BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi yang sering diidentikan sebagai puncak perkembangan umat
manusia, terjebak dalam paradoks yang berujung pada perdebatan panjang. Pada
satu sisi globalisasi bermakna positif sebagai pilar modernisasi sedangkan pada sisi
yang lain globalisasi memicu munculnya implikasi negatif dalam berbagai ranah
kehidupan. Tidak terkecuali perkembangan budaya kontemporer. Dewasa ini budaya
kontemporer tidak hanya dipahami sebagai representasi atas proses perkembangan
estetik, intelektual dan spritual, melainkan budaya yang dipahami sebagai teks dan
praktik hidup sehari-hari. Dalam aktualisasinya budaya kontemporer dihadapkan
pada relativitas nilai khususnya dalam proses produksi dan konsumsi. Relativitas
nilai menjadi basis munculnya konstruksi atas produk budaya. Hanya saja,
konstruksi yang berlangsung berimplikasi negatif terhadap munculnya segmentasi
kelas sosial. Sehingga mengaburkan konsep keindahan, bentuk, dan kualitas yang
secara kultural bersifat relatif1.
Perkembangan budaya kontemporer yang berlangsung memberi rangsangan
positif terhadap perkembangan musik. Dangdut menjadi salah satu produk atas
manifestasi budaya kontemporer. Sejauh ini, dangdut dipandang sebagai produk
budaya multidimensi. Hal ini ditunjukkan melalui unsur khas yang melekat dalam
dangdut. Unsur khas dangdut termanifestasi dalam beberapa bentuk fenomena yang
menyertai dangdut seperti budaya melayu yang terdapat dalam syair, lirik, dan
fenomena saweran serta joget.
1
Barker, Chris. 2011. Cultural Studies.Yogyakarta : PT Kreasi Wacana. Hal 44
1
Faktual, potret realita terkait jaringan sosial yang dibentuk penyanyi dangdut
dewasa ini semakin terasa kompleks. Sebagai bagian dari upaya menunjukkan
sekaligus mempertahankan eksistensi pertunjukan dangdut tidak lagi membatasi diri
individu tersebut dalam ranah status dan peran semata. Sehingga pertunjukan
dangdut mampu menjadikan Penyanyi dangdut berkembang
mempertahankan
eksistensi dan profesionalitas kerjanya dengan mengoptimalisasikan jaringan secara
lebih luas. Sehingga dangdut menjadi lebih terarah dalam mempertahankan
performanya.
Lingkungan adalah jaringan hubungan antar posisi objektif didalamnya.
Lingkungan atau arena adalah sepotong kecil dunia sosial, sebuah dunia penuh
kesepakatan yang bekerja secara otonom dengan hukum-hukumnya sendiri.
Bourdieu melihat arena sebagai sebuah arena pertarungan dan juga lingkungan
perjuangan, arena adu kekuatan, sebuah medan dominasi dan konflik antar individu,
antarkelompok demi mendapatkan posisinya. Posisi-posisi ini ditentukan oleh
banyaknya kapital atau modal yang mereka miliki. Semakin banyak jumlah dan jenis
modal yang mereka miliki, maka ia mendapatkan posisi terbaik dalam arena
tersebut, atau menduduki posisi yang dominan dalam suatu arena. Contohnya, dalam
ranah ekonomi, misalnya dalam suatu komunitas, terjadi sebuah kompetisi antar
individu, yaitu sesama anggota masyarakat. Dalam ranah tersebut, seorang individu
atau kelompok yang memiliki modal atau sarana-prasarana paling menunjang maka
ia dapat memenangkan pertarungan dalam ranah kelas tersebut, misalnya dapat
menguasai pasar, dapat mapan secara materi
dan lebih maju dibandingkan
saingannya. Begitu juga dengan orkes melayu yang memiliki modal ekonomi yang
besar mereka mampu memiliki fasilitas yang bagus demi meningkatkan kualitas
pertunjukan, sehingga group tersebut mampu bertahan.
2
Merujuk pada aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial
maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh
masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok
individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang
membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena
secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi
bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif. Pada
konteks ini representasi atas produk budaya menjadi basis stigmatisasi, dan dangdut
tidak dapat terlepas dari konsekuensi stigmatisasi-negatif. Ada anggapan dikalangan
masyarakat bahwa dangdut adalah musik marginal,tanpa identitas dan tentu saja
identik dengan erotisme dan seksualitas.
Panggung Basiyo yang terletak di jalan Veteran, Pandean (eks terminal bus
Umbulharjo) Yogyakarta merupakan kawasan yang di bangun dengan konsep
terpadu yang ditawarkan kepada masyarakat dalam satu paket, pusat kerajinan, toko
seni rupa dan kerajinan, ditambah lagi adanya pertunjukan hiburan dan pementasan
musik campursari, koes-plusan dan petunjukan musik dangdut. Panggung Basiyo
memiliki potensi yang cukup baik untuk menjadi tujuan wisata di Kota Yogyakarta
karena lokasi yang strategis dan jenis barang yang dijual di pasar tersebut cukup
diminati oleh wisatawan luar daerah. Panggung Basiyo menjadi salah satu ruang
publik yang secara konsisten mengembangkan musik dangdut sebagai alternatif
pariwisata. Panggung tertutup Panggung Basiyo (baca : Istana Dangdut) ditujukan
bagi orang-orang dewasa (baca : kaum muda).
Penelitian ini memberikan pendekatan yang berbeda dalam menganalisis
fenomena pertunjukan musik di Yogyakarta. Tidak hanya terbatas pada justifikasi
personal melainkan kerangka analisis sosial yang melihat dangdut sebagai ruang
3
negosiasi yang komunikatif. Dalam hal ini, pertunjukan dangdut menjadi bagian dari
upaya penanaman nilai dan moral melalui peran dan statusnya. Terakhir,
menjelaskan tentang ruang komunikatif yang terwujud dalam konsensus yang
terbentuk diantara jaringan komunitas pecinta dangdut dan usaha mempertahankan
jaringan untuk membangun komunikasi dengan manajemen orkes melayu yang ada
di Panggung Basiyo.
1.2 Rumusan Masalah
Proses ujian proposal mengubah fokus rumusan masalah penelitian ini dari
pertanyaan bagaimana jaringan yang dibentuk penyanyi dangdut di Panggung
Basiyo dan usaha yang dilakukan para penyanyi dangdut di Panggung Basiyo dalam
mengembangkan dan mempertahankan jaringan sosialnya menjadi :
1. Bagaimana pola hubungan sosial yang tumbuh dan berkembang di Panggung
Basiyo?
2. Mengapa terjadi relasi-relasi sosial di panggung basiyo tersebut terjadi?
1.3 Tujuan dan Manfaat
a. Menjelaskan proses perjalanan sebuah pertunjukan dangdut sehingga mampu
melihat komponen-komponen yang menjadi bagian dari sebuah pertunjukan.
b. Mengetahui serta menjelaskan alur dan pola bentuk jaringan yang dibangun
penyanyi dangdut di Panggung Basiyo dalam mempertahankan eksistensinya
di masyarakat. Dan melihat usaha yang dilakukan penyanyi dangdut untuk
4
membangun dan mempertahankan jaringan serta eksistensinya di Panggung
Basiyo yang berimbas pada karirnya dimata masyarakat umum.
1.4
Kerangka Konseptual
a. Arena Produksi Kultural
Ketertarikan Bourdieu terhadap dunia dominasi kultural juga tercitrakan
melalui teori Arena Produksi Kultural. Dalam teorinya ini, Bourdieu secara lebih
spesifik menempatkan ranah estetika (seni) sebagai sebuah sistem ranah „lainnya‟
yang memuat dinamika dominasi dari sebuah inti kebudayaan. Pekerjaan teoritiknya
ini melibatkan sederetan aktor yang bermain di dalam sebuah institusi kesenian
macam penerbitan buku-buku sastra, kelompok fotografi, galeri seni dll, dan
menempatkan mereka ke dalam wadah gagasan yang disebutnya sebagai The Makers
of The Work of Art.
Inti dari gagasan Bourdieu ini adalah bahwa apa yang menyebabkan sebuah
karya seni begitu berharga, layak untuk ditampilkan di muka publik, apa yang
membuat seorang penyanyi itu bersinar dan menarik dimata konsumen bukanlah
terletak pada karismatik owner musiknya. Melainkan apa yang disebut sebagai arena
produksi yang dipahami sebagai sebuah sistem jaringan relasi-relasi objektif diantara
agen-agen atau institusi-institusi tersebut dan sebagai wilayah pergulatan untuk
memperoleh monopoli kekuasaan untuk mengkonsekrasi, tempat di mana nilai karya
seni dan kepercayaan terhadap nilai terus menerus dihasilkan.2
Singkatnya, apa yang membentuk sebuah sistem nilai yang dikemudian hari
berhasil menentukan posisi seorang penyanyi dangdut dan musik yang ditawarkan
menetapkan garis pembatas imajiner dengan produk estetis lainnya dan
2
Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, (Yogyakata:2010), hal. 81.
5
mengklasifikasi pengunjung lewat permainan selera adalah hasil dari sebuah teori
Arena Produksi Kultural dimana:3
“Teori Arena (mengarah) pada penolakan terhadap kaitan langsung biografi
individual dengan karya sastra (atau yang berkaitan dengan „kelas sosial‟ yang
menjadi asal suatu karya) maupun pada penolakan terhadap analisis internal karya
individual bahkan analisis intertekstualnya. Karena yang mestinya kita lakukan
adalah melakukan keduanya secara bersamaan.”
