Kecemasan pada Wanita Hamil yang Enam Bulan Sebelumnya

advertisement
PENDAHULUAN
Kehamilan seorang istri selalu ditunggu-tunggu, baik oleh
istri itu sendiri, maupun oleh keluarga besarnya (Andayani &
Koentjoro,
2004).
Namun,
kehamilan
juga
menimbulkan
perasaan cemas dan takut karena seorang ibu yang hamil harus
menjalani masa yang panjang menanti waktu kelahiran yang
penuh dengan ketidakpastian, hal ini disebabkan karena
kehamilan merupakan salah satu periode krisis dalam kehidupan
seorang wanita (Dariyo, 1997).
Selama masa kehamilan, seorang ibu rentan terkena penyakit
atau
komplikasi.
Hal
ini
dapat
terjadi
karena
adanya
ketidakmatangan dalam perkembangan emosional, psikososial
dan termasuk di dalamnya adalah kecemasan. Sebenarnya
kecemasan yang dialaminya wanita hamil adalah normal, akan
tetapi setiap wanita memiliki kecemasan yang berbeda satu
dengan yang lain tergantung pada kesiapan mentalnya (Atkinson,
Atkinson & Hillgard, 2003).
Menurut Kaplan, Sadock dan Grebb (1997), kecemasan
merupakan respons terhadap situasi tertentu yang mengancam
dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai perkembangan,
perubahan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Terkadang dampak yang terjadi pada kecemasan dapat berupa
dampak yang positif atau negatif. Dampak positif terjadi jika
kecemasan muncul pada tingkat moderat dan memberikan
kekuatan
untuk
melakukan
sesuatu,
membantu
individu
membangun pertahanan dirinya agar rasa cemas yang dirasakan
dapat berkurang sedikit demi sedikit, sedangkan dampak negatif
terjadi jika kecemasan muncul pada tingkat tinggi dan
menimbulkan simtom-simtom fisik yang dapat menghalangi
individu untuk berfungsi efektif dalam kehidupan sehari-hari.
Kondisi psikis ibu yang sedang hamil dapat mempengaruhi
bayi yang sedang dikandungnya. Berbagai penelitian mengenai
masalah ini telah dilakukan dan diketahui bahwa ternyata
kekhawatiran dan kecemasan pada ibu hamil dapat ditularkan
pada janin, sehingga dapat membawa dampak atau pengaruh
negatif terhadap fisik dan psikis, baik pada ibu hamil maupun
pada janin yang dikandungnya (Santrock, 2002; Heterington,
Parke & Locke, 1999; Kartono, 1997).
Kekhawatiran dan kecemasan ibu hamil yang berlebihan dan
semakin menetap, tidak jarang dapat mengakibatkan keguguran
atau aborsi spontan (Boyles, Ness, Grisso, Markovic, Bromberger
& Cifelli, 2000). Sekitar 10 sampai 15% dari kehamilan yang
terdeksi berakhir pada keguguran. Keguguran adalah keluarnya
hasil konsepsi sebagian atau seluruhnya, yang terjadi secara
spontan sebelum kehamilan 20 minggu atau terhentinya
kehamilan sebelum 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram; yang tidak mempunyai kemungkinan hidup (Phil & Satria,
2007). Berbagai penelitian empiris mengungkapkan bahwa
keguguran dapat meningkatkan risiko gangguan psikologis.
Ditemukan bahwa tingkat prevalensi depresi klinis pada wanita
yang mengalami keguguran berkisar antara 10 sampai 33% dan
gangguan kecemasan berkisar antara 21 sampai 43% (Bergner,
2008). Akan tetapi, berbagai penelitian yang lain juga
mengungkapkan bahwa faktor psikologis tidak menyebabkan
keguguran (Bergner, 2008).
Kehamilan yang baru pada wanita yang sebelumnya
mengalami keguguran secara emosional dipenuhi oleh kecemasan
dan harapan-harapan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bergner, Beyer, Klapp, & Rauchfuss (2008), yaitu
wanita yang pernah mengalami keguguran menderita dan
mengeluhkan tentang kecemasannya terhadap kehamilannya
dibandingkan dengan wanita yang tidak pernah mengalami
keguguran dan memiliki simtom kecemasan yang lebih jelas
terlihat.
Wanita dewasa awal mempunyai tugas perkembangan untuk
melahirkan dan meneruskan keturunan. Namun, hal ini terkadang
tidak dapat terwujud karena terjadinya keguguran. Keguguran
yang dialami wanita dewasa awal tidak selalu disertai dengan
penyesuaian diri yang memadai. Akibatnya, jika terjadi
ketidakseimbangan antara tuntutan tugas dewasa awal untuk
meneruskan
keturunan
dengan
penyesuaian
diri
dalam
menghadapi keguguran, maka hal ini akan mengantarkan wanita
tersebut pada kondisi kecemasan (Bowen, Bowen, Maslany &
Muhajarine, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Bergner, Beyer, Klapp dan Rauchfuss (2008),
yaitu 19,55% wanita mengalami depresi dan 18,62% mengalami
kecemasan setelah mengalami keguguran pada kehamilan
pertamanya.
Ketidakstabilan
dari
kondisi
psikologis
wanita
yang
mengalami keguguran dapat menimbulkan efek pada perilaku
yang berkaitan dengan kecemasan. Sementara itu, perhatian dari
instansi kesehatan terhadap kondisi psikologis wanita yang
mengalami keguguran masih sangat kurang. Upaya pendeteksian
dan penanganan terhadap kecemasan pada kehamilan sampai saat
ini juga masih sangat kurang (Bowen, Bowen, Maslany &
Muhajarine, 2008).
Dalam hal ini, kecemasan pada wanita hamil yang enam
bulan sebelumnya mengalami keguguran merupakan keadaan
aprehensi atau keadaan khawatir pada wanita hamil yang enam
bulan sebelumnya mengalami keguguran yang mengeluhkan
bahwa
sesuatu
yang
buruk
akan
segera
terjadi
pada
kehamilannya.
Berangkat dari fenomena di atas, berdasarkan asumsi yang
ada, peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui
kecemasan pada wanita hamil yang enam bulan sebelumnya
mengalami keguguran. Penelitian yang dipaparkan dalam jurnal
ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami kecemasan
wanita hamil
keguguran.
yang enam bulan
sebelumnya
mengalami
Untuk mencapai tujuan tersebut, peneliti menggunakan
metode penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (dalam
Moleong, 2006) metode kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Teknik
pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara dan
observasi. Penelitian ini terfokus pada pengalaman kecemasan
pada wanita hamil yang enam bulan sebelumnya mengalami
keguguran.
Dalam penelitian ini, wawancara dan observasi dipilih
sebagai metode pengambilan data. Partisipan terdiri dari tiga
orang (NA, OH dan SWP – inisial nama) yang merupakan wanita
hamil
yang enam bulan sebelumnya pernah mengalami
keguguran. Ketiga partisipan adalah wanita dewasa awal usia
produktif (21-30 tahun) yang berdomisili di daerah Magelang
serta merupakan pasien dari Panti Bahagia Magelang.
