tinjauan pustaka

advertisement
14
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pemberdayaan (Empowerment)
Berdasarkan
kajian
terhadap
berbagai
pustaka
tentang
konsep
pemberdayaan (empowerment) di antaranya yaitu Zimmerman dan Rappaport
(1995), Perkins dan Zimmerman (1995), Pranarka dan Moeljarto (1996), Horvath
(1999), Ashman dan Kay (2000), Ife (2002), Adi (2003), Wong (2003), Suharto
(2005) dan sumber lainnya, pengertian pemberdayaan (empowerment) pada
hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan terhadap individu, kelompok atau
komunitas lokal yang kurang mampu agar mereka memiliki kemampuan, kekuatan,
pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumbersumberdaya sehingga bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupannya
secara mandiri.
Kemampuan mengandung makna
individu,
kelompok, atau
komunitas yang berdaya, memiliki pengetahuan, mempunyai motivasi, melihat
adanya peluang dan bisa memanfaatkannya serta mampu mengambil keputusan dan
bertindak secara tepat sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Pemberdayaan
menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang
diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang
dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan
sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Kajian pustaka berikut ini
menguraikan konsep pemberdayaan dari segi maknanya, prosesnya, strateginya,
tingkat keberdayaannya, serta kaitannya dengan penyuluhan.
Konsep empowerment yang diartikan sebagai pemberdayaan, adalah sebuah
konsep yang lahir sebagai bagian perkembangan alam pikiran masyarakat dan
kebudayaan Barat. Konsep ini dipandang sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh
kedua abad ke-20 yang dikenal sebagai aliran post-modernisme. Akar terdalam
yang lebih jauh berkaitan dengan gelombang pemikiran baru yang dikenal sebagai
gerakan Aufklarung ataupun Enlightenment. Sebagai aliran alternatif dari aliran
keagamaan yang deterministis, maka muncul penguatan pada pemikiran
kebebasan, rasio dan individu sehingga melahirkan pemikiran liberalisme,
rasionalisme dan individual-isme. Konsep empowerment sesungguhnya sudah
15
melekat dalam awal gerakan modern untuk menemukan alternatif tersebut.
Empowerment Eropa modern merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi manusia
dari totaliterisme keagamaan. Emansipasi dan liberalisasi serta penataan terhadap
segala kekuasaan dan penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari
konsep empowerment. Pola dasar dari gerakan pemberdayaan mengamanatkan
perlunya power, dan menekankan keberpihakan kepada the powerless. Gerakan ini
ingin agar semua dapat mempunyai kekuatan yang menjadi modal dasar dari
proses aktualisasi eksistensi manusia (Pranarka & Moeljarto, 1996). Pemberdayaan
tidak bisa dilepaskan dari konsep “power” yang menurut Kamus Oxford Advanced
Learner’s diartikan sebagai “ability to do or act” atau kemam-puan untuk
melakukan sesuatu atau untuk bertindak. Arti yang lain yaitu “control over others”
atau kemampuan mengontrol terhadap pihak lain.
Konsep ”pemberdayaan” atau empowerment mencakup pengertian yang
sangat luas. Pemberdayaan dari perspektif pembangunan masyarakat (community
development) dikemukakan oleh Ife (2002) yang memberikan definisi kerja
”empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”. Pemberdayaan
bertujuan untuk meningkatkan daya / kekuatan dari kelompok yang kurang
beruntung. Pernyataan ini mengandung dua konsep yaitu “power” atau daya dan
“disadvantaged” yaitu pihak yang kurang beruntung / lemah.
Konsep daya
mengacu kepada pemberian daya kepada individu atau kelompok, mendorong
mereka untuk memperoleh daya ke dalam tangannya, dan mendistribusikan daya
dari pihak yang punya kepada pihak yang tidak punya. Pemberdayaan dari segi
politik meliputi empat perspektif yaitu pluralis, elit, struktural dan post-struktural.
Perspektif pluralis menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan proses membantu
kelompok dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif
dengan kepentingan lainnya, dengan membantu mereka belajar dan menggunakan
ketrampilannya. Perspektif elit menyatakan bahwa pember-dayaan menghendaki
keberpihakan kekuatan elit kepada kelompok yang kurang beruntung. Dari
perspektif struktural, pemberdayaan bisa dicapai secara efektif hanya apabila
bentuk-bentuk ketimpangan struktural bisa diatasi. Dari perspektif post-struktural,
pemberdayaan menjadi proses mempertanyakan dan mengubah diskursus, yang
16
menekankan pengertian subyektif dan konstruksi pandangan serta menawarkan
alternatif pemikiran terhadap pemberdayaan.
Definisi pemberdayaan menurut Shardlow (1998) yang diacu dalam Adi
(2003) yaitu : “…such a definition of empowerment is centrally about people
taking control of their own lives and having the power to shape their future” .
Pemberdayaan pada prinsipnya menyangkut orang yang memiliki kontrol terhadap
kehidupannya sendiri dan memiliki daya untuk membentuk masa depannya.
Definisi pemberdayaan dari perspektif pendidikan menurut O’Brien dan Whitmore
(1989) diacu dalam Morley (1995) yaitu :
“Empowerment is an interactive process through which less powerful
people experience personal and social change, enabling them to achieve
influence over the organizations and institutions which affect their lives,
and the communities in which they live.”
Pemberdayaan adalah proses interaktif di mana orang yang kurang berdaya
mengalami perubahan secara pribadi dan sosial, yang memungkinkan mereka
memperoleh pengaruh terhadap organisasi dan institusi yang mempengaruhi
kehidupannya, dan pengaruh terhadap komunitas di mana mereka hidup.
Pemberdayaan dari perspektif psikologi sosial menurut Cornell Empowerment
Group (1989) diacu dalam Perkins dan Zimmerman (1995) didefinisikan sebagai :
”Empowerment is an intentional ongoing process centered in the local
community, involving mutual respect, critical reflection, caring, and group
participation, through which people lacking an equal share of valued
resources gain greater access to and control over those resources”
Pemberdayaan adalah suatu proses yang dirancang secara terus menerus pada
komunitas lokal yang melibatkan rasa saling menghargai, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, di mana orang-orang yang berada dalam kekurangan sumberdaya yang bernilai akan bisa memperolah akses yang lebih besar
kepada dan kontrol yang lebih tinggi terhadap sumber-sumberdaya tersebut.
Selanjutnya Perkins dan Zimmerman (1995) menekankan bahwa dengan
proses pemberdayaan masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap
kehidupannya, partisipasi yang demokratis dalam komunitasnya dan pengertian
yang lebih kritis dari lingkungannya. Teori pemberdayaan menekankan dua hal
yaitu proses dan hasil, di mana tindakan, aktivitas, atau struktur mungkin bisa
17
memberdayakan dan hasil dari proses itu adalah tingkat keberdayaan. Proses
pemberdayaan pada level individu termasuk partisipasi dalam organisasi
komunitas.
Pada level organisasi proses pemberdayaan meliputi pengambilan
keputusan kolektif dan kepemimpinan. Proses pemberdayaan pada level komunitas
bisa meliputi tindakan kolektif untuk mengakses pemerintah dan sumberdaya
komunitas lainnya.
Menurut Horvath (1999) pemberdayaan mengacu pada proses di mana
orang, organisasi, dan komunitas memperoleh penguasaan terhadap kehidupannya.
Pemberdayaan menjadi bukti melalui kekuatan sosial pada level individu,
organisasi dan komunitas. Pada level individu, pemberdayaan adalah kebebasan
seseorang untuk memutuskan tujuan apa yang harus diraih dan kapasitas untuk
meraihnya tanpa mendapatkan frustasi.
Pemberdayaan berhubungan dengan
perasaan kemampuan untuk mengubah situasi dengan pengharapan hasil yang
positif dari usaha yang dilakukan.
Pemberdayaan dari perspektif psikologis
merupakan hubungan antara perasaan kompetensi diri, kehendak untuk, dan
kemauan untuk mengambil tindakan sosial. Hal ini merupakan konsep yang lebih
sempit dari pemberdayaan karena efek atau dampaknya belum terjadi.
Pemberdayaan
dari
segi
psikologis
dapat
menjadi
pemberdayaan
yang
sesungguhnya ketika tersedia dukungan lingkungan.
Wong (2003) membahas konsep pemberdayaan ekonomi yang dilakukan
oleh Bank Dunia sebagai solusi mengatasi masalah kemiskinan. Dengan
menggunakan pendekatan model feminist, Wong menguraikan daya
sebagai konsep yang relasional atau saling berhubungan.
(power)
Model feminist
menekankan multi dimensi dari daya pada berbagai level yaitu individu, kelompok,
regional, nasional dan internasional. Kerangka pendekatan feminist menyarankan
empat dimensi daya yaitu : daya dari dalam (power from within), daya kepada
(power to), daya dengan (power with), dan daya terhadap (power over). Empat
dimensi dari daya ini juga sejalan dengan uraian Chambers (2004) yang
mengaitkan empat dimensi daya dalam konteks pembangunan. Daya dari dalam
(power from within) juga dikenal sebagai daya personal. Daya ini berkaitan dengan
daya psikologis dalam benak orang dan memfokuskan kepada perasaan diri,
18
misalnya kepercayaan diri, harga diri, dan respek diri. Komponen-komponen daya
internal ini meliputi pengakuan identitas, pengembangan nilai diri, pengembangan
penerimaan diri, dan pengembangan saling percaya (trust) menurut pengetahuan
individu. Tujuan utamanya untuk mengem-bangkan kemampuan mengatasi tekanan
internal. Daya kepada (power to) mengacu pada kapasitas untuk mengambil
tindakan. Daya ini menekankan kapasitas generatif produktif dari individu, dan
memiliki tiga tujuan yang saling berkaitan yaitu dimaksudkan sebagai pembebasan,
partisipasi, dan memobilisasi perubahan. Daya dengan (power with) menekankan
pada dorongan kolektif di mana orang bekerjasama satu sama lain untuk
memecahkan masalah dan mencapai tujuan, yang bisa dilakukan melalui tindakan
bekerjasama/kolaborasi, rasa solidaritas dan tindakan kolektif.
Daya ini juga
menyangkut pengembangan kapasitas, jaringan sosial dan kekuatan organisasi.
Daya ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa secara berkelompok bisa
dilakukan walaupun secara individu tidak bisa. Daya terhadap (power over)
merupakan kekuatan bertahan atau kekuatan untuk mengontrol. Daya ini bisa
negatif karena melawan seseoarang atau suatu kelompok untuk melakukan sesuatu
melawan keinginannya. Akan tetapi daya ini juga bisa positif sebab melampaui
kondisi dominan dan struktur yang tidak sama.
Menurut Ashman dan Kay (2000) dari perspektif pekerjaan sosial, pemberdayaan merupakan proses membantu individu, keluarga, kelompok, dan komunitas
untuk meningkatkan aspek personal, interpersonal, sosioekonomi, dan kekuatan
politik mereka serta untuk mengembangkan pengaruh terhadap perbaikan
kehidupan-nya.
Pekerja sosial tidak menyerahkan daya kepada orang, tetapi
mereka membantu orang lain untuk membuat pilihan sehingga memberikan kontrol
yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapinya, sehingga memperbaiki
kualitas hidupnya. Pekerja sosial membantu orang menjadi berdaya dalam dua
jalan, yaitu dengan pencapaian pemberdayaan personal dan pemberdayaan sosial.
Orang memiliki keberdayaan personal ketika mereka mampu secara langsung
mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupannya. Sedangkan keberdayaan sosial
adalah kondisi di dalam lingkungan sosial di mana orang memiliki akses terhadap
kesempatan dan sumberdaya untuk membuat pilihan pribadi dan untuk memelihara
19
kontrol terhadap lingkungannya. Keberdayaan personal akan terbatas apabila orang
tidak memiliki keberdayaan sosial.
Model teoretis pemberdayaan psikologis (psychological empowerment)
mencakup komponen intra-personal, interaksional, dan komponen perilaku.
Komponen intrapersonal pemberdayaan mengacu kepada bagaimana orang berpikir
tentang kapasitasnya untuk mempengaruhi sistem sosial dan politik yang penting
bagi mereka. Hal ini merupakan persepsi diri yang termasuk domain persepsi
kontrol yang spesifik, efikasi diri, motivasi untuk melakukan kontrol dan persepsi
terhadap kompetensi. Komponen interaksional dari pemberdayaan mengacu kepada
transaksi antara individu dengan lingkungannya yang memungkinkan individu
untuk menguasai sistem sosial dan sistem politik. Hal ini temasuk pengetahuan
tentang sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, pengertian terhadap
agen penyebab, pengertian yang kritis terhadap lingkungannya, pengembangan
ketrampilan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang di-perlukan
untuk merespon lingkungannya. Komponen perilaku mengacu kepada aksi spesifik
yang diambil individu untuk menampilkan pengaruh terhadap lingkungan sosial
dan politik melalui partisipasi dalam organisasi dan kegiatan komunitas
(Zimmerman et al., 1993 dan Zimmerman, 1995).
Pemberdayaan psikologis mengacu kepada pemberdayaan pada tingkat
analisis individu. Konstruk pemberdayaan psikologis ini mencakup persepsi
tentang kontrol personal, pendekatan yang proaktif terhadap kehidupan, dan
pemahaman yang kritis terhadap lingkungan sosio politiknya (Zimmerman, 1995).
Proses Pemberdayaan
Menurut Adi (2002) pemberdayaan bisa dilihat sebagai program ataupun
sebagai proses. Pemberdayaan sebagai program dilihat dalam tahapan-tahapan
kegiatan guna mencapai tujuan yang biasanya sudah ditentukan jangka waktunya.
Sedangkan pemberdayaan sebagai proses yaitu kegiatan yang berkesinambungan
sepanjang hidup seseorang. Pemberdayaan individu sebagai proses yang relatif
terus berjalan sepanjang usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu
tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja. Demikian
20
pula dalam komunitas, proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas
itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan mereka sendiri.
Menurut Suharto (2005) proses pemberdayaan pada umumnya dilakukan
secara kolektif. Namun demikian tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat
dilakukan melalui kolektivitas. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan
dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan yaitu aras mikro, aras
mezzo dan aras makro. Pemberdayaan pada aras mikro dilakukan terhadap klien
secara individu. Pemberdayaan pada aras mezzo dilakukan terhadap sekelompok
klien atau melalui media kelompok sebagai media intervensi. Pada aras makro,
pemberdayaan dilakukan pada sistem lingkungan yang lebih luas.
Dalam penelitiannya tentang manajemen publik di India, Kilby (2004)
menekankan pentingnya pendekatan proses pemberdayaan dibandingkan orientasi
terhadap hasil suatu program. Hal ini dimaksudkan agar kelompok sasaran program
pemberdayaan bisa memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya.
Pemberdayaan menyangkut pilihan, pengambilan keputusan dan kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain.
Pemberdayaan menyangkut orang yang memiliki
pilihan-pilihan yang luas, dan mempunyai tingkat keterlibatan dan kontrol yang
lebih besar terhadap seluruh bagian kehidupan keluarga dan komunitasnya. Hal ini
sangat berbeda dengan pengalaman pembangunan di India pada masa lalu yang
mengutamakan pada hasil, ternyata bertolak belakang dengan tujuan pemberdayaan
karena justru menghasilkan ketidakberdayaan.
Penelitian Sidu (2006) menunjukkan bahwa proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi masih sangat lemah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan,
kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemah/rendah.
Proses pemberdayaan yang masih lemah tersebut terutama dalam hal keterlibatan
warga masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi program
pemberdayaan yang belum optimal.
Strategi Pemberdayaan
21
Pengembangan model pemberdayaan dalam strategi pemberdayaan yang
berbasis komunitas, menurut Ife (2002) terdiri dari tujuh jenis daya yang saling
berinteraksi yaitu :
(1) Daya terhadap pilihan personal dan kesempatan hidup, yang menyangkut daya
untuk membuat keputusan yang menyangkut kehidupannya.
(2) Daya terhadap definisi kebutuhan, yaitu menyangkut daya untuk merumuskan
kebutuhan mereka sendiri yang menghendaki pengetahuan dan keahlian yang
relevan sehingga memerlukan pendidikan dan akses terhadap informasi.
(3) Daya terhadap ide-ide, yang menyangkut daya untuk berpikir secara mandiri
dan
mengungkapkan
idenya,
dan
kapasitas
untuk
berdialog
serta
menyumbangkan idenya pada budaya publik.
(4) Daya terhadap institusi sosial, yang menyangkut perubahan institusi agar
menjadi lebih bisa diakses, responsif dan bisa dipertanggungjawabkan kepada
seluruh lapisan.
(5) Daya terhadap sumber-sumber daya, yang menyangkut memaksimalkan daya
efektif orang terhadap distribusi dan penggunaan sumberdaya, dan mengurangi
ketidakadilan akses terhadap sumberdaya.
(6) Daya terhadap aktivitas ekonomi, yang menyangkut kemampuan untuk
mempunyai kontrol dan akses terhadap mekanisme produksi, distribusi dan
pertukaran.
(7) Daya terhadap reproduksi, yang menyangkut proses reproduksi kepada generasi
selanjutnya dalam aspek biologis, sosial, ekonomi dan politik.
Tingkat Keberdayaan
Keberdayaan merupakan hasil proses pemberdayaan terhadap subyek
individu, kelompok atau masyarakat. Berbagai riset tentang pemberdayaan
mengindikasikan beberapa konstruk yaitu penguasaan dan kontrol, mobilisasi
sumberdaya, konteks sosio politik, dan partisipasi. Hasil pemberdayaan tingkat
individu bisa berupa persepsi kontrol terhadap situasi tertentu dan ketrampilan
mobilisasi sumberdaya. Hasil pemberdayaan organisasi bisa berupa pengembangan
jaringan organisasi, pertumbuhan organisasi dan daya ungkit kebijakan.
Hasil
pemberdayaan tingkat komunitas meliputi adanya pluraslime, adanya koalisi, dan
22
sumberdaya komunitas yang bisa diakses. Pada level komunitas, pemberdayaan
mengacu kepada tindakan kolektif untuk memperbaiki kualitas kehidupan dalam
masyarakat dan terhadap hubungan di antara organisasi-organisasi sosial.
Masyarakat yang berdaya bukan hanya kumpulan individu yang berdaya
(Zimmerman, 1995; Perkins & Zimmerman, 1995).
Menurut Suharto (2005) keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat
dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi,
kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan
politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan
(keberdayaan), yaitu kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power
to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan dengan (power with). Indikatorindikator dari keberdayaan dengan demikian yaitu : (1) kebebasan melakukan
mobilitas, (2) kemampuan membeli komoditas kecil, (3) kemampuan membeli
komoditas besar, (4) kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah
tangga, (5) kebebasan relatif dari dominasi keluarga, (6) kesadaran hukum dan
politik, (7) keterlibatan dalam kampanye dan protes, dan (8) kepemilikan atas
jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga.
Hasil kajian Javan (1998) terhadap komunitas di Charlotte, North Carolina
menyimpulkan
bahwa
tingkat
keberdayaan
menurut
persepsi
komunitas
merupakan konstruk yang multi-peubah dan terdiri dari tiga komponen yaitu (1)
manajemen komunitas (tingkat kapasitas komunitas untuk mengelola keperluannya
secara efektif), (2) partisipasi komunitas (tingkat partisipasi komunitas pada
kegiatan yang diselenggarakan berbagai pihak), dan (3) perasaan terhadap
komunitas (perasaan memiliki dan menjadi bagian komunitas). Terdapat hubungan
yang yang nyata dan positif antara faktor pengembangan sosial ekonomi terhadap
komunitas dengan persepsi terhadap keberdayaan komunitas. Selanjutnya faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap persepsi pemberdayaan bagi komunitas yaitu
faktor budaya, politik, sejarah, geografis dan biologis.
