14 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pemberdayaan (Empowerment) Berdasarkan kajian terhadap berbagai pustaka tentang konsep pemberdayaan (empowerment) di antaranya yaitu Zimmerman dan Rappaport (1995), Perkins dan Zimmerman (1995), Pranarka dan Moeljarto (1996), Horvath (1999), Ashman dan Kay (2000), Ife (2002), Adi (2003), Wong (2003), Suharto (2005) dan sumber lainnya, pengertian pemberdayaan (empowerment) pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan terhadap individu, kelompok atau komunitas lokal yang kurang mampu agar mereka memiliki kemampuan, kekuatan, pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumbersumberdaya sehingga bisa memperbaiki dan meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri. Kemampuan mengandung makna individu, kelompok, atau komunitas yang berdaya, memiliki pengetahuan, mempunyai motivasi, melihat adanya peluang dan bisa memanfaatkannya serta mampu mengambil keputusan dan bertindak secara tepat sesuai dengan situasi yang dihadapinya. Pemberdayaan menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Kajian pustaka berikut ini menguraikan konsep pemberdayaan dari segi maknanya, prosesnya, strateginya, tingkat keberdayaannya, serta kaitannya dengan penyuluhan. Konsep empowerment yang diartikan sebagai pemberdayaan, adalah sebuah konsep yang lahir sebagai bagian perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan Barat. Konsep ini dipandang sejiwa dengan aliran-aliran pada paruh kedua abad ke-20 yang dikenal sebagai aliran post-modernisme. Akar terdalam yang lebih jauh berkaitan dengan gelombang pemikiran baru yang dikenal sebagai gerakan Aufklarung ataupun Enlightenment. Sebagai aliran alternatif dari aliran keagamaan yang deterministis, maka muncul penguatan pada pemikiran kebebasan, rasio dan individu sehingga melahirkan pemikiran liberalisme, rasionalisme dan individual-isme. Konsep empowerment sesungguhnya sudah 15 melekat dalam awal gerakan modern untuk menemukan alternatif tersebut. Empowerment Eropa modern merupakan aksi emansipasi dan liberalisasi manusia dari totaliterisme keagamaan. Emansipasi dan liberalisasi serta penataan terhadap segala kekuasaan dan penguasaan itulah yang kemudian menjadi substansi dari konsep empowerment. Pola dasar dari gerakan pemberdayaan mengamanatkan perlunya power, dan menekankan keberpihakan kepada the powerless. Gerakan ini ingin agar semua dapat mempunyai kekuatan yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi manusia (Pranarka & Moeljarto, 1996). Pemberdayaan tidak bisa dilepaskan dari konsep “power” yang menurut Kamus Oxford Advanced Learner’s diartikan sebagai “ability to do or act” atau kemam-puan untuk melakukan sesuatu atau untuk bertindak. Arti yang lain yaitu “control over others” atau kemampuan mengontrol terhadap pihak lain. Konsep ”pemberdayaan” atau empowerment mencakup pengertian yang sangat luas. Pemberdayaan dari perspektif pembangunan masyarakat (community development) dikemukakan oleh Ife (2002) yang memberikan definisi kerja ”empowerment aims to increase the power of the disadvantaged”. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan daya / kekuatan dari kelompok yang kurang beruntung. Pernyataan ini mengandung dua konsep yaitu “power” atau daya dan “disadvantaged” yaitu pihak yang kurang beruntung / lemah. Konsep daya mengacu kepada pemberian daya kepada individu atau kelompok, mendorong mereka untuk memperoleh daya ke dalam tangannya, dan mendistribusikan daya dari pihak yang punya kepada pihak yang tidak punya. Pemberdayaan dari segi politik meliputi empat perspektif yaitu pluralis, elit, struktural dan post-struktural. Perspektif pluralis menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan proses membantu kelompok dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan lainnya, dengan membantu mereka belajar dan menggunakan ketrampilannya. Perspektif elit menyatakan bahwa pember-dayaan menghendaki keberpihakan kekuatan elit kepada kelompok yang kurang beruntung. Dari perspektif struktural, pemberdayaan bisa dicapai secara efektif hanya apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural bisa diatasi. Dari perspektif post-struktural, pemberdayaan menjadi proses mempertanyakan dan mengubah diskursus, yang 16 menekankan pengertian subyektif dan konstruksi pandangan serta menawarkan alternatif pemikiran terhadap pemberdayaan. Definisi pemberdayaan menurut Shardlow (1998) yang diacu dalam Adi (2003) yaitu : “…such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their future” . Pemberdayaan pada prinsipnya menyangkut orang yang memiliki kontrol terhadap kehidupannya sendiri dan memiliki daya untuk membentuk masa depannya. Definisi pemberdayaan dari perspektif pendidikan menurut O’Brien dan Whitmore (1989) diacu dalam Morley (1995) yaitu : “Empowerment is an interactive process through which less powerful people experience personal and social change, enabling them to achieve influence over the organizations and institutions which affect their lives, and the communities in which they live.” Pemberdayaan adalah proses interaktif di mana orang yang kurang berdaya mengalami perubahan secara pribadi dan sosial, yang memungkinkan mereka memperoleh pengaruh terhadap organisasi dan institusi yang mempengaruhi kehidupannya, dan pengaruh terhadap komunitas di mana mereka hidup. Pemberdayaan dari perspektif psikologi sosial menurut Cornell Empowerment Group (1989) diacu dalam Perkins dan Zimmerman (1995) didefinisikan sebagai : ”Empowerment is an intentional ongoing process centered in the local community, involving mutual respect, critical reflection, caring, and group participation, through which people lacking an equal share of valued resources gain greater access to and control over those resources” Pemberdayaan adalah suatu proses yang dirancang secara terus menerus pada komunitas lokal yang melibatkan rasa saling menghargai, refleksi kritis, kepedulian, dan partisipasi kelompok, di mana orang-orang yang berada dalam kekurangan sumberdaya yang bernilai akan bisa memperolah akses yang lebih besar kepada dan kontrol yang lebih tinggi terhadap sumber-sumberdaya tersebut. Selanjutnya Perkins dan Zimmerman (1995) menekankan bahwa dengan proses pemberdayaan masyarakat memperoleh kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya, partisipasi yang demokratis dalam komunitasnya dan pengertian yang lebih kritis dari lingkungannya. Teori pemberdayaan menekankan dua hal yaitu proses dan hasil, di mana tindakan, aktivitas, atau struktur mungkin bisa 17 memberdayakan dan hasil dari proses itu adalah tingkat keberdayaan. Proses pemberdayaan pada level individu termasuk partisipasi dalam organisasi komunitas. Pada level organisasi proses pemberdayaan meliputi pengambilan keputusan kolektif dan kepemimpinan. Proses pemberdayaan pada level komunitas bisa meliputi tindakan kolektif untuk mengakses pemerintah dan sumberdaya komunitas lainnya. Menurut Horvath (1999) pemberdayaan mengacu pada proses di mana orang, organisasi, dan komunitas memperoleh penguasaan terhadap kehidupannya. Pemberdayaan menjadi bukti melalui kekuatan sosial pada level individu, organisasi dan komunitas. Pada level individu, pemberdayaan adalah kebebasan seseorang untuk memutuskan tujuan apa yang harus diraih dan kapasitas untuk meraihnya tanpa mendapatkan frustasi. Pemberdayaan berhubungan dengan perasaan kemampuan untuk mengubah situasi dengan pengharapan hasil yang positif dari usaha yang dilakukan. Pemberdayaan dari perspektif psikologis merupakan hubungan antara perasaan kompetensi diri, kehendak untuk, dan kemauan untuk mengambil tindakan sosial. Hal ini merupakan konsep yang lebih sempit dari pemberdayaan karena efek atau dampaknya belum terjadi. Pemberdayaan dari segi psikologis dapat menjadi pemberdayaan yang sesungguhnya ketika tersedia dukungan lingkungan. Wong (2003) membahas konsep pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Bank Dunia sebagai solusi mengatasi masalah kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan model feminist, Wong menguraikan daya sebagai konsep yang relasional atau saling berhubungan. (power) Model feminist menekankan multi dimensi dari daya pada berbagai level yaitu individu, kelompok, regional, nasional dan internasional. Kerangka pendekatan feminist menyarankan empat dimensi daya yaitu : daya dari dalam (power from within), daya kepada (power to), daya dengan (power with), dan daya terhadap (power over). Empat dimensi dari daya ini juga sejalan dengan uraian Chambers (2004) yang mengaitkan empat dimensi daya dalam konteks pembangunan. Daya dari dalam (power from within) juga dikenal sebagai daya personal. Daya ini berkaitan dengan daya psikologis dalam benak orang dan memfokuskan kepada perasaan diri, 18 misalnya kepercayaan diri, harga diri, dan respek diri. Komponen-komponen daya internal ini meliputi pengakuan identitas, pengembangan nilai diri, pengembangan penerimaan diri, dan pengembangan saling percaya (trust) menurut pengetahuan individu. Tujuan utamanya untuk mengem-bangkan kemampuan mengatasi tekanan internal. Daya kepada (power to) mengacu pada kapasitas untuk mengambil tindakan. Daya ini menekankan kapasitas generatif produktif dari individu, dan memiliki tiga tujuan yang saling berkaitan yaitu dimaksudkan sebagai pembebasan, partisipasi, dan memobilisasi perubahan. Daya dengan (power with) menekankan pada dorongan kolektif di mana orang bekerjasama satu sama lain untuk memecahkan masalah dan mencapai tujuan, yang bisa dilakukan melalui tindakan bekerjasama/kolaborasi, rasa solidaritas dan tindakan kolektif. Daya ini juga menyangkut pengembangan kapasitas, jaringan sosial dan kekuatan organisasi. Daya ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa secara berkelompok bisa dilakukan walaupun secara individu tidak bisa. Daya terhadap (power over) merupakan kekuatan bertahan atau kekuatan untuk mengontrol. Daya ini bisa negatif karena melawan seseoarang atau suatu kelompok untuk melakukan sesuatu melawan keinginannya. Akan tetapi daya ini juga bisa positif sebab melampaui kondisi dominan dan struktur yang tidak sama. Menurut Ashman dan Kay (2000) dari perspektif pekerjaan sosial, pemberdayaan merupakan proses membantu individu, keluarga, kelompok, dan komunitas untuk meningkatkan aspek personal, interpersonal, sosioekonomi, dan kekuatan politik mereka serta untuk mengembangkan pengaruh terhadap perbaikan kehidupan-nya. Pekerja sosial tidak menyerahkan daya kepada orang, tetapi mereka membantu orang lain untuk membuat pilihan sehingga memberikan kontrol yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapinya, sehingga memperbaiki kualitas hidupnya. Pekerja sosial membantu orang menjadi berdaya dalam dua jalan, yaitu dengan pencapaian pemberdayaan personal dan pemberdayaan sosial. Orang memiliki keberdayaan personal ketika mereka mampu secara langsung mengontrol apa yang terjadi dalam kehidupannya. Sedangkan keberdayaan sosial adalah kondisi di dalam lingkungan sosial di mana orang memiliki akses terhadap kesempatan dan sumberdaya untuk membuat pilihan pribadi dan untuk memelihara 19 kontrol terhadap lingkungannya. Keberdayaan personal akan terbatas apabila orang tidak memiliki keberdayaan sosial. Model teoretis pemberdayaan psikologis (psychological empowerment) mencakup komponen intra-personal, interaksional, dan komponen perilaku. Komponen intrapersonal pemberdayaan mengacu kepada bagaimana orang berpikir tentang kapasitasnya untuk mempengaruhi sistem sosial dan politik yang penting bagi mereka. Hal ini merupakan persepsi diri yang termasuk domain persepsi kontrol yang spesifik, efikasi diri, motivasi untuk melakukan kontrol dan persepsi terhadap kompetensi. Komponen interaksional dari pemberdayaan mengacu kepada transaksi antara individu dengan lingkungannya yang memungkinkan individu untuk menguasai sistem sosial dan sistem politik. Hal ini temasuk pengetahuan tentang sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan, pengertian terhadap agen penyebab, pengertian yang kritis terhadap lingkungannya, pengembangan ketrampilan pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang di-perlukan untuk merespon lingkungannya. Komponen perilaku mengacu kepada aksi spesifik yang diambil individu untuk menampilkan pengaruh terhadap lingkungan sosial dan politik melalui partisipasi dalam organisasi dan kegiatan komunitas (Zimmerman et al., 1993 dan Zimmerman, 1995). Pemberdayaan psikologis mengacu kepada pemberdayaan pada tingkat analisis individu. Konstruk pemberdayaan psikologis ini mencakup persepsi tentang kontrol personal, pendekatan yang proaktif terhadap kehidupan, dan pemahaman yang kritis terhadap lingkungan sosio politiknya (Zimmerman, 1995). Proses Pemberdayaan Menurut Adi (2002) pemberdayaan bisa dilihat sebagai program ataupun sebagai proses. Pemberdayaan sebagai program dilihat dalam tahapan-tahapan kegiatan guna mencapai tujuan yang biasanya sudah ditentukan jangka waktunya. Sedangkan pemberdayaan sebagai proses yaitu kegiatan yang berkesinambungan sepanjang hidup seseorang. Pemberdayaan individu sebagai proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia manusia yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja. Demikian 20 pula dalam komunitas, proses pemberdayaan akan berlangsung selama komunitas itu masih tetap ada dan mau berusaha memberdayakan mereka sendiri. Menurut Suharto (2005) proses pemberdayaan pada umumnya dilakukan secara kolektif. Namun demikian tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam konteks pekerjaan sosial, pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan yaitu aras mikro, aras mezzo dan aras makro. Pemberdayaan pada aras mikro dilakukan terhadap klien secara individu. Pemberdayaan pada aras mezzo dilakukan terhadap sekelompok klien atau melalui media kelompok sebagai media intervensi. Pada aras makro, pemberdayaan dilakukan pada sistem lingkungan yang lebih luas. Dalam penelitiannya tentang manajemen publik di India, Kilby (2004) menekankan pentingnya pendekatan proses pemberdayaan dibandingkan orientasi terhadap hasil suatu program. Hal ini dimaksudkan agar kelompok sasaran program pemberdayaan bisa memiliki kontrol yang lebih besar terhadap kehidupannya. Pemberdayaan menyangkut pilihan, pengambilan keputusan dan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain. Pemberdayaan menyangkut orang yang memiliki pilihan-pilihan yang luas, dan mempunyai tingkat keterlibatan dan kontrol yang lebih besar terhadap seluruh bagian kehidupan keluarga dan komunitasnya. Hal ini sangat berbeda dengan pengalaman pembangunan di India pada masa lalu yang mengutamakan pada hasil, ternyata bertolak belakang dengan tujuan pemberdayaan karena justru menghasilkan ketidakberdayaan. Penelitian Sidu (2006) menunjukkan bahwa proses pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi masih sangat lemah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh masih rendahnya kemampuan pelaku pemberdayaan, kurang tersedianya modal fisik dan modal sosial yang cenderung melemah/rendah. Proses pemberdayaan yang masih lemah tersebut terutama dalam hal keterlibatan warga masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian dan evaluasi program pemberdayaan yang belum optimal. Strategi Pemberdayaan 21 Pengembangan model pemberdayaan dalam strategi pemberdayaan yang berbasis komunitas, menurut Ife (2002) terdiri dari tujuh jenis daya yang saling berinteraksi yaitu : (1) Daya terhadap pilihan personal dan kesempatan hidup, yang menyangkut daya untuk membuat keputusan yang menyangkut kehidupannya. (2) Daya terhadap definisi kebutuhan, yaitu menyangkut daya untuk merumuskan kebutuhan mereka sendiri yang menghendaki pengetahuan dan keahlian yang relevan sehingga memerlukan pendidikan dan akses terhadap informasi. (3) Daya terhadap ide-ide, yang menyangkut daya untuk berpikir secara mandiri dan mengungkapkan idenya, dan kapasitas untuk berdialog serta menyumbangkan idenya pada budaya publik. (4) Daya terhadap institusi sosial, yang menyangkut perubahan institusi agar menjadi lebih bisa diakses, responsif dan bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh lapisan. (5) Daya terhadap sumber-sumber daya, yang menyangkut memaksimalkan daya efektif orang terhadap distribusi dan penggunaan sumberdaya, dan mengurangi ketidakadilan akses terhadap sumberdaya. (6) Daya terhadap aktivitas ekonomi, yang menyangkut kemampuan untuk mempunyai kontrol dan akses terhadap mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran. (7) Daya terhadap reproduksi, yang menyangkut proses reproduksi kepada generasi selanjutnya dalam aspek biologis, sosial, ekonomi dan politik. Tingkat Keberdayaan Keberdayaan merupakan hasil proses pemberdayaan terhadap subyek individu, kelompok atau masyarakat. Berbagai riset tentang pemberdayaan mengindikasikan beberapa konstruk yaitu penguasaan dan kontrol, mobilisasi sumberdaya, konteks sosio politik, dan partisipasi. Hasil pemberdayaan tingkat individu bisa berupa persepsi kontrol terhadap situasi tertentu dan ketrampilan mobilisasi sumberdaya. Hasil pemberdayaan organisasi bisa berupa pengembangan jaringan organisasi, pertumbuhan organisasi dan daya ungkit kebijakan. Hasil pemberdayaan tingkat komunitas meliputi adanya pluraslime, adanya koalisi, dan 22 sumberdaya komunitas yang bisa diakses. Pada level komunitas, pemberdayaan mengacu kepada tindakan kolektif untuk memperbaiki kualitas kehidupan dalam masyarakat dan terhadap hubungan di antara organisasi-organisasi sosial. Masyarakat yang berdaya bukan hanya kumpulan individu yang berdaya (Zimmerman, 1995; Perkins & Zimmerman, 1995). Menurut Suharto (2005) keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan (keberdayaan), yaitu kekuasaan di dalam (power within), kekuasaan untuk (power to), kekuasaan atas (power over) dan kekuasaan dengan (power with). Indikatorindikator dari keberdayaan dengan demikian yaitu : (1) kebebasan melakukan mobilitas, (2) kemampuan membeli komoditas kecil, (3) kemampuan membeli komoditas besar, (4) kemampuan dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga, (5) kebebasan relatif dari dominasi keluarga, (6) kesadaran hukum dan politik, (7) keterlibatan dalam kampanye dan protes, dan (8) kepemilikan atas jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga. Hasil kajian Javan (1998) terhadap komunitas di Charlotte, North Carolina menyimpulkan bahwa tingkat keberdayaan menurut persepsi komunitas merupakan konstruk yang multi-peubah dan terdiri dari tiga komponen yaitu (1) manajemen komunitas (tingkat kapasitas komunitas untuk mengelola keperluannya secara efektif), (2) partisipasi komunitas (tingkat partisipasi komunitas pada kegiatan yang diselenggarakan berbagai pihak), dan (3) perasaan terhadap komunitas (perasaan memiliki dan menjadi bagian komunitas). Terdapat hubungan yang yang nyata dan positif antara faktor pengembangan sosial ekonomi terhadap komunitas dengan persepsi terhadap keberdayaan komunitas. Selanjutnya