(kuH) Perdata Pasal 1467 tentang larangan Jual

advertisement
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap
Kitab Undang-Undang
HUKUM (KUH) PERDATA PASAL 1467 TENTANG
LARANGAN JUAL BELI ANTARA SUAMI ISTRI
Santoso
Universitas Islam Sultan Agung, Semarang, Indonesia
[email protected]
Abstract
ISLAMIC LAW PERSPECTIVE TO THE CIVIL
BOOK OF LAW STATUTE ARTICLE 1467 ABOUT
PROHIBITION OF SALE AND PURCHASE BETWEEN
HUSBAND AND WIFE. Islamic law is regarded as an
important part of the religion teaching in Muslims’ point of
view, and Islamic law is the main expression space of religious
experience and become determination of continuity and historical
identity. In tune with the increasing awareness to return to the
pure and original religion as well as the appearance of desire
to harmonize contemporary life with the provisions of sharia,
Islamic law in modern era received a lot of attention from the
supporting community itself or from other communities that
make it as an object of study. The deeper knowledge a person
about the essence of his Muslim law, the greater the value of
kindness and also the benefit that will be acquired. Therefore,
this article is to answer the perspective of Islamic law on the book
of law statute (KUH) Civil Article 1467 on the prohibition
of the sale and purchase between husband and wife. The Islamic
scholars in his book described the discussions about the sale and
purchase law which agreed to be allowed and forbidden, and there
is also debatable about the prohibition law. In addition, there is
287
Santoso
also a transaction that has particular form and situation allowed
because there is an exception from general arguments, as well as
customs.
Keywords: Islamic Law, Civil Book Of Law Statute, Sale And
Purchase.
Abstrak
Hukum Islam dianggap sebagai bagian penting dari ajaran agama
dalam pandangan orang Muslim, dan sebagai demikian hukum
Islam merupakan ruang ekspresi pengalaman agama yang utama
dan menjadi diterminan kontinyuitas dan identitas historis. Selaras
dengan meningkatnya kesadaran untuk kembali kepada agama yang
murni dan orisinal serta muncunnya keinginan untuk menyelaraskan
kehidupan kontemporer dengan ketentuan-ketentuan syariah,
hukum Islam di zaman modern mendapat banyak perhatian baik
dari masyarakat pendukungnya sendiri maupun dari masyarakat
lain yang menjadikannya sebagai suatu objek studi. Hukum Islam
adalah hukum yang diturunkan Allah kepada manusia untuk
menjamin terwujudnya kemaslahatan bagi manusia itu sendiri, baik
didunia maupun di akhirat kelak. Semakin mendalam pengetahuan
seseorang akan hakekat hukum Islam yang dianutnya, maka akan
semakin besar pulalah nilai kebaikan dan kemaslahatan yang
akan didapatkannya. Oleh karena itu, tulisan ini adalah untuk
menjawab perspektif hukum Islam terhadap kitab undang-undang
hukum (KUH) Perdata pasal 1467 tentang larangan jual beli
antara suami istri. para ulama dalam kitabnya merinci pembahasan
mengenai hukum jual beli yang sepakat diperbolehkan juga sepakat
diharamkan, dan terdapat pula yang diikhtilafkan (diperdebatkan)
mengenai hukum keharamannya. Di samping itu, terdapat pula jual
beli yang memiliki bentuk dan situasi khusus yang diperbolehkan
karena ada pengecualian dari dalil-dalil umum, juga karena adat
kebiasaan (‘urf).
Kata Kunci: Hukum Islam, KUH Perdata, Jual Beli Suami Istri.
A.Pendahuluan
Hukum dibuat untuk memberikan perlindungan kepada
masyarakat. Agar kepentinngan masyarakat terlindungi, hukum
harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara
288
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.
Dalam hal ini, hukum yang telah dilanggar harus ditegakkan.
Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan.1
Dalam studi atau kajian hukum Islam era kontemporer,
ada banyak hal yang menyebabkan munculnya pertanyaan: apakah
hukum Islam bisa dan perlu direformasi? Atau apakah hukum
Islam perlu untuk diperbaharui dan di ubah sesuai dengan kondisi
dan tuntutan perubahan zaman? Menurut Akh. Minhaji, di antara
penyebabnya adalah adanya kekaburan pengertian istilah-istilah
tersebut adalah kata syari’ah dan fiqh. Kedua istilah ini sering
digunakan dalam literatur bahasa Arab, dan ini muncul sebagai
masalah ketika diterjemahkan dan digunakan pada literatur selain
bahasa Arab.2
Sebenarnya, istilah hukum Islam tidak dijumpai dalam AlQur’an maupun hadis Nabi saw. Dua sumber hukum Islam ini
hanya menggunakan istilah syariat yang secara bahasa berarti jalan
yang lempang, jalan yang dilalui air terjun. Ia juga berarti jalan
setapak menuju ke sumber air atau ketempat orang mengambil air
minum dan diberi tanda yang jelas terlihat oleh mata. Kata ini juga
berarti jalan menuju sumber air sebagai sumber kehidupan yang
harus diikuti, atau juga jalan kehidupan. Memang, dalam wacana
kajian hukum di kalangan ahli hukum barat ditemukan istilah
Islamic Law yang diindonesiakan menjadi hukum Islam. Tetapi
tidak ditemukan fakta, mana yang lebih dahulu menggunakan
istilah tersebut. Artinya, apakah istilah hukum Islam yang di kenal
di Indonesia merupakan terjemahan dari literatur barat, Islamic
Law, atau terjemahan bebas hukm al-syar’iy. Yang jelas, para ahli
berpendapat bahwa istilah hukum Islam adalah khas Indonesia
sebagai terjemahan dari syariat atau hukm al-syar’iy.3
Al-Qur’am dan sunnah merupakan sumber utama dalam
hukum Islam, sedangkan sumber-sumber hukum lainnnya
Dwi Rezki Sri Astarini, Mediasi Pengadilan (Salah Satu Bentuk Penyelesaian
Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, Biaya Ringan) (Bandung:
Alumni, 2013), hlm. 2.
2
Abdul Halim Barkatullah, dkk., Hukum Islam (Menjawab Tantangan Zaman
yang Terus Berkembang) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 4.
3
Alaiddin Koto, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2012), hlm. 25.
1
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
289
Santoso
bersumber kepada keduanya dan harus mengacu kepada keduanya
semua yang dijadikan dasar hukum Islam oleh para ulama (Ijma’
dan Qiyas misalnya) baru dapat dikatakan sumber hokum Islam
setelah seluruhnya memperoleh legitimasi dari al-Qur’an dan
Sunnah, meskipun tidak secara tekstual. Dalam hokum Islam
terdapat beberapa sumber hukum Islam, namun semuanya
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.4
Sedangkan dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUH)
Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak
yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda
dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah di janjikan.
Adapun dasar yang paling jelas yang terdapat dalam al-Qur’an
(QS. Al-Bagarah: 275). adalah Artinya : “Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba”.
Dalam hukum Islam pun harta yang diperoleh selama
perkawinan, termasuk dalam pengertian harta bersama. Dengan
demikian sejak zaman Rasulullah saw. Sampai sekarang belum di
jumpai adanya jual beli antara suami dan istri. Namun demikian
Islam mengakui adanya pemindahan harta benda selama
perkawinan, yaitu dengan adanya perjanjian perkawinan. Hal ini
seperti ditunjukkan dalam Pasal 47 Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia yang berbunyi:
1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua
calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang
disahkan pegawai pencatat nikah mengenai harta dalam
perkawinan.
