13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Tinjauan tentang Upaya Hukum
a.
Pengertian Upaya Hukum
Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau Penuntut Umum yang
dapat dipergunakan apabila Terdakwa ataupun Penuntut Umum merasa
tidak puas atas putusan yang diberikan oleh Pengadilan. Maksud dari
upaya hukum sendiri dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP yang
menjelaskan bahwa:
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
ada dua macam upaya hukum yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum
luar biasa. Upaya hukum biasa diatur di dalam BAB XVII, sedangkan
upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII.
b. Upaya Hukum biasa
Upaya hukum biasa diatur di dalam Bab XVII, Bagian Kesatu dari
Pasal 233 sampai dengan Pasal 234 KUHAP tentang pemeriksaan tingkat
banding, dan Bagian Kedua dari Pasal 244 sampai dengan Pasal 258
KUHAP tentang pemeriksaan tingkat kasasi.
Upaya hukum biasa adalah hak terdakwa dan penuntut umum
untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama
(judex factie), sehingga maksud dari upaya hukum dari terdakwa atau
penuntut umum tidak dapat menerima putusan tersebut yaitu untuk
memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya,
13
14
untuk kesatuan dalam pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap
tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan (Andi Sofyan dan Abd.
Asis, 2014 : 269).
1) Banding
Pemeriksaan tingkat banding dalam hukum pidana diatur
dalam Pasal 233 sampai dengan Pasal 234 KUHAP. Pengajuan
banding diajukan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari
sesudah putusan dijatuhkan, atau setelah putusan diberitahukan
kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan.
Pengajuan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu
tersebut harus ditolak dengan membuat surat keterangan.
Setiap putuan pengadilan dapat diajukan permohonan banding,
tetapi ada perkecualiannya yang sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 67 KUHAP. Pengecualian untuk mengajukan banding menurut
Pasal 67 KUHAP yaitu : Putusan bebas, lepas dari segala tuntutan
hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum
dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
“In the essence of Article 67 of the Criminal Procedure Code
contains things about the principle of legal efforts associated with
acquittal. Like the defendant or the prosecutor is entitled to request
an appeal, unless the acquittal can not be appealed. Only the form of
rights, there is no form of authority granted by the legislature to the
public prosecutor to file an appeal against the acquittal.( Pokok dari
Pasal 67 KUHAP berisi hal-hal tentang prinsip upaya hukum terkait
dengan vonis bebas. Seperti terdakwa atau jaksa adalah berhak
meminta banding, kecuali putusan bebas tidak dapat diajukan
banding. Hanya berupa hak, tidak ada bentuk kewenangan yang
diberikan oleh legislatif kepada penuntut umum untuk mengajukan
banding terhadap putusan bebas)” (I Gede Artha, 2013: 4).
15
2) Kasasi
a) Pengertian Kasasi
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kasasi adalah pembatalan
yaitu suatu tindakan Mahkamah Agung sebagai pengawasan
tertinggi atas putusan-putusan pengadilan-pengadilan lain. Pada
asasnya kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi
kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui
kekuasaan kehakimannya (Andy Sofyan, Abd. Asis, 2014: 279).
Pasal 244 KUHAP menyatakan bahwa terhadap putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau
penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung kecuali putusan bebas.
“The Supreme Court is the apex of the court system in
Indonesia and as such one of its primary functions is the
supervision of lower courts within its jurisdiction, The Supreme
Court is the apex of the court system in Indonesia and as such
one of its primary functions is the supervision of lower courts
within its jurisdiction ( Mahkamah Agung adalah puncak dari
sistem pengadilan di Indonesia dan dengan demikian salah satu
fungsi utamanya adalah pengawasan pengadilan yang lebih
rendah dalam yurisdiksinya, Mahkamah Agung adalah puncak
dari sistem pengadilan di Indonesia dan dengan demikian salah
satu fungsi utamanya adalah pengawasan pengadilan yang lebih
rendah dalam yurisdiksinya)” (Hikmahanto Juwana et al, 2005:
54).
