Identifikasi molekular isolat lokal Staphylococcus

advertisement
6
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus adalah bakteri koki Gram positif dan jika diamati di
bawah mikroskop akan tampak dalam bentuk bulat tunggal atau berpasangan, atau
berkelompok seperti buah anggur seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Staphylococcus aureus termasuk dalam famili Staphylococcaceae, berukuran
diameter 0.5-1.5 µm dan membentuk pigmen kuning keemasan. Bakteri ini tidak
membentuk spora, bersifat aerob atau anaerob fakultatif, non-motil, koagulase dan
katalase positif, mampu memfermentasi mannitol serta mampu menjalankan dua
macam metabolisme yaitu respirasi maupun fermentasi.
Gambar 1 Morfologi S. aureus perbesaran 5000x
(Todar, 2008)
S. aureus mampu memanfaatkan berbagai komponen organik sebagai nutrisi
untuk pertumbuhannya. Asam-asam amino dibutuhkan sebagai sumber nitrogen,
sedangkan tiamin dan asam nikotinat paling dibutuhkan diantara vitamin B
lainnya. Apabila S. aureus ditumbuhkan pada kondisi cenderung anaerob, maka
urasil sangat dibutuhkan. Sedangkan untuk kondisi aerob dan produksi
enterotoksin, maka monosodium glutamat berperan sebagai sumber C, N dan
energi. Arginin merupakan asam amino esensial yang dibutuhkan untuk produksi
enterotoksin B (Bennet dan Monday dalam Militois dan Bier, 2003; Jay, 2000).
S. aureus termasuk ke dalam kelompok bakteri mesofilik, namun terdapat
beberapa galur S. aureus yang mampu tumbuh pada suhu rendah 6-7oC. Pada
umumnya, S. aureus tumbuh pada kisaran suhu 7-48.5oC dengan suhu optimum
7
pertumbuhan 30-37oC. Kisaran pH pertumbuhan antara 4.5 hingga 9.3, dengan pH
optimum 7.0-7.5 (Bennet dan Monday, 2003). Berdasarkan aktivitas air (aw),
stafilokoki mampu tumbuh pada kadar aw yang lebih rendah dibandingkan dengan
bakteri nonhalofilik lainnya. Pertumbuhan stafilokoki tetap terjadi pada aw 0.83
yang merupakan kondisi di bawah ideal untuk pertumbuhan kebanyakan bakteri.
Kebanyakan galur-galur S. aureus mempunyai toleransi tinggi terhadap
konsentrasi garam dan gula. Bakteri ini masih dapat bertahan hidup pada
konsentrasi natrium klorida lebih dari 15% dan memiliki toleransi tinggi terhadap
komponen-komponen seperti telurit, merkuri klorida, neomycin, polymixin dan
sodium azida, yang semuanya dapat digunakan sebagai media selektif S. aureus
(Le Loir et al., 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus
dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan S. aureus
Pertumbuhan
Faktor Pengaruh
Optimum
Kisaran
37°C
4 –48°C
pH
6.0-7.0
4.0-9.8
aw
0.98≥0.99
0.83≥0.99
Atmosfer
Aerobik
Anaerobik hingga aerobik
Natrium Klorida
0.5-0.4%
0-20%
Suhu
Adam dan Moss (1995)
S. aureus mampu memproduksi sejumlah besar enzim-enzim ekstraseluler,
toksin dan komponen kimia lainnya. Beberapa metabolit ekstraseluler ini sangat
bermanfaat untuk identifikasi S. aureus dan membedakannya dari spesies
stafilokoki lainnya. Karakteristik S. aureus dan beberapa spesies stafilokoki
lainnya ditampilkan pada Tabel 2. Dua metabolit yang umum dimanfaatkan untuk
identifikasi S. aureus adalah aktivitas koagulase (enzim yang mengkoagulasi
plasma) dan termonuklease (TNase), enzim fosfodiesterase tahan panas yang
8
dapat
memecah
DNA
maupun
RNA
untuk
menghasilkan
produk
fosfomononukleotida.
Tabel 2 Karakteristik spesies stafilokoki
Sifat
S. aureus
S. intermedius
S. hyicus
a
Pigmen
+
−
−
Koagulase
+
+
±
Dnase
+
+
±
Hemolisis
+
+
−
Mannitol (an)
+
−
−
Acetoin
+
−
−
Gumpalan
+
+
+
Hyaluronidase
+
−
±
Lysostaphyn
ST
ST
ST
a
>90%.
an:kondisi anaerobik; ST: sensitivitas tinggi; SR: sensitivitas rendah
S. epidermidis
−
−
−
±
−
+
−
−
SR
Bennet dan Monday (2003)
Staphylococcus aureus tidak membentuk spora sehingga pertumbuhan oleh
S. aureus di dalam makanan dapat segera dihambat dengan perlakuan panas.
Namun, kontaminasi S. aureus tetap menjadi salah satu penyebab utama
foodborne disease (FBD) karena S. aureus dapat mengkontaminasi produk
makanan selama persiapan dan pengolahan. Bakteri ini sendiri ditemukan di
dalam saluran pernapasan, permukaan kulit dan rambut hewan berdarah panas
termasuk manusia, Lebih dari 30-50% populasi manusia adalah “carrier”
S. aureus (Le Loir et al., 2003).
Umumnya S. aureus tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi baik
dengan mikroflora normal kebanyakan pada makanan. Telah banyak penelitian
yang menunjukkan ketidakmampuan S. aureus untuk bersaing pada makanan
segar dan makanan beku. Pada suhu yang mendukung pertumbuhan S. aureus,
mikroorganisme lain pada makanan melakukan perlindungan untuk melawan
pertumbuhan S. aureus lewat mekanisme antagonis, kompetisi terhadap nutrisi
dan modifikasi kondisi lingkungan agar tidak mendukung pertumbuhan S. aureus.
Bakteri yang diketahui bersifat antagonis terhadap S. aureus adalah Acinetobacter,
9
Aeromonas, Bacillus, Pseudomonas, S. epidermidis, kelompok Enterobactericeae,
Lactobacillaceae, kelompok Enterococci dan Streptococcus (Jay, 1996).
Staphylococcus aureus memliki beberapa jenis faktor virulensi yang
mendukung terjadinya penyakit pada tubuh manusia, salah satunya adalah protein
permukaan yang membantu kolonisasi pada jaringan inang. Untuk mendukung
penyebarannya pada jaringan, bakteri ini menghasilkan invasin, seperti leukosidin,
kinase dan hyaluronidase. Leukosidin adalah sitotoksin yang dapat membunuh
leukosit, sedangkan hyaluronidase adalah enzim yang dapat mendegradasi asam
hyaluronat sehingga meningkatkan permeabilitas jaringan (Todar, 2008).
Pada tubuh manusia terdapat faktor virulensi S. aureus yang mampu
menghambat fagositosis, yaitu protein A dan kapsul. Protein A adalah protein
permukaan yang mengikat molekul IgG. Bakteri ini juga menghasilkan senyawa
biokimia yang menjadi pertahanannya terhadap fagosit, yaitu karotenoid dan
katalase (Todar, 2008).
Kontaminasi S. aureus dalam Pangan
Stafilokoki dapat ditemukan di udara, debu, limbah, air, susu, makanan, atau
peralatan makan, permukaan lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan
hewan adalah reservoir utama. Stafilokoki juga dapat ditemukan lebih dari 50%
di saluran pernapasan, tenggorokan dan di permukaan rambut dan kulit seseorang
yang sehat sekalipun.
Keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi
pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan (Stewart et al.,
2002). Pangan yang dilaporkan dalam berbagai kejadian luar biasa S. aureus
umumnya diolah dengan proses pemotongan, pemarutan, dan pengilingan yang
melibatkan pekerja yang terkontaminasi. S. aureus terdapat luas di alam dan pada
bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan
risiko keracunan pangan akibat S. aureus (Robinson et al., 2000).
Pangan yang memiliki resiko tinggi terhadap bahaya keracunan akibat
Staphylococcus adalah pangan yang normal flora di dalamnya telah mengalami
kerusakan akibat proses pengolahan (misalnya daging yang telah dimasak) atau
dihambat pertumbuhannya (misalnya ikan asin dengan konsentrasi garam yang
10
tinggi). Hal ini berkaitan dengan sifat S. aureus yang merupakan kompetitor
lemah dalam ekosistem mikrobial yang kompleks sehingga adanya bakteri
patogen dan pembusuk lain dapat menghambat pertumbuhannya. Bakteri
psikrotropik sebagai contohnya dapat menghambat pertumbuhan S. aureus pada
penyimpanan suhu rendah (refrigerasi). Selain itu pada proses fermentasi, bakteri
asam laktat dapat memproduksi beberapa senyawa yang mampu menghambat
pertumbuhan
S. aureus seperti asam laktat, hidrogen peroksida dan bakteriosin
(Ash, 2000).
US FDA (1999) menyatakan keberadaan S. aureus dalam pangan dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti proses pengolahan pangan yang tidak tepat
dari segi suhu dan waktu, suhu penyimpanan pangan yang salah yaitu kurang
panas (60°C atau 140°F) atau kurang dingin (7.2°C atau 45°F), dan adanya
kontaminasi silang dari bahan baku mentah maupun pekerja. Penjelasan mengenai
konsekuensi yang ditimbulkan apabila proses pengolahan dan penanganan pangan
tidak dilakukan dengan tepat dapat dilihat pada Tabel 3.