faktorfaktor lain yang berpengaruh terhadap persepsi pemberdayaan bagi komunitas yaitu faktor budaya, politik, sejarah, geografis dan biologis. Berdasarkan penelitian Panda (2000) tentang pemberdayaan wanita melalui program manajemen sumberdaya alam (lahan, daerah aliran sungai, kehutanan dan sumberdaya air) pada dua desa di India, diperoleh hasil bahwa tingkat keberdayaan 23 mereka berada pada level cukup sampai sedang. Panda menggunakan lima peubah untuk mengukur tingkat keberdayaan yaitu : (1) daya/kekuatan yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : membuat keputusan rumah tangga, mengontrol sumberdaya, mengontrol sumber kekuatan, dan mengatasi hubungan kekuasaan; (2) otonomi dan kemandirian yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : bertindak secara bebas, memiliki kesadaran kritis untuk bertindak secara efektif dan efisien, memiliki percaya diri, dan memiliki visi ke depan; (3) hak (entitlement) yang meliputi hak memiliki sumberdaya secara adil, dan hak untuk mengakses sumberdaya secara adil; (4) partisipasi yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : mempengaruhi keputusan, menyediakan sumberdaya untuk proyek, dan menerima tanggungjawab dan bertindak secara bebas, dan (5) kepedulian dan pengembangan kapasitas yang meliputi kemampuan-kemampuan untuk : melakukan aktivitas ekonomi, melakukan kegiatan sosial, dan melakukan kegiatan politik. Salah satu bentuk tingkat keberdayaan petani yaitu “kemandirian” petani. Menurut Sumardjo (1999) tingkat kemandirian petani yaitu kualitas sumber daya manusia petani berupa tingkat kesiapan petani dalam menghadapi dan mendukung pembangunan pertanian berkelanjutan atau dengan kata lain tingkat kemandirian petani menghadapi era globalisasi. Kemandirian petani diukur melalui aspek kognitif, afektif dan psikomotorik terhadap modernitas petani, efisiensi, dan daya saing petani. Hasil penelitian Sumardjo menunjukkan bahwa faktor-faktor eksternal petani selengkapnya yang terbukti secara nyata berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani secara berturut-turut dari yang paling nyata : (1) aksesibilitas petani terhadap input usaha tani; (2) aksesibilitas petani terhadap pasar; (3) kualitas penyuluhan; (4) aksesibilitas petani terhadap sumberdaya informasi / inovasi; (5) lingkungan fisik sumber daya alam; (6) penetrasi produk lain ke dalam kebutuhan rumah tangga petani; (7) desakan perkembangan sektor di luar pertanian terhadap sektor pertanian dan pedesaan; dan (8) implementasi kebijakan pembangunan pertanian setempat. Sejumlah faktor internal juga terbukti secara nyata berpengaruh terhadap tingkat kemandirian petani, secara berturut-turut dari yang paling nyata : (1) ciri-ciri perilaku komunikasi petani yang relatif terbuka; 24 (2) kualitas kepribadian petani; (3) status sosial ekonomi petani; (4) motivasi ekstrinsik yang ada pada petani; dan (5) motivasi intrinsik petani yang bersangkutan. Menurut Agussabti (2002) yang mengkaji kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi (kasus pada petani sayuran di Jawa Barat) ditemukan bahwa terdapat tiga faktor penting yang secara positif mempengaruhi kemandirian petani dalam pengambilan keputusan adopsi inovasi yaitu : (1) tingkat kesadaran petani terhadap kebutuhannya; (2) karakteristik individu petani yang meliputi : motivasi berprestasi, persepsi terhadap inovasi, keberanian mengambil resiko, serta kreativitas; dan (3) akses petani terhadap informasi. Dalam konteks pengelolaan hutan bersama antara masyarakat dengan pihak pemerintah, hasil penelitian Bhattacharya dan Basnyat (2003) tentang Joint Forest Management (JFM) di India menunjukkan bahwa program tersebut ditujukan untuk pemberdayaan komunitas sekitar hutan baik secara sosial maupun ekonomi. Berdasarkan perspektif komunitas, hasil pemberdayaan merupakan kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan tanpa dukungan atau pengaruh dari pihak lain dan juga mempunyai pendapatan yang memadai untuk keberlanjutan kehidupannya melalui program pengelolaan hutan bersama. Keberdayaan mencakup empat dimensi pemberdayaan yaitu individu, sosial, politik dan ekonomi. Salah satu faktor penting pemberdayaan yaitu pengembangan kapasitas masyarakat setempat. Hasil-hasil Penelitian Keberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Indonesia Berdasarkan hasil kajian Badan Litbang Propinsi Jawa Tengah (2006), diperoleh gambaran bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan hutan di Jawa Tengah rata-rata masih rendah. Rendahnya kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari rendahnya keterampilan masyarakat untuk melakukan usaha ekonomi produktif yang tidak bersinggungan dengan kawasan hutan, sehingga alternatif yang ditempuh yaitu melakukan tekanan terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Untuk memecahkan persoalan tersebut perlu dilakukan upaya-upaya pemberdayaan usaha alternatif masyarakat serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan lahan 25 kawasan hutan yang memungkinkan untuk usaha ekonomi produktif. Kesejahteraan masyarakat sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan tanggungjawab mengelola dan melestarikan hutan. Senada dengan hal tersebut, Sidu (2006) yang meneliti tentang pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi di Kabupaten Muna, juga memperoleh kesimpulan bahwa tingkat keberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi tergolong rendah, terutama dipengaruhi secara nyata oleh rendahnya proses pemberdayaan dan kurang tersedianya modal fisik. Tingkat keberdayaan warga masyarakat yang rendah tersebut terutama terkait dengan masih rendahnya pengetahuan, sikap dan ketrampilan warga masyarakat dalam memahami dan mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki, sumbersumber daya produktif, penggunaan teknologi baru, mencari dan memanfaatkan informasi dan peluang usaha baru. Selanjutnya perpaduan faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi keberdayaan masyarakat seperti faktor proses pemberdayaan, modal fisik, kemampuan pelaku pemberdayaan, modal sosial dan modal manusia merupakan model pemberdayaan masyarakat yang efektif sekitar kawasan hutan lindung Jompi. Jalur efektif dalam meningkatkan keberdayaan warga masyarakat sekitar kawasan hutan lindung Jompi adalah dengan memperbaiki proses pemberdayaan yang didukung oleh kemampuan pelaku pemberdayaan dan ketersediaan modal fisik yang memadai. Penelitian tentang pemberdayaan masyarakat sekitar hutan lainnya dilakukan oleh Pardosi (2005) di Kalimantan Timur yang menyimpulkan bahwa peladang berpindah (PB) mengalami kekurangberdayaan dan disebabkan oleh : (a) pendidikan dan jumlah penghasilan yang rendah; (b) desakan penggunaan lahan perladangan dari perusahaan dan ketiadaan hasil hutan non kayu; (c) tidak adanya alternatif usaha baru; (d) kebutuhan yang diperlukan berkaitan dengan usaha perladangan yang kurang terpenuhi; (e) kemampuan peladang berpindah menggunakan kelembagaan sosial, ekonomi, adat dan politik yang rendah; (f) infrastruktur yang buruk; dan (g) penyuluhan yang sudah dilaksanakan masih buruk. Faktor-faktor determinan peningkatan keberdayaan peladang berpindah adalah (a) kualitas sumber daya pribadi PB; (b) kekuatan motivasi PB; (c) tingkat 26 pemenuhan PB; (d) kualitas pendukung PB; (e) kualitas lingkungan eksternal PB; dan (f) kualitas penyuluhan memberdayakan PB. Menurut Santosa (2004) yang melakukan penelitian terhadap petani tepian hutan pada hutan rakyat dan hutan adat (di Propinsi Sumatera Utara) serta hutan negara (di Propinsi Jawa Tengah), ditemukan lebih dari setengah petani tepian hutan masih berperilaku non adaptif dan memiliki ketergantungan tinggi terhadap hutan. Hal tersebut menyiratkan pemahaman dan kemampuan petani tepian hutan secara umum tergolong rendah ditinjau dari kemampuan memenuhi kebutuhan pokok dan kesadaran pentingnya fungsi pelestarian sumberdaya hutan. Ditemukan pula lingkungan sosial mempunyai pengaruh besar dan positif terhadap perilaku adaptif. Selain itu ditemukan adanya hubungan yang positif dan kuat antara perilaku adaptif dengan tingkat kesejahteraan petani. Pemberdayaan dan Penyuluhan Dari perspektif penyuluhan pembangunan, Slamet (2003a) berpendapat bahwa pemberdayaan masyarakat adalah ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Pengertian pemberdayaan masyarakat adalah bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, mampu membangun/memperbaiki kehidupannya sendiri, atau masyarakat yang mampu meningkatkan kualitas hidupnya secara mandiri, tidak tergantung dari ”belas kasih” pihak lain. Mampu dalam hal ini berarti berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan, melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi. Menurut Black (2000) terdapat empat strategi utama atau model dalam penyuluhan pertanian yaitu model linier ’top-down’ transfer teknologi, model pendekatan partisipatif ’bottom-up’, model menasehati satu lawan satu atau tukar menukar informasi, dan model formal atau pendidikan dan pelatihan secara terstruktur. Disimpulkan bahwa tidak ada model yang mencukupi kalau digunakan secara sendiri. Perlu mempertimbangkan berbagai strategi dalam pelaksanaannya. Apabila dilihat dalam spektrum antara peningkatan level ketrampilan individu 27 sebagai sumbu vertikal dan peningkatan kompleksitas situasi pada sumbu horisontal, maka ketika situasi menjadi lebih kompleks, penekanan dalam penyuluhan harus lebih menekankan kepada pemberdayaan orang dan kelompok untuk menggunakan proses yang berkelanjutan dari eksperimen, pembelajaran dan pengembangan sumberdaya manusia. Penekanan terhadap pemberdayaan individu dan kelompok digunakan untuk mencapai pembelajaran yang mandiri dan kreatif untuk mencapai tujuannya. Konsep Komunitas dan Masyarakat Berdasarkan kajian pustaka tentang konsep komunitas dan masyarakat dari Sanders (1958), Ross & Lapin (1967), Wileden (1970), Tonnies (1974), Carry (1976), Haggstorm (1976), Warren (1977), dan Lewis (1979) maka bisa ditarik kesimpulan bahwa makna konsep komunitas (community) adalah sekelompok orang yang tinggal pada suatu wilayah spasial / geografi tertentu di mana mereka saling berbagi kepentingan atau fungsi yang sama, dan merupakan suatu sistem sosial yang saling tergantung, mereka saling berinteraksi dan melakukan aksi secara kolektif dalam proses sosial yang dijalaninya. Sedangkan konsep masyarakat bisa dipandang sebagai suatu komunitas yang telah memiliki pembagian peran dan fungsi secara lebih jelas, dan para anggotanya lebih terspesialisasi. Dalam konsep masyarakat, sumberdaya publik cenderung berkurang, dan hubungan antar individu lebih dikarenakan adanya kepentingan tertentu. Dalam konteks penelitian ini penulis lebih memilih menggunakan istilah “masyarakat sekitar hutan” walaupun sebenarnya karakteristik “komunitas” lebih mendekati kondisi yang ada saat ini. Hal ini karena pertimbangan istilah “masyarakat” lebih umum digunakan dalam berbagai kebijakan dan peraturan bidang kehutanan. Kajian pustaka terhadap konsep komunitas dan masyarakat dilakukan dengan paparan mengenai konsep komunitas, karakteristik komunitas, modal sosial dalam komunitas, perubahan sosial individu pada komunitas, pengembangan masyarakat, konsep komunitas vs masyarakat, dan uraian tentang masyarakat sekitar hutan. Konsep Komunitas (community) 28 Menurut Carry (1976) konsep komunitas mengacu pada orang-orang yang tinggal dalam suatu hubungan spasial satu sama lain dan mereka saling berbagi kepentingan dan nilai-nilai. Komunitas dalam hal ini merupakan suatu unit aksi dan arena dari suatu proses. Warren (1977) lebih menekankan komunitas sebagai sekelompok orang dengan perasaan bersama atau memiliki basis interaksi bersama. Komunitas berdasarkan pendekatan ekologi merupakan sekelompok orang yang berbagi tempat / ruang bersama-sama. Orang-orang terikat dalam kebersamaan bukan karena perasaan bersama, tetapi karena pertimbangan keperluannya dan saling bekerjasama melalui keterkaitan yang disebabkan pembagian kerja. Namun pada saat yang sama saling berkompetisi memenuhi kebutuhan dalam sumberdaya yang terbatas. Komunitas juga dipandang dari perspektif sebagai sistem sosial yang terbuka, yang terus-menerus menerima input dari lingkungan dan memberikan output kepada lingkungan yang lebih luas. Definisi komunitas (community) menurut Wileden (1970) yaitu : “A rural community consists of the people in a local area tributary to the center of their common interests. The community is the smallest geographycal unit of organized association of the chief human activities”. Komunitas pedesaan terdiri dari orang-orang pada wilayah lokal yang terikat kepada pusat-pusat kepentingan bersama. Komunitas merupakan unit geografi terkecil dari asosiasi yang terorganisir dari aktifitas manusia. Definisi komunitas (community) menurut Ross dan Lappin (1967) mengacu kepada dua kelompok orang yaitu : (1) sekelompok orang dalam suatu wilayah geografis tertentu yang spesifik. Organisasi komunitas biasanya dilakukan kepada komunitas dalam lingkungan geografis yang sempit. (2). Sekelompok orang yang berbagi kepentingan atau fungsi yang sama misalnya kesejahteraan, pertanian, pendidikan, dan agama. Menurut Ndraha (1990) yang mendasarkan pada perspektif ilmu pembangunan masyarakat, konsep komunitas juga memiliki dua arti yaitu : (1) sebagai kelompok sosial yang bertempat tinggal di lokasi tertentu, memiliki kebudayaan dan sejarah yang sama; dan (2) sebagai satuan pemukiman yang terkecil. 29 Haggstrom (1976) memandang bahwa komunitas tampak dalam dua bentuk. Pertama komunitas sebagai obyek merupakan sistem yang saling tergantung antara ketetanggaan, pekerjaan dari organisasi birokrasi, kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan sub sistem lainnya yang terikat bersama oleh prosesproses misalnya transportasi, komunikasi, dan sirkulasi uang. Kedua, komunitas kelihatan sebagai suatu komunitas yang bertindak, yaitu sebuah entitas yang menghendaki aksi secara kolektif dan memulai satu atau lebih perjalanan proses sosial. Menurut Sanders (1958) komunitas (community) bisa dipandang sebagai sebuah tempat, sebagai sebuah pekerjaan dan pusat pelayanan, sebagai sebuah arena interaksi dan sebagai sebuah sistem sosial. Komunitas sebagai tempat ditandai dengan kenampakan fisiknya, yaitu pola tempat tinggal, kompetisi ruang dan adanya batas dari komunitas itu. Komunitas sebagai pusat pelayanan bagi orang-orang merupakan tempat di mana orang bekerja untuk kehidupannya. Komunitas sebagai suatu tempat di mana para aktor dari berbagai kelompok umur, ras, etnik, dan jenis kelamin saling berinteraksi, dengan ciri utama unsur lokalitas mampu memenuhi kebanyakan kebutuhan anggotanya. Komunitas sebagai sistem sosial merupakan perpaduan dari unsur-unsur yaitu ekologi / lingkungan alamiah; demografi / kependudukan; budaya yang meliputi nilai-nilai, tradisi, norma-norma dan sistem kepercayaan; kepribadian yang meliputi sikap dan motivasi; serta unsur waktu. Menurut Lewis (1979) dalam pandangan bidang Ilmu Geografi Sosial terdapat dua pendekatan utama terhadap konsep komunitas. Pertama, pendekatan sistem ekologi di mana struktur komunitas muncul dalam bentuk spasial dan temporal. Populasi dalam komunitas bisa memenuhi kebutuhan dari sebagian besar komponennya dan berbeda dengan sistem lainnya. Tujuan ekologi manusia yaitu untuk menyelidiki proses-proses bagaimana keseimbangan biotik (biotic balance) dan keseimbangan sosial (social equillibrium) bisa tercapai. Pendekatan demikian mengandung dua penjelasan tentang kehidupan komunitas yaitu : (a) aspek a biotik atau sub sosial yang berdasarkan proses-proses kompetisi, invasi dan suksesi. (b) aspek sosial budaya yang berdasarkan kerjasama dan hubungan komensalistik. 30 Kedua, pendekatan komunitas dari segi sosio-geografis, yang berpandangan komunitas sebagai sebuah sistem sosial, yaitu sebagai sebuah sistem spasial terkecil yang masih mencakup ciri utama dari masyarakat (society). Untuk menganalisis sistem sosial bisa melalui dua pendekatan yaitu : (a) Pendekatan aksi kolektif memandang komunitas sebagai tempat di mana terdapat ikatan budaya dan psikologis tertentu di antara anggota-anggotanya yang muncul dalam keberadaan tujuan lokal dan penciptaan motivasi bersama terhadap tujuan. (b) Pendekatan kedua yang memandang komunitas sebagai sistem sosial lebih menekankan pendekatan kelompok sosial. Dalam pandangan ini komunitas merupakan tempat di mana individu saling berinteraksi dan menerima porsi yang lebih besar dari kebutuhan fisikal, psikologikal, dan sosiologikalnya. Pende-katan dalam analisis komunitas terutama menekankan tentang identifikasi bentuk interaksi yang mengintegrasikan individu ke dalam komunitas dan tahapan-tahapan yang dilaluinya. Elemen-elemen Pokok Komunitas Analisis komunitas memerlukan pengetahuan mengenai elemen-elemen penyusunnya. Boyle (1981) mengidentifikasi elemen-elemen utama yang menyusun komunitas yaitu : (1) Elemen budaya yang meliputi bahasa, peran dan status memberikan pengaruh terhadap individu dalam memberikan makna terhadap lingkungannya. (2) Elemen sosial yang meliputi komposisi dan distribusi populasi, kelas sosial, proses sosial, komunikasi, dan perubahan sosial yang akan berpengaruh dalam penentuan dinamika dan perilaku sosial untuk identifikasi kebutuhan dan permasalahan komunitas. (3) Elemen psikologis yang meliputi motivasi, kebutuhan dan konsep diri yang berpengaruh terhadap tindakan individu. Persepsi dan sikap juga berpengaruh pada implikasi program terhadap kehidupan individu. 