Berdasarkan penelitian Panda (2000) tentang pemberdayaan wanita melalui
program manajemen sumberdaya alam (lahan, daerah aliran sungai, kehutanan dan
sumberdaya air) pada dua desa di India, diperoleh hasil bahwa tingkat keberdayaan
23
mereka berada pada level cukup sampai sedang. Panda menggunakan lima peubah
untuk mengukur tingkat keberdayaan yaitu : (1) daya/kekuatan yang meliputi
kemampuan-kemampuan untuk : membuat keputusan rumah tangga, mengontrol
sumberdaya, mengontrol sumber kekuatan, dan mengatasi hubungan kekuasaan;
(2) otonomi dan kemandirian yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk :
bertindak secara bebas, memiliki kesadaran kritis untuk bertindak secara efektif dan
efisien, memiliki percaya diri, dan memiliki visi ke depan; (3) hak (entitlement)
yang meliputi hak memiliki sumberdaya secara adil, dan hak untuk mengakses
sumberdaya secara adil;
(4) partisipasi yang meliputi kemampuan-kemampuan
untuk : mempengaruhi keputusan, menyediakan sumberdaya untuk proyek, dan
menerima tanggungjawab dan bertindak secara bebas, dan (5) kepedulian dan
pengembangan kapasitas yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk :
melakukan aktivitas ekonomi, melakukan kegiatan sosial, dan melakukan kegiatan
politik.
Salah satu bentuk tingkat keberdayaan petani yaitu “kemandirian” petani.
Menurut Sumardjo (1999) tingkat kemandirian petani yaitu kualitas sumber daya
manusia petani berupa tingkat kesiapan petani dalam menghadapi dan mendukung
pembangunan pertanian berkelanjutan atau dengan kata lain tingkat kemandirian
petani menghadapi era globalisasi.
Kemandirian petani diukur melalui aspek
kognitif, afektif dan psikomotorik terhadap modernitas petani, efisiensi, dan daya
saing petani.
Hasil penelitian Sumardjo menunjukkan bahwa faktor-faktor
eksternal petani selengkapnya yang terbukti secara nyata berpengaruh terhadap
tingkat kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling nyata : (1)
aksesibilitas petani terhadap input usaha tani; (2) aksesibilitas petani terhadap
pasar; (3) kualitas penyuluhan; (4) aksesibilitas petani terhadap sumberdaya
informasi / inovasi; (5) lingkungan fisik sumber daya alam; (6) penetrasi produk
lain ke dalam kebutuhan rumah tangga petani; (7) desakan perkembangan sektor di
luar pertanian terhadap sektor pertanian dan pedesaan; dan (8) implementasi
kebijakan pembangunan pertanian setempat. Sejumlah faktor internal juga terbukti
secara nyata berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani, secara berturut-turut
dari yang paling nyata : (1) ciri-ciri perilaku komunikasi petani yang relatif terbuka;
24
(2) kualitas kepribadian petani; (3) status sosial ekonomi petani; (4) motivasi
ekstrinsik yang ada pada petani; dan (5) motivasi intrinsik petani yang
bersangkutan.
Menurut Agussabti (2002) yang mengkaji kemandirian petani dalam
pengambilan keputusan adopsi inovasi (kasus pada petani sayuran di Jawa Barat)
ditemukan bahwa terdapat tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi
kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi yaitu : (1) tingkat
kesadaran petani terhadap kebutuhannya; (2) karakteristik individu petani yang
meliputi : motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian mengambil
resiko, serta kreativitas; dan (3) akses petani terhadap informasi.
Dalam konteks pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan pihak
pemerintah, hasil penelitian Bhattacharya dan Basnyat (2003) tentang Joint Forest
Management (JFM) di India menunjukkan bahwa program tersebut ditujukan untuk
pemberdayaan komunitas sekitar hutan baik secara sosial maupun ekonomi.
Berdasarkan perspektif komunitas, hasil pemberdayaan merupakan kemampuan
untuk membuat keputusan-keputusan tanpa dukungan atau pengaruh dari pihak lain
dan juga mempunyai pendapatan yang memadai untuk keberlanjutan kehidupannya
melalui program pengelolaan hutan bersama. Keberdayaan mencakup empat
dimensi pemberdayaan yaitu individu, sosial, politik dan ekonomi. Salah satu
faktor penting pemberdayaan yaitu pengembangan kapasitas masyarakat setempat.
Hasil-hasil Penelitian Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Indonesia
Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Propinsi Jawa Tengah (2006),
diperoleh gambaran bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan
hutan di Jawa Tengah rata-rata masih rendah.
Rendahnya kesejahteraan
masyarakat tidak terlepas dari rendahnya keterampilan masyarakat untuk
melakukan usaha ekonomi produktif yang tidak bersinggungan dengan kawasan
hutan, sehingga alternatif yang ditempuh yaitu melakukan tekanan terhadap hutan
untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Untuk memecahkan persoalan
tersebut perlu dilakukan upaya-upaya pemberdayaan usaha alternatif masyarakat
serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan
25
kawasan hutan yang memungkinkan untuk usaha ekonomi produktif. Kesejahteraan
masyarakat
sekitar
hutan
merupakan
kunci
keberhasilan
dalam
upaya
menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab mengelola dan melestarikan hutan.
Senada dengan hal tersebut, Sidu (2006) yang meneliti tentang
pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi di Kabupaten
Muna, juga memperoleh kesimpulan bahwa tingkat keberdayaan masyarakat sekitar
kawasan hutan lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata
oleh rendahnya proses pemberdayaan dan kurang tersedianya modal fisik. Tingkat
keberdayaan warga masyarakat yang rendah tersebut terutama terkait dengan masih
rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan warga masyarakat dalam
memahami dan mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki, sumbersumber daya produktif, penggunaan teknologi baru, mencari dan memanfaatkan
informasi dan peluang usaha baru. Selanjutnya perpaduan faktor-faktor yang secara
nyata mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan,
modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia
merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar kawasan hutan
lindung Jompi. Jalur efektif dalam meningkatkan keberdayaan warga masyarakat
sekitar kawasan hutan lindung Jompi adalah dengan memperbaiki proses
pemberdayaan yang didukung oleh kemampuan pelaku pemberdayaan dan
ketersediaan modal fisik yang memadai.
Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lainnya
dilakukan oleh Pardosi (2005) di Kalimantan Timur yang menyimpulkan bahwa
peladang berpindah (PB) mengalami kekurangberdayaan dan disebabkan oleh : (a)
pendidikan dan jumlah penghasilan yang rendah; (b) desakan penggunaan lahan
perladangan dari perusahaan dan ketiadaan hasil hutan non kayu; (c) tidak adanya
alternatif usaha baru; (d) kebutuhan yang diperlukan berkaitan dengan usaha
perladangan yang kurang terpenuhi; (e) kemampuan peladang berpindah
menggunakan kelembagaan sosial, ekonomi, adat dan politik yang rendah; (f)
infrastruktur yang buruk; dan (g) penyuluhan yang sudah dilaksanakan masih
buruk.
Faktor-faktor determinan peningkatan keberdayaan peladang berpindah
adalah (a) kualitas sumber daya pribadi PB; (b) kekuatan motivasi PB; (c) tingkat
26
pemenuhan PB; (d) kualitas pendukung PB; (e) kualitas lingkungan eksternal PB;
dan (f) kualitas penyuluhan memberdayakan PB.
Menurut Santosa (2004) yang melakukan penelitian terhadap petani tepian
hutan pada hutan rakyat dan hutan adat (di Propinsi Sumatera Utara) serta hutan
negara (di Propinsi Jawa Tengah), ditemukan lebih dari setengah petani tepian
hutan masih berperilaku non adaptif dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap
hutan. Hal tersebut menyiratkan pemahaman dan kemampuan petani tepian hutan
secara umum tergolong rendah ditinjau dari kemampuan memenuhi kebutuhan
pokok dan kesadaran pentingnya fungsi pelestarian sumberdaya hutan. Ditemukan
pula lingkungan sosial mempunyai pengaruh besar dan positif terhadap perilaku
adaptif.
Selain itu ditemukan adanya hubungan yang positif dan kuat antara
perilaku adaptif dengan tingkat kesejahteraan petani.
Pemberdayaan dan Penyuluhan
Dari perspektif penyuluhan pembangunan, Slamet (2003a) berpendapat
bahwa pemberdayaan masyarakat adalah ungkapan lain dari tujuan penyuluhan
pembangunan. Pengertian pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana membuat
masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, mampu membangun/memperbaiki
kehidupannya sendiri,
atau masyarakat yang mampu meningkatkan kualitas
hidupnya secara mandiri, tidak tergantung dari ”belas kasih” pihak lain. Mampu
dalam hal ini berarti berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan,
melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama,
tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko,
mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi.
Menurut Black (2000) terdapat empat strategi utama atau model dalam
penyuluhan pertanian yaitu model linier ’top-down’ transfer teknologi,
model
pendekatan partisipatif ’bottom-up’, model menasehati satu lawan satu atau tukar
menukar informasi, dan model formal atau pendidikan dan pelatihan secara
terstruktur. Disimpulkan bahwa tidak ada model yang mencukupi kalau digunakan
secara sendiri. Perlu mempertimbangkan berbagai strategi dalam pelaksanaannya.
Apabila dilihat dalam spektrum antara peningkatan level ketrampilan individu
27
sebagai sumbu vertikal dan peningkatan kompleksitas situasi pada sumbu
horisontal,
maka ketika situasi menjadi lebih kompleks, penekanan dalam
penyuluhan harus lebih menekankan kepada pemberdayaan orang dan kelompok
untuk menggunakan proses yang berkelanjutan dari eksperimen, pembelajaran dan
pengembangan sumberdaya manusia. Penekanan terhadap pemberdayaan individu
dan kelompok digunakan untuk mencapai pembelajaran yang mandiri dan kreatif
untuk mencapai tujuannya.
Konsep Komunitas dan Masyarakat
Berdasarkan kajian pustaka tentang konsep komunitas dan masyarakat dari
Sanders (1958), Ross & Lapin (1967), Wileden (1970), Tonnies (1974), Carry
(1976), Haggstorm (1976), Warren (1977), dan Lewis (1979) maka bisa ditarik
kesimpulan bahwa makna konsep komunitas (community) adalah sekelompok
orang yang tinggal pada suatu wilayah spasial / geografi tertentu di mana mereka
saling berbagi kepentingan atau fungsi yang sama, dan merupakan suatu sistem
sosial yang saling tergantung, mereka saling berinteraksi dan melakukan aksi
secara kolektif dalam proses sosial yang dijalaninya.
Sedangkan konsep
masyarakat bisa dipandang sebagai suatu komunitas yang telah memiliki
pembagian peran dan fungsi secara lebih jelas, dan para anggotanya lebih
terspesialisasi. Dalam konsep masyarakat,
sumberdaya publik cenderung
berkurang, dan hubungan antar individu lebih dikarenakan adanya kepentingan
tertentu. Dalam konteks penelitian ini penulis lebih memilih menggunakan istilah
“masyarakat sekitar hutan” walaupun sebenarnya karakteristik “komunitas” lebih
mendekati kondisi yang ada saat ini.
Hal ini karena pertimbangan istilah
“masyarakat” lebih umum digunakan dalam berbagai kebijakan dan peraturan
bidang kehutanan. Kajian pustaka terhadap konsep komunitas dan masyarakat
dilakukan dengan paparan mengenai konsep komunitas, karakteristik komunitas,
modal sosial dalam komunitas, perubahan sosial individu pada komunitas,
pengembangan masyarakat, konsep komunitas vs masyarakat, dan uraian tentang
masyarakat sekitar hutan.
Konsep Komunitas (community)
28
Menurut Carry (1976) konsep komunitas mengacu pada orang-orang yang
tinggal dalam suatu hubungan spasial satu sama lain dan mereka saling berbagi
kepentingan dan nilai-nilai. Komunitas dalam hal ini merupakan suatu unit aksi
dan arena dari suatu proses. Warren (1977) lebih menekankan komunitas sebagai
sekelompok orang dengan perasaan bersama atau memiliki basis interaksi bersama.
Komunitas berdasarkan pendekatan ekologi merupakan sekelompok orang yang
berbagi tempat / ruang bersama-sama. Orang-orang terikat dalam kebersamaan
bukan karena perasaan bersama, tetapi karena pertimbangan keperluannya dan
saling bekerjasama melalui keterkaitan yang disebabkan pembagian kerja. Namun
pada saat yang sama saling berkompetisi memenuhi kebutuhan dalam sumberdaya
yang terbatas. Komunitas juga dipandang dari perspektif sebagai sistem sosial
yang terbuka, yang terus-menerus menerima input dari lingkungan dan
memberikan output kepada lingkungan yang lebih luas.
Definisi komunitas (community) menurut Wileden (1970) yaitu :
“A rural community consists of the people in a local area tributary to the
center of their common interests. The community is the smallest
geographycal unit of organized association of the chief human activities”.
Komunitas pedesaan terdiri dari orang-orang pada wilayah lokal yang terikat
kepada pusat-pusat kepentingan bersama.
Komunitas merupakan unit geografi
terkecil dari asosiasi yang terorganisir dari aktifitas manusia.
Definisi komunitas (community) menurut Ross dan Lappin (1967) mengacu
kepada dua kelompok orang yaitu : (1) sekelompok orang dalam suatu wilayah
geografis tertentu yang spesifik. Organisasi komunitas biasanya dilakukan kepada
komunitas dalam lingkungan geografis yang sempit. (2). Sekelompok orang yang
berbagi kepentingan atau fungsi yang sama misalnya kesejahteraan, pertanian,
pendidikan, dan agama.
Menurut Ndraha (1990) yang mendasarkan pada
perspektif ilmu pembangunan masyarakat, konsep komunitas juga memiliki dua
arti yaitu : (1) sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu,
memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama; dan (2) sebagai satuan pemukiman
yang terkecil.
29
Haggstrom (1976) memandang bahwa komunitas tampak dalam dua bentuk.
Pertama komunitas sebagai obyek merupakan sistem yang saling tergantung antara
ketetanggaan,
pekerjaan
dari
organisasi
birokrasi,
kelompok-kelompok
kepentingan, partai politik dan sub sistem lainnya yang terikat bersama oleh prosesproses misalnya transportasi, komunikasi, dan sirkulasi uang. Kedua, komunitas
kelihatan sebagai suatu komunitas yang bertindak,
yaitu sebuah entitas yang
menghendaki aksi secara kolektif dan memulai satu atau lebih perjalanan proses
sosial.
Menurut Sanders (1958) komunitas (community) bisa dipandang sebagai
sebuah tempat, sebagai sebuah pekerjaan dan pusat pelayanan, sebagai sebuah
arena interaksi dan sebagai sebuah sistem sosial.
Komunitas sebagai tempat
ditandai dengan kenampakan fisiknya, yaitu pola tempat tinggal, kompetisi ruang
dan adanya batas dari komunitas itu. Komunitas sebagai pusat pelayanan bagi
orang-orang merupakan tempat di mana orang bekerja untuk kehidupannya.
Komunitas sebagai suatu tempat di mana para aktor dari berbagai kelompok umur,
ras, etnik, dan jenis kelamin saling berinteraksi, dengan ciri utama unsur lokalitas
mampu memenuhi kebanyakan kebutuhan anggotanya. Komunitas sebagai sistem
sosial merupakan perpaduan dari unsur-unsur yaitu ekologi / lingkungan alamiah;
demografi / kependudukan; budaya yang meliputi nilai-nilai, tradisi, norma-norma
dan sistem kepercayaan; kepribadian yang meliputi sikap dan motivasi; serta
unsur waktu.
Menurut Lewis (1979)
dalam pandangan bidang Ilmu Geografi Sosial
terdapat dua pendekatan utama terhadap konsep komunitas. Pertama, pendekatan
sistem ekologi di mana struktur komunitas muncul dalam bentuk spasial dan
temporal. Populasi dalam komunitas bisa memenuhi kebutuhan dari sebagian besar
komponennya dan berbeda dengan sistem lainnya. Tujuan ekologi manusia yaitu
untuk menyelidiki proses-proses bagaimana keseimbangan biotik (biotic balance)
dan keseimbangan sosial (social equillibrium) bisa tercapai. Pendekatan demikian
mengandung dua penjelasan tentang kehidupan komunitas yaitu : (a) aspek a biotik
atau sub sosial yang berdasarkan proses-proses kompetisi, invasi dan suksesi. (b)
aspek sosial budaya yang berdasarkan kerjasama dan hubungan komensalistik.
30
Kedua, pendekatan komunitas dari segi sosio-geografis, yang berpandangan
komunitas sebagai sebuah sistem sosial,
yaitu sebagai sebuah sistem spasial
terkecil yang masih mencakup ciri utama dari masyarakat (society). Untuk
menganalisis sistem sosial bisa melalui dua pendekatan yaitu :
(a) Pendekatan aksi kolektif memandang komunitas sebagai tempat di mana
terdapat ikatan budaya dan psikologis tertentu di antara anggota-anggotanya
yang muncul dalam keberadaan tujuan lokal dan penciptaan motivasi bersama
terhadap tujuan.
(b) Pendekatan kedua yang memandang komunitas sebagai sistem sosial lebih
menekankan pendekatan kelompok sosial. Dalam pandangan ini komunitas
merupakan tempat di mana individu saling berinteraksi dan menerima porsi
yang lebih besar dari kebutuhan fisikal, psikologikal, dan sosiologikalnya.
Pende-katan dalam analisis komunitas terutama
menekankan tentang
identifikasi bentuk interaksi yang mengintegrasikan individu ke dalam
komunitas dan tahapan-tahapan yang dilaluinya.
Elemen-elemen Pokok Komunitas
Analisis komunitas memerlukan pengetahuan mengenai elemen-elemen
penyusunnya. Boyle (1981) mengidentifikasi elemen-elemen utama yang
menyusun komunitas yaitu :
(1) Elemen budaya yang meliputi bahasa, peran dan status memberikan pengaruh
terhadap individu dalam memberikan makna terhadap lingkungannya.
(2) Elemen sosial yang meliputi komposisi dan distribusi populasi, kelas sosial,
proses sosial, komunikasi, dan perubahan sosial yang akan berpengaruh dalam
penentuan dinamika dan perilaku sosial untuk identifikasi kebutuhan dan
permasalahan komunitas.
(3) Elemen psikologis yang meliputi motivasi, kebutuhan dan konsep diri yang
berpengaruh terhadap tindakan individu. Persepsi dan sikap juga berpengaruh
pada implikasi program terhadap kehidupan individu.
31
(4) Elemen ekonomi meliputi produksi dan jasa yang terkait dengan setiap fase
pembangunan komunitas akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi setiap
komunitas.
(5) Elemen politik meliputi struktur kekuasaan, pengambilan keputusan, manajemen, dan sistem hukum akan berpengaruh terhadap implementasi program
menuju perubahan sesuai tujuannya.
(6) Elemen lingkungan meliputi aspek fisik (lahan dan ruang), aspek teknologi, dan
aspek ekologis dari sumber-sumberdaya akan berpengaruh dalam pelaksanaan
program untuk memenuhi kebutuhan komunitas.
Karakteristik Komunitas
Menurut Ife (2002) komunitas dipahami sebagai suatu bentuk organisasi
sosial yang memiliki lima karakteristik yaitu :
(1) Skala kemanusiaan. Komunitas menyangkut interaksi pada skala yang bisa
dikontrol dan digunakan oleh individu. Orang saling tahu satu sama lain dan
interaksi bisa dilakukan satu sama lain.
(2) Identitas dan kepemilikan. Dalam komunitas anggotanya memiliki rasa saling
memiliki, bisa diterima dan dihargai dalam kelompok serta ada kepatuhan
terhadap tujuan kelompok.
(3) Kewajiban. Komunitas menghendaki kewajiban tertentu terhadap anggotanya,
yaitu harapan bahwa orang akan berkontribusi dengan berpartisipasi aktif dalam
kehidupan dan pemeliharaan kegiatan komunitas.
(4) Paguyuban (Gemeinschaft). Komunitas memungkinkan orang berinteraksi satu
sama lain dalam berbagai peran yang luas, dan mendorong interaksi terhadap
orang lain secara keseluruhan, bukan hanya dalam peran dan kategori yang
terbatas.
(5) Budaya. Di dalam komunitas, orang akan menjadi penghasil yang aktif dari
budayanya, di mana ekspresi budaya lokal berbasis komunitas sangat dihargai.
Pemahaman konsep komunitas berbeda-beda sesuai teori yang digunakan
dalam pendekatan studi yang bersangkutan. Berdasarkan pandangan antropologi,
menurut Redfield (1963) diacu dalam Ndraha (1990) memandang komunitas
32
sebagai realitas sosial yang diidentifikasikan sebagai pemukiman kecil penduduk,
bersifat mandiri (self contained) dan yang satu berbeda dengan yang lainnya.
Karakteristik komunitas bisa diuraikan sebagai berikut :
(1) Komunitas memiliki kesadaran kelompok yang kuat.
