BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum a. Pengertian Upaya Hukum Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau Penuntut Umum yang dapat dipergunakan apabila Terdakwa ataupun Penuntut Umum merasa tidak puas atas putusan yang diberikan oleh Pengadilan. Maksud dari upaya hukum sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP yang menjelaskan bahwa: Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada dua macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur di dalam BAB XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII. b. Upaya Hukum biasa Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari Pasal 233 sampai dengan Pasal 234 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat banding, dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat kasasi. Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex factie), sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa atau penuntut umum tidak dapat menerima putusan tersebut yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya, 13 14 untuk kesatuan dalam pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014 : 269). 1) Banding Pemeriksaan tingkat banding dalam hukum pidana diatur dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 234 KUHAP. Pengajuan banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan. Pengajuan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut harus ditolak dengan membuat surat keterangan. Setiap putuan pengadilan dapat diajukan permohonan banding, tetapi ada perkecualiannya yang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 67 KUHAP. Pengecualian untuk mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP yaitu : Putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. “In the essence of Article 67 of the Criminal Procedure Code contains things about the principle of legal efforts associated with acquittal. Like the defendant or the prosecutor is entitled to request an appeal, unless the acquittal can not be appealed. Only the form of rights, there is no form of authority granted by the legislature to the public prosecutor to file an appeal against the acquittal.( Pokok dari Pasal 67 KUHAP berisi hal-hal tentang prinsip upaya hukum terkait dengan vonis bebas. Seperti terdakwa atau jaksa adalah berhak meminta banding, kecuali putusan bebas tidak dapat diajukan banding. Hanya berupa hak, tidak ada bentuk kewenangan yang diberikan oleh legislatif kepada penuntut umum untuk mengajukan banding terhadap putusan bebas)” (I Gede Artha, 2013: 4). 15 2) Kasasi a) Pengertian Kasasi Menurut Wirjono Prodjodikoro, kasasi adalah pembatalan yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Pada asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya (Andy Sofyan, Abd. Asis, 2014: 279). Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali putusan bebas. “The Supreme Court is the apex of the court system in Indonesia and as such one of its primary functions is the supervision of lower courts within its jurisdiction, The Supreme Court is the apex of the court system in Indonesia and as such one of its primary functions is the supervision of lower courts within its jurisdiction ( Mahkamah Agung adalah puncak dari sistem pengadilan di Indonesia dan dengan demikian salah satu fungsi utamanya adalah pengawasan pengadilan yang lebih rendah dalam yurisdiksinya, Mahkamah Agung adalah puncak dari sistem pengadilan di Indonesia dan dengan demikian salah satu fungsi utamanya adalah pengawasan pengadilan yang lebih rendah dalam yurisdiksinya)” (Hikmahanto Juwana et al, 2005: 54). Selain pengertian dari KUHAP tersebut, kasasi juga dapat diartikan bahwa: Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundangundangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari kata “Cassation” dengan kata kerta “Casser” artinya 16 membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat lain yang harus dipenuhi. Secara yuridis formal permohoonan kasasi dapat diterima apabila memenuhi syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi,surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P Pangabean, 2001: 201). b) Tujuan Kasasi Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam penerapan hukumnya (Andi Hamzah, 2009: 297). Adapun tujuan utama upaya hukum kasasi antara lain sebagai berikut : (1) Guna melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan dibawahnya yang dikenal sebagi judex juris agar peraturan hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya demi terwujudnya keadilan dan kebenaran yang hakiki. Kebanyakan orang melakukan kasasi dikarenakan rasa ketidakpuasannya terhadap putusan hakim. Penyebab utama bukan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan melainkan karena para pihak merasa bahwa dalam menjatuhkan putusan, hakim telah salah menerapkan hukum. (2) Menciptakan dan membentuk hukum baru Koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap suatu perkara terkadang membentuk sebuah peraturan hukum baru yang berbentuk yurisprudensi. Meski kadang 17 penafsiran hukum baru ini melanggar ketentuan undangundang (contralegem) akan tetapi tetap diperlukan agar hukum dapat berjalan sesuai dengan perkembangan nilainilai dalam masayarakat. Untuk itu para penegak hukum khususnya hakim perlu memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara-cara penafsiran karena penafsiran yang tepat akan membuat peraturan dapat diterapkan secara baik dan memberikan kepuasan bagi para pihak yang bersangkutan (P.A.F.Lamintang, 2013: 39). (3) Keseragaman Terciptanya Penerapan Hukum Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermasksud mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frmae work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang mencipta yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewengangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap, 2012 : 539-542). c) Alasan Kasasi Kasasi dapat diajukan melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) berdasarkan asalan-alasan atau pertimbanganpertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang menjadi dasar putusan yang kurang jelas (Andi Hamzah, 2009: 298). Alasan pengajuan kasasi telah ditentukan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan bahwa: 18 (1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya; (2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang; (3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya”. Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohinan kasasi, yaitu: (1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; (2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku; (3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. d) Pihak-Pihak yang dapat Mengajukan Kasasi Upaya hukum kasasi dapat diartikan sebagai “hak” yang diberikan kepada terdakawa ataupun penuntut umum apabila merka tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi atau apabila mereka tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan. Menurut Pasal 244 KUHAP, menegaskan bahwa yang berhak mengajukan kasasi adalah Terdakwa dan Penuntut Umum. Mereka Inilah yang berhak mengajukan permohonan kasasi baik “sendiri-sendiri” maupun secara “bersamaan”. Terdakwa saja secara sendirian dapat mengajukan kasasi, demikian juga penuntut umum. Hal ini tidak mengurangi kemungkinan keduanya sama-sama mengajukan kasasi, baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi (M. Yahya Harahap, 2012: 548). 19 e) Tata Cara Pengajuan Kasasi Terkait tata cara pengajuan Kasasi, di dalam KUHAP sendiri telah diatur mengenai tata cara pengajuan Kasasi yaitu sebagai berikut: (1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan (Pasal 245 ayat (1) KUHAP); (2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh panitera serta pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP) (3) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun oleh Terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan Terdakwa sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat (3) KUHAP); (4) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaiman dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246 ayat (1) KUHAP); (5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1), pemohon terlambat mengajukan permohonan kasasi maka hak untuk permohonan kasasi itu gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP); (6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan 20 kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal 247 ayat (1) KUHAP); (7) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan (Pasal 247 ayat (2) KUHAP); (8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3) KUHAP); (9) Permohonan Kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal 247 ayat (4) KUHAP. f) Proses Pemeriksaan pada Tingkat Kasasi Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dalam pengajuan permohonan kasasi, pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasannya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar. Pemeriksaan kasasi sendiri dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi, dan apabila Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan Tingkat Pertama. 21 Adapun terkait prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP yang diuraikan sebagai berikut: (1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung yang terdiri atas: (a). Berita acara pemeriksaan dari penyidik; (b). Berita acara di sidang; (c). Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu; (d). Putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat banding. (2) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan perkara, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri keterangan baik itu dari Terdakwa atau saksi ataupun Penuntut Umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahui atau Mahkamah Agung dapat pula memerintahkan pengadilan tingkat pertama dalam perkara tersebut untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara panggilan yang sama. c. Upaya Hukum Luar Biasa KUHAP telah mengatur tentang upayahukum luar biasa yang merupakan pengecualian adari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur dalam Bab XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap. 1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum 22 Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan pegadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012: 608-609). Permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung, tidak lain dimaksudkan adalah membuka kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah keputusan Mahkamah Agung, yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung, dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri atau pengadilan tinggi terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 288). 2) Peninjauan Kembali Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan, kecuali putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adapun dasar diajukannya permohonan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut: a) Adanya keadaan baru (novum); b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan; c) Apabila terdapat kekhilafan hakim yang nyata dalam putusan. 2. Tinjauan tentang Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum Berdasarkan penjelasan bunyi Pasal 6 huruf (b) KUHAP, secara tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk 23 melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan yang dimaksud dengan Jaksa berdasarkan Pasal 6 huruf (a) KUHAP ialah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Mengenai pengertian Jaksa sendiri kembali ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dari pengertian di atas, dapat diketahui terdapat perbedaan antara Jaksa dan Penuntut Umum. Jaksa adalah pejabat fungsional yang wewenangya tidak hanya di bidang penuntutan tetapi juga memiliki wewenang untuk sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai Jaksa Pengacara Negara atau sebagai penyelidik Tindak Pidana tertentu dan kewenangan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tentang Kejaksaan. Sedangkan yang dimaksud penuntut umum adalah Jaksa yang kewenangannya khusus di bidang penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. b. Kewenangan Penuntut Umum Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang menyatakan penuntut umum mempunyai wewenang yaitu: 1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidik dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dan penyidik; 24 3) memberikan perpanjangan penahanan, melaksanakan penambahan atau penahanan lanjutan atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik; 4) membuat surat dakwaan; 5) melimpahkan perkara ke Pengadilan; 6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara yang disidangkan serta dengan surat pemanggilan baik terhadap terdakwa maupun kepada saksi untuk datang pada sidang yang telah ditentukan. 