“pola komunikasi pada pembinaan odha” (studi

advertisement
“POLA KOMUNIKASI PADA PEMBINAAN ODHA”
(STUDI DESKRIPTIF KUALITATIF MENGENAI POLA KOMUNIKASI
PADA PEMBINAAN ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI
KELOMPOK DUKUNGAN SEBAYA SOLO PLUS)
Disusun Oleh :
RIZKI UGIANTI
D1211069
JURNAL
Diajukan Guna Melengkapi Tugas – Tugas dan Memenuhi Syarat – Syarat
Guna Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
1
POLA KOMUNIKASI PADA PEMBINAAN ODHA
(Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Pola Komunikasi pada Pembinaan
Orang Dengan HIV/AIDS di Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus)
Rizki Ugianti
Nuryanto
Sutopo
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Discrimination and negative stigma that has been developed in the community
form a negative self-concept for PLWHA (People Living With HIV/AIDS). They
are initially extrovert, nice, positive attitude, can be instantly transformed into an
introvert. PLWHA require interaction and communication for sharing and add
their information about the disease. One of them is joining peer support groups.
The purpose of this research was to determine how the communication patterns
and problems and constraints on the development of communication PLWHA
(People Living With HIV/AIDS) in the Solo Plus peer support groups. The
methodology that used in this research is descriptive qualitative. Primary data
sources obtained from interviews and observation, while supporting data obtained
from documents and other supporting data. Technical analysis is done by data
reduction, data presentation and conclusion. The sampling technique used in this
study was purposive sampling technique.
Based on the result, the process of coaching PLWHA in the Solo Plus Peer
Support Group starting from the introduction process, the hiring process, and the
process of coaching. In each of these processes there is a process of
communication is interpersonal and group communication. Communication
problems and constraints on development of peer support groups of PLWHA in
the Solo Plus that is the beneficiary who is not taking medication regularly, has
been taking the drug but not taken regularly, and run from the companion. In
addition, the persistence of some members assisted the less open and did not want
to mingle with other members is also a problem in the coaching process.
Keyword: Public Relations Management, Cyber Public Relations
2
Pendahuluan
Sebagian besar masyarakat masih menganggap AIDS merupakan penyakit
kotor yang diakibatkan perilaku buruk dari penderitanya. Orang yang terkena
HIV/AIDS atau yang biasa disebut dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
sebenarnya tidak semuanya berperilaku buruk, dalam hal ini diartikan melakukan
seks bebas atau menggunakan obat-obatan terlarang. Sebagian besar dari mereka
menjadi ODHA karena tertular penyakit tersebut. Sangat perlu untuk digaris
bawahi yaitu yang harus kita jauhi dan berantas adalah virusnya, bukan orangnya.
Masyarakat mungkin memang paham mengenai AIDS, namun belum sepenuhnya
paham untuk hidup berdampingan dengan ODHA.
Dinyatakan HIV positif bukan merupakan hal yang mudah diterima.
Perasaan-perasaan seperti merasa tidak berguna, tidak memiliki harapan, takut,
sedih, marah, bermunculan seketika. Sisi psikologis mereka bisa dipastikan sangat
tertekan. Kebanyakan orang cenderung menunjukkan reaksi-reaksi keras seperti
menolak hasil tes, menangis, menyesali dan memarahi diri sendiri, bahkan
mengucilkan diri sendiri. Saat-saat seperti itu merupakan gejala psikologis yang
justru dapat membuat orang tersebut semakin terpuruk. Lingkungan memiliki
peran yang cukup besar dalam mendukung ODHA untuk mendapatkan kembali
semangat hidupnya dan mengembalikan rasa percaya diri. Pembinaan terhadap
ODHA diperlukan agar selanjutnya ODHA kembali melanjutkan hidup.
Tekanan negatif dari orang di sekitar ODHA membentuk konsep diri yang
negatif bagi mereka. Mereka yang awalnya terbuka, supel, bersikap postif, dapat
seketika berubah menjadi tertutup. ODHA membutuhkan interaksi dan
komunikasi untuk mencurahkan isi hati dan menambah informasi tentang
penyakitnya. Sulit bagi ODHA untuk membuka percakapan tentang dirinya
kepada orang lain. Kenyamanan, kepercayaan, dan kedekatan menjadi aspek
penting untuk melakukan komunikasi. Salah satu caranya adalah dengan
bergabung dengan Kelompok Dukungan Sebaya. Di Indonesia, dikenal adanya
kelompok yang menamakan diri dengan Kelompok Dukungan Sebaya bagi
ODHA. Kelompok Dukungan Sebaya ini sekarang sudah ada di hampir seluruh
3
wilayah Indonesia. Kota Solo sendiri memiliki sebuah Kelompok Dukungan
Sebaya bernama Solo Plus.
