MANAJEMEN PONDOK PESANTREN DALAM MENGINTE

advertisement
MANAJEMEN PONDOK PESANTREN DALAM MENGINTEGRASIKAN KURIKULUM PESANTREN DENGAN PENDIDIKAN FORMAL
Dhevin M.Q Agus P.W
(SMA 01 Besuki Situbondo,
Email: [email protected])
Abstract: A teacher must have academic qualifications, competence,
and teacher certificate as well as physical and spiritual health to
achieve national education goals but this policy does not directly affect
the existence of traditional boarding school (pesantren) because the existence of pesantren has not been able to demonstrate academic certificates as legalization of government policy. Therefore, in recent years,
many pesantren are trying to redesign the existing educational
concept. One of them is Pesantren Al-Falah Ampel Wuluhan, Jember
that tries to integrate pesantren’s curriculum with formal education.
The goal is to meet the demands and needs of the general public that is
totally regardless of the cleric’s policy as a leader of pesantren.
Keywords: Pesantren Management, Pesantren’s curriculum, Formal
Education’s Curriculum
Pendahuluan
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia.
Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di tanah air
mempunyai andil yang sangat besar dalam pembentukan karakter
bangsa Indonesia. Lebih lanjut eksistensi pesantren dari masa ke masa telah memberikan kontribusi konkrit dalam perjalanan sejarah
bangsa. Di era kerajaan Jawa misalnya pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam, di era penjajahan kolonial Hindia Belanda
pesantren menjadi medan heroisme pergerakan perlawanan rakyat, di
era kemerdekaan pesantren terlibat dalam perumusan bentuk dan
Dhevin M.Q. Agus P.W
idiologi bangsa serta terlibat dalam revolusi fisik mempertahankan
kemerdekaan1.
Selain kontribusi pesantren dalam tiap fase sejarah yang begitu
luar biasa, pesantren juga telah membentuk sebuah subkultur unik
dan eksotik yang sama sekali berbeda dengan lembaga pendidikan
pada umumnya karena keIndonesiaanya, Sebuah subkultur yang
kaya akan nilai-nilai keadaban, nilai-nilai kultural dan khazanah intelektual Islam yang termanifestasikan dalam warisan literatur klasik
(kitab kuning) yang menjadi tradisi keilmuannya.
Lebih lanjut pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional
telah memberikan sumbangsih yang survive dalam sejarah mewujudkan idealisme pendidikan bangsa yang bukan sekedar meningkatkan
kualitas sumber daya manusia (human resource) atau aspek intelektualitas melainkan juga lebih konsen dalam mencetak moralitas dan spiritualitas bangsa yang luhur.
Dalam perkembangan berikutnya eksistensi pesantren terutama pesantren tradisional selalu terbenturkan dengan pendidikan sekuler yang berbasis skill duniawi, sehingga keberadaan pesantren
tradisional menjadi semakin terpinggirkan dan kurang diminati dalam kontestasi dunia pendidikan modern yang semakin pesat saat ini.
Relaitas yang menjadikan bukti semakin terpinggirkanya eksistensi pesantren tradisional adalah dengan diberlakukanya kebijakan
pemerintah yang dituangkan dalam undang-undang No. 14 tahun
2005 tentang guru dan dosen yang menyatakan bahwa lembaga pendidikan, tenaga kependidikan adalah lembaga pendidikan tinggi
yang diberi tugas oleh pemerintah untuk menyelenggarakan dan
mengembangkan ilmu kependidikan dan non kependidikan serta
mendidik guru pada pendidikan dasar dan pendidikan menengah,
termasuk pendidikan anak usia dini2.
Selain itu kebijakan lain yang tetap menjadikan pesantren tradisional semakin terpinggirkan masih terdapat dalam undangAbdul Mukti Fatah, et al. 2005. Rekontruksi Pesantren Masa Depan .Jakarta: ListafariskaPutra,34.
2 Diknas, 2005. Undang-Undang Guru dan Dosen Bandung: Fokus Media, 4.
1
191 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
undang yang sama yakni undang-undang guru dan dosen pada pasal
8 yang menyatakan bahwa seorang guru wajib memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik serta sehat jasmani
dan rohani untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional3.
Sehingga dari beberapa kebijakan seperti tersebut di atas telah
jelas menjadikan eksistensi pesantren tradisional semakin kurang diminati dalam kontestasi dunia pendidikan di era sekarang karena secara tidak langsung dapat dikatakan lulusan dari pondok pesantren
tradisional tidak dapat diakui keberadaanya karena tidak mampu
menunjukkan sertifikat akademik sebagai tuntutan dari legalisasi kebijakan pemerintah.
Namun dari sini pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah
sebuah permasalahan mendasar mengapa pondok pesantren tradisonal sebagai lembaga pendidikan masih tetap survive hingga saat ini.
Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren
tidak akan bertahan lama di tengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan kompetitif bahkan ada yang memastikan
pesantren akan tergusur oleh ekspansi sistem baru yang umum dan
modern.
Selain itu ada juga yang dengan sinis menyebutkan bahwa pesantren adalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan
peran ditengah kehidupan global. Oleh karena itu upaya menjadikan
pesantren sebagai pilihan dalam menjawab kebutuhan manusia modern adalah sebuah Utopia atau sekedar hayalan tingkat tinggi yang
tidak rasional.
Pada dasarnya kekhawatiran dan penilaian pesimis ini apabila
dilacak lebih jauh muncul dari ketidak akuratan melihat profil pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren sebagai lembaga tua dengan segala kelemahanya tanpa mengenal lebih jauh kecenderungan baru yang dilakukan pondok pesantren seperti upaya
pondok pesantren dalam mengintegrasikan kurikulum pesantren
dengan pendidikan formal dalam pendidikan pesantren.
3
Ibid, 8.
| 192
Dhevin M.Q. Agus P.W
Kecenderungan baru yang dilakukan pondok pesantren dalam
rangka merenovasi sistem baru ini terlihat pada sistem pendidikan
pondok pesantren yang mulai akrab dengan metode ilmiah sehingga
lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan serta dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat4.
Terlepas dari konteks permasalahan tersebut pada dasarnya
upaya mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan
formal merupakan salah satu konsep modernisasi yang dilakukan
pondok pesantren untuk menyongsong tuntutan masa depan di era
global karena sebenarnya hanya manusia unggul saja yang akan
mampu bertahan hidup (the survival of the fittest) maka boleh jadi
upaya yang dilakukan pondok pesantren ini merupakan deskripsi
bekal untuk persaingan hidup pada masa yang akan datang.
Dari beberapa wacana di atas terkait dengan upaya pondok pesantren dalam mengintregasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal maka pondok pesantren yang merupakan bagian
integral dari lembaga pendidikan Islam harus segera memperhatikan
para aktor dan petugas yang melaksanakanya. Letak keberhasilan
sebuah lembaga pendidikan Islam tergantung seberapa jauh kompetensi dan profesionalitas yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat
didalamya, serta komitmen dan kesungguhan mereka dalam menciptakan perubahan dan perkembangan terhadap manajemen sebuah
lembaga.
Menurut Mastuhu mereka yang terlibat dalam pendidikan untuk menciptakan perubahan dan perkembangan terhadap pondok
pesantren adalah pendiri, pengurus, seluruh tenaga kependidikan,
seluruh karyawan, masyarakat dan sebagainya. Semua ini merupakan element yang paling penting untuk dimiliki oleh sebuah lembaga
dan harus selalu diperhatikan oleh menejemen pesantren5.
4
5
Hasbullah, 1999. Profil Pesantren ,Bandung: Remaja Rosdakarya, 155.
Mastuhu, 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Jakarta: INIS,3.
193 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
Manejemen sebuah pondok pesantren dalam upaya mengintregasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal perlu mengadakan usaha-usaha operasional yang konsepsional dan strategis
sehingga mampu mempersiapkan SDM yang berkualitas yang siap
berlaga di era globalisasi yang penuh dengan kompetensi.