2) Perjanjian tersebut pada ayat (1) dapat meliputi
percampuran harta pribadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
3) Disamping ketentuan ayat (1) dan (2) diatas, boleh juga
isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing
untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan
harta bersama atau harta syarikat.5
Abdurrahman Kasdi, Kontekstualisasi Hukum Islam (Yogyakarta: Idea
Press, 2011), hlm. 32.
5
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika
4
290
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
Sementara itu dalam KUH Perdata Pasal 1467 dalam
penafsiran Subekti disebutkan bahwa “antara suami dan istri tidak
boleh terjadi jual beli”, kecuali dalam ketiga hal sebagai berikut:
1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan bendabenda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh
pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang
menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum.
2) Jika penyerahan yang dilakukan oleh seorang suami kepada
istrinya, juga dari siapa ia tidak dipisahkan berdasarkan
pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk mengembalikan
benda-benda si istri yang telah dijual, atau uang yang
menjadi kepunyaan si istri, demikian itu jika benda-benda
atau uang tersebut dikecualikan dari persatuan.
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya
untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan
kepada suaminya sebagai harta perkawinan, sekedar
benda-benda itu dikecualikan dari persatuan.
Dengan mengacu pada Pasal tersebut, secara hukum jual
beli antara suami istri tidak boleh terjadi. Sementara prinsip yang
paling pokok dalam hal jual beli dalam Islam adalah didasarkan
pada Q. S. An-Nisa’ [4] 29 yang Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan
yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
B.Pembahasan
1. Pengertian Jual Beli
Lafaz} al-Bai’ dalam bahasa arab menunjukkan makna jual
dan beli. Para fuqaha menggunakan istilah al-Bai’ kepada makna
mengeluarkan atau memindahkan sesuatu dari kepemilikannya
dengan harga tertentu, dan istilah as-Syarau kepada makna
memasukkan kepemilikan tersebut dengan jalan menerima
pemindahan kapemilikan tersebut. Pemaknaan lafazh asSyarau kepada makna mengeluarkan sesuatu berdasarkan pada
Pressindo, 1992), hlm. 123.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
291
Santoso
hidayat tentang Nabi Yusuf a.s., tatkala saudara-saudaranya itu
menjualnya. Itulah istilah yang umum yang dipergunakan oleh
ulama fiqih yang menunjukkan keduanya. 6
Jual beli menurut bahasa artinya menukar sesuatu dengan
sesuatu, sedangkan menurut syara’ artinya menukar harta dengan
harta menurut cara-cara tertentu. Kata jual beli sebenamya
mengandung satu pengertian yang dalam bahasa arab berasal dari
kata al-bai’ yang bentuk jamaknya al-buyu’ artinya menjual.
Perdagangan atau jual beli menurut bahasa berarti al-Bai’,
al-Tijarah dan al-Mubadalah. Menurut istilah (terminologi) yang
dimaksud jual beli adalah sebagai berikut:
a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang
dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada
yang lain atas dasar saling merelakan.
b. Pemilikan harta benda dengan jalan tukar-menukar yang
sesuai dengan aturan syara’.
c. Saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola
(tasharruf) dengan ijab dan qabul, dengan cara yang sesuai
dengan syara’.
d. Tukar menukar benda dengan benda lain dengan cara yang
khusus (diperbolehkan).
e. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling
merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada
penggantinya dengan cara yang diperbolehkan.
f. Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta,
maka jadilah penukaran hak milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa inti
jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak,
yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya
sesuai perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara’ dan
disepakatinya.
Abd al-Sami’ Ahmad Imam, Naz}a>ra>t fi> al-Us}u>l al-Buyu>’ al-Mamnu>’ah fi> alSyari>’ah al-Isla>miyyah (Kuwait: Wazarah al-Auqaf wa al-Syuun al-Islamiyyah, 2012),
hlm. 24.
6
292
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
2. Jual Beli dalam Hukum Islam
Jual beli itu merupakan bagian dari ta’awun (saling
menolong). Bagi pembeli menolong penjual yang membutuhkan
uang (keuntungan), sedangkan bagi penjual juga berarti menolong
pembeli yang sedang membutuhkan barang. Karenanya, jual beli
itu merupakan perbuatan yang mulia dan pelakunya mendapatkan
keridhaan Allah swt. Bahkan Rasulullah saw. Menegaskan bahwa
penjual yang jujur dan benar kelak di akhirat akan ditempatkan
bersama para nabi, syuhada, dan orang-orang saleh.7
Hukum Islam adalah hukum yang diturunkan Allah
kepada manusia untuk menjamin terwujudnya kemaslahatan bagi
manusia itu sendiri, baik didunia maupun di akhirat kelak. Semakin
mendalam pengetahuan seseorang akan hakekat hukum Islam
yang dianutnya, maka akan semakin besar pulalah nilai kebaikan
dan kemaslahatan yang akan didapatkannya. Pengetahuan
akan hikmah tersebut tidaklah mungkin didapatkan seseorang
kecuali melalui usaha yang sungguh-sungguh mempelajari dan
merenungkan syariat tersebut. Namun, usaha itu juga tidak akan
sampai ke sasaran yang benar bila tidak diiringi pula dengan
metode yang benar.
3. Dasar Hukum Jual Beli
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama
umat manusia mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an
dan sunah Rasulullah saw. Terdapat beberapa ayat al-Qur’an
dan sunah Rasulullah saw. Yang berbicara tentang jual beli,
sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 275. yang
artinya : “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Dari ayat tersebut diatas, dapat diambil pemahaman
bahwa Allah telah menghalalkan jual beli kepada hamba-Nya
dengan baik dan dilarang jual beli yang mengandung riba atau
merugikan orang lain. Firman Allah dalam surat al-Nisa’: Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat (Jakarta: Prenadamedia Group,
2010), hlm. 89.
7
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
293
Santoso
dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah
adalah Maha Penyayang kepadamu”.8
Jelaslah sudah bahwa diharamkannya kepada kita
memakan harta bersama dengan jalan batil, baik itu dengan jalan
mencuri, menipu merampok, merampas ataupun dengan jalan
lain yang tidak dibenarkan Allah, kecuali dengan jalan perniagaan
atau jual beli yang didasari atas dasar suka sama suka dan saling
menguntungkan. Nabi Muhammad SAW telah bersabda dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bazzar: Artinya: “Dari
Rifa’ah ibn Rafi’, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya,
“Usaha apa yang paling baik?” Rasulullah SAW menjawab:
“Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan setiap jual beli
yang mabrur (jujur)”. (H.R. al-Bazzar dan disahihkan oleh alhaklm).9
Dalam hadits yang yang diriwayatkan Imam Muslim,
Rasulullah bersabda: yang artinya: “Dari Abu Hurairah ra berkata :
“Rasulullah SAW telah melarang jual beli dengan spekulasi dan jual beli
garar”. Hadits ini dapat dipahami bahwa usaha seseorang yang
baik adalah berusaha sendiri tanpa menggantungkan orang lain,
dan setiap jual beli yang didasari kejujuran hati tanpa adanya
kecurangan juga penipuan.
4. Syarat dan Rukun Jual Beli
Menurut ulama Hanafiyah rukun jual beli hanya satu,
yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan
menjual dari penjual). Menurut mereka, yang menjadi rukun dari
jual beli itu hanyalah kerelaan (rida/taradhi) kedua belah pihak
untuk melakukan transaksi jual beli. Akan tetapi, jumhur ulama
menyatakan bahwa syarat dan rukun jual beli itu ada empat,
yaitu:
Ada orang yang berakad atau al-muta’aqidain (penjual dan
pembeli).
a. Ada shighat (lafal ijab dan kabul)
b. Ada barang yang dibeli.