Jalur masuknya S. aureus kedalam bahan pangan biasanya melalui jaringan
kulit atau selaput lendir yang terluka seperti terpotong benda tajam, luka bakar,
gigitan serangga, pengelupasan kulit, atau penyakit kulit lain. Oleh sebab itu,
pekerja dengan luka pada kulit tidak diperbolehkan mengolah makanan terlebih
disertai dengan praktik sanitasi yang buruk yang dapat memperbanyak jumlah
S. aureus (Schaechter et al., 1993).
Apabila S. aureus terkontaminasi ke dalam bahan pangan yang mengandung
nutrisi yang menunjang bagi pertumbuhannya, jumlah S. aureus akan bertambah
dengan laju pertumbuhan yang cepat. Bahan pangan yang menyediakan nutrisi
yang menunjang pertumbuhan S. aureus adalah bahan pangan dengan kadar
protein yang tinggi seperti daging dan produk olahannya, unggas dan produk
olahannya, telur dan produk olahannya, salad yang mengandung telur, tuna, ayam,
kentang dan makaroni, produk bakery, serta susu dan produk olahannya (US
FDA, 1999). Hal ini disebabkan adanya 11 asam amino yaitu valin, leusin,
threonin, phenilalanin, tirosin, sistein, metionin, lisin, prolin, histidin dan arginin
pada produk-produk berprotein tinggi yang mendukung optimasi pertumbuhan
S. aureus (Supardi dan Sukamto, 1999).
11
Tabel 3 Sumber, faktor resiko, dan konsekuensi keberadaan S. aureus dalam
rantai pangan
Sumber
Resiko
Lingkungan Luas
Hewan
Manusia
Udara,
air,
dan
tumbuhan
Lingkungan
Pengolahan
Makanan
Bahan Baku
Karkas
hewan
Produk
olahan hewan
Bumbu
Proses
Pengolahan
Penyajian
Lingkungan
Makanan
Permukaan
kontak
dengan
makanan
Udara, air
Pengolah
makanan
Produk
Pangan
Konsekuensi
jika
resiko tidak terkontrol
Lemahnya
sanitasi Meningkatnya
infeksi
peternakan dan higiene S. aureus pada manusia
perorangan
dan hewan
S. aureus dalam jumlah S.
aureus
bertahan
yang tinggi
selama
proses
pengolahan dan terjadi
kontaminasi silang dari
bahan baku pangan
terhadap
makanan
olahan
Proses Pengolahan tidak S.
aureus
bertahan
mencukupi, pembersihan selama
proses
dan desinfeksi
tidak pengolahan dan terjadi
memadai, sumber air kontaminasi
postburuk dan lemahnya process terhadap produk
sanitasi dan higiene pangan
perorangan
Ketidaktepatan
suhu S.
aureus
penyimpanan,
faktor berkembangbiak
dan
pertumbuhan intrinsik memproduksi
tidak dikendalikan
staphylococcal
enterotoxins (SE)
Penyajian
Hewan
Manusia
Permukaan
kontak
dengan
makanan
Udara dan air
Robinson et al. (2000)
Kontaminasi
dari
enterotoksigenik
S.
aureus
terhadap
makanan yang telah
diolah. Ketidak tepatan
suhu
lingkungan
penyajian makanan
S.
aureus
berkembangbiak
dan
memproduksi
enterotoksin stafilokoki
(SE)
Pangan dengan konsentrasi garam yang tinggi (ham) atau konsentrasi gula
yang tinggi (fla) tidak terlepas dari bahaya konsentrasi S. aureus. Hal ini berkaitan
dengan sifat S. aureus yang tahan terhadap kadar gula dan garam yang tinggi
12
(hingga 20%). Cara yang dianjurkan untuk mengontrol atau mencegah adanya
S. aureus pada pangan yang sudah diolah adalah mendinginkannya hingga suhu
20°C, melarang orang sakit untuk menangani makanan, menggunakan sarung
tangan disposable dalam proses penanganan makanan, melakukan refrigerasi atau
pendinginan pada makanan hingga <10°C dan meminimalkan terjadinya
kontaminasi silang dari bahan mentah ke makanan matang ataupun dari
lingkungan kerja yang kotor serta peralatan yang kotor ke makanan matang (Jay,
2000).
Harmayani et al., (1996) mengevaluasi total bakteri dan S. aureus pada
beberapa sampel pangan menggunakan media Baird-Parker Agar (BPA) yang
dilanjutkan dengan uji koagulase. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa
karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan ayam
panggang bumbu sate memiliki total bakteri sebanyak 6.5 x 107 CFU/g dan total
S. aureus 7.3 x 105 CFU/g. Karkas ayam mentah diproses melalui tahap pencucian
dan perebusan. Pada akhir tahap perebusan, ternyata total bakteri menurun
menjadi 1.7 x 106 CFU/g dan total S. aureus <103 CFU/g. Setelah pembakaran,
total S. aureus berkurang lagi menjadi 5.0 x 102 CFU/g. Namun populasi
S. aureus menjadi 1.5 x 104 CFU/g selama proses pengangkutan dan penyimpanan
pada suhu ruang selama 7.5 jam. Jumlah ini telah melewati batas maksimum
cemaran S. aureus yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM), yaitu 0-5 x 103 sel/g.
Harmayani et al., (1996) juga menyebutkan bahwa karkas ayam mentah
yang digunakan untuk membuat bakso dan sup ayam sudah tercemar S. aureus
sebanyak 1.4 x 105 CFU/g dengan total bakteri 1.9 x 107 CFU/g. Namun dengan
proses pemanasan pada pengolahan bakso maupun sup, total S. aureus mengalami
penurunan menjadi 4.3 x 103 CFU/g dan total bakteri menjadi 6.4 x 105 CFU/g
hingga dihidangkan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2001) dan
Ruslan (2003) menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap
santap telah tercemar bakteri S. aureus, seperti yang terlihat pada Tabel 4.
13
Tabel 4 Data cemaran S. aureus pada beberapa pangan
Jenis Pangan
Jumlah S. aureus (CFU/g)
Sumber Data
Bakso
1.74
a (Hartini, 2001)*
Gado-gado
3.72
a
Mie ayam
1,78
a
Nasi rames
3.21
a
Siomay
2.43
a
Soto ayam
1.65
a
Tauge goreng
5.10
a
Gado-gado
5.81
b Ruslan (2003)**
Kacang panjang rebus
5.61
b
Kol rebus
5.15
b
Wortel rebus
5.23
b
Tauge rebus
4.74
b
Karkas Ayam
5.15
c Harmayani et al., (1996)
Ayam Goreng
2.64
d Sari (2010)
Ayam Kecap
3.22
d
Ayam Opor
3.66
d
Ayam Balado
2.36
d
* Dengan media Vogel-Johnson Agar (VJA), sampel diambil jam 11 siang
** Dengan media Baird-Parker Agar (BPA), sampel diambil 2-3 jam sejak
penjaja mulai berjualan
Perilaku S. aureus dalam Pangan
Bakteri S. aureus yang tidak membentuk spora adalah termasuk bakteri
yang mudah diinaktivasi oleh panas. Ketahanan panas lebih tinggi terutama pada
pangan dengan aktivitas air tinggi (Stewart, 2003). Jika dibandingkan dengan
bakteri lainnya S. aureus memiliki ketahanan panas yang cukup tinggi pada suhu
62.8°C. S. aureus lebih tahan terhadap pemanasan pada heating menstruum susu
dengan suhu 62.8°C jika dibandingkan dengan bakteri nonspora lainnya seperti,
E. coli, Campylobacter jejuni, Streptococcus. faecalis, dan Lactobacillus lactis.
Akan tetapi, S. aureus tidak lebih tahan panas dibandingkan dengan spora bakteri
seperti spora Bacillus cereus, dan Clostridium botulinum.
Thomas et al., (1966) meneliti ketahanan panas dua isolat S. aureus yaitu
isolat MS 149 dan isolat 196E dengan heating menstruum susu skim yang telah
dipasteurisasi. Perlakuan panas yang diberikan berkisar antara 60-68.3°C dengan
jumlah mikroba awal 1.0 x 107- 1.0 x 108 CFU/ml. Dari penelitian ini diketahui
bahwa S. aureus MS 149 memiliki D60 sebesar 3.28 menit dan D65.6 sebesar
14
0.39 menit. Nilai Z yang dihasilkan sebesar 6.04°C. Sedangkan S. aureus 196E
mempunyai D60 sebesar 3.44 menit dan D65.6 sebesar 0.28 menit. Nilai Z yang
diperoleh sebesar 5.10°C. Dari percobaan ini, diketahui bahwa bakteri ini bisa
direduksi dengan pasteurisasi pada suhu 63°C selama 15 menit.
Walker dan Harmon (1966) juga menyelidiki ketahanan panas strain
S. aureus pada susu murni, susu skim, whey keju ceddar, dan fosfat buffer. Strain
yang diujikan dalam penelitian ini meliputi isolat 161-C, S-1, B-120, dan S-18.
Isolat B-120, dan S-18 hanya diujikan pada heating menstruum fosfat dan susu
murni. Suhu perlakuan dalam percobaan berkisar antara 52-62°C. Nilai D hasil
percobaan Walker dan Harmon berkisar antara 0.20-3.50 menit untuk isolat
161-C. Kisaran D-value untuk isolat S-1, B-120, dan S-18 berturut-turut sebesar
0.15-3.0 menit, 0.40-1.50 menit, dan 0.50-2.55 menit.
Eden et al., (1977) mempelajari ketahanan panas strain Staphylococcus
aureus yang diisolasi dari susu mentah dengan metode tabung kapiler. Heating
menstruum yang digunakan adalah susu skim dengan jumlah mikroba awal
1.0 x 109 CFU/ml. Pemanasan dilakukan pada kisaran suhu 50-75oC. Nilai Z
S. aureus sebesar 9.4oC. Nilai D yang dihasilkan dari percobaan Eden et al.,
(1977) berkisar antara 0.02-9.96 menit.
