BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Kesulitan Belajar a. Pengertian Kesulitan Belajar Dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, setiap guru pasti mengharapkan agar siswanya dapat mencapai hasil belajar yang optimal, namun pada kenyataannya ada beberapa siswa cenderung menunjukkan hasil belajar yang rendah. Rendahnya hasil belajar ini menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan oleh faktor intelegensi yang rendah, akan tetapi juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor non intelegensi. Dengan demikian IQ yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Jamaris (2014: 3) menjelaskan bahwa kesulitan belajar atau learning disabilities yang biasa juga disebut dengan istilah learning disorder atau learning difficulty adalah suatu kelainan yang membuat individu yang bersangkutan sulit untuk melakukan kegiatan belajar secara efektif. Pendapat tersebut didukung oleh Kirk (1962) dalam Colker (2011: 5) yang mengemukakan pendapat mengenai definisi kesulitan belajar sebagai berikut : A learning disability refers to a retardation, disorder, or delayed development in one or more of the processes of speech, language, reading, spelling, writing, or arithmetic resulting from a possible cerebral dysfunction and/or emotional or behavioral disturbances and not from mental retardation, sensory deprivation, or cultural and instructional factors. Pendapat di atas dapat diartikan bahwa kesulitan belajar mengacu pada keterbelakangan, kelainan, atau gangguan perkembangan pada satu atau lebih dari proses bicara, bahasa, membaca, mengeja, menulis, atau berhitung yang diakibatkan oleh kemungkinan disfungsi otak dan/atau gangguan emosional atau perilaku dan bukan dari keterbelakangan mental, kurangnya input sensorik, atau budaya dan faktor instruksional. 8 9 Selain beberapa pendapat tersebut, pengertian kesulitan belajar juga dikemukakan oleh Basiran (Jurnal Edukasi Vol. 7, No. 1, 2012: 3-4) yang menyatakan bahwa “Kesulitan belajar adalah suatu keadaan dimana anak didik atau siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya dikarenakan setiap individu itu tidak sama atau berbeda, baik dari faktor intern siswa maupun dari faktor ekstern siswa.” Banyak definisi mengenai kesulitan belajar di atas. Akan tetapi dari banyaknya definisi tersebut, terdapat beberapa titik kesamaan menurut Setiawati dan Ima (2007) dalam Musa (2013: 6) yaitu : a. Kesulitan belajar yang dialami dapat ditampakkan sebagai suatu kekurangan atau lebih bidang akademik, baik dalam bidang akademik (seperti membaca, menulis dan berhitung), maupun keterampilan yang bersifat umum (seperti mendengarkan, berbicara dan berpikir). b. Adanya kesenjangan antara prestasi dan potensi. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya anak yang mempunyai prestasi belajar dibawah potensi yang dimiliki (underachiever). Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kesulitan belajar merupakan salah satu gangguan yang terjadi pada peserta didik yang menimbulkan kondisi dimana peserta didik tidak dapat belajar dengan baik, sehingga mengakibatkan peserta didik memperoleh hasil belajar yang rendah. b. Klasifikasi Anak Berkesulitan Belajar Mulyono (2010: 11) menyebutkan secara garis besar kesulitan belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok, antara lain : 1) Kesulitan belajar yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities), kesulitan belajar ini mencakup gangguan motorik dan persepsi, kesulitan belajar bahasa dan komunikasi, dan kesulitan belajar dalam penyesuaian perilaku sosial. 2) Kesulitan belajar akademik (academic learning disabilities), kesulitan belajar ini menunjuk pada adanya kegagalan-kegagalan 10 pencapaian prestasi akademik yang sesuai dengan kapasitas yang diharapkan. Kegagalan-kegagalan tersebut mencakup penguasaan keterampilan dalam membaca, menulis, dan/atau matematika. Senada dengan pendapat di atas, Munawir, dkk (2003: 12-17) mengungkapkan bahwa kesulitan belajar dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu kesulitan belajar praakademik dan kesulitan belajar akademik. Kesulitan belajar praakademik tersebut meliputi : (1) gangguan motorik dan persepsi; (2) kesulitan belajar kognitif; (3) gangguan perkembangan bahasa; (4) kesulitan dalam penyesuaian perilaku sosial. Sedangkan kesulitan belajar akademik, meliputi : (1) kesulitan belajar membaca (disleksia); (2) Kesulitan belajar menulis (disgrafia); (3) kesulitan belajar berhitung (diskalkulia). Berdasarkan kedua pendapat mengenai klasifikasi anak berkesulitan belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi anak berkesulitan belajar terdiri dari dua jenis, yaitu kesulitan belajar praakademik atau yang berhubungan dengan perkembangan (developmental learning disabilities) dan kesulitan belajar akademik. c. Penyebab Kesulitan Belajar Jamaris (2014: 17) mengemukakan secara umum kesulitan belajar disebabkan oleh kelainan dalam salah satu atau lebih proses yang berkaitan dengan menerima informasi, proses berpikir, proses mengingat, dan proses belajar. Kelainan proses tersebut mencakup: proses fonologi, proses visual spatial, proses kecepatan dalam mengingat, memusatkan perhatian dan proses eksekusi yang