bab ii tinjauan teoritis tentang fungsi dan kedudukan

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG FUNGSI DAN KEDUDUKAN PERAWAT
SEBAGAI TENAGA KESEHATAN DAN KONSEP
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA
A. Fungsi dan Kedudukan Perawat
1. Pengertian Perawat
Perawat atau nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix yang berarti
merawat atau memelihara. Menurut Fahri, menjelaskan pengertian dasar seorang
perawat yaitu:1
“Seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu
dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan proses penuaan.
Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan
berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri
dan/atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan
kewenanganya.”
Menurut Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan,
dijelaskan bahwa:
“Perawat
adalah
seseorang
yang telah
lulus pendidikan tinggi
keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
1
Arizal Fahri, Perawat yang Profesional, Bina Media Perintis, Jakarta, 2010, hlm. 1.
36
Pengertian perawat terdapat pula dalam International Council of Nurses (1965)
yang dikutip oleh Fahri sebagai berikut:2
“Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan
keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan
pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.”
Pengertian perawat lainnya dikemukakan oleh Asmadi sebagai berikut:3
“Secara sederhana, perawat adalah orang yang mengasuh dan merawat
orang
lain
yang
mengalami
masalah
kesehatan.
Namun
pada
perkembangannya, defenisi perawat semakin meluas. Kini, pengertian
perawat merujuk pada posisinya sebagai bagian dari tenaga kesehatan
yang memberikan pelayanan kepada mayarakat secara profesional.
Perawat merupakan tenaga profesional mempunyai kemampuan, tanggung
jawab, dan kewenangan dalam melaksanakan dan/atau memberikan
perawatan kepada pasien yang mengalami masalah kesehatan.”
Dari beberapa pengertian di atas dapat disumpulkan bahwa perawat adalah
seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan dan mempunyai kemampuan dan
kewajiban dalam merawat dan menolong orang yang sakit atau klien sesuai dengan
bidangnya.
2. Fungsi Perawat
2
3
Ibid.
Asmadi, Konsep dasar Keperawatan, EGC, Jakarta, 2008, hlm. 2.
37
Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun sakit
di mana segala aktifitas yang dilakukan berguna untuk pemulihan kesehatan
berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara
untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses
keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa
keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi.
Gartinah, dkk mengemukakan bahwa dalam praktik keperawatan, perawat
melakukan fungsi sebagai berikut:4
a. Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan langsung kepada
pasien dengan menggunakan proses keperawatan.
b. Sebagai advokat pasien, perawat berfungsi sebagai penghubung pasien
dengan tim kesehatan yang lain, membela kepentingan pasien dan
membantu klien dalam memahami semua informasi dan upaya
kesehatan yang diberikan. Peran advokasi sekaligus mengharuskan
perawat bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator dalam
pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani
oleh pasien atau keluarganya.
c. Sebagai pendidik pasien, perawat membantu pasien meningkatkan
kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan
keperawatan dan tindakan medik sehingga pasien dan keluarganya
dapat menerimanya.
d. Sebagai koordinator, perawat memanfaatkan semua sumber-sumber
dan potensi yang ada secara terkoordinasi.
4
Gartinah, dkk, Keperawatan dan Praktek Keperawatan, PPNI, Jakarta, 2002, hlm. 51.
38
e. Sebagai kolaborator, perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain
dan keluarga dalam menentukan rencana maupun pelaksanaan asuhan
keperawatan guna memenuhi kesehatan pasien.
f. Sebagai pembaharu, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir,
bersikap, bertingkah laku dan meningkatkan keterampilan pasien atau
keluarga agar menjadi sehat.
g. Sebagai pengelola, perawat menata kegiatan dalam upaya mencapai
tujuan yang diharapkan yaitu terpenuhinya kepuasan dasar dan
kepuasan perawat melakukan tugasnya.
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yaitu sebagai
berikut:5
a. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, yaitu
perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri
dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan
fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan
cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan
kebutuhan aktivitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan dan
kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan
kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri.
b. Fungsi Dependen
5
Sri Praptianingsih, Op.Cit., hlm. 18.
39
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas
pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan
pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya silakukan oleh
perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke
perawat pelaksana.
c. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling
ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat
terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam
pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan
pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak
dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter
ataupun lainnya,
seperti dokter
dalam
memberikan tindakan
pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi
obat yang telah diberikan.
3. Kedudukan Perawat
Perawat terdiri dari dua jenis perawat yaitu perawat profesi dan perawat vokasi.
