Bab II Kajian Teori

advertisement
Bab II
Kajian Teori
Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan
sarana pembinaan keluarga. Selain sebagai pelindung terhadap gangguan alam
dan makhluk lainnya, rumah juga berperan sebagai pusat pendidikan keluarga,
proses budaya, penyiapan generasi muda dan lain-lain. Sehingga tidak berlebihan
apabila dikatakan bahwa kualitas sumber daya manusia juga dapat dipengaruhi
dari kualitas perumahan.
Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia setelah sandang dan pangan. Oleh
sebab itu, menempati perumahan dan permukiman yang layak, aman dan nyaman
adalah hak setiap orang. Sasaran yang harus dicapai untuk mendapatkan hunian
yang berkualitas (pada hunian berkepadatan menengah dan rumah tunggal): 4
ƒ
Menumbuhkan rasa kepemilikan, keamanan dan konsistensi dengan pola
penggunaan yang wajar dan dapat diprediksi.
ƒ
Merespon perubahan daur hidup hunian dan komunitas
ƒ
Menumbuhkan kebanggaan dan berkontribusi dalam pembentukan wajah
dan karakter lingkungan.
ƒ
Perancanaan dan Perancangan harus peka terhadap visi masa depan dari
komunitas
Sasaran-sasaran tersebut di atas dapat dicapai melalui perhatian yang besar
terhadap elemen fisik dan isu-isu kualitas kehidupan (kepemilikan, penggunaan,
keamanan, perwajahan), baik pada skala rumah dan halaman, blok hunian,
maupun lingkungan keseluruhan.
II.1
Rumah Sederhana
Berdasarkan Kepmen Kimpraswil mengenai Pedoman Umum Rumah Sederhana
Sehat (1991), definisi Rumah Sederhana Sehat adalah tempat kediaman yang
4
Making Housing Home, A Design Guide for Site Planning Quality Housing, University of
Minnesota, A Publication of The College of Architecture and Landscape Architecture, Design
Center for American Urban Landscape, 1996
11
layak dihuni dan harganya terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan
sedang, berupa bangunan yang luas lantai dan luas kavelingnya memadai dengan
jumlah penghuni serta memenuhi persyaratan kesehatan rumah tinggal.
Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) dibangun dengan menggunakan bahan
bangunan dan konstruksi sederhana, akan tetapi masih memenuhi standar
kebutuhan minimal dari aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan, dengan
mempertimbangkan dan memanfaatkan potensi lokal meliputi potensi fisik seperti
bahan bangunan, geologis dan iklim setempat serta potensi sosial budaya seperti
arsitektur lokal, dan cara hidup. 5 Persyaratan kesehatan rumah tinggal yang
dimaksud harus sesuai dengan ketentuan kondisi fisik, kimia dan biologik di
dalam
rumah
yang
sesuai
dengan
Kepmen
Kesehatan
No.829/MENKES/SK/VII/1999, menyangkut persyaratan bahan bangunan,
komponen dan penataan ruang rumah, pencahayaan, kualitas udara, ventilasi,
binatang penular penyakit, air, sarana penyimpan makanan yang aman, limbah
dan kepadatan hunian ruang tidur.
Rumah Sederhana adalah tempat kediaman yang layak dihuni dan harganya
terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan sedang. Luas kapling
ideal, dalam arti memenuhi kebutuhan luas lahan untuk bangunan sederhana sehat
baik sebelum maupun setelah dikembangkan.
Secara garis besar perhitungan luas bangunan tempat tinggal dan luas kapling
ideal yang memenuhi persyaratan kesehatan, keamanan dan kenyamanan
bangunan seperti berikut:
ƒ
Kebutuhan ruang minimal menurut perhitungan dengan ukuran Standar
Minimal adalah 9 m2, atau standar ambang dengan angka 7,2 m2 per orang.
Sebagai konsepsi dasar kedua perhitungan tersebut masih digunakan
dengan
tetap
mempertimbangkan
bentuk
akhir
rumah
pasca
pengembangan.
5
Pedoman Umum Rumah Sederhana Sehat
12
ƒ
Dari hasil perhitungan diatas didapat luas bangunan awal adalah 21 m2
dengan pertimbangan dapat dikembangkan menjadi 36 m2 bahkan pada
kondisi tertentu dimungkinkan memenuhi standar ruang internasional.
Gambar II.1 Rumah Sederhana Sehat T-36
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
Dalam pelaksanaannya pemenuhan penyediaan Rumah Sederhana Sehat masih
menghadapi kendala, berupa rendahnya tingkat kemampuan masyarakat. Harga
Rumah Sederhana Sehat masih belum memenuhi keterjangkauan secara
menyeluruh. Untuk itu disediakan desain rumah antara yang pertumbuhannya
diarahkan menjadi Rumah Sederhana Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah
Rumah Inti Tumbuh (RIT), yaitu tempat kediaman awal untuk memulai bertempat
tinggal dengan standar minimal yang layak dihuni dan harganya terjangkau oleh
masyarakat berpenghasilan rendah. RIT berupa bangunan dengan luas lantai 21
m2 dan luas lahan efektif antara 72-90 m2 yang berfungsi sebagai tempat tinggal
keluarga serta mendorong penghuni untuk tumbuh, baik aspek fisik bangunan
rumah sederhana sehat maupun aspek sosial budaya.
Pada RIT, ruang-ruang yang perlu disediakan sekurang-kurangnya terdiri dari:
13
ƒ
1 ruang tidur yang memenuhi persyaratan keamanan dengan bagianbagiannya tertutup oleh dinding dan atap serta memiliki pencahayaan yang
cukup berdasarkan perhitungan serta ventilasi cukup dan terlindung dari
cuaca. Bagian ini merupakan ruang yang utuh sesuai dengan fungsi
utamanya.
ƒ
1 ruang serbaguna merupakan ruang kelengkapan rumah dimana di
dalamnya dilakukan interaksi antara keluarga dan dapat melakukan
aktivitas-aktivitas lainnya. Ruang ini terbentuk dari kolom, lantai dan atap,
tanpa dinding sehingga merupakan ruang terbuka namun masih memenuhi
persyaratan minimal untuk menjalankan fungsi awal dalam sebuah rumah
sebelum dikembangkan.
ƒ
1 kamar mandi/kakus/cuci merupakan bagian dari ruang servis yang sangat
menentukan apakah rumah tersebut dapat berfungsi maksimal atau tidak,
khususnya untuk kegiatan mandi cuci dan kakus.
II.1.1 Proses Pengembangan RIT menjadi Rumah Sederhana Sehat
Ketiga ruang tersebut di atas merupakan ruang-ruang minimal pada RIT
yang harus dipenuhi sebagai standar minimal dalam pemenuhan
kebutuhan dasar, selain itu sebagai cikal bakal rumah sederhana sehat.
Konsepsi cikal bakal dalam hal ini diwujudkan sebagai suatu rumah inti
yang dapat tumbuh menjadi rumah sempurna yang memenuhi standar
kenyamanan, keamanan, serta kesehatan penghuni, sehingga menjadi
rumah sederhana sehat.
Kebutuhan dasar minimal suatu rumah yang harus selalu dipenuhi dalam
perancangan hunian adalah:
1. Atap yang rapat dan tidak bocor
2. Lantai yang kering dan mudah dibersihkan
3. Penyediaan air bersih yang cukup
4. Pembuangan air kotor yang baik dan memenuhi persyaratan
kesehatan
14
5. Pencahayaan alami yang cukup
6. Udara bersih yang cukup melalui pengaturan sirkulasi udara
sesuai dengan kebutuhan
Rancangan pengembangan rumah sehat yang dirumuskan dalam
Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat meliputi
bangunan dan bagian-bagiannya sebagai berikut:
ƒ
Bangunan Rumah Inti Tumbuh (RIT-1) berukuran 21 m2 dengan
ruangan-ruangan:
- Ruang inti berukuran 3,00 x 3,00 m2
- Ruang serba guna (tanpa dinding) berukuran 3,00 x 3,00 m2
- Kamar mandi + WC (tanpa atap) berukuran 1,50 x 1,20 m2
ƒ
Pertumbuhan
menjadi
Rumah
Sederhana
Sehat
(RsS-1)
berukuran 28.8 m2 dengan ruangan:
- Dua Ruang tidur berukuran 3,00 x 3,00 m2
- Ruang Servis/pertumbuhan berukuran 2,50 x 3,00 m2
- Kamar mandi + WC berukuran 1,50 x 1,20 m2
ƒ
Pertumbuhan
menjadi
Rumah
Sederhana
Sehat
(RsS-2)
berukuran 36 m2 dengan ruangan :
- Dua Ruang tidur berukuran 3,00 x 3,00 m2
- Ruang tidur anak berukuran 3,00 x 3,00 m2
- Ruang tamu berukuran 2.50 x 3.00 m2
- Ruang berukuran 3.00 x 3.00 m2
- Kamar mandi + WC berukuran 1,50 x 1,20 m2
ƒ
Konstruksi bangunan rumah :
- Pondasi konstruksi batu kali
- Lantai konstruksi rabat beton
- Dinding konstruksi pasangan conblock
- Kusen pintu/jendela konstruksi kayu
- Atap konstruksi rangka kuda-kuda kayu
- Penutup konstruksi Asbes/seng gelombang kecil
ƒ
Sanitair minimal untuk RIT-1 sampai dengan RsS-2 minimal
memiliki:
15
- Closet jongkok kakus beserta leher angsanya 1 unit
- Bak air mandi fibre/plastik 1 unit
- Disiapkan instalasi diluar sumber sumur pompa tangan 1 unit
Proses pengembangan RIT menjadi Rs Sehat memberi peluang bagi
calon penghuni / penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan
pengungkapan jati diri. Hal tersebut akan dapat mengurangi peluang
terhadap pembongkaran bagian-bagian bangunan secara besar-besaran.
Gambar II.2 Pola pertumbuhan RIT menuju Rs Sehat-2 pada kondisi lahan dengan harga
tinggi, yang membentuk aturan rumah deret dengan ukuran lebar minimal lahan 6.00 m
dengan luas lahan efektif 72 m2 dan luas lahan ideal 200 m2.
Sumber: Pedoman Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
II.1.2 Komponen Bangunan
A. Pondasi
Secara umum sistem pondasi yang memikul beban kurang dari dua ton
(beban kecil), yang biasa digunakan untuk rumah sederhana dapat
dikelompokan kedalam tiga sistem pondasi, yaitu: pondasi langsung;
pondasi setempat; dan pondasi tidak langsung. Sistem pondasi yang
digunakan pada Rumah Inti Tumbuh (RIT) dan pengembangannya
dalam hal ini Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat) ini adalah sistem
pondasi setempat dari bahan pasangan batu kali atau pasangan beton
16
tanpa tulangan dan sistem pondasi tidak langsung dari bahan kayu ulin
atau galam.