Analisa data dilakukan dengan cara: organisasi data, koding
dan analisis, pengujian terhadap dugaan, analisis, tahapan
interpretasi dan penulisan laporan akhir. Sebagai usaha untuk
menentukan keabsahan data dilakukan teknik pemeriksaan yang
didasarkan atas empat kriteria, yaitu credibility, transferability,
dependability dan confirmability (Moleong, 2007; Dharma,
2008).
Bagian selanjutnya dalam jurnal ini memberikan kajian
pustaka mengenai kecemasan, kehamilan, keguguran serta
kecemasan pada wanita hamil yang enam bulan sebelumnya
mengalami keguguran. Setelah itu dilanjutkan dengan paparan
hasil penelitian terhadap ketiga partisipan serta analisis tentang
kecemasan yang dialami ketiga partisipan selama mengandung.
Bagian terakhir dari jurnal ini memberikan kesimpulan yang
diperoleh dari penelitian ini dan saran untuk penelitian
selanjutnya.
KECEMASAN
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan
khawatir yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan
segera terjadi (Nevid, Rathus dan Greene, 2003). Menurut Freud,
usaha ego untuk mempertahankan dirinya sendiri melawan
kecemasan mencerminkan adanya gangguan kecemasan (Nevid,
Rathus, Greene, 2003). Gangguan kecemasan sendiri dapat
didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai dengan kecemasan
patologis yang tidak disebabkan oleh penyakit fisik, tidak terkait
dengan penggunaan obat-obatan terlarang, dan tidak termasuk
dalam penyakit psikotik (Starcevic, 2005).
Kebanyakan wanita mempunyai kecemasan dalam tingkat
rendah. Kecemasan ini sewaktu-waktu dapat berubah menjadi
serangan panik episodik, phobia atau gangguan kecemasan
seiring dengan peningkatan stres atau perubahan biologis-seperti
terjadinya menstruasi, kelahiran anak atau menopause.
KEHAMILAN
Kehamilan adalah masa dimana seorang wanita membawa
embrio atau fetus didalam tubuhnya, dan kehamilan dapat terjadi
jika ada pertemuan antara sel telur dan sel sperma (Trad, 2006).
Sastrawinata (1983) mengatakan bahwa pada kehamilan terjadi
perubahan pada seluruh tubuh wanita, seperti cepat merasa letih,
amenore
(tidak
mendapat
menstruasi),
perubahan
emosi,
perubahan kerja jantung dan paru serta perubahan payudara.
Kehamilan merupakan episode dasar dramatis terhadap
kondisi biologis, perubahan psikologis dan adaptasi dari seorang
wanita yang pernah mengalaminya. Perubahan kondisi fisik dan
emosional yang kompleks, memerlukan adaptasi terhadap
penyesuaian pola hidup dengan proses kehamilan yang terjadi
(Sastrawinata, 1983).
Wanita yang menginginkan kehamilan dapat mengalami
beberapa fase kecemasan. Fase yang pertama adalah saat wanita
tersebut merenungkan tentang kehamilan. Fase kedua dari
kecemasan wanita ini berasal dari kehamilan itu sendiri. Selama
proses kehamilan berkembang, terjadi perubahan-perubahan pada
tubuh wanita hamil yang dapat menyebabkan kecemasan. Wanita
yang hamil akan selalu bertanya-tanya apakah bayi yang mereka
kandung akan sehat dan bagaimana wanita tersebut dapat
menghadapi tanggung jawabnya yang baru sebagai orang tua
(Attwell, 2006).
KEGUGURAN
Keguguran adalah keluarnya hasil konsepsi sebagian atau
seluruhnya, yang terjadi secara spontan sebelum kehamilan 20
minggu atau terhentinya kehamilan sebelum 20 minggu atau berat
janin kurang dari 500 gram; yang tidak mempunyai kemungkinan
hidup (Phil &Satria, 2007).
Keguguran dapat terjadi karena beberapa sebab, diantaranya
sebagai berikut: adanya kelainan pertumbuhan hasil konsepsi,
biasanya menyebabkan abortus pada kehamilan sebelum usia
delapan minggu, kelainan pada plasenta, misalnya endarteritis
vili korialis karena hipertensi menahun, adanya faktor maternal
seperti
pneumonia,
typus,
anemia
berat,
keracunan
dan
toksoplasmosis, adanya kelainan traktus genetalia, seperti
inkompetensi serviks (untuk abortus pada trimester kedua),
retroversi uteri, mioma uteri dan kelainan bawaan uterus.
KECEMASAN PADA WANITA HAMIL YANG ENAM
BULAN SEBELUMNYA MENGALAMI KEGUGURAN
Reaksi emosional wanita terhadap keguguran sangat beragam.
Bagi beberapa wanita yang mengalami keguguran ditemukan
bahwa terjadi peningkatan ketakutan akan keguguran karena
keguguran cenderung terjadi secara tiba-tiba, dengan rasa sakit,
terjadi pendarahan dan disertai dengan hilangnya jaringanjaringan tubuh (Scher & Dix, 2005).
Keguguran meninggalkan perasaan ketidakpastian tentang
kemampuan reproduksi wanita yang mengalaminya. Sejalan
dengan itu, kehamilan baru secara emosional sangat dituntut
dengan kecemasan dan harapan. Ini terlihat dalam hasil survei
yang dilakukan oleh Bergner, Beyer, Klapp & Rauchfuss (2007):
wanita
hamil
yang
telah
mengalami
keguguran
lebih
mengeluhkan tentang kecemasan spesifik terhadap kehamilannya
jika dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki riwayat
keguguran sebelumnya.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Bergner, Beyer, Klapp
& Rauchfuss (2007) ditemukan bahwa dalam diri wanita yang
telah mengalami keguguran, rata-rata kecemasannya lebih tinggi
jika dibandingkan dengan wanita tanpa riwayat keguguran.
Kecemasan yang paling tinggi ditemukan pada wanita yang telah
mengalami keguguran berulang.
PENGALAMAN KECEMASAN KETIGA PARTISIPAN
PENELITIAN
Berikut ini akan dipaparkan pembahasan mengenai latar
belakang serta kecemasan yang dialami ketiga partisipan
penelitian pada kehamilan keduanya dimana enam bulan
sebelumnya ketiga partisipan mengalami keguguran.
Ketiga partisipan merupakan penduduk asli kota Magelang
yang lahir, tumbuh besar hingga berkeluarga di Magelang. Ketiga
partisipan merupakan wanita hamil dewasa awal yang enam
bulan sebelumnya mengalami keguguran serta terdaftar sebagai
pasien di panti bersalin Bahagia Magelang. Menurut Hurlock
(1980) wanita dewasa awal mempunyai tugas perkembangan
untuk melahirkan serta meneruskan keturunan. Namun ketiga
partisipan belum bisa mewujudkan tugas perkembangannya untuk
melahirkan karena mengalami keguguran pada awal kehamilan
pertamanya. Akibatnya, ketiga partisipan mengalami kecemasan.
