BUDIDAYA TANAMAN TEMBAKAU ( Nicotiana tabacum

advertisement
BUDIDAYA TANAMAN TEMBAKAU ( Nicotiana tabacum. L. var. Prancak 95) PADA
CEKAMAN KEKERINGAN POLYETHYLENE GLYCOL (PEG) SECARA IN VITRO
Meirina Fitri Hartantiāƒ° , Tutik Nurhidayati1, S.Si., M.Si., Mukhammad Muryono1 S.Si., M.Si
Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi PEG yang dapat ditoleransi oleh
eksplan daun tembakau (Nicotiana tabacum. L, var. Prancak 95) serta pengaruhnya terhadap
morfogenesis eksplan pada kultur in vitro. Dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL),
faktor perlakuan pada penelitian ini adalah konsentrasi PEG yang diulang sebanyak 5 kali yaitu: 0
mg/L, 15 mg/L, 20 mg/L, 25 mg/L, dan 30 mg/L. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan
bahwa konsentrasi PEG yang ditoleransi eksplan untuk membentuk eksplan adalah 25 mg/L dengan
kalus yang terbentuk berwarna coklat dengan tekstur remah. Penambahan PEG menghambat
pembentukan tunas pada eksplan.
Kata Kunci: Nicotiana tabacum. L.var. Prancak 95, PEG, Alkaloid, Kultur In Vitro
Abstract
This research as a mean to find a tolerance concentration of PEG for morphogenesis
induction tobacco (Nicotiana tabacum L. var Prancak 95) leaf explant on in vitro culture.Used
completely randomize design, treatment factor at this research is concentration of PEG with five
times restarting, that is: 0 mg/L, 15 mg/L, 20 mg/L, 25 mg/L, and 30 mg/L. According to the result,
concluded that tolerance concentration of PEG for roots growth by explant is 25 mg/L medium which
brown crumb callus formed. Addition PEG also inhibit growth shoot of explant.
Key words: Nicotiana tabacum L. var. Prancak 95, PEG, Alkaloid, In Vitro Culture
*Corresponding Author Phone : 0852 3226 5349
email : [email protected]
1
Alamat sekarang : Prodi Biologi, FMIPA
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
I PENDAHULUAN
Spesies tembakau yang ada di dunia
ini mencapai lima puluh (50) jenis. Diantara
spesies yang dikenal, terdapat tiga spesies
yang paling banyak dibudidayakan yaitu
Nicotiana rustica, Nicotiana macrophylla, dan
Nicotiana tabacum. Nicotiana tabacum sendiri
merupakan spesies yang paling komersial
hingga saat ini khususnya untuk industri
rokok. Di Indonesia, Nicotiana tabacum
banyak dihasilkan di Nusa Tenggara Barat,
Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, dan
Sulawesi Selatan. Salah satu penghasil
tembakau terbesar di Jawa Timur adalah
Madura dimana saat ini tembakau Madura
yang paling banyak dibudidayakan adalah
varietas Prancak 95 (Basuki et al., 1999).
Keunggulan tembakau varietas Prancak 95
tersebut adalah kadar nikotin relatif rendah
yaitu sekitar 0,5%,. Selain itu, varietas ini
tahan terhadap penyakit lanas (Suwarso,
2002).
Teknik budidaya tembakau varietas
Prancak 95 di Madura pada umumnya bersifat
konvensional dimana tembakau ditanam
hampir di setiap pekarangan rumah penduduk
setempat. Akan tetapi, teknik budidaya secara
konvensional ini dapat menimbulkan variasi
genetik pada individu-individu keturunannya
sehingga dapat menyebabkan hilangnya sifat
unggul dari varietas Prancak 95 yang pada
akhirnya akan mengarah pada kepunahan.
Disamping itu, kondisi alam yang tidak
menentu pada saat ini semakin menimbulkan
kondisi tidak menguntungkan bagi suatu
budidaya
tumbuhan
terutama
karena
kekeringan. Secara umum tanaman tembakau
dapat bertahan pada lahan yang tingkat
kekeringannya di bawah kapasitas lapang yaitu
tersedianya air tanah di bawah 41,08% per
kilogram
media
tanah
sehingga
membudidayakan tembakau secara in vivo di
lahan kering bukanlah suatu masalah. Bahkan
cekaman kekeringan tersebut diindikasikan
mampu meningkatkan konsentrasi alkaloid
pada tanaman tembakau (Suwarso, 2002).