B. Dinding
Bahan dinding yang digunakan untuk RIT dan pertumbuhannya adalah
conblock, papan, setengah conblock dan setengah papan atau bahan lain
seperti bambu tergantung pada potensi bahan yang dominan pada daerah
dimana rumah ini akan dibangun. Ukuran conblock yang digunakan
harus memenuhi SNI PKKI NI-05
Untuk dinding papan harus dipasang pada kerangka yang kokoh, untuk
kerangka dinding digunakan kayu berukuran 5/7 dengan jarak
maksimum 100 cm. Kayu yang digunakan baik untuk papan dan balok
adalah kayu kelas kuat dan awet II. Apabila untuk kerangka digunakan
kayu balok berukuran 5/10 atau yang banyak beredar dipasaran dengan
ukuran sepadan. Jarak tiang rangka kurang lebih 150 cm. Papan yang
digunakan dengan ketebalan minimal 2 cm setelah diserut dan
sambungan dibuat alur lidah atau sambungan lainnya yang menjamin
kerapatan.
Rangka dinding untuk rumah tembok dibuat dari struktur beton
bertulang. Untuk rumah setengah tembok menggunakan setengah rangka
dari beton bertulang dan setengah dari rangka kayu. Untuk rumah kayu
tidak panggung rangka dinding menggunakan kayu. Untuk sloof
disarankan menggunakan beton bertulang. Sedangkan rumah kayu
panggung seluruhnya menggunakan kayu, baik untuk rangka bangunan
maupun untuk dinding dan pondasinya.
C. Kolom dan Balok
Kolom merupakan elemen vertikal, beban (aksial) hanya diberikan di
ujung-ujungnya dan tidak ada beban transversal. Kolom tidak
mengalami lentur secara langsung.
17
Kolom dikategorikan berdasarkan panjangnya, yaitu:
ƒ Kolom pendek adalah elemen struktur kolom yang mempunyai nilai
perbandingan antara panjangnya dengan dimensi penampang
melintang relatif kecil. Kapasitas pikul-beban kolom tidak bergantung
pada panjang kolom dan apabila mngalami beban berlebihan,
kegagalannya berupa kegagalan material. Dengan demikian kapasitas
pikul-beban
batas
bergantung
pada
kekuatan
material
yang
digunakan.
Kegagalannya berupa hancurnya material.
ƒ Kolom panjang. Pada kolom panjang, kapasitas pikul-beban untuk
elemen struktur kolom terebut adalah besar beban yang menyebabkan
kolom tersebut mengalami tekuk awal. Struktur yang telah mengalami
tekuk tidak mempunyai kemampuan layan lagi.
Kolom panjang (beban lebih kecil dari beban tekuk): kolom berada
dalam keseimbangan stabil. Apabila kolom mengalami deformasi
kecil, dapat kembali ke konfigurasi semula apabila bebannya
dihilangkan.
Kolom panjang (beban = beban tekuk); apabila beban pada kolom
mengalami deformasi dari konfigurasi linier, maka akan tetap pada
konfigurasi baru (tidak kembali ke konfigurasi linier). Beban tekuk
adalah beban maksimum yang dapat dipikul oleh kolom. Sedangkan
pada kolom panjang dengan beban lebih besar daripada beban tekuk
kritis, kolom berada dalam keseimbangan tak stabil. Kolom akan
terus berdeformasi pada beban konstan sampai akhirnya runtuh.
Kondisi ujung sangat mempengaruhi besar beban kritis. Apabila
kedua kolom identik, hanya berbeda kondisi ujungnya, maka kolom
yang mempunyai ujung jepit dapat memikul beban lebih besar
daripada kolom berujung sendi.
Ring-balok dan kolom menggunakan kayu balok berukuran 5/10 atau
yang banyak beredar di pasaran dengan ukuran sepadan. Hubungan
antara kolom dengan ringbalok dilengkapi dengan sekur-sekur dari kayu
18
5/10 atau yang banyak beredar di pasaran dengan ukuran sepadan.
Panjang sekur maksimum 50 cm. Pada balok yang terletak sederhana,
maka titik hubung tidak menahan rotasi, hanya gaya vertikal yang dapat
disalurkan oleh titik hubung. Sedangkan pada sistem rangka, karena
balok secara kaku dihubungkan dengan kolom, maka kolom dapat
menahan rotasi ujung-ujung balok. Dengan demikian momen dan gaya
dapat disalurkan oleh hubungan kaku seperti ini.
D. Kuda-kuda
Rumah sederhana sehat ini menggunakan atap pelana dengan kuda-kuda
kerangka kayu dengan kelas kuat dan awet II berukuran 5/10 atau yang
banyak beredar di pasaran dengan ukuran sepadan, disamping sistem
sambungan kuda-kuda tradisional yang selama ini sudah digunakan dan
dikembangkan oleh masyarakat setempat.
Untuk mempercepat pelaksanaan pemasangan kerangka kuda-kuda
disarankan menggunakan sistem kuda-kuda papan paku, yaitu pada
setiap titik simpul menggunakan klam dari papan 2/10 dari kayu dengan
kelas yang sama dengan rangka kuda-kudanya.
Khusus untuk rumah tembok dengan konstruksi pasangan, dapat
menggunakan kuda-kuda dengan memanfaatkan ampig tembok yang ada
di sekelilingnya, dilengkapi dengan ring-balok konstruksi beton
bertulang. Kemiringan sudut atap harus mengikuti ketentuan sudut
berdasarkan jenis penutup atap yang digunakan, sesuai dengan
spesifikasi yang dikeluarkan oleh pabrik atau minimal 200 untuk
pertimbangan kenyamanan ruang di dalamnya.
Pada atap sering dijumpai rangka batang sederhana yang menggunakan
batang relatif sedikit. Rangka batang adalah susunan elemen-elemen
linier yang membentuk segitiga atau kombinasi segitiga, sehingga terjadi
bentuk rangka yang tidak dapat berubah bentuk apabila diberi beban
eksternal tanpa adanya perubahan bentuk pada satu atau lebih batangnya.
19
Setiap elemen tersebut secara khas dianggap tergabung pada titik hubung
sendi (titiknya memperbolehkan elemen strukturnya berotasi secara
bebas, tetapi tidak dapat bertranslasi ke arah manapun. Dengan demikian
titik tumpu tersebut tidak dapat memberi tahanan momen, tetapi dapat
memberi tahanan gaya pada arah manapun). Batang-batang disusun
sedemikian rupa sehingga semua beban dan reaksi hanya terjadi pada
titik hubungan tersebut.
Setiap deformasi yang terjadi pada struktur stabil adalah minor dan
diasosiasikan dengan perubahan panjang batang yang diakibatkan oleh
gaya yang timbul di dalam batang sebagai akibat dari beban eksternal.
Selain itu, sudut yang terbentuk di antara dua batang tidak berubah
apabila struktur stabil tersebut dibebani. Hal ini sangat bertentangan
dengan bentuk tidak stabil, yang sudut di antara dua batangnya berubah
sangat besar. Juga jelas bahwa gaya eksternal menyebabkan timbulnya
gaya pada batang-batang struktur bentuk stabil. Gaya-gaya yang timbul
pada struktur tersebut adalah tarik atau tekan. Tidak ada lentur pada
struktur tersebut.
Untuk rangka batang yang hanya memikul beban vertikal, pada batang
tepi atas umumnya timbul gaya tekan, dan pada batang tepi bawah
umumnya timbul gaya tarik. Gaya tarik atau tekan ini dapat timbul pada
setiap batang, yang mungkin saja terjadi pola berganti-ganti tarik dan
tekan.
Hal yang sangat penting pada rangka batang adalah, struktur tersebut
hanya dibebani oleh beban-beban terpusat. Apabila beban-beban tersebut
bekerja langsung pada batang, maka akan timbul tegangan lentur pada
batang tersebut, selain juga tegangan aksial tekan atau tarik yang umum
ada pada rangka batang. Sebagai akibatnya, desain batang tersebut
menjadi rumit, dan efisiensi keseluruhan batang menjadi berkurang.
20
II.1.3 Metoda pelaksanaan pembangunan
Metoda pelaksanaan pembangunan rumah sederhana sehat yang akan
diuraikan berikut ini adalah pembangunan rumah tembok. Untuk
mempermudah dalam pembangunannya, struktur bangunan rumah ini
dibagi kedalam 12 kelompok pekerjaan, yaitu:
1. Pengukuran dan pembuatan bowplank;
Pekerjaan persiapan dalam hal ini adalah pembersihan lokasi
dimana bangunan akan didirikan yang meliputi pembersihan
alang-alang dan tanah humus serta perataan lahan. Pemasangan
bow plank dan dapat dilakukan seperti pada gambar.
2. Penggalian pondasi;
Pondasi yang digunakan pada struktur rumah tinggal ini adalah
pondasi setempat dari pasangan batu kali.
3. Pembuatan sloof dan lantai beton tumbuk;
Pembuatan pondasi, sloof dan lantai secara berturut turut dapat
dikerjakan setelah pekerjaan butir 1) dan 2) diatas selesai
dikerjakan. Untuk menghubungkan kolom dengan sloof, maka
perlu diberikan stek besi beton berdiameter 12 mm setinggi 60
cm
Gambar II.3 Bowplank, pondasi, dan pembuatan sloof
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
4. Pembuatan kusen pintu dan jendela;
5. Pembuatan kuda-kuda.
Bersamaan dengan pekerjaan pondasi dan lantai dapat
dilakukan pekerjaan pembuatan kuda-kuda. Konstruksi kuda-
21
kuda ini sangat sederhana, yaitu menggunakan sistem
kosntruksi kuda-kuda papan paku, dimana sistem ini hanya
menggunakan sambungan klam
Gambar II.4 Pembuatan kuda-kuda kayu
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
6. Pengerjaan pembesian untuk kerangka bangunan dari beton
bertulang;
Pasang rangka tulangan bangunan tepat pada pondasi yang
telah
disediakan
besi
beton
penyambungnya,
lakukan
pengukuran agar rangka beton ini berdiri dengan tegak lurus
dan ditahan sementara dengan menggunakan kaso 5/7,
bersamaan dengan ini, lakukan pekerjaan pasangan conblock.
7. Pemasangan kusen pintu rangka besi beton;
8. Pengerjaan dinding dari pasangan conblock dan pengecoran
kolom serta ring balok;
Gambar II.5 Pekerjaan pembesian untuk kerangka bangunan dari beton bertulang, pemasangan
kusen pintu, dan pekerjaan pasangan dinding
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
9. Pemasangan kuda-kuda serta gording dari kayu 5/10;
22
Gambar II.6 Pemasangan kuda-kuda serta gording kayu
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
10. Pemasangan atap dari asbes gelombang beserta bubungan dan
lis-plang; pasang penutup atap asbes gelombang beserta
wuwungnya, dengan demikian telah mendapat tempat yang
teduh dengan lantai yang telah diperkeras dengan beton tumbuk
dan dapat melakukan pekerjaan lainya.
Gambar II.7 Pemasangan penutup atap
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
11. Pemasangan daun pin dan daun jendela serta kunci-kunci;
pekerjaan finishing, pemasangan daun pintu dan jendela
lengkap dengan penguncinya, dan pembersihan lapangan kerja
12. Pembersihan lapangan.
23
Gambar II.8 Pekerjaan finishing
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
Untuk pembangunan ruang-ruang pertumbuhan dari RIT, dapat dilakukan
langkah-langkah sebagai berikut :
1. Gali tanah hingga over-stek yang disediakan pada sloof nampak
terlihat.