Ibid.
Muhammad Ibn Isma’il al-Kahlany al-san’any, Subul al-Salam, Juz III,
(Bandung: Maktabah Dahlan, t. t), hlm. 4.
8
9
294
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
c. Ada nilai tukar pengganti barang.
d. Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang
yang dibeli, dan nilai tukar barang termasuk kedalam
syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.10 Rukun jual
beli ada tiga, yaitu akad (ijab kabul), orang-orang yang
berakad (penjual dan pembeli), dan ma’kud alaih (objek
akad). Akad ialah ikatan antara penjual dan pembeli. Jual
beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan kabul dilakukan
sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada
dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau
tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, boleh ijab
kabul dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab
dan kabul.
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli
sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan
ijab dan kabul, ini adalah pendapat jumhur. Menurut fatwa
Ulama Syafi’iyah, jual beli barang-barang yang kecil pun harus
ijab dan kabul, tetapi menurut Imam Al-Nawawi dan Ulama
Muta’akhirin Syafi’iyah berpendirian bahwa boleh jual beli barangbarang yang kecil dengan tidak ijab dan kabul seperti membeli
sebungkus rokok.11
Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari segi
hukumnya, jual beli ada dua macam, jual beli yang sah menurut
hukum dan batal menurut hukum, dari segi objek jual beli dan segi
pelaku jual beli. Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual
beli dapat dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin, bahwa jual beli
dibagi menjadi tiga macam: 1) Jual beli benda yang kelihatan, 2) jual
beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji, dan 3) jual beli benda
yang tidak ada.
Jual beli benda yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad
jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan penjual
dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak dan boleh
dilakukan, seperti membeli beras di pasar. Jual beli yang disebutkan
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Prenadamedia Group,
2010), hlm. 78.
11
Solikhul Hadi, Fiqh Muamalah, (Kudus: Nora Media Enterprise, 2011),
hlm. 60.
10
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
295
Santoso
sifat-sifatnya dalam perjanjian ialah jual beli salam (pesanan). Menurut
kebiasaan para pedagang, salam adalah untuk jual beli yang tidak
tunai (kontan), salam pada awalnya berarti meminjamkan barang
atau sesuatu yang seimbang dengan harga tertentu, maksudnya ialah
perjanjian yang penyerahan barang-barangnya ditangguhkan hingga
masa tertentu, sebagai imbalan harga yang telah ditetapkan ketika
akad. Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah jual
beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak tentu
atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tertentu diperoleh
dari cucian atau barang titipan yang akibatnya dapat menimbulkan
kerugian salah satu pihak.12
Dalam hukum Islam (fiqih) sangat merinci macam-macam
jual beli dari berbagai sudut, sebagai berikut :
a. Cara pelaksanaan. Jual beli ditinjau dari segi pelaksanaannya
ada dua macam, yaitu : Jual beli yang dilarang. Dalam Islam
ada beberapa jual beli yang dilarang. Pelarangan tersebut karena
disebabkan dapat menimbulkan kemadharatan.
b. Obyek terhadap barang yang diperjual belikan. Jual beli apabila
ditinjau dari segi obyek barang yang akan diperjualbelikan
dapat dibagi menjadi :
1) Jual beli Muqayadah yaitu jual beli dagangan dengan
barang dagangan yang lain. Seperti menjual beras
ditukar dengan pakaian, menjual radio ditukar dengan
tape recorder, dan lain sebagainya.
2) Jual beli al-sarf yaitu jual beli mata uang dengan mata
uang lainnya. Seperti menjual mata uang dirham dengan
mata asing uang lainnya yang berlaku dipasaran.
3) Jual beli al-salam yaitu jual beli sesuatu barang yang
tidak bisa dilihat zatnya, tetapi sifat dan bentuknya telah
ditentukan dan tanggung jawab ada pada pembeli.
4) Jual beli al-mutlaq yaitu jual beli barang atau benda
yang dengan uang secara mutlak. Seperti menjual mobil
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Membahas Ekonomi Islam, Kedudukan
Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Mudayanah,
Koperasi, Asuransi, Etika Bisnis dan lain-lain), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2005), hlm. 60.
12
296
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
dengan uang dirham atau lainnya.13
c. Harga (saman)
Jual beli apabila ditinjau dari segi harganya dapat dibagi
menjadi empat bagian yaitu :
1) Jual beli Musawamah yaitu jual beli yang sudah
disepakati oleh kedua belah pihak antara penjual dan
pembeli tentang harga yang telah ditentukan, sehingga
benar-benar saling rela.
2) Jual beli murabahah yaitu jual beli dengan menjual
barang berharga lebih banyak atau menjual barang
dengan harga lebih mahal dari harga pembelian
semula.
3) Jual beli al-tauliyah yaitu menjual barang dengan harga
yang lebih murah dari harga pembelian semula.
4) Jual beli al-wadi’ah yaitu menjual barang yang lebih
murah dari harga pembelian semula.14
d. Jual beli dilihat dari segi hukumnya, dapat dibedakan menjadi
empat macam yaitu :
1) Jual beli mubah, yaitu jual beli yang asalnya adalah
mubah hukumnya.
2) Jual beli wajib, yaitu jual beli seperti qadi hendak menjual
harta seorang yang muflis (orang yang hutangnya lebih
banyak dari padahartanya).
3) Jual beli haram, yaitu jual beli yang dilarang oleh syara’,
seperti menjual khamar, berhala, bangkai dan lain
sebagainya.
4) Jual beli sunnah, yaitu seperti memperjual belikan sesuatu benda kepada sahabat atau famili yang dikasihani,
dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang
tersebut. 15
e. Dalam pelaksanaan pembayaran jual beli, dapat dibagi menjadi
dua macam yaitu :
1) Pembayaran kontan: yang dimaksud pembayaran kontan
Wahbah al-Zuhaly, Al-Fiqh al-Islamy w ‘Adillatuh, juz IV, (Mesir: Dar
al-Fikr, t.t), hlm 45
14
Ibid., hlm. 545.
15
Ibid., hlm. 578.
13
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
297
Santoso
adalah jual beli dimana penjual menerima langsung uang
dari pembeli, atau sipenjual menyerahkan langsung
barangnya dan si pembeli menyerahkan uangnya secara
langsung, sebagai ganti barang yang telah diterimanya.
2) Pembayaran tidak kontan: Pembayaran dengan tidak
kontan adalah pembayaran dengan kredit atau hutang,
yaitu apabila seseorang menjual barangnya dengan
persetujuan bahwa pembayarannya akan dilaksanakan
setelah lampau waktu sesuai dengan perjanjian.
5. Jual Beli Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
a. Ketentuan Umum Perjanjian
Hukum memberikan gambaran mengenai peraturanperaturan, ketentuan-ketentuan yang mempengaruhi kehidupan
dan kegiatan orang. Beberapa dari hukum ini seperti hukum ilmu
pengetahuan hukum ilmu pengetahuan, memungkinkan kita untuk
meramaikan apa yang akan terjadi dalam situasi yang dihadapi,
tetapi kita tidak mempunyai alat mengontrol terhadapnya.
