Pro_2011_FPBS_Agus_Telaah Persuasif Alquran

advertisement
1
TELAAH PERSUASIF ALQURAN
H.Agus Salam
Prodi Bahasa Arab FPBS UPI,
Phone. 081321003921,
[email protected]
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
2
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW mengandung ajaran
yang komprehensif, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Islam
membimbing manusia menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Banyak pakar
mengungkapkan bahwa Al-Qur'an merupakan ideasional dari intisari Islam yang
tertulis dalam bahasa Arab yang mulia. Al-Qur'an antara lain berisi prinsip-prinsip
agama, etika, dan hukum yang mengatur kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
dan tatanan sosial. Bagian dari intisari tersebut mengatur hubungan antarmanusia
dalam prinsip-prinsip keadilan dan persamaan bagi semua.
Al-Qur'an tidak memperlakukan materi subjeknya secara sistematis,
karena hal ini merupakan salah satu bentuk keunikannya. Di dalamnya
mengandung prinsip-prinsip, perintah dan larangan yang bertebaran seperti
rangkaian mutiara yang terlepas. Penyusunan surat-suratnya dan ayat-ayatnya
dalam surat-suratnya tidak dimaksudkan untuk memberikan Al-Qur'an struktur
topikal. Ia tidak bersifat berkembang bentuk-bentuk verbal ayatnya, tetapi AlQur'an disusun dari rangkaian kelompok ayat, yang setiap kelompok membahas
topik yang berbeda dan membentuk kesatuan yang sempurna meski hanya satu
atau dua baris. Di samping itu Al-Qur'an juga merupakan pintu untuk melihat
yang samawi dan Ilahiyah, ruang tak terbatas dari nilai-nilai dan prinsip yang
membentuk kehendak Ilahiah.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
3
Agar bisa memahami al-Qur’an secara komprehensif, ada beberapa catatan
yang perlu disampaikan di sini.
Pertama, yang disebut al-Qur’an itu ialah keseluruhan ayat-ayat dan suratsuratnya. Satu ayat dengan ayat yang lain tidak bisa dipisah-pisahkan
pengertiannya. Karena satu ayat dengan ayat lain, satu surat dengan surat yang
lain, membentuk satu bangunan pengertian yang holistik dan kokoh. “Dan
sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar kebenaran yang meyakinkan.” (Q.S
69:51)
Kedua, antara satu ayat dengan ayat yang lain saling menjelaskan. Karenanya alQur’an sendiri menyebut dirinya sebagai bayān (penjelasan), ɦudān (petunjuk),
dan mau’izhah (pelajaran), baik terhadap dirinya sendiri ataupun terhadap seluruh
realitas kehidupan. Adalah suatu hal yang ganjil apabila al-Qur’an mampu
menjelaskan seluk-beluk alam semesta mulai dari penciptaannya pertama kali
sampai kehancurannya kelak, tetapi tidak mampu memberi penjelasan terhadap
dirinya sendiri. Penjelasan di sini bisa bermakna membuat defenisi (ta’rif),
membangun argumentasi (hujjah), ataupun mendemonstrasikan bukti-bukti
rasional (burhan). Penjelasan juga bisa bermakna deskripsi (taushil), persuasi
(iqna’) dan ekspresi (ta’bir).
Pada saat membangun argumentasi (hujjah), deskripsi al-Qura’an kadang
mengambil analogi (khusus ke khusus, tamtsil), atau memperluas makna (khusus
ke umum, istiqra’) atau mempersempit makna (dari umum ke khusus, qiyas—
dalam pengertian mantiq atau ilmu logika). Maka dalam kaitan ini, satu ayat tidak
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
4
bisa dipisahkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Juga tidak bisa
memisahkan antara satu ayat di suatu surat dengan ayat lain di surat yang lain.
“(Al Qur'an) ini adalah penjelasan (bayān) bagi seluruh manusia, dan
petunjuk (ɦudān) serta pelajaran (mau’izhah) bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS 3:138).
Ketiga, karena ayat-ayat dan surat-suratnya membentuk satu bangunan pengertian
yang kokoh maka tentu tidak mungkin terjadi kontradiksi-kontradiksi diantara
ayat-ayat dan surat-surat tersebut.
“Maka apakah mereka tidak mencermati Al Qur'an? (Bahwa) kalau sekiranya Al
Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya.” ( QS 4:82)
Jika
dikaji
menggunakan
pendekatan
ilmu
komunikasi,
Al-Quran
mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip komunikasi persuasif. Sinyalemen
tersebut memerlukan pengamatan secara seksama dan interpretasi dengan
perspektif ilmu sosial khususnya komunikasi. Begitu pula hadits Nabi Muhammad
SAW memuat prinsip-prinsip komunikasi. Term tersebut di dalam konteks Agama
Islam dapat pula dipahami dan dikategorikan sebagai bagian dari ilmu dakwah.
Karakteristik
komunikasi
persuasif
sendiri
ditandai
dengan
unsur
membujuk, mengajak, mempengaruhi dan meyakinkan, jika dilihat dari perspektif
Islam dapat dikategorikan pada dakwah Islam. Unsur-unsur yang terkandung
dalam komunikasi persuasif menjadi dasar kegiatan dakwah karena dakwah secara
etimologis berarti mengajak atau menyeru. Dakwah merupakan bagian dari tugas
setiap muslim, dalam beberapa ayat Al-Quran disebutkan bahwa dakwah menuju
jalan Allah SWT hukumnya wajib. Kewajiban ini didasari perintah melaksanakan
dakwah disampaikan dalam bentuk fiil amr, yaitu perintah secara langsung
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
5
sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nahl ayat 125. Dakwah yang
dimaksud dalam konteks yang relevan dengan komunikasi persuasif adalah
dakwah billisan atau dakwah dengan menggunakan kata-kata atau lebih dikenal
dengan tabligh.
Surat An-Nahl ayat 125 mengandung pengertian bahwa dakwah merupakan
proses berperilaku ke-Islaman yang melibatkan unsur da’i, pesan, uslub (metode),
wasilah (media), mad’u (yang didakwahi), dan tujuan. Perilaku ke-Islaman itu,
dari segi bentuknya antara lain berupa irsyad, (internalisasi dan bimbingan),
tabligh (transmisi dan penyebarluasan), tadbir (rekayasa daya manusia), tatwir
(pengembangan kehidupan muslim) dan aspek-aspek kultur universal. Penjelasan
Al-Quran yang diturunkan melalui istinbath (berpikir deduktif) menjadi teori
utama ilmu dakwah. Adapun definisi dari ragam bentuk prilaku keIslaman
termaksud yaitu :
1. Tabligh merupakan suatu penyebarluasan ajaran Islam yang memiliki ciriciri tertentu. Ia bersifat massal, seremonial, bahkan kolosal. Ia terbuka bagi
beragam agregat sosial dari berbagai kategori. Ini berhubungan dengan
peristiwa penting dalam kehidupan manusia secara individual atau
kolektif. Ia berkaitan degan sponsorship, perseorangan, keluarga, satuan
jamaah atau instansi.
2. Irsyad adalah bimbingan dan penyuluhan, yaitu proses internalisasi,
transmisi, dan transformasi, ajaran Islam dalam konteks dakwah nafsiyah,
fardhaiyah, dan fiahyang berasumber pada Al-Quran, Sunnah, dan ijtihad
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
6
untuk mewujudkan kebenaran, keadilan dan menegakkan khittah
kemanusiaan muslim dalam kenyataan kehidupan.
3. Tathwir
atau
pengembangan
masyarakat
diidentifikasi
sebagai
penyebarluasan aajran Islam dalam bentuk aksi sosial. Ia merupakan satu
bentuk pengorganisasian potensi sosial yang diarahkan pada sustu kondisi
tertentu, dengan mengacu kepada kondisi tertentu da npada aspek-aspek
yang normatifyang bersifat kondisional.
4. Tadbir atau manajemen dakwah merupakan penataan penyebarluasan
ajaran Islam dengan menggunakan prinsip dan komponen manajemen
secara umum. Intinya menggerakkan berbagai komponen dalam suatu
jalinan kerja sama yang diorganisasikan.
Hakikat ilmu dakwah dapat dirumuskan sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan yang berasal dari Allah yang dikembangkan umat Islam yang
sistematis dan terorganisir yang membahas sesuatu yang ditimbulkan dalam
interaksi antar unsur dalam sistem yang melaksanakan kewajiban dakwah dengan
maksud memperoleh pemahaman yang tepat mengenai kenyataan dakwah
sehingga akan dapat memperoleh susunan yang bermanfaat bagi penegakkan
tugas dakwah dan khilafah umat manusia.
Adapun
fungsi
ilmu
dakwah
Menurut
Sambas
adalah
(a)
Mentransformasikan dan menjadi manhaj (kaifiyah) untuk mewujudkan ajaran
Islam menjadi tatanan khairu ummah, (b) mentransformasikan iman menjadi amal
shaleh jamaah; (c) membangun dan mengembalikan manusia pada keadaan fitri,
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
7
meluruskan tujuan hidup manusia, meneguhkan fungsi khilafah manusia meurut
Al-Quran dan Sunnah. Oleh karena itu ilmu dakwah dapat dipandang sebagai ilmu
perjuangan umat Islam dan ilmu rekayasa masa depan umat dan peradaban Islam.
Mengacu pada latar belakang pemikiran tersebut, makalah ini mencoba
untuk mengkaji tentang Bahasa Persuasif Al-Qur’an Tentang Pendidikan (Studi
Kasus Kisah Lukmanul Hakim dalam Al-Qur’an).
Besar harapan makalah ini memberikan sumbangsih yang berharga baik
secara akademis maupun praktis.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
8
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komunikasi Persuasif
Istilah persuasi (persuasion) berasal dari perkataan latin persuasio. Kata
kerjanya adalah persuadere yang berarti membujuk, mengajak atau merayu.
Komunikasi persuasif adalah komunikasi yang bertujuan untuk merubah atau
mempengaruhi kepercayaan, sikap, dan perilaku seseorang sehingga bertindak
sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. (Bruce Berger Ph.D.
Persuasive Communication Part I. U.S. Pharmacist a Jobson Publication )
Dikutib dari ( http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_persuasif, 2009 )
Burgon & Huffner (2002) meringkas beberapa pendapat dari beberapa ahli
mengenai definisi komunikasi persuasi sebagai berikut;
1. Proses komunikasi yang bertujuan mempengaruhi pemikiran dan pendapat
orang lain agar menyesuaikan pendapat dan keinginan komunikator.
2. Proses komunikasi yang mengajak atau membujuk orang lain dengan
tujuan mengubah sikap, keyakinan dan pendapat sesuai keinginan
komunikator. Pada definisi ini ‘ajakan’ atau ‘bujukan’ adalah tanpa unsur
ancaman/ paksaan.
Bila kita merujuk kepada definisi komunikasi persuasi tersebut maka
komunikasi persuasi tentunya tanpa aspek agresi. Oleh karena itu, komunikasi
persuasi termasuk dalam pola komunikasi yang asertif. Dalam komunikasi
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
9
persuasi terdapat komponen atau elemen sehingga dapat disebut sebagai
komunikasi persuasi. Komponen tersebut antaranya;
1. Claim, yaitu pernyataan tujuan persuasi baik yang tersurat (eksplisit)
maupun tersirat (implisit). Mengidentikkan sebuah tema dengan suatu
fenomena menarik dan mudah diingat.
2. Warrant, yaitu perintah yang dibungkus dengan ajakan atau bujukan
sehingga terkesan tidak memaksa. Misalnya iklan yang diikuti dengan kata
“ayo”, “mari” dan lain sebagainya.
3. Data, yaitu data-data atau fakta yang digunakan untuk memperkuat
argumentasi keunggulan pesan dari komunikator.
Para ahli komunikasi sering kali menekankan bahwa persuasif adalah
kegiatan psikologis (Jalaluddin Rakhmat 2000:18). Penekanan ini bertujuan untuk
mengadakan perbedaan antara persuasif dengan koersif. Pada prinsipnya tujuan
persuasi dan koersi adalah sama, yakni untuk mengubah opini, sikap dan perilaku.
Hanya saja terdapat perbedaan pada teknik penyampaian pesan antara keduanya.
Pada komunikasi persuasif penyampaian pesan dilakukan dengan cara membujuk,
merayu, meyakinkan, mengiming-iming dan sebagainya sehingga terjadi
kesadaran untuk berubah pada diri komunikan yang terjadi secara suka rela tanpa
adanya paksaan. Sedangkan pada komunikasi koersif perubahan opini, sikap, dan
perilaku terjadi dengan perasaan terpaksa dan tidak senang karena adanya
ancaman dari komunikator. Efek dari teknik koersif ini bisa berdampak timbulnya
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
10
rasa tidak senang, rasa benci, bahkan mungkin rasa dendam. Sedangkan efek dari
komunikasi persuasif adalah kesadaran, kerelaan dan perasaan senang.
Persuasi merupakan bagian dari kehidupan kita setiap hari, maka usaha
memahami dan menguasai persuasi, baik secara teoritis maupun praktis, agaknya
merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Menurut Joseph A. Haro dalam
buku Speaking Persuasively persuasi adalah kenyataan yang tidak dapat dinafikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak mengherankan bila tindak-tutur persuasi juga termasuk gaya bahasa
yang banyak dipergunakan dalam Al-Qur’an, misalnya dalam surah Al-Maidah
ayat 90-91 berikut.
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah itu termasuk
perbuatan setan. Karena itu, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud menimbulkan
permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar
dan berjudi, serta menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka
akankah kamu berhenti (dari mengerjakan perbuatan-perbuatan itu)?
Pada ayat ini pertama-tama Allah SWT menyeru dengan panggilan hai orangorang yang beriman (‫)يا أيھا الذين آمنوا‬. Orang yang merasa beriman sejatinya
merasa terpanggil dengan seruan yang khusus ditujukan kepada mereka ini.
Seruan ini tidak lantas diikuti dengan thalab (perintah atau larangan), tetapi
diikuti dengan pencandraan bahwa khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala,
dan mengundi nasib dengan panah itu termasuk perbuatan setan. Setelah itu
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
11
barulah dihadirkan thalab berupa perintah agar menjauhi perbuatan-perbuatan
buruk tersebut. Thalab ini dipungkas dengan targhib (iming-iming) mendapat
keberuntungan, antara lain terhindar dari permusuhan dan kebencian. Ayat ini
kemudian dipungkas dengan sebuah kalimat interogatif, ‫( فھل أنتم منتھون‬Maka
akankah kamu berhenti)? Meski tidak lokusi ayat ini berupa kalimat interogatif,
tetapi tindak ilokusi ayat sebenarnya merupakan perintah agar orang-orang
beriman menjauhi khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan panah. Tindak perlokusinya tentu saja agar orang-orang beriman
mau meninggalkan perbuatan-perbuatan buruk tersebut secara sadar.