Teori Arena Produksi Kultural ini dipergunakan untuk mempetakan dan
menjelaskan asal usul panggung Basiyo XT Square. Kata identitas di sini dimaknai
sebagai sebuah pembeda, tinta hitam di atas lembaran putih, yang tervisualisasikan
melalui ciri khas yang ditawarkan oleh panggung musik tersebut. Analisis ini
kemudian juga digunakan sebagai penghantar untuk menjelaskan proses terciptanya
dan lebih jauh, keberfungsian modal simbolik dan modal kultural yang terdapat di
dalam Bentara Budaya Yogyakarta.
b. Distingsi4 dan Selera Kelas
Habitus menghasilkan sebuah sistem klasifikasi yang memungkinkannya
untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan gaya hidup yang spesifik dan hubungannya
dengan posisi kelas, dan kemampuan ini membuatnya memiliki kapasitas untuk
membeda-bedakan dan mengapresiasi praktek-praktek dan produk yang disebut taste
atau selera yang sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya
hidup terbentuk.
3
Ibid, hal. xxiii.
Peneliti memilih penggunaan kata ‘distingsi’ sebagai terjemahan dari distinction yang bermakna lebih dari
sekedar keberbedaan atau yang menonjol karena ada unsur keunggulan yang hanya bisa dimiliki oleh mereka
yang memenangkan suatu pertarungan.
4
6
Selera adalah suatu disposisi yang mampu membedakan sekaligus
mengapresiasi, dengan kata lain suatu bentuk kemampuan untuk menentukan dan
memberi „tanda batas keberbedaan‟ melalui sebuah proses distingsi. Selera
merupakan kemampuan praktis untuk meraba atau naluri tentang apa yang akan
terjadi, yang akan menimpa individu yang menduduki suatu posisi tertentu dalam
ruang sosial.
Selera berfungsi sebagai semacam orientasi sosial, ‘a sense of one’s place’,
yang menunjukkan di mana seharusnya seseorang berada. Karena itu agen-agen
sosial selain menjadi produsen tindakan-tindakan yang bisa diklasifikasi, mereka
juga memproduksi klasifikasi yang mereka sendiri juga terklasifikasi di dalamnya.
Bila arena produksi budaya adalah field of forces, arena kekuatan-kekuatan
yang dinamis di mana beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya dan
pertarungan tersebut dilihat dapat mentransformasi atau mempertahankan arena
kekuatan, maka selera berada di jantung pertarungan simbolik tersebut yang
berdasar pada gaya hidup para agen.
Hal tersebut diperjelas Bourdieu dalam Distinction5 yang menyatakan bahwa
“para borjuis baru adalah inisiator perubahan etika ekonomi baru demi kelangsungan
hidupnya. Logika baru ekonomi telah membuang jauh etika asketisme seperti
abstinence, puasa menghindari keduniawian dengan berhemat, menabung dengan
penuh perhitungan, dan sebaliknya justru merangkul moralitas hedonistik dari
konsumsi yang didasari oleh credit, spending and enjoyment, hutang, belanja dan
penikmatan.”
55
distinction,1984, Bab III: Class Tastes and Lifestyles
7
Juru bicara untuk gaya hidup semacam itu adalah para penjaja benda-benda
dan jasa simbolik seperti para jurnalis, dunia penerbitan dan sinema, dunia fashion
dan iklan, dunia desain dan pengembangan properti. Melalui anjuran-anjuran yang
terus menerus mengiklankan gaya hidup sebagai model atau panutan, para penentu
selera baru memunculkan moralitas seni pengkonsumsian, pembelanjaan dan
penikmatan. Mereka inilah the new cultural intermediaries, para perantara
kebudayaan baru, karena melalui merekalah batas-batas area kebudayaan yang
semula tertutup dapat diakses dan menjadi milik publik.
c. Konversi Antar Modal
Keterputusan Bourdieu dengan objektivisme ditandai pula oleh keterputusan
Bourdieu dengan ekonomisme Marx dan terlebih kepada Marxis modern.
Menurutnya, Marxisme modern terlalu mendewakan faktor ekonomi sebagai
struktur yang membentuk diri agen dan mengabaikan kemampuan agen untuk
mempengaruhi struktur.6 Ekonomisme juga tidak bisa menemukan ruang bagi
kepentingan simbolik di dalam analisis-analisis mereka.7 Namun demikian, lagi-lagi
kita harus mengingat bahwa keterputusan Bourdieu dengan ekonomisme tidak serta
merta dalam rangka memuseumkan gagasan mereka. Sebaliknya, Bourdieu
mencangkok logika ini dalam rumusan dinamika modal miliknya.
Penggunaan logika ekonomi tersebut dapat kita telusuri dari tulisannya yang
berjudul The Forms of Capital. Bourdieu mengakui penggunaan logika ekonomi
dalam analisis terminologi jenis-jenis modal:8
6
Harker, Ibid, hal. xvii.
Harker, Ibid, hal. 6.
8
Bourdieu, „The Forms Of Capital‟, dalam J. G. Richardson (ed.), Handbook Of Theory and Research for the
Sociology of Education, (New York:1986), hal. 46.
7
8
“Economic theory has allowed to be foisted upon it a definition of the economy of
practices which is the historical invention of capitalism; and by reducing the
universe to mercantile exchange, which is objectively and subjectively oriented
towards the maximalization of profit, i.e., (economically) self-interested, it has
implicity defined the other forms of exchange as noneconomic, and therefore
disinterested.”
Dalam tulisannya Bourdieu melacak penggunaan „modal lain‟ yang
berafilisasi dengan modal ekonomi jauh ke era invasi kapitalisme oleh bangsa Eropa
beberapa abad silam. Kata kunci untuk mengenali „modal lain‟ ini terletak pada kata
disinterested sebagai „sesuatu yang mampu disembunyikan‟ dari kepentingan
ekonomi secara materi. Dari titik ini, Bourdieu kemudian memperkenalkan satu
bentuk modal yang luput dari pengamatan Marxisme moderen sekaligus sebagai
bentuk „keterputusan yang berkesinambungan‟ dengan paham ekonomisme tersebut
yakni modal simbolik.
Modal simbolik menurut Bourdieu bekerja bukan dari sifat kematerialannya,
melainkan
melalui
serangkaian
proses
yang
disebutnya
misrecognized
(kesalahpengenalan). Bourdieu menjelaskan kesalahpahaman ini dalam teori Arena
Produksi Kultural yang bersumber dari kerja empirisnya dalam melihat arena
produksi seni di Prancis.9 Ia melihat bagaimana bisnis seni yang dijalankan dealerdealer seni, gedung pertunjukan dan penerbit buku-buku sastra mampu
mendatangkan limpahan materi atas penjualan benda-benda seni yang secara
material tidak berharga (priceless). Praktik-praktik bisnis semacam ini berjalan
dengan berpretensi tidak mengerjakan apa yang sedang dikerjakan dan, dengan
menyangkal logika umum, para produsen benda seni tersebut membiarkan diri
hanyut di dalam dua pembicaraan yang kontradiktif dan sama-sama keliru.10
9
Lihat Randal Johnson dalam Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Ibid, hal. v.
Bourdieu, Arena Produksi Kultural, Ibid, hal. 73.
10
9
Penempatan modal simbolik sebagai protagonis dalam arena produksi
kultural di atas (dan dalam beberapa judul jurnal) bukan tanpa sebab. Definisi ranah
yang selalu dikaitkan dengan proses mencapai otoritas legitimit11 (yang dalam arena
produksi kultural kerap disebut „prestise‟ atau „konsekrasi‟) menjadi titik temu
betapa pentingnya keberadaan modal ini dalam suatu ranah. Bourdieu kemudian
menyebut bahwa di dalam setiap modal mengandung unsur-unsur basis dominasi.12
Karena itulah kemudian modal simbolik menjadi kunci dalam setiap kemungkinan
pertukaran modal di dalam ranah apapun.
Masih dalam tulisannya The Forms of Capital, Bourdieu memetakan jenisjenis modal sebagai tempat persembunyian modal simbolik di dalam setiap arena
sebagai berikut:13
“…capital can present itself in three fundamental guises: as econimic capital, which
is immadiately and directly convertible into money and may be institutionalized in
the form of property rights; as cultural capital, which is convertible, in certain
conditions, into economic capital and may be institutionalized in the form of
educational qualifications; and as a social capital, made up of social obligations
(connections), which is convertible, in certain conditions, into economic capital and
may be institutionalized in the form of a title of nobility.”
Oleh Kristian Stokke, probabilitas konversi antar modal menurut Bourdieu
coba diterangkannya melalui bagan gerak dinamis antar modal sebagai berikut:14
Gambar 2.1
Gerak Dinamis Pertukaran Modal
11
Otoritas legitimit disini tidak selalu berafilisasi dengan ranah politis, melainkan secara sempit dimaknai
sebagai suatu bentuk upaya penguasaan atas beragam modal yang akan menempatkan seorang aktor pada
posisi tertinggi di dalam ranah. Bourdieu sendiri memahami ranah sebagai arena perjuangan untuk
mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan. (Lihat Bourdieu (1983), The Field of Cultural
Production or the Economic World Reversed)
12
Harker, Ibid, hal. 16
13
Bourdieu,The forms of Capital, Ibid, hal. 47.