Kementrian Kesehatan mencatat bahwa angka penderita HIV/AIDS di
Indonesia telah mencapai 118.787 orang per September 2013, di mana 45.650 di
antaranya telah mencapai tahap AIDS. Masih berdasarkan data Kementrian
Kesehatan, bahwa pada tahun 2012 jumlah angka penularan tertinggi ada pada ibu
rumah tangga yaitu 936 kasus, sementara pada wanita pekerja seks yang
merupakan populasi yang beresiko tertinggi terkena HIV/AIDS, kasusnya hanya
ditemukan sebanyak 220 kasus. Melihat tingginya angka penderita HIV/AIDS di
Indonesia, Kelompok Dukungan Sebaya bisa dikatakan sangat dibutuhkan
keberadaannya untuk membantu mengurangi laju pertumbuhan angka tersebut.
Sebagai sebuah wadah pembinaan ODHA, di dalam kegiatan kesehariannya
tentunya terdapat proses komunikasi. Proses komunikasinya sendiri jelas berbeda
jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok lainnya. Hal ini terutama
disebabkan oleh anggotanya yang tidak sama dengan anggota kelompok dukungan
sebaya lain. ODHA merupakan orang-orang yang membutuhkan dukungan,
motivasi, dan semangat lebih.
Ketika seorang ODHA baru bergabung dengan Solo Plus dan menjadi
dampingan,1 mereka diberikan dukungan, motivasi, dan pembinaan hingga
kepercayaan diri dan semangat hidupnya kembali. Hanya orang-orang tertentu
yang mengerti seluk beluk tentang ODHA dan HIV/AIDS yang dapat
memberikan pembinaan. Keadaan psikologis yang tertekan akibat status barunya
sebagai ODHA membuat mereka tidak dengan mudah mempercayai orang lain.
Membuka diri dan membiarkan orang lain tahu mengenai status dan keadaan
mereka bukanlah suatu hal yang mudah untuk dilakukan. Komunikasi yang
bersifat pribadi (private) dan terjadi secara tatap muka (face to face) seperti
komunikasi interpersonal merupakan jenis komunikasi yang dibutuhkan.
Selanjutnya, ketika keadaan psikologis dan fisik mereka sudah menjadi jauh lebih
1
Sebutan untuk ODHA yang menjalani pembinaan dengan didampingi oleh pembina dari
Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus.
4
baik, ODHA mulai berinteraksi dengan anggota kelompok dukungan sebaya dan
saat ini proses komunikasi kelompok terjadi.
Komunikasi dan interaksi dengan suasana yang sangat kekeluargaan di
dalam kelompok dukungan sebaya ini sudah pasti sangat kondusif dan bisa
membuat anggotanya merasa nyaman. Banyaknya acara dan kegiatan positif yang
selalu diadakan tentu membuat para ODHA bersemangat karena dengan adanya
hal tersebut membuat mereka percaya kalau mereka masih berguna, produktif, dan
dibutuhkan.
Komunikasi merupakan hal penting dalam proses pembinaan. Dimulai dari
dari proses perangkulan ODHA baru, memberikan pembinaan, dan pengembalian
kepercayaan diri. Mengajak mereka dalam berbagai kegiatan positif yang
membuat mereka percaya bahwa ODHA pun masih bisa melakukan suatu hal
yang produktif. Hingga membuat mereka memiliki semangat hidup kembali
bahkan bisa saling memotivasi. Pola komunikasi pada semua proses itulah yang
ingin dipelajari oleh penulis. Bukanlah hal yang mudah untuk memberikan
pembinaan kepada para ODHA hingga mereka bisa mendapatkan semangat hidup
mereka kembali.
Perumusan Masalah
Bagaimana pola komunikasi pada pembinaan Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA) di Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus dan apa saja yang menjadi
permasalahan serta kendala komunikasi?
Tinjauan Pustaka
a. Pola Komunikasi
Kegiatan komunikasi merupakan kunci awal untuk membentuk sebuah
pola komunikasi. Wilbur Schrammm2 menyatakan bahwa komunikasi akan
berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan
kerangka acuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan
2
Effendy, O.U. 2007. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
hal.13.
5
pengertian (collection of experience and meaning) yang pernah diperoleh
komunikan.
Setiap orang dari tempat yang berbeda memiliki cara yang berbeda
dalam berkomunikasi. Karakter tersebut akhirnya memunculkan suatu pola
komunikasi yang berbeda antara masyarakat sosial yang satu dengan
masyarakat sosial yang lainnya. Pola adalah bentuk (struktur) yang tetap;
sistem; cara kerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi dapat
dipandang sebagai bentuk (cara-cara) yang dipakai untuk berkomunikasi.
1. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi yang digunakan
di dalam Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus. Komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi yang terjadi antara dua orang yang
mempunyai hubungan yang terlihat jelas di antara mereka. Menurut
Kathleen S. Verderber et al. (2007), komunikasi interpersonal merupakan
proses melalui mana orang menciptakan dan mengelola hubungan mereka,
melaksanakan tanggungjawab secara timbal balik dalam menciptakan
makna.3
Joseph
A.
Devito
dalam
bukunya
The
Interpersonal
Communication Book4 mendefinisikan komunikasi interpersonal sebagai
proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di
antara sekelompok kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa
umpan balik seketika.
Komunikasi interpersonal dianggap paling efektif dalam upaya
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang
dialogis atau berupa percakapan. Selain bersifat dialogis, komunikasi
interpersonal juga memiliki arus balik yang bersifat langsung di mana
komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Saat
komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah
komunikasinya positif atau negatif, dan berhasil atau tidaknya. Selain itu,
3
4
Budyatna, Muhammad. 2011. Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hal.14
Effendy, O.U. 1993. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
hal.59-60.
6
komunikator juga dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk
bertanya seluas-luasnya. Selain untuk mengubah sikap dan perilaku,
komunikasi interpersonal memiliki enam tujuan lainnya, yaitu:5
a. Mengenal diri sendiri dan orang lain
b. Mengetahui dunia luar
c. Menciptakan dan memelihara hubungan menjadi lebih bermakna
d. Mengubah sikap dan perilaku
e. Bermain dan mencari hiburan
f. Membantu
Menurut Joseph A. Devito, komunikasi interpersonal yang efektif dimulai
dengan lima kualitas umum yang perlu dipertimbangkan, yaitu:6
a. Keterbukaan
b. Empati
c. Sikap mendukung
d. Sikap positif
e. Kesetaraan
2. Komunikasi Kelompok
Sebuah kelompok itu terdiri dari sehimpunan orang, namun tidak
semua himpunan orang bisa disebut sebagai sebuah kelompok.
Sehimpunan orang yang sedang menonton konser, mengantri tiket di loket,
bukan sebuah kelompok. Kumpulan orang yang seperti itu disebut aregrat.
Aregrat tersebut setidaknya harus memiliki kesadaran antar anggotanya
akan adanya ikatan yang sama agar bisa disebut sebagai sebuah kelompok.
Kelompok juga memiliki tujuan dan organisasi (walaupun tidak selalu
formal) dan melibatkan interaksi antara anggota-anggotanya.
Dean C. Barnlund dan Franklyn S. Haiman dalam Alvin A.
Goldberg dan Carl E. Larson (1975: 6-9) mengembangkan komunikasi
5
Riswandi. 2009. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu, hal.87-88.
Devito, J.A. 2001. The Interpersonal Communication: 9th Edition. New York: Herper and Row
Publisher., hal.137-143.
6
7
interpersonal menjadi komunikasi kelompok dengan memusatkan pada
kesadaran akan kehadiran orang lain dan pemahaman tentang proses
kelompok.7
Menurut Michael Burgoon (1978: 224), komunikasi kelompok
adalah “Group communication is the face to face interaction of three or
more individuals, for a recognized purpose such as information sharing,
self maintainance, or problem solving, such that the members are able to
recall personal characteristics of the other members accurately”.8
Charles Hartoon Cooley membedakan kelompok menjadi dua
macam yaitu kelompok primer dan kelompok sekunder.9 Kedua kelompok
tersebut memiliki model dan pola komunikasi masing-masing yang
berbeda. Bila dikaitkan dengan penelitian ini, maka Kelompok Dukungan
Sebaya Solo Plus bisa dikategorikan ke dalam kelompok primer sesuai
dengan karakteristik yang dimiliki oleh kelompok primer, yaitu:10
a. Kualitas komunikasi pada kelompok primer bersifat dalam dan
meluas, dalam arti menembus kepribadian kita yang paling
tersembunyi, menyingkap unsur-unsur backstage. Sedangkan meluas
artinya sedikit sekali kendala yang menentukan rintangan dan cara
berkomunikasi. Pada kelompok primer, kita mengungkapkan hal-hal
yang bersifat pribadi dengan menggunakan lambang verbal maupun
nonverbal.
b. Komunikasinya bersifat personal. Dalam komunikasi primer, yang
penting buat kita adalah siapa dia, bukan apakah dia. Hubungan kita
dengan anggota kelompok primer bersifat unik dan idak dapat
dipindahkan.
c. Komunikasi lebih menekankan pada aspek hubungan daripada aspek
isi. Komunikasi dilakukan untuk memelihara hubungan baik.
d. Pesan yang disampaikan dalam komunikasi kelompok primer lebih
bersifat ekspresif.
e. Komunikasi yang berlangsung (lisan maupun tulisan) dalam
kelompok primer bersifat informal.