2. Bongkar adukan pelindungnya hingga stek tulangan dari sloof
terlihat dan bersih dari adukan.
3. Lakukan pengukuran dan pemasangan bowplank yang berpedoman
pada sloof yang telah terpasang.
4. Sambungkan tulangan sloof yang baru dengan besi stek yang dari
sloof tadi, dimana posisi stek ini harus berada di dalam susunan
tulangan yang baru.
Gambar II.9 Pekerjaan sambungan tulangan sloof untuk pembangunan ruang-ruang pertumbuhan
pada RIT
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
24
5. Untuk pengembangan pada ring balok; luruskan stek yang telah
disediakan pada ring balok kemudian lakukan penyambungan
tulangan lama dan baru seperti yang dilakukan pada balok sloof.
Gambar II.10 Pekerjaan sambungan tulangan ring balok untuk pembangunan ruang-ruang
pertumbuhan pada RIT
Sumber: Petunjuk Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat, Kepmen Kimpraswil, 1991
II.2
Konsep Rumah Tahan Gempa
Kerusakan yang terjadi pada bangunan rumah di wilayah di Indonesia yang
terkena bencana (terutama gempa bumi) sebagian besar diakibatkan karena
struktur rumah itu sendiri yang tidak tahan gempa. Padahal untuk Indonesia yang
merupakan daerah rawan gempa baik vulkanik maupun tektonik, pengetahuan
masyarakat serta keberadaan rumah yang tahan gempa sangatlah dibutuhkan.
Rumah dengan struktur yang terbukti tahan gempa hingga skala tertentu akan
meningkatkan rasa aman bagi pemiliknya, serta akan mengurangi resiko
kehilangan rumah tinggal apabila terjadi gempa bumi lagi di kemudian hari.
Kriteria dasar rumah tahan gempa yang utama dan perlu diketahui adalah bentuk
denah. Denah yang baik haruslah simetris, sehingga strukturnya seimbang dengan
25
sumbu bangunan.
Gambar di bawah ini memperlihatkan beberapa perlakuan
terhadap bentuk denah bangunan yang disarankan 6
Keterangan:
ƒ
Denah bangunan yang terlalu panjang harus dipisahkan (Gambar 1.a)
ƒ
Denah berbentuk L harus dipisahkan (Gambar 1.b)
ƒ
Denah berbentuk U harus dipisahkan (Gambar 1.C)
Gambar II.11 Denah skematik bangunan tahan gempa
Sumber: http://www.pu.go.id
Supaya suatu bangunan dapat menahan gempa, gaya inersia gempa harus dapat
disalurkan dari tiap-tiap elemen struktur kepada struktur utama gaya honisontal
yang kemudian memindahkan gaya-gaya ini ke pondasi dan ke tanah. Adalah
sangat penting bahwa struktur utama penahan gaya horizontal itu bersifat kenyal.
Karena jika kekuatan elastis dilampaui, maka keruntuhan getas yang tiba-tiba
tidak akan terjadi, tetapi pada beberapa tempat tertentu terjadi leleh terlebih dulu.
Oleh karena itu, dari segi struktur bangunan, seluruh bagian bangunan harus
merupakan satu kesatuan, dengan jalan elemen-elemen bangunan tersebut diikat
ke segala arah sehingga membentuk satu unit yang kaku. Dengan demikian,
bangunan mempunyai jalur lintasan gaya yang cukup untuk dapat menahan gaya
gempa horizontal.
Perlakuan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut :
6
http://www.pu.go.id/publik/bencana/gempa/gempa%20tsunami4.htm
26
ƒ
Bangunan tembok:
o Dinding bata harus kuat dengan kolom,sloof, ring balok dari beton
atau kayu
o Dinding bata harus diangker terhadap kolom,sloof dan ring balok
o Sloof harus diberi angker terhadap pondasi
ƒ
Bangunan kayu :
o Hubungan antara kolom dan balok atap harus diberi balok
penopang diagonal dan datar
o Hubungan antara balok lantai dan kolon harus diberi balok
penopang diagonal dan datar
o Pondasi umpak harus tertanam sedalam > 20 cm ke dalam tanah
Gambar II.12 Setiap elemen bangunan diikat dan menjadi satu kesatuan pada bangunan tahan
gempa
Sumber: http://www.pu.go.id
Selain kedua kriteria di atas, kriteria yang harus dipenuhi juga adalah bahan
bangunan harus seringan mungkin. Hal ini dikarenakan besarnya beban inersia
gempa adalah sebanding dengan berat bahan bangunan. Sebagai contoh penutup
atap genteng diatas kuda-kuda kayu menghasilkan beban gempa horisontal
sebesar 3 x beban gempa yang dihasilkan oleh penutup atap seng diatas kuda-kuda
27
kayu. Sama halnya dengan pasangan dinding bata menghasiIkan beban gempa
sebesar 15 x beban gempa yang dihasilkan oleh dinding kayu.
II.3
Sistem Bangunan Produksi Industri
Yang dimaksud dengan produksi industri (industrialized product) adalah suatu
produksi yang terus menerus / kontinyu, melibatkan suatu proses desain yang
berlaku umum, diperoleh dari tugas produksi yang berlaku umum pula,
dipabrikasi dengan mesin atau cara kerja production line yang sangat terorganisir.
Bentuk Sistem Bangunan Produksi Industri (SBPI) ini adalah bentuk yang
sebenarnya
dari
industrialisasi,
dimana
proses
membangun
seluruhnya
diindustrikan. Menurut pengertiannya, industrialisasi bangunan tidak saja
menyangkut cara-cara tertentu saja, tetapi juga keseluruhan proses membangun
dari tahapan perancangan sampai dengan pelaksanaannya.
SBPI bisa dibagi menjadi dua generasi besar yang terutama berbeda berdasarkan: 7
ƒ
Pihak pengambil inisiatif (sektor demand atau sektor supply)
ƒ
Metoda dalam melaksanakan jumlah besar melalui standardisasi
(industrialisasi tertutup atau terbuka)
A. Pihak pengambil inisiatif
Pertama, pihak pengambil inisiatif yang merumuskan tipe bangunan yang
harus diwujudkan. Pihak ini adalah sektor demand yang terdiri dari:
ƒ
Pemakai (the users)
ƒ
Komisi bangunan (the commisioner of the building)
ƒ
Perancang (the designer)
Pihak kedua adalah sektor supply (pihak pelaksana / execution), termasuk
di dalamnya adalah:
ƒ
Kontraktor
ƒ
Industri bangunan
ƒ
Supply trades
7
Tri Yuwono, Sistem Bangunan Produksi Industri di Atas Air, Skripsi, Departemen Arsitektur
ITB, Bandung , (1987).
28
Pihak kedua ini melaksanakan pekerjaan bangunan.
Kedua pihak ini membentuk hubungan:
MEANS
alat
E N D
tujuan
(sektor supply)
(sektor demand)
Inisiatif lebih banyak diambil oleh pihak pelaksanaan dalam tahun 50 dan
60-an. Baru sejak tahun 70-an, inisiatif dari pihak atau sektor demand
menjadi penting.
Sampai kini keseluruhan cara peninjauan terhadap praktek sistem
membangun masih juga dalam pengertian pelaksanaan / execution.
Beberapa contoh terdahulu selalu dipengaruhi oleh kriteria yang gayut
untuk sektor pelaksanaan dan mencerminkan cara pelaksanaan:
ƒ
Berat bangunan : disesuaikan dengan cara pengangkatan (Brouwer:
assembly with light elements, middle size elements, large, light
elements, dst.)
ƒ
Ukuran bagian-bagian bangunan, khususnya dalam arti ‘besarnya’
(masalah penanganan) elemen bangunan (small cells, large panels,
dst).
ƒ
Bahan bangunan, dengan cara / teknik pelaksanaannya (Jockhusch:
manual industrial prefabrication, craft prefabrication, dst)
ƒ
Kadar prefabrikasi pada suatu bangunan tertentu (Simon: rationalized
traditional, partial prefab, total prefab, dst)
Untuk sektor ‘demand’, kriteria di atas sebenarnya tidak terlampau
menarik, walaupun penting, sebab pengolongan seperti itu konteksnya
tidak mengarah kepada tujuan (end) yang menjadi perhatian utama pihak
demand, termasuk perancang, yaitu:
ƒ
Pemenuhan kebutuhan fungsional
ƒ
Pembentukan iklim yang baik bagi aktivitas individu
ƒ
Mendukung suatu lingkungan yang baik dan bermakna
29
Para arsitek membutuhkan suatu pendekatan konseptual baru yng
memungkinkan melihat metoda SBPI sebagai suatu fungsi dan aktifitas
desain juga.
B. Industrialisasi Tertutup (Generasi pertama bangunan ter-industri)
Industrialisasi tertutup ini dipilih oleh dunia industri bangunan pada tahun
50-an (di Eropa) ketika mengambil inisiatiF menuju industrialisasi dalam
skala besar. Titik tolak industrialisasi tertutup adalah pada standardisasi
bangunannya (sebagai hasil akhir), jadi berupa bangunan tipikal (rumah)
yang merupakan seri pengulangan denah yang sama.
Bangunan
tipikal
Bagian-bagian
bangunan
Yang khusus
Pemasangan di
dalam site
1 versi
Pendekatan ini juga disebut “Pendekatan Model” yang umum dalam
industri mobil. Tetapi dalam bidang bangunan hasil akhir suatu production
line di pabrik bukanlah bangunan standar itu sendiri. Karena alasan teknis,
bangunan dibagi-bagi menjadi bagian-bagian yang sebisa mungkin
terbesar: elemen sebesar ruang / room size (dinding, pelat lantai).
Pemilihan tingkat prefabrikasi sebesar ruangan (di Eropa barat) dan “cell”
(di Amerika), mempunyai konsekuensi dalam bidang perdagangan:
ƒ
Mengikut sertakan perusahaan-perusahaan yang “capital intensive”.
ƒ
Besarnya elemen bangunan itu membatasi radius pelayanan pabrik,
sehinga dicapai suatu jumlah produksi besar untuk suatu area terbatas.
ƒ
Untuk bersaing dengan industri bangunan “rationalized traditional”
harus memperhitungkan persyaratan-persyaratan ekonomis tertentu.
Maka jelaslah seberapa jauh perkembangan yang bisa dicapai sistem
tertutup ini dalam menentukan lingkungan fisik.
30
C. Industrialisasi Terbuka (Generasi kedua bangunan ter-industri)
Sasarannya adalah dalam pendekatan pemilihan tingkat prefabrikasi “Kit
of Parts Approach”, “Catalogue Approach”. Bisa dibuat skema berikut:
Berbagai
jenis/tipe
bangunan
Bagian-bagian
standar yang bisa
diterapkan secara
bebas
Pemasangan di
dalam site
banyak
versi
Pertanyaan pokok adalah: bagian bangunan mana dan bagaimana yang
bisa distandarkan dalam jumlah besar tanpa menghasilkan bangunan
standar?
Apabila prefabrikasi tertutup memilih “elemen” (room sized), maka
industrialisasi terbuka menentukan:
ƒ
Komponen bangunan: sampai batas yang bersangkutan dengan tingkat
aktifitas terkecil (“unit aktifitas”). Misalnya: pintu-pintu bagian dalam,
peralatan saniter.
