MUSIK: ANTARA ESTETIKA DAN KOMODITAS Makalah Non Seminar Penulis: Stella Kusumawardhani Pembimbing: Ade Armando Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2013 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 ii Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 iii Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 iv Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 ABSTRAK Pertunjukan seni musik menjadi sebuah pertunjukan yang menonjolkan nilai estetis, namun di sisi lain juga telah mengalami komodifikasi. Industri budaya dan penciptaan budaya massa telah memungkinkan musik tidak lagi menjadi sekadar seni, namun telah menjadi komoditas. Hal ini ditunjukkan dalam fenomena yang ditunjukkan dalam beberapa konser seni musik di Indonesia. Namun dalam hal ini, sebenarnya masih ada pertunjukan musik yang mengutamakan nilai estetika dan kebebasan mencipta dan menikmati karya seni. Di samping itu, seni musik saat ini terus mengalami reduksi dan degradasi yang menghasilkan standarisasi yang cenderung konformis dan fetis, sehingga bukannya membebaskan manusia selayaknya hakikat seni yang sesungguhnya, namun justru menjebak manusia dalam fetisisme komoditas. Adorno dalam Teori Estetikanya menjelaskan tentang seni musik populer yang berbeda dengan seni musik budaya tinggi yang dicontohkan oleh karya-karya musik klasik. Baginya, seni musik yang ideal adalah seni musik yang penuh kebebasan dan mampu melepas keterasingan manusia dari kehidupannya. Penelitian ini mengungkapkan bahwa seni musik, khususnya di Indonesia, telah mengalami komodifikasi dan fetsisime komoditas musik sudah nyata terjadi. Tidak hanya pada musik populer, namun juga pada musik klasik itu sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk melepaskan seni musik dari kepentingan-kepentingan ekonomi dan ideologis dengan mengutamakan nilai estetis dan hakikat seni itu sendiri, yakni untuk liberalisation dan revelation. (Kata kunci: musik klasik; teori estetika; industri budaya; komodifikasi; fetisisme komoditas; musik populer, standardisasi) ABSTRACT Musical art performance has become a show with aesthetical value that in the other hand experiences commodification. Cultural industry and mass cultural producer have allowed music to not only become art, but also commodity. This is shown by the phenomena of several musical concerts in Indonesia. At the same time, musical art these days keeps on experiencing reduction and degradation that result to standardization which tends to be conforming and fetish. Thus, instead of liberating people as what true art does, it leads people to commodity fetishism. Adorno in his Aesthetic Theory explains about popular music art which is different than high cultural art such as classical music artwork. To him, ideal musical art would be the kind of musical art which is liberating and able to release people’s alienation from their life. This research explains that musical art, particularly in Indonesia, has experienced commodification and that commodity fetishism has been seen happening in reality. Not only to popular music, but also to classical music itself. Therefore, efforts to free musical art from economic and ideological interests are needed by implementing its true values which are liberalization and revelation. (Keywords: classical music; aesthetic theory; cultural industry; commodification; commodity fetishism; popular music; standardization) v Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 DAFTAR ISI Halaman Judul …...................................................................................................................... i Halaman Pengesahan …............................................................................................................ ii Lembar Persetujuan Publikasi …............................................................................................. iii Lembar Persetujuan Publikasi Dosen ….................................................................................. iv Abstraksi …............................................................................................................................... v Daftar Isi ….............................................................................................................................. vi LATAR BELAKANG …......................................................................................................... 1 TINJAUAN TEORITIS …..................................................................................................... 3 Pemikiran Adorno tentang Musik …......................................................................................... 3 Teori Estetika dan Budaya Massa …......................................................................................... 4 Fetisisme Komoditas Musik …................................................................................................. 6 METODE PENELITIAN ….................................................................................................. 8 HASIL PENELITIAN …........................................................................................................ 9 Musik Klasik …......................................................................................................................... 9 Pertunjukan Musik Klasik di Indonesia ….............................................................................. 