GEOLOGI DAN STUDI ENDAPAN TURBIDIT FORMASI HALANG DAERAH WATUAGUNG DAN SEKITARNYA KECAMATAN TAMBAK KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH Rudolf Rivaldo Lohonauman 1) , Djauhari Noor 2) Denny Sukamto Kadarisman 3) ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang kondisi geologi di daerah Watuagung dan sekitarnya yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dan mempelajari fasies-fasies endapan turbidit dari batuan sedimen laut dalam yang tersingkap dan tersebar cukup luas di daerah penelitian. Metodologi penelitian yang digunakan adalah studi literatur, pekerjaan lapangan, analisa laboratorium dan studio, yang keseluruhannya dituangkan dalam sebuah tulisan laporan tugas akhir. Hasil penelitian yang di lakukan, secara genetik geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 genetika pembentukan bentangalam, yaitu satuan geomorfologi punggungan monoklin yang berstadia dewasa dan satuan geomorfologi dataran aluvial dengan stadia muda. Pola aliran daerah penlitian berpola paralel dan stadia sungai muda dan dewasa. Secara litostratigrafi, satuan-satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batuan batubreksi sisipan batupasir dan lava basalt yang diendapkan pada kala Miosen Akhir (N15-N17) pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme aliran gravitasi. Satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi diendapkan pada kala Pliosen (N17-N19) dengan mekanisme arus turbit pada lingkungan laut dalam. Pengendapan kedua satuan secara berangsur ke arah atas berubah facies (menjemari) dan diperkirakan terjadi pada umur N17. Satuan aluvial sungai merupakan satuan termuda di daerah penelitian yang merupakan hasil rombakan batuan-batuan yang lebih tua. Struktur geologi di daerah penelitian terjadi dalam satu periode tektonik yaitu pada kala Pliosen - Plistosen dengan arah gaya utama utara – selatan yang mengakibatkan satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt dan satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi Formasi Halang mengalami perlipatan membentuk struktur monoklin dan sesarsesar mendatar Jlegong dan Ijo. Hasil kajian endapan turbidit Formasi Halang yang terdapat di daerah penelitian dapat disimpulkan bahwa endapan turbidit di daerah penelitian tersusun dari tumpukan lidah kipas (lobes) yang membentuk kipas laut dalam, akibat aliran gravitasi mulai Upper Fan (Channel Fill) dan Suprafan Lobes on Middle Fan pada bagian Channeled to Smooth – Smooth Potion of Suprafan Lobes. Tumpukan fasies di daerah penelitian secara keseluruhan menunjukkan penumpukan endapan kearah laut (progradasi). Kata Kunci: Endapan Turbidit Formasi Halang, Geologi, Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi. 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daerah Watuagung dan sekitarnya, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah merupakan daerah yang terletak di Zona Pegunungan Serayu Selatan. Hasil penelitian geologi lembar Banyumas yang dilakukan oleh Asikin dkk (1992) pada Zona Pegunungan Serayu Selatan, khususnya di wilayah Kabupaten Banyumas menunjukan bahwa batuanbatuan yang menyusun Zona Pematang dan Kubah Pada Pusat Depresi dijumpai beberapa jenis batuan sedimen, yaitu: Fm. Karangsambung, Fm. Waturanda, Fm. Kalipucung, Fm. Penosogan, Fm. Halang dan Fm. Tapak yang berumur Eosen – Pliosen dimana terdapat berbagai tipe pengendapan termasuk tipe endapan turbidit laut dalam pada Formasi Halang, yang berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal. Selain itu berbagai pola struktur terdapat pada lokasi penelitian. Pola struktur geologi Jawa Tengah menurut Soejono dan Pulunggono (1994) dipengaruhi oleh 3 pola struktur, yaitu pola struktur arah Timurlaut Baratdaya yang disebut pola Meratus, arah Utara Selatan atau pola Sunda dan arah Timur - Barat atau pola Jawa. Adanya perubahan jalur penunjaman umur Kapur yang berarah Timurlaut - Baratdaya menjadikan pola Jawa berarah relatif Timur – Barat. Adanya batuan-batuan sedimen turbidit laut dalam dan pola struktur yang berbeda beda antara satu tempat dengan lainnya menjadikan Pegunungan Serayu Selatan cukup menarik untuk diteliti. Hal ini yang menjadi latar belakang mengapa penelitian geologi di daerah Watuagung dan sekitarnya dilakukan dan dipilih sebagai lokasi pemetaan Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 1 geologi serta mempelajari endapan turbidit batuanbatuan sedimen laut dalam. 1.2. Maksud dan Tujuan Penelitian Penelitian geologi yang dilakukan di daerah Watuagung dan sekitarnya Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dilakukan dengan maksud untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi sarjana strata satu (S-1) pada Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Pakuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tentang kondisi geologi di daerah Watuagung dan sekitarnya yang meliputi geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi. Hasil dari penelitian ini digambarkan dalam bentuk Peta lintasan, Peta Geologi dan Penampang Geologi, dengan skala 1:25.000 dan mempelajari fasies-fasies endapan turbidit dari batuan sedimen laut dalam yang tersingkap dan tersebar cukup luas di daerah penelitian. 1.3. Letak, Luas, Waktu, dan Kesampaian Daerah Secara administrasi daerah penelitian berada di 2 (dua) kecamatan, yaitu Kecamatan Tambak dan Kecamatan Rowokele, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang mencakup 10 desa, yaitu Desa Gumelar Lor, Desa Gumelar Kidul, Desa Kemulyan, Desa Karangpetir, Desa Karangpucung, Desa Pesantren, Desa Bumiayu, Desa Purwodadi, Desa Bagongin, dan Desa Watuagung, serta Desa Wagirpandan, Desa Wonoharjo, Desa Jatiluhur, dan Desa Bumiagung. Secara geografis terletak pada 109o 22’ 55,2” BT – 109o 26’ 43,5” BT dan 7o 33’ 14,8” LS - 7o 37’ 02.7” LS dengan luas wilayah 49 km2. Daerah penelitian termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Banyumas, skala 1:100.000 (Asikin, dkk, 1992) dan Peta Rupabumi Indonesia terbitan Bakosurtanal lembar Tambak No. 1308-344 dengan skala 1:25000. METODOLOGI Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang dipakai dalam penelitian dan pemetaan geologi daerah Waatuagung dan sekitarnya, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas ini meliputi 5 tahap, yaitu: (1) Tahap Persiapan; (2). Tahap Studi Literatur; (3). Tahap Pekerjaan Lapangan; (4). Tahap Pekerjaan Laboratorium dan Studio dan (5). Penulisan Laporan. 2.2. Rumusan Permasalahan Penelitian yang dilakukan di daerah Watuagung dan sekitarnya, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah memiliki berbagai permasalahan yang harus dapat dipecahkan, yaitu antara lain : 1. Proses pembentukan bentangalam (geomor fologi) di daerah penelitian yang dikendalikan oleh struktur, proses-proses geomorfologi dan stadia geomorfiknya. 