14
Diambil dari makalah Kristian Stokke yang berjudul Habitus, Capital and Fields:Conceptualizing The
Capacity of Actors in Local Politics, hal. 10, pada laman www.uino.no/stokke/Publications/Bourdieu.pdf.
Diakses pada hari Kamis, 4 September 2014, pada pukul 14.35 WIB.
10
Economic Capital
Material
wealth
Symbolic
Social Capital
Capital
Social
Legitimate
networks
authotiry
Cultural
Capital
Informational assets
Gagasan Bourdieu lainnya terkait konversi antar modal dipakai dalam
penelitian
ini
untuk
membantu
memetakan
praktik
dominasi
penyanyi
memaksimalkan modal yang dimiliki dalam meraih karirnya. Analisis ini menjadi
ekstensi dari penjabaran temuan melalui teori (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik:
analisa pemetaan modal antar aktor di dalam ranah yang dilakukan melalui rumusan
(Habitus x Modal) + Ranah = Praktik dipertajam dengan teori pertukaran modal
antar aktor yang kemudian menjelaskan praktik dominasi terselubung yang
dilakukan salah satu aktor determinan melalui modal simbolik.
Demikian beberapa uraian singkat perihal alur pemikiran Pierre Bourdieu
yang dipergunakan dalam penelitian kali ini. Dimulai dari cara Bourdieu melihat
fenomena sosial –yakni cara berpikir relasional dan utuh terhadap berbagai
penampakan faktor subjektif maupun objekif– ; perkenalan dengan rumusan
(Habitus x modal) +ranah = Praktik, sebagai instrumen pembedah realitas sosial
11
sekaligus sebagai implementasi posisi teoritiknya yang tidak memihak; sebuah
disposisi estetis yang membentuk cara kerja dan „nilai tawar‟ modal kultural; posisi
penting modal simbolik dalam upayanya untuk membongkar dominasi kultural lagi
sebagai bentuk ucapan selamat tinggal terhadap determinisme ekonomi struktural
Marx dan Marxis; dan last but not least, adalah gagasannya perihal pertukaran atau
konversi antar modal yang terjadi di dalam sebuah ranah.
Perlu dicatat bahwa gagasan-gagasan tersebut tidaklah mewakili keseluruhan
kerangka berpikir Bourdieu dalam rangka membongkar dominasi kultural yang
menjadi salah satu perhatian studinya selama bertahun-tahun. Karena satu hal yang
pertama kali harus diingat ketika membaca dan mempergunakan pemikiran
Bourdieu adalah bahwa ide-idenya ditulis, direpresentasikan, dan ditulis kembali
dengan gaya dialektis dan dengan cara kerja spiral antara teori, kerja empiris, dan
kembali lagi merumuskan ulang teori pada tingkat yang berbeda.15
d. Konsep Jaringan
Pada awalnya Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “Modal
hubungan sosial yang memberikan dukungan-dukungan bermanfaat; modal harga
diri dan kehormatan yang seringkali diperlukan jika orang ingin menerik para klien
ke dalam posisi-posisi yang penting secara sosial, dan yang bisa menjadi alat tukar,
misalnya dalam karier politik kemudian ia memperbaiki pandangannya sebagai
berikut:
Modal sosial adalah jumlah sumber daya, aktual atau maya, yang berkumpul
pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa
hubungan timbal balik perkenalan dan pengakuan
yang sedikit banyak
terinstitusionalisasikan.” Bourdieu berargumen, mustahil memahami dunia sosial
15
Richar Harker, op. cit., hal. 3.
12
tanpa mengetahui peran „modal dalam segala bentuknya, dan tidak sekadar dalam
satu bentuk yang diakui oleh teori ekonomi‟.
Jaringan sosial merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antar banyak
individu dalam suatu kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok
lainnya. Hubungan-hubungan yang terjadi bisa dalam bentuk yang formal maupun
bentuk informal. Hubungan sosial adalah gambaran atau cerminan dari kerjasama
dan koordinasi antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat
resiprosikal (Damsar, 2002:157).
Dalam melihat aktivitas sekelompok individu itu menjadi suatu aksi sosial
maka disitulah teori jaringan sosial berperan dalam sistem sosial. Hampir seluruh
masalah sosiologi adalah masalah agregasi, yaitu bagaimana aktivitas sekelompok
individu dapat menimbulkan efek sosial yang dapat diamati. Hal inilah yang
membuat ilmu sosiologi sangat sulit untuk memahami dan mengerti suatu fenomena
secara mendalam. Teori jaringan sosial berangkat dari pengkajian atas variasi
bagaimana perilaku individu berkumpul (aggregate) menjadi perilaku kolektif.
Dalam hal ini analisis jaringan sosial lebih ingin mempelajari keteraturan
individu atau kelompok berperilaku ketimbang keteraturan keyakinan tentang
bagaimana mereka seharusnya berperilaku (Wafa, 2006:162). Analisis jaringan
sosial memulai dengan gagasan sederhana namun sangat kuat, bahwa usaha utama
dalam kajian sosiologis adalah mempelajari struktur sosial dalam menganalisis
pola ikatan yang menghubungkan anggota-anggota kelompoknya. Granovetter
melukiskan hubungan ditingkat mikro itu seperti tindakan yang melekat dalam
hubungan pribadi konkrit dan dalam struktur (jaringan sosial) terhadap hubungan
itu. Hubungan ini berlandaskan gagasan bahwa setiap aktor (individu atau
kolektivitas) mempunyai akses berbeda terhadap sumber daya yang bernilai
13
seperti kekayaan, kekuasaan, dan informasi. Menurut Wellman dalam teori
jaringan sosial terdapat sekumpulan prinsip-prinsip yang berkaitan logis, yaitu
sebagai berikut:
1. Ikatan antara aktor biasanya adalah simetris baik dalam kadar maupun
intensitasnya. Aktor saling memasok dengan sesuatu yang berbeda dan mereka
berbuat demikian dengan intensitas yang semakin besar atau semakin kecil.
2. Ikatan antar individu harus dianalisis dalam konteks struktur jaringan lebih
luas.
3. Terstrukturnya ikatan sosial menimbulkan berbagai jenis jaringan non- acak. Di
satu pihak, jaringan adalah transitif: bila ada ikatan antara A dan B dan C, ada
kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A dan C. Akibatnya adalah bahwa
lebih besar kemungkinan adanya jaringan yang meliputi A, B, dan C.
4. Adanya kelompok jaringan yang menyebabkan terciptanya hubungan silang
antara kelompok jaringan maupun antara individu.
5. Ada ikatan asimetris antara unsur-unsur di dalam sebuah sistem jaringan
dengan akibat bahwa sumber daya yang terbatas akan terdistribusikan secara
tidak merata.
6. Dengan adanya distribusi yang timpang dari sumber daya yang terbatas
menimbulkan baik itu kerja sama maupun kompitisi. Beberapa kelompok akan
bergabung untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas itu dengan kerja sama,
sedangkan kelompok lain bersaing dan memperebutkannya.
1. Hubungan Jaringan dengan Ekonomi
Telah lama diketahui bahwa kontak pribadi membekali pencari kerja dengan
cara yang sangat efektif untuk menemukan posisi baru dan memperoleh promosi,
14
sementara itu sejak tahun 1990-an berbagai jaringan perusahaan, penelitian dan
pembuat kebijakan seringkali dipandang sebagai faktor menentukan dalam
mendorong inovasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif.
Jaringan dipandang penting bagi keberhasilan bisnis. Jaringan berfungsi
sebagai sumber informasi penting, jaringan pun dapat membantu memberikan akses
keuanggan. Jaringan juga dipandang memberikan kontribusi bagi gaya manajemen
yang konsisten dan stabil, yang pada gilirannya dapat menjadi sesuatu yang vital
untuk mendorong perusahaan tetap bertahan dari guncangan eksternal, khusunya
sektor yang pasang surut seperti konstruksi.
Modal sosial memiliki hubungan dengan ekonomi. Dalam paparannya yang
begitu berpengaruh tentang kinerja sekolah di kota-kota amerika, james coleman
mengembangkan konsep modal sosial sebagai cara mengintegrasikan teori sosial
dengan teori ekonomi, dengan mengklaim bahwa modal sosial dan modal manusia
secara umum saling melengkapi.
2. Hubungan Jaringan dengan Politik
Analisa Jaringan Sosial dalam ranah politik memungkinkan hubungan antarorang dapat dipetakan untuk menentukan aliran pengetahuan: siapa yang mencari
informasi dan pengetahuan dan kepada siapa; Siapa yang membagi informasi dan
pengetahuannya dan dengan siapa; Tidak sama dengan peta organisasi yang
menggambarkan hubungan formal (struktur organisasi) siapa bekerja dimana dan
siapa melapor kepada siapa, maka Analisa Jaringan Sosial adalah peta yang
menggambarkan hubungan yang actual yang terjadi siapa mengetahui siapa, dan
siapa yang membagi informasi dan pengetahuan kepada siapa. Dengan penerapan
Analisa Jaringan Sosial maka seseorang dapat memvisualisasi dan memahami
15
bahwa beberapa hubungan dapat memfasilitasi atau bahkan merintangi proses
penciptaan pengetahuan baru dan saling berbagi pengetahuan. Sebab secara normal
hubungan ini tidak tampak.
