8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Kajian Tentang Kesulitan Belajar
a. Pengertian Kesulitan Belajar
Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, setiap guru pasti
mengharapkan agar siswanya dapat mencapai hasil belajar yang optimal,
namun pada kenyataannya ada beberapa siswa cenderung menunjukkan
hasil belajar yang rendah. Rendahnya hasil belajar ini menunjukkan bahwa
siswa mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu
disebabkan oleh faktor intelegensi yang rendah, akan tetapi juga dapat
disebabkan oleh faktor-faktor non intelegensi. Dengan demikian IQ yang
tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar.
Jamaris (2014: 3) menjelaskan bahwa kesulitan belajar atau
learning disabilities yang biasa juga disebut dengan istilah learning
disorder atau learning difficulty adalah suatu kelainan yang membuat
individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan belajar secara
efektif. Pendapat tersebut didukung oleh Kirk (1962) dalam Colker (2011:
5) yang mengemukakan pendapat mengenai definisi kesulitan belajar
sebagai berikut :
A learning disability refers to a retardation, disorder, or delayed
development in one or more of the processes of speech, language,
reading, spelling, writing, or arithmetic resulting from a possible
cerebral dysfunction and/or emotional or behavioral disturbances
and not from mental retardation, sensory deprivation, or cultural
and instructional factors.
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa kesulitan belajar mengacu
pada keterbelakangan, kelainan, atau gangguan perkembangan pada satu
atau lebih dari proses bicara, bahasa, membaca, mengeja, menulis, atau
berhitung yang diakibatkan oleh kemungkinan disfungsi otak dan/atau
gangguan emosional atau perilaku dan bukan dari keterbelakangan mental,
kurangnya input sensorik, atau budaya dan faktor instruksional.
8
9
Selain beberapa pendapat tersebut, pengertian kesulitan belajar
juga dikemukakan oleh Basiran (Jurnal Edukasi Vol. 7, No. 1, 2012: 3-4)
yang menyatakan bahwa “Kesulitan belajar adalah suatu keadaan dimana
anak didik atau siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya
dikarenakan setiap individu itu tidak sama atau berbeda, baik dari faktor
intern siswa maupun dari faktor ekstern siswa.”
Banyak definisi mengenai kesulitan belajar di atas. Akan tetapi
dari banyaknya definisi tersebut, terdapat beberapa titik kesamaan menurut
Setiawati dan Ima (2007) dalam Musa (2013: 6) yaitu :
a. Kesulitan belajar yang dialami dapat ditampakkan sebagai suatu
kekurangan atau lebih bidang akademik, baik dalam bidang
akademik (seperti membaca, menulis dan berhitung), maupun
keterampilan yang bersifat umum (seperti mendengarkan, berbicara
dan berpikir).
b. Adanya kesenjangan antara prestasi dan potensi. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya anak yang mempunyai prestasi belajar
dibawah potensi yang dimiliki (underachiever).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kesulitan belajar merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada peserta
didik yang menimbulkan kondisi dimana peserta didik tidak dapat belajar
dengan baik, sehingga mengakibatkan peserta didik memperoleh hasil
belajar yang rendah.
b. Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar
Mulyono (2010: 11) menyebutkan secara garis besar kesulitan
belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, antara lain :
1) Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan
(developmental learning disabilities), kesulitan belajar ini
mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa
dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku
sosial.
2) Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities),
kesulitan belajar ini menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan
10
pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang
diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan
keterampilan dalam membaca, menulis, dan/atau matematika.
Senada dengan pendapat di atas, Munawir, dkk (2003: 12-17)
mengungkapkan bahwa kesulitan belajar dapat diklasifikasikan menjadi
dua jenis, yaitu kesulitan belajar praakademik dan kesulitan belajar
akademik. Kesulitan belajar praakademik tersebut meliputi : (1) gangguan
motorik dan persepsi; (2) kesulitan belajar kognitif; (3) gangguan
perkembangan bahasa; (4) kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial.
Sedangkan kesulitan belajar akademik, meliputi : (1) kesulitan belajar
membaca (disleksia); (2) Kesulitan belajar menulis (disgrafia); (3)
kesulitan belajar berhitung (diskalkulia).
Berdasarkan
kedua
pendapat
mengenai
klasifikasi
anak
berkesulitan belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak
berkesulitan belajar terdiri dari dua jenis, yaitu kesulitan belajar
praakademik
atau
yang
berhubungan
dengan
perkembangan
(developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik.
c. Penyebab Kesulitan Belajar
Jamaris (2014: 17) mengemukakan secara umum kesulitan belajar
disebabkan oleh kelainan dalam salah satu atau lebih proses yang
berkaitan dengan menerima informasi, proses berpikir, proses mengingat,
dan proses belajar. Kelainan proses tersebut mencakup: proses fonologi,
proses visual spatial, proses kecepatan dalam mengingat, memusatkan
perhatian dan proses eksekusi yang mencakup kemampuan merencanakan
dan mengambil keputusan.
Munawir, dkk (2003: 8) mengungkapkan bahwa anak dapat
mengalami kesulitan belajar dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya sebagai berikut :
1) Faktor intelektual
2) Faktor kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi kelainan, dan
3) Faktor sosial
11
Pendapat di atas didukung oleh Mulyono (2010: 13) yang
menyebutkan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning
disabilities) adalah faktor internal, yakni kemungkinan adanya disfungsi
neurologis; sedangkan penyebab utama problema belajar (learning
problems) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi
pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak
membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan
(reinforcement) yang tidak tepat.
Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan
belajar tetapi juga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan
emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis
yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar (Mulyono,
2010: 13) antara lain :
1) Faktor genetik
2) Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan
oksigen
3) Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk
memfungsikan saraf pusat)
4) Biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada
makanan)
5) Pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam)
6) Gizi yang tidak memadai
7) Pengaruh-pengaruh
psikologis
dan
sosial
yang
merugikan
perkembangan anak (deprivasi lingkungan)
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai penyebab kesulitan
belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar kesulitan
belajar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang berupa
bawaan genetik atau disfungsi neurologis dan faktor eksternal yang berupa
penggunaan strategi pembelajaran yang kurang tepat dan pengaruhpengaruh lingkungan sosial yang merugikan perkembangan anak.
12
d. Karakteristik Kesulitan Belajar
Anak berkesulitan belajar mempunyai beberapa karakteristik yang
pada umumnya mengalami kesulitan dalam bidang akademik tertentu,
seperti membaca, berhitung dan menulis. Sudrajat (2009) dalam Idris
(Jurnal Lentera Pendidikan Vol. 12, No. 2, 2009: 7) menyatakan bahwa
beberapa perilaku yang merupakan manifestasi karakteristik kesulitan
belajar, antara lain :
1) Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai
yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang
dimilikinya
2) Hasil belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah
dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha belajar
dengan sungguh-sungguh, akan tetapi nilai yang diperolehnya
selalu rendah
3) Lambat dalam melaksanakan tugas-tugas akademiknya dan selalu
tertinggal dari teman-temannya dari waktu yang sudah disediakan
4) Menunjukkan sikap kurang wajar, seperti: acuh tak acuh,
menentang, berpura-pura, berbohong dan sebagainya
5) Menunjukkan perilaku yang menyimpang seperti: membolos,
datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah,
mengganggu saat di dalam maupun di luar kelas, tidak mau
mencatat materi pelajaran
6) Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti:
pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang
ekspresi dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya ketika
memperoleh nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau
menyesal, dan sebagainya
Koswara (2013: 9-12) menyatakan bahwa karakteristik anak
berkesulitan belajar dapat ditunjukkan dari sejumlah masalah yang dialami
anak, diantaranya sebagai berikut :
1) Anak kesulitan belajar umumnya mengalami kekurangan/hambatan
dalam memori visual dan auditoris, baik jangka pendek maupun
jangka panjang.
2) Memiliki masalah dalam mengingat data seperti mengingat harihari dalam seminggu, anak umumnya hafal nama-nama hari dalam
seminggu, tetapi anak tidak tahu sekarang hari apa.
13
3) Memiliki masalah dalam mengenal arah, baik itu mengenai arah
kiri dan kanan maupun mengenai arah mata angin. Pada awal
masuk sekolah, hal ini dapat diketahui dengan cara meminta anak
untuk mengangkat tangan kanan atau tangan kiri, atau menanyakan
tentang arah terbit dan tenggelamnya matahari.
4) Memiliki kekurangan dalam memahami waktu, anak umumnya
belum atau kurang memahami waktu pagi, siang, sore dan malam.
Pada awal-awal mengikuti pembelajaran anak kesulitan dalam
memahami gejala alam.
5) Jika anak diminta untuk menggambar orang, hasil gambarannya
sering tidak lengkap, misalnya pada gambar orang tersebut tidak
diberi tangan atau kaki.
6) Miskin dalam mengeja. Anak yang mengalami miskin dalam
mengeja, biasanya anak dapat membaca kata atau hafal tulisan
sebuah kata, karena sering menemukannya dalam bacaan atau
tulisan yang sering ditemukan di tempat-tempat umum. Apabila
anak diminta mengeja atau menguraikan huruf dari tulisan yang
dibacanya, anak tidak dapat mengeja.
7) Sulit dalam menginterpretasikan globe, peta atau grafik. Pada
kelas-kelas besar, kesulitan ini akan nampak seiring mulai
kompleksnya materi pembelajaran yang harus diterima anak.
Kesulitan dalam menginterpretasikan globe, peta atau grafik
tersebut merupakan dampak dari kesulitan belajar di kelas-kelas
awal, seperti kesulitan dalam memahami arah, mengingat data,
ataupun hambatan secara visual.
8) Kekurangan
dalam
koordinasi
dan
keseimbangan.
Kekurangmampuan dalam koordinasi dan keseimbangan sangat
erat kaitannya dengan masalah motorik anak, untuk mengenalinya
orangtua atau guru di kelas-kelas awal dapat mengetahui melalui
berbagai kegiatan yang bersifat fisik, seperti kegiatan dalam
aktifitas olahraga misalnya anak diminta mengambil bola dan
14
melempar bola. Sedangkan untuk mengetahui keseimbangan dapat
dilakukan dengan meminta anak berjalan mengikuti garis lurus.
9) Kesulitan dalam berhitung. Masalah berhitung atau anak yang
mengalami kesulitan belajar matematika atau sering juga disebut
diskalkulia, kesulitan belajar matematika juga berhubungan dengan
persepsi ruang yang ditunjukkan dengan kesulitan mengenal dan
memahami simbol-simbol dalam matematika.