Hal ini sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Bowen, Bowen,
Maslany
&
Muhajarine
(2008)
bahwa
jika
terjadi
ketidakseimbangan antara tuntutan tugas dewasa awal untuk
meneruskan
keturunan
dengan
penyesuaian
diri
dalam
menghadapi keguguran, maka hal ini akan mengantarkan wanita
tersebut pada kondisi kecemasan. Ketiga partisipan dinyatakan
hamil kembali enam bulan setelah keguguran. Hal ini sesuai
dengan
kebijakan
yang
dikeluarkan
oleh
World
Health
Organization (WHO) dimana ibu disarankan untuk hamil
kembali dalam waktu minimal enam bulan setelah keguguran
karena wanita yang hamil kembali enam bulan setelah keguguran
memiliki angka keberhasilan hamil dan melahirkan tanpa
komplikasi lebih tinggi dibandingkan dengan yang menunggu
kehamilan lebih lama (Mann, 2010).
Selanjutnya akan dibahas mengenai hasil penelitian tentang
pengalaman kecemasan
wanita hamil
sebelumnya mengalami keguguran.
yang enam bulan
Respon Serta Perubahan Tubuh pada Kehamilan Pertama
Terdapat persamaan respon yang dilakukan oleh partisipan
pertama dan kedua ketika menjalani kehamilan pertamanya.
Kehamilan pertama pada partisipan pertama dan kedua tidak
menimbulkan kecemasan yang normal dan adaptif sehingga
mereka tidak mempunyai dorongan maupun motivasi untuk
memperhatikan kehamilannya dengan baik. Sedangkan partisipan
ketiga menjaga kehamilan pertamanya dengan baik karena
senang dan sudah mengharapkan untuk segera memiliki anak.
Kehamilan
pertama
pada
partisipan
ketiga
menimbulkan
kecemasan normal dan adaptif karena kecemasan mendorong
partisipan ketiga untuk menjaga kehamilan pertamanya dengan
baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Nevid, Rathus dan
Greene (2003) bahwa kecemasan bermanfaat bila memotivasi
seorang wanita untuk menjaga kandungannya saat hamil.
Sastrawinata (1983) mengatakan bahwa pada kehamilan
terjadi perubahan pada seluruh tubuh wanita. Perubahanperubahan tubuh juga dialami oleh ketiga partisipan pada awal
kehamilan pertamanya. Partisipan pertama dan ketiga sama-sama
kerap merasa mual sejak menjalani kehamilan pertamanya. Mualmual di pagi hari (morning sickness) membuat wanita hamil
cemas dan mereka akan bertanya-tanya sampai kapan hal tersebut
akan terus berlangsung (Attwell, 2006). Selain itu, partisipan
pertama juga mengalami rasa kembung dan kerap sendawa.
Partisipan ketiga kerap merasa pusing berlebihan pada pagi hari
dan mudah lelah saat beraktivitas. Sedangkan partisipan kedua
menyatakan bahwa ia tidak merasakan gejala fisik apapun pada
kehamilan pertamanya.
Perubahan Psikologis dan Adaptasi pada Kehamilan Pertama
Perubahan
psikologis
yang berbeda-beda
pada ketiga
partisipan menyebabkan terjadinya perbedaan respon dalam
menghadapi
kehamilan
pertamanya
termasuk
dalam
hal
pemikiran. Pada kehamilan pertamanya, partisipan pertama
bertanya-tanya apakah ia siap akan tanggung jawabnya sebagai
orang tua dan apakah ia dapat memenuhi kebutuhan ekonomi
keluarganya kelak karena ia merasa keadaan ekonominya
sekarang masih kurang kuat. Hal ini menunjukkan fase pertama
kecemasan pada wanita hamil, yaitu fase dimana seorang wanita
merenungkan kehamilan yang dialaminya (Attwell, 2006).
Partisipan kedua tidak memikirkan tentang kehamilan
pertamanya karena tidak merasakan gejala fisik kehamilan.
Sedangkan partisipan ketiga dapat menerima kehamilannya dan
siap mengemban tugas sebagai seorang ibu. Respon partisipan
ketiga terhadap kehamilan pertamanya sesuai dengan apa yang
dinyatakan Atwell (2006) bahwa tugas ibu pada masa kehamilan
adalah menerima kehamilannya, membina hubungan dengan
janin, menyesuaikan perubahan fisik, menyesuaikan perubahan
hubungan suami istri, menyiapkan kelahiran dan menjadi orang
tua.
Perubahan kondisi fisik dan emosional yang kompleks
memerlukan adaptasi terhadap penyesuaian pola hidup dengan
proses kehamilan yang terjadi (Sastrawinata, 1983). Partisipan
pertama dan kedua kurang melakukan adaptasi saat menjalani
kehamilan pertamanya. Hal ini terlihat dari perilaku kedua
partisipan yang meremehkan kehamilannya. Kedua partisipan
tidak mengistirahatkan tubuhnya saat mengalami kelelahan
karena sibuk bekerja serta tidak memperhatikan pola makannya
dengan baik. Sedangkan partisipan ketiga melakukan adaptasi
dengan memperhatikan pola makan serta menambah waktu
istirahat selama menjalani kehamilan pertamanya.
Kondisi
Sebelum
Keguguran
serta
Respon
terhadap
Keguguran
Terdapat perbedaan kondisi yang dialami ketiga partisipan
sebelum mengalami keguguran. Partisipan pertama mengalami
kesedihan yang mendalam saat hamil karena nenek yang telah
mengasuhnya sejak kecil tiba-tiba meninggal. Kecemasan
partisipan pertama yang sebelumnya berada pada tingkat rendah
tiba-tiba berubah menjadi gangguan kecemasan seiring dengan
peningkatan stres yang dialaminya saat neneknya meninggal.
Peningkatan kecemasan yang dialami partisipan pertama sesuai
dengan pernyataan Pick (2010) bahwa kecemasan wanita yang
semula berada dalam tingkat rendah sewaktu-waktu dapat
berubah
menjadi
gangguan
kecemasan
seiring
dengan
peningkatan stres yang dialaminya. Hal ini membuat partisipan
pertama semakin tidak memperhatikan kehamilannya dengan
baik. Sebelum keguguran, partisipan kedua mengalami kelelahan
fisik seusai beraktivitas sepanjang hari. Sedangkan partisipan
ketiga sedang berkunjung di rumah orang tuanya dan dalam
keadaan yang santai.