Di era informasi saat ini, pengelompokan sosial terdiri dari individu-individu
atau sekumpulan individu yang justru berasal dari berbagai latar belakang yang
berbeda-beda (heterogen) terjadi proses “homopili”. Dalam satu jaringan sosial, para
anggotanya terdiri dari individu-individu dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, dengan melakukan studi jaringan sosial maka dengan sendirinya
menggambarkan keragaman latar belakang dari populasi (atribut – seperti status
pekerjaan, sukubangsa, keyakinan, budaya, tingkat pendidikan dan sebagainya).
Dengan demikian, dapat dikaji pengelompokan-pengelompokan sosial (jaringan
sosial) yang justru susunannya “heterogen” (latar belakang/”atribut” yang beragam)
terikat menjadi “satu kesatuan sosial” untuk memahami logika situasional (hukum
kuasi) yang terwujud.
Selain itu, Analisa Jaringan Sosial juga mampu menjelaskan penyebaran atau
penolakan ide-ide dan praktek-praktek baru sebab agen perubahan dan Opinion
Leader sering memainkan peran utama dalam adopsi (penerimaan dan penolakan)
sebuah inovasi yang pada akhirnya mampu memberi sumbangan terhadap
perkembangan teori-teori difusi dan inovasi. Harapan dengan adanya Analisa
Jaringan Sosial dalam ranah politik individu dapat mengidentifikasi kebutuhan dan
persoalan yang dihadapi oleh masing-masing jaringan sosial sehingga bisa diprediksi
solusi-solusinya serta pemimpin seperti apa yang mampu menyelesaikan kebutuhan
dan persoalan kolektif mereka.
3. Hubungan Jaringan dengan Kesenian
16
Pendekatan jaringan sosial sebagai salah satu pendekatan dalam studi
antropologi berupaya untuk memahami bentuk dan fungsi hubungan-hubungan
sosial dalam masyarakat yang kompleks. Pendekatan jaringan sosial mulai
dikembangkan secara intensif pada tahun 1970-an. Pendekatan jaringan sosial timbul
karena ada rasa ketidakpuasan dari para ahli antropologi terhadap pendekatan
struktural fungsional. Para ahli antropologi saat itu merasakan adanya kekurangan
dari pendekatan struktural yang mereka gunakan ketika mulai mengarahkan
perhatian mereka pada masyarakat kompleks. Hal ini terjadi karena pendekatan
struktural fungsional dibangun melalui penelitian-penelitian pada masyarakat tribal
yang masih sederhana dan berskala kecil dengan perubahan yang relatif lambat.
Dengan pendekatan struktural fungsional, para ahli dapat mengungkapkan
dengan baik keseluruhan aspek kebudayaan dan hubungan antaraspek kebudayaan
tersebut pada masyarakat yang ditelitinya dalam kesatuan yang fungsional. Namun,
kesulitan timbul ketika para ahli antropologi berupaya untuk memahami susunan
hubungan sosial yang terdapat dalam masyarakat setempat yang sudah kompleks.
Oleh karena kesulitan-kesulitan tersebut, maka para ahli antropologi membutuhkan
suatu model baru yang dapat digunakan untuk memahami gejala-gejala sosial yang
kompleks, terutama dalam masyarakat perkotaan; dan konsep jaringan sosial
menjadi jawaban untuk mengatasi kesulitan tersebut. Mereka melihat pentingnya
jaringan-jaringan hubungan personal untuk memahami
perilaku masyarakat.
Keterikatan individu-individu dalam hubungan-hubungan sosial adalah pencerminan
dirinya sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan masyarakat, hubungan-hubungan
sosial yang dilakukan individu merupakan suatu upaya untuk mempertahankan
keberadaannya.
17
Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam hal kuantitas dan
kualitas atau intensitas hubungan-hubungan sosial yang dilakukannya, sekalipun
dalam kehidupan masyarakat terbuka luas peluang bagi individu untuk melakukan
hubungan sosial secara maksimal. Hubungan-hubungan tersebut tidak hanya
melibatkan dua individu, tetapi juga banyak individu. Keterhubungan antarindividuindividu tersebut akan membentuk suatu jaringan sosial yang sekaligus
merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pendekatan jaringan sosial berupaya mengatasi kekurangan pendekatan
struktural fungsional yang cenderung statis dalam memahami masyarakat.
Kecenderungan statis dari pendekatan struktur sosial adalah memahami sistem
dalam masyarakat yang senantiasa bersifat serasi, selaras dan seimbang (harmony).
Sesuatu yang luput dari perhatian dalam pendekatan struktur fungsional adalah
adanya dinamika yang ada di dalam masyarakat. Di antara dinamika tersebut adalah
adanya dimensi-dimensi yang tersembunyi (hidden dimension) dalam masyarakat.
Dalam konteks inilah maka pendekatan jaringan sosial memiliki signifikansi.
Meskipun Radcliffe-Brown menjadi tokoh struktural fungsional, namun pada
bagian tertentu Radciffe-Brown juga menyebutkan bahwa masyarakat merupakan
jaringan dari jaringan-jaringan sosial (network of social networks). Setelah itu,
konsep jaringan sosial ini direvisi oleh beberapa ahli di antaranya Mitchell, 1969;
Barnes, 1969; Epstein, 1969; Wolfe, 1976 dan Macmillan, 1986.
Jaringan sosial pertama kali digunakan oleh Barnes di dalam studinya
mengenai umat gereja yang menempati sebuah pulau di Norwegia. Konsep yang
digunakannya kemudian dikembangkan oleh Bott dalam studinya mengenai peranan
suami-istri yang terdapat pada keluarga-keluarga di London. Keduanya melihat
18
jaringan sosial sebagai rangkaian hubungan-hubungan yang dibuat oleh seorang
individu di sekitar dan berpusat pada dirinya sendiri berdasarkan atas pribadinya.
Pada saat Barnes meneliti masyarakat nelayan di Bremnes, Norwegia, ia
merasakan bahwa analisis struktural fungsional pada masa itu yang (tahun 50-an)
yang sudah umum digunakan oleh kalangan ahli antropologi Inggris untuk meneliti
suatu kebudayaan masyarakat, kurang memadai. Sebelumnya, studi-studi klasik di
bidang antropologi telah memanfaatkan analisis struktural fungsional untuk
memahami kebudayaan suatu masyarakat tribal atau masyarakat sederhana berskala
kecil. Kesulitan yang dihadapi Barnes adalah bahwa kondisi masyarakat Bremnes
tidak dapat lagi disebut sebagai masyarakat sederhana, sehingga untuk memahami
susunan hubungan-hubungan sosial yang terdapat di masyarakat setempat,
penerapan secara konvensional analisis struktural fungsionalisme dirasakan kurang
memadai lagi. Atas dasar itu, analisis jaringan sosial diusulkan untuk mengatasi
kekurangan analisis struktural fungsionalisme.
Suatu saran penting lain dari Barnes adalah bahwa pendekatan jaringan sosial
itu cocok untuk menganalisis masalah lapisan sosial, terutama lapisan sosial yang
tidak tradisional, tidak resmi dan tidak ketat. Namun metodologi apa yang sebaiknya
digunakan para ahli ilmu sosial untuk melakukan analisis seperti itu, tidak jelas juga.
Walaupun Barnes belum sampai mengembangkan konsep social network itu lebih
lanjut, konsep itu sudah menjadi terkenal di kalangan ilmu-ilmu sosial yang lebih
luas.
Dalam studinya tentang struktur hubungan-hubungan sosial ini, Barnes
mengatakan bahwa masyarakat menjalin ikatan-ikatan sosial berdasarkan atas unsurunsur kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan. Ikatan-ikatan tersebut dapat
berlangsung di antara mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang sepadan
19
atau tidak sepadan. Atas dasar ini Barnes menyebutkan bahwa ikatan-ikatan tersebut
merupakan unsur pembentuk sistem kelas yang ada di Bremnes. Selanjutnya
dikatakan bahwa setiap individu memiliki peluang yang sama antara berhubungan
atau tidak berhubungan dengan beberapa orang. Setiap orang melihat dirinya sebagai
pusat dari jaringan yang dimilikinya. Ikatan-ikatan sosial yang terbentuk merupakan
sarana yang menjembatani hubungan-hubungan di antara anggota jaringan. Dalam
masyarakat yang tidak begitu kompleks, tentu saja hubungan-hubungan tersebut
terjadi lebih intensif. Ditegaskan oleh Barnes bahwa ikatan-ikatan jaringan-jaringan
kekerabatan, ketetanggaan dan pertemanan tidak bersifat eksklusif. Dalam jaringanjaringan yang terbentuk tersebut hubungan-hubungan sosial dan keanggotaannya
melampaui batas-batas teritorial dan keberadaan masyarakat yang bersangkutan.
Jaringan sosial sebagai seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang
terbentuk di antara sekelompok orang yang karakteristik hubungan-hubungan
tersebut dapat digunakan untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Definisi jaringan sosial yang lain diberikan
oleh Suparlan, yaitu:
Jaringan sosial adalah sebagai suatu pengelompokan yang terdiri atas
sejumlah orang, paling sedikit terdiri atas tiga orang yang masing-masing
mempunyai identitas tersendiri dan masing-masing dihubungkan antara satu dengan
yang lainnya melalui hubungan-hubungan sosial yang ada, sehingga melalui
hubungan sosial tersebut mereka dapat dikelompokkan sebagai suatu kesatuan
sosial. Ada beberapa hal yang merupakan ciri-ciri utama dari jaringan sosial, yaitu:
1. Titik-titik, merupakan titik-titik yang dihubungkan satu dengan lainnya
oleh satu atau sejumlah garis yang dapat merupakan perwujudan dari orang,
20
peranan, posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, negara dan
sebagainya.
