25 Oktober 2016 Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Di KKPD Sultra menggunakan Indikator EAFM Provinsi Sulawesi Tenggara FPIK UNIVERSITAS HALUOLEO BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konservasi perairan merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya yang bertujuan untuk memberikan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi masyarakat. Pemerintah Indonesia telah mengatur konservasi perairan ini dalan UU No. 31/2004 dan UU No. 27/2007 serta turunannya masing-masing. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk membuat 20 Juta Ha kawasan di tahun 2020. Di akhir tahun 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyebutkan angka pencapaian hingga 16 juta Ha (atau 80% dari target 2020). Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan dengan Keputusan Menteri (KEPMEN). Terlepas dari itu, pemerintah daerah masih diharapkan untuk dapat lebih proaktif dalam upaya mencadangkan dan mengelola kawasan konservasi perairan daerah masing-masing sehingga Indonesia dapat lebih menjamin keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan. Tujuan penetapan kawasan konservasi ; (1) melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya; (2) mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan secara berkelanjutan; (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pada Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah melakukan pencadangan Kawasan Konservasi Sultra seluas 10.371,78 Ha sebagai Kawasan Taman Wisata Perairan (TWP) melalui Surat Keputusan Gubernur nomor : 324 Tahun 2014, yang terdiri dari: (1) Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan seluas 8.700,04 Ha; (2) Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe seluas 1.295,67; dan (3) Kawasan perairan pesisir Kota Kendari seluas 376,07 Ha. Dalam perkembangannya, KKPD yang telah dicadangkan mengalami perubahan dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesii Tenggara Nomor 98 Tahun 2016 dengan penambahan luas kawasan sebesar 11.414,36 Ha sehingga total luas keseluruhan mencapai 21.786,14 Ha. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra I-1 Penetapan KKPD Sultra didasarkan keberadaan kawasan tersebut yang sebagai besar berada di kawasan Teluk Staring dengan beberapa pulau-pulau kecil yang tersebar dengan karakteristik sebagai berikut : Kawasan Konservasi Perairan daaerah Sultra potensial Sumber Plasma nufta Kelautan/ perikanan Pada kawasan tersebut sebagai daerah penangkapan ikan karena tonsentrasi ikan pelagis kecil dan ikan dermersal Kawasan tersebut memiliki potensi ekologi; ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, padang lamun, ekosistem estuary, ekosistem teluk. Memiliki beberapa anak teluk (sekitar 12 buah) yang berpotensi sebagai nursery ground Mengalair beberapa sungai dan anak sungai sebagai pensuplai hurun hara Pada kawasan tersebut terdapat indikasi sebagai daerah pemijahan ikan kakap, lobster, ikan teri dan rajungan. Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sulawesi Tenggara menempati perairan di 3 wilyah adminstrasi yaitu Kabupaten Konawe yang meliputi Keamatan Soropia, Kota Kendari meliputi Kecmatan Kendari, Kendari Barat, Poassia dan Kecamatan Abeli dan Kabupaten Konawe Selatan yang meliputi Kecamatan Moramo, Moramo Utara dan Laonti. Seperti KKPD lainnya kawasan ini memiliki pateni sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kesejateraan masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar kawasan itu. Manfaat konservasi telah nyata meningkatkan produksi perikanan tangkap, utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu mencegah kolaps tangkapan. Pengelolaan kawasan konservasi perairan menjadi kompleks karena bukan saja terfokus pada kawasannya tapi juga terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan tersebut. Untuk mengola KKPD sebagai suatu kawasan yang berkelanjutan dalam pengeloaan sumberdaya yang ada di dalamnya maka pengelolaannya akan dilakukan dengan system zonasi. Sedangkan status pengelolaan terhadap sumberdaya yang dapat WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra I-2 dimanfaatkan oleh masyarakat (sumberdaya ikan) tersebut maka harus diloakukan secara komprehensip yang meliputi keterpaduan pengelolaan antar sumberdaya, lingkungan, sarana prasarana, masyarakat maupn manajemen. Salah satu model pengeloaan yang saat ini telah diakembangkan untuk mengintegrasikan unsur-unsur tersebut adalah model pengeloaan pengeloaan perikanan dengan pendekatan eksositem (EAFM) dimana model tersebut merupakan hasil pengembangan dari model pengeloaan sebelumnya. Adanya pengeloaan dengan model EAFM tersebut pada kawasan konservasi perairan maka status keberlanjutan sumberdaya daya ikan dan unsur-unsur pendukungnya dapat diketahui dan dimplementasikan. Prinsip pengelolaan perikanan dikawasan konservasi perairan dengan model EAFM adalah sebagai berikut : (1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem; (2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga; (3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan; (4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan; (5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia Oleh karena itu kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan harus dikelola secara bijaksana khususnya denagn model EAFM dalam memanfatkan sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya. Implementasi EAFM dapat dilakukan dengan berpedoman pada perangkat domaian dan indikator EAFM sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai performa pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem di kawasan konservasi perairan. Melalui kajian EAFM yang bersifat komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan di kawasan konservai perairan daerah Sulawesi Tenggara. Penilaian EAFM merupakan salah satu alat pengukur dalam melihat kondisi pengelolaan perikanan disuatu daerah, terdapat 6 Domain yang terdiri atas 31 indikator. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra I-3 Melalui analisis indikator EAFM ini, diharapkan dapat memeberikan gambaran status dan kondisi perikanan, di kawasan konservasi perairan sebagai baseline data bagi pemerintah maupun bagi pemerintah Provinsi Sulawesii Tenggara baik itu di KKP pusat dan Dinas Perikanan setempat sebagai dasar pengelolaan perikanan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya yang bermukim dan memanfaatkan sumvberdaya perikanan di kawasan konservasi perairan daerah dan sekitarnya. Berkaitan dengan hal tersebut di atas WWF-South East Sulawesi Sub Seascape program akan dilaksanakan kegiatan survei lapangan untuk mengumpulkan infromasi terkini perihal data indikator baik data primer maupun sekunder untuk melihat performa pengelolaan perikanan dikawasan konservasi perairan daerah sebagai base line data untuk kebutuhkan pengelolaan selanjutnya. Data yang terkumpul akan dianalisis oleh tim ahli (FPIK-UHO) dan dibuat dalam bentuk laporan hasil. Selanjutnya laporan hasil ini akan di sosialisasikan kepada jajaran SKPD terkait khususnya di tiga Kabupaten keberadaan kawasan konservasi perairan daerah untuk membahas kondisi terkini dari performa pengelolaan perikanan kawasan yang dikasud. Diharapkan dalam diskusi nanti dapat membangun kesepahaman bersama terhadap pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang bersinergi antar lembaga dalam mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di kawasan konservasi perairan daerah Sulawesi Tenggara. 1.2. Tujuan Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan kajian dan analisis base line performa pengelolaan perikanan di Kawasan konservasi Perairan darha Provinsi Sulawesi Tenggara melalui indikator-indikator pengelolaan perikanan dengan pendekatan metode EAFM 1.3. Hasil Adapun hasil yang diharapkan dari pertemuan ini adalah ; memberikan gambaran awal mengenai penilaian dan penerapan indikator EAFM pada pengelolaan perikanan di Kawasan konservasi Perairan daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dan memberikan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra I-4 rekomendasi tentang keterkaitan penerapan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah serta adanya rekomendasi perbaikan metode dan analisa indikator EAFM untuk kawasan konservasi perairan. 1.4. Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan adalah mengevaluasi dan membahas kondisi awal performa pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) kawasan konservasi perairan Sulawesi sebagai base line data dalam pengelolaan selanjutnya. Dan dihasilkannya perencanaan kerja dalam usaha meningkatkan Performa Pengelolaan Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM) di kawasan konservasi perairan khususnya KKPD Sulawesi Tenggara. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra I-5 BAB II KONDISI PERIKANAN DI KKPD SULTRA 2.1. Profil KKPD Sultra Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu seluas 21.786,14 Ha (dua puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh enam koma empat belas hektar), yang terdiri dari : 1). Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan seluas 20.114,40 Ha (dua puluh ribu seratus empat belas koma empat puluh hektar), dengan batas dan titik koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini. 2). Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe seluas 1.295,67 Ha (seribu dua ratus sembilan puluh lima koma enam puluh tujuh hektar), dengan batas dan titik koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini. 3). Kawasan perairan pesisir Kota Kendari seluas 376,07 Ha (tiga ratus tujuh puluh enam koma nol tujuh hektar), dengan batas dan titik koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra II - 1 Gambar 2.1. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara 2.2. Profil Perikanan Tangkap KKPD Sultra Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sulawesi Tenggara memiliki potensi perikanan tangkap di 3 wilayah administrasi yaitu Kota Kendari, Kabupaten Konawe dan Konawe Selatan masih cukup besar. Hal ini disebabkan karena kawasan ini menempati kawasan perairan seluas 21.114,40 ha dengan panjang pantai yang cukup panjang dan terdapat banyak pulau-pulau kecil dan berhadapan langsung dengan Laut Banda yang terkenal akan berbagai jenis ikan yang berekonomis tinggi seperti ikan tuna, cakalang, tongkol, layang, tenggiri dan kembung serta berbagai jenis ikan karang seperti ikan kerapu dan kakap. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra II - 2 Pemanfaatan KKPD sebagai daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh nelayan tradisional yang bermukim di wilayah pesisir kawasan tersebut dengan menggunakann berbagai macam malat tangkap ikan, antara lain pancing, gill net, sero, payang, mini purse seine dan bagan. Keberadaan KKPD sebagai daerah penangkapan ikan sudah lama dilakukan nelayan sebelum status kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan sehingga sebagian besar masyarakat belum memahami sepenuhnya fungsi kawasan konservasi tersebut. KKPD sebagain besar perairannya menempat wilayah administrasi Kabupaten Konawes Selatan yang terdiri dari Kecamatan Moramo Utara, Kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti yang sekaligus juga berada di kawasan Teluk Staring. Sedangkan KKPD yang berada di wilayah Kabupaten Konawe hanya kecematan Soropia namun memiliki jumlah nelayan terbesar khsusnya di Desa Sampnda dan Saponda Laut serta Wilayah adminstrasi Kota Kendari yang terdiri dari beberapa kecamatan namun tidak berbatasan langsung dengan KKPD tetapi sebagain nelayannya memanfaatkan KKPD sebagai daerah penangkapan. Kawasan KKPD Sultra ini memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati (biodiversity) yang sangat besar seperti sumberdaya ikan, terumbu karang, mangrove dan padang lamun. Selain itu, terdapat pula jasa-jasa lingkungan kelautan yang dapat dikembangkan seperti jasa pariwisata bahari dan jasa transportasi laut. Aktifitas yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan KKPD cukup padat. Mayoritas masyarakat yang menghuni sekitar kawasan ini menggantungkan hidupnya melalui sumberdaya perikanan yang terdapat di dalamnya. Aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlangsung di kawasan KKPD Sulawesi Temggara adalah perikanan skala kecil dan menengah. Dengan demikian, kapasitas penangkapan masing-masing nelayan masih skala kecil dan menengah pula. Kapasitas kapal penangkap ikan yang beroperasi di kawasan KKPD ini bervariasi mulai dari kapasitas 0,5 GT hingga 27 GT. Sebagian besar kapal-kapal yang beroperasi di kawasan KKPD sebenarnya adalah kapal-kapal dengan kapasitas di bawah 5 GT (< 5GT). Jenis kapal dengan kapasitas ini antara lain, sampan, body batang dan jolor. Adapun kapalkapal dengan kapasitas di atas 5 GT (> 5 GT) hingga 27 GT, daerah pengoperasian sebenanrnya adalah diluar kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, misalnya di perairan laut banda, laut arafura dan perairan perikanan skala besar lainnya. Namun, terkadang pada waktu atau musim-musim tertentu kapal-kapal tersebut menangkap juga di kawasan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra II - 3 KKPD. Umumnya kapal-kapal dengan kapasitas