Ketahanan S. aureus dalam susu kambing dipelajari oleh Parente dan
Mazzatura (1991). Dalam percobaan ini digunakan isolat BP3 dan isolat 237.
Metode percobaan menggunakan metode tabung kapiler dengan jumlah mikroba
awal >1.0 x 109 CFU/ml. Suhu yang digunakan berkisar antara 55-68 oC. Nilai D
isolat BP3 berkisar antara 0.03-3.30 menit sedangkan isolat 237 memiliki D-value
sekitar 0.01-10.60 menit. Nilai Z sebesar 4.83 ± 0.06 untuk isolat BP3 dan
4.50 ± 0.05 untuk isolat 237.
El-Banna et al., (1983) menunjukkan bahwa strain S. aureus yang tumbuh
di bawah kondisi stress memilki ketahanan panas lebih tinggi dibandingkan
dengan yang tumbuh pada lingkungan yang mendukung pertumbuhannya. Nilai D
kultur S. aureus yang tumbuh pada suhu 37oC memiliki D60 sebesar 2.73 menit,
sebaliknya yang tumbuh pada suhu 45 oC memiliki D60 sebesar 12.6 menit.
Kennedy et al., (2005) selanjutnya menyelidiki tentang ketahanan panas
S. aureus yang diisolasi dari refrigerator. Percobaan ini bertujuan untuk
15
mengetahui pengaruh pembekuan terhadap ketahanan panas S. aureus. Isolat
S. aureus positif koagulase diujikan pada media pemanas TSB kemudian
dicawankan pada media Baird Parker Agar (BPA), dan media campuran antara
Trypticase Soy Agar (TSA) dengan media BPA. Dua perlakuan diujikan pada
isolat. Perlakuan pertama, isolat diuji ketahanan panasnya secara langsung.
Perlakuan kedua, isolat terlebih dahulu diberi perlakuan pendinginan kemudian
dipanaskan. Hasil dari dua perlakuan kemudian dibandingkan untuk mengetahuai
pengaruh perlakuan pendinginan awal terhadap ketahanan panas. Berdasarkan
percobaan Kennedy diperoleh kesimpulan bahwa perlakuan pembekuan
pendahuluan tidak menghasilkan nilai yang berbeda secara signifikan.
Penyakit karena S. aureus
Kontaminasi S. aureus pada makanan dapat menyebabkan keracunan
(intoksikasi). Hal ini disebabkan karena bakteri tersebut mampu menghasilkan
toksin yang berupa enterotoksin di dalam saluran pencernaan. Enterotoksin dapat
diproduksi apabila kondisi lingkungan mendukung untuk pertumbuhan dan
perkembangan bakteri tersebut, seperti pH dan suhu (Miliotis dan Bier, 2003).
Gejala awal dari keracunan makanan akibat enterotoksin stafilokoki
umumnya berlangsung selama 2-6 jam atau pada masa inkubasi 30 menit sampai
7 jam setelah mengkonsumsi makanan yang mengandung enterotoksin (atau ratarata terjadi pada 2-4 jam), tergantung dari ketahanan individu masing-masing.
Gejala keracunan ditandai dengan mual, muntah, kram perut dan prostrasi.
Pada kasus yang lebih serius ditandai dengan pusing, kram otot dan perubahan
transient pada tekanan darah. Pemulihan umumnya terjadi selama 2-3 hari atau
lebih. Kematian akibat enterotoksin stafilokoki jarang terjadi (Miliotis dan Bier,
2003).
Akibat keracunan stafilokoki, rata-rata korban yang masuk rumah sakit
mencapai 18% dengan nilai fatalitas 0.02%. Kerentanan terhadap keracunan ini
bisa terjadi pada setiap orang, namun biasanya menyerang anak-anak dan
orangtua. Namun intensitas timbulnya gejala pada masing-masing individu
16
berbeda tergantung dari jumlah makanan yang dimakan dan kerentanan terhadap
toksin.
Dosis Infeksi S. aureus
Staphylococcus aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan
gastroenteritis. Jumlah sel yang diperlukan oleh Staphylococcus aureus untuk
menghasilkan racun yang cukup sehingga bersifat meracuni adalah 106 CFU/g
(Buckle et al., 1987; Jay, 2000). Namun berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Harmayani et al., (1996), enterotoksin belum dapat terdeteksi pada
total populasi S. aureus mencapai >106 CFU/g. Pada kasus-kasus keracunan
makanan, biasanya jumlah S. aureus mencapai 108 CFU/g atau lebih.
Shapton dan Shapton (1993) menyatakan bahwa populasi Staphylococcus
aureus yang diperlukan untuk menghasilkan toksin adalah 5 x 106 CFU/g, dimana
toksin yang dihasilkan bersifat tahan panas. Oleh karena itu, walaupun bakterinya
sudah mati karena pemanasan kemungkinan toksinnya masih tetap dapat bertahan.
Menurut Ray dan Bhunia (2008) keracunan Staphylococcus aureus disebakan
karena terkonsumsinya toksin dalam jumlah 100-200 ng yang dihasilkan oleh
106-107 CFU/ml atau CFU/g dalam 30 g/ml makanan. Pada individu yang
memiliki sensitivitas tinggi, dosis 100-200 ng sudah dapat menyebabkan penyakit
(Miliotis dan Bier, 2003).
US FDA (2001) menyatakan bahwa jumlah toksin Staphylococcus aureus
yang diperlukan untuk menyebabkan keracunan pangan sebesar 1.0 μg. Pada level
ini dicapai jumlah bakteri sebanyak 1.0 x 105 CFU/g atau CFU/ml.
Keracunan Makanan oleh Stafilokoki
Keracunan pangan karena Staphylococcus aureus terjadi melalui intoksikasi.
Intoksikasi adalah tertelannya toksin yang dihasilkan oleh bakteri patogen pada
pangan ke dalam saluran pencernaan. Dalam hal ini tidak diperlukan sel vegetatif
selama konsumsi untuk terjadinya keracuanan. Keracunan pada manusia
disebabkan oleh konsumsi enterotoksin yang dihasilkan oleh beberapa strain
Staphylococcus aureus di dalam makanan, biasanya karena makanan tersebut
tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (>60°C) atau cukup dingin (<7.2°C)
17
(Ray dan Bhunia, 2008). Kemampuan galur Staphylococcus aureus untuk tumbuh
dan memproduksi enterotoksin pada kisaran kondisi lingkungan yang luas,
ketahanan panas toksin, dan penanganan yang salah menjadi penyebab utama
kasus keracunan pangan di berbagai dunia (Ray dan Bhunia, 2008).
Tabel 5 Faktor-faktor yang berkontribusi pada kasus keracunan pangan
Faktor
Faktor yang berhubungan dengan pertumbuhan
mikroba
Penyimpanan makanan pada suhu ruang
Suhu pembekuan yang tidak tepat
Penyiapan makanan yang terlalu lama saat penyajian
Holding pada suhu panas yang tidak cukup
Thawing yang tidak tepat
Penyajian makanan dalam jumlah yang terlalu banyak
Faktor yang berhubungan dengan ketahanan mikroba
Pemanasan ulang yang tidak tepat
Pemanasan yang tidak cukup
Faktor yang berhubungan dengan kontaminasi
Pekerja/ karyawan
Kontaminasi pangan olahan nonkaleng
Kontaminasi bahan pangan mentah
Kontaminasi silang
Pembersihan Peralatan pengolahan yang tidak tepat
Sumber yang tidak aman
Kontaminasi makanan kaleng
Forsythe (2000)
Persentase
43
32
41
12
4
22
17
13
12
19
7
11
7
5
2
Pada tahun 1989 di Starkville, Mississippi, terjadi kasus keracunan pangan
S. aureus yang disebabkan karena konsumsi jamur kaleng (CDC, 1989). Sebanyak
22 orang mengalami gastroenteris selama beberapa jam setelah memakan
makanan di kafetaria kampus. Gejala keracunan yang terjadi meliputi mual-mual,
muntah, diare, dan kejang perut. Sebanyak sembilan orang korbannya dilarikan ke
rumah sakit. Setelah diidentifikasi, ditemukan adanya enterotoksin stafilokoki A
pada sampel jamur dalam omlet bar.
Ham juga terlibat pada kasus keracunan di sebuah rumah sakit di Puerto
Rico. Sebanyak 25% dokter, perawat, dan pegawai sakit setelah makan siang
di rumah sakit tersebut. Ham disiapkan oleh sebuah jasa katering pada hari yang
18
sama. Pada ham yang tersisa, muntahan pasien, serta hidung dan tenggorokan
pasien ditemukan S. aureus (Bergdoll, 1992)
Pada bulan September 1997, terjadi kasus keracunan pangan di Florida
(USA) karena konsumsi ham yang terkontaminasi toksin S. aureus. Sebanyak
31 orang dari 125 orang yang mengikuti pesta mengalami keracunan. Gejala
keracunan yang terlihat meliputi mual (94%), muntah (89%), diare (72%),
berkeringat (61 %), menggigil (44 %), lesu (39 %), kram otot (28 %), pusing
kepala (11%) dan demam (11 %). Gejala keracunan berlangsung selama 3-6 jam
setelah mengkonsumsi ham dan berakhir setelah 24 jam. Ternyata, sehari sebelum
pesta, sebanyak 8 kg ham mentah dan packed ham dipanggang selama 1.5 jam
pada suhu 204°C. Setelah dipanggang, ham diiris dengan slicer yang tidak bersih.
