapan agama muncul dalam kehidupan manusia
agaknya masih perlu penegasan. Kajian agama dari aspek
Antropologi dengan teori evolusinya, aspek empiriknya, data
peninggalan keagamaan, dan muncul berbagai variasi dalam
kajian agama yang berusaha menerapkan konsep dan teori ilmiah
tertentu terhadap agama, menambah kesulitan kapan agama itu
muncul. Berbagai teori Antropologi berpegang pada adanya
perkembangan dalam agama, mulai dari agama primitive hingga
perkembangan yang terakhir dan sempurna. Ada juga yang
merinci bahwa perkembangan dalam agama itu hanya terjadi
dalam masalah sistem tata upacara dan sistem aturan saja,
sementara sistem kepercayaan tidak mengalami perkembangan
sebab sejak semula agama muncul dalam kehidupan manusia
dengan pandangan yang monoteis. Pandangan-pandangan lain
seperti dinamisme, animisme, henoteisme, katenoteisme dan
politeisme, merupakan proses degenerasi dari pandangan
monoteisme.
Dalam analisis E.B. Tylor bahwa animisme dianggap
sebagai asal usul agama. Hal ini dia dasarkan pada hasil
penelitiannya bahwa manusia telah percaya kepada “jiwa”.
Mengapa manusia sederhana itu menyadari tentang adanya jiwa
atau roh, dikarenakan yang tampak dan dialaminya sebagai
berikut:
1. Peristiwa hidup dan mati
Bahwa adanya hidup karena adanya gerak dan gerak itu
terjadi karena adanya “jiwa”. Selama jiwa itu ada dalam
tubuh maka nampak tubuh itu bergerak, apabila jiwa itu
lepas dari tubuh berarti mati dan tubuh tidak bergerak
lagi.
360 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009
Pergulatan Manusia Mencari Tuhan
2. Peristiwa mimpi
Bahwa ketika manusia itu tidur atau pingsan ia mengalami
mimpi dimana tubuh itu diam dan masih ada gerak
(nafas), tetapi ia tidak sadar karena sebagian dari jiwanya
terlepas dan gentayangan ke tempat lain, sehingga jiwa
yang terlepas itu bertemu dengan jiwa yang lain, baik jiwa
manusia yang masih hidup atau yang sudah mati,
mungkin juga dengan jiwa makhluk yang lain. Kemudian
setelah jiwa itu kembali ke dalam tubuh maka ia menjadi
sadar, ingat dan bergerak kembali.
Demikian menurut Tylor manusia yang masih sederhana
telah menyadari tentang adanya jiwa, yang bersemayam dalam
tubuh yang menyebabkan manusia itu hidup dan ada jiwa yang
sudah lepas dari tubuh sudah mati. Apabila tubuh sudah mati,
karena tubuh sudah membusuk, tubuh sudah hancur tidak utuh
lagi, tubuh sudah di kubur ke dalam tanah, tubuh sudah dibakar
menjadi abu, maka jiwanya sudah tidak ada lagi. Jiwa yang sudah
lepas dari tubuh itu gentayangan tanpa wujud di alam sekitar,
jiwa-jiwa inilah yang dikatakan roh-roh halus atau “spirit” yang
disebut “jin” atau ‘hantu’ dan sebagainya.
Roh-roh halus itu terdapat pada kayu-kayu besar, di
sungai-sungai, di lautan, dihutan rimba, pada bangunan rumah
tua atau rumah kosong atau di kuburan (keramat) dan di tempattempat lain yang dikatakan angker. Sebagaimana kehidupan
manusia begitu pula halnya dengan roh-roh halus ada yang baik
dan ada yang jahat, ada yang melindungi kehidupan manusia dan
ada yang selalu menggoda dan mengganggu kehidupan manusia.
Bahkan pada tubuh manusia yang lemah karena menderita sakit,
atau pada anak-anak yang berperilaku aneh dapat kemasukan
roh-roh halus (kesurupan).
Agar roh-roh halus itu tidak mengganggu kehidupan
manusia, dan kepadanya dapat dimintakan bantuan, maka karena
kemampuan manusia itu terbatas, merasa rendah diri atau takut,
manusia merasa wajib menghormatinya, memelihara dan melayaninya, dan meminta perlindungan kepadanya. Dengan
demikian terjadilah hubungan antara manusia dan roh-roh halus,
yang dilakukannya dengan cara dan upacara keagamaan.