Namun pada realitasnya keinginan untuk melahirkan sebuah
konsep manajemen pondok pesantren yang ideal yang mampu mengintregasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal sehingga melahirkan SDM yang berkualitas dan mampu bersaing masih jauh dari khayalan ketika dihadapkan dengan realitas yang ada.
Keberadaan pondok pesantren yang ada sekarang ini seperti sebuah
wadah yang hanya terkosentrasi pada trend tuntutan kebutuhan masyarakat akan konsep pendidikan modern sehingga lembaga pondok
pesantren selalu berusaha untuk mendesain konsep pondok pesantren sesuai dengan kepentingan sempit yang sesaat yakni hanya untuk
menarik minat dan kepercayaan masyarakat tanpa memperhatikan
pentingnya sebuah perencanaan yang matang dalam proses manajerial.
Selanjutnya data awal yang dapat dihimpun terkait dengan
permasalahan diatas khususnya dari pengamatan singkat adalah
menjamurnya pondok pesantren yang berupaya untuk mendesain
lembaga dengan mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan
pendidikan formal dalam pendidikan pesantren yang banyak didirikan di wilayah kabupaten Jember seperti halnya keberadaan pondok
pesantren Al-Falah putri yang berada di wilayah kabupaten jember
sebelah selatan tepatnya di desa Ampel Wuluhan Jember.
Perlu diketahui bahwa pesantren Al-Falah putri merupakan salah satu pesantren yang masuk dalam kategori pesantren salaf yang
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai tradisionalis dan sangat jauh dari
hiruk pikuk kehidupan modern. Hal ini terbukti dari praktik metode
pengajaran yang dilakukan di pondok pesantren Al-Falah dengan
menggunakan sistem bandongan, weton atau halaqah, dimana bentuk
pemberian pelajaran atau pengajian dilakukan dengan cara kiai yang
aktif membaca, menerjemahkan dan menerangkan sementara santri
| 194
Dhevin M.Q. Agus P.W
mendengarkan dan menuliskan kemudian sistem sorogan yaitu santri
yang aktif membaca kitab terkadang menuliskan atau menerangkannya di hadapan kiai. Setelah memperoleh pengajaran ini kemudian
santri melanjutkan dengan kajian ulang melalui sistem takrar di
samping sistem hafalan6.
Dengan konsep pembelajaran pondok pesantren yang tradisional semacam ini pondok pesantren Al-Falah putri mampu melahirkan alumni-alumni yang tidak perlu diragukan lagi kemampuanya
dari segi intelektualitas dalam mengkaji beberapa literatur klasik (kitab kuning), hal ini terbukti dari beberapa kali lembaga pondok pesantren Al-Falah putri mampu menunjukkan kebolehanya dalam
menembus beberapa event perlombaan kajian kitab kuning yang diselenggarakan oleh berbagai lembaga, terakhir kali perolehan juara
pertama baca kitab kuning tingkat provinsi Jawa Timur pada akhir
tahun 2005. selain itu masih banyak beberapa perlombaan lain yang
berhasil diraih oleh pondok pesantren Al-Falah7.
Selanjutnya dalam beberapa tahun terakhir ini pondok pesantren Al-Falah mempunyai kecenderungan baru seperti halnya upaya
pondok pesantren yang mencoba mendesain konsep lembaga dengan
mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal
dalam pendidikan pesantren, hal ini terbukti dari diberlakukannya
pendidikan formal dalam pondok pesantren Al-Falah Yakni Mts AlFalah dan MA Al-Falah sehingga kurikulum yang diterapkan dalam
pendidikan formal ini mengikuti konsep kurikulum yang diterapkan
pemerintah seperti mata pelajaran bahasa Indonesia, Matematika,
IPA dan pelajaran umum lainya, oleh karena itu patut manakala pesantren ini dikatakan sebagai pesantren yang mengapresiasi konsep
modernisasi sebagai tuntutan akan kebutuhan masyarakat modern8.
Pesantren Al-Falah, Arsip jadwal kegiatan pengajaran, 24 Agustus 2005.
Arsip Pesantren Al-Falah (piagam penghargaan Depag Propinsi jawa Timur tahun
2005)
8 Pesantren Al-Falah, Arsip Jadwal pelajaran MTs dan MA Al-Falah, Tahun
2011/2012.
6
7
195 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
Oleh karena itu, sesuatu yang menarik untuk diteliti lebih jauh
adalah sebuah pertanyaan mendasar mengapa pondok pesantren AlFalah putri yang dengan kesalafannya tetap mampu menunjukkan
eksistensinya di tengah persaingan masih berupaya untuk mendesain
konsep baru dengan cara mengintegrasikan kurikulum pesantren
dengan pendidikan formal dalam pendidikan pesantren, padahal
apabila dilacak lebih jauh tentang konsep modernisasi yang diapresiasi oleh lembaga pondok pesantren secara tidak langsung pasti
akan menjadikan pembaharuan dalam budaya pesantren sehingga
eksistensi budaya tradisional dalam pesantren akan semakin termarginalkan.
Selain itu pertanyaan lain yang dapat dimunculkan adalah
apakah dengan banyaknya lembaga pondok pesantren yang berupaya mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan
formal akan mampu menjawab kebutuhan masyarakat di era globalisasi atau justru hanya sebagai upaya lembaga untuk tetap mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan global.
Terlepas dari permasalahan tersebut, pada dasarnya keberlangsungan sebuah pondok pesantren selalu terkait dengan sebuah kebijakan dari otoritas yang membawahinya tidak lain adalah pimpinan
pondok pesantren yang mempunyai kewenangan atas pengelolaan
manajemen pesantren yang ada, lalu bagaimana pengelolaan manajemen yang diterapkan oleh pimpinan pondok pesantren, apakah
manajemen yang diberlakukan sudah didesain secara matang sehingga hal itu mampu menghasilkan keputusan yang ideal dan
mampu mewujudkan tuntutan kebutuhan masyarakat atau malah
sebaliknya dengan pengelolaan manajemen pesantren yang berjalan
mengalir begitu saja tanpa adanya perencanaan yang matang sehingga hal inilah yang memicu peneliti untuk melakukan sebuah penelitian dengan judul “Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal (Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Falah Putri Ampel Wuluhan Jember)”.
| 196
Dhevin M.Q. Agus P.W
Manajemen
Banyak para ahli yang mencoba mendefinisikan tentang pengertian manajemen salah satunya adalah Mary Parker Follet yang dikutip oleh Gunawan yang mendefinisikan manajemen sebagai seni
menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain. Definisi ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain
untuk mencapai tujuan organisasi9.
Berbeda dengan pengertian di atas Ricky W. Griffin mendefinisikan bahwa manajemen adalah sebagai sebuah proses yang terdiri
dari perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya untuk mencapai sasaran (goals) secara efektif dan
efesien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan sedangkan efisien berarti tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir dan sesuai dengan jadwal10. Sedangkan menurut G.R. Terry yang dimaksud manajemen sebagai suatu proses
adalah suatu kegiatan atau kerangka kerja yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang kearah tujuantujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata11.
Masih menurut G.R. Terry selain manajemen sebagai suatu
proses manajemen dapat pula diartikan sebagai suatu ilmu pengetahuan maupun seni. Seni yang dimaksud disini adalah suatu pengetahuan bagaimana mencapai hasil yang diinginkan atau dalam kata lain
suatu kecakapan yang diperoleh dari pengalaman, pengamatan dan
pelajaran serta kemampuan untuk menggunakan pengetahuan manajemen12.
Lebih lanjut menurut Mary Parker Follet manajemen sebagai
suatu seni diartikan sebagai suatu kegiatan untuk melaksanakan suatu pekerjaan melalui orang lain. Definisi dari Mary ini mengandung
perhatian pada kenyataan bahwa para manajer mencapai suatu tujuan organisasi dengan cara mengatur orang-orang lain untuk melak9 http://www.answer.or.id/file.html (Januari, 2012), 25.
10 http:// (Januari, 2012), 25.