Ham yang telah dipotong ditempatkan di wadah plastik yang dilapisi alumunium
foil, dan disimpan selama 6 jam dalam lemari pendingin. Di hari selanjutnya ham
disajikan dalam keadaan dingin. Kemungkinan ham terkontaminasi S. aureus
selama pemotongan dengan slicer (Bergdoll, 1992).
Pada tahun 1996, di Institut Robert Koch, Wernigerode, Jerman dilaporkan
terjadi kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh konsumsi Schwarzwalder
Schinken. Produk ham (sekurang-kurangnya pada 6 batch berbeda) diketahui
terkontaminasi oleh enterotoksin S. aureus. Investigasi lebih lanjut memberikan
beberapa kesimpulan bahwa kontaminasi terjadi karena rendahnya praktik higiene
pada area produksi; produk ham terkontaminasi S. aureus dalam jumlah yang
cukup tinggi dan hampir semua isolat yang diuji menghasilkan enterotoksin
(Bergdoll, 1992).
Akhir Juni tahun 2000, konsumen minuman susu di Jepang mengalami
keracunan akibat S. aureus . Pada 30 Juni 2000, sebanyak 1,152 pasien dilaporkan
mengalami muntah-muntah, mual, dan diare. Pada tanggal 6 Juli jumlah pasien
meningkat sampai 10,780 dan 159 diantaranya dilarikan ke rumah sakit. Setelah
7 Juli, laporan jumlah pasien mengalami peningkatan kembali menjadi 12.929 dan
tanggal 11 Juli pasien mencapai 14,000 pasien. Total, sebanyak 14,555 orang
dilaporkan sakit. Badan Penelitian Epidemiologi Jepang menyatakan bahwa susu
dari Snow Brand Food Co Ltd, perusahaan olahan susu terbesar di Jepang,
terkontaminasi enterotoksin S. aureus. Kontaminasi terjadi karena perusahaan
19
tersebut tidak menggunakan sistem pembersih dan disinfeksi otomatis. S. aureus
dalam jumlah besar terdeteksi di bagian pipa pengolahan. Hal ini terjadi karena
pipa pengolahan tidak dibersihkan selama 3 minggu (Bergdoll, 1992).
Bulan Maret dan April tahun 2002, kasus keracunan pangan akibat
S. aureus terjadi di Australia. Kasus ini mengakibatkan sebanyak 250 orang
menjadi korban. Sekitar 600 orang berpartisipasi dalam kegiatan di Imam Ali
Islamic Centre, Victoria. Pada tempat tersebut disajikan makanan yang terdiri atas
nasi, kentang, dan daging. Beberapa orang langsung mengkonsumsi makanan
tersebut dan sebagian lainnya membawa makanannya ke rumah. Beberapa orang
yang memakan makanannya di rumah mengalami keracunan. Lebih dari
100 pasien dilarikan ke rumah sakit (Bergdoll, 1992).
Sementara di Indonesia tidak semua kasus keracunan pangan dilaporkan.
Menurut Kusumaningrum (2009), nasi bungkus pernah beberapa kali dilaporkan,
seperti kasus keracunan di Tasikmalaya tahun 2009 yang memakan korban
sebanyak 148 orang. Pada nasi bungkus tersebut ditemukan S. aureus. Pada tahun
2005, sebanyak siswa di Sanggau, Kalimantan Barat juga keracunan setelah
mengonsumsi nasi bungkus yang kemudian ditemukan mengandung S. aureus dan
Streptococcus faecalis.
Pada tahun 2007 terjadi keracunan makanan pada 36 orang setelah
mengonsumsi camilan yang terbuat dari beras ketan di sebuah hotel di Kota
Padang. Hasil uji klinis di laboratorium menunjukkan positif S. aureus (Gentina et
al., 2008).
Metode Deteksi S. aureus
Tahapan dalam mendeteksi suatu patogen terdiri dari 5 tahap yaitu : prapengkayaan untuk menyembuhkan kembali sel-sel bakteri yang luka; pengkayaan
untuk meningkatkan proporsi patogen terhadap mikrobiota ; isolasi untuk
mengisolasi atau mengidentifikasi patogen presumtif pada media agar; identifikasi
untuk mengkonfirmasi secara biokimiawi patogen presumtif dan konfirmasi untuk
mengkonfirmasi keberadaan patogen secara serologi atau dengan metode
molekular (US FDA, 2001).
20
Beberapa metode yang dapat digunakan untuk mendiagnosis keberadaan
S. aureus meliputi metode seleksi media, platting secara langsung dan isolasi pada
media pengayaan. Metode isolasi pada media pengayaan dan platting langsung
merupakan metode yang sering digunakan untuk mendeteksi dan menghitung
S. aureus di dalam makanan. Prosedur pengayaan ada yang selektif dan non
selektif. Pengayaan non selektif bertujuan untuk menunjukkan adanya
pertumbuhan sel yang luka (injured) dan dihambat oleh adanya komponen toksik
yang terdapat pada media pengayaan selektif. Penghitungan dengan metode
isolasi pada media pengayaan atau khususnya media selektif, dapat dilakukan
dengan menggunakan metode Most Probable Number (MPN) atau Angka Paling
Mungkin. Metode MPN dapat digunakan sebagai analisis rutin pada produk yang
jumlah S. aureus-nya rendah dan pada makanan yang mengandung populasi
kompetitor tinggi. Metode platting secara langsung cocok digunakan untuk
analisis makanan yang mengharapkan jumlah S. aureus mencapai lebih dari
100 sel/g. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan metode ini adalah
peralatan, media, reagen, persiapan sampel dan prosedur isolasi serta
penghitungan S. aureus (US FDA, 2001).
Media diagnosis yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung
Staphylococcus aureus harus memperhatikan beberapa sifat dari bakteri tersebut
antara lain yaitu kemampuannya untuk tumbuh pada konsentrasi NaCl sebesar 7.5
atau 10%, lithium klorida sebesar 0.01-0.05% dan glisin sebesar 0.12 - 1.26% atau
40 ng/mL polimiksin; kemampuannya mereduksi potasium telurit dan membentuk
koloni hitam secara aerobik maupun anaerobik; bentuk, ukuran dan pigmen
koloni;
aktivitas
koagulase
dan
produksi
asam
pada
medium
padat;
kemampuannya menghidrolisis kuning telur; produksi termonuklease, aseton,
β-galaktosidase, fosfatase dan toksin α (hemolisin) dan dapat tumbuh pada suhu
42-430C di atas agar selektif (Bergdoll, 1990).
Media yang digunakan untuk melihat pertumbuhan S. aureus dan produksi
enterotoksinnya yaitu Trypticase Soya Agar (TSA) yang diinkubasi pada 37oC
selama 24 jam. Media yang digunakan sebagai uji penduga keberadaan S. aureus
yaitu Baird Parker Agar (BPA) sebagai media selektif dengan kandungan kuning
telur (egg yolk) dan telurit. Media yang digunakan untuk pemeliharaan isolat dan
21
mengkonfirmasi koloni tunggal Staphylococcus aureus yaitu agar darah dan Brain
Heart Infusion (BHI) yang diinkubasi pada suhu 370C dengan shaking (US FDA,
2001).
Studi tentang karakterisasi molekular S. aureus telah banyak dilakukan, baik
untuk deteksi dan untuk identifikasi klaster S. aureus, mempelajari hubungan
genetika isolat-isolat yang berasal dari kasus klinis ataupun dari pangan,
menjelaskan keragaman filogenetiknya maupun untuk membuat primer PCR yang
tepat untuk mendeteksi keberadaan bakteri ini.
Shehata (2008) melakukan isolasi S. aureus yang bersumber dari kasus
klinis seperti urin dan pangan seperti daging masak, susu sapi serta susu kacang
kedelai. Isolat kemudian diidentifikasi secara molekular dengan metode Random
Amplified Polymorphic DNA (RAPD)-PCR menggunakan jumlah DNA primer
sebanyak 11 buah, yang terdiri dari 105 buah pita, dimana 59 pita penandanya
bersifat polimorfik dengan ukuran 200-2500 pasang basa. Hasilnya adalah bahwa
isolat yang diuji memiliki 70% koefisien persamaan. Metode ini umumnya
digunakan untuk jumlah sampel yang relatif besar, dan menggunakan DNA
primer yang spesifik serta bervariasi dengan sekuen oligonukleotida acak.
Staphylococcus
aureus
memiliki
beberapa
faktor
virulensi
yang
menyebabkan terjadinya penyakit. Hal ini dapat dideteksi dan diidentifikasi secara
molekular juga, yaitu dengan cara mengamplifikasi gen yang diinginkan melalui
teknik Polimerase Chain Reaction (PCR). Rall et al., (2008) mendeteksi gen
penghasil enterotoksin stafilokoki yang berasal dari susu sapi mentah dan susu
sapi pasteurisasi. Berdasarkan penelitian tersebut, 57 galur S. aureus hasil isolasi,
sebesar 39 isolat (68.4%) positif mengandung satu atau lebih gen SE.
Enterotoksin stafilakoki yang paling ditemukan yaitu SEA (41%) dan SEA
(20.5%).
Identifikasi galur S. aureus dan hubungan filogenetiknya dapat dilihat
berdasarkan gen 16S rRNA. Nilai kesamaan untuk sekuen gen 16S rRNA
terhadap 29 spesies isolat Staphylococcus spp berkisar antara 92 sampai 99%
(Kwok et al., 1999). Selain dengan 16S rRNA, identifikasi S. aureus dan
hubungan filogenetiknya juga dapat dilakukan secara lebih spesifik, yaitu dengan
melakukan amplifikasi gen nuc, yang merupakan gen penyandi enzim nuklease
22
stabil terhadap panas dan gen hsp60 (heat shock protein 60 kDa). Hasilnya
menunjukkan bahwa kedua gen tersebut lebih dapat membedakn secara efektif
genus dan spesies bakteri Staphylococcus (Stackebrandt dan Goebel, 1994).