Misalnya dengan penyampaian sajian (sajen) pembacaan mantera
SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 361
Taslim HM. Yasin
atau do’a-do’a, dengan perapian membakar kemenyan, dengan
membuat api unggun, bernyanyi-nyanyi suci dan melakukan taritarian dan bunyi-bunyian suci, dan sebagainya.
Menurut Tylor kepercayaan manusia sederhana terhadap
jiwa (latin: anima) di alam sekitarnya itulah yang disebut ‘Animisme’ yang merupakan asal mula agama, yang kemudian
berkembang menjadi ‘Dinamisme’, ’Politheisme’ dan akhirnya
‘Monotheisme’.
Dengan demikian ‘Animisme’ ini adalah paham kepercayaan manusia tentang adanya jiwa, yang meliputi hal-hal
berikut: a. Bahwa di dunia itu tidak ada benda yang tidak berjiwa,
kesemuanya itu hidup karena ada jiwa; b. Bahwa yang terpenting
adalah ‘jiwa’ dan bukan ‘benda’ (materi) karena tanpa jiwa maka
semuanya akan mati; c. Bahwa mahluk yang tidak berwujud itu
ada, yang disebut jin, atau hantu dan lainnya, yang terdapat
dimana-mana; d. Bahwa matahari, bulan, bintang-bintang,
bergerak dan bercahaya karena mempunyai jiwa.3
Oleh karena tidak semua manusia mempunyai kemampuan untuk berhubungan, bergaul dan berbicara dengan rohroh halus, maka muncullah manusia yang mampu untuk itu, yang
disebut dukun-dukun, orang-orang keramat, orang-orang suci,
para ahli sihir dan lainnya.
Menurut R.R.Marett apa yang dikemukakan oleh Tylor
tentang Animisme itu mendapat kecaman dari sarjana lainnya,
terutama mengenai kesadaran manusia tentang jiwa, apakah
manusia dalam kehidupan masyarakat yang masih sederhana
sudah mampu berpikir tentang adanya jiwa. R.R. Marett seorang
sarjana Antropologi Inggris di dalam bukunya ‘The Threshold of
Religion’ (1990), setelah 36 tahun teori Animisme berkembang,
berpendapat bahwa bagi masyarakat yang budayanya masih
sangat sederhana belum mungkin dapat berpikir dan menyadarinya tentang adanya ‘jiwa’. Jadi katanya pokok pangkal dari
perilaku keagamaan bukanlah kepercayaan terhadap roh-roh
halus, melainkan timbul karena perasaan rendah diri manusia
terhadap berbagai gejala dan peristiwa yang dialami manusia
dalam hidupnya. Karena manusia itu lemah, tidak mampu
mengimbangi atau merasa kagum terhadap gejala atau peristiwa
yang luar biasa yang melebihi dari kekuatan dirinya dan atau
362 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009
Pergulatan Manusia Mencari Tuhan
kekuatan yang pernah dialaminya, sehingga kekuatan itu bersifat
supernatural. Menurut Marett kepercayaan terhadap adanya yang
supernatural itu sudah ada sejak sebelum manusia menyadari
adanya roh-roh halus (animisme). Oleh karenanya teori Marett ini
sering dikatakan pula prae-animisme.
Pemikiran J.G. Frazer berbeda dengan pemikiran E.B. Tylor
tentang asal usul agama. Dia berpandangan bahwa kepercayaan
manusia yang pertama bersifat “magic”.Manusia itu dalam
memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya dengan
menggunakan akal dan sistem pengetahuan. Akal manusia itu
terbatas, semakin rendah budaya manusia semakin kecil dan
terbatas kemampuan akal pemikiran dan pengatahuannya dikarenakan ketidak mampuannya menggunakan akal dan pikirannya untuk memecahkan permasalahan, maka ia menggunakan
‘magic’ (Yunani: magela) atau ilmu gaib atau ilmu sihir.
Magic itu adalah tanggapan hidup berbagai masyarakat
bangsa, sejak zaman purba maupun sekarang masih ada. Orang
memperkirakan bahwa para ahli magic itu dengan mantera, jimat
dan upacara yang dilakukannya dapat menguasai atau mempengaruhi alam sekitarnya, sehingga dengan cara-cara yang tidak
lazim baik yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa dapat
dipengaruhinya.
