BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi yang sering diidentikan sebagai puncak perkembangan umat manusia, terjebak dalam paradoks yang berujung pada perdebatan panjang. Pada satu sisi globalisasi bermakna positif sebagai pilar modernisasi sedangkan pada sisi yang lain globalisasi memicu munculnya implikasi negatif dalam berbagai ranah kehidupan. Tidak terkecuali perkembangan budaya kontemporer. Dewasa ini budaya kontemporer tidak hanya dipahami sebagai representasi atas proses perkembangan estetik, intelektual dan spritual, melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Dalam aktualisasinya budaya kontemporer dihadapkan pada relativitas nilai khususnya dalam proses produksi dan konsumsi. Relativitas nilai menjadi basis munculnya konstruksi atas produk budaya. Hanya saja, konstruksi yang berlangsung berimplikasi negatif terhadap munculnya segmentasi kelas sosial. Sehingga mengaburkan konsep keindahan, bentuk, dan kualitas yang secara kultural bersifat relatif1. Perkembangan budaya kontemporer yang berlangsung memberi rangsangan positif terhadap perkembangan musik. Dangdut menjadi salah satu produk atas manifestasi budaya kontemporer. Sejauh ini, dangdut dipandang sebagai produk budaya multidimensi. Hal ini ditunjukkan melalui unsur khas yang melekat dalam dangdut. Unsur khas dangdut termanifestasi dalam beberapa bentuk fenomena yang menyertai dangdut seperti budaya melayu yang terdapat dalam syair, lirik, dan fenomena saweran serta joget. 1 Barker, Chris. 2011. Cultural Studies.Yogyakarta : PT Kreasi Wacana. Hal 44 1 Faktual, potret realita terkait jaringan sosial yang dibentuk penyanyi dangdut dewasa ini semakin terasa kompleks. Sebagai bagian dari upaya menunjukkan sekaligus mempertahankan eksistensi pertunjukan dangdut tidak lagi membatasi diri individu tersebut dalam ranah status dan peran semata. Sehingga pertunjukan dangdut mampu menjadikan Penyanyi dangdut berkembang mempertahankan eksistensi dan profesionalitas kerjanya dengan mengoptimalisasikan jaringan secara lebih luas. Sehingga dangdut menjadi lebih terarah dalam mempertahankan performanya. Lingkungan adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya. Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia sosial, sebuah dunia penuh kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri. Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu, antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis modal yang mereka miliki, maka ia mendapatkan posisi terbaik dalam arena tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Contohnya, dalam ranah ekonomi, misalnya dalam suatu komunitas, terjadi sebuah kompetisi antar individu, yaitu sesama anggota masyarakat. Dalam ranah tersebut, seorang individu atau kelompok yang memiliki modal atau sarana-prasarana paling menunjang maka ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat menguasai pasar, dapat mapan secara materi dan lebih maju dibandingkan saingannya. Begitu juga dengan orkes melayu yang memiliki modal ekonomi yang besar mereka mampu memiliki fasilitas yang bagus demi meningkatkan kualitas pertunjukan, sehingga group tersebut mampu bertahan. 2 Merujuk pada aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif. Pada konteks ini representasi atas produk budaya menjadi basis stigmatisasi, dan dangdut tidak dapat terlepas dari konsekuensi stigmatisasi-negatif. Ada anggapan dikalangan masyarakat bahwa dangdut adalah musik marginal,tanpa identitas dan tentu saja identik dengan erotisme dan seksualitas. Panggung Basiyo yang terletak di jalan Veteran, Pandean (eks terminal bus Umbulharjo) Yogyakarta merupakan kawasan yang di bangun dengan konsep terpadu yang ditawarkan kepada masyarakat dalam satu paket, pusat kerajinan, toko seni rupa dan kerajinan, ditambah lagi adanya pertunjukan hiburan dan pementasan musik campursari, koes-plusan dan petunjukan musik dangdut. Panggung Basiyo memiliki potensi yang cukup baik untuk menjadi tujuan wisata di Kota Yogyakarta karena lokasi yang strategis dan jenis barang yang dijual di pasar tersebut cukup diminati oleh wisatawan luar daerah. Panggung Basiyo menjadi salah satu ruang publik yang secara konsisten mengembangkan musik dangdut sebagai alternatif pariwisata. Panggung tertutup Panggung Basiyo (baca : Istana Dangdut) ditujukan bagi orang-orang dewasa (baca : kaum muda). Penelitian ini memberikan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis fenomena pertunjukan musik di Yogyakarta. Tidak hanya terbatas pada justifikasi personal melainkan kerangka analisis sosial yang melihat dangdut sebagai ruang 3 negosiasi yang komunikatif. Dalam hal ini, pertunjukan dangdut menjadi bagian dari upaya penanaman nilai dan moral melalui peran dan statusnya. Terakhir, menjelaskan tentang ruang komunikatif yang terwujud dalam konsensus yang terbentuk diantara jaringan komunitas pecinta dangdut dan usaha mempertahankan jaringan untuk membangun komunikasi dengan manajemen orkes melayu yang ada di Panggung Basiyo. 1.2 Rumusan Masalah Proses ujian proposal mengubah fokus rumusan masalah penelitian ini dari pertanyaan bagaimana jaringan yang dibentuk penyanyi dangdut di Panggung Basiyo dan usaha yang dilakukan para penyanyi dangdut di Panggung Basiyo dalam mengembangkan dan mempertahankan jaringan sosialnya menjadi : 1. Bagaimana pola hubungan sosial yang tumbuh dan berkembang di Panggung Basiyo? 2. Mengapa terjadi relasi-relasi sosial di panggung basiyo tersebut terjadi? 1.3 Tujuan dan Manfaat a. Menjelaskan proses perjalanan sebuah pertunjukan dangdut sehingga mampu melihat komponen-komponen yang menjadi bagian dari sebuah pertunjukan. b. Mengetahui serta menjelaskan alur dan pola bentuk jaringan yang dibangun penyanyi dangdut di Panggung Basiyo dalam mempertahankan eksistensinya di masyarakat. Dan melihat usaha yang dilakukan penyanyi dangdut untuk 4 membangun dan mempertahankan jaringan serta eksistensinya di Panggung Basiyo yang berimbas pada karirnya dimata masyarakat umum. 1.4 Kerangka Konseptual a. Arena Produksi Kultural Ketertarikan Bourdieu terhadap dunia dominasi kultural juga tercitrakan melalui teori Arena Produksi Kultural. Dalam teorinya ini, Bourdieu secara lebih spesifik menempatkan ranah estetika (seni) sebagai sebuah sistem ranah „lainnya‟ yang memuat dinamika dominasi dari sebuah inti kebudayaan. Pekerjaan teoritiknya ini melibatkan sederetan aktor yang bermain di dalam sebuah institusi kesenian macam penerbitan buku-buku sastra, kelompok fotografi, galeri seni dll, dan menempatkan mereka ke dalam wadah gagasan yang disebutnya sebagai The Makers of The Work of Art. Inti dari gagasan Bourdieu ini adalah bahwa apa yang menyebabkan sebuah karya seni begitu berharga, layak untuk ditampilkan di muka publik, apa yang membuat seorang penyanyi itu bersinar dan menarik dimata konsumen bukanlah terletak pada karismatik owner musiknya. Melainkan apa yang disebut sebagai arena produksi yang dipahami sebagai sebuah sistem jaringan relasi-relasi objektif diantara agen-agen atau institusi-institusi tersebut dan sebagai wilayah pergulatan untuk memperoleh monopoli kekuasaan untuk mengkonsekrasi, tempat di mana nilai karya seni dan kepercayaan terhadap nilai terus menerus dihasilkan.2 Singkatnya, apa yang membentuk sebuah sistem nilai yang dikemudian hari berhasil menentukan posisi seorang penyanyi dangdut dan musik yang ditawarkan menetapkan garis pembatas imajiner dengan produk estetis lainnya dan 2 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, (Yogyakata:2010), hal. 81. 