Selain pengertian dari KUHAP tersebut, kasasi juga dapat
diartikan bahwa:
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan
merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundangundangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari
kata “Cassation” dengan kata kerta “Casser” artinya
16
membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat
diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau
penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah
menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah
Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi
tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan
tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum,
mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat lain
yang harus dipenuhi. Secara yuridis formal permohoonan
kasasi dapat diterima apabila memenuhi syarat formal
antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi,surat
kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang
disediakan oleh hukum acara (verzet, banding),
memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P
Pangabean, 2001: 201).
b) Tujuan Kasasi
Tujuan kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan
dengan
undang-undang
atau
keliru
dalam
penerapan hukumnya (Andi Hamzah, 2009: 297). Adapun
tujuan utama upaya hukum kasasi antara lain sebagai berikut :
(1) Guna melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan
dibawahnya yang dikenal sebagi judex juris agar peraturan
hukum benar-benar diterapkan sebagaimana mestinya demi
terwujudnya
keadilan
dan
kebenaran
yang
hakiki.
Kebanyakan orang melakukan kasasi dikarenakan rasa
ketidakpuasannya terhadap putusan hakim. Penyebab utama
bukan masalah berat ringannya hukuman yang dijatuhkan
melainkan karena para pihak merasa bahwa dalam
menjatuhkan putusan, hakim telah salah menerapkan
hukum.
(2) Menciptakan dan membentuk hukum baru
Koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung terhadap
suatu perkara terkadang membentuk sebuah peraturan
hukum baru yang berbentuk yurisprudensi. Meski kadang
17
penafsiran hukum baru ini melanggar ketentuan undangundang (contralegem) akan tetapi tetap diperlukan agar
hukum dapat berjalan sesuai dengan perkembangan nilainilai dalam masayarakat. Untuk itu para penegak hukum
khususnya hakim perlu memiliki pengetahuan yang cukup
tentang cara-cara penafsiran karena penafsiran yang tepat
akan membuat peraturan dapat diterapkan secara baik dan
memberikan kepuasan bagi para pihak yang bersangkutan
(P.A.F.Lamintang, 2013: 39).
(3) Keseragaman Terciptanya Penerapan Hukum
Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermasksud
mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum
atau unified legal frmae work dan unified legal opinion.
Dengan
adanya
putusan
kasasi
yang
mencipta
yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan
dan titik tolak penerapan hukum, dengan adanya upaya
hukum kasasi, dapat terhindari kesewengangan dan
penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda
dalam
memanfaatkan
kebebasan
kedudukan
yang
dimilikinya (M. Yahya Harahap, 2012 : 539-542).
c) Alasan Kasasi
Kasasi dapat diajukan melalui jalur kelalaian dalam acara
(vormverzuim) berdasarkan asalan-alasan atau pertimbanganpertimbangan yang ditentukan oleh undang-undang yang
menjadi dasar putusan yang kurang jelas (Andi Hamzah, 2009:
298).
Alasan pengajuan kasasi telah ditentukan dalam Pasal 253
ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Pemeriksaan dalam tingkat
kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para
pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248
guna menentukan bahwa:
18
(1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
(2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
(3) Apakah
benar
pengadilan
telah
melampaui
batas
wewenangnya”.
Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan
dalam permohinan kasasi, yaitu:
(1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
(2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
(3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian
itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
d) Pihak-Pihak yang dapat Mengajukan Kasasi
Upaya hukum kasasi dapat diartikan sebagai “hak” yang
diberikan kepada terdakawa ataupun penuntut umum apabila
merka tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi atau apabila
mereka tidak puas terhadap Putusan Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan Putusan Lepas dari Segala Tuntutan. Menurut
Pasal
244
KUHAP,
menegaskan
bahwa
yang
berhak
mengajukan kasasi adalah Terdakwa dan Penuntut Umum.
Mereka Inilah yang berhak mengajukan permohonan kasasi baik
“sendiri-sendiri” maupun secara “bersamaan”. Terdakwa saja
secara sendirian dapat mengajukan kasasi, demikian juga
penuntut umum. Hal ini tidak mengurangi kemungkinan
keduanya sama-sama mengajukan kasasi, baik terdakwa maupun
penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi (M.
Yahya Harahap, 2012: 548).