Menurut Frazer pada mulanya manusia itu hanya menggunakan magic untuk mengatasi masalah yang berada di luar
batas kemampuan akalnya, kemudian dikarenakan ternyata
usahanya dengan magic tidak berhasil maka mulailah ia percaya
bahwa alam semesta ini didiami oleh para mahluk halus, roh-roh
halus yang lebih berkuasa daripadanya. Seterusnya ia mulai
mencari hubungan dengan mahluk-mahluk halus itu, sehingga
dengan demikian timbullah agama (religi).
Jadi perbedaan antara ‘magic’ dan ‘agama’ adalah jika
magic merupakan suatu sistem sikap dan perilaku manusia untuk
mencapai maksud dan tujuannya dengan menggunakan kekuatan
gaib yag ada dalam alam, sedangkan agama (religi) adalah suatu
sistem sulap dan perilaku manusia untuk mencapai maksud dan
tujuannya dengan bersandar atau menyerah diri pada kemauan
dan kekuasaan makhluk halus yang menepati alam.
SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 363
Taslim HM. Yasin
Dilihat dari maksud dan tujuannya, maka magic atau magi
itu dapat dibedakan antara ‘Magi Putih’ dan ‘Magi Hitam’.
Dikatakan magi putih kalau maksud dan tujuannya baik,
sebaliknya jika maksud dan tujuannya buruk, maka disebut Magi
Hitam. Sampai sekarang magi itu masih ada seperti yang disebut
‘Shamanisme’ yang terdapat di kalangan penduduk pribumi
Eskimo, Oceania, Afrika dan suku Lap dan yang disebut
‘Voodooime’ (voodoo) pada suku-suku pribumi di Amerika.
Dalam mempelajari magic itu dari segi Antropologi perlu
diperhatikan antara lain sebagai berikut: 1. Siapa orang yang
melaksanakan atau memimpin pelaksanaan acara dan upacara
magic itu; 2. Bagaimana cara dan upacara magic itu dilakukan dan
ditempat yang bagaimana; 3. Alat-alat apa saja yang digunakannya melakukan upacara itu, dan bagaimana caranya menggunakannya; 4. Ucapan atau kata-kata apa yang digunakannya
dalam membaca mantera, atau do’a dan sebagainya; 5. Jika diramu bahan obat, dari bahan apa dan bagaimana cara meramunya, dan untuk pengobatan apa.
Kalau E.B. Tylor menyatakan bahwa agama berasal dari
animisme, Frazer dari Magic, maka W. Schmidt lebih menekankan
bahwa kepercayaan manusia yang pertama adalah bersifat
“mono-theisme”.maksudnya adalah kepercayaan terhadap adanya satu Tuhan, sesungguhnya bukan penemuan baru tetapi juga
sudah tua. Pendapatnya ini sebenarnya berasal dari pendapat ahli
sastra Inggris A. Lang, yang meramunya dari berbagai kesusastraan rakyat dari berbagai bangsa di dunia dalam bentukbentuk dongeng yang melukiskan adanya tokoh Dewa Tunggal.
Bahwa di berbagai suku bangsa bersangkutan sudah ada
kepercayaan terhadap adanya satu Dewa yang merupakan dan
dianggap Dewa tertinggi yang mencipta alam semesta dan
seluruh isinya, serta sebagai penjaga ketertiban alam dan
kesusilaan.4
Menurut A. Lang contoh dari suku bangsa yang percaya
terhadap adanya tokoh Dewa tertinggi itu terdapat pada
masyarakat yang masih rendah tingkat budayanya di Australia, di
kepulauan Andaman dan pada beberapa suku penduduk pribumi
di Amerika utara. Jadi dalam berbagai hal terbukti bahwa
kepercayaan pada satu Tuhan bukan karena adanya pengaruh
364 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009
Pergulatan Manusia Mencari Tuhan
agama Kristen dan Islam. Malahan kata A Lang pada bangsabangsa yang tingkat kebudayaannya terhadap satu Tuhan
terdesak oleh pengaruh kepecayaan terhadap makhluk-makhluk
halus, dewa-dewa alam, hantu-hantu dan sebagainya. Jadi kata A
Lang sebenarnya kepercayaan terhadap Dewa tertinggi itu sudah
sangat tua dan mungkin merupakan bentuk agama yang tertua.
Apa yang dikemukakan A Lang itu kemudian diolah lebih
lanjut oleh W. Schmidt, yang bukan saja merupakan tokoh
Antropologi, tetapi juga sebagai pendeta Katolik. Ia pernah
menjadi Guru Besar di perguruan tinggi di Australia, kemudian di
Swis, dalam rangka mendidik para calon pendeta penyiar agama
Katholik dari organisasi Societas Verbi Davini. Hal mana bagi W.