11 G.R Terry, Leslie W. Rue, 2010. Dasar-Dasar Manajemen. Jakarta: Bumi Aksara, 77.
12 Ibid 78.
197 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
sanakan apa saja yang perlu dilakukan dalam pekerjaan itu, bukan
dengan cara melaksanakan pekerjaan itu oleh dirinya sendiri.
Selanjutnya apabila kita mempelajari beberapa literatur tentang manajemen maka kita akan menemukan paling tidak tiga pengertian tentang istilah manajemen yaitu : Pertama, manajemen sebagai
suatu proses. Kedua, manajemen sebagai kolektivitas orang-orang
yang melakukan aktivitas manajemen. Dan Ketiga, manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science)13.
Dari paparan di atas menunjukkan bahwa yang dimaksud
dengan manajemen dalam penelitian ini adalah suatu keadaan terdiri
dari proses yang ditunjukkan oleh garis (line) mengarah kepada proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan
yang mana keempat proses tersebut saling mempunyai fungsi masing-masing untuk mencapai suatu tujuan organisasi (tujuan pondok
pesantren).
Fungsi Manajemen
Menurut G. R Terry yang di kutip oleh Sudjana14 ada beberapa fungsi manajerial yang dilakukan oleh seorang pemimpin atau
manajer yaitu planning, organizing, actuating dan controlling. Selanjutnya akan peneliti jelaskan mengenai masing-masing fungsi tersebut:
1. Planing (perencanaan)
Menurut Hani Handoko perencanaan adalah pemilihan sekumpulan kegiatan dan pemutusan selanjutnya apa yang dilakukan,
kapan, bagaimana dan oleh siapa. Dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwa sebuah perencanaan yang akan dilakukan oleh seorang pemimpin harus mampu memberikan job description sesuai dengan kualifikasi kemampuan masing-masing individu15.
Perencanaan pengembangan lembaga pondok pesantren bisa
dilakukan dengan beberapa langkah, antara lain :
Halim Suhartini, Choirul Arif, 2009. Manajemen Pesantren, Jogjakarta: LKIS, 71.
Nana Sudjana, 2007. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 7.
15 Hani Handoko.2001. Konsep Manajemen Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 77.
13
14
| 198
Dhevin M.Q. Agus P.W
a. Mengkaji kebijakan yang relevan (kebijakan pusat dan daerah)
b. Menganalisis kondisi lembaga dengan teknis analisis SWOT.
c. Mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan
tujuan yang akan dicapai.
d. Menganalisis data dan informasi secara komprehensif.
e. Merumuskan dan memilih alternative program.
f. Menetapkan langkah-langkah kegiatan pelaksanaan.
Lebih lanjut ada langkah perencanaan lain yang bisa dilakukan
dalam lembaga pendidikan yaitu: merencanakan struktur formal,
menyejajarkan tujuan organisasi dengan kondisi lingkungan dan perencanaan yang menggunakan evaluasi sebagai umpan balik16.
2. Organizing (pengorganisasian)
Masih sama menurut Hani Handoko17 pengorganisasian merupakan proses untuk merancang struktur formal, mengelompokkan
serta mengatur dan membagi-bagi tugas atau pekerjaan di antara
anggota organisasi, agar tujuan organisasi dapat dicapai dengan efisien. Pembagian dan penyusunan struktur hendaknya sesuai dengan
keterampilan dan kemampuan orang-orang yang ada dalam lembaga,
agar tujuan lembaga dapat dicapai dengan efektif dan efisien.
3. Actuating (pelaksanaan)
Dalam hal ini banyak pakar yang mencoba memberikan definisi mengenai pelaksanaan dalam sebuah manajemen, salah satunya
yakni P. Siagian18 yang menyatakan bahwa pelaksanaan adalah keseluruhan cara, usaha, tehnik, dan metode untuk mendorong para organisasi agar mau dan ikhlas bekerja dengan sebaik mungkin demi
tercapainya tujuan organisasi yang efektif dan efisien.
Keberhasilan proses actuating dipengaruhi oleh beberapa hal,
yakni sebagai berikut:
Jaap Scheerens, 2003. Peningkatan Mutu Sekolah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 79.
Hani Handoko, Konsep Manajemen, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada .168.
18 Sondang P. Siagian. 1992. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: AlFabeta, 186.
16
17
199 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
a.
b.
c.
d.
Kepemimpinan
Mendapatkan orang-orang yang cakap
Memberikan otoritas kepada mereka
Menginspirasi mereka dengan kepercayaan terhadap mereka untuk mencapai sasaran.
4. Controling (pengawasan)
Dengan adanya sebuah pengawasan maka pemimpin akan
mengetahui apakah semua kegiatan yang dilakukan sesuai dengan
rencana semula atau tidak, selain dari kepentingan tersebut hanya
dengan sebuah pengawasan akan dapat diketahui kesalahankesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh
anggota organisasi.
Proses pengawasan ini sangat diperlukan mengingat pentingnya lembaga untuk mendapatkan sebuah informasi, sehingga dengan
adanya pengawasan ini maka akan meghasilkan feed back yang akan
dijadikan acuan dalam melangkah selanjutnya. Lebih lanjut menurut
Baharuddin dan Makin tahapan pengawasan yang efektif dapat dilakukan dengan beberapa tahapan Pertama, penetapan alat pengukur
(standard). Kedua, Tahapan mengadakan penilaian (evaluate) dan
yang ketiga, Mengadakan tindakan perbaikan.19
Dari sini dapat dipaparkan bahwa keempat fungsi manajemen
(planing, organizing, actuating dan controling) inilah yang akan peneliti
gunakan untuk mengetahui pengelolaan manajemen yang dilakukan
oleh pimpinan pondok pesantren dalam mengintegarasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal di pondok pesantren AlFalah putri Ampel Wuluhan Jember.
Pondok Pesantren
1. Definisi Pondok Pesantren
Secara etimologi menurut Wahjoetomo kata pondok berasal
dari bahasa Arab yang artinya hotel, ruang tidur atau wisma seder19
Baharuddin dan Moh.Makin , Manajemen Pendidikan Islam Transformasi Menuju
Sekolah/Madrasah Unggul, 112.
| 200
Dhevin M.Q. Agus P.W
hana. Akan tetapi secara fungsional pengertian pondok dalam pembahasan ini lebih cenderung pada definisi bahwa pondok merupakan
wisma sederhana sebagai tempat tinggal sementara untuk para santri20.
Adapun secara terminologi, ada beberapa pengertian pondok
pesantren yang dikemukakan oleh para ahli. Pondok pesantren menurut M. Arifin yang dikutip oleh Moedjamil Qomar adalah suatu
lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (kompleks) dimana para santri
menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership
seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
karismatik serta independen dalam segala hal21
Selain itu pondok pesantren dapat diartikan pula sebagai salah
satu bentuk Indigenous Cultural atau bentuk kebudayaan asli bangsa
Indonesia. Sebab, lembaga pendidikan dengan pola kyai, santri, dan
asrama telah dikenal dalam kisah dan sejarah rakyat Indonesia, khususnya di pulau Jawa22. Lebih lanjut menurut Hasan pesantren merupakan sebuah lembaga yang melekat dalam perjalanan kehidupan
Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan dalam pengembangan bangsa ini terutama dalam hal pendidikan. Karena itu tidak mengherankan bila pakar pendidikan sekelas Ki Hajar Dewantara dan Dr. Soetomo pernah
mencita-citakan model pendidikan pesantren sebagai model pendidikan nasional23.
Menurut Madjid seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan maka pertumbuhan dan perkembangan bangsa akan banyak
mengikuti jalur pesantren terutama dalam bidang pendidikanya. Sebagaimana yang terjadi di barat dari segi pendidikanya hampir seWahjoetomo, 1997. Perguruan Tinggi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 70.
Moedjamil Qomar. 2002. Pesantren dari Transformasi Metodologi menuju Demokratisasi Institusi Jakarta: Erlangga, 2.