19
e) Tata Cara Pengajuan Kasasi
Terkait tata cara pengajuan Kasasi, di dalam KUHAP
sendiri telah diatur mengenai tata cara pengajuan Kasasi yaitu
sebagai berikut:
(1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada
Panitera Pengadilan Negeri yang telah memutus perkaranya
dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari (empat belas)
hari sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu
diberitahukan (Pasal 245 ayat (1) KUHAP);
(2) Permintaan tersebut oleh Panitera ditulis dalam sebuah surat
keterangan
yang
ditandatangani
oleh
panitera
serta
pemohon, dan dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada
berkas perkara (Pasal 245 ayat (2) KUHAP)
(3) Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan
kasasi, baik yang diajukan oleh Penuntut Umum maupun
oleh Terdakwa atau oleh Penuntut Umum dan Terdakwa
sekaligus, maka panitera wajib memberitahukan permintaan
dari pihak yang satu kepada pihak yang lain (Pasal 245 ayat
(3) KUHAP);
(4) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) telah lewat tanpa
diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, maka
yang bersangkutan dianggap menerima putusan (Pasal 246
ayat (1) KUHAP);
(5) Dalam hal tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 246 ayat (1), pemohon terlambat mengajukan
permohonan kasasi maka hak untuk permohonan kasasi itu
gugur (Pasal 246 ayat (2) KUHAP);
(6) Selama perkara permohonan kasasi belum diputus oleh
Mahkamah Agung, permohonan kasasi itu dapat dicabut
sewaktu-waktu dan apabila sudah dicabut, permohonan
20
kasasi dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi (Pasal
247 ayat (1) KUHAP);
(7) Jika pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim
ke Mahkamah Agung, berkas tersebut tidak jadi dikirimkan
(Pasal 247 ayat (2) KUHAP);
(8) Apabila perkara telah mulai diperiksa, akan tetapi belum
diputus, sedangkan sementara itu pemohon mencabut
permohonan kasasinya, maka pemohon dibebani membayar
biaya perkara yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung hingga saat pencabutannya (Pasal 247 ayat (3)
KUHAP);
(9) Permohonan Kasasi hanya dapat dilakukan satu kali (Pasal
247 ayat (4) KUHAP.
f)
Proses Pemeriksaan pada Tingkat Kasasi
Sesuai dengan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 14 tahun
1985 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung, dalam pengajuan permohonan kasasi,
pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat
alasan-alasannya dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.
Pemeriksaan kasasi sendiri dilakukan oleh Mahkamah Agung,
berdasarkan surat-surat dan hanya jika dipandang perlu
Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi,
atau memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat
Banding yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak
atau para saksi, dan apabila Mahkamah Agung membatalkan
Putusan Pengadilan dan mengadili sendiri perkara tersebut,
maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku bagi Pengadilan
Tingkat Pertama.
21
Adapun terkait prosedur pemeriksaan pada tingkat kasasi
diatur dalam Pasal 253 ayat (2) dan (3) KUHAP yang diuraikan
sebagai berikut:
(1) Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan dengan
sekurang-kurangnya tiga orang hakim atas dasar berkas
perkara yang diterima dari Pengadilan lain dari pada
Mahkamah Agung yang terdiri atas:
(a). Berita acara pemeriksaan dari penyidik;
(b). Berita acara di sidang;
(c). Semua surat yang timbul di sidang yang berhubungan
dengan perkara itu;
(d). Putusan pengadilan tingkat pertama dan atau tingkat
banding.
(2) Jika dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan
perkara, Mahkamah Agung dapat mendengar sendiri
keterangan
baik itu dari Terdakwa atau saksi ataupun
Penuntut Umum, dengan menjelaskan secara singkat dalam
surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin
diketahui
atau
Mahkamah
Agung
dapat
pula
memerintahkan pengadilan tingkat pertama dalam perkara
tersebut untuk mendengar keterangan mereka, dengan cara
panggilan yang sama.
c.
Upaya Hukum Luar Biasa
KUHAP telah mengatur tentang upayahukum luar biasa yang
merupakan pengecualian adari upaya hukum biasa, sebagaimana diatur
dalam Bab XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259 sampai dengan Pasal 262
KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum dan Bagian Kedua dari
Pasal 263 sampai dengan Pasal 269 KUHAP tentang peninjauan kembali
atas putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap.
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum
22
Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan
terhadap putusan pegadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah
berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan
kembali, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan
atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan
Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012: 608-609).