10 PEMBAHASAN …................................................................................................................ 12 Bentuk Standar Pengalaman Musik Klasik …........................................................................ 12 Komoditas Seni Musik …........................................................................................................ 13 KESIMPULAN ….................................................................................................................. 15 SARAN …............................................................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA ….........................................................................................................17 vi Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 LATAR BELAKANG Pada 12 Januari 2007 yang lalu, seorang pemain biola memainkan enam lagu Bach di Metro Station, Washington DC pada waktu rush hour selama 45 menit. Pada saat itu sekitar 2.000 orang berjalan melewati stasiun itu, kebanyakan mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat kerja. Setelah tiga menit bermain, seorang pria paruh baya yang lewat menyadari ada seorang musisi di sana. Ia berjalan dengan pelan lalu berhenti sejenak dan kemudian kembali bergegas mengejar jadwalnya. Setelah empat menit bermain, pemain biola ini menerima dolar pertamanya. Seorang wanita memasukkan uang tersebut ke dalam topi pemain ini yang diletakkan di bawah, lalu tanpa berhenti melanjutkan kembali perjalanannya. Setelah enam menit, seorang pria bersandar ke dinding untuk mendengarkan permainannya sejenak, namun kemudian melihat jam tangannya dan pergi. Setelah 10 menit, bocah berusia sekitar tiga tahun berhenti sejenak untuk mendengarkan, namun ibunya menariknya untuk bergegas pergi. Anak ini melihat ke arah pemain itu lagi, namun ibunya menariknya lebih keras dan anak itu pun kembali berjalan sambil sesekali melihat ke arah pemain itu. Ini juga dilakukan oleh beberapa anak lainnya. Semua orangtua tanpa pengecualian memaksa anaknya untuk bergegas pergi. Setelah 45 menit bermain tanpa henti, hanya enam orang yang benarbenar berhenti sejenak untuk mendengarkan permainan ini. Sekitar 30 orang memberikan uang namun kemudian kembali berjalan dengan kecepatan normal. Pemain ini berhasil mengumpulkan uang sebanyak $ 32,17 (Weingarten, 2007). Tidak ada yang mengetahui ini pada saat itu, tetapi pemain tersebut adalah Joshua Bell, salah satu pemain biola terbaik di dunia. Ia memainkan lagu-lagu yang luar biasa rumit dengan biola senilai $ 3,5 juta dolar. Dua hari sebelum permainan di subway ini, ia konser di salah satu teater di Boston, dimana untuk tiap tiketnya dihargai rata-rata $ 100 dan terjual habis. Penyamaran ini merupakan wujud kerja sama dengan Washington Post untuk melakukan eksperimen mengenai persepsi, selera, dan prioritas masyarakat. Eksperimen ini selengkapnya dapat dibaca pada artikel yang berjudul Pearls Before Breakfast di http://www.washingtonpost.com dengan tajuk ‘Can one of the nation’s great musicians cut through the fog of a D.C. rush hour?’ (Weingarten, 2007). Pertanyaan tentu muncul di benak kita. Bagaimana mungkin orang-orang membayar sejumlah besar uang untuk sebuah konser, sedangkan pertunjukan serupa oleh orang yang sama secara gratis tidak ditonton sama sekali? Kalau begitu apakah yang menjadi alasan orang untuk datang ke pertunjukan konser? Di Indonesia sendiri konser musik sudah sangat populer. Maestro-maestro dunia berkunjung ke Indonesia dengan harga tiket konser yang 1 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 menjulang tinggi. Misalnya saja, konser David Foster yang harga tiketnya mencapai satu juta rupiah untuk kelas Bronze, tiga juta rupiah untuk kelas Silver, lima juta rupiah untuk kelas Gold, tujuh setengah juta rupiah untuk kelas Platinum, lima belas juta rupiah untuk kelas Diamond, dan dua puluh lima juta rupiah untuk kelas Superdiamond. Lebih mengagetkannya lagi, tiket untuk kelas Superdiamond seharga dua puluh lima juta rupiah itu juga terjual habis (Noorastuti dan Junianto, 2010). Selanjutnya, harga tiket konser Andrea Bocelli bahkan lebih mahal lagi. Untuk harga tiket terendahnya saja sudah dua kali lipat harga tiket terendah konser David Foster, dan harga tiket termahalnya sama dengan harga tiket termahal konser David Foster. Harga tiket konser Andrea Bocelli adalah dua juta rupiah untuk kelas Silver, lima juta rupiah untuk kelas Gold, tujuh setengah juta rupiah untuk kelas Platinum B, sebelas juta rupiah untuk kelas Platinum A, dua puluh juta rupiah untuk kelas Diamond B, dan dua puluh lima juta untuk kelas Diamond A (Priyatna, 2011). Bagi orang Indonesia sekarang, harga tiket yang sekian mahal sudah tidak menjadi masalah. Apakah ini karena orang-orang menghargai estetika musik, ataukah karena kita menghargai nilai komoditas musik itu sendiri? 