BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit jantung dan pembuluh darah telah menjadi penyebab kematian di Indonesia sejak tahun 1985, dan jumlah penderitanya terus meningkat dan menyerang usia yang semakin muda. Penyakit jantung dan pembuluh darah yang utama adalah penyakit jantung koroner dan hipertensi dengan komplikasinya, disamping golongan penyakit jantung lainnya (dr. Dewi Andang Joesoef, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia, 2014). Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyakit jantung yang disebabkan oleh gangguan aliran darah pada pembuluh darah koroner. Pemicunya biasanya karena pengerasan arteri (aterosklerosis) (Fadilah Supari, 2002). Penyakit jantung koroner adalah keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan antara kebutuhan otot jantung atas oksigen dengan penyediaan yang diberikan oleh pembuluh darah koroner akibat daripada penyumbatan partial atau total (Beers, 2004). Penyakit jantung koroner bukan disebabkan oleh kuman, virus ataupun mikroorganisme lainnya tetapi berkaitan dengan gaya hidup (life style) masyarakat. Penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Dalam kondisi yang telah parah, kemampuan jantung memompa darah dapat hilang. Kondisi ini dapat merusak sistem pengontrol irama jantung dan berakhir kematian (Petch, Michael., 1995) 1 2 Pembentukan plak ini dapat menyertai perpaduan predisposisi genetik dan pilihan gaya hidup. Faktor risiko mencakup usia, jenis kelamin, riwayat keturunan penyakit jantung dalam keluarga dan ras. Faktor lain yang mempengaruhi kemungkinan PJK mencakup kolesterol tinggi, merokok, hipertensi, diabetes mellitus, obesitas, kurang olah raga dan stress (Petch, Michael., 1995). Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan satu dari tiga orang di seluruh dunia meninggal karena penyakit kardiovaskuler pada tahun 2001. Sementara sepertiga dari seluruh populasi dunia saat ini berisiko tinggi untuk mengalami major cardiovaskuler events. Pada tahun yang sama, WHO mencatat sekitar 17 juta orang meninggal karena penyakit ini dan melaporkan bahwa sekitar 32 juta orang mengalami serangan jantung dan stroke setiap tahunnya. Diperkirakan di seluruh dunia terjadi satu serangan jantung setiap 4 detik dan satu stroke setiap 5 detik. Dilaporkan juga, pada tahun 2001 tercatat penyakit kardiovaskuler lebih banyak menyerang pria. Di tahun 2002, prevalensi PJK menurun pada negara maju namun meningkat pada negara berkembang dan transisional, khususnya sebagai akibat dari angka harapan hidup yang meningkat, urbanisasi, dan perubahan gaya hidup. Perkembangan terkini memperlihatkan, penyakit kardiovaskuler telah menjadi suatu epidemik global yang tidak membedakan pria maupun wanita, serta tidak mengenal batas geografis dan sosioekonomis (WHO, 2004). Di Indonesia, prevalensi penyakit jantung koroner menjadi semakin tinggi yakni semakin bertambah penderitanya. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2 3 yang dilakukan secara berkala oleh Departemen Kesehatan menunjukkan, penyakit jantung memberikan konstribusi sebesar 19,8 persen dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993. Angka tersebut meningkat menjadi 24,4 persen pada tahun 1998. Angka kematian akibat PJK mengalami peningkatan dari 11% (SKRT 1987), 16% (1991), dan 26% (1995). Hasil SKRT tahun 2001, penyakit jantung koroner telah menempati urutan pertama dalam deretan penyebab utama kematian di Indonesia sebesar 26,4 %. Angka kematian akibat PJK diperkirakan mencapai 53,5 per 100.000 penduduk Indonesia. Penderita dengan sindroma koroner akut (SKA) yang merupakan manifestasi klinik akut penyakit jantung koroner, mempunyai risiko untuk mendapat komplikasi yang serius bahkan berujung kematian. Data Depkes RI tahun 2005 menyatakan bahwa penyakit jantung koroner menempati urutan ke-5 