Scher dan Dix (2005) menyatakan bahwa keguguran hampir
tidak disadari oleh sebagian besar perempuan. Hal tersebut juga
dialami oleh partisipan pertama. Partisipan pertama tidak sadar
dirinya mengalami keguguran karena mengira keluarnya darah
hanya merupakan menstruasi biasa. Namun pada akhirnya,
partisipan pertama berpikir negatif dan berprasangka buruk
terhadap kehamilannya saat melihat darah keluar dari vaginanya.
Berpikir negatif serta berfirasat buruk saat keguguran juga
dialami oleh partisipan kedua dan ketiga.
Ketiga partisipan terkejut atas kegugurannya. Partisipan
pertama dan ketiga menangis, sedangkan partisipan kedua masih
mampu menahan tangisnya pada waktu keguguran. Walaupun
menangis, partisipan pertama berusaha untuk berpikir positif
dalam menghadapi kegugurannya. Partisipan kedua mengalami
ketakutan dan hanya bisa terdiam sambil menahan tangis saat
keguguran. Sedangkan partisipan ketiga langsung menangis dan
berteriak karena panik saat melihat darah. Saat keguguran,
partisipan ketiga berdoa untuk meredakan kepanikannya.
Kecemasan
Saat
Mengalami
Keguguran
dan
Respon
Keluarga terhadap Keguguran
Ketiga partisipan mengalami kecemasan yang disertai dengan
sensasi fisik saat mengalami keguguran. Terdapat persamaan
sensasi fisik yang dialami oleh partisipan pertama dan kedua pada
waktu keguguran. Partisipan pertama dan kedua merasa
jantungnya berdetak keras saat melihat darah. Terdapat juga
persamaan sensasi fisik antara partisipan kedua dan ketiga pada
waktu keguguran, yaitu sama-sama merasa pusing. Sedangkan
persamaan sensasi fisik antara partisipan pertama dan ketiga
adalah mengalami rasa nyeri seperti pada waktu menstruasi saat
keguguran terjadi. Keguguran yang disertai pendarahan hebat
dialami oleh partisipan ketiga.
Saat dinyatakan keguguran oleh dokter, ketiga partisipan
menangis karena keguguran merupakan pengalaman menyakitkan
dan merupakan pengalaman yang meninggalkan kesan mendalam
bagi ketiga partisipan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
oleh Scher dan Dix (2005) bahwa bagi beberapa wanita,
keguguran dapat bersifat traumatik, menyakitkan dan merupakan
pengalaman yang meninggalkan kesan mendalam.
Ketiga suami partisipan terkejut saat mengetahui istrinya
keguguran,
meskipun
demikian
ketiga
suami
partisipan
mempunyai respon yang berbeda saat menghadapi kenyataan
bahwa istirnya telah keguguran. Suami partisipan pertama
terkejut tapi tidak marah dan malah menjadi lebih perhatian.
Suami
partisipan
kedua
juga
terkejut,
namun
mencoba
menenangkan istrinya dengan memberi dukungan. Sedangkan
suami partisipan ketiga berteriak karena terkejut, selain itu
wajahnya menjadi pucat saat melihat istrinya keguguran.
Terdapat persamaan reaksi keluarga atas keguguran yang
dialami oleh ketiga partisipan. Keluarga terkejut dengan
keguguran yang terjadi pada partisipan.
Kondisi serta Respon Sebelum dan Sesudah Kuret
Ketiga partisipan memiliki kesamaan saat menghadapi kuret,
mereka mengalami ketakutan sebelum menjalani proses kuret.
Partisipan pertama dan kedua dibayangi ketakutan akan rasa sakit
saat kuret. Sedangkan partisipan ketiga mengalami ketakutan
karena melihat alat-alat operasi saat berada di ruang operasi.
Terdapat perbedaan gejala fisik yang dirasakan oleh ketiga
partisipan menjelang kuret. Partisipan pertama tidak merasakan
gejala fisik apapun menjelang kuret karena partisipan berusaha
untuk selalu berpikir positif atas kuret. Partisipan kedua merasa
jantungnya berdetak keras, tangan menjadi basah dan dingin
karena cemas dalam menghadapi kuret. Sedangkan partisipan
ketiga merasakan sensasi dingin, bulu kuduk berdiri karena
ketakutan melihat peralatan operasi menjelang kuret.
Ketiga partisipan merasakan efek yang berbeda-beda pada
fisiknya setelah menjalani kuret. Partisipan pertama merasa
tubuhnya menjadi lemas setelah seminggu karena terkena efek
obat bius. Partisipan kedua merasa nyeri pada bagian perutnya.
Hal ini membuat suami mencemaskan konsdisi isitrinya.
Sedangkan partisipan ketiga merasa mengantuk, pusing serta
merasa tidak memiliki tenaga untuk menggerakkan tubuhnya
setelah kuret.
Terdapat persamaan tanggapan antara ketiga pasien seusai
menjalani kuret. Ketiga partisipan menyesali keguguran yang
dialaminya. Selain menyesal, partisipan pertama dan kedua juga
merasa lega karena terhindar dari penyakit berbahaya. Sedangkan
partisipan ketiga menyesal karena masih belum bisa menerima
kegugurannya dan merasa bersalah pada diri sendiri serta pada
keluarganya.
Dampak Keguguran
Keguguran sering menimbulkan rasa putus asa, depresi dan
shock pada wanita (Chye, Teng, Hao & Seng, 2008). Setelah
keguguran, saat sendirian partisipan pertama kerap menangis
karena sedih atas keguguran sekaligus merasa bersalah pada
suaminya. Namun, partisipan pertama tidak terlalu memusatkan
perhatiannya
pada
kecemasan
yang
dialaminya
setelah
mengalami keguguran karena ia dapat berpikir positif mengenai
kegugurannya.
Kecemasan
partisipan
pertama
merupakan
kecemasan normal, hal ini sesuai dengan pernyataan Stracevic
(2005) bahwa kecemasan normal adalah kecemasan dengan
intensitas relatif rendah dan proposional dengan situasi atau
keadaan
disekitarnya
dan
kualitas
pengalaman
yang
menimbulkan kecemasan tidak menimbulkan kesedihan yang
mendalam.
Partisipan kedua dan ketiga juga mengalami kecemasan
setelah keguguran. Keguguran menimbulkan dampak negatif bagi
partisipan kedua dan ketiga. Partisipan kedua akan mengingat
keguguran, meragukan kemampuan reproduksi serta sedih atas
kegugurannya saat sendiri. Keguguran juga membuat partisipan
kedua menjadi orang yang tertutup dan kerap berpikir negatif
tentang orang lain. Selain itu, saat melihat sesuatu yang
berhubungan dengan kehamilan, ia akan bertanya-tanya mengapa
keguguran bisa terjadi padanya. Perubahan perilaku, kognitif,
afektif serta emosional juga terjadi pada diri partisipan kedua.
Perubahan-perubahan tersebut merupakan akibat dari munculnya
kecemasan patologis setelah keguguran.