mencakup kemampuan merencanakan dan mengambil keputusan. Munawir, dkk (2003: 8) mengungkapkan bahwa anak dapat mengalami kesulitan belajar dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut : 1) Faktor intelektual 2) Faktor kondisi fisik dan kesehatan, termasuk kondisi kelainan, dan 3) Faktor sosial 11 Pendapat di atas didukung oleh Mulyono (2010: 13) yang menyebutkan bahwa prestasi belajar dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Penyebab utama kesulitan belajar (learning disabilities) adalah faktor internal, yakni kemungkinan adanya disfungsi neurologis; sedangkan penyebab utama problema belajar (learning problems) adalah faktor eksternal, yaitu antara lain berupa strategi pembelajaran yang keliru, pengelolaan kegiatan belajar yang tidak membangkitkan motivasi belajar anak, dan pemberian ulangan penguatan (reinforcement) yang tidak tepat. Disfungsi neurologis sering tidak hanya menyebabkan kesulitan belajar tetapi juga dapat menyebabkan tunagrahita dan gangguan emosional. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan disfungsi neurologis yang pada gilirannya dapat menyebabkan kesulitan belajar (Mulyono, 2010: 13) antara lain : 1) Faktor genetik 2) Luka pada otak karena trauma fisik atau karena kekurangan oksigen 3) Biokimia yang hilang (misalnya biokimia yang diperlukan untuk memfungsikan saraf pusat) 4) Biokimia yang dapat merusak otak (misalnya zat pewarna pada makanan) 5) Pencemaran lingkungan (misalnya pencemaran timah hitam) 6) Gizi yang tidak memadai 7) Pengaruh-pengaruh psikologis dan sosial yang merugikan perkembangan anak (deprivasi lingkungan) Berdasarkan beberapa pendapat mengenai penyebab kesulitan belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar kesulitan belajar disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal yang berupa bawaan genetik atau disfungsi neurologis dan faktor eksternal yang berupa penggunaan strategi pembelajaran yang kurang tepat dan pengaruhpengaruh lingkungan sosial yang merugikan perkembangan anak. 12 d. Karakteristik Kesulitan Belajar Anak berkesulitan belajar mempunyai beberapa karakteristik yang pada umumnya mengalami kesulitan dalam bidang akademik tertentu, seperti membaca, berhitung dan menulis. Sudrajat (2009) dalam Idris (Jurnal Lentera Pendidikan Vol. 12, No. 2, 2009: 7) menyatakan bahwa beberapa perilaku yang merupakan manifestasi karakteristik kesulitan belajar, antara lain : 1) Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya 2) Hasil belajar yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha belajar dengan sungguh-sungguh, akan tetapi nilai yang diperolehnya selalu rendah 3) Lambat dalam melaksanakan tugas-tugas akademiknya dan selalu tertinggal dari teman-temannya dari waktu yang sudah disediakan 4) Menunjukkan sikap kurang wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, berbohong dan sebagainya 5) Menunjukkan perilaku yang menyimpang seperti: membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu saat di dalam maupun di luar kelas, tidak mau mencatat materi pelajaran 6) Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang ekspresi dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya ketika memperoleh nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya Koswara (2013: 9-12) menyatakan bahwa karakteristik anak berkesulitan belajar dapat ditunjukkan dari sejumlah masalah yang dialami anak, diantaranya sebagai berikut : 1) Anak kesulitan belajar umumnya mengalami kekurangan/hambatan dalam memori visual dan auditoris, baik jangka pendek maupun jangka panjang. 2) Memiliki masalah dalam mengingat data seperti mengingat harihari dalam seminggu, anak umumnya hafal nama-nama hari dalam seminggu, tetapi anak tidak tahu sekarang hari apa. 13 3) Memiliki masalah dalam mengenal arah, baik itu mengenai arah kiri dan kanan maupun mengenai arah mata angin. Pada awal masuk sekolah, hal ini dapat diketahui dengan cara meminta anak untuk mengangkat tangan kanan atau tangan kiri, atau menanyakan tentang arah terbit dan tenggelamnya matahari. 4) Memiliki kekurangan dalam memahami waktu, anak umumnya belum atau kurang memahami waktu pagi, siang, sore dan malam. Pada awal-awal mengikuti pembelajaran anak kesulitan dalam memahami gejala alam. 5) Jika anak diminta untuk menggambar orang, hasil gambarannya sering tidak lengkap, misalnya pada gambar orang tersebut tidak diberi tangan atau kaki. 6) Miskin dalam mengeja. Anak yang mengalami miskin dalam mengeja, biasanya anak dapat membaca kata atau hafal tulisan sebuah kata, karena sering menemukannya dalam bacaan atau tulisan yang sering ditemukan di tempat-tempat umum. Apabila anak diminta mengeja atau menguraikan huruf dari tulisan yang dibacanya, anak tidak dapat mengeja. 7) Sulit dalam menginterpretasikan globe, peta atau grafik. Pada kelas-kelas besar, kesulitan ini akan nampak seiring mulai kompleksnya materi pembelajaran yang harus diterima anak. Kesulitan dalam menginterpretasikan globe, peta atau grafik tersebut merupakan dampak dari kesulitan belajar di kelas-kelas awal, seperti kesulitan dalam memahami arah, mengingat data, ataupun hambatan secara visual. 