10) Kesulitan dalam belajar bahasa asing. Kesulitan dalam belajar
bahasa asing umumnya dikarenakan kesulitan memahami bunyi
bahasa/bunyi ujaran yang berbeda dengan yang biasa anak baca
atau dengar.
11) Menunjukkan perilaku hiperaktif/hipoaktivitas. Sebagian anak
berkesulitan belajar ada yang menunjukkan perilaku hiperaktif
ataupun hipoaktif. Hiperaktifitas atau hipoaktif dapat muncul
karena anak merasa tidak nyaman dengan situasi kelas ataupun cara
guru mengajar, atau lingkungan teman dimana anak belajar.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa karakteristik anak berkesulitan belajar yaitu :
1) Mengalami kesulitan pada satu atau lebih bidang akademik
2) Kurang mampu dalam memusatkan perhatian
3) Mengalami kesenjangan antara potensi dan prestasi
4) Menunjukkan tingkat emosional yang tidak stabil
e. Penanganan Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan masalah yang perlu ditangani secara
cermat
karena
penanganan
kesulitan
belajar
yang
tidak
tuntas
menyebabkan kesulitan tersebut akan kembali muncul dan menjadi
penghalang dalam perkembangan anak selanjutnya. Berbagai teknik dan
bentuk penanganan kesulitan belajar perlu diterapkan dengan berbagai
pertimbangan yang mendasar.
15
Syamsudin dalam Suparno (Jurnal Pendidikan Khusus Vol. 2, No.
2, November 2006: 8) menyatakan bahwa ada beberapa strategi
pendidikan yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis-jenis kesulitan
belajar, yaitu antara lain :
1) Kesulitan belajar umum
a. Untuk kasus kesulitan belajar yang berlatar belakang
kurangnya motivasi dan minat belajar,
 Hindarkan saran dan pernyataan negatif dan yang dapat
melemahkan kegairahan belajar
 Ciptakan situasi-situasi kompetitif sesama siswa secara
sehat
 Berikan ganjaran yang tulus dan wajar, kendatipun hanya
berupa kata pujian
 Tunjukkan manfaat dari pelajaran bagi kepentingan siswa
yang bersangkutan pada saat kini dan nanti
b. Kasus kesulitan belajar yang berlatar belakang sikap negatif
terhadap guru, pelajaran dan situasi belajar,
 Ciptakan iklim sosial yang sehat di dalam kelas atau
kelompok siswa
 Kembangkan kehangatan hubungan antara siswa dengan
guru, dan siswa dengan siswa
 Berikan kesempatan memperoleh pengalaman yang
menyenangkan atau memuaskan, atau memperoleh
pengalaman rasa sukses dalam belajar meskipun dengan
prestasi yang minimal
c. Kasus kesulitan belajar dengan latar belakang kebiasaan
belajar yang salah, disarankan untuk :
 Tunjukkan akibat atau pengaruh kebiasaan yang salah
terhadap prestasi belajar dan kehidupan seseorang
 Berikan kesempatan masa transisi untuk berlatih dengan
pola-pola kebiasaan baru dan meninggalkan kebiasaan
lama yang salah
d. Kesulitan belajar dengan latar belakang ketidakserasian antara
kondisi objektif keragaman pribadinya dengan kondisi objektif
instrumental inputs dan lingkungannya
 Bimbingan informatif dalam pilihan program/bidang studi,
bahan/sumber, strategi/metode/teknik belajar secara
rasional
 Diskusi dan atau kerja kelompok
 Proyek kegiatan bersama di kelas, karyawisata dan
sebagainya
2) Kesulitan Belajar Spesifik
a. Kesulitan belajar membaca
16
Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat diberikan
untuk anak berkesulitan belajar membaca, diantaranya adalah
dengan meningkatkan kemampuan mengenal dan memahami
setiap bunyi bahasa, kata-kata dan kalimat, kelancaran
ucapan, dan pemahaman bacaan. Aktivitas pembelajaran
dilakukan secara khusus, terutama dengan program
pembelajaran individual (IEP) ataupun dengan programprogram remidi di sekolah.
b. Kesulitan belajar menulis
Mengenai kesulitan menulis tulisan tangan (handwriting),
strategi pembelajaran yang dapat dilakukan dengan beberapa
aktivitas seperti: (1) latihan-latihan membuat lingkaran, garis,
geometri, atau angka-angka, (2) menulis atau melukis dengan
jari di tanah atau pasir atau media lain yang sesuai, (3)
menggambar atau menebalkan bentuk huruf yang dibuat dalam
figur titik-titik, (4) melanjutkan atau melengkapi tulisan, dan
(5) menulis dengan menggunakan kertas bergaris.
c. Kesulitan belajar matematika
Ada dua persoalan utama yang terkait dengan kesulitan
bidang matematika, yaitu: (1) matematika hitungan, dan (2)
matematika penalaran. Dalam aspek hitungan, tahap awal anak
dapat diajarkan untuk mengenal angka dan simbol hitung, lalu
bisa masuk dalam pemberian contoh soal pada anak dan cara
penyelesaiannya, kemudian anak diminta untuk menyelesaikan
contoh soal yang lain. Dalam aspek penalaran, untuk tahaptahap awal anak dapat diajarkan mengenai (1) hubungan
spasial, (2) kecakapan visual-motorik, dan visual persepsi, dan
(3) konsep waktu.