ƒ
Cell atau shell untuk kegunaan khusus. Misal: kamar mandi,
toilet/shower.
ƒ
Segment dan sektor bangunan, sejauh bagian-bagian ini diterapkan
sesuai dengan struktur.
D. Closed Building Systems dan Open System Building
Dua pendekatan teoritis industrialisasi seperti diuraikan di muka:
ƒ
Industrialisasi tertutup (Model Approach)
ƒ
Industrialisasi terbuka (Kit of parts Approah dan Catalogue Approach)
mempunyai pasarannya masing-masing:
o Pasaran tertutup
o Pasaran terbuka
Dalam pendekatan tertutup, tiap produsen dapat mengambil inisiatif untuk
melemparkan satu atau beberapa tipe bangunan ke pasaran (Industry
Sponsored System). Tiap industri mempunyai “Building System”nya
sendiri yang lengkap dan berdiri sendiri.
31
Dalam pendekatan terbuka, perlu diadakan terlebih dulu “kesepakatan”
antara para peodusen sebelum berbagai jenis bangunan dapat dibentuk dari
sejumlah bagian bangunan. Di sini muncul istilah “system Building”.
Kesepakatan itu menyangkut:
ƒ
Koordinasi dimensional: perlu untuk sistem dimensi yang berlaku
umum.
ƒ
joints : antara berbagai bagian bangunan, pada tingkat morfologis
(bentuk joint) dan toleransi ketepatan produksi dan pemasangan.
ƒ
Kualitas: kelas-kelas kualitas dan penampilan
E. Industry – Sponsored Systems dan Client – Sponsored Systems
Dalam metode tradisional terdapat tiga pihak:
ƒ
Commisioner atau Building Client, didampingi oleh ahli-ahli
(penasehat ahli, expert). – (CL)
ƒ
Arsitek (AR), didampingi oleh Consulting Engineers (CE).
ƒ
Contractor (CR) dan Industry supply.
Dalam system-building, perlu pola hubungan lain. Beberapa pihak baru:
ƒ
IN : Industri yang menawarkan building system ke pasaran
ƒ
U : kelompok builders (users) yang dimaksudkan untuk memakai
bulding-system itu.
ƒ
SD : desainer building-system itu (system-designer)
Maka di sini perlu diadakan kaitan antara kedua kelompok. Inisiatifnya
datang dari kedua pihak:
1. Inisiatif oleh pihak industri:
Bila ditinjau kebutuhan kelompok pemakai (misal rumah tinggal 3
kamar tidur dengan biaya x rupiah) maka dapat ditawarkan suatu tipe
bangunan standar saja. Tetapi pendekatan ini tidak sejalan dengan
pemakaian perorangan karena perbedaan spesifik penghuni tidak bisa
dipenuhi. Untuk kelancaran pembangunan type standar seperti ini,
pihak CR dan SD perlu dimasukkan ke dalam organisasi industri, dan
32
peranan Arsitek sebagai penerjemah pemakai kebutuhan perorangan
semakin berkurang atau bahkan mungkin hilang. (Formula Package
Deal). Inisiatif oleh industri (Industry-Sponsored systems), umumnya
selalu Building-Systems tertutup.
2. Inisiatif oleh pihak pemakai:
Dengan standardisasi rangka-rangka struktur, dimensi, bahan, dan
sebagainya,
dengan
komponen)
dan
pengelompokan
aturan-aturan
per
sub
koordinasi,
sistem
CLASP
(rangka,
(Inggris:
Consortium of Local authorities School Programmes) berhasil
mewujudkan suatu building systems terbuka yang menarik. Banyak
contoh lain untuk mengambil inisiatif yang mungkin dilakukan (untuk
bangunan lain: Rumah sakit, Universitas). Inisiatif oleh users (Client
Sponsored Systems) pada dasarnya building-system terbuka, dengan
syarat dan kesepakatan:
ƒ
Dimensi sistematik
ƒ
joints: morfologi, toleransi
ƒ
Standar kualitas : fungsional dan teknis.
F. Hubungan antara Building-System dan Suasana Lingkungan
Dengan standardisasi keseluruhan bangunan, hanya sedikit pola urban
yang bisa diwujudkan:
ƒ
Pengulangan blok bangunan terlepas-lepas menghasilkan pola
“monomorphic”, yang merupakan ciri suatu area perumahan dengan
terutama bangunan apartemen
ƒ
Jajaran bangunan yang sama (umumnya kecil) menghasilkan pola yang
“mono-directional” merupakan ciri area perumahan dengan terutama
bangunan rumah tinggal (tunggal, maisonette)
ƒ
Dengan Industrialisasi terbuka, terdapat kemungkinan kombinasi
bangunan yang kaya, tidak terdapat pengulangan bangunan yang sama,
maka bisa diciptakan pola three-directional polycuboid (Guy Oddle).
33
Gambar II.13 Produk dapat dipisahkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan poin
kostumisasi (Mintzberg dkk. 1998)
Sumber: Svensson
II.4
Penelitian Terdahulu Mengenai Industrialisasi Produksi pada
Bidang Perumahan
Menurut T. Y. Lin and S. D. Stotesbury (1970), Secara umum, 6 bidang yang
mendapat keuntungan langsung dari pemanfaatan teknologi industri pada
pengadaan perumahan dengan produksi masal adalah:
1. skala ekonomis
2. ekonomis dalam pemanfaatan tenaga kerja
3. ekonomis dalam produktifitas, dilihat dari segi waktu yang singkat
4. untuk skala kecil, ekonomis dalam pemakaian material
5. prefabrikasi komponen-komponen kunci yang biasanya memakan biaya
besar
6. pemeliharaan dan kualitas tampilan.
II.4.1 Kategori
prototipe
sistem
bangunan
untuk
produksi
perumahan
Sistem bangunan berbagai dimensi, yaitu frame, panel, cell modular dan
berbagai macam kinerja komponenisasi, telah terkenal di US sebagai
hasil industrialisasi dari industri konstruksi perumahan. Masing-masing
sistem
bangunan
tersebut
memiliki
karakteristik
yang
akan
34
mempengaruhi desain komponen, fabrikasi, perakitan, dan fleksibilitas
desain arsitektur untuk menciptakan lingkungan hunian yang nyaman.
Penjelasan lebih lanjut mengenai tipe-tipe sistem tersebut adalah sebagai
berikut:
1-D: sistem 1 dimensi (frame) merupakan sistem yang paling efisien
untuk kondisi ketika tenaga kerja di lapangan tidak terlatih (unskilled
onsite labor). Sistem ini mirip dengan pelaksanaan konstruksi
konvensional dengan menggunakan komponen pre-cast. Pengisi berupa
panel lantai dan dinding digunakan untuk melengkapi bukaan, sehingga
perakitan sub-sistem mekanikal dapat dipasang. Fleksibilitas arsitektural
dapat dipertimbangkan. Secara umum, sistem ini hanya memerlukan
peralatan merakit serta teknik sambungan (joinery) yang konvensional.
2-D: sistem 2 dimensi (panel) merupakan sistem yang paling populer
untuk dikembangkan belakangan ini. Terdapat 2 tipe dasar, yaitu sistem
panel kecil (small panel) dan sistem panel lebar (large-panel). Di Eropa,
sistem panel lebar telah dikembangkan dan merupakan sistem yang
dominan diaplikasikan. Penjelasan mengenai kedua tipe dasar tersebut
adalah sebagai berikut:
1. sistem panel kecil (small panel system): sistem ini menggunakan
dimensi modular yang terbatas, untuk modul ketinggian ruang
tertentu sehingga mudah dalam pengangkatan (handling) dan
fleksibel dari segi perakitan. Dengan demikian, sistem ini
menyebabkan fabrikasi panel-panel yang dibutuhkan jumlahnya
lebih banyak jika dibandingkan dengan sistem panel lebar.
Walaupun fleksibilitas arsitektural dapat tercapai, seperti yang
juga diinginkan, sambungan memerlukan desain yang teliti dan
memperhatikan kemampuan tenaga kerja di lapangan. Sistem dan
sambungannya harus dapat memanfaatkan tenaga kerja tidak
terlatih semaksimal mungkin. Peralatan merakit konvensional
masih digunakan.
35
2. sistem panel lebar (large panel system): panel lantai maupun
dinding yang lebar dapat bervariasi dalam ukuran. Berat masingmasing panel sekitar 10 ton atau lebih, sehingga memerlukan alat
berat untuk merakit bangunan. Pada saat yang sama, pekerja di
lapangan relatif dapat dikurangi jika dibanding sistem panel
kecil, karena jumlah panel dan sambungan yang lebih sedikit.
Untuk memperoleh keuntungan yang optimal, fleksibilitas
arsitektural pasca produksi harus direncanakan terlebih dahulu.
Gambar II.14 Sistem panel untuk bangunan
Sumber: Lawrence Sass, 2005
3-D: sistem 3 dimensi (cell modular). Di U.S. dan Russia,
pengembangan sistem bangunan telah berkembang menuju perakitan
modul volumetrik yang dapat diprefabrikasi di pabrik. Terdiri dari 3
dinding, atap, dan lantai, 2 dinging atap dan lantai, atau kombinasi lain
diantaranya. Yang diperlukan di lapangan hanyalah tempat untuk
meletakan hasil rakitan dan sambungan antar modul.
Sistem ini sudah pasti lebih berat (dengan menggunakan sistem beton
bertulang yang normal), jika dibandingkan dengan komponen-komponen
pada sistem panel lebar. Berat modul beton pada Expo ’67’ Habitat
rancangan Moshe Safdie sekitar 80-95 ton, sedangkan pada Habitat
Puerto Rico seberat 22 ton. Sistem ini membutuhkan alat berat khusus
untuk perakitan. Sebagai tambahan, modul yang besar memiliki batasan
dari segi transportasi, baik dalam jumlah komponen yang dapat dikirim
dalam 1 moda maupun batasan dimensi dari modul tersebut.
36
Di sisi lain pekerjaan di lapangan berkurang. Perakitan bangunan yang
besar dapat dengan mudah diselesaikan hanya dalam waktu setengah
dari waktu konvensional (atau lebih cepat).
4-D: sistem 4 dimensi (kinerja komponenisasi) merupakan modifikasi
konseptual yang memanipulasi komponen ketiga sistem (frame, panel,
box modular) dengan memproduksi spesifikasi kinerja yang sangat detail
untuk kebutuhan esensial dari komponen sebagai sistem pendukung /
subsistem. Sistem 4-D ini dapat terdiri dari kombinasi pendekatanpendekatan dimensional dan desain sub-sistem. Dengan cara ini, open
system atau sistem terbuka dapat diraih, karena komponen subsistem
dapat diproduksi oleh perusahaan indpenden.
Di sisi lain, sistem ini cukup mengkonsumsi waktu, dan spesifikasi
desain memerlukan metode canggih dan kompetensi yang tidak biasa.
