BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Hukum Pidana a. Pengertian Hukum Pidana Menurut Adami Chazawi, hukum pidana merupakan bagian dari publik yang memuat/berisi ketentuan-ketentuan tentang: 1) Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/ berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatanperbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu; 2) Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya; 3) Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka usaha negara menentukan, menjatuhkan dan melaksanakan sanksi pidana terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam upaya menegakkan hukum pidana tersebut (Adami Chazawi. 2011: 1-2). Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai 15 16 2) ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya; 3) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan; 4) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut (Moeljatno. 2009: 1). Frans Maramis mendefinisikan hukum pidana sebagai ”keseluruhan peraturan hukum yang menentukan perbuatanperbuatan yang pelaku-pelakunya seharusnya dipidana dan pidanapidana yang seharusnya dikenakan” (Frans Maramis. 2013: 2). Dari pengertian-pengertian hukum pidana tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang didalamnya terdapat ancaman pidana yang diancamkan bagi orang yang melanggar aturan hukum tersebut. Menurut Adami Chazawi, hukum pidana dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang berisi aturan tentang perbuatan yang diancam pidana, ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana, dan syaratsyarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya ancaman pidana tersebut. Hukum pidana materiil ini juga disebut hukum pidana in abstracto. Sedangkan hukum pidana formil adalah hukum pidana yang berisi aturan cara-cara negara melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana. hukum pidana ini disebut hukum pidana in concreto. 17 b. Sumber Hukum Pidana “Sumber hukum merupakan rujukan ketika seseorang hendak mengetahui jawaban atas persoalan hukum yang dihadapi” (Mahrus Ali. 2012: 28). Sumber hukum pidana ada dua, yaitu sumber tertulis dan tidak tertulis. Sumber hukum pidana tertulis adalah sumber hukum pidana yang berupa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga negara yang berhak membuat peraturan hukum. Sumber hukum pidana tertulis yang utama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dikatakan sebagai sumber hukum pidana tertulis yang utama, karena dalam KUHP ini terdapat aturan-aturan umum yang berlaku bagi semua peraturan hukum pidana selama peraturan hukum tersebut tidak mengatur sendiri (Lex specialis derogate lexe generale). Selain itu, sumber hukum pidana tertulis yang bukan sumber utama adalah semua peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Sedangkan sumber hukum pidana tidak tertulis adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dalam masyarakat, diakui dan berlaku dalam masyarakat tersebut sebagai peraturan hukum yang mengikat (hukum pidana adat). c. Fungsi Hukum Pidana Adami Chazawi membedakan fungsi hukum pidana menjadi dua, secara umum dan secara khusus. Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum. Sebagai pengatur dan penyelenggara ketertiban 18 masyarakat hukum pidana memberikan rambu-rambu berupa batasan tertentu, sehingga manusia tidak sebebas-bebasnya berbuat dan bertingkah laku dalam rangka mencapai dan memenuhi kepentingannya (Adami Chazawi. 2011: 14). Sedangkan secara khusus sebagai bagian dari hukum publik, hukum pidana memiliki fungsi sebagai berikut: 1) Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang dan memperkosanya Kepentingan hukum (rechsbelang) adalah segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, maupun anggota suatu negara yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar/diperkosa oleh perbuatan-perbuatan manusia. Kepentingan hukum yang harus dilindungi tersebut ada tiga, yaitu kepentingan hukum perorangan, kepentingan hukum masyarakat, dan kepentingan hukum negara. Meskipun kepentingan hukum yang harus dilindungi oleh hukum pidana dapat dibedakan menjadi tiga, namun antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan dan berhubungan erat; 2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindunginya Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini tiada lain memeberi dasar legitimasi bagi negara agar negara dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana dengan sebaik-baiknya; 3) Fungsi mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi Sebagaimana telah diuraikan dalam fungsi hukum pidana kedua, bahwa negara diberikan kekuasaan dalam rangka mempertahankan kepentingan hukum yang dilindunginya. Oleh karena itu, diperlukan adanya batasan agar negara tidak berlaku sewenang-wenang dalam rangka negara menjalankan fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan 19 menyelenggarakan ketertiban (Adami Chazawi. 