2 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 TINJAUAN TEORITIS PEMIKIRAN ADORNO TENTANG MUSIK Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969) adalah seorang filsuf dari Frankfurt School yang banyak membahas tentang filsafat seni, musik, dan kebudayaan populer yang seringkali bersinggungan dengan kekuatan ekonomi-politik (sebagaimana fenomena yang dijelaskan dalam latar belakang penelitian ini). Bersama Max Horkheimer, Adorno banyak menjelaskan kegagalan modernisme pasca Perang Dunia II terhadap peradaban manusia, dengan mempertanyakan fasisme Nazi di Jerman sebagai produk modernisme yang biadab. Berlandaskan pada pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Engels, keduanya memandang bahwa manusia sudah diatur oleh teknologi dan rasio, yang diklaim sebagai lambang pencerahan (aufklärung). Manusia hasil modernisme tidak lagi bebas menjadi subyek yang otonom. Masyarakat modern telah didominasi dan dimanipulasi oleh kekuataan anonim yang disebut kesadaran teknologis dan semakin tenggelam serta tergantung pada modernitas hingga menghadirkan barbarisme baru, salah satunya kekejaman rezim Nazi (Jay, 2009). Modernisme, bersama industrialisasi dan positivisme yang erat dengan sistem kapitalis, telah menyebabkan keterasingan/alienasi (alienation) dalam hidup manusia, dengan alamnya, dengan orang lain, bahkan dengan dirinya sendiri. Terjadi pemisahan antara subyek manusia dengan obyek yang dikuasainya. Pemisahan ini berdampak pada kehidupan sesama manusia, yang dalam paham Marxisme disebut sebagai reifikasi atau pengobyekan (reification/versachlichung). Manusia modern telah menempatkan alam dan sesama manusia sebagai obyek semata, hingga merasuk pada mentalitas dan jiwa seluruh manusia modern. Timbul kesemuan yang seyogyanya telah mengekang dan menindas kemanusiaan hingga membawanya pada alienasi. Dalam hal ini, Adorno mencoba menawarkan jalan seni, khususnya seni musik klasik, sebagai sarana pembebasan manusia (yang disebutnya sebagai 'high culture'). Masalah yang muncul adalah, musik turut mengalami reifikasi. Pada zaman pramodernisme, manusia menciptakan seni dengan melakukan peniruan terhadap alam (mimesis). Dalam seni musik, manusia meniru suara-suara yang mereka dengar dari alam menjadi nyanyian, dan kemudian alat musik. Manusia dan alam tidak terpisahkan dan tidak saling mengalami keterasingan. Saat itu, manusia belum mengalami alienasi apapun. Dalam hal ini, manusia memiliki otonomi penuh untuk menciptakan seni dan musiknya sendiri. Pengarang/komposer memiliki kuasa atas seni musik yang ingin mereka ciptakan, terlepas 3 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 dari dorongan untuk menguasai alam atau menguasai sesama manusia/pendengar. Musik yang demikian, bagi Adorno, direpresentasikan oleh musik-musik klasik, yang bebas dari reifikasi dan alienasi (Adorno, 2002). Konsep reifikasi berkaitan erat dengan alienasi dan fetisisme komoditas (commodity fethisism). Alienasi merupakan kondisi umum dari keterasingan manusia, sedangkan reifikasi adalah bentuk khusus dari alienasi. Fetisisme komoditas sendiri adalah bentuk khusus dari reifikasi. Musik modern telah dipenuhi dengan fetisisme dan reifikasi yang mengakibatkan alienasi dalam kehidupan manusia. Karya seni (termasuk musik) dapat direproduksi sedemikian rupa. Industrialisasi telah memungkinkan seni diperbanyak dengan mudah. Oleh sebab itu seni menjadi terikat dengan kepentingan industri, yakni kapital. Seni direduksi atas dasar nilai tukarnya, bukan lagi nilai gunanya, atau telah mengalami komodifikasi (commodification). Seni yang awalnya otentik dengan nilai-nilai keindahan (estetika) yang 'membebaskan' manusia, kini diperjualbelikan demi memperoleh keuntungan/laba sebagai komoditas, hingga akhirnya menciptakan fetisisme terhadap seni (musik) di tengah kehidupan manusia modern. TEORI ESTETIKA DAN BUDAYA MASSA Pada tahun 2009, Prof. Martin Hielscher, seorang akademisi di bidang komunikasi, filsafat, dan sastra memberikan kuliah umum mengenai Theodor W. Adorno dan Teori Estetika (Aesthetic Theory) di European Graduate School. Pertama, Hielscher mengatakan bahwa Teori Estetika merupakan salah satu dari hasil pemikiran terbesar Adorno yang dipublikasikan dalam bentuk penggalan-penggalan naskah sebelum ia meninggal pada usia 66 tahun di Swiss. Walaupun teori ini bukan merupakan pemikiran utamanya, tetapi pemikiran ini tetap bertahan hingga sekarang karena menjadi salah satu karyanya yang radikal dan menjelaskan banyak hal dan pemikiran mengenai filsafat seni dan pengalaman estetika. Hielscher melanjutkan bahwa keunikan Adorno dalam membahas Teori Estetika ditunjukkan melalui pendekatannya dengan mencari kebenaran isi atau konten dari karya seni itu sendiri, sehingga menolak relativitas dan subjektivitas dari sebuah estetika (rasa keindahan). Hielscher memandang bahwa dalam kebenarannya, Teori Estetika adalah sebuah filosofi mengenai pengalaman, yaitu mengenai kemungkinan-kemungkinan dari pengalaman dan perasaan empati yang memungkinkan pembebasan dan keringanan dalam dunia administrasi totaliter melalui institusi politik, sosial, beserta struktur kekuasaan yang timbul melalui proses yang disebut dengan industri kebudayaan (cultural industry) (Adorno dalam European Graduate 4 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 School, 2010). Secara menarik, Adorno mengaitkan seni dan industrialisasi dengan fenomena terbesar yang terjadi pada awal abad ke-20, holocaust. Pada era tersebut Adorno melihat adanya proses liberalisation dan revelation, yaitu perasaan ringan dan bebas, yang dialami oleh masyarakat pada masa itu. Holocaust sendiri bukan merupakan keringanan dan pembebasan yang asli, melainkan fetisisme (fethisism)-lah yang menimbulkan keringanan dan pembebasan ini, yang berhasil dikonstruksikan oleh kekuatan totaliter Nazi dan Hitler. Sebagaimana fetisisme terhadap pemerintahan Nazi, hal ini telah menciptakan keringanan dan pembebasan