2. Tatanan batuan yang terdapat di daerah penelitian, baik penyebaran secara vertikal dan lateral, umur satuan batuan, lingkungan pengendapan dan hubungan stratigrafinya. 3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian yang cukup menarik dimana batuan batuan-batuan yang lebih tua terangkat ke permukaan berada diatas batuan yang lebih muda. 4. Mekanisme pengendapan dan facies-facies turbidit dari Formasi Halang yang tersebar cukup luas di daerah penelitian. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Geomorfologi 3.1.1. Fisiografi Jawa Bagian Tengah Fisiografi Pulau Jawa Bagian Tengah menurut Van Bemmelen (1949) terbagi atas enam zona fisiografi yaitu: 1. Zona Dataran Aluvial Utara Jawa 2. Zona Gunung Api Kuarter 3. Zona Antiklinorium Bogor - Serayu UtaraKendeng 4. Zona Depresi Jawa Tengah 5. Zona Pegunungan Serayu Selatan 2. 2.1. Gambar 1. Zona Fisiografi Pulau Jawa Bagian Tengah (Van Bemmelen, 1949). Zona Depresi Jawa Tengah berupa punggungan punggungan dan zona ini menempati bagian tengah hingga selatan Jawa Tengah. Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10 - 25 km. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah yang membentuk kubah dan punggungan. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa membentuk 2 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan morfologi pantai yang terjal. Namun, di Jawa Tengah, zona ini terputus oleh Depresi Jawa Tengah. 3.1.2. Geomorfologi Daerah Penelitian Dari kenampakan ciri-ciri bentangalam di daerah penelitian mempunyai bentuk morfologi berupa punggungan yang memanjang relatif barat timur, yang tersusun oleh satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt, dan satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi dan morfologi dataran yang berupa dataran aluvial sungai. 1. Satuan Geomorfologi Punggungan Monoklin Satuan geomorfologi punggungan monoklin ditunjukan oleh warna ungu pada peta geomorfologi dan satuan ini menempati 88,5% dari luas daerah penelitian. Satuan geomorfologi ini berada dibagian utara lembar peta yang mencakup beberapa desa, yaitu: Desa Bongangin, Desa Wagirpandan, Desa Wonoharjo, Desa Gumelar Kidul, dan Desa Jatiluhur. Secara genetik satuan ini di kontrol oleh struktur perlipatan membentuk punggungan monoklin dan disusun oleh batuan sedimen berupa satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt serta satuan batuan batupasir selang-seling batulempung. Morfometeri satuan ini berada pada ketinggian 50 mdpl – 600 mdpl dan kelerengan berkisar antara 2° - 35°. Proses geomorfologi yang teramati pada satuan ini berupa pelapukan dan erosi (denudasi) batuan. Hasil proses pelapukan berupa lapisan tanah (soil) dengan ketebalan berkisar 0,5 – 2 meter sedangkan hasil proses erosi berupa alur-alur berbentuk Saluran (Gully) hingga berupa Lembah (Valley). Jentera geomorfik satuan geomorfologi punggungan monoklin adalah dewasa didasarkan pada kenampakan bentuk-bentuk bentangalamnya yang memperlihatkan bentuk punggungan bukit yaang telah mengalami pelapukan dan erosi yang cukup intensif membentuk alur-alur berbentuk ravine hingga valley dengan interval relief yang cukup tinggi sehingga relief topografinya bertekstur kasar. 2. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial Genetika Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial terjadi dari hasil pengendapan material lepas hasil pelapukan dan erosi yang diangkut oleh air sungai. Pada peta geomorfologi, satuan ini menempati 11,5% dari luas daerah penelitian dan diberi warna hijau. Morfometri satuan ini dicirikan oleh bentuk bentangalam yang datar, memiliki kelerengan 0o - 2o dan berada pada ketinggian 12,5 – 50 mdpl. Jentera geomorfik satuan geomorfologi ini adalah muda didasarkan pada proses-proses geomorfologi seperti erosi dan sedimentasi dari material lepas hasil rombakan batuan lebih tua masih tetap berlangsung hingga saat ini. 3. Pola Aliran dan Genetika Sungai Menurut Thornbury (1969), pola aliran sungai mencerminkan pengaruh beberapa faktor antara lain: struktur, variasi dari kekerasan batuan, sudut lereng, sejarah geologi serta geomorfologi dari suatu daerah. Pola aliran sungai daerah penelitian yaitu berpola paralel. Pola aliran sungai paralel merupakan Suatu sistem aliran terbentuk oleh lereng yang curam, bentuk aliran-aliran sungai berbentuk lurus mengikuti arah lereng dengan kemiringan lereng seragam. Tipe genetika sungai konsekuen adalah sungai yang arah alirannya searah dengan arah kemiringan lapisan batuan. Di daerah penelitian, sungai-sungai yang memiliki tipe genetik sungai ini adalah Sungai Lanang, Sungai Ijo, Sungai Tambak, dan Sungai Jlegong, sedangkan tipe genetik sungai subsekuen merupakan tipe genetik sungai yang memperlihatkan aliran sungai searah dengan jurus lapisan batuan. Sungai tipe ini dapat diamati dengan jelas pada Sungai Jlegong. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan terhadap sungai-sungai yang terdapat di daerah penelitian maka proses erosi sungai di daerah penelitian secara umum pada tahapan muda dan dewasa. Sungai-sungai yang memiliki tahapan muda antara lain sungai Lemungsur, sungai Srengseng, sungai Donoloyo, Sungai Lanang, Sungai Jlegong, dan Sungai Ngadjarsa dan Sungai-sungai yang berada dalam stadia erosi dewasa adalah Sungai Lanang, Sungai Gumelar, Sungai Jlegong, Sungai Tambak, Sungai Ijo, dan Sungai Gumelar. 3.2. Stratigrafi 3.2.1. Stratigrafi Lembar Banyumas Hasil penelitian geologi lembar Banyumas yang dilakukan oleh Asikin dkk (1992) pada Zona Pegunungan Serayu Selatan, menunjukan bahwa batuan-batuan yang menyusun Zona Pematang dan Kubah Pada Pusat Depresi dari yang tertua hingga termuda adalah Fm. Karangsambung, Fm. Waturanda, Fm. Kalipucung, Fm. Penosogan, Fm. Halang dan Fm. Tapak dan Endapan Undak dan Aluvial Pantai dan Sungai. 3.2.2. Stratigrafi Daerah Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan, pengukuran dan pemerian batuan-batuan yang tersingkap di daerah penelitian terdapat 3 satuan batuan. 3 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 1. Breksi sisipan Batupasir dan Lava Basalt (Anggota Breksi Formasi Halang). a. Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini tersebar di bagian utara lembar peta dengan luas penyebaran 50,7% dari luas daerah penelitian dan pada peta geologi diberi warna cokelat. Kedudukan lapisan satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt diukur pada sisipan batupasirnya dan diperoleh kedudukan berkisar antara N100˚E - N 125˚ E dan kemiringan batuan berkisar antara 13˚ - 45˚. Arah kemiringan lapisan satuan ini umumnya ke arah selatan membentuk struktur monoklin. Ketebalan satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt dihitung dari penampang geologi dan diperoleh ketebalan mencapai lebih dari 1450 meter, sedangkan ketebalan satuan ini menurut Ter Haar (1934) mencapai 200 meter dan menipis ke arah bagian selatan dan menurut Sukendar Asikin ketebalan Formasi Halang 1000 meter. sungai Jlegong dengan kondisi relatif segar. Secara megaskopis batuan breksi berwarna abu-abu kehitaman, fragmen berupa batuan beku basalt berukuran 0,2 cm – 60 cm, bentuk menyudutmenyudut tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, semen silika, dan masadasar pasir tufan berukuran pasir sedang. Basalt sebagai sisipan berwarna abu-abu kehitaman, hipokristalin, vitrofirik, anhedral subhedral, inequigranular, komposisi mineral olivin, piroksen, plagioklas, sedikit biotit dan hornblend. Batupasir berwarna abu-abu, ukuran pasir halus, bentuk membundar-menyudut tanggung, terpilah baik, kemas tertutup, sementasi nonkarbonat. Komposisi kuarsa, feldspar, lithik. Berdasarkan analisa petrografi dan conto batuan yang diambil di LP 4 diperoleh nama Arcossic Wacke (Gilbert, 1953). Deskripsi sayatan tipis (petrografi) dapat dilihat pada lampiran analisa petrografi. c. Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt di daerah penelitian didasarkan kepada hukum superposisi dari Steno. Data lapangan menunjukan bahwa satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt di daerah penelitian secara stratigrafi berada di bagian bawah dari satuan batuan batupasir selang-seling b. Ciri Litologi batulempung sisipan breksi. Hubungan stratigrafi Satuan batuan breksi sisipan batupasir dan satuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt lava basalt dicirikan oleh dominasi batuan breksi dengan satuan batuan batupasir selang-seling sedangkan batupasir dan lava basalt hanya dijumpai batulempung sisipan breksi diatasnya adalah selaras dibeberapa tempat. Di lapangan ketebalan lapisan didasarkan kedudukan lapisan batuannya yang sama. breksi sulit ditentukan mengingat batas bawah dan Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa satuan atasnya tidak begitu jelas sedangkan ketebalan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt lapisan batupasir sebagai sisipan pada satuan ini merupakan satuan batuan yang tertua yang berkisar 60 cm – 120 cm. Hasil pengamatan di tersingkap di daerah penelitian. lapangan, struktur-struktur sedimen yang terdapat Hasil analisa fosil foraminifera planktonik pada satuan batuan ini tidak begitu jelas, atau tidak pada satuan batupasir selang-seling batulempung ada. Batupasir pada satuan ini tersingkap di sungaisisipan breksi yang berada diatasnya diperoleh kisaran umur N15 – N19. dan menurut peneliti 4 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan terdahulu yaitu Sukendar Asikin dkk. (1992) umur Formasi Halang adalah N15 – N19. Berdasarkan datadata tersebut diatas, maka penulis berkesimpulan bahwa satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt yang terdapat di daerah penelitian adalah berumur N15 – N17 atau kala Awal Miosen Akhir. Lingkungan pengendapan satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt di daerah penelitian ditafsirkan berdasarkan kenampakan fisik batuan breksi dan pemerian petrologi / petrografi batuan breksi. Kenampakan fisik breksi yang terdapat di daerah penelitian memperlihatkan adanya struktur “debris flow” dan sekuen menghalus keatas. Sedangkan secara petrologi dan petrografinya, masa dasar dari breksi berjenis Chiefly volcanic wacke dan batupasir sebagai sisipan di dalam breksi berjenis Arcossic wacke. Berdasarkan data-data tersebut diatas maka satuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt yang ada di daerah penelitian dapat ditafsirkan sebagai batuan yang diendapkan dengan mekanisme aliran gravitasi dan apabila dihubungkan dengan model kipas hipotetis bawah laut dari Walker (1978), maka satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt yang ada di daerah penelitian dapat ditafsirkan sebagai endapan turbidit facies Upper Fan. d. Kedudukan Stratigrafi Satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt dengan satuan dibawahnya yaitu tidak tidak dijumpai sedangkan hubungan stratigrafi dengan satuan batuan diatasnya yaitu satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi adalah berubah facies. e. Kesebandingan Stratigrafi Satuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt yang terdapat di daerah penelitian memiliki ciri litologi yang sama dengan ciri Anggota Breksi Formasi Halang (Asikin dkk, 1992) sehingga penulis menyatakan bahwa satuan ini merupakan bagian dari Anggota Breksi Formasi Halang. 1. Satuan Batupasir selang seling Batulempung sisipan Breksi (Formasi Halang). a. Penyebaran dan Ketebalan. Penamaan satuan ini didasarkan pada singkapan-singkapan yang diamati di lapangan berupa perselingan batupasir dan batulempung sedangkan singkapan breksi dijumpai sebagai sisipan pada satuan ini. Satuan ini tersebar di bagian tengah lembar peta dengan luas 37,8% dari luas peta tersebar dari barat ke arah timur. Satuan ini pada peta geologi diberi warna kuning. Umumnya singkapan batuan pada satuan ini menunjukan perlapisan yang cukup baik dengan kedudukan lapisan berkisar antara N 80˚E - N 105˚E dan kemiringan lapisan batuan berkisar antara 18˚ - 25˚. Ketebalan satuan batuan batupasir selangseling batulempung sisipan breksi berdasarkan pengukuran penampang geologi adalah > 800 meter, sedangkan ketebalan satuan ini menurut Ter Haar (1934) dan menurut Sukendar Asikin dkk (1992) adalah 1000 meter. b. Ciri Litologi Bagian bawah satuan batuan ini didominasi oleh perselingan batupasir dan batulempung, dengan ketebalan lapisan batupasir mulai 2 cm - 2 m. dan batulempung berkisar antara 5 cm – 40 cm serta breksi berkisar antara 60 cm – 3 m. Struktur sedimen yang dijumpai pada satuan ini lapisan bersusun (gradded bedding), laminasi sejajar (parallel lamination), struktur silang-siur (cross bedding) dan struktur gelembur gelombang (ripple mark). Bagian tengah satuan ini masih dicirikan oleh perselingan batupasir dan batulempung dengan ketebalan lapisan batupasir berkisar 10 cm – 1 m. dan batulempung berkisar 20 cm – 40 cm. Breksi sebagai sisipan pada satuan ini semakin berkurang di bagian tengah satuan. Bagian atas dari satuan ini dicirikan oleh perselingan batupasir dan batulempung dengan ketebalan lapisan batupasirnya berkisar 10 cm – 60 cm dan batulempung berkisar 10 cm – 80 cm. Struktur sedimen yang dijumpai berupa laminasi sejajar (parallel lamination) dan gelembur gelombang (ripple mark). Secara megaskopis batuan batupasir berwarna abu-abu kecoklatan, ukuran pasir halus - sedang, bentuk menyudut - menyudut tanggung, terpilah sedang, kemas terbuka, semen silika, struktur sedimen yang dijumpai graded bedding (Ta), parallel lamination (Tb), cross bedding (Tc), dan ripplemark (Tc). Komposisi mineral: kuarsa, feldspar dan litik. Secara mikroskopis sayatan tipis dari batupasir yang diambil dari contoh di lokasi pengamatan LP-85 adalah Lithic Wacke (Gilbert, 1954). Batulempung pada satuan ini berwarna abuabu, ukuran lempung, sebagian bersifat karbonatan, retas tersusun dari mineral lempung. Breksi berwarna hitam kelabu, fragmen terdiri dari batuan beku andesit berukuran 0,2cm - 3,5cm, menyudut- menyudut tanggung, terpilah buruk, kemas terbuka, dan, masa dasar berukuran butir pasir halus. Secara mikroskopis sayatan tipis dari fragmen breksi adalah Andesite (Williams, 1954). Diskripsi petrografi dapat dilihat pada lampiran analisa petrografi. Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 5 c. Umur dan lingkungan pengendapan Hasil analisa foraminifera planktonik yang diambil dari 3 lokasi yang mewakili satuan ini diperoleh sebaran fosil-fosil Globorotalia pseudomiocenica, Globigerina praebulloides, Globorotalia pseudomiocenica, Globorotalia lenguaensis, Sphaeroidinellopsis seminulina yang dapat disimpulkan bahwa umur kisaran satuan batuan batupasir selangseling batulempung sisipan breksi adalah N15 – N19. Dengan mempertimbangkan bahwa satuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt merupakan satuan tertua dari satuan ini yang diperkirakan berumur N15-N17 maka umur satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi adalah N17-N19. Perubahan facies pada kedua satuan ini diperkirakan terjadi pada N17. Lingkungan pengendapan satuan ini ditentukan berdasarkan struktur-struktur sedimen yang dijumpai serta kandungan foraminifera bentonik. Adapun struktur-struktur sedimen yang dijumpai pada satuan batuan ini berupa struktur sedimen gradded bedding (Ta), parallel lamination (Tb) dan struktur sedimen cross-bedding dan ripple mark (Tc) yang merupakan struktur sedimen sekuen Bouma (1962) yang menunjukan mekanisme pengendapan arus turbit untuk sedimen laut dalam. Hasil analisa forraminifera bentonik pada sampel yang diambil pada satuan ini menunjukan bahwa satuan batuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi mulai dari bagian bawah satuan ke arah bagian atas satuan menunjukan proses pengendapan mulai dari kedalaman 20 meter hingga kedalaman 700 meter atau daari lingkungan neritik tengah ke bathyal tengah dengan kata lain dasar cekungan mengalami penurunan atau transgresi. Berdasarkan data-data tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa satuan batuan batupasir selangseling batulempung sisipan breksi yang terdapat di daerah penelitian diendapkan dengan mekanisme arus turbit pada lingkungan neritik tengah hingga bathyal tengah. Kedudukan Stratigrafi Satuan batuan batupasir selang-seling batulem-pung sisipan breksi dengan satuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt yaitu terjadi perubahan facies atau menjemari dibagian bawah satuan. Hubungan dengan satuan yang ada di atasnya yaitu satuan endapan aluvial adalah tidak selaras yaitu dibatasi oleh bidang erosi. konglomerat. (Sukendar Asikin dkk, 1992), dengan demikian satuan batuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi identik dengan Formasi Halang. 2. Satuan Endapan Aluvial Penyebaran satuan ini kurang lebih 11,5 % dari seluruh luas daerah penelitian, pada peta geologi diberi warna abu-abu, menyebar di bagian Utara daerah penelitian yaitu disepanjang disepanjang hilir Sungai Gumelar, Sungai Tambak, Sungai Ijo. Ketebalan dari satuan ini dari 0,5 meter hingga 2 meter di daerah penelitian, merupakan hasil dari rombakan batuan sebelumnya berupa material lepas berukuraan lempung hingga bongkah. Endapan aluvial sungai ini menutupi satuan batuan yang ada dibawahnya berupa bidang erosi. 3.3. 3.1. Struktur Geologi Struktur Geologi Regional Secara umum ada tiga arah pola umum struktur di Pulau Jawa, yaitu arah timurlaut baratdaya (NE - SW), arah utara - selatan (N - S) dan arah timur - barat (E - W). Perubahan jalur penunjaman berumur kapur yang berarah timurlaut baratdaya (NE - SW) menjadi relatif timur - barat (E - W) sejak kala Oligosen sampai sekarang telah menghasilkan tatanan geologi Tersier di Pulau Jawa yang sangat rumit disamping mengundang pertanyaan bagaima-nakah mekanisme perubahan tersebut. Kerumitan tersebut dapat terlihat pada unsur struktur Pulau Jawa dan daerah sekitarnya. d. e. Kesebandingan Stratigrafi Satuan batuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi yang terdapat di daerah penelitian memiliki ciri litologi yang sama dengan ciri Formasi Halang yaitu terdiri dari perselingan batupasir dan batulempung serta sisipan breksi dan Gambar 2. Evolusi Zona Penunjaman Pulau Jawa (Katili, 1975 dalam Sujanto, 1977). Dari data stratigrafi dan tektonik diketahui bahwa pola umum struktur berarah timurlaut baratdaya merupakan pola meratus yaitu pola yang paling tua. Sesar-sesar yang termasuk dalam pola ini berumur Kapur sampai Paleosen dan tersebar dalam jalur Tinggian Karimun Jawa menerus melalui Karangsambung hingga di daerah Cimandiri Jawa Barat pada zaman Kapur Akhir - Paleosen. Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 6 Pola Sunda terbentuk pada kala Eosen-Oligosen berupa struktur regangan yang berarah UtaraSelatan. Data seismik menunjukan sesar ini mengaktifkan kembali pola umum struktur berarah timurlaut-baratdaya. Pola jawa merupakan pola umum struktur berarah timur - barat pada kala Oligosen Akhir menunjukkan pola termuda dan mengaktifkan kembali seluruh pola yang telah ada sebelumnya (Pulunggono, 1994). Data seismik menunjukkan bahwa pola sesar naik dengan arah barat - timur masih aktif hingga sekarang. 3.2. Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan hasil analisa peta topografi skala 1: 25.000 dan pengamatan lapangan, yang meliputi pengukuran jurus dan kemiringan lapisan batuan, serta dijumpainya indikasi-indikasi struktur geologi berupa; kekar (fractures), bidang sesar, pergeseran lapisan batuan (offset), cermin sesar (slicken side), kedudukan lapisan yang tidak teratur, zona breksiasi/milonitisasi, dan kelurusan sungai, pembelokan sungai yang tiba-tiba serta unsur topografi berupa offset bukit dan lain sebagainya, maka struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian adalah: (a). Struktur Perlipatan dan (b). Struktur Sesar. Untuk mempermudah dalam pengenalan dari setiap struktur-struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian, maka penamaannya disesuaikan dengan nama lokasi geografis setempat dimana indikasi struktur geologi dijumpai. Struktur Lipatan Struktur lipatan yang berkembang di daerah penelitian adalah bagian struktur perlipatan berupa struktur monoklin. Struktur monoklin di cirikan oleh arah kemiringan lapisan yang seragam kesatu arah. Struktur monoklin yang terdapat di daerah memiliki kemiringan lapisan batuan kearah selatan dengan kedudukan