2. Garis-garis, merupakan penghubung atau pengikat antara titik-titik yang
ada dalam suatu jaringan sosial yang dapat berbentuk pertemuan, kekerabatan,
pertukaran, hubungan superordinat-subordinat, hubungan-hubungan antarorganisasi,
persekutuan militer dan sebagainya.
3. Ciri-ciri struktur. Pola dari garis yang menghubungkan serangkaian atau
satu set titik-titik dalam suatu jaringan sosial dapat digolongkan dalam jaringan
sosial tingkat mikro atau mikro, tergantung dari gejala-gejala yang diabstraksikan.
Contoh dari jaringan tingkat mikro yang paling dasar adalah suatu jaringan yang
titik-titiknya terdiri atas tiga buah yang satu sama lainnya dihubungkan oleh garisgaris yang mewujudkan segitiga yang dinamakan triadic balance (keseimbangan
segitiga); sedangkan contoh dari jaringan tingkat makro ditandai oleh sifatnya yang
menekankan pda hubungan antara sistem atau organisasi, atau bahkan antarnegara.
4. Konteks (ruang). Setiap jaringan dapat dilihat sebagai terwujud dalam
suatu ruang yang secara empiris dapat dibuktikan (yaitu secara fisik), maupun
dalam ruang yang didefenisikan secara sosial, ataupun dalam keduanya. Misalnya,
jaringan transportasi selalu terletak dalam suatu ruangan fisik, sedangkan jaringan
perseorangan yang terwujud dari hubungan-hubungan sosial tidak resmi yang ada
dalam suatu organisasi adalah suatu contoh dari suatu jaringan yang terwujud dalam
satu ruang sosial. Jaringan komunikasi dapat digambarkan sebagai sebuah peta baik
secara fisik, yaitu geografis maupun menurut ruang sosialnya, yaitu yang
menyangkut status dan kelas sosial.
21
5. Aspek-aspek temporer. Untuk maksud-maksud sesuatu analisa tertentu,
sebuah jaringan sosial dapat dilihat baik secara sinkronik maupun secara diakronik,
yaitu baik sebagai gejala yang statis maupun dinamis.
Dilihat dari skala hubungan sosial yang dapat dimasuki oleh individuindividu, ada dua macam jaringan, yaitu jaringan total dan jaringan bagian. Jaringan
total adalah keseluruhan jaringan yang dimiliki individu dan mencakup berbagai
konteks atau bidang kehidupan dalam masyarakat. Jaringan bagian adalah jaringan
yang dimiliki oleh individu terbatas pada bidang kehidupan tertentu, misalnya
jaringan politik, jaringan keagamaan, jaringan kekerabatan, dan sebagainya.
Jaringan-jaringan hubungan yang terbentuk di dalam masyarakat menjadi
sedemikian penting bagi masyarakat tersebut karena di dunia ini tidak ada manusia
yang tidak menjadi bagian dalam jaringan-jaringan hubungan sosial dengan manusia
lainnya di dalam masyarakatnya. Manusia di bumi ini selalu membina hubungan
sosial dengan manusia lain di manapun ia tinggal dan hidup sebab manusia pada
dasarnya tidak dapat dan tidak sanggup hidup sendiri. Sebuah masyarakat dapat
dipandang sebagai jaringan hubungan sosial antarindividu yang sangat kompleks.
Seorang individu hanya menjadi anggota dari jaringan-jaringan sosial tertentu dan
tidak menjadi anggota jaringan-jaringan yang lain. Hal ini disebabkan oleh
ketidaksanggupan manusia untuk berhubungan dengan semua manusia yang ada;
hubungannya selalu terbatas pada sejumlah orang tertentu.
Hubungan-hubungan sosial di mana setiap individu dilekatkan dapat dilihat
sebagai sebuah jaringan. Jaringan sosial dapat dilihat sebagai sejumlah kecil titiktitik yang dihubungkan oleh garis-garis. Titik-titik ini dapat berupa orang, peranan,
posisi, status, kelompok, tetangga, organisasi, masyarakat, nasion atau negara dan
sebagainya. Garisnya ini dapat merupakan perwujudan dari hubungan sosial
22
antarindividu,
pertemuan,
kekerabatan,
pertukaran,
hubungan
superordinat-
subordinat, hubungan antarorganisasi, persekutuan militer, dan sebagainya.
Tiap-tiap individu dapat dilihat sebagai bintang, tempat awal garis-garis
hubungan sosial menyebar kepada individu-individu lain. Boissevain menyebutkan
bahwa daerah jaringan utama (primary network zone) merupakan daerah tempat
individu pertama melakukan hubungan langsung dengan individu-individu kedua.
Namun, individu-individu kedua ini juga melakukan kontak dengan individuindividu ketiga yang mungkin sekali tidak dikenal oleh individu pertama. Individu
pertama dapat melakukan kontak dengan individu ketiga melalui individu kedua.
Inilah pentingnya teman dari teman. Dengan demikian, dalam kenyatannya semua
masyarakat dapat dilihat sebagai sebuah jaringan dan melalui jaringan itu seorang
individu dapat berhubungan dengan semua orang.
Setiap individu belajar melalui pengalamannya untuk masing-masing
memilih dan mengembangkan hubungan-hubungan sosial yang tersedia dalam
masyarakat, disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada pada diri individu
yang bersangkutan. Manusia tidak menggunakan semua hubungan sosial yang
dimilikinya dalam mencapai tujuan-tujuannya, tetapi disesuaikan dengan ruang dan
waktu atau konteks sosialnya. Dengan demikian, hubungan-hubungan sosial itu
tidak terjadi/terbentuk secara acak, melainkan menunjukkan adanya suatu
keteraturan.
Di dalam kehidupan masyarakat kompleks, khususnya masyarakat perkotaan,
dijumpai adanya tiga jenis keteraturan hubungan-hubungan sosial, yaitu: (1)
keteratuan struktural (structural order), adalah perilaku orang-orang ditafsirkan
dalam istilah tindakan-tindakan yang sesuai dengan posisi yang mereka duduki
dalam seperangkat tatanan posisi-posisi, seperti dalam suatu perusahaan, keluarga,
23
asosiasi-asosiasi sukarela, partai politik atau organisasi-organisasi sejenis; (2)
keteraturan kategorikal (categorical order), adalah perilaku orang-orang dalam
situasi tidak terstruktur yang dapat ditafsirkan dengan istilah stereotipe seperti kelas,
ras dan kesukubangsaan; (3) keteraturan personal (personal order), adalah perilaku
orang-orang, baik dalam situasi-situasi terstruktur atau tidak terstruktur, dapat
ditafsirkan dalam istilah hubungan-hubungan antarindividu dalam suatu kelompok
atau hubungan antara suatu kelompok dengan kelompok lain seperti jaringan sosial
keluarga yang diteliti oleh Bott.
Keteraturan dalam jaringan sosial berimplikasi pada pembentukan struktur
sosial. Struktur sosial dapat didefinisikan sebagai pola dari hak dan kewajiban para
pelaku dalam suatu sistem interaksi yang terwujud dari rangkaian-rangkaian
hubungan sosial yang relatif stabil dalam suatu jangka waktu tertentu. Pengertian
hak dan kewajiban para pelaku dikaitkan dengan status dan peranan masing-masing.
Sekurang-kurangnya, suatu struktur sosial mengandung dua unsur, yaitu keseluruhan
hubungan sosial yang ada di antara individu-individu dan perbedaan individuindividu tertentu yang secara nyata ada dan konkret. Suatu jaringan sosial
merefleksikan pula suatu struktur sosial.
Jika individu mempunyai mobilitas diri yang tinggi untuk melakukan
hubungan-hubungan sosial yang luas berarti ia berpeluang memiliki sejumlah
jaringan. Hal ini juga berarti bahwa individu tersebut
memasuki sejumlah
pengelompokan dan kesatuan sosial, sesuai dengan ruang, waktu, situasi dan
kebutuhan atau tujuan yang dicapai. Dalam suatu situasi, berdasarkan kebutuhan
atau tujuan tertentu, seorang individu dapat menjadi anggota suatu jaringan dan
dalam situasi yang lain, ia dapat menjadi anggota jaringan sosial yang berbeda.
Keanggotaan individu dalam suatu jaringan bersifat fleksibel dan dinamis. Pada
24
dasarnya setiap individu sebagai makhluk sosial selalu terkait dengan jaringan
hubungan sosial yang kompleks. Apabila seorang individu memasuki sejumlah
jaringan sosial yang berbeda-beda sesuai dengan konteks khusus atau fungsinya,
maka hal ini merefleksikan struktur sosial yang berbeda pula.
Struktur sosial tidak hanya mencerminkan adanya keteraturan hubungan
dalam suatu jaringan sosial, tetapi juga dapat dijadikan sarana memahami batasbatas status dan peranan serta hak dan kewajiban individu yang terlibat di dalam
hubungan-hubungan sosial tersebut. Oleh karena itu, salah satu aspek penting dalam
studi jaringan sosial tidak semata-mata terletak pada atribut para pelakunya, tetapi
juga terletak pada karakteristik dan pola-pola hubungan di antara individu-individu
di dalam jaringan sebagai cara untuk memahami dasar atau latar belakang perilaku
mereka itu.
