BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG FUNGSI DAN KEDUDUKAN PERAWAT SEBAGAI TENAGA KESEHATAN DAN KONSEP PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PIDANA A. Fungsi dan Kedudukan Perawat 1. Pengertian Perawat Perawat atau nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix yang berarti merawat atau memelihara. Menurut Fahri, menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu:1 “Seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injury dan proses penuaan. Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan/atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya.” Menurut Undang-Undang RI Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, dijelaskan bahwa: “Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” 1 Arizal Fahri, Perawat yang Profesional, Bina Media Perintis, Jakarta, 2010, hlm. 1. 36 Pengertian perawat terdapat pula dalam International Council of Nurses (1965) yang dikutip oleh Fahri sebagai berikut:2 “Perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.” Pengertian perawat lainnya dikemukakan oleh Asmadi sebagai berikut:3 “Secara sederhana, perawat adalah orang yang mengasuh dan merawat orang lain yang mengalami masalah kesehatan. Namun pada perkembangannya, defenisi perawat semakin meluas. Kini, pengertian perawat merujuk pada posisinya sebagai bagian dari tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kepada mayarakat secara profesional. Perawat merupakan tenaga profesional mempunyai kemampuan, tanggung jawab, dan kewenangan dalam melaksanakan dan/atau memberikan perawatan kepada pasien yang mengalami masalah kesehatan.” Dari beberapa pengertian di atas dapat disumpulkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan dan mempunyai kemampuan dan kewajiban dalam merawat dan menolong orang yang sakit atau klien sesuai dengan bidangnya. 2. Fungsi Perawat 2 3 Ibid. Asmadi, Konsep dasar Keperawatan, EGC, Jakarta, 2008, hlm. 2. 37 Fungsi perawat dalam melakukan pengkajian pada individu sehat maupun sakit di mana segala aktifitas yang dilakukan berguna untuk pemulihan kesehatan berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, aktifitas ini dilakukan dengan berbagai cara untuk mengembalikan kemandirian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses keperawatan yang terdiri dari tahap pengkajian, identifikasi masalah (diagnosa keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi. Gartinah, dkk mengemukakan bahwa dalam praktik keperawatan, perawat melakukan fungsi sebagai berikut:4 a. Sebagai pelaku atau pemberi asuhan keperawatan langsung kepada pasien dengan menggunakan proses keperawatan. b. Sebagai advokat pasien, perawat berfungsi sebagai penghubung pasien dengan tim kesehatan yang lain, membela kepentingan pasien dan membantu klien dalam memahami semua informasi dan upaya kesehatan yang diberikan. Peran advokasi sekaligus mengharuskan perawat bertindak sebagai nara sumber dan fasilitator dalam pengambilan keputusan terhadap upaya kesehatan yang harus dijalani oleh pasien atau keluarganya. c. Sebagai pendidik pasien, perawat membantu pasien meningkatkan kesehatannya melalui pemberian pengetahuan yang terkait dengan keperawatan dan tindakan medik sehingga pasien dan keluarganya dapat menerimanya. d. Sebagai koordinator, perawat memanfaatkan semua sumber-sumber dan potensi yang ada secara terkoordinasi. 4 Gartinah, dkk, Keperawatan dan Praktek Keperawatan, PPNI, Jakarta, 2002, hlm. 51. 38 e. Sebagai kolaborator, perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain dan keluarga dalam menentukan rencana maupun pelaksanaan asuhan keperawatan guna memenuhi kesehatan pasien. f. Sebagai pembaharu, perawat mengadakan inovasi dalam cara berpikir, bersikap, bertingkah laku dan meningkatkan keterampilan pasien atau keluarga agar menjadi sehat. g. Sebagai pengelola, perawat menata kegiatan dalam upaya mencapai tujuan yang diharapkan yaitu terpenuhinya kepuasan dasar dan kepuasan perawat melakukan tugasnya. Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yaitu sebagai berikut:5 a. Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri dan tidak tergantung pada orang lain, yaitu perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar manusia seperti pemenuhan kebutuhan fisiologis (pemenuhan kebutuhan oksigenasi, pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit, pemenuhan kebutuhan nutrisi, pemenuhan kebutuhan aktivitas dan lain-lain), pemenuhan kebutuhan dan kenyamanan, pemenuhan kebutuhan cinta mencintai, pemenuhan kebutuhan harga diri dan aktualisasi diri. b. Fungsi Dependen 5 Sri Praptianingsih, Op.Cit., hlm. 18. 