Suwarso
(2002)
mengemukakan
bahwa tanaman tembakau madura (Nicotiana
tabacum var. Prancak 95) yang disiram selama
tiga hari sekali dapat menghasilkan daun yang
lebih tebal dimana ketebalan daun ini
menentukan konsentrasi kandungan alkaloid
pada tembakau. Akan tetapi, untuk mengetahui
sejauh mana ketahanan tembakau terhadap
kekeringan dan konsentrasi metabolit sekunder
yang dihasilkan perlu dilakukan suatu
pengujian. Salah satu teknik pengujian yang
perlu
dilakukan
adalah
pendekatan
bioteknologi untuk pemuliaan tanaman yaitu
teknik kultur jaringan tanaman dengan
menggunakan senyawa yang berpotensi
menyebabkan kekeringan, salah satunya
adalah polyethilene glicol (PEG) (Krizek, 1985
dalam Husni 2006).
Polyethilene glycol (PEG) dengan
berat molekul lebih dari 4000 dapat
menginduksi cekaman kekeringan pada
tanaman dengan mengurangi potensial air pada
larutan nutrisi tanpa menyebabkan keracunan
(Lawyer, 1970 dalam Husni, 2006). Short et
al. (1987) dalam Husni (2006) menyatakan
bahwa kultur in vitro PEG dapat menginduksi
cekaman kekeringan dan berkorelasi positif
dengan yang terjadi di lapangan atau rumah
kaca. Konsentrasi PEG 10, 20 dan 30%
merupakan konsentrasi yang biasa digunakan
untuk simulasi cekaman kekeringan di
lapangan (Salisbury dan Ross, 1995).
Konsentrasi PEG sebesar 5, 10, dan 15 mg/L
dapat menyebabkan kentang (Solanum
tuberrosum) yang dikulturkan secara in vitro
tercekam
kekeringan
(Lestari,
2006).
Tritoboma (1997) dalam Suwimen (2010)
mengemukakan bahwa kultur kalus kopi
robusta toleran terhadap cekaman kekeringan
pada konsentrasi PEG 10%. Induksi
pembentukan dan pertumbuhan akar tanaman
Andalas (Morus macraura) secara in vitro
terhambat akibat adanya 1-4% PEG pada
medium kultur dimana semakin tinggi
konsentrasi polyethilena glycol (PEG) semakin
sedikit akar yang dihasilkan (Suwimen, 2010).
Berdasarkan latar belakang tersebut
maka dilakukanlah penelitian kultur jaringan
tanaman tembakau (Nicotiana tabacum var.
Prancak
95)
dengan
menambahkan
polyethilene glicol (PEG) pada beberapa
tingkat
konsentrasi
sebagai
cekaman
kekeringan dimana penelitian ini bertujuan
untuk
mengetahui
konsentrasi
PEG
(poliethylene glicol) yang dapat ditoleransi
oleh eksplan daun tembakau (Nicotiana
tabacum L. var. Prancak 95) pada kultur in
vitro serta Mengetahui pengaruh konsentrasi
PEG (polyethylene glicol) pada morfogenesis
eksplan daun tembakau (Nicotiana tabacum L.
var. Prancak 95) pada kultur in vitro.
II METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Maret 2011 hingga Juli 2011 di Laboratorium
Kultur Jaringan Program Studi Biologi ITS
Surabaya serta di LPPT-UGM, Yogyakarta.
Sterilisasi Alat
Semua peralatan baik alat pembuatan
medium (botol kultur) maupun alat inokulasi
eksplan (cawan Petri, scalpel blade, gunting
eksplan, pinset, kertas saring dan tissue)
dilakukan sterilisasi. Sterilisasi dilakukan
dengan autoklaf pada suhu 121oC tekanan 1,5
atm selama 20 menit (Nugroho, 2004).