sebagai penyebab kematian terbanyak di seluruh rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kematian 2.557 orang. Menurut laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RIKESDA) Nasional 2013, prevalensi penyakit jantung koroner (berdasar diagnosis tenaga kesehatan dan gejala) berkisar 1,5 persen berdasar diagnosis dokter atau gejala. Prevalensi penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke terlihat meningkat seiring peningkatan umur responden. Serangan jantung adalah suatu kondisi ketika kerusakan dialami oleh bagian otot jantung (myocardium) akibat mendadak sangat berkurangnya pasokan darah kebagian otot jantung. Berkurangnya pasokan darah ke jantung secara tiba-tiba dapat terjadi ketika salah satu nadi koroner terblokade selama beberapa saat, entah 3 4 akibat spasme-mengencangnya nadi koroner atau akibat penggumpalan darah (thrombus). Arteri koroner adalah pembuluh darah di jantung yang berfungsi menyuplai makanan bagi sel-sel jantung. Penyakit jantung koroner terjadi bila pembuluh arteri koroner tersebut tersumbat atau menyempit karena endapan lemak yang secara bertahap menumpuk di dinding arteri. Kekakuan pada pembuluh koroner di sebut aterosklerosis. Aterosklerosis tejadi bila ada penumpukan plak atau timbunan lemak pada dinding-dinding arteri. Plak yang menumpuk akan mengeras dan mempersempit arteri serta menghambat aliran darah ke jantung (Fadilah Supari, 2002). Bagian otot jantung yang biasanya dipasok oleh nadi yang terblokade berhenti berfungsi dengan baik segera setelah spasme reda dengan sendirinya, gejala-gejala hilang secara menyeluruh dan otot jantung berfungsi secara normal lagi. Ini sering disebut crescendo angina atau coronary insufficiency. Sebaliknya, apabila pasokan darah ke jantung terhenti sama sekali, sel-sel yang bersangkutan mengalami perubahan yang permanen hanya dalam beberapa jam saja dan bagian otot jantung mengalami penurunan mutu atau rusak secara permanen. Otot jantung yang mati ini disebut infark (Petch, Michael., 1995). Penyakit jantung koroner sering ditandai dengan rasa tidak nyaman atau sesak di dada, gejala seperti ini hanya dirasakan oleh sepertiga penderita. Rasa nyeri terasa pada dada bagian tengah, lalu menyebar keleher, dagu dan tangan. Rasa tersebut akan hilang beberapa menit kemudian. Bisa juga mengucurkan keringat dingin, kaki terasa sakit sekali dan rasa ketakutan bahwa ajal sudah dekat. 4 5 Juga mungkin merasa lebih nyaman bila duduk dibanding berbaring dan mungkin nafas begitu sesak sehingga tidak bisa santai. Rasa mual dan pusing bahkan sampai muntah, bahkan yang lebih parah yaitu ketika sampai kolaps atau pingsan (Petch, Michael., 1995). Rasa nyeri muncul karena jantung kekurangan darah dan supply oksigen. Gejala lain menyertai jantung koroner akibat penyempitan pembuluh nadi jantung adalah rasa tercekik (angina pectoris). Kondisi ini timbul secara tidak terduga dan hanya timbul jika jantung dipaksa bekerja keras. Misal fisik dipaksa bekerja keras atau mengalami tekanan emosional (Petch, Michael., 1995). Pada usia lanjut gejala serangan jantung sering tidak disertai keluhan apapun, sebagian hanya merasa tidak enak badan. Gejala penyakit jantung koroner pada umumnya tidak spesifik untuk didiagnosa angina pectoris (masa tercekik). Biasanya diperoleh riwayat penyakit orang bersangkutan, sedangkan pemeriksaan fisik kurang menunjukkan data yang akurat (Petch, Michael., 1995). Jika sudah parah, maka gangguan jantung dapat dikenali dari gejala klinisnya saja, tetapi jika masih ringan dan baru cenderung mengalami gangguan jantung, maka treadmill test, elektro kardiogram (EKG) dan pemeriksaan darah enzim jantung dapat dilakukan dibawah pengawasan dokter jantung (Petch, Michael., 1995). Pada keadaan tenang pemeriksaan EKG pada orang yang mengidap angina pectoris akan terlihat normal pada