Perawat memiliki hak dan kewajiban, di mana dalam Pasal 36 Undang-Undang
Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, bahwa perawat mempunyai hak:
a. Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas
sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur
operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur dari Klien dan/atau
keluarganya.
40
c. Menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah
diberikan.
d. Menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan
kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur
operasional, atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Memperolehfasilitas kerja sesuai dengan standar.
Adapun kewajiban perawat dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2014 tentang Keperawatan, Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan
berkewajiban:
a. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai
dengan standar Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan.
b. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar
Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional,
dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
c. Merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga
kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat
kompetensinya.
d. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar.
e. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah
dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau
keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya.
f. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan
lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat.
41
g. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Sebagai tenaga kesehatan, perawat memiliki sejumlah peran di dalam
menjalankan tugasnya sesuai dengan hak dan kewajiban yang ada. Kedudukan
perawat yang utama adalah sebagai berikut:6
a. Pelaksana layanan keperawatan (care provider). Perawat memberikan
layanan berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada klien
(individu,
keluarga,
maupun
komunitas)
sesuai
dengan
kewenangannya. Asuhan keperawatan diberikan kepada klien di
semua tatanan layanan kesehatan dengan menggunakan metodologi
proses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi
oleh etik dan etika keperawatan, serta berada dalam lingkup
wewenang dan tanggung jawab keperawatan. Asuhan keperawatan ini
merupakan bantuan yang diberikan kepada klien karena adanya
kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta
kurangnya kemauan untuk dapat melaksanakan kegiatan hidup seharihari secara mandiri.
b. Pengelola (manager). Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab
dalam mengelola layanan keperawatan di semua tatanan layanan
kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, dan sebagainya) maupun tatanan
pendidikan yang berada dalam tanggung jawabnya sesuai dengan
konsep manajemen keperawatan. Manajemen keperawatan dapat
diartikan sebagai proses pelaksanaan layanan keperawatan melalui
upaya staf keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan,
6
Asmadi, Op.Cit., hlm. 76-81.
42
pengobatan, dan rasa aman kepada pasien/keluarga/masyarakat.
Dengan demikian, perawat telah menjalankan fungsi manajerial
keperawatan yang meliputi planning, organizing, actuating, staffing,
directing, dan controlling.
c. Pendidik dalam keperawatan. Sebagai pendidik, perawat berperan
mendidik individu, keluarga, masyarakat, serta tenaga keperawatan
dan tenaga kesehatan lainnya. Perawat bertugas memberikan
pendidikan kesehatan kepada klien dalam hal ini individu, keluarga,
serta
masyarakatsebagai
upaya
menciptakan
perilaku
individu/masyarakat yang kondusif bagi kesehatan. Pendidikan
kesehatan tidak semata ditujukan untuk membangun kesadaran diri
dengan pengetahuan tentang kesehatan. Lebih dari itu, pendidikan
kesehatan bertujuan untuk membangun perilaku kesehatan individu
dan masyarakat. Kesehatan bukan sekadar untuk diketahui dan
disikapi, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Peneliti dan pengembang ilmu keperawatan. Sebagai sebuah profesi
dan cabang ilmu pengetahuan, keperawatan harus terns melakukan
upaya untuk mengembangkan dirinya. Berbagai tantangan, persoalan,
dan pertanyaan seputar keperawatan harus mampu dijawab dan
diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah melalui upaya riset;
Riset keperawatan akan menambah dasar pengetahuan ilmiah
keperawatan dan meningkatkan praktik keperawatan bagi klien.
Praktik berdasarkan riset merupakan hal yang harus dipenuhi
(esensial) jika profesi keperawatan ingin menjalankan kewajibannya
43
pada masyarakat dalam memberikan perawatan yang efektif dan
efisien.
B. Malpraktik
1. Pengertian Malpraktik
Pengertian malpraktik secara umum menyebutkan adanya ketidakcakapan yang
tidak dapat diterima yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat
keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setiap
situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan
keahlian rata-rata.
Malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional, akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien
menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia.
M. Jusuf Hanafiah mendefinisikan malpraktik adalah:7
“Sebuah tindakan yang atas dasar kelalaian dalam mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan
dalam mengobati pasien atau orang terluka menurut ukuran di lingkungan
yang sama.”
Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan malpraktik sebagai berikut:8
“Malpraktik berasal dari kata ‘mala’ artinya salah atau tidak semestinya,
sedangkan ‘praktik’ adalah proses penangan kasus (pasien) dari seseorang
professional yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh
kelompok profesinya. Sehingga malpraktik dapat diartikan mealakukan
7
8
M. Jusuf Hanafiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 2003, hlm. 117.
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Renika Cipta, Jakarta, 2010, hlm.167.
44
tindakan atau praktik yang salah satu menyimpang dari ketentuan atau
prosedur yang baku. Dalam bidang kesehatan, malpraktik adalah
penyimpangan penanganan kasus atau masalah keshatan (termasuk
penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk
bagi penderita atu pasien.”
Selanjutnya menurut Munir Fuady, pengertian malpraktik adalah sebagai
berikut:9
“Kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan
dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang
yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud
kelalaian di sini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa
yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi
sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak
akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula
dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis
(standar profesi dan standar prosedur operasional).”
Dengan demikian malpraktik itu sebenarnya mempunyai suatu pengertian yang
luas yang dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Dalam arti umum: suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang
telah ditentukan oleh profesi.
b. Dalam arti khusus malpraktik dapat diterjemahkan dalam:
9
Munir Fuady, Sumpah Hippocrates dan Aspek Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hlm. 4.
45
1) Menentukan diagnosis, misalnya: diagnosisnya sakit maag, tetapi ternyata
sakit liver.
2) Menjalankan informasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah
kanan, tetapi dilakukan pada mata yang kiri.
3) Selama menjalankan perawatan.
4) Sesudah perawatan, tetntu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan.
Hubungan antara tenaga kesehatan (terutama dokter) dengan pasien yang lahir
dari transaksi terapeutik, selain menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut
aspek hukum pidana. Aspek pidana baru timbul apabila dari pelayanan kesehatan
yang dilakukan sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus dipenuhi adalah upaya
penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan demikian apabila pasien atau
keluarganya
mengajukan
gugatan
berdasarkan
wanprestasi,
pasien
harus
membuktikan bahwa pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan
kesepakatan yang dituangkan dalam informed consent atau tenaga kesehatan
menggunakan obat secara keliru atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
mestinya.
2. Jenis-Jenis Malpraktik
Malpraktik dapat diartikan sebagai praktik yang buruk yang dilakukan oleh
dokter atau tenaga kesehatan yang lain (apoteker, bidan, perawat, ahli terapi dan
tenaga kesehatan lainnya) yang dilakukan baik karena kesengajaan maupun kealpaan
sehingga mengakibatkan kerugian bagi pasien, yang menyebabkan tenaga medis yang
melakukan malpraktik tersebut harus bertanggung jawab baik secara pidana, perdata
maupun administrasi.
46
Adami chazawi membedakan malpraktik menjadi dua bentuk yaitu, malpraktik
etik dan malpraktik yuridis, ditinjau dari segi etik profesi dan segi hukum. Setiap
malpraktik yuridis sudah pasti malpraktik etik, tetapi tidak semua malpraktik etik
merupakan malpraktik yuridis. Berikut ini akan dijelaskan mengenai malpraktik etik
dan malpraktik yuridis.10
a. Malpraktik Etik
Malpraktik etik adalah perawat melakukan tindakan yang bertentangan
dengan etika perawat. Etika perawat merupakan seperangkat standar
etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk perawat.
b. Malpraktik Yuridis
Malpraktik yuridis dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu malpraktik
pidana, perdata, dan administrasi. Ketiga bentuk malpraktik yuridis
tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Malpraktik Perdata
Malpraktik
perdata
terjadi apabila
terdapat
hal-hal
yang
menyebabkan tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) di dalam
transaksi terapi oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadi
perbuatan melanggar hukum, sehingga menimbulkan kerugian
kepada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian
tersebut dapat berupa:
a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib
dilakukan.
b) Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan,
tetapi terlambat melaksanakannya.
10
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007, hlm.14.
47
c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan,
tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya dilakukan.
2) Malpraktik Pidana
Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya
kurang hati-hati, atau kurang cermat dalam melakukan upaya
penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat
tersebut, misalnya sebagai berikut:
a) Malpraktik pidana karena kesenjangan (intensional), seperti
kasus-kasus
melakukan
aborsi
tanpa
indikasi
medis,
euthanasia, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong,
serta memberikan surat keterangan dokter kepada perawat
yang tidak benar.
b) Malpraktik
pidana
karena
kecerobohan
(recklessness),
misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar
profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan
tindakan medis.
c) Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya
terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan
dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya
alat operasi di dalam rongga tubuh pasien.