2.2 Klasifikasi Komunikasi Persuasif
1. Teknik “red herring”
Teknik komunikasi persuasif “red herring” berasal dari nama jenis ikan
yang hidup di samudera Atlantik Utara. Jenis ikan ini terkenal dengan
kebiasaannya dalam membuat gerak tipu ketika diburu oleh binatang lain atau
oleh manusia. Dalam hubungannya dengan komunikasi persuasif, teknik “red
herring” adalah seni seorang komunikator untuk meraih kemenangan dalam
perdebatan dengan mengelakkan argumentasi yang lemah untuk kemudian
mengalihkannya sedikit demi sedikit ke aspek yang dikuasainya guna dijadikan
senjata ampuh untuk menyerang lawan. Jadi teknik ini digunakan pada saat
komunikator berada dalam posisi terdesak. ( William Albig, Modern Public
Opinion : 554: 4 )
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
12
Berkaitan dengan teori ini, menurut Jalaludin Rahmat dalam bukunya Islam
Aktual menyebutkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah “straight to the
point”, lurus, tidak bohong, tidak berbelit-belit, sesuai dengan kriteria kebenaran.
Jika
dalam
mengemukakan
argumentasi
hanya
berorientasi
pada
memenangkan perdebatan, maka hal tersebut melanggar prinsip-prinsip ajaran
Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat An-Nahl ayat 125.
‫ادع الي سبيل ربك بالحكمة و الموعظة الحسنة و جادلھم بالتي ھي أحسن إن ربك ھو أعلم بمن ضل عن‬
‫سبيله و ھو أعلم بالمھتدين‬
Artinya :
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik
dan berdebatlah dengan cara yang baik pula, sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah
yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah
yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
(Q.S An-Nahl 125)
Ayat tersebut jika dipahami dan ditafsirkan menggunakan pendekatan ilmu
komunikasi mengandung pengertian bahwasannya seorang komunikator dituntut
untuk mengetahui dan memahami kondisi orang yang diajak berkomunikasi dari
berbagai aspek, di antaranya dari status sosial, latar belakang pendidikan,
ekonomi, dan budaya atau dalam istilah komunikasi disebut frame of reference.
Selain itu seorang komunikator juga harus memahami kondisi orang yang diajak
berkomunikasi dari aspek pengalaman masa lalu mereka atau dikenal dengan field
of experience. Kedua faktor tersebut mesti mendapat perhatian bagi seorang yang
akan melakukan kegiatan komunikasi persuasif.
2. Teknik “pay off idea”
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
13
Teknik komunikasi “pay off idea” adalah suatu usaha untuk mempengaruhi
orang lain dengan memberikan harapan yang baik atau mengiming-imingi hal-hal
yang baik saja (Carld I Hovland, Irving L. Janis, Harold H. Kelly, 1963: 55).
Dalam perspektif Islam, teknik komunikasi “pay off idea” menjadi salah
satu teknik yang banyak tersurat di dalam Al-Quran maupun Hadits. Hal ini
menjadi bagian dari ajaran agama Islam yang meyakini adanya kehidupan setelah
kematian, bahkan hal tersebut menjadi salah satu pondasi keimanan seorang
muslim, yaitu percaya akan adanya hari pembalasan. Dalam banyak ayat di dalam
Al-Quran digambarkan bahwa bagi orang yang melakukan amal baik selama di
dunia maka ia akan meraih kebahagiaan di akhirat nanti dengan diamsukkan ke
dalam surga Allah dan kekal di dalamnya. Allah SWT akan ridla kepada orangorang yang melakukan amal baik.
Teknik komunikasi tersebut dapat dilihat secara tersurat antara lain dalam
surat Al-Bayyinah ayat 7-8 yang berbunyi:
‫إن الذين أمنوا وعملوا الصالحات أولئك ھم خير البرية جزاؤھم عند ربھم جنات عدن تجري من تحتھا‬
‫األنھار خالدين فيھا أبدا رضي ﷲ عنھم و رضو عنه ذلك لمن خشي ربه‬
Artinya :
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh mereka
itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka adalah
surga and yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.
Yang demikian itu adalah balasan bagi orang-orang
yang takut kepada-Nya.”
3. Teknik “fear arousing”
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
14
Teknik komunikasi “fear arousing” adalah usaha menakut-nakuti orang lain
atau menggambarkan konsekuensi buruknya (Carld I Hovland, Irving L. Janis,
Harold H. Kelly 1963: 57). Dalam konteks ajaran agama Islam teknik ini secara
eksplisit dan inlpisit terkandung di dalam Al-Quran dan Hadits. Hal tersebut
diindikasikan dengan banyaknya ayat yang menggambarkan konsekuensi berupa
siksaan di akhirat nanti bagi orang kafir dan orang yang durhaka kepada Allah
SWT.. Seperti terdapat dalam Al-Maidah ayat 38:
‫السارق والسارقة فاقطعوا أيديھما جزاءا بما كسبا نكاال من ﷲ و ﷲ عزيز حكيم‬
Artinya :
Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.
Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana.
Ayat di atas menggambarkan ancaman bagi seorang yang mencuri dalam
jumlah tertentu, kemudian diproses dan disahkan secara hukum, maka
hukumannya adalah dipotong tangannya supaya menimbulkan efek jera bagi
pelakunya dan menimbulkan rasa takut bagi orang yang hendak melakukan
perbuatan serupa. Ketentuan ini tersurat secara jelas di dalam kitab suci Al-Quran,
akan tetapi di Indonesia aturan Allah tersebut belum/tidak dapat dilakasanakan
karena sistem hukum yang dianut bukanlah hukum Islam. Jadi hanya di negaranegara yang menerapkan hukum Islam yang dapat mengaplikasikan perintah
Allah tersebut. Walaupun ketentuan tersebut tidak diaplikasikan di Indonesia akan
tetapi secara idealis keentuan Allah tersebut cukup menjadi dasar bagi umat Islam
bahwa pencurian dalam jumlah tertentu diancam dengan hukuman potong tangan
sehingga akan menimbulkan rasa takut untuk melakukannya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
15
Selain ancaman Allah berupa ketentuan hukum “hudud”, terdapat pula
ancaman Allah yang disampaikan secara naratif berupa ancaman siksaan di
akhirat bagi orang-orang kafir dan munafik serta orang-orang yang melanggar
aturan Allah dengan masuk neraka. Seperti yang terdapat dalam surat AlBayyinah ayat 6 yang berbunyi:
‫إن الذين كفروا من أھل الكتاب و المشركين في نار جھنم خالدين فيھا إبدا أولئك ھم ﺷر البريه‬
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik akan
masuk ke neraka Jahanam: mereka kekal di dalamnya, mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk.
Ancaman yang disampaikan oleh Allah SWT baik ancaman dalam konteks
ketentuan hukum syar’i maupun ancaman-ancaman Allah SWT dalam ayat-ayat
Al-Quran, jika dianalisis menggunakan perspektif ilmu komunikasi maka
tergolong ke dalam salah satu bentuk komunikasi persuasif “fear arousing” yang
artinnya membangkitkan rasa takut kepada orang, sehingga menimbulkan
kesadaran pada diri manusia untuk melakukan kataatan kepada Allah dan RasulNya serta menjauhi segala larangan-Nya.
2.3 Prinsip-prinsip Metodologis dalam Gagasan Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagai firman Tuhan untuk umat manusia, mempunyai metode
tersendiri dalam pengungkapan pesan-pesannya. Diantara metode pesan Al-Qur'an
adalah berbentuk demonstrasi. Kata ini diambil dari bahasa Inggris demonstrate,
arti
secara
bahasa
bermakna
memempertunjukkan,
memamerkan
atau
menampilkan. Hal ini dimaksudkan menyatakan suatu gagasan dengan bentuk
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
16
penampilannya secara teratur untuk membuktikan kepada khalayak tentang suatu
kehendak, baik secara lisan maupun tulisan.
Al-Qur'an yang menyebut dirinya sebagai hudan li al-nas tidak diragukan
lagi mengandung nilai praktis bagi kehidupan manusia, sehingga menurut
Muhammad Asad bahwa Al-Qur'an memberikan jawaban yang komprehensif
terhadap pertanyaan : “How shall I behave in order to achieve the good life in this
world and happines in the life to come?”.
Al-Qur'an di samping berfungsi sebagai “hudan” juga sebagai “furqan”,
sehingga ia menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Oleh
karena kedua fungsi itu perlu dipahami, maka prinsip-prinsip metodologi gagasan
Al-Qur'an perlu diketahui juga. Prinsip-prinsip ini menetapkan gagasan Qur’ani;
yang termasuk dalam kategori ini adalah sebagai berikut :
Pertama, rasionalisme, penolakan mitos, persetujuan tanpa protes terhadap hujjah
dan bukti; namun keterbukaan terhadap bukti baru dan kesiapan mangubah
pengetahuan serta sikap berdasarkan tuntunan bukti yang lebih representatif.
Tuhan mencela kepada orang yang hanya ikut-ikutan saja tanpa dasar yang jelas
(Q.S. 26:74, 21:54 dan 43:22 dan 23).
Kedua, aspek humanisme. Tidak dibenarkan diskriminasi yang berdasarkan ras,
warna kulit, bahasa, budaya atau kedudukan sosial; menurut pandangan Allah
yang membedakan seseorang itu karena ketakwaannya (Q.S. 49:13).
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
17
Ketiga, potensi manusia. Manusia pada hakekatnya mampu menilai kebenaran dan
kepalsuan, kebaikan dan keburukan, yang dianjurkan dan dilarang; hal ini karena
potensi manusia itu sendiri yang mempunyai akal pikiran (Q.S. 2:65, 6:32 dan
7:169).
Keempat, aspek kemashlahatan. Allah menciptakan kehidupan ini untuk dijalani
bukan untuk ditolak atau dirusak (Q.S. 2:11, 7:56 dan 85); bahwa ciptaan tunduk
kepada manusia (Q.S. 2:30), kebudayaan dan peradaban harus dipelihara dan
wujudkan para realisasi diri insani dalam pengetahuan, takwa dan ihsan (Q.S.
22:77).
Kelima, sosialisme. Nilai kosmis manusia terletak dalam keanggotaannya dan
sumbangannya kepada masyarakat, hal ini dalam rangka tercapai keharmonisan
dan keselarasan dalam masyarakat madani (Q.S. 48:49).
Di luar prinsip-prinsip metodologis ini, dan di dalam intisari figurasi AlQur'an. Ada prinsip-prinsip etika yang terkadang diberikan secara tersurat dan
disimpulkan dari contoh konkrit yang disebutkan oleh Al-Qur'an. Prinsip-prinsip
ini membentuk etika pribadi dan sosial Islam, petunjuk pribadi dan sosial Islam,
petunjuk pribadi (individu) dan kelompok menuju moral yang Qur’ani. Teks AlQur'an khususnya, merupakan fenomonologi nilai-nilai atau ajaran moral.
2.4 Karakteristik Gaya Pengungkapan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
18
Keberadaan Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam, dan keinginan mereka
memahami petunjuk-petunjuk dan mukzijatnya, telah mengantar lahirnya sekian
disiplin ilmu keislaman serta mengembangkan metode-metode penelitiannya,
dimulai dengan lahirnya kaidah-kaidah bahasa Arab oleh Abu al-Aswad al-Duali
atas petunjuk Ali bin Abi Thalib (w. 661 M) sampai lahirnya Ushul Fiqh oleh alSyafi’i (767 – 820 M), dan bahkan hingga kini dengan lahirnya berbagai metode
penelitian Al-Qur'an.
Dengan
memperhatikan
kenyataan
seperti
itu,
Allamah
M.
H.
Thabathaba’i (1997:37) memandang bahwa tidak dibenarkan Al-Qur'an berbicara
kepada manusia dengan kata-kata yang tidak bisa dipahami maknanya dengan
jelas oleh mereka. Tidak dibenarkan pula mengajukan tantangan kepada mereka
dengan sesuatu yang tidak dipahami maknanya oleh mereka. Allah berfirman,
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati
mereka terkunci?”
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? kalau kiranya Al Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.”
Dua ayat tersebut menunjukkan keharusan merenungkan (memahami) AlQur'an. Perenungan terhadap Al-Qur'an akan dapat menghilangkan gambaran
yang sepintas lalu ayat-ayatnya tampak saling bertentangan. Bila maksud ayatayat itu tidak jelas, tentunya perintah untuk merenungkan dan memikirkannya itu
merupakan sesuatu yang sia-sia. Begitu pula tidak akan ada tempat untuk
menganalisis pertentangan-pertentangan lahiriyah antar ayat dengan jalan
merenungkan dan memikirkannya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
19
Keluasan obyek-obyek yang dikandung Al-Qur'an, serta keaneka ragaman
obyek-obyek itu sunguh merupakan sesuatu yang unik, ini sesuai dengan yang
diutarakan Al-Qur'an sendiri: “Tiadalah kami alpakan sedikitpun di dalam AlQur'an ini” .. Dengan keunikannya itu, perlu ditunjukkan atau ditampilkan
karakteristik gaya pengungkapan Al-Qur'an adalah:
Pertama, mempunyai arti lahir dan batin. Allah berfirman “Sembahlah Allah, dan
jangan menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun” . Arti lahir ayat ini menunjukkan
bahwa ayat tersebut melarang menyembah berhala, seperti ditunjukkan dalam ayat
lain “Jauhilah berhala-berhala yang najis itu” . Setelah merenungkan dan
menganalisis, ternyata jelas bahwa alasan pelarangan menyembah berhala itu
ialah karena penyembahan semacam itu merupakan bentuk kepatuhan kepada
selain Allah.
Hal ini tidak hanya berupa penyembahan kepada berhala saja, tetapi juga
menaati setan, sebagaimana firman-Nya : “Bukankah Kami memerintahkanmu,
hai Bani Adam, agar kamu tidak menyembah setan”
Analisis lain menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara ketaatan
kepada diri dan ketaatan kepada yang lain, karena mengikuti hawa nafsu
merupakan penyembahan kepada selain Allah, sebagaimana diisyaratkan oleh
firman Allah : “Tidakkah engkau mengetahui orang yang menjadikan hawa nafsu
sebagai Tuhannya” . Dengan analisis lebih cermat, tahulah kita tentang keharusan
untuk tidak berpaling kepada selain-Nya, karena dengan berpaling tersebut berarti
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
20
mengakui kemandirian-Nya dan tunduk kepada-Nya. Inilah yang dinamakan
menyembah dan taat itu.
Secara sepintas ayat yang menyatakan : “Janganlah kamu menyekutukanNya dengan sesuatu pun” menunjukkan bahwa berhala-berhala tidak boleh
disembah. Namun suatu pandangna yang lebih mendalam (batini) menunjukkan
larangan untuk mengikuti hawa nafsu. Jika pandangan itu diperluas lagi, maka
akan tampak larangan melupakan Allah dan berpaling kepada selain-Nya.
Penahapan ini, pertama tampak makna awal dari suatu ayat, kemudian
nampak makna yang lebih luas daripada yang pertama dan begitu seterusnya.