Laminair Air Flow (LAF) disemprot
dengan alkohol 70% dan alat-alat yang
dimasukkan ke dalam LAF juga harus
disemprot dengan alkohol 70%. Ruang tanam
(LAF) disterilisasi dengan sinar UV selama 1
jam sebelum LAF digunakan. Ketika LAF
digunakan, sinar UV harus dimatikan dan
blower dihidupkan (Fitrianti, 2006).
Sterilisasi Eksplan
Sterilisasi permukaan eksplan daun
tembakau terdiri dari dua tahap yaitu sterilisasi
tahap I yang dilakukan di ruang persiapan dan
sterilisasi tahap II yang dilakukan di laminair
air flow (LAF). Pada sterilisasi tahap I, daun
tembakau diambil dari greenhouse dan dicuci
dengan air mengalir selama beberapa menit.
Sedangkan sterilisasi tahap II eksplan daun
muda tembakau (Nicotiana tabacum L. var
prancak 95) dicelupkan pada etanol 70%
selama 30 detik kemudian dicuci dengan
aquades steril, selanjtnya direndam dalam
larutan sodium hipoklorit (clorox) 1% selama
10 menit, lalu dicuci dengan aquades steril
secara bertingkat sebanyak 3 sampai 4 kali
(Fowke et al., 1983). Selanjutnya eksplan
diambil dengan pinset dan ditiriskan pada
kertas saring steril (Hendaryono, 1994).
Inokulasi Eksplan
Proses inokulasi dilakukan di laminar
air flow dengan kondisi aseptik. Alat-alat
inokulasi ditata di dalam laminar air flow.
Setiap alat tersebut dicelupkan ke dalam
alkohol 95% dan dilewatkan di atas nyala api
bunsen selama 1 menit. Daun tembakau
dipotong ±1x1 cm dan diinokulasikan ke
dalam botol kultur yang telah berisi ± 20 ml
medium MS dengan posisi bagian abaksial
menyentuh medium (Dhaliwal et al., 2004).
Setelah eksplan diinokulasikan ke
dalam botol kultur, botol ditutup rapat dan
diberi label yaitu tanggal dilakukan inokulasi
eksplan, konsentrasi hormon, dan konsentrasi
PEG yang digunakan yang selanjutnya
diinkubasi di rak kultur selama 30 hari. Setiap
kolom rak kultur diberi pencahayaan dengan
lampu neon 40 watt dengan lama penyinaran
16 jam terang (Dhaliwal et al., 2004; Ali et al.
2003). Suhu ruang penyimpanan diatur relatif
konstan 25oC±1 (Dhaliwal et al., 2004).
Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan lima kali
ulangan dimana susunannya tertera pada Tabel
1.
Tabel 1 Susunan pengaruh konsentrasi PEG
terhadap eksplan daun Tembakau
Nicotiana tabacum L. var Prancak 95
Konsentrasi
PEG (mg/L)
0
Respon Petumbuhan
Kalus Akar Tunas
K0
A0
T0
15
K 15
A 15
T 15
20
25
30
K 20
K 25
K 30
A 20
A 25
A 30
T 20
T 25
T 30
Pengamatan
dilakukan
secara
destruktif pada hari ke 30 (dihitung sejak
inokulasi eksplan). Morfogenesis yang terjadi
diamati berdasarkan parameter warna kalus
dan tekstur kalus (lunak, keras, padat), jumlah
tunas dan akar dari eksplan (Ali, 2007). Hasil
pengamatan warna dan tekstur kalus
selanjutnya dianalogkan ke dalam angka
sehingga didapatkan data yang bersifat
kuantitatif. Data yang diperoleh disusun dalam
tabel pengamatan. Percobaan dianalisis dengan
rancangan acak lengkap (RAL) 1 faktor. Data
yang didapatkan dianalisis menggunakan
ANOVA dengan selang kepercayaan 95%, dan
dilanjutkan dengan uji Dunnet menggunakan
software minitab untuk mengetahui pengaruh
PEG
(polyethylene
glicol)
terhadap
morfogenesis dan konsentrasi alkaloid eksplan
daun tembakau.
