BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kultur jaringan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
perbanyakan sel, jaringan maupun organ dalam lingkungan yang terkontrol
secara aseptik. Kultur jaringan memanfaatkan sifat totipotensi sel, yaitu
kemampuan setiap sel dari setiap bagian yang tumbuh menjadi jaringan atau
organ baru jika ditumbuhkan dalam media yang sesuai. (Neumann dkk.,
2009). Menurut Menurut Suryowinoto (dalam Hendaryono & Wijayani,
1994), sel yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan memiliki kesamaan
dengan induknya. Teknik ini memungkinkan untuk menghasilkan tumbuhan
yang sama dengan induknya sehingga dapat menjadi salah satu upaya
pelestarian tumbuhan. Salah satu jenis kultur jaringan adalah kultur tunas.
Tunas berasal dari nodus batang tumbuhan. Menurut Campbell & Reece
(2002), sel-sel penyusun tunas yang merupakan sel muda yang bersifat
meristematik. Sel meristematik masih aktif membelah dan berdiferensiasi
menjadi jaringan dan organ baru dalam waktu yang singkat.
Menurut
Suryowinoto (dalam Hendaryono & Wijayani, 1994), kultur jaringan
memungkinkan untuk menumbuhkan sel dari jaringan dewasa. Namun, sel
penyusun
jaringan
dewasa
tidak
bersifat
meristematik
sehingga
membutuhkan trigger untuk memacu pembelahan sel. Hal ini menyebabkan
1
2
kultur dari jaringan dewasa membutuhkan waktu yang lebih lama dibanding
kultur dari jaringan muda.
Kultur jaringan menggunakan lingkungan tumbuh yang terkontrol.
Pengontrolan yang dilakukan antara lain intensitas cahaya, suhu, dan unsur
hara. Teknik ini dapat meminimalisasi pengaruh faktor lingkungan yang bisa
memodifikasi metabolit yang dihasilkan tumbuhan.
Scoparia dulcis L. merupakan salah satu tumbuhan yang dapat
digunakan untuk kultur tunas. Scoparia dulcis L. yang dikenal dengan nama
jakatuwa merupakan salah satu tumbuhan yang tersebar di daerah tropis
seperti Indonesia. S.dulcis sudah digunakan oleh penduduk sebagai obat batuk
(Heyne,1987). Di India, masyarakat menggunakan S.dulcis untuk membantu
permasalahan kadar gula darah (Vijay & Andersen, 2008). Menurut Vela dkk.
(2006),
S.dulcis sudah biasa digunakan oleh masyarakat di Brazil pada
gangguan pernafasan, pencernaan, dan hati.
Berdasarkan hasil penelitian, S.dulcis mengandung beberapa senyawa
yaitu kuersetin, asam p-kumarat, luteolin, dan apigenin dengan perbandingan
8:26:1:3 dan memiliki aktivitas dalam menstimulasi uptake glukosa sehingga
berpotensi untuk penanganan penyakit diabetes melitus (Beh dkk., 2013).
Kuersetin atau 5,7,3’,4’-tetrahidroksi flavonol merupakan salah satu metabolit
sekunder yang terkandung dalam S.dulcis. Menurut Dewick (2009), kuersetin
memiliki beberapa aktivitas diantaranya sebagai antioksidan kuat dan
pengkelat logam.
3
Produksi
kuersetin
dalam
S.dulcis
dimungkinkan
dilakukan
peningkatan melalui penambahan prekursor flavonoid pada media kultur
jaringan. Menurut Dewick (2009), salah satu prekursor flavonoid adalah Lfenilalanin. Pada proses biosintesis flavonoid dalam tumbuhan, L-fenilalanin
diubah menjadi asam 4-kumarat oleh enzim phenylalanine ammonia lyase
(PAL). Asam sinamat selanjutnya mengalami beberapa langkah reaksi
enzimatik yang menghasilkan senyawa turunan flavonoid. Beberapa
penelitian fisiologi tumbuhan menunjukkan bahwa produksi flavonoid dapat
ditingkatkan dengan penambahan L-fenilalanin. Prekursor flavonoid yang
ditambahkan adalah asam amino L-fenilalanin. Menurut Seo dkk. (2014),
pemberian L-fenilalanin konsentrasi 5 mM selama 24 jam pada penanaman
Fagopyrum sp meningkatkan produksi rutin dan senyawa fenolik. Pemberian
tunggal L-fenilalanin pada tumbuhan Ocimum basilicum L. dengan kadar 0,05
mM dan 0,5 mM menghasilkan kadar flavonoid total yang lebih tinggi
dibanding kontrol (Koca & Karaman, 2014).
Salah satu metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif adalah
kromatografi
lapis
tipis
(KLT).
Analisis
kualitatif
berguna
untuk
mengevaluasi kemiripan metabolit pada tunas hasil kultur dengan tumbuhan
asalnya. Dengan adanya kemiripan metabolit, diharapkan tumbuhan hasil
kultur dapat bermanfaat dalam bidang pengobatan seperti tumbuhan asalnya.
Analisis kuantitatif dapat dilakukan dengan metode KLT-densitometri Luas
4
bercak ekstrak tunas hasil kultur dibandingkan dengan luas bercak
pembanding untuk mengetahui kadar metabolit yang dihasilkan.
Pada penelitian ini, dilakukan kultur tunas nodus batang S.dulcis
dengan penambahan asam amino L-fenilalanin dalam media kultur. Profil
kromatografi kultur tunas S.dulcis dianalisis dengan metode kromatografi
lapis tipis untuk membandingkan metabolit yang dihasilkan tunas hasil kultur
dengan tumbuhan asalnya. Pemberian L-fenilalanin pada media kultur
bertujuan untuk memengaruhi biosintesis senyawa turunan flavonoid
kuersetin. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui pengaruh
pemberian L-fenilalanin terhadap peningkatan kadar kuersetin kultur tunas
S.dulcis.
B .
Perumusan Masalah
1. Bagaimana profil KLT tumbuhan hasil kultur tunas bila dibandingkan
dengan tumbuhan asal?
2. Apakah ada pengaruh L-fenilalanin terhadap produksi kuersetin pada
setiap perlakuan kultur tunas bila dibandingkan dengan kontrol?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui profil metabolit tumbuhan hasil kultur tunas dan
tumbuhan asalnya dengan metode KLT.
2. Untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian
L-fenilalanin
terhadap
peningkatan kadar kuersetin dalam setiap perlakuan kultur tunas bila
dibandingkan dengan kontrol.