Menurut Thabathaba’i (1997:41) hal ini berlaku pada semua ayat Al-Qur'an.
Kedua, pemaparan yang persuasif. Pada hakikatnya kebenaran dan kebaikan, baik
yang terdapat di dalam Islam, dalam diri Nabi Muhammad, maupun yang terdapat
di dalam Al-Qur'an semuanya sudah merupakan dalil sempurna dan cukup untuk
mengajak orang-orang kafir memeluk Islam. Sudah merupakan aksioma bila suatu
kebenaran telah terbukti dengan jelas. Oleh karena itu semua yang menentang
kebenaran itu otomatis merupakan kebatilan dan kesesatan.
Hukuman-hukuman Allah ditimpakan kepada mereka, karena mereka lalai
dan mendustaan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah. Hal ini bukanlah
berarti Allah mendzalimi mereka , namun hal tersebut karena mereka tunduk di
bawah bayang-bayang kekuasaan kebodohan dan taqlid buta kepada nenek
moyang serta pemimpin-pemimpinnya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
21
Al-Qur'an juga mengingatkan, sikap mengikuti pendapat dan paham nenek
moyang para pemimpin secara fanatik dan taqlid buta hanya akan membawa
kejahatan dan keburukan, juga menggiring seseorang masuk ke jurang neraka.
Al-Qur'an juga mengajak mereka, sebagaimana halnya mengajak orangorang mukmin untuk mengingat segala nikmat yang telah diterima . Semua
nikmat bersumber dari Allah, yaitu Tuhan yang menciptakan semua makhluk,
yang mengatur dan menata makhluk.
Apabila mereka telah mengetahui perbedaan antara agamanya dan agama
Islam, namun mereka masih saja tidak mau menerima Islam sebagai agama yang
harus dipeluk, maka Al-Qur'an mengajarkan tindakan tahap selanjutnya ialah
menjelaskan ancaman siksa akhirat yang akan mereka terima kelak. Cara ini
sekaligus mengandung makna peringatan; jalan yang mereka tempuh dalam
menentang Islam bukanlah karena ketidaktahuan atau ketersesatan tanpa sengaja,
dan bukan pula karena ketidakjelasan ajaran Islam, tetapi hanya karena
keingkaran, kesombongan, dan ketidakpedulian mereka. Diantara sebab yang
menghalangi mereka mengikuti petunjuk Al-Qur'an adalah karena hati mereka
sudah begitu melekat dengan kebatilan, sehingga keras hatinya
Dari gambaran di atas, jelaslah bahwa Al-Qur'an tidak pernah
menggunakan kekerasan untuk mengajak orang-orang kafir menuju Dar al-Salam.
Tetapi kandungan kitab suci tersebut ajakannya dengan cara persuasif.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
22
Ketiga, motivasi untuk meneliti dan berfikir. Terdapat banyak ayat Al-Qur'an
yang menganjurkan manusia memikirkan, meneliti, dan mengkaji penciptaan alam
serta hukum-hukum yang berlaku di dalamnya (perhatikan QS. 88:17-20). AlQur'an memuji orang-orang yang melakukan kegiatan tersebut. Ditegaskan pula
kegiatan memikirkan dan merenungi tersebut juga kepada hal-hal yang tersebut
”afala yatadabbaruna al-Qur’an” .
Berkaitan dengan hal tersebut, muncul pada benak sebagian sarjana
Muslim, khususnya para fuqaha dan ahli Ilmu Kalam, yang mempertanyakan
tentang sampai di mana pemihakan Al-Qur'an misalnya terhadap tesis-tesis
spekulatif-filosofis yang dikatakan oleh filosof Muslim dalam rangka memenuhi
perintah agama. Demikianlah kita melihat bagaimana Ibnu Rusyd dalam Fasl al
Maqal (1969 : 32) telah mengutip ayat-ayat Al-Qur'an untuk membela posisi para
filosof terhadap serangan al-Ghazali yang cukup gencar itu. Dikutipnya ayat
“Fa’tabiru ya ulil abshar” . Ia menegaskan bahwa ini adalah nas yang
mewajibkan penggunaan al-qiyas al-‘aqli (analogi aqliyah), dan syar’i sekaligus.
Setelah itu diiringi pula oleh kutipan ayat “ Atau tidakkah mereka pernah
mempertimbangkan wilayah kekuasaan (Allah) atas langit dan bumi, dan atas
segala sesuatu yang telah Allah ciptakan?”, lalu dikomentarinya : “Ini adalah nas
yang mewajibkan penggunaan penalaran terhadap semua yang maujud”.
Kerja penalaran terhadap seluruh yang ada merupakan kerja filsafat dalam
rangka mengintip Sang Pencipta yang berada di belakang alam. Oleh sebab itu
wajiblah bagi seorang Muslim untuk berpikir sebagaimana kandungan gaya
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
23
pengungkapan Al-Qur'an yang memotivasi untuk merenunginya. Dan dengan
demikian perlu analogi ‘aqliyah dalam memahami ayat-ayat kauniyah dapat
dibandingkan dengan analogi fiqhiyah dalam masalah-masalah syari’ah.
Keempat. Membuang kalimat muta’alliq untuk menghasilkan yang lebih umum.
Karakteristik ini jika dijadikan pegangan oleh seseorang dalam merenungkan
ayat-ayat Al-Qur'an, maka akan memperoleh manfaat yang amat besar. Statemen
ini (karakteristik ke-empat) mengandung makna yang lebih bermanfaat dari pada
menyebutkan kalimat-kalimat (kata-kata) yang menjadi muta’alliq-nya, dan akan
lebih mencakup pengertian yang lebih baik dan bermakna.
Contoh-contoh seperti itu banyak kita temukan dalam Al-Qur'an. Allah
SWT. berfirman pada berbagai tempat di dalamnya Al-Qur'an : “la’allakum
ta’kiluun” , “La’allakum tadzakkarun” , “La’allakum tattaquun” .
Maksud “La’allakum ta’qiluun” adalah mudah-mudahan engkau sekalian
memikirkan setiap petunjuk, pengetahuan yang diajarkan Allah, dan setiap apa
saja yang diturunkan kepadamu berupa al-Kitab, dan al-Hikmah. “La’allakum
tadzakkaruun” maksudnya, agar kamu sekalian tidak lupa dan lalai, selalu dalam
keadaan siaga, memasang panca indera untuk merasakan apa saja yang kalian
jumpai dalam sunnatullah dan tanda-tanda kebesarannya. Dengan demikian kamu
sekalian akan selalu ingat kepada segala kepentingan kalian yang bersifat duniawi
dan ukhrawi. Sedangkan “La’allakum tattaquun” maksudnya, mudah-mudahan
engkau sekalian menghindari segala yang wajib dihindari. Apakah itu berupa
kelalaian, kebodohan, taklid, dan dari setiap usaha musuh untuk menjerumuskan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
24
kalian kepada dosa dan kemaksiatan. Perlu diketahui, bahwa pemahaman itu
merupakan salah satu komponen dari pengertian yang umum. Dengan
memperhatikan dan merenunginya akan tampak keagungan dan keindahan firman
Allah tersebut (makna-makna sangat dalam).
Kelima, berhubungan dengan hukum kausalitas, kita menemukan beberapa ayat
Al-Qur'an yang menyebutkan, karena mutlak Allah, ialah memberi petunjuk atau
penyesatan kepada seorang yang Ia kehendaki . Sedangkan beberapa ayat AlQur'an yang lainnya menyebutkan bahwa pemberian petunjuk (beriman) atau
kesesatan (kafir) tersebut juga karena adanya sebab-sebab yang telah dilakukan
oleh orang yang bersangkutan . Dengan kata lain, terdapat kaitan yang erat antara
kehendak mutlak Tuhan dengan hukum kausalitas (berkiatan dengan sunnatullah).
Secara sepintas tampaknya kedua kelompok ayat tersebut kontrakdiktif.
Namun, jika kita memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan konteksnya, kita akan
segera mengetahui sebenarnya tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Bahkan
antara kelompok ayat yang pertama dan kedua saling mendukung. Oleh karenanya
untuk dapat memahami pengertian kedua kelompok ini secara terintegrasi dan
utuh, maka ayat-ayat kelompok kedua mesti kita pahami sebagai penjabaran lebih
lanjut dari ayat-ayat kelompok pertama.
Melalui cara pemahaman yang terintegrasi terhadap kedua kelompok ayat
di atas, kita dapat mengatakan, bahwa Allah SWT menciptakan dan mengatur
segala sesuatu di alam ini dengan kemaha-kuasaan, kemaha-luasan ilmu, kemahaadilan, dan kemaha-bijaksanaan melalui hukum kausalitas yang juga diciptakan-
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
25
Nya. Oleh karena, penegasan ayat-ayat tersebut dimaksudkan agar manusia
menyadari dengan sebaik-baiknya bahwa cita-cita dan harapan untuk mencapai
yang mereka inginkan, atau menjauhi yang mereka benci, hanya patut
digantungkan kepada Allah SWT semata, bukan meminta kepada yang lain.
Perlu dipahami, apabila kita membaca ayat-ayat Al-Qur'an tentang
petunjuk yang diberikan-Nya atau kesesatan yang ditimpakan-Nya kepada
seseorang karena sebab-sebab tertentu yang terdapat pada orang tersebut,
hendaknya kita pahami itu bertujuan mengingatkan hamba-hamba-Nya agar
menyadari dan mengusahakan sebab-sebab yang menjadikan mereka menerima
petunjuk Allah, dan menghindarkan sebab-sebab yang menjadikan mereka
mengalami kesesatan yang mengancam diri dan akidah. Satu contoh ayat yang
mengaitkan petunjuk Allah dengan usaha manusia adalah surat al-Lail (92) ayat 5
sampai 10.
Di antara ayat-ayat Al-Qur'an yang menerangkan hukum-hukum kausalitas
tersebut adalah surat al-Maidah (5) ayat 16, al-baqarah (2) ayat 26, al-A'raf (7)
ayat 30, dan al-Shaf (61) ayat 5. Ayat-ayat ini menjelaskan, Allah memberi
petunjuk kepada orang-orang yang memang niat dan tujuannya baik serta
menyukai kebaikan sekaligus mengikuti yang diridhoinya. Sebaliknya, Allah
menyesatkan orang-orang yang menentang sunnatullah dan melawannya. Mereka
adalah orang-orang yang menjadikan musuh-musuh Allah berupa Jin, Setan,
maupun Manusia yang telah berperilaku sebagai setan menjadi pelindung. Allah
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
26
menyesatkan orang-orang tersebut karena mereka lebih suka berlindung kepada
setan dan jin dari pada kepada Allah.
Allah telah menetapkan timbangan keadilan atas segala sesuatu melalui
sunnatullah. Dan barang siapa mematuhi Allah dan rasul-Nya serta mengikuti
hukum kausalitas tersebut, ia akan selamat dan akan berbahagia di dunia dan
akhirat. Sebaiknya, barang siapa yang mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta
menentang hukum kausalitas, berarti ia telah mempersiapkan dirinya untuk
menjalani penderitaan di dunia dan akhirat.
Perlu diketahui, di samping kelima hal tersebut di atas, ada pula yang
terkait dengan karakteristik gaya pengungkapan Al-Qur'an sebagai bagian dari
form demonstrasi, yaitu :
a. Aspek balaghah
Sisi sastrawi risalah (wahyu) dalam pandangan para mufasir klasik selalu
menjadi objek studi kajian yang dominan. Untuk itu kekurangan kita menguasai
kefasihan bahasa Arab pra-Islam (kerasulan nabi Muhammad SAW), tidak
memungkinkan kita memberi penentuan tentang ketinggian gaya bahasa AlQur'an Al-Walid ibnu al-Mughirah, yang merupakan teladan dalam kefasihan
bahasa dan kebanggaan kesusastraan telah mengatakan: “Demi Allah aku telah
mendengar sebuah kalam bukan perkataan manusia dan bukan pula perkataan jin.
Ia lezat dan indah di dengar, pangkalnya berbuah dan ujungnya berakar. Kalam itu
selalu berada di atas dan tiada yang membawahinya”.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
27
Secara bahasa, kata balaghah berarti antara lain:
(a)
'mencapai tujuan, mengenai sasaran, efektif’, seperti dalam kalimat: ‫بَلَ َغ‬
ُ‫ =( فُالَن ُم َرا َده‬Fulan telah mencapai maksudnya).
(b)
‘bertutur kata dengan baik’, seperti dalam kalimat:
‫ أي أَحْ َس َن التﱠ ْعبِ ْي َر َع ﱠما فِي نَ ْف ِس ِه‬.ً‫بَلَ َغ ال ﱠر ُج ُل بَالَ َغة‬
Seseorang berbalaghah, artinya ia dapat mengungkapkan fikiran dan perasaannya
dengan baik.
Adapun secara istilah, terdapat beberapa definisi balaghah yang dikemukakan
oleh para ulama, antara lain: Balaghah ialah menyampaikan makna yang luhur
secara jelas dengan menggunakan ungkapan bahasa yang benar serta fasih. Dalam
hal ini balaghah menelaah bagaimana penutur menggunakan bahasa secara efektif
sehingga dipahami oleh mitra tutur, jelah, memenuhi aspek kesantunan, menarik,
serta dapat menggugah rasa keindahan. Harapannya tentu saja agar sebuah tuturan
mendapat respons positif dari mitra tutur sesuai dengan maksud dan tujuan si
penutur.
Yang termasuk unsur balaghah dalam menampilkan gaya penungkapan
Al-Qur'an adalah ayat-ayat yang mengandung Jawami’ al-Ma’ani, maksudnya
susunan kalimat singkat tetapi mengandung makna yang sangat padat. Istilah lain
yang digunakan yaitu jawami’ al-kalim. Kita perhatikan beberapa contoh ayatayat Al-Qur'an yang susunannya relatif singkat, tetapi isinya luar biasa padat,
sebagaimana ayat-ayat di bawah ini:
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
28
“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya)
untuk dirinya sendiri.”
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran….”
“…. jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya….”
Dalam kajian Balaghah, uslub semacam ini dinamakan ijaz, yang artinya
ringkas padat, sedikit kata tapi banyak makna. Suatu teks yang ijaz akan
semakin tinggi nilainya jika semakin sedikit kata-katanya tetapi semakin luas
maknanya, namun demikian dapat dipahami oleh mitra tutur dengan jelas dan
lugas.
b. Argumentatif dalam penjabarannya
Untuk sesuatu permasalahan, diperlukan alat komunikasi atau bahasa yang
dapat menyampaikan kejelasan jawaban masalah-masalah yang dimaksud. Hal ini
didasarkan pada pemikiran (term-term logika) dengan bahasa yang dapat
dimengerti. Dalam hal ini, Rasulullah SAW menyebarkan risalah kenaiban
menggunakan bahasa kaumnya .
Dalam menentang dan membantah kebenaran yang sudah pasti, pada
hakikatnya suatu sikap sia-sia dan tidak akan mengurangi nilai kebenaran tersebut.