Enterotoksin Stafilokoki (SE)
Enterotoksin stafilokoki (SE) adalah kelompok protein dengan rantai
tunggal dan bersifat antigenik dengan berat molekul sekitar 26,000-29,000 yang
diproduksi oleh beberapa jenis stafilokoki terutama oleh S. aureus, tetapi bisa
juga oleh S. intermedius, S. hyicus, S. xylosus dan S. epidermis. Enterotoksin
termasuk protein netral dengan nilai isoelektrik sebesar 7 – 8.6. Zat ini resisten
terhadap enzim-enzim proteolitik, seperti tripsin dan pepsin, hal inilah yang
memungkinkan bagi enterotoksin untuk dapat masuk ke dalam saluran pencernaan
menuju sisi aksinya. Toksin ini sangat stabil dalam pemanasan, dan membuat
enterotoksin menjadi titik potensial bahaya kesehatan dalam pembuatan makanan
kaleng (Monday dan Bennet, 2003).
Ada sekitar 14 jenis enterotoksin stafilokoki berbeda yang telah
diidentifikasi sampai saat ini. Keempat belas jenis SE (SEA hingga SEO)
diidentifikasi berdasarkan antigenisitasnya dan mereka dinamakan dengan huruf
abjad secara berurutan berdasarkan waktu penemuannnya. Tidak ada enterotoksin
F karena huruf ini telah dialokasikan sebagai sebuah protein yang bukan
enterotoksin, yaitu toxic shock syndrome toxin (TSST) (Monday dan Bennet,
2003). Enterotoksin stafilokoki merupakan suatu protein pendek yang dapat
disekresikan di dalam medium larut air dan larutan-larutan garam. Beberapa
karakteristik biokimia SE ditampilkan pada Tabel 6.
23
Tabel 6 Karakteristik utama SE
Jenis SE
A
B
C1
C2
C3
C(Bovine)
C(Domba)
C(kambing)
D
Panjang
ORF
(bp)
Panjang
Prekursor
(aa)
774
801
801
801
801
257
266
266
266
266
Panjang
SE
Matang
(aa)
233
239
239
239
239
Berat
Molekul
(kDa)
27100
28336
27531
27531
27563
27618
27517
27600
26360
pI
Referensi
7.3
8.6
8.6
7.8
8.1
7.6
7.6
7.0
7.4
Betley dan Mekalanos, 1985, 1988
Johns dan Khan, 1988
Bohach dan Sclievert, 1987
Bohach dan Scilievert, 1989
Hovde et al., 1990
Marr et al., 1993
Marr et al., 1993
Marr et al., 1993
777
258
228
Chang dan Bergdoll, 1979
Bayles dan Landolo, 1989
E
774
257
230
26425
7.0
Couch et al., 1988
G
777
258
233
27043
5.7
Munson et al., 1998
H
726
241
218
25210
Td
Su dan Wong, 1995
I
729
242
218
24928
Td
Munson et al., 1998
J
806
268
2452
285652
8.652
Zhang et al., 1998
K
729
242
219
25539
6.5
Orwin et al., 2001
1
1
1
2
2
L
723
240
215
24593
8.66
Fitzgerald et al., 2001
M
7221
2391
2171
244822
6.242
Jarraud et al., 2001
N*
7201
2581
2271
260672
6.972
Jarraud et al., 2001
O*
7831
2601
2321
267772
6.552
Jarraud et al., 2001
*Sebelumnya bernama SEK dan SEL di dalam Jarraud et al., 2001, dinamakan kembali berturut-turut menjadi SEM
dan SEO, di dalam catatan koreksi dipublikasi di dalam J. immunol 166 : 4260 (2001)
1
Panjang SE matang ditentukan oleh penulis setelah Henrik Nielson, Jacob Engelbrecht, Seren Branak dan Gunnar
von Heijne : Identification of prokayotic and eukaryotic signal peptides and prediction of their cleavage sites.
Protein Eng 10 :1-6 (1997)
2
Berat molekul dan titik isoelektrik SE matang ditentukan oleh penulis menggunakan software MWCALC,
Infobiogen, http://www.infobiogen.fr/service/analyseq/cgi-bin/mwcalc_in.pI
Td, tidak ditentukan
Le Loir et al. (2003)
Enterotoksin stafilokoki disandikan oleh gen-gen yang berlokasi di plasmid,
bakteriofag, atau elemen genetik heterolog (phatogenicity islands). Proses
translasi akan menghasilkan sebuah protein prekursor yang mengandung sekuen
utama dengan N-terminal yang dibelah selama pemindahan dari sel untuk
membentuk protein enterotoksin matang. Adanya sedikit variasi di dalam proses
modifikasi pasca translasi sangat mungkin terjadi, sebagai bukti yaitu keberadaan
tiga iso-form SEA dengan tiga titik isoelektrik yang berbeda. Enterotoksin
stafilokoki kaya akan residu amino lisin, asam aspartat, asam glutamat dan tirosin.
Secara keseluruhan, 15% residu asam amino akan tetap terpelihara di dalam SE
24
dan ini terjadi pada empat bentangan sekuen utama yang berlokasi baik di tengah
maupun di C terminal.
Tabel 7 menampilkan persentase identitas asam amino dari beberapa jenis
enterotoksin stafilokoki yang menunjukkan seberapa besar kemiripan antar
mereka.
Tabel 7 Persentase identitas asam amino pada SE yang berbeda
f
Toksin
SEA
SEB
SEC1
SED
SEE
SEG
SEH
SEI
SEJ
SEM
SEN
SEA
100
33
30
50
83
27
37
39
64
35
39
37
100
68
35
32
43
33
31
33
29
32
36
100
31
29
41
27
26
30
26
29
33
100
52
27
35
33
51
41
38
39
100
27
35
35
63
37
39
37
100
34
28
29
28
31
30
100
33
35
38
34
31
100
34
31
31
57
100
38
42
33
100
28
31
100
42
SEB SEB
SEC1 SEC1
SED
SEE SEE
SEG SEG
SHE SEH
SEI SEI
SEJ SEJ
SEM SEM
SE
SEN
SEO
100
SEO SEO
Setelah Jarraud et al., 2001. Penamaan dikoreksi oleh penulis setelah catatan koreksi dipublikasi di dalam
J. Immunol. 166:4260. Amino acid sequences of the precursors were compared using Blast2 sequence
(open gap of 11 and extension gap penalties of 1)
Le Loir et al. (2003)
Gen yang menyandi setiap SE mempunyai support genetiknya masingmasing, namun kebanyakan berupa elemen-elemen genetik yang bersifat mobil.
Sebagai contoh, sea dibawa oleh famili faga sederhana. Berdasarkan
kromosomnya, seb berlokasi pada beberapa isolat klinis, dimana seb ditemukan
pada plasmid ukuran 750 kb pada galur-galur S. aureus lainya. Enterotoksin
SECbovine disandikan oleh gen yang berlokasi pada phatogenicity island dan see
dibawa oleh faga yang tidak sempurna. Sistem regulator utama yang mengatur
ekspresi gen faktor virulensi S. aureus adalah aksesori gen regulator (agr) yang
beraksi dengan bergabung dengan aksesori regulator staphylococcal (sar).
Beberapa gen SE diatur oleh sistem agr. Gen seb, sec, dan sed menunjukkan
25
ketergantungan pada gen agr, sedangkan sea dan sej tidak bergantung pada gen
agr. Penelitian yang dilakukan oleh Zhang et al. (1998) menunjukan bahwa SEB
yang menyerupai toxic shock syndrome toxins (TSST) tidak mempunyai regulator
untuk transkripsi gen eksoprotein dan karenanya SEB bergantung pada sistem
agr. Ekspresi gen agr sangat berkaitan dengan quorum sensing, produksi SE yang
bergantung pada agr di dalam komponen makanan bergantung pada kemampuan
S. aureus untuk meningkatkan densitas sel yang tinggi (diperkirakan 106 CFU/g)
di dalam makanan, dan faktor lingkungan memainkan peran penting di dalam
ekspresi gen SE (Betley dan Mekalanos, 1985). Tabel 8 menampilkan support
genetik pada beberapa gen enterotoksin stafilokoki.
Ada dua sifat enterotoksin stafilokoki, yaitu aktivitas mitogenitas dan
emetik yang berlokasi pada bagian protein yang berbeda. Aktivitas mitogenitas
toksin dipostulatkan pada segmen N-terminal (BM sekitar 6,000), sedangkan
segmen
C-terminal
dan
molekul
bagian
tengah
sebagai
sisi
yang
bertanggungjawab terhadap aktivitas emetik. Kebanyakan SE mempunyai ikatan
sistin yang dibutuhkan untuk pembentukan konformasi yang tepat dan yang
kemungkinan besar terlibat dalam aktivitas emetik. SE bersifat sangat stabil, tahan
enzim-enzim proteolitik seperti pepsin atau tripsin sehingga mereka tetap dapat
beraktivitas di dalam saluran pencernaan meskipun ada kerja enzim proteolitik.
SE juga tahan terhadap kerja enzim kemotripsin, renin, dan papain. Namun, ikatan
sistin pada SEB dan SEC1 dapat dipecah oleh kerja enzim tripsin. SEB dapat
dihancurkan oleh kerja enzim pepsin pada pH 2, tetapi akan resisten terhadap
pepsin pada pH lebih tinggi dimana merupakan kondisi normal di dalam perut
setelah proses pencernaan makanan. Enterotoksin stafilokoki sangat tahan panas;
toksin diketahui lebih tahan panas di dalam produk makanan dibandingkan jika
dikulturkan pada suatu media, tetapi mereka tetap dapat diinaktivasi dengan
perlakuan panas seperti sterilisasi makanan kaleng apabila jumlahnya rendah
(Bergdoll, 1983).