5
D. Manfaat Penelitian
a. Bagi masyarakat
Memperoleh pengetahuan tentang kemungkinan konsentrasi plasma
nutfah dengan teknik kultur jaringan.
b. Bagi industri obat tradisional
Kultur tunas S.dulcis berpeluang penyediaan bahan baku dengan
kualitas senyawa lebih tinggi dibanding tumbuhan induknya sehingga
berpotensi untuk dijadikan kandidat obat tradisional.
c. Bagi akademisi dan peneliti
Penelitian
ini dapat menjadi sebuah referensi dan ide untuk terus
dilakukan pengembangan riset berkaitan dengan pelestarian dan
pengembangan produksi metabolit sekunder S.dulcis melalui kultur
jaringan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Penelitian terkait
Pemberian L-fenilalanin konsentrasi 5 mM selama 24 jam pada
tunas Fagopyrum sp berumur 7 hari menunjukkan konsentrasi tertinggi
senyawa rutin terhadap kontrol. Perlakuan dengan L-fenilalanin kadar 5
mM dan cahaya lampu LED yang bervariasi juga memberikan perbedaan
yang signifikan terhadap kandungan senyawa fenolik pada tumbuhan
Fagopyrum sp (Seo dkk., 2014).
6
Menurut Koca & Karaman (2014), perlakuan tunggal L-fenilalanin
pada tumbuhan Ocimum basilicum L dengan kadar 0,05 mM dan 0,5 mM
memberikan kadar flavonoid total yang lebih tinggi dibanding kontrol.
Perlakuan dilakukan dengan perendaman biji Ocimum basilicum dengan
L-fenilalanin selama 24 jam dan dipanen setelah 10 minggu. Namun
perlakuaan tersebut tidak memberikan pengaruh secara langsung terhadap
aktivitas enzim L-fenilalanin amonia liase. Enzim tersebut berperan dalam
sintesis senyawa fenolik pada jalur fenilpropan. Pemberian L-fenilalanin
diperkirakan dapat memengaruhi enzim-enzim lain yang berperan dalam
sintesis jalur fenilpropan (Koca & Karaman, 2014).
2. Scoparia dulcis L.
a. Sistematika S.dulcis dalam taksonomi tumbuhan (Wunderlin &
Hansen, 2008)
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Bangsa
: Scrophulariales
Suku
: Scrophulariaceae
Marga
: Scoparia
Jenis
: Scoparia dulcis L.
Gambar 1. Scoparia dulcis L.
b. Nama lokal
Jawa Barat : jakatuwa (Sunda), Jawa: ginje menir, ginje jepun (Jawa)
(Heyne, 1987)
7
c. Morfologi S.dulcis
S.dulcis merupakan herba yang bercabang-cabang, tinggi 0,20,8 meter. Daun berkarang 3, bertangkai pendek, memanjang, di atas
pangkal beringgit bergigi dengan panjang 1-3 cm dan lebar 3-12 mm.
Bunga bertangkai, tunggal, di ketiak sari dari semua daun yang di atas.
Kelopak tidak gugur, berbagi dalam, panjang 2 mm. Mahkota
berbentuk roda, pada leher berbulu panjang, ungu pucat dengan pusat
yang lebih gelap, taju sama sekali sama, bulat telur terbalik dengan
panjang 2-3 mm dan lebar 0,5-1,7 mm. Benang sari 4, lepas, kira-kira
sama panjang. Tangkai putik 1,3 mm panjangnya, kepala putik
berbentuk bulat kecil. Buah kotak berbentuk bulat telur, pecah
menurut sekat dan celah dengan 4 katup, 2-3 mm panjangnya (Stennis,
1987).
d. Penggunaan S.dulcis secara empiris
Menurut Heyne (1987), di Indonesia S.dulcis yang dikenal
dengan nama jakatua sudah digunakan oleh penduduk dalam
membantu penanganan batuk. Di India, S.dulcis sudah digunakan
untuk membantu penanganan penyakit diabetes (Vijay & Andersen,
2008). S.dulcis digunakan penduduk di Brazil untuk penanganan
gangguan pernafasan, pencernaan dan hati (Vela dkk., 2006). Menurut
Catarino dkk. (2016), masyarakat di Afrika biasa menggunakan daun
8
dan batang S.dulcis untuk meredakan rasa sakit pada ibu hamil,
menyusui dan bayi yang baru lahir
e. Metabolit dalam S.dulcis dan aktivitas biologis
Hasil sebuah penelitian diketahui bahwa ekstrak air S.dulcis
berefek dalam penghambatan sekresi asam lambung sehingga
melindungi tikus dari tukak lambung. Hasil penelitian ini sangat
berhubungan dengan penggunaan S.dulcis secara tradisional untuk
menangani penyakit pencernaan (Vela dkk., 2007). Selain itu, ekstrak
air yang mengandung campuran beberapa senyawa diantaranya
kuersetin, asam p-kumarat, luteolin, apigenin dengan perbandingan
8:26:1:3 memberikan aktivitas terhadap uptake glukosa serta
menstimulasi translokasi GLUT4 di jaringan adiposa (Beh, 2013).
3. Cara identifikasi S.dulcis
Tumbuhan dapat diidentifikasi berdasarkan sistem filogenetik.
Sistem ini mengidentifikasi tumbuhan melalui ciri-ciri diagnostik yang
mirip
berdasarkan
hubungan
kekerabatan.
Tumbuhan
dapat
dikelompokkan berdasarkan kemiripan ciri dan sifat yang melekat pada
setiap jenis.
S.dulcis
sudah
diketahui
oleh
masyarakat
ilmiah
secara
internasional sejak tahun 1753 (Linneai, 1753). Sebagai jenis yang sudah
dipublikasi dan dikenal luas dalam dunia ilmu pengetahuan, maka cara
identifikasi terhadap jenis tersebut meliputi lima cara. Pertama, bertanya
9
kepada seorang ahli taksonomi. Seorang ahli memiliki kemampuan untuk
mengenali nama dan klasifikasi tumbuhan. Kedua, peneliti dapat
mencocokkan tumbuhan dengan spesimen herbarium yang telah
diidentifikasi. Spesimen herbarium yang telah diteliti dan disimpan di
lembaga penelitian biologi atau institusi pendidikan seperti universitas
dapat menjadi rujukan untuk mengetahui kebenaran identitas tumbuhan.
Ketiga, peneliti dapat mencocokkan ciri-ciri tumbuhan dengan gambar
pada buku flora dan monografi. Cara ini dapat dilakukan oleh orang yang
menguasai bidang taksonomi tumbuhan. Keempat, kunci identifikasi
tumbuhan
dapat
digunakan
untuk
identifikasi
tumbuhan.
Kunci
identifikasi merupakan daftar pertanyaan yang jawabannya harus
ditemukan pada spesimen yang akan diidentifikasi. Kelima, lembar
identifikasi jenis dapat digunakan untuk mengidentifikasi tumbuhan.
Lembar tersebut memuat gambar tumbuhan yang dilengkapi dengan nama,
klasifikasi jenis serta informasi lain yang mendukung (Tjitrosoepomo,
1998).
4. Uraian tentang senyawa hasil metabolit
Terdapat dua jenis metabolit yang diproduksi tumbuhan yaitu
metabolit primer dan sekunder. Metabolit primer diproduksi oleh
tumbuhan untuk keperluan pertumbuhan dan perkembangan. Contoh
metabolit primer diantaranya adalah asam amino, nukleotida, karbohidrat
dan lemak. Metabolit primer umum terkadung pada setiap tumbuhan.