22 Adi Sasono. 1998.Solusi Islam Atas Problematika Umat. Jakarta: Gema Insani, 102.
23 Tolhah Hasan. 2001. “Peran Pesantren dan Pengembangan Pendidikan”, 11.
20
21
201 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
mua universitas terkenal cikal bakalnya adalah beberapa lembaga
yang semula berorientasi keagamaan semisal universitas Harvard,
sehingga yang ada bukan UI, ITB, UGM dan sebagainya tetapi
mungkin universitas Tremas, universitas Krepyak, Tebuireng dan
semacamnya24.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian pondok pesantren yang peneliti maksud dalam
pembahasan ini lebih cenderung terhadap pendapat yang dipaparkan oleh M. Arifin yang mendefinisikan bahwa pesantren adalah suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui masyarakat sekitar dengan sistem asrama (kompleks) di mana para santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari leadership
seorang atau beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat
kharismatik serta independen dalam segala hal.
2. Komponen-Komponen Pondok Pesantren
Pondok pesantren merupakan sebuah kesatuan lembaga pendidikan Islam yang terdiri dari berbagai komponen yang erat. Antara
satu komponen dengan komponen yang lain sulit untuk dipisahkan
sehingga apabila ada satu komponen saja yang hilang maka
karakteristik pondok pesantren akan kabur dengan sendirinya.
Secara umum menurut Zamahsyari Dhofir25 komponenkomponen pondok pesantren adalah sebagai berikut:
a. Kyai
Kyai adalah sebutan bagi ulama di tanah Jawa. Di Jawa Barat,
kyai disebut pula ajengan, sedangkan di Madura kyai disebut
bendoro26. Kyai pada umumnya identik sebagai pemimpin pondok
pesantren. Sosok kyai merupakan pribadi yang memiliki kohesi
keilmuan (yurisprudensi) dan keteladanan moral (eksemplari).
Nurcholish Madjid. 1997. Bilik-Bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina, 14.
Zamahsyari Dhofier. 1994. Tradisi Pesantren. Jakarta : LP3ES, 49.
26 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Islam, 65.
24
25
| 202
Dhevin M.Q. Agus P.W
Menurut Soerjono Soekanto27 kepemimpinan kyai terbagi
menjadi dua yaitu kepemimpinan resmi (formal leadership) dan
kepemimpinan tidak resmi (informal leadership). Kyai termasuk
kategori kedua yaitu pemimpin tidak resmi. Kesimpulan tersebut
berdasarkan pada kepemimpinan kyai yang tak resmi mempunyai
ruang lingkup tanpa batasan formal dan kepemimpinannya
mendapat pengakuan dan kepercayaan masyarakat sehingga ukuran
benar atau tidaknya kepemimpinan tidak resmi kyai terletak pada
seberapa besar keuntungan atau kerugian yang diterima oleh
masyarakat
b. Santri
Yang dimaksud santri dalam penelitian ini sebagai salah satu
komponen pondok pesantren adalah siswa yang biasa mengenakan
penutup kepala peci dan sarung sebagai pakaian sehari-hari yang
dikenakan di lembaga pondok pesantren.
Karakteristik santri, menurut Ahmad Suyuti di bagi menjadi
dua macam. Pertama, santri mukim. Santri mukim adalah santri yang
berasal dari luar daerah kemudian menetap di area pondok
pesantren. Kedua, santri kalong. Santri kalong merupakan santri yang
berasal dari daerah sekitar pondok pesantren. Mengingat dekatnya
jarak tempuh antara rumah mereka dengan pondok pesantren, santri
kalong tidak menetap di area pondok pesantren. Setelah selesai
seharian mengikuti kegiatan di pesantren mereka segera pulang
kerumah28.
c. Masjid
Pada umumnya masjid adalah tempat beribadah bagi umat
Islam. Akan tetapi masjid sebagai komponen pondok pesantren
memiliki fungsi lebih dari sekedar tempat beribadah. Masjid
disamping digunakan untuk beribadah, juga difungsikan oleh para
Sujono Soekanto. 1981. Sosiologi suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
179.
28 http://www.damandiri.or.id/file.ahmadsuyutiunairbab2.pdf (Januari, 2012), 25.
27
203 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
kyai untuk kegiatan pengajaran keagamaan dari kitab-kitab kuning
dan al-Qur’an. Bahkan para santri selepas mengikuti pengajian
mereka memanfaatkan masjid sebagai tempat untuk mendiskusikan
tema-tema keagamaan yang telah diperoleh dari sang guru29.
d. Pondok
Pondok merupakan tempat kediaman atau asrama para santri
yang datang dari luar daerah untuk menetap sementara. Seiring
bertambahnya jumlah santri yang berdatangan dengan jumlah besar,
melalui izin pengasuh atau kyai, para santri tradisional kemudian
mendirikan pondok di area sekitar masjid dan tempat tinggal kyai.
Pondok yang dididirikan oleh para santri tradisional menggunakan
bahan-bahan yang sederhana, seperti kayu dan anyaman bambu.
Berbeda dengan pondok di pesantren tradisional, di pesantren
modern, pondok dibangun dan disediakan oleh pesantren (kyai)
sehingga para santri tinggal menempati asrama pondok yang telah
dibangun tersebut. Konstruksi bangunan pondok di pesantren
modern pun lebih kokoh dari pondok di pesantren tradisional karena
menggunakan bahan material batu, pasir, semen dan besi.
e. Kitab kuning
Penamaan kitab kuning yang ditujukan untuk kitab yang
diajarkan di pondok pesantren, ditengarai berdasarkan kertas cetak
yang berwarna kuning pada kitab yang diajarkan. Adapun bahasa
tulis yang digunakan dalam kitab kuning secara keseluruhan
menggunakan bahasa Arab. Akan tetapi pada saat ini, disamping
telah banyak kitab yang dimaksud telah dicetak dengan kertas
berwarna putih, kitab tersebut telah pula diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia.
29
Jasa Ungguh Nuliawan. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 157.
| 204
Dhevin M.Q. Agus P.W
f. Madrasah
Secara sederhana madrasah merupakan sekumpulan ruang
kelas yang dibangun secara berjenjang disamping kegiatan belajar
mengajar dilakukan di masjid, lembaga pesantren menerapkan
sistem klasikal dengan menggunakan madrasah sebagai tempat
belajar mengajar. Dengan adanya madrasah, hal ini memungkinkan
para ustadz atau guru sebagai tangan kanan kyai untuk mengajar
secara serentak dalam satu waktu secara kondusif.
Lebih lanjut sejalan dengan perkembangan jaman banyak
bermunculan madrasah-madrasah yang selain mengajarkan tentang
pengajaran keagamaan Islam juga memasukkan pelajaran-pelajaran
yang diajarkan di sekolah-sekolah umum30 seperti pelajaran IPA,
matematika dan sebagainya sehingga keberadaan madrasah ini
banyak berkembang dan disesuaikan dengan kebutuhan sosial
masyarakat semisal ada madrasah diniyah salafiyah yang biasanya
terdapat di pondok pesantren salaf, terdapat juga madrasah sebagai
pendidikan formal seperti madrasah ibtidaiyah (MI) yang
disetarakan dengan sekolah dasar (SD), madrasah tsanawiyah (Mts)
yang setara dengan sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah
aliyah (MA) yang setara dengan sekolah menengah atas (SMA).
3. Bentuk-Bentuk Pondok Pesantren
Secara garis besar pondok pesantren menurut Departemen
agama RI31 dibedakan menjadi tiga yaitu:
a. Pondok pesantren salafiyah
Salaf artinya lama dahulu dan tradisional, pondok pesantren
salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pendekatan pembelajaran dengan pendekatan tradisional, sebagaimana
yang berlangsung sejak awal pertumbuhanya. Pembelajaran ilmuilmu Islam dilakukan secara individual atau kelompok yang terkosentrasi pada kitab-kitab klasik, berbahasa arab. Perjenjangan tidak
30
31
Malik Fadjar. 1999. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Fajar Dunia, 91.
Departemen Agama RI. 2003.Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah. Jakarta:
Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 29-30.