Gambar II.15 Konstruksi hunian berdasarkan tipe-tipe dasar sistem bangunan
Sumber:T. Y. Lin and S. D. Stotesbury (1970)
37
II.4.2 Konsep Pembangunan Massal
T. Y. Lin and S. D. Stotesbury (1970) menyebutkan bahwa 3 syarat
penting agar industrialisasi teknologi prodiksi masal dapat dimanfaatkan
secara ekonomis adalah:
1. Pengulangan proses di pabrik (pada saat ini, produksi yang
bervariasi sangat mahal)
2. Otomatisasi, atau setidaknya menggunakan pendekatan sistem
rasionalisasi tingkat tinggi baik untuk proses prefabrikasi
maupun proses perakitan di lapangan.
3. Untuk alasan kebutuhan kapital investasi utama, produksi harus
didasarkan pada prediksi pasar konsumen.
Banyak kelemahan-kelemahan dalam bidang perumahan di dunia ini
yang hanya bisa diatasi dengan desain-desain yang inovatif dan
memajukan manajemen produksi. Produksi masal dikenal mempunyai
skala ekonomis, namun menemui hambatan ketika sampai pada konsep
rumah prefabrikasi. Agar rumah massal menjadi pilihan atraktif, penting
untuk mengantisipasi kebutuhan fleksibilitas secara arsitektural, dimana
setiap bangunan baru dapat memiliki desain yang berbeda, untuk
menghindari monoton secara arsitektur. (Singh, et all, 1999)
Dalam penelitian berjudul High-Turnaround And Flexibility In Design
And Construction Of Mass Housing ini, Singh, et all (1999)
mempresentasikan metode untuk konstruksi unit hunian apartemen yang
cepat, dan memiliki fleksibilitas dari segi arsitektur, manufaktur, dan
konstruksi. Paper ini memaparkan metode sambungan yang inovatif
untuk konstruksi panel lebar, dan memperlihatkan karakteristik sistem
struktur yang tepat yang menunjukkan hubungan antara sambungan
mekanis dengan kebutuhan akan konstruksi yang cepat. Kecepatan
konstruksi dengan menggunakan metode ini 10 kali lebih cepat
dibanding metode konvensional.
38
II.4.3 Elemenisasi, Komponenisasi, dan Pre-fabrikasi
Sistem elemenisasi dan komponenisasi merupakan inti dari teknik
prefabrikasi. Aplikasi teknik fabrikasi telah membawa perubahan dalam
perkembangan dunia industri konstruksi.
Beberapa keuntungan dapat diperoleh dari penggunaan teknik ini,
meliputi waktu yang singkat dan dapat dipercayakan pada pekerja di
lapangan, kemudahan pemeriksaan lapangan, peningkatan detail desain
dan kualitas yang terkontrol. Ketika dunia konstruksi di Hongkong
kekurangan tenaga kerja terlatih sejak 1980, prefabrikasi yang meliputi
standardisasi dan modularisasi, menjadi kebutuhan dalam dunia desain
dan konstruksi. 8
Beberapa keuntungan dari teknik prefabrikasi adalah: 9
ƒ
Tingkat produktifitas yang lebih tinggi
ƒ
Penghematan pada setiap tingkatan rantai supply karena produksi
masal, contohnya pada rantai pekerja dan biaya pembelian
material
ƒ
Pengembalian modal yang lebih cepat untuk client
ƒ
Mengurangi waktu yang diperlukan untuk proses perbaikan dan
operasional pemasangan
ƒ
Kebutuhan tenaga (manpower) yang lebih rendah karena
penyederhanaan uraian pekerjaan di lapangan
ƒ
Menghemat ruang yang disediakan untuk penyimpanan material
ƒ
Kontrol kualitas lebih baik sehingga profil dan dimensi
komponen pun menjadi lebih akurat
8
Nicolas S.Y. Yeung, Albert P.C. Chan, & Daniel W.M. Chan, Application of Prefabrication in
Construction – A New Research Agenda for Reform by CII-HK
9
Ibid.
39
ƒ
Material yang tebuang menjadi lebih sedikit karena material yang
cacat pun lebih sedikit
ƒ
Lingkungan kerja yang lebih aman pada pabrik prefabrikasi.
ƒ
Meningkatkan semangat kerja dan etos kerja pabrik dengan
proses produksi yang berulan / repetitif
ƒ
Pengujian produk menjadi lebih efisien karena dilakukan di
pabrik
ƒ
Pengaruh cuaca terhadap pekerjaan di lokasi menjadi lebih
sedikit.
ƒ
Penyerahan proyek dan sistem rantai supply didasarkan pada
lingkup prefabrikasi dan preassembly
ƒ
Aplikasi ke sektor perumahan swasta dan publik, bangunan
komersil, dan proyek konstruksi jalan raya berkolaborasi dengan
mitra industri dan pemerintah.
Selain itu, perakitan di lapangan dapat terlaksana dengan baik walaupun
dengan kontrol kualitas yang rendah. Sebagai contoh, pada sambungan
saat merakit komponen. Seperti prefabrikasi pada umumnya, sebagian
besar pekerjaan dilakukan di pabrik, dan hanya sedikit yang dilakukan di
lapangan (on-site). Hal ini memperbesar kemugkinan dalam hal
peningkatan efisiensi, kualitas lebih tinggi, dan masa konstruksi yang
lebih cepat (Rosenfeld, 1994). Hasilnya, semakin sedikit pekerjaan yang
harus dilakukan di lapangan, maka semakin pendek pula keseluruhan
durasi dan kualitas menjadi lebih konsisten. Waktu produksi yang lebih
pendek tidak hanya mengurangi biaya langsung maupun overhead,
namun juga memungkinkan rumah ditempati lebih cepat, yang ditengarai
sebagai masalah signifikan dalam program produksi rumah susun dalam
skala besar di Hongkong.
40
II.5
Membangun Pada Konteks Pasca Bencana
Sebuah studi dilakukan oleh the Humanitarian Practice Network, Overseas
Development Institut, yang membandingkan 5 pendekatan rekonstruksi hunian di
Gujarat, India. Kelima pendekatan tersebut adalah:
a. The Owner-Driven Approach (ODA), Atau Pendekatan Swakelola.
Pendekatan ini memungkinkan komunitas untuk mengatur dan melaksanakan
pekerjaan pembangunan rumahnya sendiri, dengan bantuan pembiayaan dari
luar, material, serta bantuan konsultasi teknis. Metode pendekatan ini tidak
berarti pemilik membangun sendiri rumahnya, namun mereka yang mengatur
dan memiliki kontrol penuh terhadap proses rekonstruksi rumahnya, dengan
arahan yang telah diberikan (building codes). Di Gujarat metode pendekatan
ini diterapkan oleh pemerintah Gujarat dibawah wewenang GEERP (Gujarat
Emergency Earthquake Reconstruction Project). Dalam pelaksanaannya,
sekitar 200.000 rumah (87% dari keseluruhan rumah yang hancur) dapat
dibangun swakelola oleh pemiliknya, dengan bantuan pembiayaan dan
konsultasi teknis dari pemerintah.
Dari hasil observasi, kualitas konstruksi bangunan dinilai baik, dan aman
secara seismik. Kualitas yang baik diperoleh dari ketaatan dalam mematuhi
peraturan (building codes) dari pemerintah. Karena masyarakat telah terbiasa
dengan material utama, serta penggunaan desain vernakular (sudah umum di
masyarakat), maka proyek dengan bantuan pembiayaan dari pemerintah ini
lebih sesuai dengan karakter serta tradisi setempat. Namun resiko dari proyek
ini timbul apabila pemilik tidak memiliki kemampuan untuk mengatur
pembangunan rumahnya, sehingga kualitas pekerjaan menjadi rendah, dan
dana yang diberikan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik.
b. The
Subsidiary
Housing
Approach
(SHA),
Atau
Pendekatan
Tersubsidi.
Dengan pendekatan ini, agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah)
tidak terkait langsung dengan proses rekonstruksi perumahan. Agensi disini
41
berperan sebagai fasilitator, memberikan tambahan bantuan material dan
bantuan teknis, namun tetap sesuai dengan kerangka kerja pemerintah. Di
Gujarat, proses rekonstruksi dengan pendekatan ini dilakukan di 7 desa, di
Rapar Taluka, distrik Kachch.
Kualitas konstruksi biasanya sebanding dengan rumah yang dihasilkan dari
pembangunan swakelola. Dengan bimbingan dari agensi, maka resiko pada
pembangunan swakelola dapat dihindari. Hasil observasi menunjukkan bahwa
100% rumah-rumah tersebut ditempati oleh pemiliknya.
c.
The Participatory Housing Approach (PHA), Atau Pendekatan
Partisipatif.
Pada pendekatan ini, agensi (LSM atau pemberi bantuan non-pemerintah)
memegang peranan utama dalam proses rekonstruksi, dengan melibatkan
pemilik rumah dalam perencanaan, desain, dan pelaksanaan rekonstruksi
rumahnya. Di Gujarat, rekonstruksi dengan pendekatan partisipatif ini
dilaksanakan di 30 desa, dengan jumlah sekitar 3000 rumah.
Pada rekonstruksi dengan pendekatan ini, masyarakat diberikan pelatihan
terlebih dahulu dalam pembangunan rumahnya, dengan pengawasan dari
agensi. Pelatihan ini kemudian menjadi sangat berguna bagi masyarakat di
kemudian hari, bahkan setelah proses rekonstruksi selesai.
d. The Contractor-Driven Approach In Situ (CODIS), Atau Pendekatan
Dengan Kontraktor Pada Lahan Yang Sama.
Pekerjaan rekonstruksi dengan pendekatan ini dilakukan sepenuhnya oleh
perusahaan kontraktor profesional, baik dalam pekerjaan desain maupun
konstruksinya. In situ di sini berarti rumah-rumah tersebut dibangun di lahan
yang sama eperti sebelum bencana terjadi. Kebanyakan, desain, material serta
tenaga ahli didatangkan dari luar komunitas. Di Gujarat, rekonstruksi dengan
pendekatan ini dilaksanakan di 11 desa, dengan jumlah sekitar 3000 rumah.
42
Sekitar 36 % pemilik rumah tidak puas dengan kualitas material yang
digunakan. Hal ini menjadi signifikan, melihat bahwa dengan pendekatan
swakelola, pemilik lebih merasa puas (100%). Namun hal ini seringkali
disebabkan karena jarak dan lokasi desa yang sulit diakses, sehinggakinerja
dari kontraktor menurun.
e.
The
Contractor-Driven
Approach
Ex
Nihilo
(CODEN),
Atau
Pendekatan Dengan Kontraktor Pada Lahan Yang Baru.
Seperti pendekatan sebelumnya, pendekatan ini pun merupakan pendekatan
yang melibatkan perusahaan kontraktor profesional. Namun dalam pendekatan
ini, seluruh desa dibangun kembali di tempat yang baru. Di Gujarat,
rekonstruksi dengan pendekatan ini dilaksanakan dengan bantuan dana
internasional dan bekerja sama dengan NGO internasional, berhasil
membangun kembali 11 desa, dengan jumlah sekitar 2250 rumah beserta
infrastrukturnya.