(2) Komunitas tidak terlalu besar sehingga setiap anggota berkesempatan mengenal
secara pribadi satu sama lain, tetapi tidak terlalu kecil sehingga mereka dapat
melakukan usaha secara efisien.
(3) Komunitas bersifat homogen.
(4) Komunitas bersifat hidup mandiri (self-sufficient).
Modal Sosial dalam Komunitas
Upaya pemberdayaan terhadap individu dalam komunitas manusia yang
hidup pada tempat tertentu sangat terkait dengan konsep modal sosial (social
capital). Menurut Fukuyama (2000), modal sosial didefinisikan secara sederhana
sebagai seperangkat nilai-nilai atau norma-norma informal yang telah digunakan
dan menjadi bagian dari anggota kelompok tersebut sehingga bisa mendorong
kerjasama diantara mereka. Jika anggota mengharapkan untuk berperilaku jujur
dan bisa diandalkan, maka mereka bisa saling percaya (trust) satu sama lain.
Saling percaya ini merupakan semacam perekat yang membuat suatu kelompok
atau organisasi lebih efisien.
Sebuah masyarakat terdiri dari sejumlah institusi, hubungan-hubungan yang
tercipta, sikap dan nilai yang membimbing interaksi di antara orang-orang dan
memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosial
merupakan semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat itu.
Dalam modal sosial dibutuhkan adanya nilai saling berbagi, serta pengorganisasian
peran-peran yang diekspresikan dalam hubungan personal, kepercayaan (trust), dan
tanggungjawab bersama sehingga suatu komunitas lebih dari sekumpulan individu
(The World Bank 1998, diacu dalam Syahyuti 2006).
Konsep modal sosial didefinisikan sebagai varian entitas, terdiri dari
beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah
dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial
33
inheren dalam struktur relasi antar individu. Struktur relasi dan jaringan inilah
yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling
percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma dan sangsi
sosial bagi para anggotanya (Coleman 1990, diacu dalam Hasbullah 2006).
Hasbullah (2006) mengkaji konsep awal pemikiran modal sosial sampai
pada konsep modern modal sosial. Modal sosial pada awal pemikirannya bermula
dari Adam Smith pada abad 18 yang memasukkan unsur ”social contract” dalam
kajian ekonominya. Kontrak sosial memiliki unsur penting meliputi karakteristik
jaringan sosial, pola-pola imbal balik, dan kewajiban bersama. Kajian modal sosial
selanjutnya yaitu bagaimana dalam suatu unit sosial terjadi pola-pola hubungan
timbal balik yang didasari oleh prinsip kebajikan bersama (social virtues), simpati
dan empati (altruism) serta tingkat kohesivitas hubungan antar individu dalam
suatu kelompok (social cohesivity). Konsep modern modal sosial pada prinsipnya
memandang modal sosial sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru.
Sumber daya adalah sesuatu yang bisa digunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan
diinvestasikan. Sumberdaya untuk investasi disebut modal. Modal sosial cukup
luas dan kompleks. Modal sosial lebih menekankan kepada potensi kelompok dan
pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan
ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai dan kepercayaan antar sesama
yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.
Selanjutnya Hasbullah (2006) menguraikan beberapa unsur pokok dalam
modal sosial yang menekankan pada kemampuan masyarakat dalam suatu
kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Unsur-unsur pokok modal sosial
tersebut yaitu : (1) partisipasi dalam suatu jaringan hubungan sosial; (2) saling
tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok dalam nuansa altruisme atau
semangat saling membantu dan mementingkan kepentingan orang lain; (3) rasa
saling percaya (trust) yaitu suatu bentuk keinginan mengambil resiko dalam
hubungan sosialnya didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan
seperti yang diharapkan;
(4) norma sosial yaitu sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi oleh anggota masyarakat pada entitas sosial tertentu; (5) nilainilai yaitu sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh
34
anggota kelompok masyarakat; dan (6) tindakan yang proaktif yaitu keinginan yang
kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi mencari jalan bagi
keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat.
Perubahan Sosial dari Individu dalam Komunitas
Menurut Lewis (1979) konsep perubahan sosial pada skala individu bisa
didefinisikan sebagai proses di mana individu berubah dari cara hidup tradisional
ke dalam cara hidup yang lebih kompleks, bersentuhan dengan teknologi yang
semakin pesat, dan gaya hidup yang berubah secara cepat. Selanjutnya Rogers dan
Burdge (Lewis, 1979) mengidentifikasi perubahan sosial dan membandingkan
antara norma tradisional dan modern dalam komunitas (Tabel 1.)
Tabel 1. Norma tradisional dan modern dalam komunitas
Modern community
Traditional community
Sikap positif terhadap perubahan
Kurangnya sikap yang mendukung
perubahan
Teknologi berkembang
Teknologi lebih sederhana
Tingkat pendidikan dan keilmuan tinggi
Tingkat pendidikan dan keilmuan serta
kemampuan membaca rendah
Kosmopolitan : interaksi dengan orang luar
tinggi
Sedikit komunikasi dengan orang luar
Empati : kemampuan melihat dirinya dalam
peran orang lain
Kemampuan empati rendah
After : Rogers and Burdge : Social Change in Rural Societies. Prentice Hall. 1972. p 15
Pengembangan Masyarakat dan Prinsip-prinsipnya
Menurut Ross dan Lappin (1967), pekerjaan yang terkait dengan komunitas
memiliki tiga kelompok besar yaitu pengembangan komunitas (community
development), organisasi komunitas (community organization) dan hubungan
komunitas (community relations). Pada negara berkembang, terminologi yang
sering digunakan sebagai usaha untuk menyediakan kemajuan komunitas yaitu
terminologi pengembangan komunitas. Definisi tentang pengembangan komunitas
menurut PBB ditujukan kepada suatu pemanfaatan di bawah suatu program dengan
teknik dan pendekatan yang menggantungkan kepada komunitas lokal sebagai unit
tindakan dan yang mencoba mengkombinasikan bantuan dari luar dengan usaha-
35
usaha dan kemandirian lokal yang terorganisir, dan berkaitan dengan mencari
stimulasi inisiatif lokal dan kepemimpinan sebagai instrumen utama dalam
perubahan. Di negara agraris dalam kelompok negara berkembang, penekanan
utama terhadap perbaikan kehidupan dasar dari komunitas, termasuk kepuasan
terhadap kebutuhan non materi.
Di Amerika Utara, istilah yang sering digunakan untuk menandakan
perencanaan dan kegiatan komunitas yaitu ”community organization” atau
organisasi komunitas. Definisi organisasi komunitas adalah proses membawa dan
memelihara penyesuaian yang lebih efektif dan progresif antara sumberdaya
kesejahteraan sosial dan kebutuhan kesejahteraan sosial dalam lingkungan geografi
atau fungsi tertentu. Tujuannya konsisten dengan tujuan pekerjaan sosial yaitu
fokus utama kepada kebutuhan dan bagaimana memenuhi kebutuhan manusia
(Ross & Lappin, 1967)
Makna dari organisasi komunitas secara terminologi berarti suatu proses di
mana komunitas mengidentifikasi kebutuhannya, menyusun prioritas kebutuhan
tersebut, mengembangkan kepercayaan dan kemauan untuk bekerja mencapai
tujuan itu, menemukan sumber-sumberdaya (internal & eksternal) berkaitan dengan
kebutuhan / tujuan, melakukan tindakan yang diperlukan, dan mengembangkan
sikap saling bekerjasama dan tindakan dalam komunitas. Beberapa prinsip yang
berkaitan dengan organisasi komunitas diungkapkan oleh Ross dan Lappin (1967)
diantaranya adalah :
(1)
Ketidakpuasan dengan kondisi saat ini menjadi pemicu pengembangan
komunitas.
(2)
Ketidakpuasan tersebut difokuskan dalam perencanaan dan tindakan yang
berkaitan dengan permasalahan spesifik.
(3)
Ketidakpuasan yang dirasakan dalam komunitas harus disadari bersama oleh
para anggotanya.
(4)
Pengorganisasian komunitas melibatkan pemimpin formal / informal yang
diterima oleh kebanyakan kelompok.
(5)
Pengembangan komunitas memiliki tujuan dan metode yang diterima secara
luas.
36
(6)
Program yang disusun harus mampu menggugah aspek emosi anggota.
(7)
Pengembangan komunitas menyertakan sisi good will (potensi) komunitas.
(8)
Pengembangan komunitas membentuk jalur komunikasi yang efektif antara
kelompok dengan komunitas.
(9)
Pengembangan komunitas harus mendukung dan memperkuat kelompok yang
bekerja secara bersama-sama.
(10) Pengembangan komunitas secara fleksibel dalam prosedur organisasinya
tanpa mengganggu pengambilan keputusan yang sudah rutin.
(11) Pengembangan komunitas dilakukan dalam tahapan yang kegiatannya saling
berkaitan.
(12) Pengembangan komunitas diarahkan untuk mengembangkan pemimpin yang
efektif.
(13) Pengembangan komunitas dilakukan untuk mengembangkan kekuatan,
stabilitas dan prestise dalam komunitas.
Sejalan dengan Ross dan Lappin tersebut, dalam kerangka pengembangan
komunitas (community development), Wileden (1970) menyarankan empat prinsip
utama dalam pengembangan komunitas yaitu :
(1) Prinsip kebutuhan (need), di mana jantung dari setiap program pengembangan
komunitas adalah kebutuhan yang diketahui. Tanpa adanya penghargaan atas
kebutuhan itu, akan sangat sulit atau tidak mungkin bisa menjalankan program
pengembangan komunitas dengan baik.
(2) Prinsip kesesuaian terhadap tujuan, menekankan hanya apabila felt need
dinyatakan bersesuaian dengan tujuan maka dasar aksi komunitas bisa
dilakukan. Tujuan yang dibuat harus bisa diterima secara luas.
(3) Prinsip keterlibatan menekankan pentingnya individu pemimpin lokal
dilibatkan. Anggota komunitas juga harus diinformasikan dan dilibatkan.
(4) Prinsip kerjasama menekankan bahwa keberhasilan program pengembangan
komunitas sangat tergantung juga dari kerjasama antara individu dan kelompok
dalam komunitas.
37
Selanjutnya Wileden (1970) menyatakan terdapat tiga alasan dalam
mempelajari kehidupan komunitas lokal yaitu : (1) komunitas lokal memiliki
banyak kontribusi terhadap kehidupan modern, sementara kita bisa belajar dari
kondisi masa lalu dan masa sekarang (bukan masa depan); (2) kebanyakan dari kita
hidup dan berasal dari komunitas lokal;
(3) kehidupan masa depan sangat
tergantung pada landasan akar rumput, yaitu komunitas lokal.
Konsep Komunitas vs Masyarakat
Toennies (1974) di dalam artikelnya “Gemeinschaft and Gesellschaft”
membedakan dua konsep, yaitu „Gemeinschaft“ diartikan sebagai „community“
atau komunitas sedangkan „Gesellschaft“ diartikan sebagai „society“ atau
masyarakat. Komunitas (community) dalam hal ini mengacu kepada kesatuan yang
sempurna dari kehendak manusia. Pada komunitas dijumpai adanya saling
ketergantungan dalam hubungan tersebut.
Komunitas mengambil bentuk
berdasarkan hubungan darah, berdasarkan lokalita habitat yang ditempati, dan
berkaitan dengan kepercayaan bersama. Sedangkan konsep masyarakat (society)
menyangkut suatu konstruksi buatan dari kumpulan kehidupan manusia sehingga
para individu bisa secara damai tinggal bersama. Dalam konsep masyarakat ini
tindakan individual lebih menonjol. Barang-barang yang ada telah dimiliki oleh
individu tertentu, dan apa yang mereka miliki dinikmati oleh mereka sendirisendiri.
Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa pada komunitas, individu-
individu pada dasarnya menyatu walaupun sebenarnya terpisah karena berbagai
faktor.
Sedangkan dalam konsep masyarakat, pada dasarnya individu-individu
terpisah satu sama lain walaupun disatukan oleh beberapa faktor.
Menurut Koentjaraningrat (1990) dari perspektif ilmu antropologi, konsep
”komunitas” (community) didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia,
yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Jadi ciriciri suatu komunitas meliputi adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat istiadat, rasa
identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap komunitas sendiri. Sedangkan
konsep ”masyarakat” dapat dirumuskan sebagai kesatuan hidup manusia yang
berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan
38
yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Kedua istilah komunitas dan
masyarakat tersebut memang saling bertumpang tindih, tetapi istilah masyarakat
adalah istilah umum bagi suatu kesatuan hidup manusia, dan karena itu bersifat
lebih luas daripada istilah komunitas. Masyarakat adalah semua kesatuan hidup
manusia yang bersifat mantap dan yang terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa
identitas bersama, tetapi komunitas bersifat khusus karena adanya ciri tambahan
ikatan lokasi dan kesadaran wilayah.
Berdasarkan pandangan ilmu sosiologi konsep ”societies” atau masyarakat
merupakan salah satu tipe struktur sosial yang komprehensif dan kompleks pada
saat ini. Masyarakat mengacu kepada suatu kelompok orang yang tinggal di dalam
wilayah teritorial yang sama dan saling berbagi budaya tertentu. Dengan adanya
kebudayaan bersama ini maka anggota masyarakat biasanya memiliki nilai-nilai
dan norma-norma yang sama serta biasanya memiliki bahasa yang sama (Hughes et
al., 2002).
Masyarakat Jawa menurut Tinjauan Aspek Budaya
Menurut Koentjaraningrat (1990) kata ”kebudayaan’ atau ”culture” berasal
dari bahasa Sanskerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti
budi atau akal. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan akal. Dalam pandangan lain, budaya sebagai perkembangan majemuk dari
budi-daya atau daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa.
Sedangkan
kebudayaan dalah hasil dari cipta rasa dan karsa itu. Pada akhirnya menurut
pandangan ilmu antropologi, kebudayaan adalah ”keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Selanjutnya Koentjaraningrat
mengutip pendapat seorang ahli hukum adat yaitu Van Vollenhoven yang membagi
Indonesia ke dalam 19 daerah atau wilayah lingkungan hukum adat. Khusus untuk
P. Jawa terbagi ke dalam tiga wilayah lingkungan hukum adat yaitu Jawa Tengah
dan Timur, Surakarta dan Yogyakarta, dan Jawa Barat.
Selanjutnya menurut Koentjaranigrat (1984), diacu dalam Gauthama (2003)
menyatakan bahwa keberagaman budaya Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
39
berdasarkan wilayah kebudayaan (culture area) yaitu : (1) Nagarigung (sekitar
Purworejo, Temanggung, Magelang, Boyolali, Yogyakarta, Surakarta dan
Karanganyar); (2) Mancanagari (sekitar Madiun, Nganjuk, Jombang, Kediri dan
Trenggalek, Blitar dan Malang); (3) Banyumasan (sekitar Cilacap, Purwokerto,
Banyumas, Banjarnegara dan Purbalingga); dan (4) Pesisiran.
Kebudayaan
Pesisiran selanjutnya dibedakan menjadi Pesisiran Kilen (sekitar wilayah Tegal,
Pemalang, Pekalongan, dan Kendal) dan Pesisiran Wetan (kira-kira meliputi
wilayah Jepara, Pati, Blora, Cepu, Rembang, Tuban, Lamongan, Surabaya,
Pasuruan, Probolinggo, Situbondo).
Gauthama (2003) telah melakukan penelitian terhadap pemahaman atau
pandangan masyarakat Jawa terhadap falsafah hidup yang telah mereka kenal
secara turun temurun. Masyarakat Jawa memiliki sistem orientasi nilai budaya yang
terdiri dari lima hakekat pokok yaitu : (1) hakekat hidup, (2) hakekat kerja, (3)
hakekat waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan sesamanya, dan (4) hakekat
hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dari hasil temuannya diketahui bahwa
umumnya mereka mengenal atau memahami falsafah-falsafah tersebut. Hanya saja
besar kecilnya tingkat pemahaman tidak sama tergantung dari pengaruh akulturasi
budaya yang terjadi pada masyarakat di wilayah itu dengan budaya lain dari luar.
Masyarakat Jawa yang berdiam di wilayah Nagarigung umumnya masih
memahami dan bersikap sesuai dengan semua hakekat pokok falsafah hidup yang
dimilikinya. Masyarakat Jawa yang berdiam di wilayah kebudayaan Mancanagari
dan Banyumasan sebagian besar masih memahami dan bersikap sesuai dengan
falsafah yang dimiliki, khususnya berkaitan dengan hakekat hidup, hakekat kerja,
hakekat waktu dan hakekat hubungan manusia dengan sesamanya. Masyarakat
Jawa di wilayah Pesisiran Kilen masih memahami secara baik semua hakekat
kehidupan, meskipun tidak sekuat pemahaman masyarakat Jawa Nagarigung.
Berbagai bentuk falsafah hidup tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung
kebijakan peningkatan sumber daya manusia melalui peningkatan mental, moral
dan etika masyarakat Jawa yang saat ini mulai dirasakan merosot.
Masyarakat Sekitar Hutan
40
Istilah yang digunakan dalam bidang kehutanan untuk merujuk orang-orang
yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan kebanyakan adalah istilah
”masyarakat”, dan sangat jarang digunakan istilah ”komunitas”. Hal ini bisa dilihat
dalam berbagai pustaka dan dokumen yang kebanyakan menggunakan istilah
”masyarakat”. Beberapa istilah yang digunakan diantaranya yaitu : masyarakat,
masyarakat desa hutan, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan,
masyarakat di sekitar hutan, masyarakat lokal, dan masyarakat setempat.
Menurut Winarto (2006) yang mengumpulkan berbagai definisi dan istilah
dari peraturan-peraturan bidang kehutanan, beberapa istilah dan definisi yang
berkaitan dengan masyarakat sekitar hutan adalah sebagai berikut :
(a) Masyarakat adalah kelompok orang warga negara Republik Indonesia yang
tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu
komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan, mata pencaharian
yang berkaitan dengan hutan (profesi), kesejarahan, keterikatan tempat tinggal
bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya..
(b) Masyarakat desa hutan adalah kelompok masyarakat setempat, terutama
masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan
sekitar hutan.
(c) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok
masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan.
(d) Masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat setempat terutama masyarakat
yang dalam bersikap, berpikir dan bertindak selalu berpegang teguh pada norma
dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
(e) Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat di dalam suatu kawasan
geografis tertentu, mencakup kelompok asli dan kelompok tradisional, dan juga
kelompok pendatang yang melakukan pemukiman swakarsa.
Istilah lainnya yaitu ”masyarakat setempat” yang menurut Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.01/MENHUT-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan di sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry
didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang
41
merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang
bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan
tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan.
Teori Kelompok
Berdasarkan hasil kajian berbagai pustaka tentang konsep kelompok dari
berbagai perspektif baik sosiologi maupun psikologi sosial, diperoleh kesimpulan
bahwa konsep kelompok mengacu pada suatu organisasi sosial yang berupa
kumpulan individu dan memiliki karakteristik : adanya hubungan atau interaksi
sosial satu sama lain, adanya saling ketergantungan, adanya identitas dan perasaan
bersatu, saling berbagi tujuan tertentu dan harapan terhadap perilaku satu sama lain.
Kelompok sebagai sistem sosial merupakan suatu kesatuan dari berbagai unsur
yang berhubungan satu sama lain dan berproses secara fungsional menghasilkan
suatu output tertentu.
Sebagai suatu sistem sosial maka kelompok memiliki
struktur sebagai aspek statis dan mempunyai proses sebagai aspek dinamisnya.
Konsep lain yang terkait dengan kelompok yaitu “dinamika kelompok”
yang
bertujuan untuk mempelajari sifat kelompok, hukum perkembangan kelompok, dan
hubungannya dengan individu, kelompok lain serta institusi yang lebih besar.
Dinamika kelompok ditujukan untuk memahami perilaku individu dengan melihat
komponen dan interaksi yang terjadi di dalam kelompok.