Dalam setiap masyarakat, atau sekelompok orang, hukum
buatan orang itu akan berkembang untuk mengontrol hubunganhubungan yang terjadi antara anggota-anggotanya. Peraturanperaturan itu adalah esensial, kalau masyarakat itu bekerja, dan
peraturan-peraturan itu akan dijumpai dalam semua bentuk
kegiatan yang tergantung pada suatu bentuk kerjasama dalam
permainan, dalam sekolah, dalam kelompok. Peraturan-peraturan
itu muncul dalam bermacam-macam cara, walaupun dalam
kebanyakan hal harus sudah jadi persetujuan antara paling sedikit
beberapa dari anggota-anggota masyarakat bahwa peraturanperaturan itu diinginkan. Apabila seseorang, atau beberapa orang
yang mempunyai kekuasaan dalam masyarakat melaksanakan
peraturan-peraturan itu, maka peraturan-peraturan itu akan
memperoleh status sebagai “hukum” dalam arti kata itu diterima
secara umum.16 Hukum perjanjian diatur dalam buku III Kitab
Undang-undang Hukum Perdata yang terdiri dari dua bagian
penting, yaitu:
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990), hlm. 4.
16
298
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
1) Bagian Umum; Memuat peraturan-peraturan yang berlaku
bagi perikatan pada umumnya.
2) Bagian Khusus; Bagian ini memuat peraturan-peraturan
mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam
masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu.17
Pada prinsipnya perjanjian yang kita kenal merupakan
perjanjian obligato, kecuali undang-undang menentukan lain.
Perjanjian bersifat obligatoir, berarti bahwa dengan ditutupnya
perjanjian itu pada azasnya baru melahirkan perikatan perikatan
saja, dalam arti, bahwa hak atas obyek perjanjian belum beralih.
untuk peralihan tersebut masih diperlukan adanya levering/
penyerahan. Dengan demikian pada prinsipnya yang bias
membedakan antara saat lahirnya perjanjian obligatoirnya
dengan saat penyerahan prestasi/haknya, sekalipun pada jual beli
tunai yang langsung diikuti dengan penyerahan bendanya, kedua
moment itu jatuh bersamaan.18
Disamping ketentuan di atas, untuk sahnya suatu perjanjian
dalam BW juga dibutuhkan syarat-syarat, yaitu sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi :
“Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat”
syarat yang dimaksud adalah :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal yang tertentu;
4) Suatu sebab yang halal”. 19
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap
menurut hukum. Pada azasnya setiap orang yang sudah akil baliqh
atau dewasa dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum.
Dalam Pasal 1330 KUH Perdata, disebut sebagai orang-orang
yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
Benyamin Asri dan Thabrani Asri, Tanya Jawab Pokok-pokok Hukum
Perdata dan Hukum Agraria (Bandung: Armico, 1987), hlm .24.
18
Satrio, Hukum Perdata Perkawinan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991),
hlm. 23.
19
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradnya Paramita,
1990), hlm. 34.
17
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
299
Santoso
1) Orang-orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang telah melarang membuat perjanjian
tertentu.
Memang, dari sudut rasa keadilan, perlulah bahwa orang
yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh
perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi
benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan
perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum,
karena seseorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti
mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah
seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan
harta kekayaannya.
Hukum tidak akan mengakui semua perjanjian. Hukum
perjanjian terutama berkenaan dengan pemberian suatu kerangka
dalam mana usaha dapat berjalan, jika perjanjian dapat dilanggar
dengan bebas tanpa hukuman, maka orang-orang yang tidak
bermoral akan menciptakan kekacuan. Karena itu hukum
inggris akan turut campur dan memerintahkan orang-orang yang
melanggar perjanjian itu supaya membayar ganti rugi kepada
pihak yang dirugikan, tetapi hanya perjanjian itu memenuhi
syarat-syarat berikut ini :
1) Maksud mengadakan perjanjian;
2) Persetujuan yang tetap (agreement);
3) Prestasi (consideration);
4) Bentuknya (from);
5) Syarat-syarat tertentu (definite term);
6) Kuasa yang halal (legality). 20
Persetujuan yang tetap (agreement) juga merupakan
syarat sahnya perjanjian. Persetujuan yang tetap seperti ini juga
dinamakan persetujuan kehendak, yaitu kesepakatan seia sekata
antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu.
Pokok perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat
perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh yang satu juga dikehendaki
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990), hlm. 39.
20
300
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama
secara timbal balik. Dengan demikian persetujuan disini sifatnya
sudah mantap tidak lagi dalam perundingan. 21
Sedangkan perjanjian menurut bentuk (from)nya dari
suatu perikatan memang bermacam-macam antara lain :
1) Perikatan Bersyarat yaitu suatu perikatan yang oleh kedua
belah pihak digantungkan pada suatu kejadian diwaktu
yang akan datang, dan yang belum tentu akan terjadi.
2) Perikatan dengan ketentuan waktu yaitu suatu perikatan
yang oleh kedua belah pihak digantungkan pada suatu
kejadian di hari yang akan datang dan yang pasti akan
terjadi.
3) Perikatan Alternatif yaitu suatu perikatan yang
membolehkan debitur memilih cara ia memenuhi
kewajibannya.
4) Perikatan Fakultatif yaitu suatu perikatan yang mewajibkan
debitur memberikan suatu prestasi yang sudah ditentukan,
akan tetapi disamping itu ia berwenang juga untuk
tidak memberikan prestasi yang sudah tertentu itu, akan
tetapi yang lain. (M. Isa Arif, 1979: 56-57.)
Syarat-syarat tertentu yang dimaksud adalah baik meliputi
orang-orangnya maupun obyeknya. Kesemuanya itu diatur di
dalam Pasal 1320 BW dan seterusnya dalam bab dua bagian kedua
buku III. (J.Satrio, 1992: 125) Yang mengenai subyeknya ialah :
1) Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu
melakukan perbuatan hukum tersebut.
2) Ada sepakat (konsensus) yang menjadi dasar perjanjian,
yang harus dicapai atas dasar kebebasan menentukan
kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan, ataupun
penipuan).22
Sedangkan syarat yang terakhir adalah kuasa yang halal
(legality) yaitu jenis-jenis tertentu yang dengan jelas bertentangan
dengan ketertiban umum (public policy) tidak dibenarkan sama sekali
oleh hukum. Misalnya pengadilan tidak akan memperkenankan
21
22
Ibid., hlm. 89.
Subekti, Kitab Undang-undang, hlm. 16.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
301
Santoso
seorang pembunuh bayaran memperoleh ganti rugi jika orang
yang menyuruh membunuh itu menolak pembayaran yang telah
disetujui.23
b. Perjanjian Jual Beli dalam KUH Perdata
Menurut pendapat yang lazim, pada zaman sekarang
lapangan hukum perdata dapat dibagi dalam 4 (empat) bidang
hukum, yaitu :
1) Hukum perseorangan (personenrecht);
2) Hukum keluarga (familierecht), yang terdiri dari hukum
perkawinan dan hukum hubungan keluarga;
3) Hukum warisan;
4) Hukum kekayaan (vermogenrecht), yang terdiri dari :
hukum kebendaan (zakenrecht), dan hukum perikatan
(verbintennisenrecht). 24
Perjanjian jual beli atau, seperti itu disebut oleh undangundang, “beli dan jual”, dan perjanjian pengangkutan (lalu lintas
trem dan lalu lintas kereta api), termasuk perjanjian-perjanjian
yang paling banyak diadakan dalam lalu lintas masyarakat.
Singkatnya, ialah bahwa pihak yang satu, penjual mengikat diri
kepada pihak lainnya, pembeli dengan memindah tangakan suatu
benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari
orang yang disebut terakhir sejumlah tertentu berwujud uang.
Jadi, perutangan dari penjual untuk menyerahkan (benda)
dan dari pembeli untuk membayar, dipenuhi pada ketika itu
juga dan persetuan kehendak konsensus yang diisyaratkan bagi
terjadinya perjanjian, kebanyakan kali ternyata terjadi secara
diam-diam, khususnya bagi barang-barang yang diberi harga.