2011: 16-21). hukum masyarakat. Selain pengklasifasian fungsi hukum pidana secara umum dan khusus seperti diatas, dikenal pula fungsi hukum pidana subsidiaritas. Sesuai dengan sifat sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras, idealnya fungsi hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Dimana “penggunaan hukum pidana seharusnya dilakukan setelah segala upaya yang dilakukan untuk mengkondisikan masyarakat agar kembali kepada sikap tunduk dan patuh pada hukum dinilai tidak efektif” (Mahrus Ali. 2012: 10). Fungsi hukum pidana sebagai ultimum remidium dalam teori seringkali disebut sebagai fungsi subsidiaritas. Hukum pidana dalam fungsi subsidiaritas yaitu penggunaan hukum pidana itu haruslah dilakukan secara hati-hati dan penuh dengan berbagai pertimbangan secara komphrehensif. Sebab selain bersifat keras, juga karena dampak penggunaan hukum pidana yang dapat melahirkan penalisasi maupun stigmatisasi yang cenderung negatif dan berkepanjangan (Mahrus Ali. 2012:11). Secara komprehensif Muladi dan Barda Nawawi mengurai makna penggunaan hukum pidana sebagai ultimum remidium, yaitu sebagai berikut: 1) Jangan menggunakan hukum pidana dengan secara emosional umtuk melakukan pembalasan semata; 2) Hukum pidana hendaknya jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak jelas korban dan kerugiannya; 3) Hukum pidana jangan pula dipakai hanya untuk suatu tujuan yang pada dasarnya dapat dicapai dengan cara lain yang sama efektifnya dengan penggunaan hukum pidana tersebut; 20 4) Jangan menggunakan hukum pidana apabila hasil sampingan (by product) yang ditimbulkan lebih merugikan dibanding dengan perbuatan yang akan dikriminalisasi; 5) Jangan pula menggunakan hukum pidana apabila tidak didukung oleh masyarakat secara kuat, dan kemudian janganlah menggunakan hukum pidana apabila penggunaannya diperkirakan tidak akan efektif (unforceable); 6) Penggunaan hukum pidana juga hendaknya harus menjaga keserasian antara moralis komunal, moralis kelembagaan dan moralis sipil, serta memperhatikan pula korban kejahatan; 7) Dalam hal-hal tertentu, hukum pidana harus mempertimbangkan secara khusus skala prioritas kepentingan pengaturan; 8) Penggunaan hukum pidana sebagai sarana represif harus didayagunakan secara serentak dengan sarana pencegahan yang bersifat non penal (prevention without punishment) (Mahrus Ali. 2012: 12). 2. Tinjauan tentang Tindak Pidana a. Istilah Tindak Pidana “Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda strafbaarfeit yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek atau Kitab UndangUndang Hukum Pidana yang sekarang berlaku di Indonesia” (Adami Chazawi, 2011: 67). Di dalam WvS Belanda tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu, sehingga para ahli hukum di Indonesia mendefinisikannya secara berbeda-beda menjadi tindak pidana, perbuatan pidana dan peristiwa pidana. 1) Tindak Pidana “Menurut Wirjono Prodjodikoro tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman dan 21 pelakunya dikatakan dengan subjek tindak pidana” (Wirjono Projodikoro, 2002: 55). Lamintang juga menterjemahkan istilah strafbaarfeit dengan tindak pidana. Menurut Lamintang “tindak pidana sebagai suatu tindakan melanggar hak dengan sengaja telah dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya yang dinyatakan sebagai dapat dilakukan” (Lamintang, 1997: 127). Menurut D. Simons, tindak pidana adalah “kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab” (Frans Maramis. 2013: 58). 2) Perbuatan Pidana Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana sebagai “perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang” (Mahrus Ali. 2012: 98). Moeljatno menterjemahkan istilah strafbaarfeit ke dalam bahasa Indonesia dengan perbuatan pidana. “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, diingat bahwa larangan asal saja dalam pidana itu ditujukan terhadap perbuatan, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian ini” (Moeljatno, 2009: 59). Menurut Moeljatno istilah perbuatan pidana lebih tepat untuk mendefinisikan starbaarfeit dengan alasan sebagai berikut : 22 a) Perbuatan yang dilarang adalah perbuatannya (perbuatan manusia, yaitu suatu kejadian atau keadaan yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), artinya larangan itu ditujukan pada perbuatannya. Sementara itu, ancaman pidana ditunjukan pada orangnya; b) Antara larangan (yang ditujukan pada perbuatan) dengan ancaman pidana (yang ditujukan pada orangnya), ada hubungan yang erat. Oleh karena itu, perbuatan (yang berupa keadaan atau kejadian yang ditimbulkan orang tadi, melanggar larangan) dengan orang yang menimbulkan perbuatan tadi ada hubungan erat pula; c) Untuk menyatakan adanya hubungan yang erat itulah perbuatan pidana, suatu pengertian abstrak yang menunjuk pada dua keadaan konkret, yaitu pertama, adanya kejadian tertentu (perbuatan) dan kedua, adanya orang yang berbuat atau yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno. 2009: 54). 