Unsur-unsur yang
mempengaruhi dinamika kelompok yaitu : tujuan kelompok, struktur kelompok,
fungsi tugas, pembinaan dan pengembangan kelompok, kekompakan kelompok,
suasana kelompok, ketegangan kelompok, keefektifan kelompok, dan
maksud
tersembunyi. Kelompok tani seharusnya memiliki peran sebagai faktor yang
memperlancar pembangunan pertanian. Namun beberapa penelitian tentang
kelompok tani hutan di Jawa menunjukkan bahwa peran kelompok masih lemah
dalam mencapai tujuan yang seharusnya. Kelompok belum bisa berdiri sebagai
mitra yang sejajar dengan Perhutani. Bisa disimpulkan sementara bahwa dinamika
kelompok tani hutan belum seperti yang diharapkan. Kajian pustaka tentang konsep
kelompok akan diuraikan mulai dari pengertian kelompok, karakteristik kelompok,
42
kelompok sebagai sistem sosial, dinamika kelompok dan tinjauan tentang
kelompok tani / kelompok tani hutan.
Menurut Cartwright dan Zander (1968) kelompok didefinisikan sebagai
kumpulan individu-individu yang memiliki hubungan satu sama lain sehingga
membuat mereka saling tergantung secara nyata dalam derajat tertentu.
Dari
definisi tersebut konsep kelompok mengacu kepada sebuah kelas dalam entitas
sosial yang umumnya memiliki sifat saling ketergantungan di antara anggotaanggota kelompok tersebut. Kelompok akan saling berbeda biasanya karena sifat
dan besarnya saling ketergantungan di antara anggotanya.
Popenoe (1989) berdasarkan perspektif sosiologi, mendefinisikan kelompok
sosial sebagai dua atau lebih orang yang memiliki identitas tertentu dan perasaan
bersatu dan mereka berbagi tujuan tertentu dan berbagi harapan-harapan tentang
perilaku satu sama lain. Definisi kelompok selengkapnya menurut Popenoe adalah :
”A social group can be defined as two or more people who have a common
identity and some feeling of unity, and who share certain goals and
expectations about each other’s behavior”.
Menurut Hughes et al. (2002) kelompok dari sudut pandang sosiologi
adalah dua orang atau lebih yang terikat satu sama lain dalam pola interaksi sosial
yang relatif stabil dan mereka saling berbagi perasaan sebagai kesatuan. Bagi ahli
sosiologi, kelompok berbeda dengan konsep agregat dan kategori. Agregat hanya
merupakan kumpulan orang-orang yang berada pada suatu tempat pada waktu
tertentu misalnya orang-orang yang sedang belanja di mal, atau orang-orang yang
sedang mengantri membeli tiket sepak bola. Sedangkan kategori (sosial) adalah
koleksi orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama misalnya secara fisik
atau secara pola perilaku, yang signifikan secara sosial. Misalnya kategori menurut
umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan dan pendidikan.
Norlin dan Chess (1997) mengemukakan bahwa kelompok sosial adalah
sebuah bentuk organisasi sosial yang eksklusif dan mengorganisir dirinya, yang
terdiri dari dua atau lebih anggota yang saling mengidentifikasikan dan berinteraksi
satu sama lain secara personal sebagai individu, dan memiliki perasaan bersama
kelompok sebagai entitas sosial, dan dipengaruhi oleh tindakan anggotanya yang
43
berhubungan dengan kelompok, serta didominasi oleh tindakan tertentu yang
ekspresif. Definisi kelompok sosial selengkapnya yaitu :
“Social group is an exclusive, self-organizing form of social organization
comprised of two or more members who identify and interact with one
another on a personal basis as individuals, possess a shared sense of the
group as a social entity, are affected by the group related actions of
members, and in which expressive actions dominate”.
Menurut Johnson dan Johnson (1987), diacu dalam Sarwono (2005) sebuah
kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face
interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok,
masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan
masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai
tujuan bersama.
Kelompok sosial bisa dibagi ke dalam bermacam-macam jenis, misalnya
kelompok primer vs kelompok sekunder dan
kelompok formal vs kelompok
informal. Kelompok primer biasanya berukuran kecil, memiliki berbagai tujuan,
memiliki interaksi sosial yang lebih intensif dan lebih erat, serta memiliki rasa
identitas kelompok yang tinggi. Kelompok primer ini sering disebut face-to-face
group yaitu kelompok sosial yang anggotanya saling mengenal dari dekat dan
karena itu hubungannya erat. Dalam pandangan Tonnies kelompok primer ini
bersifat Gemeinschaft. Kualitas komunikasi dalam kelompok primer bersifat dalam
dan meluas, bersifat personal, dan menekankan hubungan interpersonal. Kelompok
sekunder merupakan kelompok karena spesialisasi yang dirancang untuk mencapai
tujuan praktis, anggotanya dihubungkan terutama dengan hubungan sekunder.
Hubungan sekunder ini biasanya berdasarkan spesialisasi, kurang memiliki
kehangatan emosional, dan hanya melibatkan ssedikit aspek dari kepribadian
anggotanya. Kelompok sekunder mempunyai interaksi sosial yang biasanya tidak
langsung, jauh dari formal dan kurang bersifat kekeluargaan. Hubungan dalam
kelompok sekunder biasanya lebih obyektif. Fungsi kelompok sekunder adalah
untuk mencapai tujuan tertentu dalam masyarakat secara obyektif dan rasional.
Kelompok sekunder ini lebih bersifat Gesellschaft. Pembagian kelompok lainnya
yaitu ke dalam kelompok formal (kelompok resmi) dan kelompok informal (tidak
44
resmi). Perbedaan yang utama yaitu kelompok informal tidak didukung oleh
peraturan-peraturan tertulis seperti kelompok formal. Kelompok informal juga
mempunyai pembagian tugas, peranan-peranan dan hierarkhi tertentu, serta norma
pedoman tingkah laku anggotanya serta konvensi-konvensinya, tetapi tidak
dirumuskan secara tegas dan tertulis seperti kelompok formal (Popenoe, 1989;
Norlin & Chess, 1997; Gerungan, 2004; Rakhmat, 2004).
Karakteristik Kelompok
Kelompok sosial menurut Norlin dan Chess (1997) memiliki enam
karakteristik penting yaitu :
(1) Ukuran (size).
Sebagai suatu bentuk organisasi sosial, ukuran kelompok
biasanya kecil.
(2) Struktur tujuan (goal structure).
Kelompok sosial ditandai dengan level
minimal dari pembagian peranan. Interaksi antar anggota biasanya dari orang
ke orang dan berasal dari kepribadian secara menyeluruh dan bukan dari peran
secara sempit. Sehingga struktur tujuan biasanya lebih secara implisit daripada
eksplisit.
(3) Identitas (identity).
Semua anggota kelompok saling berbagi identitas
kelompok dan memiliki persepsi kelompok secara menyeluruh. Rasa persatuan
dalam kelompok diekspresikan dalam penggunaan kata “kita” dalam kegiatan
yang terkait dengan kelompok.
(4) Efek terhadap perilaku individu (effect on individual behavior). Kelompok
sosial menampilkan sosialisasi yang nyata dan fungsi kontrol sosial terhadap
anggota-nya.
(5) Mengorganisir diri (self-organizing). Hubungan antara anggota kelompok dan
hasil interaksinya berasal dari sisi internal anggotanya. Kegiatan kelompok
didorong utamanya dari sisi emosional anggotanya dan bukan dari faktor yang
rasional.
(6) Ekslusif (exclusive). Kelompok sosial merupakan bentuk yang paling ekslusif
dari organisasi sosial. Hal ini ditunjukkan dari potensi stabilitas kelompok dan
pola sosialisasi dari anggotanya.
45
Berdasarkan perspektif psikologi sosial, Gerungan (2004) mengemukakan
empat ciri-ciri kelompok sosial tidak resmi dan yang agak kecil yaitu :
(1) Terdapat dorongan (motif) yang sama pada individu-individu yang menyebabkan terjadinya interaksi ke arah tujuan yang sama.
(2) Terdapat reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antar anggota kelompok.
Sehingga akan muncul pembagian tugas serta struktur tugas tertentu. Akan
terbentuk pula norma-norma yang khas dalam interaksi kelompok ke arah
tujuan-nya.
(3) Pembentukan dan penegasan struktur kelompok yang jelas dan terdiri dari
peranan dan kedudukan hierarkhis yang semakin berkembang.
(4) Terjadinya penegasan dan peneguhan norma-norma pedoman tingkah laku
anggota kelompok yang mengatur interaksi dan kegiatan anggota kelompok
dalam merealisasikan tujuan kelompok.
Kelompok sebagai Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan entitas sosial yang dicirikan oleh individu-individu
atau unit sosial lainnya yang berproses secara fungsional saling terkait satu sama
lain.
Sistem sosial yang berkembang secara penuh berarti bahwa seluruh
komponen dari sistem itu secara fungsional saling berkaitan (Norin & Chess,
1997). Menurut Cartwright dan Zander (1968) salah satu orientasi teoretis dalam
mempelajari dinamika kelompok yaitu pendekatan teori sistem. Dalam pandangan
ini kelompok dilihat sebagai suatu sistem yaitu merupakan sistem orientasi, sistem
saling keterhubungan dari posisi-posisi dan peran-peran, dan sistem komunikasi.
Kelompok dipandang sebagai sistem yang terbuka, yang dianalogikan dari konsep
biologi. Teori sistem menekankan kepada berbagai jenis input ke dalam sistem dan
output keluar sistem.
Menurut Slamet (2006), sistem sosial adalah suatu kesatuan dari banyak
unsur yang dapat menghasilkan suatu output tertentu.
Sistem terbentuk oleh
adanya komponen-komponen atau unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain
membentuk suatu jaringan. Masing-masing komponen mempunyai fungsi sendiri
yang berbeda satu dengan lainnya. Fungsi komponen yang satu dipengaruhi oleh
fungsi komponen lain yang berhubungan dengannya.
Kualitas output sistem
46
tergantung pada kualitas fungsi setiap komponen. Kalau salah satu komponen tak
ada atau tak berfungsi maka fungsi sistem akan terganggu atau tak berfungsi sama
sekali. Kelompok sebagai sistem sosial memiliki beberapa ciri misalnya dalam
kelompok terdapat orang-orang yang saling berinteraksi; mempunyai pola perilaku
yang teratur dan sistematis; bisa diidentifikasi bagian-bagiannya; dan bisa dilihat
sebagai sistem sosial.
Sistem sosial terdiri dari interaksi yang terpola dari para anggotanya.
Sistem sosial merupakan interaksi dari beragam individu yang hubungannya satu
dengan yang lain diorientasikan kepada definisi dan mediasi dari pola simbolsimbol terstruktur dan harapan-harapan. Dalam sistem sosial, terdapat interaksi
yang spesifik antara anggota dan bukan anggota. Dalam sistem sosial terdapat dua
hal pokok yaitu elemen yang menyusun sistem sosial dan proses yang berhubungan
dengan unsur tersebut. Model kelompok sebagai sistem sosial dikenal dengan The
Processually Articulated Structural Model (PAS Model). Elemen merupakan suatu
komponen utama penyusun sistem sosial, dan proses bisa dilihat sebagai artikulasi
umum yang sangat penting dalam analisis suatu aksi sosial (Loomis, 1960; Loomis
& Loomis, 1961) .
Menurut Loomis (1960) elemen-elemen pokok sistem sosial meliputi
sembilan unsur yakni :
(1) Tujuan (end, goal and objective) adalah suatu bentuk perubahan di mana
anggota sistem sosial berharap untuk mencapainya melalui interaksi yang
sesuai.
(2) Keyakinan (belief) merupakan suatu proposisi tentang suatu aspek dari kondisi
alam ini yang diterima sebagai kebenaran.
(3) Sentimen atau perasaan (sentiment) sebagai sesuatu yang berkaitan dekat
dengan keyakinan dan berkombinasi dengan keyakinan dalam bidang empiris
namun secara analitis terpisah dalam sistem sosial. Sentimen mewakili apa
yang dirasakan tentang lingkungan oleh anggota sistem sosial.
(4) Norma (norms) dalam suatu sistem sosial adalah berbagai aturan yang
menentukan apa yang bisa diterima dan apa yang tidak bisa diterima dalam
sistem sosial.
47
(5) Sanksi (sanctions) sebagai elemen dalam sistem sosial mengacu kepada
penghargaan dan hukuman yang diberrikan kepada anggota sistem sosial
sebagai upaya memaksakan kepatuhan kepada norma dan tujuan.
(6) Peranan kedudukan (status-role). Kedudukan (status) atau posisi mewakili
elemen dan merupakan apa yang diharapkan oleh aktor dalam situasi tertentu.
Peranan (role) mewakili proses.
(7) Kewenangan / kekuasaan (power & authority) mengacu kepada kapasitas untuk
mengontrol orang lain.
(8) Jenjang sosial (social rank). Dalam masyarakat selalu terdapat jenjang-jenjang
atau perbedaan kedudukan
tertentu. Masing-masing jenjang menunjukkan
perbedaan kedudukan dan prestise yang terkandung di dalamnya.
(9) Fasilitas (facility) merupakan wahana atau alat yang perlu untuk mencapai
tujuan kelompok. Karena orang-orang mempunyai tujuan maka perlu disiapkan
fasilitas apa oleh sistem sosial untuk mencapai tujuannya.
Elemen-elemen sistem sosial yang berhubungan satu sama lain pada suatu
waktu tidak akan tetap demikian. Proses-proses yang terjadi akan menghubungkan,
menstabilkan, dan mengubah arah hubungan di antara elemen-elemen dalam kurun
waktu tertentu, yang merupakan alat untuk memahami sistem sosial sebagai suatu
proses dinamis yang berkelanjutan (Loomis,1960; Loomis & Loomis, 1961) .
Proses sosial yang termasuk proses utama (master process) karena
melibatkan beberapa elemen menurut Loomis (1960) terdiri dari enam butir yaitu :
(1) Komunikasi (communication) yaitu suatu proses di mana informasi, keputusan,
dan perintah disebarkan kepada para anggota dan merupakan suatu cara di
mana pengetahuan, pendapat-pendapat dan sikap-sikap
dibentuk atau
dimodifikasi dengan interaksi.
(2) Memelihara batas (boundary maintenance) adalah proses di mana identitas
sistem sosial dipelihara dan pola karakteristik interaksi dipertahankan.
(3) Kaitan sistemik (sistemic linkage) sebagai proses di mana satu atau lebih
elemen-elemen dari paling tidak dua sistem sosial dihubungkan sehingga dua
sistem tersebut dengan cara tertentu atau pada suatu kejadian tertentu dipandang
sebagai sebuah unit.
48
(4) Pelembagaan (institutionalization) adalah suatu proses di mana organisasi
dengan struktur tertentu dan aksi sosial serta interaksinya bisa diperkirakan
keberlangsungannya.
(5) Sosialisasi (socialization) adalah proses di mana warisan sosial dan budaya
dise-barluaskan.
(6) Kontrol sosial (social kontrol) adalah proses di mana penyimpangan
dihilangkan atau dengan cara tertentu diselaraskan dengan keberfungsian dari
kelompok sosial.
Proses sosial dapat dianalogikan dengan proses fisiologi yang terjadi pada
tubuh hewan dan manusia. Kalau proses ini tidak ada atau tidak baik, maka hewan
akan sakit/mati. Unsur-unsur proses sosial (6 buah) itu juga merupakan peubah
yang kondisinya bisa baik, tetapi bisa juga tidak baik. Sistem sosial yang sehat
(dinamis, produktif, efektif) adalah yang unsur-unsurnya berproses atau berfungsi
secara baik. Sistem sosial yang tidak dinamis (tidak produktif, tidak efektif, dan
lain-lain) biasanya yang salah satu atau lebih dari unsur prosesnya tidak berfungsi
secara baik, atau salah satu atau beberapa unsur pokoknya tidak dalam kondisi yang
baik. Untuk meningkatkan dinamika sistem sosial bisa dilakukan dengan cara
memperbaiki unsur pokok dan atau unsur proses sosial yang keadaannya kurang
baik (Slamet, 2006).
Dinamika Kelompok
Studi tentang kelompok memiliki tujuan di antaranya yaitu untuk bisa
memahami dan memperbaiki perilaku anggota kelompok. Menurut Cartwright dan
Zander (1968) studi tentang dinamika kelompok lebih intensif dilakukan pada abad
ke-20. Dinamika kelompok secara luas bisa dipahami dari tiga sudut pandang yaitu
:
(1) Dinamika kelompok mengacu kepada suatu ideologi politik yang berkaitan
dengan cara-cara kelompok seharusnya diorganisir dan dikelola. Ideologi ini
menekankan pentingnya kepemimpinan yang demokratis, partisipasi anggota
dalam pengambilan keputusan, dan keuntungan yang diperoleh bagi masyarakat
dan bagi individu karena aktivitas kerjasama dalam kelompok.
49
(2) Dinamika kelompok juga mengacu kepada seperangkat teknik, seperti
permainan peran, buzz-sessions, observasi dan umpan balik dari proses
kelompok, yang digunakan secara luas dalam program pelatihan untuk
meningkatkan keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain dan
pengelolaan konferensi dan komite.
(3) Dinamika kelompok mengacu kepada suatu bidang keilmuan yang ditujukan
untuk memperoleh pengetahuan tentang sifat kelompok, hukum-hukum
perkembangannya, dan hubungan keterkaitannya dengan individu, kelompok
lainnya dan institusi yang lebih besar.
Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, Cartwright dan Zander (1968)
mengusulkan definisi dinamika kelompok sebagai “bidang penyelidikan yang
ditujukan untuk memperluas pengetahuan tentang sifat kelompok, hukum
perkembangan kelompok, dan keterkaitannya dengan individu, kelompok lain dan
institusi yang lebih besar”. Dinamika kelompok bisa diidentifikasikan dari empat
karakteristik yaitu : (a) menekankan kepada hasil riset empiris yang secara teoritis
nyata, (b) memberikan perhatian kepada dinamika dan saling keterkaitan antar
fenomena, (c) memiliki relevansi yang luas dengan semua ilmu sosial, (d) hasil
penemuannya
berpotensi
untuk
diterapkan
dalam
usaha
meningkatkan
keberfungsian kelompok dan konsekuensinya terhadap individu dan masyarakat.
Terminologi “dinamika kelompok” dipopulerkan oleh Lewin (1890-1947)
yang memberikan kontribusi besar melalui penelitian dan teori dinamika kelompok.
Dinamika kelompok diistilahkan dengan “Field Theory” atau teori lapangan yang
mendasarkan idenya bahwa untuk memahami perilaku, perlu dilihat bagaimana
komponen-komponen dan dinamika interaksi yang terjadi. Istilah lapangan dalam
teori ini berarti mewakili lingkungan keseluruhan individu.
Perilaku menurut
Lewin dihasilkan dari tegangan antara persepsi diri individu dengan lingkungan
yang dihadapinya. Lingkungan total dari individu (life spaces) harus dipahami
untuk bisa mengerti tentang perilaku seseorang. Lewin menyimpulkan bahwa
ketika individu berpartisipasi dalam aktivitas di lingkungannya (keluarga,
pekerjaan, dan lain-lain), maka perilaku diwujudkan melalui gerakan melalui
lingkungannya yang membawa pengaruh positif atau negatif dan didorong oleh
50
persepsinya berdasarkan kebutuhan psikologis yang mendasarinya (Shepherd,
1964; Cartwright & Zander 1968; Daniels, 2003).
Menurut Shepherd (1964), Lewin juga mengembangkan sistem konseptual
individu yang dapat diaplikasikan pada kelompok kecil. Teori lapangan atau
dinamika kelompok memiliki lima asumsi dasar yaitu:
(1) Fenomena yang dipelajari adalah apa yang dipersepsikan individu dalam
lingkungannya, di mana asumsi ini menuju pada konsep lapangan psikologis
atau ruang kehidupan individu.
(2) Individu menempati sebuah posisi dalam ruang kehidupannya yang
berhubungan dengan suatu obyek.
(3) Individu memiliki orientasi terhadap suatu tujuan, yang biasanya melibatkan
perubahan posisi antara individu dengan obyek.
(4) Individu berperilaku tertentu untuk mencapai tujuan tersebut.
(5) Dalam proses bergerak menuju tujuan tersebut individu mungkin menemui
halangan yang harus dihindari, yang memungkinkan terjadinya perubahan
dalam tujuan, dalam ruang kehidupan atau keduanya.
Analisis terhadap dinamika suatu kelompok bisa dilakukan dengan melihat
dimensi atau unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok tersebut.
Unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok yaitu : (1) tujuan kelompok,
(2) struktur kelompok, (3) fungsi tugas, (4) pembinaan dan pengembangan
kelompok, (5) kekompakan kelompok, (6) suasana kelompok, (7) ketegangan
kelompok, (8) keefektifan kelompok, dan (9) maksud tersembunyi. Pengukuran
terhadap setiap unsur tersebut dilakukan dengan beberapa indikator yang
menggambarkan intensitas dari unsur-unsur tersebut. Nilai kumulatif dari setiap
unsur tersebut secara keseluruhan menggambarkan dinamika suatu kelompok
(Shepherd, 1964; Cartwright & Zander, 1968; Beal et al., 1974; Slamet, 2006).
Tujuan kelompok merupakan apa yang ingin dicapai oleh kelompok, yaitu
merupakan target yang akan dicapai di mana kegiatan-kegiatan kelompok ditujukan
ke sana. Tujuan kelompok juga menyediakan kerangka di mana keputusan yang
51
rasional harus dibuat untuk mengarahkan jumlah dan jenis kegiatan uang harus
dilakukan (Beal et al.,1974; Slamet, 2006)
Struktur kelompok adalah bagaimana kelompok itu berinteraksi di
dalamnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Struktur kelompok terdiri dari
bagian-bagian kelompok dan juga hubungan antar bagiannya, yang terbagi ke
dalam empat tipe yaitu : (a) aliran informasi, (b) aliran pekerjaan, (c) kewenangan,
dan (d) mobilitas orang (Cartwright & Zander, 1968; Slamet, 2006).
Fungsi tugas adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh kelompok agar
tujuan kelompok dapat tercapai. Setiap posisi dalam kelompok yang diketahui oleh
anggota lainnya akan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan
kelompok, dan kontribusi ini mewakili dari fungsi yang ditetapkan (Cartwright &
Zander, 1968; Slamet, 2006).
Pembinaan dan pengembangan kelompok diartikan sebagai usaha-usaha
yang dilakukan untuk menjaga kelompok agar tetap hidup.
Usaha-usaha
pembinaan dan pengembangan kelompok bisa dilakukan dengan mendorong dan
mengembangkan partisipasi, aktivitas, koordinasi, komunikasi,
menentukan
standar, melakukan sosialisasi, menyediakan fasilitas dan mendapatkan anggota
baru (Slamet, 2006).
Kekompakan kelompok merupakan kesatuan dan persatuan kelompok serta
komitmen yang kuat dari seluruh anggota kelompok.
Beberapa faktor yang
mempengaruhi kekompakan kelompok yaitu : kepemimpinan, rasa afiliasi anggota,
nilai dari tujuan kelompok, homogenitas, keterpaduan, kerjasama dan besarnya
kelompok (Slamet, 2006).
Suasana kelompok adalah sikap mental dan perasaan-perasaan (suasana
hati) yang secara umum ada dan meresap dalam anggota kelompok (Beal et al.,
1974; Slamet, 2006). Suasana kelompok dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu :
adanya ketegangan, keramahan, suasana bebas atau terkontrol, keadaan lingkungan
fisik, dan situasi kepemimpinan pada kelompok.
Ketegangan kelompok merupakan segala sesuatu yang menimbulkan
ketegangan yang terasa dalam kelompok, baik yang bersumber dari dalam
52
kelompok maupun dari luar kelompok. Kelompok kadang-kadang juga
menggunakan kete-gangan atau tekanan terhadap anggotanya untuk membawa
kepada kesamaan kepercayaan, sikap, nilai dan perilaku.
Beberapa kelompok
bahkan menerapkan tekanan ini sebagai bagian dari fungsi kelompok yang sah
(Cartwright & Zander, 1968; Slamet, 2006).
Keefektifan kelompok atau keberhasilan kelompok dinilai akan cenderung
meningkatkan dinamika kelompok. Keefektivan kelompok ini bisa dilihat dari
berbagai sudut, yaitu : dari hasil atau produktivitasnya, dari segi moral kelompok,
dan dari tingkat kepuasan anggota-anggotanya (Slamet, 2006). Beal et al. (1974)
menggunakan istilah produktivitas kelompok , yang bisa dilihat dari beberapa sudut
pandang, misalnya dari kelompok sendiri. Biasanya kelompok yang secara efektif
memiliki tujuan yang realistis, serta secara efektif dan efisien mencapai tujuannya
dikatakan sebagai kelompok yang produktif.
Maksud terselubung merupakan program-program, tugas-tugas atau tujuantujuan yang tidak diketahui atau tidak disadari oleh para kelompok. Maksud
terselubung juga penting artinya bagi kehidupan kelompok. Dalam hal ini
kelompok bisa bekerja untuk maksud-maksud yang secara terbuka atau maksudmaksud yang terselubung pada saat yang sama.
Sumber dari adanya maksud
tersembunyi ini bisa berasal dari anggota kelompok, pimpinan kelompok atau
kelompok itu sendiri (Slamet, 2006).
Kelompok Tani dan Kelompok Tani Hutan
Berdasarkan
Kamus
Rimbawan
(Winarto,
2006),
kelompok
tani
didefinisikan sebagai berikut :
(1)
Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan
kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepentingan dalam
memanfaatkan sumber daya alam yang mereka kuasai dan berkeinginan untuk
bekerjasama dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan
kesejahteraan anggota dan masyarakat.
(2)
Kumpulan petani yang terikat secara informal atas dasar keserasian dan
kebutuhan bersama di dalam pengaruh seorang kontak tani sebagai pemimpin
di kelompok.
53
Mardikanto (1992) mendefinisikan kelompok tani sebagai ”kumpulan
orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun
petani taruna (pemuda/pemudi), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah
kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan
pengaruh dan pimpinan seorang kontak-tani. Pengertian kelompok tani ini
termasuk pula gabungan kelompok-kelompok tani yang dibentuk atas dasar
permufakatan di antara para petani bersangkutan.
Kebanyakan organisasi petani berdasarkan fungsinya dapat dikategorikan
menjadi legislatif, ekonomi, pendidikan, dan sosial. Fungsi legislasi dilakukan
untuk mengatasi masalah ekonomi, dengan menjadi kelompok penekan. Kelompok
petani sebagai penekan juga memiliki program pelayanan ekonomi, misalnya
simpan pinjam uang untuk pembelian pupuk, asuransi dan biaya lain. Kelompok
yang berorientasi pendidikan melakukan berbagai kegiatan program pendidikan
melalui pertemuan-pertemuan lokal, dan diskusi kelompok. Kelompok yang
berorientasi sosial melakukan kegiatan pertemuan lokal, kegiatan sosial, dan
kegiatan pengembangan komunitas (Rogers, 1960).
Penelitian Kartasubrata et al. (1995) tentang program perhutanan sosial di
lingkungan Perhutani di Jawa, mendefinisikan Kelompok Tani Hutan (KTH)
sebagai asosiasi dari orang-orang yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan
meng-organisir kegiatan menggunakan lahan hutan. Asosiasi tersebut tumbuh dan
ber-kembang dari, oleh dan untuk anggotanya guna mencapai kesejahteraan dan
keuntungan bersama. KTH merupakan bagian dari mekanisme untuk berpartisipasi
dalam program Perhutanan Sosial. KTH dibentuk pada lokasi-lokasi di mana ada
program Perhutanan Sosial. Kebanyakan KTH beranggotakan 15 sampai 25 rumah
tangga tani. KTH mempunyai kegiatan rutin yaitu pertemuan bulanan sebagai
tempat transfer pengetahuan dan sebagai forum komunikasi antara petani dengan
Perhutani. KTH sebagai sarana bagi anggotanya untuk meningkatkan modal bagi
kegiatan ekonomi yang tidak bisa dicapai secara individual.
Menurut Perhutani (2001) desa hutan adalah wilayah desa yang secara
geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau sekitar kawasan
hutan. Masyarakat desa hutan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di
54
desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan
untuk mendukung kehidupannya. KTH sendiri merupakan kelompok masyarakat
tani yang sudah sejak lama mengerjakan lahan hutan Perhutani melalui skema
tumpangsari, dan saat ini turut mengelola hutan dengan pengelolaan bersama
Perhutani.
Kelompok-kelompok tani hutan pada umumnya bergabung menjadi
lembaga yang lebih formal yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang
berbasis di desa. LMDH kemudian menjalin kerjasama dengan Perhutani dalam
rangka program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).
Namun demikian yang berperan aktif sebagai pelaksana dalam mengelola hutan
sebenarnya adalah KTH-KTH tersebut (TPKHR, 2006).
Kelompok Tani sebagai Faktor Pelancar Pembangunan
Menurut Mosher (1966) agar pembangunan pertanian semakin maju
diperlukan keterpaduan antara elemen-elemen yaitu proses produksi, petani, lahan
pertanian, dan bisnis pertanian. Pembangunan pertanian juga memerlukan faktorfaktor yang mendasar yaitu tersedianya pasar untuk produk pertanian, adanya
teknologi pertanian, tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, adanya
insentif bagi petani, dan dukungan sistem transportasi. Sedangkan faktor-faktor
yang mempercepat pembangunan pertanian (accelerators), yaitu pendidikan untuk
pengembangan, kredit produksi, kegiatan kelompok oleh petani, perbaikan dan
perluasan lahan pertanian dan perencanaan bagi pembangunan pertanian.
Selanjutnya Mosher menekankan bahwa kelompok tani adalah salah satu
faktor yang mempercepat (yang memperlancar) pembangunan pertanian. Petani
secara individu membuat sebagian besar keputusan tentang apa yang akan
dihasilkan, bagaimana metode budidayanya, dan sarana produksi yang diperlukan.
Di lain pihak pemerintah memiliki pengaruh yang besar terhadap petani. Di antara
dua pihak tersebut terdapat aktivitas yang penting yang mempercepat pembangunan
pertanian, yaitu kegiatan kelompok oleh petani di lingkungan komunitas lokal atau
regional dan nasional.
Beberapa kelompok tani terbentuk secara informal.
Beberapa kelompok tani terbentuk secara lebih terorganisir untuk memenuhi
55
kebutuhannya yang tidak bisa dipenuhi apabila petani berdiri sendiri. Kelompok
tani juga bisa terbentuk untuk tujuan yang tradisional tanpa partisipasi dari orang di
luar kelompok.
Untuk mendorong kegiatan kelompok petani bisa dilakukan
empat macam kegiatan yaitu : (a) membantu dalam pengorganisasian; (b)
membantu bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan; (c) bantuan teknis dan
manajerial; dan (d) bantuan keuangan (Mosher, 1966).
Hasil-hasil Penelitian Kelompok dan Kelompok Tani di Indonesia
Berdasarkan penelitian Soebiyanto (1998) pada kelompok tani di Jawa
Tengah, dinamika kelompok tani masih tergolong sedang. Dari model peranan
kelompok dalam mengembangkan kemandirian petani, dinamika kelompok
pengaruhnya
kecil
dan
tidak
nyata
terhadap
kemandirian
petani
dan
ketangguhannya berusaha tani apabila tanpa melalui pemberdayaan petani.
Pemberdayaan petani ke arah ketangguhannya berusahatani akan lebih efektif bila
dilakukan melalui peningkatan kemandirian petani. Jadi tingkat pemberdayaan
petani berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani dan ketangguhannya
berusaha tani.
Penelitian pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan kelompok
oleh Tampubolon et al. (2006) menunjukkan bahwa dinamika kehidupan
Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dipengaruhi terutama oleh :
(1) Faktor karakteristik individu : (a) tingkat pendidikan anggota, (b) modal awal
yang dimiliki, (c) pelatihan yang diikuti, (d) motivasi;
(2) Faktor pola pemberdayaan yaitu : (a) proses pendampingan, (b) bantuan yang
diterima, (c) proses pembentukan kelompok pada awalnya;
(3) Faktor lingkungan sosial yaitu : (a) norma dan nilai budaya yang berlaku dalam
masyarakat, (b) peluang atau ketersediaan pasar, (c) keterkaitan dan hubungan
kelompok dengan tokoh formal dan informal dalam masyarakat, (d) jaringan
kerjasama yang dibangun.
Dinamika kehidupan kelompok (KUBE) berpengaruh nyata terhadap tingkat
keberhasilan kelompok, yang meliputi keberhasilan dari aspek ekonomi dan aspek
sosial.
56
Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
yang
dilakukan
Pusat
Studi
Pembangunan IPB terhadap program social forestry di Perhutani sejak 1984
diperoleh gambaran permasalahan salah satu aspek sosial yaitu pembentukan
Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai aktivitas kunci dalam program social
forestry di Jawa. Kelompok Tani Hutan merupakan asosiasi orang-orang yang
tinggal di dalam dan sekitar hutan dan mengorganisir sendiri untuk aktivitasnya
dalam bidang sosial dan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan anggotanya dan
berpartisipasi dalam manajemen hutan secara berkelanjutan melalui prinsip bekerja
bersama dari dan oleh anggota.
Gambaran KTH secara umum masih bertahan
untuk eksistensi kehidupannya. Kelompok masih lemah dalam perannya sebagai
inisiator aktivitas ekonomi untuk manfaat kesejahteraan anggotanya. Kelompok
juga masih lemah dalam perannya untuk
mengembangkan, menyatukan dan
mewakili aspirasi anggotanya terhadap Perhutani. Dengan kata lain, KTH masih
jauh dari apa yang diharapkan (Saragih & Sunito, 1994).
Menurut Suharjito et al. (2000) pengembangan kelompok tani hutan tidak
terlepas dari program Perhutanan Sosial yang diluncurkan oleh Perhutani di Jawa
pada tahun 1986. Program Perhutanan Sosial ini merupakan penyempurnaan dari
program-program sebelumnya yang dikenal dengan prosperity approach, yaitu
intensifikasi tumpang sari (yang dikembangkan tahun 1972) dan Pembangunan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada waktu itu KTH dibangun untuk
meningkatkan komunikasi timbal balik antara petani dan Perhutani sehingga
dicapai persamaan persepsi dan hubungan yang harmonis untuk mewujudkan mitra
sejajar. Kelompok juga dimanfaatkan sebagai wadah saling belajar antar petani dan
mengembangkan usaha bersama.
Teori Kepemimpinan
Kajian pustaka terhadap konsep-konsep kepemimpinan dari Hersey et al.
(1996), Schermerhorn et al. (1997), Korman (1977), Bass (1981), Robbins (2002)
dan Sarwono (2005), memberikan gambaran yang sangat luas tentang makna
kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan merupakan suatu proses atau perilaku
pemimpin dalam mempengaruhi dan mengarahkan individu atau kelompok untuk
57
melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Perkembangan
pemikiran tentang kepemimpinan berawal dari teori kepemimpinan dengan
pendekatan sifat, pendekatan sikap dan pendekatan situasi.
Penyajian telaah
pustaka tentang konsep kepemimpinan di bawah ini akan dimulai dari pengertian
kepemimpinan, makna kepemimpinan, dan perkembangan pemikiran tentang
kepemimpinan.
Pengertian Kepemimpinan
Dinamika dalam suatu kelompok akan sangat terkait peran pemimpin
kelompok dalam menggerakkan para anggotanya untuk mencapai tujuan yang
diinginkan. Oleh karena itu membahas mengenai konsep kepemimpinan menjadi
penting sebagai upaya mengurai konsep tersebut dan
menyusunnya menjadi
peubah dalam penelitian ini.
Menurut Hersey et al. (1996) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
aktivitas individu atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan dalam situasi
tertentu. Dari definisi ini maka proses kepemimpinan merupakan fungsi dari
pemimpin,
pengikut,
dan
peubah
situasi.
Robbins
(2002)
menyatakan
kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk
pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat
manajerial pada suatu organisasi.
Menurut Schermerhorn et al. (1997) kepemimpinan adalah kasus spesial
dari kemampuan mempengaruhi secara interpersonal yang menyebabkan individu
atau kelompok mengerjakan apa yang ingin dilakukan oleh pemimpin.
Kepemimpinan muncul dalam dua bentuk yaitu kepemimpinan formal dan
kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal diperoleh individu karena ditunjuk
atau dipilih dalam posisi tertentu
oleh otoritas formal dari organisasi.
Kepemimpinan informal dimiliki individu dan menjadi berpengaruh karena
memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh orang lain.
Korman (1977) menekankan kepemimpinan dari tiga segi yaitu pertama,
perilaku kepemimpinan dalam organisasi merupakan bagian dari perilaku spesifik
karena posisi kepemimpinan yang ditetapkan oleh organisasi. Kedua, perilaku
58
kepemimpinan tidak hanya fungsi dari permintaan untuk perilaku yang dibuat
suatu sistem sosial, tetapi juga fungsi dari tipe individu yang terlibat (karakteristik
individu). Ketiga, kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi sehingga perlu
dikaji kondisi di mana orang menerima pengaruh dari orang lain.
Menurut Sarwono (2005) kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku atau
hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersamasama atau secara bekerja sama atau sesuai dengan aturan atau sesuai dengan tujuan
bersama. Sebaliknya yang dinamakan pemimpin adalah orang yang melaksanakan
proses, perilaku atau hubungan tersebut.
Konsep kepemimpinan menurut Bass (1981) menyangkut inti dari
kecenderungan, kepribadian yang muncul dalam praktek, pengaruh untuk
ketundukan, hubungan yang mempengaruhi, pembedaan kekuatan (power),
persuasi, tindakan mempengaruhi, pengaruh terhadap pencapaian tujuan, efek dari
interaksi, posisi dan status, pembedaan peran, penguatan, dan inisiasi struktur.
Makna Kepemimpinan
Berdasarkan kajian terhadap berbagai definisi kepemimpinan dari para ahli,
Bass (1981) menyimpulkan bahwa definisi kepemimpinan sangat banyak dan
hampir sebanyak orang yang mendefinisikannya. Namun demikian dari hasil
kajiannya terdapat kesamaan yang bisa dijadikan bahan klasifikasi makna
kepemimpinan. Bass mengklasifikasikan makna kepemimpinan ke dalam sebelas
kelompok yaitu :
1. Kepemimpinan sebagai fokus kepada proses kelompok.
Pemimpin dipengaruhi oleh kebutuhan dan harapan anggota kelompok.
Sebaliknya, mereka fokus perhatiannya dan melepaskan energi kelompoknya ke
jalan yang dikehendaki.
2. Kepemimpinan sebagai kepribadian dan efek yang ditimbulkannya.
Pemimpin adalah orang yang memiliki jumlah paling besar dari sifat-sifat
kepribadian dan karakter yang dikehendaki.
3. Kepemimpinan sebagai seni menumbuhkan kepatuhan.
59
Kepemimpinan adalah proses di mana individu memiliki kemampuan
mendorong bawahan untuk berperilaku sesuai yang dikehendakinya.
4. Kepemimpinan sebagai praktek mempengaruhi.
Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam
usahanya menetapkan tujuan dan mencapai tujuan itu. Pemimpin merupakan
individu yang bertindak memberikan pengaruh yang lebih daripada anggota
kelompok lainnya.
5. Kepemimpinan sebagai aksi berperilaku.
Kepemimpinan adalah sebagai perilaku individu di mana dia terlibat dalam
mengarahkan aktivitas kelompok. Perilaku kepemimpinan biasanya berupa
aktivitas di mana pemimpin bertindak mengarahkan dan mengkoordinasikan
pekerjaan anggota kelompok.
6. Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi.
Persuasi atau membujuk/mengajak/meyakinkan merupakan instrumen yang
kuat untuk membentuk harapan dan kepercayaan dalam situasi sosial.
Kepemimpinan sebagai aktivitas meyakinkan orang untuk bekerjasama dalam
mencapai tujuan tertentu.
7. Kepemimpinan sebagai bentuk hubungan kekuasaan.
Kekuasaan dipandang sebagai salah satu bentuk hubungan yang saling
mempengaruhi. Bisa diamati bahwa pemimpin cenderung melakukan transformasi kesempatan kepemimpinan ke dalam hubungan kekuasaan. Kepemimpinan merupakan suatu bentuk hubungan antar orang di mana seseorang bertindak atas permintaan orang lainnya.
8. Kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Kepemimpinan merupakan proses menyusun situasi sehingga berbagai macam
anggota kelompok, termasuk pemimpinnya, dapat mencapai tujuan yang
ditetapkan yang secara ekonomi maksimum dengan waktu kerja minimal.
Hubungan fungsional di mana kepemimpinan eksis, yaitu di mana pemimpin
dipersepsikan oleh kelompok sebagai mengontrol cara-cara mencapai kepuasan
kelompok. Kepemimpinan berkaitan dengan faktor manusia yang mengikat
kelompok bersama-sama dan memotivasi kelompok menuju tujuan.