semu. Kekuatan fetisisme ini berhasil memediasikan ideologi secara universal sehingga memungkinkan terjadinya sebuah konformitas dalam masyarakat, dimana masyarakat memandang segala hal seperti alam, manusia, seni, dan keindahan melalui sudut pandang yang sama, atau dalam hal ini disebut sebagai budaya massa (mass culture). Kebudayaan dijelaskan dalam Teori Estetika dengan membaginya pada dua kategori, yakni budaya massa/budaya populer (popular culture) dan budaya tinggi (high culture) yang memiliki karakteristiknya masing-masing. Budaya tinggi diciptakan dan berada di bawah pengawasan para elit budaya yang bertugas untuk menjaga tradisi estetis dari seni dan kebudayaan, dalam hal ini mereka adalah para seniman, komposer musik, dan penikmat seni yang serius. Budaya tinggi memiliki standar estetika yang ketat dan tidak tergantung pada konsumen/penikmat seni secara sembarangan. Sedangkan budaya massa diciptakan mengacu pada pengertian produk budaya semata-mata diperuntukkan demi pasar. Dalam hal ini, pasar menjadi tempat untuk memperjualbelikan seni, yang sarat dengan kepentingan industri yang mengawali alienasi. Orientasi budaya massa tergantung pada trend atau mode yang diminati pasar, sehingga membuatnya menjadi kekuatan tersendiri. Kekuatan tersebut pada masa sekarang dapat kita lihat menjadi sebuah industri kebudayaan, mengatur secara totaliter kehidupan masyarakat industri modern dengan mengarahkan, membentuk, dan mengontrol dunia menuju produk dan gaya hidup yang sama. Ini menciptakan standardized form of experience atau pengalaman yang terstandarisasi, yang dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia. Industri budaya memiliki kontrol yang masif terhadap kebudayaan melalui standar produk hiburan yang mereka konstruksikan. Inilah yang menjadi tolak ukur masyarakat dalam memiliki ‘hidup yang berkualitas’. Ideologi ini mengarahkan masyarakat untuk menentukan pilihan mereka menuju standar tersebut. Demi memperoleh kehidupan yang berkualitas sesuai standar, maka masyarakat terarah pada konsumerisme yang mengorbankan kehidupan mereka pada produk yang sebenarnya memperbudak mereka. Ini adalah bentuk dominasi dari produk industri 5 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 kebudayaan terhadap masyarakat dunia. Masyarakat dijadikan alat oleh industri kebudayaan yang kapitalistik dalam memperoleh keuntungan yang mereka cari. Hal ini disebut dengan reifikasi individu dan sebenarnya justru menurunkan kualitas dari individu-individu dalam masyarakat tersebut. Dr. Jeremy Stangroom dalam bukunya “Little Book of Big Ideas: Philosophy” mengatakan bahwa pada zaman Nazi manusia dijadikan subyek dari reifikasi dan obyek yang didominasi atas nama kontrol sosial dan politik. Fasisme yang terjadi terhadap pemerintah membuat masyarakat menolerir tindakan-tindakan yang biadab bagi masyarakat atau pada masa yang lain. Jika kita bandingkan dengan masa sekarang, maka pelaku reifikasi saat ini digantikan oleh sebuah institusi ekonomi berupa industri budaya. Hal ini tidaklah terjadi atas nama kontrol sosial dan politik, melainkan alami sebagai bagian dari kapitalisme yang terjadi di seluruh dunia. Industri budaya-lah yang mendominasi proses reifikasi dan fetisisme yang mengakibatkan alienasi kehidupan manusia (Strangroom, 2006). FETISISME KOMODITAS MUSIK Fetisisme komoditas adalah upaya yang dilakukan industri secara sistematis untuk menciptakan pemujaan yang keliru terhadap suatu produk industri budaya. Masyarakat tidak lagi memuja produk industri budaya yang secara nyata ada, namun pemujaan tersebut ditujukan pada simbol-simbol yang terkandung dalam produk industri budaya tersebut. Tak lain halnya dengan tujuan masyarakat menonton konser-konser musik yang tidak lagi mencerminkan budaya tinggi itu. Mereka merasakan kenikmatan semu yang bukan berasal dari estetika seni itu sendiri, melainkan dari nilai tukarnya di tengah masyarakat. Penikmat seni musik pun telah mengalami fetisisme, karena menuruti permintaan industri yang telah menempatkan seni musik sebagai komoditas industri budaya. Seni musik dinikmati secara semu dan meninggalkan pemujaannya atas estetika namun sekadar pada nilai tukarnya sebagai komoditas industri budaya. Dalam bukunya Philosophy of New Music, Adorno menulis tentang karakter fetisisme dalam musik dan regresi dalam pendengaran. Hal yang menarik muncul di sini. Mungkin ada yang mempertanyakan mengapa musik dan pendengaran? Apa istimewanya karya seni berupa musik yang didengar dengan telinga dibanding dengan misalnya karya seni berupa gambar atau lukisan yang dilihat dengan mata? Dalam mata kuliah Filsafat Seni dijelaskan bahwa perbedaan dalam melihat dan mendengar adalah: (1) Dalam melihat kita lebih mudah dikenali dan gampang untuk tidak melihat. Jika tidak mau melihat kita dapat menutup rapat mata kita. 6 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 Sementara dalam mendengar, mendengar itu berlangsung terus, bahkan ketika kita tidur. (2) Kita dapat mengontrol apa yang kita lihat, sementara kita tidak dapat mengontrol apa yang kita dengar. (3) Dalam melihat kita bisa memilih per episode, sementara mendengar itu bersifat kontinyu, ada terus dan tidak dapat dihindarkan. (4) Apa yang kita dilihat bersifat menetap (stillness), sementara dengan musik dunia bersifat tidak permanen, berubah tanpa henti. Pergerakan, perubahan merupakan sesuatu yang penting dalam musik (Adorno, 2006). Selanjutnya