Permintaan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung,
tidak lain dimaksudkan adalah membuka kemungkinan bagi
perubahan atas putusan pengadilan di bawah keputusan Mahkamah
Agung, yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa Agung, dengan kata
lain putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri atau pengadilan
tinggi terlalu berat yang tidak sesuai dengan tuntutan penuntut umum
(Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014: 288).
2) Peninjauan Kembali
Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan, kecuali
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adapun dasar
diajukannya permohonan Peninjauan Kembali adalah sebagai
berikut:
a) Adanya keadaan baru (novum);
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan;
c) Apabila terdapat kekhilafan hakim yang nyata dalam putusan.
2.
Tinjauan tentang Penuntut Umum
a.
Pengertian Penuntut Umum
Berdasarkan penjelasan bunyi Pasal 6 huruf (b) KUHAP, secara
tegas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Penuntut Umum adalah
Jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk
23
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan
yang dimaksud dengan Jaksa berdasarkan Pasal 6 huruf (a) KUHAP ialah
pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-undang ini untuk bertindak
sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mengenai pengertian Jaksa sendiri kembali ditegaskan dalam Pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yang berbunyi:
Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui terdapat perbedaan antara
Jaksa dan Penuntut Umum. Jaksa adalah pejabat fungsional yang
wewenangya tidak hanya di bidang penuntutan tetapi juga memiliki
wewenang untuk sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai Jaksa Pengacara Negara atau
sebagai penyelidik Tindak Pidana tertentu dan kewenangan lainnya yang
diatur dalam Undang-Undang tentang Kejaksaan. Sedangkan yang
dimaksud penuntut umum adalah Jaksa yang kewenangannya khusus di
bidang penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
b. Kewenangan Penuntut Umum
Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana yang menyatakan penuntut umum mempunyai
wewenang yaitu:
1) menerima dan memeriksa berkas perkara penyidik dari penyidik
atau penyidik pembantu;
2) mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan penyidik
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4),
dengan memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dan penyidik;
24
3) memberikan
perpanjangan
penahanan,
melaksanakan
penambahan atau penahanan lanjutan atau mengubah status
tahanan setelah perkara dilimpahkan oleh penyidik;
4) membuat surat dakwaan;
5) melimpahkan perkara ke Pengadilan;
6) menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara yang disidangkan serta dengan
surat pemanggilan baik terhadap terdakwa maupun kepada saksi
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
7) melakukan penuntutan;
8) menutup perkara demi kepentingan hukum;
9) mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawabnya sebagai penuntut umum menurut ketentuan Undangundang ini;
10) melaksanakan penetapan hakim.
Sedangkan menurut Bambang Poernomo (1984: 41) bahwa tugas
Jaksa dalam rangka penuntutan perkara pidana mempunyai tanggung
jawab untuk membuat surat tuduhan yang terang dan mudah dimengerti
oleh terdakwa. Selain itu Jaksa juga mempunyai tugas untuk mengajukan
tuntutan pidana (requisitoir) setelah pemeriksaan perkara diangap selesai
di persidangan. Peranan kejaksaan dalam proses perkara pidana masih
dibebani lagi dengan tugas lainnya di bidang pengawasan serta beberapa
kewenangan lain yang menyangkut keperdataan.
Sedangkan mengenai tugas dan wewenang Jaksa Agung diatur
dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia. Adapun tugas dan wewenang Jaksa
Agung:
1) Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum
dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang
kejaksaan;
2) Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang;
3) Mengesampingkan perkara demi kepentingan hukum;
4) Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
5) Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada
Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
6) Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena
25
3.
keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
.
Tinjauan tentang Judex Factie dan Judex Juris
a.
Judex Factie
Judex Factie merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin.
Judex yang berarti hakim dan Factie yang berarti fakta. Sehingga yang
dimaksud dengan Judex Factie adalah Hakim yang memeriksa duduknya
perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemukan di persidangan
baik di tingkat pegadilan negeri maupun di tingkat pengadilan tinggi.
Judex factie merupakan badan peradilan yang memeriksa fakta-fakta
tentang terjadinya suatu tindak pidana yang didakwakan kepada
terdakwa. Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara adalah
berdasarkan surat dakwaan yang telah disusun sedemikian rupa oleh
Penuntut Umum. Dari pemeriksaan perkara tersebut maka akan
terungkap fakta-fakta di persidangan yang menjadi penilaian serta
pertimbangan hakim untuk memberikan putusan atas tindak pidana yang
didakwakan kepada terdakwa.