205 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
didasarkan pada satuan waktu tetapi berdasarkan tamatnya kitab
yang dipelajari.
b. Pondok Pesantren Khalafiyah (‘Ashriyah)
Khalaf artinya kemudian atau belakang sedangkan ashri artinya sekarang atau modern. Podok pesantren khalafiyah adalah
pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dengan pendekatan modern melalui satuan pendidikan formal, baik madrasah
(MI, MTs, MA/MAK) maupun sekolah (SD, SMP, SMU, SMK) atau
nama lainya tetapi dengan pendekatan klasikal. Pembelajaran pada
pondok pesantren khalafiyah dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan dengan satuan program didasarkan pada satuan waktu
seperti semester dan sebagainya.
c. Pondok Pesantren Campuran / Kombinasi
Menurut zainal Kenyataan di lapangan tidak ada atau sedikit
sekali pondok pesantren salafiyah atau khalafiyah dengan pengertian
tersebut di atas. Sebagaian besar yang ada sekarang adalah pondok
pesantren yang ada di antara rentangan dua pengertian di atas yakni
perpaduan antara salafiyah dengan khalafiyah32.
4. Metode Pembelajaran Pondok Pesantren
Adapun metode pembelajaran yang diterapkan di lembaga
pondok pesantren pada umumnya menurut Wahjoetomo33
menggunakan dua macam metode yaitu sorogan dan wetonan atau
bandongan. Pertama, sorogan. Metode sorogan adalah metode penyampaian pelajaran dimana seorang santri maju dengan membawa
dan menyodorkan (sorog) kitab (al-Qur’an), kemudian membacanya
dihadapan guru atau kyai. Selanjutnya guru atau kyai membimbing
santrinya apabila si santri menemui kesulitan, dan membetulkannya
apabila si santri melakukan kekeliruan. Kedua, wetonan atau bandongan. Metode wetonan ialah metode penyampaian pelajaran dimana
seorang guru atau kyai membacakan kitab, menerjemahkan, mene32
33
http://www. mandiri.or.id/file.zainalahmadbab2.pdf (Maret, 2012), 28.
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Islam, 83.
| 206
Dhevin M.Q. Agus P.W
rangkan dan seringkali mengulas buku-buku di hadapan sekelompok
santri kemudian santri dengan seksama memperhatikan memberi
harokat dan memberi makna kitab yang ada di hadapan masingmasing.
5. Pondok Pesantren Dalam Sisdiknas
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian integral
dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama Pertama,
Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri. Kedua, Kurikulum pondok pesantren dan Ketiga Sarana peribadatan dan
pendidikan. Kegiatannya terangkum dalam “Tri Dharma Pondok pesantren” yaitu: Pertama, Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt.
Kedua, Pengembangan keilmuan yang bermanfaat. Dan Ketiga Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara34.
Di dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Keistimewaan pesantren dalam
sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Pertama, dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab35.
Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan
di pesantren, pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang
membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehi-
34
35
www.pendis.or.html//halimfathoni. (April, 2012), 9.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 , Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Direktorat jenderal pendidikan , 2003) pasal 3..
207 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
dupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada
Allah swt serta akhlak mulia.
Selanjutnya ketentuan dalam bab 3 tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa:
a. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
b. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
c. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat.
d. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
e. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat.
f. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua
komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan36.
Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai
saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren karena itu pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.
Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban masyarakat pada Pasal 8 menegaskan
bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan
36
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 , Sistem Pendidikan Nasional, bab 3 pasal 4
| 208
Dhevin M.Q. Agus P.W
dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Secara tidak langsung ketentuan ini berarti menjamin eksistensi
dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan
nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan
khusus untuk pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang
konsen di bidang keagamaan.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini
dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan:
a. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
b. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli
ilmu agama.
c. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur
pendidikan formal, nonformal, dan informal.
d.Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Dari sini dapat dipertegas bahwa posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat yang istimewa karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang
sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya yakni dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
6. Pondok Pesantren dalam Kementerian Agama
Dengan lahirnya UU No, 20 Tahun 2003 semakin mempertegas
kedudukan pendidikan agama Islam sebagai salah satu elemen ter-
209 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
ciptanya tujuan pendidikan nasional secara umum. Perkembangan
pendidikan agama Islam makin jelas dengan berlakukanya PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menyebutkan:
a. Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan
khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: 1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, 2) kelompok mata pelajaran kewarganegeraan dan kepribadian, 3) kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi, 4) kelompok mata pelajaran estetika, dan 5)
kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan.
b. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia pada
SD/ MI/ SDLB/ Paket A, SMP/ MTs/ SMPLB/ Paket B, SMA/
MA/ SMALB/ Paket C, SMK/ MAK, atau bentuk lain yang
sederajat dilaksanakan melalui muatan dan.atau kegiatan
agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, kepribadian, ilmu
pengetahuan dan teknologi, estetika, jasmani, olahraga dan
kesehatan37.
Selain itu landasan hukum lain dalam rangka meningkatkan
peran serta pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
yang berbasis pada masyarakat adalah program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, yakni:
a. PP Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
keagamaan.
b. Kesepakatan Bersama Menteri Pendidikan Nasional dan
Menteri Agama RI Nomor I/U/KB/2000 dan Nomor
MA/86/2000 tentang pondok pesantren salafiyah sebagai
pola wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
c. Keputusan Bersama Dirjen Bimbaga Islam Depag dan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor E/83/2000 dan Nomor
166/C/KEP/DS-2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok
pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar.
37
Himpunan Peraturan sistem Pendidikan Nasioanl 2004. Jakarta: CV.Pelangi, 2005).
| 210
Dhevin M.Q. Agus P.W
d. Keputusan Dirjen Kelembagaan Agama Islam Nomor
E/239/2001 tentang panduan teknis penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pesantren salafiyah.
Tujuan penyelenggaraan program ini adalah mengoptimalkan
pelaksanaan program nasional wajib belajar pendidikan dasar (wajar
dikdas) 9 tahun38, lebih lanjut dapat dipaparkan bahwa peran pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berkembang dari
keikutsertaan masyarakat mempunyai tujuan yang sama dengan
lembaga pendidikan formal yakni sama-sama bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan berbagsa dengan menuntaskan wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun sehingga eksistenya selalu diharapkan relevan dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat.39
Integrasi Kurikulum Pesantren Dengan Pendidikan Formal
1. Pengertian Kurikulum
Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani kata curir yang berarti pelari, dan curere artinya tempat berpacu. Jadi curriculum diartikan Jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Sedangkan
dalam bahasa arab lebih dikenal dengan istilah manhaj, yakni jalan
yang terang atau jalan terang yang dimulai oleh manusia pada bidang kehidupannya. Maka dalam dunia pendidikan, kurikulum
merupakan komponen vital dalam menentukan arah dan pengembangan, serta kebijakan bagaimana tujuan pendidikan tercapai.40
Murray Print yang dikutip oleh Wina Sanjaya 2010 menyatakan: curriculum is defined as all the planned learning opportunities offered
to learner by the educational institution and the experiences learners encounter when the curriculum is implemented “dalam kurikulum harus
38www.pendis.kemenag.go.id/index.phd?a:artikel&id2=sejarah
pendis. (April,2012),
10..
39 Agus Maimun, Zainul Fitri. 2010. Madrasah Unggulan : Lembaga pendidikan Alternatif di era kompetitif .Malang: UIN MALIKI Press. 5.
40 Muhaimin. 2005.Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta : Rajawali Press, 1
211 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta bagaimana perencanaan itu diimplementasikan menjadi
pengalaman belajar siswa dalam rangka pencapaian tujuan yang diharapkan”41.
Lebih lanjut menurut Dakir kurikulum adalah suatu program
pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistematik atas dasar norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik
untuk mencapai tujuan pendidikan42.
Dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 19 dinyatakan bahwa Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu43
Dengan ini, maka yang harus tercakup di dalam kurikulum itu
adalah: seperangkat rencana dan pengaturan, tujuan kurikulum, isi
kurikulum, bahan pelajaran, cara yang digunakan dan sebagai pedoman penyelenggaraan.