Keguguran juga mempengaruhi kehidupan partisipan ketiga.
Partisipan ketiga menjadi lebih suka menyendiri, mengalami
ketakutan karena selalu membayangkan darah dalam pikirannya,
mengalami stres serta mudah cemas karena belum bisa menerima
kegugurannya.
Partisipan
ketiga
juga
sempat
mengalami
gangguan tidur dan pernah bermimpi mengalami keguguran lagi.
Selain itu, keguguran membuat partisipan ketiga kehilangan
selera makan serta mengurangi kemampuan komunikasinya.
Keguguran yang disertai pendarahan hebat membuat partisipan
ketiga tertekan dan kehilangan kepercayaan dirinya, selain itu
muncul gejala phobia saat melihat darah. Saat melihat sesuatu
yang berhubungan dengan bayi, partisipan ketiga akan mengingat
kegugurannya. Hal ini terjadi karena partisipan ketiga terlalu
memusatkan perhatiannya pada kecemasan setelah keguguran.
Kecemasan pada partisipan ketiga juga menyebabkan terjadinya
perubahan tingkah laku, seperti berkurangnya selera makan serta
berkurangnya kemampuan komunikasi dengan orang lain.
Perubahan perilaku serta berkurangnya kemampuan komunikasi
pada partisipan ketiga sesuai dengan pernyataan Starcevic (2005)
mengenai kecemasan patologis, bahwa kecemasan patologis
menyebabkan perubahan perilaku dan merusak fungsi seseorang.
Upaya dalam Mengatasi Kecemasan Setelah Keguguran
Terdapat persamaan upaya yang dilakukan oleh ketiga
partisipan
untuk
mengatasi
kecemasan
saat
mengingat
kegugurannya. Mereka akan berdoa saat teringat kegugurannya.
Selain itu, partisipan pertama dan kedua berusaha untuk selalu
memikirkan hal positif sesuai anjuran dokter. Partisipan kedua
dan ketiga akan mencurahkan isi hati pada suami saat merasa
cemas atas kegugurannya. Selain itu, partisipan pertama akan
membaca buku untuk melupakan kegugurannya. Partisipan kedua
akan bermain game, menonton TV dan mengerjakan pekerjaan
rumah tangga yang ringan untuk mengalihkan perhatiannya dari
keguguran. Sedangkan partisipan ketiga akan meminta dukungan
dari keluarga serta mendengarkan musik dan radio untuk
mengalihkan perhatiannya dari keguguran.
Reaksi saat Membicarakan Keguguran
Ketiga partisipan juga mengalami perbedaan gejala fisik yang
dialami saat membicarakan keguguran dengan orang lain.
Partisipan pertama tidak merasakan perubahan fisik apapun,
sedangkan partisipan kedua dan ketiga merasa jantungnya
berdebar keras saat membicarakan keguguran. Partisipan kedua
juga merasa gugup, pusing serta tangannya terasa dingin saat
membicarakan keguguran. Rasa gugup pada partisipan kedua
menunjukkan adanya kecemasan nerurotik. Kecemasan neurotik
merupakan kekhawatiran mengenai bahaya yang tidak diketahui
(Muis, 2009). Sedangkan partisipan ketiga akan berkeringat dan
tangannya basah saat membicarakan keguguran.
Ketiga partisipan mengalami kecemasan moralistik karena
merepresentasikan kecemasannya dalam bentuk rasa bersalah saat
ada orang yang membicarakan kegugurannya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Muis (2009) mengenai representasi dari
kecemasan moralistik yaitu berupa rasa bersalah.
Kecemasan dalam Menanti Kehamilan yang Baru
Reaksi emosional ketiga partisipan terhadap keguguran juga
beragam. Partisipan pertama dan ketiga tidak mengalami
kecemasan dalam menanti kehamilan yang baru, sedangkan
partisipan kedua mengalami kecemasan. Partisipan pertama tidak
mengalami kecemasan karena ia merasakan dampak positif dari
keguguran yang dialaminya. Partisipan ketiga juga tidak
mengalami kecemasan saat menantikan kehamilan keduanya
karena mendapat dukungan dan motivasi dari orang lain dalam
menjalani kehidupannya setelah keguguran. Selain itu, partisipan
ketiga sudah mampu menerima kegugurannya. Partisipan kedua
mengalami kecemasan saat menanti kehamilan keduanya karena
ia dan suaminya ingin segera memiliki anak.
Reaksi saat Mengetahui Kehamilan yang Baru
Terdapat kesamaan perasaan dan tindakan yang dilakukan
oleh ketiga partisipan saat mengetahui kehamilan keduanya.
Ketiga partisipan mengalami kebahagiaan dan sukacita atas
kehamilannya yang baru, selain itu mereka mungkin juga
berjuang melawan ketakutannya sendiri untuk benar-benar
menjadi seorang ibu. Hal tersebut sesuai dengan ungkapan
Attwell (2006) yang menyatakan bahwa wanita yang hamil
mengalami kebahagiaan dan sukacita atas kehamilannya, selain
itu ia mungkin juga berjuang melawan ketakutannya sendiri
untuk benar-benar menjadi seorang ibu.
Partisipan
pertama
merasa
senang
karena
perasaan
bersalahnya terhadap suami dan keluarganya hilang setelah hamil
kembali. Partisipan kedua juga senang dengan kehamilan
keduanya karena bisa merasakan menjadi ibu kembali, namun ia
juga merasa sedih karena
merasa kehamilannya akan
berlangsung lama dan disertai dengan gejala muntah saat
mencium bau menyengat. Sedangkan partisipan ketiga merasa
senang atas kehamilan keduanya karena bisa menyenangkan
keluarganya.
Reaksi Suami dan Keluarga saat Mengetahui Kehamilan
yang Baru
Setelah mengetahui kehamilan istri yang baru, suami para
partisipan merasa senang. Suami partisipan pertama menjadi
bersikap lebih melindungi istrinya serta rela menemani istrinya
saat bekerja. Suami partisipan kedua dan ketiga senang namun
masih belum percaya bahwa istrinya dapat hamil kembali dalam
waktu singkat. Namun setelah mendapat kepastian dari dokter,
mereka menjadi percaya serta meminta istrinya untuk berhati-hati
dalam menjaga kehamilannya yang baru.
Terdapat kesamaan respon yang diberikan oleh pihak
keluarga serta teman-teman dari ketiga partisipan atas kehamilan
yang baru. Keluarga serta teman-teman merasa senang dan
memberi dukungan berupa nasihat agar lebih berhati-hati dalam
menjaga kehamilannya yang kedua.