Adapun hipotesis dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
H 0 = Tidak ada pengaruh konsentrasi PEG
(polyethylene
glicol)
terhadap
morfogenesis eksplan daun tembakau.
H 1 = Ada pengaruh konsentrasi PEG
(polyethylene
glicol)
terhadap
morfogenesis eksplan daun tembakau.
Sedangkan variabel yang digunakan
adalah :
Variabel bebas
: konsentrasi PEG
Variabel terikat
: warna dan tekstur kalus,
jumlah
akar
dan
jumlah tunas
Variabel terkendali : pH, suhu, kelembaban,
dan pencahayaan.
III. HASIL & PEMBAHASAN
Pertambahan ukuran suatu sel
tumbuhan
merupakan
pertumbuhan
dimana pertambahan yang terjadi tidak
hanya dalam hal volume, tetapi juga berat
dan jumlah organ-organ yang terbentuk.
Pada teknik kultur in vitro, pertumbuhan
eksplan ditandai dengan terbentuknya
kalus (callogenesis) serta pembentukan
organ
atau
organogenesis.
Hasil
pengamatan eksplan Nicotiana tabacum
var. Prancak 95 selama 30 hari
menunjukkan respon callogenesis dan
organogenesis.
Respon
Pembentukan
Kalus
(Callogenesis)
Salah satu fase untuk mendapatkan
individu baru pada teknik kultur jaringan
tanaman
adalah
callogenesis
atau
terbentuknya kalus. Kalus merupakan
massa
parenkimatis
yang
belum
terdiferensiasi. Pembentukan kalus pada
teknik kultur jaringan sendiri di pengaruhi
oleh berbagai faktor yaitu komposisi zat
pengatur tumbuh (ZPT) ataupun senyawasenyawa organik yang ditambahkan ke
dalam media kultur (Zulkarnain, 2009).
Kalus yang terbentuk pada medium
tanpa polyethylene glycol (PEG) berwarna
putih kehijauan dengan tekstur kompak.
Warna putih pada kalus menandakan
keberadaan leukoplas atau etioplas pada
sel yaitu butir-butir plastida yang tidak
berwarna
dan
mengandung
pati.
Selanjutnya ketika terpapar cahaya, warna
putih berubah menjadi putih kehijauan atau
hijau dimana perubahan warna tersebut
terjadi akibat sel mulai membentuk
klorofil. Salisburry (1995) mengemukakan
bahwa sistem membran pada etioplas
tersusun rapat dimana strukturnya disebut
prolamela. Setelah terkena rangsangan
cahaya, badan prolamela tersebut akan
membentuk sistem tilakoid, khususnya
pembentukan grana. Pembentukan grana
tersebut diikuti pula oleh peningkatan
sintesis protein yang mengikat klorofil a
dan b dimana keberadaan klorofil tersebut
terlihat pada warna kalus yang hijau
ataupun putih kehijauan.
Hasil menunjukkan bahwa semua kalus
yang terbentuk pada kontrol (0 mg/L PEG)
bertekstur kompak. Kalus yang kompak
ditandai
dengan
bentuknya
yang
terorganisir dan terlihat padat. Pada
perlakuan ini, potensial osmotik medium
lebih rendah dibandingkan potensial
osmotik sel sehingga air beserta zat-zat
hara dapat masuk ke dalam sel secara
osmosis. Keberadaan air dan zat-zat hara
tersebut akan meningkatkan turgiditas
(kekakuan) dinding sel dimana secara
morfologi hal tersebut ditandai dengan
terbentuknya kalus kompak.
Gambar 4.1. Callogenesis Pada Medium Tanpa PEG.
Kalus kompak (ditunjukkan dengan panah biru) yang
pada akhirnya membentuk organ-oragan vegetatif, yaitu
akar dan daun (Dokumentasi Pribadi, 2011).