5 mengklasifikasi pengunjung lewat permainan selera adalah hasil dari sebuah teori Arena Produksi Kultural dimana:3 “Teori Arena (mengarah) pada penolakan terhadap kaitan langsung biografi individual dengan karya sastra (atau yang berkaitan dengan „kelas sosial‟ yang menjadi asal suatu karya) maupun pada penolakan terhadap analisis internal karya individual bahkan analisis intertekstualnya. Karena yang mestinya kita lakukan adalah melakukan keduanya secara bersamaan.” Teori Arena Produksi Kultural ini dipergunakan untuk mempetakan dan menjelaskan asal usul panggung Basiyo XT Square. Kata identitas di sini dimaknai sebagai sebuah pembeda, tinta hitam di atas lembaran putih, yang tervisualisasikan melalui ciri khas yang ditawarkan oleh panggung musik tersebut. Analisis ini kemudian juga digunakan sebagai penghantar untuk menjelaskan proses terciptanya dan lebih jauh, keberfungsian modal simbolik dan modal kultural yang terdapat di dalam Bentara Budaya Yogyakarta. b. Distingsi4 dan Selera Kelas Habitus menghasilkan sebuah sistem klasifikasi yang memungkinkannya untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan gaya hidup yang spesifik dan hubungannya dengan posisi kelas, dan kemampuan ini membuatnya memiliki kapasitas untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktek-praktek dan produk yang disebut taste atau selera yang sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya hidup terbentuk. 3 Ibid, hal. xxiii. Peneliti memilih penggunaan kata ‘distingsi’ sebagai terjemahan dari distinction yang bermakna lebih dari sekedar keberbedaan atau yang menonjol karena ada unsur keunggulan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka yang memenangkan suatu pertarungan. 4 6 Selera adalah suatu disposisi yang mampu membedakan sekaligus mengapresiasi, dengan kata lain suatu bentuk kemampuan untuk menentukan dan memberi „tanda batas keberbedaan‟ melalui sebuah proses distingsi. Selera merupakan kemampuan praktis untuk meraba atau naluri tentang apa yang akan terjadi, yang akan menimpa individu yang menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial. Selera berfungsi sebagai semacam orientasi sosial, ‘a sense of one’s place’, yang menunjukkan di mana seharusnya seseorang berada. Karena itu agen-agen sosial selain menjadi produsen tindakan-tindakan yang bisa diklasifikasi, mereka juga memproduksi klasifikasi yang mereka sendiri juga terklasifikasi di dalamnya. Bila arena produksi budaya adalah field of forces, arena kekuatan-kekuatan yang dinamis di mana beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya dan pertarungan tersebut dilihat dapat mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan, maka selera berada di jantung pertarungan simbolik tersebut yang berdasar pada gaya hidup para agen. Hal tersebut diperjelas Bourdieu dalam Distinction5 yang menyatakan bahwa “para borjuis baru adalah inisiator perubahan etika ekonomi baru demi kelangsungan hidupnya. Logika baru ekonomi telah membuang jauh etika asketisme seperti abstinence, puasa menghindari keduniawian dengan berhemat, menabung dengan penuh perhitungan, dan sebaliknya justru merangkul moralitas hedonistik dari konsumsi yang didasari oleh credit, spending and enjoyment, hutang, belanja dan penikmatan.” 55 distinction,1984, Bab III: Class Tastes and Lifestyles 7 Juru bicara untuk gaya hidup semacam itu adalah para penjaja benda-benda dan jasa simbolik seperti para jurnalis, dunia penerbitan dan sinema, dunia fashion dan iklan, dunia desain dan pengembangan properti. Melalui anjuran-anjuran yang terus menerus mengiklankan gaya hidup sebagai model atau panutan, para penentu selera baru memunculkan moralitas seni pengkonsumsian, pembelanjaan dan penikmatan. Mereka inilah the new cultural intermediaries, para perantara kebudayaan baru, karena melalui merekalah batas-batas area kebudayaan yang semula tertutup dapat diakses dan menjadi milik publik. c. Konversi Antar Modal Keterputusan Bourdieu dengan objektivisme ditandai pula oleh keterputusan Bourdieu dengan ekonomisme Marx dan terlebih kepada Marxis modern. Menurutnya, Marxisme modern terlalu mendewakan faktor ekonomi sebagai struktur yang membentuk diri agen dan mengabaikan kemampuan agen untuk mempengaruhi struktur.6 Ekonomisme juga tidak bisa menemukan ruang bagi kepentingan simbolik di dalam analisis-analisis mereka.7 Namun demikian, lagi-lagi kita harus mengingat bahwa keterputusan Bourdieu dengan ekonomisme tidak serta merta dalam rangka memuseumkan gagasan mereka. Sebaliknya, Bourdieu mencangkok logika ini dalam rumusan dinamika modal miliknya. Penggunaan logika ekonomi tersebut dapat kita telusuri dari tulisannya yang berjudul The Forms of Capital. Bourdieu mengakui penggunaan logika ekonomi dalam analisis terminologi jenis-jenis modal:8 6 Harker, Ibid, hal. xvii. Harker, Ibid, hal. 6. 8 Bourdieu, „The Forms Of Capital‟, dalam J. G. Richardson (ed.), Handbook Of Theory and Research for the Sociology of Education, (New York:1986), hal. 46. 7 8 “Economic theory has allowed to be foisted upon it a definition of the economy of practices which is the historical invention of capitalism; and by reducing the universe to mercantile exchange, which is objectively and subjectively oriented towards the maximalization of profit, i.e., (economically) self-interested, it has implicity defined the other forms of exchange as noneconomic, and therefore disinterested.” Dalam tulisannya Bourdieu melacak penggunaan „modal lain‟ yang berafilisasi dengan modal ekonomi jauh ke era invasi kapitalisme oleh bangsa Eropa beberapa abad silam. Kata kunci untuk mengenali „modal lain‟ ini terletak pada kata disinterested sebagai „sesuatu yang mampu disembunyikan‟ dari kepentingan ekonomi secara materi. Dari titik ini, Bourdieu kemudian memperkenalkan satu bentuk modal yang luput dari pengamatan Marxisme moderen sekaligus sebagai bentuk „keterputusan yang berkesinambungan‟ dengan paham ekonomisme tersebut yakni modal simbolik. Modal simbolik menurut Bourdieu bekerja bukan dari sifat kematerialannya, melainkan melalui serangkaian proses yang disebutnya misrecognized (kesalahpengenalan). Bourdieu menjelaskan kesalahpahaman ini dalam teori Arena Produksi Kultural yang bersumber dari kerja empirisnya dalam melihat arena produksi seni di Prancis.9 Ia melihat bagaimana bisnis seni yang dijalankan dealerdealer seni, gedung pertunjukan dan penerbit buku-buku sastra mampu mendatangkan limpahan materi atas penjualan benda-benda seni yang secara material tidak berharga (priceless). Praktik-praktik bisnis semacam ini berjalan dengan berpretensi tidak mengerjakan apa yang sedang dikerjakan dan, dengan menyangkal logika umum, para produsen benda seni tersebut membiarkan diri hanyut di dalam dua pembicaraan yang kontradiktif dan sama-sama keliru.10 9 Lihat Randal Johnson dalam Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Ibid, hal. v. Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Ibid, hal. 73. 10 9 Penempatan modal simbolik sebagai protagonis dalam arena produksi kultural di atas (dan dalam beberapa judul jurnal) bukan tanpa sebab. Definisi ranah yang selalu dikaitkan dengan proses mencapai otoritas legitimit11 (yang dalam arena produksi kultural kerap disebut „prestise‟ atau „konsekrasi‟) menjadi titik temu betapa pentingnya keberadaan modal ini dalam suatu ranah. Bourdieu kemudian menyebut bahwa di dalam setiap modal mengandung unsur-unsur basis dominasi.12 Karena itulah kemudian modal simbolik menjadi kunci dalam setiap kemungkinan pertukaran modal di dalam ranah apapun. Masih dalam tulisannya The Forms of Capital, Bourdieu memetakan jenisjenis modal sebagai tempat persembunyian modal simbolik di dalam setiap arena sebagai berikut:13 “…capital can present itself in three fundamental guises: as econimic capital, which is immadiately and directly convertible into money and may be institutionalized in the form of property rights; as cultural capital, which is convertible, in certain conditions, into economic capital and may be institutionalized in the form of educational qualifications; and as a social capital, made up of social obligations (connections), which is convertible, in certain conditions, into economic capital and may be institutionalized in the form of a title of nobility.” Oleh Kristian Stokke, probabilitas konversi antar modal menurut Bourdieu coba diterangkannya melalui bagan gerak dinamis antar modal sebagai berikut:14 Gambar 2.1 Gerak Dinamis Pertukaran Modal 11 Otoritas legitimit disini tidak selalu berafilisasi dengan ranah politis, melainkan secara sempit dimaknai sebagai suatu bentuk upaya penguasaan atas beragam modal yang akan menempatkan seorang aktor pada posisi tertinggi di dalam ranah. Bourdieu sendiri memahami ranah sebagai arena perjuangan untuk mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan. (Lihat Bourdieu (1983), The Field of Cultural Production or the Economic World Reversed) 12 Harker, Ibid, hal. 16 13 Bourdieu,The forms of Capital, Ibid, hal. 47. 