Jamaris (2014: 61-67) menyebutkan bahwa beberapa bentuk
tindakan yang dapat menangani masalah kesulitan belajar yang dialami
peserta didik, antara lain :
1) Pengajaran remedial
Pengajaran remedial adalah salah satu bentuk pengajaran
yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami
anak berkesulitan belajar. Pengajaran remedial dititikberatkan pada
pengajaran yang bersifat individual. Oleh sebab itu, pengajaran
remedial
dikembangkan
berdasarkan
pengajaran
individual.
Bentuk-bentuk pengajaran remedial yang diterapkan pada anak
berkesulitan belajar disesuaikan dengan kebutuhan individu yang
17
bersangkutan, suatu kebutuhan yang bersifat heterogen. Berbagai
bentuk pengajaran remedial dapat dipilih untuk diterapkan kepada
individu tersebut, antara lain : pelatihan penguasaan tugas dan
keterampilan (task and skill training), pelatihan penguasaan proses
(ability process training), serta intervensi perilaku dan kognitif
(behavioral and cognitive intervention).
2) Pengaturan ruang sumber belajar
Ruang
sumber
belajar
(learning
resource
room)
merupakan salah satu bentuk penerapan pelayanan bagi siswa
berkesulitan belajar. Ruang sumber belajar dikelola oleh staf dan
guru yang telah terlatih dan memiliki kualifikasi atau sertifikat
yang sesuai dengan penanganan kebutuhan siswa berkesulitan
belajar. Ruang sumber belajar juga dilengkapi dengan berbagai
sarana, seperti ruang kelas dan perlengkapannya yang diperlukan
oleh siswa berkesulitan belajar selama waktu belajar di sekolah
untuk menerima pelayanan kesulitan belajar.
a) Ruang kelas khusus untuk siswa berkesulitan belajar
Ruang kelas khusus untuk siswa berkesulitan belajar
merupakan
strategi
yang
dapat
diterapkan
dalam
penanggulangan kesulitan belajar. Kelas ini dikelola oleh
guru yang ahli dalam masalah kesulitan belajar yang
memberikan pelayanan pada sekelompok (6-12 orang)
siswa berkesulitan belajar. Pelayanan ini diberikan pada
siswa yang mengalami kesulitan belajar berat sehingga
membutuhkan pelayanan secara khusus.
b) Guru kunjung
Guru kunjung merupakan bentuk lain dari pelayanan
kesulitan belajar. Guru kunjung merupakan konsultan
kesulitan belajar yang datang secara berkala untuk
memberikan bimbingan pada siswa berkesulitan belajar.
Jenis pelayanan ini hanya diberikan pada sekolah yang
18
memiliki siswa berkesulitan belajar ringan dengan jumlah
siswa terbatas.
c) Konsultan guru
Konsultan guru merupakan seorang ahli masalah kesulitan
belajaryang memberikan bimbingan pada guru kelas yang
memiliki
siswa
berkesulitan
belajar.
Bantuan
yang
diberikan oleh konsultan guru pada guru kelas, antara lain
adalah berkaitan dengan pemilihan alat asesmen yang dapat
digunakan untuk mengidentifikasi siswa berkesulitan
belajar dan pengembangan program penanganan kesulitan
belajar.
3) Pendidikan inklusi
UNESCO (2004) dalam Jamaris (2014: 66) menyatakan
bahwa,
Pendidikan inklusi mengandung arti bahwa sekolah perlu
mengakomodasi kebutuhan pendidikan semua anak
dengan tidak menghiraukan kondisi fisik, intelektual,
sosial, emosional, bahasa, dan kondisi-kondisi lainnya.
Dengan demikian, anak-anak normal dan anak-anak
berkebutuhan khusus termasuk anak berkesulitan belajar
perlu mendapat akses terhadap pendidikan.
Dalam
penerapannya,
pendidikan inklusi
dilakukan
dengan cara memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan
khusus untuk bersekolah di sekolah umum.
Senada dengan pendapat di atas, O’Neil (1995) dalam
Ilahi (2013: 27) menyebutkan bahwa “Pendidikan inklusi sebagai
sistem layanan pendidikan mempersyaratkan agar semua anak
berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler
bersama-sama teman seusianya.”
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai bentuk penanganan
kesulitan belajar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penanganan
kesulitan belajar dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu (1) program
19
remedial, (2) Pemberian Program Pembelajaran Individual (PPI), (3)
pengaturan ruang sumber belajar, (4) Pendidikan Inklusi.
2. Kajian Tentang Hasil Belajar
a. Pengertian Belajar
Kata “Belajar” bukanlah
hal yang asing
dalam dunia
pendidikan. “Belajar” dan “Pendidikan” merupakan dua hal yang tidak
bisa dipisahkan, sebab belajar merupakan bagian dari pendidikan dan
pendidikan akan terwujud apabila terjadi proses belajar.
Daryanto dan Rahardjo (2012: 16) menyatakan bahwa belajar
pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada
di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan
kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar
juga merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu,
indikator belajar ditunjukkan dengan perubahan dalam tingkah laku
sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan perubahan dalam
kepribadian yang dimanifestasikan sebagai suatu pola-pola respon yang
berupa keterampilan, sikap, kebiasaan, kecakapan atau pemahaman.