39 Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain. Sehingga sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Hal ini biasanya silakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. c. Fungsi Interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan di antara satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerja sama tim dalam pemberian pelayanan seperti dalam memberikan asuhan keperawatan pada penderita yang mempunyai penyakit kompleks. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya, seperti dokter dalam memberikan tindakan pengobatan bekerjasama dengan perawat dalam pemantauan reaksi obat yang telah diberikan. 3. Kedudukan Perawat Perawat terdiri dari dua jenis perawat yaitu perawat profesi dan perawat vokasi. Perawat memiliki hak dan kewajiban, di mana dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, bahwa perawat mempunyai hak: a. Memperoleh pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Memperoleh informasi yang benar, jelas dan jujur dari Klien dan/atau keluarganya. 40 c. Menerima imbalan jasa atas pelayanan keperawatan yang telah diberikan. d. Menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Memperolehfasilitas kerja sesuai dengan standar. Adapun kewajiban perawat dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berkewajiban: a. Melengkapi sarana dan prasarana Pelayanan Keperawatan sesuai dengan standar Pelayanan Keperawatan dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. b. Memberikan Pelayanan Keperawatan sesuai dengan kode etik, standar Pelayanan Keperawatan, standar profesi, standar prosedur operasional, dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. c. Merujuk Klien yang tidak dapat ditangani kepada Perawat atau tenaga kesehatan lain yang lebih tepat sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensinya. d. Mendokumentasikan Asuhan Keperawatan sesuai dengan standar. e. Memberikan informasi yang lengkap, jujur, benar, jelas, dan mudah dimengerti mengenai tindakan Keperawatan kepada Klien dan/atau keluarganya sesuai dengan batas kewenangannya. f. Melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan kompetensi Perawat. 41 g. Melaksanakan penugasan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah. Sebagai tenaga kesehatan, perawat memiliki sejumlah peran di dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan hak dan kewajiban yang ada. Kedudukan perawat yang utama adalah sebagai berikut:6 a. Pelaksana layanan keperawatan (care provider). Perawat memberikan layanan berupa asuhan keperawatan secara langsung kepada klien (individu, keluarga, maupun komunitas) sesuai dengan kewenangannya. Asuhan keperawatan diberikan kepada klien di semua tatanan layanan kesehatan dengan menggunakan metodologi proses keperawatan, berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi oleh etik dan etika keperawatan, serta berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab keperawatan. Asuhan keperawatan ini merupakan bantuan yang diberikan kepada klien karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan, serta kurangnya kemauan untuk dapat melaksanakan kegiatan hidup seharihari secara mandiri. b. Pengelola (manager). Perawat mempunyai peran dan tanggung jawab dalam mengelola layanan keperawatan di semua tatanan layanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas, dan sebagainya) maupun tatanan pendidikan yang berada dalam tanggung jawabnya sesuai dengan konsep manajemen keperawatan. Manajemen keperawatan dapat diartikan sebagai proses pelaksanaan layanan keperawatan melalui upaya staf keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan, 6 Asmadi, Op.Cit., hlm. 76-81. 42 pengobatan, dan rasa aman kepada pasien/keluarga/masyarakat. Dengan demikian, perawat telah menjalankan fungsi manajerial keperawatan yang meliputi planning, organizing, actuating, staffing, directing, dan controlling. c. Pendidik dalam keperawatan. Sebagai pendidik, perawat berperan mendidik individu, keluarga, masyarakat, serta tenaga keperawatan dan tenaga kesehatan lainnya. Perawat bertugas memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dalam hal ini individu, keluarga, serta masyarakatsebagai upaya menciptakan perilaku individu/masyarakat yang kondusif bagi kesehatan. Pendidikan kesehatan tidak semata ditujukan untuk membangun kesadaran diri dengan pengetahuan tentang kesehatan. Lebih dari itu, pendidikan kesehatan bertujuan untuk membangun perilaku kesehatan individu dan masyarakat. Kesehatan bukan sekadar untuk diketahui dan disikapi, tetapi juga diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. d. Peneliti dan pengembang ilmu keperawatan. Sebagai sebuah profesi dan cabang ilmu pengetahuan, keperawatan harus terns melakukan upaya untuk mengembangkan dirinya. Berbagai tantangan, persoalan, dan pertanyaan seputar