dalam buku Philosophy of New Music (2006) tersebut, Robert HullotKentor sebagai penerjemah dan editor buku tersebut dalam bagian kata pengantar menambahkan bahwa karena memori musikal itu sangat mendalam dan berupa paksaan, maka ia merupakan proses yang sangat sukar untuk dihindari pada memori manusia. Memori musikal itu merupakan suatu refleks primordial. Gendang telinga sangat sensitif, tidak menolerir not yang salah sedikitpun dan meresap sangat baik pada ingatan. “I still hear” merupakan kalimat yang sangat singkat dan komprehensif untuk menggambarkan betapa musik itu menempel kuat di memori kita dan terus terkultivasi di kepala kita. Jika kita ingat pada saat natal, lagu natal dinyanyikan di mana-mana. Di gereja, di rumah, hingga di jalan-jalan. Namun setelah itu, tanpa kita sadari, beberapa bulan kemudian kita dapat saja mandi atau membersihkan rumah sambil menyanyikan lagu natal, padahal saat itu sudah bukan natal lagi. Lebih lagi, kita menyanyikannya secara tidak sadar. Ini menunjukkan bahwa “I still hear the christmas song in my head”. Fenomena ini dikembangkan lagi dengan kemajuan teknologi sehingga pengaruhnya lebih luas dan lebih intens. Dahulu lagu-lagu swing atau jazz hanya dapat didengarkan di jukebox. Dengan lahirnya MTV, musik-musik yang hanya dapat didengarkan di restoran tersebut kini dapat didengarkan di seluruh dunia melalui MTV. Pengaruh musik semakin merambah luas. Kebutuhan muncul untuk mereproduksi apa yang telah didengar sehingga memunculkan kecenderungan terhadap kebutuhan materiil. Dari sinilah munculnya kebutuhan komersial terhadap musik. Adorno (2006) tentu saja tidak setuju terhadap hal ini karena kolonialisasi memori musikal dimanfaatkan untuk tujuan yang mengurangi pengalaman musik pendengar sebenarnya. Pertanyaan muncul mengenai kualitas musik, mana yang baik dan mana yang buruk. Adorno sebagai filsuf yang juga merupakan seorang musikolog dengan spesialisasi yang cukup berimbang antara pertimbangan filosofis dan pertimbangan musikalnya, memiliki pendapat sendiri. Ia dikatakan sebagai filsuf pertama sejak Pythagoras yang memiliki sesuatu yang baru untuk dikatakan mengenai musik. Ia berpendapat bahwa perkembangan musik itu seharusnya berasal dari perkembangan komposisinya secara intelektual yang dapat memberi 7 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 pengalaman bagi pendengarnya untuk kembali pada alam, bukan berdasarkan perkembangan pasar terhadap musik seperti apa yang diminta oleh pasar untuk kepentingan material. Hal ini merupakan kesadaran musik palsu, di mana musik menjadi kitsch atau avant-garde, musik dikuasai oleh keuntungan di atas seni, serta kehilangan maknanya atau yang disebut dengan “art for the sake of art”. Berkembang dengan mengikuti perkembangan pasar, maka musik telah teralienasi dari kehidupan manusia. Musik menjadi alat bagi industri kebudayaan untuk dikomersialisasikan secara massal demi kepentingan kapitalis mereka yaitu memperoleh keuntungan. 8 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan berdasarkan paradigma kritis dan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah melalui studi literatur yang mendalam pada teori-teori yang berkaitan, beserta metode kajian dan analisis data sekunder yang didapat melalui buku-buku referensi dan jurnal-jurnal penelitian sebelumnya. Selain itu, peneliti juga mengakses informasi mengenai fenomena yang dibahas melalui pemberitaan di internet yang berkaitan langsung dengan topik pembahasan. Untuk mencapai hasil analisis yang komprehensif, maka peneliti turut mempelajari dan mengamati kenyataan yang terjadi dalam dunia musik saat ini, khususnya di Indonesia. 9 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 HASIL PENELITIAN MUSIK KLASIK Adorno adalah seorang pemusik, sekaligus penggemar karya-karya Beethoven, seorang komposer musik klasik legendaris. Baginya, Beethoven secara komposisional menjembatani musik gaya pertengahan selama awal abad ke-19. Komposisi musik Beethoven mampu mengejawantahkan 'krisis' modernitas saat itu—menghancurkan batasan antara subyek dan obyek, antara individu dan masyarakat. Beethoven tidak mengakomodasi identitas borjuis di era tahun 1789 atau 1800-an. Beethoven justru tidak memedulikan itu, menjauh dari kekuatan yang menyebabkan konformitas di antara pada komposer (Adorno, 2002:65). Beethoven dipandang Adorno sebagai subyek musik yang otonom secara penuh terhadap karya-karya seninya yang berkualitas. Beethoven telah memenuhi 'fungsi sejati dari seni', menawarkan struktur yang jauh berbeda untuk melawan seni-seni yang semu (Adorno, 1974:15 dalam DeNora, 2003). Sedangkan dalam esai “Bach Defended Against His Devotees”, Adorno mencoba menyelamatkan reputasi Bach, seorang komposer musik klasik legendaris lainnya, dari reputasi sebagai komposer 'antik'. Adorno menempatkan Bach sebagai lawan dari modernisme musikal, 'orang pertama yang mengkristalkan ide karya yang disusun secara rasional mengenai dominasi estetika dan alam (Adorno, 1981:139 dalam DeNora, 2003). Dalam hal ini, saat kita berhenti berjalan di stasiun Metro pada 12 Januari 2007 pagi hari untuk mendengarkan alunan musik yang dimainkan Joshua Bell, itulah estetika yang sebenarnya. Perasaan ringan dan bebas (revelation and liberalisation) yang kita dapatkan dari menikmati keindahan dari alunan musik tersebut merupakan keindahan ideal yang dimaksudkan oleh Adorno. Namun pada kenyataannya