26
Tabel 8 Support genetika pada beberapa gen penyandi SE
Gen
sea
seb
sec1
secbov
sed
see
seg
Lokasi Genetika
Profaga
Referensi
Betley dan Mekalanos, 1985; Borst dan
Betley, 1994
Kromosom,
plasmid, Shafer dan Landolo, 1978; Shalita et al.,
transposon
1977; Altboum et al., 1985
Plasmid
Altboum et al., 1985
Phatogenicity island
Fitzgerald et al., 2001
plasmid (pIB485)
Bayles dan Iandolo, 1989
fage cacat
Couch et al., 1988
Enterotoxin gene cluster Jarraud et al., 2001
(egc), kromosom
egc, kromosom
Jarraud et al., 2001
plasmid (pIB485)
Zhang et al., 1998
Phatogenicity island
Orwin et al., 2001
Phatogenicity island
Fitzgerald et al., 2001
egc, kromosom
Jarraud et al., 2001
egc, kromosom
Jarraud et al., 2001
egc, kromosom
Jarraud et al., 2001
sei
sej
sek
sel
sem
sen*
seo*
*
Le Loir et al., (2003)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi SE
Enterotoksin stafilokoki merupakan salah satu faktor virulensi yang dimiliki
oleh S. aureus. Faktor virulensi inilah yang menyebabkan bakteri tersebut bersifat
patogen, terutama jika sudah mengontaminasi produk pangan. Dampaknya tidak
lain adalah keracunan pangan.
Banyak variabel yang mempengaruhi jumlah produksi enterotoksin, oleh
karena itu tidak ada hal dapat memprediksi dengan tepat jumlah dari S. aureus
dalam masakan yang dibutuhkan untuk menyebabkan SFP (Staphylococcal food
poisoning) ini. Faktor yang berkontribusi terhadap tingkat konsentrasi
enterotoksin telah secara luas dipelajari, antara lain komposisi masakan,
temperatur, dan keberadaan dari inhibitor (Doyle et al., 1997).
Enterotoksin diproduksi pada kisaran suhu yang lebih rendah daripada suhu
pertumbuhan normal S. aureus, suhu mempengaruhi baik jumlah maupun tingkat
27
produksinya. Suhu optimum untuk produksi enterotoksin sama dengan suhu
optimum pertumbuhan dari bakteri S. aureus tersebut, sedangkan batas suhu untuk
produksi enterotoksin sekitar 10ºC. Pada suhu ini produksi enterotoksin sangat
lambat dan dalam satu penelitian dibutuhkan empat minggu untuk memproduksi
enterotoksin (SEB) dari inokulasi sebanyak 106/g pada daging babi. Enterotoksin
stafilokoki sangat resisten terhadap pembekuan dan pemanasan. Enterotoksin
dapat bertahan pada semua jenis proses pasteurisasi komersial dan kadangkala
dapat bertahan pula dalam proses sterilisasi pada makanan kaleng (Lund, 2000).
Enterotoksin Staphylococcus diproduksi pada kisaran pH yang lebih rendah
dari pada nilai kisaran pH pertumbuhan bakterinya, dan batas pH untuk dapat
memproduksi enterotoksin pada makanan asam adalah 5. Nilai pH optimum untuk
produksi enterotoksin berada pada kisaran 7 - 8. Sementara itu, secara umum nilai
aw optimum untuk produksi enterotoksin lebih tinggi dari pada batas aw
pertumbuhan bakteri S. aureus tersebut (Lund, 2000). Sumber lain yang
menyajikan data mengenai faktor-faktor atau kondisi yang dapat mempengaruhi
produksi enterotoksin dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Faktor-faktor yang mampengaruhi produksi enterotoksin yang
dihasilkan oleh S. aureus
Faktor Pengaruh
Produksi Toksin
Optimum
Kisaran
Suhu (ºC)
35-40
10-45
pH
5,3-7,0
4,8-9,0
aw
≥0,9
0,86-0,99
Atmosfer
5-20% 02
Anaerobik sampai aerobik
NaCl %
0,5
0-20
Adam dan Moss (1995)
Dalam bahan masakan tidak ada faktor tunggal yang dapat mengontrol
pertumbuhan, daya tahan atau produksi enterotoksin oleh bakteri S. aureus,
melainkan kombinasi dari beberapa faktor seperti aw, pH, Eh, dan suhu. Interaksi
faktor-faktor tersebut terjadi dalam bahan pangan yang diolah secara berbeda,
28
diformulasikan dengan cara yang berbeda, dan disimpan dalam kondisi tertentu.
(Lund, 2000).
Sistem regulator utama yang mengatur ekspresi gen faktor virulensi
S. aureus adalah berupa aksesori gen regulator (agr) yang beraksi dengan
bergabung dengan aksesori regulator staphylococcal (sar). Staphylococcus aureus
dalam memproduksi enterotoksin stafilokoki membutuhkan beberapa kondisi
lingkungan yang mendukung seperti asam amino pada kebutuhan nutrisinya,
konsentrasi garam dan tingkat keasaman. Staphylococcus aureus membutuhkan
asam amino valin untuk pertumbuhannya dan arginin serta sistein untuk
pertumbuhan sekaligus produksi enterotoksin stafilokoki. Untuk beberapa jenis
enterotoksin stafilokoki seperti SEB dan SEC, keberadaan glukosa justru dapat
menghambat produksi enterotoksi stafilokoki. Kondisi ini merupakan dampak dari
proses metabolisme glukosa yang dapat mempengaruhi tingkat keasaman di
lingkungan sekitarnya atau menurunkan pH . Hal ini juga sangat berpengaruh
terhadap ekspresi gen agr, sebagai gen regulator utama yang mengatur ekspresi
gen faktor virulensi (Le Loir et al., 2003).
Produksi
enterotoksin
stafilokoki
akan
optimal
jika
kondisi
pH
lingkungannya netral dan menurun pada kondisi pH yang terlalu asam (di bawah
5). Beberapa penelitian melaporkan bahwa pada pH 8,0 produksi SE sangat
terhambat. Sedangkan pada pH 6,0 produksi SE akan berkurang sebanyak 50%
dibandingkan dengan pH 7,0 (Supardi dan Sukamto, 1999). Pada umumnya
produksi SEA kurang sensitif terhadap pH daripada SEB. Kultur medium yang
dipertahankan pH-nya pada pH 7 menghasilkan lebih banyak SEB daripada kultur
medium yang tidak dipertahankan pH-nya atau yang dipertahankan pH-nya pada
kondisi asam. Menurut ICMSF (1996), SEA dapat dihasilkan pada aw yang lebih
rendah daripada SEB. SEA dan SED umumnya dihasilkan pada kisaran kondisi
pertumbuhan yang lebih luas daripada SEB. Produksi enterotoksin dapat dihambat
dengan etil-4-hidroksibenzoat.
Selain itu penambahan asam dengan menggunakan beberapa jenis larutan
seperti asam asetat dan asam laktat juga dapat mempengaruhi produksi
enterotoksin stafilokoki. Asam asetat memilki efek penghambatan yang kuat
dibandingkan dengan asam laktat dalam produksi enterotoksin stafilokoki.
29
Penambahan sodium klorida yang cukup tinggi meningkatkan efek penghambatan
tingkat keasaman. Enterotoksin stafilokoki tidak diproduksi pada konsentrasi
garam di atas 12%. Pada SEB, SEC dan SED, pH yang tinggi atau bersifat basa
juga mampu menurunkan produksi enterotoksin stafilokoki jenis tersebut sehingga
ekspresi gen agr juga terhambat (Le Loir et al., 2003).
Staphylococcus aureus merupakan salah satu jenis bakteri yang tidak
mampu untuk berkompetisi dengan bakteri lainnya. Kompetisi bakteri yang terjadi
di dalam produk susu menunjukkan bahwa pertumbuhan S. aureus yang bertahan
cukup sedikit dan enterotoksi stafilokoki yang diproduksi pun juga sedikit
jumlahnya. Bakteri asam laktat (BAL) yang umumnya terdapat di dalam susu
pertumbuhannya lebih bersifat dominan karena bakteri ini memproduksi beberapa
senyawa yang mampu menghambat pertumbuhan S. aureus seperti asam laktat
yang mampu menurunkan pH, oksigen peroksida dan substansi antimikrobial
lainnya (bakteriosin) (Le Loir et al., 2003). Beberapa penelitian melaporkan
bahwa spesies tertentu dari bakteri asam laktat dapat menghambat pertumbuhan
S. aureus dan produksi enterotoksinnya, terutama golongan streptokoki dan
pediokoki misalnya Pediococcus cerevisiae. Sedangkan Lactobasili dan
Leuconostoc tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan hanya sedikit
mempengaruhi
produksi
toksin.
Bakteri-bakteri
lain
misalnya
Serratia
marcescens, E. coli, dan Streptococcus faecalis tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan sel S. aureus, tetapi menghambat produksi enterotoksin (Ikeda, et
al., 2005).
Mekanisme Aksi SE
Pada mekanisme aksinya, enterotoksin stafilokoki yang dihasilkan oleh
bakteri S. aureus memiliki sifat yang berbeda dalam memicu terjadinya kasus
keracunan pangan. Enterotoksin tersebut ada yang bersifat memicu terjadinya
muntah atau emetic activity dan ada yang bersifat superantigen. Namun
mekanisme superantigen activity sudah jauh lebih baik karakterisasinya
dibandingkan dengan emetic activity.