keperawatan harus mampu dijawab dan diselesaikan dengan baik. Salah satunya adalah melalui upaya riset; Riset keperawatan akan menambah dasar pengetahuan ilmiah keperawatan dan meningkatkan praktik keperawatan bagi klien. Praktik berdasarkan riset merupakan hal yang harus dipenuhi (esensial) jika profesi keperawatan ingin menjalankan kewajibannya 43 pada masyarakat dalam memberikan perawatan yang efektif dan efisien. B. Malpraktik 1. Pengertian Malpraktik Pengertian malpraktik secara umum menyebutkan adanya ketidakcakapan yang tidak dapat diterima yang diukur dengan ukuran yang terdapat pada tingkat keterampilan sesuai dengan derajat ilmiah yang lazimnya dipraktikkan pada setiap situasi dan kondisi di dalam komunitas anggota profesi yang mempunyai reputasi dan keahlian rata-rata. Malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia. M. Jusuf Hanafiah mendefinisikan malpraktik adalah:7 “Sebuah tindakan yang atas dasar kelalaian dalam mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.” Soekidjo Notoatmodjo mendefinisikan malpraktik sebagai berikut:8 “Malpraktik berasal dari kata ‘mala’ artinya salah atau tidak semestinya, sedangkan ‘praktik’ adalah proses penangan kasus (pasien) dari seseorang professional yang sesuai dengan prosedur kerja yang telah ditentukan oleh kelompok profesinya. Sehingga malpraktik dapat diartikan mealakukan 7 8 M. Jusuf Hanafiah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 2003, hlm. 117. Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Renika Cipta, Jakarta, 2010, hlm.167. 44 tindakan atau praktik yang salah satu menyimpang dari ketentuan atau prosedur yang baku. Dalam bidang kesehatan, malpraktik adalah penyimpangan penanganan kasus atau masalah keshatan (termasuk penyakit) oleh petugas kesehatan, sehingga menyebabkan dampak buruk bagi penderita atu pasien.” Selanjutnya menurut Munir Fuady, pengertian malpraktik adalah sebagai berikut:9 “Kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud kelalaian di sini adalah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, tapi sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medis (standar profesi dan standar prosedur operasional).” Dengan demikian malpraktik itu sebenarnya mempunyai suatu pengertian yang luas yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a. Dalam arti umum: suatu praktek yang buruk, yang tidak memenuhi standar yang telah ditentukan oleh profesi. b. Dalam arti khusus malpraktik dapat diterjemahkan dalam: 9 Munir Fuady, Sumpah Hippocrates dan Aspek Malpraktik Dokter, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 4. 45 1) Menentukan diagnosis, misalnya: diagnosisnya sakit maag, tetapi ternyata sakit liver. 2) Menjalankan informasi, misalnya: seharusnya yang dioperasi mata sebelah kanan, tetapi dilakukan pada mata yang kiri. 3) Selama menjalankan perawatan. 4) Sesudah perawatan, tetntu saja dalam batas waktu yang telah ditentukan. Hubungan antara tenaga kesehatan (terutama dokter) dengan pasien yang lahir dari transaksi terapeutik, selain menyangkut aspek hukum perdata juga menyangkut aspek hukum pidana. Aspek pidana baru timbul apabila dari pelayanan kesehatan yang dilakukan sebab dalam perjanjian terapeutik yang harus dipenuhi adalah upaya penyembuhan dengan kesungguhan. Dengan demikian apabila pasien atau keluarganya mengajukan gugatan berdasarkan wanprestasi, pasien harus membuktikan bahwa pelayanan kesehatan yang diterimanya tidak sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam informed consent atau tenaga kesehatan menggunakan obat secara keliru atau tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. 2. Jenis-Jenis Malpraktik Malpraktik dapat diartikan sebagai praktik yang buruk yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan yang lain (apoteker, bidan, perawat, ahli terapi dan tenaga kesehatan lainnya) yang dilakukan baik karena kesengajaan maupun kealpaan sehingga mengakibatkan kerugian bagi pasien, yang menyebabkan tenaga medis yang melakukan malpraktik tersebut harus bertanggung jawab baik secara pidana, perdata maupun administrasi. 46 Adami chazawi membedakan malpraktik menjadi dua bentuk yaitu, malpraktik etik dan malpraktik yuridis, ditinjau dari segi etik profesi dan segi hukum. Setiap malpraktik yuridis sudah pasti malpraktik etik, tetapi tidak semua malpraktik etik merupakan malpraktik yuridis. Berikut ini akan dijelaskan mengenai malpraktik etik dan malpraktik yuridis.10 a. Malpraktik Etik Malpraktik etik adalah perawat melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika perawat. Etika perawat merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku untuk perawat. b. Malpraktik Yuridis Malpraktik yuridis dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu malpraktik pidana, perdata, dan administrasi. Ketiga bentuk malpraktik yuridis tersebut di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Malpraktik Perdata Malpraktik perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya perjanjian (wanprestasi) di dalam transaksi terapi oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau terjadi perbuatan melanggar hukum, sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa: a) Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan. b) Melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan, tetapi terlambat melaksanakannya. 