9. Kepemimpinan sebagai efek yang ditimbulkan dari interaksi.
60
Pemimpin yang sesungguhnya dari perspektif psikologi adalah seseorang yang
bisa membuat perbedaan antar individu, yang bisa membawa perbedaan dalam
kelompok sehingga bisa mengungkapkan kepada kelompok apa yang menjadi
tujuan bersama.
Kepemimpinan bisa didpandang sebagai hubungan
interpersonal di mana orang lain bisa menuruti / mematuhi karena
menginginkannya dan bukan karena diharuskan untuk patuh.
10. Kepemimpinan sebagai pembedaan peran.
Kepemimpinan bisa dipandang sebagai interaksi antara seseorang dengan
kelompok, atau antara seseorang dengan anggota kelompok. Masing-masing
pelaku dalam interaksi akan memainkan peranan, dan peran-peran itu harus
dibagi satu sama lain. Pembagian peran memerlukan pengaruh, dan itu
dilakukan oleh pemimpin yang mempengaruhi dan anggota lainnya
memberikan respon. Kepemimpinan juga bisa dilihat sebagai peranan dalam
skema hubungan antar manusia dan sebagai harapan yang timbal balik antara
pemimpin dan anggota lainnya. Kepemimpinan sebagai pembedaan peran
membutuhkan suatu cara mengintegrasikan berbagai peran dari kelompok dan
memelihara kesatuan tindakan dalam usaha kelompok mencapai tujuannya.
11. Kepemimpinan sebagai kegiatan memulai struktur.
Pemimpin kelompok sebagai anggota yang memulai interaksi, dan mengajak
anggota ke dalam tindakan yang memulai struktur dalam interaksi sebagai
bagian proses memecahkan masalah.
Perkembangan Pemikiran tentang Kepemimpinan
Menurut Hersey et al. (1996), pendekatan terhadap kepemimpinan bergerak
melalui tiga fase dominan dalam teori kepemimpinan yaitu pendekatan sifat (trait),
sikap (attitudinal) dan situasi (situational).
Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (trait) Analisis ilmiah tentang
kepemimpinan dimulai dari pemimpin itu sendiri. Sifat-sifat apakah yang membuat
seseorang menjadi pemimpin. Misalnya Davis merumuskan empat sifat umum
yang nampaknya mempunyai
pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan
organisasi yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3)
motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan kemanusiaan.
61
Hersey et al. (1996) menyimpulkan bahwa riset empiris menyarankan bahwa
kepemimpinan merupakan proses dinamis, sangat bervariasi dari situasi yang satu
ke situasi lainnya dengan perubahan pada pemimpin, pengikut dan situasinya. Oleh
karena itu walaupun sifat-sifat tertentu mungkin membantu atau menghambat
kepemimpinan dalam suatu situasi, ternyata tidak ada sifat-sifat umum yang
meyakinkan keberhasilan kepemimpinan. Kurangnya validitas pendekatan sifat ini
mendorong pendekatan lainnya terhadap kepemimpinan.
Teori kepemimpinan berdasarkan sikap (attitudinal). Pendekatan sikap
dalam kepemimpinan dimulai tahun 1945 dengan studi dari Ohio State dan studi
Michigan sampai pertengahan 1960 dengan pengembangan managerial Grid.
Pendekatan sikap dicirikan oleh adanya instrumen misalnya kuesioner untuk
mengukur sikap atau predisposisi terhadap perilaku pemimpin.
Teori kepemimpinan berdasarkan situasi. Pendekatan situasi dalam
kepemimpinan memfokuskan pada perilaku pemimpin yang diamati dan perilaku
anggota kelompok dalam berbagai situasi.
Penekanan kepada perilaku dan
lingkungan membuka kemungkinan bahwa individu bisa ditraining untuk
menyeduaikan gaya perilaku kepemimpinannya dalam berbagai situasi. Oleh
karena itu dipercaya bahwa kebanyakan orang dapat meningkatkan keefektifan
dalam
peranan
kepemimpinannya
melalui
pendidikan,
pelatihan
dan
pengembangan.
Perkembangan baru teori kepemimpinan. Upaya mengembangkan teori
kepemimpinan dilandasi pertimbangan bahwa teori sebelumnya dirasakan tidak
bisa menjawab berbagai permasalahan kepemimpinan saat ini. Patterson (2003)
dari
Regent
University
mengembangkan
teori
kepemimpinan
“Servant
Leadership” atau kepemimpinan yang melayani. Dalam teori kepemimpinan yang
melayani terdapat beberapa konstruk yaitu cinta, kerendahan hati, sifat
mementingkan kepentingan orang lain, memiliki visi, kepercayaan, pemberdayaan
dan pelayanan.
Kepemimpinan pada Masyarakat Indonesia
62
Kepemimpinan dalam konteks masyarakat di Indonesia menurut Gani
(2003) pada dasarnya mengacu kepada apa yang dikenal dengan Hasta Brata,
Trilogi Kepemimpinan dan Tri Dharma dengan gaya yang paternalistik dan
autoritatif.
Pemimpin di Indonesia memiliki peran sebagai bapak yang harus
bersifat bijaksana dan jujur. Karakteristik kepemimpinan Hasta Brata disebut juga
sebagai delapan perilaku pemimpin atau delapan jalan kepemimpinan yaitu : (1)
bintang – memberikan inspirasi; (2) matahari – jujur, memotivasi dan memiliki
daya / spirit; (3) bulan – memiliki ambisi, memberi arah dan tuntunan; (4) angin –
yaitu lincah, akurat, menyukai kerja bersama dan menciptakan nuansa yang
menyenangkan; (5) api – yaitu kuat dan menentukan; (6) awan – jujur, adil dan
terbuka; (7) lautan – lapang dan berpandangan luas; (8) bumi – bersifat keras dan
bisa diandalkan. Selanjutnya Gani (2003) mengacu pada Bratawijaya (1997)
menekankan bahwa pemimpin di Indonesia juga harus memiliki peran sebagai
komandan (kuat dan berani), sebagai ibu (menerima aspirasi dalam proses
pengambilan keputusan), sebagai teman (berhubungan sangat dekat, toleransi, mau
berdialog dan berdiskusi), sebagai ksatria (malu untuk berbuat korupsi, kolusi dan
nepotisme), sebagai pendidik (selalu belajar, sabar dan obyektif), sebagai pendeta
(menjaga moral nilai dan norma), sebagai pioner (kreatif, pandai, memiliki strategi,
baik hati, patuh dan gigih.
Pemimpin sebagai ksatria juga harus berorientasi
kepada Tri Dharma yaitu perilaku berbagi, bertanggungjawab dan introspeksi diri.
Aspek kepemimpinan dalam suatu kelompok sangat berkaitan erat dengan
anggota kelompok. Dalam berkelompok setiap anggota tentu memiliki motivasi
atau dorongan tertentu. Oleh karena itu menelaah motivasi yang dimiliki anggota
kelompok menjadi sangat penting. Di bawah ini akan diulas mengenai konsep
motivasi dan kebutuhan manusia, yang akan menjadi salah satu komponen dari
satu peubah yaitu potensi sumberdaya individu petani anggota kelompok.
Teori Motivasi dan Kebutuhan Manusia
63
Motivasi
Berdasarkan kajian pustaka terhadap konsep motivasi dan konsep
kebutuhan dari Thoha (1985), Boyle (1989), Vago (1989), Steers et al. (1991),
Doyal dan Gough (1991), dan Gerungan (2004), maka motivasi individu pada
prinsipnya merupakan seluruh pengertian yang merupakan penggerak, alasan atau
dorongan untuk berbuat sesuatu. Istilah motivasi kadang digunakan silih berganti
dengan kebutuhan (need), keinginan (want), dan dorongan (drive). Sedangkan
konsep kebutuhan (need) sering diartikan sebagai dorongan atau pernyataan dari
dalam diri manusia yang memulai timbulnya dorongan. Kebutuhan mengacu
kepada kekuatan motivasi yang didorong oleh kondisi dalam diri individu untuk
memenuhi sesuatu yang dirasakan kurang.
Motivasi individu merupakan dorongan untuk berbuat sesuatu bisa berasal
dari dalam (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik). Menurut Gerungan (2004) motif
merupakan seluruh pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan, atau
dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu.
Motif
manusia merupakan dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak lainnya
yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu.
Menurut Vago (1989) dalam hubungannya dengan dorongan menuju
perubahan, motivasi merupakan perilaku yang mengandung maksud dan tujuan
tertentu yang diperoleh melalui pengalaman dari proses belajar.
Motivasi
merupakan jalan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan, sehingga muncul
dalam berbagai tipe dan level. Beberapa motif terkait dengan budaya dan
keberadaannya atau ketiadaannya merupakan fungsi dari karakteristik budaya
tertentu.
Motivasi menurut Steers et al. (1991) memiliki tiga unsur yang mencirikan
yaitu : (1) apa yang memberikan energi pada perilaku manusia; (2) apa yang
menuntun atau sarana dari perilaku; dan (3) bagaimana perilaku dipelihara.
Menurut Thoha (1985) perilaku manusia itu hakikatnya berorientasi kepada
tujuan dengan kata lain bahwa perilaku seseorang itu pada umumnya dirangsang
oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan. Perilaku merupakan lingkaran
64
saling ketergantungan dari unsur-unsur motivasi dan tujuan. Atau sesuai teori
Luthans perilaku terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive)
dan tujuan (goal). Istilah motivasi kadang-kadang dipakai silih berganti dengan
istilah-istilah kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), atau impuls.
Menurut Steers et al. (1991) teori motivasi secara umum dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu yang berkaitan dengan isi (content theory) dan proses
(process theory).
Teori motivasi content theory meliputi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow,
Teori Motivasi Alderfer (ERG Theory), Teori Motivasi Herzberg dan Teori
Motivasi Prestasi McClelland.
Teori Maslow menyatakan bahwa kebutuhan
mempengaruhi aktivitas manusia sampai kebutuhan itu dipenuhi.
Kebutuhan
manusia tersusun dalam hierarki dari yang sangat dasar (makanan, tempat tinggal)
sampai yang paling tinggi (aktuallisasi diri).
Menurut Maslow, individu
termotivasi dari lima kebutuhan yang dikelompokkan menjadi kebutuhan : (1) fisik,
(2) keamanan, (3) afiliasi sosial, (4) penghargaan dan (5) aktualisasi diri.
Berdasarkan Teori Aldefrer, kebutuhan manusia dapat dikategorikan dalam tiga
kelompok yaitu : (1) kebutuhan akan keberadaan (existence), (2) kebutuhan
berhubungan dengan orang lain (relatedness), dan (3) kebutuhan untuk
berkembang (growth). Teori Motivasi Herzberg menyatakan bahwa kepuasan
dalam bekerja dinamakan motivator dan selalu berhubungan dengan isi jenis
pekerjaan (job content). Motivator membangkitkan semangat kerja terdiri dari
keberhasilan, penghargaan, pekerjaannya sendiri dan tangggungjawab serta
peningkatan Sedangkan faktor ketidakpuasan dalam bekerja (hygiene factor) selalu
disebabkan faktor yang tidak berhubungan dengan isi pekerjaan misalnya
kebijakan, gaji, hubungan kerja, dan gaya kepemimpinan. Teori Motivasi Prestasi
McClelland menyatakan bahwa manusia memiliki empat kebutuhan yang dipelajari
yaitu : (1) kebutuhan untuk berprestasi (n- Ach), (2) kebutuhan akan kekuasaan (nPow), (3) kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff), dan (4) kebutuhan akan kemandirian
(n-Aut).
Kebutuhan berprestasi merupakan perilaku dalam kompetisi dengan
standar tinggi. Kebutuhan kekuasaan adalah kebutuhan mengontrol lingkungan,
mempengaruhi perilaku orang lain, dan bertanggungjawab terhadap orang lain.
65
Kebutuhan afiliasi adalah rasa ketertarikan kepada orang lain dan untuk diterima
orang lain.
Kebutuhan kemandirian yaitu keinginan untuk menjadi mandiri /
merdeka.
Teori Motivasi berdasarkan proses (process theories of motivation) menurut
Steers et al. (1991) memandang perilaku sebagai sebagai hasil dari (atau setidaknya
bagian dari) proses keputusan manusia. Dua teori proses yang penting yaitu Teori
Harapan Vroom dan Model Motivasi kerja Porter-Lawler.
Teori Vroom yang dirancang untuk situasi pekerjaan mengasumsikan
bahwa individu mengambil pilihan secara sadar dan rasional tentang perilaku
kerjanya. Karyawan secara rasional akan mengevaluasi berbagai perilaku kerja
dan akan memilih mana yang mereka percaya akan memberikan imbalan dari hasil
kerja kerja yang paling bernilai (misalnya promosi).
Porter dan Lawler
menyempurnakan Teori Vroom, dan menyatakan bahwa usaha-usaha yang
dilakukan tidak selalu menghasilkan kinerja. Usaha-usaha yang dilakukan tidak
selalu menghasilkan kinerja karena individu mungkin tidak memiliki kemampuan
menyelesaikan tugas dan mungkin individu tidak memiliki pengertian yang baik
tentang tugas yang harus dilakukan.
Jadi antara kinerja dan kepuasan kerja
mungkin tidak berhubungan satu sama lain. Keadaan tugas memiliki pengaruh
terhadap kaitan antara kepuasan dan kinerja.
Menurut Lippitt et al. (1958) yang mengkaji tentang dinamika perubahan
terencana, sistem klien memiliki kekuatan perubahan yang merupakan dorongan
(motivasi) dari sistem klien menuju perubahan yang dikehendaki. Empat tipe
motivasi yang bisa mendorong sistem klien menuju perubahan yaitu : (1) Sistem
klien mungkin merasa tidak puas terhadap kondisi pada saat ini; (2) Ketidakpuasan
tersebut bisa jadi berasal dari persepsi terhadap adanya perbedaan antara apa yang
ada dengan apa yang diharapkan; (3) Kadang-kadang tekanan dari luar diperlukan
terhadap sistem klien agar membuat perubahan perilakunya; dan (4) Dimungkinkan
juga bahwa kehendak dari dalam akan menyebabkan tekanan untuk perubahan.
Kebutuhan (need)
66
Kebutuhan (need) sering diartikan sebagai pernyataan dari dalam diri
manusia yang memulai timbulnya dorongan. Dalam hal ini kebutuhan mengacu
kepada kekuatan motivasi yang didorong oleh kondisi ketidakseimbangan atau
ketegangan di dalam diri individu karena adanya sesuatu yang dirasakan kurang
terpenuhi. Konsep ”need” atau kebutuhan juga digunakan secara eksplisit dan
implisit untuk mengacu kepada kategori tertentu yaitu tujuan (goal) yang dipercaya
sesuatu yang umum. Dalam hal ini apabila kebutuhan tidak bisa dipenuhi secara
tepat maka akan mengakibatkan gangguan yang serius kepada manusia. Konsep
kebutuhan dasar terkait dengan menghindari gangguan yang serius atas kehidupan
manusia. Kebutuhan dasar manusia merupakan hal yang harus dipenuhi agar
manusia terhindar dari gangguan yang serius atas kelangsungan hidupnya. Dalam
pandangan ini seseorang agar bisa bertindak dan bertanggungjawab, paling tidak
harus memiliki badan yang sehat dan kemampuan mental untuk melakukan sesuatu
dan menentukan pilihan.
Untuk menjadi mandiri, seseorang harus memiliki
kemampuan untuk membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan
bagaimana melakukannya. Menurut konsep kebutuhan ini maka kesehatan fisik
merupakan kebutuhan dasar. Di samping itu kemandirian (autonomy) juga
merupakan kebutuhan dasar, sehingga kemandirian individu perlu dipelihara dan
ditingkatkan (Doyal & Gough, 1991).
Menurut Boyle (1981) konsep kebutuhan (need) juga sangat terkait dengan
penyusunan program. Dalam pengembangan program pendidikan yang efektif,
perlu dipertimbangkan kebutuhan dari individu termasuk pula kondisi dan situasi
lingkungan yang mencerminkan permasalahan dan kebutuhan tersebut. Dalam hal
ini konsep ”kebutuhan” biasanya berkaitan dengan orientasi individu, sedangkan
”permasalahan” biasanya berorientasi kepada komunitas atau berdasarkan situasi.
Sesuai dengan asal katanya, ”kebutuhan” merupakan persyaratan secara fisik atau
psikologis untuk memelihara keseimbangan suatu organisme. Definisi kebutuhan
sendiri bisa dikategorikan ke dalam empat kelompok yaitu :
(1) Kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial,
harga diri dan aktualisasi diri.
67
(2) Kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan kebutuhan yang dinyatakan
(expressed need). Kebutuhan yang dirasakan adalah sesuatu yang dipercayai
diperlukan oleh individu. Konsep ini bisa sebut juga sebagai ”keinginan”.
Kebutuhan yang nyata bisa jadi tidak diketahui oleh individu. Oleh karena itu
perlu membantu individu untuk mengenali atau merasakan kebutuhan nyata
agar bisa memotivasi mereka untuk belajar.
(3) Kebutuhan normatif adalah apabila terjadi defisiensi atau gap antara standar
yang dikehendaki dan kondisi yang ada saat ini.
(4) Kebutuhan komparatif
yaitu membandingkan karakteritik dari pihak yang
menerima pelayanan dan pihak lain yang tidak memperoleh pelayanan.
Menurut Vago (1989) persepsi terhadap kebutuhan (perceived needs) sangat
mempengaruhi penerimaan terhadap perubahan dalam masyarakat. Kebutuhan itu
sendiri sifatnya subyektif. Perubahan terhadap kondisi lingkungan cenderung
menciptakan ke-butuhan yang nyata atau kebutuhan obyektif.
Selanjutnya Doyal dan Gough (1991) memberikan saran pemikiran
mengenai komponen dan indikator yang perlu diperhatikan untuk pemenuhan
kebutuhan dasar manusia, yaitu dalam bidang kesehatan fisik meliputi : (a)
kesempatan untuk bertahan hidup (harapan hidup, tingkat kematian), dan (b)
kesehatan fisikal (kecacatan, defisiensi gizi anak, penyebaran penyakit, tingkat
kesehatan). Kebutuhan dalam bidang kemandirian / otonomi yaitu : (a) kesehatan
jiwa (depresi / penyakit mental), (b) kerugian dari aspek kognitif (kurangnya
pengetahuan, tingkat kemampuan membaca, kurangnya keterampilan dasar,
kurangnya kemampuan membaca), dan (c) kesempatan aktivitas ekonomi
(pengangguran, kurangnya waktu produktif). Sedangkan kebutuhan antara bisa
dikelompokkan menjadi : (1) kecukupan bahan makanan dan air bersih, (2)
perumahan yang memadai, (3) lingkungan kerja yang aman, (4) lingkungan fisik
yang aman, (5) pelayanan kesehatan yang memadai, dan kebutuhan antara
selanjutnya yang sangat menunjang otonomi secara emosional yaitu (6) keamanan
bagi anak-anak, (7) hubungan primer yang signifikan, (8) keamanan secara fisik,
dan (9) keamanan dari aspek ekonomi.
68
Konsep Social Forestry atau Kehutanan Masyarakat
Berdasarkan kajian konsep social forestry dari beberapa pustaka di
antaranya yaitu FAO (1978), Korten (1987), Dove (1995), Thompson (1999),
Wiersum (1994), Awang (2003), Suharjito et al. (2003), dan Lin (2004), bisa
ditarik kesimpulan bahwa social forestry atau kehutanan masyarakat merupakan
sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi penanaman pohon, pemanenan
dan pemasaran dengan dikombinasikan usaha tanaman perdagangan / tanaman
pangan / tanaman pakan ternak yang menghendaki peran aktif masyarakat lokal
dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya
dan tetap menjaga kelestarian hutannya. Konsep social forestry dikenal dengan
beberapa istilah misalnya community forestry, farm forestry, dan participatory
forestry yang memiliki makna yang sama atau senada. Dalam tulisan ini penulis
menggunakan terjemahan istilah “kehutanan masyarakat” untuk mengacu kepada
konsep social forestry tersebut. Istilah “social forestry” sendiri sebenarnya telah
banyak digunakan baik dalam kalangan akademis maupun kalangan praktis.
Penggunaan istilah tersebut di kalangan praktis bahkan disebutkan pada salah satu
peraturan
kehutanan,
yaitu
Permenhut
No.