8) Kekurangan dalam koordinasi dan keseimbangan. Kekurangmampuan dalam koordinasi dan keseimbangan sangat erat kaitannya dengan masalah motorik anak, untuk mengenalinya orangtua atau guru di kelas-kelas awal dapat mengetahui melalui berbagai kegiatan yang bersifat fisik, seperti kegiatan dalam aktifitas olahraga misalnya anak diminta mengambil bola dan 14 melempar bola. Sedangkan untuk mengetahui keseimbangan dapat dilakukan dengan meminta anak berjalan mengikuti garis lurus. 9) Kesulitan dalam berhitung. Masalah berhitung atau anak yang mengalami kesulitan belajar matematika atau sering juga disebut diskalkulia, kesulitan belajar matematika juga berhubungan dengan persepsi ruang yang ditunjukkan dengan kesulitan mengenal dan memahami simbol-simbol dalam matematika. 10) Kesulitan dalam belajar bahasa asing. Kesulitan dalam belajar bahasa asing umumnya dikarenakan kesulitan memahami bunyi bahasa/bunyi ujaran yang berbeda dengan yang biasa anak baca atau dengar. 11) Menunjukkan perilaku hiperaktif/hipoaktivitas. Sebagian anak berkesulitan belajar ada yang menunjukkan perilaku hiperaktif ataupun hipoaktif. Hiperaktifitas atau hipoaktif dapat muncul karena anak merasa tidak nyaman dengan situasi kelas ataupun cara guru mengajar, atau lingkungan teman dimana anak belajar. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak berkesulitan belajar yaitu : 1) Mengalami kesulitan pada satu atau lebih bidang akademik 2) Kurang mampu dalam memusatkan perhatian 3) Mengalami kesenjangan antara potensi dan prestasi 4) Menunjukkan tingkat emosional yang tidak stabil e. Penanganan Kesulitan Belajar Kesulitan belajar merupakan masalah yang perlu ditangani secara cermat karena penanganan kesulitan belajar yang tidak tuntas menyebabkan kesulitan tersebut akan kembali muncul dan menjadi penghalang dalam perkembangan anak selanjutnya. Berbagai teknik dan bentuk penanganan kesulitan belajar perlu diterapkan dengan berbagai pertimbangan yang mendasar. 15 Syamsudin dalam Suparno (Jurnal Pendidikan Khusus Vol. 2, No. 2, November 2006: 8) menyatakan bahwa ada beberapa strategi pendidikan yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis-jenis kesulitan belajar, yaitu antara lain : 1) Kesulitan belajar umum a. Untuk kasus kesulitan belajar yang berlatar belakang kurangnya motivasi dan minat belajar, Hindarkan saran dan pernyataan negatif dan yang dapat melemahkan kegairahan belajar Ciptakan situasi-situasi kompetitif sesama siswa secara sehat Berikan ganjaran yang tulus dan wajar, kendatipun hanya berupa kata pujian Tunjukkan manfaat dari pelajaran bagi kepentingan siswa yang bersangkutan pada saat kini dan nanti b. Kasus kesulitan belajar yang berlatar belakang sikap negatif terhadap guru, pelajaran dan situasi belajar, Ciptakan iklim sosial yang sehat di dalam kelas atau kelompok siswa Kembangkan kehangatan hubungan antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa Berikan kesempatan memperoleh pengalaman yang menyenangkan atau memuaskan, atau memperoleh pengalaman rasa sukses dalam belajar meskipun dengan prestasi yang minimal c. Kasus kesulitan belajar dengan latar belakang kebiasaan belajar yang salah, disarankan untuk : Tunjukkan akibat atau pengaruh kebiasaan yang salah terhadap prestasi belajar dan kehidupan seseorang Berikan kesempatan masa transisi untuk berlatih dengan pola-pola kebiasaan baru dan meninggalkan kebiasaan lama yang salah d. Kesulitan belajar dengan latar belakang ketidakserasian antara kondisi objektif keragaman pribadinya dengan kondisi objektif instrumental inputs dan lingkungannya Bimbingan informatif dalam pilihan program/bidang studi, bahan/sumber, strategi/metode/teknik belajar secara rasional Diskusi dan atau kerja kelompok Proyek kegiatan bersama di kelas, karyawisata dan sebagainya 2) Kesulitan Belajar Spesifik a. Kesulitan belajar membaca 16 Ada beberapa strategi pembelajaran yang dapat diberikan untuk anak berkesulitan belajar membaca, diantaranya adalah dengan meningkatkan kemampuan mengenal dan memahami setiap bunyi bahasa, kata-kata dan kalimat, kelancaran ucapan, dan pemahaman bacaan. Aktivitas pembelajaran dilakukan secara khusus, terutama dengan program pembelajaran individual (IEP) ataupun dengan programprogram remidi di sekolah. b. Kesulitan belajar menulis Mengenai kesulitan menulis tulisan tangan (handwriting), strategi pembelajaran yang dapat dilakukan dengan beberapa aktivitas seperti: (1) latihan-latihan membuat lingkaran, garis, geometri, atau angka-angka, (2) menulis atau melukis dengan jari di tanah atau pasir atau media lain yang sesuai, (3) menggambar atau menebalkan bentuk huruf yang dibuat dalam figur titik-titik, (4) melanjutkan atau melengkapi tulisan, dan (5) menulis dengan menggunakan kertas bergaris. c. Kesulitan belajar matematika Ada dua persoalan utama yang terkait dengan kesulitan bidang matematika, yaitu: (1) matematika hitungan, dan (2) matematika penalaran. Dalam aspek hitungan, tahap awal anak dapat diajarkan untuk mengenal angka dan simbol hitung, lalu bisa masuk dalam pemberian contoh soal pada anak dan cara penyelesaiannya, kemudian anak diminta untuk menyelesaikan contoh soal yang lain. Dalam aspek penalaran, untuk tahaptahap awal anak dapat diajarkan mengenai (1) hubungan spasial, (2) kecakapan visual-motorik, dan visual persepsi, dan (3) konsep waktu. Jamaris (2014: 61-67) menyebutkan bahwa beberapa bentuk tindakan yang dapat menangani masalah kesulitan belajar yang dialami peserta didik, antara lain : 1) Pengajaran remedial Pengajaran remedial adalah salah satu bentuk pengajaran yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan belajar yang dialami anak berkesulitan belajar. Pengajaran remedial dititikberatkan pada pengajaran yang bersifat individual. Oleh sebab itu, pengajaran remedial dikembangkan berdasarkan pengajaran individual. Bentuk-bentuk pengajaran remedial yang diterapkan pada anak berkesulitan belajar disesuaikan dengan kebutuhan individu yang 17 bersangkutan, suatu kebutuhan yang bersifat heterogen. Berbagai bentuk pengajaran remedial dapat dipilih untuk diterapkan kepada individu tersebut, antara lain : pelatihan penguasaan tugas dan keterampilan (task and skill training), pelatihan penguasaan proses (ability process training), serta intervensi perilaku dan kognitif (behavioral and cognitive intervention). 2) Pengaturan ruang sumber belajar Ruang sumber belajar (learning resource room) merupakan salah satu bentuk penerapan pelayanan bagi siswa berkesulitan belajar. Ruang sumber belajar dikelola oleh staf dan guru yang telah terlatih dan memiliki kualifikasi atau sertifikat yang sesuai dengan penanganan kebutuhan siswa berkesulitan belajar. Ruang sumber belajar juga dilengkapi dengan berbagai sarana, seperti ruang kelas dan perlengkapannya yang diperlukan oleh siswa berkesulitan belajar selama waktu belajar di sekolah untuk menerima pelayanan kesulitan belajar. a) Ruang kelas khusus untuk siswa berkesulitan belajar Ruang kelas khusus untuk siswa berkesulitan belajar merupakan strategi yang dapat diterapkan dalam penanggulangan kesulitan belajar. Kelas ini dikelola oleh guru yang ahli dalam masalah kesulitan belajar yang memberikan pelayanan pada sekelompok (6-12 orang) siswa berkesulitan belajar. Pelayanan ini diberikan pada siswa yang mengalami kesulitan belajar berat sehingga membutuhkan pelayanan secara khusus. b) Guru kunjung Guru kunjung merupakan bentuk lain dari pelayanan kesulitan belajar. Guru kunjung merupakan konsultan kesulitan belajar yang datang secara berkala untuk memberikan bimbingan pada siswa berkesulitan belajar. Jenis pelayanan ini hanya diberikan pada sekolah yang 18 memiliki siswa berkesulitan belajar ringan dengan jumlah siswa terbatas. c) Konsultan guru Konsultan guru merupakan seorang ahli masalah kesulitan belajaryang memberikan bimbingan pada guru kelas yang memiliki siswa berkesulitan belajar. Bantuan yang diberikan oleh konsultan guru pada guru kelas, antara lain adalah berkaitan dengan pemilihan alat asesmen yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi siswa berkesulitan belajar dan pengembangan program penanganan kesulitan belajar. 3) Pendidikan inklusi UNESCO (2004) dalam Jamaris (2014: 66) menyatakan bahwa, Pendidikan inklusi mengandung arti bahwa sekolah perlu mengakomodasi kebutuhan pendidikan semua anak dengan tidak menghiraukan kondisi fisik, intelektual, sosial, emosional, bahasa, dan kondisi-kondisi lainnya. Dengan demikian, anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan khusus termasuk anak berkesulitan belajar perlu mendapat akses terhadap pendidikan. Dalam penerapannya, pendidikan inklusi dilakukan dengan cara memberi kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk bersekolah di sekolah umum. Senada dengan pendapat di atas, O’Neil (1995) dalam Ilahi (2013: 27) menyebutkan bahwa “Pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya.” Berdasarkan beberapa pendapat mengenai bentuk penanganan kesulitan belajar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa penanganan kesulitan belajar dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu (1) program 19 remedial, (2) Pemberian Program Pembelajaran Individual (PPI), (3) pengaturan ruang sumber belajar, (4) Pendidikan Inklusi. 2. Kajian Tentang Hasil Belajar a. Pengertian Belajar Kata “Belajar” bukanlah hal yang asing dalam dunia pendidikan. “Belajar” dan “Pendidikan” merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, sebab belajar merupakan bagian dari pendidikan dan pendidikan akan terwujud apabila terjadi proses belajar. Daryanto dan Rahardjo (2012: 16) menyatakan bahwa belajar pada hakekatnya adalah proses interaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar dapat dipandang sebagai proses yang diarahkan kepada tujuan dan proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar juga merupakan proses melihat, mengamati dan memahami sesuatu, indikator belajar ditunjukkan dengan perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Belajar merupakan perubahan dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai suatu pola-pola respon yang berupa keterampilan, sikap, kebiasaan, kecakapan atau pemahaman. Hakim (2005: 1) mengungkapkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan percakapan, pengetahuan, sikap, keterbiasaan, pemahaman, keterampilan, daya pikir dan lain-lain kemampuan. Dari beberapa definisi tentang belajar di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan proses perubahan dalam diri individu yang awalnya tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak bisa menjadi bisa, dan hal tersebut ditunjukkan dengan perubahan tingkah laku individu yang bersifat relatif permanen. 