perlapisan berkisar antara N750E - N1200 E dan kemiringan lapisan batuan 180 - 450. a. Sesar Geser Jurus Jlegong. Sesar geser jurus Jlegong dijumpai dibagian timur daerah penelitian disepanjang sungai Jlegong. Sesar geser jurus Jlegong ini diperkirakan memanjang sejauh 5,5 km dengan arah sesar timurlaut - baratdaya. Indikasi-indikasi sesar geser jurus Jlegong yang ditemukan dilapangan adalah sebagai berikut: Pergeseran lapisan batuan (offset batuan) di Sungai Jlegong pada lokasi pengamatan LP-59 dengan arah bidang sesar N220°E/50°. Pada bidang sesar dijumpai cermin sesar dengan arah 70o, N 65o E, Pitch: 53o. Pergeseran lapisan batuan (offset batuan) di anak sungai Lanang dengan arah bidang sesar N227°E. Dari indikasi-indikasi sesar tersebut yang diplotkan pada peta, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sesar geser jurus Jlegong dengan arah baratdaya-timurlaut mempunyai pergerakan mengiri (sinistral strike slip fault). b. Sesar Geser Jurus Ijo Sesar ini dinamakan sesar geser jurus Ijo dikarenakan dijumpai di Sungai Ijo dengan arah sesar memanjang dari baratlaut - tenggara dengan panjang 5,0 km. Adapun indikasi adanya sesar geser jurus di daerah penelitian, yaitu: Pergeseran lapisan batuan (offset batuan) di hilir Sungai Ijo dengan arah bidang sesar N152°E/56o. Pergeseran lapisan batuan (offset batuan) di hilir Sungai Ijo dengan arah bidang sesar N156° E. Berdasarkan data-data tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa sesar geser jurus Ijo merupakan sesar geser jurus menganan (dextral). 1). 2). Struktur Sesar / Patahan Struktur sesar yang didapati di daerah penelitian adalah sesar mendatar atau sesar geser jurus. Penentuan sesar tersebut didasarkan atas atas data yang diperoleh langsung dari lapangan. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan, yang meliputi pengukuran jurus dan kemiringan lapisan batuan, serta indikasiindikasi struktur geologi berupa bidang sesar, cermin sesar, offset lapisan batuan dan zona hancuran atau milonitisasi/breksiasi. 3.3. Urutan Pembentukan Struktur Geologi Daerah Penelitian Berdasarkan data dan pengamatan dilapangan dan dipadukan dengan konsep pembentukan struktur Moody and Hill (1954), maka arah umum gaya yang bekerja di daerah penelitian mempunyai arah relatif Utara-Selatan. Arah gaya utama yang bekerja di daerah penelitian diketahui berdasarkan hasil analisa kedudukan jurus-jurus perlapisan batuan yang umumnya berarah barat – timur (E – W, maka arah gaya utama tegak lurus dengan jurus perlapisan batuan yaitu berarah N 20 E. Gaya ini merupakan hasil aktivitas tektonik yang diperkirakan terjadi pada saat orogenesa Pliosen - Plistosen. Gaya ini menekan seluruh satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt (Anggota Breksi Formasi Halang) serta satuan batuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi Formasi Halang, membentuk struktur perlipatan berupa struktur monoklin. Gaya yang menekan daerah ini terus berlangsung hingga melewati batas ambang elastisitas batuan, sehingga Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 7 menyebabkan deformasi menghasilkan Sesar Geser Jurus Jlegong dan Sesar Geser Jurus Ijo. Keseluruhan struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian terjadi dalam 1 (satu) periode tektonik, yaitu pada orogenesa kala Pliosen Plistosen dengan arah gaya utama N 20 E atau relatif berarah Utara – Selatan. 3.4. Kajian Sedimen Turbidit Formasi Halang 3.4.1. Sedimen Turbidit Meskipun semua sedimen aliran densitas dipahami sebagai sedimen yang bersifat tidak tetap Mulder & Alexander (2001) membagi sedimen ini berdasarkan atas lamanya arus turbulen bekerja, yaitu: (1).Durasi aliran densitas yang cepat; (2). Perilaku aliran densitas dimana bagian kepala dari aliran densitas mengendalikan pengendapan. (Bouma sequences atau turbidites); (3). Arus dimana kepala dari aliran densitas tidak berpengaruh bila dilihat sebagai bagian dari badan aliran. 1. Aliran Arus Kenyang (Turbidity current): butirbutir telah lepas sama sekali dan masing-masing butir didukung oleh fluida/media (telah terinduksi menjadi turbulen) 2. Aliran Sedimen Yang Difluidakan (Fluidizes sediment flow): butiran yang lepas didukung oleh cairan yang diperas keatas antar butir. Butir-butir masih bersentuhan. 3. Aliran Butiran (Grain flow): dimana butir-butir belum lepas dan dalam mengalir saling bersentuhan. 4. Aliran Rombakan (Debris flow) : dimana butirbutir kasar masih didukung oleh matrik (masa dasar) campuran sedimen yang lebih halus dan media (air) dan masih mempunyai kekuatan Bouma (1962) mempelajari dengan seksama endapan turbidit purba dan menemukan urut-urutan yang khas yang dikenal dengan Sekuen Boma. Sekuen ini merupakan model fasies dari turbidit yang disusun oleh lima interval dan mempunyai ciriciri sebagai berikut (gambar 4.1): 3.4.2. Turbidit Istilah turbidit diperkenalkan pertama kalinya 1. Interval Perlapisan Bersusun (Ta): Interval oleh Kuenen (1957) untuk mewakili suatu endapan lapisan bersusun (graded beding) merupakan yang berasal dari arus turbit. Adalah Arnold Bouma bagian terbawah dari model fasies ini, bertekstur yang membantu pekerjaaan Kuenen dan pasiran kadang-kadang krakalan atau krikilan. mempublikasikan hasil penelitiannya dan pertama Struktur perlapisan bersusun ini akan menjadi kalinya memper kenalkan model facies turbidit tidak jelas atau hilang sama sekali apabila vertikal (Bouma, 1962) yang kemudian dikenal batupasir yang menyusun interval ini trpilah sebagai “Bouma Sekuen”. dengan baik. Tanda struktur lainnya tidak tampak. 2. Interval Laminasi Sejajar Bagian Bawah (Tb): 3.4.3. Endapan Turbidit Secara umum turbidit didefinisikan sebagai Interval laminasi sejajar bagian bawah (lower of sedimen yang diendapkan oleh suatu mekanisme paralel laminate). Interval laminasi sejajar arus turbit. Middelton dan Hampton (1973) bagian bawah (lower of paralel lamination) menyebut sebagai sedimen aliran gravitasi yang tersusun dari perselingan antara batupasir dengan menyebabkan terjadinya arus kenyang (turbidity serpih atau batulempung. Bidang sentuh (kontak) current) karena adanya longsoran pada lereng benua dengan interval di bawahnya mungkin yang disebabkan oleh getaran, baik itu gempa bumi berlangsung. maupun tsunami. Mekanisme pengendapannya 3. Interval Riak Arus (Tc): Interval riak arus berasal dari onggokan-onggokan sedimen yang (interval of current lamination) dicirikan dengan berada pada lereng suatu cekungan, karena suatu adanya struktur riak arus yang tingginya getaran kemudian sedimen tersebut meluncur maksimal 5 cm dan panjang maksimal 20 cm, kebawah. Luncuran-luncuran ini menghasilkan lengkadang nampak foreset lamination dan struktur seran yang kemudian berkembang menjadi suatu riak arus yang berbentuk konvolut. arus