Dari sisi lain, menentang sesuatu yang sudah jelas kebenarannya merupakan
pengabaian dan pengingkaran terhadap kebenaran, dan sekaligus perbuatan dosa.
Dalam al-Baqarah ayat 256 ditegaskan : “Tidak ada paksaan untuk (memeluk)
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
29
agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang
sesat….”.
Ayat tersebut menyatakan dengan sangat tegas kebenaran ajaran Islam
pada satu sisi, dan kesesatan ajaran agama non-Islam pada sisi lain. Karena itu
tidak perlu ada pemaksaan dalam bentuk apapun untuk memeluk agama Islam.
Tindakan pemaksaan hanya dapat dibenarkan terhadap suatu kemaslahatan yang
tidak tertangkap oleh kebanyakan orang. Dengan kata lain, karena semua orang
sudah mengetahui dengan jelas bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan duniaakhirat terikat kepada agama Islam, maka tak ada alasan orang memeluk agama
Islam.
Kebenaran Islam adalah sudah didukung oleh berbagai penjelasan bukti
dan keterangan yang sangat lengkap, karena itu Al-Qur'an menawarkan pilihan
untuk beriman atau kafir. Orang yang memilih beriman telah mengetahui
pilihannya itu akan mengantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Sedangkan orang yang memilih kafir pun telah mengetahui dengan jelas, bahwa
pilihannya itu akan menjadikannya celaka dan rugi di dunia dan akhirat.
Rumusan dalam argumen yang telah dijabarkan di atas, lebih dipertegas lagi
dalam surat al-Anfal ayat 6:
“ Mereka membantahmu tentang kebenaran sesudah nyata (bahwa mereka pasti
menang), seolah-olah mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat
(sebab-sebab kematian itu).”
Maksudnya, semua orang yang membantah kebenaran setelah hakikat dan
cara menemukan itu keberanan itu jelas, pada hakikatnya tindakan itu
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
30
bertentangan dengan prinsip syara’ dan logika. Dalam hal ini, barang siapa
merenungkan metode yang diletakkan Allah untuk melakukan perdebatan dengan
penganut agama yang bathil, maka dia akan memperoleh manfaat yang sebaikbaiknya. Yakni sebagai suatu argumentasi yang paling jelas, kuat, dan ampuh
untuk menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebathilan.
2.5 Analisis Surah Lukman dari segi Bahasa, Komunikasi Persuasi dan
Pendidikan
1) Lukman: Ayat 12
“Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Lukman, Yaitu:
'Bersyukurlah kepada Allah. dan Barang siapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang
tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
a. Analisis Bahasa
Dalam menganalisis bahasa ini digunakan beberapa tafsir antara lain, 1)
al-Misbah; al-Maraghi; Shafwatu Tafasir; Ibnu Kasir; al-Kasyaf; mu'jamul
mufradat alfadz al Quran.
a) Tinjauan Gaya Bahasa
Dalam ayat tersebut terdapat unsur-unsur gaya bahasa atau balaghah.
Yang dimaksud gaya bahasa adalah bahasa indah yang digunakan untuk
meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu
benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang lebih umum. Secara
singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta menimbulkan
konotasi tertentu (Gale dalam Tarigan, 2009: 4). Dan Keraf (1985: 113)
menyatakan bahwa gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
31
bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai
bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung 3 unsur berikut:
kejujuran, sopan santun, dan menarik.
Adapun unsur bahasa yang terkandung dalam ayat 12 ini adalah,
At-thhibaq. Yang dimaksud dengan thibak dalam ilmu balaghah adalah
bersatunya dua kata yang bertentangan maknanya (Muhsin dan Wahab,
1982: 149). Uslub thibaq dalam surah Luqman ayat 12 ini ialah kata Yasykur
dengan kata Kufur (syukur dengan kufur). Thibaq termasuk gaya bahasa
yang mengandung gagasan yang bertentangan (= ‫ﺎد‬
َ َ‫)ﺗ‬, dengan menggunakan
ّ‫ﻀ‬
‘kata yang berlawanan’. Penggunaan kata-kata yang berlawanan tidak berarti
merusak tatanan makna, melainkan justru akan menambah keindahan makna,
ibarat pakaian atau perhiasan yang menampilkan desain atau warna yang
kontras, akan meningkatkan daya guna serta keindahan peralatan tersebut.
Shighatul Mubalaghah, seperti dalam dua kata "ghaniyyun hamîd” yang mana
dua kata ini menggunakan wazan fa’ul dan fa’il, yang menunjukkan shighah
mubalaghah bentuk kata untuk memaksimalkan ungkapan makna yang
berarti amat sangat kaya (Maha kaya) dan amat sangat terpuji (Maha terpuji).
b) Diksi
Ayat ini menggunakan diksi, yaitu pilihan kata yang tepat. Dalam ayat ini
terdapat kata hikmah yang berarti kecerdasan, pemahaman terhadap sesuatu,
beramal sesuai ilmu, hidayat untuk mengetahui yang benar. Shihab (2002: 110)
menjelaskan hikmah adalah suatu yang bila digunakan/diperhatikan akan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
32
menghalangi terjadinya mudarat atau kesulitan dan atau mendatangkan
kemaslahatan dan kemudahan. Pelakunya dinamai hakim. Siapa yang tepat dalam
penilaiannya dan pengaturannya dialah yang hakim.
Kata syukur terambil dari kata syakara yang berarti pujian atas kebaikan,
serta penuhnya sesuatu, mengagungkan Allah dan berterima kasih atas nikmat
yang diberikannya. Sukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari
lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerahNya. 'Anisykur
lillah' adalah hikmah itu sendiri yang dianugerahkan kepadanya itu. Quthub
(Shihab, 2002: 122) menulis bahwa: “Hikmah, kandungan dan konsekuensinya
adalah syukur kepada Allah”. Hikmah adalah syukur, karena dengan bersyukur
seseorang mengenal Allah dan mengenal anugerahNya. Dengan mengenal Allah
seseorang akan kagum dan patuh padaNya, dan dengan mengenal dan mengetahui
fungsi anugerahNya, seseorang akan mengetahui pengetahuan yang benar, lalu
atas dorongan kesyukuran itu, ia akan melakukan amal yang sesuai dengan
pengetahuannya, sehingga amal yang lahir adalah amal yang tepat pula.
Ayat di atas menggunakan bentuk mudhari/kata kerja masa kini dan akan
datang untuk menunjukkan kesyukuran yasykur, sedang ketika berbicara tentang
kekufuran, digunakan bentuk fi’il madhi/kata kerja masa lampau kafara, al Biqa’i
(Shihab, 2002: 123) memperoleh kesan dari penggunaan bentuk mudhari itu
bahwa siapa yang datang kepada Allah pada masa apapun, Allah menyambutnya
dan anugerahNya akan senantiasa tercurah kepadanya sepanjang amal yang
dilakukannya. Sebaliknya penggunaan bentuk kata kerja masa lampau pada
kekufuran (kafara) adalah untuk mengisyaratkan bahwa jika itu terjadi, walau
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
33
sekali maka Allah akan berpaling dan tidak menghiraukannya. Thabathabai
(Shihab, 2002: 123) memperoleh kesan lain. Menurutnya penggunaan kata kerja
mudhari pada kata syukur, mengisyaratkan bahwa syukur baru bermanfaat bila
bersinambung, sedang mudarat kekufuran telah terjadi walau baru sekali.
Kata Ghaniyyun yang maknanya berkisar pada dua hal, yaitu kecukupan,
baik menyangkut harta maupun selainnya. Kedua adalah suara. Menurut al
Ghazali (Shihab, 2002: 134) Ghaniyy, adalah Dia yang tidak mempunyai
hubungan dengan selainNya, tidak dalam DzatNya tidak pula dalam sifatNya,
bahkan Dia Maha Suci dalam segala macam hubungan ketergantungan. Yang
sebenar-benarnya “kaya” adalah yang tidak butuh kepada sesuatu.
Kata hamid yang maknanya adalah antonim tercela. Kata hamd/pujian,
Allah hamid/Maha terpuji, maka ini adalah pujian kepadaNya, baik anda
menerima nikmat, maupun orang lain yang menerimanya. Sedang bila anda
mensyukuriNya, maka itu karena anda merasakan adanya anugerah yang anda
peroleh.
b. Analisis Komunikasi
Dari analisis bahasa di atas terjadi komunikasi antara Allah dengan
Lukman, yaitu perintah agar bersyukur, diikuti dengan alasan siapa yang
bersyukur maka dia bersyukur kepada dirinya, jadi ini termasuk kepada jenis
komunikasi persuasi karena ada unsur meyakinkan dan meneguhkan.
c. Pendidikan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
34
Dalam ayat ini Lukman dipandang sebagai figur pendidik yang memiliki
watak, sifat dan perilaku yang menggambarkan hikmah yaitu perpaduan antara
keyakinan dan ilmu (Manzur, tt: 140)
Implikasi pendidikan dari ayat ini adalah bahwa pendidik seharusnya
memiliki keyakinan yang kuat terhadap Allah yang telah memberikan kehidupan
dan memberi warna bagi kehidupannya. Pendidik adalah orang yang mantap
imannya dan berpegang teguh terhadap ajaran dan nilai-nilai Ilahiyyah yang
dibuktikan dengan kesungguhannya untuk menghambakan dirinya kepada Allah
dengan penuh keikhlasan, sehingga pelaksanaan tugasnya dijalaninya sebagai
realisasi ibadah. Di sini yang berperan adalah hati yang digunakan untuk
menangkap makna ajaran yang diyakininya, menerima dan menghayati secara
utuh dengan jalan zikir.
Implikasi kedua makna hikmah bagi figur pendidik adalah usaha sungguhsungguh untuk menggali dan mengembangkan kemampuan serta memanfaatkan
potensi akalnya dalam bentuk berpikir, meneliti dan menghayati kekuasaan Allah
yang nampak dalam ciptaan-Nya berupa alam raya dengan segala isinya. Makna
hikmat di sini berkaitan dengan sikap pendidik terhadap ilmu pengetahuan, yaitu
pendidik senantiasa meningkatkan kemampuan akademiknya.
Dalam ayat di atas terdapat pula kata syukur yang berarti memuji atas
sesuatu kebaikan (Ma’luf, 1986: 369). Syukur pada hakikatnya menyentuh
seluruh perilaku hidup seseorang yang didorong oleh adanya kesadaran yang
melahirkan penerimaan akan nikmat dan tanggung jawab untuk memanfaatkan
nikmat itu sesuai dengan keinginan pemberi nikmat (al-Maraghi, 1971: 50).
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
35
Makna syukur dalam pendidikan adalah suatu kekuatan yang memberikan
pengarahan terhadap eksistensi manusia dengan segala perangkat yang
dimilikinya yang memiliki kebebasan dan sekaligus keterbatasan dalam bentuk
tanggung jawab.
Syukur mendorong seseorang untuk bekerja keras menggunakan
kemampuan dan kesempatan yang dimilikinya disertai dengan ketenangan batin
dan kelapangan dada, sehingga dapat diperoleh hasil kerja yang berlipat ganda.
Konsep syukur mengisyaratkan pula pemahaman pendidik terhadap dirinya
sendiri yang menjadi bagian dari nilai pendidikan, yaitu sebagai salah satu syarat
yang harus dimiliki oleh pendidik.
Makna syukur berkembang menjadi etos kerja yang memberikan motivasi
bagi seseorang untuk menunaikan amanat kekhalifahan di muka bumi ini. Etos
kerja yang dilahirkan dari konsep syukur ini akan memiliki pengaruh yang besar
terhadap sikap dan perilaku seseorang dalam membentuk semangat bekerja keras,
tidak mudah putus asa, selalu optimis dan bertanggung jawab. Sikap-sikap dari
konsep syukur ini dalam konteks pendidikan dapat dikategorikan sebagai tingkah
laku yang hendak dicapai oleh pendidikan.
Dari ayat ini menunjukkan bahwa hanya Allah yang layak dan pantas
untuk dipuji makhluknya, dengan bersyukur dan menjadikan semua yang
diberikan untuk berbakti kepadanya. Orang yang pandai, paham, berilmu,
hendaklah bersyukur pada yang memberinya kepandaian, pemahaman dan ilmu,
sebagaimana Lukman al Hakim.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
36
Yang
diharapkan
seseorang
adalah
Afiatnya
dari
Allah,
bukan
kedudukannya yang tinggi. Seseorang jangan tergiur oleh jabatan dunia. Menjadi
orang hina rendah di dunia lebih baik dari pada yang orang mulia tapi perusak.
Keterangan di atas mengajarkan bagaimana sikap/akhlak kita terhadap Allah dan
sikap kita terhadap diri sendiri.
2) Lukman: ayat 13
“Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
a. Analisis Bahasa
a) Tinjauan Gaya Bahasa
Pada ayat ini mengandung makna, Lukman al Hakim memberi Mauidlah
(nasihat) nasihat kepada anaknya. Kata “ya’izhuhu” mengandung arti menasihati
atau mengajari (Ma'luf, 1986: 908). Ia seorang ayah yang sangat sayang dan
sangat cinta saat dia menyuruh anaknya beribadah hanya kepada Allah dan
melarang syirik, Syirik itu zalim yang sangat besar, karena menempatkan sesuatu
bukan pada tempatnya, dan menjadikan Allah pemberi nikmat disederajatkan
dengan yang tidak memberi nikmat, seperti patung berhala (al-Maraghi, 1971,
VII: 81)
Jika kita lihat kata dari firman Allah “ya bunayya" Kata itu berasal dari
"banawun". Kata ini dari akar kata 'banâ yabni' tumbuh. Dari kata "banawun"
lalu dibentuk isim tashgir yang menunjukan makna ‘kecil’, menjadi 'bunayya'
anak kecilku. Demikian juga kata 'ibnun' asalnya dari kata "banawun". Disebut
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
37
demikian karena bapak itulah yang menumbuh-kembangkan anaknya. Allah
menjadikannya sebagai penumbuh (al-Ashfahani, tt: 60)
Shawi (tt, III: 314) menyebutkan, “ya bunayya" adalah Tashgir Isyfaq,
yaitu suatu uslub yang menunjukkan makna kecil (anak kecil) dan penuh rasa
cinta dan sayang.
Dalam ayat 13 ini terdapat unsur-unsur gaya bahasa (balaghah) taukid
(kalimat penegas), yaitu ungkapan “innasy syirka lazhulmu ‘azhim”. Ayat ini
menggunakan dua taukid yaitu inna dan la. Ungkapan semacam ini biasa
digunakan untuk orang yang ingkar namun kenyataannya komunikan yaitu anak
Lukman al Hakim tidak termasuk yang ingkar, bila demikian maka ungkapan itu
bertujuan untuk menegaskan betapa buruknya perbuatan syirik itu.
b) Diksi
Dalam ayat ini menggunakan kata pilihan 'syirku' dan 'dzulmu' yaitu dua
kata yang sama-sama mengandung arti buruk. Kemudian menggunakan kata
adzim yang merupakan sifat dari asy-syirku, di sini digunakan kata adzim dan
tidak menggunakan kata kabir. Adzim biasa digunakan untuk non fisik atau
abstrak.
b. Komunikasi Persuasi
Dari analisis kebahasaan di atas, dapat ditangkap unsur komunikasi
persuasi Lukman al Hakim dan anaknya, yaitu:
Lukman al Hakim menggunakan ungkapan yang bernuansa kelembutan,
kehalusan dan rayuan untuk menarik perhatian komunikan yaitu anaknya dengan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
38
menggunakan diksi “yabunayya” hal ini menunjukkan adanya komunikasi
persuasi karena di antara arti persuasi adalah bujukan halus.