10 Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Bayumedia, Malang, 2007, hlm.14. 47 c) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya. d) Melakukan apa yang menurut kesepakatannya dilakukan. 2) Malpraktik Pidana Malpraktik pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati, atau kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut, misalnya sebagai berikut: a) Malpraktik pidana karena kesenjangan (intensional), seperti kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan dokter kepada perawat yang tidak benar. b) Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis. c) Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi di dalam rongga tubuh pasien. 3) Malpraktik Administrasi 48 Malpraktek administrasi adalah apabila tenaga kesehatan telah melanggar hukum administrasi. Pelanggaran tehadap hukum administrasi tersebut antara lain seperti dokter tidak mempunyai Surat Izin Kerja, Surat Izin Praktek, atau melanggar batas kewenangan tenaga keperawatan. Apabila tenaga perawatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga perawatan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga perawatan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni:11 a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). b. Penyimpangan dari kewajiban (dereliction of duty), yaitu jika seorang perawat melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standar profesinya, maka perawat tersebut dapat dipersalahkan. c. Untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan 11 Ibid., hlm. 16. 49 hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan perawat. Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar operasional dan standar prosedur tindakan medik berarti telah melakukan kesalahan atau kelalaian, yang selain dapat dituntut secara hukum pidana, juga dapat digugat ganti rugi secara perdata dalam hal pasien menderita kerugian. Penuntutan pertanggungjawaban pidana hanya dapat dilakukan jika pasien menderita cacat permanen atau meninggal dunia, sedangkan gugatan secara perdata dapat dilakukan asal pasien menderita kerugian meskipun terjadi kesalahan kecil. C. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, namun demikian belum ada konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para ahli hukum memberikan arti terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang mereka masing-masing. Moeljatno menjelaskan pengertian tindak pidana sebagai berikut:12 “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan disertai ancamam (sanksi) dan menurut wujudnya atau sifat perbuatan perbuatan atau tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum, perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan 12 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 16. 50 terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.” Selanjutnya menurut Lamintang dijelaskan pula bahwa pengertian tindak pidana adalah sebagai berikut:13 “Perkataan tindak pidana atau “straftbaar feit” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “straftbaar feit”. Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim. Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.” Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan 13 P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 2001, hlm.16. 51 pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. 2. Unsur-Unsur Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan 52 ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai seharihari dalam kehidupan masyarakat. Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von Feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:14 a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undangundang. b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Pengertian unsur-unsur tindak pidana hendaklah dibedakan dari pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut di dalam rumusan undang-undang 14 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1998, hlm. 36. 53 (rumusan pasal). Pengertian unsur-unsur tindak pidana lebih luas daripada pengertian unsur-unsur tindak pidana sebagaimana tersebut dalam rumusan undang-undang. Menurut doktrin, unsur-unsur delik terdiri atas unsur subjektif dan unsur objektif, yakni:15 a. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan “tidak ada hukum kalau tidak ada kesalahan” (An act does not make a person guilty unless the mind is guilty or actus not facit reum nisi mens sit rea). Kesalahan di sini yang dimaksud adalah kesalahan yang diakibatkan oleh kesengajaan (intention/opset/dolus) dan kealpaan (negligence or schuld). b. Unsur Objektif Unsur objektif merupakan unsur dari luar pelaku yang terdiri atas: 1) Perbuatan manusia, berupa: a) Act, yakni berupa aktif atau perubahan positif. b) Omission, yakni perubahan pasif atas perubuatan negatif, yaitu perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. 2) Akibat (result) perbuatan manusia. Akibat tersebut membahayakan atau merusak bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan dan kebahagiaan. 3) Keadaan-keadaan (circumstances). Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain: 15 Mohammad Eka Putra, Op. Cit., hlm. 103. 54 a) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan. b) Keadaan setelah perbuatan dilakukan. 4) Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum. Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman. Adapun sikap melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenan dengan larangan atau perintah. Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir (dunia). Menurut Moeljatno, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:16 a. Kelakuan dan akibat. Pada hakekatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsurunsur lahiriah (fakta) oleh perbuatan mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam lahir (dunia). b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan. Van Hamel membagi dalam dua golongan, yaitu yang mengenai diri orang yang melakukan perbuatan dan yang mengenai diluar diri si pelaku. c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana. Sebagai syarat penuntutan untuk mendatangkan sanksi pidana, untuk menuntut supaya pelakunya dijatuhi pidana, diperlukan syarat yang berupa keadaan tambahan. 16 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 69. 55 d. Unsur melawan hukum yang obyektif. Menunjuk kepada keadaan lahir atau objektif yang menyertai perbuatan. e. Unsur melawan hukum yang subyektif. Adakalanya sifat melawan hukumnya perbuatan tidak terletak pada keadaan obyektif, tetapi pada keadaan subyektif, yaitu terletak dalam hati sanubari terdakwa sendiri. Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Sebagaimana ternyata diatas perbuatan tadi sudah demikian wajar sifat melawan hukumnya, sehingga tidak perlu untuk dinyatakan tersendiri. Akhirnya ditekankan, meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat melawan hukum yang subjektif. Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang merupakan unsur atau elemen perbuatan pidana adalah:17 a. Subjek tindak pidana Subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini mudah terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berfikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada wujud hukuman atu pidana yang termuat pada pasal-pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda. 17 Wirjono Prodjodikoro, Op. Cit., hlm.59. 56 b. Perbuatan dari tindak pidana Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat para perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Misalnya dalam tindak pidana mencuri, perbuatannya, dirumuskan sebagai mengambil barang. c. Hubungan sebab akibat Bahwa untuk tindak pidana sebagai unsur pokok harus ada suatu akibat tertentu dari perbuatan si pelaku berupa kerugian atas kepentingan orang lain, menandakan keharusan ada hubungan sebab akibat antara perbuatan si pelaku dan kerugian kepentingan tertentu. d. Sifat melanggar hukum Hukum pidana dengan tindak-tindak pidana yang dirumuskan didalamnya itu, bersumber pada pelanggaran-pelanggaran hukum di bidang-bidang hukum lain. e. Kesalahan pelaku tindak pidana Karena si pelaku adalah seorang manusia, maka hubungan ini adalah mengenai hal kebatinan, yaitu hal kesalahan si pelaku tindak pidana. Dan baru kalau ini tercapai, maka betul-betul ada suatu tindak pidana yang pelakunya dapat dijatuhi hukuman pidana. f. Kesengajaan Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet, bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja. g. Kesengajaan yang bersifat tujuan 57 Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan si pelaku dapat dipertanggungjawabkan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Maka, apabila kesengajaan semacam ini ada pada suatu tindak pidana, tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. h. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan mencapai akibat yang menjadi dasar dari deli, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. i. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan Lain halnya dengan kesengajaan yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, tetapi hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. j. Hubungan antara kesengajaan dengan sifat melanggar hukum Bahwa ada persoalan apakah dalam suatu tindak pidana si pelaku harus tahu bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum pidana. k. Culpa Suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti ke sengaja, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. l. Culpa khusus Adakalanya suatu culpa ditentukan tidak untuk akibat dari tindak pidana, tetapi mengenai hal yang menyertai akibat itu. m. Kelalaian 58 Pada pasal-pasal 247-253 dari perundang-undangan yang dibicarakan hamper semata-mata hal kelalaian. Dalam pasal tersebut, hal kelalaian diperlakukan secara primer, sedangkan hal kesengajaan hanya secara subsidier sebagai hal yang memberatkan hukumannya sampai dua kali lipat. n. Tiada hukuman tanpa kesalahan Pasal-pasal KUHP mengenai tindak-tindak pidana yang masuk golongan kejahatan atau misdridjven termuat dalam buku II KUHP selalu mengandung unsur kesalahan dari pelaku pihak tindak pidana, yaitu kesengajaan atau culpa. o. Unsur-unsur khusus dari tindak-tindak pidana tertentu Tindak pidana yang pada umumnya melekat pada suatu tindak pidana. Disamping unsur-unsur ini, terdapat beberapa unsur khusus yang hanya ada pada pelbagai tindak pidana tertentu. Unsur-unsur tindak pidana di atas barulah dikatakan sebagai peristiwa pidana apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang dinyatakan oleh R. Abdoel Djamali sebagai berikut:18 a. Harus ada suatu perbuatan, yaitu suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang. b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam undangundang, pelakunya telah melakukan suatu kesalahan dan harus dapat mempertanggung jawabkan kesalahannya. 18 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 159. 59 c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan, perbuatan itu memang harus dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar suatu ketentuan hukum. d. Harus berlawanan dengan hukum, artinya suatu perbuatan yang berlawanan dengan hukum dimaksud kalau tindak pidananya nyatanyata bertentangan dengan hukum. e. Harus adanya ancaman hukuman dengan kata lain ketentuan hukum yang dilanggar itu mencantumkan sanksinya. Batasan-batasan di atas telah dikatakan bahwa tidak adanya persamaan pendapat tentang syarat-syarat yang menjadi suatu perbuatan manusia sebagai delik atau tindak pidana, karena di mata hukum semuanya sama maka yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi pidana. 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana Berdasarkan sifatnya secara kuantitatif, Moeljatno menyebutkan didalam KUHP dikenal adanya dua jenis perbuatan pidana (delik), yang terdiri dari:19 a. Kejahatan Istilah kejahatan berasal dari kata jahat, yang artinya sangat tidak baik, sangat buruk, sangat jelek, yang ditumpukan terhadap tabiat dan kelakuan orang. Kejahatan berarti mempunyai sifat yang jahat atau perbuatan yang jahat. Secara yuridis, Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuatan melanggar hukum atau yang dilarang oleh undangundang. 19 Kejahatan, misalnya Moeljatno, Op.Cit., hlm. 2. 60 pencurian (Pasal 362 KUHP) penggelapan (Pasal 378 KUHP), penganiayaan (Pasal 351 KUHP), dan sebagai. b. Pelanggaran Pelanggaran adalah “wetsdelikten”, yaitu perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Pelanggar, misalnya mengemas di tempat umum (Pasal 504 KUHP), mengadakan pesta atau keramaian umum tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 510 KUHP), dan sebagainya. Selain membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, Moeljatno masih menyebutkan pembagian lain dari perbuatan pidana (delik) yang terdiri dari:20 a. Delik dolus dan delik culpa. Delik dolus merupakan delik (perbuatan pidana) yang dilakukan dengan sengaja, sesuai sebagi contoh Pasal 338 KUHP yang merumuskan “dengan sengaja menyebabkan matinya orang lain”. Sedangkan delik culpa merupakan perbuatan pidana yang tidak disengaja atau merupakan kealpaan dan kelalaian, sebagaimana disebutkan didalam Pasal 359 KUHP “barang siapa karena kekhilafannya menyebabkan matinya orang…” b. Delik commissionis dan delik ommisionis. Delik commissionis adalah perbuatan melakukan sesuatu yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya mencuri (Pasal 362), menggelapkan (Pasal 372), menipu (Pasal 378). Delik commisionis pada umumnya terjadi di tempat dan waktu pembuat (dader) 20 Ibid., hlm. 75. 