Hakim (2005: 1) mengungkapkan bahwa belajar adalah suatu
proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut
ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah
laku seperti peningkatan percakapan, pengetahuan, sikap, keterbiasaan,
pemahaman, keterampilan, daya pikir dan lain-lain kemampuan.
Dari beberapa definisi tentang belajar di atas, dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan proses perubahan dalam diri individu yang
awalnya tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan
hal tersebut ditunjukkan dengan perubahan tingkah laku individu yang
bersifat relatif permanen.
20
b. Pengertian Hasil Belajar
Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran, pada akhirnya
akan menunjukkan sebuah output yang dinamakan hasil belajar. Hasil
belajar inilah yang nantinya akan menjadi bahan evaluasi dari setiap
kegiatan belajar yang telah dilaksanakan. Bloom (1956) dalam Daryanto
dan Rahardjo (2012: 27) mengemukakan tiga ranah hasil belajar yaitu
kognitif, afektif dan psikomotor. 1) Ranah Kognitif, yaitu berkenaan
dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu :
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi; 2) Ranah
Afektif, yaitu berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu
penerimaan, jawaban atau reaksi, penelitian, organisasi dan internalisasi;
3) Ranah Psikomotorik, yaitu berkenaan dengan hasil belajar keterampilan
dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek dalam ranah psikomotorik,
yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan
gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya proses belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku secara
keseluruhan baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif maupun
psikomotor.
Dalam penelitian ini aspek yang akan diukur adalah aspek
kognitif dengan tiga tipe hasil belajar yaitu pengetahuan, pemahaman dan
aplikasi. Ketiga ranah tersebut dipilih karena subjek dan materi yang
diteliti adalah anak berkesulitan belajar kelas II dengan materi perkalian
dua bilangan satu angka yang diajarkan pada semester II. Pemilihan materi
tersebut karena bertepatan dengan waktu penelitian di SD AL FIRDAUS
Surakarta.
c. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Secara umum, faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa
(Daryanto dan Rahardjo, 2012: 28) dapat dibagi menjadi dua, yaitu : faktor
21
internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah faktor yang ada dalam
diri siswa sendiri dan faktor eksternal ialah faktor-faktor yang berada di
luar diri siswa. Berikut penjelasan lebih lanjut :
1) Faktor Internal
a) Faktor fisiologis atau jasmani, yang mempengaruhi hasil
belajar diantaranya adalah sehat, berarti dalam keadaan baik
segenap badan beserta bagian-bagiannya atau bebas dari
penyakit. Proses belajar akan terganggu jika kesehatan
terganggu.
b) Faktor psikologis, baik yang bersifat bawaan maupun
keturunan, yang meliputi :
1) Faktor intelektual, yang terdiri atas :

Faktor potensial, yaitu intelegensi dan bakat

Faktor aktual, yaitu kecakapan nyata dan prestasi
2) Faktor
non
intelektual,
yaitu
komponen-komponen
kepribadian tertentu seperti: sikap, minat, kebiasaan,
motivasi, kebutuhan, konsep diri, penyesuaian diri,
emosional dan sebagainya.
c) Faktor kematangan, baik fisik maupun psikis
2) Faktor Eksternal
a) Faktor sosial, yang terdiri atas :

Faktor lingkungan keluarga

Faktor lingkungan sekolah

Faktor lingkungan masyarakat

Faktor kelompok
b) Faktor budaya, seperti : adat istiadat, ilmu pengetahuan dan
teknologi, kesenian dan sebagainya.
c) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas
belajar, iklim dan sebagainya.
d) Faktor spiritual atau lingkungan keagamaan.
22
3. Kajian Tentang Matematika
a. Pengertian Matematika
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang
dipelajari peserta didik di sekolah. Tidak sedikit peserta didik yang
menganggap matematika sebagai mata pelajaran paling sulit di sekolah,
namun matematika sangat perlu dipelajari karena matematika sangat
berperan besar dalam aktivitas keseharian peserta didik nantinya. Tiurlina
(2006: 3) mengemukakan pendapatnya tentang definisi matematika
sebagai berikut :
Secara bahasa, kata ‘matematika’ berasal dari perkataan Latin
‘mathematika’ yang mulanya diambil dari perkataan Yunani
‘mathematike’ yang berarti mempelajari. Perkataan itu
mempunyai asal kata ‘mathema’ yang berarti pengetahuan atau
ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula
dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu ‘mathein’ atau
‘mathenein’ yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal
kata tersebut, maka perkataan matematika berarti ilmu
pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar).
Sementara itu, Kline dalam Tiurlina (2006: 4) menyatakan bahwa
“matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna
karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk
membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,
ekonomi dan alam.”