10
Metabolit sekunder merupakan senyawa yang diproduksi oleh organisme
atau kelompok organisme tertentu. Metabolit sekunder diproduksi dalam
jumlah terbatas dan merupakan ekspresi dari individualitas spesies.
Metabolit sekunder tidak selalu diproduksi dalam semua kondisi, dalam
beberapa kasus diproduksi untuk pertahanan diri.
Selain itu, banyak
metabolit sekunder yang memiliki aktivitas secara farmakologis pada
manusia (Dewick, 2009).
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan suatu golongan besar senyawa dalam
tumbuhan yang tersusun dari rantai C6-C3-C6, terdiri atas dua cinicin
aromatik yang digabungkan oleh tiga atom karbon yang membentuk
cincin ketiga. Flavonoid dibagi dalam beberapa golongan yaitu flavon
(apigenin, luteolin), flavonol (kuersetin, mirisetin), flavanon (naringenin
dan hesperidin), flavanon (katekin, epikatekin dan gallokatekin),
antosianin (sianidin dan pelargonidin) dan isoflavon berupa genistein dan
daidezin (Grotewold, 2006).
Gambar 2. Struktur umum flavonoid
( Gallic, 2011)
11
Jalur biosintesis flavonoid merupakan jalur fenilpropan yang paling
luas. Flavonoid sebagai produk akhir biosintesis ditranspor ke beberapa
bagian ekstraseluler, salah satunya pada vakuola sebagai pigmen tertentu sel
tumbuhan (Andersen & Markham, 2006). Flavonoid terdistribusi luas dalam
berbagai produk makanan nabati seperti buah, sayur, teh, cokelat, dan wine.
Umumnya, bahan nutrasetikal yang berasal dari tumbuhan mengandung
flavonoid. Sebagai senyawa fenolik, flavonoid berperan sebagai antioksidan,
antiploriferasi dan agen pengkelat. Oleh sebab itu, flavonoid dapat berkhasiat
sebagai antikanker (Grotewold, 2006).
Tabel I. Sifat flavon dan flavonol
Flavonoid
hRf dalam
pengembang
Warna pada
UV
ʎmaks dalam
EtOH (nm)
Pergeseran
dengan Na
borat
268,368
255,374
256,378
254,369
254,369
262,278,341,38
6
0
+
+
0
+
269,336
255,268,350
252,269,355
248,269,355
0
+
0
0
For
estal
BAW
PhOH
Flavonol
Kaemferol
Kuersetin
Mirisetin
Isoramnetin
Azaletin
55
41
28
53
49
83
64
43
74
48
58
29
13
66
50
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Kuning
Gosipetin
26
31
12
Hitam redup
83
66
77
72
89
78
82
73
88
66
90
87
Kuning atau
hijau
kekuningan
6
16
2
9
41
56
31
41
63
79
43
51
Kuning atau
hijau
kekuningan
Sebagai apigenin
0
98
99
Coklat redup
Sebagai apigenin
Flavon
Apigenin
Luteolin
Krisoeriol
Trisol
Glikosilflavon
Viteksin
Isoviteksin
Orientin
Iso-orientin
Biflavonil
Kayaflavon
( Harborne, 1987)
Sebagai luteolin
+
12
Menurut Wagner (1996), semua senyawa flavonoid menunjukkan
pemadaman di bawah UV254. Sementara pada UV366, senyawa yang
menunjukkan fluoresensi oranye hingga kuning merupakan golongan flavonol
meliputi kuersetin, mirisetin dan golongan flavon seperti apigenin dan bentuk
glikosidanya menunjukkan warna kuning-hijau. Flavonoid memiliki serapan
300-380 nm pada pita I dan 240-280 nm pada pita II (Harborne, 1969). Tabel
I menunjukkan karakteristik senyawa golongan flavonoid bila dipisahkan
dengan fase gerak forestal, b-butanol:asam asetat:air (BAW) dan fenol
(PhOH). Selain ketiga jenis fase gerak tersebut, menurut Markham (2006),
dapat digunakan fase gerak kloroform:metanol (96:4) untuk pemisahan
aglikon flavonoid apigenin, luteolin dan kuersetin.
Salah satu pereaksi untuk mengetahi adanya senyawa flavonoid adalah
pereaksi sitroborat. Sitroborat terdiri dari asam sitrat dan asam borat (Anonim,
2009). Asam borat dapat membentuk kompleks khelat dengan gugus orto
dihidroksi dan orto hidroksi karbonil seperti pada senyawa kumarin, flavonoid
dan kuinon (benzokuinon, naftokuinon dan antrakuinon) (Bohm, 1998).Hasil
positif ditandai dengan terbentuknya fluoresensi bercak di bawah sinar UV
365 nm.
13
Gambar 3. Reaksi asam borat dengan gugus ortodihidroksi
Sumber: Bohm, 1998
b. L-fenilalanin
Gambar 4. Struktur L-fenilalanin
( Dewick, 2009)
L-fenilalanin merupakan suatu asam amino dengan rumus molekul
C9H11NO2 dengan bobot molekul 165,189. L-fenilalanin berupa kristal
berwarna putih dan rasa pahit. L-fenilalanin larut dalam air suling, tidak larut
dalam etanol dan memiliki titik lebur 270o-275oC. L-fenilalanin tidak stabil
terhadap agen pengoksidasi (Anonim, 2004).
c. Kuersetin
Gambar 5. Struktur kuersetin
( Zhou dkk., 2011)
Kuersetin yang memiliki rumus molekul C15H10O7 dan bobot molekul
302,24 merupakan senyawa flavonoid yang umum terdapat pada tumbuhan
14
dalam bentuk glikosidanya (rutin, kuersitrin) maupun aglikon ( Harborne
dkk., 1999). Menurut Zhou (2011), kuersetin berupa kristal berwarna kuning
dengan titik lebur 313-314oC.
Melalui beberapa penelitian, diketahui kuersetin memiliki aktivitas
sebagai antioksidan yang cukup poten, pengkelat logam, penangkal radikal
bebas, dan pencegah oksidasi low density lipoprotein (LDL) (Dewick, 2009).
d. Biosintesis flavonoid
Menurut Dewick (2009), flavonoid merupakan suatu senyawa yang
berasal dari kerangka dasar fenilpropan C6C3. L-fenilalanin dan L-tirosin
merupakan prekursor untuk kerangka C6C3. L-fenilalanin diubah menjadi
asam sinamat oleh enzim phenylalanine ammonia lyase (PAL) dengan
mengeliminasi gugus amina. Enzim PAL umumnya terdapat pada tumbuhan.
Menurut Taiz & Seiger (2002), aktivitas enzim PAL dipengaruhi oleh faktor
lingkungan seperti nutrisi, intensitas cahaya dan keberadaan fungi. Fungi
dapat menjadi trigger bagi transkripsi RNA messenger untuk mengkode
sintesis enzim PAL sehingga meningkatkan produksi enzim tersebut pada
tumbuhan. L-tirosin dapat diubah menjadi asam p-kumarat engan enzim
tyrosine ammonia lyase (TAL). Enzim TAL umumnya terdapat pada bakteri
(Dewick, 2009).