Hasil penelitian yang diterbitkan pada jurnal Housing Reconstruction in PostEarthquake Gujarat: A Comparative Analysis (Maret 2006) 10 menyebutkan
bahwa prosentase kepuasan masyarakat paling besar ditujukan terhadap rumah
hasil proses rekonstruksi dengan metode the subsidiary housing approach (SHA).
Pada metode the subsidiary housing approach ini, agensi tidak terikat secara
langsung dalam rekonstruksi. Agensi berperan sebagai fasilitator, memberikan
bantuan pengetahuan material serta teknologi tambahan, namun tetap dalam
kerangka kerja pemerintah. Kepuasan berikutnya ditunjukkan terhadap proses
rekonstruksi dengan metode the owner-driven approach (ODA). Pada metoda ini,
masyarakat membangun sendiri rumahnya dengan bantuan keuangan dan
konsultasi teknis dari pemerintah. Dengan metoda the owner-driven approach ini
dapat dibangun sekitar 200.000 rumah atau 87% dari rumah yang hancur.
10
Barenstein, J., D.,Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative
Analysis, Network Paper no .54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development
Institute, London, Maret 2006
43
Masyarakat paling merasa tidak puas dengan rekonstruksi yang menggunakan
metode the contractor-driven approach ex nihilo (CODEN), atau rekonstruksi
yang dilaksanakan oleh kontraktor profesional, di mana seluruh desa dibangun
kembali pada tapak yang berbeda.
Ironisnya, proyek yang memakan biaya paling besar justru mendapat apresiasi
rendah dari masyarakat. Studi ini memberikan bukti empiris bahwa perkembangan
tren bantuan pembiayaan untuk rekonstruksi rumah swakelola sangatlah mungkin
untuk diterapkan baik dari segi sosial, pembiayaan, maupun segi teknis.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam konteks pemberdayaan masyarakat dan potensi
lokal, dengan pemberian bantuan pembiayaan dan teknis saja, masyarakat
memiliki kapasitas dalam membangun rumah yang dapat merespon kebutuhan
mereka. Respon yang terjadi jauh lebih baik jika dibandingkan dengan rumah
yang diberikan langsung oleh agensi (LSM atau pemberi bantuan nonpemerintah).
Gambar II.16 Perbandingan prosentase kepuasan dari 5 pendekatan rekonstruksi di Gujarat
Sumber: Housing Reconstruction in Post-Earthquake Gujarat: A Comparative Analysis, Network
Paper no .54, Humanitarian Practice Network at Overseas Development Institute, London, Maret
2006
Studi ini juga membuktikan lebih jelas adanya resiko dari rekonstruksi yang
sepenuhnya dilakukan oleh kontraktor, yaitu: tidak fleksibel, tidak sensitif
terhadap budaya, kesalahan dalam mengadaptasi kondisi lokal, tendensi untuk
44
memperkenalkan material baru yang tidak sesuai dengan iklim setempat, dan sulit
untuk perawatan maupun pengembangan.
Hasil penelitian worldbank 11 juga menunjukkan kondisi yang sama. Dalam
manajemen rekonstruksi hunian pasca bencana, hunian yang dibangun sendiri
oleh masyarakat hasilnya seringkali lebih baik dibanding hunian yang dibangun
oleh kontraktor maupun pemerintah. Dengan biaya yang relatif lebih rendah, ratarata kepuasannya sangat tinggi, pendekatan ini seringkali menjadi kunci
kesuksesan proses rekonstruksi. Pembangunan oleh masyarakat pun menjadi salah
satu strategi terbaik untuk meningkatkan tingkat perekonomian masyarakat.
Dengan adanya bencana yang diantisipasi dengan proses rekonstruksi, program
hunian lokal harus didukung oleh beberapa perencanaan publik yang baik pula.
Yang pertama, pada kebanyakan area perkotaan, dibutuhkan standar dasar kualitas
konstruksi dan sanitasi.
Hal ini harus dimulai secepatnya. Yang kedua,
pembangunan hunian yang serentak dalam jumlah besar akan mengakibatkan
keterbatasan material dan ahli bangunan / tukang. Oleh karena itu, perencanaan
pengadaan (procurement) akan sangat dibutuhkan. Yang ketiga, keluarga yang
memiliki keterbatasan sumber daya (orang jompo, anak-anak, tidak memiliki
keahlian) tidak akan bisa membangun kembali rumahnya tanpa bantuan tambahan
Dari proses pembangunan dan rekonstruksi yang terjadi di negara lain, kita dapat
mengambil pelajaran diantaranya:
ƒ
Koordinasi adalah kunci utama
ƒ
Mengembangkan standar dasar perndekatan rekonstruksi untuk dilakukan
di desa-desa
11
ƒ
Memperkuat kapasitas lokal
ƒ
Pemberian bantuan secepatnya
ƒ
Masyarakat setempat harus memperoleh keuntungan (dari segi ekonomi)
http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Publication/280016-
1106130305439/reconstruction_notes.pdf
45
ƒ
Memberlakukan struktur pemerintahan yang berkelanjutan secepatnya,
serta meningkatkan kapasitasnya.
ƒ
Melakukan kolaborasi dengan NGO / LSM
ƒ
Perancangan standardisasi teknis.
II.5.1 Studi Komparatif Pelaksanaan Rekonstruksi di Aceh, D.I.
Yogyakarta, dan Pangandaran
Berikut ini akan dipaparkan mengenai hasil pengamatan lapangan di
daerah yang sedang menjalani proses rekonstruksi pasca bencana beserta
studi terhadap pelaksanaan rekonstruksi di negara lain. Tujuannya adalah
untuk mengelaborasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi kecepatan
membangun rekonstruksi rumah pasca bencana
Survey lapangan dilakukan di 3 tempat yang terkena bencana di
Indonesia, yaitu Aceh, Pangandaran (Jawa Barat bagian selatan), dan
D.I. Yogyakarta, dilakukan dalam kurun waktu bulan November 2006
hingga mei 2007. Ketiga daerah ini sedang menjalani proses
rekonstruksi, setelah mengalami bencana gempa bumi dan tsunami.
Tujuan survey lapangan ini adalah untuk mengeksplorasi hal-hal yang
terkait dengan proses rekonstruksi di setiap daerah, meliputi kondisi
eksisting serta faktor yang mempengaruhi keberhasilan maupun
kegagalan proses tersebut.
Gambar II.17 Pelaksanaan Rekonstruksi di Nangroe Aceh Darussalam (2007); rumah
bantuan di daerah pinggir pantai, mengadaptasi rumah tradisional aceh dalam
mengantisipasi pasang air laut (kiri); fenomena rumah kosong (tengah); barak pengungsi
yang masih banyak penghuninya di Aceh (kanan).
46
Gambar II.18 Pelaksanaan Rekonstruksi di D.I. Yogyakarta (2007); pembangunan oleh
masyarakat memungkinkan rumah dapat dihuni walaupun belum selesai sepenuhnya (kiri);
bantuan langsung dari NGO (kanan).
(a)
(b)
(c)
Gambar II.19 Pelaksanaan Rekonstruksi di Pangandaran, (a) Rumah Nelayan Ramah
Bencana, bantuan Dinas Perikanan & Kelautan, Kecamatan Sidamulih Pangandaran
(Desember 2006), (b)Rumah sementara bantuan langsung, Kecamatan Pangandaran
(November 2006), (c)Rekonstruksi dengan partisipasi masyarakat kecamatan Parigi,
Pangandaran, Desember 2006.
47
Tabel II.1 Perbandingan Rekonstruksi Pasca Bencana Antara 3 Daerah Yang
Terkena Bencana Di Indonesia
(Aceh, Pangandaran, Yogyakarta)
NO
URAIAN PERBANDINGAN
1
Jenis Bencana
2
3
4
Jumlah Korban Jiwa 12
Kemajuan rekonstruksi
% terlaksana per 1 tahun
Material Sisa yg dapat
dimanfaatkan
5
6
Pendekatan Rekonstruksi
ACEH
Gempa bumi +
Tsunami
Lebih dari
167.000
Paling lambat
Di bawah 25 %
PANGANDARAN
Gempa bumi+
Tsunami
YOGYAKARTA
Sekitar 429
Cepat
Sekitar 50%
Sekitar 6.234
Paling cepat
Sekitar 60%
Tidak ada
Sedikit
Tidak ada
partisipasi sama
sekali dari
masyarakat
(dilaksanakan
oleh kontraktor)
Bantuan
Pemerintah (uang)
dan LSM
(marerial)
Dilaksanakan oleh
kontraktor
banyak
Bantuan
pemerintah
dengan partisipasi
penuh dari
masyarakat
Dilaksanakan
oleh kontrakor
CODIS
ODA
ODA
CODEN
SHA
SHA
CODIS
PHA
Rumah
Material bangunan
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Jenis Bantuan
Sumber dana (yang paling
dominan)
Bantuan teknik pembangunan
Tipe desain rumah
Tipe metode konstruksi
(manajemen maupun tenaga
kerja)
Rasa kepemilikan ( sense of
belonging)
Fenomena Rumah Kosong
Penggunaan material lokal
Efisiensi (dalam penggunaan
material)
Rumah
Gempa bumi
CODIS
Rumah
uang
Bimbingan teknik
pembangunan dan
bantuan sosial
Dibangun oleh
kontraktor
Uang
LSM maupun
pemerintah
Tidak ada
RSS
Dibangun sebagian
oleh kontraktor,
sebagian oleh
pemilik rumah
Rendah
banyak
Tidak ada
Rata-rata
Beberapa
Beberapa
tinggi
Tidak ada
Sebagian besar
Paling efisien
Cukup efisien
Tidak efisien
NGO
Tidak ada
RSS
Pemerintah
ada
Rumah inti
Dibangun secara
bertahap oleh
pemilik rumah
Keterangan:
ODA: The Owner-Driven Approach, SHA: The Subsidiary Housing Approach, PHA: The
Participatory Housing Approach, CODIS: The Contractor-Driven Approach In-Situ , CODEN:
The Contractor-Driven Approach Ex-Nihilo
Sumber: Pengamatan lapangan
12
http://www.wikipedia.com
48
Terdapat beberapa kecenderungan yang terjadi pada pelaksanaan
rekonstruksi
pasca
bencana.
Yang
pertama
adalah
pendekatan
rekonstruksi dengan cara memberikan bantuan rumah langsung (dengan
metode konstruksi massal yang dilaksanakan oleh kontraktor) lebih
efisien apabila dilihat dari penggunaan material. Namun di sisi lain,
kurangnya
partisipasi
masyarakat
menyebabkan
rendahnya
rasa
kepemilikan. Pelaksanaan rekonstruksi pun menjadi lebih lama,
tergantung pada konsolidasi tanah dan proses pengadaan (procurement).
Kontrol terhadap kualitas pun menjadi sangat rendah, karena kurangnya
sumber daya dan pengawasan.
Yang kedua, strategi parstisipatif yang melibatkan pemilik rumah (The
participatory & Owner-driven approach) dinilai dapat mempercepat
masa rekonstruksi. Salah satu keuntungannya, pembangunan rumah yang
dilakukan secara bertahap memungkinkan pemilik dapat secepatnya
menghuni rumah mereka walaupun belum selesai seluruhnya. Setiap
pemilik rumah terlibat dalam proses pembangunan rumahnya, sehingga
meningkatkan rasa kepemilikan. Selain itu, mereka pun dapat
mengawasi kualitas konstruksi dari rumahnya masing-masing.