tersebut adalah nelayan andong atau nelayan pendatang dari luar sulawesi tenggara. Beberapa nelayan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masih menggunakan peralatan penangkapan ikan yang tradisional dan beberapa lainnya sudah menggunakan teknologi modern, serta beberapa juga memadukan antara peralatan tradisional dan modern. Secara keseluruhan, jenis-jenis alat penangkapan ikan (fishing gear) yang dioperasikan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara antara lain: Jaring Insang (gill net), Mini Purse Seine, Purse Seine, Bagan, Payang, Pancing Rawai, Pole and Line, Pancing Kedo-kedo, Sero, Bubu Rajungan, Rawai, Pancing Ulur, Pancing Gurita, Pancing Tonda, Panah (Speargun) dan Pancing Bambu. Tidak semua alat tangkap tersebut berasal atau digunakan oleh masyarakat sekitar kawasan KKPD. Beberapa alat tangkap ikan seperti bagan, payang, mini purse seine dan purse seine adalah alat tangkap yang dioperasikan oleh nelayan pendatang (nelayan andong) dari luar kawasan KKPD bahkan dari luar sulawesi tenggara (nelayan dari sulawesi selatan). Kondisi ini seringkali menimbulkan konflik antara nelayan setempat dengan nelayan andong, karena beroperasinya nelayan andong ini dapat menyebabkan turunnya hasil tangkapan nelayan setempat yang hanya memiliki kapasitas penangkapan yang kecil. Potensi perikanan yang ada di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara meliputi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Potensi perikanan tangkap terbagi kedalam dua kelompok ikan yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Terdapat tiga jenis perikanan prioritas utama di kawasan KKPD ini yang ditangkap oleh nelayan setempat, yakni: jenis perikanan karang, ikan-ikan kembung dan ikan putih atau kuweh. Ikan pelagis yang kebanyakan ditangkap oleh nelayan di kawasan KKPD ini adalah jenis ikan kembung lelaki (Rastrlliger kanagurta) dan ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachyosoma). Adapun ikan-ikan demersal yang banyak tertangkap oleh nelayan adalah dari jenis ikan-ikan karang dan ikan putih atau ikan kuweh. Ikan-ikan karang yang dimaksud antara lain: sunu merah, sunu hitam, katamba, kakap merah, jenis-jenis ikan kerapu lainnya, ikan ekor kuning, biji nangka, ikan kakatua serta banyak lagi jenis ikan karang lainnya. Terkadang hasil tangkapan nelayan juga meliputi ikan-ikan tongkol, layang, cakalang, baby tuna, ikan tengiri dan ikan-ikan pelagis kecil dan besar lainnya. Namun, ikan-ikan tersebut bukan ditangkap dalam kawasan KKPD melainkan di perairan bagian luar ataupun lebih jauh dari itu. Sementara itu, perikanan budidaya yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra II - 4 KKPD Sulawesi Tenggara antara lain keramba jaring apung, keramba jaring tancap dan budidaya kerang mutiara. Di kawasan KKPD ini juga terdapat budidaya rumput laut, namun pengusahaan budidaya ini telah berhenti beberapa tahun belakangan disebabkan melimpahnya hama tanaman rumput laut, misalnya penyu. Produksi rata-rata perikanan kembung di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara adalah sekitar 37,35 kg/trip. Sedangkan produksi rata-rata perikanan karang di kawasan KKPD ini adalah sekitar 39,0 kg/trip. Adapun produksi rata-rata perikanan kuweh adalah sekitar 23,9 kg/trip. Daerah penangkapan jenis perikanan karang, ikan kembung dan ikan kuweh tersebut, yang paling sering dikunjungi nelayan adalah perairan pulau hari, tanjung lemo, perairan pulau lara, perairan labotaone, perairan tanjung tiram, perairan saponda, perairan labuan beropa, tanjung beropa, tanjung gomo, perairan tambeanga, perairan tambolosu dan sekitar pulau bokori. Nelayan yang memiliki kapasitas mesin kapal yang lebih besar dan mendukung, terkadang menangkap keluar dari kawasan KKPD hingga di perairan wawonii, perairan buton dan perairan labengki. Selain ikan mati, pengusahaan ikan hidup di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara ini juga ada. Beberapa rumah tangga perikanan (RTP) yang tinggal di kawasan KKPD ini merupakan pengumpul ikan hidup. Ikan-ikan hidup tersebut baik masih bibit seperti bibit ikan kuweh, maupun ikan-ikan karang ukuran komersil siap jual seperti sunu merah, sunu hitam, kerapu tiger, dan jenisjenis kerapu lainnya. Jumlah pengumpul ikan hidup di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara tidak sebanyak pengumpul ikan mati. Ikan-ikan mati dan hidup tersebut biasanya dipasarkan di Kota Kendari, beberapa daerah di sulawesi tenggara dan sulawesi selaatan hingga ke pulau jawa dan Bali. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra II - 5 BAB III METODE PENILAIAN PENGELOLAAN PERIKANAN DI KKPD SULTRA 3.1. Waktu Pelaksanaan Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 3 bulan sejak bulan Juli sampai september 2016 dengan tahapan dan rencana waktu pelaksanaan sebagai berikut : Tabel 3.1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Penilaian Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara Juli Agustus September Kegiatan II IV I II III IV I II III Koordinasi Tim dan persiapan Identifikasi Nelayan dan lokasi kegiatan Pengumpulan data Tabulasi data Analisis Data Penyusunan laporan Sosialisasi hasil 3.2. Lokasi Kegiatan Lokasi pelaksanaan Evaluasi performa pengelolaan perikanan di kawsan konservasi perairan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) di laksanakan di Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe yang menfokuskan aktivitas di kawasan konservasi perairan daerah Sulawesi Tenggara. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 1 IV Tabel 3. 2. Rancangan Lokasi Survei dan Jumlah Responden Berdasarkan Setiap Kecamatan Kabupaten Kota Kendari Konawe Selatan Konawe Instansi Pemerintah 3.3. Kecamatan 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Kendari Poasia Nambo Moramo Utara Moramo Laonti Tapulaga Soropia Lalonggasomeeto DKP Provinsi Sultra DKP Kota Kendari DKP Konawe Selartan DKP Konawe PPS Kendari PPI Lapulu PPI Sodoha PPI Soropia Rancangan Jumlah Responden 40 40 40 50 50 50 50 50 50 5 5 5 5 5 5 5 5 Kebutuhan Data Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penilaian status indikator setiap domain yang menjadi fokus penilaian di kawasan konservasi perairan daearah ini, sebagai berikut : a. Indikator Domain Sumberdaya Ikan Indikator Sumber data Kriteria CPUE Baku (Standarize CPUE) Kondisi Perikanan Di KKPD (DKP dan Nelayan) Ukuran Ikan Wawancara (DKP dan Nelayan) Proporsi Ikan Yuwana (Juvenile) yang ditangkap Wawancara (DKP dan Nelayan) Komposisi Spesies Wawancara (DKP dan Nelayan) 1 = CPUE baku menurun tajam 2 = CPUE baku menurun sedikit 3 = CPUE baku stabil atau meningkat 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil 2 = trend ukuran relatif tetap 3 = trend ukuran semakin besar 1 = banyak sekali (> 60 %) 2 = banyak (30 – 60 %) 3 = sedikit (<30 %) 1 = proporsi target lebih sedikit 2 = proporsi target sama dengan nontarget WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 2 3 = proporsi target lebih banyak "Range Collapse" sumberdaya Ikan DKP dan Wawancara Nelayan) Spesies ETP Wawancara (DKP dan Nelayan) 1 = semakin Sulit 2 = relatif tetap 3 = makin mudah 1 = fishing ground menjadi sangat jauh 2 = fishing ground jauh 3 = fishing ground relatif tetap jaraknya. 1 = banyak tangkapan spesies ETP 2 = sedikit tangkapan spesies ETP 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap b. Indikator Domain Habitat dan Ekosistem Indikator Sumber data Kualitas perairan Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Status lamun Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Status Mangrove Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Kriteria Limbah yang reidentivikasi secara klinis, audio/visual 1 = tercemar 2 = tercemar sedang 3 = tidak tercemar Tingkat kekeruhan 1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi 2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang 3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah Eutrofikasi 1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi eutrofikasi. 2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3 potensi terjadi eutrofikasi. 3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak terjadi eutrofikasi 1 = tutupan rendah, 29,9 % 2 = tutupan sedang, 30–49,9 %. 3 = tutupan tinggi 50 % 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; 3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75% 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) Kriteria Luasan : 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal 1 = INP rendah; 2 = INP sedang; 3 = INP tinggi; WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 3 Status Terumbu Karang Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling). Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Status dan produktivitas Estuari dan perairan sekitarnya Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. 1 = tutupan rendah, < 25 % 2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %. 3 = tutupan tinggi > 50 % 1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1) 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik 1 = produktivitas rendah; 2 = produktivitas sedang; 3 = produktivitas tinggi 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat c. Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan Indikator Sumber data Kriteria Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Wawancara (DKP dan Nelayan) dan Laporan hasil pengawas perikanan Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. Wawancara (DKP dan Nelayan) Fishing capacity dan Effort Wawancara (DKP dan Nelayan) Selektivitas penangkapan Statistika Perikanan dan Wawancara Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Laporan tahunan DKP Nelayan) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Laporan tahunan DKP dan Wawancara Nelayan) 1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun 2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per tahun 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 1 = R kecil dari 1; 2 = R sama dengan 1; 3 = R besar dari 1 1 = rendah (> 75%) ; 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tdk sesuai dgn dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dgn dokumen legal 1= Kepemilikan sertifikat <50%; 2= Kepemilikan sertifikat 50-75%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 4 d. Indikator Domain Ekonomi Indikator Sumber data Kepemilikan aset Wawancara (DKP dan Nelayan) Pendapatan rumah tangga (RTP) Wawancara (DKP dan Nelayan) Saving rate Wawancara (DKP dan Nelayan) Kriteria 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1 = kurang dari rata-rata UMR, 2 = sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bungan kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman e. Domain Sosial Indikator Sumber data Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP dan Nelayan) Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP dan Nelayan) Data skunder : Hasil penelitian baik telah dipublikasikan maupun tidak terpublikasi, laporan dan dokumen yang relevan. Wawancara (DKP dan Nelayan) Partisipasi pemangku kepentingan Konflik perikanan Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Kriteria 1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 % 1= lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan f. Domain Kelembagaan Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun nonformal (Alat) Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Mekanisme Kelembagaan Sumber data Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan Wawancara (DKP dan Nelayan) Wawancara (DKP, TNL dan Nelayan) Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP dan Nelayan), Kriteria 1 = lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum Non formal 1 = lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2 = lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3 = tidak ada informasi pelanggaran 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap Elaborasi untuk poin 2 1 = ada tapi jumlahnya berkurang; 2 = ada tapi jumlahnya tetap; 3 = ada dan jumlahnya bertambah 1 = tidak ada penegakan aturan main; 2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3 = ada penegakan aturan main dan efektif 1 = tidak ada alat dan orang; 2 = ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 5 Mekanisme Kelembagaan Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP dan Nelayan). Rencana pengelolaan perikanan Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP dan Nelayan). Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP, dan Nelayan Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Kapasitas pemangku kepentingan 3.4. Laporan tahunan DKP, Statistika Perikanan, Wawancara (DKP, TNL dan Nelayan 3 = ada alat dan orang serta ada tindakan 1 = tidak ada teguran maupun hukuman; 2 = ada teguran atau hukuman; 3 = ada teguran dan hukuman 1 = tidak ada mekanisme kelembagaan; 2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; 3 = ada mekanisme kelembagaan dan berjalan efektif 1 = ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2 = ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3 = ada keputusan dijalankan sepenuhnya 1 = belum ada RPP; 2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 1 = konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1 = terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1 = tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan; 3 = ada dan difungsikan Analisa Data Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem multikriteria yang berujung pada indeks komposit terkait dengan tingkat pencapaian sebuah pengelolaan perikanan sesuai dengan prinsip EAFM. Analisis komposit data hasil survei/sampling dan data sekunder ini menggunakan Teknik Flag Modeling. Dari tiap indikator yang dinilai, kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model) dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 6 Tabel 3.3. Visualisasi Hasil Analisis Komposit Indikator EAFM untuk performa Pengelolaan Perikanan di KKPD Sultra Nilai Skor Komposit 100-125 126-160 161-200 201-250 251-300 Model Bendera Deskripsi Buruk Kurang Baik Sedang Baik Baik Sekali WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra III - 7 BAB IV ANALISIS TEMATIK DAN KOMPOSIT PENGELOLAAN PERIKANAN DI KAWASAN KKPD SULTRA 4.1. Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sultra 4.1.1. Domain Habitat dan Ekosistem Domain habitat merupakan salah satu parameter lingkungan dimana sumberdaya ikan sangat dipengaruhi domain ini berdasarkan indicator-indikatornya. Diasamping tekanan Karena pemanfatan sumberdaya ikan parameter lingkungan ini memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup dan biomasa (reproduksi dan pertumbuhan) sumberdaya ikan tersebut. Indikator-indikator yang termasuk dalam domain habitat dan ekosistem yang meliputi kualitas perairan, status lamun , status mangrove, status terumbu karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling), status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya, perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 4.1. Wilayah KKPD merupakan satu kesatuan kawasan perairan beserta pesisirnya yang menghubungkan Kota Kendari, Kabupaaten Konawe dan kabupaten Konawe Selatan yang memiliki ekosistem perairan pesisir yang kompleks. Wilayah KKPD sebagaian besar terdapat di Teluk Staring yang memiliki ekosistem pesisir yang lengkap diantaranya mangrove, lamun, terumbu karang, estuary dan gusung. Sedangkan wilayah KKPD yang masuk dalam adminstrasi Kabupaten Konawe (P. Saponda) dan Kota Kendari hanya memiliki ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Di wilayah pesisir KKPD khususnya di Teluk terbentang hutan mangrove. Sepanjang garis pantai terbentang dangkalan yang landai dan tubir-tubur karang. Perairan KKPD merupakan perairan terbuka yang berhubungan langsung dengan Laut Banda sehingga pada waktu tertentu kondisi perairan sulit untuk dilakukan kegiatan penangkapan yang sangat dipengaruhi oleh musim timur dan dan angina utara dimana kondisi laut Banda dengan gelombang dan arus yang cukup tinggi. Aktivitas pembangunan khususnya industri maupun aktivitas lahan atas (tambak dan pertanian) khususnya di kawasan Teluk Staring yang dapat mempengaruhi kualitas WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 1 perairan sudah dirasakan oleh masyarakat khususnya kawasan perairan di Kecamatan Moramo dan Moramoo Utara dimana aktivitas pertanian dan pembukaan lahan atas sangat berpengaruh terhadap kualitas perairan sehingga dampak aktivitas di darat tersebut adalah peningkatan kekeruhan di sepanjang pesisir di kedua kecamatann tersebut. Sedangkan di perairan lainnya KKPD pengaruh aktivitas darat masih sangat sedikit sehingga kondisi ini relatif terisolasi oleh keberadaan gelombang dan arus. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 2 Tabel 4.1. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Habitat dan Ekosistem. INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kualitas perairan DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKIN G NILAI Parameter kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. 57,4 % responden mengatakan daerah tempat tinggal tercemar sedang dan 42,6% tidak tercemar 2 20 1 33,3 Nilai kekeruhan yang terukur di perairan Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara adalah 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang (BLH Prov Sultra, 2016). Hasil analisa data primer 2016 konsentrasi klorofil berkisar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, 2016 berkisar 0,68 - 2,72 mg/m3 1 Nilai tutupan lamun dapat dilihat di kawasan KKPD khususnya Teluk Staring berkisar 10 - 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016) 3 15 2 37,5 Nilai keanekaragaman atau jumlah spesies lamun di kawasan KKP Sultra sebanyak 5 jenis (KKPD Prov. Sultra, 2016) 2 Kerapatan mangrove di pesisir wilayah KKPD berkisar 1400-5000 ind/ha. (KKPD Sultra, 2016 2 15 3 30 KRITERIA 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan 1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU Eutrofikasi 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; potensi terjadi eutrofikasi; 2 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l tidak terjadi eutrofikasi 2. Status ekosistem lamun Luasan tutupan lamun. 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3-7 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 7 3. Status ekosistem mangrove Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis mangrove 1=tutupan rendah, < 50%; 2=tutupan sedang, 3=tutupan tinggi, 50 - < 75%; 75 % WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 3 INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA 1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; DATA ISIAN SKOR Keanekaragam ekosistem mangrove mencapai yaitu pohon 1,7683 (KKPD Sultra, 2016). kriteria keanekaragaman mangrove mencapai kriteria sedang 2 Putupan karang hidup yang terukur di kecaatan Laonti rata-rata berkisar 27% sedang di kecamatan Moramo = 25% (KKPD, 2012). Di pulau Lara tutupan karang hidup mencapai 64,82% (Adi, dkk 2012), Teluk Stairng = 29,6 - 70,48 (KKP, 2012) nilai keanekaragaman di Teluk Wawatu 3,64 dengan jumlah jenis karang batu = 51 jenis. (Siringiringo, 2012) 2 BOBOT (%) RANKIN G NILAI 15 4 26,5 15 4 15 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75% 4. Status ekosistem terumbu karang > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover). 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 2 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal 5. Habitat unik/khusus Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach 1 = INP rendah (< 100); 2 = INP sedang (100-200); 3 = INP tinggi (>200) 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; Informasi dari 90 % responden mengatakan bahwa luas mangrove di kawasan ini telah berkurang dari luas awal akibat di konversi dan sebagai bahan konstruksi INP mangrove dari setiap jenis berkisar 17300 (Muh.Ramli 2012) dan antara 16,84 300 (KKPD Sultra, 2016) Menurut informasi dari masyarakat hingga saat ini telah di ketahui adanya habitat khusus tempat pemijahan lobster, rajungan dan ikan kakap namun belum berdasarkan hasil kajian 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 4 1 2 1 INDIKATOR 6. Status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat DEFINISI/ PENJELASAN Tingkat produktivitas perairan estuar Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat KRITERIA 1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi DATA ISIAN Produktivitas estuari berdasarkan kelimpahan phytoplankton = 10.125 24.300 ind/l yang tergolong tinggi (KKPD Sultra, 2014) > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); BOBOT (%) RANKIN G NILAI 3 10 5 30 1 10 6 10 Berdasarkan pengamatan secara kualitatif dan informasi dari masyarakat bahwa di kawasan ini terkena dampak perubahan iklim khsuusnya pada ekosistem pesisir namun hingga saat ini belum ada strategi dan mitigasi untuk mengaadapi hal teresebut 1 > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); SKOR Infromasi dari responden mengatakan bahwa di kawasan terumbu karang mengalami pemutihan, kondisi ini diduga merupakan dampak dari perubahan iklim, khususnya pada kedalaman kurang dari 7 meter 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) RERATA 1,9 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 5 TOTAL 100 TOTAL 197,08 Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh DKP Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2016 terhadap beberapa parameter kualitas perairan seperti ditunjukan pada Tabel 4.2 mengindikasikan bahwa kualitas perairan dari aspek pencemaran Tabel 17 maka indikator penilaian untuk kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu khususnya perairan yang berhadapan langsung dengan laut banda. Namun perairan yang berada di Selat Tiworo khusunya di wilayah pesisir secara visual menunjukan adanya tanda-tanda pencemaran. Kondisi ini diperkuat dengan hasil wawancara kepada masyarakat yang bermukim disekitar perairan bahwa 66,7% mengatakan perairannya tercemar akibat kegiatan pertambangan. Berdasarkan kondisi tersebut maka perairan Kabupaten Konawe Selatan dikategorikan tercemar sedang dengan nilai skor 2. Tabel 4.2. Parameter bio-fisik perairan laut Kecamatan Moramo dan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Parameter Kualitas Perairan KKPD-SULTRA No. Stasiun Suhu Salinitas pH Clorofil-A (Mg/L) LatD Koordinat LatM LonD LonM Keterangan 1 ST001 28 31 7.2 1.91 122 40.800 3 58.928 Pasi Jambe, Kota Kendari 2 ST002 29 32 7.1 2.27 122 45.757 3 58.541 Pulau Saponda, Kab. Konawe 3 ST003 28 32 7.2 0.68 122 45.436 4 0.344 Sapa Pulau Hari, Kab. Konawe Selatan 4 ST004 29 32 7.2 2.48 122 46.539 4 2.181 Pulau Hari, Kab. Konawe Selatan 5 ST005 29 32 6.9 1.06 122 48.006 4 6.484 Desa Tambeanga, Kab. Konawe Selatan 6 ST006 29 31 6.9 1.50 122 48.752 4 7.923 Pulau Gala, Kab. Konawe Selatan 7 ST007 29 32 7.8 1.53 122 42.084 4 7.968 Desa Pandambea Barata, Kab. Konawe Selatan 8 ST008 29 30 6.9 1.73 122 40.437 4 7.176 9 ST009 29 32 6.9 2.72 122 40.188 4 6.076 Rata-rata 28.78 31.56 7.12 1.76 Sdv. 0.44 0.73 0.29 0.66 Pulau Moramo Besar, Kab. Konawe Selatan Pulau Lara, Kab. Konawe Selatan Sumber: DKP Prov. Sultra, 2016 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 6 Nilai kekeruhan yang yang terdapat disalah satu perairan Kabupaten Selatan yaitu di Selat Tiworo khususnya di perairan Torobulu kecamatan Palangga Selatan berkisar 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang sebagai akibat aktivitas pertanian dan pertambakan khususnya di lokasi daratan kawasan Teluk Staring sebagai bagian terbesar KKPD Sultra. Berdasarkan kondisi tersebut maka kriteria kekeruhan dapat diberikan nilai skor 2. Sedangkan eutrofikasi dilakukan melalui analisa konsetrasi klorofil-a dan berdasarkan hasil analisis data di laboratorium maka diperoleh konsenrasi klorofil-a sebesar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, (2016) berkisar 0,68 2,72 mg/m3 yang menunjkan bahwa periran KKPD Sultra menunjukan gejala akan terjadi eutrofikasi sehingga diberi nilai kriteria dengan skor 2. Ekosistem padang lamun banyak ditemukan hamper di seluruh perairan KKPD Sultra Pulau Saponda, Pulau Hari, pasih Jambe hingga kawasan Teluk Staring. Ekosistem lamun yang dijumpai masih beragam dalam bentuk hamparan dengan jenis yang dominan adalah E. acoroides dan Thallasia hemprichii. Kondisi ini disebabkan perairannya pada musim hujan sering terjadi peningkatan bahan organic akibat aliran sungai khususnya di sekitar estuaria Teluk Staring sehingga dapat menambah kesuburan pertumbuhan lamun. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di kawasan KKPD Sultra yang dicadangkan sebagai terdiri dari Cymodocea rotundata, Syringodium isotifelium, Halodule uninervis, Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata. Persentase penutupan ekosistem lamun di Kabupaten Konawe Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.3. Berdasarkan tersebut terlihat bahwa persentase penutupan lamun pada beberapa kecamatan berkisar 10 - 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016). Dengan demikian untuk indikator persen tutupan lamun dapat diberi skor 2 atau tergolong tingkat penutupan sedang (30 - 50%). Sedangkan jumlah jenis lamun yang terdapat 4 jenis sehingga berdasarkan informasi tersebut maka untuk indikator keanekaragaman jenis lamun dapat diberi skor 2 yakni keanekaragaman sedang dengan jumlah spesies lamun 3-7 spesies. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 7 Tabel 4.3. Persentase penutupan ekosistem lamun di Kawasan KKPD Sultra. Sumber: KKP Sultra, 2016. Hutan mangrove di KKPD Sultra umumnya tersebar disepanjang pesisir Teluk Staring di Kabupaten Konawe Selatan sedangka lokakasi lainnya tidak terdapat mangrove di mana di kawasan Teluk Staring mempunyai vegetasi mangrove yang padat yang menyebar disepanjang pesisirnya mulai dari pesisir Kecamatan Laonti hingga pesisir Kecamatan Moramo Utara di Teluk Staring. Hampir setiap daerah landai yang mempunyai substrat lumpur dan pasir kawasan ini dapat kita temukan vegetasi mangrove yang lebat. Ketebalan mangrove juga menyebar dihampir seluruh muara aliran sungai. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat penutupan vegetasi mangrove pada Tabel 4.4 berikut. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 8 Tabel 4.4. Kondisi Vegetasi Mangrove Pada Beberapa Wilayah di KKPD Sultra Lokasi Kanopi Kera Tinggi Jum. patan Kriteria Pohon Substrat Jenis % (m) (ind.) Cover Kriteria (phn/ha) INP Min (%) Max (%) Tanjung Lemo 3 65.7 Sedang 1700 Padat 4-6 Lumpur XM : 31,39 SA : 201,51 Desa Labotaone 3 45 Rusak 1400 Sedang 4-7 Lumpur AM : 29,35 BG : 172,33 Desa Tambeanga 2 73. Sedang 2133 Padat 6 - 10 Lumpur RS : 94,12 Desa Woru-Woru 1 5 72.9 Sedang 2950 Padat 10 - 15 Lumpur AM : 19,75 RM : 208,15 Desa Woru-Woru 2 3 60.8 Sedang 2150 Padat 6 - 8m Lumpur BG : 59,76 RS : 148,65 Desa Wandaeha 2 57.8 Sedang 1800 Padat 9 - 17 Muara Sungai Laonti 1 78.9 Baik 2300 Padat 10 - 15 Lumpur Sungai Laonti 3 76.0 Baik 2033 Padat 8 - 15 Lumpur RA : 18,64 RM : 157,072 Sekitar Pulau Gala 2 77.9 Baik 2850 Padat 8 - 11 Lumpur BG : 143,56 RM : 156,44 Sebelum Emba 3 65 Sedang 5000 Padat 7 - 12 Lumpur SA : 72,68 berpasir Desa Tambolosu 4 85. Baik 2150 Padat 7 - 12 Lumpur AM : 28,05 RM : 194,88 Desa Ranooha Raya (Dusun Beroro) 4 76.4 Baik 3400 Padat 10 - 17 Lumpur berpasir RA : 22,007 BG : 134,94 Desa Wawatu 3 66.8 Sedang 1450 Sedang 9 - 12m BG : 205,88 Lumpur SA : 122,34 RM : 177,66 berpasir RM :300 Lumpur SA : 68,46 berpasir BG : 153,23 RM : 146,84 Sumber: DKP prov. Sultra, 2016 Berdasarkan diatas terlihat bahwa kondisi vegetasi hutan mangrove di KKPD khususnya Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan seara keseluruhan kondisi penutupannya berada pada ksaran 45 – 85%. Sedangkan tingkat kerapatan berkisar antara 1400 – 5000 ind/ha. Berdasarkan informasi di atas maka untuk indikator status ekosistem mangrove yang dilihat dari aspek tingkat penutupan dan kerapatannya dapat diberi skor 3 yakni penutupan dan tingkat kerapatan tergolong tinggi (penutupan berada antara 50 – 75 % dan kerapatan antara 1400 - 5000 ind/ha). Ekosistem terumbu karang merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir yang memberi kontribusi yang signifikan bagi produksi perikanan di KKPD khususnya Teluk Staring Konawe Selatan maupun wilayah lainnya dalam lingkupp KKPD Sultra. Terumbu karang di wilayah ini pada umumnya adalah terumbu karang tepi yang WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 9 menyebar sepanjang tubir sejajar garis pantai, kecuali pada beberapa lokasi berupa gugus karang namun dengan luasan yang sempit. Tabel 4.5. Tutupan karang karang di perairan KKPD Sultra No. Live Coral (%) Death Others Abiotik (%) Coral (%) (%) 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 37.3 33.0 19.0 26.3 64.3 46.0 51.7 70.0 74.0 76.7 32.7 79.0 81.0 63.3 48.0 38.0 35.3 50.0 33.3 66.7 25.7 46.3 42.0 28.3 22.3 23.0 34.7 18.0 17.3 30.3 48.0 52.7 7.7 6.3 8.7 4.3 6.7 3.3 6.0 1.7 1.0 0.3 5.7 3.0 1.7 2.3 1.0 3.7 19.7 10.7 39.0 2.7 3.3 4.3 0.3 0.0 2.7 0.0 27.0 0.0 0.0 4.0 3.0 5.7 17 45.0 44.3 4.0 6.7 18 57.7 39.3 2.3 0.7 19 76.3 23.3 0.3 0.0 20 59.3 35.3 4.0 1.3 21 37.0 52.7 4.7 5.7 34.0 48.0 64.7 27.7 23 Sumber: DKP Sultra, 2016 3.7 6.7 14.3 1.0 1 2 22 Keterangan Pasi Jambe, Kota Kendari Pulau Saponda, Kab. Konawe Pulau Saponda, Kab. Konawe Pulau Saponda, Kab. Konawe Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan Pulau Hari Kab. Konawe Selatan Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan Pulau Hari Kab. Konawe Selatan Tanjung Gomo Kab. Konawe Selatan Desa Labotaone Kab. Konawe Selatan Desa Tambeanga Kab. Konawe Selatan Desa Lolibu Kab. Konawe Selatan Pulau Gala Kab. Konawe Selatan Desa Tambolosu Kab. Konawe Selatan Desa Rumbi-Rumbia Kab. Konawe Selatan Desa Toli-Toli Kab. Konawe Selatan Pulau Wawosunggu Kab. Konawe Selatan Desa Pandambea Barata Kab. Konawe Selatan Pulau Moramo Besar Kab. Konawe Selatan Moramo Kab. Konawe Selatan Pulau Lara Kab. Konawe Selatan Tabel 4.5 memperlihatkan punutupan karang hidup yang terukur di seluruh KKPD Sultra pada 23 lokasi pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut mengmabrakan bahwa tutupan karang hidup mencapai 19 – 81% % dengan rata-rata sekitar 52,8 % (DKP Sultra, 2016). Berdasarkan hasil analisis dari Tabel 4.5 menunjukan kondisi penutupan karang di kawasan KKPD Sultra berada pada kisaran WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 10 diatas 50 % yang tergolong kategori tinggi sehingga indikator status karang aspek penutupan diberi nilai skor 3. Dengan melihat karakteristik penyebaran terumbu karang yang bervariasi serta kualitas air pada kondisi kawasan KKPD tersebut maka dapat diduga bahwa keanekaragaman terumbu karang di daerah ini termasuk sedang, hal ini didukung hasil penelitian Siringiringo, 2012 bahwa nilai indeks keanekaragaman terumbu karang di kecamatan Moramo Utara sebesar 3,65 atau 51 jenis. Berdasarkan kondisi tersebut maka indikator keanekaragaman jenis terumbu karang dapat diberi skor 2 yakni keanekaragaman sedang ((3,20<H’<9,97). Informasi indikator habitat khusus/unik yang berkaitan dengan spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach di Kawasan KKPD Sultra Kabupaten Konawe Selatan diperoleh berasarkan hasil wawancara dengan nelayan. Berdasarkan informasi yang dihimpun maka sebagian besar masyarakat belum mengetaui adanya lokasi atau habitat khusus. Namun berdasarkan informasi hasil tangkapan maka di kawasan pesisir Moramo masyarakat sering menangkap bibit lobster dan rajungan sedangkan di Tanjunga Gomo Kecamatan Laonti sering dijumpai larva ikan kakap, namun informasi tersebut belum pernah dikaji. Oleh karena itu berdasarkan informasi tersebut maka indikator habitat khusus dapat di berikan skor 1 yaitu tidak diketahui adanya habitat unik/khusus atau indicator keberadaannya masih berupa ausmsi dari hasil tangkapan nelayan sehingga indikator habitat khusus diberi nilai skor 1. Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Konawe Selatan belum banyak dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di rasakan oleh masyarakat yaitu adanya perubahan tinggi gelombang serta hujan yang sulit di prediksi dan tidak teratur namun informasi terkait dengan adanya coral bleaching pada saat tertentu khususny apada kedalaman kurang dari 7 meter . Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-langkah strategis untuk mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan skor 2. 4.1.2. Domain Sumberdaya Ikan Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 6 indikator penilaian yaitu CPUE Baku, Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi spesies, "Range Collapse" sumberdaya ikan dan Spesies ETP. Berdasarkan hasil analisis WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 11 pemberian skor kriteria indikator-indikator domain sumberdaya ikan dapat dilihat pada Tabel 4.6. Domain sumberdaya ikan dianalisa terhadap 3 kelompok ikan yang menjadi tangkapan utama di perairan KKPD Sultra yang meliputi; ikan karang, ikan kembung, dan ikan kuwe. Ikan karang terutama tertangkap oleh alat tangkap rawai, pancing, bubu dan jarring insang, sedangkan ikan kembung tertangkap dengan pukat cincin, pancing, jaring insang, payang dan bagan, adapun ikan kuwe tertangkap dengan pancing, jaring insang dan rawai. Berdasarkan analisa data Statistik Perikanan DKP Prov. Sultra 2009 dan 2013 terhadap produksi dan jumlah alat tangkap disimpulkan bahwa CPE baku belum bisa ditentukan dengan baik keterbatasan data terutama data-data lokasi penangkapan dan jumlah tangkapan tiap trip. Nelayan pun sukar untuk memprediksi adanya penurunan atau peningkatan CPUE karena variabilitas kondisi penangkapan dan kapasitas tangkap. Disamping itu, pola operasi yang berpindah-pindah berdasarkan musim menambah sukarnya menentukan besaran CPUE di lokasi studi. Meskipun demikian nelayan dapat merasakan adanya perbedaan hasil tangkapan saat ini dibanding dengan 5-10 tahun yang lalu. Data yang memungkinkan untuk digunakan hanya dari presepsi atau pandangan nelayan, data inilah dilakukan pendugaan CPUE pada beberapa jenis ikan namun datanya tidak lengkap. Berasarkan hasil wawancara dengan nelayan, 54,55 sampai 67,74 % responden dari masing-masing kelompok sumberdaya ikan mengatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam lima tahun terakhir. Nelayan payang di Wawosunggu dengan tangkapan utama ikan kembung (70%) merasakan penurunan hasil tangkapan per trip dari sekitar 500 kg menjadi 300 kg per trip dalam 5 tahun. Nelayan ikan karang di Labuan Beropa pun mengindikasikan adanya penurunan CPUE seperti pada Tabel 4.7. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 12 Tabel 4.6. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR 1. CPUE Baku KRITERIA 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat 2. Tren Ukuran ikan 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG 57,8% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 42,2% menyatakan sama saja. CPUE rata2 saat ini 39 kg/trip/unit kapal. Kerapatan Ikan Karang di Labuan Beropa Menurun dari 1,9 ind/m2 tahun 2010 menjadi 0,76 ind/m2 tahun 2014 (menurun 20,8% per thn) 6,6 7% responden menyatakan ukuran hasil tangkapan cenderung lebih kcil dan dan 82,26% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja 67,74% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 32,26% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 37,35 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kembung menurun 56% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014) 100% responden tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur 59% % responden mengatakan bahwa 30 -40% ikan yang tertangkap belum bertelur, 31% respondentidak mengetahui dan 10% telah bertelur 88,89% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak dan 6,67% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Labuan Beropa ikan target hanya 40,36% (Minsaris 2014) 91,94% responden menyatakan ikan target lebih banyak tertangkap, 8,06% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Tel.Staring pada alat tangkap payang 35,3 - 46,7 % merupakan ikan target (Abdullah, 2011) 67,74% responden menyatakan semakin sulit medapatkan 3 = sedikit (<30%) 4. Komposisi spesies 5. "Range Collapse" 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) 2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 1 = semakin sulit, tergantung spesies target 57,78% responden menyatakan semakin sulit mencari lokasi 17,74% responden menyatakan trend ukuran ikan hasil tangkapan semakin kecil dan 82,26% responden menyatakan sama saja WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra DATA ISIAN IKAN KUWE 54,55% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 45,45% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 23,9 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kuweh meningkat 17% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014) 100% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja 2.0 BOBO T (%) 40 1.3 20 2 26.67 89% responden mengatakan bahwa proporsi ikan yang belum bertelur dengan ikan dewasa berimbang, 11% responden sedikit ikan bertelur 84,85% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak 1.7 15 3 25 3.0 10 4 30 54,55% responden menyatakan semakin sulit 1.0 5 5 5 IV - 13 SKOR RKG NILAI 1 (Killer Indica tor) 80 INDIKATOR sumberdaya ikan KRITERIA 2 = relatif tetap, tergantung spesies target DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG penangkapan dan 42,22% lainnya menyatakan relatif sama saja lokasi penangkapan ikan dan 32,26% responden menyatakan relatif sama 75,5% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dan 24,4 sisanya menganggap sama saja 69,35% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dan 30,65% responden menyatakan relatif sama saja 91,9 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang tertangkap dan 8,89% responden menyatakan ada 1 spesies. WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies ETP yang tertangkap 98,39 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang tertangkap dan 1,61% responden menyatakan ada 1 spesies. WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies ETP yang tertangkap 3 = semakin mudah, tergantung spesies target 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, terg. spesies target 2= fishing ground jauh, terg. spesies target 6. Spesies ETP 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, terg. spesies target 1= > 1 tangkapan spesies ETP; 2 = 1 tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap 7. Densitas/ Biomassa untuk ikan karang & invertebrata DATA ISIAN IKAN KUWE mencari lokasi penangkapan dan 45,45% responden menyatakan relatif sama SKOR BOBO T (%) 63,6% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dalam beberapa tahun terakhir dan 36,3% lainnya menyatakan sama saja 1.0 8 93,94% menyatakan tidak ada Spesies ETP yang tertangkap dan 6,06% menyatakan 1 spesies) WWF,( 2015) ada 3 jenis spesies ETP yang tertangkap 1.3 5 Kelimpahan ikan karang di Teluk stairng Kabupaten Konawe berkisar 0,4 - 2,9 ind/m3 1 RERATA EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 14 NILAI 6 6.66666 67 2 TOT AL TOTA L 105 175.3 3 1.5 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator RKG Tabel 4.7. Kondisi Hasil Tangkapan Ikan Karang di Perairan Labuan Beropa Bobot No Bulan Tangkapan Jumlah Trip Kondisi Sekarang1 Kondisi 5 Tahun2 (kg) (trip) (kg/trip) Lalu (kg/trip) Rawai 1 April 55.1 12 4.59 2 Mei 75.2 12 6.27 6.58 3 Juni 49.9 12 4.16 4 Juli 57.4 12 4.78 Pancing Kedo-kedo 1 April 24.3 15 1.62 2 Mei 32.7 15 2.18 2.25 3 Juni 18.6 15 1.24 4 Juli 18.7 15 1.25 Keterangan: 1. Hasil pengamatan langsung 2. Hasil wawancara nelayan Sumber : Minsaris (2014) Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pula perubahan produksi ketiga kelompok sumberdaya ikan yang diolah dari data Statistik Perikanan Prov. Sultra tahun 2013 dan 2015 seperti pada Gambar 4.1. Tampaknya ikan karang dan ikan kembung mengalami penurunan produksi yang signifikan sedangkan ikan kuwe mengalami sedikit peningkatan. Ikan Kembung Ikan Kuwe Perubahan -88% 2013 Perubahan 2013 17% 2009 Perubahan 2013 2009 -56% 2009 4500 4000 3500 3000 2500 (ton) 2000 1500 1000 500 0 Ikan Karang Gambar 4.1. Perubahan Produksi Ikan Kembung, Ikan Kuwe dan Ikan Karang di Lokasi Studi Tahun 2009 dan 2013 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 15 Berdasarkan informasi di atas maka Indikator CPUE Baku diberikan skor 2 atau berada pada kondisi menurun sedikit. Penggambaran sedemikian ini disebabkan data jumlah produksi tiap jenis ikan serta alat tangkapnya tidak terurai dengan jelas berdasarkan daerah penangkapan. Oleh karena itu pendekatan CPUE dilakukan melalui hasil wawancara sehingga belum tergambar jelas CPUE baku. Untuk indikator ukuran ikan yang dikaji, diperoleh bahwa sebagian besar responden untuk ikan karang memandang tidak ada perbedaan ukuran antara saat ini dengan beberapa tahun lalu. Berbeda dengan reponden untuk ikan kembung dan ikan kuwe yang hampir seluruhnya menyatakan bahwa trend ukuran ikan semakin menurun. 