P.01/Menhut-II/2004
tentang
Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam
Rangka Social Forestry. Konsep kehutanan masyarakat adalah merupakan sistem
pengelolaan sumberdaya hutan yang memiliki ciri-ciri yaitu : prosesnya menuntut
partisipasi komunitas lokal atau bahkan komunitas lokal sebagai pelaku utama;
menghargai potensi dan kemampuan lokal; menggunakan orientasi pemberdayaan
terhadap masyarakat lokal;
tanaman
hutan
dan
menggunakan teknik budidaya secara kombinasi
tanaman
pertanian,
perkebunan,
peternakan;
dan
memperhatikan kelestarian lingkungannya. Sedangkan hasil yang diharapkan yaitu
perbaikan kehidupan masyarakat lokal, terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat
serta bisa memberikan keuntungan ekonomi kepada komunitas lokal. Sistematika
kajian pustaka tentang konsep kehutanan masyarakat pada tulisan ini dimulai dari
latar belakang munculnya konsep tersebut, pengertian tentang kehutanan
masyarakat, perkembangan kebijakannya di Indonesia dan perkembangan
69
kebijakan kehutanan masyarakat di Jawa terutama pada areal hutan yang dikelola
Perhutani.
Latar Belakang Munculnya Konsep Social Forestry
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati
yang tinggi, baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya.
Indonesia
menduduki peringkat kedua dunia dalam keanekaragaman hayati setelah Brazil dan
merupakan salah satu negara megabiodiversity (Bappenas, 2003 diacu dalam
Kartodihardjo, 2006).
Namun demikian kerusakan sumber daya alam hayati
termasuk kerusakan hutan meningkat dari tahun ke tahun dan menjurus kepada
krisis ekologi. Salah satu penyebab utama kenapa sumberdaya hutan mengalami
kerusakan (deforestasi) diidentifikasi oleh Kartodihardjo (2006) di antaranya adalah
kegiatan produksi komersial sebagai penyebab utama.
Kegiatan ini termasuk
produksi kayu, kelapa sawit dan tanaman perkebunan lain. Hingga Juni 1998,
penebangan kayu komersial melalui HPH telah merusak hutan seluas 16,57 juta ha.
Implikasi dari deforestasi menimbulkan akibat lanjutan yang berpengaruh kepada
kehidupan masyarakat. Deforestasi memperluas lahan kritis di dalam dan di luar
kawasan hutan. Lahan kritis akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan
untuk pertanian dan perkebunan, dan penurunan produktivitas berdampak pada
produksi pangan dan pertanian sehingga berdampak langsung pada pendapatan
ekonomi di tingkat masyarakat.
Permasalahan berikutnya dari sistem pengelolaan sumberdaya alam hutan
yang nyata dijumpai yaitu terjadinya marginalisasi komunitas lokal sehingga
menimbulkan kemiskinan komunitas sekitar hutan. Kartodihardjo (2006) menyatakan fenomena tersebut sebagai alienasi sistem sosial dari praktek pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia saat ini. Sumberdaya alam hanya diperlakukan
sebagai komoditi dan alat produksi, tanpa memperhatikan sub sistem sosio-kultural
yang seharusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan. Alienasi
masyarakat dari sumber daya alam dilakukan dengan mengabaikan konsep lokal
tentang hak pengelolaan di dalam hukum nasional dan terutama dalam
implementasi pembangunan.
70
Komunitas lokal yang tidak memperoleh tempat memadai dalam
pengelolaan hutan saat ini, padahal ketergantungan mereka terhadap sumberdaya
alam sangat tinggi, menimbulkan kemunduran kehidupan mereka atau fenomena
kemiskinan.
Disinyalir
bahwa
perkembangan
penduduk,
pengangguran,
kemiskinan dan kerusakan hutan merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang
merugikan seluruh komponen yang berkompeten dengan pembangunan regional
(Simon, 1994 diacu dalam TPKHR, 2006). Menurut Awang (2004) tingkat
kemiskinan penduduk Indonesia yang masih tinggi dan di Jawa diketahui bahwa
sekitar 46 persen desa-desa miskin berada di sekitar kawasan hutan negara. Hal ini
merupakan indikasi bahwa masalah kemiskinan masyarakat di sekitar hutan
merupakan akibat dari adanya sistem pengelolaan hutan yang dilakukan dengan
tidak memberikan penekanan kepada kehidupan dan akses komunitas lokal
terhadap sumber daya alam hutan.
Dua fenomena besar tadi yaitu kerusakan sumberdaya hutan dan
kemiskinan masyarakat sekitar hutan mengarah kepada suatu bentuk kebijakan
pengelolaan hutan yang mempertimbangkan peran masyarakat, yang kemudian
dikenal dengan kehutanan masyarakat. Konsep kehutanan masyarakat atau dikenal
dengan istilah umum “social forestry”, tentu dipengaruhi oleh seperangkat
pengetahuan yang membentuk konsep tersebut dan melandasi lahirnya berbagai
bentuk kebijakan dalam bidang kehutanan masyarakat.
Pengertian Kehutanan Masyarakat
Konsep kehutanan masyarakat memiliki beberapa istilah yang berbeda-beda
menurut beberapa ahli. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam Korten
(1987) menggunakan istilah community based resource management (CBRM).
Korten
mengemukakan beberapa landasan pemikiran pentingnya CBRM yaitu
sebagai berikut :
(1) Bahwa setiap komunitas mengembangkan sistem pemanfaatan sumber-sumber
daya lokal untuk memenuhi kebutuhannya.
71
(2) Community
based
resource
management
(CBRM)
memiliki
fungsi
memobilisasi sumber-sumberdaya yang ada dan menggunakannya secara
produktif, adil dan lestari untuk kebutuhan komunitas lokal.
(3) Namun fungsi birokrasi justru menciptakan gangguan yang membahayakan
karena menimbulkan marginalisasi komunitas lokal.
(4) Keberhasilan dari CBFM tergantung kebijakan dan perubahan institusi.
Terdapat beberapa alasan kenapa harus ada komitmen terhadap CBRM yaitu :
a) Keanekaragaman lokal : komunitas hidup dalam keanekaragaman alam,
ekologi sosial dan pilihan-pilihan individu.
b) Sumberdaya lokal : komunitas lokal yang sudah memiliki komitmen
terhadap suatu gagasan akan dapat memobilisasi sumber-sumberdaya dalam
jumlah besar dan merealisasikan gagasannya.
c) Akuntabilitas : pertanggungjawaban suatu kegiatan akan ditanggung oleh
penduduk lokal yang melaksanakannya.
Sementara itu FAO (1978) memperkenalkan istilah community forestry
(CF) sebagai segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam
kegiatan pembangunan kehutanan, dengan tujuan untuk : memenuhi kebutuhan
kayu bakar dan hasil hutan lainnya bagi rumah tangga pedesaan;
memenuhi
kebutuhan pangan dan stabilitas lingkungan untuk kelangsungan produksi; dan
menambah pendapatan dan peluang kerja di pedesaan (Wiersum, 1994).
Kehutanan masyarakat menurut Wiersum (1994) dapat dibedakan menjadi
dua konsep yaitu social forestry dan community forestry.
Social forestry
merupakan stategi pembangunan atau intervensi dari rimbawan profesional dan
organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk mendorong peran aktif dari
penduduk lokal dan merupakan diversifikasi aktivitas manajemen hutan pada skala
kecil dengan maksud untuk memperbaiki kondisi kehidupan penduduk lokal.
Sedangkan konsep “community forestry” didefinisikan sebagai berbagai aktivitas
manajemen hutan yang dilakukan oleh penduduk pedesaan sebagai bagian dari
strategi mencukupi kebutuhan hidupnya. Pembedaan makna keduanya mengandung
arti bahwa social forestry sebagai strategi pembangunan bertujuan untuk
mendorong praktek communiy forestry.
72
Menurut Awang (2004) konsep sosial forestry didefinisikan sebagai suatu
kegiatan penanaman pohon, pemanenan dan pengolahan, di mana sistem
penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan tanaman
perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak, melibatkan penduduk secara
individu atau komunal, untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten, komersial
masyarakat, dan untuk kebutuhan lingkungan.
Sementara itu Suharjito et al. (2000) lebih melihat pengertian dari praktek
kehutanan masyarakat (konsep social forestry / community forestry) sebagai suatu
“sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok,
pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah
tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu / rumah tangga dan masyarakat, serta
diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi”.
Menurut Thompson (1999) kegiatan kehutanan masyarakat harus melibatkan partisipasi komunitas kehutanan lokal, keluarga atau beberapa tipe kelompok
komunitas lokal dalam aktivitas yang melibatkan pohon-pohon atau hutan di mana
partisipan memperoleh produk atau pendapatan lokal dari usahanya. Nilai
partisipasi lokal dalam usaha reforestasi kehutanan sangat penting. Keberhasilan
program kehutanan masyarakat harus melibatkan komunitas lokal yang tinggal di
sekitar hutan dalam perlindungan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya
hutan. Proyek juga harus menyediakan keuntungan langsung untuk memperoleh
partisipasi dari komunitas. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu apakah
kebutuhan dasar dari penduduk miskin di sekitar hutan telah dipertimbangkan atau
diperhatikan.
Dalam pandangan Dove (1995) kehutanan masyarakat telah bergeser dari
fokus awal pada kendala biologis dari hutan dan pohon, kepada kendala sosio
ekonomi dari komunitas dan pada saat ini pada kendala institusi kehutanan.
Beberapa permasalahan penting dalam kehutanan masyarakat ternyata tidak banyak
terkait dengan aspek biologi secara umum, tetapi lebih banyak terkait dengan
analisis sistem, formasi negara dan topik lain yang biasanya tidak berhubungan
dengan kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama yang berpengaruh
terhadap keberhasilan dan kegagalan intervensi kehutanan masyarakat yaitu faktor
73
orang/masyarakat dan politik, dan bukan faktor teknis kehutanan. Jadi masalah
masyarakat sekitar hutan dan lingkungan perlu mendapat perhatian yang utama.
Berdasarkan pengalaman penerapan kehutanan masyarakat di Myanmar,
Lin (2004) menemukan bahwa kebijakan kehutanan masyarakat menemui kendala
yang serius akibat kurangnya ketrampilan sosial dan sikap profesional di antara staf
lokal, ketidakpastian kepemilikan lahan dan kurangnya pendekatan pemberdayaan
terhadap komunitas. Untuk mengatasi kendala tersebut disarankan agar menggunakan pendekatan pemberdayaan lokal ditambah dengan kepastian hak atas lahan
yang transparan dan akuntabel serta menggunakan pendekatan pengelolaan yang
sesuai (viable common property regime). Pendekatan pemberdayaan harus
menekankan penghargaan pendapat masyarakat lokal dan representasi dalam
konteks ekonomi-sosial lokal, mengembangkan jaringan lokal menuju institusi
yang federal dan menghormati keputusan lokal.
Menurut Glasmeier dan Farrigan (2005) kehutanan masyarakat yang
diistilahkan sebagai “community forestry” pada kebanyakan negara berkembang
dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sehingga akses terhadap sumberdaya dianggap sebagai kunci yang sangat penting. Selanjutnya
Glasmeier dan Farrigan mengutip pendapat Prado (1995) yang menyatakan bahwa
perkembangan kehutanan masyarakat yang mendasar pada negara berkembang
akan mengalami evolusi dan berproses dalam tiga tahapan yaitu : (1) partisipasi
komunitas dalam proses pengambilan keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya;
(2) pelepasan kontrol terhadap areal hutan oleh pemerintah kepada komunitas
sehingga mereka bisa mengelola untuk memenuhi kebutuhan dasarnya; dan (3)
pengelolaan oleh komunitas dengan kegiatan yang memberikan nilai tambah
dengan penanaman, pemrosesan dan pemasaran hasil hutan dengan kontrol
pemerintah secara terbatas. Pada tahap kedua, pelepasan kontrol oleh pemerintah
kepada komunitas bisa mengambil bentuk : (a) tanggungjawab pengelolaan
diberikan penuh kepada komunitas; (b) menyewakan hutan kepada perusahaan
berbasis komunitas atau individu untuk tujuan produksi; dan (c) kemitraan antau
kerjasama antara pemerintah dengan komunitas di mana kedua pihak berbagi
pembiayaan dan keuntungan dari pengelolaan itu. Pada tahap ketiga, diharapkan
74
keuntungan dari kehutanan masyarakat melampaui nilai sumberdaya hutan itu
sendiri,
dengan memberikan kesempatan dan pengalaman kelompok untuk
menjalankan proyek lainnya sehingga memberikan keuntungan untuk ditanamkan
pada sektor-sektor lain.
Dalam perspektif birokrasi kehutanan, kehutanan masyarakat yang
diistilahkan sebagai “social forestry” merupakan sistem pengelolaan sumberdaya
hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan
kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka
meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan (Peraturan
Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004).
Teori Akses Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Glasmeier dan Farrigan (2005) menyatakan bahwa akses terhadap
sumberdaya alam merupakan kunci yang sangat penting dalam kehutanan
masyarakat. Sejalan dengan itu Ribot dan Peluso (2003) mengutarakan teori akses
yang berkaitan dengan cara-cara komunitas memperoleh manfaat dari sumberdaya
alam. Akses didefinisikan sebagai “the ability to derive benefits from things” atau
kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Kemampuan (ability)
memiliki kemiripan / persamaan dengan daya (power) yang didefinisikan dalam
dua bentuk yaitu sebagai 1) kapasitas dari pelaku / aktor untuk mempengaruhi
kegiatan dan ide orang lain, dan 2) daya sebagai sesuatu yang muncul dari dalam
diri orang. Teori akses lebih memfokuskan kepada konsep “ability” atau
kemampuan dari pelaku, dibandingkan dengan konsep “rights” atau hak yang
harus dimiliki pelaku dalam teori tentang kepemilikan (property theory). Akses
meliputi segala upaya dimana individu memiliki kemampuan untuk memperoleh
manfaat dari sumberdaya. Sedangkan konsep ‘property’ menyangkut klaim atau
hak yang diakui secara sosial, baik secara hukum, tradisi atau kesepakatan bersama.
Beberapa aspek yang bisa membentuk atau berpengaruh terhadap akses yaitu
meliputi : 1) akses terhadap teknologi, 2) akses terhadap modal, 3) akses terhadap
pasar, 4) akses terhadap kesempatan kerja, 5) akses terhadap pengetahuan, 6) akses
terhadap kewenangan, 7) akses melalui identitas sosial, dan 8) akses melalui
negosiasi hubungan sosial lainnya.
75
Perkembangan Kebijakan Kehutanan Masyarakat di Indonesia
Berdasarkan catatan Awang (2004) dan Hindra (2005), terdapat beberapa
periode konsep dan pelaksanaan pendekatan sosial kemasyarakatan dalam bidang
pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia (Jawa dan luar Jawa) yang digagas
oleh perusahaan dan pemerintah yaitu :
(1) Periode 1972-1984 : Pendekatan kesejahteraan.
Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) ini digunakan oleh Perhutani
di Jawa untuk mengatasi berbagai konflik, dengan cara pemanfaatan lahan
untuk tumpangsari dengan tanaman pertanian maupun pengembangan ternak.
Kegiatan belum menunjukkan hasil yang memuaskan, dengan dominasi
kegiatan fisik.
(2) Periode 1984-1986 : Persiapan dan penelitian kehutanan sosial di Jawa.
Periode ini dilakukan penelitian yang berkaitan dengan aspek sosiologi dan
antropologi masyarakat sekitar hutan yang melibatkan Fahutan IPB, Fahutan
UGM dan Perhutani. Inisiatif dari peneliti asing juga sangat berperan yaitu
Francis Seymour dan Nancy Peluso yang didukung Ford Foundation.
(3) Periode 1982-2000 : Implementasi PMDH dan Perhutanan Sosial (PS).
Pada periode ini Perhutani menerapkan program Pembangunan Masyarakat
Desa Hutan (PMDH) yang meliputi dua bentuk yaitu perhutanan sosial pada
lahan hutan negara dan partisipasi masyarakat di luar kawasan hutan negara.
Program ini untuk membangun hutan pada lahan kosong, untuk memberi
peluang kerja dan pendapatan masyarakat.
(4) Periode 1992-2000 : HPH Bina Desa / PMDH
Pada periode ini dikeluarkan kebijakan HPH Bina Desa Hutan bagi para
pemegang HPH di luar Jawa. Para pemegang HPH harus membina palilng
sedikit 1 desa dalam setahun. HPH menyediakan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) dan dana untuk memberdayakan aspek ekonomi
rakyat.untuk hutan di luar Jawa. Program ini banyak mengalami kegagalan
karena pedoman kerja tidak tepat, konsultan yang belum ahli, pencetakan
76
demplot di luar kawasan padahal ladang masyarakat dalam kawasan, dan target
menjadikan peladang menetap.
(5) Periode 1995-2003 : Hutan Kemasyarakatan (HKm)
Program hutan kemasyarakatan melalui SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 dan
fokus pada kegiatan rehabilitasi hutan dan mengatur pembagian manfaat antara
masyarakat dengan pemerintah. Program ini muncul karena desakan publik agar
institusi kehutanan lebih peduli terhadap masyarakat miskin sekitar hutan.
Namun perangkat kelembagaan belum dikembangkan, dan menemui hambatan
masalah perizinan. Kemudian pada tahun 1998 muncul SK Menhutbun No.
677/Kpts-II/1998 di mana masyarakat melalui koperasinya bisa mengajukan
permohonan untuk mendapat hak pengusahaan atas kawasan hutan.
Ekses
negatif yang muncul dari HKm ini adalah penebangan kayu oleh koperasi yang
luasnya 100 ha – 1000 ha dan kebanyakan dilakukan pada hutan-hutan di
Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Jambi. Pada tahun 1999 muncul
kebijakan baru yaitu SK Menhutbun No. 865/Kpts-II/1999 yang mengubah hak
pengusahaan menjadi ijin pemanfaatan, dengan menggunakan salah satu prinsip
yaitu masyarakat sebagai pelaku utama, serta ditentukan sistem dan
kelembagaan pengelolaannya. Pada tahun 2001 muncul kebijakan baru yaitu
SK Menhut No. 31/Kpts-II/2001 yang menekankan prinsip antara lain bahwa
masyarakat sebagai pelaku utama, pemerintah sebagai fasilitator, perencanaan
partisipatif, manajemen berkeadilan, dan pemberdayaan.
(6) Periode 2001 – sekarang : PHBM (di Jawa)
Sebagai dampak dari reformasi, antara lain adalah meningkatnya dorongan
publik tentang transparansi pengelolaan hutan, maka Perhutani membuat
kebijakan tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat
(PHBM) melalui SK Dewan Direksi Perum Perhutani No. 136/2001 yang
menekankan pengelolaan bersama antara Perhutani dengan masyarakat dengan
jiwa atau prinsip berbagi.
PHBM dimaksudkan untuk memberi arah
pengelolaan sumber daya alam yang memadukan aspek ekonomi, ekologi dan
sosial secara proporsional.
77
(7) Periode 2003-sekarang : Kehutanan sosial (seluruh Indonesia)
Sejak pertengahan tahun 2003, Presiden Megawati mencanangkan program
sosial forestri sebagai program andalan untuk menyelesaikan masalah-masalah
sektor kehutanan. Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Sosial Forestri dibentuk,
dan sosialisasi pemikiran pokja dilakukan di daerah-daerah. Beberapa daerah
tidak sejalan dengan pemikiran Pokja karena dinilai masih sentralistik dan
belum mampu menyelesaikan masalah kehutanan di daerah. Akhirnya muncul
kebijakan pada tahun 2004 yaitu Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004 tentang
Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam
Kerangka Social Forestry.
Peraturan ini dimaksudkan untuk memayungi
kebijakan kehutanan masyarakat yang sudah ada. Ciri pokok yaitu pengelolaan
berbasis pemberdayaan, rambu-rambu yaitu : tidak mengubah status dan fungsi
kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan,
dan strategi pokok melalui
kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha.
Kebijakan kehutanan pada akhir tahun 2004 yaitu adanya lima program
prioritas Departemen Kehutanan.
Salah satunya yaitu
bahwa program
kehutanan masyarakat merupakan kebijakan untuk memberdayakan ekonomi
komunitas di dalam dan di sekitar hutan. Kebijakan ini merupakan penerapan
dari UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengamanatkan di antaranya
bahwa : (1) pemegang konsesi hutan harus bekerjasama dengan komunitas lokal
di sekitar hutan (pasal 30); (2) kegiatan rehabilitasi lahan harus menerapkan
pendekatan partifipatif agar bisa memberdayakan komunitas di sekitar hutan
(pasal 42 ayat 2); dan (3) pengelolaan hutan harus memperhatikan kebutuhan
komunitas sebagai kunci suksesnya,
sehingga orientasi pengelolaan harus
diubah dari produksi kayu kepada orientasi pemanfaatan sumberdaya berbasis
pemberdayaan komunitas.