15
Gambar 6. Reaksi L-tirosin menjadi asam 4-kumarat
(Dewick, 2009)
Pada proses biosintesis yang ditunjukkan Gambar 7 dan Gambar 8,
asam sinamat diubah menjadi asam 4-kumarat dengan penambahan gugus
hidroksil oleh enzim cinnamate 4-hydroxilase (C4H). Biosintesis dilanjutkan
dengan mengubah 4-kumarat menjadi 4-kumaroil-KoA oleh enzim 4coumarate ligase (4CL). Senyawa 3 malonil-Ko-A berasal dari kondensasi 3
asetil Ko-A oleh enzim acetyl-CoA carboxylase (ACC). Senyawa 3-malonil
Ko-A dan bergabung dengan 4-kumaroil Ko-A oleh bantuan enzim chalcone
synthase (CHS) menjadi naringenin khalkon. Oleh enzim chalcone isomerase
naringenin khalkon diubah menjadi naringenin, suatu senyawa flavanon
(Andersen & Markham, 2006 ).
Naringenin mengalami reaksi oksidasi menjadi apigenin dan luteolin
oleh enzim flavon syntase I (FNSI) dan flavone syntase II. Selain itu,
naringenin mengalami reaksi hidroksilasi menjadi dihidrokamferol atau
dihidro kuersetin oleh enzim flavanon sintase (E3). Dihidrokaemferol atau
dihidro kuersetin mengalami reaksi oksidasi menjadi kaemferol dan kuersetin
oleh enzim flavonol sintase (E4) (Dewick , 2009).
16
Naringenin
Gambar 7. Biosintesis flavonoid
Gambar 8. Biosintesis kuersetin
17
5. Bagian tumbuhan
a.
Akar
Menurut Mulyani (2006), akar berfungsi untuk mengambil air, unsur
hara dan penyimmpan cadangan makanan. Terdapat dua jenis akar yaitu akar
serabut dan tunggang. Akar serabut terdapat pada tumbuhan Monokotil.
Setiap akar pada akar serabut memiliki ukuran yang hampir sama. Akar
tunggang terdapat pada tumbuhan dikotil. Akar tunggang memiliki akar utama
yang bercabang. Akar memiliki rambut akar yang terdapat pada bagian yang
dekat dengan ujung akar. Rambut akar merupakan penonjolan dari epidermis
akar.
b.
Batang
Menurut Cambell dan Reece (2002) Batang adalah sumbu bagi
tumbuhan, yaitu tempat melekatnya organ-organ tumbuhan dan terdapat
berkas pembuluh di dalamnya. Batang termodifikasi menjari fungsi yang
beraneka ragam yaitu stonlom, rhizoma, umbi dan umbi lapis.
Bagian batang tempat menempelnya daun disebut nodus dan bagian di
antara dua nodus tersebut adalah buku (internodus). Pada sudut yang
terbentuk antara masing-masing daun dan batang terdapat tunas aksiler yang
berpotensi untuk membentuk tunas baru.
Pada nodus, terdapat jaringan
meristem yang merupakan popilasi sel yang memperbaharui diri sendiri
18
dengan membelah dan menghasilkan sel-sel untuk pertumbuhan tumbuhan.
Beberapa produk pembelahan ada yang tetap pada daerah meristematik dan
sebagian yang lain berdiferinsiasi menjadi jaringan dan organ baru.
c. Daun
Daun adalah organ fotosintesis utama bagi tumbuhan. Bentuk daun
umumnya terdiri dari helai daun (blade) yang pipih dan tangkai daun yang
disebut petiola.Proses fotosintesis
terjadi dalam kloroplas yang memiliki
pigmen klorofil. Kloroplas terdapat pada jaringan parenkim palisade. Daun
biasanya rata dan tipis sehingga memudahkan masuknya sinar matahari ke
dalam sel. Luasnya permukaan daun memudahkan proses pertukaran gas dari
udara luar ke dalam sel. Pada epidermis terdapat stomata yang membantu
pertukaran gas.
Daun dikelompokkan menjadi dua yaitu daun tunggal dan majemuk.
Sebuah daun tunggal memiliki helai daun yang tidak terbagi. Daun majemuk
terbagi menjadi beberapa helai anak daun yang kemudian terbagi lagi menjadi
daun ganda (Campbell & Reece, 2002). Terdapat empat tipe pertulangan daun
yaitu menyirip, sejajar, menjari, dan melengkung (Mulyani, 2006).
d.
Bunga
Bunga adalah organ untuk reproduksi. Bunga dibentuk oleh meristem
khusus yang berkembang dari ujung batang. Bunga terdiri dari sekelompok
daun khusus yang disebut sepala, petala, stamen, dan karpela. Sepala biasanya
berwarna hijau dan seluruh sepala disebut kelopak bunga. Petala biasanya
19
berwarna menarik dan keseluruhannya disebut mahkota. Tiap stamen
mempunya tangkai sari yang di bagian ujungnya terdapat tangkai sari. Pada
tangkai sari, terdapat ruang sari yang di dalamnya berisi serbuk sari. Karpela
ada yang tunggal dan berkelompok dan keseluruhannya disebut putik.
Terdapat dua pengelompokan bunga yaitu bunga sempurna dan bunga tidak
sempurna. Bunga sempurna memiliki benang sari sebagai alat kelamin jantan
dan putik sebagai alat kelamin betina. Sementara bunga tidak sempurna hanya
memiliki salah satu alat kelamin, betina atau jantan ( Mulyani, 2006).
6. Jaringan dan sel penyusun tumbuhan
Jaringan yang terdapat pada tumbuhan secara umum dibagi menjadi
tiga, yaitu jaringan epidermis, jaringan pembuluh dan jaringan dasar. Pada
jaringan tumbuhan, terdapat sel-sel penyusun yaitu parenkim, kolenkim,
sklerenkim, trakeid, unsur pembuluh dan pembuluh tapis. Parenkim
merupakan sel yang tidak mengalami spesialisasi dengan dinding tipis dan
lentur. Sel-sel ini melaksanakan sebagian besar proses metabolik tumbuhan.