Berpedoman pada azas yang telah dikemukakan dalam
bab tentang azas-azas, perjanjian jual beli ini harus diatur sebagai
perjanjian konsensual dan juga jual beli itu belum memindahkan
hak milik atas barang yang memindahkan hak milik ini adalah
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, hlm. 93.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid I, (Jakarta:
Djambatan, 1993), hlm. 25.
23
24
302
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
suatu perbuatan hukum yang dinamakan “penyerahan,” adapun
penyerahan ini berbeda-beda menurut macamnya barang
yang diserahkan, tanah, barang bergerak atau piutang (barang
tak tertubuh).
Oleh karena sudah ada undang-undang pokok agraria
maka penyerahan mengenai tanah harus diatur tersendiri dalam
peratuaran yang merupakan pelaksanan dari undang-undang
pokok agraria itu, tetapi cara-cara penyerahan mengenai barang
yang bukan tanah perlu sekaligus diberikan pengaturanya dalam
undang-undang hukum perikatan yang akan datang.
Kalau dalam sistem BW pembayaran adalah suatu faktor
yang “irrelevant” (tidak penting) untuk peralihan hak milik atas
barang yang dijual, tetapi karena dalam pikiran orang yang hidup
dalam suasana hukum dapat pembayaran itu (sebagai perbuatan
tunai) adalah penting maka sebaiknya apabila yang dijual itu
suatu barang yang tertentu dan sudah tersedia, pembayaran itu
juga mengalihkan hak milik. Juga dalam hal seperti itu harus
dimungkinkan bahwa si pembeli yang sudah membayar itu
bias menuntut penterahan barangnya (eksekusi riil) dan tidak
diwajibkan hanya menerima ganti rugi saja. 25
c. Syarat-syarat Jual Beli Dalam Hukum Perdata
Jual beli ialah persetujuan diantara penjual yang mengikat
diri untuk menyarahkan barang-barang dan pembeli yang mengikat
diri untuk membayar harganya. Seperti dalam persetujuan lainlain, dalam jual beli ada dua pihak, yaitu penjual dan pembeli. Jual
beli mengandung dua proses penyerahan barang dan pembayaran
harganya. Dalam penyerahan barang penjual menjadi debitur.
Sedang dalam penyerahan uangnya dia menjadi kreditur. Pembeli
dalam penyerahan barang menjadi kreditur, sedang hukum
pembayaran uangnya menjadi debitur.26
Resiko dapat meliputi sejumlah kecelakaan atau kerusakan
dari kerugian yang ringan sampai kehilangan atau kerusakan
total. Ketentuan dasar untuk menentukan pada siapa kerugian itu
seharusnya dibebankan adalah pasal 20: “Kecuali jika sebaliknya
Subekti, Kitab Undang-undang, hlm. 76.
Iting Partadiredja, Pengetahuan dan Hukum Dagang, (Jakarta: Erlangga,
1978), hlm. 23.
25
26
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
303
Santoso
disetujui, barang itu tetap menjadi resiko penjual sampai hak
milik itu berpindah kepada pembeli, tetapi ketika hak milik itu
berpindah kepada pembeli, barang itu menjadi resiko pembeli
apakah penyerahan sudah dilakukan atau belum”.
Menurut hukum adat suatu perjanjian dapat terjadi antara
dua pihak yang saling berjanji atau dikarenakan sifatnya dianggap
ada perjanjian. Suatu perjanjian belum tentu akan terus mengikat
para pihak walaupun sudah disepakati. Agar supaya suatu
perjanjian yang disepakati dapat mengikat harus ada tanda ikatan.
Tetapi dengan adanya tanda ikatan belum tentu suatu perjanjian
itu dapat dipenuhi. Jadi suatu tanda ikatan menurut hukum
adat belum tentu merupakan “tanda pengikat”. Di samping
itu terdapat tanda-tanda ikatan yang bersifat sepihak atau juga
tanda-tanda ikatan antara manusia dan bukan manusia. Dengan
catatan tidak di semua daerah di Indonesia berlaku tanda-tanda
ikatan yang sama. 27
Adapun mengenai syarat-syarat jual beli dalam KUH
perdata adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH
perdata yang berbunyi : “Untuk sahnya persetujuan-persetujuan
diperlukan empat syarat :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal”.28
Empat syarat tersebut diatas merupakan syarat yang
esensial dari suatu perjanjian, artinya tanpa syarat ini perjanjian
dianggap sebagai tidak pernah ada. Dua syarat pertama, disebut
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya (para
pihak dalam suatu perjanjian) sedangkan dua syarat yang terakhir
disebut syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya
sendiri/obyek dari perjanjian yang dilakukan. Apabila salah satu
dari syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian itu “dapat
dibatalkan”, artinya salah satu dari pihak yang mengadakan
Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni,
1983), hlm. 103.
28
Subekti, Kitab Undang-undang, hlm. 283.
27
304
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
perjanjian itu dapat meminta kepada hakim, supaya perjanjian itu
dibatalkan karena syarat-syarat subyektif tidak dipenuhi.
Kata sepakat dalam KUH Perdata dinamakan asas
konsensuil adalah, suatu azas yang mengatakan bahwa untuk
melahirkan suatu perjanjian cukup dengan adanya kata sepakat
diantara pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa perjanjian
itu telah lahir pada saat atau detik tercapainya kata sepakat atau
consensus.29 (Benyamin Asri, 1992, hlm. 81) Mengenai kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian dalam KUH Perdata dijelaskan
dalam Pasal 1330 yang berbunyi : “Tak cakap untuk membuat
persetujuan-persetujuan adalah :
1) Orang-orang yang belum dewasa,
2) Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,
Dalam hal yang satu dan yang lain, seorang suami atau
istri boleh meminta pengampuan akan istri atau suaminya. Barang
siapa karena kelemahan kekuatan akalnya, merasa tak cakap
mengurus kepentingan- kepentingan diri sendiri sebaik-baiknya,
diperbolehkan meminta pengampuan bagi diri sendiri.30
6. Perspektif Hukum Islam Terhadap KUH Perdata Pasal
1467 Tentang Larangan Jual Beli Antara Suami Istri
Dalam KUH Perdata terdapat larangan jual beli antara
suami istri selama perkawinan berlangsung hal ini adalah
didasarkan pada pasal 1467 KUH Perdata yang berbunyi : Antara
suami-istri tak boleh terjadi jual beli kecuali dalam ketiga hal yang
berikut:
1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan bendabenda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh
pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang
menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum.
2) Jika si istri menyerahkan yang dilakukan oleh seorang
suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan,
berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk
mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual,
atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu
29
30
Benyamin Asri, 1992, hlm. 81.
Ibid., hlm. 153.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
305
Santoso
jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari
persatuan.
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada
suaminya untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia
telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
Sekedar benda-benda itu dikecualikan dari persatuan.31
Ketentuan tersebut hanya mempunyai arti kalau suami istri
itu kawin dengan (perjanjian) perpisahan kekayaan. Sebab kalau
mereka itu kawin dalam percampuran kekayaan (yang adalah pola
normal dalam hukum BW), maka kekayaan kedua belah pihak
di campur menjadi satu, baik kekayaan yang selama perkawinan.
Ketentuan (larangan jual beli antara sumi istri) ini dimaksudkan
untuk melindungi orang-orang pihak ketiga yang mengadakan
transaksi-transaksi dengan si suami atau si istri dimana mereka
tentunya menyandarkan kepercayaan mereka kepada kekayaan
si suami atau istri itu. Dalam hukum perkawinan juga kita lihat
suatu larangan untuk merubah suatu perjanjian perkawinan.