Oemar Hamalik yang mengutip pendapat Alexander Inglis
dalam bukunya Principle Of Secondary Education (1978), menyebutkan
ada enam fungsi kurikulum, yaitu:
a. Fungsi Penyesuaian ( The Adjustive Of Adaptive Function)
Bahwa individu hidup dalam lingkungan, karena itu ia juga
harus menyesuaikan dengan lingkungannya secara meyeluruh Karena lingkungan sendiri senantiasa berubah dan ersifat dinamis,
maka masing-masing individu pun harus memiliki kemampuan menyesuaikan diri secara dinamis pula. Di balik itu, lingkunganpun haWina Sanjaya. 2010. Kurikulum dan Pembelajaran Teori dan Praktek Pengembangan KTSP .Jakarta, Kencana Prenada Media Group. 43
42 Dakir. 2004.Prencanaan Dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka Cipta. 3.
43 Undang-Undang No. 20 , Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Direktorat jenderal
pendidikan , 2003) pasal 1 ayat 19.
41
| 212
Dhevin M.Q. Agus P.W
rus disesuaikan dengan kondisi perorangan. Di sinilah letak fungsi
kurikulum sebagai alat pendidikan, sehinga individu bersifat welladjusted.
b. Fungsi Integrasi (The Integrating Function)
Bahwa kurikulum berfungsi untuk mendidik pribadipribadi yang terintegrasi, disebabkan individu merupakan bagian
dari masyarakat, maka pribadi yang terintegrasi itu akan memberika sumbangan dalam pembentukan atau pengintegrasian masyarakat.
c. Fungsi Diferensiasi (The Differentiating Function)
Kurikulum perlu memberikan pelayanan terhadap perbedaan
dalam masyarakat. Pada dasarnya, diferensiasi akan mendorong
orang berfikir kritis dan kreatif, guna mendorong kemajuan sosial
dalam masyarakat.
d. Fungsi Persiapan (The Proaedeutic Function)
Kurikulum berfungsi mempersiapkan peserta didik agar
mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk jangkauan yang
lebih jauh.
e. Fungsi Pemilihan (The Selective Function)
Perbedaan 'diferensiasi' dan pemilihan (seleksi) adalah hal
yang saling berkaitan. Pengakuan atas perbedaan berarti memberikan kesempatan bagi seseorang untuk memilih apa yang diinginkan
dan menarik minatnya. Kedua hal tersebut merupakan kebutuhan
bagi masyarakat yang menganut sistem demokratis. Maka untuk
mengembangkan kemam puan tersebut, kurikulum perlu disusun
secara luas dan bersifat fleksibel.
f. Fungsi Diagnostik (The Diagnostic Function)
Salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membangun dan
mengarahkan siswa untuk mampu memahami dan menerima dirinya, sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Hal tersebut dapat dilakukan manakala siswa dapat memahami dirinya melalui proses ekplorasi, dan selanjutnya siswa dapat
213 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
memperbaiki kekurangan dan kelemahannya kemudian dapat mengembang kan kekuatan yang ada secara optimal. 44
Salah satu segi pelayanan pendidikan adalah membangun
dan mengarahkan siswa atau santri untuk mampu memahami dan
menerima dirinya, sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi
yang dimilikinya.
2. Pengertian Integrasi kurikulum
Kata integrasi diartikan sebagai proses penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh.45 yakni mengandung arti
memadukan atau menyatukan dua atau lebih hal menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga integrasi dapat dipahami
sebagai upaya membangun suatu pandangan dan sikap yang positif
terhadap kedua jenis komponen dimana dalam penelitian ini adalah
kurikulum pesantren dengan pendidikan formal.
Sedangkan definisi Integrated Curriculum menurut Beans adalah:
“…. As away to teach students that attempts to break down
barriers between subjects and make learning more meaningful
to students. The idea is to teach around theme or organizing
centers that students can identify with, such as the environment, Life in School or more traditional areas like Myths and
Legends.46
Lebih lanjut implementasi integrasi kurikulum menurut
Humphreys, Post, and Ellis, dapat didefinisikan sebagai berikut “An
integrated study is one in which children broadly explore knowledge in various subjects related to certain aspects of their environment”. (Sebuah
pembelajaran terintegrasi merupakan salah satu cara mengajar dengan memberikan keleluasaan kepada siswa untuk menggali pengeta-
Oemar Hamalik, Manajemen Pengembangan Kurikulum, 95.
W.J.S. Poerwadarminta. 1993. Kamus Umum Bahasa Indonesia . Jakarta : Balai Pustaka.
46 www..tased.edu.au/integrated curriculumpolicy.htm. 2012, Juli 19
44
45
| 214
Dhevin M.Q. Agus P.W
huan dalam berbagai variasi materi yang terkait dengan aspek-aspek
yang nyata di lingkungan mereka)47.
Istilah lain yang digunakan sebagai sinonim kurikulum terintegrasi adalah Interdisiplinary Curriculum yaitu organisasi kurikulum
dimana terjadi pemotongan jalur antar mata pelajaran untuk dipusatkan pada masalah kehidupan yang meliputi keleluasaan berdasarkan ruang lingkup belajar, yang bersama–sama membawa berbagai
macam bagian atau hal ke dalam kerjasama yang penuh makna48. kurikulum terintegrasi merupakan ciri dari sekolah untuk melakukan
pembelajaran dengan harapan dapat mempersiapkan manusia secara
utuh yang sesuai dengan keinginan Tuhan49.
Selanjutnya dalam mengintegrasikan kurikulum pesantren
dengan pendidikan formal harus dipahami sebagai upaya untuk
mendorong fungsi kelembagaan pendidikan Islam. Sebagaimana
disampaikan oleh Azyumardi Azra bahwa dinamika keilmuan
pesantren dipahami sebagai upaya mewujudkan fungsi kelembagaan
yang memiliki tiga peranan pokok. Pertama, transmisi ilmu pengetahuan Islam. Kedua, pemeliharaan tradisi Islam. Dan Ketiga, pembinaan calon-calon ulama. Keilmuan pesantren lebih mengutamakan
penanaman ilmu dari pada pengembangan ilmu, hal ini terlihat pada
tradisi pendidikan pesantren yang cenderung mengutamakan hafalan dalam transformasi keilmuan di pesantren.50
3. Kurikulum Pesantren
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa Sistem pendidikan pesantren menggunakan pendekatan holistic, artinya para pengasuh pesantren memandang bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan kesatu paduan atau lebur dalam totalitas kegiatan hidup seha-
www.molecreek.tased.edu.au/integrated curriculumpolicy.htm. 2012, Maret 21
www.molecreek.. 2012, Maret 21
49 Halim Soebahar. 2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 74.
50 Azyumardi Azra. 1999. Esai-Esai Intelektual Muslim Pendidikan Islam. Jakarta :
Logos Wacana Ilmu. 89.
47
48
215 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
ri-hari. Belajar tidak mengenal perhitungan waktu, kapan harus dimulai dan kapan harus selesai dan target apa yang harus dicapai.51
Lebih lanjut menurut Ziemek pengetahuan seseorang dalam
pondok pesantren diukur oleh jumlah buku-buku yang telah pernah
dipelajarinya dan kepada ulama’ mana ia berguru. Kemajuan pelajaran dinilai menurut jumlah naskah dasar berbahasa Arab (kitab kuning) yang dikuasai oleh seorang santri karena tidak ada rencana kurikulum yang lebih lanjut dengan tingkat pelajaran, santri menentukan
sendiri berapa lama ia mengikuti pelajaran dalam pesantren serta
mengatur intensitas belajar menurut kemampuan menyerap dan motivasinya sendiri.52
Selanjutnya dalam kurikulum pondok pesantren salafiyah tidak dikenal kurikulum dalam pengertian seperti kurikulum pada
lembaga pendidikan formal. Kurikulum pada pesantren salafiyah
disebut manhaj. Manhaj pada pondok pesantren salafiyah ini tidak
dalam bentuk jabaran silabus tetapi berupa funun kitab-kitab yang
diajarkan pada para santri.