keadaan istirahat. Sebaliknya menjadi abnormal 5 6 saat melakukan kerja fisik. Riwayat angina pectoris tidak stabil lebih sulit dikendalikan karena terjadi secara tidak terduga kasus ini menjadi mudah terdeteksi jika diserta nyeri sangat hebat di dada, disertai dengan gejala mual, takut dan merasa tidak sehat (Petch, Michael., 1995). Kondisi penyakit jantung dapat dibagi 4 kategori : 1) Pertama, sehat dapat bekerja berat dan ringan 2) Kedua, dapat bekerja berat dan kalau sudah kecapaian tidak perlu berhenti melakukan aktivitas, tetapi cukup mengurangi intensitas/ beratnya pekerjaan dan kalau sudah merasa fit dalam satu menit intensitas kerja dapat ditingkatkan kembali, begitu seterusnya 3) Ketiga, tidak dapat bekerja berat, tapi dapat melakukan pekerjaan ringan sehari-hari 4) Keempat, sudah parah, untuk berjalan beberapa meter saja sudah kepayahan. Insiden PJK meningkat dengan peningkatan berat badan. Obesitas atau status gizi berlebih mempunyai hubungan dengan terjadinya PJK (Fogoros, R. N., 2003). Lebih dari 30 persen penderita yang terkena penyakit jantung koroner disebabkan oleh pola makan yang buruk atau tidak sesuai dengan gizi seimbang (Qaryati, 2011). Ada tiga faktor yang mempengaruhi pemilihan makanan dan perilaku diet seseorang antara lain faktor sensorik, faktor kepercayaan, faktor lingkungan (Isobel, 2011). 6 7 Sebanyak 80 persen pasien yang memasuki cardiac rehabilitation mempunyai berat badan yang lebih (Ades P.A. et al., 2010). Obesitas berhubungan dengan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler. Meskipun insidens dan mortalitas penyakit kardiovaskuler telah menurun dalam dekade terakhir, beberapa studi menyatakan bahwa meningkatnya prevalensi obesitas dapat memperlambat laju penurunan tersebut (PERKENI, 2008). Di Indonesia, dengan kecenderungan berbagai penyakit degeneratif yang meningkat, menunjukkan kegemukan atau satus gizi lebih sebagai salah satu pencetus penyakit degeneratif. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan pertama pada kelompok umur > 35 tahun (Depkes RI, 1996). Dari berbagai penelitian menunjukkan adanya hubungan antara dislipidemia, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dengan penyakit jantung koroner (PJK) (Azwar, 2004). Status gizi adalah keadaan kesehatan akibat interaksi antara makanan, tubuh, manusia dan lingkungan hidup manusia. Ketiga unsur tersebut merupakan penjabaran dari konsep hubungan tubuh manusia sebagai host (tuan rumah), zat-zat gizi makanan sebagai agent (penyebab penyakit), dan makanan sebagai environment (lingkungan hidup manusia) (Soekirman, 1977). Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang dilihat dari makanan yang dikonsumsi dari penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, status gizi normal dan status gizi lebih (Almatsier, 2005). 7 8 Status gizi perlu dinilai untuk menentukan apakah sesorang mempunyai gizi lebih atau gizi kurang. Status gizi lebih (overnutrition/ obesitas) merupakan keadaan gizi seseorang dimana jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh lebih besar dari jumlah energi yang dikeluarkan (Nix, 2005). Masalah gizi lebih ada dua jenis yaitu overweight dan obesitas. Menurut WHO Gizi lebih, dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan seperti penyakit jantung, diabetes mellitus, hipertensi dan kantung empedu. Untuk menilai status gizi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain dengan cara : klinis, biokimia dan antropometri. Menurut Jellife pengukuran antropometri biasanya digunakan untuk menilai : ukuran massa jaringan seperti pengukuran berat badan, ukuran linear seperti pengukuran tinggi badan, komposisi tubuh dan simpangan kalori, protein dan lemak tubuh . Terdapat berbagai metode pengukuran antropometri tubuh yang dapat digunakan sebagai skrining kelebihan berat badan dan