Schmidt sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya di mana
agama itu berasal dari Titah Tuhan yang diturunkan kepada
manusia sudah ada sejak adanya manusia di muka bumi. Jadi
sejak masyarakat manusia masih rendah tingkat budayanya
memang sudah ada ‘Uroffenbarung’ atau Titah Tuhan yang
murni, sehingga kepercayaan ‘Urmonotheismus’ yaitu kepercayaan yang asli dan bersih dari berbagai khurafat, memang
sudah sejak zaman purba dimana tingkat budaya masyarakat
masih sangat sederhana. Hanya karena tangan-tangan manusialah
yang menyebabkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
itu menjadi rusak, dipengaruhi oleh berbagai bentuk pemujaan
kepada makhluk-makhluk halus, kepada roh-roh dan dewa-dewa,
yang diciptakan oleh akal pikiran manusia sendiri.
Durkheim salah seorang filosof dan sosiolog Prancis
menyatakan bahwa pada masyarakat yang masih sederhana
tingkat budayanya belum mungkin dapat menyadari dan memahami tentang Jiwa yang berada dalam tubuh manusia yang
hidup dan jiwa yang sudah lepas dari tubuh menjadi roh-roh
halus dari orang yang sudah mati. Menurut Durkheim bahwa
dasar-dasar dari adanya agama itu adalah sebagai berikut: a.
Bahwa yang menjadi sebab adanya dan berkembangnya kegiatan
keagamaan pada manusia sejak ia berada di muka bumi adalah
dikarenakan adanya suatu ‘getaran jiwa’ yang menimbulkan
‘emosi keagamaan’. Timbulnya getaran jiwa itu dikarenakan rasa
sentimen kemasyarakatan, yaitu suatu keterikatan dalam perasaan
kemasyarakatan berupa rasa cinta, rasa bakti, dan lainnya di
SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 365
Taslim HM. Yasin
dalam kehidupan masyarakatnya; b. Rasa sentimen kemasyarakatan itulah yang menyebabkan timbulnya emosi keagamaan,
sebagai pangkal tolak dari sikap tindak dan perilaku keagamaan.
Sikap perilaku keagamaan itu tidak selamanya berkobar dalam
hati nurani manusia, oleh karenanya ia harus diperlihara dan
dikobarkan agar tidak menjadi lemah dan tanpa semangat. Salah
satu cara mengobarkan sentimen kemasyarakatan itu ialah dengan
mengadakan pertemuan-pertemuan yang sangat besar; c. Emosi
keagamaan yang timbul karena rasa sentiment kemasyarakatan itu
membutuhkan adanya maksud dan tujuan. Tujuan yang
bagaimanakah sifatnya yang menyebabkan adanya daya tarik dari
emosi keagamaan itu, bukanlah sifatnya yang luar biasa, aneh,
megah, ajaib, menarik dan sebagainya, tetapi ialah adanya
tanggapan umum dari masyarakat pendukungnya. Misalnya
karena adanya peristiwa kebutuhan yang dialami dalam sejarah
kehidupan masyarakat di masa lampau menarik perhatian banyak
orang dalam masyarakat itu. Tujuan yang menjadi objek emosi
keagamaan itu juga mempunyai fungsi sebagai pemelihara emosi
keagamaan, misalnya dianggap sakral dan bersifat keramat yang
berhadapan dan berlawanan dengan objek yang tidak ‘ritual
value’, yang lain yang tidak bernilai keagamaan; d. Objek yang
sacral biasanya merupakan lambang dari masyarkat misalnya
pada suku-suku pribumi di Australia yang menjadi objek yang
sakral berupa sejenis binatang, tumbuh-tumbuhan atau benda
tertentu yang disebut ‘Totem’. Adanya totem berupa sejenis
binatang atau benda tertentu menggambarkan yang jelas apa yang
berada dibelakang sebagai sendi dari totem itu, ialah adanya suatu
kelompok masyarakat (klen) yang menjadi pendukungnya.
Menurut Durkheim pengertian tentang ‘emosi keagamaan’
dan ‘sentimen kemasyarakatan’ sebagaimana dikemukakan di atas
adalah pengertian dasar yang merupakan inti dari setiap agama.
Sedangkan kegiatan berhimpunnya masyarakat, kesadaran
terhadap tujuan atau abjek yang sakral yang bertentangan dengan
sifat duniawi (profane) serta totem sebagai perlambang
masyarakat, adalah bertujuan untuk mempertahankan kehidupan
emosi keagamaan dan sentimen kemasyarakatan. Untuk
memenuhi tujuan tersebut maka dilaksanakan bentuk upacara,
kepercayaan dan mythology (ilmu tentang cerita-cerita kuno).