7
Wiryanto, 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grasindo, hal. 46.
Ibid, hal. 46.
9
Rohim, Syaiful. 2009. Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka
Cipta, hal. 95.
10
Ibid, hal.96.
8
8
b. HIV/AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Orang yang di dalam darahnya
terdapat virus HIV akan tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan,
namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain. HIV yang
telah masuk ke dalam tubuh manusia akan merusak sel darah putih yang
disebut sel CD4, di mana sel ini merupakan bagian penting dari sistem
kekebalan tubuh manusia. Fungsinya sebagai pelindung tubuh dari serangan
penyakit akan hilang jika sel-sel ini hancur.
Seseorang yang terinfeksi HIV tidak langsung sakit. Akan ada suatu
masa yang dikenal dengan masa tanpa gejala yang berlangsung sekitar
bertahun-tahun lamanya. Ketika jumlah CD4 seseorang sudah mencapai angka
di bawah 200, ini merupakan keadaan di mana sistem kekebalan tubuhnya
sudah cukup rusak dan sudah sampai masa AIDS.
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya
kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV.
1. Penularan virus
Penularan HIV memiliki prinsip sendiri yang dikenal dengan prinsip ESSE
(Exit, Survive, Sufficient, dan Enter). HIV hanya bisa menular jika keempat unsur dari prinsip ini dipenuhi. Virus tidak akan bisa menular jika
hanya salah satu atau sebagian prinsip yang dipenuhi. Setiap unsur pun
memiliki
kriteria
tertentu
yang
harus
dipenuhi
sehingga
bisa
mengakibatkan virus tersebut menular.
Exit maksudnya adalah jalan keluar. Cairan tubuh yang berpotensi
menularkan virus atau yang mengandung virus itu harus memiliki jalan
keluar untuk keluar dari tubuh penderitanya. Survive; cairan tubuh yang
telah keluar ini harus memiliki kemapuan untuk bertahan hidup. Bila
sudah berada di luar tubuh inangnya (manusia), sesungguhnya virus HIV
itu tidak akan bisa bertahan hidup lama. Jadi walaupun sudah keluar
9
tubuh, tidak semua virus memiliki kemampuan untuk menular. Sufficient;
kandungan HIV di dalam cairan tubuh yang keluar dari orang yang
terinfeksi HIV harus berada dalam jumlah yang cukup. Cukup di sini
maksudnya secara jumlah bisa menularkan dan membuat orang lain
terinfeksi. HIV tidak akan bisa menginkubasi tubuh manusia lainnya jika
jumlahnya hanya sedikit. Enter; terdapat jalan masuk di tubuh manusia
yang memungkinkan kontak dengan cairan tubuh yang mengandung HIV.
Jalan masuk ini contohnya adalah pada saat melakukan hubungan intim
atau bisa juga melalui luka yang ada di tubuh seseorang. Selain itu, kita
juga harus berhati-hati terhadap penggunaan jarum suntik.
2. Perjalanan penyakit
Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala tertentu.
Sebagian memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut. Gejala
yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah
bening, ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi
tanpa gejala yang berlangsung selama 8-10 tahun. Seiring makin
memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala
seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran
kelenjar getah bening, diare, tuberkolosis, infeksi jamur, herpes, dll.
Keunikan virus HIV ini dibandingkan dengan virus penyakit lain
adalah adanya masa laten (asymptomatic stage) sekitar 5 tahun. Pada masa
ini ODHA tidak menyadari dirinya telah terinfeksi karena belum ada
kerusakan fisik yang nyata, namun ia telah mampu menularkan virus ini
kepada orang lain. Pada masa laten ini (HIV positif), ODHA tidak berbeda
dengan orang sehat pada umumnya, ia masih dapat melakukan aktifitas
sehari-hari seperti biasanya. Setelah masa tanpa gejala ini, barulah ODHA
masuk pada tahap AIDS. Ketika telah memasuki tahap AIDS, jumlah sel
CD4 seorang ODHA akan berada pada angka di bawah 200.
Gejala-gejala pada tahap ini yaitu munculnya beberapa penyakit
yang diakibatkan makin melemahnya sistem kekebalan tubuh. Penyakit-
10
penyakit yang ditimbulkan karena rusaknya sistem kekebalan tubuh
disebut infeksi opurtunistik. Infeksi ini disebabkan oleh berbagai virus,
bakteri, dan jamur.