Hal tersebulah yang membedakannya dengan judex juris
yang
memeriksa penerapan hukumnya atau dengan kata lain penerapan hukum
Judex Factie dalam memeriksa dan memutus perkara yang telah menjadi
kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan (Lioni Aulia
Rici Koespermata Dewi, 2013: 16-17).
b. Judex Yuris
Peran seorang hakim dalam menentukan hukum yang seharusnya
diterapkan terhadap fakta-fakta dalam kasus yang dia adili dan dalam
menerapkan hukum tersebut terhadap fakta yang ada. Pada umumnya di
Indonesia hanya Mahkamah Agung berperan secara eksklusif sebagai
judex juris sehingga Mahkamah Agung tidak menentukan fakta-fakta.
Tujuan utama dari Mahkamah Agung adalah untuk menilai apakah
penerapan hukum dalam suatu kasis sudah tepat dan memiliku dasar
26
hukum yang kuat. Di negara yang menganut tradisi common law,
pengadilan tertinggi lazimya memiliki bagian yang menangai kedua jenis
banding, baik judex juris maupun judex factie (Ratih Perwira Hutami,
2013: 20).
Menurut Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman wewenang Mahkamah Agung ialah :
1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain;
2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang; dan
3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
4.
Tinjauan tentang Pembuktian
a.
Pengertian Pembuktian
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan (M. Yahya Harapap, 2012 : 273).
Di Indonesia KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai
pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah
menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Walaupun seperti itu banyak referensi buku dan pendapat beberapa ahli
yang memberikan pengertian tentang pembuktian itu sendiri. Pembuktian
dalam pengertian hukum acara pidana adalah, ketentuan yang membatasi
sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran,
baik hakim,jaksa penuntutuum, terdakwa maupun penasehat hukum
(Aditya Heri Kristianto, 2014: 7). Dalam sidang pengadilan biasanya
27
pembuktian dimulai dengan adanya perbuatan pidana, baru kemudian
ditentukan apakah perbuatan pidana yang telah dilakukan dapat atatu
tidak dimintai pertanggungjawabannya terhadap terdakwa yang sedang
diadili (Eddy O.S. Hiariej, 2013: 93).
Sistem pembuktian pembuktian perkara pidana di Indonesia
didasarkan pada ketentuan Pasal 183 bahwa “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
b. Sistem Pembuktian
1) Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim
Melulu (Conviction-in Time)
Sistem pembuktian conviction-in time menentukan salah
tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian
“keyakinan”
hakim.
Keyakinan
hakim
yang
menyimpulkan
keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan
menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem
ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat
bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil
pemeriksaan alat-alat bukti iti diabaikan hakim, dan langsung
menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Sistem permbuktian conviction-in time, sudah barang tentu
mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman
pada seorang terdakwa semaata-mata atas “dasar keyakinan” belaka
tanpa didukungoleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun
kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang
lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa
(M.Yahya Harahap, 2012 : 277).
28
2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas
alasan yang logis (Laconviction raisonnee)
Sistem atau teori pembuktian ini sangat bertolak belakang
dengan teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Dalam teori ini diperlukan adanya keyakinan hakim sendiri untuk
memutuskan salah atau tidaknya terdakwa, sebab disadari bahwa alat
bukti pengakuan terdakwa tidak harus membuktikan kebenaran atau
kesalahan terdakwa.
Dalam teori ini sama sekali tidak membutuhkan suatu
peraturan tentang pembuktian, dan menyerahkan segala sesuatunya
kepada kebijaksanaan dan pendapat hakim yang bersifat subjektif
atau perseorangan. Dengan kata lain, dalam teori ini cukuplah bahwa
hakim mendasarkan terbuktinya suatu kedadaan atas keyakinan
belaka tanpa terikat pada suatu peraturan. Hakim dalam menentukan
hanya didasarkan pada perasaannya saja, apakah suatu peristiwa atau
keadaan terbukti sebagai kesalahan terdakwa ataukah tidak (Andi
Sofyan, Abd Asis, 2014: 234).
3) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
positif (positif wettelijke bewijs theorie)
Sistem pembuktian ini adalah sistem pembuktian yang
didasarkan melulu kepada alat bukti yang disebutkan dalam undangundang. Dikatakan secara positif kearena hanya didasarkan dalam
undang-undang melulu, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan
sesuai dengan alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut
juga dengan teori pembuktian formal
(formale ebewijstheorie)
(Andi Hamzah, 2009 : 247).
4) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif negatief wettelijk)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang
29
positif dengan sistem pembuktian
conviction-in time. Sistem
pembutian menurut undang-undang secara negatif merupakan
keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang
secara ekstrim. Rumusannya berbunyi : salah tidaknya seorang
terdakwa ditentukan oleh keyakinan haim yang didasarkan kepada
cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang
(M.Yarahap, 2012 : 277-278).
c.
Alat Bukti
Alat bukti adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan
suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan
hakim atas kebenarannya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh
terdakwa (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003: 11).
1) Keterangan Saksi
Pengertian dari saksi diatur dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP
yang menyebutkan bahwa, “saksi adalah orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentngan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lhat sendiri dan ia alami sendiri”. Keterangan saksi adalah salah-satu
alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keteranagan dari saksi
mengenai suatu peritiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya ini (Pasal 1 angka 27 KUHAP). Keterangan saksi
sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di muka sidang
pengdilan. Dengan perkataan lain hanya keterangan saksi yang
diberikan dalam pemeriksaan disidang pengadilan yang berlaku
sebagai alat bukti yang sah (Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Keterangan
seorang saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa
bersalah terhadap perbuatannya yang didakwakan kepada (unus
tettisnullus testis) (Pasal 185 ayat (2) KUHAP).
30
Syarat sahnya keterangan saksi harus mengucapkan sumpah
atau janji. Hal ini diatur dalam Pasal 160 ayat (3), sebelum
memberikan keterangan saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji
menurut agamanya masing-masing. Bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya
Saksi di dalam memberikan kesaksian atau keterangan dalam
suatu perkara pidana undang-undang telah memberikan hak-hak,
sebagaimana diatur di dalam KUHAP, sebagaimana berikut :
a) Hak untuk diperiksa tanpa hadirnya terdakwa pada saksi
diperiksa (Pasal 173 KUHAP);
b) Hakuntuk mendapatkan penerjemah atas saksi yang tidak paham
bahasa Indonesia (Pasal 177 ayat 1 KUHAP);
c) Hak saksi yang bisu atau tuli dan tidak bisa menulis untuk
mendapatkan penerjemah (Pasal 178 ayat 1 KUHAP);
d) Hak untuk mendapatkan pemberitahuan sebelumnya selambatlambatnya 3 hari sebelum menghadiri sidang (Pasal 227 ayat 1
KUHAP);
e) Hak untuk mendapatkan biaya pengganti atas kehadiran di
sidang pengadilan (Pasal 229 ayat 1 KUHAP).
2) Keterangan Ahli
Di dalam KUHAP telah merumuskan pengertian tentang keterangan
ahli, sebagai berikut :
a) Menurut Pasal 1 angka 28 KUHAP, bahwa “Keterangan ahli
adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
b) Menurut Pasal 186 KUHAP, bahwa Keterangan ahli ialah apa
yang seeorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada
urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP setelah keterangan saksi.
31
Artinya bahwa keterangan ahli juga memegang peranan penting
dalam pembuktian (Andi Hamzah, 2009: 272).
Seorang ahli yang memberikan keterangan tidak mesti
harus menyaksikan atau mengalamu peristiwa secara langsung
suatu tindak pidana seperti saksi lainnya, akan tetapi dengan
berdasarkan
keahlian,
ketrampilan,
pengalaman
maupun
pengetahuan yang ia miliki dapat memberikan keteranganketerangan tentang sebab akibat suatu periswtiwa atau fakta
tertentu dari alat bukti yang ada, kemudian menyimpulkan
pendapatnya untuk membantuk membuat terangnya suatu
perkara (Andi Sofyan dan Abd. Asis, 2014 : 246-245).