Terbentuknya kalus berwarna
coklat pada perlakuan dengan polyethylene
glycol (PEG) sendiri diinduksi oleh
pelukaan yang terjadi pada saat
pemotongan eksplan dimana Verpoorte
(1993)
dalam
Robbiani
(2010)
menjelaskan bahwa kalus yang berwarna
coklat merupakan respon oksidasi senyawa
fenolik akibat pelukaan suatu jaringan
eksplan. Sedangkan kalus putih merupakan
akibat dari tidak terbentuknya kloroplas
atau degradasi klorofil dimana hal ini
dapat terjadi karena konsentrasi sitokinin
lebih dulu digunakan untuk pertumbuhan
eksplan menjadi kalus.
Gambar 4.2. Callogenesis Pada Medium Dengan
Penambahan Polyethilene Glicol (PEG). Pada gambar A
kalus hanya terbentuk pada bagian tepi eksplan
(ditunjukkan dengan lingkaran biru) sedangkan pada
Gambar B eksplan terlihat menggembung dan berwarna
coklat. Pencoklatan tersebut diindikasikan eksplan
mengalami cekaman kekeringan yang diakibatkan oleh
polyethilene glicol (PEG) (Dokumentasi Pribadi, 2011) .
Tekstur kalus yang dibentuk oleh
eksplan pada medium yang ditambahkan
polyethilene glicol (PEG) berbeda dengan
tekstur kalus yang dibentuk oleh eksplan
pada kontrol. Tekstur kalus pada perlakuan
dengan polyethylene glicol (PEG) adalah
remah. Pada sel tumbuhan, auksin
menyebabkan dinding sel menjadi lunak
(flacid) dimana hal ini memudahkan air
pada medium tumbuh untuk masuk ke
dalam sel secara osmosis. Namun karena
keberadaan polyethylene glycol (PEG)
menyebabkan potensial air di dalam sel
lebih tinggi daripada potensial air di
medium tumbuh, pergerakan air yang
terjadi adalah dari sel menuju lingkungan
(medium) sehingga menurunkan tekanan
turgor pada dinding sel. Penurunan tekana
turgor pada dinding sel tersebut ditandai
dengan kalus remah.
Kehilangan tekanan turgor pada sel
yang dikulturkan di medium perlakuan
diindikasikan pula sebagai signal bagi
membran plasma untuk mengaktifkan
protein tertentu yang mendorong sintesis
ABA (Asam absisat). Keberadaan ABA
pada
akhirnya
akan
merangsang
terbentuknya protein yang berperan
sebagai mekanisme toleransi terhadap
cekaman kekeringan, yaitu prolin. Secara
fisiologis prolin berperan sebagai substrat
pada peristiwa respirasi sel yang
mengalami cekaman kekeringan. Oleh
karena itulah eksplan pada perlakuan
polyethylene glycol (PEG) ini masih dapat
menunjukkan respon pembentukan kalus
selama 30 hari masa pengamatan meskipun
tidak optimal.
Respon Organogenesis
Peristiwa pembentukan organ pada
teknik kultur in vitro dapat terjadi secara
langsung (direct) ataupun tidak langsung
(indirect).
Direct
organogenesis
merupakan peristiwa pembentukan organ
tanpa melalui peristiwa callogenesis
(pembentukan kalus) , sedangkan indirect
organogenesis adalah pembentukan organ
yang didahului dengan pembentukan kalus
(callogenesis). Berdasarkan Robbiani
(2010), penggunaan zat pengatur tumbuh
(ZPT) 0,5 ppm NAA dan 1 ppm Kinetin
menghasilkan respon organogenesis secara
tidak langsung (indirect organogenesis).
Respon
organogenesis
yang
ditunjukkan pada penelitian ini adalah
terbentuknya tunas dan akar pada beberapa
eksplan (ditunjukkan pada Tabel 4.1.2 dan
Tabel 4.1.3).
Tabel 4.1.2. Rerata Jumlah tunas
Konsentrasi PEG
Jumlah Tunas
(mg/L)
0
15
20
25
30
8.2 b
0a
0a
0a
0a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
uji Dunnet dengan selang kepercayaan 95 %.
Tunas merupakan calon vegetatif
tanaman yang berupa kuncup (gemmae).