31 (4) Elemen ekonomi meliputi produksi dan jasa yang terkait dengan setiap fase pembangunan komunitas akan berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi setiap komunitas. (5) Elemen politik meliputi struktur kekuasaan, pengambilan keputusan, manajemen, dan sistem hukum akan berpengaruh terhadap implementasi program menuju perubahan sesuai tujuannya. (6) Elemen lingkungan meliputi aspek fisik (lahan dan ruang), aspek teknologi, dan aspek ekologis dari sumber-sumberdaya akan berpengaruh dalam pelaksanaan program untuk memenuhi kebutuhan komunitas. Karakteristik Komunitas Menurut Ife (2002) komunitas dipahami sebagai suatu bentuk organisasi sosial yang memiliki lima karakteristik yaitu : (1) Skala kemanusiaan. Komunitas menyangkut interaksi pada skala yang bisa dikontrol dan digunakan oleh individu. Orang saling tahu satu sama lain dan interaksi bisa dilakukan satu sama lain. (2) Identitas dan kepemilikan. Dalam komunitas anggotanya memiliki rasa saling memiliki, bisa diterima dan dihargai dalam kelompok serta ada kepatuhan terhadap tujuan kelompok. (3) Kewajiban. Komunitas menghendaki kewajiban tertentu terhadap anggotanya, yaitu harapan bahwa orang akan berkontribusi dengan berpartisipasi aktif dalam kehidupan dan pemeliharaan kegiatan komunitas. (4) Paguyuban (Gemeinschaft). Komunitas memungkinkan orang berinteraksi satu sama lain dalam berbagai peran yang luas, dan mendorong interaksi terhadap orang lain secara keseluruhan, bukan hanya dalam peran dan kategori yang terbatas. (5) Budaya. Di dalam komunitas, orang akan menjadi penghasil yang aktif dari budayanya, di mana ekspresi budaya lokal berbasis komunitas sangat dihargai. Pemahaman konsep komunitas berbeda-beda sesuai teori yang digunakan dalam pendekatan studi yang bersangkutan. Berdasarkan pandangan antropologi, menurut Redfield (1963) diacu dalam Ndraha (1990) memandang komunitas 32 sebagai realitas sosial yang diidentifikasikan sebagai pemukiman kecil penduduk, bersifat mandiri (self contained) dan yang satu berbeda dengan yang lainnya. Karakteristik komunitas bisa diuraikan sebagai berikut : (1) Komunitas memiliki kesadaran kelompok yang kuat. (2) Komunitas tidak terlalu besar sehingga setiap anggota berkesempatan mengenal secara pribadi satu sama lain, tetapi tidak terlalu kecil sehingga mereka dapat melakukan usaha secara efisien. (3) Komunitas bersifat homogen. (4) Komunitas bersifat hidup mandiri (self-sufficient). Modal Sosial dalam Komunitas Upaya pemberdayaan terhadap individu dalam komunitas manusia yang hidup pada tempat tertentu sangat terkait dengan konsep modal sosial (social capital). Menurut Fukuyama (2000), modal sosial didefinisikan secara sederhana sebagai seperangkat nilai-nilai atau norma-norma informal yang telah digunakan dan menjadi bagian dari anggota kelompok tersebut sehingga bisa mendorong kerjasama diantara mereka. Jika anggota mengharapkan untuk berperilaku jujur dan bisa diandalkan, maka mereka bisa saling percaya (trust) satu sama lain. Saling percaya ini merupakan semacam perekat yang membuat suatu kelompok atau organisasi lebih efisien. Sebuah masyarakat terdiri dari sejumlah institusi, hubungan-hubungan yang tercipta, sikap dan nilai yang membimbing interaksi di antara orang-orang dan memiliki kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosial merupakan semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat itu. Dalam modal sosial dibutuhkan adanya nilai saling berbagi, serta pengorganisasian peran-peran yang diekspresikan dalam hubungan personal, kepercayaan (trust), dan tanggungjawab bersama sehingga suatu komunitas lebih dari sekumpulan individu (The World Bank 1998, diacu dalam Syahyuti 2006). Konsep modal sosial didefinisikan sebagai varian entitas, terdiri dari beberapa struktur sosial yang memfasilitasi tindakan dari para pelakunya, apakah dalam bentuk personal atau korporasi dalam suatu struktur sosial. Modal sosial 33 inheren dalam struktur relasi antar individu. Struktur relasi dan jaringan inilah yang menciptakan berbagai ragam kewajiban sosial, menciptakan iklim saling percaya, membawa saluran informasi, dan menetapkan norma-norma dan sangsi sosial bagi para anggotanya (Coleman 1990, diacu dalam Hasbullah 2006). Hasbullah (2006) mengkaji konsep awal pemikiran modal sosial sampai pada konsep modern modal sosial. Modal sosial pada awal pemikirannya bermula dari Adam Smith pada abad 18 yang memasukkan unsur ”social contract” dalam kajian ekonominya. Kontrak sosial memiliki unsur penting meliputi karakteristik jaringan sosial, pola-pola imbal balik, dan kewajiban bersama. Kajian modal sosial selanjutnya yaitu bagaimana dalam suatu unit sosial terjadi pola-pola hubungan timbal balik yang didasari oleh prinsip kebajikan bersama (social virtues), simpati dan empati (altruism) serta tingkat kohesivitas hubungan antar individu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Konsep modern modal sosial pada prinsipnya memandang modal sosial sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya adalah sesuatu yang bisa digunakan untuk dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumberdaya untuk investasi disebut modal. Modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial lebih menekankan kepada potensi kelompok dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok dengan ruang perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Selanjutnya Hasbullah (2006) menguraikan beberapa unsur pokok dalam modal sosial yang menekankan pada kemampuan masyarakat dalam suatu kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Unsur-unsur pokok modal sosial tersebut yaitu : (1) partisipasi dalam suatu jaringan hubungan sosial; (2) saling tukar kebaikan antar individu dalam suatu kelompok dalam nuansa altruisme atau semangat saling membantu dan mementingkan kepentingan orang lain; (3) rasa saling percaya (trust) yaitu suatu bentuk keinginan mengambil resiko dalam hubungan sosialnya didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan seperti yang diharapkan; (4) norma sosial yaitu sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi oleh anggota masyarakat pada entitas sosial tertentu; (5) nilainilai yaitu sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar dan penting oleh 34 anggota kelompok masyarakat; dan (6) tindakan yang proaktif yaitu keinginan yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan masyarakat. Perubahan Sosial dari Individu dalam Komunitas Menurut Lewis (1979) konsep perubahan sosial pada skala individu bisa didefinisikan sebagai proses di mana individu berubah dari cara hidup tradisional ke dalam cara hidup yang lebih kompleks, bersentuhan dengan teknologi yang semakin pesat, dan gaya hidup yang berubah secara cepat. Selanjutnya Rogers dan Burdge (Lewis, 1979) mengidentifikasi perubahan sosial dan membandingkan antara norma tradisional dan modern dalam komunitas (Tabel 1.) Tabel 1. Norma tradisional dan modern dalam komunitas Modern community Traditional community Sikap positif terhadap perubahan Kurangnya sikap yang mendukung perubahan Teknologi berkembang Teknologi lebih sederhana Tingkat pendidikan dan keilmuan tinggi Tingkat pendidikan dan keilmuan serta kemampuan membaca rendah Kosmopolitan : interaksi dengan orang luar tinggi Sedikit komunikasi dengan orang luar Empati : kemampuan melihat dirinya dalam peran orang lain Kemampuan empati rendah After : Rogers and Burdge : Social Change in Rural Societies. Prentice Hall. 1972. p 15 Pengembangan Masyarakat dan Prinsip-prinsipnya Menurut Ross dan Lappin (1967), pekerjaan yang terkait dengan komunitas memiliki tiga kelompok besar yaitu pengembangan komunitas (community development), organisasi komunitas (community organization) dan hubungan komunitas (community relations). Pada negara berkembang, terminologi yang sering digunakan sebagai usaha untuk menyediakan kemajuan komunitas yaitu terminologi pengembangan komunitas. Definisi tentang pengembangan komunitas menurut PBB ditujukan kepada suatu pemanfaatan di bawah suatu program dengan teknik dan pendekatan yang menggantungkan kepada komunitas lokal sebagai unit tindakan dan yang mencoba mengkombinasikan bantuan dari luar dengan usaha- 35 usaha dan kemandirian lokal yang terorganisir, dan berkaitan dengan mencari stimulasi inisiatif lokal dan kepemimpinan sebagai instrumen utama dalam perubahan. Di negara agraris dalam kelompok negara berkembang, penekanan utama terhadap perbaikan kehidupan dasar dari komunitas, termasuk kepuasan terhadap kebutuhan non materi. Di Amerika Utara, istilah yang sering digunakan untuk menandakan perencanaan dan kegiatan komunitas yaitu ”community organization” atau organisasi komunitas. Definisi organisasi komunitas adalah proses membawa dan memelihara penyesuaian yang lebih efektif dan progresif antara sumberdaya kesejahteraan sosial dan kebutuhan kesejahteraan sosial dalam lingkungan geografi atau fungsi tertentu. Tujuannya konsisten dengan tujuan pekerjaan sosial yaitu fokus utama kepada kebutuhan dan bagaimana memenuhi kebutuhan manusia (Ross & Lappin, 1967) Makna dari organisasi komunitas secara terminologi berarti suatu proses di mana komunitas mengidentifikasi kebutuhannya, menyusun prioritas kebutuhan tersebut, mengembangkan kepercayaan dan kemauan untuk bekerja mencapai tujuan itu, menemukan sumber-sumberdaya (internal & eksternal) berkaitan dengan kebutuhan / tujuan, melakukan tindakan yang diperlukan, dan mengembangkan sikap saling bekerjasama dan tindakan dalam komunitas. Beberapa prinsip yang berkaitan dengan organisasi komunitas diungkapkan oleh Ross dan Lappin (1967) diantaranya adalah : (1) Ketidakpuasan dengan kondisi saat ini menjadi pemicu pengembangan komunitas. (2) Ketidakpuasan tersebut difokuskan dalam perencanaan dan tindakan yang berkaitan dengan permasalahan spesifik. (3) Ketidakpuasan yang dirasakan dalam komunitas harus disadari bersama oleh para anggotanya. (4) Pengorganisasian komunitas melibatkan pemimpin formal / informal yang diterima oleh kebanyakan kelompok. (5) Pengembangan komunitas memiliki tujuan dan metode yang diterima secara luas. 36 (6) Program yang disusun harus mampu menggugah aspek emosi anggota. (7) Pengembangan komunitas menyertakan sisi good will (potensi) komunitas. (8) Pengembangan komunitas membentuk jalur komunikasi yang efektif antara kelompok dengan komunitas. (9) Pengembangan komunitas harus mendukung dan memperkuat kelompok yang bekerja secara bersama-sama. (10) Pengembangan komunitas secara fleksibel dalam prosedur organisasinya tanpa mengganggu pengambilan keputusan yang sudah rutin. (11) Pengembangan komunitas dilakukan dalam tahapan yang kegiatannya saling berkaitan. (12) Pengembangan komunitas diarahkan untuk mengembangkan pemimpin yang efektif. (13) Pengembangan komunitas dilakukan untuk mengembangkan kekuatan, stabilitas dan prestise dalam komunitas. Sejalan dengan Ross dan Lappin tersebut, dalam kerangka pengembangan komunitas (community development), Wileden (1970) menyarankan empat prinsip utama dalam pengembangan komunitas yaitu : (1) Prinsip kebutuhan (need), di mana jantung dari setiap program pengembangan komunitas adalah kebutuhan yang diketahui. Tanpa adanya penghargaan atas kebutuhan itu, akan sangat sulit atau tidak mungkin bisa menjalankan program pengembangan komunitas dengan baik. (2) Prinsip kesesuaian terhadap tujuan, menekankan hanya apabila felt need dinyatakan bersesuaian dengan tujuan maka dasar aksi komunitas bisa dilakukan. Tujuan yang dibuat harus bisa diterima secara luas. (3) Prinsip keterlibatan menekankan pentingnya individu pemimpin lokal dilibatkan. Anggota komunitas juga harus diinformasikan dan dilibatkan. (4) Prinsip kerjasama menekankan bahwa keberhasilan program pengembangan komunitas sangat tergantung juga dari kerjasama antara individu dan kelompok dalam komunitas. 37 Selanjutnya Wileden (1970) menyatakan terdapat tiga alasan dalam mempelajari kehidupan komunitas lokal yaitu : (1) komunitas lokal memiliki banyak kontribusi terhadap kehidupan modern, sementara kita bisa belajar dari kondisi masa lalu dan masa sekarang (bukan masa depan); (2) kebanyakan dari kita hidup dan berasal dari komunitas lokal; (3) kehidupan masa depan sangat tergantung pada landasan akar rumput, yaitu komunitas lokal. Konsep Komunitas vs Masyarakat Toennies (1974) di dalam artikelnya “Gemeinschaft and Gesellschaft” membedakan dua konsep, yaitu „Gemeinschaft“ diartikan sebagai „community“ atau komunitas sedangkan „Gesellschaft“ diartikan sebagai „society“ atau masyarakat. Komunitas (community) dalam hal ini mengacu kepada kesatuan yang sempurna dari kehendak manusia. Pada komunitas dijumpai adanya saling ketergantungan dalam hubungan tersebut. Komunitas mengambil bentuk berdasarkan hubungan darah, berdasarkan lokalita habitat yang ditempati, dan berkaitan dengan kepercayaan bersama. Sedangkan konsep masyarakat (society) menyangkut suatu konstruksi buatan dari kumpulan kehidupan manusia sehingga para individu bisa secara damai tinggal bersama. Dalam konsep masyarakat ini tindakan individual lebih menonjol. Barang-barang yang ada telah dimiliki oleh individu tertentu, dan apa yang mereka miliki dinikmati oleh mereka sendirisendiri. Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa pada komunitas, individu- individu pada dasarnya menyatu walaupun sebenarnya terpisah karena berbagai faktor. Sedangkan dalam konsep masyarakat, pada dasarnya individu-individu terpisah satu sama lain walaupun disatukan oleh beberapa faktor. Menurut Koentjaraningrat (1990) dari perspektif ilmu antropologi, konsep ”komunitas” (community) didefinisikan sebagai suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat, serta yang terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Jadi ciriciri suatu komunitas meliputi adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap komunitas sendiri. Sedangkan konsep ”masyarakat” dapat dirumuskan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan 38 yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kedua istilah komunitas dan masyarakat tersebut memang saling bertumpang tindih, tetapi istilah masyarakat adalah istilah umum bagi suatu kesatuan hidup manusia, dan karena itu bersifat lebih luas daripada istilah komunitas. Masyarakat adalah semua kesatuan hidup manusia yang bersifat mantap dan yang terikat oleh satuan adat istiadat dan rasa identitas bersama, tetapi komunitas bersifat khusus karena adanya ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah. Berdasarkan pandangan ilmu sosiologi konsep ”societies” atau masyarakat merupakan salah satu tipe struktur sosial yang komprehensif dan kompleks pada saat ini. Masyarakat mengacu kepada suatu kelompok orang yang tinggal di dalam wilayah teritorial yang sama dan saling berbagi budaya tertentu. Dengan adanya kebudayaan bersama ini maka anggota masyarakat biasanya memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang sama serta biasanya memiliki bahasa yang sama (Hughes et al., 2002). Masyarakat Jawa menurut Tinjauan Aspek Budaya Menurut Koentjaraningrat (1990) kata ”kebudayaan’ atau ”culture” berasal dari bahasa Sanskerta ”buddhayah” yaitu bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti budi atau akal. Sehingga kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Dalam pandangan lain, budaya sebagai perkembangan majemuk dari budi-daya atau daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaan dalah hasil dari cipta rasa dan karsa itu. Pada akhirnya menurut pandangan ilmu antropologi, kebudayaan adalah ”keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Selanjutnya Koentjaraningrat mengutip pendapat seorang ahli hukum adat yaitu Van Vollenhoven yang membagi Indonesia ke dalam 19 daerah atau wilayah lingkungan hukum adat. Khusus untuk P. Jawa terbagi ke dalam tiga wilayah lingkungan hukum adat yaitu Jawa Tengah dan Timur, Surakarta dan Yogyakarta, dan Jawa Barat. Selanjutnya menurut Koentjaranigrat (1984), diacu dalam Gauthama (2003) menyatakan bahwa keberagaman budaya Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) 39 berdasarkan wilayah kebudayaan (culture area) yaitu : (1) Nagarigung (sekitar Purworejo, Temanggung, Magelang, Boyolali, Yogyakarta, Surakarta dan Karanganyar); (2) Mancanagari (sekitar Madiun, Nganjuk, Jombang, Kediri dan Trenggalek, Blitar dan Malang); (3) Banyumasan (sekitar Cilacap, Purwokerto, Banyumas, Banjarnegara dan Purbalingga); dan (4) Pesisiran. Kebudayaan Pesisiran selanjutnya dibedakan menjadi Pesisiran Kilen (sekitar wilayah Tegal, Pemalang, Pekalongan, dan Kendal) dan Pesisiran Wetan (kira-kira meliputi wilayah Jepara, Pati, Blora, Cepu, Rembang, Tuban, Lamongan, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Situbondo). Gauthama (2003) telah melakukan penelitian terhadap pemahaman atau pandangan masyarakat Jawa terhadap falsafah hidup yang telah mereka kenal secara turun temurun. Masyarakat Jawa memiliki sistem orientasi nilai budaya yang terdiri dari lima hakekat pokok yaitu : (1) hakekat hidup, (2) hakekat kerja, (3) hakekat waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan sesamanya, dan (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Dari hasil temuannya diketahui bahwa umumnya mereka mengenal atau memahami falsafah-falsafah tersebut. Hanya saja besar kecilnya tingkat pemahaman tidak sama tergantung dari pengaruh akulturasi budaya yang terjadi pada masyarakat di wilayah itu dengan budaya lain dari luar. Masyarakat Jawa yang berdiam di wilayah Nagarigung umumnya masih memahami dan bersikap sesuai dengan semua hakekat pokok falsafah hidup yang dimilikinya. Masyarakat Jawa yang berdiam di wilayah kebudayaan Mancanagari dan Banyumasan sebagian besar masih memahami dan bersikap sesuai dengan falsafah yang dimiliki, khususnya berkaitan dengan hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat waktu dan hakekat hubungan manusia dengan sesamanya. Masyarakat Jawa di wilayah Pesisiran Kilen masih memahami secara baik semua hakekat kehidupan, meskipun tidak sekuat pemahaman masyarakat Jawa Nagarigung. Berbagai bentuk falsafah hidup tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung kebijakan peningkatan sumber daya manusia melalui peningkatan mental, moral dan etika masyarakat Jawa yang saat ini mulai dirasakan merosot. Masyarakat Sekitar Hutan 40 Istilah yang digunakan dalam bidang kehutanan untuk merujuk orang-orang yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan kebanyakan adalah istilah ”masyarakat”, dan sangat jarang digunakan istilah ”komunitas”. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai pustaka dan dokumen yang kebanyakan menggunakan istilah ”masyarakat”. Beberapa istilah yang digunakan diantaranya yaitu : masyarakat, masyarakat desa hutan, masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, masyarakat di sekitar hutan, masyarakat lokal, dan masyarakat setempat. Menurut Winarto (2006) yang mengumpulkan berbagai definisi dan istilah dari peraturan-peraturan bidang kehutanan, beberapa istilah dan definisi yang berkaitan dengan masyarakat sekitar hutan adalah sebagai berikut : (a) Masyarakat adalah kelompok orang warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam atau sekitar hutan dan yang memiliki ciri sebagai suatu komunitas, yang didasarkan pada kekerabatan, kesamaan, mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan (profesi), kesejarahan, keterikatan tempat tinggal bersama serta faktor ikatan komunitas lainnya.. (b) Masyarakat desa hutan adalah kelompok masyarakat setempat, terutama masyarakat tradisional, baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. (c) Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan adalah kelompok-kelompok masyarakat baik yang berada di dalam hutan maupun di pedesaan sekitar hutan. (d) Masyarakat di sekitar hutan adalah masyarakat setempat terutama masyarakat yang dalam bersikap, berpikir dan bertindak selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun. (e) Masyarakat lokal adalah kelompok masyarakat di dalam suatu kawasan geografis tertentu, mencakup kelompok asli dan kelompok tradisional, dan juga kelompok pendatang yang melakukan pemukiman swakarsa. Istilah lainnya yaitu ”masyarakat setempat” yang menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/MENHUT-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan di sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang 41 merupakan kesatuan komunitas sosial didasarkan pada mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Teori Kelompok Berdasarkan hasil kajian berbagai pustaka tentang konsep kelompok dari berbagai perspektif baik sosiologi maupun psikologi sosial, diperoleh kesimpulan bahwa konsep kelompok mengacu pada suatu organisasi sosial yang berupa kumpulan individu dan memiliki karakteristik : adanya hubungan atau interaksi sosial satu sama lain, adanya saling ketergantungan, adanya identitas dan perasaan bersatu, saling berbagi tujuan tertentu dan harapan terhadap perilaku satu sama lain. Kelompok sebagai sistem sosial merupakan suatu kesatuan dari berbagai unsur yang berhubungan satu sama lain dan berproses secara fungsional menghasilkan suatu output tertentu. Sebagai suatu sistem sosial maka kelompok memiliki struktur sebagai aspek statis dan mempunyai proses sebagai aspek dinamisnya. Konsep lain yang terkait dengan kelompok yaitu “dinamika kelompok” yang bertujuan untuk mempelajari sifat kelompok, hukum perkembangan kelompok, dan hubungannya dengan individu, kelompok lain serta institusi yang lebih besar. Dinamika kelompok ditujukan untuk memahami perilaku individu dengan melihat komponen dan interaksi yang terjadi di dalam kelompok. Unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok yaitu : tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas, pembinaan dan pengembangan kelompok, kekompakan kelompok, suasana kelompok, ketegangan kelompok, keefektifan kelompok, dan maksud tersembunyi. Kelompok tani seharusnya memiliki peran sebagai faktor yang memperlancar pembangunan pertanian. Namun beberapa penelitian tentang kelompok tani hutan di Jawa menunjukkan bahwa peran kelompok masih lemah dalam mencapai tujuan yang seharusnya. Kelompok belum bisa berdiri sebagai mitra yang sejajar dengan Perhutani. Bisa disimpulkan sementara bahwa dinamika kelompok tani hutan belum seperti yang diharapkan. Kajian pustaka tentang konsep kelompok akan diuraikan mulai dari pengertian kelompok, karakteristik kelompok, 42 kelompok sebagai sistem sosial, dinamika kelompok dan tinjauan tentang kelompok tani / kelompok tani hutan. Menurut Cartwright dan Zander (1968) kelompok didefinisikan sebagai kumpulan individu-individu yang memiliki hubungan satu sama lain sehingga membuat mereka saling tergantung secara nyata dalam derajat tertentu. Dari definisi tersebut konsep kelompok mengacu kepada sebuah kelas dalam entitas sosial yang umumnya memiliki sifat saling ketergantungan di antara anggotaanggota kelompok tersebut. Kelompok akan saling berbeda biasanya karena sifat dan besarnya saling ketergantungan di antara anggotanya. Popenoe (1989) berdasarkan perspektif sosiologi, mendefinisikan kelompok sosial sebagai dua atau lebih orang yang memiliki identitas tertentu dan perasaan bersatu dan mereka berbagi tujuan tertentu dan berbagi harapan-harapan tentang perilaku satu sama lain. Definisi kelompok selengkapnya menurut Popenoe adalah : ”A social group can be defined as two or more people who have a common identity and some feeling of unity, and who share certain goals and expectations about each other’s behavior”. Menurut Hughes et al. (2002) kelompok dari sudut pandang sosiologi adalah dua orang atau lebih yang terikat satu sama lain dalam pola interaksi sosial yang relatif stabil dan mereka saling berbagi perasaan sebagai kesatuan. Bagi ahli sosiologi, kelompok berbeda dengan konsep agregat dan kategori. Agregat hanya merupakan kumpulan orang-orang yang berada pada suatu tempat pada waktu tertentu misalnya orang-orang yang sedang belanja di mal, atau orang-orang yang sedang mengantri membeli tiket sepak bola. Sedangkan kategori (sosial) adalah koleksi orang-orang yang memiliki karakteristik yang sama misalnya secara fisik atau secara pola perilaku, yang signifikan secara sosial. Misalnya kategori menurut umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan dan pendidikan. Norlin dan Chess (1997) mengemukakan bahwa kelompok sosial adalah sebuah bentuk organisasi sosial yang eksklusif dan mengorganisir dirinya, yang terdiri dari dua atau lebih anggota yang saling mengidentifikasikan dan berinteraksi satu sama lain secara personal sebagai individu, dan memiliki perasaan bersama kelompok sebagai entitas sosial, dan dipengaruhi oleh tindakan anggotanya yang 43 berhubungan dengan kelompok, serta didominasi oleh tindakan tertentu yang ekspresif. Definisi kelompok sosial selengkapnya yaitu : “Social group is an exclusive, self-organizing form of social organization comprised of two or more members who identify and interact with one another on a personal basis as individuals, possess a shared sense of the group as a social entity, are affected by the group related actions of members, and in which expressive actions dominate”. Menurut Johnson dan Johnson (1987), diacu dalam Sarwono (2005) sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok sosial bisa dibagi ke dalam bermacam-macam jenis, misalnya kelompok primer vs kelompok sekunder dan kelompok formal vs kelompok informal. Kelompok primer biasanya berukuran kecil, memiliki berbagai tujuan, memiliki interaksi sosial yang lebih intensif dan lebih erat, serta memiliki rasa identitas kelompok yang tinggi. Kelompok primer ini sering disebut face-to-face group yaitu kelompok sosial yang anggotanya saling mengenal dari dekat dan karena itu hubungannya erat. Dalam pandangan Tonnies kelompok primer ini bersifat Gemeinschaft. Kualitas komunikasi dalam kelompok primer bersifat dalam dan meluas, bersifat personal, dan menekankan hubungan interpersonal. Kelompok sekunder merupakan kelompok karena spesialisasi yang dirancang untuk mencapai tujuan praktis, anggotanya dihubungkan terutama dengan hubungan sekunder. Hubungan sekunder ini biasanya berdasarkan spesialisasi, kurang memiliki kehangatan emosional, dan hanya melibatkan ssedikit aspek dari kepribadian anggotanya. Kelompok sekunder mempunyai interaksi sosial yang biasanya tidak langsung, jauh dari formal dan kurang bersifat kekeluargaan. Hubungan dalam kelompok sekunder biasanya lebih obyektif. Fungsi kelompok sekunder adalah untuk mencapai tujuan tertentu dalam masyarakat secara obyektif dan rasional. Kelompok sekunder ini lebih bersifat Gesellschaft. Pembagian kelompok lainnya yaitu ke dalam kelompok formal (kelompok resmi) dan kelompok informal (tidak 44 resmi). Perbedaan yang utama yaitu kelompok informal tidak didukung oleh peraturan-peraturan tertulis seperti kelompok formal. Kelompok informal juga mempunyai pembagian tugas, peranan-peranan dan hierarkhi tertentu, serta norma pedoman tingkah laku anggotanya serta konvensi-konvensinya, tetapi tidak dirumuskan secara tegas dan tertulis seperti kelompok formal (Popenoe, 1989; Norlin & Chess, 1997; Gerungan, 2004; Rakhmat, 2004). Karakteristik Kelompok Kelompok sosial menurut Norlin dan Chess (1997) memiliki enam karakteristik penting yaitu : (1) Ukuran (size). Sebagai suatu bentuk organisasi sosial, ukuran kelompok biasanya kecil. (2) Struktur tujuan (goal structure). Kelompok sosial ditandai dengan level minimal dari pembagian peranan. Interaksi antar anggota biasanya dari orang ke orang dan berasal dari kepribadian secara menyeluruh dan bukan dari peran secara sempit. Sehingga struktur tujuan biasanya lebih secara implisit daripada eksplisit. (3) Identitas (identity). Semua anggota kelompok saling berbagi identitas kelompok dan memiliki persepsi kelompok secara menyeluruh. Rasa persatuan dalam kelompok diekspresikan dalam penggunaan kata “kita” dalam kegiatan yang terkait dengan kelompok. (4) Efek terhadap perilaku individu (effect on individual behavior). Kelompok sosial menampilkan sosialisasi yang nyata dan fungsi kontrol sosial terhadap anggota-nya. (5) Mengorganisir diri (self-organizing). Hubungan antara anggota kelompok dan hasil interaksinya berasal dari sisi internal anggotanya. Kegiatan kelompok didorong utamanya dari sisi emosional anggotanya dan bukan dari faktor yang rasional. (6) Ekslusif (exclusive). Kelompok sosial merupakan bentuk yang paling ekslusif dari organisasi sosial. Hal ini ditunjukkan dari potensi stabilitas kelompok dan pola sosialisasi dari anggotanya. 45 Berdasarkan perspektif psikologi sosial, Gerungan (2004) mengemukakan empat ciri-ciri kelompok sosial tidak resmi dan yang agak kecil yaitu : (1) Terdapat dorongan (motif) yang sama pada individu-individu yang menyebabkan terjadinya interaksi ke arah tujuan yang sama. (2) Terdapat reaksi-reaksi dan kecakapan yang berlainan antar anggota kelompok. Sehingga akan muncul pembagian tugas serta struktur tugas tertentu. Akan terbentuk pula norma-norma yang khas dalam interaksi kelompok ke arah tujuan-nya. (3) Pembentukan dan penegasan struktur kelompok yang jelas dan terdiri dari peranan dan kedudukan hierarkhis yang semakin berkembang. (4) Terjadinya penegasan dan peneguhan norma-norma pedoman tingkah laku anggota kelompok yang mengatur interaksi dan kegiatan anggota kelompok dalam merealisasikan tujuan kelompok. Kelompok sebagai Sistem Sosial Sistem sosial merupakan entitas sosial yang dicirikan oleh individu-individu atau unit sosial lainnya yang berproses secara fungsional saling terkait satu sama lain. Sistem sosial yang berkembang secara penuh berarti bahwa seluruh komponen dari sistem itu secara fungsional saling berkaitan (Norin & Chess, 1997). Menurut Cartwright dan Zander (1968) salah satu orientasi teoretis dalam mempelajari dinamika kelompok yaitu pendekatan teori sistem. Dalam pandangan ini kelompok dilihat sebagai suatu sistem yaitu merupakan sistem orientasi, sistem saling keterhubungan dari posisi-posisi dan peran-peran, dan sistem komunikasi. Kelompok dipandang sebagai sistem yang terbuka, yang dianalogikan dari konsep biologi. Teori sistem menekankan kepada berbagai jenis input ke dalam sistem dan output keluar sistem. Menurut Slamet (2006), sistem sosial adalah suatu kesatuan dari banyak unsur yang dapat menghasilkan suatu output tertentu. Sistem terbentuk oleh adanya komponen-komponen atau unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain membentuk suatu jaringan. Masing-masing komponen mempunyai fungsi sendiri yang berbeda satu dengan lainnya. Fungsi komponen yang satu dipengaruhi oleh fungsi komponen lain yang berhubungan dengannya. Kualitas output sistem 46 tergantung pada kualitas fungsi setiap komponen. Kalau salah satu komponen tak ada atau tak berfungsi maka fungsi sistem akan terganggu atau tak berfungsi sama sekali. Kelompok sebagai sistem sosial memiliki beberapa ciri misalnya dalam kelompok terdapat orang-orang yang saling berinteraksi; mempunyai pola perilaku yang teratur dan sistematis; bisa diidentifikasi bagian-bagiannya; dan bisa dilihat sebagai sistem sosial. Sistem sosial terdiri dari interaksi yang terpola dari para anggotanya. Sistem sosial merupakan interaksi dari beragam individu yang hubungannya satu dengan yang lain diorientasikan kepada definisi dan mediasi dari pola simbolsimbol terstruktur dan harapan-harapan. Dalam sistem sosial, terdapat interaksi yang spesifik antara anggota dan bukan anggota. Dalam sistem sosial terdapat dua hal pokok yaitu elemen yang menyusun sistem sosial dan proses yang berhubungan dengan unsur tersebut. Model kelompok sebagai sistem sosial dikenal dengan The Processually Articulated Structural Model (PAS Model). Elemen merupakan suatu komponen utama penyusun sistem sosial, dan proses bisa dilihat sebagai artikulasi umum yang sangat penting dalam analisis suatu aksi sosial (Loomis, 1960; Loomis & Loomis, 1961) . Menurut Loomis (1960) elemen-elemen pokok sistem sosial meliputi sembilan unsur yakni : (1) Tujuan (end, goal and objective) adalah suatu bentuk perubahan di mana anggota sistem sosial berharap untuk mencapainya melalui interaksi yang sesuai. (2) Keyakinan (belief) merupakan suatu proposisi tentang suatu aspek dari kondisi alam ini yang diterima sebagai kebenaran. (3) Sentimen atau perasaan (sentiment) sebagai sesuatu yang berkaitan dekat dengan keyakinan dan berkombinasi dengan keyakinan dalam bidang empiris namun secara analitis terpisah dalam sistem sosial. Sentimen mewakili apa yang dirasakan tentang lingkungan oleh anggota sistem sosial. (4) Norma (norms) dalam suatu sistem sosial adalah berbagai aturan yang menentukan apa yang bisa diterima dan apa yang tidak bisa diterima dalam sistem sosial. 47 (5) Sanksi (sanctions) sebagai elemen dalam sistem sosial mengacu kepada penghargaan dan hukuman yang diberrikan kepada anggota sistem sosial sebagai upaya memaksakan kepatuhan kepada norma dan tujuan. (6) Peranan kedudukan (status-role). Kedudukan (status) atau posisi mewakili elemen dan merupakan apa yang diharapkan oleh aktor dalam situasi tertentu. Peranan (role) mewakili proses. (7) Kewenangan / kekuasaan (power & authority) mengacu kepada kapasitas untuk mengontrol orang lain. (8) Jenjang sosial (social rank). Dalam masyarakat selalu terdapat jenjang-jenjang atau perbedaan kedudukan tertentu. Masing-masing jenjang menunjukkan perbedaan kedudukan dan prestise yang terkandung di dalamnya. (9) Fasilitas (facility) merupakan wahana atau alat yang perlu untuk mencapai tujuan kelompok. Karena orang-orang mempunyai tujuan maka perlu disiapkan fasilitas apa oleh sistem sosial untuk mencapai tujuannya. Elemen-elemen sistem sosial yang berhubungan satu sama lain pada suatu waktu tidak akan tetap demikian. Proses-proses yang terjadi akan menghubungkan, menstabilkan, dan mengubah arah hubungan di antara elemen-elemen dalam kurun waktu tertentu, yang merupakan alat untuk memahami sistem sosial sebagai suatu proses dinamis yang berkelanjutan (Loomis,1960; Loomis & Loomis, 1961) . Proses sosial yang termasuk proses utama (master process) karena melibatkan beberapa elemen menurut Loomis (1960) terdiri dari enam butir yaitu : (1) Komunikasi (communication) yaitu suatu proses di mana informasi, keputusan, dan perintah disebarkan kepada para anggota dan merupakan suatu cara di mana pengetahuan, pendapat-pendapat dan sikap-sikap dibentuk atau dimodifikasi dengan interaksi. (2) Memelihara batas (boundary maintenance) adalah proses di mana identitas sistem sosial dipelihara dan pola karakteristik interaksi dipertahankan. (3) Kaitan sistemik (sistemic linkage) sebagai proses di mana satu atau lebih elemen-elemen dari paling tidak dua sistem sosial dihubungkan sehingga dua sistem tersebut dengan cara tertentu atau pada suatu kejadian tertentu dipandang sebagai sebuah unit. 48 (4) Pelembagaan (institutionalization) adalah suatu proses di mana organisasi dengan struktur tertentu dan aksi sosial serta interaksinya bisa diperkirakan keberlangsungannya. (5) Sosialisasi (socialization) adalah proses di mana warisan sosial dan budaya dise-barluaskan. (6) Kontrol sosial (social kontrol) adalah proses di mana penyimpangan dihilangkan atau dengan cara tertentu diselaraskan dengan keberfungsian dari kelompok sosial. Proses sosial dapat dianalogikan dengan proses fisiologi yang terjadi pada tubuh hewan dan manusia. Kalau proses ini tidak ada atau tidak baik, maka hewan akan sakit/mati. Unsur-unsur proses sosial (6 buah) itu juga merupakan peubah yang kondisinya bisa baik, tetapi bisa juga tidak baik. Sistem sosial yang sehat (dinamis, produktif, efektif) adalah yang unsur-unsurnya berproses atau berfungsi secara baik. Sistem sosial yang tidak dinamis (tidak produktif, tidak efektif, dan lain-lain) biasanya yang salah satu atau lebih dari unsur prosesnya tidak berfungsi secara baik, atau salah satu atau beberapa unsur pokoknya tidak dalam kondisi yang baik. Untuk meningkatkan dinamika sistem sosial bisa dilakukan dengan cara memperbaiki unsur pokok dan atau unsur proses sosial yang keadaannya kurang baik (Slamet, 2006). Dinamika Kelompok Studi tentang kelompok memiliki tujuan di antaranya yaitu untuk bisa memahami dan memperbaiki perilaku anggota kelompok. Menurut Cartwright dan Zander (1968) studi tentang dinamika kelompok lebih intensif dilakukan pada abad ke-20. Dinamika kelompok secara luas bisa dipahami dari tiga sudut pandang yaitu : (1) Dinamika kelompok mengacu kepada suatu ideologi politik yang berkaitan dengan cara-cara kelompok seharusnya diorganisir dan dikelola. Ideologi ini menekankan pentingnya kepemimpinan yang demokratis, partisipasi anggota dalam pengambilan keputusan, dan keuntungan yang diperoleh bagi masyarakat dan bagi individu karena aktivitas kerjasama dalam kelompok. 49 (2) Dinamika kelompok juga mengacu kepada seperangkat teknik, seperti permainan peran, buzz-sessions, observasi dan umpan balik dari proses kelompok, yang digunakan secara luas dalam program pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dalam berhubungan dengan orang lain dan pengelolaan konferensi dan komite. (3) Dinamika kelompok mengacu kepada suatu bidang keilmuan yang ditujukan untuk memperoleh pengetahuan tentang sifat kelompok, hukum-hukum perkembangannya, dan hubungan keterkaitannya dengan individu, kelompok lainnya dan institusi yang lebih besar. Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, Cartwright dan Zander (1968) mengusulkan definisi dinamika kelompok sebagai “bidang penyelidikan yang ditujukan untuk memperluas pengetahuan tentang sifat kelompok, hukum perkembangan kelompok, dan keterkaitannya dengan individu, kelompok lain dan institusi yang lebih besar”. Dinamika kelompok bisa diidentifikasikan dari empat karakteristik yaitu : (a) menekankan kepada hasil riset empiris yang secara teoritis nyata, (b) memberikan perhatian kepada dinamika dan saling keterkaitan antar fenomena, (c) memiliki relevansi yang luas dengan semua ilmu sosial, (d) hasil penemuannya berpotensi untuk diterapkan dalam usaha meningkatkan keberfungsian kelompok dan konsekuensinya terhadap individu dan masyarakat. Terminologi “dinamika kelompok” dipopulerkan oleh Lewin (1890-1947) yang memberikan kontribusi besar melalui penelitian dan teori dinamika kelompok. Dinamika kelompok diistilahkan dengan “Field Theory” atau teori lapangan yang mendasarkan idenya bahwa untuk memahami perilaku, perlu dilihat bagaimana komponen-komponen dan dinamika interaksi yang terjadi. Istilah lapangan dalam teori ini berarti mewakili lingkungan keseluruhan individu. Perilaku menurut Lewin dihasilkan dari tegangan antara persepsi diri individu dengan lingkungan yang dihadapinya. Lingkungan total dari individu (life spaces) harus dipahami untuk bisa mengerti tentang perilaku seseorang. Lewin menyimpulkan bahwa ketika individu berpartisipasi dalam aktivitas di lingkungannya (keluarga, pekerjaan, dan lain-lain), maka perilaku diwujudkan melalui gerakan melalui lingkungannya yang membawa pengaruh positif atau negatif dan didorong oleh 50 persepsinya berdasarkan kebutuhan psikologis yang mendasarinya (Shepherd, 1964; Cartwright & Zander 1968; Daniels, 2003). Menurut Shepherd (1964), Lewin juga mengembangkan sistem konseptual individu yang dapat diaplikasikan pada kelompok kecil. Teori lapangan atau dinamika kelompok memiliki lima asumsi dasar yaitu: (1) Fenomena yang dipelajari adalah apa yang dipersepsikan individu dalam lingkungannya, di mana asumsi ini menuju pada konsep lapangan psikologis atau ruang kehidupan individu. (2) Individu menempati sebuah posisi dalam ruang kehidupannya yang berhubungan dengan suatu obyek. (3) Individu memiliki orientasi terhadap suatu tujuan, yang biasanya melibatkan perubahan posisi antara individu dengan obyek. (4) Individu berperilaku tertentu untuk mencapai tujuan tersebut. (5) Dalam proses bergerak menuju tujuan tersebut individu mungkin menemui halangan yang harus dihindari, yang memungkinkan terjadinya perubahan dalam tujuan, dalam ruang kehidupan atau keduanya. Analisis terhadap dinamika suatu kelompok bisa dilakukan dengan melihat dimensi atau unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok tersebut. Unsur-unsur yang mempengaruhi dinamika kelompok yaitu : (1) tujuan kelompok, (2) struktur kelompok, (3) fungsi tugas, (4) pembinaan dan pengembangan kelompok, (5) kekompakan kelompok, (6) suasana kelompok, (7) ketegangan kelompok, (8) keefektifan kelompok, dan (9) maksud tersembunyi. Pengukuran terhadap setiap unsur tersebut dilakukan dengan beberapa indikator yang menggambarkan intensitas dari unsur-unsur tersebut. Nilai kumulatif dari setiap unsur tersebut secara keseluruhan menggambarkan dinamika suatu kelompok (Shepherd, 1964; Cartwright & Zander, 1968; Beal et al., 1974; Slamet, 2006). Tujuan kelompok merupakan apa yang ingin dicapai oleh kelompok, yaitu merupakan target yang akan dicapai di mana kegiatan-kegiatan kelompok ditujukan ke sana. Tujuan kelompok juga menyediakan kerangka di mana keputusan yang 51 rasional harus dibuat untuk mengarahkan jumlah dan jenis kegiatan uang harus dilakukan (Beal et al.,1974; Slamet, 2006) Struktur kelompok adalah bagaimana kelompok itu berinteraksi di dalamnya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Struktur kelompok terdiri dari bagian-bagian kelompok dan juga hubungan antar bagiannya, yang terbagi ke dalam empat tipe yaitu : (a) aliran informasi, (b) aliran pekerjaan, (c) kewenangan, dan (d) mobilitas orang (Cartwright & Zander, 1968; Slamet, 2006). Fungsi tugas adalah hal-hal yang harus dilakukan oleh kelompok agar tujuan kelompok dapat tercapai. Setiap posisi dalam kelompok yang diketahui oleh anggota lainnya akan memberikan kontribusi terhadap pencapaian tujuan kelompok, dan kontribusi ini mewakili dari fungsi yang ditetapkan (Cartwright & Zander, 1968; Slamet, 2006). Pembinaan dan pengembangan kelompok diartikan sebagai usaha-usaha yang dilakukan untuk menjaga kelompok agar tetap hidup. Usaha-usaha pembinaan dan pengembangan kelompok bisa dilakukan dengan mendorong dan mengembangkan partisipasi, aktivitas, koordinasi, komunikasi, menentukan standar, melakukan sosialisasi, menyediakan fasilitas dan mendapatkan anggota baru (Slamet, 2006). Kekompakan kelompok merupakan kesatuan dan persatuan kelompok serta komitmen yang kuat dari seluruh anggota kelompok. Beberapa faktor yang mempengaruhi kekompakan kelompok yaitu : kepemimpinan, rasa afiliasi anggota, nilai dari tujuan kelompok, homogenitas, keterpaduan, kerjasama dan besarnya kelompok (Slamet, 2006). Suasana kelompok adalah sikap mental dan perasaan-perasaan (suasana hati) yang secara umum ada dan meresap dalam anggota kelompok (Beal et al., 1974; Slamet, 2006). Suasana kelompok dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu : adanya ketegangan, keramahan, suasana bebas atau terkontrol, keadaan lingkungan fisik, dan situasi kepemimpinan pada kelompok. Ketegangan kelompok merupakan segala sesuatu yang menimbulkan ketegangan yang terasa dalam kelompok, baik yang bersumber dari dalam 52 kelompok maupun dari luar kelompok. Kelompok kadang-kadang juga menggunakan kete-gangan atau tekanan terhadap anggotanya untuk membawa kepada kesamaan kepercayaan, sikap, nilai dan perilaku. Beberapa kelompok bahkan menerapkan tekanan ini sebagai bagian dari fungsi kelompok yang sah (Cartwright & Zander, 1968; Slamet, 2006). Keefektifan kelompok atau keberhasilan kelompok dinilai akan cenderung meningkatkan dinamika kelompok. Keefektivan kelompok ini bisa dilihat dari berbagai sudut, yaitu : dari hasil atau produktivitasnya, dari segi moral kelompok, dan dari tingkat kepuasan anggota-anggotanya (Slamet, 2006). Beal et al. (1974) menggunakan istilah produktivitas kelompok , yang bisa dilihat dari beberapa sudut pandang, misalnya dari kelompok sendiri. Biasanya kelompok yang secara efektif memiliki tujuan yang realistis, serta secara efektif dan efisien mencapai tujuannya dikatakan sebagai kelompok yang produktif. Maksud terselubung merupakan program-program, tugas-tugas atau tujuantujuan yang tidak diketahui atau tidak disadari oleh para kelompok. Maksud terselubung juga penting artinya bagi kehidupan kelompok. Dalam hal ini kelompok bisa bekerja untuk maksud-maksud yang secara terbuka atau maksudmaksud yang terselubung pada saat yang sama. Sumber dari adanya maksud tersembunyi ini bisa berasal dari anggota kelompok, pimpinan kelompok atau kelompok itu sendiri (Slamet, 2006). Kelompok Tani dan Kelompok Tani Hutan Berdasarkan Kamus Rimbawan (Winarto, 2006), kelompok tani didefinisikan sebagai berikut : (1) Kumpulan petani dalam suatu wadah organisasi yang tumbuh berdasarkan kebersamaan, keserasian, kesamaan profesi dan kepentingan dalam memanfaatkan sumber daya alam yang mereka kuasai dan berkeinginan untuk bekerjasama dalam rangka untuk meningkatkan produktivitas usaha tani dan kesejahteraan anggota dan masyarakat. (2) Kumpulan petani yang terikat secara informal atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama di dalam pengaruh seorang kontak tani sebagai pemimpin di kelompok. 53 Mardikanto (1992) mendefinisikan kelompok tani sebagai ”kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/pemudi), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak-tani. Pengertian kelompok tani ini termasuk pula gabungan kelompok-kelompok tani yang dibentuk atas dasar permufakatan di antara para petani bersangkutan. Kebanyakan organisasi petani berdasarkan fungsinya dapat dikategorikan menjadi legislatif, ekonomi, pendidikan, dan sosial. Fungsi legislasi dilakukan untuk mengatasi masalah ekonomi, dengan menjadi kelompok penekan. Kelompok petani sebagai penekan juga memiliki program pelayanan ekonomi, misalnya simpan pinjam uang untuk pembelian pupuk, asuransi dan biaya lain. Kelompok yang berorientasi pendidikan melakukan berbagai kegiatan program pendidikan melalui pertemuan-pertemuan lokal, dan diskusi kelompok. Kelompok yang berorientasi sosial melakukan kegiatan pertemuan lokal, kegiatan sosial, dan kegiatan pengembangan komunitas (Rogers, 1960). Penelitian Kartasubrata et al. (1995) tentang program perhutanan sosial di lingkungan Perhutani di Jawa, mendefinisikan Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai asosiasi dari orang-orang yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan dan meng-organisir kegiatan menggunakan lahan hutan. Asosiasi tersebut tumbuh dan ber-kembang dari, oleh dan untuk anggotanya guna mencapai kesejahteraan dan keuntungan bersama. KTH merupakan bagian dari mekanisme untuk berpartisipasi dalam program Perhutanan Sosial. KTH dibentuk pada lokasi-lokasi di mana ada program Perhutanan Sosial. Kebanyakan KTH beranggotakan 15 sampai 25 rumah tangga tani. KTH mempunyai kegiatan rutin yaitu pertemuan bulanan sebagai tempat transfer pengetahuan dan sebagai forum komunikasi antara petani dengan Perhutani. KTH sebagai sarana bagi anggotanya untuk meningkatkan modal bagi kegiatan ekonomi yang tidak bisa dicapai secara individual. Menurut Perhutani (2001) desa hutan adalah wilayah desa yang secara geografis dan administratif berbatasan dengan kawasan hutan atau sekitar kawasan hutan. Masyarakat desa hutan adalah sekelompok orang yang bertempat tinggal di 54 desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. KTH sendiri merupakan kelompok masyarakat tani yang sudah sejak lama mengerjakan lahan hutan Perhutani melalui skema tumpangsari, dan saat ini turut mengelola hutan dengan pengelolaan bersama Perhutani. Kelompok-kelompok tani hutan pada umumnya bergabung menjadi lembaga yang lebih formal yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang berbasis di desa. LMDH kemudian menjalin kerjasama dengan Perhutani dalam rangka program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Namun demikian yang berperan aktif sebagai pelaksana dalam mengelola hutan sebenarnya adalah KTH-KTH tersebut (TPKHR, 2006). Kelompok Tani sebagai Faktor Pelancar Pembangunan Menurut Mosher (1966) agar pembangunan pertanian semakin maju diperlukan keterpaduan antara elemen-elemen yaitu proses produksi, petani, lahan pertanian, dan bisnis pertanian. Pembangunan pertanian juga memerlukan faktorfaktor yang mendasar yaitu tersedianya pasar untuk produk pertanian, adanya teknologi pertanian, tersedianya sarana produksi dan peralatan secara lokal, adanya insentif bagi petani, dan dukungan sistem transportasi. Sedangkan faktor-faktor yang mempercepat pembangunan pertanian (accelerators), yaitu pendidikan untuk pengembangan, kredit produksi, kegiatan kelompok oleh petani, perbaikan dan perluasan lahan pertanian dan perencanaan bagi pembangunan pertanian. Selanjutnya Mosher menekankan bahwa kelompok tani adalah salah satu faktor yang mempercepat (yang memperlancar) pembangunan pertanian. Petani secara individu membuat sebagian besar keputusan tentang apa yang akan dihasilkan, bagaimana metode budidayanya, dan sarana produksi yang diperlukan. Di lain pihak pemerintah memiliki pengaruh yang besar terhadap petani. Di antara dua pihak tersebut terdapat aktivitas yang penting yang mempercepat pembangunan pertanian, yaitu kegiatan kelompok oleh petani di lingkungan komunitas lokal atau regional dan nasional. Beberapa kelompok tani terbentuk secara informal. Beberapa kelompok tani terbentuk secara lebih terorganisir untuk memenuhi 55 kebutuhannya yang tidak bisa dipenuhi apabila petani berdiri sendiri. Kelompok tani juga bisa terbentuk untuk tujuan yang tradisional tanpa partisipasi dari orang di luar kelompok. Untuk mendorong kegiatan kelompok petani bisa dilakukan empat macam kegiatan yaitu : (a) membantu dalam pengorganisasian; (b) membantu bahan-bahan dan peralatan yang diperlukan; (c) bantuan teknis dan manajerial; dan (d) bantuan keuangan (Mosher, 1966). Hasil-hasil Penelitian Kelompok dan Kelompok Tani di Indonesia Berdasarkan penelitian Soebiyanto (1998) pada kelompok tani di Jawa Tengah, dinamika kelompok tani masih tergolong sedang. Dari model peranan kelompok dalam mengembangkan kemandirian petani, dinamika kelompok pengaruhnya kecil dan tidak nyata terhadap kemandirian petani dan ketangguhannya berusaha tani apabila tanpa melalui pemberdayaan petani. Pemberdayaan petani ke arah ketangguhannya berusahatani akan lebih efektif bila dilakukan melalui peningkatan kemandirian petani. Jadi tingkat pemberdayaan petani berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani dan ketangguhannya berusaha tani. Penelitian pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan kelompok oleh Tampubolon et al. (2006) menunjukkan bahwa dinamika kehidupan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dipengaruhi terutama oleh : (1) Faktor karakteristik individu : (a) tingkat pendidikan anggota, (b) modal awal yang dimiliki, (c) pelatihan yang diikuti, (d) motivasi; (2) Faktor pola pemberdayaan yaitu : (a) proses pendampingan, (b) bantuan yang diterima, (c) proses pembentukan kelompok pada awalnya; (3) Faktor lingkungan sosial yaitu : (a) norma dan nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat, (b) peluang atau ketersediaan pasar, (c) keterkaitan dan hubungan kelompok dengan tokoh formal dan informal dalam masyarakat, (d) jaringan kerjasama yang dibangun. Dinamika kehidupan kelompok (KUBE) berpengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan kelompok, yang meliputi keberhasilan dari aspek ekonomi dan aspek sosial. 56 Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang dilakukan Pusat Studi Pembangunan IPB terhadap program social forestry di Perhutani sejak 1984 diperoleh gambaran permasalahan salah satu aspek sosial yaitu pembentukan Kelompok Tani Hutan (KTH) sebagai aktivitas kunci dalam program social forestry di Jawa. Kelompok Tani Hutan merupakan asosiasi orang-orang yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dan mengorganisir sendiri untuk aktivitasnya dalam bidang sosial dan ekonomi untuk mencapai kesejahteraan anggotanya dan berpartisipasi dalam manajemen hutan secara berkelanjutan melalui prinsip bekerja bersama dari dan oleh anggota. Gambaran KTH secara umum masih bertahan untuk eksistensi kehidupannya. Kelompok masih lemah dalam perannya sebagai inisiator aktivitas ekonomi untuk manfaat kesejahteraan anggotanya. Kelompok juga masih lemah dalam perannya untuk mengembangkan, menyatukan dan mewakili aspirasi anggotanya terhadap Perhutani. Dengan kata lain, KTH masih jauh dari apa yang diharapkan (Saragih & Sunito, 1994). Menurut Suharjito et al. (2000) pengembangan kelompok tani hutan tidak terlepas dari program Perhutanan Sosial yang diluncurkan oleh Perhutani di Jawa pada tahun 1986. Program Perhutanan Sosial ini merupakan penyempurnaan dari program-program sebelumnya yang dikenal dengan prosperity approach, yaitu intensifikasi tumpang sari (yang dikembangkan tahun 1972) dan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH). Pada waktu itu KTH dibangun untuk meningkatkan komunikasi timbal balik antara petani dan Perhutani sehingga dicapai persamaan persepsi dan hubungan yang harmonis untuk mewujudkan mitra sejajar. Kelompok juga dimanfaatkan sebagai wadah saling belajar antar petani dan mengembangkan usaha bersama. Teori Kepemimpinan Kajian pustaka terhadap konsep-konsep kepemimpinan dari Hersey et al. (1996), Schermerhorn et al. (1997), Korman (1977), Bass (1981), Robbins (2002) dan Sarwono (2005), memberikan gambaran yang sangat luas tentang makna kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan merupakan suatu proses atau perilaku pemimpin dalam mempengaruhi dan mengarahkan individu atau kelompok untuk 57 melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan yang dikehendaki. Perkembangan pemikiran tentang kepemimpinan berawal dari teori kepemimpinan dengan pendekatan sifat, pendekatan sikap dan pendekatan situasi. Penyajian telaah pustaka tentang konsep kepemimpinan di bawah ini akan dimulai dari pengertian kepemimpinan, makna kepemimpinan, dan perkembangan pemikiran tentang kepemimpinan. Pengertian Kepemimpinan Dinamika dalam suatu kelompok akan sangat terkait peran pemimpin kelompok dalam menggerakkan para anggotanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu membahas mengenai konsep kepemimpinan menjadi penting sebagai upaya mengurai konsep tersebut dan menyusunnya menjadi peubah dalam penelitian ini. Menurut Hersey et al. (1996) kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok dalam usahanya mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dari definisi ini maka proses kepemimpinan merupakan fungsi dari pemimpin, pengikut, dan peubah situasi. Robbins (2002) menyatakan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Menurut Schermerhorn et al. (1997) kepemimpinan adalah kasus spesial dari kemampuan mempengaruhi secara interpersonal yang menyebabkan individu atau kelompok mengerjakan apa yang ingin dilakukan oleh pemimpin. Kepemimpinan muncul dalam dua bentuk yaitu kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal diperoleh individu karena ditunjuk atau dipilih dalam posisi tertentu oleh otoritas formal dari organisasi. Kepemimpinan informal dimiliki individu dan menjadi berpengaruh karena memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh orang lain. Korman (1977) menekankan kepemimpinan dari tiga segi yaitu pertama, perilaku kepemimpinan dalam organisasi merupakan bagian dari perilaku spesifik karena posisi kepemimpinan yang ditetapkan oleh organisasi. Kedua, perilaku 58 kepemimpinan tidak hanya fungsi dari permintaan untuk perilaku yang dibuat suatu sistem sosial, tetapi juga fungsi dari tipe individu yang terlibat (karakteristik individu). Ketiga, kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi sehingga perlu dikaji kondisi di mana orang menerima pengaruh dari orang lain. Menurut Sarwono (2005) kepemimpinan adalah suatu proses, perilaku atau hubungan yang menyebabkan suatu kelompok dapat bertindak secara bersamasama atau secara bekerja sama atau sesuai dengan aturan atau sesuai dengan tujuan bersama. Sebaliknya yang dinamakan pemimpin adalah orang yang melaksanakan proses, perilaku atau hubungan tersebut. Konsep kepemimpinan menurut Bass (1981) menyangkut inti dari kecenderungan, kepribadian yang muncul dalam praktek, pengaruh untuk ketundukan, hubungan yang mempengaruhi, pembedaan kekuatan (power), persuasi, tindakan mempengaruhi, pengaruh terhadap pencapaian tujuan, efek dari interaksi, posisi dan status, pembedaan peran, penguatan, dan inisiasi struktur. Makna Kepemimpinan Berdasarkan kajian terhadap berbagai definisi kepemimpinan dari para ahli, Bass (1981) menyimpulkan bahwa definisi kepemimpinan sangat banyak dan hampir sebanyak orang yang mendefinisikannya. Namun demikian dari hasil kajiannya terdapat kesamaan yang bisa dijadikan bahan klasifikasi makna kepemimpinan. Bass mengklasifikasikan makna kepemimpinan ke dalam sebelas kelompok yaitu : 1. Kepemimpinan sebagai fokus kepada proses kelompok. Pemimpin dipengaruhi oleh kebutuhan dan harapan anggota kelompok. Sebaliknya, mereka fokus perhatiannya dan melepaskan energi kelompoknya ke jalan yang dikehendaki. 2. Kepemimpinan sebagai kepribadian dan efek yang ditimbulkannya. Pemimpin adalah orang yang memiliki jumlah paling besar dari sifat-sifat kepribadian dan karakter yang dikehendaki. 3. Kepemimpinan sebagai seni menumbuhkan kepatuhan. 59 Kepemimpinan adalah proses di mana individu memiliki kemampuan mendorong bawahan untuk berperilaku sesuai yang dikehendakinya. 4. Kepemimpinan sebagai praktek mempengaruhi. Kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi aktivitas kelompok dalam usahanya menetapkan tujuan dan mencapai tujuan itu. Pemimpin merupakan individu yang bertindak memberikan pengaruh yang lebih daripada anggota kelompok lainnya. 5. Kepemimpinan sebagai aksi berperilaku. Kepemimpinan adalah sebagai perilaku individu di mana dia terlibat dalam mengarahkan aktivitas kelompok. Perilaku kepemimpinan biasanya berupa aktivitas di mana pemimpin bertindak mengarahkan dan mengkoordinasikan pekerjaan anggota kelompok. 6. Kepemimpinan sebagai bentuk persuasi. Persuasi atau membujuk/mengajak/meyakinkan merupakan instrumen yang kuat untuk membentuk harapan dan kepercayaan dalam situasi sosial. Kepemimpinan sebagai aktivitas meyakinkan orang untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan tertentu. 