3) Peristiwa Pidana R. Tresna menyatakan bahwa “peristiwa pidana adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan perundang-undangan undang-undang lainnya, terhadap atau peraturan perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman” (Adami Chazawi. 2011: 73). Selain istilah perbuatan pidana dan tindak pidana, menurut Moeljatno istilah peristiwa pidana juga tepat untuk mendefinisikan starbaarfeit, karena peristiwa pidana menggambarkan hal yang konkret yang menunjuk pada kejadian tertentu, misalnya matinya orang yang tidak penting dalam hukum pidana. Kematian itu baru penting jika peristiwa matinya orang dihubungkan dengan atau diakibatkan oleh kelakuan orang lain” (Adami Chazawi. 2011: 72). R. Tresna bahwa dalam peristiwa pidana tersebut memiliki syarat-syarat, yaitu : 23 a) Harus ada suatu perbuatan manusia; b) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum; c) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan; d) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum. Demikian pula menurut E. Utrecht, yang mengemukakan bahwa umum diterima pendapat bahwa untuk adanya suatu peristiwa pidana harus ada dua anasir (bestanddelen) yang sebelumnya dipenuhi : a) Suatu kelakuan yang melawan hukum-anasir melawan hukum; b) Seorang pembuat yang dapat dianggap bertanggung jawab atas kelakuannya-anasir kesalahan (schuld in ruime) suatu kelakuan yang dapat dihukum (strafbaar) (E. Utrecht. 1967: 284). Dari ketiga istilah yang dipakai untuk mendefinisikan starbaarfeit, istilah tindak pidana merupakan istilah yang sering dipakai oleh pembentuk undang-undang di Indonesia. b. Pengertian Tindak Pidana Pengertian tindak pidana secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu menurut aliran monisme dan aliran dualisme. 1) Aliran Monisme Para ahli yang menganut aliran monisme antara lain Wirjono Prodjodikoro dan E. Utrecht. Aliran monisme tidak memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, dimana pertanggungjawaban pidana juga termasuk unsur tindak pidana. Aliran monisme memandang suatu tindak pidana tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, bahwa dalam suatu 24 tindak pidana selalu ada si pembuat (orangnya) yang dipidana. Oleh karena itu, dalam pandangan monisme unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dapat dipisah dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak pidana (Adami Chazawi. 2011: 77). Sehingga dapat disimpulkan menurut aliran monisme bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur, yaitu : 1) 2) 3) 4) Perbuatan; Perbuatan tersebut dilarang (oleh aturan hukum); Perbuatan tersebut melawan hukum; Perbuatan tersebut dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan; 5) Kesalahan. 2) Aliran Dualisme Aliran dualisme ini dianut oleh beberapa ahli, seperti Moeljatno, Roeslan Saleh, dan R.Tresna. Aliran dualisme merupakan pandangan yang memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana atas kesalahan, serta pertanggungjawaban pidana bukan sebagai unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya. “Unsur yang mengenai diri orangnya bagi penganut dualisme yakni kesalahan dan adanya pertanggungjawaban pidana sebagai bukan unsur tindak pidana melainkan syarat untuk dapat dipidananya, sedangkan menurut monisme juga merupakan unsur tindak pidana” (Adami Chazawi. 2011: 76). “Aliran dualisme memandang tindak pidana sematamata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan, baru 25 melihat pada orangnya, jika orangnya dapat bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan kepadanya” (Adami Chazawi. 2011: 76). Sehingga dapat disimpulkan menurut aliran dualisme, suatu perbuatan merupakan tindak pidana apabila memenuhi unsur : a) Perbuatan; b) Perbuatan tersebut dilarang (oleh aturan hukum); c) Perbuatan tersebut melawan hukum. c. Unsur-unsur Tindak Pidana Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur dalam suatu tindak pidana menjadi penting karena dengan unsurunsur inilah dapat dibedakan apakah suatu perbuatan masuk ke dalam tindak pidana atau tidak. Di dalam KUHP, setiap tindak pidana yang diatur didalamnya dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsurunsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah : 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2) Maksud atau voonemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lainlain; 26 4) Merencanakan terlebih dahulu atau voor bedachte raad seperti misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhanmenurut pasal 