Dalam hal perkawinan tanpa perjanjian perkawinan
menurut pasal 35 ayat (1) UU perkawinan yang berbunyi
“harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”. Maka tidak ada gunanya bagi suami yang banyak
hutangnya menghibahkan benda-benda yang bernilai kepada
istrinya agar menyelamatkan benda-benda itu dari penyitaan dan
pelelangan oleh pengadilan untuk pembayaran hutang suami,
sebab benda-benda yang dihibahkan itu menjadi harta bersama
yang tidak bebas dari penyitaan dan pelelangan untuk membayar
utang suami.32
Di samping itu keinginan pembentuk undang-undang
tentang alasan untuk mengadakan larangan jual beli antara suami
dan istri adalah untuk menghindarkan penipuan dan korupsi
perihal pemindahan hak milik suami kepada istri atau sebaliknya
dengan maksud merugikan orang-orang berpiutang (kreditur).
Pada azasnya pemberian seperti itu kepada salah satu diantara
suami istri sepanjang perkawinan masuk dalam harta persatuan,
Ibid., Hlm. 328.
Suryodiningrat, Perikatan-perikatan berdasarkan sumber perjanjian,
(Bandung: Tarsito, 1980), hlm. 59.
31
32
306
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
tetapi pembuat undang-undang memberi kemungkinan
penyimpangan artinya dapat menjadi hak suami atau istri pribadi
dengan perkataan lain tak masuk kedalam harta persatuan.33
Sedangkan dalam Islam bila mana dua orang suami istri
tinggal bersama-sama dalam satu rumah kepunyaan si suami, si
suami dapat melakukan pemberian atas rumah tersebut kepada
istrinya tanpa betul-betul menyerahkan rumah tersebut kepada
istrinya itu. Suatu sikap yang betul-betul menurut peraturanperaturan akan mengharuskan si suami berbuat sebagai berikut :
a. Bahwa si suami dan si istri harus meninggalkan rumah
tersebut.
b. Bahwa si suami haruslah menyerahkan dengan resmi
kepada istrinya pemilikan yang telah dikosongkan itu.
c. Bahwa si istri harus menerima pemilikan tersebut dan
memasuki rumahitu sebagai pemilik yang tidak dapat
digugat lagi.
Peraturan yang sama juga berlaku bila mana seorang istri
melakukan pemberian kepada suaminya. Contoh yang kongkrit
dalam Islam pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW yaitu
pada perkara Siti Aminah dan Siti Khotijah. Seorang suami telah
melakukan pemberian atas satu rumahnya dan beberapa petak
lainnya kepada istrinya. Dia telah menyerahkan kunci-kuncinya
kepada istrinya kemudian meninggalkan rumahnya dalam
beberapa hari (untuk memperlihatkan dengan senyata-nyatanya
bahwa pemilikan telah diserahkan). Tetapi kemudian kembali
kedalam rumah tersebut dan tinggal bersama istrinya sampai hari
matinya. Dalam hal ini dinyatakan bahwa pemberian tersebut
adalah sah.
Jika satu pemberian telah dilakukan seorang suami kepada
istrinya dan nama si istri telah dimaksudkan sebagai pemilik yang
baru kedalam buku catatan kantor pendaftaran, sesuai dengan
peraturan-peraturan yang ada kenyataan bahwa si suami masih
tetap tinggal di sana atau tetap menerima sewa rumah tersebut
setelah pemberian dilaksanakan, tidaklah mengganggu kesahan
Suryodiningrat, Perikatan-perikatan berdasarkan sumber perjanjian,
(Bandung: Tarsito, 1980), hlm. 78.
33
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
307
Santoso
pemberian itu. Anggapan dalam suasana yang demikian ialah
bahwa si suami bertindak sebagai orang yang dikuasakan oleh si
istri itu. Selanjutnya, jika surat pemberian menyatakan bahwa si
suami telah menyerahkan pemilikan kepada istrinya dan kemudian
surat tersebut diserahkan pula kepada si istri dan tetap ada dalam
tangannya, maka dalam keadaan ini penukaran nama pemilik
tidaklah lagi diperlukan.34 Larangan jual beli dalam KUH Perdata
ini kalau dicermati lebih lanjut ada tiga hal yang perlu di bahas
yaitu yang berkaitan dengan pengecualian. Dalam KUH Perdata
pengecualian itu ada tiga yaitu :
1) Jika seorang suami atau seorang istri menyerahkan bendabenda kepada istri atau kepada suaminya, dari siapa ia oleh
pengadilan telah dipisahkan, untuk memenuhi apa yang
menjadi haknya istri atau suaminya itu menurut hukum.
Menyerahkan benda dari suami kepada istri adalah ada
kemiripan dengan hibah. Dalam KUH Perdata, hibah
antara suami istri selama perkawinan berlangsung juga
dilarang. Hal ini termuat dalam pasal 1678 KUH Perdata:
“Dilarang adalah penghibahan antara suami istri selama
perkawinan. Namun ketentuan ini tidak berlaku terhadap
hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian benda-benda
bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi
mengingat kemampuan si penghibah”.35
Menurut hukum Al-Qur’an, semua orang mempunyai
hak untuk menerima hibah. Hibah yang diberikan kepada
orang-orang yang berada dalam pengawasan walinya seperti
orang yang dibawah umur, orang gila, orang mubazir,
dan sebagainya, harus diserahkan kepada walinya yang
bersangkutan. Orang yang tidak beragama Islam pun
dapat menerima hibah dari seorang yang beragama Islam,
begitu pula sebaliknya. Begitu pula hukum Al-Qur’an
membolehkan seorang istri menerima hibah dari suaminya,
begitu pula sebaliknya. Dan penghibahan antara suami
istri ini dilarang oleh hukum perdata dalam pasal 1678
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, II, (Terj. Arifin Bey),
(Jakarta: Tinta Mas, 1966), hlm. 56-57.
35
Subekti, Kitab Undang-undang, hlm. 288.
34
308
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
KUH Perdata. 36 Dasar penghibahan antara suami istri ini
boleh dalam al-Qur’an adalah surat Al-Baqarah ayat 177
yang Artinya: “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta”(QS.
Al-Baqarah : 177). Sedangkan hibah kepada suami istri yang
terdapat dalam hadits adalah di dasarkan pada hadits yang
Artinya : Dari Ibrohimah, Umar bin Abd al-Aziz berkata:
tidak akan menarik (hibah yang telah diberikan kepada
istrinya). Dan Rasulullah SAW mengijinkan istrinya ketika
merawat sakitnya di rumah ‘Aisyah. Dan Nabi berkata:
“menarik kembali hibah seperti anjing yang memakan
kembali apa yang dimuntahkannya”.
Berdasarkan hadits tersebut maka jelaslah bahwa
hibah kepada suami atau istri dalam Islam adalah boleh dan
bahkan menarik kembali hibah yang telah diberikan kepada
istri itu sama artinya dengan anjing yang sudah muntah
kemudian dimakannya kembali. Disamping itu kebolehan
hibah kepada istri itu dalam Islam adalah sama nilainya
dengan hibah kepada anak-anaknya. Sedangkan dasar
pertimbangannya adalah hibah kepada orang lain saja boleh
kenapa hibah kepada istri tidak boleh.
Jika dasar pelarangan hibah antara suami istri
adalah kekhawatiran terjadi kelimpahan harta yang dapat
merugikan orang lain, sebenarnya tidak ada masalah karena
apapun yang terjadi harta yang diperoleh selama perkawinan
adalah harta bersama, sehingga pelimpahan harta dari suami
kepada istri juga merupakan harta bersama, yang mana
apabila si suami memiliki hutang si istri juga mempunyai
kewajiban untuk membayar hutang si suami atau bahkan
kepada anak-anaknya memiliki kewajiban untuk membayar
hutang orang tuanya.