Terdapat persamaan dampak yang dialami oleh ketiga
partisipan atas dukungan dari keluarga dan teman selama
menjalani
beraktivitas
kehamilan
saat
keduanya.
menjalani
Partisipan
kehamilan
kedua enggan
keduanya
karena
dibiasakan oleh lingkungan keluarga serta lingkungan kerjanya
untuk mengerjakan pekerjaan yang ringan. Hal yang sama juga
dialami oleh partisipan pertama. Partisipan pertama dibiasakan
oleh keluarga dan teman kerjanya untuk mengerjakan pekerjaan
yang ringan. Toleransi yang diberikan pada partisipan pertama
menimbulkan rasa sungkan saat bekerja. Sedangkan pada
partisipan ketiga, suami selalu berusaha untuk menenangkan dan
membawa partisipan ketiga ke dokter saat mengalami kecemasan
akan kehamilannya.
Reaksi Fisik, Reaksi Psikologis, Kecemasan serta Upaya
untuk Menangani Kecemasan saat Menjalani Kehamilan
Kedua
Ketiga partisipan kerap merasa capek dan lemas saat
menjalani kehamilan keduanya. Ketiga partisipan juga memiliki
perbedaan gejala fisik pada kehamilan keduanya. Partisipan
pertama kerap mengalami sendawa, kembung, mual serta pegal
terutama pada bagian kaki dan pungggungnya, sedangkan
partisipan kedua kerap merasa pusing dan mengantuk saat
menjalani
kehamilan
keduanya.
Partisipan
ketiga
jarang
mengalami mual dan muntah, namun kerap mengalami kram kaki
pada kehamilan keduanya.
Terdapat persamaan reaksi psikologis antara ketiga partisipan
saat menanti kelahiran anaknya. Partisipan pertama dan kedua
senang menerka-nerka jenis kelamin anak yang ada dalam
kandungannya. Partisipan ketiga tidak terlalu memikirkan jenis
kelamin anaknya karena ia lebih memikirkan harapannya agar
bisa membesarkan anaknya dengan baik.
Selain itu, pikiran
partisipan ketiga terfokus pada persiapan-persiapan dalam
menyambut kehadiran anaknya.
Menurut Nevid, Rathus dan Greene (2003) kecemasan normal
dan adaptif mendorong seseorang untuk menjaga kehamilan
keduanya dengan baik. Hal ini juga dialami oleh ketiga
partisipan. Ketiga partisipan mengalami kecemasan normal dan
adaptif pada kehamilan keduanya karena ketiga partisipan
termotivasi untuk menjaga kehamilan keduanya dengan baik
dengan melakukan upaya-upaya tertentu. Terdapat persamaan
upaya dalam menjaga kehamilan kedua yang ditunjukkan oleh
ketiga partisipan. Ketiga partisipan banyak beristirahat, mentaati
rekomendasi dokter untuk memeriksakan diri secara rutin,
menjaga pola makan serta tidak memaksakan diri dalam bekerja.
Tindakan ketiga partisipan dalam menjaga kehamilan keduanya
berkaitan dengan bayangan risiko kehamilan dan proses
persalinan sehingga ketiga partisipan menjadi sangat emosional
dalam mempersiapkan atau mewaspadai segala sesuatu yang
mungkin
dihadapi
selama
mengandung.
Tindakan
ketiga
partisipan dalam menjaga kehamilan keduanya menunjukkan
adanya kesesuaian teori yang diungkapkan oleh Sastrawinata
(1983) yaitu berkaitan dengan bayangan risiko kehamilan dan
proses persalinan, wanita hamil menjadi sangat emosional dalam
melakukan upaya untuk mempersiapkan atau mewaspadai segala
sesuatu
yang
mungkin
akan
dihadapi
saat
menjalani
kehamilannya.
Kecemasan partisipan pertama dan kedua pada kehamilan
keduanya muncul terutama saat mereka merasa lelah. Terdapat
pula persamaan kecemasan antara ketiga partisipan. Ketiga
partisipan cemas kegugurannya akan terulang kembali pada
kehamilan keduanya. Terjadi peningkatan ketakutan akan
keguguran pada ketiga partisipan karena mereka pernah
mengalami keguguran pada kehamilan sebelumnya.
Partisipan pertama mengalami kecemasan terutama saat sakit
dan saat minum obat. Partisipan pertama optimis dengan
kehamilan keduanya namun juga dibayangi ketakutan anaknya
akan terlahir tidak sempurna. Partisipan pertama bahkan pernah
terjatuh saat menjalani kehamilan keduanya. Peristiwa ini
membuat suami dan ayah partisipan menjadi cemas akan kondisi
serta kandungan partisipan pertama.
Kecemasan partisipan kedua muncul terutama saat merasa
lelah beraktivitas, selain itu ia juga mengalami kebingungan
dalam mempersiapkan mental serta material dalam menyambut
kehadiran anaknya.
Partisipan ketiga mengalami kecemasan terutama saat
mengalami kram, pada saat itu jantungnya akan berdetak keras
karena muncul ketakutan kegugurannya akan terulang kembali.
Ketakutan yang berlebihan pada saat mengalami kram membuat
partisipan ketiga menilai dirinya paranoid. Partisipan ketiga juga
mencemaskan kemampuannya untuk menjalankan peran sebagai
ibu serta mencemaskan penampilannya di depan suami setelah
melahirkan. Kecemasan yang berlebihan pada partisipan ketiga
sesuai dengan pernyataan Starcevic (2005) mengenai kecemasan
patologis, yaitu kecemasan yang ditandai dengan intensitas yang
relatif tinggi dan keluar dari proporsi terhadap situasi yang
dihadapinya serta menyebabkan penurunan fungsinya sebagai
individu dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Menurut Attwell (2006) kecemasan yang dialami wanita
hamil akan perubahan tubuh yang sangat dramatis dan yang
membuat kehilangan kontrol (berat badan, pengeluaran urin,
fungsi
usus)
dapat
memicu
pertanyaan-pertanyaan
akan
keamanan dalam kehamilan. Pernyataan tersebut sejalan dengan
yang dialami ketiga partisipan saat menjalani kehamilan
keduanya. Ketiga partisipan selalu bertanya-tanya apakah bayi
yang mereka kandung akan sehat dan bagaimana mereka dapat
menghadapi tanggung jawabnya yang baru sebagai orang tua.
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan peneliti tentang
kecemasan pada wanita hamil yang enam bulan sebelumnya
mengalami keguguran, diperoleh kesimpulan bahwa:
a. Ketiga partisipan menyesali keguguran yang dialaminya secara
tiba-tiba. Walaupun mengalami penyesalan, partisipan pertama
berusaha untuk berpikir positif atas kegugurannya. Penyesalan
partisipan kedua dibayangi oleh ketakutan-ketakutan atas dampak
yang mungkin terjadi setelah mengalami keguguran. Sedangkan
partisipan ketiga mengalami penyesalan yang amat mendalam
karena merasa kecewa usahanya dalam menjaga kandungannya
ternyata sia-sia saja.
b. Terdapat persamaan gejala fisik kecemasan yang dialami oleh
ketiga partisipan. Persamaan gejala fisik kecemasan yang muncul
pada ketiga partisipan adalah jantung yang berdetak keras,
munculnya rasa nyeri, pusing, berkeringat dingin, tangan menjadi
basah dan dingin serta merasa lemas saat keguguran.
c. Ketiga partisipan mendapat dukungan dari suami serta
keluarganya setelah mengalami keguguran.
d. Pengalaman kuret yang berbeda-beda menimbulkan dampak
yang berbeda pada masing-masing partisipan. Partisipan pertama
dan kedua merasa lega setelah kuret. Sedangkan partisipan ketiga
tidak merasa lega setelah kuret karena masih belum bisa
menerima kegugurannya dan merasa bersalah pada diri sendiri
serta pada keluarganya.
e. Keguguran menimbulkan kecemasan pada ketiga partisipan.