14 Diambil dari makalah Kristian Stokke yang berjudul Habitus, Capital and Fields:Conceptualizing The Capacity of Actors in Local Politics, hal. 10, pada laman www.uino.no/stokke/Publications/Bourdieu.pdf. Diakses pada hari Kamis, 4 September 2014, pada pukul 14.35 WIB. 10 Economic Capital Material wealth Symbolic Social Capital Capital Social Legitimate networks authotiry Cultural Capital Informational assets Gagasan Bourdieu lainnya terkait konversi antar modal dipakai dalam penelitian ini untuk membantu memetakan praktik dominasi penyanyi memaksimalkan modal yang dimiliki dalam meraih karirnya. Analisis ini menjadi ekstensi dari penjabaran temuan melalui teori (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik: analisa pemetaan modal antar aktor di dalam ranah yang dilakukan melalui rumusan (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik dipertajam dengan teori pertukaran modal antar aktor yang kemudian menjelaskan praktik dominasi terselubung yang dilakukan salah satu aktor determinan melalui modal simbolik. Demikian beberapa uraian singkat perihal alur pemikiran Pierre Bourdieu yang dipergunakan dalam penelitian kali ini. Dimulai dari cara Bourdieu melihat fenomena sosial –yakni cara berpikir relasional dan utuh terhadap berbagai penampakan faktor subjektif maupun objekif– ; perkenalan dengan rumusan (Habitus x modal) +ranah = Praktik, sebagai instrumen pembedah realitas sosial 11 sekaligus sebagai implementasi posisi teoritiknya yang tidak memihak; sebuah disposisi estetis yang membentuk cara kerja dan „nilai tawar‟ modal kultural; posisi penting modal simbolik dalam upayanya untuk membongkar dominasi kultural lagi sebagai bentuk ucapan selamat tinggal terhadap determinisme ekonomi struktural Marx dan Marxis; dan last but not least, adalah gagasannya perihal pertukaran atau konversi antar modal yang terjadi di dalam sebuah ranah. Perlu dicatat bahwa gagasan-gagasan tersebut tidaklah mewakili keseluruhan kerangka berpikir Bourdieu dalam rangka membongkar dominasi kultural yang menjadi salah satu perhatian studinya selama bertahun-tahun. Karena satu hal yang pertama kali harus diingat ketika membaca dan mempergunakan pemikiran Bourdieu adalah bahwa ide-idenya ditulis, direpresentasikan, dan ditulis kembali dengan gaya dialektis dan dengan cara kerja spiral antara teori, kerja empiris, dan kembali lagi merumuskan ulang teori pada tingkat yang berbeda.15 d. Konsep Jaringan Pada awalnya Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “Modal hubungan sosial yang memberikan dukungan-dukungan bermanfaat; modal harga diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menerik para klien ke dalam posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar, misalnya dalam karier politik kemudian ia memperbaiki pandangannya sebagai berikut: Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan.” Bourdieu berargumen, mustahil memahami dunia sosial 15 Richar Harker, op. cit., hal. 3. 12 tanpa mengetahui peran „modal dalam segala bentuknya, dan tidak sekadar dalam satu bentuk yang diakui oleh teori ekonomi‟. Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprosikal (Damsar, 2002:157). Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif. Dalam hal ini analisis jaringan sosial lebih ingin mempelajari keteraturan individu atau kelompok berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Wafa, 2006:162). Analisis jaringan sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Granovetter melukiskan hubungan ditingkat mikro itu seperti tindakan yang melekat dalam hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai 13 seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu sebagai berikut: 1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil. 2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih luas. 3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non- acak. Di satu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C. 4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang antara kelompok jaringan maupun antara individu. 5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara tidak merata. 6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama, sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya. 1. Hubungan Jaringan dengan Ekonomi Telah lama diketahui bahwa kontak pribadi membekali pencari kerja dengan cara yang sangat efektif untuk menemukan posisi baru dan memperoleh promosi, 14 sementara itu sejak tahun 1990-an berbagai jaringan perusahaan, penelitian dan pembuat kebijakan seringkali dipandang sebagai faktor menentukan dalam mendorong inovasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Jaringan dipandang penting bagi keberhasilan bisnis. Jaringan berfungsi sebagai sumber informasi penting, jaringan pun dapat membantu memberikan akses keuanggan. Jaringan juga dipandang memberikan kontribusi bagi gaya manajemen yang konsisten dan stabil, yang pada gilirannya dapat menjadi sesuatu yang vital untuk mendorong perusahaan tetap bertahan dari guncangan eksternal, khusunya sektor yang pasang surut seperti konstruksi. Modal sosial memiliki hubungan dengan ekonomi. Dalam paparannya yang begitu berpengaruh tentang kinerja sekolah di kota-kota amerika, james coleman mengembangkan konsep modal sosial sebagai cara mengintegrasikan teori sosial dengan teori ekonomi, dengan mengklaim bahwa modal sosial dan modal manusia secara umum saling melengkapi. 2. Hubungan Jaringan dengan Politik Analisa Jaringan Sosial dalam ranah politik memungkinkan hubungan antarorang dapat dipetakan untuk menentukan aliran pengetahuan: siapa yang mencari informasi dan pengetahuan dan kepada siapa; Siapa yang membagi informasi dan pengetahuannya dan dengan siapa; Tidak sama dengan peta organisasi yang menggambarkan hubungan formal (struktur organisasi) siapa bekerja dimana dan siapa melapor kepada siapa, maka Analisa Jaringan Sosial adalah peta yang menggambarkan hubungan yang actual yang terjadi siapa mengetahui siapa, dan siapa yang membagi informasi dan pengetahuan kepada siapa. Dengan penerapan Analisa Jaringan Sosial maka seseorang dapat memvisualisasi dan memahami 15 bahwa beberapa hubungan dapat memfasilitasi atau bahkan merintangi proses penciptaan pengetahuan baru dan saling berbagi pengetahuan. Sebab secara normal hubungan ini tidak tampak. Di era informasi saat ini, pengelompokan sosial terdiri dari individu-individu atau sekumpulan individu yang justru berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda-beda (heterogen) terjadi proses “homopili”. Dalam satu jaringan sosial, para anggotanya terdiri dari individu-individu dengan latar belakang yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan melakukan studi jaringan sosial maka dengan sendirinya menggambarkan keragaman latar belakang dari populasi (atribut – seperti status pekerjaan, sukubangsa, keyakinan, budaya, tingkat pendidikan dan sebagainya). Dengan demikian, dapat dikaji pengelompokan-pengelompokan sosial (jaringan sosial) yang justru susunannya “heterogen” (latar belakang/”atribut” yang beragam) terikat menjadi “satu kesatuan sosial” untuk memahami logika situasional (hukum kuasi) yang terwujud. Selain itu, Analisa Jaringan Sosial juga mampu menjelaskan penyebaran atau penolakan ide-ide dan praktek-praktek baru sebab agen perubahan dan Opinion Leader sering memainkan peran utama dalam adopsi (penerimaan dan penolakan) sebuah inovasi yang pada akhirnya mampu memberi sumbangan terhadap perkembangan teori-teori difusi dan inovasi. Harapan dengan adanya Analisa Jaringan Sosial dalam ranah politik individu dapat mengidentifikasi kebutuhan dan persoalan yang dihadapi oleh masing-masing jaringan sosial sehingga bisa diprediksi solusi-solusinya serta pemimpin seperti apa yang mampu menyelesaikan kebutuhan dan persoalan kolektif mereka. 