3) Surat
Alat bukti surat adalah segala yang mengandung tanda baca yang
dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran (Andi
Hamzah,2009:271). Nilai kekuatan pembuktian surat dalam hukum
acara pidana dilihat dari :
a) Segi Formil
`
Dalam segi formil, alat bukti surat yang disebut pada Pasal
187 huruf a, b dan c KUHAP adalah bukti yang sempurna,
artinya sudah benar kecuali dilumpuhkan alat bukti lain, dan
semua pihak tidak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan
perbuatannya.
b) Segi Materiil
Dalam segi materiil alat bukti surat yang disebut dalam
Pasal 187 KUHAP adalah alat bukti surat bukan merupakan alat
bukti yang mengikat dan bersifat bebas, hal ini didasarkan pada
asas tujuan hukum acara pidana, asas keyakinan hakim, asas
batas minimum pembuktian.
Menurut Pasal 187 KUHAP disebutkan secara luas
bentuk-bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yaitu :
32
(1) Berita acara atau surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh dihadapan pejabat yang berwenang mengenai suatu
kejadian yang didengar/dilihat/didalami sendiri disertai
alasan yang jelas mengenai keterangan tersebut;
(2) Surat
yang dibuat
menurunkan ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam fakta laksana yang menjadi tanggung
jawabnya;
(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat keterangan
berdasarkan keahliannya mengenal suatu hal yang diminta
secara resmi kepadanya;
(4) Surat lain yang berhubungan dengan alat bukti yang lain (H.
Rusli Muhammad, 2007 : 196).
4) Petunjuk
Menurut Pasal 188 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat
bukti petunjuk adalah :
a) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya;
b) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diperoleh dari :
(1)
Keterangan saksi;
(2)
Surat;
(3)
Keterangan terdakwa.
c) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam
setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi
bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh
kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
5) Keterangan Terdakwa
33
Menurut Pasal 189 KUHAP, bahwa yang dimaksud dengan alat
bukti berupa keterangan terdakwa, adalah:
a) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di
sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau alami sendiri;
b) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat
digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang,
asalkan keterangan itu didukung oleh sebuah alat bukti yang sah
sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
c) Keterangan terdakwa hanya bisa digunakan terhadap dirinya
seendiri;
d) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Jadi berdasarkan Pasal 189 KUHAP diatas, bahwa keterangan
terdakwa harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan di luar
sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang saja
(Andi Sofyan dan Abd. Asis : 2014 : 265).
5.
Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Pasal 339
KUHP
a.
Tindak Pidana Pembunuhan
Pembunuhan merupakan kesengajaan menghilangkan nyawa orang
lain dengan cara yang melanggar hukum, ataupun yang tidak melawan
hukum. Pembunuhan biasanya dilatarbelakangi oleh bermacam-macam
motif, misalnya politik, kecemburun, dendam, membela diri, dan
sebagainya. Pembunuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Yang
paling umum dengan menggunakan senjata api atau senjata tajam.
Pembunuhan dapat juga dilakukan dengan menggunakan bahan peledak
seperti bom. Pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi
34
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Dalam KUHP, tindak pidana pembunuhan dikualifikasikan dalam
kejahatan terhadap nyawa manusia. Tindak pidana terhadap nyawa
dimuat dalam Bab XIX KUHP, yang diatur dalam Pasal 338 sampai
dengan Pasal 350 KUHP. Kejahatan terhadap jiwa manusia merupakan
penyerangan terhadap kehidupan manusia. Kepentingan hukum yang
dilindungi dan merupakan obyek kejahatan dalam hal ini adalah jiwa
manusia. Kejahatan terhadap nyawa yang dimuat dalam KUHP adalah
sebagai berikut :
1) Pembunuhan (Pasal 338);
2) Pembunuhan dengan pemberatan (Pasal 339);
3) Pembunuhan berencana (Pasal 340);
4) Pembunuhan bayi oleh ibunya (Pasal 341);
5) Pembunhan bayi berencana (Pasal 342);
6) Pembunhan atas permintaan yang bersangkutan (Pasal 344);
7) Membujuk atau membantu orang agar bunuh diri (Pasal 345);
8) Pengguguran kandungan dengan izin ibunya (Pasal 346);
9) Pengguguran kandungan tanpa izin ibunya (Pasal 347);
10) Matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandungnya
(Pasal 348);.