Dalam pembelajaran yang diberikan kepada para santrinya,
pondok pesantren mempergunakan manhaj dalam bentuk jenis kitabkitab tertentu dalam cabang ilmu tertentu. Kitab-kitab itu harus dipelajari sampai tuntas sebelum naik kepada kitab lain yang lebih tinggi
tingkat kesukaranya. Dengan demikian tamatnya program pembelajaran tidak diukur dengan satuan waktu juga tidak didasarkan pada
penguasaan terhadap silabi (topik-topik bahasan tertentu) tetapi didasarkan pada tamat atau tuntasnya santri mempelajari kitab yang
telah ditetapkan. Kompetensi standar bagi tamatan pondok pesantren
adalah kemampuan menguasai (memahami, menghayati, mengamalkan dan mengajarkan) sisi kitab tertentu yang telah ditetapkan.
Kompetensi standar tersebut tercermin pada penguasaan kitabkitab secara graduatif berurutan dari yang ringan sampai yang berat,
dari yang mudah ke kitab yang lebih sukar, dari kitab tipis sampai
51
52
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Ciputat: INIS. 58.
Manfreed Ziemek. 1986. Pesantren Dalam Perubahan Sosial. Jakarta : P3M. 168169.
| 216
Dhevin M.Q. Agus P.W
kitab yang berjilid-jilid. Kitab-kitab yang digunakan tersebut biasanya disebut dengan kitab kuning (kitab salaf), disebut demikian
karena pada umumnya kitab-kitab tersebut dicetak diatas kertas yang
berwarna kuning53.
Di kalangan pondok pesantren di samping memakai istilah kitab kuning beredar juga istilah kitab klasik untuk menyebut jenis kitab yang sama. Kitab-kitab tersebut umumnya tidak diberi harakat
atau syakal sehingga sering juga disebut kitab gundul, ada juga yang
menyebut dengan kitab kuno karena rentan waktu yang sangat jauh
sejak disusun sampai sekarang.
Pengajaran kitab-kitab ini meskipun berjenjang materi yang diajarkan berulang-ulang. Penjenjangan dimaksudkan untuk pendalaman dan perluasan sehingga penguasaan santri terhadap isi atau materi menjadi semakin mantap.
4. Kurikulum Pendidikan Formal
Di dalam Peraturan pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang
standar nasional pendidikan. Yang dimaksud dengan pendidikan
formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi54.
Lebih lanjut dapat dijelaskan mengenai struktur pendidikan
meliputi pendidikan dasar yang terdiri dari SD/MI/SDLB/Paket A,
pendidikan menengah terdiri dari SMP/MTs/SMPLB/Paket B sedangkan pendidikan tinggi yang terdiri dari SMA/ MA/ SMALB/ Paket C,
SMK/MAK55.
Selanjutnya masih dalam peraturan pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 5 menyatakan
Departemen Agama RI, Pondok Pesantren Dan Madrasah Diniyah, 32.
Peraturan Perintah No. 19 Tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan (Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan, 2005), 2.
55 Peraturan Perintah No. 19 Tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan, 8-9.
53
54
217 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar56 terdiri dari yaitu:
a. Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
b. Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
c. Kelompok mata pelajaran Ilmu pengetahuan dan teknologi
d. Kelompok mata pelajaran estetika
e. Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan
5. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting baik dalam
penentuan kebijakan pendidikan pada umumnya, maupun pada
pengambilan keputusan dalam kurikulum. Kegiatan evaluasi akan
memberikan umpan balik demikian juga dalam pencapaian
tujuan-tujuan oleh sebab itu evaluasi dilakukan secara terus
menerus untuk mengetahui proses dan hasil pelaksanaan sistem
pendidikan dalam pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Kegiatan evaluasi ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yaitu:
a. Tes Penempatan
Tes ini disajikan pada awal tahun pelajaran untuk mengukur
kesiapan siswa dan mengetahui tingkat pengetahuan yang telah
dicapai sehubungan dengan pelajaran yang disajikan. Dengan
demikian siswa dapat ditempatkann pada kelompok yang sesuai
dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki itu.
b. Tes Formatif
Tes ini disajikan di tengah program pengajaran untuk
memantau kemajuan belajar siswa demi memberikan umpan balik,
baik kepada siswa maupun kepada guru. Berdasarkan hasil tes itu
guru dan siswa dapat mengetahui apa yang masih perlu dijelaskan
kembali agar materi pelajaran dapat dikuasai lebih baik. Tes formatif
in mengacu pada kriteria karena itu disebut tes acuan kriteria
56
Direktorat Pendidikan pada Madrasah. 2006. Standar Isi Madrasah Ibtidaiyah Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, 3.
| 218
Dhevin M.Q. Agus P.W
sehingga dibuat tugas-tugas berupa tujuan instruksional yang harus
dicapai siswa untuk dapat dikatakan berhasil dalam belajarnya.
c. Tes Diagnostik
Tes ini bertujuan untuk mendiagnosa kesulitan belajar siswa
untuk mengupayakan perbaikanya, sepintas lalu tampaknya seperti
tes formatif namun penyusunanya sangat berbeda dari tes formatif
atau jenis tes lainya. Karena tujuanya adalah untuk mendiagnosa
kesulitan belajar siswa maka harus terlebih dahulu diketahui bagian
mana dari pengajaran yang memberikan kesulitan belajar pada siswa.
Oleh karena itu harus terlebih dahulu menyajikan tes formatif ada
tidaknya bagian pokok pembahasan yang belum dikuasai oleh siswa.
d. Tes Sumatif
Tes jenis ini diberikan pada akhir tahun ajaran atau akhir suatu
jenjang pendidikan, meskipun maknanya telah diperluas untuk
dipakai pada tes akhir caturwulan atau semester dan bahkan pada tes
akhir pokok bahasan. Dalam manfaatnya sebagai tes akhir tahun
ajaran atau akhir suatu jenjang pendidikan maka tes ini dimaksudkan
untuk memberikan nilai yang menjadi dasar penentuan kelulusan
dan atau pemberian sertifikat bagi yang telah menyelesaikan
pelajaran dengan berhasil baik karena tes ini umumnya tes akhir
tahun atau tes akhir jenjang pendidikan maka ruang lingkupnya pun
sangat luas meliputi seluruh bahan yang disajikan sepanjang jenjang
pendidikan maka tidaklah salah kalau tingkat kesukaran soalnya
juga bervariasi57.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan penelitan yang dilakukan di pondok pesantren Al-Falah putri Ampel Wuluhan terkait tentang “Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren dengan Pendidikan Formal” (Studi Kasus di Pondok Pesant-
57
Nur Uhbiyati. 1999.Ilmu Pendidikan Islam.Bandung: Pustaka Setia. 139-141.
219 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
ren Al-Falah Putri Ampel Wuluhan Jember) maka dapat diambil kesimpulan sesuai dengan fokus penelitian sebagai berikut:
Pertama, Perencanaan yang dilakukan pimpinan dalam
mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal
cenderung lebih terbuka terhadap semua element hal ini terbukti
dalam setiap pengambilan keputusan untuk sebuah perencanaan
program selalu melibatkan masukan-masukan dari semua pihak.
Selanjutnya langkah-langkah perencanaan integrasi kurikulum di
pondok pesantren Al-Falah putri adalah dengan merumuskan visi
misi, profil lulusan, membangun sarana dan prasarana, merekrut
tenaga pendidik yang memang kompeten dibidangnya, menentukan
kurikulum. terlebih lagi perencanaan yang dilakukan selalu
mempertimbangkan latar belakang santri, kondisi lingkungan
masyarakat, dan sumber daya yang ada.