20 b. Pengertian Hasil Belajar Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembelajaran, pada akhirnya akan menunjukkan sebuah output yang dinamakan hasil belajar. Hasil belajar inilah yang nantinya akan menjadi bahan evaluasi dari setiap kegiatan belajar yang telah dilaksanakan. Bloom (1956) dalam Daryanto dan Rahardjo (2012: 27) mengemukakan tiga ranah hasil belajar yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. 1) Ranah Kognitif, yaitu berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisa, sintesa dan evaluasi; 2) Ranah Afektif, yaitu berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yaitu penerimaan, jawaban atau reaksi, penelitian, organisasi dan internalisasi; 3) Ranah Psikomotorik, yaitu berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek dalam ranah psikomotorik, yaitu gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan gerakan ekspresif dan interpretatif. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya proses belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan baik yang menyangkut ranah kognitif, afektif maupun psikomotor. Dalam penelitian ini aspek yang akan diukur adalah aspek kognitif dengan tiga tipe hasil belajar yaitu pengetahuan, pemahaman dan aplikasi. Ketiga ranah tersebut dipilih karena subjek dan materi yang diteliti adalah anak berkesulitan belajar kelas II dengan materi perkalian dua bilangan satu angka yang diajarkan pada semester II. Pemilihan materi tersebut karena bertepatan dengan waktu penelitian di SD AL FIRDAUS Surakarta. c. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Secara umum, faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa (Daryanto dan Rahardjo, 2012: 28) dapat dibagi menjadi dua, yaitu : faktor 21 internal dan faktor eksternal. Faktor internal ialah faktor yang ada dalam diri siswa sendiri dan faktor eksternal ialah faktor-faktor yang berada di luar diri siswa. Berikut penjelasan lebih lanjut : 1) Faktor Internal a) Faktor fisiologis atau jasmani, yang mempengaruhi hasil belajar diantaranya adalah sehat, berarti dalam keadaan baik segenap badan beserta bagian-bagiannya atau bebas dari penyakit. Proses belajar akan terganggu jika kesehatan terganggu. b) Faktor psikologis, baik yang bersifat bawaan maupun keturunan, yang meliputi : 1) Faktor intelektual, yang terdiri atas : Faktor potensial, yaitu intelegensi dan bakat Faktor aktual, yaitu kecakapan nyata dan prestasi 2) Faktor non intelektual, yaitu komponen-komponen kepribadian tertentu seperti: sikap, minat, kebiasaan, motivasi, kebutuhan, konsep diri, penyesuaian diri, emosional dan sebagainya. c) Faktor kematangan, baik fisik maupun psikis 2) Faktor Eksternal a) Faktor sosial, yang terdiri atas : Faktor lingkungan keluarga Faktor lingkungan sekolah Faktor lingkungan masyarakat Faktor kelompok b) Faktor budaya, seperti : adat istiadat, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian dan sebagainya. c) Faktor lingkungan fisik, seperti fasilitas rumah, fasilitas belajar, iklim dan sebagainya. d) Faktor spiritual atau lingkungan keagamaan. 22 3. Kajian Tentang Matematika a. Pengertian Matematika Matematika merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang dipelajari peserta didik di sekolah. Tidak sedikit peserta didik yang menganggap matematika sebagai mata pelajaran paling sulit di sekolah, namun matematika sangat perlu dipelajari karena matematika sangat berperan besar dalam aktivitas keseharian peserta didik nantinya. Tiurlina (2006: 3) mengemukakan pendapatnya tentang definisi matematika sebagai berikut : Secara bahasa, kata ‘matematika’ berasal dari perkataan Latin ‘mathematika’ yang mulanya diambil dari perkataan Yunani ‘mathematike’ yang berarti mempelajari. Perkataan itu mempunyai asal kata ‘mathema’ yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowledge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu ‘mathein’ atau ‘mathenein’ yang artinya belajar (berpikir). Jadi, berdasarkan asal kata tersebut, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan berpikir (bernalar). Sementara itu, Kline dalam Tiurlina (2006: 4) menyatakan bahwa “matematika itu bukan pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam.” Berdasarkan beberapa pengertian tentang matematika di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan salah satu cabang ilmu pendidikan pokok yang berkaitan dengan konsep angka dan hitungan yang dapat dipahami dengan cara berpikir dan merupakan cabang ilmu yang sangat penting karena akan sangat berguna dalam praktik kehidupan sehari-hari. b. Peranan Matematika di SD Bidang studi matematika yang diajarkan di SD mencakup tiga cabang, yaitu aritmatika, aljabar dan geometri. Banyak faktor yang 23 melatarbelakangi perlunya siswa untuk belajar matematika. Cornelius dalam Mulyono (2010: 253) mengemukakan lima alasan perlunya belajar matematika yaitu antara lain (1) sarana berpikir yang jelas dan logis, (2) sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari, (3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan generalisasi pengalaman, (4) sarana untuk