Namun, intensitas terjadinya kecemasan pada masing-masing
partisipan
berbeda-beda.
Partisipan
pertama
mengalami
kecemasan normal setelah keguguran karena intensitas terjadinya
kecemasan relatif rendah dan proposional dengan keadaan yang
dialaminya sehari-hari. Sedangkan partisipan kedua dan ketiga
mengalami kecemasan patologis karena kedua partisipan tersebut
mengalami kecemasan yang berlebihan.
f. Ketiga partisipan memiliki reaksi emosional yang berbeda-beda
dalam menantikan kehamilan yang selanjutnya. Partisipan
pertama dan ketiga dapat menerima keguguran yang dialaminya
sehingga keduanya tidak mengalami kecemasan dalam menanti
kehamilan yang baru. Sedangkan partisipan kedua tidak sabar
dalam menanti kehamilannya yang baru karena ia ingin segera
memiliki anak.
g.
Ketiga
partisipan
merasa
bahagia
saat
mengetahui
kehamilannya yang baru. Namun, perasaan bahagia tersebut
disertai dengan reaksi yang berbeda-beda pada masing-masing
partisipan. Perbedaan reaksi pada masing-masing partisipan saat
mengetahui kehamilannya yang baru menimbulkan kecemasan
yang berbeda-beda pula. Saat menjalani kehamilan keduanya,
ketiga partisipan mengalami kecemasan normal dan adaptif
karena ketiga partisipan mampu beradaptasi dengan kehamilan
keduanya. Kecemasan normal dan adaptif mendorong ketiga
partisipan untuk menjaga kehamilan keduanya dengan baik.
Namun, kecemasan ketiga partisipan yang semula normal dapat
meningkat ketingkat
moderat bahkan ketingkat patologis
sewaktu-waktu karena terjadi perubahan kondisi saat menjalani
kehamilannya.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa kecemasan wanita hamil
dapat ditularkan pada janin, sehingga kecemasan yang tidak
terkontrol dapat memberi dampak negatif terhadap fisik dan
psikis, baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya. Oleh
sebab itu, disarankan agar ilmu psikologi, khususnya bidang
psikologi klinis dan perkembangan terutama yang berkaitan
dengan kecemasan wanita hamil dapat menambah ranah
pengetahuan
mengenai
kecemasan
wanita
hamil
yang
sebelumnya mengalami keguguran. Dari penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan informasi pada tenaga medis
khususnya obstetri dan ginekologi serta pada orang-orang yang
melayani dibidang kesehatan mengenai pentingnya penanganan
psikis
pada
wanita
yang
mengalami
keguguran
karena
mempunyai pengaruh yang meluas terhadap semua harapan dan
rencana wanita tersebut beserta keluarganya untuk selanjutnya.
Misalnya dengan memberikan tempat, terapi serta pelayanan
khusus untuk wanita hamil yang sebelumnya mengalami
keguguran.
Penelitian ini juga menyarankan agar masyarakat dapat
memberi dukungan moral, sosial dan spiritual pada wanita hamil
yang sebelumnya pernah mengalami keguguran contohnya
dengan memberi saran untuk melakukan konsultasi fisik maupun
psikologis pada tenaga ahli selama menjalani kehamilannya yang
baru.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar dapat menggali
lebih dalam tentang pengaruh social support, adaptasi, tingkat
spriritualitas atau religiusitas terhadap kecemasan wanita hamil
yang sebelumnya mengalami keguguran karena dari penelitian ini
ditemukan bahwa dukungan dari keluarga, adaptasi, tingkat
spiritualitas
dan
kecemasan
wanita
keguguran.
religiusitas
hamil
mempunyai
yang
pengaruh
sebelumnya
pada
mengalami
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, R., Atkinson R., & Hilgard, E. (2003). Pengantar
psikologi. Jakarta: Erlangga.
Andayani, B., & Koentjoro. (2004). Psikologi keluarga peran ayah
menuju coparenting. Semarang: Citramedia.
Arndt, W. Jr. (1974). Theories of personality. New York: MacMillan
Publishing Co., Inc.
Asrininghardiniah. (2002). Perbedaan kecemasan dalam menghadapi
menopause antara wanita bekerja dan wanita tidak bekerja
Ditinjau dari Tingkat Pendidikan. Skripsi yang tidak
dipublikasikan,
Universitas
Khatolik
Soegijapranata,
Semarang.
Attwell, K.C. (2006). 100 Questions & answers about anxiety.
Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher.
Baso, ZA., & Rahardjo, J. (1999). Kesehatan Reproduksi Panduan
Bagi Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bergant A.M., Reinstadler, K., Moncayo, H.E., So’lder E., Heim, K.,
Ulmer, H., Hinterhuber, H., & Dapunt, O. (1997).
Spontaneous abortion and psychosomatics. A prospective
study on the impact of psychological factors as a cause of
recurrent spontaneous abortion. Human Reprodruction, 12,
1106–1110.
Bergner, A., Beyer, R., Klapp, B.F., & Rauchfuss, M. (2008).
Pregnancy after pregnancy loss: A prospective study of
anxiety, depressive symptomatology and coping. Journal of
Psychosomatic Obstetric & Gynecology, 29, 105-113.
Bowen, A., Bowen, R., Maslany, G., & Muhajarine, N. (2008).
Anxiety in a socially high-risk sample of pregnant women in
canada. Journal of Psychiatry, 53, 435–440.
Boyles. S., Ness R., Grisso J., Markovic, N., Bromberger, J. &
CiFelli D., (TA). Live event stress and the association with
spontaneous abortion in gravid woman at an urban emergency
departmen. Journal of Health Psychology, 19, 6.
Bucklew, J. (1980). Paradigma for psychopatology a contribution to
case history analysis. New York: J.B. Lippenscott Company.
Campos, B.C., & Brown, J.C. (2004). Protect your pregnancy. USA:
McGraw-Hill Companies.
Cohen, L. S., & Nonacs, R. M. (2005). Mood and anxiety disorder
during
pregnancy
and
postpartum.
Washington,
DC:
American Psychiatric Publishing, Inc.