Berdasarkan beberapa pengertian tentang matematika di atas,
dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan salah satu cabang ilmu
pendidikan pokok yang berkaitan dengan konsep angka dan hitungan yang
dapat dipahami dengan cara berpikir dan merupakan cabang ilmu yang
sangat penting karena akan sangat berguna dalam praktik kehidupan
sehari-hari.
b. Peranan Matematika di SD
Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga
cabang, yaitu aritmatika, aljabar dan geometri. Banyak faktor yang
23
melatarbelakangi perlunya siswa untuk belajar matematika. Cornelius
dalam Mulyono (2010: 253) mengemukakan lima alasan perlunya belajar
matematika yaitu antara lain (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2)
sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana
mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana
untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan
kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Pendapat di atas diperkuat oleh Cockroft dalam Mulyono (2010:
253) yang menyatakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa
karena :
1) Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan
2) Semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai
3) Matematika merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas
4) Matematika dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam
berbagai cara
5) Matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian
dan kesadaran keruangan, dan
6) Matematika
dapat
memberikan
kepuasaan
terhadap
usaha
memecahkan masalah yang menantang.
Berdasarkan
berbagai
pendapat
di
atas
tentang peranan
matematika, maka dapat disimpulkan bahwa peranan matematika ialah
sebagai sarana keterampilan pemecahan masalah dalam kehidupan seharihari.
c. Operasi Hitung Perkalian
Operasi hitung perkalian merupakan materi ajar yang diberikan
setelah peserta didik mempelajari atau memahami operasi hitung
penjumlahan dan pengurangan. Subarinah (2006: 31) menyebutkan bahwa
“Operasi perkalian pada bilangan cacah diartikan sebagai penjumlahan
berulang. Untuk itu, peserta didik sebelumnya harus paham dan terampil
24
dalam melakukan operasi hitung penjumlahan untuk dapat memahami
konsep operasi hitung perkalian.”
Hal senada juga disampaikan oleh Kamsiyati (2012: 77) yang
menyatakan bahwa “Sebuah penjumlahan berganda dengan suku-suku
yang sama dinamakan penjumlahan berulang. Penjumlahan berulang juga
suatu pengerjaan hitung dapat diganti dengan operasi perkalian.”
Operasi hitung perkalian dilambangkan dengan tanda “x”.
Perkalian a x b diartikan sebagai penjumlahan bilangan b sebanyak a kali.
Jadi,
a x b = b + b + b + ... + b
sebanyak a
Contoh :
3 x 6 = 6 + 6 + 6 = 18, dan 5 x 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10
Seperti halnya operasi yang lain, pembelajaran perkalian dibagi
dalam dua kelompok, yaitu perkalian dasar dan perkalian lanjutan.
Perkalian dasar yang dimaksud adalah perkalian dua bilangan satu angka,
sedangkan perkalian lanjutan adalah perkalian yang melibatkan paling
tidak sebuah bilangan dua angka. Dalam penelitian ini, peneliti akan
menggunakan materi perkalian dua bilangan satu angka atau perkalian
dasar.
4. Kajian Tentang Metode Pembelajaran Kooperatif
a. Pengertian Metode Pembelajaran
Metode
pembelajaran (Daryanto dan Rahardjo, 2012: 148)
dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknik yang akan digunakan oleh
pengajar
dalam
menyampaikan
materi
untuk
mencapai
tujuan
pembelajaran. Banyak metode yang dapat digunakan dalam kegiatan
pembelajaran dan yang paling sering digunakan pada umumnya ialah
metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi dan sebagainya.
25
Namun yang penting untuk diperhatikan penggunaan metode dalam
pembelajaran, antara lain :
1) Kesesuaian dengan tujuan yang akan dicapai
2) Waktu yang tersedia dalam membahas topik tertentu
3) Ketersediaan fasilitas
4) Latar belakang peserta pendidikan dan pelatihan
5) Pengelompokkan peserta pendidikan dan pelatihan dalam
pembelajaran
6) Jenis dan karakteristik pembelajaran
7) Penggunaan variasi metode
b. Pengertian Metode Pembelajaran Kooperatif
Slavin (2005: 4) menyatakan bahwa “Pembelajaran kooperatif
merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu
sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran.” Dalam kelas
kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling
mendiskusikan dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang
mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman
masing-masing siswa.
Pendapat yang hampir senada juga diungkapkan oleh Roger, dkk
dalam Huda (2013: 29) yang menyatakan bahwa :
Cooperative learning is group learning activity organized in such
a way that learning is based on the socially structured change of
information between learners in group in which each learner is
held accountable for his or her own learning and is motivated to
increase the learning of others.
Pendapat di atas dapat diartikan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu
prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi
secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya
setiap pembelajar tersebut bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri
26
dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang
lain.
Dalam proses pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk
bekerja
sama
pada
suatu
tugas
bersama
dan
mereka
harus
mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh guru. Tujuan metode pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar
akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman
dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial.
Nur dalam Daryanto dan Rahardjo (2012: 242) menyatakan
prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif ialah sebagai berikut :
1) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang dikerjakan dalam kelompoknya.
2) Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua
anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama.
3) Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung
jawab yang sama diantara anggota kelompoknya.
4) Setiap anggota kelompok akan dikenai evaluasi
5) Setiap
anggota
kelompok
berbagi
kepemimpinan
dan
membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses
belajarnya.
6) Setiap
anggota
mempertanggungjawabkan
kelompok
secara
akan
individual
diminta
materi
yang
ditangani dalam kelompok kooperatif.
Ciri-ciri metode pembelajaran kooperatif sebagai berikut :
1) Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi
belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang
berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan
rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya,
suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan gender.
27
3) Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masingmasing individu.