366 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009
Pergulatan Manusia Mencari Tuhan
Ketiga unsur ini menentukan bentuk lahir dari suatu agama di
dalam masyarakat tertentu, yang menunjukan ciri-ciri perbedaan
yang nyata dari berbagai agama di dunia.
Tylor, satu abad yang lalu telah mendefinisikan agama
sebagai satu kepercaya dalam bentuk spiritual. Sejumlah ahli
Antropologi social modern sudah kembali kesuatu perluasan
definisi agama dalam pengembangan kehidupan sosial
masyarakat terhadap manusia biasa atau kekuatannya. Ahli
lainnya mengikuti Durkheim, telah berusaha menemukan
beberapa nilai khusus tentang kesucian yang mengatasi agama
dan kepercayaan duniawi.5
Pandangan yang paling tegas mengenai asal-usul kepercayaan umat manusia datang dari Muhammad Abduh.
Menurutnya kepercayaan manusia yang pertama sekali adalah
bersifat tauhid yaitu percaya kepada adanya satu Tuhan dan
tidak mengalami evolusi. Yang mengalami evolusi adalah wahyu
yang diberikan oleh Allah kepada para nabi-Nya, dari satu nabi
kepada nabi yang lain. Rasul-rasul yang terdahulu adalah rasulrasul nasional, diberi wahyu sesuai dengan kecerdasan
masyarakat dan zaman yang diajarinya. Demikianlah, maka
proses wahyu itu berkembang. Ada kalanya seorang nabi itu
diutus hanya untuk waktu sesaat, ada pula hanya untuk satu
kaum, hingga akhirnya sempurnalah wahyu itu dalam risalah
yang diberikan kepada nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad
adalah nabi yang paling akbhir, nabi universal untuk seantaro
umat manusia dan seluruh zaman. Jadi, harus diingat bahwa
Muhammad Abduh dalam pandangannya mengenai Tuhan sama
sekali tidak menggunakan teori evolusionisme. Percaya kepada
satu Tuhan tidak pernah mengalami perubahan. Artinya sejak
semula dari tauhid tetap tauhid. 6
C. Kesimpulan
Sejak dari awal sudah dapat diduga bahwa menghampiri
asal usul agama dengan menggunakan pendekatan Antropologi
akan banyak mendapat kesulitan dan tantangan terutama datang
dari para teolog. Hal ini desebabkan, pendekatan Antropologi
mengedepankan bahwa segala sesuatu mengalami perkembangan
dari keadaan yang sederhana kearah perkembangan yang lebih
SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009 - 367
Taslim HM. Yasin
sempurna. Agama, bagi mereka, adalah satu aspek saja dari
kebudayaan manusia yang tunduk kepada hukum alam, samadengan lembaga atau pranata sosial lainnya.
Kurang tepat kalau pendekatan Antropologi dijadikan
satu-satunya dasar dalam studinya tentang asal usul agama,
terutama dalam usahanya untuk menyelidiki Yang Maha Agung.
Di samping hal ini bersifat ghaib, tetapi juga pendekatan
Antropologi tidak akan mampu menyelami hakikat yang sesungguhnya atas kebesaran dan kesucian Yang Maha Agung
tersebut. Untuk itulah maka para teolog menolak pendekatan
Antropologi dalam kaitan menentukan asal usul kepercayaan
umat manusia yaitu dari politheisme menuju monotheisme. Bagi
para teolog umat manusia sejak dari awal sudah percaya kepada
adanya Tuhan yang satu.
Catatan Akhir
H.A. Mukti Ali, Asal-Usul Agama, Yayasan Nida, Yogyakarta,
1970, hal.7
2 H.A.Mukti Ali, Agama dan Masyarakat, Sunan Kalijaga Press,
Yogyakarta, 1993, hal. 494.
3 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama
dan Pemikiran Manusia, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal.21
4 H.Hilman, Antropologi Agama, Citra Aditya, Bandung, 1993,
hal.16-38.
5 Syamsuddin Abdullah, Ilmu Agama, Yogyakarta, 1971, hal.2-6.
6 H.A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama, Yayasan Nida,
Yogyakarta, 1970, hal.25-27.
1
368 SUBSTANTIA, Vol. 11 Nomor 2, Oktober 2009
Download