mengembangkan kreativitas, dan (5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya. Pendapat di atas diperkuat oleh Cockroft dalam Mulyono (2010: 253) yang menyatakan bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena : 1) Matematika selalu digunakan dalam segala segi kehidupan 2) Semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai 3) Matematika merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas 4) Matematika dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara 5) Matematika dapat meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan kesadaran keruangan, dan 6) Matematika dapat memberikan kepuasaan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang. Berdasarkan berbagai pendapat di atas tentang peranan matematika, maka dapat disimpulkan bahwa peranan matematika ialah sebagai sarana keterampilan pemecahan masalah dalam kehidupan seharihari. c. Operasi Hitung Perkalian Operasi hitung perkalian merupakan materi ajar yang diberikan setelah peserta didik mempelajari atau memahami operasi hitung penjumlahan dan pengurangan. Subarinah (2006: 31) menyebutkan bahwa “Operasi perkalian pada bilangan cacah diartikan sebagai penjumlahan berulang. Untuk itu, peserta didik sebelumnya harus paham dan terampil 24 dalam melakukan operasi hitung penjumlahan untuk dapat memahami konsep operasi hitung perkalian.” Hal senada juga disampaikan oleh Kamsiyati (2012: 77) yang menyatakan bahwa “Sebuah penjumlahan berganda dengan suku-suku yang sama dinamakan penjumlahan berulang. Penjumlahan berulang juga suatu pengerjaan hitung dapat diganti dengan operasi perkalian.” Operasi hitung perkalian dilambangkan dengan tanda “x”. Perkalian a x b diartikan sebagai penjumlahan bilangan b sebanyak a kali. Jadi, a x b = b + b + b + ... + b sebanyak a Contoh : 3 x 6 = 6 + 6 + 6 = 18, dan 5 x 2 = 2 + 2 + 2 + 2 + 2 = 10 Seperti halnya operasi yang lain, pembelajaran perkalian dibagi dalam dua kelompok, yaitu perkalian dasar dan perkalian lanjutan. Perkalian dasar yang dimaksud adalah perkalian dua bilangan satu angka, sedangkan perkalian lanjutan adalah perkalian yang melibatkan paling tidak sebuah bilangan dua angka. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan materi perkalian dua bilangan satu angka atau perkalian dasar. 4. Kajian Tentang Metode Pembelajaran Kooperatif a. Pengertian Metode Pembelajaran Metode pembelajaran (Daryanto dan Rahardjo, 2012: 148) dapat diartikan sebagai suatu cara atau teknik yang akan digunakan oleh pengajar dalam menyampaikan materi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Banyak metode yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran dan yang paling sering digunakan pada umumnya ialah metode ceramah, demonstrasi, tanya jawab, diskusi dan sebagainya. 25 Namun yang penting untuk diperhatikan penggunaan metode dalam pembelajaran, antara lain : 1) Kesesuaian dengan tujuan yang akan dicapai 2) Waktu yang tersedia dalam membahas topik tertentu 3) Ketersediaan fasilitas 4) Latar belakang peserta pendidikan dan pelatihan 5) Pengelompokkan peserta pendidikan dan pelatihan dalam pembelajaran 6) Jenis dan karakteristik pembelajaran 7) Penggunaan variasi metode b. Pengertian Metode Pembelajaran Kooperatif Slavin (2005: 4) menyatakan bahwa “Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran.” Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing siswa. Pendapat yang hampir senada juga diungkapkan oleh Roger, dkk dalam Huda (2013: 29) yang menyatakan bahwa : Cooperative learning is group learning activity organized in such a way that learning is based on the socially structured change of information between learners in group in which each learner is held accountable for his or her own learning and is motivated to increase the learning of others. Pendapat di atas dapat diartikan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar tersebut bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri 26 dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain. Dalam proses pembelajaran kooperatif, siswa didorong untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Tujuan metode pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya, serta pengembangan keterampilan sosial. Nur dalam Daryanto dan Rahardjo (2012: 242) menyatakan prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif ialah sebagai berikut : 1) Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan dalam kelompoknya. 2) Setiap anggota kelompok harus mengetahui bahwa semua anggota kelompok mempunyai tujuan yang sama. 3) Setiap anggota kelompok harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya. 4) Setiap anggota kelompok akan dikenai evaluasi 5) Setiap anggota kelompok berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya. 6) Setiap anggota mempertanggungjawabkan kelompok secara akan individual diminta materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Ciri-ciri metode pembelajaran kooperatif sebagai berikut : 1) Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. 2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda, baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan gender. 