Penggunaan diksi 'yabunayya' terdapat pula pada komunikasi para Nabi
dengan anak-anaknya, antara lain dalam surah Ibrahim ayat 132 – 133, surah AshShaffat: 102, surah Maryam: 42. Yang mana Nabi Ibrahim menggunakan
yabunayya ketika memanggil anaknya bukan dengan ya ibnî, demikian pula Nabi
Ismail sebagai anak menggunakan diksi ya abatî tidak menggunakan ya abî.
Menurut al-Shabuni (1998: 335) penggunaan ya bunayya dan ya abatî
menunjukkan kedekatan, kesantunan, antara bapak kepada anaknya dan
sebaliknya. Diksi semacam itu juga terdapat dalam surah Yusuf ayat 5, 13, 18, 64,
66, 67, 83, 84, 86, dan 87. Demikian pula dalam surah Hud ayat 42, tatkala Nabi
Nuh memanggil anaknya kan’an yang bersebrangan akidahnya (tidak seiman)
menggunakan kata ya bunayya, ini menunjukkan komunikasi persuasi kepada
anak meskipun anak itu termasuk anak yang nakal.
Lukman al Hakim dalam komunikasi dengan anaknya selalu menggunakan
argumentasi atau alasan ketika dia memerintah dan melarang, contoh melarang
musyrik (la tusyrik billah) diikuti dengan argumentasi bahwa syirik itu kezaliman
yang besar (innasy syirka lazulmun ‘azhim).
c. Pendidikan
Dalam konteks ayat ini kata ya’izhu mengandung makna mendidik sebagai
komunikasi yang intensif antara orang tua dengan anaknya atau antara orang
dewasa (pendidik) dengan orang yang belum dewasa (peserta didik).
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
39
Esensi dari makna ya’izhu berhubungan dengan kedudukan manusia yang
tinggi. Ketinggian martabat manusia itu terletak pada kesempurnaan dirinya serta
upayanya untuk membimbing orang lain ke arah kesempurnaan dengan cara
memberi pengajaran atau nasihat (al-Baghawi, 1979: 214). Jadi mendidik dalam
ayat ini adalah tugas setiap insan yang ingin mempertinggi martabatnya sebagai
manusia.
Kata “li ibnihi” mengandung makna sasaran atau orang yang dididik. Kata
Ibnun tidak hanya diterjemahkan dengan kata anak atau manusia yang berusia
muda, sebab kata itu sering kali dikaitkan dengan nama orang dalam berbagai
usia. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kata ini adalah hubungan yang dekat,
terutama kedekatan dari segi nasab. Dekatnya pertalian darah ini menyiratkan
adanya hubungan yang didorong oleh motivasi untuk saling memberi kasih
sayang di antara orang yang terlibat dalam komunikasi itu.
Dari segi lain, kata Ibnu menyiratkan keadaan seseorang yang memerlukan
bantuan untuk mencapai keadaan tertentu yang berwujud kedewasaan. Dengan
demikian dalam kaitan pendidikan, ungkapan ini mengandung arti bahwa yang
harus diperhatikan dalam peristiwa pendidikan adalah hubungan yang akrab dan
intens antara pendidik dengan peserta didik yang didorong oleh rasa kasih sayang
serta direalisasikan dalam bentuk memberi bantuan dan bimbingan untuk
mencapai kematangan berpikir dan bertindak.
Makna komunikasi yang didorong oleh rasa kasih sayang itu ditampakkan
secara lebih jelas dalam tindakan pendidikan yang tersirat dalam ungkapan “ya
bunayya”, kata ini berbentuk kata munada yang menunjukkan kepada orang yang
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
40
dekat, sedangkan kata bunayya adalah bentuk tashghir, yakni kata yang
digunakan untuk menyebut sesuatu yang dianggap lebih kecil. Penyebutan ini
merupakan ungkapan yang melibatkan perasaan cemas, akrab dan lembut dalam
hubungan pribadi pendidik dengan peserta didik.
Keterpautan ketiga hal tersebut mengandung arti bahwa komunikasi
pendidikan adalah komunikasi persuasi yang dilakukan antara pendidik dengan
peserta didik yang diwarnai oleh kecemasan, keakraban dan kelembutan sehingga
peserta didik dapat menangkap makna dan materi komunikasi itu secara utuh.
Komunikasi persuasi ini dapat melahirkan kesadaran pada diri peserta didik
bahwa pendidikan yang diperoleh dari pendidik itu semata-mata atas dasar
perhatian dan kasih sayang untuk kemanfaatan dirinya.
Dengan demikian, komunikasi pendidikan akan dapat dilakukan dengan
lancar dan efektif, karena peserta didik telah siap baik fisik maupun rohaninya
untuk menerima perubahan-perubahan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai
dalam pendidikan itu.
Kalimat “la tusyrik billah” mengisyaratkan bahwa pendidikan itu harus
diberi landasan aqidah, yaitu tauhid yang mengisyaratkan makna kesatuan,
integritas dan keutuhan serta penyadaran mengenai dirinya sebagai hamba yang
bereksistensi secara bebas dan kreatif.
Pandangan tauhid ini juga mengarah kepada tujuan hidup manusia.
Implikasi lain bagi pendidikan adalah meletakkan dasar-dasar pendidikan pada
konsep kesatuan dan keutuhan yang melahirkan bentuk-bentuk kesatuan tujuan,
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
41
tindakan dan perangkat pendidikan lainnya yang semuanya merupakan sesuatu
yang utuh dan tidak terpisahkan.
Landasan tauhid bagi pendidikan mengisyaratkan keutuhan manusia
sebagai subjek dan objek pendidikan yang memiliki martabat tinggi dibanding
dengan makhluk lainnya. Karena itu pendidikan yang memiliki landasan ini lebih
menekankan kepada segi bimbingan dan pertolongan agar terdidik menemukan
kemuliaan dirinya melakui pendidikan, yaitu menemukan dirinya sebagai
makhluk yang bermartabat yang hanya tunduk kepada Allah semata.
Landasan tauhid bagi pendidikan pada hakikatnya menyangkut esensi
kebermaknaan dan kemantapan perilaku manusia, yang memberi kejelasan arah
yang hendak ditempuh serta memberikan formulasi yang utuh bagi pendidikan.
Al-Nahlawi (1989: 118) memperkuat argumentasi ini dengan menyatakan bahwa
“keimanan/tauhid adalah asas yang kuat bagi pendidikan, sehingga dapat
memberikan jaminan akan keberhasilan pendidikan dan menjadikan seorang
mukmin berperilaku yang jelas, tertib dan teratur.”
Kata “ya bunayya” dari segi peran pendidik di samping mengisyaratkan
makna keakraban dan pengenalan terhadap sifat terdidik, juga memberikan arah
kepada perwujudan sikap-sikap tertentu pada diri peserta didik, yaitu sikap
menyayangi dan menghargai orang lain, karena sikap kasih sayang yang
ditampilkan pendidik akan mempengaruhi pula terhadap sikap peserta didik.
Larangan berbuat syirik mencakup berbagai aspek pendidikan, yaitu
pengetahuan, pemahaman, dan keyakinan yang membentuk kesatuan tindakan
yang konsisten dengan norma-norma yang diyakininya. Di sini nampak bahwa
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
42
tugas pendidik tidak hanya memberikan informasi, tetapi lebih jauh mendidikkan
nilai dan membina sikap peserta didik, yakni mengusahakan agar peserta didik
dapat tergerak rohaninya untuk melakukan tindakan yang didorong oleh kesadaran
yang lahir dari dalam dirinya sendiri.
Dari segi peserta didik, ungkapan “la tusyrik billah innasysyirka
lazhulmun ‘azhim” (Janganlah engkau berbuat syirik kepada Allah, sesungguhnya
syirik itu kezaliman yang besar). Ungkapan semacam itu mengandung arti bahwa
sesuatu yang tidak boleh dilakukan oleh komunikan tidak hanya sebatas larangan,
tetapi juga diberi argumentasi yang jelas mengapa perbuatan itu dilarang.
Komunikan diajak berkomunikasi menggunakan potensi pikirannya agar potensi
itu dapat berkembang dengan baik. Hal ini memberi petunjuk bahwa komunikan
ditempatkan pada tempat yang wajar, dihargai sebagai manusia yang memiliki
potensi kemanusiaan dan bermartabat tinggi sebagai makhluk yang memiliki akal.
Dialog yang terjadi dan suasana yang dapat ditangkap dari ayat ini
memberi gambaran lebih lengkap bahwa peserta didik tidak hanya ditempatkan
sebagai objek yang tidak berdaya yang harus selalu disuapi dengan berbagai
informasi, tetapi ia menjadi subjek pendidikan sesuai dengan waktu yang tepat di
mana kemampuan dasar dan fitrahnya didorong ke arah perkembangan yang
positif bagi kepentingan dirinya sebagai individu, anggota masyarakat dan hamba
Allah.
Dialog yang diwarnai keakraban, kasih sayang dan kekhawatiran itu
merupakan metode yang tepat dalam upaya menyentuh perasaan terdidik,
sehingga materi pendidikan yaitu menghindarkan peserta didik dari syirik dapat
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
43
diterima dan dipahami peserta didik dengan baik dan sebagai pilihan terbaik bagi
dirinya.
Dari segi lain dapat diungkapkan pula bahwa dalam ayat ini terdapat
bahasa yang mengandung ancaman, yakni ungkapan yang ditujukan untuk
mengusik perasaan terdidik agar ia takut berbuat suatu perbuatan yang terlarang.
“la tusyrik billah innasy syrika lazhulmun ‘adhim” perbuatan yang dilarang yaitu
syirik diikuti dengan nada ancaman, yaitu kezaliman yang besar yang pelakunya
dapat disiksa berat. Kalimat tersebut mengandung dampak psikologi yang kuat
bagi peserta didik dan mendorong lahirnya sikap hati-hati, serta usaha untuk
menghindarkan diri dari persoalan yang dilarang itu, sehingga materi pendidikan
lebih mudah diterima oleh peserta didik.
Selanjutnya, pengulangan dan penjelasan akibat syirik dengan ungkapan
yang diberi penguat (taukid), yaitu kata “inna” (sesungguhnya) dan “la”
(sungguh-sungguh) mengisyaratkan upaya pemantapan nilai pendidikan yang
sudah disampaikan (reinforcement), sehingga nilai itu menjadi kuat dan menjadi
bagian dari diri peserta didik.
Dari segi materi pendidikan ayat ini mengisyaratkan bahwa materi pertama
dan utama yang diajarkan kepada peserta didik pada permulaan kehidupannya
adalah tauhid. Dengan demikian materi tauhid akan menjadi landasan bagi
pendidikannya atau bagi materi-materi pendidikan yang akan diterima peserta
didik pada masa-masa selanjutnya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
44
Model pendidikan dalam kisah Lukman al Hakim ialah pendidikan bagi
anak-anak atau pendidikan tingkat dasar, bukan model tingkat tinggi seperti dalam
kisah Musa-Khidir ini dapat dilihat dari firman Allah dari kata 'ya bunayya'
Bahan ajar yang ditanamkan Lukman al Hakim pertama kali ialah
keimanan kepada Allah, tidak menyekutukan Allah. Dan ini merupakan fondasi
awal untuk materi selanjutnya. Pendidikan terhadap anak-anak harus disertai
dengan rasa penuh kasih sayang, dan kelembutan , tidak dilakukan dengan kasar
dan keras. Metode Pengajaran dalam ayat di atas, Lukman al Hakim
menggunakan Metode Mauidlah/Nasihat, Metode ini tepat digunakan untuk
pendidikan tingkat dasar.
3) Lukman : 14 – 15
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibubapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambahtambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada
dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang
kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
a. Analisis Bahasa
a) Tinjauan Gaya Bahasa
Dalam ayat 14 dan 15 ini terdapat unsur balaghah sebagai berikut,
Menyebutkan yang khusus sesudah yang umum (dzikrul khas ba’da ‘am)
seperti dalam ungkapan “bi walidaihi hamalathu ummuhu” menyebutkan
‘ibunya’ setelah menyebutkan kedua orang tuanya, ibunya lebih khusus dari
kedua orang tuanya. Hal ini punya maksud untuk perhatian secara khusus.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
45
Mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan yaitu ilayyal mashir, kata
al-mashir seharusnya didahulukan menjadi al-mashir ilayya, hal itu
bertujuan untuk membatasi, artinya hanya kepada Allah tempat kembali
(tidak sama sekali pada yang lain).
Mendahulukan kata yang seharusnya diakhirkan yaitu ilayya marji’ukum
memiliki maksud yang sama seperti pada ayat 14.
b) Diksi
Kata insan, walidaihi, ummu, wahnan ala wahnin, anisykur li walidaik.
Kata wahnan berarti kelemahan atau kerapuhan. Yang dimaksud di sini adalah
kurangnya kemampuan memikul beban kehamilan, penyusuan dan pemeliharaan
anak. Patron kata yang digunakan ayat inilah mengisyaratkan betapa lemahnya
sang ibu sampai-sampai ia dilukiskan bagaikan kelemahan itu sendiri, yakni
segala sesuatu yang berkaitan dengan kelemahan telah menyatu pada dirinya dan
dipikulnya (Shihab, 2002: 130).
b. Komunikasi Persuasi
Dalam ayat 14 ini berkenaan dengan komunikasi pendidikan, yaitu
komunikasi yang melibatkan aspek emosi serta diarahkan untuk menciptakan
penghayatan yang mendalam, hal ini tampak melalui ungkapan yang sangat jelas
menggambarkan penderitaan seorang ibu yang sedang mengandung dan
mengasuh anaknya.
Gambaran tersebut merupakan metode yang dapat menciptakan kondisi
yang memungkinkan orang sampai dari pengetahuan yang konkret kepada
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
46
pengetahuan yang abstrak melalui perenungan dan penghayatan sebagai upaya
penghayatan nilai secara lebih intensif.
Dalam ungkapan ayat ini ada ungkapan-ungkapan yang bersifat memberi
perhatian, pemahaman, mempengaruhi dan meyakinkan yang akan menggerakkan
penerima pesan, itu semua adalah unsur-unsur persuasi.
c. Pendidikan
Menurut Qurthubi (tt: 63) Ayat ini bukan bagian dari dialog Lukman al
Hakim, tetapi ayat ini ditempatkan di antara ayat-ayat yang menceritakan kisah
Lukman al Hakim. Ini berarti bahwa makna yang terkandung dalam ayat ini
menjadi bagian dari pesan Lukman al Hakim kepada anaknya dan menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari kisah Lukman al Hakim.