Berdasarkan
beberapa
pendapat
di
atas
tentang
metode
pembelajaran kooperatif, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran
kooperatif merupakan metode pembelajaran yang menekankan pada usaha
bersama antarsiswa dalam satu kelompok guna mencapai tujuan
pembelajaran yaitu tercapainya hasil belajar yang diinginkan.
c. Metode Pembelajaran Kooperatif tipe Teams Games Tournament
(TGT)
Pembelajaran kooperatif memiliki beragam jenis metode,
beberapa variasi jenis metode yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya :
Student Team Achievement Divisions (STAD), Teams Games Tournament
(TGT), Jigsaw, Team Accelerated Instruction (TAI), Cooperative
Integrated Reading and Composition (CIRC). Dalam penelitian ini,
metode pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah tipe TGT (Teams
Games Tournament).
Slavin (2005: 163-165) menyatakan bahwa secara umum TGT
sama saja dengan STAD kecuali dalam satu hal : TGT menggunakan
turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor
kemajuan individu, dimana pada siswa berlomba sebagai wakil tim mereka
dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti
mereka.
Sejalan dengan pendapat di atas, Huda (2013: 116-117)
menyatakan bahwa :
Penerapan TGT mirip dengan STAD dalam hal komposisi kelompok,
format instruksional dan lembar kerjanya. Bedanya, jika STAD fokus
pada komposisi kelompok berdasarkan kemampuan, ras, etnik, dan
gender, maka TGT umumnya fokus hanya pada level kemampuan
saja. Selain itu, jika dalam STAD, yang digunakan adalah kuis maka
dalam TGT istilah tersebut biasanya diganti menjadi game akademik.
Dalam TGT, siswa ditempatkan dalam satu kelompok yang terdiri dari
3 orang yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi. Dengan
demikian, masing-masing kelompok memiliki komposisi anggota
28
yang comparable. Komposisi ini dicatat dalam tabel khusus (tabel
turnamen), yang setiap minggunya harus diubah. Sama seperti STAD,
dalam TGT setiap anggota ditugaskan untuk mempelajari materi
terlebih dahulu bersama anggota-anggota yang lain, lalu mereka diuji
secara individual melalui game akademik. Nilai yang mereka peroleh
dari game ini akan menentukan skor kelompok mereka masingmasing.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa metode pembelajaran TGT merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang pembelajarannya berfokus pada penggunaan kelompok
belajar yang masing-masing kelompoknya beranggotakan 3 siswa yang
heterogen dengan mengadakan turnamen yang membahas materi pelajaran
di dalamnya.
d. Tahap Pelaksanaan Metode Pembelajaran Kooperatif tipe Teams
Games Tournament (TGT)
Slavin
(2005:
166)
menyebutkan
pelaksanaan
metode
pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 tahapan, yaitu :
1) Presentasi di kelas (class presentation)
Materi dalam TGT pertama-tama diperkenalkan dalam
presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti
yang sering kali dilakukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh
guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual. Bedanya
presentasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa presentasi
tersebut haruslah benar-benar berfokus pada unit TGT. Dengan cara
ini, para siswa akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar
memberi perhatian penuh selama presentasi kelas, karena dengan
demikian akan sangat membantu mereka dalam permainan akademik,
dan skor yang mereka dapatkan akan menentukan skor tim mereka.
2) Belajar dalam kelompok (teams)
Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh
bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik. Fungsi utama dari tim
ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar,
29
dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya
untuk bisa bermain dalam permainan akademik dengan baik. Setelah
guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk mempelajari
lembar
kegiatan
atau
materi
lainnya.
Yang
sering
terjadi,
pembelajaran itu melibatkan pembahasan permasalahan bersama,
membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman
apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan.
3) Permainan (game)
Permainan dalam TGT terdiri atas pertanyaan-pertanyaan
yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan
siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan
kerja tim. Permainan tersebut dilakukan di atas meja dengan tiga
orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda.
Kebanyakan permainan hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang
ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebuah
kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang
tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang
memperbolehkan para pemain saling menantang jawaban masingmasing.
4) Pertandingan (tournament)
Turnamen
adalah sebuah struktur dimana
permainan
berlangsung. Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit,
setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah
melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar kegiatan. Pada
turnamen pertama, guru menunjuk siswa untuk berada pada meja
turnamen – tiga siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja 1, tiga
berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini,
seperti halnya sistem skor kemajuan individual dalam STAD,
memungkinkan para siswa dari semua tingkat inerja sebelumnya
berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka
melakukan yang terbaik.
30
Setelah turnamen pertama, para siswa akan bertukar meja
tergantung pada kinerja mereka pada turnamen terakhir. Pemenang
pada tiap meja “naik tingkat” ke meja berikutnya yang lebih tinggi
(misal, dari meja 6 ke meja 5) : skor tertinggi kedua tetap tinggal pada
meja yang sama; dan yang skornya paling rendah “diturunkan”.
Dengan cara ini, jika pada awalnya siswa sudah salah ditempatkan,
untuk seterusnya mereka akan terus dinaikkan atau diturunkan sampai
mereka mencapai tingkat kinerja mereka yang sesungguhnya.
5) Penghargaan kelompok (team recognition)
Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan
yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu.
Skor tim siswa juga dapat digunakan untuk menentukan dua puluh
persen dari peringkat mereka.