Keberadaan cystine loop pada struktur enterotoksin stafilokoki menjadikan
hal penting dalam terjadinya emetic activity. Hal ini tidak sama dengan
30
enterotoksin stafilokoki tipe I (SEI), yang meskipun memiliki struktur cystine
loop tetapi SEI bersifat superantigen dan emetic (Le Loir et al., 2003; Pinchuk et
al., 2009).
Antigen sebagai sesuatu yang asing bagi tubuh, akan direspon oleh sistem
imun yang ada, dalam hal ini adalah sel T. Sebagai senyawa asing, antigen akan
berinteraksi dengan reseptor antigen sel T atau T-Cell Antigen Receptors (TCR)
dan Major Histocompability (MHC) pada permukaan Antigen-Presenting Cells
(APC) (Le Loir et al., 2003 dan Pinchuk et al., 2009).
TCR akan mengalami proses glikosilasi heterodimer membentuk rantai α
dan β serta rantai δ dan γ. Hal ini merupakan bagian dari tahap awal respon imun
selular dan sebagai hal utama yang berperan dalam meningkatkan spesifisitas
respon imun tubuh. Namun untuk kasus keracunan pangan yang disebabkan oleh
enterototoksin stafilokoki, SE sebagai superantigen akan berinteraksi dengan
reseptor antigen sel T (TCR) yang memiliki rantai spesifik ν dan β. Dari proses
tersebut akan membentuk ikatan silang antara TCR dengan MHC kelas II pada
permukaan APC. Ikatan silang ini yang menyebabkan terjadinya aktivitas nonspesifik dan proliferasi sel T serta produksi sitokin yang berlebih seperti
interleukin-1 (IL-1), IL-2, interferon gamma (IFN-γ) dan Tumor Necrosis Factor
Alpha (TNF-α), sehingga terjadi efek toksisitas SE. Toksisitas SE mampu
mengaktivasi terjadinya Toxic Shock Syndrome (Le Loir et al., 2003 dan Pinchuk
et al., 2009). Mekanisme aksi enterotoksin stafilokoki seperti yang terlihat pada
Gambar 2.
31
Gambar 2 Mekanisme aksi SE (Pinchuk et al., 2009)
Konstruksi Pustaka Gen 16S rRNA
Keragaman mikroba mudah dimengerti melalui sistem klasifikasi. Metode
molekuler untuk klasifikasi dan identifikasi berdasarkan filogenetik menggunakan
parameter yang tidak bergantung pada kondisi pertumbuhan dan media yang
digunakan. Pendekatan yang umumnya digunakan saat ini adalah melalui analisis
sekuen gen 16S rRNA atau 23S rRNA. 16S rRNA merupakan gen yang bersifat
spesifik terhadap spesies prokariot (Amann et al. 1994). RNA bekerja membawa
informasi genetik dari DNA menjadi protein di dalam ribosom, dan RNA ribosom
(rRNA) merupakan komponen utama penyusun berat ribosom, yaitu mencapai
65%. 16S dan 23S rRNA merupakan bagian dari subunit 30S dan 50S pada
ribosom. Apabila 16S rRNA diisolasi dalam bentuk murni kemudian dicampur
dalam urutan spesifik yang benar pada suhu yang sesuai, maka molekul ini secara
spontan dapat menyusun diri kembali membentuk subunit 30S yang identik dalam
struktur dan aktivitasnya dengan subunit 30S yang asli (Lehninger, 1982).
32
Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR atau polimerisasi berantai adalah teknik amplifikasi (perbanyakan)
DNA spesifik dengan melakukan proses pemanjangan nukleotida dari primer yang
merupakan pasangan komplementer dari utas DNA secara simultan. Proses
pemanjangan nukleotida dilakukan oleh DNA polimerase berdasarkan cetakan
DNA (Muladno, 2002; Yusuf, 2001).
Menurut Muladno (2002), tahap-tahap PCR meliputi tahap denaturasi,
penempelan primer pada cetakan DNA (annealing) dan tahap pemanjangan
primer melalui reaksi polimerisasi nukelotida (extention).
1. Denaturasi
Tahap ini merupakan tahap pengudaran DNA utas ganda menjadi DNA utas
tunggal,
dimana
masing-masing
untai
dapat
mencetak
pasangannya
(komplementer). Denaturasi berlangsung pada suhu 90-95oC.
2. Penempelan primer pada cetakan DNA (annealing)
Tahap ini merupakan tahap penempelan primer pada utas DNA cetakan yang
telah terdenaturasi menjadi utas tunggal akibat kecocokan pasangan basa.
Umumnya penempelan terjadi pada suhu 55-57oC untuk primer 20 mer dan
34-40oC untuk primer 10 mer. Suhu penempelan primer yang ideal umumnya
adalah 5oC di bawah suhu leleh (Tm) dari tiap primer (Sambrook et a., 1989)
3. Pemanjangan primer DNA
Setelah primer menempel pada utas tunggal DNA cetakan, maka DNA
polimerase akan mensintesis utas DNA yang baru berdasarkan utas DNA
cetakan. DNA polimerase mulai mensintesis DNA dengan mengikatkan
deoksinukleotida pada ujung 3’-OH dari primer, sehingga arah pertumbuhan
utas DNA yang baru adalah 5’-P ke 3’-OH. Síntesis DNA atau pemanjangan
primer ini dilakukan pada suhu cukup tinggi, yaitu sekitar 72oC supaya tahap
berikutnya (denaturasi protein) relatif lebih mudah dan enzim Taq DNA
polimerase dapat bekerja optimal.
Ketiga tahap di atas akan berulang beberapa kali sehingga proses
amplifikasi DNA dapat terjadi. Untuk memudahkan proses reaksi berantai ini,
maka reaksi dilakukan oleh mesin PCR. Mesin PCR terdiri dari suatu alat
pemanas dan pendingin yang dapat diprogram sehingga dapat memanaskan pada
33
suhu dan selang waktu yang dikehendaki untuk setiap siklus pada suatu reaksi.
Banyaknya pengulangan sangat tergantung dari kemampuan DNA polimerase
untuk mensintesis DNA dan biasanya berkisar antara 25 dan 40 siklus. Reaksi
polimerisasi ini berantai atau berulang, maka dibutuhkan primer dalam jumlah
realtif banyak. Efisiensi reaksi dapat dilakukan dengan perlakuan pra-PCR pada
suhu 95oC selama 5 menit untuk mendenaturasi DNA cetakan yang ukurannya
relatif besar. Setelah reaksi selesai, biasanya ditambahkan perlakuan pasca-PCR
pada suhu 72oC selama 5 menit. Hasil amplifikasi dapat dilihat dengan melakukan
migrasi di dalam gel (elektroforesis).
Menurut Sambrook et al., (1989) Kegagalan reaksi PCR selain karena tidak
sempurnanya denaturasi atau suhu annealing yang terlalu tinggi, juga disebabkan
oleh beberapa faktor lain diantaranya :
1. Konsentrasi DNA cetakan
Proses PCR tidak memerlukan DNA dengan tingkat kemurnian tinggi, namun
amplifikasi akan terganggu apabila DNA cetakan masih banyak yang
terkontaminasi dengan deterjen, EDTA maupun fenol. Konsentrasi DNA yang
dibutuhkan adalah 10-100 ng untuk setiap reaksi.
2. Pemicu reaksi
Primer adalah rantai utas tunggal DNA yang pendek dan terdiri dari beberapa
nukleotida. Umumnya terdiri atas 10-25 nukleotida (oligonukleotida). Primer
yang biasa digunakan dalam percobaan adalah primer acak dan primer spesifik.
Primer acak adalah primer yang susunan basa nukleotida seimbang sehingga
dapat digunakan untuk analisis DNA dengan sampel yang belum diketahui
susunan basa nukleotidanya. Primer spesifik adalah primer yang susunan basa
nukleotidanya telah diketahui dan merupakan komponen dari utas DNA yang
akan dianalisis.
3. Enzim Taq DNA Polimerase
Pada proses replikasi DNA diperlukan adanya enzim untuk polimerisasi jalinan
DNA. Enzim yang mampu mengkatalis replikasi DNA disebut DNA
polimerase dan jenis yang biasa digunakan adalah Taq. Enzim ini bersifat
termostabil, yang berasal daribakteri termofilik Thermus aquaticus yang dapat
bertahan hidup pada suhu 94oC. Taq DNA polimerase bekerja secara optimum
34
pada suhu 75-80oC dan digunakan untuk membantu amplifikasi potongan
primer dan proses pemanjangan DNA. Aktivitas enzim ini akan terhambat oleh
adanya bufer fosfat, tetapi akan aktif apabila ditambahkan 10 mM tris dalam
bufer pada suhu ruang dengan pH 8.3 (Sambrook et al. 1989). Taq DNA
polimerase mulai aktif pada pH 8.2 - 9.0 dan suhu 65 - 72oC.
4. dNTP
dNTP yang digunakan berupa campuran dari keempat macam nukleotida yaitu
dATP, dGTP, dTTP dan dCTP. Larutan stok dNTP bersifat netral pada pH
sekitar 7.0. Konsentrasi dNTP yang digunakan berkisar antara 0.1 - 1.6 mM
untuk setiap reaksi. dNTP masih bersifat stabil sampai proses siklus berulang
50 kali hanya berkurang 50% (Newton, 1995).
5. Mg2+
Mg2+ mempengaruhi aktivitas enzim Taq DNA polimerase karena ion Mg2+
berfungsi sebagai kofaktor yang dapat membentuk kelat dengan larutan EDTA.
Ion ini berperan dalam kestabilan primer pada tahap penempelan primer.