61 mewujudkan segala unsur perbuatan dan unsure pertanggungjawaban pidana. Delik ommisionis yaitu tindak pidana yang berupa perbuatan pasif yakni, tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan. Contoh delik ommisionis terdapat dalam BAB V Pasal 164 KUHP tentang kejahatan terhadap ketertiban umum. c. Delik biasa dan delik kualifisir (dikhususkan). Delik biasa yaitu delik yang mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur memberatkan atau juga mempunyai bentuk pokok yang disertai unsur yang meringankan. Contohnya Pasal 341 KUHP lebih ringan daripada Pasal 342 KUHP, Pasal 338 KUHP lebih ringan daripada Pasal 340 dan 339 KUHP, Pasal 308 KUHP lebih ringan daripada Pasal 305 dan 306 KUHP. Delik berkualifikasi adalah bentuk khusus, mempunyai semua unsur bentuk pokok yang disertai satu atau lebih unsur yang memberatkan. Misalnya pencurian dengan membongkar, penganiayaan yang mengakibatkan kematian, pembunuhan berencana. Dalam Pasal 365 KUHP terhadap Pasal 362 KUHP, Pasal 374 KUHP terhadap Pasal 372 KUHP. d. Delik selesai dan delik berlanjut. Delik selesai yaitu delik yang terdiri atas kelakuan untuk berbuat atau tidak berbuat dan delik telah selesai ketika dilakukan, seperti kejahatan tentang pengahasutan, pembunuhan, pembakaran ataupun Pasal 330 KUHP. Delik berlanjut yaitu delik yang terdiri atas melangsungkan atau membiarkan suatu keadaan yang terlarang, walaupun keadaan itu pada mulanya ditimbulkan untuk sekali perbuatan. Contohnya, terdapat dalam Pasal 221 KUHP tentang 62 menyembunyikan orang jahat, Pasal 333 KUHP tentang meneruskan kemerdekaan orang, Pasal 250 KUHP tentang mempunyai persediaan bahan untuk memalsukan mata uang. D. Pertanggungjawaban Pidana 1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab, menurut Sianturi bilamana pada umumnya:21 a. Keadaan jiwanya. 1) Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (teprair). 2) Tidak cacat dalam pertumbuhan (gaguh, idiot, imbecile dan sebagainya). 3) Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur dan kortes, dan lain sebagainya dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya. 1) Dapat menginsafi hakekat dari tindakannya. 2) Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut. 3) Dapat mempengaruhi ketercelaan dari tindakan tersebut. Lebih jauh, Sianturi menjelaskan bahwa:22 21 S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 249. 22 Ibid., hlm. 250. 63 “Kemampuan bertanggung jawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens), dan kemampuan ‘berfikir’ (verstandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan dalam Pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogens. Untuk terjemahan dari verstandelijke vermogens sengaja digunakan istilah ‘keadaan dan kemampuan jiwa seseorang’. Terjemahan tersebut sesuai dengan perkembangan doktrin yang mengatakan bahwa yang dimaksud seharusnya adalah keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens). Dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang ‘mampu bertanggung jawab’ yang dapat dipidanakan.” Tidak mampu bertanggung jawab adalah ketidaknormalan ‘keadaan’ batin pembuat karena cacat jiwa atau gangguan penyakit sehingga padanya tidak memenuhi persyaratan untuk diperiksa atau tidak karena perbuatannya dalam hal ini seseorang yang dipandang mampu bertanggung jawab jika ditemukan keadaan tersebut. Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ini, Moeljatno menjelaskan bahwa:23 “Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan tindak pidana sebaiknya eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataanya melakukan tindak pidana tersebut”. Menurut Chaerul Huda bahwa:24 23 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 155. 64 “Pertanggungjawaban pidana hanya terjadi setelah sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana dilakukan atas dasar hukum yang tertulis tiada pidana tanpa kesalahan.” Asas yang menyatakan ‘tiada pidana tanpa kesalahan’ ini dijelaskan lebih lanjut oleh Anny Isfandiyarie sebagai berikut:25 “Untuk memidana seseorang, disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal pula asas geen straaf zondeer sculd (tiada pemidanaan tanpa kesalahan). Asas ini merupakan hukum yang tidak tertulis, tetapi berlaku di masyarakat dan juga berlaku dalam KUHP, misalnya Pasal 44 KUHP tidak diberlakukan pemidaan bagi perbuatan yang dilakukan oleh orang yang tidak mampu bertanggung jawab, Pasal 48 KUHP tidak diberikan ancaman bagi pelaku yang memberikan ancaman pidana bagi pelaku yang melakukan pidana karena adanya daya paksa.” Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada pemidanaan sifat melawan hukum atau dan alasan pembenar) untuk itu. Menurut Van Hamel yang dikutip oleh Sianturi menyatakan bahwa:26 24 Chaerul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 20. 