7. Kepemimpinan sebagai bentuk hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipandang sebagai salah satu bentuk hubungan yang saling mempengaruhi. Bisa diamati bahwa pemimpin cenderung melakukan transformasi kesempatan kepemimpinan ke dalam hubungan kekuasaan. Kepemimpinan merupakan suatu bentuk hubungan antar orang di mana seseorang bertindak atas permintaan orang lainnya. 8. Kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Kepemimpinan merupakan proses menyusun situasi sehingga berbagai macam anggota kelompok, termasuk pemimpinnya, dapat mencapai tujuan yang ditetapkan yang secara ekonomi maksimum dengan waktu kerja minimal. Hubungan fungsional di mana kepemimpinan eksis, yaitu di mana pemimpin dipersepsikan oleh kelompok sebagai mengontrol cara-cara mencapai kepuasan kelompok. Kepemimpinan berkaitan dengan faktor manusia yang mengikat kelompok bersama-sama dan memotivasi kelompok menuju tujuan. 9. Kepemimpinan sebagai efek yang ditimbulkan dari interaksi. 60 Pemimpin yang sesungguhnya dari perspektif psikologi adalah seseorang yang bisa membuat perbedaan antar individu, yang bisa membawa perbedaan dalam kelompok sehingga bisa mengungkapkan kepada kelompok apa yang menjadi tujuan bersama. Kepemimpinan bisa didpandang sebagai hubungan interpersonal di mana orang lain bisa menuruti / mematuhi karena menginginkannya dan bukan karena diharuskan untuk patuh. 10. Kepemimpinan sebagai pembedaan peran. Kepemimpinan bisa dipandang sebagai interaksi antara seseorang dengan kelompok, atau antara seseorang dengan anggota kelompok. Masing-masing pelaku dalam interaksi akan memainkan peranan, dan peran-peran itu harus dibagi satu sama lain. Pembagian peran memerlukan pengaruh, dan itu dilakukan oleh pemimpin yang mempengaruhi dan anggota lainnya memberikan respon. Kepemimpinan juga bisa dilihat sebagai peranan dalam skema hubungan antar manusia dan sebagai harapan yang timbal balik antara pemimpin dan anggota lainnya. Kepemimpinan sebagai pembedaan peran membutuhkan suatu cara mengintegrasikan berbagai peran dari kelompok dan memelihara kesatuan tindakan dalam usaha kelompok mencapai tujuannya. 11. Kepemimpinan sebagai kegiatan memulai struktur. Pemimpin kelompok sebagai anggota yang memulai interaksi, dan mengajak anggota ke dalam tindakan yang memulai struktur dalam interaksi sebagai bagian proses memecahkan masalah. Perkembangan Pemikiran tentang Kepemimpinan Menurut Hersey et al. (1996), pendekatan terhadap kepemimpinan bergerak melalui tiga fase dominan dalam teori kepemimpinan yaitu pendekatan sifat (trait), sikap (attitudinal) dan situasi (situational). Teori kepemimpinan berdasarkan sifat (trait) Analisis ilmiah tentang kepemimpinan dimulai dari pemimpin itu sendiri. Sifat-sifat apakah yang membuat seseorang menjadi pemimpin. Misalnya Davis merumuskan empat sifat umum yang nampaknya mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan kemanusiaan. 61 Hersey et al. (1996) menyimpulkan bahwa riset empiris menyarankan bahwa kepemimpinan merupakan proses dinamis, sangat bervariasi dari situasi yang satu ke situasi lainnya dengan perubahan pada pemimpin, pengikut dan situasinya. Oleh karena itu walaupun sifat-sifat tertentu mungkin membantu atau menghambat kepemimpinan dalam suatu situasi, ternyata tidak ada sifat-sifat umum yang meyakinkan keberhasilan kepemimpinan. Kurangnya validitas pendekatan sifat ini mendorong pendekatan lainnya terhadap kepemimpinan. Teori kepemimpinan berdasarkan sikap (attitudinal). Pendekatan sikap dalam kepemimpinan dimulai tahun 1945 dengan studi dari Ohio State dan studi Michigan sampai pertengahan 1960 dengan pengembangan managerial Grid. Pendekatan sikap dicirikan oleh adanya instrumen misalnya kuesioner untuk mengukur sikap atau predisposisi terhadap perilaku pemimpin. Teori kepemimpinan berdasarkan situasi. Pendekatan situasi dalam kepemimpinan memfokuskan pada perilaku pemimpin yang diamati dan perilaku anggota kelompok dalam berbagai situasi. Penekanan kepada perilaku dan lingkungan membuka kemungkinan bahwa individu bisa ditraining untuk menyeduaikan gaya perilaku kepemimpinannya dalam berbagai situasi. Oleh karena itu dipercaya bahwa kebanyakan orang dapat meningkatkan keefektifan dalam peranan kepemimpinannya melalui pendidikan, pelatihan dan pengembangan. Perkembangan baru teori kepemimpinan. Upaya mengembangkan teori kepemimpinan dilandasi pertimbangan bahwa teori sebelumnya dirasakan tidak bisa menjawab berbagai permasalahan kepemimpinan saat ini. Patterson (2003) dari Regent University mengembangkan teori kepemimpinan “Servant Leadership” atau kepemimpinan yang melayani. Dalam teori kepemimpinan yang melayani terdapat beberapa konstruk yaitu cinta, kerendahan hati, sifat mementingkan kepentingan orang lain, memiliki visi, kepercayaan, pemberdayaan dan pelayanan. Kepemimpinan pada Masyarakat Indonesia 62 Kepemimpinan dalam konteks masyarakat di Indonesia menurut Gani (2003) pada dasarnya mengacu kepada apa yang dikenal dengan Hasta Brata, Trilogi Kepemimpinan dan Tri Dharma dengan gaya yang paternalistik dan autoritatif. Pemimpin di Indonesia memiliki peran sebagai bapak yang harus bersifat bijaksana dan jujur. Karakteristik kepemimpinan Hasta Brata disebut juga sebagai delapan perilaku pemimpin atau delapan jalan kepemimpinan yaitu : (1) bintang – memberikan inspirasi; (2) matahari – jujur, memotivasi dan memiliki daya / spirit; (3) bulan – memiliki ambisi, memberi arah dan tuntunan; (4) angin – yaitu lincah, akurat, menyukai kerja bersama dan menciptakan nuansa yang menyenangkan; (5) api – yaitu kuat dan menentukan; (6) awan – jujur, adil dan terbuka; (7) lautan – lapang dan berpandangan luas; (8) bumi – bersifat keras dan bisa diandalkan. Selanjutnya Gani (2003) mengacu pada Bratawijaya (1997) menekankan bahwa pemimpin di Indonesia juga harus memiliki peran sebagai komandan (kuat dan berani), sebagai ibu (menerima aspirasi dalam proses pengambilan keputusan), sebagai teman (berhubungan sangat dekat, toleransi, mau berdialog dan berdiskusi), sebagai ksatria (malu untuk berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme), sebagai pendidik (selalu belajar, sabar dan obyektif), sebagai pendeta (menjaga moral nilai dan norma), sebagai pioner (kreatif, pandai, memiliki strategi, baik hati, patuh dan gigih. Pemimpin sebagai ksatria juga harus berorientasi kepada Tri Dharma yaitu perilaku berbagi, bertanggungjawab dan introspeksi diri. Aspek kepemimpinan dalam suatu kelompok sangat berkaitan erat dengan anggota kelompok. Dalam berkelompok setiap anggota tentu memiliki motivasi atau dorongan tertentu. Oleh karena itu menelaah motivasi yang dimiliki anggota kelompok menjadi sangat penting. Di bawah ini akan diulas mengenai konsep motivasi dan kebutuhan manusia, yang akan menjadi salah satu komponen dari satu peubah yaitu potensi sumberdaya individu petani anggota kelompok. Teori Motivasi dan Kebutuhan Manusia 63 Motivasi Berdasarkan kajian pustaka terhadap konsep motivasi dan konsep kebutuhan dari Thoha (1985), Boyle (1989), Vago (1989), Steers et al. (1991), Doyal dan Gough (1991), dan Gerungan (2004), maka motivasi individu pada prinsipnya merupakan seluruh pengertian yang merupakan penggerak, alasan atau dorongan untuk berbuat sesuatu. Istilah motivasi kadang digunakan silih berganti dengan kebutuhan (need), keinginan (want), dan dorongan (drive). Sedangkan konsep kebutuhan (need) sering diartikan sebagai dorongan atau pernyataan dari dalam diri manusia yang memulai timbulnya dorongan. Kebutuhan mengacu kepada kekuatan motivasi yang didorong oleh kondisi dalam diri individu untuk memenuhi sesuatu yang dirasakan kurang. Motivasi individu merupakan dorongan untuk berbuat sesuatu bisa berasal dari dalam (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik). Menurut Gerungan (2004) motif merupakan seluruh pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan, atau dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu. Motif manusia merupakan dorongan, keinginan, hasrat dan tenaga penggerak lainnya yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut Vago (1989) dalam hubungannya dengan dorongan menuju perubahan, motivasi merupakan perilaku yang mengandung maksud dan tujuan tertentu yang diperoleh melalui pengalaman dari proses belajar. Motivasi merupakan jalan untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan, sehingga muncul dalam berbagai tipe dan level. Beberapa motif terkait dengan budaya dan keberadaannya atau ketiadaannya merupakan fungsi dari karakteristik budaya tertentu. Motivasi menurut Steers et al. (1991) memiliki tiga unsur yang mencirikan yaitu : (1) apa yang memberikan energi pada perilaku manusia; (2) apa yang menuntun atau sarana dari perilaku; dan (3) bagaimana perilaku dipelihara. Menurut Thoha (1985) perilaku manusia itu hakikatnya berorientasi kepada tujuan dengan kata lain bahwa perilaku seseorang itu pada umumnya dirangsang oleh keinginan untuk mencapai beberapa tujuan. Perilaku merupakan lingkaran 64 saling ketergantungan dari unsur-unsur motivasi dan tujuan. Atau sesuai teori Luthans perilaku terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive) dan tujuan (goal). Istilah motivasi kadang-kadang dipakai silih berganti dengan istilah-istilah kebutuhan (need), keinginan (want), dorongan (drive), atau impuls. Menurut Steers et al. (1991) teori motivasi secara umum dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu yang berkaitan dengan isi (content theory) dan proses (process theory). Teori motivasi content theory meliputi Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, Teori Motivasi Alderfer (ERG Theory), Teori Motivasi Herzberg dan Teori Motivasi Prestasi McClelland. Teori Maslow menyatakan bahwa kebutuhan mempengaruhi aktivitas manusia sampai kebutuhan itu dipenuhi. Kebutuhan manusia tersusun dalam hierarki dari yang sangat dasar (makanan, tempat tinggal) sampai yang paling tinggi (aktuallisasi diri). Menurut Maslow, individu termotivasi dari lima kebutuhan yang dikelompokkan menjadi kebutuhan : (1) fisik, (2) keamanan, (3) afiliasi sosial, (4) penghargaan dan (5) aktualisasi diri. Berdasarkan Teori Aldefrer, kebutuhan manusia dapat dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu : (1) kebutuhan akan keberadaan (existence), (2) kebutuhan berhubungan dengan orang lain (relatedness), dan (3) kebutuhan untuk berkembang (growth). Teori Motivasi Herzberg menyatakan bahwa kepuasan dalam bekerja dinamakan motivator dan selalu berhubungan dengan isi jenis pekerjaan (job content). Motivator membangkitkan semangat kerja terdiri dari keberhasilan, penghargaan, pekerjaannya sendiri dan tangggungjawab serta peningkatan Sedangkan faktor ketidakpuasan dalam bekerja (hygiene factor) selalu disebabkan faktor yang tidak berhubungan dengan isi pekerjaan misalnya kebijakan, gaji, hubungan kerja, dan gaya kepemimpinan. Teori Motivasi Prestasi McClelland menyatakan bahwa manusia memiliki empat kebutuhan yang dipelajari yaitu : (1) kebutuhan untuk berprestasi (n- Ach), (2) kebutuhan akan kekuasaan (nPow), (3) kebutuhan untuk berafiliasi (n-Aff), dan (4) kebutuhan akan kemandirian (n-Aut). Kebutuhan berprestasi merupakan perilaku dalam kompetisi dengan standar tinggi. Kebutuhan kekuasaan adalah kebutuhan mengontrol lingkungan, mempengaruhi perilaku orang lain, dan bertanggungjawab terhadap orang lain. 65 Kebutuhan afiliasi adalah rasa ketertarikan kepada orang lain dan untuk diterima orang lain. Kebutuhan kemandirian yaitu keinginan untuk menjadi mandiri / merdeka. Teori Motivasi berdasarkan proses (process theories of motivation) menurut Steers et al. (1991) memandang perilaku sebagai sebagai hasil dari (atau setidaknya bagian dari) proses keputusan manusia. Dua teori proses yang penting yaitu Teori Harapan Vroom dan Model Motivasi kerja Porter-Lawler. Teori Vroom yang dirancang untuk situasi pekerjaan mengasumsikan bahwa individu mengambil pilihan secara sadar dan rasional tentang perilaku kerjanya. Karyawan secara rasional akan mengevaluasi berbagai perilaku kerja dan akan memilih mana yang mereka percaya akan memberikan imbalan dari hasil kerja kerja yang paling bernilai (misalnya promosi). Porter dan Lawler menyempurnakan Teori Vroom, dan menyatakan bahwa usaha-usaha yang dilakukan tidak selalu menghasilkan kinerja. Usaha-usaha yang dilakukan tidak selalu menghasilkan kinerja karena individu mungkin tidak memiliki kemampuan menyelesaikan tugas dan mungkin individu tidak memiliki pengertian yang baik tentang tugas yang harus dilakukan. Jadi antara kinerja dan kepuasan kerja mungkin tidak berhubungan satu sama lain. Keadaan tugas memiliki pengaruh terhadap kaitan antara kepuasan dan kinerja. Menurut Lippitt et al. (1958) yang mengkaji tentang dinamika perubahan terencana, sistem klien memiliki kekuatan perubahan yang merupakan dorongan (motivasi) dari sistem klien menuju perubahan yang dikehendaki. Empat tipe motivasi yang bisa mendorong sistem klien menuju perubahan yaitu : (1) Sistem klien mungkin merasa tidak puas terhadap kondisi pada saat ini; (2) Ketidakpuasan tersebut bisa jadi berasal dari persepsi terhadap adanya perbedaan antara apa yang ada dengan apa yang diharapkan; (3) Kadang-kadang tekanan dari luar diperlukan terhadap sistem klien agar membuat perubahan perilakunya; dan (4) Dimungkinkan juga bahwa kehendak dari dalam akan menyebabkan tekanan untuk perubahan. Kebutuhan (need) 66 Kebutuhan (need) sering diartikan sebagai pernyataan dari dalam diri manusia yang memulai timbulnya dorongan. Dalam hal ini kebutuhan mengacu kepada kekuatan motivasi yang didorong oleh kondisi ketidakseimbangan atau ketegangan di dalam diri individu karena adanya sesuatu yang dirasakan kurang terpenuhi. Konsep ”need” atau kebutuhan juga digunakan secara eksplisit dan implisit untuk mengacu kepada kategori tertentu yaitu tujuan (goal) yang dipercaya sesuatu yang umum. Dalam hal ini apabila kebutuhan tidak bisa dipenuhi secara tepat maka akan mengakibatkan gangguan yang serius kepada manusia. Konsep kebutuhan dasar terkait dengan menghindari gangguan yang serius atas kehidupan manusia. Kebutuhan dasar manusia merupakan hal yang harus dipenuhi agar manusia terhindar dari gangguan yang serius atas kelangsungan hidupnya. Dalam pandangan ini seseorang agar bisa bertindak dan bertanggungjawab, paling tidak harus memiliki badan yang sehat dan kemampuan mental untuk melakukan sesuatu dan menentukan pilihan. Untuk menjadi mandiri, seseorang harus memiliki kemampuan untuk membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya. Menurut konsep kebutuhan ini maka kesehatan fisik merupakan kebutuhan dasar. Di samping itu kemandirian (autonomy) juga merupakan kebutuhan dasar, sehingga kemandirian individu perlu dipelihara dan ditingkatkan (Doyal & Gough, 1991). Menurut Boyle (1981) konsep kebutuhan (need) juga sangat terkait dengan penyusunan program. Dalam pengembangan program pendidikan yang efektif, perlu dipertimbangkan kebutuhan dari individu termasuk pula kondisi dan situasi lingkungan yang mencerminkan permasalahan dan kebutuhan tersebut. Dalam hal ini konsep ”kebutuhan” biasanya berkaitan dengan orientasi individu, sedangkan ”permasalahan” biasanya berorientasi kepada komunitas atau berdasarkan situasi. Sesuai dengan asal katanya, ”kebutuhan” merupakan persyaratan secara fisik atau psikologis untuk memelihara keseimbangan suatu organisme. Definisi kebutuhan sendiri bisa dikategorikan ke dalam empat kelompok yaitu : (1) Kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. 67 (2) Kebutuhan yang dirasakan (felt need) dan kebutuhan yang dinyatakan (expressed need). Kebutuhan yang dirasakan adalah sesuatu yang dipercayai diperlukan oleh individu. Konsep ini bisa sebut juga sebagai ”keinginan”. Kebutuhan yang nyata bisa jadi tidak diketahui oleh individu. Oleh karena itu perlu membantu individu untuk mengenali atau merasakan kebutuhan nyata agar bisa memotivasi mereka untuk belajar. (3) Kebutuhan normatif adalah apabila terjadi defisiensi atau gap antara standar yang dikehendaki dan kondisi yang ada saat ini. (4) Kebutuhan komparatif yaitu membandingkan karakteritik dari pihak yang menerima pelayanan dan pihak lain yang tidak memperoleh pelayanan. Menurut Vago (1989) persepsi terhadap kebutuhan (perceived needs) sangat mempengaruhi penerimaan terhadap perubahan dalam masyarakat. Kebutuhan itu sendiri sifatnya subyektif. Perubahan terhadap kondisi lingkungan cenderung menciptakan ke-butuhan yang nyata atau kebutuhan obyektif. Selanjutnya Doyal dan Gough (1991) memberikan saran pemikiran mengenai komponen dan indikator yang perlu diperhatikan untuk pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu dalam bidang kesehatan fisik meliputi : (a) kesempatan untuk bertahan hidup (harapan hidup, tingkat kematian), dan (b) kesehatan fisikal (kecacatan, defisiensi gizi anak, penyebaran penyakit, tingkat kesehatan). Kebutuhan dalam bidang kemandirian / otonomi yaitu : (a) kesehatan jiwa (depresi / penyakit mental), (b) kerugian dari aspek kognitif (kurangnya pengetahuan, tingkat kemampuan membaca, kurangnya keterampilan dasar, kurangnya kemampuan membaca), dan (c) kesempatan aktivitas ekonomi (pengangguran, kurangnya waktu produktif). Sedangkan kebutuhan antara bisa dikelompokkan menjadi : (1) kecukupan bahan makanan dan air bersih, (2) perumahan yang memadai, (3) lingkungan kerja yang aman, (4) lingkungan fisik yang aman, (5) pelayanan kesehatan yang memadai, dan kebutuhan antara selanjutnya yang sangat menunjang otonomi secara emosional yaitu (6) keamanan bagi anak-anak, (7) hubungan primer yang signifikan, (8) keamanan secara fisik, dan (9) keamanan dari aspek ekonomi. 68 Konsep Social Forestry atau Kehutanan Masyarakat Berdasarkan kajian konsep social forestry dari beberapa pustaka di antaranya yaitu FAO (1978), Korten (1987), Dove (1995), Thompson (1999), Wiersum (1994), Awang (2003), Suharjito et al. (2003), dan Lin (2004), bisa ditarik kesimpulan bahwa social forestry atau kehutanan masyarakat merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang meliputi penanaman pohon, pemanenan dan pemasaran dengan dikombinasikan usaha tanaman perdagangan / tanaman pangan / tanaman pakan ternak yang menghendaki peran aktif masyarakat lokal dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka untuk meningkatkan kesejahteraannya dan tetap menjaga kelestarian hutannya. Konsep social forestry dikenal dengan beberapa istilah misalnya community forestry, farm forestry, dan participatory forestry yang memiliki makna yang sama atau senada. Dalam tulisan ini penulis menggunakan terjemahan istilah “kehutanan masyarakat” untuk mengacu kepada konsep social forestry tersebut. Istilah “social forestry” sendiri sebenarnya telah banyak digunakan baik dalam kalangan akademis maupun kalangan praktis. Penggunaan istilah tersebut di kalangan praktis bahkan disebutkan pada salah satu peraturan kehutanan, yaitu Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Rangka Social Forestry. Konsep kehutanan masyarakat adalah merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang memiliki ciri-ciri yaitu : prosesnya menuntut partisipasi komunitas lokal atau bahkan komunitas lokal sebagai pelaku utama; menghargai potensi dan kemampuan lokal; menggunakan orientasi pemberdayaan terhadap masyarakat lokal; tanaman hutan dan menggunakan teknik budidaya secara kombinasi tanaman pertanian, perkebunan, peternakan; dan memperhatikan kelestarian lingkungannya. Sedangkan hasil yang diharapkan yaitu perbaikan kehidupan masyarakat lokal, terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta bisa memberikan keuntungan ekonomi kepada komunitas lokal. Sistematika kajian pustaka tentang konsep kehutanan masyarakat pada tulisan ini dimulai dari latar belakang munculnya konsep tersebut, pengertian tentang kehutanan masyarakat, perkembangan kebijakannya di Indonesia dan perkembangan 69 kebijakan kehutanan masyarakat di Jawa terutama pada areal hutan yang dikelola Perhutani. Latar Belakang Munculnya Konsep Social Forestry Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi, baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya. Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dalam keanekaragaman hayati setelah Brazil dan merupakan salah satu negara megabiodiversity (Bappenas, 2003 diacu dalam Kartodihardjo, 2006). Namun demikian kerusakan sumber daya alam hayati termasuk kerusakan hutan meningkat dari tahun ke tahun dan menjurus kepada krisis ekologi. Salah satu penyebab utama kenapa sumberdaya hutan mengalami kerusakan (deforestasi) diidentifikasi oleh Kartodihardjo (2006) di antaranya adalah kegiatan produksi komersial sebagai penyebab utama. Kegiatan ini termasuk produksi kayu, kelapa sawit dan tanaman perkebunan lain. Hingga Juni 1998, penebangan kayu komersial melalui HPH telah merusak hutan seluas 16,57 juta ha. Implikasi dari deforestasi menimbulkan akibat lanjutan yang berpengaruh kepada kehidupan masyarakat. Deforestasi memperluas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan. Lahan kritis akan menyebabkan penurunan produktivitas lahan untuk pertanian dan perkebunan, dan penurunan produktivitas berdampak pada produksi pangan dan pertanian sehingga berdampak langsung pada pendapatan ekonomi di tingkat masyarakat. Permasalahan berikutnya dari sistem pengelolaan sumberdaya alam hutan yang nyata dijumpai yaitu terjadinya marginalisasi komunitas lokal sehingga menimbulkan kemiskinan komunitas sekitar hutan. Kartodihardjo (2006) menyatakan fenomena tersebut sebagai alienasi sistem sosial dari praktek pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia saat ini. Sumberdaya alam hanya diperlakukan sebagai komoditi dan alat produksi, tanpa memperhatikan sub sistem sosio-kultural yang seharusnya merupakan bagian dari sistem alam dan kehidupan. Alienasi masyarakat dari sumber daya alam dilakukan dengan mengabaikan konsep lokal tentang hak pengelolaan di dalam hukum nasional dan terutama dalam implementasi pembangunan. 70 Komunitas lokal yang tidak memperoleh tempat memadai dalam pengelolaan hutan saat ini, padahal ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam sangat tinggi, menimbulkan kemunduran kehidupan mereka atau fenomena kemiskinan. Disinyalir bahwa perkembangan penduduk, pengangguran, kemiskinan dan kerusakan hutan merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang merugikan seluruh komponen yang berkompeten dengan pembangunan regional (Simon, 1994 diacu dalam TPKHR, 2006). Menurut Awang (2004) tingkat kemiskinan penduduk Indonesia yang masih tinggi dan di Jawa diketahui bahwa sekitar 46 persen desa-desa miskin berada di sekitar kawasan hutan negara. Hal ini merupakan indikasi bahwa masalah kemiskinan masyarakat di sekitar hutan merupakan akibat dari adanya sistem pengelolaan hutan yang dilakukan dengan tidak memberikan penekanan kepada kehidupan dan akses komunitas lokal terhadap sumber daya alam hutan. Dua fenomena besar tadi yaitu kerusakan sumberdaya hutan dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan mengarah kepada suatu bentuk kebijakan pengelolaan hutan yang mempertimbangkan peran masyarakat, yang kemudian dikenal dengan kehutanan masyarakat. Konsep kehutanan masyarakat atau dikenal dengan istilah umum “social forestry”, tentu dipengaruhi oleh seperangkat pengetahuan yang membentuk konsep tersebut dan melandasi lahirnya berbagai bentuk kebijakan dalam bidang kehutanan masyarakat. Pengertian Kehutanan Masyarakat Konsep kehutanan masyarakat memiliki beberapa istilah yang berbeda-beda menurut beberapa ahli. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam Korten (1987) menggunakan istilah community based resource management (CBRM). Korten mengemukakan beberapa landasan pemikiran pentingnya CBRM yaitu sebagai berikut : (1) Bahwa setiap komunitas mengembangkan sistem pemanfaatan sumber-sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhannya. 71 (2) Community based resource management (CBRM) memiliki fungsi memobilisasi sumber-sumberdaya yang ada dan menggunakannya secara produktif, adil dan lestari untuk kebutuhan komunitas lokal. (3) Namun fungsi birokrasi justru menciptakan gangguan yang membahayakan karena menimbulkan marginalisasi komunitas lokal. (4) Keberhasilan dari CBFM tergantung kebijakan dan perubahan institusi. Terdapat beberapa alasan kenapa harus ada komitmen terhadap CBRM yaitu : a) Keanekaragaman lokal : komunitas hidup dalam keanekaragaman alam, ekologi sosial dan pilihan-pilihan individu. b) Sumberdaya lokal : komunitas lokal yang sudah memiliki komitmen terhadap suatu gagasan akan dapat memobilisasi sumber-sumberdaya dalam jumlah besar dan merealisasikan gagasannya. c) Akuntabilitas : pertanggungjawaban suatu kegiatan akan ditanggung oleh penduduk lokal yang melaksanakannya. Sementara itu FAO (1978) memperkenalkan istilah community forestry (CF) sebagai segala macam keadaan yang melibatkan penduduk lokal dalam kegiatan pembangunan kehutanan, dengan tujuan untuk : memenuhi kebutuhan kayu bakar dan hasil hutan lainnya bagi rumah tangga pedesaan; memenuhi kebutuhan pangan dan stabilitas lingkungan untuk kelangsungan produksi; dan menambah pendapatan dan peluang kerja di pedesaan (Wiersum, 1994). Kehutanan masyarakat menurut Wiersum (1994) dapat dibedakan menjadi dua konsep yaitu social forestry dan community forestry. Social forestry merupakan stategi pembangunan atau intervensi dari rimbawan profesional dan organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk mendorong peran aktif dari penduduk lokal dan merupakan diversifikasi aktivitas manajemen hutan pada skala kecil dengan maksud untuk memperbaiki kondisi kehidupan penduduk lokal. Sedangkan konsep “community forestry” didefinisikan sebagai berbagai aktivitas manajemen hutan yang dilakukan oleh penduduk pedesaan sebagai bagian dari strategi mencukupi kebutuhan hidupnya. Pembedaan makna keduanya mengandung arti bahwa social forestry sebagai strategi pembangunan bertujuan untuk mendorong praktek communiy forestry. 72 Menurut Awang (2004) konsep sosial forestry didefinisikan sebagai suatu kegiatan penanaman pohon, pemanenan dan pengolahan, di mana sistem penanamannya dengan salah satu atau dikombinasikan dengan tanaman perdagangan, tanaman pangan, tanaman pakan ternak, melibatkan penduduk secara individu atau komunal, untuk tujuan pemenuhan kebutuhan subsisten, komersial masyarakat, dan untuk kebutuhan lingkungan. Sementara itu Suharjito et al. (2000) lebih melihat pengertian dari praktek kehutanan masyarakat (konsep social forestry / community forestry) sebagai suatu “sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu, komunitas atau kelompok, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik (individual/rumah tangga) untuk memenuhi kebutuhan individu / rumah tangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi”. Menurut Thompson (1999) kegiatan kehutanan masyarakat harus melibatkan partisipasi komunitas kehutanan lokal, keluarga atau beberapa tipe kelompok komunitas lokal dalam aktivitas yang melibatkan pohon-pohon atau hutan di mana partisipan memperoleh produk atau pendapatan lokal dari usahanya. Nilai partisipasi lokal dalam usaha reforestasi kehutanan sangat penting. Keberhasilan program kehutanan masyarakat harus melibatkan komunitas lokal yang tinggal di sekitar hutan dalam perlindungan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya hutan. Proyek juga harus menyediakan keuntungan langsung untuk memperoleh partisipasi dari komunitas. Hal yang sangat penting diperhatikan yaitu apakah kebutuhan dasar dari penduduk miskin di sekitar hutan telah dipertimbangkan atau diperhatikan. Dalam pandangan Dove (1995) kehutanan masyarakat telah bergeser dari fokus awal pada kendala biologis dari hutan dan pohon, kepada kendala sosio ekonomi dari komunitas dan pada saat ini pada kendala institusi kehutanan. Beberapa permasalahan penting dalam kehutanan masyarakat ternyata tidak banyak terkait dengan aspek biologi secara umum, tetapi lebih banyak terkait dengan analisis sistem, formasi negara dan topik lain yang biasanya tidak berhubungan dengan kehutanan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap keberhasilan dan kegagalan intervensi kehutanan masyarakat yaitu faktor 73 orang/masyarakat dan politik, dan bukan faktor teknis kehutanan. Jadi masalah masyarakat sekitar hutan dan lingkungan perlu mendapat perhatian yang utama. Berdasarkan pengalaman penerapan kehutanan masyarakat di Myanmar, Lin (2004) menemukan bahwa kebijakan kehutanan masyarakat menemui kendala yang serius akibat kurangnya ketrampilan sosial dan sikap profesional di antara staf lokal, ketidakpastian kepemilikan lahan dan kurangnya pendekatan pemberdayaan terhadap komunitas. Untuk mengatasi kendala tersebut disarankan agar menggunakan pendekatan pemberdayaan lokal ditambah dengan kepastian hak atas lahan yang transparan dan akuntabel serta menggunakan pendekatan pengelolaan yang sesuai (viable common property regime). Pendekatan pemberdayaan harus menekankan penghargaan pendapat masyarakat lokal dan representasi dalam konteks ekonomi-sosial lokal, mengembangkan jaringan lokal menuju institusi yang federal dan menghormati keputusan lokal. Menurut Glasmeier dan Farrigan (2005) kehutanan masyarakat yang diistilahkan sebagai “community forestry” pada kebanyakan negara berkembang dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Sehingga akses terhadap sumberdaya dianggap sebagai kunci yang sangat penting. Selanjutnya Glasmeier dan Farrigan mengutip pendapat Prado (1995) yang menyatakan bahwa perkembangan kehutanan masyarakat yang mendasar pada negara berkembang akan mengalami evolusi dan berproses dalam tiga tahapan yaitu : (1) partisipasi komunitas dalam proses pengambilan keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya; (2) pelepasan kontrol terhadap areal hutan oleh pemerintah kepada komunitas sehingga mereka bisa mengelola untuk memenuhi kebutuhan dasarnya; dan (3) pengelolaan oleh komunitas dengan kegiatan yang memberikan nilai tambah dengan penanaman, pemrosesan dan pemasaran hasil hutan dengan kontrol pemerintah secara terbatas. Pada tahap kedua, pelepasan kontrol oleh pemerintah kepada komunitas bisa mengambil bentuk : (a) tanggungjawab pengelolaan diberikan penuh kepada komunitas; (b) menyewakan hutan kepada perusahaan berbasis komunitas atau individu untuk tujuan produksi; dan (c) kemitraan antau kerjasama antara pemerintah dengan komunitas di mana kedua pihak berbagi pembiayaan dan keuntungan dari pengelolaan itu. Pada tahap ketiga, diharapkan 74 keuntungan dari kehutanan masyarakat melampaui nilai sumberdaya hutan itu sendiri, dengan memberikan kesempatan dan pengalaman kelompok untuk menjalankan proyek lainnya sehingga memberikan keuntungan untuk ditanamkan pada sektor-sektor lain. Dalam perspektif birokrasi kehutanan, kehutanan masyarakat yang diistilahkan sebagai “social forestry” merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan mewujudkan kelestarian hutan (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2004). Teori Akses Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Glasmeier dan Farrigan (2005) menyatakan bahwa akses terhadap sumberdaya alam merupakan kunci yang sangat penting dalam kehutanan masyarakat. Sejalan dengan itu Ribot dan Peluso (2003) mengutarakan teori akses yang berkaitan dengan cara-cara komunitas memperoleh manfaat dari sumberdaya alam. Akses didefinisikan sebagai “the ability to derive benefits from things” atau kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Kemampuan (ability) memiliki kemiripan / persamaan dengan daya (power) yang didefinisikan dalam dua bentuk yaitu sebagai 1) kapasitas dari pelaku / aktor untuk mempengaruhi kegiatan dan ide orang lain, dan 2) daya sebagai sesuatu yang muncul dari dalam diri orang. Teori akses lebih memfokuskan kepada konsep “ability” atau kemampuan dari pelaku, dibandingkan dengan konsep “rights” atau hak yang harus dimiliki pelaku dalam teori tentang kepemilikan (property theory). Akses meliputi segala upaya dimana individu memiliki kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya. Sedangkan konsep ‘property’ menyangkut klaim atau hak yang diakui secara sosial, baik secara hukum, tradisi atau kesepakatan bersama. Beberapa aspek yang bisa membentuk atau berpengaruh terhadap akses yaitu meliputi : 1) akses terhadap teknologi, 2) akses terhadap modal, 3) akses terhadap pasar, 4) akses terhadap kesempatan kerja, 5) akses terhadap pengetahuan, 6) akses terhadap kewenangan, 7) akses melalui identitas sosial, dan 8) akses melalui negosiasi hubungan sosial lainnya. 75 Perkembangan Kebijakan Kehutanan Masyarakat di Indonesia Berdasarkan catatan Awang (2004) dan Hindra (2005), terdapat beberapa periode konsep dan pelaksanaan pendekatan sosial kemasyarakatan dalam bidang pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia (Jawa dan luar Jawa) yang digagas oleh perusahaan dan pemerintah yaitu : (1) Periode 1972-1984 : Pendekatan kesejahteraan. Pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) ini digunakan oleh Perhutani di Jawa untuk mengatasi berbagai konflik, dengan cara pemanfaatan lahan untuk tumpangsari dengan tanaman pertanian maupun pengembangan ternak. Kegiatan belum menunjukkan hasil yang memuaskan, dengan dominasi kegiatan fisik. (2) Periode 1984-1986 : Persiapan dan penelitian kehutanan sosial di Jawa. Periode ini dilakukan penelitian yang berkaitan dengan aspek sosiologi dan antropologi masyarakat sekitar hutan yang melibatkan Fahutan IPB, Fahutan UGM dan Perhutani. Inisiatif dari peneliti asing juga sangat berperan yaitu Francis Seymour dan Nancy Peluso yang didukung Ford Foundation. (3) Periode 1982-2000 : Implementasi PMDH dan Perhutanan Sosial (PS). Pada periode ini Perhutani menerapkan program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) yang meliputi dua bentuk yaitu perhutanan sosial pada lahan hutan negara dan partisipasi masyarakat di luar kawasan hutan negara. Program ini untuk membangun hutan pada lahan kosong, untuk memberi peluang kerja dan pendapatan masyarakat. (4) Periode 1992-2000 : HPH Bina Desa / PMDH Pada periode ini dikeluarkan kebijakan HPH Bina Desa Hutan bagi para pemegang HPH di luar Jawa. Para pemegang HPH harus membina palilng sedikit 1 desa dalam setahun. HPH menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan dana untuk memberdayakan aspek ekonomi rakyat.untuk hutan di luar Jawa. Program ini banyak mengalami kegagalan karena pedoman kerja tidak tepat, konsultan yang belum ahli, pencetakan 76 demplot di luar kawasan padahal ladang masyarakat dalam kawasan, dan target menjadikan peladang menetap. (5) Periode 1995-2003 : Hutan Kemasyarakatan (HKm) Program hutan kemasyarakatan melalui SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 dan fokus pada kegiatan rehabilitasi hutan dan mengatur pembagian manfaat antara masyarakat dengan pemerintah. Program ini muncul karena desakan publik agar institusi kehutanan lebih peduli terhadap masyarakat miskin sekitar hutan. Namun perangkat kelembagaan belum dikembangkan, dan menemui hambatan masalah perizinan. Kemudian pada tahun 1998 muncul SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998 di mana masyarakat melalui koperasinya bisa mengajukan permohonan untuk mendapat hak pengusahaan atas kawasan hutan. Ekses negatif yang muncul dari HKm ini adalah penebangan kayu oleh koperasi yang luasnya 100 ha – 1000 ha dan kebanyakan dilakukan pada hutan-hutan di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Jambi. Pada tahun 1999 muncul kebijakan baru yaitu SK Menhutbun No. 865/Kpts-II/1999 yang mengubah hak pengusahaan menjadi ijin pemanfaatan, dengan menggunakan salah satu prinsip yaitu masyarakat sebagai pelaku utama, serta ditentukan sistem dan kelembagaan pengelolaannya. Pada tahun 2001 muncul kebijakan baru yaitu SK Menhut No. 31/Kpts-II/2001 yang menekankan prinsip antara lain bahwa masyarakat sebagai pelaku utama, pemerintah sebagai fasilitator, perencanaan partisipatif, manajemen berkeadilan, dan pemberdayaan. (6) Periode 2001 – sekarang : PHBM (di Jawa) Sebagai dampak dari reformasi, antara lain adalah meningkatnya dorongan publik tentang transparansi pengelolaan hutan, maka Perhutani membuat kebijakan tentang Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) melalui SK Dewan Direksi Perum Perhutani No. 136/2001 yang menekankan pengelolaan bersama antara Perhutani dengan masyarakat dengan jiwa atau prinsip berbagi. PHBM dimaksudkan untuk memberi arah pengelolaan sumber daya alam yang memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial secara proporsional. 