Kekurangan dari strategi partisipasi adalah strategi ini masih dilakukan
dengan menggunakan metode sistem konstruksi konvensional untuk
rumah tunggal. Metode ini kurang efisien apabila dibandingkan dengan
metode konstruksi masal. Selain itu, panduan teknis sebagai pegangan
masyarakat untuk membangun rumahnya sendiri sering kali kurang
fleksibel dalam mengakomodasi perubahan desain. Bimbingan teknis
maupun sosial bagi masyarakat yang telah dilakukan masih kurang
memadai (dalam hal sumber daya), sehingga hasilnya masih jauh dari
yang diharapkan.
Dari studi awal yang telah dilakukan dengan membandingkan proses
rekonstruksi yang terjadi di Aceh, D.I Yogyakarta, dan Pangandaran
49
serta kajian teori di atas, disimpulkan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi kecepatan rekonstruksi hunian pasca bencana adalah 13 :
1. Evaluasi yang tepat terhadap jenis bencana dan kondisi yang menjadi
konsekuensinya
2. Pemanfaatan potensi lokal (terutama material)
3. Pendekatan partisipatif, dimana pemilik rumah ikut terlibat secara
aktif dalam pembangunan rumahnya, dengan mengikuti petunjuk,
aturan, dan bantuan yang berasal dari pemerintah (Participatory &
Owner-driven approach )
4. Selain bantuan material (uang), pemerintah juga harus memberikan
bantuan teknis. Bantuan teknis harus intensif dan berkualitas,
dilengkapi dengan petunjuk teknis yang fleksibel
5. Konstruksi rumah masal dengan proses manajemen yang terintegrasi
(dengan meningkatkan efisiensi melalui rasionalisasi dalam semua
aspek)
II.6
Studi Kasus Sistem Pre-fabrikasi pada Pembangunan Rumah
Massal Pasca Bencana: RISHA
RISHA, atau Rumah Instan Sederhana Sehat, adalah suatu teknologi konstruksi
sistem pracetak untuk bangunan sederhana atau Rumah Sederhana Sehat (RSH).
Teknologi ini telah diperkenalkan di Aceh pasca tsunami 2004 untuk membangun
hunian, infrastruktur, dan fasilitas umum.
Kelebihan RISHA:
a. Komponen bangunan memakai sistem rakit pada pemasangannya
b. Jumlah komponen sedikit sehingga mudah dirakit dan dibongkar pasang
13
Larasati D., dkk, A Comparative Study To Evaluate Efficiency Of Housing Reconstruction In
Disaster Areas In Indonesia, Focus of Study: Nangroe Aceh Darussalam, DI Yogyakarta, West
Java, prosiding seminar URDI, Yogyakarta 9-10 Juli 2007.
50
c. Setiap komponen memiliki tingkat fleksibel untuk perubahan maupun
pengembangan
d. Pembangunan bersifat instan, tidak melakukan pengecoran sama sekali.
e. Konstruksi ringan, sehingga pembangunan dapat dilakukan dalam waktu
singkat dan menurunkan biaya konstruksi. 1 komponen dapat dilakukan oleh 3
orang
f. Produksi komponen dapat dilakukan masyarakat
g. Tahan gempa sampai zona 6
h. Dapat dibangun pada setiap jenis lahan (pondasi menyesuaikan)
Gambar II.20 Masyarakat dapat terlibat dalam pembuatan komponen RISHA
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
II.6.1 Komponen RISHA
Esensi dari teknologi sistem Risha adalah sistem ukuran dan modul
komponen-komponen yang dapat digunakan dalam pembentukan ruang.
Secara umum, komponen terbagi 2 kelompok, yaitu komponen struktur
(panel & simpul) serta komponen pengisi (partisi, kamar mandi, atap,
lantai).
51
Ukuran modul yang dimiliki adalah 1.20 m dengan tebal komponen 10
cm dan lebar struktur 30 cm. sehingga ruang yang dapat terbentuk
merupakan perpaduan dari ukuran 1,2 m dan 30 cm
Pembuatan komponen hingga kering (dikeluarkan dari cetakan)
memerlukan waktu 24 atau 12 jam dari waktu pengecoran. Namun dapat
dipercepat menjadi 3 jam dengan penambahan bahan aditif. Rata-rata
produsen komponen risha mampu memproduksi 5 unit komponen rumah
dalam 1 hari. Dengan bahan aditif, produsen risha mampu meningkatkan
produksinya sampai 15 unit rumah tipe 36 m2 per hari.
Gambar II.21 Pembuatan Panel Struktur Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
A. Sistem Sambungan
Seluruh komponen dihubungkan dengan penggunaan baut dan
pelat galvanis. Komponen yang tidak dapat dihubungkan langsung
dengan baut bisa menggunakan sistem kancing. Setiap lubang baut
direncanakan secara presisi saat pembuatan komponen.
52
B. Panel Struktur
Terdiri dari panel struktur 1 (p1), panel struktur 2 (p2), dan simpul.
Gambar II.22 Panel Struktur Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
Panel struktur 1 dapat digunakan sebagai kolom, pondasi, sloof,
balok, sampai dengan rangka kuda-kuda atap. Selain itu dapat juga
dimanfaatkan sebagai komponen infrastruktur lingkungan.
Panel struktur 2 dapat digunakan sebagai kolom, pondasi, sloof,
balok, sampai dengan rangka kuda-kuda atap. Fungsi panel ini
lebih banyak sebagai pendukung sistem panel struktur 1
Simpul berfungsi sebagai penghubung antar panel pada hubungan
sloof dan kolom, kolom dan balok, balok dan kuda-kuda, atau
berfungsi sebagai pondasi
C. Panel Partisi
Terdiri dari rangka yang terbuat dari bahan berbasis kayu, baja,
atau alumunium yang ditutup dengan bahan panel lembaran kedap
air dan cuaca. Partisi-partisi tersebut terdiri dari partisi masif, dan
partisi pintu-jendela.
Gambar II.23 Panel Partisi Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
53
D. Kamar Mandi
Menggunakan sistem knockdown terbuat dari fiber. Bagian utama
terdiri dari kapsul bagian atas dan bawah.
Gambar II.24 Komponen Kamar Mandi Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
E. Atap
Terdiri dari rangka atap dan penutup atap. Sistem kuda-kuda
terbentuk dari komponen panel struktur ditambah dengan
komponen kaki kuda-kuda (dengan kekuatan setara bahan kayu
kelas II).
Gambar II.25 Komponen Atap Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
E. Lantai
Lantai Risha menggunakan pc paving abu-abu 20x20 cm. Namun
komponen lantai ini dapat diganti/disesuaikan.
54
II.6.2 Tahap Perakitan RISHA
Tahapan perakitan Risha terdiri dari:
ƒ
TAHAP I
pembersihan site
ƒ
TAHAP II
pekerjaan galian pondasi
ƒ
TAHAP III
pemasangan sloof
ƒ
TAHAP IV
pemasangan kolom
ƒ
TAHAP V
pemasangan balok
ƒ
TAHAP VI
pemasangan atap
ƒ
TAHAP VII
pemasangan panel partisi
ƒ
TAHAP VIII pemasangan lantai
ƒ
TAHAP IX
pekerjaan mekanikal elektrikal
ƒ
TAHAP X
pekerjaan finishing (peningkatan penampilan
bangunan, dll)
Gambar II.26 Perakitan Komponen Struktu Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
55
1
2
3
4
Gambar II.27 Modul Pembentukan Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
Gambar II.28 Pengembangan Risha sesuai dengan pengembangan RIT menjadi RsS
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
56
Gambar II.29 Pembangunan Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
Gambar II.30 Pengembangan Risha
Sumber: Arif Sabarudin, Membangun Risha, 2002
II.7
Kesimpulan Kajian Literatur dan Studi Kasus
Agar masyarakat korban bencana bisa mendapatkan hunian yang layak dan
berkualitas, maka rumah yang dibangun harus sesuai dengan peraturan yang telah
dikeluarkan oleh kementrian Kimpraswil Republik Indonesia, yaitu rumah dengan
tipe RSS. Sistem struktur rangka maupun dinding pendukung merupakan sistem
struktur yang paling efisien untuk rumah sederhana. Metode membangun
sederhana harus dapat dikembangkan sehingga konstruksi diterapkan di daerah
manapun dengan pekerja tidak terlatih dalam jumlah minimal.
57
Dengan desain rumah yang benar, maka rasa kepemilikan, keamanan dan
konsistensi dapat dirasakan oleh masyarakat. Hunian tersebut juga harus dapat
merespon perubahan daur hidup hunian dan komunitas. Rumah yang baik pun
dapat menumbuhkan kebanggaan dan berkontribusi dalam pembentukan wajah
dan karakter lingkungan, sehingga perancanaan dan perancangannya harus peka
terhadap visi masa depan dari komunitas.
Untuk wilayah Indonesia yang rawan terhadap berbagai macam bencana, terutama
gempa bumi, maka kriteria bangunan yang tahan gempa pun harus dipenuhi dan
disosialisasikan pada masyarakat. 3 kriteria bangunan tahan gempa tersebut
adalah denah yang simetris, bangunan yang diikat ke segala arah sehingga
menjadi satu kesatuan yang kaku, serta material yang ringan.
Dalam memenuhi kebutuhan perumahan pasca bencana berupa rumah dalam
jumlah banyak dalam waktu singkat, maka perlu dipikirkan cara untuk
mempercepat masa konstruksi. Koordinasi komponen dan keseluruhan desain,
termasuk produksi di pabrik dan perakitan di lapangan, merupakan langkah awal
untuk melangkah dari metode konstruksi konvensional.
Beberapa hal yang dapat dipelajari dan menjadi catatan adalah sebagai berikut:
ƒ
Dengan konstruksi yang dilakukan secara masal, sejumlah rumah dapat
dibangun dalam waktu bersamaan. Metode ini pun dianggap lebih efisien
dari segi penggunaan bahan, tenaga kerja, mengurangi biaya, dll.
ƒ
Pada pembangunan massal dengan sistem prefabrikasi, produksi
komponen secara langsung akan mempengaruhi desain dari bangunan.
ƒ
Pemilihan sistem struktur yang tepat dengan sambungan / joint yang
memungkinkan pelaksanaan konstruksi yang cepat. Inovasi sambungan
pada panel lebar pada salah satu penelitian menunjukan masa konstruksi
yang 10 kali lebih cepat dibanding metode konvensional. Dalam risha,
komponen struktur pembentuk dapat dibuat menjadi 3 panel struktur yang
58
Hal ini menunjukan bahwa jumlah komponen yang sedikit akan
mempermudah baik proses fabrikasi maupun perakitan di lapangan,
sehingga akan mempercepat masa konstruksi.
ƒ
Keberadaan tenaga kerja terlatih juga akan mempengaruhi sistem struktur.
Dengan tenaga kerja tidak terlatih, teknologi sistem bangunan yang
mungkin diaplikasikan hanya sistem 1D dan 2D saja.