tidak banyak yang merasakan pengalaman ini. Lebih dari menikmati keindahan ini tanpa melakukan pengorbanan materi, orang menikmati keindahan dengan pengorbanan materi pada setting-an yang berbeda. Orang lebih merasakan keindahan ini dalam setting-an yang telah terstandarisasi, yaitu pada konser. Namun perlu dikritisi, apakah preferensi kepada konser ini merupakan pilihan sadar mereka yang rasional atau itu hanyalah merupakan kesadaran musik palsu akibat konstruksi dari industri budaya yang ada. Konser telah menjadi tren secara global sebagai konteks di mana orang mendapatkan pengalaman untuk mendengarkan musik secara langsung. Tidak cukup untuk hanya mendengar atau menonton dari rekaman saja karena hasil reproduksi karya musik dilihat 10 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 menurunkan nilai dari musik itu sendiri. Karena itu konser menjadi ajang mendapatkan pengalaman untuk menikmati musik secara langsung. PERTUNJUKAN MUSIK KLASIK DI INDONESIA Pertunjukan musik klasik di Indonesia sendiri telah ada sejak zaman pra-kemerdekaan. Saat itu, pertunjukan musik klasik diselenggarakan secara sederhana, paling tidak kepada orang-orang Eropa di Indonesia, namun tanpa mengurangi makna dan hakikatnya sebagai pertunjukan seni asli. Pada perkembangannya, musisi-musisi yang berkiprah dahulu memiliki kualitas yang sangat baik. Misalnya, sekitar tahun 1960-an, pertunjukan musik klasik di Indonesia diramaikan oleh konser-konser musik klasik para musisi Indonesia bereputasi internasional seperti pianis Iravati M. Sudiarso dan mezzosoprano Catharina W. Leimena. Walau intensitas pertunjukan musik klasik terhitung langka, namun pada setiap pertunjukkannya, para musisi musik klasik menampilkan karya-karyanya secara konsisten berdasarkan partitur dan standarisasi yang ada. Contohnya, tidak menggunakan pengeras suara atau sound-system modern yang justru dianggap merusak bunyi-bunyi alat musik yang dimainkan. Karya-karya Beethoven, Mozart, Schumann, Chopin, maupun Liszt dibawakan kembali dengan mempertahankan esensi seninya masing-masing. Karya-karya komponis musik klasik Indonesia seperti Slamet Abdul Syukur, Jazeed Djamin, dan Trisutji Kamal pun dibawakan layaknya musik klasik 'yang membebaskan' itu, di gedung-gedung kesenian seperti Graha Bhakti Budaya, Gedung Kesenian Jakarta, atau pusat-pusat kebudayaan asing seperti Erasmus Haus dan auditorium CCF, dengan harga tiket yang tidak terlalu mahal. Format pertunjukan musik klasik banyak yang ditampilkan melalui pertunjukan atau konser orkestra. Format musik orkestra, bagi para komposer musik klasik, bukanlah sekadar membuat komposisi musik tanpa makna. Komposer justru dapat menuangkan segala inspirasi dan ekspresi seninya secara bebas melalui karya-karyanya. Dengan menggunakan orkestra sebagai wahana ekspresi inilah yang menjadi jiwa dari musik klasik. Berkaitan dengan beberapa orkestra yang banyak bermunculan akhir-akhir ini, tujuan dari pertunjukan seni musik klasik sendiri semakin beragam. Selain digunakan sebagai medium ekspresi dan kreasi yang bebas, beberapa orkestra di Indonesia juga memiliki tujuan untuk melakukan reproduksi karya seni ke masyarakat, sehingga memberikan ruang bagi masyarakat luas untuk berperan dalam perkembangan karya seni dan musik klasik Indonesia. Hal ini menyebabkan pertunjukan musik klasik menjadi lebih 'populer', dengan menampilkan musik-musik populer yang diaransemen dalam format musik orkestra, atau sebaliknya, karya11 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 karya musik klasik diaransemen menjadi karya musik 'pop'. Hal ini seringkali menunjukkan inkonsistensi orkestra dan musik klasik terhadap esensi-esensi keseniannya sendiri. Pertunjukan musik klasik telah dipaksakan oleh keinginan pendengar (pasar) dan industri budaya di sekitarnya, tak terkecuali di Indonesia. Musik klasik harus berkompromi dengan gaya-gaya musik populer yang ditempatkan Adorno sebagai 'budaya rendah' (low culture). Tuntutan-tuntutan ekonomi (permintaan sponsor, pendengar, dan sebagainya) membuat musisi musik klasik tidak bebas untuk berekspresi, hingga akhirnya karya-karyanya menjadi komoditas semata. Format konser, yang tidak jauh berbeda dengan format orkestra, juga telah melakukan reproduksi karya klasik secara berlebihan. Individu-individu yang terlibat memiliki kesempatan yang sempit untuk mengaktualisasikan jiwa seninya secara bebas dan otonom, layaknya subyek seni sejati. Pertunjukan musik klasik telah mengalami komodifikasi, dengan menjual nilai tukar dari pertunjukan musik klasik itu sendiri, bukannya mengutamakan estetika dan kebebasan subyek-subyek seninya. Hal ini secara nyata telah mereduksi, atau bahkan mendegradasi kualitas dan esensi dari musik klasik yang ditampilkan. Ini juga berdampak langsung pada berubahnya tujuan awal para penikmat/pendengar musik dalam menikmati/mendengarkan musik klasik yang sejati, contohnya seperti konser Andre Bocelli dan David Foster barusan. 