340 KUHP; 5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasa 308 KUHP; Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana antara lain : 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid 2) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP; 3) Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 1997: 192 ). d. Jenis-jenis Tindak Pidana “Menurut sistem KUHP jenis-jenis tindak pidana terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Perbedaan jenis-jenis tindak pidana ini didasarkan atas perbedaan kuantitatif, dimana perbedaan ini didasarkan pada ancaman pidana antara kejahatan dan pelanggaran” (Moeljatno, 2009: 78-79). Kejahatan diancam dengan hukuman sanksi pidana penjara atau mati, sedangkan pelanggaran diancam sanksi pidana kurungan atau denda. Jenis-jenis tindak pidana dapat dibedakan menjadi : 1) Delik Dolus dan Delik Culpa Ketika membicarakan mengenai unsur kesalahan dalam tindak pidana sudah cukup dibicarakan perihal kesengajaan dan kelalaian.Tindak pidana sengaja (Doleus Delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sedangkan tindak pidana culpa (Culpose Delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa atau kelalaian; 2) Delik Comisionis dan Delik Omisionis 27 Delik dengan berbuat (comisionis) adalah delik yang dilakukan dengan berbuat aktif, disini pelaku secara fisik berbuat aktif, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Sedangkan delik omisionis adalah delik yang dilakukan dengan tidak melakukan perbuatan apapun, pelaku secara fisik tidak melakukan perbuatan apapun, misalnya delik yang dirumuskan dalam pasal 164: mengetahui suatu permufakatan jahat (samenspanning) untuk melakukan kejahatan yang disebut dalam pasal itu, pada saat masih ada waktu mencegah kejahatan tidak segera melaporkan pada instansi yang berwajib atau orang yang terkena; 3) Delik biasa dan delik yang dikualifikasi (dikhususkan) Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Ada kalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara yang khas dalam melakukan delik biasa, ada kalnya objek yang khas, ada kalnya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik bisa tadi. Sebagai contoh dapat dilihat pada pasal 362 yang merupakan pencurian biasa dan pasal 363 yang merupakan pencurian yang dikualifikasi, yaitu karena cara melakukannya di waktu ada kebakaran atau dengan beberapa orang, maupun karena objeknya adalah hewan; 4) Delik menerus dan tidak menerus Dalam delik menerus, perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Misalnya pasal 333 KUHP, yaitu orang yang merampas kemerdekaan orang lain secara tidak sah (wederrehtelijke vrijheids-beroving). Keadaan yang dilarang itu bejalan terus sampai si korban dilepas atau mati. Jadi, perbuatan yang dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai seperti dalam pencurian misalnya, tetapi masih menerus. Sesungguhnya setelah kelakuan selesai yaitu dibawanya korban ke tempat penahanan akibat dari kelakuan itu berjalan terus selama waktu penahanan (Adami Chazawi, 2011: 124). 28 3. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan Melalui Dunia Maya a. Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan dalam KUHP Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan diatur dalam BAB V Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Kejahatan Ketertiban Umum. Mengacu pada pendapat Indriyanto, Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah delik penabur kebencian (Haatzaai Artikelen) (Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah,2006:51). Haatzaai Artikelen tidak jauh dari maksud sebenarnya yaitu Pasal 154 sampai dengan Pasal 157 KUHP, dalam hal ini maksudnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum dikalangan penduduk, jangan sampai kena rupa-rupa hasutan yang mengacu dan memecah belah dengan jalan berpidato, tulisan, gambar dan sebagainya di depan umum atau di surat kabar (R. Soesilo.1980:103) . Pengertian perasaan permusuhan berarti perasaan melawan atau menentang, sedangkan pengertian perasaan kebencian merupakan perasaan sangat tidak suka ( Leden Marpaung, 2010 : 53 ). Berkaitan dengan mengeluarkan perasaan kebencian ini kita harus mengerti mengenai sejarah dari pasal tindak pidana penyebaran kebencian atau permusuhan. Pada awalnya redaksi dari Pasal 154-157 KUHP merupakan perumusan tindak pidana materiil yaitu menekankan pada akibat yang ditimbulkan tindak pidana tersebut, jadi yang dilarang bukan menyatakannya perasaan kebencian tetapi menimbulkan perasaan kebencian tersebut. Menimbulkan perasaan kebencian ini 29 merupakan akibat dari perbuatan terdakwa, inilah yang dimaksudkan bunyi pasal materiil tersebut. Pasal 154 KUHP sampai dengan Pasal 157 KUHP adalah yang biasa disebut delik-delik penyebaran kebencian (Haatzaai Artikelen) yang maksudnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum dikalangan penduduk agar jangan sampai terkena hasutan yang mengacau dan dapat memecah belahkan keadaan baik dengan jalan berpidato, tulisan gambar dan sebagainya didepan umum atau di surat kabar. Kejahatan terhadap ketertiban umum merupakan kata-kata yang dipakai oleh pembentuk undang-undang sebagai nama kumpulan bagi kejahatan-kejahatan yang di dalam undang-undang diatur dalam Buku II Bab V KUHP. Selain itu kejahatan terhadap ketertiban umum juga dapat didefinisikan sebagai tindak pidana terhadap segala pernyataan di muka umum tentang perasaan permusuhan, kebencian atau merendahkan terhadap pemerintah Indonesia atau terhadap golongan penduduk (Lamintang,1990:108). Pengertian di muka umum diartikan di tempat yang dapat dihadiri oleh umum atau di tempat yang dapat dilihat oleh umum atau di tempat yang dapat didengar oleh umum ( Leden Marpaung, 2010 : 53). Dalam mengartikan Openbaar, terdapat perbedaan pendapat mengenai penerjemahannya, ada yang menyalin dengan kata di hadapan umum (engelbrecht) dan ada pula yang memakai di muka umum ( Moeljatno, 1984 : 11). Publik harus melihat atau mendengarnya perbuatan yang bersangkutan dari tempat umum : di mana termasuk juga tempat yang biasanya tidak atau tidak selalu terbuka untuk umum, tapi dimana 30 umum ketika perbuatan dilakukan, boleh masuk sekalipun dengan membayar syarat lain. Syarat ini tidak perlu bagi openbaar atau openlijk. Di sini syaratnya hanya dapat dilihat atau didengar oleh publik, khalayak ramai tanpa batasan dari tempat umum. Mengenai unsur di muka umum, Penulis berpendapat bahwa terdakwa harus mengerti kalau dia bicara di muka umum. Di satu pihak batasannya umum ialah tidak tiap-tiap perbuatan di tempat umum. Kalau hanya bisik-bisik meskipun bicara dengan orang yang tentu saja, tapi jika di dengar orang lain masuk disitu. Perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan dilakukan di muka umum jika bisik-bisik, bisik-bisik di sini maksudnya ialah pernyataan terdakwa tersebut hanya di dengar oleh satu orang saja walaupun berada di tempat umum, maka perbuatan terdakwa tersebut tidak teramasuk berbicara di muka umum. Undang-undang memang tidak memberikan batasan mengenai kriteria orang banyak mengenai hal di depan umum itu sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, bahwa pengertian di depan umum tidak harus berada di atas panggung yang disaksikan oleh banyak penonton atau dipinggir jalan dimana banyak orang yang lewat atau berlalu lalang, namun cukup di hadapan minimal dua orang. Unsur berikutnya ialah unsur dengan sengaja menyatakan kebencian atau permusuhan. Unsur dengan sengaja ini berkaitan dengan sikap batin dari terdakwa yang mana terdakwa mengerti perasaan yang dinyatakan itu adalah perasaan kebencian atau permusuhan terhadap pejabat negara, golongan tertentu maupun agama tertentu. Namun tidak semua rumusan tindak pidana mencantumkan kata “dengan sengaja” pada rumusan pasalnya. Bahwa 31 dalam sistem KUHP elemen kesengajaan tidak selalu disebut dalam rumusan tindak pidana yang merupakan kejahatan, ini tidak mengurangi asas bahwa untuk kejahatan diperlukan kesengajaan, jika tidak terang disebut lain (yang dimaksud kealpaan) ( Moeljatno, 1984 : 13 ). Pengaturan penyebaran kebencian atau permusuhan adalah salah satu area yang menjadi sasaran legislasi dan implementasinya. Pada dasarnya ada dua bentuk penyebaran kebencian, yaitu yang ditujukan kepada pemerintah dan kepada masyarakat luas .Penyebaran kebencian kepada pemerintah dilarang secara luas dalam Pasal 154 dan 155 KUHP. Adapun penyebaran kebencian kepada masyarakat umum dapat dikenakan Pasal 156 dan 157 KUHP (http://riskyes2.blogspot.co.id/2012/08/kejahatan-terhadap-ketertibanumum.html diakses pada tanggal 11 Maret 2016). Berdasarkan dakwaan yang telah didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Putusan Pengadilan Negeri Pati Nomor 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt ,perbuatan terdakwa diancam dengan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 157 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 1) Tindak Pidana dengan sengaja di Depan Umum Mengeluarkan Perasaan atau Melakukan Perbuatan , yang Bersifat Permusuhan, Penyalahgunaan atau Penodaan terhadap suatu Agama yang Dianut Orang di Indonesia. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP ini pada dasarnya melarang orang : a) Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, yang pada 32 pokoknya bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b) Dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan, dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa (Lamintang dan Theo Lamintang.2010:477). Tindak Pidana ini diatur dalam Pasal 156a KUHP. Tindak Pidana pertama yang dalam Pasal 156a KUHP tersebut terdiri atas: a) Unsur subjektif : dengan sengaja b) Unsur objektif : 1. Di depan umum; 2. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; 3. Yang bersifat bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Tindak Pidana kedua yang diatur dalam Pasal 156a KUHP tersebut terdiri atas : a) Unsur subjektif : 1. Dengan sengaja 2. Dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun juga yang bersendikan keTuhanan Yang Maha Esa b) Unsur objektif : 33 1. Di depan umum; 2. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan Berdasarkan unsure-unsur di atas berarti bahwa sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku harus dapat di buktikan: a. bahwa pelaku ’menghendaki’ perasaan yang ia keluarkan perasan atau melakukan perbuatan; b. bahwa pelaku ’mengetahui’ perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia lakukan itu telah terjadi di depan umum; c. bahwa pelaku ’mengetaui’ perasaan yang ia keluarkan atau perbuatan yang ia keluarkan itu sifatnya bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan; d. bahwa pelaku ’mengetahui’ perasaan permusuhan penyalahgunaan atau penodaan itu telah ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia. Jika ’kehendak’ atau salah satu’pengetahuan’ pelaku ternyata tidak dapat dibuktikan maka hakim harus memberikan putusan bebas dari dakwaan bagi pelaku. 2). Tindak Pidana Menyebarkan, Mempertunjukkan atau Menempelkan suatu Tulisan atau Gambar yang di Dalamnya Mengandung Perasaan Permusuhan ,Kebencian, atau Merendahkan di Antara atau Terhadap Golongan Penduduk di Indonesia 34 Tindak Pidana ini, oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam Pasal 157 KUHP. Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 157 KUHP tersebut terdiri atas : a) Unsur subyektif : met het oogmerk den inhoud ruchtbaarheid te geven of de ruchtbaarheid daarvante vermeerden atau dengan maksud agar isinya diketahui oleh orang banyak atau diketahui secara lebih luas oleh orang banyak; b. Unsur objektif: 1. verspreiden atau menyebarluaskan; 2. openlijk ten toon stellen of aanslam atau mempertunjukkan atau menempelkan secara terbuka; 3. een geschrift of afbeelding atau suatu tulisan atau gambar di dalamnya mengandung permusuhan, atau merendahkan 4. waarin gevoelens van vijandschap, haat of minachting tot uiting komen atau yang di dalamnya pernyataan permusuhan, kebencian, atau merendahkan; 5. tursen of tegen groepen der bevolking van Indonesia atau terhadap golongan-golongan penduduk di Indonesia (Lamintang dan Theo Lamintang.2010 : 486). Jika ’kesengajaan ’ pelaku terhadap unsur-unsur tersebut tidak dapat dibuktikan, maka hakim harus memberikan putusan bebas bagi pelaku. Semua unsur itu harus didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya dan dibuktikan di dalam sidang pengadilan. 35 b.Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan dalam dunia maya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan diatur di dalam BAB VII tentang Perbuatan yang dilarang UndangUndang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU No 11 Tahun 2008 dengan ancaman pidana yang terdapat dalam Pasal 45 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 “ Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)’’ Pasal ini mempunyai sanksi pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 ayat (2), yang berbunyi : “ Setiap orang yang memenuhi unsure sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Adami Chazawi dan Adi Ferdian mengelompokkan unsurunsur Pasal 28 ayat (2) sebagai berikut : 1. Kesalahan : dengan sengaja. 2. Melawan hukum : tanpa hak. 3. Perbuatan : menyebarkan. 4. Objek : informasi. 36 5. Tujuan : untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) (Adami Chazawi dan Ardi Ferdian,2011 : 128). Unsur – unsure yang terdapat dalam Pasal 28 ayat (2); a. Setiap orang; Bahwa setiap orang di sini, selain ditafsirkan sebagai individu juga badan hukum yang berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Unsur subjektif berupa unsure kesalahan Dalam hal ini terdapat kata “ dengan sengaja”. Penegak hukum harus dapat membuktikan bahwa pelaku melakukan perbuatan menyebarkan informasi yang berupa kebencian atau permusuhan dalam dunia maya. Bahwa, menurut doktrin (ilmu pengetahuan), sengaja merupakan unsur subjektif, yang ditujukan terhadap suatu perbuatan. Artinya, pelaku menyadari dengan penuh mengenai kata – kata yang dituliskan dalam akun ( facebook ) dapat menyebabkan kebencian dan permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA bagi yang membaca tulisan di wall/dinding akun (facebook) tersebut. Dalam hal ini, pelaku dengan sengaja untuk melakukan perbuatan penyebaran kebencian atau permusuhan dengan maksud niat untuk menghina (animus injuriandi). c. Unsur melawan hukum Dalam hal ini terwakilkan dengan kata “tanpa