obesitas. Metode tersebut antara lain pengukuran indeks massa tubuh (IMT), lingkar pinggang, dan lingkar lengan dan waist-to-hip ratio (WHR) atau rasio lingkar pinggang pinggul.. Pengukuran antropometri yang sering digunakan dan mudah adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) atau yang dikenal dengan Body Mass Indeks. Cara mengitung IMT adalah : BB (kg)/ TB (m)2.Beberapa kategori dalam pengukuran IMT, yaitu : Kurus dengan nilai IMT <18,5 kg/m2, normal dengan nilai IMT 18,5-24,9 kg/m2, Overweight (kelebihan berat badan) IMT ≥ 23,0 , 8 9 Obese I IMT 25,0-29,9, Obese II IMT ≥ 30,0 ( Centre for Obesity Research and Educational 2007). Penelitian awal di poli Penyakit Tidak Memular (PTM) Puskesmas kecamatan Kalideres Jakarta Barat pada bulan April 2014 dengan jumlah 40 pasien ditemukan prevalensi sebanyak 55 persen dengan kegemukan dan obesitas dan 45 persen dengan BMI normal. 1.2 Identifikasi Masalah. Penyebab PJK secara pasti belum diketahui, meskipun demikian secara umum dikenal berbagai faktor yang berperan penting terhadap timbulnya PJK yang disebut sebagai faktor risiko PJK. Berdasarkan penelitian-penelitian epidemiologis prospektif, misalnya penelitian Framingham, Multiple Risk Factors Interventions Trial dan Minister heart Study (PROCAM), diketahui bahwa faktor risiko seseorang untuk menderita PJK ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko, antara lain : 1. Faktor risiko yang tidak dapat di kendalikan (nonmodifiable risk factors) : keturunan, umur (makin tua risiko makin besar), jenis kelamin, pria mempunyai risiko lebih tinggi dari pada wanita (wanita risikonya meningkat sesudah menopause). 2. Faktor risiko yang dapat dikendalikan (modifiable risk factors) : kolesterol dalam darah (dislipidaemia), merokok, penyakit diabetes mellitus, penyakit 9 10 tekanan darah tinggi (hipertensi), kegemukan dan obesitas, stress, kurang aktifitas tubuh, alkoholisme. Umur adalah faktor risiko terpenting dan 80 persen dari kematian akibat penyakit jantung koroner terjadi pada orang dengan umur 65 tahun atau lebih. Menurut Juwono nilai positif diberikan bila umur > 40 tahun, umur antara 40-60 tahun merupakan usia yang rawan untuk terjadi PJK. Pria berusia 40-45 tahun yang mengeluh sakit di ulu hati merupakan salah satu gejala sakit jantung. Maka itu, kalau anda pria usia 40 tahun merasa sakit di ulu hati, segeralah cek ke dokter spesialis jantung (Fadilah Supari, 2002). Di poli PTM (penyakit tidak menular) Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat pada bulan April 2014 di dapatkan data jumlah pasien 40 orang, presentasi berdasarkan umur adalah ≤ 40 tahun sebanyak 27,5 persen dan ≥ 40 tahun sebanyak 72,5 persen Menurut dr. Petch dari Inggris pria dengan umur kurang dari 65 tahun kirakira mempunyai kemungkinan meninggal akibat penyakit jantung koroner empat kali lebih besar dibadingkan wanita, tetapi pada orang tua risiko ini kira-kira sama diantara kedua jenis kelamin. Selama ini pembahasan PJK selalu didasarkan pada asumsi dan bukti yang diperoleh dari pria. Hal ini telah berlangsung beberapa dekade, sampai akhirnya disadari bahwa PJK juga merupakan penyebab kematian pertama pada populasi wanita. Hal tersebut memicu ilmuwan mengamati perjalanan PJK pada wanita, bagaimana pengobatan dan pencegahannya. Sudah terbukti bahwa hormon kewanitaan berperan penting mencegah aterosklerosis. Ini berarti menopause pada wanita menjadi pemicu terjadinya PJK. Di poli PTM 10 11 Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat pada bulan April 2014 di temukan pada pria sebanyak 62,5 persen dan pada wanita sebanyak 37,5 persen dengan jumlah pasien 40 orang. Setelah usia dan jenis kelamin, salah satu pemicu munculnya penyakit jantung adalah tingginya kadar lemak dalam tubuh sehingga meningkatkan kadar kolesterol jahat (LDLD/Low Density Lipoprotein) dalam