12 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 PEMBAHASAN BENTUK STANDAR PENGALAMAN MUSIK KLASIK Pemahaman mengenai arti pertunjukan musik klasik atau konser musik klasik sudah mengalami pergeseran, dimana konser menjadi satu-satunya ajang untuk mendapatkan pengalaman ini. Jika tidak dalam sebuah konser, maka suatu pengalaman tidak diakui sah. Jika tidak dalam sebuah konser, maka suatu pengalaman tidak diakui indah. Dengan adanya pemahaman ini, maka telah terbentuk sebuah standardized form of experience atau yang diartikan sebagai bentuk pengalaman yang telah terstandarisasi. Pengalaman dalam menikmati keindahan musik telah terstandarisasi dalam bentuk kehadiran dalam konser. Standar ini tidak hanya diakui oleh segelintir kelompok masyarakat saja. Standar ini telah diakui secara masal, di mana masyarakat dunia telah menjadi konformis pada pemahaman ini sehingga menciptakan ideologi yang universal. Industri budaya telah memiliki kontrol global terhadap standar bentuk pengalaman masyarakat dunia. Industri budaya berhasil membuat masyarakat dunia percaya bahwa jika mereka ingin menikmati keindahan dari musik, merasakan keringanan dan kebebasan dari keindahan musik, maka mereka harus datang ke konser. Konser ini membutuhkan biaya. Namun demi mendapatkan pengalaman tersebut, masyarakat ini rela untuk melakukan pengorbanan materiil dalam bentuk mengeluarkan biaya tersebut. Dengan melakukan pengorbanan untuk mendapatkan pengalaman tersebut, maka seseorang telah melakukan reifikasi terhadap dirinya sendiri. Mereka mengurangi nilai dari diri mereka sendiri untuk suatu ideologi yang ditanamkan oleh industri budaya. Lagi-lagi, masyarakat terjebak dalam cengkeraman kapitalisme. Kapitalisme mereifikasi manusia untuk melakukan konsumsi demi mendapatkan estetika. Estetika berdasarkan konsumerisme ini merupakan konsumsi yang kitsch atau avant-garde. Hal ini terjadi saat materii atau keuntungan dari konsumsi tersebut menjadi lebih penting dari seni itu sendiri. Keuntungan di atas estetika. Dari sinilah muncul istilah ‘art for the sake of art’. Seni tidak diciptakan untuk memberikan pengalaman estetika. Seni hanya diciptikan untuk menghasilkan produk seni karena akan dapat dikomodifikasi untuk memancing konsumsi masyarakat. Praktis ‘art for the sake of art’ ini tidak hanya dilakukan oleh pelaku dari pihak industri budaya saja. Masyarakat yang terjebak dalam ideologi ini justru terkadang memanfaatkan standar tersebut untuk kepentingan pribadi, misalnya pengakuan dari orang lain. Dengan adanya standar ini, maka ditemukan formulasi bahwa orang yang pergi ke 13 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 konser sama dengan orang yang mendapatkan pengalaman menikmati keindahan musik. Padahal, orang tidak selalu pergi ke konser karena dia menikmati musik tersebut atau memang mencari pengalaman musik tersebut. Bagi beberapa orang ini hanyalah berupa gaya hidup di mana pergi ke konser merupakan sebuah rutinitas. Konser bahkan dapat dijadikan kendaraan untuk menaikkan status sosial di mana berdasarkan kesadaran musik palsu yang ada, selama tidak mendengar dari hasil reproduksi berupa rekaman, selama itu adalah pergi ke konser, maka seseorang telah mendapatkan pengalaman estetika lebih dan memiliki nilai seni lebih. Ini bukanlah estetika yang Adorno maksudkan. KOMODITAS SENI MUSIK KLASIK Mengambil contoh analisis musik klasik Alban Berg dan Arnold Schoenberg yang dilakukan oleh Adorno, bahwa karya-karya musik populer telah menjadi barang dagangan semata (komoditas) yang dimanipulasi oleh kepentingan pasar (industri) semata demi tujuan ekonomi dan kepentingan ideologis para pemilik modal. Karya seni 'populer' telah tereduksi berdasarkan nilai tukarnya di pasaran. Aura seni hilang dan daya pendengaran masyarakat terus menurun. Masyarakat menjadi pasif dan afirmatif terhadap segala yang didengarnya tanpa adanya suatu daya kritis dalam mendengarkan musik populer. Berbeda dengan musik klasik yang dianggap Adorno diciptakan bukan atas dasar selera pasar. Musik klasik diciptakan murni berdasarkan kebebasan dan kreativitas pengarangya. Komponis seni musik klasik harus mampu menyelami perasaan sekaligus mengangkat kesadaran baru atas realitas. Musik klasik jauh dari standarisasi yang dibentuk oleh sikap konformis pasar/industri sehingga mampu mengatasi kecenderungan fetisisme komoditas yang melingkupi sekitarnya. Masalahnya, seni musik klasik itu sendiri telah mengalami komodifikasi, yang menyebabkan degradasi. Hal ini ditunjukkan pada kasus yang diambil dalam penelitian ini, yakni konser Andrea Bocelli dan David Foster di Indonesia, yang digelar lebih kepada jualbelinya di hadapan pasar penikmat musik klasik di Indonesia. Walau mungkin komponis musik klasik Andrea Bocelli maupun David Foster bebas dalam mengarang karyanya, namun permainan musiknya (pertunjukan/konser) tidaklah bebas dari tuntutan-tuntutan ekonomi. Pertunjukan seni musik klasik yang demikian bukannya membebaskan para penikmat/pendengar musik klasik, akan tetapi justru menjebaknya pada fetisisme komoditas. Musik klasik pun telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan dipuja-puja secara tidak benar. Estetika musik klasik telah dipinggirkan, dan digantikan oleh kegandrungan yang berlebihan pada kenikmatan semu dari musik klasik yang telah mengalami komodifikasi. 