Sajian dan Analisis Data
a. Pola Komunikasi pada Pembinaan Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di
Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus.
Program pendampingan di KDS Solo Plus dilakukan oleh manajer kasus
dan pendamping. Mereka merupakan orang-orang dengan kemampuan,
kemauan, dan kepedulian dalam upaya membantu proses pemulihan ODHA
dan menekan angka peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS. Proses
komunikasi pada pembinaan ODHA di KDS Solo Plus berlangsung layaknya
proses komunikasi pada umumnya. Terdapat komunikator, komunikan, pesan,
media, dan efek, seperti yang disebutkan dalam unsur-unsur komunikasi.
1. Komunikator dan komunikan
Komunikator di sini juga bisa berperan menjadi komunikan. Ketika
pendamping menanyakan keadaan dampingan, maka saat itu ia menjadi
seorang komunikator dan dampingannya berperan sebagai komunikan.
Namun ketika dampingan menjawab pertanyaan tersebut lalu mengajukan
pertanyaan baru, otomatis ia berperan sebagai komunikator dan
pendamping menjadi komunikan.
Proses komunikasi selalu terjadi secara tatap muka membuat pertukaran
pesan dan peran berlangsung cepat. Terdapat komunikasi dua arah antara
komunikator dan komunikan, sesuai dengan ciri dari komuikasi
interpersonal. Orang-orang yang terlibat sebagai komunikator dan
komunikan di sini tidak hanya pendamping dan dampingan. Psikolog,
dokter, psikiater, juga turut mengambil peran.
2. Pesan
Pesan yang disampaikan berupa pesan verbal dan non verbal. Bahasa yang
digunakan, intonasi berbicara, merupakan contoh dari pesan verbal. Dalam
penggunaan bahasa dan kata-kata, pendamping menyesuaikan dengan latar
11
belakang dampingan. Namun secara umum biasanya Bahasa Jawa dan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang paling sering digunakan.
Di samping pesan verbal, pesan nonverbal juga digunakan. Misalnya
ekspresi wajah yang menunjukkan rasa simpati dan empati, senyuman,
jabatan tangan, sikap yang ramah, dan lain-lain. Pesan non verbal memiliki
peran yang cukup penting karena berfungsi sebagai pelengkap dan penegas
dari pesan verbal.
3. Media
Proses komunikasi juga menggunakan media, seperti melalui SMS (Short
Message Service), BBM (Blackberry Messanger), atau melalui telepon.
Seorang pendamping berusaha untuk selalu ada dan selalu memantau
keadaan dampingannya, namun hal yang agak sulit dilakukan jika harus
mendampingi selama 24 jam. Karena itu media SMS dan BBM cukup
berperan di dalam proses komunikasinya.
4. Efek
Dari proses komunikasi yang terjadi pastinya menimbulkan suatu efek
tertentu. Misalnya seperti seorang dukungan yang mulai terbuka mengenai
dirinya itu merupakan efek dari pendekatan yang dilakukan oleh
pendamping. Kondisi psikis yang mulai stabil, semangat hidup yang mulai
kembali, menjalani terapi ART, minum obat secara teratur, semua itu
merupakan efek dari berhasilnya komunikasi yang dijalin antara
pendamping dengan dampingan.
Proses Perkenalan
Proses perkenalan dalam pembinaan ODHA di KDS Solo Plus dimulai
ketika seorang ODHA datang ke klinik VCT untuk melakukan tes HIV/AIDS.
Setelah dinyatakan positif, maka ODHA tersebut akan dipertemukan dengan
manajer kasus dari KDS Solo Plus untuk dikenalkan dan diajak bergabung
untuk dibina. Proses komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi
interpersonal karena hanya antara dua orang yaitu ODHA dan manajer kasus.
12
1. Manajer Kasus
Manajer kasus merupakan seseorang yang berperan sebagai mediator
antara klinik VCT, ODHA, dan KDS. Manajer kasus juga merupakan
salah satu orang yang memegang peran yang cukup besar dalam proses
pemulihan seorang ODHA.
Seseorang yang ingin menjadi manajer kasus harus memiliki sertifikat
yang bisa didapatkan setelah ia menjalankan pelatihan yang diadakan oleh
KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) propinsi dan dinas kesehatan.
Setelah lulus pre test dan post test, barulah bisa memiliki sertifikat. Jadi,
seorang MK memang seseorang yang sudah memahami dan memiliki
pengetahuan yang cukup baik mengenai dunia HIV/AIDS.