77 (7) Periode 2003-sekarang : Kehutanan sosial (seluruh Indonesia) Sejak pertengahan tahun 2003, Presiden Megawati mencanangkan program sosial forestri sebagai program andalan untuk menyelesaikan masalah-masalah sektor kehutanan. Kelompok Kerja (Pokja) Nasional Sosial Forestri dibentuk, dan sosialisasi pemikiran pokja dilakukan di daerah-daerah. Beberapa daerah tidak sejalan dengan pemikiran Pokja karena dinilai masih sentralistik dan belum mampu menyelesaikan masalah kehutanan di daerah. Akhirnya muncul kebijakan pada tahun 2004 yaitu Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat di dalam dan atau Sekitar Hutan Dalam Kerangka Social Forestry. Peraturan ini dimaksudkan untuk memayungi kebijakan kehutanan masyarakat yang sudah ada. Ciri pokok yaitu pengelolaan berbasis pemberdayaan, rambu-rambu yaitu : tidak mengubah status dan fungsi kawasan, tidak memberikan hak kepemilikan, dan strategi pokok melalui kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha. Kebijakan kehutanan pada akhir tahun 2004 yaitu adanya lima program prioritas Departemen Kehutanan. Salah satunya yaitu bahwa program kehutanan masyarakat merupakan kebijakan untuk memberdayakan ekonomi komunitas di dalam dan di sekitar hutan. Kebijakan ini merupakan penerapan dari UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengamanatkan di antaranya bahwa : (1) pemegang konsesi hutan harus bekerjasama dengan komunitas lokal di sekitar hutan (pasal 30); (2) kegiatan rehabilitasi lahan harus menerapkan pendekatan partifipatif agar bisa memberdayakan komunitas di sekitar hutan (pasal 42 ayat 2); dan (3) pengelolaan hutan harus memperhatikan kebutuhan komunitas sebagai kunci suksesnya, sehingga orientasi pengelolaan harus diubah dari produksi kayu kepada orientasi pemanfaatan sumberdaya berbasis pemberdayaan komunitas. Perkembangan Kebijakan Kehutanan Masyarakat di Jawa Pengelolaan hutan di Jawa oleh negara ditandai dengan kedatangan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Daendels di Jawa pada tahun 1808. Daendels menetapkan sistem dan organisasi eksploitasi hutan di Jawa dengan 78 mendeklarasikan bahwa : (a) seluruh hutan menjadi domain negara dan dikelola untuk keuntungan negara, (b) pengelolaan hutan menjadi cabang-cabang atau wilayah dilakukan oleh pegawai pemerintah, (c) areal hutan dibagi ke dalam petakpetak untuk ditebang dan ditanami kembali sesuai rotasinya, dan (d) pembatasan akses bagi masyarakat desa sekitar hutan untuk mengambil kayu jati bagi keperluan komersial, dan mengijinkan mereka mengumpulkan kayu yang mati dan hasil hutan non kayu. Pada tahun 1865 diterbitkan undang-undang kehutanan yang pertama untuk wilayah Jawa. Kemudian diikuti oleh undang-undang agraria (The Agrarian Law) atau dikenal dengan istilah Domeinverklaring tahun 1870 yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat dan seluruh lahan hutan merupakan domain (milik) negara. Hal ini menjadi dasar pengelolaan hutan hingga saat ini dengan basis kehutanan ilmiah (scientific forestry). Kemudian sampai pada Undang-undang kehutanan tahun 1927 menyatakan dengan jelas antara pengertian kayu milik rakyat dan kayu yang tumbuh pada hutan negara. Pada tahun 1930 diperkenalkan penanaman hutan dengan sistem tumpang sari, yaitu petani sekitar hutan menanam tanaman pertanian selama satu sampai dua tahun di sela-sela tanaman hutan (Peluso, 1992). Upaya pengembangan kehutanan masyarakat di Jawa yang dilakukan Perhutani telah dimulai pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an, dengan pembiayaan dari Perhutani sendiri. Walaupun Perhutani memiliki komitmen pendanaan untuk pelaksanaan kehutanan masyarakat ini, namun kebanyakan proyek kehutanan masyarakat belum berhasil mengurangi kemiskinan atau menghentikan penjarahan hutan (Peluso, 1992). Perkembangan kebijakan tentang kehutanan masyarakat oleh Perhutani di Jawa secara kronologis dirangkum oleh Sardjono (2006) sebagaimana disajikan pada Tabel 2. Bilamana mengamati perkembangan pendekatan dari awal yaitu Tumpang Sari hingga PHBM sebagaimana disajikan dalam Tabel 2., maka beberapa hal yang dipertimbangkan nyata pergeserannya adalah : a) Petak-petak kawasan hutan yang ’dipangkukan’ dalam wilayah administrasi desa sebagai dasar penetapan kerjasama pengelolaan; 79 b) Kesediaan pihak perusahaan untuk mendiskusikan komoditi pendamping dan khususnya berbagi hasil hutan (kayu dan non-kayu) dengan masyarakat; c) Kelembagaan pengelolaan pada tingkat desa (LMDH) yang didukung oleh Peme-rintah Daerah (dalam hal ini adalah ketersediaan forum multipihak pada level administratif desa dan di atasnya untuk mendukung implementasi PHBM). Tabel 2. Deskripsi dan analisis pendekatan sosial dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani selama empat dasawarsa terakhir Periode Istilah Pendekatan Sosial < 80-an Tumpang Sari Sejak mid. 80an Perhutanan Sosial Periode 90-an PMDH (Pembangunan Masyarakat Desa Hutan) Sejak akhir 90-an (hingga kini) PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat) Sumber : Sardjono (2006) Substansi Konsep Pendekatan a.l. Catatan Komparasi • Penanaman palawija diantara tanaman pokok oleh petani; • Pemeliharaan tanaman pokok oleh petani tanpa memperoleh hasil kayu; • Petani memiliki waktu terbatas untuk pengelolaan lahan hutan (3 tahun) • Penanaman palawija diantara tanaman pokok oleh petani dengan jarak tanam lebih lebar dari tumpang sari biasa; • Disamping palawija juga bisa ditanam buah-buahan yang dapat dimanfaatkan petani • Kayu tetap menjadi bagian dari Perum Perhutani • Pengelolaan hutan dikaitkan dengan program pembangunan pedesaan dan pembinaan masyarakat secara lebih luas; • Kegiatan dapat meliputi aspek agraris (dalam arti luas, termasuk tumpang sari) dan non-agraris • Pada wilayah tertentu dari kawasan hutan dan kelompok sasaran terbatas • Desain ditetapkan perusahaan • Pelibatan masyarakat dalam bentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dan/atau LMDH serta parapihak lainnya dalam pengelolaan hutan (a.l. Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi); • Masyarakat memperoleh bagian/persentase keuntungan penjualan kayu/ hasil hutan lainnya yang dikuasai Perhutani; • Masyarakat dapat mengusahakan ruang sela diantara tanaman pokok dengan fasilitasi perusahaan. • Pada wilayah tertentu dari kawasan hutan dan kelompok sasaran terbatas; • Desain ditetapkan perusahaan; • Pada sebagian kawasan hutan atau di luar kawasan; • Bantuan perusahaan didasarkan pada ke-butuhan dan juga kemampuan perusahaan; • Sasaran kelompok atau masyarakat desa. • Seluruh kawasan perusahaan (KPH) dalam wilayah desa dikerjasamakan dengan masyarakat tanpa perubahan status lahan; • Sasaran masyarakat desa keseluruhan ataupun anggota KTH; • Desain dikonsultasikan/didiskusikan bersama dengan masyarakat/ anggota LMDH serta parapihak teridentifikasi 80 Menurut Perhutani (2007) setelah enam tahun Program PHBM yang diluncurkan pada tahun 2001 dirasakan mengalami beberapa permasalahan dan kendala yaitu : (1) sinergitas dengan PEMDA dan stakeholder belum maksimal; (2) masih berbasis pada kegiatan kehutanan; (3) pelaksanaan bagi hasil yang merupakan ciri PHBM belum dirasakan secara merata; (4) kurang fleksibel; (5) perilaku aparat di lapangan belum sebagai fasilitator dan untuk keperluan bersama; (6) kebutuhan dasar masyarakat desa hutan berupa pangan, papan dan energi dan pendampingan belum terprogram dengan baik; tuntutan ketahanan pangan belum dikoordinir dan dilaksanakan dengan baik di lapangan; dan (7) adanya tuntutan kenaikan Index Pembangunan Manusia sebagai parameter yang diacu pemerintah dari 66,72 menjadi 76,1. Oleh karena itu Perhutani pada tahun 2007 meluncurkan program Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) melalui Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor : 268/KPTS/DIR/2007 tentang Pedoman Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat Plus (PHBM Plus) tanggal 8 Maret 2007. PHBM Plus adalah suatu sistem pengelolaan sumber daya hutan dengan pola kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan delam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif, dan akomodatif. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Tinjauan Konsep Partisipasi Berdasarkan kajian terhadap beberapa literatur tentang konsep partisipasi diantaranya yaitu Colfer dan Wadley (1996), Khan (1997), Pretty dan Vodouhё (1997), Van den Ban dan Hawkins (1999), Singh (2000), Slamet (2003), Kesby (2005), Thompson et al. (2005) dan Syahyuti (2006), maka bisa disimpulkan bahwa partisipasi memiliki makna sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, yang menyangkut pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan menikmati hasilnya. tahapan Partisipasi mewujudkan dirinya dalam tujuh tipologi atau tingkatan mulai dari yang bersifat pasif, informatif, konsultatif, insentif, fungsional, interaktif dan mandiri. Secara 81 umum partisipasi bisa dipandang sebagai cara mencapai tujuan dalam pembangunan atau bisa juga sebagai tujuan yang ingin dicapai dalam pembangunan yaitu peningkatan kapasitas individu untuk mampu meningkatkan kualitas kehidupannya. Menurut definisi World Bank (Colfer & Wadley, 1996) partisipasi adalah proses melalui mana para pihak terkait (stakeholders) mempengaruhi dan berbagi kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan pengambilan keputusan dan sumbersumberdaya yang berpengaruh terhadap mereka. Slamet (2003) memberikan makna dari partisipasi sebagai ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999), partisipasi petani dalam penyuluhan diartikan sebagai keikutsertaan petani atau para wakilnya dalam pengambilan keputusan mengenai tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan dan metode serta evaluasi kegiatan. Singh (2000) dalam kajiannya terhadap kehutanan masyarakat memberikan makna partisipasi sebagai derajat keikutsertaan dari stakeholder lokal dalam proses pengambilan keputusan di dalam seluruh tahapan proyek. Keterlibatan masyarakat bisa dalam bentuk kontribusi tenaga kerja, uang atau keduanya untuk tujuan bersama dan keikutsertaan dalam pertemuan yang membicarakan berbagai hal untuk keperluan bersama. Thompson et al. (2005) dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam mendefinikan partisipasi sebagai sebuah proses dimana berbagai stakeholder (pemerintah, dunia usaha, kelompok pecinta lingkungan lokal dan nasional, pemimpin lokal dan masyarakat setempat) secara bersama-sama merumuskan isu-isu kritis, mengembangkan tujuan bersama, saling bertukar informasi, merumuskan usulan kegiatan, dan saling berbagi sumberdaya dan tanggungjawab untuk implementasi dan evaluasinya. Syahyuti (2006) mendefinisi-kan partisipasi sebagai proses di mana seluruh pihak dapat membentuk dan terlibat dalam seluruh inisiatif pembangunan. Maka pembangunan yang partisipatif adalah proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan substansial yang berkenaan dengan kehidupan mereka. 82 Kajian terhadap konsep partisipasi secara umum akan mengelompok ke dalam dua klasifikasi pemikiran yaitu partisipasi sebagai cara (means) dan partisipasi sebagai tujuan akhir (ends). Dalam konteks pembangunan masyarakat, partisipasi bisa dipandang sebagai masukan dan dapat juga dipandang sebagai keluaran. Dikotomi pemikiran ini terutama membedakan antara alasan efisiensi dengan alasan pemberdayaan. Alasan efisiensi memandang partisipasi sebagai alat untuk mencapai hasil suatu kegiatan yang lebih baik. Sedangkan alasan pemberdayaan memandang partisipasi sebagai proses menambah kapasitas individu untuk meningkatkan kualitas kehidupannya dan memfasilitasi perubahan sosial untuk kemaslahatan kelompok marginal. Sebagai tujuan, partisipasi komunitas dipandang sebagai keharusan bagi individu dan kesejahteraan manusia, atau sebagai kebutuhan dasar bagi manusia (Cleaver, 1999; Khan, 1997; Syahyuti, 2006). Partisipasi bisa juga dikelompokkan menjadi dua macam yaitu partisipasi horisontal dan partisipasi vertikal. Partisipasi horisontal yaitu partisipasi sesama warga atau anggota suatu perkumpulan, sedangkan partisipasi vertikal yaitu partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah. Partisipasi masyarakat juga erat kaitannya dengan kemampuannya berkembang secara mandiri. Masyarakat yang berkemampuan demikian bisa membangun desanya dengan atau tanpa partisipasi vertikal dengan pihak lain. Partisipasi masyarakat juga dapat meningkatkan upaya peningkatan taraf hidupnya (Ndraha, 1990). Berdasarkan perspektif politik, Kesby (2005) menyatakan bahwa partisipasi merupakan suatu bentuk daya / kekuasaan. Pembagian daya / kekuasaan tersebut melalui pendekatan partisipatif akan membentuk kapasitas seseorang untuk mampu menganalisa dan merubah kehidupannya sehingga menyediakan pendekatan praktis untuk memfasilitasi pemberdayaan. Pendekatan partisipatif dimaksudkan untuk mengurangi dan menghindari adanya hubungan berdasarkan kekuasaan yang terdapat dalam penelitian atau pembangunan, serta membawa pemikiran untuk memberikan kesempatan bersuara bagi kaum marginal untuk mencapai level keterlibatan tertentu dalam perencanaan, pelaksanaan dan menikmati dampak dari 83 program. Walaupun pendekatan partisipatif telah menjadikan kinerja yang lebih baik dari seseorang yang berdaya dalam suatu intervensi program, namun masih diperlukan seseorang secara berkelanjutan menampilkan kemampuan dan keberdayaannya dalam kehidupan sehari-harinya. Tipologi Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Partisipasi menurut para ahli diklasifikasikan kedalam beberapa tipologi atau tingkatan. Terdapat tujuh tipologi partisipasi yang menggambarkan bagaimana masyarakat berpartisipasi dalam program dan proyek pembangunan. Adapun tujuh tipologi tersebut berturut-turut semakin dekat kepada bentuk yang ideal (Khan, 1997; Pretty & Vodouhё (1997); Pretty 1995 diacu dalam Syahyuti 2006) yaitu : (1) Partisipasi pasif atau manipulatif (Passive Participation). Tipe ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi. Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. (2) Partisipasi informatif (Participation in Information Giving). Masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pihak proyek melalui survey kuesioner atau semacamnya. Masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil studi juga tidak dibahas bersama masyarakat. (3) Partisipasi konsultatif (Participation by Consultation). Masyarakat berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan tenaga ahli dari luar mendengarkan serta menganalisa masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Ahli dari luar tidak ada kewajiban untuk mengambil pandangan masyarakat untuk ditindaklanjuti. (4) Partisipasi insentif (Participation for Material Incentive). Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan sumberdaya misalnya jasa tenaga kerja dan memperoleh imbalan berupa bahan pangan, upah, atau insentif lainnya. 84 Masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Masyarakat juga tidak memiliki andil untuk melanjutkan kegiatan setelah insentif dihentikan. (5) Partisipasi fungsional (Functional Participation). Masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok sebagai bagian dari proyek, setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung dari pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan kemandiriannya. (6) Partisipasi interaktif (Interactive Participation). Masyarakat berperan dalam proses analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan. (7) Mandiri (Self-Mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara bebas (tidak dipengaruhi oleh pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga- lembaga lain untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Masyarakat juga memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada atau digunakan. Berdasarkan tipologi tersebut, penggunaan terminologi “partisipasi” dalam pembangunan harus selalu dikaitkan dengan tipologi partisipasi yang mana. Apabila tujuan dari pembangunan adalah untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development), maka menurut Pretty dan Vodouhё (1997), paling tidak tingkat partisipasi yang harus terpenuhi yaitu partisipasi fungsional. Beberapa Syarat agar Masyarakat Berpartisipasi Partisipasi masyarakat sangat diperlukan demi berhasilnya pembangunan. Oleh karena itu perlu dipikirkan apa syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Menurut Slamet (2003), terdapat tiga syarat agar masyarakat bisa berpartisipasi yaitu pertama adanya kesempatan dalam 85 pembangunan, kedua adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan itu, dan ketiga adanya kemauan untuk berpartisipasi. Menurut Ife (2002) terdapat beberapa jalan untuk mendorong terjadinya partisipasi. Masyarakat akan berpartisipasi dalam pembangunan pada kondisi yang tepat. Beberapa kondisi tersebut yaitu : (1) Masyarakat akan berpartisipasi apabila mereka merasa bahwa aktivitas tersebut dianggap penting. (2) Masyarakat harus merasakan bahwa kegiatannya akan membuat perbedaan. (3) Masyarakat harus diberikan nilai dan penghargaan atas berbagai bentuk partisipasi yang dilakukannya. (4) Masyarakat harus diberikan kemampuan untuk berpartisipasi dan didukung dalam kegiatan partisipasinya. (5) Struktur dan proses dalam pembangunan tidak boleh menjauhkan dari masyarakat (alienating). Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Berdasarkan hasil penelitian Salam et al. (2005) beberapa faktor yang diperlukan demi berlangsungnya partisipasi petani yang berkelanjutan dalam pengelolaan kehutanan yang partisipatif adalah bahwa partisipasi berkelanjutan memiliki korelasi secara positif dan nyata dengan : (1) tingkat kepuasan peserta terhadap jenis yang ditanam dalam arealnya; (2) tingkat kepercayaan peserta bahwa kebutuhannya untuk memperoleh hasil diperhatikan; (3) tersedianya pelatihan terhadap berbagai aspek teknis kehutanan partisipatif; dan (4) kontribusi sumbangan dana peserta kepada dana penanaman kelompok. Sedangkan keberlanjutan partisipasi memiliki hubungan yang negatif dan nyata dengan adanya gangguan terhadap kepentingan masyarakat lokal dalam penerapan program kehutanan partisipatif, dan jangka waktu yang lama dari saat perjanjian kerjasama sampai pemanenan hasil kayu. Dalam konteks kehutanan masyarakat, Beukeboom (1994) menekankan pentingnya partisipasi komunitas lokal untuk terjaminnya kelestarian hasil hutan dan jasa lingkungan lainnya. Program-program kehutanan masyarakat mendasarkan kepada partisipasi komunitas lokal di dalam perencanaan dan penerapan rencana 86 pengelolaan lahannya. Partisipasi dari komunitas ini juga menjamin bahwa perencaaan pengelolaan lahan telah sesuai dengan kendala-kendala lingkungan dan aspek sosial. Seymour (1991) menekankan bahwa partisipasi masyarakat dalam kehutanan masyarakat bermakna mengambil bagian dalam pengambilan keputusan, dan tidak hanya sekedar berperan sebagai tenaga kerja. Selanjutnya partisipasi masyarakat menurut Bhattacharya dan Basnyat (2003) harus difokuskan kepada kegiatan kehutanan mulai dari perencanaan, penerapan, monitoring dan evaluasi dengan pembagian hasil yang adil sehingga tercapai pendapatan masyarakat secara berkelanjutan sebagai salah satu kriteria penting dalam pemberdayaan. Apabila dikaitkan dengan prinsip-prinsip keterkaitan antara masyarakat dengan hutan, Colfer et al. (1995) menyatakan bahwa peran penting partisipasi dalam pengelolaan hutan yang lestari sangat terkait dengan sistem budaya untuk kesejahteraan masyarakat dikombinasikan dengan keberagaman sistem tersebut antar ruang dan waktu. Tanpa partisipasi aktif dari para aktor dalam pengelolaan hutan, tidak akan ada mekanisme yang sesuai untuk mengkomunikasikan aspekaspek budaya yang relevan terhadap pemangku kepentingan lainnya. Berdasarkan pandangan para aktor kehutanan, salah satu fungsi penting dari partisipasi adalah dalam hal penyediaan ruang bagi masyarakat lokal untuk mengontrol kecepatan dan arah perubahan dalam kehidupan masyarakat lokal yang berbasis kepada sumberdaya hutan. Berdasarkan hasil penelitian Colfer dan Wadley (1996) di kawasan Suaka Margasatwa Danau Sentarum (Kalimantan Barat), yang merupakan hutan konservasi, tingkat partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam hutan secara lestari berada pada tipologi enam dan tujuh atau partisipasi interaktif dan mandiri. Masyarakat lokal terlibat dalam analisis bersama dan membentuk kelompok lokal baru atau memperkuat kelompok yang sudah ada. Kelompok lokal ini memiliki kontrol terhadap keputusan lokal. Masyarakat juga mempunyai inisiatif untuk merubah sistem yang ada.