3) Malpraktik Administrasi
48
Malpraktek administrasi adalah apabila tenaga kesehatan telah
melanggar hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum
administrasi tersebut antara lain seperti dokter tidak mempunyai
Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas
kewenangan tenaga keperawatan.
Apabila tenaga perawatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi
kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga
perawatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah
perbuatan tenaga perawatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni:11
a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan
yang tercela. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin
(mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan).
b. Penyimpangan dari kewajiban (dereliction of duty), yaitu jika seorang
perawat melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut
standar
profesinya,
maka
perawat
tersebut
dapat
dipersalahkan.
c. Untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung)
antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh
karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan
11
Ibid., hlm. 16.
49
hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak
dapat sebagai dasar menyalahkan perawat.
Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan
standar operasional dan standar prosedur tindakan medik berarti telah melakukan
kesalahan atau kelalaian, yang selain dapat dituntut secara hukum pidana, juga dapat
digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan
pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika pasien menderita cacat
permanen atau meninggal dunia, sedangkan gugatan secara perdata dapat dilakukan
asal pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil.
C. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, namun
demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaarfeit. Oleh
karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti terhadap istilah
strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka masing-masing.
Moeljatno menjelaskan pengertian tindak pidana sebagai berikut:12
“Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan disertai ancamam (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifat
perbuatan perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan
yang
melawan
hukum,
perbuatan-perbuatan
ini
juga
merugikan
masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
12
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 16.
50
terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan
adil.”
Selanjutnya menurut Lamintang dijelaskan pula bahwa pengertian tindak pidana
adalah sebagai berikut:13
“Perkataan tindak pidana atau “straftbaar feit” itu secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan
terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku
tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya
kepentingan umum. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal
dalam hukum pidana Belanda yaitu “straftbaar feit”. Strafbar Feit terdiri
dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai
pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh
sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran
dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim. Tindak menunjuk pada
hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian
yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif
maupun pasif.”
Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya
diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh
atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal
362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan
13
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 2001, hlm.16.
51
pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun,
dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan
tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan
membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP.
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi
tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai
pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan
suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan
tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini
merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.
Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang
padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya
sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat
orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu
pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana
dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara
unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya
tentang tindak pidana.
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian
dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam
memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai
pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan
hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan
52
ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai seharihari dalam kehidupan masyarakat.
Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi
pidana
pada orang
yang
telah
melakukan
perbuatan pidana
atas
dasar
pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum
itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan
pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang
menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih
dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal
dari von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud
mengandung tiga pengertian yaitu:14
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Pengertian unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian
unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan undang-undang
14
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana,
Citra Aditya, Bandung, 1998, hlm. 36.
53
(rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana lebih luas daripada pengertian
unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang.
Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur
objektif, yakni:15
a. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas
hukum pidana menyatakan “tidak ada hukum kalau tidak ada
kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is
guilty or actus not facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan di sini yang
dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan
(intention/opset/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld).
b. Unsur Objektif
Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku yang terdiri atas:
1) Perbuatan manusia, berupa:
a) Act, yakni berupa aktif atau perubahan positif.
b) Omission, yakni perubahan pasif atas perubuatan negatif, yaitu
perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan.
2) Akibat (result) perbuatan manusia.
Akibat
tersebut
membahayakan
atau
merusak
bahkan
menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik,
kehormatan dan kebahagiaan.
3) Keadaan-keadaan (circumstances).
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:
15
Mohammad Eka Putra, Op. Cit., hlm. 103.
54
a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan.
b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan.
4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum.
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang
membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sikap melawan
hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum,
yakni berkenan dengan larangan atau perintah.
Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah
(fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Menurut
Moeljatno, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:16
a. Kelakuan dan akibat.
Pada hakekatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsurunsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan mengandung kelakuan dan
akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan
kejadian dalam lahir (dunia).
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Van Hamel membagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri
orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai diluar diri si
pelaku.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Sebagai syarat penuntutan untuk mendatangkan sanksi pidana, untuk
menuntut supaya pelakunya dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang
berupa keadaan tambahan.
16
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 69.
55
d. Unsur melawan hukum yang obyektif.
Menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai
perbuatan.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Adakalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada
keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam
hati sanubari terdakwa sendiri.
Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun rumusan delik tidak terdapat unsur
melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat
melawan hukum. Sebagaimana ternyata diatas perbuatan tadi sudah demikian wajar
sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya
ditekankan, meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan
terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga
diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subjektif.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan
pidana adalah:17
a. Subjek tindak pidana
Subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini
mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam
KUHP, yang menampakan daya berfikir sebagai syarat bagi subjek
tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman atu pidana yang
termuat pada pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan,
dan denda.
17
Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm.59.
56
b. Perbuatan dari tindak pidana
Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat para perumusan
tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana.
Misalnya dalam tindak pidana mencuri, perbuatannya, dirumuskan
sebagai mengambil barang.
c. Hubungan sebab akibat
Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu
akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas
kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab
akibat antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu.
d. Sifat melanggar hukum
Hukum pidana dengan tindak-tindak pidana yang dirumuskan
didalamnya itu, bersumber pada pelanggaran-pelanggaran hukum di
bidang-bidang hukum lain.
e. Kesalahan pelaku tindak pidana
Karena si pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini adalah
mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana.
Dan baru kalau ini tercapai, maka betul-betul ada suatu tindak pidana
yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana.
f. Kesengajaan
Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau
opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas
mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu
dengan sengaja.
g. Kesengajaan yang bersifat tujuan
57
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan mudah dapat dimengerti oleh khalayak
ramai. Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak
pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai
hukuman pidana.
h. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan
semacam
ini
ada
apabila
si
pelaku
dengan
perbuatannya tidak bertujuan mencapai akibat yang menjadi dasar
dari deli, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu.
i.
Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai
bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan,
tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
j.
Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melanggar hukum
Bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku
harus tahu bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana.
k. Culpa
Suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat
seperti ke sengaja, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang
tidak disengaja terjadi.
l.
Culpa khusus
Adakalanya suatu culpa ditentukan tidak untuk akibat dari tindak
pidana, tetapi mengenai hal yang menyertai akibat itu.
m. Kelalaian
58
Pada
pasal-pasal
247-253
dari
perundang-undangan
yang
dibicarakan hamper semata-mata hal kelalaian. Dalam pasal tersebut,
hal kelalaian diperlakukan secara primer, sedangkan hal kesengajaan
hanya secara subsidier sebagai hal yang memberatkan hukumannya
sampai dua kali lipat.
n. Tiada hukuman tanpa kesalahan
Pasal-pasal KUHP mengenai tindak-tindak pidana yang masuk
golongan kejahatan atau misdridjven termuat dalam buku II KUHP
selalu mengandung unsur kesalahan dari pelaku pihak tindak pidana,
yaitu kesengajaan atau culpa.
o. Unsur-unsur khusus dari tindak-tindak pidana tertentu
Tindak pidana yang pada umumnya melekat pada suatu tindak
pidana. Disamping unsur-unsur ini, terdapat beberapa unsur khusus
yang hanya ada pada pelbagai tindak pidana tertentu.
Unsur-unsur tindak pidana di atas barulah dikatakan sebagai peristiwa pidana
apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dinyatakan oleh R. Abdoel Djamali
sebagai berikut:18
a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang.
b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang, pelakunya telah melakukan suatu kesalahan dan harus dapat
mempertanggung jawabkan kesalahannya.
18
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 159.
59
c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan, perbuatan
itu memang harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang
melanggar suatu ketentuan hukum.
d. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang
berlawanan dengan hukum dimaksud kalau tindak pidananya nyatanyata bertentangan dengan hukum.
e. Harus adanya ancaman hukuman dengan kata lain ketentuan hukum
yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya.
Batasan-batasan di atas telah dikatakan bahwa tidak adanya persamaan pendapat
tentang syarat-syarat yang menjadi suatu perbuatan manusia sebagai delik atau tindak
pidana, karena di mata hukum semuanya sama maka yang melanggar hukum harus
dikenakan sanksi pidana.
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana
Berdasarkan sifatnya secara kuantitatif, Moeljatno menyebutkan didalam KUHP
dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana (delik), yang terdiri dari:19
a. Kejahatan
Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik,
sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan
kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau
perbuatan yang jahat. Secara yuridis, Kejahatan diartikan sebagai
suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undangundang.
19
Kejahatan,
misalnya
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 2.