Al-Maraghi (1971, VII: 82), Antara lain menafsirkan, Setelah Allah swt
menjelaskan wasiat Lukman al Hakim kepada anaknya, agar ia bersyukur kepada
pemberi nikmat pertama, selanjutnya Allah mewasiatkan anak agar berbuat baik
dan taat kepada kedua orang tuanya, serta memenuhi hak-hak mereka.
Dalam Al Quran sering Allah mengiringkan perintah taat kepada Allah
diikuti dengan berbuat baik pada orang tua. Karena merekalah tangan kedua
setelah Allah. Terutama seorang ibu, yang secara khusus disebutkan Allah betapa
berat mendidik anaknya, sejak dalam kandungan, melahirkan, menyusui serta
mendidik tahap selanjutnya. Karena itu Ketika Rasulullah ditanya, kepada siapa
lebih awal untuk berbuat baik Beliau menjawab : “Ibumu, ibumu dan ibumu lalu
bapakmu”
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
47
Selanjutnya Allah Swt memerintahkan bersyukurlah kepada tuhanmu, atas
nikmat iman dan ihsan, dan bersyukurlah kepada kedua orang tuamu atas nikmat
tarbiyyah (al-Shabuni, 1998: 336) Karena keduanya penyebab adanya kamu, dan
karena pendidikan mereka yang baik, sehingga kamu menjadi kuat (al-Maraghi,
1971: 83)
Akan tetapi jika kedua orang tua membawamu untuk kufur dan musyrik
kepada Allah jangan ditaati, 'la tha'ata li makhluk fi ma'shiyatillah' akan tetapi
tetaplah bergaul dalam urusan dunia dengan baik dan ihsan sekalipun mereka
musyrik. Karena kekufuran mereka terhadap Allah tidak menghilangkan
kelelahannya dalam mendidik anaknya.. Tapi ikutilah jalan orang yang kembali ke
jalan Allah dengan tauhid, taat dan amal saleh.
Al-Suyuthi (tt, VI: 521) menyebutkan, bahwa sebab turun ayat ini
berkaitan dengan Sahabat Sa'ad bin Abi Waqash yang selalu berbuat baik pada
ibunya. Setelah dia Islam ibunya marah, dan meminta agar ia meninggalkan Islam
kalau tidak ia (ibu Sa’ad) tidak akan makan dan minum sampai mati. Sa’ad
berkata ‘wahai ibuku! jangan engkau lakukan, sesungguhnya aku tidak akan
meninggalkan agamaku ini karena sesuatu pun’. lalu ibu itu tidak makan sehari
semalam, lalu tidak makan lagi pada hari dan malam berikutnya. Setelah melihat
demikian sa’ad berkata:
“Demi Allah, ketahuilah wahai ibuku, jika ibu memiliki seratus nyawa lalu keluar
satu persatu. Aku tidak akan meninggalkan agamaku ini sedikit pun, jika ibu ingin
makan makanlah, jika tidak janganlah ibu makan, kemudian ibunya makan.”
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
48
Ayat di atas secara nash bersifat umum, tidak berbicara Lukman al Hakim
dengan anaknya secara khusus. Namun demikian, maknanya tetap erat berkaitan,
khususnya tentang pendidikan orang tua terhadap anak. Pada ayat ini dikisahkan
seorang anak pula, Sa’ad bin Abi Waqash yang muslim, dengan Ibunya (orang
tua) yang kafir.
Al-Jauzi (tt, VI: 320) mengutip pendapat Jarir yang menyebutkan, Wajhu
I'tiradh/ bentuk yang berbeda/ berlawanan pada ayat ini dengan wasiat Lukman al
Hakim, menunjukkan bahwa isi dari ayat 14 – 15 termasuk yang diwasiatkan
Lukman al Hakim terhadap anaknya.
Tindakan pendidikan seperti itu akan mengantarkan anak kepada
pemahaman makna dari sesuatu yang disaksikan, diperhatikan dan dihayati, yang
dalam konteks ayat ini diharapkan dapat mempengaruhi hati anak dan
menimbulkan keinginan untuk membalas budi dan memuliakan orang tuanya.
Aspek empati dalam ayat ini terasa kuat, sehingga peserta didik dapat
merasakan secara imajinatif betapa penderitaan dan susah payahnya seorang ibu
yang sedang mengandung anaknya. Proses internalisasi yang intensif seperti ini
dapat membangkitkan kesadaran anak untuk berterima kasih dan memuliakan ibu
bapanya.
Di sini tersirat metode pendidikan yang efektif sebagai suatu proses
internalisasi dalam pendidikan. Materi pendidikan yaitu berbuat baik kepada
orang tua, dikomunikasikan melalui anjuran untuk menghayati penderitaan
ibunya. Komunikasi seperti ini merupakan cara memberi pengaruh dengan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
49
menggugah emosi peserta didik, sehingga berdampak kuat terhadap perubahan
sikap dan perilaku yang sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Kendati
aspek
emosi
diungkapkan
sedemikian
rupa,
sehingga
memungkinkan terjadinya penghayatan yang mendalam dalam diri peserta didik,
tetapi ungkapan yang mengharuskan bersyukur kepada Allah menjadi pembatas,
sehingga tidak akan terjadi pemujaan yang berlebihan terhadap orang tua yang
dapat mengakibatkan syirik. Pembatasan ini menjadi mutlak, mengingat dampak
sampingan (nurturant effect) dari penghayatan yang mendalam yang disertai
kekaguman dapat menimbulkan sikap-sikap negatif dalam bentuk pemujaan orang
atau kultus individu yang justru dapat merusak tujuan pendidikan.
Oleh karena itu memberi pengaruh dengan mengeksploitasi aspek emosi
peserta didik haruslah dibatasi dengan target tertentu, sehingga pendidikan tidak
menyimpang dari tujuan yang diinginkan. Dalam pendidikan ini tampak pula
bahwa komunikasi pendidikan memiliki cakupan yang luas, bukan hanya
melibatkan pendidik dengan peserta didik tapi juga melibatkan peserta didik
dengan dirinya sendiri.
Mengungkap perasaan
anak
dengan
rangsangan
emosional
yang
menyentuh perasaan akan sangat efektif bagi pendidikan, karena di samping
nalarnya didorong untuk berpikir dan memberi pertimbangan, juga perasaannya
disentuh untuk dapat merasakan sesuatu yang dirasakan oleh orang lain. Dampak
yang diharapkan dari perilaku ini adalah tumbuhnya perilaku dan sikap anak yang
dapat menghargai orang lain, membalas budi dan perilaku lainnya yang
didasarkan atas kesadaran moralnya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
50
Demikian pula tatkala Lukman al Hakim memberi tahu bahwa amal
perbuatan sekecil apa pun akan di balas oleh Allah diikuti dengan kata-kata
sesungguhnya Allah Maha Halus dan Maha Mengetahui.
Dari segi materi pendidikan, ayat ini mengisyaratkan perlunya peserta
didik diajari etika berhubungan dengan orang tua. Materi ini memiliki sifat praktis
dalam bentuk tingkah laku, baik ucapan maupun perbuatan. Walaupun demikian,
materi akhlak ini bukan suatu keterampilan, karena lahir dari kesadaran untuk
bersyukur kepada orang tua. Akhlak kepada orang tua meliputi cara berbakti, taat,
berbuat ihsan, memelihara keduanya pada saat tuanya dan tidak berkata keras atau
menghardik (al-Maraghi, 1971: 84) dan mendoakannya setelah mereka meninggal
dunia.
Dalam ayat di atas diungkapkan pula makna tujuan manusia yang
terangkum dalam kalimat “ilayyal mashir” yaitu kembali kepada Allah yang
mengandung arti bahwa tujuan akhir manusia adalah kembali kepada Allah. Oleh
karena itu seluruh aktivitas manusia mengacu dan menuju kepada sumber
kebenaran yaitu Allah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tujuan hidup
manusia adalah penyerahan diri secara total kepada Allah yang dalam istilah
agama disebut Ibadah.
Ibadah dalam kaitan pendidikan dapat dipandang sebagai tujuan, karena
dalam pandangan Islam seluruh perilaku manusia pada dasarnya adalah
perealisasian dari ibadah. Demikian pula dengan pendidikan yang merupakan
salah satu dari aktivitas manusia.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
51
Nilai pendidikan yang tersirat dalam ayat 15 ini adalah peran orang tua
tidak segalanya, melainkan terbatas dengan peraturan dan norma-norma Ilahi.
Implikasi pemaknaan tersebut pada peran pendidik adalah pendidik tidak
mendominasi secara mutlak kepada tingkah laku peserta didik, tetapi peserta didik
didorong untuk aktif mengembangkan kemampuan dan pikirannya untuk
menyelidiki nilai yang diberikan berdasarkan pengetahuan yang telah dimilikinya
yang berlandaskan kepada nilai-nilai Ilahiah. Dalam ayat ini tersirat pula makna
tentang batas-batas pendidikan, yaitu upaya memberikan pengaruh terbatas hanya
kepada tujuan tertentu, tidak merupakan tindakan yang bebas.
Dalam ayat ini dapat disimak pula indoktrinasi dari pihak pendidik
hendaknya tidak dilakukan secara sembarangan, tetapi mempertimbangkan esensi
dari suatu tindakan yang sedang dididikkan. Sebaliknya peserta didik dapat secara
aktif menggunakan pengetahuan dan pertimbangan yang telah dimilikinya untuk
menilai persoalan-persoalan yang prinsipiil yang menyangkut keimanan.
Ayat ini mengisyaratkan pula perlunya keteladanan sebagai alat
pendidikan untuk memberikan gambaran tingkah laku nyata yang sesuai dengan
makna yang diajarkan dan tujuan yang ditetapkan. Di sini terkandung perwujudan
kepribadian sebagai proses awal yang ditempuh anak dalam mengenal nilai.
Nilai-nilai yang telah dikenal melalui tingkah laku orang yang ditiru
dengan cara proses identifikasi, lambat laun akan menjadi miliknya sendiri tanpa
membayangkan kembali orang-orang yang pertama kali nilai itu ditransfer,
sehingga nilai-nilai itu menjadi bagian dari dirinya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
52
Dalam ayat ini yang terkandung antara lain, kaitan wasiat Lukman al
Hakim dengan wasiat untuk berbuat baik pada orang tua, menunjukkan serta
mempertegas betapa jelek dan buruk musyrik itu. Pendidikan yang tertanam di
sini, pendidikan keimanan, untuk bertauhid hanya kepada Allah Swt.
Tidak sependapat dan tidak taat kepada orang tua atau guru dalam hal yang
bertentangan dengan ketentuan Allah, adalah sesuatu yang dituntut oleh Agama.
Ini diisyaratkan oleh ayat ke 15.
Bermuamalah dengan ma’ruf dalam urusan dunia, dengan guru, orang tua
juga yang lainnya dituntut Agama Islam, sekalipun mereka orang kafir. Guru tidak
boleh mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan Akidah Islam. Murid harus
punya pendirian kuat terhadap kebenaran. Bahan ajar yang diberikan, Tauhid dan
kemasyarakatan / sosial. Metode pengajaran yang digunakan ialah Hiwar washfi.
4) Lukman : ayat 16
“(Lukman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah
Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
a. Analisis Bahasa
a) Gaya Bahasa
Dalam ayat ini terdapat unsur gaya bahasa (balaghah) tasybih tamtsil yaitu
menyerupakan sesuatu dengan yang lain, yang wajhu syibahnya berupa gambaran
yang dirangkai dari keadaan beberapa hal, yaitu "innaha in taku mistqalu
hubbatun min khardalin fatakun fi shakhra" (Sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu..) ungkapan ini bertujuan
untuk mengungkapkan luasnya ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu baik
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
53
besar, kecil, nampak, tersembunyi Allah mengetahui sekecil apa pun, tersembunyi
bagaimana pun dan di tempat manapun (al-Jarim dkk, 1998: 43). al-Shabuni
(1998, II: 336) menyebutkan, maksud dari tamtsil/ perumpamaan tersebut bahwa
tidak ada bagi Allah dari sesuatu amal hambanya yang tersembunyi.
Kemudian gaya bahasa Tatmim, pada ayat fatakun fi shakhra dalam ayat
ini unsur tatmim (menyempurnakan) yaitu sempurna tersembunyinya dan tempat
persembunyiannya.
Al-Jauzi (tt, VI: 321) menyebutkan bahwa sebab turun perkataan Lukman
al Hakim yang ini karena adanya perkataan Ibnu Lukman terhadap ayahnya, yaitu:
"Ayahku, bagaimana jika aku melakukan dosa yang tidak ada seorang pun
melihatnya, apakah Allah mengetahuinya?"
Atas pertanyaan itu maka Lukman al Hakim menjawab, bahwa pekerjaan
baik atau buruk sekecil apapun misalnya sekecil biji sawi dan berada di tempat
yang paling tersembunyi sekalipun misalnya di dalam batu pada lapis bumi yang
ke tujuh, atau di tempat yang tertinggi, misalnya, langit-langit atau di tempat yang
terendah sekalipun, seperti di dalam kandungan bumi, pasti Allah mengetahuinya,
membuktikannya dan mendatangkan balasannya di akhirat nanti, Karena Ia maha
Latief/lembut dengan ilmunya dapat mengetahui sampai ke tempat yang
tersembunyi sekalipun, dan Allah Khabir, mengetahui sesuatu yang tampak juga
yang tersembunyi. (al-Maraghi, 1971: VII: 84, dan al-Jauzi, tt: VI: 322)
b) Diksi
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
54
Habbah (biji), Khardal (sawi), Lathif (halus), Khabir (mengetahui).
Shibab (2002: 134) menjelaskan tentang kata khardal, bahwa satu kilogram biji
khardal (moster) terdiri atas 913.000 butir. Dengan demikian berat satu butir biji
moster hanya sekitar satu per seribu gram + 1 mg dan merupakan biji-bijian
teringan yang diketahui umat manusia sampai sekarang. Oleh karena itu biji ini
sering digunakan al Quran untuk menunjuk sesuatu yang sangat kecil dan halus.
Kata lathif mengandung makna lembut, halus atau kecil. Dari makna ini kemudian
lahir makna ketersembunyian dan ketelitian. Kata khabir memiliki makna
pengetahuan dan kelemahlembutan. Khabir dari segi bahasa dapat berarti yang
mengetahui dan juga tumbuhan yang lunak.
b. Komunikasi Persuasi
Dalam ayat ini dapat ditangkap pula komunikasi persuasi melalui
penghayatan yang melibatkan lingkungan untuk memperoleh penguatan yang
lebih mendalam, tidak hanya sebatas pengetahuan. Hal ini tampak dalam
ungkapan “mitsqala habbatin min khardalin” (seberat biji sawi). Ungkapan ini
merupakan upaya komunikasi melalui kata-kata yang mendekatkan makna nilai
yang diajarkan dengan pengalaman yang telah dimiliki peserta didik.