Kuncup tersebut pada akhirnya akan
berkembang menjadi daun ataupun bunga
yang berperan sebagai organ generatif
tumbuhan. Pada teknik kultur jaringan
tanaman sendiri, pembentukan tunas
didefinisikan sebagai pembentukan daun
dimana
proliferasinya
sangat
mempengaruhi
pertumbuhan
dan
perkembangan tanaman. Menurut George
(2008), pembentukan tunas pada kultur in
vitro lebih sering diinduksi pertama kali
dibandingkan pembentukan akar supaya
mekanisme fotosintesis kultur berlangsung
lebih optimal.
Gambar 4.3. Grafik Rerata Jumlah Tunas
Sama halnya dengan respon
callogenesis, pembentukan tunas juga
dipengaruhi oleh komposisi medium
tumbuh. Media yang sesuai akan
memberikan
respon
organogenesis
(pembentukan tunas), sedangkan media
yang dimodifikasi (seperti penambahan
polyethilene glicol pada penelitian ini)
menghambat terbentuknya tunas yang
diharapkan.
Pada penelitian ini, eksplan daun
tembakau (Nicotiana tabacum var.
Prancak 95) berada pada fase awal
vegetatif dimana pada fase vegetatif
dibutuhkan
senyawa-senyawa
makronutrien yang berfungsi untuk
membentuk organ-organ vegetatif secara
lengkap. Hal tersebut dapat dilihat pada
kontrol dimana rerata jumlah tunas yang
dihasilkan sebesar 8,2. Sedangkan PEG
yang ditambahkan ke dalam medium
mengakibatkan potensial air medium lebih
rendah dibandingkan potensial air sel,
sehingga senyawa makronutrien yang
terkandung di dalam medium tidak dapat
berpindah ke dalam sel secara osmosis
yang pada akhirnya menyebabkan organorgan vegetatif, yang dalam hal ini adalah
daun (tunas), tidak dapat dibentuk oleh
eksplan yang dikulturkan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa konsentrasi polyethilene
glicol (PEG) yang digunakan pada
penelitian ini tidak dapat ditoleransi oleh
eksplan untuk membentuk tunas.
Tabel 4.1.3. Rerata Jumlah Akar
Konsentrasi PEG
Jumlah Akar
(mg/L)
2c
0
0a
15
1.2 bc
20
0.4 ab
25
0a
30
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada
kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada
uji Dunnet dengan selang kepercayaan 95 %.
Hasil menunjukkan bahwa jumlah
akar yang terbentuk pada kontrol relatif
berbeda dengan jumlah tunas. Hal tersebut
merupakan pengaruh dari komposisi zat
pengatur tumbuh (ZPT) yang digunakan.
Hendaryono (1994) menjelaskan bahwa
konsentrasi auksin yang lebih tinggi
dibandingkan
konsentrasi
sitokinin
menyebabkan terbentuknya akar pada
eksplan. Sebaliknya, jika konsentrasi
sitokinin lebih tinggi dibandingkan auksin
maka tunaslah yang akan lebih cepat (atau
lebih banyak) dihasilkan oleh eksplan.
Pada penelitian ini zat pengatur tumbuh
(ZPT) yang digunakan adalah 0,5 ppm
NAA (auksin) dan 1 ppm Kinetin
(Sitokinin) sehingga jumlah akar yang
dihasilkan relatif lebih sedikit daripada
jumlah tunas.
Gambar 4.4. Grafik Rerata Jumlah Akar
Pengaruh
polyethylene
glycol
(PEG) juga terlihat pada pembentukan akar
meskipun hasilnya tidak berbeda secara
signifikan. Gregory (1989) dalam Ai
(2010) mengemukakan bahwa parameter
pertumbuhan yang dapat digunakan
sebagai penduga toleransi cekaman
kekeringan pada tumbuhan adalah jumlah
(kerapatan) dan kedalaman akar. Pada
Tabel 4.1.3 terlihat bahwa jumlah akar
yang terbentuk antara kontrol (0 mg/L
PEG) tidak jauh berbeda dengan jumlah
akar yang terbentuk pada perlakuan
polyethylene glycol (PEG), meskipun ada
penurunan jumlah akar pada tingkatan
konsentrasi polyethylene glycol (PEG)
yang ditambahkan pada medium kultur.