Tujuan utama hibah kepada kerabat dalam Islam
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, (Jakarta: Bulan Bintang,
1970), hlm. 19.
36
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
309
Santoso
adalah untuk membangkitkan rasa kasih sayang, sehingga
hadits Nabi Muhammad SAW berbunyi yang (Artinya : Dari
Abu Hurairoh RA dari nabi SAW bersabda : Saling memberi
hibah, niscaya kamu saling mencintai?) (diriwayatkan oleh albukhori dalam kitab al-adab al-mufrad dan abu ya’la dengan isnad
yang baik). 37
Demikian itu penghibahan antara suami istri selama
perkawinan. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah
seandainya pasal 1678 KUH Perdata itu dihapuskan. Karena
apapun yang terjadi harta yang diperoleh selama perkawinan
atau sebelum perkawinan tetap dapat dipisahkan, yaitu :
a. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri sebelum
perkawinan yaitu harta bawaan.
b. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri secara
perseorangan sebelum atau sesudah perkawinan yaitu
harta penghasilan.
c. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri bersamasama selama perkawinan yaitu harta pencaharian.
d. Harta yang diperoleh/dikuasai suami atau istri bersama
ketika upacara perkawinan sebagai hibah, yang kita
sebut hadiah perkawinan.38
Sehingga apabila terjadi pelimpahan antara yang satu
dengan yang lain dalam arti suami istri tetap merupakan
harta bersama, yang terjadi dapat dijadikan alasan ingkar
karena kepailitan. Karena hakikatnya adalah harta bersama.
Dengan memperhatikan uraian diatas maka nampak disatu
sisi hibah antara suami istri selama perkawinan berlangsung
KUH Perdata melarangnya. Namun disisi lain kaitannya
dengan jual beli, hibah atau pemberian antara suami istri itu
diperbolehkan. Oleh sebab itulah penulis cenderung kepada
hukum Islam yang tidak melarang adanya hibah suami istri
selama perkawinan.
Imam Abu Fadl Ahmad Ibn Hajar Al-‘Asqalany, Bulugh Al-Maram,
(Beirut: Dar Al-Fikr, t. t), hlm. 98.
38
Hilman hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni,
1983), hlm. 198.
37
310
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
2) Jika si istri menyerahkan yang dilakukan oleh seorang
suami kepada istrinya. Juga dari siapa ia tidak dipisahkan,
berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya untuk
mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual,
atau uang yang menjadi kepunyaan si istri, demikian itu
jika benda-benda atau uang tersebut dikecualikan dari
persatuan.
Dalam hal ini tidaklah bertentangan dengan
hukum Islam. Sebab betapapun mengembalikan barang
pinjaman adalah merupakan suatu keharusan. Para fuqoha’
mengkatagorikan hutang itu adalah mal hukumnya yaitu
yang artinya : Sesuatu yang dimiliki oleh pemberi hutang,
sedang dia itu berada ditangan yang berhutang.
Mengingat definisi itulah maka hutang adalah
tergolong harta, sekalipun antara suami hutang itu harus
dikembalikan. Oleh sebab itu antara hukum Islam dan
KUH Perdata ada kesamaan persepsi tentang pengembalian
barang dari suami kepada istri atau sebaliknya. Dengan
demikian hal ini secara hukum diperbolehkan sejalan
dengan kaidah umum yang artinya : pada prinsipnya sesuatu
itu adalah mubah. 39
3) Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya
untuk melunasi suatu jumlah uang yang ia telah janjikan
kepada suaminya sebagai harta perkawinan?
Dengan tidak mengurangi, namun demikian
dalam ketiga hal ini, hak-hak ahli waris pihak-pihak yang
melakukan perbuatan, apabila salah satu pihak dengan cara
demikian telah memperoleh suatu keuntungan secara tidak
langsung. Melihat pada permasalahan tersebut maka jual
beli antara suami kaitannya dengan penyerahan kekurangan
harta perkawinan antara hukum Islam dan KUH Perdata
adalah tidak ada perbedaan. Dengan demikian menurut
penulis jual beli antara suami istri setelah adanya pemisahan
harta suami dan istri adalah tidak ada masalah. Dan hal
ini seharusnya juga diperbolehkan dalam KUH Perdata
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Terj. Moch Tolchah
Mansur, (Bandung: Risalah, 1985), hlm. 76.
39
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
311
Santoso
sehingga pasa 1467 itu dapat dihilangkan.
7. Analisis terhadap ketentuan Jual Beli dalam KUH Perdata
Syarat adalah suatu yang tergantung adanya hukum atas
adanya syarat dan lazim dari tidak adanya syarat tidak adanya
hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat jual beli dalam
KUH Perdata adalah sesuatu yang tergantung adanya hukum jual
beli atas adanya syarat dan lazim dari tidak ada syarat jual beli
tidak ada hukum jual beli.
Syarat jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata
memang tidak disebutkan secara khusus, akan tetapi syarat jual
beli itu termasuk didalamnya tentang syarat-syarat perjanjian
pada umumnya. Sebab syarat-syarat perjanjian secara umum
juga meliputi sewa menyewa, tukar menukar, persekutuan,
perkumpulan, hibah, penitipan barang, pinjam meminjam dan
lain sebagainya yang berkenaan dengan perjanjian.
Syarat sah perjanjian dalam KUH Perdata disebutkan
dalam pasal 1320 yang berbunyi : untuk sahnya persetujuanpersetujuan diperlukan empat syarat? yaitu :
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
c. Suatu hal yang tertantu.
d. Suatu sifat yang halal. 40
Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya juga harus
digambarkan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an sebagai berikut
yang Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu.(QS. An-Nisa’ : 29). Demikian juga Rasulullah SAW
telah bersabda melalui riwayat dari ibnu hibban sebagai berikut
yang artinya : Dari Ibnu Hibban sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda : akad jual beli itu yang berlangsung suka sama suka
(rida). Maka dapatlah diambil kesimpulan, kerelaan dalam hukum
Islam adalah suatu perbuatan yang di dalamnya tidak adanya
unsur memadhorotkan (membahayakan, merugikan) diantara
40
312
Subekti, Kitab Undang-undang, hlm. 264
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
pihak yang melakukan perikatan. Dengan kata lain, dalam KUH
Perdata dan hukum Islam tidak ada perbedaan prinsip dalam hal
kesepakatan ini.
Sedangkan dalam kaitannya dengan orang yang menerima
hibah dalam KUH Perdata berpegangan pada pasal 2 KUH
Perdata yang berbunyi : “Anak yang ada dalam kandungan
dianggap sebagai telah dilahirkan bila mana juga kepentingan si
anak menghendakinya”. Sementara dalam Islam apabila masih
berupa janji maka dapat mengakibatkan tidak sahnya hibah. 41
Sedangkan orang yang tidak cakap dalam KUH
Perdata yang lainnya adalah orang-orang yang ditaruh dibawah
pengampuan. Dalam hal ini KUH Perdata memandang terhadap
orang tersebut adalah sama dengan hukum orang yang belum
dewasa yaitu berdasarkan pada pasal 452 KUH Perdata.
Termasuk dalam kategori ini adalah setiap orang dewasa yang
beliau berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap
harus ditaruh dibawah pengampuan. Jika ia kadang-kadang cakap
mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh
dibawah pengampuan karena kebosanannya.
Dalam Islam terhadap orang-orang yang demikian ini
adalah digolongkan kepada orang yang dungu (safih). Imam
Taqiyuddin berpendapat bahwa orang tua atau anak kecil,
orang gila dan orang dungu (safih) tidaklah sah apabila mereka
membelanjakan (mentasarrujkan). Disamping itu ada firman Allah
yang senada dengan pernyataan tersebut yang Artinya: Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan.
(QS. an-Nisa’). Sedangkan
kaitannya dengan akad perwakilan para Ulama sepakat tentang
kebolehannya, sebagaimana pendapat Sayyid Sabiq dalam kitab
fiqih al-Sunnah sebagai berikut : “Selain dapat dengan lisan dan
tulisan, akad juga dapat dilakukan dengan perantaraan tulisan dari
satu pihak yang berakad, dengan syarat si utusan dari suatu pihak
menghadap kepada pihak yang lainnya. Jika tercapai kesepakatan
41
471.
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, t. t), hlm.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
313
Santoso
antara kedua belah pihak akad sudah menjadi sah”.42
Dengan demikian pada hakekatnya antara hukum
Islam dengan KUH Perdata adalah sama-sama bertumpu pada
kemampuan akal sebagai landasan berpijak kecakapan seseorang
dalam melakukan perbuatan hukum. Bahkan dalam Islam sendiri
memandang akal adalah alat untuk memahami dan memperoleh
sesuatu (paham). Dan dengan akal terarahlah kemauan (syara’)
untuk pelaksanaannya.
C.SIMPULAN
Setelah penulis teliti data-data yang berhubungan dengan
KUH Perdata pasal 1467 tentang larangan jual beli antara suami
istri dan setelah penulis mengadakan pembahasan tentang halhal yang berkaitan dengannya maka dapatlah kesimpulan sebagai
berikut :
1) Syarat jual beli yang terdapat dalam KUH Perdata
memang tidak disebutkan secara khusus, akan tetapi
syarat jual beli itu termasuk didalamnya tentang syaratsyarat perjanjian pada umumnya. Sebab syarat-syarat
perjanjian secara umum juga meliputi sewa menyewa, tukar
menukar, persekutuan, perkumpulan, hibah, penitipan
barang, pinjam meminjam dan lain sebagainya yang
berkenaan dengan perjanjian. Syarat sah perjanjian dalam
KUH Perdata disebutkan dalam pasal 1320 yang berbunyi
:
Untuk sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan
empat syarat? yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal”.
2) Larangan jual beli antara suami istri yang terdapat dalam
pasal 1467 KUH Perdata dalam pandangan Islam tidak
diatur baik yang terdapat dalam al-Qur’an atau al Hadits.
Bahkan para ulama’ sendiri tidak menyinggungnya dalam
42
314
Ibid., hlm. 93.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
pembahasan jual beli yang terdapat dalam kitab-kitabnya.
Sementara hibah antara suami istri (selama perkawinan)
dalam pandangan hukum Islam diperbolehkan, yang mana
antara hibah dan jual beli adalah sama-sama memiliki unsur
tasaruf yang syarat rukunnya hampir sama dengan jual beli,
maka pada hakikatnya jual beli antara suami istri tidak ada
masalah, dan sah menurut hukum Islam.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
315
Santoso
DAFTAR PUSTAKA
Abd al-Rahman, Jalal al-Din, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta: Bulan
Bintang, 1980.
______, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.
Abdoerraoef, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, ,
1970.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Ahmad Imam, Abd al-Sami’, Nazharat fi al-Ushul al-Buyu al-Mamnu’ah
fi al-Syari’ah al-Islamiyyah, Kuwait: Wazarah al-Auqaf wa alSyuun al-Islamiyyah, 2012.
Al-‘Asqalany, Imam Abu Fadl Ahmad Ibn Hajar, Bulugh AlMaram, Beirut: Dar Al-Fikr, t. t.
Al-Bukhary, Abu’ Abdillah Muhammad Ibn Islma’il, Sahih AlBukhory, Juz II, Beirut: Dar Al-Fikr, , t. t.
Al-Husain, Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad, Kifayah
Al-Akhyar, Juz I, Bandung: Al-Ma’arif, t. t.
Al-san’any, Muhammad Ibn Isma’il Al-Kahlany, Bandung: Subul
Al-Salam, Juz III, Maktabah Dahlan, t. t.
Al-Sidqy, Muhammad, Al-Wajiz Fi Idah Al-Kulliyah, Mesir: Mustafa
Al-Baby Al Halaby Wa Auladuh, t. t.
Al-Suyuty, Jalal Al-Din, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, Semarang:
Usaha Keluarga, , t. t.
al-Zuhaly, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamy w ‘Adillatuh, juz IV, Mesir:
Dar al-Fikr, ,t.t.
Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Bandung:
Mizan, 1989.
______, Tafsir Kontekstual al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1990.
Arif, Isa, Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Bandung: Alumni,
1979.
Asaf A.A. Fyzee, Pokok-pokok Hukum Islam, II, (Terj. Arifin Bey),
Jakarta: Tinta Mas, 1966.
316
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Perspektif Hukum Islam Terhadap Kitab Undang-Undang....
Ash-Shiddieqy, Hasby, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bulan
Bintang, 1975.
Ash-Shiddieqy, Hasby, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Asri, Benyamin dan Thabrani Asri, Tanya Jawab Pokok-pokok
Hukum Perdata dan Hukum Agraria, Bandung: Armico,
1987.
Astarini, Dwi Rezki Sri, Mediasi Pengadilan (Salah Satu Bentuk
Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Asas Peradilan Cepat,
Sederhana, Biaya Ringan), Bandung: PT. Alumni, 2013.
Atmodjo, Arso Sosro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta:
Bulan Bintang, 1981.
Barkatullah, Abdul Halim, Hukum Islam (Menjawab Tantangan
Zaman yang Terus Berkembang), Yogyakarta: Pustaka Pelajar,,
2006.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.
Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqh Muamalat, Jakarta, Prenadamedia
Group, 2010.
Hadi, Solikhul, Fiqh Muamalah, Kudus: Nora Media Enterprise,
2011.
hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: Alumni,
1983.
Kansil, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Kasdi, Abdurrahman, Kontekstualisasi Hukum Islam, Yogyakarta:
Idea Press, 2011.
Khallaf, Abdul Wahab, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Terj. Moch
Tolchah Mansur, Bandung: Risalah, 1985.
Koto, Alaiddin, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindi
Persada, 2012.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perikatan, Bandung: Citra
Aditya Bakti, , 1990.
Oemarsalim, Dasar-dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Bina
Aksara, ,1987.
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
317
Santoso
Partadiredja, Iting, Pengetahuan dan Hukum Dagang, Jakarta:
Erlangga, 1978.
Pasaribu, Choiruman, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar
Grafika, 1994.
Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, jilid I,
Jakarta: Djambatan, 1993.
Rifa’i, Moh, Ilmu Fiqih Islam Lengkap, Semarang: Karya Toha
Putra, 1978.
Rusyd, Ibn, Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar Al-Fikr, t. t.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Juz II, Beirut: Dar Al-Fikr, t. t.
Satrio, Hukum Perdata Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Bakti,
1991.
Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1988.
Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1990.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah (Membahas Ekonomi Islam,
Kedudukan Harta, Hak Milik, Jual Beli, Bunga Bank dan Riba,
Musyarakah, Ijarah, Mudayanah, Koperasi, Asuransi, Etika
Bisnis dan lain-lain), Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
Suryodiningrat, Perikatan-perikatan Berdasarkan Sumber Perjanjian,
Tarsito, Bandung, 1980.
318
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 2, Agustus 2014
Download