2. Peran Penting Manajer Kasus
Mendampingi ODHA dari awal divonis hingga mandiri dan pulih,
memberikan support, memonitoring kondisi kesehatan ODHA dampingan,
hingga mengingatkan soal obat yang harus diminum juga merupakan
beberapa tugas penting lainnya dari seorang manajer kasus. Seorang
manajer kasus juga tidak jarang harus mengunjungi rumah dampingannya.
Kadang hanya untuk sekedar sharing, kadang untuk mengantarkan obat
dampingannya, juga untuk menjenguk dan menangani dampingan yang
kondisinya tiba-tiba drop.
Proses Perekrutan
Tidak ada proses perekrutan secara formal yang terjadi. Proses perekrutan
hanya terjadi secara interpersonal antara manajer kasus dan ODHA baru calon
dampingan. Manajer kasus masih memegang peranan penting dalam tahap ini.
Setelah proses perkenalan terjadi, manajer kasus akan berusaha mengajak
ODHA baru untuk bergabung. Manajer kasus akan berusaha menjelaskan apa
saja keuntungan yang bisa didapatkan jika bergabung dengan KDS Solo Plus.
Komunikasi yang terjadi dalam proses perekrutan masih sama dengan proses
perkenalan, yaitu komunikasi interpersonal. Sifat komunikasi interpersonal
13
yang persuasif dapat membantu dalam mempengaruhi ODHA baru calon
dampingan agar mau bergabung dengan KDS Solo Plus.
Proses Pembinaan
Proses pembinaan ODHA di KDS Solo Plus dilakukan oleh manajer kasus
dan pendamping. Terdapat dua jenis komunikasi yang terjadi dalam proses
pembinaan yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok. Pada
tahap awal proses pembinaan, komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi
interpersonal, yaitu antara pendamping atau manajer kasus dengan dampingan.
Kondisi dampingan pada tahap awal ini masih sangat labil, sehingga masih
susah untuk bersosialisasi dengan orang banyak. Manajer kasus atau
dampingan bertugas mendampingi dan membantu memulihkan kondisi
kesehatan baik fisik maupun psikisnya.
Komunikasi kelompok terjadi kemudian ketika dampingan dinilai sudah
cukup memiliki kemauan untuk membuka diri dan berbaur serta bersosialisasi
dengan orang lain. Pembinaan secara kelompok terjadi ketika dampingan
mengahadiri pertemuan bulanan, atau melakukan kegiatan-kegiatan kelompok
bersama anggota KDS Solo Plus yang lain.
1. Membangun dan Mempertahankan Komunikasi
Membangun komunikasi merupakan tahap yang harus ditempuh oleh
seorang manajer kasus setelah berhasil mengajak seorang ODHA
bergabung di KDS Solo Plus. Hal ini perlu dilakukan untuk mempermudah
proses pembinaan kemudian. Hal pertama yang harus dilakukan oleh
pendamping adalah memahami karakteristik dampingan. Membangun
komunikasi bukanlah hal yang sulit jika sudah memahami karakteristik
yang didampingi.
Selain memahami karakteristik dampingan, cara untuk membangun
komunikasi dengan dampingan adalah dengan menggunakan bahasa yang
sama dengan bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Bermacammacamnya latar belakang yang dimiliki oleh anggota KDS Solo Plus,
membuat bahasa yang mereka gunakan juga bermacam-macam, begitu
14
juga dengan istilah-istilahnya. Manajer kasus dan pendamping terlebih
dahulu harus mengetahui bahasa dan istilah yang biasa mereka gunakan
agar mempermudah dalam proses komunikasi interpersonal.
2. Komunikasi Kelompok
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di KDS Solo Plus, diketahui
bahwa proses pembinaan ODHA di KDS Solo Plus tidak hanya terjadi
secara komunikasi interpersonal namun juga komunikasi kelompok.
Komunikasi kelompok adalah interaksi tatap muka dari tiga atau lebih
individu, untuk tujuan yang diakui seperti berbagi informasi, pemeliharaan
diri, atau pemecahan masalah, sehingga anggota dapat mengingat
karakteristik pribadi anggota lain secara akurat.11
a. Pertemuan Bulanan
Pertemuan bulanan merupakan kegiatan rutin dan dihadiri oleh hampir
seluruh anggota KDS Solo Plus. Kegiatan ini dilakukan di Kantor
Sekretariat Mitra Alam di daerah Kepunton setiap hari minggu di
akhir bulan. Kegiatan yang biasanya dilakukan dalam pertemuan ini
biasanya adalah membahas perkembangan kelompok selama satu
bulan ke belakang, perkenalan jika ada teman anggota yang baru,
pelatihan keterampilan, atau sharing bersama dokter dan psikiater.
b. Peringatan Hari AIDS Sedunia
Hari AIDS Sedunia selalu diperingati setiap tanggal satu Desember.