3. Hubungan Jaringan dengan Kesenian 16 Pendekatan jaringan sosial sebagai salah satu pendekatan dalam studi antropologi berupaya untuk memahami bentuk dan fungsi hubungan-hubungan sosial dalam masyarakat yang kompleks. Pendekatan jaringan sosial mulai dikembangkan secara intensif pada tahun 1970-an. Pendekatan jaringan sosial timbul karena ada rasa ketidakpuasan dari para ahli antropologi terhadap pendekatan struktural fungsional. Para ahli antropologi saat itu merasakan adanya kekurangan dari pendekatan struktural yang mereka gunakan ketika mulai mengarahkan perhatian mereka pada masyarakat kompleks. Hal ini terjadi karena pendekatan struktural fungsional dibangun melalui penelitian-penelitian pada masyarakat tribal yang masih sederhana dan berskala kecil dengan perubahan yang relatif lambat. Dengan pendekatan struktural fungsional, para ahli dapat mengungkapkan dengan baik keseluruhan aspek kebudayaan dan hubungan antaraspek kebudayaan tersebut pada masyarakat yang ditelitinya dalam kesatuan yang fungsional. Namun, kesulitan timbul ketika para ahli antropologi berupaya untuk memahami susunan hubungan sosial yang terdapat dalam masyarakat setempat yang sudah kompleks. Oleh karena kesulitan-kesulitan tersebut, maka para ahli antropologi membutuhkan suatu model baru yang dapat digunakan untuk memahami gejala-gejala sosial yang kompleks, terutama dalam masyarakat perkotaan; dan konsep jaringan sosial menjadi jawaban untuk mengatasi kesulitan tersebut. Mereka melihat pentingnya jaringan-jaringan hubungan personal untuk memahami perilaku masyarakat. Keterikatan individu-individu dalam hubungan-hubungan sosial adalah pencerminan dirinya sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan masyarakat, hubungan-hubungan sosial yang dilakukan individu merupakan suatu upaya untuk mempertahankan keberadaannya. 17 Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal kuantitas dan kualitas atau intensitas hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun dalam kehidupan masyarakat terbuka luas peluang bagi individu untuk melakukan hubungan sosial secara maksimal. Hubungan-hubungan tersebut tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga banyak individu. Keterhubungan antarindividuindividu tersebut akan membentuk suatu jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat. Pendekatan jaringan sosial berupaya mengatasi kekurangan pendekatan struktural fungsional yang cenderung statis dalam memahami masyarakat. Kecenderungan statis dari pendekatan struktur sosial adalah memahami sistem dalam masyarakat yang senantiasa bersifat serasi, selaras dan seimbang (harmony). Sesuatu yang luput dari perhatian dalam pendekatan struktur fungsional adalah adanya dinamika yang ada di dalam masyarakat. Di antara dinamika tersebut adalah adanya dimensi-dimensi yang tersembunyi (hidden dimension) dalam masyarakat. Dalam konteks inilah maka pendekatan jaringan sosial memiliki signifikansi. Meskipun Radcliffe-Brown menjadi tokoh struktural fungsional, namun pada bagian tertentu Radciffe-Brown juga menyebutkan bahwa masyarakat merupakan jaringan dari jaringan-jaringan sosial (network of social networks). Setelah itu, konsep jaringan sosial ini direvisi oleh beberapa ahli di antaranya Mitchell, 1969; Barnes, 1969; Epstein, 1969; Wolfe, 1976 dan Macmillan, 1986. Jaringan sosial pertama kali digunakan oleh Barnes di dalam studinya mengenai umat gereja yang menempati sebuah pulau di Norwegia. Konsep yang digunakannya kemudian dikembangkan oleh Bott dalam studinya mengenai peranan suami-istri yang terdapat pada keluarga-keluarga di London. Keduanya melihat 18 jaringan sosial sebagai rangkaian hubungan-hubungan yang dibuat oleh seorang individu di sekitar dan berpusat pada dirinya sendiri berdasarkan atas pribadinya. Pada saat Barnes meneliti masyarakat nelayan di Bremnes, Norwegia, ia merasakan bahwa analisis struktural fungsional pada masa itu yang (tahun 50-an) yang sudah umum digunakan oleh kalangan ahli antropologi Inggris untuk meneliti suatu kebudayaan masyarakat, kurang memadai. Sebelumnya, studi-studi klasik di bidang antropologi telah memanfaatkan analisis struktural fungsional untuk memahami kebudayaan suatu masyarakat tribal atau masyarakat sederhana berskala kecil. Kesulitan yang dihadapi Barnes adalah bahwa kondisi masyarakat Bremnes tidak dapat lagi disebut sebagai masyarakat sederhana, sehingga untuk memahami susunan hubungan-hubungan sosial yang terdapat di masyarakat setempat, penerapan secara konvensional analisis struktural fungsionalisme dirasakan kurang memadai lagi. Atas dasar itu, analisis jaringan sosial diusulkan untuk mengatasi kekurangan analisis struktural fungsionalisme. Suatu saran penting lain dari Barnes adalah bahwa pendekatan jaringan sosial itu cocok untuk menganalisis masalah lapisan sosial, terutama lapisan sosial yang tidak tradisional, tidak resmi dan tidak ketat. Namun metodologi apa yang sebaiknya digunakan para ahli ilmu sosial untuk melakukan analisis seperti itu, tidak jelas juga. Walaupun Barnes belum sampai mengembangkan konsep social network itu lebih lanjut, konsep itu sudah menjadi terkenal di kalangan ilmu-ilmu sosial yang lebih luas. Dalam studinya tentang struktur hubungan-hubungan sosial ini, Barnes mengatakan bahwa masyarakat menjalin ikatan-ikatan sosial berdasarkan atas unsurunsur kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan. Ikatan-ikatan tersebut dapat berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang sepadan 19 atau tidak sepadan. Atas dasar ini Barnes menyebutkan bahwa ikatan-ikatan tersebut merupakan unsur pembentuk sistem kelas yang ada di Bremnes. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap individu memiliki peluang yang sama antara berhubungan atau tidak berhubungan dengan beberapa orang. Setiap orang melihat dirinya sebagai pusat dari jaringan yang dimilikinya. Ikatan-ikatan sosial yang terbentuk merupakan sarana yang menjembatani hubungan-hubungan di antara anggota jaringan. Dalam masyarakat yang tidak begitu kompleks, tentu saja hubungan-hubungan tersebut terjadi lebih intensif. Ditegaskan oleh Barnes bahwa ikatan-ikatan jaringan-jaringan kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan tidak bersifat eksklusif. Dalam jaringanjaringan yang terbentuk tersebut hubungan-hubungan sosial dan keanggotaannya melampaui batas-batas teritorial dan keberadaan masyarakat yang bersangkutan. Jaringan sosial sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang yang karakteristik hubungan-hubungan tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Definisi jaringan sosial yang lain diberikan oleh Suparlan, yaitu: Jaringan sosial adalah sebagai suatu pengelompokan yang terdiri atas sejumlah orang, paling sedikit terdiri atas tiga orang yang masing-masing mempunyai identitas tersendiri dan masing-masing dihubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui hubungan sosial tersebut mereka dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan sosial. Ada beberapa hal yang merupakan ciri-ciri utama dari jaringan sosial, yaitu: 1. Titik-titik, merupakan titik-titik yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh satu atau sejumlah garis yang dapat merupakan perwujudan dari orang, 20 peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, negara dan sebagainya. 