Sementara itu, Taniredja, dkk (2012: 70-72) menyebutkan
langkah-langkah TGT adalah sebagai berikut :
1) Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif TGT melalui
urutan sebagai berikut : pengaturan klasikal, belajar kelompok,
turnamen akademik, penghargaan tim dan pemindahan atau
bumping.
2) Pembelajaran diawali dengan memberikan materi pelajaran,
selanjutnya diumumkan kepada siswa bahwa akan melaksanakan
pembelajaran kooperatif tipe TGT dan siswa diminta memindahkan
bangku untuk membentuk meja tim. Kepada siswa disampaikan
bahwa mereka akan bekerja sama dengan kelompok belajar selama
beberapa pertemuan, mengikuti turnamen akademik untuk
memperoleh poin bagi nilai tim mereka serta diberitahukan bagi
tim yang mendapatkan nilai tinggi akan diberi penghargaan sesuai
dengan kriteria pencapaian yang telah ditentukan, yaitu tim super,
tim sangat baik dan tim baik.
3) Kegiatan dalam turnamen adalah persaingan antar kelompok pada
meja turnamen yang terdiri dari beberapa siswa yang berbeda
dengan tingkat kemampuan yang sama. Pada awal turnamen
diumumkan penetapan meja bagi siswa. Siswa diminta mengatur
meja turnamen yang telah ditetapkan. Nomor meja turnamen bisa
diacak. Setelah kelengkapan dibagikan dapat dimulai kegiatan
turnamen.
31
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
tahap pelaksanaan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT yang akan
digunakan pada penelitian ini yaitu :
Tahap 1 : Pembentukan
kelompok
secara
heterogen
berdasarkan
kemampuan akademik siswa rendah, sedang dan tinggi
Tahap 2 : Pembentukan kelompok dengan kemampuan akademik sama
yang akan berlomba pada meja turnamen
Tahap 3 : Guru menyampaikan materi pelajaran yang akan digunakan
dalam turnamen
Tahap 4 : Siswa mengerjakan lembar kegiatan secara kelompok
Tahap 5 : Tiap anggota masing-masing kelompok menempati meja
turnamen
sesuai
kelompok
yang
dibentuk
berdasakan
kemampuan akademik yang sama untuk melaksanakan game
akademik
Tahap 6 : Penghitungan skor tim
Tahap 7 : Penghargaan terhadap tim yang melampaui kriteria yang telah
ditetapkan
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan kajian teori di atas, dapat dikemukakan kerangka berpikir
dalam penelitian ini ialah sebagai berikut :
Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang memiliki satu atau lebih
gangguan dalam proses belajar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa
lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk
kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara,
membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Oleh sebab itu, anak berkesulitan
belajar, dalam hal ini anak berkesulitan belajar menghitung memerlukan
pelayanan khusus.
Sebagian besar siswa sering mendapatkan hasil belajar yang rendah pada
mata pelajaran matematika, tidak terkecuali bagi siswa berkesulitan belajar. Hal
ini tidak terlepas dari beberapa faktor, salah satunya ialah pola belajar dan
32
anggapan siswa bahwa matematika adalah mata pelajaran yang paling sulit dan
membosankan. Oleh sebab itu, pembelajaran matematika harus dibuat menarik
dan menyenangkan dengan metode yang inovatif dan yang mudah dipahami siswa
sehingga siswa menyukai matematika dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
matematika dapat meningkat.
Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah salah satu metode
pembelajaran yang mudah diterapkan untuk mengatasi permasalahan hasil belajar
matematika siswa yang rendah, sebab metode pembelajaran kooperatif tipe TGT
tersebut menggabungkan dua unsur menjadi satu, yaitu permainan dan belajar.
Sehingga pembelajaran tidak membosankan dan siswa merasa antusias dengan
permainan yang diberikan.
Dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT tersebut,
diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi perkalian siswa
berkesulitan belajar kelas II SD AL FIRDAUS Surakarta, seperti yang disajikan
dalam gambar berikut ini :
Pembelajaran matematika materi perkalian anak berkesulitan belajar kelas II
di SD AL FIRDAUS Surakarta
Pembelajaran belum menerapkan metode Teams Games Tournament (TGT)
Hasil belajar matematika anak berkesulitan belajar kelas II
di SD AL FIRDAUS Surakarta masih rendah
Penerapan metode Teams Games Tournament (TGT)
Hasil belajar matematika materi perkalian anak berkesulitan belajar kelas II
di SD AL FIRDAUS Surakarta meningkat
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
33
C. Hipotesis
Margono (2010: 67-68) menyatakan bahwa “Hipotesis adalah jawaban
sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling
mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya.” Senada dengan pendapat
tersebut, Suryana (2010: 23) menyebutkan bahwa “Hipotesis adalah jawaban
sementara terhadap masalah penelitian, yang jawabannya harus diuji.”
Berdasarkan beberapa pendapat mengenai hipotesis di atas, dapat
disimpulkan bahwa hipotesis merupakan dugaan atau pernyataan sementara
terhadap suatu permasalahan yang perlu dibuktikan kebenarannya.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan metode
kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar matematika
materi perkalian bagi anak berkesulitan belajar kelas II SD AL FIRDAUS
Surakarta tahun ajaran 2015/2016.
Download