60
pencurian
(Pasal
362
KUHP)
penggelapan (Pasal 378 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP),
dan sebagai.
b. Pelanggaran
Pelanggaran adalah “wetsdelikten”, yaitu perbuatan yang sifat
melawan hukumnya baru diketahui setelah ada wet yang menentukan
demikian. Pelanggar, misalnya mengemas di tempat umum (Pasal 504
KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum tanpa izin pejabat
yang berwenang (Pasal 510 KUHP), dan sebagainya.
Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, Moeljatno masih
menyebutkan pembagian lain dari perbuatan pidana (delik) yang terdiri dari:20
a. Delik dolus dan delik culpa.
Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana) yang dilakukan
dengan sengaja, sesuai sebagi contoh Pasal 338 KUHP yang
merumuskan “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”.
Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak
disengaja atau merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana
disebutkan didalam Pasal 359 KUHP “barang siapa karena
kekhilafannya menyebabkan matinya orang…”
b. Delik commissionis dan delik ommisionis.
Delik commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang
dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362),
menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis
pada umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader)
20
Ibid., hlm. 75.
61
mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure pertanggungjawaban
pidana. Delik ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan
pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik
ommisionis terdapat dalam BAB V Pasal 164 KUHP tentang
kejahatan terhadap ketertiban umum.
c. Delik biasa dan delik kualifisir (dikhususkan).
Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai
unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai
unsur yang meringankan. Contohnya Pasal 341 KUHP lebih ringan
daripada Pasal 342 KUHP, Pasal 338 KUHP lebih ringan daripada
Pasal 340 dan 339 KUHP, Pasal 308 KUHP lebih ringan daripada
Pasal 305 dan 306 KUHP. Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus,
mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih
unsur yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan membongkar,
penganiayaan yang mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana.
Dalam Pasal 365 KUHP terhadap Pasal 362 KUHP, Pasal 374 KUHP
terhadap Pasal 372 KUHP.
d. Delik selesai dan delik berlanjut.
Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau
tidak berbuat dan delik telah selesai ketika dilakukan, seperti
kejahatan tentang pengahasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun
Pasal 330 KUHP. Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas
melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang,
walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali
perbuatan. Contohnya, terdapat dalam Pasal 221 KUHP tentang
62
menyembunyikan orang jahat, Pasal 333 KUHP tentang meneruskan
kemerdekaan orang, Pasal 250 KUHP tentang mempunyai persediaan
bahan untuk memalsukan mata uang.
D. Pertanggungjawaban Pidana
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab, menurut Sianturi bilamana
pada umumnya:21
a. Keadaan jiwanya.
1) Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara
(teprair).
2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gaguh, idiot, imbecile dan
sebagainya).
3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap,
pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur dan kortes, dan
lain sebagainya dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
b. Kemampuan jiwanya.
1) Dapat menginsafi hakekat dari tindakannya.
2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut.
3) Dapat mempengaruhi ketercelaan dari tindakan tersebut.
Lebih jauh, Sianturi menjelaskan bahwa:22
21
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002,
hlm. 249.
22
Ibid., hlm. 250.
63
“Kemampuan bertanggung jawab
didasarkan pada keadaan dan
kemampuan jiwa (geestelijke vermogens), dan kemampuan ‘berfikir’
(verstandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang
resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogens.
Untuk terjemahan dari verstandelijke vermogens sengaja digunakan istilah
‘keadaan dan kemampuan jiwa seseorang’. Terjemahan tersebut sesuai
dengan perkembangan doktrin yang mengatakan bahwa yang dimaksud
seharusnya adalah keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens).
Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang
yang ‘mampu bertanggung jawab’ yang dapat dipidanakan.”
Tidak mampu bertanggung jawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin
pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit sehingga padanya tidak memenuhi
persyaratan untuk diperiksa atau tidak karena perbuatannya dalam hal ini seseorang
yang dipandang mampu bertanggung jawab jika ditemukan keadaan tersebut.
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ini, Moeljatno menjelaskan
bahwa:23
“Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia
tidak melakukan perbuatan. Pertanggungjawaban pidana hanya akan
terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana
sebaiknya eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada
orang-orang yang pada kenyataanya melakukan tindak pidana tersebut”.
Menurut Chaerul Huda bahwa:24
23
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 155.
64
“Pertanggungjawaban pidana hanya terjadi setelah sebelumnya seseorang
melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas
dasar hukum yang tertulis tiada pidana tanpa kesalahan.”