Pengungkapan materi pendidikan dalam ayat ini dilakukan melalui
perumpamaan yang dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang sesuatu yang
belum diketahui dan dihayati peserta didik dengan cara mengambil sesuatu yang
telah diketahuinya sebagai bandingan, sehingga sesuatu yang baru itu dapat
dipahami karena terkait dengan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya
(apersepsi). Kata-kata “di dalam batu”, “di langit” atau “di bumi” merupakan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
55
ungkapan-ungkapan yang dikenal dan di persepsi keadaannya oleh peserta didik
sebagai sesuatu yang tidak mungkin diketahuinya, karena keadaannya jauh, dalam
dan tidak terjangkau oleh pengetahuan manusia. Dalam tempat dan keadaan
seperti ini, sebuah biji sawi yang kecil diketahui oleh Allah.
Di sini peserta didik belajar tentang kemahatahuan Allah dengan
mengaitkan informasi yang baru diterimanya dengan informasi yang telah
diketahui sebelumnya, sehingga informasi yang datang dapat dengan mudah
dipahami dan diserap peserta didik.
c. Pendidikan
Dalam ayat ini tersirat tujuan pendidikan, yaitu pengarahan kepada
perilaku manusia untuk meyakini bahwa tidak ada sesuatu perbuatan yang berlalu
dengan sia-sia. Keyakinan bagi kemahatahuan Allah ini menjadi dasar bagi
lahirnya
sikap-sikap
konsekuen,
bertanggung
jawab
dan
sikap
yang
menggambarkan kesungguh-sungguhan dan menghindarkan kepura-puraan.
Wasiat Lukman al Hakim dalam ayat ini dimaksudkan untuk mengusik
perasaan anaknya supaya tumbuh keyakinan akan kekuasaan Allah yang tidak
terbatas. Jika keyakinan ini tumbuh, maka akan lahir pula sikap-sikap dan
perbuatan baik, sesuai dengan keyakinan dan kemahatahuan Allah yang telah
tertanam dalam dirinya.
Dalam PBM, pelajaran itu hendaknya diulang dan disinggung kembali. Ini
untuk mengingatkan dan sekaligus mempertegas kembali terhadap ada yang telah
dijelaskan pada waktu yang lalu. Ini ditunjukkan oleh ayat 13 – 14 dan 15, yang
menjelaskan tentang Tauhid, disinggung kembali ketauhidan itu pada ayat ke 16.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
56
Materi pengajaran pertama harus diperluas oleh materi pengajaran
berikutnya, untuk memperkaya wawasan murid. Seperti materi tauhid pada ayat
ke 13 yang menjelaskan keimanan, tidak musyrik, kemudian diperluas dengan
materi pada ayat ke 16 selain menjelaskan tauhidnya juga keimanan tentang sifatsifat Allah, dan juga terhadap alam gaib, seperti balasan amal di akhirat nanti.
Porsi untuk pelajaran tauhid pada pendidikan tingkat dasar/anak–anak
harus lebih besar dari porsi pelajaran yang lainnya. Ini dibuktikan dengan 4 ayat
berturut-turut Allah menampilkan materi ketauhidan, lebih besar dari ayat yang
lainnya/17 dan 18.
Metode yang digunakan dalam mengajarkan tauhid pada tingkat dasar,
bisa
dengan
metode
amtsal/perumpamaan.
Dan
metode
tanya-jawab.
Menggunakan metode amtsal bagi anak-anak, hendaknya disesuaikan dengan
tingkat kemampuan dan kehidupan yang dialami oleh anak. Ini ditunjukkan Allah
dengan
menggunakan
hubbatun/bijikan,
shahratun/batu
sebagai
bahan
perbandingan. Dan kedua ini biasanya sudah ada pada dunia peserta didik.
Mengajarkan keimanan hendaknya peserta didik di bawa atau melihat ke
alam nyata. Seperti Lukman al Hakim mengajak anaknya untuk melihat alam
nyata, bumi, langit, biji dan batuan. Cara ini akan lebih mudah dipahami oleh
peserta didik.
5) Lukman: 17
“Hai anakku, dirikanlah salat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal
yang diwajibkan (oleh Allah).”
a. Analisis Bahasa
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
57
a) Gaya Bahasa
Dalam ayat ini terkandung unsur gaya bahasa balaghah sebagai berikut,
Al-Muqabalah, yang dimaksud al-muqabalah adalah pemaparan dua makna atau
lebih yang berlawanan dari dua ungkapan secara berurutan sebagaimana al-Jarim
(1998: 409) mengungkapkan bahwa: “Muqabalah adalah didatangkannya dua
makna atau lebih di bagian awal kalimat, lalu didatangkan makna yang
berlawanan dengannya secara tertib pada bagian akhri dari kalimat tersebut”.
Seperti dalam ayat ini terdapat muqabalah wa’mur bil ma’ruf dengan wanha ‘anil
munkar (dan perintahlah pada yang baik) dengan (dan cegahlah kemungkaran).
Dua ungkapan ini bertentangan maknanya.
Dalam ayat ini, ada empat wasiat Lukman al Hakim terhadap anaknya; 1)
Salat termasuk Ibadah, 2) Amar ma’ruf, 3) Nahyi munkar, keduanya termasuk
bidang muamalah, dan 4) sabar, ini masuk dalam bidang akhlak.
Lukman al Hakim berwasiat pada anaknya untuk melakukan salat sesuai
waktunya dan khusyuk melakukannya, padanya terdapat ridha Tuhan, dan
mencegah fakhsya dan munkar. Jika dilakukan dengan sempurna, maka jiwa akan
bersih dan keyakinan terhadap Allah akan kuat baik dalam keadaan senang dan
susah, tampak atau tersembunyi. Wasiat ini merupakan takmil nafsahu usaha
untuk kesempurnaan dan kebersihan dirinya.
Selanjutnya, Wasiat Lukman al Hakim takmil lighirih usaha untuk
kesempurnaan bagi yang lain, yaitu dengan cara amar ma’ruf nahyu munkar, yaitu
mentahdzib mereka dan mentazkiyahnya. Mengajak untuk bertauhid, dan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
58
melarang syirik, memerintah pada setiap kebajikan dan keutamaan, serta melarang
pada setiap kejahatan dan kehinaan
Berikutnya, wasiat untuk sabar, di saat melakukan amar ma’ruf nahyu
munkar jika ada manusia yang menyakitinya. Karena seorang da'i saat mengajak
orang lain pada hak, sering dihadapkan pada sesuatu yang menyakitkan. Itu semua
(4 di atas) merupakan perintah yang wajib dilakukan oleh manusia, kewajiban
yang Allah telah tetapkan.
Di awal ayat ini, wasiat didahului dengan salat, lalu diakhiri dengan sabar.
Ini memberi arti bahwa keduanya merupakan tiang memohon pertolongan Allah,
Firmannya 'washta'inu bis shabri was shalat' (al-Maraghi, 1971, VII: 85, dan alSuyuthi, tt, VI: 523).
b) Diksi
Shalat (shalat), ma’ruf (kebaikan), munkar, min ‘azmil umur (urusan yang
mesti). Ma’ruf diambil dari kata ‘arafa, ma’ruf mencakup segala hal yang dinilai
oleh masyarakat baik, selama tidak bertentangan dengan akidah Islamiyah. Dalam
konteks ini diriwayatkan bahwa Asma’ putri Abu Bakar ra. pernah didatangi oleh
ibunya yang ketika itu masih musyrikah. Asma’ bertanya kepada Nabi bagaimana
seharusnya ia bersikap. Maka Nabi saw memerintahkannya untuk tetap menjalin
hubungan baik, menerima dan memberinya hadiah serta mengunjungi dan
menyambut kunjungannya.
Menurut Shihab (2002: 137), ma’ruf adalah “Yang baik menurut
pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas”, selama sejalan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
59
dengan al khair (kebaikan), yaitu nilai-nilai Ilahi. Munkar adalah sesuatu yang
dinilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi.
‘Azm dari segi bahasa berarti keteguhan hati dan tekad untuk melakukan
sesuatu. Kata ini berpatron mashdar, tetapi maksudnya adalah objek, sehingga
makna penggalan ayat itu adalah shalat, amr ma’ruf dan nahi munkar serta
kesabaran merupakan hal-hal yang telah diwajibkan oleh Allah untuk dibulatkan
atasnya tekad manusia, kesabaran diperlukan oleh tekad serta kesinambungannya.
Tekad dan keteguhan akan terus bertahan selama masih ada sabar.
b. Komunikasi Persuasi
Dalam ayat ini terdapat komunikasi persuasi yaitu Lukman al Hakim
setelah memerintah shalat dan menyuruh supaya orang lain mengerjakan yang
baik dan mencegah mereka dari perbuatan yang mungkar, menyuruh bersabar
terhadap musibah, lalu Lukman al Hakim memberikan argumentasi yaitu hal-hal
tersebut dari urusan yang kokoh.
c. Pendidikan
Dalam ayat ini dapat diungkapkan materi pendidikan berupa shalat, yaitu
bentuk ibadah ritual yang wajib dilakukan oleh setiap muslim dengan cara dan
waktu yang telah ditentukan, materi amar ma’ruf nahi munkar, yaitu kewajiban
seorang muslim untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan dan melarang
berbuat kemungkaran, dan materi sabar yaitu sikap hidup yang menerima
konsekuensi dari suatu tindakan. Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan
yang utuh antara peran individu dan sosial dan hubungan individu dengan Allah
secara vertikal serta individu dengan individu dan makhluk secara horizontal.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
60
Shalat sebagai materi pendidikan merupakan bentuk hubungan individu
dengan Allah yang dapat memperteguh keyakinan, penyerahan diri dan dapat
melahirkan ketenteraman jiwa yang merupakan bagian paling penting dalam
pembinaan pribadi.
Kata “aqim” dirikanlah menyiratkan keharusan untuk bersungguh-sungguh
menegakkan shalat, tidak sekadar melaksanakan kewajiban. Dari pengertian ini
dapat ditangkap bahwa mengajarkan shalat bukan sekedar bentuk keterampilan,
tetapi merupakan upaya yang intensif yang didasarkan atas keyakinan yang
berpengaruh kuat dalam pembinaan kepribadian.
Kekuatan pribadi yang didapatkan dari shalat akan mendorong tumbuhnya
keberanian untuk dapat menyuruh orang lain dan lingkungan sosialnya untuk
berbuat kebaikan serta menghindarkan orang lain dari perbuatan syirik. Kekuatan
ini akan melahirkan pula sikap konsekuen dan sikap sabar. Sikap-sikap ini dapat
dikategorikan sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh pendidikan.
Pelajaran Ibadah/Ibadah makhdlah termasuk bahan ajar bagi pendidikan.
Pelajaran yang bersifat muamalah/ ibadah ghair makhdlah, seperti rasa peduli
terhadap lingkungan sekitar amar ma’ruf nahyu munkar, harus sudah dimulai
sejak kecil. Pelajaran akhlak, termasuk pelajaran yang penting diperhatikan pada
pendidikan tingkat dasar. Ini diisyaratkan wasiat Lukman al Hakim untuk anaknya
shabar
Ayat ini juga menunjukkan pentingnya menanamkan pada diri anak sifat
untuk terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri sebelum memperbaiki orang lain.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
61
Ini ditunjukkan dengan dimulai dengan perintah shalat lalu amar ma’ruf nahyi
munkar.
6) Lukman: 18
“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
a. Analisis Bahasa
a) Gaya Bahasa
Larangan dengan menggunakan huruf la nahyi dan diikuti dengan fi’il
mudhari, kemudian diakhiri dengan argumentasi kenapa hal itu dilarang Allah.
b) Diksi
Tusha’ir (berpaling), khaddaka (wajahmu), an nas (manusia), ardhu
(bumi), marahan (sombong), mukhtali (membanggakan diri). Kata tusha’ir
terambil dari kata ash-sha’ar yaitu penyakit yang menimpa unta dan menjadikan
lehernya keseleo, sehingga ia memaksakan dia dan berupaya keras agar berpaling
sehingga tekanan tidak tertuju kepada syaraf lehernya yang mengakibatkan rasa
sakit. Dari kata inilah ayat di atas menggambarkan upaya keras dari seseorang
untuk bersikap angkuh dan menghina orang lain. Memang sering kali penghinaan
tercermin pada keengganan melihat siapa yang dihina.
Kata fi al ardhi/ di bumi disebut oleh ayat di atas, untuk mengisyaratkan
bahwa asal kejadian manusia dari tanah, sehingga dia hendaknya jangan
menyombongkan diri dan melangkah angkuh di tempat itu. Kata mukhtâlan
terambil dari akar kata yang sama dengan khayâl. Karenanya kata ini pada
mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
62
oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya orang yang semacam ini merasa
angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain.
Dengan demikian, keangkuhannya tampak secara nyata dalam kesehariannya.
Kuda dinamai khail karena cara jalannya mengesankan keangkuhan, kata mukhtal
dan fakhura mengandung makna kesombongan, kata yang pertama bermakna
kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku, sedang yang kedua adalah
kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan (Shihab, 2002: 139-140).
b. Komunikasi Persuasi
Dalam ayat ini Lukman al Hakim melakukan komunikasi persuasi dengan
kata larangan (melarang sombong) lalu diikuti dengan argumentasi/alasan ‘Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri’.
c. Pendidikan
Ayat ini menjelaskan wasiat Lukman al Hakim, cara bergaul dengan orang
lain, yaitu jangan sombong, lalu merendahkan yang lain, dan jangan memalingkan
muka saat orang berbicara padamu (Shawi, tt, III: 316) akan tetapi menghadaplah
pada mereka dengan wajah yang penuh rasa senang dan terbuka dengan tidak
sombong dan merasa tinggi (Hijazi, tt, III: 49), karena Allah tidak menyukai
kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri
Menurut Thabari (1988, XI: 74) kata ahs-sha'ru pada awalnya ialah
penyakit yang kena pada pundak atau kepala binatang unta, sehingga unta itu
memalingkan pundaknya. Shawi (tt, III: 316) selanjutnya kata ash-sha'ru
digunakan pada seseorang yang memalingkan pundak dan wajahnya dari yang
lain karena sombong.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
63
Al-Suyuthi (tt, VI: 524) mengutip tafsiran Ibn Abbas, yaitu orang yang
‘mush’ir‘ itu ialah orang yang diberi salam kepadanya lalu dia memalingkan
pundaknya seperti orang yang sombong. Dan tafsiran al-Rabi bin Anas, keadaan
orang fakir dan kaya dalam menuntut ilmu kepadamu (Rasul) adalah sama dan
atas hal ini Nabi saw pernah ditegur Allah "'Abasa wa tawalla"
Dan Wasiat Lukman al Hakim lainnya 'jangan berjalan di muka bumi
dengan angkuh’. Karena pekerjaan itu dimurkai Allah, Ia tidak suka pada yang
angkuh sombong.