hak”. Sebagaimana diketahui bahwa setiap unsur tindak pidana tidak berdiri sendiri. Selalu mempunyai hubungan dengan unsur-unsur lainnya. Dari sudut normatif tindak pidana adalah suatu pengertian 37 tentang hubungan antara kompleksitas unsur-unsurnya tersebut (Siswanto Sunarso,2009:100). Berdasarkan hubungan inilah, penulis dapat mengetahui alasan tercelanya perbuatan yang dilarang dalam tindak pidana. d. Unsur kelakuan Dalam hal ini yang dimaksud adalah perbuatan yang dilarang dan menjadi objek pada Pasal 28 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 ,yaitu : menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pengertian menyebarkan informasi adalah ditafsirkan mengumpulkan,menyiapkan,menyimpan,memproses,mengumumk an,menganalisa, dan menyebarkan,satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange,surat elektronik, telegram, teleks, telekopi, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, symbol, atau perforasi yang telah diolah dan memiliki arti (Siswanto Sunarso,2009:100). Melihat letak unsure sengaja mendahului unsure perbuatan dan tanpa hak, maka tidak diragukan lagi bahwa si pelaku menghendaki untuk melakukan perbuatan menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasakan atas suku, agama, ras , dan antargolongan (SARA) melalui akun facebook milik pelaku. Kehendak ini termasuk juga pengetahuan yang sudah terbentuk sebelum berbuat, karena demikian bersifat kesengajaan. Orang hanya dapat menghendaki segala sesuatu yang sudah diketahuinya. Sehingga, pelaku dapat diancam dengan Pasal 45 38 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika. Perbuatan di atas, dapat mengandung unsur delik penuh bilamana delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang,yakni menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,agama,ras,dan antargolongan (SARA) Siswanto Sunarso.2009:100). Dengan demikian, delik ini termasuk delik materiil atau delik dengan perumusan materiil, yakni delik yang baru dianggap terlaksana penuh dengan timbulnya akibat yang dilarang. Namun demikian di sini tidak perlu dibuktikan tentang akibat dari permusuhan individu atau SARA, yang terpenting secara formal telah menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan antar individu dan/atau kelompok masyarakat, dan telah menimbulkan suatu kerugian bagi korban. Proses Penyebaran Kebencian atau Permusuhan diunggah dalam salah satu akun facebook. Tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), tindak pidana ITE dirumuskan secara materiil ( Adami Chazawi dan Ardi Ferdian.2011: 129). Tindak pidana tersebut selesai sempurna bila akibat perbuatan telah timbul. Perbuatan menyebarkan berita bohong yang menyesatkan telah menimbulkan akibat adanya kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Berita bohong adalah berita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya ( materiele waarheid). Menyebarkan maksudnya menyampaikan (berita bohong) pada khalayak umum (in casu) melalui media system elektronik. Menyebarkan berita bohong tidak bisa 39 ditujukan pada satu atau seseorang tertentu. Melainkan harus pada banyak orang (umum) (Adami Chazawi dan Ardi Ferdian.2011: 129). Sesuai dengan frasa “menyesatkan”, berita bohong itu dapat memperdaya orang. Sifat memperdaya dari isi berita bohong yang disebarkan yang menyesatkan umum, sehingga menimbulkan akibat kerugian konsumen yang melakukan transaksi elektronik. Sesuai dengan dakwaan yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam Putusan jelas terlihat bahwa hukum di Indonesia menganut system hukum positif. Dimana ssstem hukum Indonesia menganut asas Lex specialis derogate legi generali. Asas Lex specialis derogate legi generali yang berarti bahwa UndangUndang yang khusus mengesampingkan Undang-Undang yang umum, yaitu dalam kasus ini yang dipakai oleh hakim dalam memutus perkara digunakan adalah hukum yang berdasarkan Pasal 45 ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. 4. Tinjauan Tentang Dasar Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana adalah “gebonden vrijheld” yaitu kebebasan terikat /terbatas karena diberi batas oleh Undang-undang yang berlaku dalam batas tertentu, hakim memiliki kebebasan dalam menetapkan dan menentukan jenis pidana (starsoort) ukuran pidana berat atau ringannya pidana (strafmaat), cara pelaksanaan pidana (straf modus) dan kebebasan untuk menentukan hukum Dewantara,1987:51). (rechtvinding) (Nanda Agung 40 Secara asumtif peranan hakim sebagai pihak yang memberikan pemidanaan tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dimasyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Undangundang Nomor 4 Tahun 2004 jo. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat: Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Hakim memberikan keputusanya mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya; b. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan akibatnya; c. Keputusan mengenai pidananya, apakah memang dapat dipidana (Sudarto. 2000:74). Peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan : “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”. Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau 41 lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP). Syarat sah nya suatu putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal-hal yang diwajibkan dan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim dalam setiap proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, dalam persidangan semuanya diperlakukan sama. Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar pertanyaan (the four way test) berupa : a. Benarkah putusanku ini? b. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? c. Adilkah bagi pihak-pihak putusan? d. Bermanfaatkah putusanku ini? (Lilik Mulyadi.2007:136) Kebebasan hakim menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang 42 menyatakan : Ayat (1) : “Dalam menjatuhkan tugas dan fungsinya, hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”, Ayat (2) : “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Kesatuan RI Tahun 1945”. Isi pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim dalam perkara pidana menurut Moeljatno dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu : a. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai dalam rumusan suatu aturan pidana. b. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya. c. Tahap Penentuan Pemidanaan Hakim akan menjatuhkan pidana bila unsur-unsur telah terpenuhi dengan melihat pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh Pelaku. Dengan dijatuhkannya pidana, Pelaku sudah jelas sebagai Terdakwa. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan dapat melihat alat bukti yang sah, yaitu surat, petunjuk, keterangan terdakwa, keterangan saksi, dan keterangan ahli (Ahmad Rifai.2010 : 96). 43 Hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan halhal berikut : a. Faktor Yuridis, yaitu Undang-Undang dan Teori-teori yang berkaitan dengan kasus atau perkara. b. Faktor Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati nurani dari hakim itu sendiri. Hakim dalam memutus putusan, ada beberapa teori yang digunakan oleh hakim tersebut. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut: a. Teori Keseimbangan Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara. b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, pihak terdakwa atau daripada pengetahuan dari hakim. c. Teori Pendekatan Keilmuwan Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. d. Teori Pendekatan Pengalaman 44 Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari. e. Teori Ratio Decindendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. f. Teori Kebijaksanaan Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya ( Ahmad Rifai.2010 :102). b.Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan Melalui Dunia Maya Pengaturan Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau Permusuhan Melalui dunia maya diatur dalam Pasal 154157KUHP dan Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Perkara Gambar 1. Kerangka Pemikiran Putusan Hakim Nomor:10/Pid.Sus/20 13/PN.Pt 45 Keterangan : Berdasarkan kerangka pemikiran ini, penulis ingin memberikan gambaran untuk menjawab rumusan permasalahan yang muncul dalam penelitian ini. Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Pati Nomor 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt tentang Tindak Pidana Penyebaran Kebencian atau permusuhan dalam penelitian ini lebih mengacu pada permasalahan yang ada di dalam dunia maya yaitu facebook. Dalam proses peradilan Hakim dalam menjatuhkan putusan didasarkan fakta-fakta di persidangan dan dihubungkan dengan unsur-unsur yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Kriteria yang mendasari dijatuhkannya putusan terhadap terdakwa adalah pertimbangan hakim mengenai hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pemidanaan dengan mendasarkan pada pertimbangan mengenai yuridis atau hukumnya serta mendasarkan pada fakta-fakta yang terbukti dalam persidangan. Dalam pengaturan tindak pidana ini berhubungan erat dengan adanya Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yaitu Pasal 45 ayat ( 2 ) Juncto Pasal 28 ayat ( 2 ) yang mengatur mengenai sanksi dan pengaturannya. Maka dipertegas dengan adanya putusan hakim di pengadilan yang menangani permasalahan tindak pidana tersebut dengan dikeluarkannya Putusan Nomor: 10/Pid.Sus/2013/PN.Pt yang akan dikaji lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya apakah putusan hakim dalam putusan yang dikeluarkan tersebut sudah sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia.