Analisis tentang Bukti Permulaan yang Cukup dan Bukti yang

advertisement
Analisis tentang Bukti Permulaan yang Cukup dan Bukti yang Cukup Terkait
Sah atau Tidaknya Penangkapan dan Penahanan dalam Perkara Tindak
Pidana Narkotika (Studi Kasus: Putusan Praperadilan No.
01/Pra.Pid/2013/PN.JKT.TIM yang diajukan oleh Raffi Farid Ahmad
Gita Gusti Aldina, Chudry Sitompul
Penghkususan Hukum Acara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
Pengkhususan Hukum Acara, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok
e-mail: [email protected]
Abstrak
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas mengenai bukti permulaan yang cukup dan bukti
yang cukup sebagai dasar untuk melakukan penangkapan dan penahanan yang dilakukan
terhadap Raffi Farid Ahmad. Namun, terdapat permasalahan didalam perumusan kedua klausula
ini dikarenakan didalam peraturan perundang-undangan (baik dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
tidak memberikan secara jelas definisi dan penjelasan mengenai penggunaan bukti permulaan
yang cukup dan bukti yang cukup tersebut. Hal ini penting untuk dibahas guna menjawab
permasalahan mengenai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan terhadap seseorang
yang diduga melakukan suatu tindak pidana, khususnya tindak pidana narkotika. Untuk
mendapatkan jawabannya, penulis menganalisis putusan praperadilan yang diajukan oleh Raffi
Farid Ahmad, kemudian melakukan wawancara untuk mendukung data-data sekunder yang
penulis pergunakan dalam penulisan ini. Melalui metode tersebut, penulis mendapatkan suatu
kesimpulan bahwa pemberian definisi mengenai bukti permulaan yang cukup dan bukti yang
cukup merupakan hal yang penting untuk diatur dan dijelaskan dalam KUHAP maupun UndangUndang Narkotika, sehingga tercipta kepastian hukum.
Analysis about Probable Cause and Reasonableness as the validity of Arrest and Detention
in the Crime of Narcotics (Study Case: Pre Trial No. 01/Pra.Pid/2013/PN.JKT.TIM)
ABSTRACT
In this paper, the author discusses clauses of probable cause and reasonableness as a basis for
arresting Raffi Farid Ahmad. In this case, there problems in the formulation of both clauses. The
use of the both clauses are not clearly explained and defined in Criminal Procedural Law
(KUHAP) and the Narcotics Act. It is important to be discussed in the order to answer the
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
validity of the arrest and detention of a person that suspected did a crime, especially the crime of
narcotics. The author has analyzed a pretrial hearing that has submitted by Raffi Farid Ahmad,
then conducted interview to support secondary data. Through this method, the author obtains a
conclusion that giving a definition clauses of probable cause and reasonableness to be set and
described in the legislation.
Keyword: Probable Cause, Reasonableness, The Crime of Narcotics
Pendahuluan
Di Indonesia, angka penyalahgunaan narkotika dari tahun ke tahun menunjukkan
kecenderungan yang semakin meningkat.1 Peningkatan ini terjadi antara lain karena pengaruh
kemajuan teknologi, globalisasi dan semakin derasnya arus informasi. Peningkatan ini tidak
hanya terjadi pada angka penyalahgunanya saja, tetapi juga pada wilayah peredaran gelap
narkotika yang semakin meluas. Saat ini, peredaran gelap narkotika sudah merambah hingga ke
daerah pedesaan, tidak hanya marak di daerah perkotaan saja.2 Selain itu, jenis narkotika yang
beredar juga semakin beragam jenis dan bentuknya.3 Oleh karena itu, masalah peredaran gelap
dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia dikategorikan sebagai extra ordinary crime
(kejahatan luar biasa).4 Penyalahgunaan narkotika memang menjadi menakutkan jika tidak segera
ditangani, karena dampak yang dimunculkan tidak hanya mengancam kelangsungan hidup dan
masa depan penyalahgunanya saja, tetapi juga masa depan bangsa dan negara.
Narkotika sebenarnya merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan
untuk penelitian dan pengobatan penyakit tertentu.5 Namun, jika disalahgunakan atau digunakan
1
“Press Release Akhir Tahun 2013 BNN”, http://bnn.go.id/portal/post/2013/12/23/2013122316104911691.pdf, diunduh tanggal 3 Mei 2014, lihat juga: “Meningkat, Pengungkapan Kasus Narkotika pada 2013”,
http://www.pikiran-rakyat.com/node/263656, diunduh tanggl 3 Mei 2014.
2
“Polda
Sumsel
Amankan
Tersangka
Narkoba
di
Pedesaan”,
http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/01/16/mzh7w6-polda-sumsel-amankan-tersangka-narkoba-dipedesaan, diunduh tanggal 3 Mei 2014.
3
“BNN Temukan Narkotika Jenis Baru”, http://m.tribunnews.com/nasional/2013/12/30/bnn-temukannarkotika-jenis-baru, diunduh tanggal 3 Mei 2014.
4
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 15.
5
Tahun 1806 seorang dokter dari Westphalia bernama Friedrich Wilhelim menemukan modifikasi candu
yang dicampur amoniak yang dikenal dengan morphin (diambil dari nama dewi mimpi Yunani yang bernama
Morphius). Tahun 1856 waktu pecah perang saudara di Amerika Serikat, morphin ini dipergunakan untuk
penghilang rasa sakit akibat luka-luka perang. Tahun 1874 seorang ahli kimia bernama Alder Wright dari London
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
tidak sesuai standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan, baik bagi si
penyalahguna maupun masyarakat luas. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bahan tanaman baik yang sintesis maupun semi sintesisnya yang dapat menyebabkan
penurunan dan penambahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai mengurangi rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.6 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika memberikan definisi:7
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana
terlampir dalam Undang-Undang ini”
Jenis-jenis narkotika ini dibagi dalam beberapa golongan dalam bentuk klasifikasi berdasarkan
zat yang dikandungnya. Zat yang dikategorikan sebagai narkotika dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu Golongan I,
Golongan II, dan Golongan III.8 Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat
digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.9 Sedangkan, Narkotika
Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan,10 dan Narkotika Golongan III adalah
narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
merebus cairan morphin dengan asam anhidrat (cairan asam yang ada pada sejenis jamur). Campuran ini membawa
efek ketika diuji coba kepada anjing. Anjing tersebut memberika reaksi yaitu, tiarap, ketakutan, mengantuk, dan
muntah-muntah. Tahun 1898 pabrik obat “Bayer” memproduksi obat tersebut dengan nama Heroin, sebagai obat
resmi penghilang rasa sakit. Saat ini, heroin sudah tidak lagi dipakai sebagai obat. Hanya morphin saja yang masih
digunakan. Kokain (erythroxylor coca) berasal dari tumbuhan coca yang tumbuh di Peru dan Bolivia. Amerika
Selatan memang salah satu daerah tropis yang banyak ditemui tumbuhan coca. Biasanya digunakan untuk
penyembuhan asma dan TBC. Lihat: M. Wresniwiro, et. al., Vedemecum Masalah Narkoba, Narkoba Musuh
Bangsa-Bangsa, cet. 1, (Mitra Bintibmas), hlm. 17.
6
Kanwil Depdiknas DKI Jakarta, Kami Peduli Penanggulangan Bahaya Narkoba, (Jakarta, 2003), hal. 4.
7
Indonesia (a), Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No.
5062, Pasal 1 angka 1
8
AR. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 49.
9
Ibid.
10
Ibid., hlm. 52.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
pengembangan
ilmu
pengetahuan
serta
mempunyai
potensi
ringan
mengakibatkan
ketergantungan.11
Golongan-golongan narkotika tersebut dapat dilihat dalam Lampiran Undang-Undang No.
35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Pada lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika telah terjadi perluasan jenis dan golongan narkotika dari undang-undang narkotika
terdahulu12. Pada undang-undang terdahulu, jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan
Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap undang-undang
(Undang-Undang No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang No 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika). Pada lampiran Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 dinyatakan bahwa
Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis narkotika, sedangkan pada Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis Narkotika Golongan I.
Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika
Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I.
Saat ini, narkotika jenis baru mulai bermunculan di Indonesia. Narkotika-narkotika jenis
baru tersebut diantaranya New Psychoactive Substance (NPS) yang termasuk dalam MPHP13,
Ketamine, Catha edulis, Mtragyna Speciosa, dan methylone (metilon)14. Zat-zat sintesis tersebut
tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hal ini
dikarenakan ketika Undang-Undang Narkotika ini disusun, mungkin zat-zat sintetis tersebut
belum ada. Penemuan narkotika jenis baru tersebut diiringi dengan adanya penyalahguna
terhadap zat-zat tersebut, sehingga ketika hukum akan menjerat penyalahguna, zat-zat tersebut
tidak termasuk dalam zat/obat yang dikategorikan sebagai narkotika yang dilarang
penggunaannya dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
11
Ibid., hlm. 56.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika dengan alasan tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang menggunakan modus
operandi yang tinggi, teknologi canggih, dan didukung oleh jaringan yang luas, sehingga Undang-Undang No. 22
Tahun 1997 dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang dalam
menanggulangi dan memberantas tindak pidana narkotika. Lihat: AR. Sujono dan Bony Daniel, Op. Cit., hlm. 60.
13
MPHP ialah zat yang memiliki efek stimulant dan dapat menyebabkan kerusakan hati jika dikonsumsi
berlebih pada tubuh manusia. Lihat: “Selama 2 Bulan BNN Temukan 7 Narkoba Jenis Baru”,
http://m.liputan6.com/news/read/654871/selama-2-bulan-bnn-temukan-7-narkoba-jenis-baru, diunduh tanggal 4 Mei
2014.
14
Methylone merupakan turunan dari katinon yang merupakan narkotika golongan I. Hanya saja dalam
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, jenis methylone ini tidak tercantum. Karena ketika UndangUndang Narkotika ini disusun, mungkin zat sintetis ini belum ada. Lihat: http://bnnpsulsel.com/bnnp/24-jenisnarkoba-baru-yang-ditemukan-di-indonesia-masuk-daftar-obat-terlarang-rilis-bnn-ri/, diunduh tanggal 4 Mei 2014.
12
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Hal seperti tersebut di atas, terjadi pula pada kasus penangkapan terhadap Raffi Farid
Ahmad yang dilakukan oleh Penyidik Badan Narkotika Nasional (selanjutnya disebut Penyidik
BNN) di kediaman Raffi Farid Ahmad pada tanggal 27 Januari 2013, yang dilanjutkan dengan
penahanan Raffi Farid Ahmad pada tanggal 1 Februari 2013. Dalam penggerebekan yang
dilakukan oleh Penyidik BNN ditemukan 14 Methylone (baru diketahui jenis zatnya setelah
dilakukan uji laboratorium) dan beberapa linting ganja. Methylone berdasarkan hasil uji
laboratorium merupakan turunan dari katinon, hanya saja methylone belum dimasukan kategori
sebagai narkotika dalam Lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009. Hal tersebut yang
dijadikan oleh Penasehat Hukum Raffi Farid Ahmad sebagai dasar pengajuan permohonan
praperadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya penangkapan, penahanan serta pembantaran
penahanan yang dilakukan oleh Penyidik BNN terhadap Raffi Farid Ahmad. Untuk mengetahui
sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, perlu ditinjau lebih lanjut mengenai bukti
permulaan yang cukup dan bukti yang cukup sebagai dasar melakukan penangkapan dan
penahanan.
Pembahasan
Dengan semakin majunya teknologi yang disertai dengan derasnya arus informasi
menimbulkan aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya
disebut KUHP) dianggap tidak lagi mampu menjawab dan mengatasi persoalan-persoalan hukum
yang dihadapi oleh masyarakat. Untuk itu pembuat undang-undang harus membuat aturan hukum
baru untuk mengatasi kekosongan hukum dalam mengatasi perkembangan tersebut.15 Hal ini
turut mempengaruhi hukum acara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), karena dalam undang-undang pidana diluar KUHP, secara
sekaligus pula mengatur mengenai hukum acaranya. Undang-undang pidana diluar KUHP yang
mengatur pula hukum acaranya menjadi bersifat lex specialis.16 Dengan situasi yang demikian,
15
Hasil wawancara dengan Drs. Sulistiandriatmoko,M.Si, Kasubdit Amfetamina dan Metamfetamina Badan
Narkotika Nasional, Jum’at, 23 Mei 2014, pukul 16.00 WIB, di Kampus FH UI Depok.
16
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, (Depok: Penerbit
Papas Sinar Sinanti, 2013)., hlm. 18.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
maka secara normatif kedudukan KUHAP menjadi lex generalis jika disandingkan dengan
peraturan yang lebih khusus tersebut.17
Itu pula yang terjadi pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, BNN
dalam melaksanakan tugas untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan
prekusor
narkotika,
berwenang
untuk
melakukan
penyelidikan
dan
penyidikan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika.18 Pasal 73 UndangUndang No. 35 Tahun 2009, menentukan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di
sidang pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini.19 Berdasarkan hal tersebut, maka setiap penyelidikan, penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam tindak pidana narkotika, pada dasarnya tetap
mengikuti ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dan diatur dalam KUHAP, kecuali
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menentukan lain, dan diatur tersendiri dalam undangundang tersebut, perihal acara pemeriksaan perkara di luar dan dalam persidangan.20 Berdasarkan
pasal 71 Undang-Undang No.35 Tahun 2009, khusus untuk perkara penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional
(selanjutnya disebut BNN).21 Pasal 71 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan
dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kewenangan sebagaimana Pasal 71
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 dilaksanakan oleh Penyidik BNN.22 Penyidik BNN23 adalah
penyidik yang berasal dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17
Ibid.
Indonesia (a), Undang-Undang Narkotika, UU No. 35 Tahun 2009, LN No. 143 Tahun 2009, TLN No.
5062, Pasal 71.
19
Ibid., Pasal 73.
20
AR. Sujono dan Bony Daniel, Op. Cit., hlm. 141.
21
Indonesia (a), Pasal 71.
22
Ibid., Pasal 72 ayat (1). 23
Peraturan Presiden tentang Badan Narkotika Nasional, Perpres No. 23 Tahun 2010, Pasal 41 ayat (2).
18
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Dalam rangka melakukan penyidikan dalam perkara tindak pidana narkotika, Penyidik
BNN dapat melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika.24 Penangkapan dan
penahanan termasuk dalam tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai upaya paksa.
Mengenai definisi upaya paksa, KUHAP tidak menjelaskan secara gamblang, KUHAP hanya
menjelaskan jenis-jenis yang dapat dikategorikan sebagai suatu upaya paksa. Tindakan-tindakan
yang dapat dikategorikan sebagai tindakan upaya di dalam KUHAP adalah penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat. Ketika upaya paksa dilaksanakan,
akan terjadi perengutan hak atas kebebasan yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia
(HAM). Agar upaya paksa tidak melewati batas HAM, aparat penegak hukum dalam melakukan
suatu upaya paksa harus sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Tetapi aparat penegak
hukum juga manusia biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Untuk menjamin
adanya asas perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa, dari tindakan aparat penegak hukum
yang sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, KUHAP membentuk suatu lembaga yang
dinamakan Praperadilan.
Praperadilan pada prinsipnya dibentuk sebagai lembaga yang berwenang untuk
melakukan pengawasan bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan
pidana. Tugas pengawasan ini diberikan dan dipercayakan kepada pengadilan negeri selaku
pengadilan tingkat pertama dan merupakan wewenang ekslusif dari pengadilan negeri. Pengertian
praperadilan dalam KUHAP, terdapat dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP, yaitu:25
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”
24
Indonesia (a), Pasal 75 huruf g.
Indonesia (b), Undang-Undang tentang Acara Pidana, No. 8 Tahun 1981, LN No. 76 Tahun 1961, TLN
No. 320, Pasal 1 butir 10
25
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Praperadilan merupakan suatu pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, tetapi belum memasuki
atau membahas mengenai pokok perkara, mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan dan penuntutan.
Begitu pula dengan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik BNN terkait dengan tindak
pidana narkotika. Untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu upaya paksa penangkapan dan
penahanan, tersangka atau keluarga atau penasehat hukumnya dapat mengajukan permohonan
praperadilan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.26 Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, hukum acara pidana yang berlaku dalam tindak pidana narkotika
tetap berdasarkan pada ketentuan KUHAP sepanjang tidak ditentukan lain dalam UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Hal ini berarti, ketentuan hukum acara pidana
yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 merupakan ketentuan hukum pidana yang
secara khusus (lex specialis) mengatur proses penyelesaian perkara tindak pidana narkotika.
Sementara itu, KUHAP sebagai ketentuan hukum acara pidana umum tetap berlaku dalam
penyelesaian perkara tindak pidana narkotika (lex generalis) sepanjang tidak ada ketentuan
khusus yang mengaturnya, maka proses penyelesaian perkara tindak pidana narkotika tetap
mengacu pada ketentuan KUHAP.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak menjelaskan secara khusus
ketentuan tentang Praperadilan, yang berarti ketentuan tentang Praperadilan dalam perkara tindak
pidana narkotika tetap mengacu pada ketentuan dalam KUHAP yang diatur pada Pasal 77 sampai
dengan 83 KUHAP. Pasal 77 KUHAP mengatur ketentuan tentang:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan”
Kemudian Pasal 78 ayat (1) KUHAP bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP adalah praperadilan.
26
Ibid., Pasal 79.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Dalam penelitian ini, penulis hanya membahas hal-hal yang terkait dengan putusan
perkara praperadilan tindak pidana narkotika yang diajukan oleh Raffi Farid Ahmad (selanjutnya
disebut Pemohon), terkait sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan serta pembantaran
penahanan yang dilakukan oleh penyidik BNN (selanjutnya disebut Termohon).
Pembahasan mengenai praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan
penahanan serta pembantaran, harus juga membahas mengenai syarat penangkapan sebagai dasar
dilakukan penangkapan. Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tidak diatur mengenai
persyaratan penangkapan sehingga harus kembali mengacu kepada ketentuan di dalam KUHAP.
Pasal 17 KUHAP menyebutkan bahwa perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Sehingga
dapat dikatakan yang dijadikan sebagai dasar untuk dilakukan penangkapan berdasarkan Pasal 17
KUHAP adalah:
a. Seseorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana; dan
b. Dugaan kuat tersebut, didasarkan atau harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup
Pengertian mengenai bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah
bukti permulaan yang menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14
KUHAP.27 Namun, definisi bukti permulaan yang cukup tersebut sesungguhnya masih belum
jelas, karena Pasal 1 butir 14 KUHAP sendiri tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan
bukti permulaan yang cukup. Dalam praktek, masalah mengenai penentuan bukti permulaan bukti
yang cukup, tergantung dari penilaian penyelidik dan/atau penyidik. Dalam praktek biasanya
berpedoman kepada Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana, yang menyebutkan bukti permulaan yang cukup adalah alat bukti
berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah (seperti yang dimaksud menurut Pasal 184
KUHAP), yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana
sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.28
27
Penjelasan Pasal 17 KUHAP.
Peraturan Kapolri (Perkap) No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 1
28
angka 21.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Menurut penelitian Komisi Hukum Nasional, ketidakjelasan pengertian maupun batasan
“bukti permulaan yang cukup” menunjukkan bahwa KUHAP tidak konsisten dengan semangat
lahirnya, yaitu menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang memiliki hak-hak asasi yang
harus dihormati dan dijunjung tinggi. Bukti permulaan yang cukup merupakan dasar untuk
melakukan upaya paksa khususnya penangkapan, dalam menggunakan upaya paksa ini telah
terjadi pengurangan terhadap hak asasi manusia yaitu kebebasan, sehingga harus betul-betul
didasarkan pada bukti yang akurat dan memadai, meski di dalam hukum digunakan asas praduga
tak bersalah tetapi ditengah masyarakat orang yang pernah ditangkap dan ditahan terkadang
mendapat mendapat stigma yang negatif. Bukti permulaan yang cukup seharusnya dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP yang mengatur tentang batas minimal alat bukti yaitu
minimal harus ada 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim.29
Dalam
pertimbangan
hakim
pada
putusan
praperadilan
Nomor
01/Pra.Pid/2013/PN.JKT.TIM, menyebutkan bukti permulaan yang cukup dasar untuk melakukan
penangkapan mengacu pada pendapat M. Yahya Harahap, SH, dalam bukunya yang berjudul
“Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan” edisi kedua.
Menurut M. Yahya Harahap, yang paling rasional adalah apabila perkataan “permulaan” dibuang,
sehingga kalimatnya berbunyi “diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang
cukup”.30 Jika seperti itu rumusan Pasal 17 KUHAP, pengertian dan penerapannya lebih pasti.31
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, karena ketidakjelasan definisi bukti permulaan yang
cukup, pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada penilaian penyidik32. Jika
rumusan Pasal 17 KUHAP menyebutkan “bukti yang cukup” bukan “bukti permulaan yang
cukup” akan didapatkan pengertian yang serupa dengan pengertian yang terdapat dalam Hukum
Acara Pidana Amerika Serikat, yang menegaskan bahwa untuk melakukan penahanan harus
didasarkan pada affidavit33 dan testimony34, yakni harus didasarkan pada adanya bukti dan
29
Komisi Hukum Nasional, Penyalahgunaan Wewenang dalam Penyidikan oleh Polisi dan Penuntutan oleh
Jaksa dalam Proses Peradilan Pidana, 2007. Seperti dikutip Institute for Criminal Justice Reform, Praperadilan di
Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya, (Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2014), hlm. 87.
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
hlm. 158.
31
Ibid.
32
Ibid.
33
Definisi Affidavit adalah keterangan tertulis yang dimuat dibawah sumpah. Lihat: J.C.T Simorangkir, et.
al., Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 5.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
kesaksian.35 Jika ditelaah lebih lanjut, bukti permulaan yang cukup menurut Hukum Acara
Pidana Amerika Serikat, mempunyai kemiripan pengertian dengan rumusan ketentuan Pasal 183
KUHAP, yakni harus berdasar pada prinsip “batas minimal pembuktian” yang terdiri sekurangkurangnya dua alat bukti, bisa terdiri dari dua orang saksi atau saksi ditambah satu alat bukti
lain.36
Namun, dalam praktek peradilan sehari-hari harus tetap menggunakan klausul “bukti
permulaan yang cukup” sesuai dengan yang terdapat dalam Pasal 17 KUHAP. Karena
ketidakjelasan mengenai definisi “bukti permulaan yang cukup” dalam KUHAP, hakim dalam
pertimbangannya berpedoman pada Pasal 1 angka 21 Peraturan Kepolisian (Perkap) RI Nomor
14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, karena Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika juga tidak mengatur ketentuan bukti permulaan yang cukup dalam
tindak pidana narkotika. Sehingga harus mengacu pada Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan. Jika perkara tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Penyidik BNN
juga berpedoman pada Perkap No. 14 Tahun 2012, sebenarnya memang terasa agak janggal
karena BNN dan Polri merupakan dua instansi yang berbeda. Apakah bisa peraturan yang
dikeluarkan oleh Kepala Polri berlaku juga untuk BNN? Namun, dalam pelaksanaan di lapangan,
Penyidik BNN memang berpedoman pada Perkap No. 14 Tahun 2012, karena BNN tidak
memiliki petunjuk khusus dalam pelaksanaan penyidikan.37
Namun, jika diberlakukan pada instansi BNN, memang ditemui perbedaan mengenai
kriteria alat bukti untuk menentukan bukti permulaan yang cukup dalam tindak pidana umum
dengan tindak pidana khusus (tindak pidana narkotika). Bukti permulaan yang cukup berdasarkan
Perkap No. 14 Tahun 2012 adalah alat bukti berupa laporan polisi dan satu alat bukti yang sah,
yang digunakan untuk menduga seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk
dapat dilakukan penangkapan. Mengenai apa yang dimaksud dengan alat bukti yang sah merujuk
34
Testimony berkaitan dengan Testimonial Evidence. Amerika Serikat yang menganut sistem common law,
dalam Criminal Procedure Law menggunakan alat bukti: real evidence, documentary evidence, testimonial evidence,
dan judicial notice. Flora Dianti, “Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?”,
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-bukti-dengan-barang-bukti,
diunduh
tanggal 15 Juni 2014 pukul 02.00 WIB.
35
M. Yahya Harahap, Loc.Cit.
36
Ibid.
37
Hasil wawancara dengan Drs. Sulistiandriatmoko, M.Si, Kasubdit Amfetamina dan Metamfetamina Badan
Narkotika Nasional, Jum’at, 20 Juni 2014, pukul 14.00 WIB, di Kampus FH UI Depok.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
kepada alat bukti yang sah pada Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sedangkan untuk tindak pidana narkotika harus
merujuk pada Pasal 86 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, menyebutkan “penyidik dapat
memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam KUHAP”. Selanjutnya, pada Pasal
86 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, menyebutkan “alat bukti sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 berupa: a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. data rekaman atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau
tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas
maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (1). tulisan, suara,
dan/atau gambar; (2). peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau (3). huruf, tanda, angka,
simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu
membaca atau memahaminya.”
Begitu pun dengan persyaratan mengenai adanya Laporan Polisi38, jika tindak pidana
narkotika ditangani oleh Penyidik BNN, pasti laporan yang masuk kepada penyidik BNN tidak
bisa disebut dengan laporan polisi. Laporan yang masuk kepada BNN disebut dengan Laporan
Informasi. Hal ini berdasar pada Pasal 86 ayat (1) dan ayat (2) huruf a Undang-Undang No. 35
Tahun 2009, yang menyebutkan “penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana
dimaksud dalam KUHAP. Alat bukti alat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berupa: a.
informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu”.
Dalam kasus ini, saksi dari pihak Pemohon, saksi Ali Imron yang melakukan
penangkapan terhadap Raffi Farid Ahmad, mengaku melakukan penangkapan karena
mendapatkan informasi dari masyarakat (informasi tersebut saksi ketahui dari komandannya, lalu
diberitahukan kepada saksi) kalau dirumah Raffi sering digunakan untuk pesta. Berdasarkan
informasi tersebut, dibuatlah Laporan Informasi Nomor: LI/02/I/Sin tanggal 12 Januari 2013
38
Yang dimaksud dengan Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang
adanya suatu peristiwa yang diduga terdapat pidananya baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan
yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Lihat:
Perkap No. 14 Tahun 2012, pasal 1 angka 16.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
tentang Laporan adanya tindak pidana penyalahgunaan narkotika di kalangan artis. Selanjutnya
dilakukan penyelidikan terhadap Raffi Ahmad selama rentang waktu dari 12 Januari 2013 hingga
27 Januari 2013. Berdasarkan adanya informasi dari masyarakat dan hasil dari penyelidikan saksi
Ali Imron beserta timnya melakukan penggerebekan dengan ditemani oleh Ketua RT setempat,
dari hasil penggerebekan itu ditemukan barang berupa 14 butir kapsul yang ada dalam botol
vituro, 2 linting yang diduga ganja, dan hand phone.
Sehingga Laporan Informasi diatas, dapat disimpulkan sebagai laporan tertulis yang
dibuat oleh petugas (dalam hal ini penyidik BNN) tentang adanya suatu peristiwa yang diduga
sebagai suatu tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika dan peredaran
gelap narkotika, baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan
oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Laporan Kasus Narkotika juga dapat dijadikan dasar untuk melakukan penangkapan
karena Laporan Kasus Narkotika dapat disamakan dengan Laporan Hasil Penyelidikan. Laporan
Kasus Narkotika dibuat oleh Penyidik BNN berdasarkan keterangan dari anggota BNN yang
melaksanakan penyelidikan baik secara manual (dengan cara melakukan observasi dan
pengintaian) maupun dengan menggunakan perangkat teknologi informasi (melalui penyadapan
alat komunikasi).39 Laporan Hasil Penyelidikan merupakan salah satu bukti permulaan yang
cukup berdasarkan SK No. Pol.SKEEP/04/I/1982. Bukti permulaan yang cukup berdasarkan SK
No. Pol.SKEEP/04/I/1982 adalah bukti yang merupakan keterangan dan data yang terkandung di
dalam dua diantara: (1). Laporan Polisi; (2). Berita Acara Pemeriksaan di TKP; (3). Laporan
Hasil Penyelidikan; (4). Keterangan Saksi/Saksi Ahli; dan (5). Barang Bukti.40
Selain itu, menurut keterangan saksi Agus Setiawan yang melakukan penyidikan terhadap
Raffi Farid Ahmad, melihat pembicaraan dalam Hand phone Raffi Farid Ahmad dengan Rajib,
yang terdapat kata-kata “kita MDMA malam ini”, lalu ada kata-kata “siapkan dan racikan buat
saya 5 orang yang mau datang” kemudian (orang yang diduga) Raffi menanyakan MDMA masih
banyak kan bro? selain itu Raffi juga nama-nama yang memakai MDMA yaitu WH, YH, W, SD,
dan W. Keterangan saksi Agus Setiawan yang berdasarkan pada barang bukti Hand phone dapat
39
Hasil wawancara dengan Drs. Sulistiandriatmoko, M.Si, Kasubdit Amfetamina dan Metamfetamina Badan
Narkotika Nasional, Jum’at, 20 Juni 2014, pukul 14.00 WIB, di Kantor BNN Jalan MT. Haryono, Cawang, Jakarta
Timur.
40
Badan Pembinaan Hukum Nasional. Loc. Cit. Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
dijadikan alat bukti yang sah dalam tindak pidana narkotika berdasarkan Pasal 86 ayat (2) huruf b
yang menyebutkan
“…data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di
atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik...”
Mengenai penyidik yang dijadikan sebagai saksi pada perkara tersebut, mungkin
menimbulkan pertanyaan, apakah seorang penyidik dapat dijadikan sebagai saksi? Karena
seseorang yang menjadi saksi harus mengikuti ketentuan Pasal 1 angka 26 KUHAP, bahwa
seorang saksi haruslah yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan alami sendiri.41 Sedangkan
penyidik meskipun mengetahui mengetahui suatu tindak pidana (berdasarkan keterangan
tersangka dalam proses penyidikan), tetapi penyidik tidak mendengar sendiri, melihat sendiri, dan
mengalami sendiri. Terhadap penyidik yang dijadikan sebagai saksi, dikenal dengan sebutan
saksi verbalisan42. Saksi verbalisan atau saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian
menjadi saksi atas suatu perkara pidana. Pada dasarnya, ketentuan mengenai saksi verbalisan ini
belum diatur dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia.
Namun, penggunaan saksi verbalisan ini banyak ditemui dalam ranah praktek hukum acara
pidana.43
Hakim dalam pertimbangannya menyatakan berdasarkan keterangan kedua saksi, Ali
Imron dan Agus Setiawan, dikaitkan dengan bukti laporan informasi tanggal 12 Januari 2013
yang menyatakan di rumah di Jl. Lebak Bulus 3 Gunung Balong 1 No. 16 I Jakarta Selatan
dicurigai sering digunakan tempat pesta narkoba dan dengan barang bukti berupa ganja
sebagaimana bukti bertanda T-48 dan dan T-49 yaitu permohonan pemeriksaan laboratorium dan
berita acara pemeriksaan laboratories maka penangkapan terhadap pemohon oleh termohon
adalah sah karena karena penangkapan tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup
yaitu adanya laporan informasi dan saksi serta barang bukti berupa ganja, meskipun ganja
tersebut dibantah kepemilikannya dan untuk mengujinya barang tersebut milik siapa itu sudah
41
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Lihat: Indonesia
(b), Pasal 1 angka 26.
42
Pengertian dari Verbalisan adalah orang (penyidik) yang melakukan proses verbal (penyidikan). Lihat:
http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada tanggal 16 Juni 2013, pukul 23.30 WIB.
43
“Fungsi Saksi Verbalisan”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f72605646b14d/fungsi-saksiverbalisan, diunduh pada tanggal 16 Juni 2013, pukul 23.30 WIB.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
menyangkut pembuktian dipokok perkara bukan di perkara praperadilan. Maka, oleh karena itu
permohonan Pemohon mengenai tidak sahnya penangkapan dan perpanjangan penangkapan
dinyatakan ditolak oleh hakim praperadilan yang menangani kasus ini.
Selain membahas mengenai masalah penangkapan, dalam pembahasan mengenai
praperadilan mengenai sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan, harus juga membahas
mengenai syarat penahanan sebagai dasar dilakukannya penahanan. Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika pun tidak mengatur ketentuan mengenai penahanan, sehingga
kembali harus mengacu kepada ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP. Pasal 21 ayat (1)
KUHAP menyebutkan:
“Perintah penahanan dan penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup,
dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.”
Sehingga dapat disimpulkan, alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau
terdakwa menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP berdasarkan:
a. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan melarikan diri;
b. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti;
dan
c. Tersangka atau terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana
Serupa dengan definisi “bukti permulaan yang cukup”, mengenai definisi “bukti yang
cukup” juga tidak diatur dalam KUHAP. Pembuat undang-undang menyerahkan kembali
penafsirannya dalam praktek penegakan hukum.44 Pada penyidikan sudah dapat dianggap cukup
bukti apabila telah ditemukan penyidik batas minimum pembuktian yang dapat diajukan ke muka
sidang pengadilan, sesuai dengan alat-alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP.45
Batas minimum pembuktian apabila sekurang-kurangnya terdapat dua alat bukti yang sah.
44
M. Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan,
hlm. 167.
45
Ibid., hlm. 168.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Dalam kasus ini, penyidik BNN melakukan penahanan setelah dilakukan pemeriksaan
terhadap alat-alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP, antara lain berupa:
1. Hasil pemeriksaan saksi-saksi, diperoleh keterangan yang saling berkaitan dan
bersesuaian antara satu dengan yang lain;
2. Keterangan tersangka/pemohon (Raffi Farid Ahmad) dalam Berita Acara Pemeriksaan
BAP yang pada pokoknya mengkonsumsi 3,4 Methylenedioxy Methcahinone
(MDMC);
3. Keterangan ahli yang diberikan oleh Prof. Dr. Yahdiana Harahap, Ms. Apt.
Selain itu, alasan penahanan berdasarkan kekhawatiran pemohon untuk melarikan diri,
atau menghilangkan barang bukti, hakim dalam pertimbangannya sependapat dengan alasan
pemohon yang menyatakan pemohon adalah public figure sehingga sangat sulit untuk melarikan
diri, selain itu barang bukti juga sudah disita sehingga tidak perlu khawatir pemohon akan
menghilangkan barang bukti tetapi menurut keterangan saksi Agus Setiawan yang menyatakan
bahwa pemohon dalam pemeriksaan dituduhkan melanggar Pasal 112 ayat 2 yaitu menguasai,
memiliki narkotika bukan tanaman, Pasal 111 ayat (1) adalah menguasai, memiliki narkotika
berjenis tanaman, Pasal 127 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 adalah penyalahgunaan untuk
dirinya sendiri, dan karena pemohon dituduh tidak hanya Pasal 127 Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 saja yaitu menyalahgunakan narkotika untuk dirinya sendiri tetapi juga dituduh
dengan Pasal 112 ayat (2) menguasai atau memiliki narkotika bukan tanaman dan Pasal 111 ayat
(1) maka menurut hakim kekhawatiran penyidik terhadap pemohon untuk melakukan tindak
pidana sebagaimana dituduhkan dalam Pasal 112 ayat (2) dan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang
No. 35 Tahun 2009 beralasan hukum karena memenuhi syarat objektif untuk dilakukan
penahanan yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 21 ayat 4 KUHAP. Sehingga dengan demikian
permohonan pemohon tentang tidak sahnya penahanan dan tidak sahnya perpanjangan penahan
juga harus dinyatakan ditolak.
Mengenai permohonan pemohon terkait dengan pembantaran penahanan, seharusnya turut
masuk dalam lingkup pemeriksaan sah atau tidaknya penahanan, karena pengertian pembataran
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
penahanan46 adalah penundaan penahanan sementara terhadap tersangka karena alasan kesehatan
yang dikuatkan dengan keterangan dokter sampai dengan yang bersangkutan sembuh kembali.
Berarti pembantaran penahanan hanya penundaan penahananan sementara waktu hingga
tersangka sembuh kembali, jika tersangka sudah sembuh tersangka harus menjalani masa tahanan
kembali dan disebut dengan penahanan lanjutan. Sehingga seharusnya dasar pemohonan yang
diajukan oleh Pemohon adalah terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan.
Penutup (Kesimpulan dan Saran)
Kesimpulan:
1. Dalam penanganan perkara tindak pidana narkotika, aparat penegak hukum melaksanakan
tugasnya berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, sehingga undangundang yang khusus tersebut yang digunakan sebagai dasar dalam penanganan perkara
tindak pidana narkotika. Namun, terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum beracara
yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tetap tunduk pada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Pasal 73 Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 menentukan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor
narkotika dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undang kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini. Hal ini berarti setiap penyidikan, penuntutan dan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan dalam tindak pidana narkotika, pada dasarnya tetap
mengikuti ketentuan hukum acara pidana yang berlaku dan diatur dalam KUHAP, kecuali
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 menentukan lain. Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tidak mengatur ketentuan mengenai persyaratan dalam pelaksanan upaya paksa
berupa penangkapan dan penahanan, sehingga harus merujuk kembali kepada ketentuan
dalam KUHAP. Sehingga dalam pelaksaan penangkapan dan penahanan harus mengikuti
Pasal 17 KUHAP yang menjadi dasar dilakukannya penangkapan dan Pasal 21 ayat (1)
46
Peraturan Kepolisian RI No. 12 Tahun 2009, Pasal 1 angka 18.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
dan (4) KUHAP sebagai dasar dilakukannya penahanan. Terkait definisi “bukti permulaan
yang cukup” dan “bukti yang cukup”, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 memang tidak
menyebutkan definisi mengenai bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam
perkara tindak pidana narkotika, namun sebagai pedoman dalam praktek definisi
mengenai bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup dalam tindak pidana
narkotika didasarkan pada Peraturan Kepala Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. Berdasarkan Peraturan Kepala Kapolri No. 14
Tahun 2012 bukti permulaan yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1
(satu) alat bukti yang sah (seperti yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP), dan bukti
yang cukup adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 2 (dua) alat bukti yang sah.
Terkait dengan alat bukti dalam perkara tindak pidana narkotika terdapat alat bukti yang
sah (selain yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP) berupa alat bukti elektronik seperti
yang diatur dalam Pasal 86 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009.
2. Dalam rangka melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan upaya paksa dibentuklah
lembaga praperadilan, yang memiliki kewenangan terhadap pelaksanaan tugas penyidik
dan penuntut umum, terutama yang menyangkut pelaksanaan upaya paksa. Namun
keberadaan lembaga praperadilan saat ini dirasa memerlukan suatu perbaikan. Saat ini
lembaga praperadilan melakukan pemeriksaan atas upaya paksa berdasarkan permohonan
yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya yang merasa telah terjadi
pelanggaran atas haknya. Tanpa adanya pengajuan permohonan tersebut, maka
pengadilan tidak memiliki keharusan untuk melakukan praperadilan. Melihat hal ini dapat
dikatakan bahwa kewenangan pengawasan yang dimiliki lembaga praperadilan dalam
mengawasi upaya paksa hanya dapat dilakukan setelah terjadi pelanggaran atas tindakantindakan yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum. Pemeriksaan praperadilan
juga berlaku bagi tindak pidana khusus seperti tindak pidana narkotika. Dalam UndangUndang No. 35 Tahun 2009 memang tidak mengatur secara khusus ketentuan mengenai
praperadilan, tetapi pihak-pihak yang merasa dirugikan haknya akibat pelaksanaan upaya
paksa dalam perkara tindak pidana narkotika tetap bisa mengajukan permohonan
praperadilan dengan mengacu pada ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Saran:
1. Masalah penangkapan dan penahanan adalah sesuatu yang berkaitan langsung dengan
HAM seseorang atas kebebasan dan kemerdekaan dirinya. Oleh karena itu, KUHAP
seharusnya mengatur mengenai hal-hal dasar yang menjadi persyaratan dalam
pelaksanaaan upaya paksa penangkapan dan penahanan, dalam hal ini dikaitkan dengan
bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup. Sudah seharusnya pemberian definisi
mengenai bukti permulaan yang cukup dan bukti yang cukup diatur dan dijelaskan dalam
KUHAP dan undang-undang pidana diluar KUHP lain (yang juga mengatur mengenai
hukum acara didalam undang-undang tersebut), sehingga tercipta kepastian hukum karena
definisi tersebut telah diatur dan diundangkan secara pasti dan jelas, maka tidak akan
menimbulkan multitafsir. Dalam Penjelasan R-KUHAP, bukti permulaan yang cukup
sudah dicantumkan definisinya pada Penjelasan Pasal 13 ayat (1) RKUHAP. Sedangkan
mengenai bukti yang cukup memang belum dicantumkan definisinya dalam RKUHAP.
2. Fungsi dari lembaga praperadilan yang ada saat ini nampaknya belum dapat berjalan
secara maksimal dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap terhadap tindakantindakan dalam upaya paksa. Rencana pembentukan lembaga Hakim Pemeriksa
Pendahuluan di dalam R-KUHAP sebagai pengganti lembaga praperadilan diharapkan
menjadi suatu langkah yang baik dalam penegakan hukum di Indonesia, karena dalam
konsep ini masing-masing subsistem yang terdapat dalam sistem peradilan pidana akan
saling melakukan kontrol.47
Daftar Refrensi
Buku
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, ed. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
________________, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, ed. 2. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
47
Penjelasan R-KUHAP Tahun 2012
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Institute for Criminal Justice Reform. Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya.
Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2014.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Pangaribuan, Luhut M.P. Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan. Depok:
Penerbit Papas Sinar Sinanti, 2013.
Simorangkir, J.C.T. et. al. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Sujono, AR dan Bony Daniel. Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.
Wresniwiro, M. et. al. Vedemecum Masalah Narkoba, Narkoba Musuh Bangsa-Bangsa, cet. 1.
Mitra Bintibmas.
Media Elektronik
Dianti,
Flora
“Apa
Perbedaan
Alat
Bukti
dengan
Barang
Bukti?”,
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e8ec99e4d2ae/apa-perbedaan-alat-buktidengan-barang-bukti, diunduh tanggal 15 Juni 2014 pukul 02.00 WIB.
“Fungsi
Saksi
Verbalisan”.
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4f72605646b14d/fungsi-saksiverbalisan, diunduh pada tanggal 16 Juni 2013, pukul 23.30 WIB.
“Pengertian Verbalisan”. http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diunduh pada tanggal 16
Juni 2013, pukul 23.30 WIB. “Press Release Akhir Tahun 2013 BNN”.
http://bnn.go.id/portal/post/2013/12/23/20131223161049-11691.pdf, diunduh tanggal
3 Mei 2014,
“Polda
Sumsel
Amankan
Tersangka
Narkoba
di
Pedesaan”.
http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/01/16/mzh7w6-polda-sumselamankan-tersangka-narkoba-di-pedesaan, diunduh tanggal 3 Mei 2014.
“BNN Temukan Narkotika Jenis Baru”.
http://m.tribunnews.com/nasional/2013/12/30/bnn-temukan-narkotika-jenis-baru,
diunduh tanggal 3 Mei 2014.
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
“Selama 2 Bulan BNN Temukan 7 Narkoba Jenis Baru”.
http://m.liputan6.com/news/read/654871/selama-2-bulan-bnn-temukan-7-narkobajenis-baru, diunduh tanggal 4 Mei 2014.
http://bnnpsulsel.com/bnnp/24-jenis-narkoba-baru-yang-ditemukan-di-indonesia-masuk-daftarobat-terlarang-rilis-bnn-ri/, diunduh tanggal 4 Mei 2014.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Peraturan Presiden tentang Badan Narkotika Nasional. Perpres No. 23 Tahun 2010.
_______. Undang-Undang Hukum Acara Pidana. UU No. 8 Tahun 1981. LN No. 76 Tahun
1982. TLN No. 3209.
_______. Undang-Undang Narkotika. UU No. 35 Tahun 2009. LN No. 143 Tahun 2009. TLN
No. 5062.
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Perkap No. 14 Tahun 2012
Analisis tentang…, Gita Gusti Aldina, FH UI, 2014
Download