Perkembangan Kebijakan Kehutanan Masyarakat di Jawa
Pengelolaan hutan di Jawa oleh negara ditandai dengan kedatangan Gubernur
Jenderal Hindia Belanda yaitu Daendels di Jawa pada tahun 1808. Daendels
menetapkan
sistem
dan
organisasi
eksploitasi
hutan
di
Jawa
dengan
78
mendeklarasikan bahwa : (a) seluruh hutan menjadi domain negara dan dikelola
untuk keuntungan negara, (b) pengelolaan hutan menjadi cabang-cabang atau
wilayah dilakukan oleh pegawai pemerintah, (c) areal hutan dibagi ke dalam petakpetak untuk ditebang dan ditanami kembali sesuai rotasinya, dan (d) pembatasan
akses bagi masyarakat desa sekitar hutan untuk mengambil kayu jati bagi keperluan
komersial, dan mengijinkan mereka mengumpulkan kayu yang mati dan hasil hutan
non kayu. Pada tahun 1865 diterbitkan undang-undang kehutanan yang pertama
untuk wilayah Jawa. Kemudian diikuti oleh undang-undang agraria (The Agrarian
Law) atau dikenal dengan istilah Domeinverklaring tahun 1870 yang menyatakan
bahwa seluruh tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat dan
seluruh lahan hutan merupakan domain (milik) negara. Hal ini menjadi dasar
pengelolaan hutan hingga saat ini dengan basis kehutanan ilmiah (scientific
forestry). Kemudian sampai pada Undang-undang kehutanan tahun 1927
menyatakan dengan jelas antara pengertian kayu milik rakyat dan kayu yang
tumbuh pada hutan negara. Pada tahun 1930 diperkenalkan penanaman hutan
dengan sistem tumpang sari,
yaitu petani sekitar hutan menanam tanaman
pertanian selama satu sampai dua tahun di sela-sela tanaman hutan (Peluso, 1992).
Upaya pengembangan kehutanan masyarakat di Jawa yang dilakukan
Perhutani telah dimulai pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an, dengan
pembiayaan dari Perhutani sendiri.
Walaupun Perhutani memiliki komitmen
pendanaan untuk pelaksanaan kehutanan masyarakat ini, namun kebanyakan
proyek kehutanan masyarakat belum berhasil mengurangi kemiskinan atau
menghentikan penjarahan hutan (Peluso, 1992).
Perkembangan kebijakan tentang kehutanan masyarakat oleh Perhutani di
Jawa secara kronologis dirangkum oleh Sardjono (2006) sebagaimana disajikan
pada Tabel 2. Bilamana mengamati perkembangan pendekatan dari awal yaitu
Tumpang Sari hingga PHBM sebagaimana disajikan dalam Tabel 2., maka
beberapa hal yang dipertimbangkan nyata pergeserannya adalah :
a) Petak-petak kawasan hutan yang ’dipangkukan’ dalam wilayah administrasi
desa sebagai dasar penetapan kerjasama pengelolaan;
79
b) Kesediaan pihak perusahaan untuk mendiskusikan komoditi pendamping dan
khususnya berbagi hasil hutan (kayu dan non-kayu) dengan masyarakat;
c) Kelembagaan pengelolaan pada tingkat desa (LMDH) yang didukung oleh
Peme-rintah Daerah (dalam hal ini adalah ketersediaan forum multipihak pada
level administratif desa dan di atasnya untuk mendukung implementasi
PHBM).
Tabel 2. Deskripsi dan analisis pendekatan sosial dalam pengelolaan hutan oleh
Perum Perhutani selama empat dasawarsa terakhir
Periode
Istilah
Pendekatan
Sosial
< 80-an
Tumpang Sari
Sejak
mid. 80an
Perhutanan
Sosial
Periode
90-an
PMDH
(Pembangunan
Masyarakat Desa
Hutan)
Sejak
akhir
90-an
(hingga
kini)
PHBM
(Pengelolaan
Hutan Bersama
Masyarakat)
Sumber : Sardjono (2006)
Substansi Konsep Pendekatan a.l.
Catatan Komparasi
• Penanaman palawija diantara tanaman
pokok oleh petani;
• Pemeliharaan tanaman pokok oleh
petani tanpa memperoleh hasil kayu;
• Petani memiliki waktu terbatas untuk
pengelolaan lahan hutan (3 tahun)
• Penanaman palawija diantara tanaman
pokok oleh petani dengan jarak tanam
lebih lebar dari tumpang sari biasa;
• Disamping palawija juga bisa ditanam
buah-buahan yang dapat dimanfaatkan
petani
• Kayu tetap menjadi bagian dari Perum
Perhutani
• Pengelolaan hutan dikaitkan dengan
program pembangunan pedesaan dan
pembinaan masyarakat secara lebih
luas;
• Kegiatan dapat meliputi aspek agraris
(dalam arti luas, termasuk tumpang
sari) dan non-agraris
• Pada wilayah tertentu dari
kawasan hutan dan kelompok
sasaran terbatas
• Desain ditetapkan perusahaan
• Pelibatan masyarakat dalam bentuk
Kelompok Tani Hutan (KTH) dan/atau
LMDH serta parapihak lainnya dalam
pengelolaan hutan (a.l. Pemerintah
Daerah untuk memfasilitasi);
• Masyarakat memperoleh
bagian/persentase keuntungan
penjualan kayu/ hasil hutan lainnya
yang dikuasai Perhutani;
• Masyarakat dapat mengusahakan
ruang sela diantara tanaman pokok
dengan fasilitasi perusahaan.
• Pada wilayah tertentu dari
kawasan hutan dan kelompok
sasaran terbatas;
• Desain ditetapkan
perusahaan;
• Pada sebagian kawasan hutan
atau di luar kawasan;
• Bantuan perusahaan
didasarkan pada ke-butuhan
dan juga kemampuan
perusahaan;
• Sasaran kelompok atau
masyarakat desa.
• Seluruh kawasan perusahaan
(KPH) dalam wilayah desa
dikerjasamakan dengan
masyarakat tanpa perubahan
status lahan;
• Sasaran masyarakat desa
keseluruhan ataupun anggota
KTH;
• Desain
dikonsultasikan/didiskusikan
bersama dengan masyarakat/
anggota LMDH serta
parapihak teridentifikasi
80
Menurut Perhutani (2007) setelah enam tahun Program PHBM yang
diluncurkan pada tahun 2001 dirasakan mengalami beberapa permasalahan dan
kendala yaitu : (1) sinergitas dengan PEMDA dan stakeholder belum maksimal; (2)
masih berbasis pada kegiatan kehutanan; (3) pelaksanaan bagi hasil yang
merupakan ciri PHBM belum dirasakan secara merata; (4) kurang fleksibel; (5)
perilaku aparat di lapangan belum sebagai fasilitator dan untuk keperluan bersama;
(6) kebutuhan dasar masyarakat desa hutan berupa pangan, papan dan energi dan
pendampingan belum terprogram dengan baik; tuntutan ketahanan pangan belum
dikoordinir dan dilaksanakan dengan baik di lapangan; dan (7) adanya tuntutan
kenaikan Index Pembangunan Manusia sebagai parameter yang diacu pemerintah
dari 66,72 menjadi 76,1. Oleh karena itu Perhutani pada tahun 2007 meluncurkan
program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus)
melalui Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 268/KPTS/DIR/2007 tentang
Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus)
tanggal 8 Maret 2007. PHBM Plus adalah suatu sistem pengelolaan sumber daya
hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan
masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan delam upaya mencapai
keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan
akomodatif.
Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Tinjauan Konsep Partisipasi
Berdasarkan kajian terhadap beberapa literatur tentang konsep partisipasi
diantaranya yaitu Colfer dan Wadley (1996), Khan (1997), Pretty dan Vodouhё
(1997), Van den Ban dan Hawkins (1999), Singh (2000), Slamet (2003), Kesby
(2005), Thompson et al. (2005) dan Syahyuti (2006), maka bisa disimpulkan
bahwa partisipasi memiliki makna sebagai keikutsertaan masyarakat dalam
pembangunan,
yang
menyangkut
pengambilan
keputusan
dalam
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya.
tahapan
Partisipasi
mewujudkan dirinya dalam tujuh tipologi atau tingkatan mulai dari yang bersifat
pasif, informatif, konsultatif, insentif, fungsional, interaktif dan mandiri. Secara
81
umum partisipasi bisa dipandang sebagai cara mencapai tujuan dalam
pembangunan atau bisa juga sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan
yaitu peningkatan kapasitas individu untuk mampu meningkatkan kualitas
kehidupannya.
Menurut definisi World Bank (Colfer & Wadley, 1996) partisipasi adalah
proses melalui mana para pihak terkait (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi
kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan dan sumbersumberdaya yang berpengaruh terhadap mereka.
Slamet (2003) memberikan
makna dari partisipasi sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut
dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan
menikmati hasil-hasil pembangunan. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999),
partisipasi petani dalam penyuluhan diartikan sebagai keikutsertaan petani atau
para wakilnya dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran,
pesan-pesan dan metode serta evaluasi kegiatan. Singh (2000) dalam kajiannya
terhadap kehutanan masyarakat memberikan makna partisipasi sebagai derajat
keikutsertaan dari stakeholder lokal dalam proses pengambilan keputusan di dalam
seluruh tahapan proyek. Keterlibatan masyarakat bisa dalam bentuk kontribusi
tenaga kerja, uang atau keduanya untuk tujuan bersama dan keikutsertaan dalam
pertemuan yang membicarakan berbagai hal untuk keperluan bersama. Thompson
et al. (2005) dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam mendefinikan partisipasi
sebagai sebuah proses dimana berbagai stakeholder (pemerintah, dunia usaha,
kelompok pecinta lingkungan lokal dan nasional, pemimpin lokal dan masyarakat
setempat) secara bersama-sama merumuskan isu-isu kritis, mengembangkan tujuan
bersama, saling bertukar informasi, merumuskan usulan kegiatan, dan saling
berbagi sumberdaya dan tanggungjawab untuk implementasi dan evaluasinya.
Syahyuti (2006) mendefinisi-kan partisipasi sebagai proses di mana seluruh pihak
dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan.
Maka
pembangunan yang partisipatif adalah proses yang melibatkan masyarakat secara
aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan
mereka.
82
Kajian terhadap konsep partisipasi secara umum akan mengelompok ke
dalam dua klasifikasi pemikiran yaitu partisipasi sebagai cara (means) dan
partisipasi sebagai tujuan akhir (ends). Dalam konteks pembangunan masyarakat,
partisipasi bisa dipandang sebagai masukan dan dapat juga dipandang sebagai
keluaran. Dikotomi pemikiran ini terutama membedakan antara alasan efisiensi
dengan alasan pemberdayaan. Alasan efisiensi memandang partisipasi sebagai alat
untuk mencapai hasil suatu kegiatan yang lebih baik.
Sedangkan alasan
pemberdayaan memandang partisipasi sebagai proses menambah kapasitas individu
untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan memfasilitasi perubahan sosial
untuk kemaslahatan kelompok marginal. Sebagai tujuan, partisipasi komunitas
dipandang sebagai keharusan bagi individu dan kesejahteraan manusia, atau
sebagai kebutuhan dasar bagi manusia (Cleaver, 1999; Khan, 1997; Syahyuti,
2006).
Partisipasi bisa juga dikelompokkan menjadi dua macam yaitu partisipasi
horisontal dan partisipasi vertikal. Partisipasi horisontal yaitu partisipasi sesama
warga atau anggota suatu perkumpulan,
sedangkan partisipasi vertikal yaitu
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan
pemerintah. Partisipasi masyarakat juga erat kaitannya dengan kemampuannya
berkembang secara mandiri.
Masyarakat yang berkemampuan demikian bisa
membangun desanya dengan atau tanpa partisipasi vertikal dengan pihak lain.
Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan upaya peningkatan taraf hidupnya
(Ndraha, 1990).
Berdasarkan perspektif politik, Kesby (2005) menyatakan bahwa partisipasi
merupakan suatu bentuk daya / kekuasaan. Pembagian daya / kekuasaan tersebut
melalui pendekatan partisipatif akan membentuk kapasitas seseorang untuk mampu
menganalisa dan merubah kehidupannya sehingga menyediakan pendekatan praktis
untuk memfasilitasi pemberdayaan. Pendekatan partisipatif dimaksudkan untuk
mengurangi dan menghindari adanya hubungan berdasarkan kekuasaan yang
terdapat dalam penelitian atau pembangunan, serta membawa pemikiran untuk
memberikan kesempatan bersuara bagi kaum marginal untuk mencapai level
keterlibatan tertentu dalam perencanaan, pelaksanaan dan menikmati dampak dari
83
program. Walaupun pendekatan partisipatif telah menjadikan kinerja yang lebih
baik dari seseorang yang berdaya dalam suatu intervensi program, namun masih
diperlukan seseorang secara berkelanjutan menampilkan kemampuan dan
keberdayaannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Tipologi Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Partisipasi menurut para ahli diklasifikasikan kedalam beberapa tipologi
atau tingkatan.
Terdapat tujuh
tipologi partisipasi yang menggambarkan
bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam program dan proyek pembangunan.
Adapun tujuh tipologi tersebut berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang
ideal (Khan, 1997; Pretty & Vodouhё (1997); Pretty 1995 diacu dalam Syahyuti
2006) yaitu :
(1) Partisipasi pasif atau manipulatif (Passive Participation). Tipe ini merupakan
bentuk partisipasi yang paling lemah. Masyarakat berpartisipasi dengan cara
diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh
pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran
program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di
luar kelompok sasaran.
(2) Partisipasi informatif (Participation in Information Giving).
Masyarakat
berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
pihak proyek melalui survey kuesioner atau semacamnya. Masyarakat tidak
memiliki
kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan.
Akurasi hasil studi juga tidak dibahas bersama masyarakat.
(3) Partisipasi
konsultatif
(Participation
by
Consultation).
Masyarakat
berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan tenaga ahli dari luar
mendengarkan serta menganalisa masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini
belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Ahli dari luar tidak
ada kewajiban untuk mengambil pandangan masyarakat untuk ditindaklanjuti.
(4) Partisipasi insentif (Participation for Material Incentive).
Masyarakat
berpartisipasi dengan memberikan sumberdaya misalnya jasa tenaga kerja dan
memperoleh imbalan berupa bahan pangan, upah, atau insentif lainnya.
84
Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan.
Masyarakat juga tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan setelah
insentif dihentikan.
(5) Partisipasi fungsional (Functional Participation).
Masyarakat berpartisipasi
dengan membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek, setelah ada
keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat
tergantung dari pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan
kemandiriannya.
(6) Partisipasi interaktif (Interactive Participation). Masyarakat berperan dalam
proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan
kelembagaan. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan
keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan
proses kegiatan.
(7) Mandiri (Self-Mobilization).
Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara
bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai
yang mereka junjung.
Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-
lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta
sumberdaya yang diperlukan.
Masyarakat juga memegang kendali atas
pemanfaatan sumberdaya yang ada atau digunakan.
Berdasarkan tipologi tersebut, penggunaan terminologi “partisipasi” dalam
pembangunan harus selalu dikaitkan dengan tipologi partisipasi yang mana.
Apabila tujuan dari pembangunan adalah untuk tercapainya pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development), maka menurut Pretty dan Vodouhё
(1997),
paling tidak tingkat partisipasi yang harus terpenuhi yaitu partisipasi
fungsional.
Beberapa Syarat agar Masyarakat Berpartisipasi
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan demi berhasilnya pembangunan.
Oleh karena itu perlu dipikirkan apa syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat
dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut Slamet (2003), terdapat tiga
syarat agar masyarakat bisa berpartisipasi yaitu pertama adanya kesempatan dalam
85
pembangunan, kedua adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu,
dan ketiga adanya kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Ife (2002) terdapat
beberapa jalan untuk mendorong terjadinya partisipasi.
Masyarakat akan
berpartisipasi dalam pembangunan pada kondisi yang tepat. Beberapa kondisi
tersebut yaitu :
(1) Masyarakat akan berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa aktivitas tersebut
dianggap penting.
(2) Masyarakat harus merasakan bahwa kegiatannya akan membuat perbedaan.
(3) Masyarakat harus diberikan nilai dan penghargaan atas berbagai bentuk
partisipasi yang dilakukannya.
(4) Masyarakat harus diberikan kemampuan untuk berpartisipasi dan didukung
dalam kegiatan partisipasinya.
(5) Struktur dan proses dalam pembangunan tidak boleh menjauhkan dari
masyarakat (alienating).
Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan
Berdasarkan hasil penelitian Salam et al. (2005) beberapa faktor yang diperlukan demi berlangsungnya partisipasi petani yang berkelanjutan dalam
pengelolaan kehutanan yang partisipatif adalah bahwa partisipasi berkelanjutan
memiliki korelasi secara positif dan nyata dengan : (1) tingkat kepuasan peserta
terhadap jenis yang ditanam dalam arealnya; (2)
tingkat kepercayaan peserta
bahwa kebutuhannya untuk memperoleh hasil diperhatikan; (3) tersedianya
pelatihan terhadap berbagai aspek teknis kehutanan partisipatif; dan (4) kontribusi
sumbangan dana peserta kepada dana penanaman kelompok.
Sedangkan
keberlanjutan partisipasi memiliki hubungan yang negatif dan nyata dengan adanya
gangguan terhadap kepentingan masyarakat lokal dalam penerapan program
kehutanan partisipatif, dan jangka waktu yang lama dari saat perjanjian kerjasama
sampai pemanenan hasil kayu.
Dalam konteks kehutanan masyarakat, Beukeboom (1994) menekankan
pentingnya partisipasi komunitas lokal untuk terjaminnya kelestarian hasil hutan
dan jasa lingkungan lainnya. Program-program kehutanan masyarakat mendasarkan
kepada partisipasi komunitas lokal di dalam perencanaan dan penerapan rencana
86
pengelolaan lahannya. Partisipasi dari komunitas ini juga menjamin bahwa
perencaaan pengelolaan lahan telah sesuai dengan kendala-kendala lingkungan dan
aspek sosial. Seymour (1991) menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam
kehutanan masyarakat bermakna mengambil bagian dalam pengambilan keputusan,
dan tidak hanya sekedar berperan sebagai tenaga kerja. Selanjutnya partisipasi
masyarakat menurut Bhattacharya dan Basnyat (2003) harus difokuskan kepada
kegiatan kehutanan mulai dari perencanaan, penerapan, monitoring dan evaluasi
dengan pembagian hasil yang adil sehingga tercapai pendapatan masyarakat secara
berkelanjutan sebagai salah satu kriteria penting dalam pemberdayaan.
Apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip keterkaitan antara masyarakat
dengan hutan, Colfer et al. (1995) menyatakan bahwa peran penting partisipasi
dalam pengelolaan hutan yang lestari sangat terkait dengan sistem budaya untuk
kesejahteraan masyarakat dikombinasikan dengan keberagaman sistem tersebut
antar ruang dan waktu. Tanpa partisipasi aktif dari para aktor dalam pengelolaan
hutan, tidak akan ada mekanisme yang sesuai untuk mengkomunikasikan aspekaspek budaya yang relevan terhadap pemangku kepentingan lainnya. Berdasarkan
pandangan para aktor kehutanan, salah satu fungsi penting dari partisipasi adalah
dalam hal penyediaan ruang bagi masyarakat lokal untuk mengontrol kecepatan dan
arah perubahan dalam kehidupan masyarakat lokal yang berbasis kepada
sumberdaya hutan.
Berdasarkan hasil penelitian Colfer dan Wadley (1996) di kawasan Suaka
Margasatwa Danau Sentarum (Kalimantan Barat), yang merupakan hutan konservasi, tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam
hutan secara lestari berada pada tipologi enam dan tujuh atau partisipasi interaktif
dan mandiri. Masyarakat lokal terlibat dalam analisis bersama dan membentuk
kelompok lokal baru atau memperkuat kelompok yang sudah ada. Kelompok lokal
ini memiliki kontrol terhadap keputusan lokal. Masyarakat juga mempunyai
inisiatif untuk merubah sistem yang ada.
Download