darah. Idealnya seseorang yang sehat memiliki LDL yang rendah dan memiliki kadar kolesterol baik (HDL/High Density Lipoprotein) yang tinggi. Kolesterol jahat yang menumpuk pada pembuluh darah dapat mengakibatkan penyempitan liang pembuluh darah dan jika terjadi di dekat jantung maka akan terjadi serangan jantung mendadak. Di Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat di poli PTM pada bulan April 2014 berdasarkan hasil laboratorium pasien dengan status dislipidemia adalah 62,5 persen dan kolesterol normal/ borderline adalah 37,5 persen dengan jumlah pasien 40 orang. Merokok adalah faktor risiko yang mempunyai pengaruh. Risiko timbulnya penyakit jantung koroner meningkat sejajar dengan jumlah rokok yang dihisap. Yang menjadi ciri khas dan merupakan faktor tunggal yang berhubungan kuat atas kejadian PJK pada usia dewasa muda adalah merokok sigaret. Kannel et al. menemukan pada pasien yang menjadi kajian pada Framingham Heart Study, risiko relative terjadi PJK tiga kali lebih tinggi pada perokok usia 35-44 tahun dibandingkan dengan yang bukan perokok. Penelitian case control yang dilakukan oleh J. Ismail, dkk pada tahun 2003 pada laki-laki dan wanita umur 15-45 tahun di 11 12 kawasan Asia Selatan menyebutkan bahwa perokok aktif mempunyai risiko 3,82 kali lebih besar untuk menderita myocard infark (OR=3,82, 95% CI 1,47-9,94) dibandingkan dengan kelompok control. Menurut penelitian Freideriki et al., 92008) didapatkan faktor risiko yang paling dominan adalah pria yang merokok. Pada perokok, kandungan racun seperti tar, nikotin dan karbon monoksida akan menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung. Di poli PTM Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat pada bulan April 2014 di dapatkan data presentasi sebanyak 62,5 persen yang merokok dan yang tidak merokok sebanyak 37,5 persen dengan jumlah pasien 40 orang. Menurut dr. Michael Petch, tekanan darah seperti juga sifat-sifat lain pada manusia tidak mempunyai nilai “normal”. Ia bervariasi dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu. Meskipun demikian, orang dengan tekanan darah yang tinggi untuk waktu yang lama akan mengalami kerusakan pembuluh nadi yang akan menyebabkan timbulnya serangan jantung atau stroke. Hasil penelitian Framingham menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan tekanan darah diastolic 85-89 mmHg akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 2 kali dibandingkan dengan tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg. Menurut Gray et al., (2002) risiko penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan darah. Di Puskesmas Kalideres Jakarta Barat, di dapatkan data sebesar 62,5 persen pasien dengan riwayat hipertensi dan 37,5 persen pasien dengan tekanan darah normal atau borderline dengan jumlah pasien 40 orang. 12 13 Ada hubungan antara obesitas, kolesterol dan penyakit jantung. Tetapi meskipun orang gemuk lebih cenderung mendapat penyakit jantung koroner, hal ini tertutupi oleh kepentingan kadar kolesterol darah pada tingkat tertentu dimana orang yang kurus sering juga menderita serangan jantung. Sampai sejauh ini ada hubungan antara bentuk tubuh dan penyakit jantung koroner, dan tampaknya bahwa ukuran pinggang merupakan predictor yang lebih baik dibandingkan ukuran massa tubuh (Petch, Michael, 1995). Di poli PTM Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat di poli PTM di bulan April 2014 dengan jumlah pasien 40 orang ditemukan prevalensi sebanyak 55 persen dengan kegemukan dan obesitas namun 45 persen dengan BMI normal. Faktor risiko yang paling diperdebatkan adalah stress. Ada satu pendapat yang luas, bahwa orang-orang dengan tipe tertentu cenderung mendapat penyakit jantung koroner. Tipe-tipe ini A dan B yang ditandai oleh Friedman dan Rossenberg pada tahun 1959. Kepribadian tipe A, dikatakan