Kolenkim merupakan sel yang memiliki dinding primer yang menebal tidak
merata dan menjadi penyokong bagi tumbuhan. Skelernkim merupakan sel
yang memiliki dinding sekunder yang mengeras dengan lignin. Sel ini
dikhususkan untuk menyokong. Trakeid dan unsur pembuluh merupakan sel
penyusun xilem. Trakeid dan unsur pembuluh merupakan sel yang mati pada
kematangan fungsional. Trakeid adalah sel panjang dan tipis dengan ujung
runcing. Trakeid berfungsi sebagai penyokong dan pengangkut air. Unsur
20
pembuluh umumnya lebih lebar, pendek, tipis, kurang runcing dan
membentuk pipa mikro yang memungkinkan air mengalir. Pembulu tapis
merupakan sel penyusun floem yang masih hidup pada kematangan
fungsional. Pembuluh tapis memiliki pori yang memungkinkan cairan
mengalir mudah.
a. Jaringan epidermis
Epidermis merupakan sistem jaringan dermal yang terdiri dari
lapisan tunggal sel-sel yang terbungkus rapat. Epidermis memiliki fungsi
utama yaitu sebagai pelindung bagi bagian muda tumbuhan. Epidermis
dapat mengalami modifikasi, diantaranya menjadi stomata dan trikoma.
1). Stomata
stomata merupakan modifikasi dari jaringan epidermis berwujud
pori-pori yang sangat kecil dan diapit oleh sel penjaga. Sel penjaga
merupakan sel
epidermal
yang mengalami
spesialisasi.
Stomata
memungkinkan terjadinya pertukaean gas antara udara di sekitarnya dan
sel-sel fotosintetik di bagian dalam daun. Stomata juga merupaan jalan
utama untuk penguapan air (Campbell & Reece, 2002) halaman 309.
Menurut Melcalfe dan Chalk (dalam Mulyani, 2006 halaman 145-146),
secara morfologi stomata dibedakan menjadi beberapa tipe antara lain
anomositik, anisositik, parasitik, diasitik dan aktinositik.
Stomata tipe anomositik merupakan stomata yang dikelilingi oleh
sejumlah sel yang ukurannya tidak dapat dibedakan bentuk dan ukurannya
21
dari sel epidermis yang lain. Stomata anisositik merupakan stomata yang
dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang ukurannya tidak sama. Stomata tipe
parasitik merupakan stomata yang setiap penutupnya didampingi oleh satu
atau lebih sel tetangga yang letaknya sejajar dengan stomata. Stomata
diasitik dikelilingi oleh dua sel tetangga yang letaknya berpotongan.
Stomata aktinositik merupakan variasi tipe diasitik yang dikelilingi oleh
sel tetangga yang teratur dan menjari.
2). Trikoma
Trikoma merupakan modifikasi epidermis yang memiliki struktur
lebih padat seperti tonjolan, kelenjardan duri. Sel trikoma ada yang
memiliki dinding sekunder dan terkadang berlignin. Trikoma dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu trikoma glanduler dan trikoma non
glandular. Trikoma glandularmerupakan trikoma yang memiliki bagian
menonjol dan dapat mensekresikan materi organik dan anorganik.
Trikoma non glanduler terdiri dari uniseluler maupun multiseluler dan
memiliki bentuk bermacam-macam, antara lain bentuk sisik, pipih,bintang
dan berlapis (Mulyani, 2006).
b. Jaringan pembuluh
Jaringan pembuluh merupakan kesinambungan xilem dan floem
dan berfungsi dalam proses transpor dan penyokongan. Xilem terdiri dari
sel-sel pembuluh dan trakeid yang berfungsi mengangkut air dan unsur
hara. Floem terususun dari pembuluh tapis yang berfungsi untuk
22
mengangkut hasil fotosintesis ke organ-organ tumbuhan (Campbell &
Reece, 2002).
c. Jaringan dasar
Menurut Campbell & Reece (2002), jaringan dasar adalah bagian
terbesar dari tumbuhan muda yang menempati ruangan antara jaringan
dermal dan pembuluh. Sebagian besar penyusun jaringan dasar adalah selsel parenkim, namun sklerenkim dan kolenkim juga umum ditemukan.
Fungsi jaringan dasar adalah untuk fotosintesis, penyimpanan, dan
penyokongan.
7. Proses transpirasi tumbuhan
Zat hara yang terlarut dalam air dapat masuk ke dalam tumbuhan
karena perbedaan gradien konsentrasi.
Zat terlarut mengalir dari
konsentrasi tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Zat terlarut dapat
masuk ke dalam tumbuhan melalui dua sistem yaitu apoplas dan simplas.
Transpirasi sistem apoplas merupakan masuknya zat hara yang terlarut
dalam air melalui pembuluh xilem. Kecepatan aliran zat ke dalam
tumbuhan berkisar 1m/jam-6m/jam untuk tumbuhan berpembuluh sempit
dan 16m/jam- 45m/jam untuk tumbuhan berpembuluh lebar. Transpirasi
simplas merupakan masuknya zat terlarut melalui cairan antar sel
(Salisbury & Ross, 1995).
23
8. Kultur jaringan tumbuhan
Kultur jaringan tumbuhan merupakan teknik untuk menumbuhkan
tunas, akar, embrio, kalus, suspensi sel, protoplas, dan anter yang
diperoleh dari tumbuhan induk dan diinokulasi pada media buatan. Kultur
jaringan tumbuhan memanfaatkan sifat totipotensi sel. Totipotensi
merupakan kemampuan sel untuk berdiferensiasi menjadi jaringan an
organ baru (George dkk., 2008). Eksperimen kultur jaringan tumbuhan
dicirikan oleh penggunaan bagian tumbuhan yang disebut eksplan.
Eksplan diperoleh dari bagian tertentu dari tumbuhan dan diinokulasi pada
media sesuai secara aseptik. Nutrisi pada media berfungsi sebagai elemen
pengganti sel-sel maupun jaringan. Kondisi aseptik diterapkan pada teknik
kultur jaringan untuk pencegahan kontaminasi bakteri dan jamur.
Kontaminasi bakteri dan jamur menghambat aktivitas biologis eksplan
(Neumann dkk., 2009).
Keberhasilan kultur jaringan tumbuhan dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain macam eksplan, letak bagian tumbuhan yang digunakan
dan ukuran eksplan. Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan kultur
jaringan tumbuhan yaitu umur dan cara pembudidayaan dari tumbuhan
yang akan digunakan sebagai eksplan. Dasar pemilihan eksplan adalah
tumbuhan sumber eksplan sehat secara fisiologis, kuat, jenis jaringan yang
dipilih, dan ukuran eksplan yang cukup besar (George dkk., 2008).
24
a. Macam-macam kultur jaringan
Kultur jaringan secara umum digunakan sebagai istilah untuk
menggambarkan semua jenis kultur tumbuhan secara in vitro. Menurut
Hendaryono & Wijayani (1994), kultur jaringan tumbuhan dibagi menjadi
kultur meristem, anter, protoplas, kloroplas, dan fusi protoplas.
Kultur
meristem
merupakan
budidaya
jaringan
dengan
menggunakan eksplan dari jaringan muda atau meristem. Kultur anter
merupakan kultur yang menggunakan eksplan dari kepala sari. Kultur
protoplas menggunakan protoplas, yaitu sel hidup yang telah dihilangkan
dinding selnya. Fusi protoplas teknik untuk melakukan persilangan dua
protoplas menjadi satu. Tujuan fusi protoplas adalah untuk budidaya
tanaman baru dengan kedua sifat gabungan.
b. Kegunaan kultur jaringan
Menurut Suryowinoti (dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994)
kultur
jaringan
memiliki
beberapa
kegunaan,
terutama
untuk
mendapatkan tumbuhan baru dalam jumlah banyak, mempunyai sifat
sama atau lebih baik daripada induknya. Dalam bidang farmasi, teknik
kultur jaringan bermanfaat untuk produksi metabolit sekunder yang akan
digunakan sebagai bahan obat .