Bila ditinjau dari tujuan hubungan sosial yang membentuk jaringan sosial
yang ada dalam masyarakat, maka jaringan sosial dapat dibedakan menjadi tiga
jenis.Pertama, adalah jaringan kekuasaan (power), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan
kekuasaan. Dalam jaringan kekuasaan, konfigurasi-konfigurasi saling keterkaitan
antarpelaku di dalamnya disengaja atau diatur oleh kekuasaan. Tipe jaringan ini
muncul bila pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditargetkan membutuhkan tindakan
kolektif dan konfigurasi saling keterhubungan antarpelaku yang biasanya bersifat
permanen. Hubungan-hubungan kekuasaan ini biasanya ditujukan pada penciptaan
kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan. Unit-unit sosialnya adalah artifisial yang direncanakan atau distrukturkan
secara sengaja oleh kekuasaan. Jaringan sosial tipe ini harus mempunyai pusat
kekuasaan yang secara terus menerus mengkaji ulang kinerja (performance) unit25
unit sosialnya, dan mempolakan kembali strukturnya untuk kepentingan efisiensi.
Dalam hal ini kontrol informal tidak memadai, masalahnya jaringan ini lebih
kompleks dibanding dengan jaringan sosial yang terbentuk secara alamiah. Dengan
demikian jaringan sosial tipe ini tidak dapat menyandarkan diri pada kesadaran para
angotanya untuk memenuhi kewajiban anggotanya secara sukarela, tanpa insentif.
Kedua, jaringan kepentingan (interest), merupakan jaringan hubunganhubungan sosial yang dibentuk oleh hubungan-hubungan sosial yang bermuatan
kepentingan. Jaringan kepentingan ini terbentuk oleh hubungan-hubungan yang
bermakna pada tujuan-tujuan tertentu atau khusus. Bila tujuan-tujuan tersebut
spesifik dan konkret – seperti memperoleh pekerjaan, barang, atau jasa – maka jika
tujuan-tujuan tersebut sudah dicapai oleh pelakunya, biasanya hubungan ini tidak
berkelanjutan. Struktur yang muncul dari jaringan sosial tipe ini adalah sebentar dan
berubah-ubah. Sebaliknya, jika tujuan-tujuan itu tidak sekonkret dan spesifik seperti
itu atau tujuan-tujuan tersebut selalu berulang, maka struktur yang terbentuk relatif
stabil dan permanen.
Ketiga, jaringan perasaan (sentiment), merupakan jaringan yang terbentuk
atas dasar hubungan-hubungan sosial bermuatan perasaan, dan hubungan-hubungan
sosial itu sendiri menjadi tujuan dan tindakan sosial. Struktur yang dibentuk oleh
hubungan-hubungan perasaan ini cenderung mantap dan permanen. Hubunganhubungan sosial yang terbentuk biasanya cenderung menjadi hubungan dekat dan
kontinyu. Di antara para pelaku cenderung menyukai atau tidak menyukai pelakupelaku lain dalam jaringan. Oleh karena itu muncul adanya saling kontrol secara
emosional yang relatif kuat antarpelaku.
Dalam kenyataan di lapangan, sebuah jaringan sosial tidak hanya dibentuk
oleh satu jenis jaringan sosial di atas. Namun, terjadi tumpang tindih antara tiga jenis
26
bentuk hubungan sosial tersebut. Sebuah jaringan sosial dianggap sebagai jaringan
kepentingan jika hubungan-hubungan yang terbentuk dalam jaringan sosial tersebut
lebih
dominan
untuk
pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan
atau
kepentingan-
kepentingan tertentu. Dua jenis jaringan sosial yang lain, yaitu jaringan kekuasan
dan jaringan perasaan tetap ada tetapi tidak dominan.
Bila dilihat dari status sosial ekonomi dari individu-individu yang terlibat
dalam suatu jaringan sosial, terdapat dua jenis jaringan sosial, yaitu jaringan sosial
yang bersifat horisontal dan hubungan sosial yang bersifat vertikal. Jaringan sosial
bersifat horisontal jika individu-individu yang terlibat di dalamnya memiliki status
sosial ekonomi yang relatif sama. Mereka memiliki kewajiban yang sama dalam
perolehan sumber daya, dan sumber daya yang dipertukarkan juga relatif sama.
Sebaliknya, dalam jaringan-jaringan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu
yang terlibat di dalamnya tidak memiliki status sosial ekonomi yang sepadan.
Jaringan sosial dapat dianggap sebagai suatu jaringan komunikasi jika di
dalamnya mengalir informasi dari satu pihak ke pihak lainnya sehingga terjadi
pertukaran informasi. Seorang individu dapat mengirimkan pesan kepada lebih
banyak orang dibandingkan dengan banyaknya orang yang ia kenal – yang
merupakan orang-orang yang melakukan hubungan langsung dengannya (primary
network zone) – karena tiap-tiap orang yang berhubungan langsung dengan pemberi
pesan mempunyai potensi untuk menyampaikan pesan tersebut kepada banyak orang
lagi.
27
5. Teori Fungsionalisme Struktural
Teori fungsionalisme struktural Talcott Parsons peneliti gunakan untuk
menjelaskan bagaimana proses yang dilakukan pengurus panggung Basiyo xt square
dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan pertunjukan dangdut di
Jogjakarta. Di dalam teori ini menjelaskan antara lain tentang sistem, struktur, dan
empat imperatif fungsional atau yang terkenal dengan skema AGIL.
Secara garis besar arah pemikiran di balik teori ini akan menjadi jelas apabila
diterangkan dengan analogi biologi. Sebagaimana dijelaskan oleh Sunyoto Usman
dalam bukunya bahwa anggaplah badan kita sebagai suatu sistem. Sebagai suatu
sistem, badan mempunyai kebutuhan tertentu dan memerlukan pemeliharaan bagi
keberadaannya, misalnya kebutuhan rata-rata suhu tubuh (pada angka tertentu secara
konstan). Apabila suhu tubuh sesuai dengan kebutuhan badan berarti ada
keseimbangan (equilibrium). Apabila suhu tubuh terlalu panas, keseimbangan itu
akan terganggu, badan kita akan berkeringat dan setelah itu akan kembali berada
pada
keseimbangan
lagi.
Berkeringat
adalah
fungsional
dalam
mencari
keseimbangan. Contoh tersebut menunjukan bahwa konsep sistem adalah integral
atau membentuk satu kesatuan yang saling bergantung dan berkaitan16.
Tidak berbeda halnya dengan suatu organisasi yang juga merupakan suatu
sistem yang di dalamnya terdiri dari beberapa sub-sistem yang harus saling
memberikan kontribusinya demi mewujudkan tujuan sistem itu sendiri. Parsons
menyebutkan bahwa di dalam sistem sosial terdiri dari beragam individual yang
berinteraksi satu sama lain dalam situasi yang setidaknya memiliki aspek fisik atau
lingkungan, aktor yang cenderung termotivasi ke arah “optimasi kepuasan” dan yang
16
Usman, Sosiologi, Sejarah, Teori dan Metodologi. (Yogyakarta,2004) hal61,
28
berhubungan dengan situasi mereka, termasuk hubungan satu sama lain.
didefinisikan dan diperantarai dalam bentuk sistem simbol yang terstruktur secara
kultural dan dimiliki bersama.
6. Teori Pertukaran Blau dan Perubahan
Blau berusaha menjelaskan bahwa pola transaksi pertukaran dalam lingkup
mikro bisa ia terapkan dalam lingkup skala yang lebih besar, yaitu struktur sosial
yang kompleks. Ia memahami teori pertukaran dalam proses interaksi tatap muka
antar individu untuk memahami struktur-struktur sosial yang berkembang dan
kekuatan kekuatan sosial yang menandai perkembangan struktur tersebut. Pusat
perhatian Blau dalam proses petukaran ialah perilaku manusia dan hubungan di
antara individu dan kelompok. Proses pertukaran antarpribadi yang mengarah pada
struktur sosial
ke perubahan sosial, dibayangkan olehnya, telah didorong oleh
serangkaian empat tahap.
Langkah pertama ialah transaksi-transaksi pertukaran antar pribadi akan
menghasilkan suatu reward (penghargaan) atau ketidakpuasan Langkah kedua
adalah diferensiasi status dan kekuasaan sebagai akibat oleh apa yang dihasilkan
pada langkah pertama. Maksudnya, traksaksi pertukaran yang mengasilkan dua
kemungkinan di atas, akan menimbulkan diferensiasi status dan kekuasaan diantara
individu.
Sesuatu yang dihasilkan oleh transaksi pertukaran menimbulkan empat
rangkaian alternatif tersebut memungkinkan akan terjadi diferensiasi status dan
kekuasaan. Maksudnya, secara otomatis akan memposisikan individu yang
menerima reward dan yang memberikan reward dalam perbedaan status dan
kekuasaan. Biasanya dalam lingkup kelompok, seseorang yang memperoleh reward
mempunyai kekuasaan yang lebih rendah dari dia yang memberikan reward tersebut.
29
Langkah ketiga Blau adalah legitimasi dan organisasi sebagai akibat dari
langkah sebelumnya dan akan mendorong langkah berikutnya. Status dan kekuasaan
yang secara otomatis terbentuk, menunjukkan adanya legitimasi dan organisasi yang
formal. Konsekuensi perbedaan status dan kekuasaan akan menampakkan adanya
legitimasi dan organisasi , dimana posisi individu yang terlibat akan harus mengakui
keberadaan pemimpin dalam kelompok yang menjadi bagian dan ciri utama dalam
organisasi.