7) melakukan penuntutan; 8) menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undangundang ini; 10) melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan menurut Bambang Poernomo (1984: 41) bahwa tugas Jaksa dalam rangka penuntutan perkara pidana mempunyai tanggung jawab untuk membuat surat tuduhan yang terang dan mudah dimengerti oleh terdakwa. Selain itu Jaksa juga mempunyai tugas untuk mengajukan tuntutan pidana (requisitoir) setelah pemeriksaan perkara diangap selesai di persidangan. Peranan kejaksaan dalam proses perkara pidana masih dibebani lagi dengan tugas lainnya di bidang pengawasan serta beberapa kewenangan lain yang menyangkut keperdataan. Sedangkan mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugas dan wewenang Jaksa Agung: 1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan; 2) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang; 3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum; 4) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara; 5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana; 6) Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena 25 3. keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. . Tinjauan tentang Judex Factie dan Judex Juris a. Judex Factie Judex Factie merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin. Judex yang berarti hakim dan Factie yang berarti fakta. Sehingga yang dimaksud dengan Judex Factie adalah Hakim yang memeriksa duduknya perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemukan di persidangan baik di tingkat pegadilan negeri maupun di tingkat pengadilan tinggi. Judex factie merupakan badan peradilan yang memeriksa fakta-fakta tentang terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara adalah berdasarkan surat dakwaan yang telah disusun sedemikian rupa oleh Penuntut Umum. Dari pemeriksaan perkara tersebut maka akan terungkap fakta-fakta di persidangan yang menjadi penilaian serta pertimbangan hakim untuk memberikan putusan atas tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Hal tersebulah yang membedakannya dengan judex juris yang memeriksa penerapan hukumnya atau dengan kata lain penerapan hukum Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara yang telah menjadi kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan (Lioni Aulia Rici Koespermata Dewi, 2013: 16-17). b. Judex Yuris Peran seorang hakim dalam menentukan hukum yang seharusnya diterapkan terhadap fakta-fakta dalam kasus yang dia adili dan dalam menerapkan hukum tersebut terhadap fakta yang ada. Pada umumnya di Indonesia hanya Mahkamah Agung berperan secara eksklusif sebagai judex juris sehingga Mahkamah Agung tidak menentukan fakta-fakta. Tujuan utama dari Mahkamah Agung adalah untuk menilai apakah penerapan hukum dalam suatu kasis sudah tepat dan memiliku dasar 26 hukum yang kuat. Di negara yang menganut tradisi common law, pengadilan tertinggi lazimya memiliki bagian yang menangai kedua jenis banding, baik judex juris maupun judex factie (Ratih Perwira Hutami, 2013: 20). Menurut Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman wewenang Mahkamah Agung ialah : 1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain; 2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan 3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. 4. Tinjauan tentang Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harapap, 2012 : 273). Di Indonesia KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun seperti itu banyak referensi buku dan pendapat beberapa ahli yang memberikan pengertian tentang pembuktian itu sendiri. Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah, ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik hakim,jaksa penuntutuum, terdakwa maupun penasehat hukum (Aditya Heri Kristianto, 2014: 7). Dalam sidang pengadilan biasanya 27 pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian ditentukan apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat atatu tidak dimintai pertanggungjawabannya terhadap terdakwa yang sedang diadili (Eddy O.S. Hiariej, 2013: 93). Sistem pembuktian pembuktian perkara pidana di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 183 bahwa “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. b. Sistem Pembuktian 1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu (Conviction-in Time) Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakim yang menyimpulkan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti iti diabaikan hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem permbuktian conviction-in time, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semaata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukungoleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa (M.Yahya Harahap, 2012 : 277). 28 2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction raisonnee) Sistem atau teori pembuktian ini sangat bertolak belakang dengan teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif. Dalam teori ini diperlukan adanya keyakinan hakim sendiri untuk memutuskan salah atau tidaknya terdakwa, sebab disadari bahwa alat bukti pengakuan terdakwa tidak harus membuktikan kebenaran atau kesalahan terdakwa. Dalam teori ini sama sekali tidak membutuhkan suatu peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatunya kepada kebijaksanaan dan pendapat hakim yang bersifat subjektif atau perseorangan. Dengan kata lain, dalam teori ini cukuplah bahwa hakim mendasarkan terbuktinya suatu kedadaan atas keyakinan belaka tanpa terikat pada suatu peraturan. Hakim dalam menentukan hanya didasarkan pada perasaannya saja, apakah suatu peristiwa atau keadaan terbukti sebagai kesalahan terdakwa ataukah tidak (Andi Sofyan, Abd Asis, 2014: 234). 3) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positif wettelijke bewijs theorie) Sistem pembuktian ini adalah sistem pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat bukti yang disebutkan dalam undangundang. Dikatakan secara positif kearena hanya didasarkan dalam undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga dengan teori pembuktian formal (formale ebewijstheorie) (Andi Hamzah, 2009 : 247). 4) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif negatief wettelijk) Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang 29 positif dengan sistem pembuktian conviction-in time. Sistem pembutian menurut undang-undang secara negatif merupakan keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim. Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan haim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang (M.Yarahap, 2012 : 277-278). c. Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenarannya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11). 1) Keterangan Saksi Pengertian dari saksi diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP yang menyebutkan bahwa, “saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentngan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lhat sendiri dan ia alami sendiri”. Keterangan saksi adalah salah-satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keteranagan dari saksi mengenai suatu peritiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya ini (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang pengdilan. Dengan perkataan lain hanya keterangan saksi yang diberikan dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang berlaku sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatannya yang didakwakan kepada (unus tettisnullus testis) (Pasal 185 ayat (2) KUHAP). 30 Syarat sahnya keterangan saksi harus mengucapkan sumpah atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum memberikan keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya masing-masing. Bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya Saksi di dalam memberikan kesaksian atau keterangan dalam suatu perkara pidana undang-undang telah memberikan hak-hak, sebagaimana diatur di dalam KUHAP, sebagaimana berikut : a) Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saksi diperiksa (Pasal 173 KUHAP); b) Hakuntuk mendapatkan penerjemah atas saksi yang tidak paham bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP); c) Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP); d) Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambatlambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1 KUHAP); e) Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di sidang pengadilan (Pasal 229 ayat 1 KUHAP). 2) Keterangan Ahli Di dalam KUHAP telah merumuskan pengertian tentang keterangan ahli, sebagai berikut : a) Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, bahwa “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. b) Menurut Pasal 186 KUHAP, bahwa Keterangan ahli ialah apa yang seeorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP setelah keterangan saksi. 31 Artinya bahwa keterangan ahli juga memegang peranan penting dalam pembuktian (Andi Hamzah, 2009: 272). Seorang ahli yang memberikan keterangan tidak mesti harus menyaksikan atau mengalamu peristiwa secara langsung suatu tindak pidana seperti saksi lainnya, akan tetapi dengan berdasarkan keahlian, ketrampilan, pengalaman maupun pengetahuan yang ia miliki dapat memberikan keteranganketerangan tentang sebab akibat suatu periswtiwa atau fakta tertentu dari alat bukti yang ada, kemudian menyimpulkan pendapatnya untuk membantuk membuat terangnya suatu perkara (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014 : 246-245). 3) Surat Alat bukti surat adalah segala yang mengandung tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi Hamzah,2009:271). Nilai kekuatan pembuktian surat dalam hukum acara pidana dilihat dari : a) Segi Formil ` Dalam segi formil, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP adalah bukti yang sempurna, artinya sudah benar kecuali dilumpuhkan alat bukti lain, dan semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan perbuatannya. b) Segi Materiil Dalam segi materiil alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP adalah alat bukti surat bukan merupakan alat bukti yang mengikat dan bersifat bebas, hal ini didasarkan pada asas tujuan hukum acara pidana, asas keyakinan hakim, asas batas minimum pembuktian. Menurut Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu : 32 (1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu kejadian yang didengar/dilihat/didalami sendiri disertai alasan yang jelas mengenai keterangan tersebut; (2) Surat yang dibuat menurunkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam fakta laksana yang menjadi tanggung jawabnya; (3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan berdasarkan keahliannya mengenal suatu hal yang diminta secara resmi kepadanya; (4) Surat lain yang berhubungan dengan alat bukti yang lain (H. Rusli Muhammad, 2007 : 196). 4) Petunjuk Menurut Pasal 188 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti petunjuk adalah : a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya; b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : (1) Keterangan saksi; (2) Surat; (3) Keterangan terdakwa. c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya. 5) Keterangan Terdakwa 33 Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat bukti berupa keterangan terdakwa, adalah: a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri; b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh sebuah alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya; c) Keterangan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap dirinya seendiri; d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Jadi berdasarkan Pasal 189 KUHAP diatas, bahwa keterangan terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang saja (Andi Sofyan dan Abd. Asis : 2014 : 265). 5. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Pasal 339 KUHP a. Tindak Pidana Pembunuhan Pembunuhan merupakan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan cara yang melanggar hukum, ataupun yang tidak melawan hukum. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam motif, misalnya politik, kecemburun, dendam, membela diri, dan sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang paling umum dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam. Pembunuhan dapat juga dilakukan dengan menggunakan bahan peledak seperti bom. Pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi 34 “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” Dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan dikualifikasikan dalam kejahatan terhadap nyawa manusia. Tindak pidana terhadap nyawa dimuat dalam Bab XIX KUHP, yang diatur dalam Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 KUHP. Kejahatan terhadap jiwa manusia merupakan penyerangan terhadap kehidupan manusia. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan obyek kejahatan dalam hal ini adalah jiwa manusia. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat dalam KUHP adalah sebagai berikut : 1) Pembunuhan (Pasal 338); 2) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339); 3) Pembunuhan berencana (Pasal 340); 4) Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341); 5) Pembunhan bayi berencana (Pasal 342); 6) Pembunhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344); 7) Membujuk atau membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345); 8) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346); 9) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347); 10) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya (Pasal 348);. 11) Dokter/bidan/tukang obat yang membantu penguguran/matinya kandungan (Pasal 349). b. Unsur-Unsur Pembunuhan Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan senagaja dalam bentuk pokok dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang menyatakan bahwa: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Apabila Pasal tersebut dirinci, maka unsur-unsurnya terdiri dari : 1) Unsur Objektif 35 a) Perbuatan menghilangkan nyawa; b) Objeknya : nyawa orang lain 2) Unsur Subjektif dengan sengaja Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi, antara lain: a) Adanya wujud perbuatan; b) Adanya suatu kematian; c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat kematian. c. Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Pasal 339 KUHP Pasal 339 KUHP mengatur tentang pembunuhan yang berbunyi “Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbutan pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Maksud dari pembunuhan dengan pemberatan yaitu diikuti, disertai atau didahului oleh kejahatan atau diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain. Perlu dicatat bahwa tertangkap basah harus benar-benar terjadi. Tidak cukup apabila hanya si pelaku ada kekhawatiran akan ditangkap basah. Istilah tertangkap basah, ada suatu definisi yang termuat dalam Pasal 57 Herziene Indonesische Reglement atau HIR. Menurut Pasal ini, tertangkap basah (ontdekking of heter daad) terjadi apabila kejahatan atau pelanggaran kedapatan sedang dilakukan atau dengan segera kedapatan setelah dilakukan, atau apabila seseorang sesudah itu dengan segera dilakukan, atau apabila seseorang sesudah itu dengan segera 36 diserukan suara orang banyak sebagai pelaku, atau apabila padanya kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat-alat, atau surat-surat yang menunjukan bahwa dialah orang yang berbuat atau membantunya. Tindak pidana yang menyertai pembunuhan ini dapat baru berupa percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu, asal saja percobaan itu juga dapat dikenakan hukuman berdasarkan Pasal 53 KUHP (Wirjono Prodjodikoro, 2013: 72). 37 B. Kerangka Pemikiran PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Pasal 399 KUHP PUTUSAN PN NOMOR : 210/Pid.B/2012/PN.Msb PUTUSAN PT NOMOR : 113/PID.B/ 2012/PT.MKS ALASAN KASASI Pasal 253 KUHAP Diajukan oleh Penuntut Umum Dikabulkan Alasan Kasasi Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Putusan Mahkamah Agung Nomor 1086 K/PID/2013 Bagan 1. Gambar Kerangka Pemikiran 38 Keterangan : Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai perkara Tindak Pidana Pembunuhan menurut Pasal 339 KUHP Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP bahwa suatu pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 KUHAP guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Meninjau perkara Tindak Pidana Pembunuhan menurut Pasal 339 sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1086K/Pid/2013 bahwa atas putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Masamba yang amarnya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan menurut Pasal 339 yang didakwakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Masamba Nomor : 210/ Pid.B/ 2012/PN.Msb. Penuntut Umum mengajukan banding sekedar mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa yang akhirnya mengeluarkan putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor 113/PID.B/ 2012/PT.MKS. Penuntut umum dalam mengajukan kasasi tersebut beralasan Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Makasar tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan cara mengadili yang tidak berdasarkan atau tidak menurut ketentuan Undang-Undang yang mana alasan tersebut menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1086 K/PID/2013 yang amarnya pembatalan putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor 113/PID.B/ 2012/PT.MKS yang memperbaiki putusan 210/Pid.B/2012/PN.Masamba. Pengadilan Negeri Masamba Nomor