25
c. Keuntungan kultur jaringan
Kultur jaringan memiliki beberapa keuntungan.
Eksplan yang
digunakan pada teknik ini berupa potongan kecil tumbuhan, tunas atau
embrio sehingga sampel yang dibutuhkan sedikit. Kultur dilakukan secara
aseptik sehingga tumbuhan terhindar dari virus atau bakteri. Selain itu,
komposisi media, zat pengatur tumbuh, suhu, dan cahaya yang bisa diatur
sehingga kondisi optimum untuk pertumbuhan eksplan dapat diperoleh.
Kultur jaringan memungkinkan untuk menghasilkan tumbuhan
yang sulit atau bahkan tidak mungkin tumbuh secara vegetatif. Dengan
teknik kultur jaringan, tumbuhan yang dihasilkan juga dapat memiliki
karakteristik baru yang lebih baik. Selain itu, kultur jaringan
membutuhkan material yang sedikit dan ruang yang tidak terlalu luas.
Produksi dapat dilakukan sepanjang tahun dan tidak tergantung oleh
perubahan musim. Teknik ini tidak memerlukan perlakuan seperti
penyiraman, penyiangan dan penyemprotan bila dibandingkan dengan
metode konvensional (George dkk., 2008).
d. Media kultur jaringan
Nutrisi pada media berperan penting dalam kesuksesan kultur sel,
meskipun tumbuhan autotrof dapat tumbuh di bawah cahaya dan kondisi
aerasi yang cukup. Namun pada kultur sel, media nutrisi berperan sebagai
bahan untuk sel tersebut tumbuh (Neumann, 2009). Media yang umum
digunakan dalam kultur jaringan adalah formulasi Murashige dan Skoog
26
(MS). Media kultur jaringan tumbuhan terdiri dari komponen-komponen
seperti makronutrien, mikronutrien, gula, zat pengatur tumbuh, vitamin,
agen pemadat berupa agar dan asam amino jika diperlukan (George dkk.,
2008).
Dalam media MS ditambahkan komponen makro dan mikro.
Komponen tersebut merupakan komponen esensial bagi tumbuhan. Tanpa
komponen tersebut, tumbuhan tidak bisa menjalankan aktivitas biologis.
Komponen makro dan mikro ditambahkan dalam bentuk garam.
Komponen makro dibutuhkan dalam jumlah yang besar. Komponen ini
terdiri dari amonium nitrat (NH4NO3), kalium nitrat (KNO3), kalsium
klorida (CaCl2.2H2O), magnesium sulfat (MgSO4.7H2O), kalium fosfat
(KH2PO4). Unsur Nitrogen (N) berfungsi sebagai komponen asam nukleat,
protein, hormon, dan koenzim. Kalium (K) merupakan zat terlarut utama
yang berfungsi sebagai penjaga keseimbangan air, pergerakan stomata dan
kofaktor dalam sintesis protein. Kalsium (Ca) berperan penting dalam
pembentukan, stabilitor dinding sel, pengatur banyak respon sel terhadap
rangsangan,
pemeliharaan
struktur
dan
permeabilitas
membran.
Magnesium (Mg) berperan sebagai komponen penyusun klorofil. Fosfor
(P) berfungsi sebagai komponen asam nukleat, fosfolipid, Adenosine
triphosphate (ATP) dan koenzim . Komponen mikro merupakan
komponen yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Secara umum,
komponen mikro dibutuhkan untuk diferensiasi sel. Garam anorganik
27
mikro terdiri dari asam borat (H3BO3), mangan sulfat (MnSO4.7H2O),
natrium molibdat (Na2MoO4.2H2O), tembaga (II) sulfat (CuSO4.5H2O),
kobalt klorida (CoCl2.6H2O), dan kalium iodide (KI). Boron (Bo)
berperan sebagai kofaktor dalam sintesis klorofil, asam nukleat dan
transport karbohidrat. Mangan (Mn) berperan aktif dalam pembentukan
klorofil dan proses pemutusan air dalam fotosintesis. Molibdenum (Mo)
merupakan unsur esensial yang diperlukan untuk fiksasi nitrogen dan
reduksi nitrat.
Seng (Zn) berperan sebagai aktivator beberapa enzim.
Tembaga berperan sebagai komponen enzim-enzim redoks (Campbell &
Reece, 2008) Kobalt (Co) dibutuhkan untuk morfogenesis dan berperan
dalam pertumbuhan. Iodine diperlukan sebagai agen pereduksi (George
dkk., 2008).
Besi (Fe) diberikan dalam bentuk kelat dengan asam etilendiamin
tetetra asetat (EDTA). Dalam tumbuhan, besi diperlukan oleh kloropas,
mitokondria dan peroksisom untuk reaksi redoks. Unsur ini diperlukan
untuk pembentukan ion amino laevulinat., suatu prekursor klorofil. Selain
itu, besi juga merupakan komponen protein feredoksin yang berperan
sebagai pembawa elektron dalam proses fotosintesis (George dkk., 2008).
Besi juga memiliki peranan penting dalam menjaga kestabilan pH media
kultur.
Menurut George dkk. (2008), gula
memiliki peranan penting
sebagai sumber energi, karbon dan modulator ekspresi gen pada kultur sel.
28
Sukrosa adalah disakarida yang biasa digunakan sebagai sumber karbon.
Sukrosa adalah gula non reduksi dan dapat terhidrolisis cepat menjadi
glukosa
dan
fruktosa.
Berdasarkan
beberapa penelitian, sukrosa
menghasilkan pertumbuhan yang paling baik diantara monosakarida dan
disakarida lainnya.
Vitamin yang dapat ditambahkan ke dalam media kultur antara
lain asam paraaminobenzoat, folat, kolin, klorida, riboflavin, dan asam
askorbat (Santosa & Nursandi, 2002).
Glisin, arginin, asam aspartat, alanin, asam glutamat, dan prolin
adalah asam amino yang biasa ditambahkan dalam media kultur jaringan.
Asam amino menyediakan nitrogen tereduksi yang nantinya akan
mengakibatkan asidifikasi pada media (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Myo-inositol merupakan salah satu jenis dari vitamin B yang bersifat
sukar larut. Myo-inositol bermanfaat dalam pertumbuhan, sumber energi
serta penjaga tekanan osmosis. Nutrisi tambahan seperti air kelapa dalam
konsentrasi tertentu seringkali ditambahkan pada media. Air kelapa
mengandung beberapa zat diantaranya asam amino, gula, vitamin. Zat
dalam air kelapa memiliki aktivitas auksin dan sitokinin sehingga
bermanfaat untuk induksi pembelahan sel dan pertumbuhan. (George dkk.,
2008).