11) Dokter/bidan/tukang obat yang membantu penguguran/matinya
kandungan (Pasal 349).
b. Unsur-Unsur Pembunuhan
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan senagaja dalam
bentuk pokok dimuat dalam Pasal 338 KUHP yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”. Apabila Pasal tersebut dirinci, maka unsur-unsurnya terdiri dari :
1) Unsur Objektif
35
a) Perbuatan menghilangkan nyawa;
b) Objeknya : nyawa orang lain
2) Unsur Subjektif dengan sengaja
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat tiga
syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
a) Adanya wujud perbuatan;
b) Adanya suatu kematian;
c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan akibat
kematian.
c.
Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Pasal 339 KUHP
Pasal 339 KUHP mengatur tentang pembunuhan yang berbunyi
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbutan
pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun
untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan
hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu, paling lama dua puluh tahun.
Maksud dari pembunuhan dengan pemberatan yaitu diikuti, disertai
atau didahului oleh kejahatan atau diikuti (gevold) dimaksudkan diikuti
kejahatan lain. Pembunuhan itu dimaksudkan untuk mempersiapkan
dilakukannya kejahatan lain. Perlu dicatat bahwa tertangkap basah harus
benar-benar terjadi. Tidak cukup apabila hanya si pelaku ada
kekhawatiran akan ditangkap basah.
Istilah tertangkap basah, ada suatu definisi yang termuat dalam
Pasal 57 Herziene Indonesische Reglement atau HIR. Menurut Pasal ini,
tertangkap basah (ontdekking of heter daad) terjadi apabila kejahatan
atau pelanggaran kedapatan sedang dilakukan atau dengan segera
kedapatan setelah dilakukan, atau apabila seseorang sesudah itu dengan
segera dilakukan, atau apabila seseorang sesudah itu dengan segera
36
diserukan suara orang banyak sebagai pelaku, atau apabila padanya
kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat-alat, atau surat-surat yang
menunjukan bahwa dialah orang yang berbuat atau membantunya.
Tindak pidana yang menyertai pembunuhan ini dapat baru berupa
percobaan untuk melakukan tindak pidana tertentu, asal saja percobaan
itu juga dapat dikenakan hukuman berdasarkan Pasal 53 KUHP (Wirjono
Prodjodikoro, 2013: 72).
37
B. Kerangka Pemikiran
PERKARA TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
Pasal 399 KUHP
PUTUSAN PN NOMOR :
210/Pid.B/2012/PN.Msb
PUTUSAN PT NOMOR :
113/PID.B/ 2012/PT.MKS
ALASAN KASASI Pasal
253 KUHAP
Diajukan oleh Penuntut
Umum
Dikabulkan
Alasan Kasasi
Pertimbangan Hakim
Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1086 K/PID/2013
Bagan 1. Gambar Kerangka Pemikiran
38
Keterangan :
Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis
dalam menyusun penelitian hukum guna menemukan jawaban atas permasalahan
hukum ini, yaitu mengenai perkara Tindak Pidana Pembunuhan menurut Pasal
339 KUHP
Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP bahwa suatu pemeriksaan
dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 KUHAP guna menentukan
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya.
Meninjau perkara Tindak Pidana Pembunuhan menurut Pasal 339
sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1086K/Pid/2013
bahwa atas putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Masamba yang
amarnya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan
menurut Pasal 339 yang didakwakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Masamba
Nomor : 210/ Pid.B/ 2012/PN.Msb. Penuntut Umum mengajukan banding sekedar
mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa yang akhirnya
mengeluarkan
putusan
Pengadilan
Tinggi
Makasar
Nomor
113/PID.B/
2012/PT.MKS.
Penuntut umum dalam mengajukan kasasi tersebut beralasan Bahwa
Majelis
Hakim
Pengadilan
Tinggi
Makasar
tidak
menerapkan
hukum
sebagaimana mestinya dan telah melaksanakan cara mengadili yang tidak
berdasarkan atau tidak menurut ketentuan Undang-Undang yang mana alasan
tersebut menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengeluarkan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1086 K/PID/2013 yang amarnya pembatalan
putusan Pengadilan Tinggi Makasar Nomor 113/PID.B/ 2012/PT.MKS yang
memperbaiki
putusan
210/Pid.B/2012/PN.Masamba.
Pengadilan
Negeri
Masamba
Nomor
Download