Chye, T. T., Teng, T. K., Hao, T. H. & Seng, J. T. C. (2008) The new
art and science of pregnancy and childbirth what you want to
know from your obstetrician. Singapore: World Scientific Co.
Pte. Ltd.
Dariyo, A. (1997). Hubungan antara percaya diri dengan kecemasan
menghadapi kelahiran bayi pada wanita hamil pertama.
Skripsi yang tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Dawson, C. (2002). A practical guide to research method. United
Kingdom: How to content.
Dharma, S. (2008). Pengolahan dan analisis data penelitian. Dari
www.lpmpjogja.diknas.go.id/mat-Pembekalan Pengawas.pdf.
Diakses tanggal 3 Maret 2011 jam 10.18 WIB.
Fausiah, F. (2003). Psikologi abnormal (klinis dewasa). Jakarta:
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Ganley, J. (2004). Becoming a parent the emotional journey trough
pregnancy and childbirth. England: British Library.
Hall, C. S., & Lindzey, G. (1995). Teori-teori psikodinamik (klinis).
Yogyakarta: Kanisius.
Jersild, A. T. (1965). The psychology of adolesence. New York: The
MacMillan Company.
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (1997). Sinopsis psikiatri
(2
ed.). Jakarta: Binarupa Aksara.
Kartikasari, B. D. (1995). Hubungan antara dukungan sosial dengan
kecemasan dalam komunikasi interpersonal. Skripsi
yang
tidak dipublikasikan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kartono, K. (1981). Gangguan-gangguan psikis. Bandung: Sinar
Baru.
Kartono, K. (1997). Psikologi wanita wanita sebagai ibu dan nenek
(2
ed.). Bandung: Alumni.
Kerlinger. F. N. (1986). Asas-asas penelitian behavioral (3
ed.).
Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Klock, S.C., Chang, G., Hiley, A., & Hill, J. (1997). Psychological
distress among women with recurrent spontaneous abortion.
Psychosomatics, 38, 503–507.
Kushartanti, W., Soekamti, E. R., & Sriwahyuniati, C. F. (2004).
Senam hamil: Menyamankan kehamilan, mempermudah
persalinan. Yogyakarta: Lintang Pustaka.
Maccoby, E. M., & Jacklin, C. N. (1974). The psychology of sex
differences. California: Standford University Press.
Magilvy, J.K., & Thomas, E. (2009). A first qualitative project:
Qualitative descriptive design for novice research. Journal for
Specialist in Pediatric Nursing, 14, 298-300.
Mann, D. (2010). Study: no need to delay pregnancy after
misscariage. Dari www.webmd.com/study-no-need-delaypregnancy-after-miscarriage Diakses tanggal 11 Agustus
2010 pukul 21.40 WIB.
Manuaba & Candranita, I. A. (2010). Ilmu kebidanan penyakit
kandungan dan KB. Jakarta: EGC.
Martaniah, S. M. (1999). Hand out psikologi abnormal. Yogyakarta:
Foto Copy Fakultas Psikologi.
Milad M.P., Klock, S.C., Moses, S., & Chatterton, R. (1998). Stress
and anxiety do not result in pregnancy wastage. Human
Reprodruction, 13, 2296–2300.
Moeloek, A. F. (1984). Masalah-masalah yang mempengaruhi
kesehatan reproduksi. Jakarta: Consortium Medical Sciences,
DEPDIKBUD RI.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Monk, F. J., Knoers, A. M. P & Haditono. (2002). Psikologi
perkembangan. Yogyakarta: UGM.
Muis, S. (2009). Kenali kepribadian anda dan permasalahannya dari
sudut pandang teori psikoanalisa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Murphy, S. (1993). Keguguran “apa yang perlu diketahui”. Jakarta:
Arcana.
Myers, E. G. (1983). Social psychology. Tokyo: McGraw Hill.
Nasution, S. (1996). Metode penelitian naturalistik kualitatif.
Bandung: Penerbit Tarsito.
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2003). Psikologi abnormal.
Jakarta: Erlangga.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2008). Human
Development (11
ed.). New York: McGraw-Hill.
Pick, M. (2010). Anxiety in woman-causes, symptoms and natural
relief. Dari www.womentowomen.com/anxiety.aspx Diakes
tanggal 10 Maret 2011 jam 17.20 WIB.
Phil, M., & Satria, Y. (2007). Kamus istilah program keluarga
berencana nasional. Jakarta: Direktorat Pelayanan Informasi
dan Dokumentasi.
Priantono, H. (2003). Lanny Kuswandi: Terapi hypnobirhing,
melahirkan tanpa sakit. Kompas. 23 Januari 2003.
Saifuddin, A. B. (2002). Buku panduan praktis pelayanan kesehatan
maternal dan neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Salim, A. (2006). Teori dan paradigma penelitian sosial.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sandelowski, M. (2000). Focus on research methods. Whatever
happened to qualitative description? Research in Nursing &
Health, 23, 334-340.
Santrock, J. W. (2002). Life-span development perkembangan masa
hidup. Jakarta: Erlangga.
Scher, J., & Dix, C. (2005). Preventing misscariage the good news.
USA: HarperPerennial Publisher.
Sloane, P. D., Benedict, S., & Mintzer, M. (1997). Petunjuk lengkap
kehamilan penuntun untuk calon ibu dan ayah. Jakarta: Mitra
Utama.
Soendari, T. (TA). Pengujian keabsahan data penelitian kualitatif.
Dari file.upi.edu/Direktori.pdf Diakses tanggal 12 Maret
2011 jam 10.05 WIB
Starcevic, V. (2005). Anxiety disorder in adults a clinical guide. New
York: Oxford University Press.
Stern, P. (1964). The abnormal person and his world. London: D van
Nostrand Co.
Sugiura-Ogasawara, M., Furukawa T.A., Nakano, Y., Hori, S., Aoki,
K., & Kitamura, T. (2002). Depression as a potential causal
factor in subsequent miscarriage in recurrent spontangeous
aborters. Human Reproduction, 17, 2580-2584.
Trad. (2006). Menghadapi kehamilan dan proses persalinan. Dari
niningdwi.wordpress.com/category/kehamilanpersalinan.
Diakses tanggal 14 Maret 2011 jam 16.30 WIB.
Utomo, B. (2010). Gugur kandungan. Dari id.wikipedia.org/wiki
/Gugur_kandungan#Klasifikasi_Abortus. Diakses tanggal 26
September 2010 jam 15.07 WIB
Wignyosoebroto, S. (1981). Gejala sosial masyarakat kini yang
tengah terus Berubah. Makalah. Surabaya: Simposium
Kecemasan.
Wilcox, A. J. (2010). Fertility and pregnancy an epidemiologyc
perspective. New York: Oxford University Press.
Zinbarg, R. E., Craske, M. G., & Barlow, D. H. (1993). Therapist’s
guide for the mastery of your anxiety and worry (MAW)
Program. United States of America: Graywind Publications
Incorporated.
Download