Langkah terakhir adalah adanya perlawanan dan perubahan. Pada tataran ini,
Blau melangkah ke level masyarakat dan mendefensiasikan ke dalam dua tipe
organisasi sosial. Tipe pertama, organisasi sosial terbentuk dari proses pertukaran
dan persaingan. Tipe kedua, organisasi sosial dibangun secara bertahap secara
ekplisit untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan bersama. Dari langkah
keempat Blau ini, menunjukkan bahwa Blau telah melaumpaui penjelasan teori
pertukaran Homan yang hanya pada bentuk-bentuk elementer perilaku sosial saja.
Lalu dia menambahkan bahwa kepemimpinan dan kelompok-kelompok oposisi
ditemukan di dalam kedua tipe organisasi. Pada tipe pertama, kedua kelompok
muncul dari interaksi sosial. Dan di dalam tipe kedua, kepemimpinan dan kelompok
oposisi dibangun ke dalam struktur organisasi.
7. Empat Imperatif Fungsional (Skema AGIL)
Empat imperatif fungsional atau yang terkenal dengan skema AGIL
merupakan sumbangan teoritikal dari Talcott Parsons
untuk menjelaskan
analisisnya mengenai sistem. Agar mampu bertahan hidup suatu sistem harus
menjalankan keempat fungsi tersebut:
a. Adaptation/ adaptasi : sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang
30
dari luar. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan dan harus menyesuaikan
lingkungan dengan kebutuhan-kebutuhannya.
b. Goal Attainment/ pencapaian tujuan : sistem harus mendefinisikan dan mencapai
tujuan-tujuan utamanya.
c. Integration/ integrasi : sistem harus mengatur hubungan bagian-bagian yang
menjadi komponen-komponennya. Ia pun harus mengatur hubungan antar ketiga
imperatif fungsional tersebut (A, G, L)
d. Latency/ pemeliharaan pola : sistem harus melengkapi, memelihara, dan
memperbarui motivasi individu dan pola-pola budaya yang menciptakan dan
mempertahankan motivasi tersebut.
Parsons mendesain skema AGIL agar dapat digunakan pada semua level
sistem teoritisnya antara lain memadukan AGIL dengan organisme behavioral,
sistem kepribadian, sistem sosial dan sistem kultural. Perhatikan gambar berikut
untuk penjelasannya.
L
I
A
G
Gambar I. 1 Skema empat imperatif fungsional (Ritzer, 2008 : 2)
31
Organisme behavioral merupakan sumber energi dari seluruh sistem. Adalah
suatu sistem tindakan yang menangani fungsi adaptasi dengan menyesuaikan dan
mengubah dunia luar. Disini organisme behavioral harus beradaptasi dan
menyesuaikan dengan lingkungan atau mempengaruhi lingkungan untuk dapat
memenuhi kebutuhannya.
Sistem kepribadian berpadu dengan goal attainment dengan mendefinisikan
tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang digunakan untuk mencapainya17.
Tujuan sistem dalam pertujukan dangdut dapat dilihat dari visi dan misi yang
diusungnya. Pada titik ini menerangkan bagaimana strategi manajemen xt square
dalam
melakukan
pengelolaan
dan
pengembangan
organisasi
untuk
memperjuangkan eksistensi musik dangdut sebagai tujuan manajement
Sistem sosial menjalankan fungsi integrasi dengan mengontrol bagian-bagian
yang yang menjadi komponennya. Komponen yang ada dalam sistem sosial ini
antara lain seperti struktur, peran, interaksi, kebijakan, lingkungan, jaringan serta
visi dan misi manajemen. Parsons menempatkan kompleks status-peran sebagai unit
terbesar dari sistem. Seperti yang telah tertera pada penjelasan di atas, bahwa status
merujuk pada posisi struktural dalam sistem sosial dan peran adalah apa yang
dilakukan aktor dalam suatu posisi. Status dan peran inilah yang digunakan sebagai
instrumen untuk menjalankan fungsi integrasi tersebut.
17
Ritzer, George. And Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi : Dari Teori Sosiologi
Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. (Bantul
2008),hal257
32
Proses internalisasi dan sosialisasi menjadi hal yang penting dalam integrasi.
Parsons tertarik pada cara norma dan nilai suatu sistem ditransfer pada aktor dalam
sistem tersebut. Dalam sosialisasi yang berjalan sukses, norma dan nilai tersebut
terinternalisasi, yaitu mereka menjadi bagian dari “nurani” aktor. Ini menjadi salah
satu bahasan peneliti yang melihat bagaimana strategi manajemen dalam sebuah
pertujukan. sehingga minat penonton terhadap musik dangdut itu semakin
meningkat.
Sistem kultural menjalankan fungsi latensi membekali aktor dengan norma
dan nilai-nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. Kebudayaan memerantarai
interaksi antar aktor dan mengintegrasikan kepribadian dengan sistem sosial.
1.5 Metode Penelitian
1. Pendekatan dalam Penelitian
Penelitian ini memanfaatkan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Secara umum penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa
yang dialami subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi serta tindakan
secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada
suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah. Secara spesifik, Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai
bentuk tradisi tertentu dalam pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasan maupun dalam
peristilahannya18.
18
J. Moleong, Lexy. 2007.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, Hal 5
33
Kualitatif dijadikan sebagai metode penelitian disebabkan oleh kecenderungan
analisis menggunakan pendekatan deskriptif dan tidak menganalisi melalui
perhitungan data dan penjabaran statistik. Kemudian memudahkan peneliti dalam
menggambarkan setting sosial yang ada di panggung basiyo.
2. Ruang Lingkup Penelitian
a. Ruang Lingkup Lokasi Penelitian
Penelitian bertajuk pola jejaring sosial pertunjukan dangdut di panggung
Basiyo di gedung serbaguna XT Square yang berlokasi di jalan Veteran, Pandean
Yogyakarta. Pada penelitian ini terdapat beberapa pertimbangan, khususnya dalam
pemilihan lokasi yaitu istana dangdut berada di komplek obyek wisata XT Square
sehingga fokus setting lokasi penelitian ini adalah panggung basiyo tempat
pertunjukan dangdut diadakan. Kawasan ini merupakan kawasan strategis karena
sebagai salah satu tempat tujuan wisata di Yogyakarta. Istana dangdut Panggung
Basiyo juga merupakan salah satu tempat yang berusaha secara konsisten
menyelenggarakan pertunjukkan dangdut. Pertunjukan dangdut di panggung Basiyo
mampu hadir dan mempertahankan eksistensi di tengah-tengah arus era globalisasi
seperti dewasa ini. Untuk mendukung eksistensi Istana dangdut bekerjasama dengan
pemerintah Yogyakarta yang secara formal diakui dan dilindungi keberadaannya,
serta dikelola penuh oleh dinas pariwisata. Sistem pengelolaan hiburan dangdut di
panggung Basiyo meliputi beberapa komponen yang ditangani sebuah Event
Organizer yakni Yoyok EO. Komponen itu meliputi pemusik, penyanyi, crew
tiketing dan tim pengamanan lokasi. Pertunjukan dangdut dilaksanakan dihari senin
sampai sabtu pukul 21.00 WIB-00:00 WIB dengan jadwal pemusik yang berbedabeda. Adapun pemusik yang tampil di panggung Basiyo XT Square diantaranya
34
O.M Kranggan Mas, O.M Bolodewo, O.M Zarima, O.M Padmaradja, O.M Gilas
OBB dan O.M New Satria.
Dengan penentuan lokasi dan sistem operasionalisasi tersebut, diharapkan
dapat memberi batasan sehingga penelitian dapat terfokus, tepat sasaran , dan tajam
dalam analisis
b. Ruang Lingkup Materi Penelitian
Ruang lingkup materi dalam penelitian tentang Jaringan penyanyi dangdut di
panggung basiyo xt square meliputi:
1. Komponen-komponen yang menjadi bagian dari sebuat pertunjukan dangdut.
2. Usaha yang dilakukan manajemen dangdut di Panggung Basiyo XT Square dalam
mengembangkan dan mempertahankan jaringan sosialnya
3. Analisis teori bourdieu tentang jaringan dan modal sosial yang dikembangkan
penyanyi dangdut di panggung Basiyo XT Square.
3. Jenis dan Sumber Data
Secara garis besar, sumber data dalam penelitian ini dibagi menjadi dua.