2. Garis-garis, merupakan penghubung atau pengikat antara titik-titik yang ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat berbentuk pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antarorganisasi, persekutuan militer dan sebagainya. 3. Ciri-ciri struktur. Pola dari garis yang menghubungkan serangkaian atau satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial dapat digolongkan dalam jaringan sosial tingkat mikro atau mikro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan. Contoh dari jaringan tingkat mikro yang paling dasar adalah suatu jaringan yang titik-titiknya terdiri atas tiga buah yang satu sama lainnya dihubungkan oleh garisgaris yang mewujudkan segitiga yang dinamakan triadic balance (keseimbangan segitiga); sedangkan contoh dari jaringan tingkat makro ditandai oleh sifatnya yang menekankan pda hubungan antara sistem atau organisasi, atau bahkan antarnegara. 4. Konteks (ruang). Setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud dalam suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (yaitu secara fisik), maupun dalam ruang yang didefenisikan secara sosial, ataupun dalam keduanya. Misalnya, jaringan transportasi selalu terletak dalam suatu ruangan fisik, sedangkan jaringan perseorangan yang terwujud dari hubungan-hubungan sosial tidak resmi yang ada dalam suatu organisasi adalah suatu contoh dari suatu jaringan yang terwujud dalam satu ruang sosial. Jaringan komunikasi dapat digambarkan sebagai sebuah peta baik secara fisik, yaitu geografis maupun menurut ruang sosialnya, yaitu yang menyangkut status dan kelas sosial. 21 5. Aspek-aspek temporer. Untuk maksud-maksud sesuatu analisa tertentu, sebuah jaringan sosial dapat dilihat baik secara sinkronik maupun secara diakronik, yaitu baik sebagai gejala yang statis maupun dinamis. Dilihat dari skala hubungan sosial yang dapat dimasuki oleh individuindividu, ada dua macam jaringan, yaitu jaringan total dan jaringan bagian. Jaringan total adalah keseluruhan jaringan yang dimiliki individu dan mencakup berbagai konteks atau bidang kehidupan dalam masyarakat. Jaringan bagian adalah jaringan yang dimiliki oleh individu terbatas pada bidang kehidupan tertentu, misalnya jaringan politik, jaringan keagamaan, jaringan kekerabatan, dan sebagainya. Jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk di dalam masyarakat menjadi sedemikian penting bagi masyarakat tersebut karena di dunia ini tidak ada manusia yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan hubungan sosial dengan manusia lainnya di dalam masyarakatnya. Manusia di bumi ini selalu membina hubungan sosial dengan manusia lain di manapun ia tinggal dan hidup sebab manusia pada dasarnya tidak dapat dan tidak sanggup hidup sendiri. Sebuah masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan hubungan sosial antarindividu yang sangat kompleks. Seorang individu hanya menjadi anggota dari jaringan-jaringan sosial tertentu dan tidak menjadi anggota jaringan-jaringan yang lain. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan manusia untuk berhubungan dengan semua manusia yang ada; hubungannya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu. Hubungan-hubungan sosial di mana setiap individu dilekatkan dapat dilihat sebagai sebuah jaringan. Jaringan sosial dapat dilihat sebagai sejumlah kecil titiktitik yang dihubungkan oleh garis-garis. Titik-titik ini dapat berupa orang, peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, nasion atau negara dan sebagainya. Garisnya ini dapat merupakan perwujudan dari hubungan sosial 22 antarindividu, pertemuan, kekerabatan, pertukaran, hubungan superordinat- subordinat, hubungan antarorganisasi, persekutuan militer, dan sebagainya. Tiap-tiap individu dapat dilihat sebagai bintang, tempat awal garis-garis hubungan sosial menyebar kepada individu-individu lain. Boissevain menyebutkan bahwa daerah jaringan utama (primary network zone) merupakan daerah tempat individu pertama melakukan hubungan langsung dengan individu-individu kedua. Namun, individu-individu kedua ini juga melakukan kontak dengan individuindividu ketiga yang mungkin sekali tidak dikenal oleh individu pertama. Individu pertama dapat melakukan kontak dengan individu ketiga melalui individu kedua. Inilah pentingnya teman dari teman. Dengan demikian, dalam kenyatannya semua masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah jaringan dan melalui jaringan itu seorang individu dapat berhubungan dengan semua orang. Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masing-masing memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu yang bersangkutan. Manusia tidak menggunakan semua hubungan sosial yang dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan waktu atau konteks sosialnya. Dengan demikian, hubungan-hubungan sosial itu tidak terjadi/terbentuk secara acak, melainkan menunjukkan adanya suatu keteraturan. Di dalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat perkotaan, dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubungan-hubungan sosial, yaitu: (1) keteratuan struktural (structural order), adalah perilaku orang-orang ditafsirkan dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki dalam seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga, 23 asosiasi-asosiasi sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2) keteraturan kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti kelas, ras dan kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order), adalah perilaku orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur, dapat ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubungan antarindividu dalam suatu kelompok atau hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan sosial keluarga yang diteliti oleh Bott. Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan struktur sosial. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan status dan peranan masing-masing. Sekurang-kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua unsur, yaitu keseluruhan hubungan sosial yang ada di antara individu-individu dan perbedaan individuindividu tertentu yang secara nyata ada dan konkret. Suatu jaringan sosial merefleksikan pula suatu struktur sosial. Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia berpeluang memiliki sejumlah jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut memasuki sejumlah pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan kebutuhan atau tujuan yang dicapai. Dalam suatu situasi, berdasarkan kebutuhan atau tujuan tertentu, seorang individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan dalam situasi yang lain, ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda. Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis. Pada 24 dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial selalu terkait dengan jaringan hubungan sosial yang kompleks. Apabila seorang individu memasuki sejumlah jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya, maka hal ini merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula. Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami batasbatas status dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam hubungan-hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam studi jaringan sosial tidak semata-mata terletak pada atribut para pelakunya, tetapi juga terletak pada karakteristik dan pola-pola hubungan di antara individu-individu di dalam jaringan sebagai cara untuk memahami dasar atau latar belakang perilaku mereka itu. Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial yang ada dalam masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga jenis.Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan antarpelaku di dalamnya disengaja atau diatur oleh kekuasaan. Tipe jaringan ini muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan kolektif dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku yang biasanya bersifat permanen. Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau distrukturkan secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit25 unit sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi. Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan demikian jaringan sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para angotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa insentif. Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuan-tujuan tersebut spesifik dan konkret – seperti memperoleh pekerjaan, barang, atau jasa – maka jika tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik seperti itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif stabil dan permanen. Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan, dan hubungan-hubungan sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh hubungan-hubungan perasaan ini cenderung mantap dan permanen. Hubunganhubungan sosial yang terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelakupelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol secara emosional yang relatif kuat antarpelaku. Dalam kenyataan di lapangan, sebuah jaringan sosial tidak hanya dibentuk oleh satu jenis jaringan sosial di atas. Namun, terjadi tumpang tindih antara tiga jenis 26 bentuk hubungan sosial tersebut. Sebuah jaringan sosial dianggap sebagai jaringan kepentingan jika hubungan-hubungan yang terbentuk dalam jaringan sosial tersebut lebih dominan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atau kepentingan- kepentingan tertentu. Dua jenis jaringan sosial yang lain, yaitu jaringan kekuasan dan jaringan perasaan tetap ada tetapi tidak dominan. Bila dilihat dari status sosial ekonomi dari individu-individu yang terlibat dalam suatu jaringan sosial, terdapat dua jenis jaringan sosial, yaitu jaringan sosial yang bersifat horisontal dan hubungan sosial yang bersifat vertikal. Jaringan sosial bersifat horisontal jika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki status sosial ekonomi yang relatif sama. Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam perolehan sumber daya, dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama. Sebaliknya, dalam jaringan-jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan. Jaringan sosial dapat dianggap sebagai suatu jaringan komunikasi jika di dalamnya mengalir informasi dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga terjadi pertukaran informasi. Seorang individu dapat mengirimkan pesan kepada lebih banyak orang dibandingkan dengan banyaknya orang yang ia kenal – yang merupakan orang-orang yang melakukan hubungan langsung dengannya (primary network zone) – karena tiap-tiap orang yang berhubungan langsung dengan pemberi pesan mempunyai potensi untuk menyampaikan pesan tersebut kepada banyak orang lagi. 27 5. Teori Fungsionalisme Struktural Teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons peneliti gunakan untuk menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan pengurus panggung Basiyo xt square dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan pertunjukan dangdut di Jogjakarta. Di dalam teori ini menjelaskan antara lain tentang sistem, struktur, dan empat imperatif fungsional atau yang terkenal dengan skema AGIL. Secara garis besar arah pemikiran di balik teori ini akan menjadi jelas apabila diterangkan dengan analogi biologi. Sebagaimana dijelaskan oleh Sunyoto Usman dalam bukunya bahwa anggaplah badan kita sebagai suatu sistem. Sebagai suatu sistem, badan mempunyai kebutuhan tertentu dan memerlukan pemeliharaan bagi keberadaannya, misalnya kebutuhan rata-rata suhu tubuh (pada angka tertentu secara konstan). Apabila suhu tubuh sesuai dengan kebutuhan badan berarti ada keseimbangan (equilibrium). Apabila suhu tubuh terlalu panas, keseimbangan itu akan terganggu, badan kita akan berkeringat dan setelah itu akan kembali berada pada keseimbangan lagi. Berkeringat adalah fungsional dalam mencari keseimbangan. Contoh tersebut menunjukan bahwa konsep sistem adalah integral atau membentuk satu kesatuan yang saling bergantung dan berkaitan16. Tidak berbeda halnya dengan suatu organisasi yang juga merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem yang harus saling memberikan kontribusinya demi mewujudkan tujuan sistem itu sendiri. Parsons menyebutkan bahwa di dalam sistem sosial terdiri dari beragam individual yang berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimasi kepuasan” dan yang 16 Usman, Sosiologi, Sejarah, Teori dan Metodologi. (Yogyakarta,2004) hal61, 28 berhubungan dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu sama lain. didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem simbol yang terstruktur secara kultural dan dimiliki bersama. 6. Teori Pertukaran Blau dan Perubahan Blau berusaha menjelaskan bahwa pola transaksi pertukaran dalam lingkup mikro bisa ia terapkan dalam lingkup skala yang lebih besar, yaitu struktur sosial yang kompleks. Ia memahami teori pertukaran dalam proses interaksi tatap muka antar individu untuk memahami struktur-struktur sosial yang berkembang dan kekuatan kekuatan sosial yang menandai perkembangan struktur tersebut. Pusat perhatian Blau dalam proses petukaran ialah perilaku manusia dan hubungan di antara individu dan kelompok. Proses pertukaran antarpribadi yang mengarah pada struktur sosial ke perubahan sosial, dibayangkan olehnya, telah didorong oleh serangkaian empat tahap. Langkah pertama ialah transaksi-transaksi pertukaran antar pribadi akan menghasilkan suatu reward (penghargaan) atau ketidakpuasan Langkah kedua adalah diferensiasi status dan kekuasaan sebagai akibat oleh apa yang dihasilkan pada langkah pertama. Maksudnya, traksaksi pertukaran yang mengasilkan dua kemungkinan di atas, akan menimbulkan diferensiasi status dan kekuasaan diantara individu. Sesuatu yang dihasilkan oleh transaksi pertukaran menimbulkan empat rangkaian alternatif tersebut memungkinkan akan terjadi diferensiasi status dan kekuasaan. Maksudnya, secara otomatis akan memposisikan individu yang menerima reward dan yang memberikan reward dalam perbedaan status dan kekuasaan. Biasanya dalam lingkup kelompok, seseorang yang memperoleh reward mempunyai kekuasaan yang lebih rendah dari dia yang memberikan reward tersebut. 29 Langkah ketiga Blau adalah legitimasi dan organisasi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan akan mendorong langkah berikutnya. Status dan kekuasaan yang secara otomatis terbentuk, menunjukkan adanya legitimasi dan organisasi yang formal. Konsekuensi perbedaan status dan kekuasaan akan menampakkan adanya legitimasi dan organisasi , dimana posisi individu yang terlibat akan harus mengakui keberadaan pemimpin dalam kelompok yang menjadi bagian dan ciri utama dalam organisasi. Langkah terakhir adalah adanya perlawanan dan perubahan. Pada tataran ini, Blau melangkah ke level masyarakat dan mendefensiasikan ke dalam dua tipe organisasi sosial. Tipe pertama, organisasi sosial terbentuk dari proses pertukaran dan persaingan. Tipe kedua, organisasi sosial dibangun secara bertahap secara ekplisit untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama. Dari langkah keempat Blau ini, menunjukkan bahwa Blau telah melaumpaui penjelasan teori pertukaran Homan yang hanya pada bentuk-bentuk elementer perilaku sosial saja. Lalu dia menambahkan bahwa kepemimpinan dan kelompok-kelompok oposisi ditemukan di dalam kedua tipe organisasi. Pada tipe pertama, kedua kelompok muncul dari interaksi sosial. Dan di dalam tipe kedua, kepemimpinan dan kelompok oposisi dibangun ke dalam struktur organisasi. 