27 3) Penghargaan lebih menekankan pada kelompok daripada masingmasing individu. Berdasarkan beberapa pendapat di atas tentang metode pembelajaran kooperatif, dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif merupakan metode pembelajaran yang menekankan pada usaha bersama antarsiswa dalam satu kelompok guna mencapai tujuan pembelajaran yaitu tercapainya hasil belajar yang diinginkan. c. Metode Pembelajaran Kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) Pembelajaran kooperatif memiliki beragam jenis metode, beberapa variasi jenis metode yang dapat diterapkan, yaitu diantaranya : Student Team Achievement Divisions (STAD), Teams Games Tournament (TGT), Jigsaw, Team Accelerated Instruction (TAI), Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC). Dalam penelitian ini, metode pembelajaran kooperatif yang digunakan adalah tipe TGT (Teams Games Tournament). Slavin (2005: 163-165) menyatakan bahwa secara umum TGT sama saja dengan STAD kecuali dalam satu hal : TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, dimana pada siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. Sejalan dengan pendapat di atas, Huda (2013: 116-117) menyatakan bahwa : Penerapan TGT mirip dengan STAD dalam hal komposisi kelompok, format instruksional dan lembar kerjanya. Bedanya, jika STAD fokus pada komposisi kelompok berdasarkan kemampuan, ras, etnik, dan gender, maka TGT umumnya fokus hanya pada level kemampuan saja. Selain itu, jika dalam STAD, yang digunakan adalah kuis maka dalam TGT istilah tersebut biasanya diganti menjadi game akademik. Dalam TGT, siswa ditempatkan dalam satu kelompok yang terdiri dari 3 orang yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi. Dengan demikian, masing-masing kelompok memiliki komposisi anggota 28 yang comparable. Komposisi ini dicatat dalam tabel khusus (tabel turnamen), yang setiap minggunya harus diubah. Sama seperti STAD, dalam TGT setiap anggota ditugaskan untuk mempelajari materi terlebih dahulu bersama anggota-anggota yang lain, lalu mereka diuji secara individual melalui game akademik. Nilai yang mereka peroleh dari game ini akan menentukan skor kelompok mereka masingmasing. Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran TGT merupakan salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang pembelajarannya berfokus pada penggunaan kelompok belajar yang masing-masing kelompoknya beranggotakan 3 siswa yang heterogen dengan mengadakan turnamen yang membahas materi pelajaran di dalamnya. d. Tahap Pelaksanaan Metode Pembelajaran Kooperatif tipe Teams Games Tournament (TGT) Slavin (2005: 166) menyebutkan pelaksanaan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 tahapan, yaitu : 1) Presentasi di kelas (class presentation) Materi dalam TGT pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering kali dilakukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual. Bedanya presentasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa presentasi tersebut haruslah benar-benar berfokus pada unit TGT. Dengan cara ini, para siswa akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar memberi perhatian penuh selama presentasi kelas, karena dengan demikian akan sangat membantu mereka dalam permainan akademik, dan skor yang mereka dapatkan akan menentukan skor tim mereka. 2) Belajar dalam kelompok (teams) Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik. Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, 29 dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa bermain dalam permainan akademik dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk mempelajari lembar kegiatan atau materi lainnya. Yang sering terjadi, pembelajaran itu melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan. 3) Permainan (game) Permainan dalam TGT terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Permainan tersebut dilakukan di atas meja dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda. Kebanyakan permainan hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para pemain saling menantang jawaban masingmasing. 4) Pertandingan (tournament) Turnamen adalah sebuah struktur dimana permainan berlangsung. Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar kegiatan. Pada turnamen pertama, guru menunjuk siswa untuk berada pada meja turnamen – tiga siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja 1, tiga berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini, seperti halnya sistem skor kemajuan individual dalam STAD, memungkinkan para siswa dari semua tingkat inerja sebelumnya berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik. 30 Setelah turnamen pertama, para siswa akan bertukar meja tergantung pada kinerja mereka pada turnamen terakhir. Pemenang pada tiap meja “naik tingkat” ke meja berikutnya yang lebih tinggi (misal, dari meja 6 ke meja 5) : skor tertinggi kedua tetap tinggal pada meja yang sama; dan yang skornya paling rendah “diturunkan”. Dengan cara ini, jika pada awalnya siswa sudah salah ditempatkan, untuk seterusnya mereka akan terus dinaikkan atau diturunkan sampai mereka mencapai tingkat kinerja mereka yang sesungguhnya. 