ƒ
Untuk mendapatkan kualitas komponen bangunan khususnya pada
pembangunan skala massal, kunci keberhasilan berada pada aspek kualitas
kontrol. Pada sistem konvensional, kontrol kualitas akan memerlukan
biaya tinggi karena skala site yang luas. Dengan sistem pabrikasi dari tiap
komponen, kegiatan kontrol kualitas akan lebih mudah dilakukan pada
skala pabrikan.
ƒ
Tidak dilakukan modifikasi saat perakitan (memotong, melubangi, atau
menambah) dapat mempercepat masa perakitan.
ƒ
Salah satu penyebab bangunan mengalami kerusakan saat gempa adalah
kesalahan dalam pelaksanaan, khususnya dalam sistem sambungan antara
penulangan kolom praktis, ring balok, dan sloof. Oleh karena itu,
komponen-komponen
ini
harus
betul-betul
diperhatikan
dalam
membangun.
ƒ
Dengan komponenisasi, masyarakat dapat terlibat langsung, diantaranya:
o Perakitan komponen-komponen
o Industri komponen utama
o Industri komponen penunjang (paving lantai, partisi, daun pintu
dan jendela, kuda-kuda & atap)
o Industri kamar mandi fiber
o Industri cetakan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari sebagai hasil analisis dari
pengamatan lapangan serta kajian di atas adalah:
59
ƒ
Berdasarkan tahapan pembangunan seperti yang digambarkan pada
diagram Handler, maka pada kondisi pasca bencana, tahapan yang dapat
dilakukan dengan pelibatan masyarakat dan menjadi fokus dalam
penelitian ini adalah tahap desain hingga konstruksi. Tahap procurement
diasumsikan sebagai tahap yang mendapat bantuan dari pemerintah atau
pemberi bantuan.
FS
Feasibility Study
Feed back
D/E
Design /
Engineering
P
Procurement
Feed back
C
Construction
B
Bionomic
Feed back
Feed back
Gambar II.31 Diagram Handler untuk tahapan pembangunan
Sumber: Ari Pedju, 1998
ƒ
pendekatan partisipatif (The owner-driven approach) pada rekonstruksi
hunian pasca bencana terbukti dapat mempercepat durasi proses
konstruksi. Masyarakat dapat dilibatkan sejak poroses desain hingga
konstruksi.
ƒ
Agar proses tersebut menjadi lebih efisien, maka diperlukan rekonstruksi
partisipatif dengan orientasi pembangunan hunian masal, karena
penggunaan material pada metode pembangunan masal lebih efisien jika
dibandingkan dengan metode pembangunan rumah tunggal.
ƒ
Pada pembangunan hunian secara masal,
pentahapan konstruksi serta
pihak-pihak yang terlibat pada setiap tahap menjadi faktor penting.
ƒ
Pemerintah harus mengambil peranan penting dalam pembangunan, yaitu
dalam mengatur pemberian dana bantuan, menyediakan pedoman teknis,
serta pembimbingan dari tenaga ahli.
ƒ
Eksplorasi teknik komponenisasi elemen dengan teknik prefabrikasi dapat
mempercepat masa konstruksi. Teknik tersebut juga harus dihubungkan
dengan potensi material, seperti kayu, bambu, batu, dll.
60
ƒ
Material lain yang mudah ditemukan adalah batu dan batako. Perlakuan
khusus terhadap material tersebut akan memberikan nilai lebih pada
kualitas rumah.
Tabel II.2 Tabel KriteriaPenerapan Sistem Produksi Industri pada Masyarakat
Pasca Bencana
KATEGORI
MODULAR
DIMENSIONAL
URAIAN KRITERIA
&
KOMPONENISASI
& PREFABRIKASI
DALAM
SISTEM
PRODUKSI
INDUSTRI
KETERANGAN
Modul
pengemba
ngan
RIT 1, RIT
2, RSh 1,
RSh 2
Dimensi
Modul ruang
3X3 m
Sistem
bangunan
(1D dan
2D
Berat
bangunan
disesuaikan
dengan
cara
pengangkatan
Harus dapat diangkat
oleh 2 orang pekerja
Ukuran
bagianbagian
bangunan,
khususnya
dalam arti
‘besarnya’
(masalah
penanganan)
elemen
bangunan
Bahan
bangunan,
dengan cara
/
teknik
pelaksanaan
nya
Kadar
prefabrikasi
pada suatu
bangunan
tertentu
small cells, large
panels, dst
Harus dapat diangkat
oleh 2 orang pekerja,
dengan alat
transportasi yang
sederhanadimensi
modul terkecil
biasanya 30 cm dan
kelipatannya.
manual
industrial
prefabrication,
craft
prefabrication,
dst
rationalized
traditional,
partial prefab,
total prefab, dst
Sederhana, Bahan
sesuai potensi
setempat, dan dapat
memberdayakan
masyarakat dalam
proses prefabrikasi
Dapat
memberdayakan
masyarakat dalam
proses prefabrikasi,
disesuaikan dengan
kemampuan SDM
Sistem
Produksi
Industri
(massal)
Peluang
mengekspresikan
kebutuhan
pengungkapan
jati diri
Mengurangi
Peluang
Pembongkaran
Bagian
Bangunan Secara
Besar-besaran
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
61
Tabel II.3 Tabel Komponen Bangunan untuk Rumah Inti Tumbuh dan
Pengembangannya
SISTEM BANGUNAN
KOMPONEN
Pondasi
1 DIMENSI
JENIS
sistem
pondasi
setempat
MATERIAL
KETERANGAN /
GAMBAR
pasangan
batu kali
pasangan
beton
Sloof
sistem
pondasi
tidak
langsung
-
Kolom & Balok
-
lantai
Rangka atap
1
kemiringan
Dinding
kusen pintu &
jendela
Penutup Atap
kayu ulin
galam
beton
bertulang
kayu
bambu
beton
bertulang
kayu
bambu
rabat beton
kayu / ampig
tembok
pelana
kayu / ampig
tembok
tembok
papan
conblock
papan kayu
tebal min. 2
cm
bambu
tembok,
papan
kayu
setengah
tembok
-
Harus disesuaikan dengan
kondisi tanah,
lingkungan, dan potensi
material setempat
dilengkapi dengan
pengaku, untuk kolom &
balok kayu menggunakan
sekur-sekur dari kayu
5/10 max. 50 cm.
Mudah dikembangkan
kayu dengan kelas kuat
dan awet II berukuran
5/10
setiap titik simpul
menggunakan klam papan
kayu 2/10
Kemiringan sudut atap
min. 20°
rangka beton bertulang
dipasang pada rangka
kayu 5/7 atau 5/10
Disesuaikan dengan
material yang tersedia
asbes
seng
gelombang
kecil
62
panel
2 DIMENSI
panel kecil
(small
panel)
gypsum
beton ringan
Panel kayu/
plywood
panel lebar
(large
panel)
gypsum
beton ringan
Panel kayu/
plywood
sambungan
(joints)
mur-baut
Baja
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
Tabel II.4 Tabel Waktu dan Uraian Pekerjaan Yang Diperlukan Untuk
Membangun Satu Unit Rumah Inti (RIT-1, tembok)
Sumber: diolah dari Kepmen Kimpraswil, Pedoman Teknis Bangunan Rumah Sederhana
(Tembok), 1991
63
Tabel II.5 Tabel Kriteria Ketahanan Gempa & Tsunami
KATEGORI
DENAH
KRITERIA
Simetris
KETERANGAN
Denah bangunan
yang terlalu panjang
harus dipisahkan
Denah berbentuk L
harus dipisahkan
Denah berbentuk U
harus dipisahkan
STRUKTUR
MATERIAL
Rangka, Kesatuan yang
kaku
Material yang ringan
Dinding bata harus
kuat dengan
kolom,sloof, ring
balok dari beton atau
kayu
Dinding bata harus
diangker terhadap
kolom,sloof dan ring
balok
Sloof harus diberi
angker terhadap
pondasi
Bangunan Tembok
Hubungan antara
kolom dan balok
atap harus diberi
balok penapong
diagonal dan datar
Hubungan antara
balok lantai dan
kolon harus diberi
balok panopang
diagonal dan datar
Pondasi umpak harus
tertanam sedalam >
20 cm ke dalam
tanah
Material setempat
untuk mendukung
keberlanjutan
Bangunan Kayu
-
64
ANTISIPASI
TSUNAMI
(UNTUK
RUMAH DI
DAERAH
PANTAI)
Sistem split core (5x lebih
kuat disbanding struktur
tradisional
Posisi tegak lurus
terhadap garis pantai,
sehingga kuat dan
dapat berfungsi
sebagai pemecah
gelombang
Lantai
Dinaikkan
(panggung), untk
mengantisipasi air
pasang
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
Tabel II.6 Tabel Material Berdasarkan Elemen Bangunan
SISTEM
BANGUNAN
MATERIAL (LOKAL)
KAYU
BATU
BATA
BETON
LINIER
Kolom
Pondasi
Pondasi
Pondasi
Balok
Kolom
Kolom
Kolom
Sloof
Balok
Rangka
Sloof
Atap
KudaRangka
kuda
Atap
Pintu &
Kuda-kuda
Jendela
Lantai
Lantai
PANEL
Pelat
Pondasi
Pondasi
Pelat
Lantai
Lantai
Panel
Dinding
Dinding
Panel
Dinding
geser
geser
inding
Panel
Panel Atap
Atap
Cell
cell kayu
Cell beton
Box
Box kayu
Box beton
Sumber: diolah dari berbagai sumber dalam studi literatur
BAMBU
Kolom
Balok
Sloof
Rangka
Atap
Kuda-kuda
Pintu &
Jendela
Lantai
Pelat
Lantai
Panel
Dinding
Panel Atap
-
BAJA
Pondasi
Kolom
Balok
Sloof
Rangka
Atap
Kuda-kuda
Panel Atap
cell baja
-
65
rumah sederhana tahan gempa
Kubika
l
Rangka
(sloof, kolom
, balok,
Dinding pen
omponen Rangka Bangunan
(kolom balok dan sloof)
ƒ Kayu
ƒ Bambu
ƒ beton cor setempat (onsitecast concrete)
ƒ baja (steel)
ƒ beton prefabrikasi (prefab
concrete)
Dinding Pengisi
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
ƒ
batako (masonry)
bata (brick)
konblok (concrete-block)
bambu plester
GRC
dan lain-lain
Kubikal Kamar Mandi
(kubikal
fabrikasi
atau
sistem dinding pendukung,
menyatu dengan bangunan
rumah atau terpisah)
ƒ batu (stone)
ƒ konblok (con-block)
ƒ fiber (plastik serat)
ƒ PVC
ƒ Almunium
ƒ GRC
Gambar II.32 Alternatif material untuk rumah sederhana
Sumber: Larasati dkk, design for the competition (2005)
Gambar di atas memperlihatkan salah satu alternatif sistem struktur rumah
sederhana tipe 45 yang memenuhi kriteria tahan gempa, dengan sistem rangka dan
kubikel dengan sistem dinding pendukung yang disambungkan dengan dilatasi..
Desain ini memungkinkan pemanfaatan material yang fleksibel, sesuai dengan
potensi lokal setempat dan ketersediaan tenaga kerja.
66
Download