Tumbuhan menghasilkan hormon yang berperan sebagai regulator
pada proses pertumbuhan dan perkembangan. Hormon akan memicu
29
respon-respon di dalam sel dan jaringan sasaran. Hormon pertumbuhan
tumbuhan diantaranya
auksin dan sitokinin. Auksin dan sitokinin
merupakan hormon yang paling penting untuk regulasi pertumbuhan dan
morfogenesis pada kultur jaringan dan organ tumbuhan. Auksin banyak
diproduksi dalam jaringan meristem suatu tunas. Auksin berperan dalam
mengontrol proses dasar dalam sel yaitu inisasi pembelahan dan
perpanjangan sel (Campbell & Reece, 2008). Contoh senyawa sintetis
yang memiliki struktur berbeda namun aktivitas biologis seperti auksin
yaitu 4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) dan naphthalene acetic acid
(NAA) (George dkk., 2008).
Gambar 9. Struktur 2,4-D
(George dkk., 2008)
Gambar 10. Struktur NAA
(George dkk., 2008)
Sitokinin memberikan efek yang bervariasi ketika diaplikasikan pada
tumbuhan. Sitokinin dapat mestimulasi sintesis protein dan mengontrol
pembelahan sel. Karena memiliki kemampuan tersebut, maka sitokinin
dapat memberikan pengaruh pematangan pada kloroplas. Pada kultur
jaringan, sitokinin dapat menstimulasi pembelahan sel dan mengontrol
morfogenesis. Salah satu senyawa sintesis yang memiliki aktivitas
biologis serupa dengan sitokinin adalah kinetin.
30
Gambar 11. Struktur kinetin.
(George dkk., 2008)
e. Eksplan
Eksplan adalah potongan organ tumbuhan atau jaringan tumbuhan
yang digunakan sebagai bahan awal dalam kultur jaringan tumbuhan.
Pemilihan eksplan didasarkan pada pengetahuan tentang sel. Bagian
tertentu dari organ yang aktif membelah dapat dipilih sebagai eksplan
sebab bagian tersebut mampu mengalami pertambahan jumlah sel, volume
hingga diferensiasi (George & Sherrington, 1984).
f. Sterilisasi
Teknik kultur jaringan tumbuhan dilakukan secara aseptis, bebas
dari cemaran mikroorganisme. Kontaminasi merupakan masalah yang
sering dihadapi. Pertumbuhan mikroorganisme dapat menghambat
pertumbuhan dan akan mengganggu sistem fisiologi dan biokimia dari
kultur tumbuhan dengan cara mengeluarkan metabolit tertentu (Biondi &
Thorpe, 1981). Metode sterilisasi panas yang dapat dilakukan dalam
kultur jaringan tumbuhan ada dua, yaitu pemanasan kering dan pemanasan
basah. Pemanasan kering dilakukan untuk mensterilkan alat-alat gelas,
logam, dan alat-alat lain yang tahan terhadap pemanasan suhu tinggi.
31
Oven bersuhu 60-180oC digunakan untuk sterilisasi metode panas
kering. Alat yang akan disterilkan dibungkus dengan aluminum foil
terlebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam oven. Sedangkan untuk
pemanasan basah digunakan otoklaf. Prinsip alat ini adalah adanya uap
dan tekanan akan mendenaturasi protein mikroba. Sterilisasi dilakukan
pada suhu 121 o C dengan tekanan 1 atm selama 20 menit. Sterilisasi ini
selain digunakan untuk mensterilkan alat-alat gelas dan logam, dapat juga
digunakan untuk mensterilkan air dan media. Sterilisasi untuk komponen
media yang tidak tahan terhadap pemanasan dilakukan dengan metode
ultrafiltrasi dengan pori-pori 0,2 µm. Cara sterilisasi tersebut dilakukan
dengan penyaring bakteri berukuran tertentu pada suhu kamar (Wetherell,
1982).
Sterilisasi tidak terbatas pada alat dan media yang akan digunakan
dalam teknik kultur jaringan tumbuhan. Sterilisasi kimia juga dapat
mensterilkan ruangan kerja kultur, alat, maupun eksplan. Kerja kultur
biasanya dilakukan dalam ruangan kerja yang disebut laminair air flow
(LAF). Sterilisasi LAF dapat dilakukan dengan penyemprotan alkohol 70
% pada alat tersebut.
Metode sterilisasi lain yang dapat dilakukan adalah penyinaran UV.
LAF disterilisasi dengan penyinaran UV selama 30 menit. Menurut Marks
(2000), sinar UV dapat menyebabkan timen dimer. Dua pirimidin yang
berdekatan dapat membentuk sebuah ikatan yang kovalen. Hal ini
32
menyebabkan rusaknya sintesis protein pada bakteri dan jamur sehingga
kontaminan tersebut tidak dapat bertahan hidup. Supaya tetap dalam
keadaan steril, terdapat penyaring besar pada LAF dengan ukuran lubang
0,22-0,24 μm. Bakteri dan jamur ditahan oleh saringan ini sehingga udara
yang masuk ke dalam LAF sudah steril dan membuat ruangan menjadi
steril (Hendaryono & Wijayani, 1994).
Sterilisasi eksplan dapat dilakukan dengan sterilisasi kimiawi. Zat
yang umum digunakan adalah sublimat atau merkuri klorida (HgCl2).
Sublimat memiliki rumus meolekul HgCl2 dengan bobot molekul 271,5.
Sublimet berupa kristal berwarna putih tidak berasa dan berbau dengan
itik leleh 277oC, bersifat mudah menguap pada suhu kamar dan larut
dalam air namun dapat terdekomposisi oleh asam kuat. Sublimat bersifat
korosif pada membrane mukosa dan bersifat toksik bila dihirup dan
ditelan. Digunakan sebagai desinfektan, fungisida dan pengawet kayu
(Anonim, 2016).
9. Pengaruh suhu rendah pada penyimpanan tunas
Suhu rendah di bawah 10oC menyebabkan kondisi dormansi pada
tunas. Pada saat dormansi, proses metabolisme di dalam sel masih
berlangsung dalam waktu yang lambat. Proses metabolisme melibatkan
hormone dan enzim. Untuk melangsungkan aktivitasnya, hormon dan
enzim membutuhkan air. Hal ini menyebabkan berkurangnya air di dalam
33
sel. Proses respirasi pada tunas masih berlangsung. Proses resprasi
menghasilkan uap air sehingga air di dalam sel penyusun tunas berkurang
(Salisbury & Ross, 1995).
10. Ekstraksi
Untuk mendapatkan suatu senyawa dalam jumlah tertentu, dapat
dipisahkan dengan cara ekstraksi. Ekstraksi merupakan cara pengambilan
suatu senyawa dari sel menggunakan pelarut yang sesuai. Pelarut yang
digunakan sangat tergantung dari polaritas senyawa yang akan diambil.