25 Anny Isfandiyarie, Op.Cit., hlm. 251. 26 S.R. Sianturi, Op.Cit., hlm. 55. 65 “Pertanggungjawaban adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa tiga macam kemampuan untuk: a. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri. b. Menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat. c. Penuntutan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu, jadi dapat disimpulkan bahwa toekeningsvastbaarheid mengandung pengertian kecakapan.” Suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang bersifat melawan hukum, atau melakukan suatu tindakan yang bersifat melawan hukum tersebut dihapuskan oleh suatu keadaan yang diatur dalam hukum (bukan hanya Undang-undang Hukum Pidana), maka tiada pemidanaan atau petindak tidak dipertanggung jawabakan pidana. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa tiada pemidanaan tanpa unsur bersifat melawan hukum (dari tindakan tersebut). 2. Jenis Pertanggungjawaban Pidana Orang yang mempunyai kesalahan adalah jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna (jelek) perbuatan tersebut dan karenanya dapat bahkan harus menghindari untuk berbuat demikian. Jika begitu tentunya perbuatan tersebut memang sengaja dilakukan. Keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan pidana merupakan masalah kemampuan bertanggung jawab dan menjadi dasar yang penting untuk menentukan 66 adanya kesalahan yang mana jiwa orang yang melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa hingga dapat dikatakan normal, sehat karena orang yang sehat dan normal inilah yang dapat mengatur tingkah lakunya yang sesuai dengan ukuranukuran yang dianggap baik oleh masyarakat. Perlu kita ketahui bahwa inti dari pada pertanggungjawaban itu berupa keadaan jiwa/batin seseorang yang pada saat melakukan perbuatan pidana dalam keadaan sehat. Jadi jelas bahwa untuk adanya bertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa si pembuat mampu bertanggung jawab. Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan Remmelink mendefinisikan:27 “Kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindarinya, berperilaku bertentangan terhadap tuntutan masyarakat hukum untuk tidak melanggar garis yang ditentukan dan menghindari perbuatan yang dicela oleh umum.” Dalam hukum pidana dikenal ada dua jenis teori kesalahan. Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan kelalaian (culpa). a. Kesengajaan (Opzet) 27 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 142. 67 Menurut teori pengetahuan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia tidak mungkin dapat menghendakai suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapakan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan si pembuat, ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia berbuat. Menurut teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:28 1) Kesengajaan yang bersifat tujuan. Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini. 2) Kesengajaan secara keinsyafan kepastian. Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. 3) Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan. 28 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 161. 68 Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai pertanggungjawaban atar perbuatan seseorang yang dilakukan. Perkembangan pemikiran dalam teori itu ternyata juga diikuti dalam praktik peradilan di Indonesia. Di dalam beberapa putusanya, hakim menjatuhkan putusan tidak semata-mata kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain. Jadi dalam praktik peradilan semacam itu sangat mendekati nilai keadilan karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa. b. Kelalaian (Culpa) Undang-undang tidak memberi definisi apakah kelalain itu. Hanya memorie penjelasan (memori van toelichting) mengatakan bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun juga culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu, Hazewinkel Suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan. Arti dari culpa ialah pada umumnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang 69 tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Walaupun pada umumnya delik kelalaian (culpa) di pandang lebih ringan dan oleh karena itu ancaman pidananya juga lebih ringan dari pada yang dilakukan dengan sengaja. Untuk mengancam pidana berat bagi perbuatan kelalain seperti yang tercantum di dalam Pasal 359 KUHP, sebenarnya untuk bertjuan prevensi umum. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk menentukan apakah seseorangn terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannnya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. 70