Asas yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ ini dijelaskan lebih lanjut
oleh Anny Isfandiyarie sebagai berikut:25
“Untuk memidana seseorang, disamping orang tersebut melakukan
perbuatan yang dilarang, dikenal pula asas geen straaf zondeer sculd
(tiada pemidanaan tanpa kesalahan). Asas ini merupakan hukum yang
tidak tertulis, tetapi berlaku di masyarakat dan juga berlaku dalam KUHP,
misalnya Pasal 44 KUHP tidak diberlakukan pemidaan bagi perbuatan
yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggung jawab, Pasal
48 KUHP tidak diberikan ancaman bagi pelaku yang memberikan
ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan pidana karena adanya daya
paksa.”
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan
dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang
(diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut
apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada pemidanaan sifat melawan
hukum atau dan alasan pembenar) untuk itu.
Menurut Van Hamel yang dikutip oleh Sianturi menyatakan bahwa:26
24
Chaerul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 20.
25
Anny Isfandiyarie, Op.Cit., hlm. 251.
26
S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 55.
65
“Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan normal dan kematangan
psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk:
a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.
b. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh
masyarakat.
c. Penuntutan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu, jadi dapat
disimpulkan bahwa toekeningsvastbaarheid mengandung pengertian
kecakapan.”
Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang bersifat melawan hukum,
atau melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum tersebut dihapuskan
oleh suatu keadaan yang diatur dalam hukum (bukan hanya Undang-undang Hukum
Pidana), maka tiada pemidanaan atau petindak tidak dipertanggung jawabakan pidana.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tiada pemidanaan tanpa unsur bersifat
melawan hukum (dari tindakan tersebut).
2. Jenis Pertanggungjawaban Pidana
Orang yang mempunyai kesalahan adalah jika dia pada waktu melakukan
perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa
melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui
makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari
untuk berbuat demikian. Jika begitu tentunya perbuatan tersebut memang sengaja
dilakukan.
Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah
kemampuan bertanggung jawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan
66
adanya kesalahan yang mana jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah
sedemikian rupa hingga dapat dikatakan normal, sehat karena orang yang sehat dan
normal inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya yang sesuai dengan ukuranukuran yang dianggap baik oleh masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa inti dari pada
pertanggungjawaban itu berupa keadaan jiwa/batin seseorang yang pada saat
melakukan perbuatan pidana dalam keadaan sehat. Jadi jelas bahwa untuk adanya
bertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa si pembuat mampu bertanggung
jawab.
Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan
akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan
Remmelink mendefinisikan:27
“Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang
menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap
manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat
dihindarinya, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat
hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari
perbuatan yang dicela oleh umum.”
Dalam hukum pidana dikenal ada dua jenis teori kesalahan. Untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung
kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
kelalaian (culpa).
a. Kesengajaan (Opzet)
27
Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 142.
67
Menurut teori pengetahuan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki
suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendakai suatu akibat
karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapakan atau membayangkan
adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan
karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu
tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih
dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau
dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat.
Menurut teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam,
yaitu sebagai berikut:28
1) Kesengajaan yang bersifat tujuan.
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak
ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak
pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena
dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si
pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang
menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian.
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik,
tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti
perbuatan itu.
3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.
28
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 161.
68
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan
suatu
kemungkinan
belaka
akan
akibat
itu.
Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari
kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban
atar perbuatan seseorang yang dilakukan.
Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik
peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya, hakim menjatuhkan
putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti
corak-corak yang lain. Jadi dalam praktik peradilan semacam itu sangat
mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan
tingkat kesalahan terdakwa.
b. Kelalaian (Culpa)
Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalain itu. Hanya memorie
penjelasan (memori van toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak
antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu dipandang lebih
ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu, Hazewinkel Suringa
mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga
diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan
kebetulan.
Arti dari culpa ialah pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum
mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang
69
tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang
tidak disengaja terjadi.
Walaupun pada umumnya delik kelalaian (culpa) di pandang lebih ringan
dan oleh karena itu ancaman pidananya juga lebih ringan dari pada yang
dilakukan dengan sengaja. Untuk mengancam pidana berat bagi perbuatan
kelalain seperti yang tercantum di dalam Pasal 359 KUHP, sebenarnya untuk
bertjuan prevensi umum.
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk
menentukan
apakah
seseorangn
terdakwa
atau
tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk
dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannnya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.
70
Download