Penggunaan metode ekstraksi yang berbeda-beda sangat bergantung dari
jenis senyawa maupun kondisi simplisia. Beberapa metode ekstraksi yang
sering digunakan adalah maserasi, perkolasi dan ekstraksi dengan alat
Soxhlet.
Maserasi merupakan pengambilan senyawa dengan merendam
serbuk simplisia dengan pelarut dan dibantu dengan pengadukan..
Perkolasi merupakan metode ekstraksi dengan mengalirkan pelarut pada
serbuk simplisia sehingga senyawa dalam serbuk ikut terbawa dalam
pelarut. Sedangkan ekstraksi dengan alat Soxhlet adalah ekstraksi dengan
pelarut yang dipanaskan dan pelarut dalam bentuk uap akan melarutkan
senyawa dalam simplisia dan akan didinginkan, kemudian pelarut akan
dipanaskan kembali menjadi uap untuk mengambil senyawa tersebut
(Stahl & Schild, 1996).
34
Proses refluks berguna untuk mengefektifkan proses ekstraksi.
Proses ekstraksi yang efektif dapat meningkatkan kadar senyawa yang
berhasil terekstraksi (Anantharaman & Begum, 2011). Menurut Bart
(2005), prinsip refluks adalah ekstraksi dengan pelarut di bawah
pemanasan pada suhu titik didih pelarut. Pada proses refluks, terjadi
penyarian berulang oleh uap pelarut yang terkondensasi kembali.
Menurut Kowalska & Sherma (2006), di dalam ekstrak tumbuhan
umumnya terdapat zat ballast dalam jumlah banyak. Contoh zat ballast
antara lain lemak, klorofil dan resin. Zat ballast dapat dipisahkan dari
ekstrak dengan pelarut non polar.
11. Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan teknik pemisahan
dalam bentuk planar. Kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam
berupa lapisan yang seragam pada lempeng kaca atau pelat aluminium.
Fase diam yang dapat digunakan adalah silika gel dan selulosa.
Mekanisme pemisahan pada fase diam silika gel adalah absorbsi dan
mekanisme pemisahan fase diam selulosa adalah pastisi. Fase gerak yang
digunakan disesuaikan dengan polaritas senyawa yang akan dianalisis.
Kromatografi lapis tipis banyak digunakan karena mudah, murah dan
cepat. Metode ini digunakan untuk identifikasi pemisahan komponen
senyawa dengan pereaksi warna maupun fluoresensi. Kromatografi lapis
tipis dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun kuantitatif. Pada
35
analisis kualitatif, digunakan
parameter nilai Rf. Dua senyawa dapat
dikatakan sama jika mempunyai Rf yang sama dengan pembanding serta
warna yang sama jika dideteksi pada lampu UV366 dan pereaksi semprot.
Untuk analisis kuantitatif, luas area bercak dapat diukur dengan
densitometri. Densitometer bekerja berdasarkan serapan atau fluoresensi
yang dimiliki oleh senyawa ( Gandjar & Rohman, 2012).
F. Landasan Teori
Kultur jaringan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk
perbanyakan sel. Kultur jaringan memanfaatkan sifat totipotensi
sel,
yaitu kemampuan setiap sel dari setiap bagian yang tumbuh menjadi
jaringan atau organ baru jika ditumbuhkan dalam media yang sesuai.
(Neumann dkk., 2009). Sel yang dihasilkan melalui teknik kultur jaringan
memiliki kesamaan dengan induknya. Teknik ini memungkinkan untuk
menghasilkan tumbuhan yang sama dengan induknya. Salah satu jenis
kultur jaringan adalah kultur tunas. Tunas berasal dari nodus batang
tumbuhan. Menurut Campbell & Reece (2002), sel-sel penyusun tunas
yang merupakan sel muda yang bersifat meristematik. Sel meristematik
masih aktif membelah dan berdiferensiasi menjadi jaringan dan organ
baru.
Salah satu tumbuhan yang dapat digunakan untuk kultur tunas
adalah Scoparia dulcis L. Scoparia dulcis L. merupakan salah satu
tumbuhan yang tumbuh liar dan memiliki kandungan beberapa senyawa
36
yaitu kuersetin, asam p-kumarat, luteolin, dan apigenin dengan
perbandingan 8:26:1:3 (Beh, 2013). Kuersetin merupakan senyawa
flavonol yang diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan dan agen
pengekelat logam karena terdapat gugus ortodihidroksi (Dewick, 2009).
Produksi kuersetin dalam S.dulcis dimungkinkan dilakukan penningkatan
dengan penambahan asam amino L-fenilalanin sebagai prekursor
flavonoid dalam media kultur. Pada penelitian fisiologi tumbuhan,
pemberian L-fenilalanin dapat meningkatkan rutin dan senyawa fenolik
pada tunas Fagopyrum sp (Seo dkk., 2014). Menurut Koca & Karaman
(2014). Pemberian L-fenilalanin pada Ocimum basilicum L. meningkatkan
kadar flavonoid total.
Nutrisi masuk ke dalam eksplan melalui difusi sehingga proses
metabolisme dalam eksplan dapat berlangsung. Penambahan zat pengatur
tumbuh secara eksogen akan mempercepat pertumbuhan tunas. Lfenilalanin yang ditambahkan pada media akan berdifusi ke dalam eksplan
sehingga akan memengaruhi pertumbuhan tunas dan produksi kuersetin
yang merupakan senyawa flavonoid. Senyawa yang terkandung dalam
S.dulcis diekstraksi dengan metanol. Kuersetin dianalisis secara kualitatif
dengan KLT dan secara kuantitatif dengan KLT-densitometri. Berikut ini
adalah pola pikir pada penelitian ini:
37
Scoparia dulcis L. tersebar
secara luas di daerah tropis
seperti Indonesia
S.dulcis mengandung
senyawa turunan flavonoid
kuersetin (Beh dkk., 2013)
Kuersetin aktivitas sebagai
antioksidan dan agen
pengkelat logam (Dewick,
2009)
Faktor lingkungan sangat
berpengaruh dalam produksi
metabolit (Taiz & Zeiger, 2002)
Flavonoid dapat ditingkatkan produksinya
dengan penambahan prekursor L-fenilalanin
(Koca & Karaman, 2014., Seo dkk., 2014)
Kultur tunas dapat dilakukan untuk
menghasilkan tanaman baru yang
memiliki karakteristik seperti induk
(Hendaryono & Wijayani, 1994))
Penambahan L-fenilalanin dilakukan
dalam kultur tunas S.dulcis untuk
meningkatkan produksi kuersetin dan
meminimalisir faktor lingkungan
KLT-densitometri digunakan untuk analisis kuersetin
secara kualitatif dan kuantitatif
H. Hipotesis
1. Profil KLT tumbuhan hasil kultur tunas memiliki kemiripan dengan
tumbuhan asalnya.
2. Pemberian asam amino L-fenilalanin dalam media akan meningkatkan
produksi kuersetin kultur tunas S.dulcis.
Download