Kedua, Selanjutnya pengorganisasian yang dilakukan oleh
pimpinan pondok pesantren dalam mengorganisasikan beberapa status kelembagaan dengan cara memberikan kewenangan struktural
yang independent diantara setiap lembaga mulai dari aktifitas murni
pondok pesantren yakni aktifitas mengaji wetonan secara rutin di Mushalla, pembelajaran kitab kuning di madrasah diniyah, sampai pembelajaran pengetahuan umum di pendidikan formal baik itu MTs
maupun MA Al-Falah putri.
Ketiga, Pelaksanaan yang dilakukan pimpinan pondok pesantren dalam mengintegrasikan kurikulum pesantren dengan pendidikan formal di pondok pesantren Al-Falah putri dengan cara menerapkan kurikulum di masing-masing instansi baik itu aktifitas keseharian pondok pesantren sebagai wujud kurikulum pondok pesantren, aktifitas pembelajaran dimadrasah diniyah sebagai wujud kurikulum madrasah diniyah, maupun kurikulum Mts/SA MA Al-Falah.
Lebih lanjut dalam pelaksanaan kurikulum ini terdapat proses
evaluasi di setiap instansi meskipun bentuk dalam pelaksaaan
evaluasi yang ada berbeda antara satu lembaga dengan lembaga yang
lain.
| 220
Dhevin M.Q. Agus P.W
Keempat, pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan pondok
pesantren Al-falah ini terdapat dalam 2 bentuk: Pertama, bentuk pengawasan langsung. Kedua, bentuk penerapan kegiatan rapat bulanan,
maupun rapat 6 bulan sekali. Tahapan pengawasan ini diterapkan
dengan tujuan untuk mengetahui terhadap kinerja dari masingmasing lembaga yang ada di bawah naungan pondok pesantren AlFalah putri dengan tujuan dapat dijadikan barometer dalam pengambilan kebijakan lanjut demi perkembagan kegiatan sebuah lembaga
dimasa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Ary Bogdan, RC and Bihklen, SK, 1982, Qualitative Research For Education An Introduction to Theory and Methods, London,Allyn and
Bacon,Inc.
Azra, Azyumardi. 1998. Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bagir, Zainal Abidin (ed), 2005. Integrasi Ilmu dan Agama, Interprestasi
dan Aksi, Bandung : Mizan.
Baharuddin, Makin. 2010. Manajemen Pendidikan Islam Tramsformasi
menuju Sekolah/Madrasah Unggul. Malang: UIN MALIKI Press.
Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Rineka
Cipta.
Basori, Ruchman. 2008. Pesantren Modern. Jakarta: Incies.
Danim, Sudarmawan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung : CV.
Pustaka Setia
Diknas,2005. Undang Undang Guru dan Dosen. Bandung: Fokus Media.
Diknas, 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Nuansa Mulia.
Departemen Agama RI, 2006. Standar Isi Madrasah Ibtidaiyah, Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.
221 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
Departemen Agama RI, 2003. Pondok pesantren dan madrasah diniyah
pertumbuhan dan Perkembangannya, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.
Dhofier, Zamahsyari, 1994, Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES.
Dhofier, Zamahsyari, 2011, Edisi Revisi: Tradisi Pesantren studi tentang
pandanngan hidup kyai, Jakarta : LP3ES.
Fadjar, Malik. 1999. Riorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia.
Fahmi, Arif, M. 2009. Modernisasi Lembaga Pondok Pesantren Dalam
Perspektif KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Sebagai Upaya
Harmonisasi Agama Vis a Vis Ilmu Pengetahuan. Skripsi tidak diterbitkan. Jember: Program Studi Pendidikan Agama Islam
STAIN Jember.
Handoko, Hani. 2001. Konsep Manajemen, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Harahap, Syahrin. 1997. ISLAM DINAMIS Menegakkan Nilai-nilai Ajaran al-Qur’an Dalam Kehidupan Modern di Indonesia. Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya.
Hasan, Tolhah. 2001. Peran Pesantren dan Pengembangan pendidikan.
Makalah pada seminar di PP. Al-Amin Sumenep.
Hasbullah. 1999. Profil Pesantren. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hamalik, Oemar, 2010, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Bandung
: PT. Remaja Rosda Karya.
Himpunan Peraturan Sistem Pendidikan Nasional 2004. Jakarta: CV.
Pelangi.
Holili, Muhammad. 2006. Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Nusantara. Makalah tidak dipublikasikan. STAIN Jember.
Madjid, Nurcholish. 1993. Islam Kemodernan dan KeIndonesiaan. Bandung: Mizan.
| 222
Dhevin M.Q. Agus P.W
Madjid, Nurcholish.1997. Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina
Maimun, Agus. et al. 2010. Madrasah Unggulan: Lembaga Pendidikan
Alternatif di Era Kompetitif. Malang: UIN MAlIKI PRESS.
Manfred, Ziemek. 1986. Pesantren dalam Perubahan Sosial. Jakarta: Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat. pencetakPT. Temprint.
Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Mastuhu. 1994. Dinamika SistemPendidikan Pesantren. Ciputat : INIS.
Moleong, Lexy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya
Moleong, Lexy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya
Moleong, Lexy. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya
Mukti, Abdul Fatah, dkk. 2004. Rekontruksi Pesantren Masa Depan. Jakarta : PT. Listafariska Putra.
Muhaimin, 2010, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di
Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Rajagrafindo
Persada
Muhaimin, 2009, Rekonstruksi Pendidikan Islam : dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurkulum hingga Strategi
Pembelajaran, Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Muhaimin,et al. 2009. Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Prenada Media Group.
Mustofa, Zainul. 2012. Peran Kyai dalam Pengembangan Manajemen
Pondok pesantren (Studi Kasus di pondok Pesantren Baridujja
223 | Volume 5. No. 02. September 2013
Manajemen Pondok Pesantren dalam Mengintegrasikan Kurikulum Pesantren
dengan Kurikulum Pendidikan Formal
Kraksan probolinggo). Tesis tidakditerbitkan. Jember: Program Pascasarjana STAIN Jember.
Nasution. 2001. Manajememn Kutu Terpadu (Total Quality Management).
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nawawi, Hadari. 1995. Metode Penelitian Sosial. Jogjakarta : Gajah Mada University press.
Nuliawan, Jasa Ungguh. 2005. Pendidikan Islam Integratif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Partanto,Pius A&Al Barry, M. Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.
Pascasarjana. 2011. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Jember: Program
Pascasarjana STAIN Jember.
Purwanto. 2007. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta: Media Wacana.
Qomar, Mujamil. 2002. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta: Erlangga.
Sasono, Adi et.al. 1998. Solusi Islam atas Problematika Umat. Jakarta:
Gema Insani.
Sanjaya, Wina, 2010, Kurikulum dan Pembelajaran; Teori dan Praktek
Pengembangan KTSP, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Seifert, Kelvin. 2007. Manajemen Pembelajaran & Instruksi Pendidikan
(Manajemen Mutu Psikologi Pendidikan Para Pendidik), terjemahan oleh: Yusuf Anas Jogjakarta: IRCiSoD.
Scheerens, Jaap.2000. Peningktan Mutu sekolah: Buku Serial Dasar-Dasar
Perencanaan Pendidikan Terbitan UNESCO. Terjemahan oleh:
Abas Al-Jauhari. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Soebahar, Abd.Halim. 2002. Wawasan Bari Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Suharto, Babun, 2011, Dari Pesantren Untuk Umat, Surabaya : IMTIYAZ
| 224
Dhevin M.Q. Agus P.W
Siagian, P. Sondang. 1992. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: AlFabeta.
Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif dan kuantitatif. Bandung : Alfabeta
Sudjana, Nana. 1989. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung :
Sinar Baru.
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sulthon, Khusnuridlo. 2006. Manajemen pondok Pesantren dalam Prespektif Global. Jogjakarta: Laksbang
Syadali, Ahmad, dan Mudzakir. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: Pustaka
Setia.
Terry. George & Leslie, 2010. Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: Bumi
Aksara
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Wahjoetomo. 1997. Perguruan Tinggi Pesantren. Jakarta: Gema Insani
Press.
225 | Volume 5. No. 02. September 2013
Download