5) Penghargaan kelompok (team recognition) Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Skor tim siswa juga dapat digunakan untuk menentukan dua puluh persen dari peringkat mereka. Sementara itu, Taniredja, dkk (2012: 70-72) menyebutkan langkah-langkah TGT adalah sebagai berikut : 1) Langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif TGT melalui urutan sebagai berikut : pengaturan klasikal, belajar kelompok, turnamen akademik, penghargaan tim dan pemindahan atau bumping. 2) Pembelajaran diawali dengan memberikan materi pelajaran, selanjutnya diumumkan kepada siswa bahwa akan melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe TGT dan siswa diminta memindahkan bangku untuk membentuk meja tim. Kepada siswa disampaikan bahwa mereka akan bekerja sama dengan kelompok belajar selama beberapa pertemuan, mengikuti turnamen akademik untuk memperoleh poin bagi nilai tim mereka serta diberitahukan bagi tim yang mendapatkan nilai tinggi akan diberi penghargaan sesuai dengan kriteria pencapaian yang telah ditentukan, yaitu tim super, tim sangat baik dan tim baik. 3) Kegiatan dalam turnamen adalah persaingan antar kelompok pada meja turnamen yang terdiri dari beberapa siswa yang berbeda dengan tingkat kemampuan yang sama. Pada awal turnamen diumumkan penetapan meja bagi siswa. Siswa diminta mengatur meja turnamen yang telah ditetapkan. Nomor meja turnamen bisa diacak. Setelah kelengkapan dibagikan dapat dimulai kegiatan turnamen. 31 Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tahap pelaksanaan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT yang akan digunakan pada penelitian ini yaitu : Tahap 1 : Pembentukan kelompok secara heterogen berdasarkan kemampuan akademik siswa rendah, sedang dan tinggi Tahap 2 : Pembentukan kelompok dengan kemampuan akademik sama yang akan berlomba pada meja turnamen Tahap 3 : Guru menyampaikan materi pelajaran yang akan digunakan dalam turnamen Tahap 4 : Siswa mengerjakan lembar kegiatan secara kelompok Tahap 5 : Tiap anggota masing-masing kelompok menempati meja turnamen sesuai kelompok yang dibentuk berdasakan kemampuan akademik yang sama untuk melaksanakan game akademik Tahap 6 : Penghitungan skor tim Tahap 7 : Penghargaan terhadap tim yang melampaui kriteria yang telah ditetapkan B. Kerangka Berpikir Berdasarkan kajian teori di atas, dapat dikemukakan kerangka berpikir dalam penelitian ini ialah sebagai berikut : Anak berkesulitan belajar merupakan anak yang memiliki satu atau lebih gangguan dalam proses belajar yang mencakup pemahaman penggunaan bahasa lisan atau tulisan, gangguan tersebut mungkin menampakkan diri dalam bentuk kemampuan yang tidak sempurna dalam mendengarkan, berpikir, berbicara, membaca, menulis, mengeja atau berhitung. Oleh sebab itu, anak berkesulitan belajar, dalam hal ini anak berkesulitan belajar menghitung memerlukan pelayanan khusus. Sebagian besar siswa sering mendapatkan hasil belajar yang rendah pada mata pelajaran matematika, tidak terkecuali bagi siswa berkesulitan belajar. Hal ini tidak terlepas dari beberapa faktor, salah satunya ialah pola belajar dan 32 anggapan siswa bahwa matematika adalah mata pelajaran yang paling sulit dan membosankan. Oleh sebab itu, pembelajaran matematika harus dibuat menarik dan menyenangkan dengan metode yang inovatif dan yang mudah dipahami siswa sehingga siswa menyukai matematika dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika dapat meningkat. Metode pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah salah satu metode pembelajaran yang mudah diterapkan untuk mengatasi permasalahan hasil belajar matematika siswa yang rendah, sebab metode pembelajaran kooperatif tipe TGT tersebut menggabungkan dua unsur menjadi satu, yaitu permainan dan belajar. Sehingga pembelajaran tidak membosankan dan siswa merasa antusias dengan permainan yang diberikan. Dengan penerapan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT tersebut, diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi perkalian siswa berkesulitan belajar kelas II SD AL FIRDAUS Surakarta, seperti yang disajikan dalam gambar berikut ini : Pembelajaran matematika materi perkalian anak berkesulitan belajar kelas II di SD AL FIRDAUS Surakarta Pembelajaran belum menerapkan metode Teams Games Tournament (TGT) Hasil belajar matematika anak berkesulitan belajar kelas II di SD AL FIRDAUS Surakarta masih rendah Penerapan metode Teams Games Tournament (TGT) Hasil belajar matematika materi perkalian anak berkesulitan belajar kelas II di SD AL FIRDAUS Surakarta meningkat Gambar 2.1 Kerangka Berpikir 33 C. Hipotesis Margono (2010: 67-68) menyatakan bahwa “Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang secara teoritis dianggap paling mungkin atau paling tinggi tingkat kebenarannya.” Senada dengan pendapat tersebut, Suryana (2010: 23) menyebutkan bahwa “Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang jawabannya harus diuji.” Berdasarkan beberapa pendapat mengenai hipotesis di atas, dapat disimpulkan bahwa hipotesis merupakan dugaan atau pernyataan sementara terhadap suatu permasalahan yang perlu dibuktikan kebenarannya. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah penggunaan metode kooperatif tipe TGT berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar matematika materi perkalian bagi anak berkesulitan belajar kelas II SD AL FIRDAUS Surakarta tahun ajaran 2015/2016.