turbid dimana sedimennya lepas-lepas dan 4. Interval Laminasi Sejajar Bagian Atas (Td): butir-butirnya bergerak sendiri-sendiri yang pada Interval laminasi sejajar bagian atas (upper awalnya masih terikat dan menyatu karena kohesi interval of parallel lamination) tersusun dari antar butirnya. Butiran-butiran ini kemudian pada perselingan antara batupasir halus dengan akhirnya mengendap pada dasar cekungan. batulempung, struktur laminasi sejajarnya tidak Sedangkan menu rut Friedman dan Sanders (1978), begitu jelas, apabila terkena proses pelapukan arus turbidit adalah aliran arus pekat yang dihasilkan atau gangguan tektonik, kadang-kadang lempung oleh masa dari butiran (padatan) sedimen yang pasirannya berkurang kearah vertikal, bidang berada didalam media aliran tersebut. sentuhnya dengan interval di bawahnnya sangat Berdasarkan gerak relatif antara butir dan jelas. jarak dari sumber, Middelton dan Hampton (1973) 5. Interval Pelitik (Te): Interval pelitik tersusun dari mem-bagi 4 jenis arus densitas: batuan yang bersifat lempungan dan tidak 8 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan menunjukan adanya struktur yang jelas, kearah tegak pada interval ini material pasirannya berkurang dan ukuran besar butirnya makin menghalus. Cangkang foraminifera mungkin ditemukan. Bidang sentuh dengan interval dibawahnya berangsur, diatas interval ini sering ditemukan lapisan yang bersifat napalan. Gambar 3. Model Fasies Vertikal Turbidit Bouma. Dari berbagai klasifikasi yang ada, klasifikasi yang dibuat oleh Walker (1978) merupakan klasifikasi yang paling sederhana dalam penggunaannya untuk menafsirkan endapan turbidit. Walker (1978) membagi fasies turbidit menjadi lima fasies, yaitu: 1. Turbidit klasik (Classic turbidite). Turbidit klasik terdiri atas urutan batupasir-batulempung yang dapat digolongkan dalam urutan Bouma (1962) yang lengkap untuk suatu endapan turbidit. Namun demikian urutan-urutan yang lengkap jarang dijumpai, dengan demikian juga dalam urutan terbalik, tetapi yang sering dijumpai adalah urutan yang tidak lengkap. 2. Batupasir masif (Masive sandstones). Batupasir masif merupakan gradasi dari turbidit klasik, yaitu berkurangnya perselingan batulempung dan bertambahnya paritan serta ketidak aturan perlapisan. Ukuran butir semakin bertambah kasar, demikian juga dengan ketebalan batupasir bertambah. Batupasir masif terdiri dari perlapisan batupasir tanpa perselingan batulempung, yang kalau digolongkan ke dalam urutan Bouma (1962) merupakan urutan Ta (graded bedding) karena interval lain tidak terdapat. Lapisan batupasirmasif tanpa struktur sedimen, kecuali struktur mangkok yang terkadang mungkin dapat ditemukan, ketebalan lapisan berkisar 0.5 – 5 meter. 3. Batupasir kerikilan (Pebbly sandstones). Fasies batupasir kerikilan ini dicirikan oleh ketebalan lapisan berkisar 0.5 – 5 meter, batas bawah tegas dan tidak terdapat interkalasi batulepung atau serpih untuk fasies ini. Urutan Bouma atau struktur sedimen turbidit klasik tidak berlaku atau tidak digunakan. Struktur sedimen perlapisan bersusun (graded bedding) dapat ditemukan dengan besar butir mulai kerikilan dibagian dasar sampai ukuran sedang. Perlapisan yang biasanya terjadi dari perselingan lapisan yang kaya akan kerikilan dan lapisan yang miskin dengan kerikil dengan tebal rata-rata lapisan 5 – 20 cm, dengan struktur sedimen mangkok atau planar tabular. 4. Konglomerat yang didukung oleh fragmen (Conglomerate supported by fragment): Fasies konglomerat ini disebut “clay supported conglomerat“ yang dicirikan oleh: a. Umumnya terdapat struktur perlapisan bersusun (graded bedding) dari jenis normal atau terbalik dengan ketebalan lapisan 20 – 30 cm. b. Stratifikasi bisa ada ataupun tidak c. Setiap lapisan bisa tebal hingga 1- 5 cm d. Dasar perlapisan biasanya tegas dan paritan biasanya ada e. Interkalasi serpih atau baulempung jarang terdapat. Perlapisan yang didukung oleh matrik (matrix supported beds). Fasies ini disebut sebagai “matrix suported beds” oleh Walker (1978) yang meliputi batupasir, kerikil, kerakal dan bongkah yang didukung matrik. Endapan Debris Flows (DF) dan Slump (SL) termasuk dalam fasies ini. Dasar perlapisan tidak teratur dan tidak terdapat kemas tertutup, tetapi biasanya fragmen atau bongkah yang ada terletak mengambang dalam matrik. Distribusi lateral endapan turbidit sepanjang cekungan menurut Walker (1978) adalah bahwa semakin kearah laut yang lebih dalam sedimen kasar semakin menghilang. Akibatnya makin kearah laut dalam akan didapatkan struktur sedimen bagian-bagian atas dari seri Bouma (1962). Gambar 4. Model Hipotetis Kipas Bawah Laut (Walker, 1978). Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 9 Walker (1978) mengajukan formulasi yang lebih lengkap, yang mencerminkan produk sedimentasi baik oleh arus pekat maupun oleh longsoran bawah laut, yang memunculkan fasiesfasies endapan turbidit secara umum mulai dari lereng kontinen yaitu endapan kipas atas, endapan kipas tengah dan endapan kipas bawah. Progradasi endapan kipas bawah laut menimbulkan urutan-urutan stratigrafi hipotesis seperti diperlihatkan pada gambar 4.3. Dapat dilihat adanya dua sekuen menjadi ciri utama dari stratigrafi hipotesis tersebut. Pertama, sekuen menebal keatas merupakan ciri fasies endapan kipas bawah sampai kipas tengah. Kedua, sekuen menipis keatas merupakan ciri fasies endapan kipas tengah (bagian tengah) dan kipas atas. bagian atas ketebalan breksi semakin menipis yaitu berkisar 2,0 - 2,5 meter, ketebalan batupasir 10 cm – 2 meter dan kearah atas menipis, dan batulempung memiliki ketebalan 1 - 12 meter. Pada kolom terlihat adanya sekuen lapisan batuan yang menipis kearah atas. Pada bagian tengah hingga atas struktur sedimen yang teramati berupa struktur sedimen gradded beding (Ta) dan parallel lamination (Tb). Kolom stratigrafi bagian bawah hingga bagian tengah ini dapat disebandingkan dengan facies kipas atas (konglomerat didukung oleh fragmen), sedangkan bagian atas sebanding dengan kipas bawah turbidit klasik (Bouma, 1962). Paralel Laminasi Paralel Laminasi Graded Bedding Foto 1. Struktur graded bedding (Ta) dan parallel lamination (Tb) pada Lintasan 1 Sungai Gumelar. 2. Gambar 5. Urut urutan vertikal Kipas Bawah Laut (Walker, 1978). 3.4.4. Turbidit Daerah Penelitian Pembahasan endapan turbidit difokuskan pada hasil pengukuran stratigrafi terukur (measuring section strtigraphic) di 3 lintasan pengukuran yang merupakan data singkapan Formasi Halang. Pengukuran stratigrafi terukur dilakukan di Sungai Gumelar Desa Kemulyan, Sungai Lanang Desa Watuagung, dan Sungai Jlegong Desa Gumelar Kidul yang berada di Kecamatan Tambak. Hasil dari pengamatan data singkapan kemudian di analisa dengan model facies turbidit Walker (1978) dan disebandingkan dengan model Bouma (1962). 