Suwimen (2010) mengungkapkan
bahwa
semakin
tinggi konsentrasi
polyethylene
glycol
(PEG)
yang
ditambahkan ke dalam media kultur
semakin sedikit jumlah akar yang
terbentuk
dan
ketika
konsentrasi
polyethylene glycol (PEG) telah mencapai
batas toleransi maksimal tidak akan ada
akar yang dibentuk oleh eksplan.
Polyethylene glicol (PEG) merupakan zat
aditif yang dapat mengurangi potensial air
pada
medium
kultur.
Akibatnya
pergerakan air menjadi terhambat sehingga
kebutuhan air tanaman tidak dapat
terpenuhi secara maksimal. Tanaman yang
berada pada kondisi tersebut akan
melakukan berbagai adaptasi untuk tetap
bertahan hidup. Salah satu mekanisme
adaptasi yang dilakukan tanaman pada
kondisi kekurangan air adalah dengan
menggiatkan pertumbuhan akar dimana
hasilnya diketahui melalui jumlah dan
panjang akar yang dibentuk oleh eksplan.
Pada penelitian ini sendiri panjang akar
tidak digunakan sebagai parameter
pengamatan, namun melalui Gambar 4.5
dapat diketahui bahwa akar yang dibentuk
eksplan yang dikulturkan pada medium
yang ditambahkan polyethylene glycol
(PEG) lebih panjang dibandingkan akar
pada medium tanpa polyethylene glycol
(PEG).
A
B
C
Gambar 4.5. Hasil Pembentukan Akar. A) Menunjukkan
akar muncul dari bagian abaksial salah satu tunas yang
terbentuk. B & C) Pembentukan akar pada eksplan yang
dikulturkan
pada
medium
yang
ditambahkan
polyethylene glycol (PEG) (Dokumentasi Pribadi, 2011).
Sementara itu tidak terbentuknya
akar pada konsentrasi 15 mg/L PEG
diindikasikan akibat pengaruh konsentrasi
hormon endogen eksplan. Rosita (2008)
mengemukakan bahwa setiap eksplan
mengandung hormon endogen yang
berbeda-beda sehingga masing-masing
eksplan menunjukkan pembentukan organ
yang berbeda-beda pula. Hal ini semakin
menegaskan bahwa komposisi zat pengatur
tumbuh (ZPT) merupakan faktor yang
sangat berpengaruh pada perbanyakan
tanaman secara in vitro, baik pada tahap
inisiasi kalus, proliferasi tunas, maupun
pembentukan akar.
Dengan demikian konsentrasi
polyethylene glycol (PEG) sebesar 25
mg/L dikatakan sebagai konsentrasi
maksimal yang dapat ditoleransi oleh
eksplan daun tembakau (Nicotianan
tabacum var. Prancak 95) untuk
membentuk akar karena pada konsentrasi
30 mg/L tidak ada akar yang dibentuk oleh
eksplan.
IV. KESIMPULAN
Setelah melakukan analisis hasil
maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Konsentrasi polyethylene glicol (PEG)
yang dapat ditoleransi eksplan daun
tembakau (Nicotiana tabacum var.
Prancak 95) untuk membentuk akar
adalah 25 mg/L medium
2. Konsentrasi polyethylene glicol yang
ditambahkan ke dalam medium
mempengaruhi morfogenesis eksplan
dengan menghambat pembentukan
tunas dan membentuk kalus berwarna
coklat dengan tekstur remah
DAFTAR PUSTAKA
Ai, Nio., Tondas, Sri., dan Butarbutar,
Regina. 2010. Evaluasi Indikator
Toleransi Cekaman Kekeringan
Pada Fase Perkecambahan Padi
(Oryza sativa. L). Jurnal Biologi.
XIV (1): 50-54.
Ali, Gowher. et al,. 2007. Callus Induction
and in vitro Complete Plant
Regeneration of Different Cultivars
of Tobacco (Nicotiana tabacum L.)
on Media of Different Hormonal
Concentration. BiotechnoLogy 6
(4): 561-566. Departement of
Biotechnology,
University
of
Malakand,
Chakdara
NWFP,
Pakistan.