Al-Maraghi (1971, VII: 86) mengutip perkataan Ibn Amr bin ‘Ash , yaitu:
Kuburan akan berkata kepada seorang hamba ketika hamba itu dikuburkan, ia
berkata: ... 'wahai bani Adam apa yang memperdayaianmu padaku?' hamba itu
menjawab: 'sungguh aku telah berjalan di muka bumi ini dengan penuh
kesombongan' dalam hadits lain, 'Barang siapa yang menjulurkan pakaiannya
(hingga ke bawah mata kaki) karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya
pada hari Kiamat kelak.
Dalam ayat lain Allah menegur orang yang berjalan dengan congkak
sombong, karena hal itu sekali-kali kamu tidak akan dapat menembus bumi dan
sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Makna sosialisasi sebagai bagian dari pendidikan, yaitu peserta didik dapat
bergaul di tengah-tengah masyarakat dengan berbekal adab dan kesopanan.
Bergaul dengan orang lain di tengah-tengah masyarakat diawali dengan al akhlak
al karimah yang memancar pada kecerahan wajah, sebab wajah yang ramah
merupakan pantulan ketulusan hati seseorang. Karena itu wajah dapat menjadi
awal pergaulan seseorang dengan masyarakat lainnya.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
64
Sopan santun di pandang sebagai materi pendidikan yang dapat
menempatkan peserta didik di tengah pergaulan masyarakat melalui komunikasi
bahasa dan tingkah laku yang sopan dan beradab.
Sopan dan rendah hati dapat dipandang sebagai materi dan sekaligus
tujuan pendidikan. Sebagai materi, ia sangat penting untuk diajarkan sebagai
bekal bersosialisasi dan sebagai tujuan pendidikan, karena sopan dan rendah hati
merupakan pantulan dari ketenangan jiwa dan ketenteraman yang mencerminkan
pribadi luhur.
Jiwa yang tenang adalah jiwa yang terkendali, matang dan puas yang
sebagian pencapaiannya dapat dilakukan melalui upaya pendidikan. Ketenangan
jiwa ini hakikatnya adalah tujuan hidup setiap orang. Ketenangan ini juga
merupakan gambaran keberhasilan hidup yang diridai Allah.
Jiwa yang tenang, dilihat dari segi perkembangan kejiwaan manusia,
merupakan tingkat terakhir dari kebahagiaan atau tingkat tertinggi yang hendak
ingin dicapai dalam perkembangan rohani manusia melalui proses pendidikan.
7) Lukman : 19
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
a. Analisis Bahasa
a) Tinjauan Gaya Bahasa
Dalam ayat ini terdapat unsur balaghah Isti’arah tamtsiliyyah, yaitu
menyerupakan suara yang jelek dengan suara keledai, yaitu 'Inna ankara ash wat
li shautil himar' (sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai)
ungkapan ini bertujuan menyerupakan orang-orang yang sombong bersuara keras
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
65
seperti keledai, ungkapan tasybih di atas tidak menyebutkan adat tasybihnya
(seperti) hal ini bertujuan untuk mengungkapkan penghinaan dan melarang
mengeraskan suara bukan pada tempatnya.
b) Diksi
Waqshid (sederhana), ughdhudh (rendahkanlah), shaut (suara) dan hamir
(keledai). Kata ughdhudh terambil dari kata ghadhdh dalam arti penggunaan
sesuatu yang tidak dalam potensinya yang sempurna. Mata dapat memandang ke
kiri dan ke kanan secara bebas. Perintah ghadhdh jika ditunjukkan kepada mata
maka kemampuan itu hendaknya dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal.
Demikian juga suara, dengan perintah di atas, seseorang diminta untuk tidak
berteriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun tidak harus
berbisik.
b. Komunikasi Persuasi
Dalam ayat ini Lukman al Hakim melakukan komunikasi persuasi dengan
melarang bersuara keras bukan pada tempatnya yang diikuti dengan argumentasi
bahwa suara keras itu jelek seperti suara keledai.
c. Pendidikan
Dalam ayat ini diungkapkan wasiat Lukman al Hakim berikutnya, yaitu
“sederhanalah dalam berjalan” tidak terlampau lambat dan tidak terlampau
cepat, tidak dibuat-buat dan tidak karena ingin dilihat orang dengan
menampakkan ketawadhuan atau kesombongan.
Aisyah pernah melihat seorang laki-laki yang hampir mati karena takut. Ia
berkata: “Siapa dia?”, lalu dikatakan padanya: “Ia seorang al-qurra” (fakih ‘alim
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
66
terhadap kitab Allah). Lalu Aisyah berkata: “Umar adalah seorang yang al-qurra,
bila ia berjalan ia berjalan dengan cepat, bila berbicara ia didengar, dan bila
memukul pukulannya pun menyakitkan”
Umar melihat orang pura-pura mati, Ia berkata 'janganlah kamu
mematikan agama kami, Allah pasti akan mematikanmu' Dan melihat orang yang
mengangguk-anggukan kepalanya, lalu Umar berkata 'Angkatlah kepalamu,
karena Islam berjaya bukan oleh orang sakit' (al-Maraghi, 1971, VII: 86)
Dan berikutnya Lukman al Hakim berwasiat ‘rendahkanlah suaramu’
jangan engkau mengangkatnya dengan keras, karena itu jelek tidak dipandang
baik oleh yang berakal (al-Shabuni, 1998, II: 337) karena seburuk-buruk suara
ialah suara himar, maka siapa yang mengangkat suaranya ia bagaikan himar
Qatadah berkata, seburuk-buruk suara ialah suara himar awalnya
mengeluarkan nafas panjang dan akhirnya menarik nafas. Di antara kebiasaan
orang Arab merasa sombong dengan suaranya yang keras, siapa yang paling keras
suaranya dialah yang paling mulia, dan yang paling rendah suaranya dialah yang
terhina (al-Maraghi, 1971, VII: 87)
Dari dua ayat terakhir ini (ayat 18–19) merupakan penyakit yang ada pada
manusia (Hijazi, tt, III: 49). Lukman al Hakim memerintah anaknya, yang pertama
(ayat 18) untuk kebersihan bathin, dan yang ke dua membersihkan dhahir,
sehingga tercapai kesempurnaan bathin dan dhahir (Shawi, tt, III: 316).
Dalam ayat ini terdapat nilai pendidikan yang berkaitan dengan metode
pendidikan, yaitu menyampaikan komunikasi melalui gambaran dan pemisalan.
Tamsil yang dimaksud adalah keledai dengan sifat yang melekat dalam dirinya
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
67
yang digunakan untuk mengumpamakan orang yang bersuara keras. Sedangkan
tujuan yang tersirat di dalamnya adalah agar terdidik tidak berbuat sombong,
tetapi dapat berkata dan berperilaku lemah lembut dan sopan.
Keledai adalah binatang yang kotor dan paling buruk suaranya di antara
binatang dan dalam ayat ini binatang digunakan sebagai alat pendidikan.
Penggunaan alat pendidikan yang diambil dari lingkungan yang akrab dengan
terdidik mengandung makna dan nilai pedagogis yang dalam, karena komunikasi
pendidikan yang ditunjang oleh alat pendidikan seperti itu akan memungkinkan
terjadinya komunikasi yang efektif, yaitu peserta didik dapat memahami makna
yang diajarkan secara utuh, karena alat yang digunakan telah dikenal oleh peserta
didik. Dengan demikian materi yang diajarkan dapat disampaikan dengan baik
yang dalam konteks ayat ini adalah adab kesopanan.
Bidang pengajaran yang diajarkan Lukman al Hakim pada ayat 18 – 19
ialah akhlak. Pengajaran akhlak sangat penting diterapkan pada pendidikan
tingkat dasar. Materi akhlak pada tingkat dasar, hendaknya yang mudah,
sederhana, dan menyentuh kehidupan sehari-hari. Muatan materi pengajaran
akhlak hendaknya menyentuh kesempurnaan batin dan kesempurnaan dhahir.
Dalam mengajarkan pengajaran akhlak bisa dilakukan dengan menggunakan
metoda mauiddhah dan metoda tamtsil.
Keluarga muslim seharusnya menerapkan pendidikan dasar kepada
anaknya, sebagaimana yang dicontohkan Lukman al Hakim dalam al Quran surah
Lukman: 12-19.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
68
Berikut ini esensi dan pelajaran yang dapat diambil dari surah Lukman
ayat 12 - 19 (Sauri, 2006a: 86), yaitu:
Hendaknya bersyukur kepada Allah. (QS. Lukman: 12)
Jangan mempersekutukan Allah. (QS. Lukman: 13)
Agar berbuat baik kepada kedua orang tua. (QS. Lukman: 14)
Perintah orang tua wajib ditolak bila bertentangan dengan perintah Allah. (QS.
Lukman: 15)
Yakin bahwa Allah akan membalas segala amalan (baik maupun buruk). (QS.
Lukman: 16)
Ajaklah anak-anak melakukan shalat dan beri contohlah tentang kesabaran.
(QS. Lukman: 17)
Janganlah sombong dan angkuh. (QS. Lukman: 18)
Hendaklah berbicara dengan suara yang lembut. (QS. Lukman: 19).
Semua itu disampaikan dengan gaya bahasa yang santun, balaghah, dan
menarik.
3. Maqalat Lukman al Hakim pada Anaknya
Sebagaimana diutarakan dalam surat Lukman ayat 12 Lukman al Hakim
adalah sosok manusia yang telah diberi Hikmah oleh Allah SWT. Dan menurut alMaraghi banyak sekali maqalat-maqalat Lukman al Hakim.
Di bawah ini peneliti menyajikan beberapa maqalat atau kata-kata nasihat
Lukman al hakim terhadap anaknya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
69
yang dikutip dari tafsir al-Maraghi (1971: VII: 87), dan disajikan dengan bahasa
Arab dan transliterasi serta terjemahannya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Setelah penyusun menguraikan pembahasan pada bab terdahulu maka
dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
70
Pertama, Teknik komunikasi persuasif memiliki karakteristik yang khas
dan memberikan efek positif bagi komunikan karena kemampuannya yang dapat
mengubah sikap, opini dan perilaku komunikan dengan tanpa paksaan;
komunikan secara tidak sadar mengikuti keinginan komunikator.
Kedua, Al-Quran mengandung ajaran tentang prinsip-prinsip komunikasi
persuasif. Sinyalemen tersebut memerlukan pengamatan secara seksama dan
interpretasi dengan perspektif ilmu sosial khususnya komunikasi.
Ketiga, Prinsip-prinsip metodologis gagasan Qur’ani diantaranya bersifat
rasionalistis, mempunyai aspek humanisme, adanya keluasan potensi manusia,
serta memandang aspek kemaslahatan dan sosietisme Adapun Aflikasi
komunikasi persuasif Al Quran terutama dalam membahas tentang hakikat taubat
dan taqwa dapat diamati dari beberapa hal berikut yaitu Claim, Warrant, dan data.
serta menggunakan ragam teknik komunikasi persuasif yaitu “red herring, Teknik
“pay off idea”, dan Teknik “fear arousing” membuat siapapun yang membaca dan
memahaminya menjadi terkesan dan tidak terpaksa untuk mengamalkan pesanpesan Al Quran termaksud.
Keempat, Karakteristik gaya pengungkapan (demonstrasi) Al-Qur'an
dalam memaparkan tentang hakikat pendidikan dalam kisah Lukmanul Hakim
mengandung dua aspek yaitu Aspek balaghah, susunan kalimat singkat tetapi
mengandung makna yang sangat padat., serta aspek argumentatif dalam
penjabarannya . Kedua aspek termaksud mempunyai makna tersendiri yaitu 1) ,
mempunyai arti lahir dan batin, 2) , pemaparan yang persuasif 3) , motivasi untuk
meneliti dan berfikir, 4) . Membuang kalimat muta’alliq untuk menghasilkan yang
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
71
lebih umum 5) , berhubungan dengan hukum kausalitas terdapat kaitan yang erat
antara kehendak mutlak Tuhan dengan hukum kausalitas (berkiatan dengan
sunnatullah)
Kelima, Esensi dan pelajaran yang dapat diambil kisah Lukmanul Hakim,
yaitu: hendaknya bersyukur kepada Allah swt tidak mempersekutukan-Nya,
senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua kecuali bila bertentangan dengan
perintah Allah swt; Yakin bahwa Allah akan membalas segala amalan (baik
maupun buruk); Senantiasa mengajak anak-anak melakukan shalat dan memberi
contoh tentang kesabaran, tidak sombong dan angkuh serta senantiasa berbicara
dengan suara yang lembut.
3.2 SARAN
Pada kesempatan ini perkenankan penyusun sumbangsih saran sebagai
berikut:
Mengamati bentuk komunikasi persuasif dapat ditarik sebuah sintesis
bahwa pada dasarnya Agama Islam sejak awal kedatangannya ke muka bumi ini
telah memberikan tuntunan menuju jalan keselamatan dan pintu-pintu
pengetahuan begi seluruh umat manusia, hanya saja saat ini umat Islam masih
belum mampu mengali dan berani menampilkan ke segenap umat manusia di
muka bumi ini bahwa Islam merupakan agama yang mengangkat derajat umat
manusia dan mengantarkan menuju jalan keselamatan di dunia dan di akhirat.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
72
DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Karim dan Terjemahnya
Carld I Hovland, Irving L. Janis, Harold H. Kelly, 1963. Communication and
Persuasion. (New Heaven and London : Yale University Press.)
Effendy, Onong Uchyana. 1989. Psikologi, Manajemen dan Administrasi.
Bandung: Mandar Maj.
…………1997 Ilmu Komunikasi dalam Teori dan Praktek. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
………….2000 Ilmu teori dan filsafat komunikasi”. Bandung: Aditya Bakti.
Elvinaro Ardinto, 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi” Bandung : Simbiosa
Rekatama Media,.
Kossen, Stan. 1993 Aspek Manusiawi dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga,.
M. Ghojali Bagus A.P., S.Psi. 2010. Buku Ajar Psikologi Komunikasi – Fakultas
Psikologi Unair
Malik, Deddy Djamaludin dan Irianta, Yosal.2000. Komunikasi Persuasif
Bandung, Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy, 2000. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar”Bandung :PT Remaja
Rosdakarya,
Rachmadi, F. 1992. Public Relations Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama,
Rakhmat, Jalaluddin. 2000. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya,.
Surya, Kusumah. 1978.Peranan Human Relations dan Public Relations dalam
Organiasi. Diklat Lembaga Administrasi Negara RI,
Tasmara, Toto. 1997. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Graha Media Pratama,.
Widjaya, H.A.W, 1986.Komunikasi Dan Hubungan Masyarakat, Jakarta: Bina
Aksara,
William Albig, 1956.. Modern Public Opinion. (New York : McGraww-Hill Book
Company. Inc.
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA (UPI)
perpustakaan.upi.edu | repository.upi.edu | upi.edu
Download