Pertama, sumber data primer. Sumber data primer merupakan sumber data utama
yang diperoleh dari penelitian lapangan. Terdiri dari hasil observasi di panggung
basiyo mengamati secara utuh relasi-relasi sosial yang ada dan wawancara
mendalam (in-dept interview) terkait persoalan dan problematika hubungan yang
berkembang yang dilakukan terhadap informan penelitian seperti wawancara kepada
bapak Yanto sebagai pemilik event organizer, wawancara kepada pak Cahyo sebagai
perwakilan dari pihak pemerintah sebagai pengelola, kepada Nita Osing dan Novi
35
Ananda dari penyanyi dan Asep dari pemusik, Londo dari penonton dan beberapa
informan lainnya sebagai pelengkap informasi yang di butuhkan. Kedua, sumber
data sekunder yakni sumber data yang diperoleh melalui kajian literatur, seperti
buku-buku penelitian sosial, buku teori-teori sosial dan laman web yang sejalan
dengan informasi yang dibutuhkan. Sumber data sekunder ini digunakan peneliti
untuk mempertajam analisis dan menjadikan bahan perbandingan objektif dari
tulisan yang di buat.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian data dilakukan melalui beberapa teknik
pengumpulan data meliputi :
1. Tahap Pra Lapangan
Tahap pra lapangan menjadi bagian pertama dalam teknik pengumpulan data
penelitian. Moleong mengidentifikasi ada 6 tahap kegiatan yang harus dilakukan
dalam penelitian yaitu : (1) menyusun rancangan penelitian, hal ini dilakukan
dengan mengkonsultasikan dengan dosen pembimbing dengan menyesuaikan
penelitian dengan setting sosial yang ada pada panggung basiyo. (2) memilih
lapangan penelitian, penentuan setting sosial di panggung basiyo ini disebabkan
pertunjukan dangdut yang secara resmi dikelola pemerintah dan diakui
keberadaannya melalui badan hukum, ditambah lagi panggung basiyo merupakan
panggung yang baru merintis pertunjukan dangdut sehingga masih sedikitnya
penelitian dan tulisan tentang setting sosial yang ada. (3) mengurus perijinan, proses
ini dilakukan setelah proposal di sahkan dan peneliti mengurus secara administratif
sesuai dengan prosedur yang diterapkan panggung basiyo. (4) menjajaki dan menilai
lapangan, sebelum penelitian dilakukan ketertarikan muncul setelah seringkali
36
disosialisasikan terkait pertunjukan dangdut dan penelitipun sebagai penonton aktiv
dangdut. (5) memilih dan memanfaatkan informan proses pemilihan informan
sebagaimana teknik incidental sampling yang digunakan, dan melakukan pendekatan
personal kepada calon-calon informan. (6) menyiapkan perlengkapan penelitian, halhal terkait kebutuhan dan kelengkapan penelitian disiapkan dengan mengacu pada
standarisasi penelitian pada umumnya. Selain itu Moleong juga menekankan adanya
etika penelitian lapangan sebagai pertimbangan yang harus dipahami.
2. Observasi Partisipatoris
Setelah mempersiapkan beberapa hal pada tahap pra lapangan, tahap
selanjutnya adalah observasi lapangan yaitu Istana Dangdut Panggung Basiyo
Yogyakarta. Observasi bertujuan untuk melihat secara langsung sikap dan perilaku
serta kondisi pertunjukkan terbuka musik dangdut. Observasi dilaksanakan secara
partisipatoris dengan keterlibatan peneliti sebagai pengamat sekaligus pemeran serta.
Dalam penelitian ini, peneliti menjadi penonton aktiv. Observasi partisipatoris
dilakukan dengan alasan menambah penilaian secara objektif melalui pengamatan
yang ada pada pertunjukan ini, dan menambah wawasan sebelum melakukan indept
interview agar mampu memberikan penilaian secara objektif.
3. Wawancara Mendalam ( in-depth interview)
Sesuai dengan pendekatan kualitatif, wawancara mendalam (in-dept interview)
menjadi bagian utama pengumpulan data. Proses wawancara ini diawali dengan
menentukan informan (key Person) dan instrumen penelitian. Menggali informasi
pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan interview guide semi terstruktur
dimana pengembangan pertanyaan dan diskusi dilakukan selama pembicaraan sesuai
dengan topik dan informasi yang di butuhkan. Indept interview diawali kepada
37
pemerintah yang diwakili oleh Cahyo sebagai informan kunci, selanjutnya dengan
pak Yanto dan pak Subiyatno sebagai informan yang memberikan dan menjelaskan
konsep penyelenggaraan pertunjukann dangdut. Dilanjutkan dengan menggali
informasi dari pemusik dan penyanyi yang diwakili oleh Asep, Nita Osing dan Novi
Ananda, kemudian menggali informasi dari Hanum sebagai tangan kanan pengelola
kafe di panggung basiyo basiyo kemudian informan terakhir yang digali informasi
dari pihak penonton adalah Londo dan Yayan Hardiyanto.
4. Dokumentasi Lapangan
Teknik pengumpulan data selanjutnya dilakukan dengan mengumpulkan
dokumentasi lapangan dalam bentuk gambar. Tujuan pengumpulan dokumentasi
lapangan adalah untuk memberikan gambaran atau setting lokasi penelitian. Adapun
dokumentasi lapangan yang di sisipkan sebagai pengilustrasian penelitian
diantaranya, gambar gedung serbaguna panggung basiyo, karcis, dan gambaran
suasana setting sosial yang ada, kemudian
gambar pemusik dan penyanyi dan
gambar aturan dan sanksi yang diterapkan di panggung basiyo.
5. Studi Pustaka
Studi pustaka merupakan salah satu teknik pengumpulan data sekunder yang
relevan dengan sasaran dan tujuan penelitian. Pada penelitian ini literatur yang
digunakan sebagai pelengkap informasi dan data literatur yang bersumber dari buku
makalah dan jurnal penelitian diantaranya literatur tentang teori-teori sosial, buku
tentang permasalahan musik. Studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan
literatur sebagai referensi penelitian. Literatur tersebut terdiri dari penelitian
terdahulu, buku referensi, E-book, dan jurnal. Seperti buku Dloyana tahun 1995
38
yang berjudul Pesan-Pesan Budaya Lagu-Lagu Pop Dangdut Dan Pengaruhnya
Terhadap Perilaku Sosial Remaja Kotai untuk membantu menganalisis perilaku
penonton.
4.Teknik pemilihan informan
Penentuan subjek penelitan dilakukan menggunakan teknik sampling
insidental dimana teknik penentuan informan berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja
yang secara kebetulan/incidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai
sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai informan19.
Keputusan pemilihan informan berdasarkan teknik tersebut dikarenakan
sulitnya mencari penyanyi dangdut yang bersedia terbuka memberikan informasi
yang dibutuhkan, selain itu ketatnya aturan keamanan di panggung basiyo yang
membatasi interaksi antara penonton dengan penyanyi diluar panggung dengan
alasan keamanan dan kemudahan dalam memperoleh informasi menjadi alasan
utama penulis menentukan pilihan pada teknik insidental dalam menentukan
informan penelitian.
Adapun beberapa informan kunci yang di jadikan narasumber pada
penelitian ini diantaranya:
1. Cahyo sebagai perwakilan dari pemerintah dalam hal ini pengelola XT Square
secara keseluruhan, dimana panggung basiyo menjadi salah satu bangunan
penting yang dikelola.
19
Tulisan ini diperoleh melalui laman
http://www.academia.edu/5036760/Populasi_Sampel_and_Teknik_Sampling yang di ambil
pada tanggal 27 februari 2015 pukul : 16.02
39
2. Yanto dan Sarbiyatno atau Nono sebagai informan dari pihak event organizer
dan penyelenggara acara dangdut di panggung Basiyo.
3. Nita Osing dan Novi Ananda sebagai informan kunci dari pihak penyanyi,
dimana informan ini adalah penyanyi junior dan penanyi senior di Orkes Melayu
Gilas OBB.
4. Londo dan Yayan Hardianto sebagai informan dari pihak penonton yang
memberikan testimoni dan kesan subjektif terhadap pertunjukan dangdut di
panggung basiyo.
5. Hanum adalah informan dari pihak kafe, informan ini merupakan tangan kanan
pemilik dari kafe yang ada di panggung basiyo.
5.Teknik Analisis Data
Proses analisa data dilakukan setelah memperoleh data lapangan secara
lengkap sesuai sasaran penelitian. Proses analisis data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang tersedia. Dalam proses ini data lapangan yang diperoleh melalui
observasi lapangan, mengkaji field note atau catatan hasil wawancara mendalam (indepth interview ), dan dokumentasi lapangan diolah bersama data sekunder berupa
dokumen dan berbagai sumber referensi. Dalam penelitian ini data sekunder
berfungsi sebagai pembanding teoritis20. Dalam proses analisa data ini, peneliti
melakukan beberapa langkah meliputi : (1) Reduksi data, reduksi data dilakukan
dengan cara membuat abstraksi. Pembuatan abstraksi bertujuan untuk membuat
rangkuman inti, proses dan pernyataan yang perlu dijaga di dalamnya. dalam hal ini
memilih data yang berkaitan dengan informasi yang dibutuhkan. (2) Menyusun data
dalam bentuk satuan-satuan. Proses ini dilakukan dengan membagi data dalam
20
Moleong, J.Lexy. Ibid. Halaman247
40
kategori (coding). Proses ini mensistimatisasi tatanan informasi yang dibutuhkan. (3)
Pemeriksaan keabsahan data. Proses coding dan pemeriksaan keabsahan data
menyertakan juga tahap pemilhan data. Pemilahan data dilakukan dengan
membuang data yang tidak sesuai dengan tujuan penelitian maupun tidak menjawab
rumusan penelitian. Proses ini bertujuan agar penelitian menjadi lebih fokus dan
substansial. checkling untuk memastikan kebenaran hasil penelitian agar mampu
melihat kecenderungan yang terjadi.(4) Penafsiran data, merupakan tahap akhir
dalam penelitian. Hasil penafsiran merupakan kesimpulan dari penelitian. bagian
analisis melalui metode untuk menganalisis hasil penelitian agar sejalan dengan
teori. Secara sederhana alur berfikir dalam metode penelitian dapat dijelaskan
melalui bagan berikut:
Bagan 1 : Alur Penelitian
Menentukan
Objek
Penelitian
Pra Penelitian
Pengumpulan
Data
Pengolahan Data
(Analisis Data)
Laporan
Penelitian
Wawancara
Mendalam
Observasi
Catatan Lapangan,
Dokumentasi
41
Download