1. Lintasan Sungai Gumelar, Desa Kemulyan Bagian bawah disusun oleh breksi sisipan batupasir, dan bagian tengah terdapat batulempung masif, bagian atas disusun oleh batupasir selangseling batulempung sisipan breksi. Pada kolom stratigrafi terlihat bahwa bagian bawah tersusun dari breksi dengan ketebalan lapisan breksi berkisar 13 - 22 meter sedangkan kearah Lintasan Sungai Jlegong, Desa Gumelar Kidul Bagian bawah hingga tengah tersusun dari breksi sisipan batupasir dan kearah bagian atas berubah menjadi perselingan batupasir dan batulempung sisipan breksi. Pada kolom stratigrafi tebal lapisan breksi sekitar 5 meter, batupasir 10 cm - 120 cm, batulempung 10 cm - 1,0 meter dengan sekuen yang berulang menipis keatas (thinning upward sequence). Bagian tengah tersingkap dan berkembang struktur sedimen lapisan bersusun / graded bedding (Ta) dan laminasi sejajar / paralle lamination (Tb). Singkapan-singkapan batuan yang terdapat pada lintasan ini pada bagian bawah lintasan dapat disebandingkan dengan facies Slump- conglomerate supported by fragment on Upper Fan, sedangkan pada bagian tengah – atas sebanding dengan facies smooth portion of suprafan lobes on mid fan dari Walker (1978). 3. Lintasan Sungai Lanang, Desa Watuagung Bagian bawah hingga tengah tersusun dari perselingan batupasir dan batulempung dengan ketebalan lapisannya semakin menipis kearah atas. Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 10 Pada kolom stratigrafi, ketebalan batupasir berkisar 1 - 50 meter, batulempung 10 cm - 5 meter dengan sekuen menipis keatas. Struktur sedimen lapisan bersusun /graded bedding, berkembang di bagian bawah dan semakin keatas struktur sedimen riak gelombang / ripple mark dan silangsilur / cross bedding (Tc) lebih berkembang. Singkapan-singkapan batuan yang terdapat pada lintasan ini pada bagian bawah dapat disebandingkan dengan fasies turbidit klasik facies suprafan lobes on mid fan dari Walker (1978). 3. Berdasarkan dari persebaran litologinya seri Upper Fan dijumpai di bagian utara dan Middle Fan dijumpai pada bagian tengah hingga ke selatan. 4. Pada N15 terjadi fase tektonik aktif yang menyebabkan terjadinya peningkatan sedimentasi dengan produk vulkanik, dan setelahnya menunjukkan peningkatan akomodasi atau penurunan sedimentasi (transgresi) dari arah selatan ke utara. 3.5. Sejarah Geologi 3.5.1. Sejarah Geologi Cekungan Serayu Selatan Sejarah geologi cekungan Serayu Selatan di daerah Banyumas menurut Sukendar Asikin dkk (1992) dimulai pada kala Awal Eosen dengan diendapkannya batuan-batuan dari Formasi Karangsambung berupa batulempung bersisik, dengan bongkahan batulempung, batupasir, konglomerat aneka bahan, batugamping, dan batuan beku; bersisipan batupasir gampingan, napal tufan dan tuf kaca di lingkungan laut dalam. Pengendapan Foto 2. Struktur Riak Gelombang / Ripple Mark batuan Formasi Karangsambung berlangsung hingga (Tc), dan Struktur Silangsilur/Crosskala Oligosen Akhir. bedding (Tc) yang tersingkap di Pada kala Miosen Awal pengendapan pada Lintasan 3 Sungai Lanang. cekungan ini terus berlanjut, yaitu mulai diendapkannya batuan-batuan dari Formasi Waturanda 3.4.5. Pembahasan Fasies Turbidit Daerah berupa breksi gunungapi dan batupasir wacke, di Penelitian bagian atas bersisipan batulempung. Bagian bawah, Fasies turbidit dalam sistem kipas bawah laut terdiri dari batupasir Wacke. Dari data struktur (submarine fan) dikontrol oleh material sumber sedimen disimpulkan bahwa sebagian formasi ini pemasoknya, terutama jumlah material kerakal, diendapkan oleh arus turbit dan merupakan turbidit pasir, dan lempung. Secara umum, sekuen endapan proksimal. turbidit di daerah penelitian tidak menunjukan Pada kala Miosen Tengah pengendapan pada urutan ideal sekuen Bouma, dalam hal ini terjadi cekungan ini terus berlanjut dengan diendapkannya pemotongan bagian tengah, yakni hilangnnya batuan-batuan dari Formasi Penosogan berupa interval laminasi sejajar bagian atas dan interval perselingan batupasir, batulempung, tuf, napal dan pelitik (Td - Te). kalkarenit; berlapis baik dengan tebal lapisan antara Ciri-ciri karakteristik litologi dan struktur 5-60 cm. Bagian bawah, berupa batupasir wacke sedimen menunjukan bahwa proses sedimentasi tersusun dari kepingan batuan, feldspar, piroksen, Formasi Halang dipengaruhi oleh mekanisme arus kaca dan mineral lempung juga terdapat batupasir turbid. Hasil pengamatan yang dilakukan di 3 gampingan. Kearah atas, butiran batupasir makin lintasan menunjukan bahwa Formasi Halang disusun halus, mengandung lebih banyak feldspar daripada oleh fasies Conglomerate Supported By Fragment, kepingan batuan, dan berselingan dengan batulanau Masif Sandstone dan Classic Turbidite model fasies atau batulempung. Bagian atas, lebih gampingan dan Walker (1978) serta fasies Ta, Tb, dan Tc seri berbutir lebih halus; terdiri terutama dari napal tufan Bouma (1962). dan tuf, serta sedikit kalkarenit. Formasi ini Berdasarkan hasil kajian endapan turbidit diendapkan dalam lingkungan laut dalam dan yang dilakukan dari hasil pengukuran penampang dipengaruhi arus turbit. Bagian bawah berupa stratigrafi di 4 (empat) lintasan dapat disimpulkan sedimen turbidit proksimal, kemudian distal dan di sebagai berikut: bagian atas kembali berupa turbidit proksimal. 1. Daerah penelitian tersusun oleh suatu kipas Secara menjemari dengan Formasi Penosogon bawah laut yang terbentuk akibat aliran gravitasi di bagian sebelah barat cekungan Serayu Selatan mulai dari debris flow hingga turbidity yang pada kala Miosen Tengah diendapkannya batuandiendapkan pada N15-N19. batuan dari Formasi Rambatan yang dicirikan oleh 2. Facies endapan kipas bawah laut dimulai Upper perselingan batupasir gampingan dan batulempung Fan hingga Middle Fan. gampingan serta sisipan konglomerat, batulanau dan 11 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan batugamping sedangkan ke arah bagian atas formasi dominasi oleh batulempung gampingan dan di beberapa tempat disisipi oleh batupasir gampingan dan batulanau yang diendapkan pada lingkungan laut dalam. Di bagian paling barat dari cekungan ini pada kala Miosen Tengah secara menjemari diendapkan batuan-batuan Formasi Kalipucung yang terusun dari batugamping terumbu, batugamping klastika, batulempung, serpih dan batupasir. Bagian bawah, terdiri dari batulempung kelabu kecoklatan; mengandung pirit, fosil daun dan butiran garam halus. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal. Pengendapan pada cekungan ini terus berlanjut hingga kala Miosen Atas dengan mulai diendapkannya batuan-batuan dari Formasi Halang berupa perselingan batupasir, batulempung, napal dan tuf dengan sisipan breksi. Bagian bawah terdiri dari breksi dan napal dengan sisipan batupasir dan batulempung. Lingkungan pengendapan Formasi Halang menurut Syafarudin (1982) adalah batial atas dengan kedalaman antara 200 – 500 m sedangkan Haryono (1981) menyimpulkannya sebagai endapan turbidit. Formasi Halang bersifat proksimal (bagian bawah) dan distal (bagian atas), serta diendapkan dibagian dalam sampai luar kipas dalam laut. Pada kala Pliosen cekungan Serayu Utara mulai mengalami susut laut (regresi) yang dicirikan oleh pengendapan batuan-batuan dari Formasi Tapak berupa batulempung gampingan kadang- kadang napal tidak berlapis atau batugamping sisipan batupasir kehijauan, sering dijumpai pecahan karang yang diendapkan pada lingkungan laut dangkal atau neritik tengah. Pada kala Awal Plistosen terjadi orogenesa (pembentukan pegunungan) yang mengakibatkan batuan-batuan yang terdapat dalam cekungan Serayu Selatan mengalami pengangkatan , perlipatan, dan pensesaran sehingga pada kala Plistosen Akhir cekungan Serayu Selatan sudah berupa daratan (pegunungan). Proses-proses geomorfologi seperti pelapukan, erosi dan sedimentasi bekerja saat cekungan Serayu Selatan sudah menjadi daratan. Hasil pelapukan batuan dan proses erosi kemudian masuk kedalam sistem jaringan sungai yang terdapat di wilayah ini dan kemudian diangkut dan diendapkan oleh sungai sebagai endapan aluvial. Proses ini terus berjalan hingga saat ini. berlanjut hingga kala N19 yaitu dengan diendapkannya satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi (Formasi Halang) pada lingkungan lingkungan laut dengan kedalaman 20 – 700 meter. Paleogeografi daerah penelitian pada rentang umur N15 – N19 atau kala Miosen Akhir hingga Awal Pliosen terjadi genanglaut (transgresi) yaitu dari laut dangkal berubah menjadi laut dalam. Pada kala Akhir Pliosen (N20) hingga Plistosen daerah penelitian mengalami orogenesa (tektonik) yang mengakibatkan batuan-batuan dari Anggota Breksi Formasi Halang dan batuan-batuan dari Formasi Halang mengalami perlipatan dan kemudian diikuti oleh pensesaran berupa sesar mendatar Jlegong dan sesar mendatar Ijo. Pada Akhir Plistosen diduga paleogeografi daerah penelitian sudah menjadi daratan sehingga proses-proses geomorfologi berupa pelapukan, erosi dan sedimentasi terjadi pada batuan-batuan Anggota Breksi Formasi Halang dan batuan-batuan Formasi Halang. Hasil pelapukan dan erosi pada batuanbatuan tersebut kemudian diangkut dan diendapkan oleh sungai-sungai yang terdapat di daerah penelitian sebagai endapan aluvial sungai dan proses tersbut terus bekerja dan berlangsung hingga saat ini. 4. 4.1. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya maka Geologi Daerah Watuagung dan sekitarnya, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dapat disimpulankan sebagai berikut: Secara morfogenesa daerah penelitian dapat dibagi menjadi 2 satuan geomorfologi, yaitu: satuan geomorfologi punggung monoklin berstadia dewasa dan satuan geomorfologi dataran aluvial dengan stadia muda. Pola aliran sungai daerah penelitian adala berpola paralel dengan stadia sungai muda dan dewasa. Secara litostratigrafi, satuan-satuan batuan yang terdapat di daerah penelitian dari tua ke muda adalah satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt yang diendapkan pada kala Miosen Akhir (N15-N17) pada lingkungan laut dalam dengan mekanisme aliran gravitasi. Satuan batupasir selangseling batulempung sisipan breksi diendapkan pada kala Pliosen (N17-N19) dengan mekanisme arus turbit pada lingkungan laut dalam. Pengendapan kedua satuan secara berangsur ke arah atas berubah facies (menjemari) dan diperkirakan terjadi pada umur N17. 3.5.2. Sejarah Geologi Daerah Penelitian Sejarah geologi daerah penelitian dimulai Satuan aluvial sungai merupakan satuan termuda di pada kala Miosen Akhir atau (N15 – N17) dengan daerah penelitian yang merupakan hasil rombakan mulai diendapkannya satuan batuan breksi sisipan batuan-batuan yang lebih tua. batupasir dan lava basalt (Anggota Breksi Formasi Struktur geologi di daerah penelitian terjadi Halang) dengan mekanisme turbidit (aliran gravitasi) dalam satu periode tektonik yaitu pada kala Pliosen pada lingkungan laut. Pengendapan ini terus - Plistosen dengan arah gaya utama utara – selatan 12 Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan yang mengakibatkan satuan batuan breksi sisipan batupasir dan lava basalt dan satuan batupasir selang-seling batulempung sisipan breksi Formasi Hlang mengalami perlipatan membentuk struktur monoklin dan sesar-sesar mendatar Jlegong dan Ijo. Hasil kajian endapan turbidit Formasi Halang yang terdapat di daerah penelitian dapat disimpulkan bahwa endapan turbidit di daerah penelitian berupa kipas laut dalam yang terbentuk akibat aliran gravitasi dengan facies Upper Fan hingga Suprafan Lobes on Middle Fan pada bagian Channeled to Smooth – Smooth Potion of Suprafan Lobes. 4.2. Saran Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan berupa saran-saran sebagai berikut : Hasil penelitian geologi di daerah Watuagung dan sekitarnya merupakan daerah yang mempunyai tingkat kerentanan erosi cukup tinggi sehingga perlu adanya analisa kembali minimal per 5 tahun. DAFTAR PUSTAKA Asikin. S., Handoyo. A., Prastistho. B., dan Gafoer. S., 1992, Peta Geologi Regional lembar Banyumas, Jawa, 1308-3, skala 1:100.000, Bandung; Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bemmelen, R. W. Van., 1949, The Geology of Indonesia, vol. IA, General Geology, The Hague, Martinus Nijhof. Bouma, Arnold, H, 1962, Sedimentology of some Flysch deposits: A graphic approach to facies interpretation, Amsterdam : Elsevier, 168 p. Mutti, E. & Ricci Lucci, F., 1975, Turbidite facies and facies associations. In: Examples of turbidite facies and associations from selected formations of the northern Apennines. IX Int. Congress of Sedimentology, Field Trip A-11, p. 21-36. Noor, Djauhari, 2014, Pengantar Geologi, Ed.1, Cet. 1, Yogyakarta; Deepublish. Phleger, Fred & Parker L. Frances, 1951. Foraminifera Species, Part II, Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California. Reading, H.G., 1996, Sedimentary Environments: Processes, Facies and Stratigraphy, Blackwell Science (3rd ed.). Thornbury, William D., Principles of Geomor phology, 1978, Second Edition, John Willey and Sons Inc., New York, London, Sydney, Toronto. Walker, R.G., 1978, "Deep-water sandstone facies and ancient submarine fans: model for exploration for stratigraphic traps", American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 62 (6), p. 932-966. PENULIS 1. Rudolf Rivaldo Lohonauman, ST., Alumni (Tahun 2016) Program Studi Teknik Geologi FTUnpak. 2. Ir. Djauhari Noor, M.Sc., Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi FT-Unpak. 3. Ir. Denny Sukamto Kadarisman, M.T., Staf Dosen Program Studi Teknik Geologi FT-Unpak. Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan 13