14 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 MUSIK IDEAL Adorno dalam estetika musiknya telah menjabarkan analisis teknis tentang strukturstruktur musik secara teliti. Berdasarkan analisisnya, Adorno mampu menunjukkan hakikat seni musik yang sesugguhnya; tidak dimanipulasi, tidak menjadi komoditas yang diperjualbelikan, dan membebaskan—berbeda dengan musik-musik populer yang baginya adalah sampah. Karya musik Beethoven, Bach, Berg, dan Schoenberg dianggapnya sebagai seni musik yang ideal. Misalnya, bagi Berg dalam ulasan Adorno, kualitas karyanya bukanlah bentuk komposisi yang teratur atau sudah dibakukan. Musik Berg maupun Schoenberg sebenarnya bukanlah seni musik yang mudah dicerna. Dalam hal ini, Schoenberg dianggap Adorno sebagai sosok paling progresif dalam seni musik klasik yang modern/kontemporer. Karyakarya seninya menggambarkan spirit perubahan dan abstraksi yang memerlukan penghayatan dalam menikmatinya. Ia mengabaikan urutan formal dalam musiknya, dengan gaya bermusik yang revolusioner dan tidak disukai orang-orang di masanya. Oleh sebab itu, karya musiknya melawan pasar. Hal ini berangkat dari maksud kebebasan seni yang lepas dari kepentingan pasar/industri. Dalam hal ini, Adorno mempertegas hakikat musik ideal yang dicita-citakannya menjadi musik yang didengarkan oleh masyarakat, sebagaimana Adorno ingin tunjukkan melalui analisisnya pada musik Berg dan Schoenberg. Musik yang ideal adalah musik yang otonom, tidak dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi dan ideologis yang mereduksi nilai estetika musik, dan memungkinkan para pendengarnya tampil kritis dalam membaca realitas dengan segala dinamika kehidupan manusia. Musik yang ideal mampu membebaskan pengarangnya dalam berkarya, sekaligus para pendengarnya dalam menikmati seni. Musik ideal haruslah mampu melawan kemapanan dan konformitas yang diakibatkan oleh fetisisme komoditas, tampil progresif dan menyuarakan pembebasan dalam masyarakat. Justru di sinilah nilai estetika musik diutamakan, dengan membuat pendengarnya aktif dalam mencerna musik itu sendiri, sekaligus menyediakan pembebasan dan peringanan dalam kehidupannya. Paling tidak, pertunjukan musik yang ideal telah ditampilkan pula oleh Joshua Bell, yang memainkan musik klasik karya-karya Bach tanpa memedulikan keinginan dari para pendengarnya. Joshua Bell dalam hal ini memiliki kebebasan penuh untuk bermusik, dan di tengah kesibukan masyarakat, orang-orang yang menikmati musiknya secara spontan, walau hanya sejenaklah yang benar-benar merasai musik sebagai karya seni yang estetis. 15 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 KESIMPULAN Jadi apakah musik sekarang masih memiliki estetika? Atau apakah musik sekarang hanyalah komoditas yang dimanfaatkan oleh industri budaya? Jawabannya bisa berbeda untuk tiap kasus. Bagaikan satu keping mata uang, di satu sisi musik akan selalu memiliki nilai estetika bagi orang-orang yang mendapatkan rasa ringan dan bebas saat mendengarnya. Namun di sisi lain, kita tidak pernah tahu apakah keringanan dan kebebasan yang ia rasakan tersebut berasal dari estetika murni, atau hanyalah berupa kesadaran musik palsu hasil konstruksi industri budaya semata. Namun yang terpenting, kita harus bersikap kritis terhadapnya. 16 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 SARAN Seni musik sudah semestinya terbebas dari segala bentuk pengekangan, baik dari kepentingan ekonomi dan ideologis yang justru mereduksi, atau bahkan mendegradasi nilai estetika atau hakikat seni musik itu sendiri. Pertunjukan-pertunjukan musik, khususnya musik klasik harus tampil sebagai upaya untuk membebaskan kehidupan manusia dari segala bentuk fetisisme, komodifikasi, maupun alienasi. Oleh sebab itu, konser-konser musik yang menuntut harga tiket menonton yang sangat tinggi harusnya tidak diperlukan, karena ini secara langsung telah menjebak para penikmat/pendengar musik klasik ke dalam fetisisme komoditas musik itu sendiri. Para penikmat/pendengar juga perlu secara kritis mencerna dan menanggapi karya seni musik yang didengarnya. Pada hakikatnya, seni musik harus dikembalikan kepada esensi awalnya sebagai karya yang estetis dan membebaskan. 17 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014 DAFTAR PUSTAKA Adorno, T. W. (2006). Philosophy of New Music. Minnesota: University of Minnesota Press. Budiarto, C. Teguh. (2001). Musik Modern dan Ideologi Pasar. Yogyakarta: Tarawang Press. DeNora, Tia. (2003). After Adorno Rethinking Music Sociology. Cambridge: Cambdirge University Press. European Graduate School. (2010, March 6). Martin Hielscher. Adorno and Aesthetic Theory. 2009 1/7. Retrieved 6 2, 2011, from YouTube: http://www.youtube.com/watch?v=JS3Y0rSCAlI. Jay, M. (2005). Sejarah Mazhab Franfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis. terj, Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Kul-want, C., & Piero. (2001). Introducing Aesthetics: A Graphic Guide. London: Gutenberg Press. Noorastuti, P. T., & Junianto, B. (2010, Oktober 22). Showbiz: Termahal, Tiket Konser David Foster Ludes. Retrieved 6 2, 2011, from Viva News: http://showbiz.vivanews.com/news/read/184465-tiket-termahal-konser-david-fostersold-out. Priyatna, E. (2011, May 13). Hiburan: Konser Andrea Bocelli di Jakarta sebagai Pertunjukan Termahal di Indonesia saat Ini. Retrieved 6 2, 2011, from Kompasiana: http://hiburan.kompasiana.com/musik/2011/05/13/konser-andrea-bocelli-di-jakartasebagai-pertunjukan-termahal-di-indonesia-saat-ini/. Sim, S., & Loom, B. v. (2001). Introducing Critical Theory: A Graphic Guide. London: Gutenberg Press. Strangroom, D. J. (2006). Little Book of Big Ideas: Philosophy. London: A & C Black Publishers. Weingarten, G. (2007, April 8). Print Edition: Washington Post Magazine: Pearls Before Breakfast. Retrieved 11 11, 2012, from Washington Post: http://www.washingtonpost.com/wpdyn/content/article/2007/04/04/AR2007040401721.html. 18 Musik : antara ..., Stella Kusumawardhani, 2014