mempunyai risiko yang lebih tinggi karena bersifat ambisius, selalu memperhatikan waktu (selalu terburu-buru), cenderung berbuat banyak pada saat sama dan mempunyai sikap bermusuhan. Sebaliknya, tipe B biasanya bersifat santai, mudah memaafkan, tidak ambisius dan ia tidak cenderung menderita penyakit jantung koroner. Beberapa dampak negatif dari stress adalah perilaku agresif, gugup, frustasi, kecendrungan merokok dan alkoholik, daya piker lemah, peningkatan tekanan darah, denyut jantung dan gula darah (PP&PL, kemenkes, RI, 2011). Di poli PTM Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat pada bulan April 2014 dengan jumlah pasien 13 14 40 orang di temukan 92 persen tidak mengalami stress dan 8 persen mengalami stress. Hubungan antara latihan fisik dan penyakit jantung koroner merupakan suatu masalah lain yang juga belum jelas. Beberapa penelitian yang dilakukan secara berhati-hati menunjukkan bahwa orang yang baru melakukan latihan fisik secara teratur lebih jarang mendapat penyakit jantung, tetapi kita juga sudah sering mendengar mengenai bahaya dari latihan fisik tersebut. Kebiasaan latihan fisik secara teratur yang dimulai sejak usia muda mempunyai dampak yang menguntungkan sedangkan latihan fisik yang dilakukan tiba-tiba dan tidak teratur pada usia pertengahan, pada orang dengan berat badan berlebih dan merokok dapat menimbulkan kejadian yang fatal (Petch, 1995). Berbagai penelitian menunjukkan frekuensi latihan minimal yang dianjurkan adalah 3 (tiga) kali dan maksimal 5 (lima) kali dalam seminggu pada hari yang bergantian artinya selang sehari. Hal ini mengingat tubuh memerlukan pemulihan setelah ber olahraga. Lama latihan berkisar 20-30 menit dianggap sudah cukup memberikan efek meningkatkan aliran darah dan membantu memecahkan metabolism lemak dan kolesterol, sehingga menjaga kestabilan berat badan ideal. 14 15 1.3 Pembatasan Masalah Berdasarkan teori tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya penyakit jantung koroner (PJK) sangat banyak, oleh karena itu peneliti tertarik untuk menganalisis lebih jauh tentang hubungan faktor status gizi dengan kejadian penyakit jantung koroner (PJK) karena data prevalensi insiden penderita penyakit jantung koroner meningkat sejalan dengan peningkatan berat badan. 1.4 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian adalah “ Apakah ada hubungan status gizi dengan kejadian penyakit jantung koroner di Poli Penyakit Tidak Menular Puskemas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat?” 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian penyakit jantung koroner di poli Penyakit Tidak Menular Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat. Tujuan Khusus 1. Mengidentifikasi status gizi pasien penyakit jantung koroner di Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat 15 16 2. Mengidentifikasi kejadian pasien penyakit jantung koroner di Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat 3. Menganalisis hubungan status gizi dengan kejadian penyakit jantung koroner di Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat 1.6 Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti, memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian, menerapkan ilmu yang diperoleh melalui proses perkuliahan dan diskusi serta memecahkan masalah yang terjadi dimasyarakat melalui penelitian. 2. Bagi Universitas, mengembangkan keilmuan mengenai derajat kesehatan masyarakat di Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya dalam bidang penelitian. 3. Bagi Puskesmas Kecamatan Kalideres Jakarta Barat, mengetahui karakteristik pasien dengan penyakit jantung koroner sehingga dapat memberikan program pencegahan dan penanggulangan penyakit jantung koroner sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan masyrakat di wilayah kecamatan Kalideres Jakarta Barat 16