Ini bukan merupakan perayaan. Tanggal satu Desember diperingati
untuk mengingatkan semua orang akan bahaya yang ditimbulkan
HIV/AIDS. Selain itu juga mengingatkan untuk mengurangi perilaku
beresiko
agar
angka
penderita
HIV/AIDS
tidak
meningkat.
Penggalangan dana, talkshow, seminar, dan kampanye publik
biasanya diadakan dalam peringatan Hari AIDS Sedunia.
c. Malam Renungan
Malam renungan merupakan acara yang diadakan untuk mengenang
teman-teman ODHA yang telah terlebih dahulu pergi. Acara ini
11
Wiryanto. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grasindo, hal.47.
15
biasanya diadakan di Taman Sriwedari, dimulai dari pukul tujuh
malam dan berakhir menjelang tengah malam. Acara ini diharapkan
dapat membangkitkan semangat teman-teman ODHA untuk sembuh,
serta untuk mengingatkan pada masyarakat umum yang hadir bahwa
sikap diskriminasi dan stigma negatif terhadap ODHA selama ini
perlahan-lahan harus mulai dikurangi.
b. Permasalahan dan Kendala Komunikasi pada Pembinaan ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS) di KDS Solo Plus
Proses komunikasi pada umumnya selalu menemukan masalah atau
kendala. Begitu juga dengan proses komunikasi pada pembinaan ODHA di
KDS Solo Plus. Walaupun masalah dan kendala itu pasti ada, namun bukanlah
kendala yang bisa dikatakan besar dan dapat dengan mudahnya menghambat
proses komunikasi. Kendala yang biasanya timbul merupakan kendala yang
disebabkan oleh faktor internal, yaitu dari dalam diri komunikator atau
komunikannya, bukan berasal dari faktor eksternal.
Faktor kesehatan fisik dan psikis dari peserta komunikasi terkadang bisa
menjadi penghambat dalam proses komunikasi. Keadaan fisik yang kurang
sehat misalnya, dapat mempengaruhi dalam menerima dan memahami pesan
yang disampaikan. Selain kondisi fisik, kesehatan psikis juga menjadi faktor
yang mempengaruhi. Dampingan yang keadaan psikisnya masih labil
cenderung kurang bisa menerima pesan dengan baik.
Selain itu masih adanya dampingan yang manja dan nakal juga menjadi
penghambat. Manja di sini maksudnya masih ada beberapa dampingan yang
enggan mengambil sendiri obat mereka ke Rumah Sakit, jadi mau tidak mau
manajer kasus atau pendamping harus bersedia mengambilkan obat tersebut.
Sedangkan nakal di sini maksudnya yaitu dampingan yang tidak meminum
obatnya secara teratur. Tidak jarang yang kondisi kesehatannya tiba-tiba drop.
Faktor penghambat lainnya yaitu masih adanya dampingan yang enggan
membuka diri dan berbaur dengan anggota KDS Solo Plus yang lain.
Dampingan memang memiliki sifat dan karakter yang berbeda-beda antara
16
yang satu dengan yang lainnya. Tidak semua dari mereka merupakan pribadi
yang mau terbuka, berbagi, dan berbaur dengan orang lain. Ada yang hanya
mau terbuka dengan pendampingnya dan menolak untuk berbaur dengan
anggota kelompok yang lain.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan ini yaitu
menyampaikan pesan dengan menggunakan bahasa yang lebih sederhana dan
dapat diterima serta dimengerti dengan mudah oleh dampingan. Tidak bosanbosannya mengingatkan dan memberi pengertian kepada dampingan untuk
disiplin menjalani pengobatan juga harus dilakukan. Bersikap lebih simpati dan
empati kepada dampingan agar mereka mau terbuka juga merupakan salah satu
solusi.
Kesimpulan
1. Pola komunikasi yang terjadi dalam proses pembinaan ODHA di Kelompok
Dukungan Sebaya Solo Plus terjadi dalam proses perkenalan, perekrutan, dan
pembinaan. Dari masing-masing proses tersebut terjadi dua macam
komunikasi yaitu komunikasi interpersonal dan komunikasi kelompok.
Komunikasi yang terjadi hampir secara keseluruhan bersifat non formal.
Komunikasi yang bersifat formal hanya terjadi pada saat-saat tertentu
misalnya ketika pertemuan bulanan, peringatan Hari AIDS Sedunia, malam
renungan, dan acara-acara resmi organisasi.