Basuki, S, Suwarso, A. Herwati, dan S.
Yulaikah. 1999. Biologi dan
Morfologi Tembakau Madura.
Balai Penelitian Tembakau dan
Tanaman Serat. Malang
Dhaliwal, Harbinder. S. et al,. 2004. Tiba
Inhibition
of
In
vitro
Organogenesis in Excised Tobacco
Leaf Explants. In vitro cell. Dev.
Biol. Plant 40:235-238. Plant
Physiology
Research
Group,
Departement
of
Biological
Sciences, University of Calgary,
Calgary, Alberta, T2N 1N4,
Canada.
Fitrianti, A. 2006. Efektivitas Asam 2,4Diklorofenoksiasetat (2,4-D) dan
Kinetin pada Medium MS dalam
Induksi Kalus Sambiloto dengan
Eksplan Potongan Daun. Skripsi.
Biologi FMIPA UNS: Semarang
Fowke, L.C. et al,. 1983. Organelles
Associated With The Plasma
Membrane of Tobacco Leaf
Protoplasts. Plant Cell Reports
(1983) 2: 292-295.
George, Edwin., Hall, M., and De Klerk.
2008. Plant Propagation by
Tissue Culture 3rd Edition.
Springer Publisher: Netherlands
Gunawan, L.W., 1989. Teknik kultur
jaringan tumbuhan. Laboratorium
Kultur Jaringan Tumbuhan, Pusat
Antar Universitas (PAU), Institut
Pertanian Bogor (IPB). Bogor.
Hendaryono, D. P. S. dan A. Wijayani.
1994. Teknik Kultur Jaringan
Pengenalan
dan
Petunjuk
Perbanyakan Tanaman secara
Vegetatif-Modern.
Yogyakarta:
Kanisius.
Husni, Ali., Kosmiatin, M., dan Mariska.
2006.
Peningkatan
Toleransi
Kedelai
Sindoro
Terhadap
Kekeringan Melalui Seleksi In
vitro. Bul. Agron. 34 (1): 25-31
Lestari, Endang. G. 2006. Review: In Vitro
Selection
and
Somaclonal
Variation for Biotic and Abiotic
stress Tolerance. Biodiversitas. 7
(3): 297-301.
Nugroho,
A.
2004.
Pedoman
Pelaksanaan Teknik Kultur
Jaringan.
Penebar
Swadaya.
Jakarta.
Robbiani, Daniar. 2010. Pengaruh
Kombinasi Naphthalene Acetic
Acid (NAA) Dan Kinetin Pada
Kultur In Vitro Eksplan Daun
Tembakau (Nicotiana tabacum L.
var. Prancak 95). Tugas Akhir.
Jurusan Biologi FMIPA ITS:
Surabaya.
Rosita, Ela., Ariyanti, M., dan Amien,
Suseno. 2008. Induksi Akar dari
Eksplan Daun Tiga Varietas Nilam
(Pogostemon cablin Benth) dalam
Media MS yang Mengandung
Paclobutrazol In Vitro. Zuriat. 19
(1): 16-31.
Salisbury dan Ross. 1995. Fisiologi
Tumbuhan Jilid 3. Bandung:
Penerbit ITB.
Santoso, Thomas. 2001. Tata Niaga
Tembakau di Madura. Jurnal
Manajemen & Kewirausahaan. 3
(2): 96 - 105
Suwarso. 2002. Varietas Hibrida Harapan
Tembakau Madura. Jurnal Litri. 8
(1): 20-26.
Suwimen. 2010. Seleksi In Vitro
Tumbuhan
Andalas
(Morus
macroura Miq.) Toleran Cekaman
Kekeringan
Menggunakan
Polietilena
Glikol
(PEG).
Prosiding Seminar Dan Rapat
Tahunan BKS-PTN Wilayah
Barat ke-21.
Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan
Tanaman, Solusi Perbanyakan
Tanaman Budi Daya. PT. Bumi
Aksara : Jakarta
Download