7. Empat Imperatif Fungsional (Skema AGIL) Empat imperatif fungsional atau yang terkenal dengan skema AGIL merupakan sumbangan teoritikal dari Talcott Parsons untuk menjelaskan analisisnya mengenai sistem. Agar mampu bertahan hidup suatu sistem harus menjalankan keempat fungsi tersebut: a. Adaptation/ adaptasi : sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang 30 dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan harus menyesuaikan lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya. b. Goal Attainment/ pencapaian tujuan : sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan-tujuan utamanya. c. Integration/ integrasi : sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang menjadi komponen-komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga imperatif fungsional tersebut (A, G, L) d. Latency/ pemeliharaan pola : sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan mempertahankan motivasi tersebut. Parsons mendesain skema AGIL agar dapat digunakan pada semua level sistem teoritisnya antara lain memadukan AGIL dengan organisme behavioral, sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem kultural. Perhatikan gambar berikut untuk penjelasannya. L I A G Gambar I. 1 Skema empat imperatif fungsional (Ritzer, 2008 : 2) 31 Organisme behavioral merupakan sumber energi dari seluruh sistem. Adalah suatu sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan mengubah dunia luar. Disini organisme behavioral harus beradaptasi dan menyesuaikan dengan lingkungan atau mempengaruhi lingkungan untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Sistem kepribadian berpadu dengan goal attainment dengan mendefinisikan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya17. Tujuan sistem dalam pertujukan dangdut dapat dilihat dari visi dan misi yang diusungnya. Pada titik ini menerangkan bagaimana strategi manajemen xt square dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan organisasi untuk memperjuangkan eksistensi musik dangdut sebagai tujuan manajement Sistem sosial menjalankan fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-bagian yang yang menjadi komponennya. Komponen yang ada dalam sistem sosial ini antara lain seperti struktur, peran, interaksi, kebijakan, lingkungan, jaringan serta visi dan misi manajemen. Parsons menempatkan kompleks status-peran sebagai unit terbesar dari sistem. Seperti yang telah tertera pada penjelasan di atas, bahwa status merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam suatu posisi. Status dan peran inilah yang digunakan sebagai instrumen untuk menjalankan fungsi integrasi tersebut. 17 Ritzer, George. And Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Bantul 2008),hal257 32 Proses internalisasi dan sosialisasi menjadi hal yang penting dalam integrasi. Parsons tertarik pada cara norma dan nilai suatu sistem ditransfer pada aktor dalam sistem tersebut. Dalam sosialisasi yang berjalan sukses, norma dan nilai tersebut terinternalisasi, yaitu mereka menjadi bagian dari “nurani” aktor. Ini menjadi salah satu bahasan peneliti yang melihat bagaimana strategi manajemen dalam sebuah pertujukan. sehingga minat penonton terhadap musik dangdut itu semakin meningkat. Sistem kultural menjalankan fungsi latensi membekali aktor dengan norma dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Kebudayaan memerantarai interaksi antar aktor dan mengintegrasikan kepribadian dengan sistem sosial. 1.5 Metode Penelitian 1. Pendekatan dalam Penelitian Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Secara umum penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi serta tindakan secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Secara spesifik, Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai bentuk tradisi tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasan maupun dalam peristilahannya18. 18 J. Moleong, Lexy. 2007.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Hal 5 33 Kualitatif dijadikan sebagai metode penelitian disebabkan oleh kecenderungan analisis menggunakan pendekatan deskriptif dan tidak menganalisi melalui perhitungan data dan penjabaran statistik. Kemudian memudahkan peneliti dalam menggambarkan setting sosial yang ada di panggung basiyo. 2. Ruang Lingkup Penelitian a. Ruang Lingkup Lokasi Penelitian Penelitian bertajuk pola jejaring sosial pertunjukan dangdut di panggung Basiyo di gedung serbaguna XT Square yang berlokasi di jalan Veteran, Pandean Yogyakarta. Pada penelitian ini terdapat beberapa pertimbangan, khususnya dalam pemilihan lokasi yaitu istana dangdut berada di komplek obyek wisata XT Square sehingga fokus setting lokasi penelitian ini adalah panggung basiyo tempat pertunjukan dangdut diadakan. Kawasan ini merupakan kawasan strategis karena sebagai salah satu tempat tujuan wisata di Yogyakarta. Istana dangdut Panggung Basiyo juga merupakan salah satu tempat yang berusaha secara konsisten menyelenggarakan pertunjukkan dangdut. Pertunjukan dangdut di panggung Basiyo mampu hadir dan mempertahankan eksistensi di tengah-tengah arus era globalisasi seperti dewasa ini. Untuk mendukung eksistensi Istana dangdut bekerjasama dengan pemerintah Yogyakarta yang secara formal diakui dan dilindungi keberadaannya, serta dikelola penuh oleh dinas pariwisata. Sistem pengelolaan hiburan dangdut di panggung Basiyo meliputi beberapa komponen yang ditangani sebuah Event Organizer yakni Yoyok EO. Komponen itu meliputi pemusik, penyanyi, crew tiketing dan tim pengamanan lokasi. Pertunjukan dangdut dilaksanakan dihari senin sampai sabtu pukul 21.00 WIB-00:00 WIB dengan jadwal pemusik yang berbedabeda. Adapun pemusik yang tampil di panggung Basiyo XT Square diantaranya 34 O.M Kranggan Mas, O.M Bolodewo, O.M Zarima, O.M Padmaradja, O.M Gilas OBB dan O.M New Satria. Dengan penentuan lokasi dan sistem operasionalisasi tersebut, diharapkan dapat memberi batasan sehingga penelitian dapat terfokus, tepat sasaran , dan tajam dalam analisis b. Ruang Lingkup Materi Penelitian Ruang lingkup materi dalam penelitian tentang Jaringan penyanyi dangdut di panggung basiyo xt square meliputi: 1. Komponen-komponen yang menjadi bagian dari sebuat pertunjukan dangdut. 2. Usaha yang dilakukan manajemen dangdut di Panggung Basiyo XT Square dalam mengembangkan dan mempertahankan jaringan sosialnya 3. Analisis teori bourdieu tentang jaringan dan modal sosial yang dikembangkan penyanyi dangdut di panggung Basiyo XT Square. 3. Jenis dan Sumber Data Secara garis besar, sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua. Pertama, sumber data primer. Sumber data primer merupakan sumber data utama yang diperoleh dari penelitian lapangan. Terdiri dari hasil observasi di panggung basiyo mengamati secara utuh relasi-relasi sosial yang ada dan wawancara mendalam (in-dept interview) terkait persoalan dan problematika hubungan yang berkembang yang dilakukan terhadap informan penelitian seperti wawancara kepada bapak Yanto sebagai pemilik event organizer, wawancara kepada pak Cahyo sebagai perwakilan dari pihak pemerintah sebagai pengelola, kepada Nita Osing dan Novi 35 Ananda dari penyanyi dan Asep dari pemusik, Londo dari penonton dan beberapa informan lainnya sebagai pelengkap informasi yang di butuhkan. Kedua, sumber data sekunder yakni sumber data yang diperoleh melalui kajian literatur, seperti buku-buku penelitian sosial, buku teori-teori sosial dan laman web yang sejalan dengan informasi yang dibutuhkan. Sumber data sekunder ini digunakan peneliti untuk mempertajam analisis dan menjadikan bahan perbandingan objektif dari tulisan yang di buat. 4. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian data dilakukan melalui beberapa teknik pengumpulan data meliputi : 1. Tahap Pra Lapangan Tahap pra lapangan menjadi bagian pertama dalam teknik pengumpulan data penelitian. Moleong mengidentifikasi ada 6 tahap kegiatan yang harus dilakukan dalam penelitian yaitu : (1) menyusun rancangan penelitian, hal ini dilakukan dengan mengkonsultasikan dengan dosen pembimbing dengan menyesuaikan penelitian dengan setting sosial yang ada pada panggung basiyo. (2) memilih lapangan penelitian, penentuan setting sosial di panggung basiyo ini disebabkan pertunjukan dangdut yang secara resmi dikelola pemerintah dan diakui keberadaannya melalui badan hukum, ditambah lagi panggung basiyo merupakan panggung yang baru merintis pertunjukan dangdut sehingga masih sedikitnya penelitian dan tulisan tentang setting sosial yang ada. (3) mengurus perijinan, proses ini dilakukan setelah proposal di sahkan dan peneliti mengurus secara administratif sesuai dengan prosedur yang diterapkan panggung basiyo. (4) menjajaki dan menilai lapangan, sebelum penelitian dilakukan ketertarikan muncul setelah seringkali 36 disosialisasikan terkait pertunjukan dangdut dan penelitipun sebagai penonton aktiv dangdut. (5) memilih dan memanfaatkan informan proses pemilihan informan sebagaimana teknik incidental sampling yang digunakan, dan melakukan pendekatan personal kepada calon-calon informan. (6) menyiapkan perlengkapan penelitian, halhal terkait kebutuhan dan kelengkapan penelitian disiapkan dengan mengacu pada standarisasi penelitian pada umumnya. Selain itu Moleong juga menekankan adanya etika penelitian lapangan sebagai pertimbangan yang harus dipahami. 2. Observasi Partisipatoris Setelah mempersiapkan beberapa hal pada tahap pra lapangan, tahap selanjutnya adalah observasi lapangan yaitu Istana Dangdut Panggung Basiyo Yogyakarta. Observasi bertujuan untuk melihat secara langsung sikap dan perilaku serta kondisi pertunjukkan terbuka musik dangdut. Observasi dilaksanakan secara partisipatoris dengan keterlibatan peneliti sebagai pengamat sekaligus pemeran serta. Dalam penelitian ini, peneliti menjadi penonton aktiv. Observasi partisipatoris dilakukan dengan alasan menambah penilaian secara objektif melalui pengamatan yang ada pada pertunjukan ini, dan menambah wawasan sebelum melakukan indept interview agar mampu memberikan penilaian secara objektif. 3. Wawancara Mendalam ( in-depth interview) Sesuai dengan pendekatan kualitatif, wawancara mendalam (in-dept interview) menjadi bagian utama pengumpulan data. Proses wawancara ini diawali dengan menentukan informan (key Person) dan instrumen penelitian. Menggali informasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan interview guide semi terstruktur dimana pengembangan pertanyaan dan diskusi dilakukan selama pembicaraan sesuai dengan topik dan informasi yang di butuhkan. Indept interview diawali kepada 37 pemerintah yang diwakili oleh Cahyo sebagai informan kunci, selanjutnya dengan pak Yanto dan pak Subiyatno sebagai informan yang memberikan dan menjelaskan konsep penyelenggaraan pertunjukann dangdut. Dilanjutkan dengan menggali informasi dari pemusik dan penyanyi yang diwakili oleh Asep, Nita Osing dan Novi Ananda, kemudian menggali informasi dari Hanum sebagai tangan kanan pengelola kafe di panggung basiyo basiyo kemudian informan terakhir yang digali informasi dari pihak penonton adalah Londo dan Yayan Hardiyanto. 4. Dokumentasi Lapangan Teknik pengumpulan data selanjutnya dilakukan dengan mengumpulkan dokumentasi lapangan dalam bentuk gambar. Tujuan pengumpulan dokumentasi lapangan adalah untuk memberikan gambaran atau setting lokasi penelitian. Adapun dokumentasi lapangan yang di sisipkan sebagai pengilustrasian penelitian diantaranya, gambar gedung serbaguna panggung basiyo, karcis, dan gambaran suasana setting sosial yang ada, kemudian gambar pemusik dan penyanyi dan gambar aturan dan sanksi yang diterapkan di panggung basiyo. 5. Studi Pustaka Studi pustaka merupakan salah satu teknik pengumpulan data sekunder yang relevan dengan sasaran dan tujuan penelitian. Pada penelitian ini literatur yang digunakan sebagai pelengkap informasi dan data literatur yang bersumber dari buku makalah dan jurnal penelitian diantaranya literatur tentang teori-teori sosial, buku tentang permasalahan musik. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan literatur sebagai referensi penelitian. Literatur tersebut terdiri dari penelitian terdahulu, buku referensi, E-book, dan jurnal. Seperti buku Dloyana tahun 1995 38 yang berjudul Pesan-Pesan Budaya Lagu-Lagu Pop Dangdut Dan Pengaruhnya Terhadap Perilaku Sosial Remaja Kotai untuk membantu menganalisis perilaku penonton. 4.Teknik pemilihan informan Penentuan subjek penelitan dilakukan menggunakan teknik sampling insidental dimana teknik penentuan informan berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai informan19. Keputusan pemilihan informan berdasarkan teknik tersebut dikarenakan sulitnya mencari penyanyi dangdut yang bersedia terbuka memberikan informasi yang dibutuhkan, selain itu ketatnya aturan keamanan di panggung basiyo yang membatasi interaksi antara penonton dengan penyanyi diluar panggung dengan alasan keamanan dan kemudahan dalam memperoleh informasi menjadi alasan utama penulis menentukan pilihan pada teknik insidental dalam menentukan informan penelitian. Adapun beberapa informan kunci yang di jadikan narasumber pada penelitian ini diantaranya: 1. Cahyo sebagai perwakilan dari pemerintah dalam hal ini pengelola XT Square secara keseluruhan, dimana panggung basiyo menjadi salah satu bangunan penting yang dikelola. 19 Tulisan ini diperoleh melalui laman http://www.academia.edu/5036760/Populasi_Sampel_and_Teknik_Sampling yang di ambil pada tanggal 27 februari 2015 pukul : 16.02 39 2. Yanto dan Sarbiyatno atau Nono sebagai informan dari pihak event organizer dan penyelenggara acara dangdut di panggung Basiyo. 3. Nita Osing dan Novi Ananda sebagai informan kunci dari pihak penyanyi, dimana informan ini adalah penyanyi junior dan penanyi senior di Orkes Melayu Gilas OBB. 4. Londo dan Yayan Hardianto sebagai informan dari pihak penonton yang memberikan testimoni dan kesan subjektif terhadap pertunjukan dangdut di panggung basiyo. 5. Hanum adalah informan dari pihak kafe, informan ini merupakan tangan kanan pemilik dari kafe yang ada di panggung basiyo. 5.Teknik Analisis Data Proses analisa data dilakukan setelah memperoleh data lapangan secara lengkap sesuai sasaran penelitian. Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia. Dalam proses ini data lapangan yang diperoleh melalui observasi lapangan, mengkaji field note atau catatan hasil wawancara mendalam (indepth interview ), dan dokumentasi lapangan diolah bersama data sekunder berupa dokumen dan berbagai sumber referensi. Dalam penelitian ini data sekunder berfungsi sebagai pembanding teoritis20. Dalam proses analisa data ini, peneliti melakukan beberapa langkah meliputi : (1) Reduksi data, reduksi data dilakukan dengan cara membuat abstraksi. Pembuatan abstraksi bertujuan untuk membuat rangkuman inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga di dalamnya. dalam hal ini memilih data yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan. (2) Menyusun data dalam bentuk satuan-satuan. Proses ini dilakukan dengan membagi data dalam 20 Moleong, J.Lexy. Ibid. Halaman247 40 kategori (coding). Proses ini mensistimatisasi tatanan informasi yang dibutuhkan. (3) Pemeriksaan keabsahan data. Proses coding dan pemeriksaan keabsahan data menyertakan juga tahap pemilhan data. Pemilahan data dilakukan dengan membuang data yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian maupun tidak menjawab rumusan penelitian. Proses ini bertujuan agar penelitian menjadi lebih fokus dan substansial. checkling untuk memastikan kebenaran hasil penelitian agar mampu melihat kecenderungan yang terjadi.(4) Penafsiran data, merupakan tahap akhir dalam penelitian. Hasil penafsiran merupakan kesimpulan dari penelitian. bagian analisis melalui metode untuk menganalisis hasil penelitian agar sejalan dengan teori. Secara sederhana alur berfikir dalam metode penelitian dapat dijelaskan melalui bagan berikut: Bagan 1 : Alur Penelitian Menentukan Objek Penelitian Pra Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan Data (Analisis Data) Laporan Penelitian Wawancara Mendalam Observasi Catatan Lapangan, Dokumentasi 41