2. Sebelum proses pembinaan, komunikasi yang terjadi yaitu komunikasi
interpersonal. Hal ini dikarenakan dampingan belum memiliki sikap terbuka
sehingga hanya merasa nyaman dengan pendampingnya. Ketika kondisinya
mulai membaik, dampingan akan mulai terbuka dan mau berinteraksi dengan
orang lain. Saat itu komunikasi yang terjadi sudah berkembang menjadi
komunikasi kelompok.
3. Unsur-unsur komunikasi yang ada dalam proses komunikasi pada pembinaan
ODHA di Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus sama dengan unsur-unsur
komunikasi pada umumnya; komunikator dan komunikan yaitu pendamping,
dampingan, manajer kasus, dan seluruh anggota KDS Solo Plus. Pesan
17
berupa pesan verbal dan non-verbal. Media yang digunakan dalam proses
komunikasinya yaitu BBM (blackberry messanger), SMS (Short Message
Service) dan telepon. Efek dari proses komunikasi ini kondisi psikis yang
mulai stabil, semangat hidup yang mulai kembali, minum obat secara teratur,
tidak menjadi pribadi yang tertutup, dan menjadi lebih berdaya.
4. Kegiatan yang melibatkan komunikasi kelompok dalam proses pembinaan
ODHA di Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus yaitu pertemuan rutin
bulanan, peringatan Hari AIDS Sedunia, dan malam renungan.
5. Faktor yang menjadi permasalahan dan kendala dalam pembinaan ODHA di
Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus yaitu adanya dampingan yang masih
„bandel‟ dalam menjalani pengobatan. Misalnya tidak mengambil obat secara
rutin, sudah mengambil obat namun tidak diminum secara teratur, dan „kabur‟
dari pendamping. Selain itu juga masih adanya beberapa anggota dampingan
yang kurang terbuka dan tidak mau berbaur dengan anggota kelompok yang
lain juga menjadi permasalahan dalam proses pembinaan.
Saran
1. Kelompok Dukungan Sebaya Solo Plus
Dalam pelaksanaan pembinaan dan pendampingan ODHA di Kelompok
Dukungan Sebaya Solo Plus masih terjadi satu orang yang memegang banyak
jabatan dan tanggung jawab. Misalnya ada yang menjadi koordinator KDS,
manajer kasus, dan pendamping sekaligus karena kurangnya ketersediaan
sumber daya manusia. Sebaiknya satu orang cukup memegang satu jabatan
saja agar bisa lebih maksimal dan efektif dalam menjalankan tugasnya.
Anggota dampingan juga hendaknya lebih disiplin dalam menjalani
pengobatan. Sikap terbuka dari dampingan juga dibutuhkan mengingat ini
merupakan hal yang sangat penting dalam proses pembinaan.
2. Pemerintah
Pemerintah diharapkan dapat memberikan dukungan kepada Kelompok
Dukungan Sebaya Solo Plus dengan cara memfasilitasi. Salah satunya yaitu
dengan memfasilitasi kantor yang memadai mengingat Kelompok Dukungan
18
Sebaya Solo Plus memiliki peranan penting dalam manangani kasus
HIV/AIDS di Solo dan sekitarnya. Selain itu diharapkan pemerintah dapat
memberikan kemudahan akses kesehatan bagi ODHA.
3. Masyarakat
Sikap diskriminasi dan stigma negatif yang selama ini dimiliki masyarakat
luas terhadap ODHA hendaknya perlahan dihapuskan. Seumur hidup menjadi
penderita HIV/AIDS sudah menjadi beban yang sangat berat bagi mereka.
Jangan lagi tambahkan beban itu dengan perlakuan diskriminasi. Jauhi
virusnya, bukan orangnya.
4. Penelitian selanjutnya
Demi perkembangan studi komunikasi, penulis menyarankan untuk diadakan
penelitian lanjutan mengenai pembentukan konsep diri pada ODHA dan
pengaruh antara diskriminasi dan stigma yang berkembang di masyarakat
terhadap kemauan untuk sembuh dan menjalanai pengobatan yang dimiliki
ODHA.
Daftar Pustaka
Budyatna, Muhammad. (2011). Teori Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Devito, J.A. (2001). The Interpersonal Communication: 9th Edition. New York:
Herper and Row Publisher.
Effendy, O.U. (2007). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Effendy, O.U. (1993). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Green, Chris. W. (2006). Pengobatan untuk AIDS: Ingin Mulai?. Yogyakarta:
Yayasan Spiritia.
Murni, Suzana, dkk. (2006). Hidup dengan HIV/AIDS. Yogyakarta: Yayasan
Spiritia.
Riswandi. (2009). Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Rohim, Syaiful. (2009). Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Grasindo.
19
Download