6. Bufer
Bufer PCR terdiri atas larutan Tris-HCl dengan konsentrasi 10-50 mM dan pH
8.3 - 8,8 serta berperan dalam keberhasilan proses amplifikasi (Innis dan
Gelfand, 1990). Proses penempelan primer pada bufer PCR dapat ditambahkan
KCl dengan konsentrasi 50 mM.
Perunutan Basa Nukleotida (Sekuensing)
Sekuensing DNA adalah suatu proses penentuan urutan basa suatu DNA.
Proses ini menggunakan prinsip reaksi polimerisasi DNA secara enzimatis. Reaksi
yang dilakukan secara in vitro ini dikembangkan oleh Sanger dengan cara
memasukkan satu nukleotida ddNTP (dideoksi nukleosidatrifosfat) yang berbeda
ke dalam masing-masing 4 reaksi untuk menghentikan reaksi polimerisasi. Teknik
dideoksi sekuensing hanya mampu membaca dengan teliti urutan basa sepanjang
400 sampai dengan 500 bp (Brown, 1992).
Sekuen DNA adalah informasi penting untuk mengetahui identitas, fungsi
dan modifikasi suatu fragmen DNA atau gen dalam rekayasa genetik atau
35
bioteknologi secara umum. Berikut adalah tahap-tahap yang dilakukan dalam
sekuensing :
(i) Disiapkan empat macam reaksi polimerisasi DNA yang masing-masing
mengandung primer DNA, dATP, dCTP, dGTP, dTTP, enzim DNA
polimerase.
(ii) Selanjutnya ke dalam masing-masing tabung ditambahkan satu ddNTP yang
berbeda dan reaksi dijalankan.
(iii) Hasil reaksi difraksionasi (dielektroforesis dengan gel poliakrilamida).
(iv) Fragmen DNA hasil pemisahan kemudian divisualiasaikan secara otomatis
atau manual (Brown, 1992).
Analisis Keragaman Genetika
Keragaman mikroorganisme mudah dimengerti melalui sistem klasifikasi
dan identifikasi berdasarkan filogenetik. Pendekatan yang umum digunakan
dewasa ini adalah melalui analisis sekuen gen 16S rRNA. Gen 16S rRNA
merupakan gen bagian dari DNA yang bersifat spesifik terhadap organisme
prokariot, sehingga dapat dikatakan bahwa gen 16S rRNA juga dibentuk oleh gen
16S rDNA (Amann et al. 1994).
Sekuen gen 16S rRNA memiliki ukuran sekitar 1550 bp dan terdiri dari
dua daerah, yaitu variable region dan conserved region. Conserved region
umumnya menggunakan primer yang bersifat universal dengan ukuran sekitar
540 bp. Variable region merupakan daerah sekuen yang digunakan untuk
membandingkan tingkat genus, spesies dan subspesies dalam taksonomi.
Sekuen gen 16S rRNA dapat membandingkan pada tingkat genus, spesies
dan bahkan subspesies. Jika dibandingkan dengan 16S-23S rRNA, 16S rRNA
lebih mudah digunakan dalam analisis filogenetik. Hal ini menyebabkan
16S-23S rRNA tidak dapat dipergunakan secara luas (Clarridge, 2004). Metode
konvensional untuk melakukan identifikasi bakteri seperti karakterisasi fenotipik
(morfologi dan reaksi biokimiawi) ternyata tidak cukup sensitif untuk
membedakan antar galur bakteri. Hal ini disebabkan karena metode konvensional
umumnya dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologis. Oleh karena itu pada tahun
1980-an, mulai dikembangkan standar baru untuk identifikasi bakteri berdasarkan
36
bagian yang stabil dari kode genetik. Beberapa kandidat bagian yang stabil untuk
area genetik bakteri antara lain 5S, 16S, 23S rRNA dan ruang-ruang antar gen-gen
tersebut. Bagian DNA yang sekarang banyak digunakan untuk tujuan taksonomi
bakteri adalah gen 16S rRNA. Hal ini disebabkan oleh beberapa alasan, yaitu : (i)
gen 16S rRNA terdapat pada semua galur bakteri, (ii) gen 16S rRNA memiliki
fungsi yang tidak berubah sepanjang waktu dan (iii) gen 16S rRNA memiliki
ukuran panjang yang cukup untuk tujuan informatika (1500 bp). Metode lain
seperti hibridisasi DNA sebenarnya memberikan resolusi yang lebih baik
dibandingkan dengan sekuensing 16S rDNA, hanya saja metode ini sulit
(memerlukan penggunaan isotop dan ketidakmudahan dalam membuat database
sentral) dan membutuhkan banyak tenaga (Claridge, 2004).
Metode identifikasi bakteri secara molekular bermanfaat untuk menganalisis
keragaman genetik suatu spesies bakteri. Pengetahuan ini sangat berguna dalam
melakukan evaluasi epidemiologi, sehingga sejarah alami suatu penyakit dan
karakterisasi faktor-faktor risiko suatu penyakit dapat lebih mudah dimengerti,
serta dapat meningkatkan perawatan medis yang lebih efektif dan tepat sasaran.
Analisis keragaman genetik dapat diuji berdasarkan organisasi genom,
ekspresi gen, struktur dan fungsi seluruh protein yang dimiliki oleh suatu
organisme, salah satunya menggunakan bioinformatika. Bioinformatika adalah
cabang komputasi dari ilmu biologi molekuler, yang mencakup teknologi
pengumpulan, penyimpanan, analisis, intepretasi, distribusi dan aplikasi dari
informasi biologi, sehingga untuk menggunakannya diperlukan internet dan
server world wide web (www). Aplikasi bioinformatika menggunakan program
komputer untuk analisis data biologi dan penyimpanan sejumlah data biologi yang
dihasilkan genome project. Bioinformatika banyak berhubungan dengan sekuen,
struktur, fungsi dan perbandingan seluruh genom, struktur 3 dimensi protein serta
manajemen data (Claverie & Notredame, 2007).
Beberapa program komputer dan database untuk bioinformatika yang dapat
digunakan melalui internet antara lain: GeneMArk, NCBI (National Center for
Biotechnology Information) dan Expasy. Akses NCBI dapat melalui program
PubMed, Entrz, BLAST, Blankit, Taxonomy dan OMIM. Salah satu program
yang umum digunakan adalah BLAST (Basic Local Alignment Search Tool), yang
37
merupakan
program
untuk
mencari
kesamaan
yang
didesain
dalam
mengeksplorasi permintaan semua database sekuen, baik berupa DNA maupun
protein. Selain itu, BLAST juga dapat digunakan untuk mendeteksi hubungan
antar sekuen yang hanya berbagi daerah tertentu dan yang memiliki kesamaan
(Claverie dan Notredame, 2007).
Terdapat beberapa variasi BLAST yang masing-masing dibedakan
berdasarkan tipe sekuen (DNA atau protein) yang dicari dengan sekuen pada
database. Menurut Claverie dan Notredame (2007) beberapa jenis program
BLAST adalah sebagai berikut : BLAST untuk membandingkan sekuen asam
amino dengan sekuen protein dalam database, BLASTN untuk membandingkan
sekuen nukleotida dengan sekuen nukleotida dalam database dan BLASTX untuk
membandingkan sekuen nukleotida yang ditranslasi pada seluruh ORF (Open
Reading Frame) dengan sekuen protein database.
Pada umumnya, bioinformatika dapat digunakan melalui beberapa tahap,
diantaranya PubMed untuk mencari pengetahuan tentang subjek biologi secara
cepat, mendapatkan sekuen protein maupun DNA yang relevan, membandingkan
sekuen protein maupun DNA yang tersedia di database menggunakan BLAST
dan melakukan analisis multiple alignment sekuen protein maupun DNA dengan
Clustal W serta membangun pohon filogenetik (Claverie dan Notredame, 2007).
BLAST merupakan alat pembanding suatu sekuen yang dicari dengan
sekuen yang telah diketahui dengan cepat, yang dapat menjelaskan apakah sekuen
yang ada memiliki kesamaan cukup signifikan atau tidak. Informasi ini dapat
digunakan untuk berbagai macam tujuan yaitu meliputi perkiraan fungsi protein,
struktur 3 dimensi dan organisasi domain atau identifikasi homologi dengan
organisme lain. Sekuen yang serupa berasal dari nenek moyang yang sama
(Claverie dan Notredame, 2007).
Hasil BLAST terdiri dari tiga bagian yang berbeda, yaitu grafik yang
menunjukkan bagaimana porsi kesamaan sekuen yang dibandingkan, daftar hits
yang berisi nama sekuen yang serupa dengan yang dicari urut berdsarkan
kesamaan dan penjajaran (alignment) antara sekuen yang dicari dengan sekuen
yang ada pada database (Claverie dan Notredane, 2007).
38
Multiple alignment digunakan untuk mengidentifikasi protein sekuen
dimana sesungguhnya asam amino spesifik terdapat, yang dapat memberikan
integritas struktural atau fungsi protein, menentukan tanda sekuen spesifik untuk
famili protein serta mengklasifikasi sekuen dan membangun pohon filogenetik.
Filogenetik adalah filogeni yang sesungguhnya membandingkan gen-gen yang
ekivalen yang datang dari beberapa spesies untuk merekonstruksi pohon
kehidupan (genealogic tree) dari spesies-spesies ini dan mengetahui siapa yang
relatif berkerabat dekat dengan yang lain. Tujuan filogeni adalah merekonstruksi
sejarah kehidupan dan menjelaskan adanya keragaman makhluk hidup. Prinsip
filogeni adalah mencoba mengelompokkan makhluk hidup menurut tingkat
similaritas (Claverie dan Notredame, 2007).
Download