6.67 % 93.3 3% Makin Pendek Sama Saja Makin Panjang 0.31% 99.69 % Makin Pendek Sama Saja Makin Panjang Semakin Pendek Sama Saja Semakin Panjang Gambar 4.2. Persentase Jawaban Responden terhadap Trend Ukuran Ikan Hasil Tangkapan dalam 5 tahun terakhir Tidak banyak diperoleh data sekunder tentang ukuran ikan di kawasan ini. Perubahan trend ukuran ikan yang tertangkap hanya dapat diduga melalui presepsi nelayan. Beberapa data sekunder yang tersedia adalah ukuran Ikan Karang yang tertangkap oleh nelayan di Labuan Beropa dapat dilihat pada Gambar 4.3. Terlihat bahwa ada perbedaan komposisi ukuran antara L. argentimaculatus dan P. leopardus yakni spesies L. argentimaculatus telah kehilangan ikan-ikan berukuran besar. Efektivitas penggunaan pancing kedo-kedo untuk penangkapan ikan kakap merah diduga menjadi penyebabnya. Hasil penelitian lainnya adalah tentang sebaran ukuran ikan kembung di Teluk Staring bagian dalam yang menunjukkan bahwa sekitar 70% ikan Rastreliger brachysoma WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 16 yang menjadi tangkapan utama payang belum mencapai ukuran dewasa (Abdullah, 2011). Hal ini diduga menjadi penyebab menurunnya populasi ikan kembung di perairan ini. Berdasarkan uraian di atas maka indikator ukuran ikan diberikan skor 1,3. Frekunsi (%) a. Lutjanus argentimaculatus 30.68 35 30 25 20 15 10 5 0 3.57 17.05 2.27 5.68 17.05 5.68 21-23 24-27 28-32 33-37 38-43 44-49 50-62 L (cm) di b. Plectropomus leopardus Frekunsi (%) 40 32.26 30 24.19 20 10 14.52 9.68 3.57 6.45 3.23 0 27-31 32-35 36-40 41-46 47-53 54-61 62-70 L (cm) Gambar 4.3. Sebaran Ukuran Ikan Karang yang Tertangkap di Perairan Desa Labuan Beropa (Minsaris, 2014) Data kuantitatif yang berkaitan dengan proporsi ikan yuwana yang tertangkap hanya tersedia untuk ikan karang dan ikan kembung, sedangkan ikan kuwe tidak tersedia. Oleh karena itu untuk indikator ini dilakukan pula wawancara pada nelayan yang telah berpengalaan 5 – 10 tahun. Abdullah (2011) menemukan bahwa 100% ikan kembung R. brachysoma yang tertangkap dengan payang belum mencapai ukuran pertama kali matang gonad. Adapun untuk ikan karang Minsaris (2014) menemukan rata-rata 19% ikan karang yang tertangkap oleh nelayan Labuan Beropa belum mencapai ukuran dewasa (Tabel 4.8). Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa perikanan ikan karang 100 % responden tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur sedangakan kedua perikanan lainnya 59 – 89 % responden mengatakan 30-40% ukuran ikan belum bertelur, oleh karena itu WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 17 indikator ini untuk ketiga kelompok ikan dapat diberikan skor rerata 2,0 atau proporsi ikan yuwana yang tertangkap sedikit (30-40%). Faktor selektivitas alat tangkap pancing kedo-kedo dan rawai yang menangkap ikan karang dengan ukuran minimum yang sesuai target nelayan menyebabkan rendahnya persentase juvenile yang tertangkap. Sebaliknya pada ikan kembung juvenile banyak tertangkap terutama oleh alat tangkap payang yang kurang selektif dan dioperasikan pada area penyebaran ikan kembung yang belum dewasa yaitu di teluk staring bagian dalam. Pengoperasian jaring insang dengan ukuran mata jarring yang dibatasi dapat menjadi alternatif solusi bagi masalah ini. Adapun untuk ikan kuwe, Teluk Staring diduga merupakan salah satu habitat utama ikan ini sehingga penelitian untuk mengetahui sebaran ukuran ikan sebagai rekomendasi untuk megatur daerah penangkapan sangat diperlukan. Tabel 4.8. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Karang yang Telah Mencapai Ukuran Pertama Kali Matang Gonad (LFM) di Perairan Labuan Beropa Belum Mencapai LFM Telah Mencapai LFM Jumlah Bulan (ekor) Ekor % Ekor % 44 24.04 139 75.96 183 April 60 18.35 267 81.65 327 Mei 31 13.9 192 86.1 223 Juni 55 19.71 224 80.29 279 Juli 19 81 Rerata Sumber : Minsaris (2014) Hasil wawancara nelayan tentang komposisi spesies target yang tertangkap selama 5 tahun terakhir menggambarkan kecenderungan komposisi ikan target lebih banyak dari pada ikan-ikan non target. Terdapat 84,8 - 91,9% responden dari masing-masing kelompok sumberdaya ikan menyatakan bahwa proporsi ikan target lebih banyak dari pada ikan non target. Dalam hal ini spesies target termasuk beberapa jenis ikan selain jenis yang menjadi obyek kajian. Ikan target dari kelompok ikan karang adalah ikan-ikan konsumsi dari sebgaian besar family Serranidae, family Carangidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae dan Siganidae. Ikan target yang ditangkap dengan alat tangkap yang menangkap ikan kembung adalah ikan-ikan pelagis lainnya seperti layang, selar, tembang, sedangkan ikan kuwe dapat tertangkap bersama ikan pelagis maupun ikan karang sebagai target. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 18 Ikan Karang Ikan Kembung 6.67% 4.44% Ikan Kuwe 8.06% 3.03 % 88.89 % 84.85 % 91.94 % Target Lebih Banyak Target = Non Target Target Lebih Sedikit 12.12 % Target Lebih Banyak Target = Non Target Target Lebih Sedikit Target Lebih Banyak Target = Non Target Target Lebih Sedikit Gambar 4.4. Perbandingan Jawaban Responden Tentang Komposisi Ikan Target dan Non Target yang Tertangkap dalam 5 tahun terakhir. Berdasarkan data hasil penelitian Minsaris (2014) di Labuan Beropa, ikan hasil tangkapan alat penangkap ikan karang yakni rawai dasar dan pancing kedo-kedo didapatkan 29 spesies dari 11 family. Komposisi spesies target dan non target jumlahnya tidak terpaut jauh yakni 40,36% untuk spesies target dan 59,64 untuk spesies non target. Selengkapnya disajikan pada Tabel 4.9. Atas gambaran tersebut di atas maka untuk indikator komposisi hasil tangkapan diberi skor 3. Tabel 4.9. Komposisi Spesies Ikan Karang Hasil Tangkapan Nelayan di Labuan Beropa No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Famly Carangidae Spesies Caranx ferdaus Caranx sexfasceatus Cephalopholis boenak Serranidae Cephalopholis sonnerati Epinephelus coioides Epinephelus areolatus Epinephelus howlandi Epinephelus ongus Epinephelus quoyanus Plectropomus pessuliferus Plectropomus leopardus Plectropomus areolatus Plectropomus oligacanthus Jumlah individu 16 19 78 11 26 3 13 13 19 59 62 9 11 Komposisi (%) Target Non target 1.58 1.88 7.72 1.09 2.57 0.30 1.29 1.29 1.88 5.84 6.13 0.89 1.09 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 19 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 Lutjanus argentimaculatus Lutjanus bohar Lethrinidae Letrinus microdon Nemipterus balinensis Nemipterus japonicas Nemipteridae Scolopsis ciliate Scolopsis affinis Priacantus humrur Priacanthidae Cookelous japonicas Parupeneus barberinus Mullidae Upeneus tragula Plectorhinchus lineatus Haemulidae Plectorhinchus chrysotaenia Synodontidae Saurida tumbil Siganidae Siganus argenteus Sphyraeinidae Spyraena barracuda Lutjanidae Jumlah Total 88 30 4 205 85 24 45 19 48 22 48 4 14 26 7 3 8.70 2.97 0.40 - 0.69 - 20.28 8.41 2.37 4.45 1.88 4.75 2.18 4.75 2.57 0.30 1011 40.36 59.64 0.40 1.38 - Sumber: Minsaris (2014) Komposisi hasil tangkapan payang di Teluk Staring bagian dalam menunjukan dominasi dua spesies ikan kembung yaitu Rastreliger canagurta dan Rastereliger brachysoma yang mencapai 82% (Gambar 4.5). Hal ini menggambarkan tingginya dominasi spesies target, meskipun demikian spesies lainnya yang tertangkap tidak dibuang (bukan discards). Sayangnya kedua spesies target diatas seluruhya belum mencapai ukuran dewasa yaitu 24 cm untuk R.canagurta (Musse dan Huttubessy, 1996), dan 22 cm (Nurhakim, 1993). WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 20 Rastrelliger canagurta 46.7% Rtrelligeras bracysoma 35.3% Atule mate 6.1% Sardinella fimbriata 3.9% Selaroides spp 2.8% Selar boops 1.3% Sardinella jussieu 1.2% Secutor rucorius 0.9% Selaroides leptolepis 0.7% Scomberomorus semifasciatus 0.6% Selar crumenopthalmus 0.2% Pterocaesio diagramma 0.2% Pterocaesio pisang 0.7% Pterocirtes lupus 0.5% Pterocaesio tile 0.4% Leiognathus fasciatus 0.2% Carangoides spp 0.1% Elagatis bipinulatus 0.3% Siganus canaliculatus 0.1% 0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% Gambar 4.5. Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Payang di Teluk Staring Bagian Dalam (Abdullah, 2011). Untuk indikator Range Collapse sumberdaya ikan, dari hasil wawancara kepada nelayan yang menangkap ketiga kelompok sumberdaya ikan yang dikaji maka diperoleh 54,55 – 67,74 % responden menyatakan kondisi mencari ikan 3 tahun terakhir semakin sulit dan sekitar 32,26-42,45 % respoden mengatakan kondisi mencari ikan sama saja (lihat Gambar 4.6). Indikator ini diberi skor 1. Ikan Karang 42.22 % Ikan Kembung 45.4 5% 32.26 % 57.78 % Ikan Kuwe 67.74 % 54.5 5% Semakin sulit sama saja Semakin Mudah Semakin sulit Sama saja Semakin Mudah Semakin sulit Sama saja Semakin Mudah Gambar 4.6. Perbandingan Jawaban Responden tentang Kemudahan Memperoleh Ikan. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 21 Kondisi semakin sulitnya memperoleh ikan yang dirasakan para nelayan menggambarkan penurunan stok ikan di daerah penangkapan. Indikasi ini merupakan akumulasi dari beberapa sebab seperti penangkapan ikan di daerah pembesaran yang berpotensi menangkap ikan yang belum dewasa dan di daerah pemijahan yang berpotensi menangkap ikan yang akan memijah khususnya untuk ikan-ikan pelagis. Pengoperasian alat tangkap payang dengan alat bantu rumpon di Teluk Staring bagian dalam menangkap ikan kembung muda. demikian pula pengoperasian bagan perahu dengan alat bantu lampu di sekitar hutan mangrove di pesisir Moramo pada momen sekitar 10 hari antara Bulan September sampai Nopember yang diduga sebagai momen pemijahan ikan teri menangkap induk teri dalam densitas yang tinggi. Hal ini dapat berakibat terjadinya biological overfishing dan recruitment overfishing. Pengaturan zona penangkapan dan pembatasan alat tangkap serta penutupan musim pemijahan dari aktivitas penangkapan dapat menjadi langkah pengelolaan yang efektif. Selain itu kerusakan habitat khususnya terumbu karang akibat penggunaan bahan peledak dan peningkatan kekeruhan akibat pasokan material dari beberapa muara sungai juga berkontribusi dalam memberikan tekanan ekologis pada komunitas ikan di kawasan ini. Pengelolaan secara terpadu dan penerapan model-model pengelolaan yang lebih ramah lingkungan menjadi keharusan di Teluk Staring dan sekitarnya. Adapun untuk indikator perubahan jarak fishing ground, sebagian besar responden (63,64-75,56%) menyatakan semakin jauh jaraknya dalam 5 tahun terakhir. Dalam konteks ini nelayan mentaktisi pola operasi dengan memindahkan daerah penangkapan. Nelayan payang/bagan dapat berpindah hingga ke Teluk Lasolo di Konawe Utara, nelayan pancing dapat berpindah kesekitar P. Cempedak, Wawonii dan Kolono Berdasarkan hal tersebut maka untuk indikator range collapse sumberdaya ikan, yaitu tingkat kesulitan memperoleh ikan dalam 3 tahun terakhir dapat di berikan skor kriteria 1 yang berarti semakin menurun tergantung spesies target. Adapun tentang jarak lokasi fishing ground umumnya respoden mengatakan bahwa lokasi penangkapan semakin jauh sehingga nilai skor kriteria ini juga diberikan nilai 1. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 22 Ikan Karang 24.44 % 75.56 % 30.65 % 69.35 % Semakin Dekat Sama saja Semakin Jauh Ikan Kuwe Ikan Kembung Semakin Dekat sama saja Semakin Jauh 36.36 % 63.64 % Semakin Dekat Sama saja Semakin Jauh Gambar 4.7. Perbandingan Jawaban Responden tentang Perubahan Jarak Daerah Penangkapan Ikan Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan responden tentang pengalaman tertangkapnya biota ETP menunjukan bahwa >90 % responden mengatakan bahwa nelayan tidak pernah menangkap ikan yang tergolong ETP (lihat Gambar 4.8). Ikan Kembung Ikan Karang 1.61% 8.89% 91.11 % 98.39 % >1 spesies 1 spesies Ikan Kuwe Tidak Ada >1 spesies 6.06% 93.94 % 1 spesies Tidak Ada >1 spesies 1 spesies Tidak Ada Gambar 4.8. Perbandingan Jawaban Responden terhadap Spesies ETP yang Tertangkap. Namun demikian hasil studi tentang bycatch biota ETP di wlayah SES (WWF, 2015) menyebutkan di perairan Konawe (dalam hal ini meliputi perairan pesisir Konawe dan Konawe Selatan, Teluk Staring, Wawonii dan perairan lepas pantai antara P. Menui dan P. Wawonii), terdapat 6 jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang menangkap penyu. Pukat cincin yang berbasis di PPS Kendari dan Teluk Kolono menangkap penyu sisik sebagai bycatch dalam porsi yang cukup besar yakni 20 ind./unit/tahun. Alat tangkap ini dioperasikan malam hari dengan alat bantu rumpon dan lampu sebagai pengumpul ikan. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 23 Rawai dasar juga menangkap penyu dalam frekuensi yang cukup signifikan yakni 24 ind./unit /tahun. Rawai dasar ini terutama beroperasi di pesisir semenanjung Laonti dan Pulau Cempedak yang menangkap penyu lekang, penyu sisik dan penyu hijau. Tabel 4.10. Bycatch Penyu di wilayah Southern-Eastern Sulawesi Seascape berdasarkan informasi nelayan. Wilayah Perairan Alat tangkap Bycatch Jumlah (ind./unit/tahun) Teluk Staring, Perairan Sekitar P. Saponda, P. Hari dan Laonti Pukat Cincin Penyu sisik 20 Bagan Perahu Penyu Lekang Penyu Hijau 4 Jaring Insang Penyu lekang Penyu sisik Penyu hijau 1 Sero Penyu lekang 3 Penyu sisik Penyu hijau Rawai dasar Penyu lekang Penyu sisik 24 Penyu hijau Pancing tonda Penyu lekang Penyu sisik Penyu hijau 2 Sumber : Laporan Studi Bycatch Biota ETP di Wilayah SES 2015, WWF dan FPIK UHO Di perairan Tel. Staring dan Konawe terdapat lima jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang menangkap hiu sebagai bycatch yakni rawai dasar, jaring insang tetap, pancing ulur, pancing tonda dan sero. Alat tangkap yang paling sering mendapat bycatch hiu yaitu rawai dasar dan pancing ulur dengan intensitas 10 ind./unit/tahun. Alat tangkap lainnya hanya menangkap 3-6 ind./unit/tahun. Rawai dasar yang beroperasi di perairan Wawonii Tenggara menangkap beberapa jenis hiu dengan intensitas 2-4 ind./unit/tahun, sedangkan di Labuan Beropa dapat menangkap hiu karang sebanyak 10-30 ind./unit/tahun. Pengoperasian rawai dasar menggunakan umpan segar di sekitar terumbu karang menarik perhatian hiu karang untuk memakan umpan. Di Desa Mekar di Soropia masih ada nelayan yang mengoperasikan jaring insang dengan ukuran panjang 400 m, lebar 2,5 m dan mesh size 30 cm untuk menangkap hiu sebagai spesies target dengan daerah operasi di sekitar Pulau Saponda dan Saponda Laut (Laporan Studi Bycatch Biota ETP di Wilayah SES 2015-WWF dan FPIK UHO, 2015). WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 24 Di perairan Konawe Selatan terdapat 4 jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang menangkap lumba-lumba sebagai bycatch. Rawai dasar yang beroperasi di pesisir semenanjung Laonti dan P. Cempedak menangkap lumba-lumba sebagai dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu sekitar 1 ind./unit/tahun namun dengan jenis yang bervariasi seperti lumba-lumba totol, lumbalumba paruh panjang, lumba-lumba biasa, lumba-lumba fraser dan lumba-lumba hidung botol. Hiu Dugong Lumba Paus Penyu 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 Gambar 4.9. Persentase responden yang mengetahui status hiu, penyu, paus, lumba-lumba, dugong, dan pari manta sebagai biota langka dan dilindungi. Di perairan Konawe, pada umumnya hiu yang tertangkap dengan rawai dasar berada dalam kondisi cacat dan mati. Ada beberapa perlakuan yang di lakukan nelayan terhadap hasil tangkapan biota ETP tersebut, seperti melepaskan kembali jika biota non target tersebut masih hidup dan tidak diperlukan, namun kadang-kadang di ambil digingnya untuk dikondumsi. Sementara itu hiu yang tertangkap sebagai target diambil dagingnya baik hidup maupun mati pada saat tertangkap untuk dijual dalam bentuk kabengka (bahasa lokal) seperti yang terjadi di Kecamatan Soropia. Berdasarkan uraian di atas maka untuk indikator Biota ETP diber skor 1. Untuk indikator densitas ikan karang diambil sampel pada perairan Labuan Beropa dan Pulau Hari. Berdasarkan hasil pengamatan pengukuran ikan karang yang didapatkan di sekitar terumbu karang perairan Desa Labuan Beropa menunjukan adanya perbedaan densitas antara tahun 2010, 2012, dan 2013, dimana pada tahun 2010 nilai densitas ikan karang cenderung tinggi dibandingkan dua tahun setelahnya. Apabila dirata-ratakan densitas ikan karang pada tahun 2014 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 25 yaitu berkisar 0,72 ind/m2, tahun 2012 jumlahnya berkisar 0,68 ind/m2, dan pada tahun 2010 nilainya berkisar 1,90 ind/m2. Ini berarti densitas ikan karang >10 ind/m2 sehingga diberi skor 1. Tabel 4.11. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa Labuan Beropa pada Tahun 2014 Hasil Pengukuran kan Karang Stasiun Pengamatan II III 83 142 13 18 10 10 0,332 0,568 I 307 15 11 1,228 jum. Individu (Ind./250m2) jum. Jenis Jum. Famili Densitas (ind./m2) IV 184 13 8 0,736 Sumber : Data Primer Selama Penelitian Tabel 4.12. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa Labuan Beropa pada Tahun 2012 Hasil Pengukuran Ikan Dasar jum. Individu (Ind./250m2) jum. Jenis Jum. Famili Densitas (ind./m2) Sub Stasiun Pengamatan 4 5 6 1 2 3 7 8 9 84 16 102 17 320 18 136 13 300 22 100 16 219 28 127 20 87 19 9 0.557 12 0.408 14 1.280 11 0.544 12 1.200 11 0.400 16 0.876 12 0.508 14 0.348 Sumber : Sidik, 2012 Tabel 4.13. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa Labuan Beropa pada Tahun 2010 Hasil pengukuran ikan karang jum. Individu (Ind./250m2) jum. Jenis Jum Total Family (stasiun 1-3) Densitas (ind./m2) Stasiun Pengamatan II 458 66 18 1,996 1,832 I 499 63 III 468 63 1,872 Sumber : Udia, 2010 4.1.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama, yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif di wilayah studi masih merupakan salah satu masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan dalam pengelolaan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 26 perikanan. Meskipun jumlah responden yang mengungkapkan masih terjadinya penggunaan bahan peledak jumlahnya relatif sedikit yakni 12,1-17,8 % tetapi intensitas pelanggaran yang mereka ungkapkan sangat besar yakni 1-300 kali per tahun (lihat Tabel 4.14). Ada dugaan bahwa sebagian besar reponden menyembunyikan informasi tersebut, atau pelanggaran dengan intensitas yang tinggi tersebut terjadi pada lokasi-lokasi tertentu yang “tersembunyi” dari akses/alur masyarakat umum atau kurang terjangkau oleh pengawasan. Berdasarkan informasi tersebut maka indikator metode penangkapan yang destruktif atau ilegal dapat diberi skor 1 yaitu frekuensi pelanggaran lebih dari 10 kali per tahun. Tabel 4.14. Kategori nelayan Nelayan Ikan Karang Nelayan Ikan Kembung Nelayan Ikan Kuwe Jumlah responden yang menyatakan terjadinya penggunaan bom di wilayah studi Responden Jumlah % 8 17,8 Intensitas (kali/tahun) 1-300 8 12,9 3-100 4 12,1 24-100 Daerah Penangkapan P.Bokori, P.Hari, P.Saponda, T.Tiram, Tel. Staring P.Hari, P.Saponda, Tambeanga, Tamboloosu, P.Lemo, Tg.Tiram P.Hari, P.Saponda, L.Beropa, Wawonii Tampaknya pendekatan pengawasan masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi destruktif fishing, disamping tentunya upaya penyadaran yang terus menerus. Belum ada peningkatan yang signifikan dari frekuensi pengawasan karena alasan klasik yaitu terbatasanya anggaran untuk pengawasan. Kegiatan pengawasan di wilayah KKPD Sultra dan sekitarnya dapat dilakukan secara terpadu termasuk sharing anggaran antara ketiga kabupaten terkait dan pemerintah propinsi. Selain itu juga telah ada kelompok-kelompok masyarakat pengawas namun hingga saat ini belum efektif. Pemberian insentif untuk memacu kinerja pokmaswas dapat dilakukan. Adanya kegiatanya pengwasan dapat memberikan harapan bahwa tekanan perikanan yang ilegal bisa menurun. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di suatu wilayah akan menggambarkan kualitas dan kapasitas nelayan dalam berinovasi dan mengadopsi teknologi. Dalam kajian ini kualitas modifikasi alat tangkap oleh nelayan diukur dari sifat selektif alat tangkap yang berkembang di wilayah itu terhadap ukuran ikan yang telah dewasa. Persoalannya adalah pada umumnya nelayan belum mengetahui ukuran minimal ikan target yang telah dewasa. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 27 Hasil pengukuran ikan hasil tangkapan nelayan ikan karang di Labuan Beropa menunjukkan bahwa 81% hasil tangkapan mereka telah mencapai ukuran dewasa (lihat Tabel 4.15). Hal ini didorong oleh keinginan nelayan untuk menangkap ikan yang cukup besar untuk memenuhi grade harga di pasaran. Penggunaan pancing rawai dan kedo-kedo dengan mengatur ukuran mata pancing sangat efektif memenuhi keinginan nelayan tersebut. Tabel 4.15. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Karang yang Telah Mencapai Ukuran Pertamakali Matang Gonad (LFM) di Labuan Beropa Belum Mencapai LFM Telah Mencapai LFM Jumlah Bulan (ekor) Ekor % Ekor % 44 24.04 139 75.96 183 April 60 18.35 267 81.65 327 Mei 31 13.9 192 86.1 223 Juni 55 19.71 224 80.29 279 Juli 19 81 Rerata Sumber : Minsaris (2014) Hasil pengoperasian payang di Teluk Staring bagian dalam dengan target ikan kembung mendapatkan hasil tangkapan 82% ikan kembung, dan 100% ikan yang tertangkap berukuran 10-18,4 cm sementara Lfm ikan kembung 22 dan 24 cm (Nurhakim, 1993 dan Musse dan Hutubessy, 1996) (Abdullah, 2011). Adapun untuk ikan kuwe tidak ditemukan cukup data, namun ada indikasi pengoperasian alat tangkap yang relatif dekat dengan garis pantai berpotensi menangkap juvenile ikan kuwe. Oleh karena itu maka untuk indikator modifikasi alat tangkap diberi skor 1,7. Alat penangkap ikan di kawasan KKPD Sultra baik ikan karang maupun ikan pelagis yaitu sero, jaring insang, bubu, rawai dan pancing, purse seine, bagan dan payang. Beberapa bentuk modifikasi disain maupun pengoperasian alat tangkap khususnya untuk menangkap ikan karang di daerah ini adalah : (1) Jaring insang yang umumnya dioperasikan secara pasif di dasar perairan, untuk meningkatkan produktivitas nelayan mengoperasikan gill net dengan cara melingkari dan mempersempit ruang gerak ikan (aktif). Modifikasi ini bisa menyebabkan penurunan ukuran ikan sebab ukuran ikan dipengaruhi ukuran mata jaring, sedangkan nelayan setempat untuk mendapatkan hail yang tinggi maka mereka mengatur mesh sizemenjadi,lebih kecil. (2) Sero menggunakan jaring sebagai dinding pada penaju, sayap dan badan , bahkan waring pada area bunuhannya. Modifikasi ini tidak selektif terhadap jenis dan ukuran tagkapan. (3) Modifikasi pancing adalah dengan mengubah ukuran mata pancing dan jenis umpan. Sedangkan alat tangkap WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 28 untuk menangkap ikan pelagis modifikasinya dalam oprasi penangkapannya khususnya penggunaan rumpon pada alat tangkap payang dan purse seine dan lampu pada bagan yang menyebabkan semua kelompok ukuran ikan tertangkap mulai dari juvenil hingga yang dewasa. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 29 Tabel 4.16. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan. INDIKATOR KRITERIA 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 510 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 3. Kapasitas 1 = Rasio kapasitas penangkapan < 1; Perikanan dan Upaya Penangkapan 2 = Rasio kapasitas penangkapan (Fishing Capacity = 1; and Effort) 3 = Rasio kapasitas penangkapan >1 4. Selektivitas 1 = rendah (> 75%) ; penangkapan 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWEH Terdapat 8 orang (17,8%) responden menyatakan masih terjadi penggunaan bahan peledak dengan kisaran 24-300 kali pertahun. Fishing ground meliputi P.Hari, P.Saponda, P.Bokori, Tg.Tiram dan Tel. Staring Terdapat 8 orang (12,9%) responden menyatakan terjadi penggunaan bom dengan intensitas 3-100 kali pertahun. Fishing Ground P.Hari, P.Saponda, Tambeanga, Tambolosu, P.Lemo dan Tg.Tiram Terdapat 4 orang (12,1%) responden menyatakan masih terjadi penggunaan bahan peledak dengan intensitas 24-100 kali per tahun. Fishing Ground P. Hari, P.Saponda, Labuan Beropa 81% ikan karang yang tertangkap telah mencapai ukuran pertama matang gonad (Minsaris, 2014) 84% ikan ukuran ikan yang tertangkap umunya berkisar 9 17,4 cm sementara Lm ikan kembung 17,6 cm (www.fishbase.org) 84 % hasil tangkapan dibawah ukuran Lm (6 - 13,2 cm) sedangkan ukuran Lm = 13,8 cm utk jenis Sardinella fimbriat (Abdullah, 2011) 1.7 25 2 41.7 Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,71 Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,96 Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 1,03 1.3 15 3 20.0 Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6 jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer, 2016) Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6 jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer, 2016) Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6 jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer, 2016) 2.0 15 4 30.0 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 30 SKOR BOBOT (%) 1.0 30 RKG NILAI 1 (Kill er Indic ator) 30 INDIKATOR 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. KRITERIA 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 5075%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWEH Ukuran kapal relatif kecil dan tidak membutuhkan dokumen untuk kapal penangkapan ikan karang Semua sampel kapal penangkapan memiliki spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang) Semua respoden tidak memiliki sertifikat kecakapan Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi kecakapan sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki sertifikasi kecakapan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra SKOR BOBOT (%) RKG NILAI Semua sampel kapal penangkapan memiliki spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang) 2.0 10 5 20.0 Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi kecakapan sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki sertifikasi kecakapan 1.0 5 6 5.0 RERATA 1.5 TOTAL 100 IV - 31 TOTAL 146,7 Informasi yang berhubungan dengan Indikator fishing capacity dan effort di Kabupaten Konawe Selatan tidak tersedia khususnya estimasi produksi pada tahn berikutnya. Namun dari informasi respnden hasil wawancara nelayan dirasakan tidak ada perbedaan fishing capacity dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian indikator fishing capacity dapat diberi skor 2 yakni FCm : FCn = 1. Untuk memperoleh data yang menggambarkan Fishing Capacity and Effort Ratio dilakukan estimasi menggunakan data statistik perikanan tahun 2009 dan 2013 dari ketiga kabupaten yang terkait dengan KKPD Sultra. Dengan memodifikasi perhitungan menggunakan factor koreksi berupa factor tangkapan dan faktor sebaran maka diperoleh nilai Fishing Capacity and Effort Ratio 0,97-1,4 sebagaimana pada Tabel 4.18. Oleh karena itu untuk indikator ini diberi skor 1,3. Tabel 4.17. Estimasi Fishing Capacity and Effort Ratio Kelompok SDI Alat tangkap Faktor Faktor tangkapan sebaran Jmlah unit 2009 2013 Produksi (kg/thn) Fishing Capacity 2009 2013 Ikan Rawai 0.8 0.6 606 606 3582 1041932.16 1041932.16 Karang Pancing Ulur 0.5 0.6 1727 1710 4812 2493097.2 2468556 Bubu Jaring Insang 100 0.6 192 130 2840 32716800 22152000 0.2 0.6 454 545 5565 303181.2 363951 Ikan Pukat cincin 0.3 0.6 297 447 Kembung Pancing 0.3 0.6 1727 Payang Jaring Insang 0.8 0.6 21 0.5 0.6 454 545 Bagan 0.7 0.6 172 96 4,659,811 4,490,902 Pancing Jaring Insang 0.2 0.6 1727 1710 6314 1308513.36 1295632.8 0.3 0.6 454 545 4864 397486.08 477158.4 Rawai 0.2 0.6 606 606 3582 260483.04 260483.04 1,966,482 2,033,274 Jumlah 36,555,011 26,026,439 42800 2288088 3443688 710 7323 2276427.78 935879.4 166 24000 241920 1912320 5115 696663 836302.5 20000 1444800 806400 Jumlah Ikan Kuwe Jumlah Ratio Pada tahun 2012 di Kabupaten Konawe Selatan terdapat terdapat 13 jenis alat tangkap ikan yang digunaan oleh nelayan dan terdaftar di DKP Kabupaten Konawe Selatan. Dari 13 jenis alat tangkap tersebut terdapat 3 jenis alat tangkap yang tidak selektif sehinggga persentase antara jumlah alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas rendah (PS) adalah adalah 23,07% (DKP, 2012). Sehingga itu indikator ini dapat diberi WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 32 1.40 1.03 0.97 skor 3 yaitu selektivitas penangkapan tinggi (kurang dari 50% penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) Hasil penelusuran pada masyarakat nelayan di sekitar KKPD Sultra menunjukkan bahwa sebagian besar dari kapal yang digunakan untuk perikanan terumbu karang adalah kapal-kapal yang tidak memiliki dokumen legal dimana ukuran kapalnya rata-rata dibawah 5 GT khususnya kapal penangkapan ikan yang menangkap ikan karang dengan alat tangkap pancing, sero dan alat tangkap bagan . Sedangkan kapal kapal yang berukuran besar (mulai dari 5 GT) khususnya yang menangkap ikan cakalang, kembung dan ikan layang dengan alat tangkap purse seine memiliki dokumen legal. Berdasarkan fenomena tersebut maka Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal dapat diberi skor 2 yaitu kesesuaiannya sedang (30-50%) sampel tidak sesuai dengan dokumen legal. Pada umumnya nelayan ikan karang di sekitar Sultra KKPD adalah nelayan tradisional dan semi komersil dengan skala usaha yang kecil khusunya alat tangkap pancing untuk menangkap ikan karang dan alat tangkap bagan berukuran kurang dari 5 GT, sehingga tidak diwajibkan memiliki sertifikat, bahkan tidak mengetahui akan perlunya sertifikat. Sedangkan nelayan pada alat tangkap purse seine dan payang nahkodanya memiiki sertifikasi kecakapan. Berdasarkan hal tersbut maka indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat diberi skor 1 yaitu kepemilikan sertifikat <50%. 4.1.4. Domain Sosial Terdapat 3 (tiga) indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge). Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM perikanan yang dikaji di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 4.18. Pengelolaan perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara khususnya di DKP masih semata-mata merupakan domain bidang perikanan tangkap DKP sehingga partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya masih parsial dan belum jelas. Partispasi pemangku kepentingan ditandai hanya dengan keikutsertaan setiap kegiatan pelatihan, workshop maupun bimbingan teknis (bintek) yang hanya berkaitan dengan tupoksi masingWWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 33 masing bidang. Ditambah lagi, tindak lanjut dari hasil yang disepakati dalam kegiatankegiatan pelatihan, workshop maupun bintek tersebut umumnya tidak dilaksnakan dan adapun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak efektif. Keterkaitan ataupun kolaborasi instansi utama (DKP) dengan instansi lain di lingkup kawasan KKPD Sulawesi Tenggara belum berjalan efektif atau dengan kata lain masih bersifat sektoral. Umumnya kegiatan-kegiatan pengembangan kesadaran ataupun pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan KKPD Sulawesi Tenggara dari suatu instansi terkait, jarang diketahui oleh instansi lain. Uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa indikator partisipasi pemangku kepentingan pengelolaan perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masuk dalam kategori kurang dari 50%, baik terhadap ikan karang, ikan kembung maupun ikan kuweh. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk indikator ini diberikan skor 1. Konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara umumnya berhubungan dengan konflik pemanfaatan fishing ground dan konflik kebijakan. Konflik pemanfaatan fishing ground umumnya terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang (nelayan andong). Adapun sesama nelayan lokal, konflik fishing ground umumnya jarang terjadi bahkan tidak terjadi sekalipun dalam beberapa tahun belakangan. Konflik fishing ground antara nelayan lokal dengan pendatang biasanya terjadi dalam bentuk nelayan pendatang menangkap di lokasi penangkapan nelayan lokal. Nelayan lokal merasa bahwa hal ini dapat mengurangi hasil tangkapan mereka karena ikan-ikan telah banyak tertangkap oleh nelayan pendatang, karena umumnya nelayan pendatang memiliki kapasitas penangkapan yang lebih besar. Dengan demikian, ikan-ikan di lokasi penangkapan lebih cepat berkurang. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi nelayan lokal dan jika hal ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik yang lebih luas. Adapun konflik kebijakan hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara biasanya terjadi dalam bentuk kebijakan lembaga terkait yang satu dengan yang lain tidak sejalan. Hal ini menimbulkan kebingungan dikalangan masyarakat yang dapat menjadi cikal bakal konflik yang lebih meluas ataupun berujung pada pelanggaran-pelanggaran terkait pengelolaan perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 34 Secara keseluruhan, berdasarkan hasil kajian konflik perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara baik terhadap ikan karang, ikan kembung maupun ikan kuweh, konflik fishing ground dan konflik kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bagan rambo serta rumpon sebagai alat bantu sering terjadi bahkan sampai pada kategori > 5 kali setahun. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk indikator konflik perikanan hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara diberikan skor 1. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara pada umumnya adalah pengetahuan yang terkait dengan musim, iklim dan dinamika melimpah dan menurunnya sumberdaya ikan. Pengetahuan tersebut bersumber dari pengalaman masing-masing nelayan yang umumnya sudah puluhan tahun bergelut dibidang perikanan tangkap. Meskipun demikian, pengetahuan-pengetahuan tradisional seperti ini hampir sudah tidak digunakan lagi karena sulitnya memprediksi perubahan-perubahan iklim dan cuaca beberapa tahun belakangan ini. Berbeda dengan sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya, perubahan cuaca masih dapat diprediksi sehingga pengetahuan-pengatahuan tradisional yang telah disebutkan di atas sangat dibutuhkan dalam aktifitas operasi penangkapan ikan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden mengenai pengetahuan lokal yang dimaksud, diperoleh bahwa bahwa semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini karena sudah seringnya dilakukan penyuluhan-penyuluahan dan pelatihan-pelatihan terkait teknologi penangkapan ikan. Selain itu, sulitnya menangkap ikan pada masa-masa sekarang ini akibat susahnya memprediksi cuaca, juga turut mempengaruhi jarangnya atau bahakan tidak digunakan lagi pengetahuan lokal dalam operasi penangkapan ikan. Berdasarkan uraian di atas tersebut, maka untuk indikator pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge), diberikan skor 1. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 35 Tabel 4.18. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial. INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan DEFINISI/ PENJELASAN Keterlibatan pemangku kepentingan KRITERIA 1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 % 2. Konflik perikanan 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan 1 = tidak ada; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan BOBOT RANKIN (%) G IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR Pengelolaan perikanan tangkap masih merupakan Domain Bidang perikanan tangkap DKP sehingga partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya parial belum jelas, (DKP Sultra, 2016) Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek yang hanya berkaitan dengan tupoksi masingmasing bidang 1.0 40 1 40.0 Hasil wawancara 4,4 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fising ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bom, bius dengan frekuensi lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016) 20,97 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fishing ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bagan rambo serta rumpon sebagai alat bantu lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016) Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek yang hanya berkaitan dengan tupoksi masing-masing bidang 6,1 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fising ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan rumpon sebagai alat bantu maupun bom lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016) 1,0 35 2 35 Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit 1.0 25 3 25 Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit RERAT A 1,0 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 36 TOTAL 100 NILAI TOTAL 100 4.1.5. Domain Ekonomi Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: (1) kepemilikan aset, (2) pendapatan rumah tangga perikanan (RTP), dan (3) rasio tabungan, Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain ekonomi ditampilkan dalam Tabel 4.19. Tabel 4.19. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi. INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT. 2. Pendapatan rumah tangga (RTP) Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih KRITERIA BOBOT RANKING (%) IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1= kurang dari ratarata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR Dalam 1 tahun terakhir seluruh responden menyatakan ada peningkatan aset usaha perikanan maupun aset rumah tangga, tetapi <50% Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%) Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%) 2,0 45 1 90 100% responde memeiliki pendapatan diatas UMR (Rp 1.690.00 – Rp. 3.400.00) Rata-rata pendapatan responden (Rp. 4.415.000 per bulan) perbulan melebih UMR regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000) 3,0 30 2 90 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman SR= 46,33% - 72,79%. Besarnya bunga kredit pinjanman = 7,52 – 8,22% per September 2013 Rata-rata pendapatan responden ( Rp. 3.215.000 per bulan) melebih UMR regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000) Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio tabungan rata-rata responden nelayan penangkap ikan karang =47,4% Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio tabungan rata-rata responden nelayan penangkap ikan kembung =66,5% 3,0 25 3 75 TOTAL RERATA WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 37 2,67 100 NILAI TOTA L 255 Berdasarkan wawancara dengan responden pada setiap perikanan menunjukkan bahwa nilai aset cenderung bertambah sesuai dengan omset usaha dan kepemilikan sarana usaha. Pada umumnya RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara merupakan nelayan skala kecil dengan aset milik sendiri. Aset-aset mereka terdiri dari bodi batang atau perahu, alat tangkap dan mesin. Beberapa nelayan hanya memiliki alat tangkap dengan tanpa kapal ataupun mesin, sehingga bertambah ataupun berkurangnya aset perikanannya hanya seputar alat tangkap saja. Secara umum, aset-aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara pertambahan asetnya kurang dari 50%. Berdasarkan kriteria untuk indikator ini, kepemilikan aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masuk dalam kategori “nilai aset tetap” atau dengan kata lain pertambahan aset mereka kurang dari 50%. Oleh karena itu, berdasarkan kriteria ini, maka untuk indikator kepemilikan aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara diberikan skor 2. Indikator pendapatan rumah tangga nelayan (RTP) di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara menunjukkan tingkat pendapatan yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi terarah dengan nelayan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, diperoleh bahwa rerata pendapatan RTP jenis perikanan karang, kembung dan kuweh menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016 (Rp. 1850.000,-) (Tabel 4.21). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan RTP perikanan karang, kembung dan kuweh di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara telah sejahtera. Hal ini dapat didukung pula oleh alasan penetapan UMR yang mengacu pada PDRB bahwa dengan nilai tersebut maka masyarakat sudah tergolong sejahtera. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan bahwa sumberdaya perikanan yang tersedia di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masih cukup untuk menopang kehidupan RTP yang memanfaatkan kawasan KKPD ini. Kondisi ini diharapkan terus stabil bahkan meningkat hingga dimasa-masa yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, maka untuk indikator pendapatan rumah tangga RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara untuk semua jenis perikanan (karang, kembung dan kuweh) yang dikaji dalam riset ini, masuk dalam kategori pendapatan lebih besar dari UMR (>UMR) tahun 2016, sehingga diberikan skor 3. Tingkat kesejahteraan yang dibahas pada indikator pendapatan RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara juga didukung oleh tingginya prosentase rasio tabungan (saving ratio) terhadap suku bunga BI Sulawesi Tenggara. Indikator rasio tabungan (saving ratio), WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 38 yakni perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran pada masing-masing perikanan yang dikaji dalam kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, dapat dilihat pada Tabel 4.20: Tabel 4.20. Perbandingan Rerata Pendapatan dan Pengeluaran serta Saving Rate pada masing-masing jenis Perikanan di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. Rerata Rerata No. Jenis Perikanan Pendapatan Per Pengeluaran Per Saving Rate (%) Bulan (Rp.) Bulan (Rp.) 1. Ikan Karang 3.215.000,1.693.000,47,4 2. Ikan Kembung 4.415.000,1.480.000,66,5 3. Ikan Kuweh 3.750.000,1.537.000,58,9 Sumber: Data Primer 2016 Tabel 4.20 menunjukkan bahwa rasio tabungan RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara untuk jenis perikanan karang, kembung dan kuweh masing-masing sebesar 47,4%, 66,5% dan 58,9%. Nilai-nilai prosentase ini lebih tinggi dari nilai suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016). Berdasarkan informasi ini, maka secara keseluruhan baik untuk perikanan karang, kembung maupun kuweh dapat disimpulkan bahwa indikator saving rate (SR) masuk dalam kategori “lebih besar dari suku bunga kredit pinjaman”, sehingga dapat diberikan skor 3. 4.1.6. Domain Kelembagaan Aspek kelembagaan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama. Keenam kriteria tersebut memiliki nilai bobot dan ranking yang berbeda berdasarkan pengaruh terhadap pengelolaan perikanan, yakni: (1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat), (2) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (3) mekanisme pengambilan keputusan, (4) rencana pengelolaan perikanan, (5) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, dan (6) kapasitas pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain kelembagaan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara ditampilkan dalam Tabel 4.21. Pelanggaran tertulis yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan yang ditemukan umumnya berkaitan dengan dokumen dimana kapal-kapal penangkapan ikan tidak dilengkapi dengan dokumen resmi. Data tertulis tentang pelanggaran terhadap aturanWWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 39 aturan perikanan yang telah di tetapkan baik formal maupun tidak formal pada tahun 2016 ditemukan sebanak 5 kali dengan penyelesaian kasus dilakukan dengan pembinaan. Sedangkan berdasarkan wawancara dengan nelayan responden berhasil diidentifikasi beberapa jenis pelanggran baik formal maupun informal. Secara formal pelangaran utama yang banyak dilakukan nelayan berupa pelanggaran hukum secara administrasi yaitu manajemen perijinan yang masih kurang diperhatikan. Terdapat lebih 5 kali pelanggaran ini terjadi sepanjang tahun 2016, oleh karena itu kriteria pelanggaran terhadap aturan perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1. Sedangkan informasi pelanggaran untuk aturan non formal yang ditemukan di wilayah perairan Teluk Staring berupa pelanggaran terkai Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dimana masih banyak pelanggaran terhadap armada-armada penangkapan yang tidak spesifik menangkap disekitar wilayah perairan Teluk Staring. Lebih dari 90% responden menyatakan pelanggaran terkait WPP terjadi diatas 5 kali sepanjang tahun 2016 sehingga kriteria ini dapat di berikan kategori buruk dengan skor 1. Berdasarkan wawancara dengan perangkat DKP Kabupaten Konawe Selatan diketahui bahwa Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) KKPD Prov. Sultra masih dalam proses regulasi penetapan, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional seperti UU No 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007, UU No 45 tahun 2004, PP No 60 tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 yang terkait dengan kewenangan pengelolan kawasan konservasi, masih mendominasi aturan untuk dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di KKPD Prov. Sultra. Sedangkan aturan yang bersifat teknis dan operasional yang ada meliputi; Permen, Pergub, Perda SIUP, SIPI, SIKPI, namun beberapa belum memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan kriteria mengenai aturan pengelolaan perikanan KKPD Prov. Sultra tersebut maka diberikan skor 2 = ada tapi tidak lengkap. Beberapa dokumen rencana pembangunan telah disusun seperti Rencana Tata Ruang Wialayah, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil telah disusun yang diikuti dengan dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Konawe Selatan, namun hingga tahun 2017 jumlahnya tidak bertambah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan jumlahnya tetap, sehingga untuk indikator ini dapat diberi skor 1 (ada dan jumlahnya tetap). WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 40 Dalam hal penegakkan aturan main, DKP dan pihak kepolisian telah melakukan upaya penegakkan aturan namun belum efektif, (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 2). Menurut pihak DKP hal ini disebabkan karena keterbatasan petugas dan sarana pengawasan. Berdasarkan hasil wawancara Kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas) menyatakan, saat ini belum di tetapkan secara pasti kegiatan rutin pengawasan karena kegiatan pengawasan hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan instansi dan ketersediaan biaya. Kegiatan pengawasan hingga saat ini sangat jarang dilakukan, ketersediaan biaya dan perlengkapan alat yang dibutuhkan sangat terbatas bahkan tidak memenuhi standar pengawasan (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 1). Dalam rangka penegakkan aturan, petugas pengawas yang berwenang (POL AIR) memberikan tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan. Petugas pengawas memberikan teguran untuk pelanggaran yang skala kecil seperti penenpatan daerah penangkapan yang tidak sesuai dengan armada, sedangkan pelanggaran skala besar diberikan hukuman denda dan pidana (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 2). Dalam hal mekanisme pengambilan keputusan, program yang terkait dengan pengelolaan perikanan masih merupakan kebijakan Dinas Kelautan dan Perikanan. Pelibatan stakeholders hanya sebagai prosedur penyusunan dokumen perencanaan pembangunan di karenakan mekanisme pengambilan keputusan ini belum memiliki SOP sehingga dikatakan belum efektif (Indikator ini dapat diberi skor 2). Beberapa kebijakan dan program terkait pengelolaan perikanan belum sepenuhnya dijalankan sebagaimana mestinya, beberapa keputusan yang telah ada tidak dijalankan mengingat keterbatasan sarana dan prasarana menjadi salah satu penyebabnya. Model pengelolaan WPP perlu didukung dengan kapasitas kebijakan yang memadai dan sosialisasi kepada pelaku penangkapan (karena itu indikator ini dapat diberi skor 1). Legalitas mengenai RPP digunakan untuk memberikan kekuatan terhadap keberadaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah. KKPD Prov. Sultra yang telah ditetapkan masih dalam tahap keputusan pencadangan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara. Hal ini memberikan kendalam terhadap penerapan implementasi dari aturan pengelolaan KKPD Prov. Sultra. Hingga saat ini KKPD Prov. Sultra belum meiliki legalitas mengingat RPP saat ini belum disusun. Belum adanya RPP terhadap KKPD Prov. Sultra sehingga indikator ini diberi skor 1. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 41 indikator Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, terlihat bahwa koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing lembaga memiliki kepentingan yang berbeda. Kepentingan yang terkait dalam pengelolaan perikanan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Prov. Sultra menjadi kendala dalam penentuan kebejikan dalam penetapan kawasan. Terdapat beberapa kepentingan yang saat ini terjadi di dalam kawasan konservasi seperti pembangunan smelter di wilayah pesisir Kecamatan moroma dan pembangunan PLUT di pesisir Kecamatan Moramo Utara. Pembangunan kepentingan ini telah mendapat izin dari pemerintah Prov. Sultra sehingga bertolak belakang dengan kebijakan pengelolaan KKPD itu sendiri (indikator ini dapat diberi skor 1). Selain adanya kebijakan sektor yang berbeda, juga hubungan dalam mendukung aturan setiap sektor sangat kurang. koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kewajiban mengenai kebijakan pada wilayah KKPD yang tidak saling mendukung, terlihat adanya kerusakan lingkungan kawasan yang timbul akibat aktivitas sektor lain seperti penimbunan serta sedimentasi sehingga indikator ini diberi skor 2. Kapasitas pemangku kepentinga memberikan kekuatan terhadap pelaksanaan dan penetapan serta pengelolaan kawasan konservasi. Beberapa hal yang telah dilakukan untuk memberikan penguatan terhadap pengelolaan perikan seperti bimbingan teknis dan pembinaan, namun tidak berkesinambungan dan tidak diimplementasikan sesuai peruntukannya. Hal ini menggambarkan akibat dari kekuasaan politik yang sangat dominan melihat setiap sektor memiliki kepentingan yang berbeda sehingga kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki pemangku kepentingan tidak sesuai dengan peruntukannya ditambah lagi belum adanya kegiatan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan yang mengarah pada pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem sehingga kriteria ini diberi skor 2. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 42 Tabel 4.21. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan. INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR Pelanggaran terkait WPP di wilayah perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan berupa pelanggaran hukum secara admistrasi kelengkapan izin terjadi lebih dari 5 kali di tahun 2016 (Bidang Pengawasan DKP Provinsi Sultra, 2017) 1 Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran 90 % reponden mengatakan bahwa pelanggaran hukum terkait WPP lebih dari 5 kali 1 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap Ada aturan main hanya di tingkat provinsi (Perda Pesisir, Pergub dan aturan terkai retribusi). 2 Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah Kelengkapan regulasi hingga tahun 2013 jumlahnya tetap 2 Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif Penegakan hukum atau aturan main sudah diterapkan hanya saja kurang efektif 2 1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan Intensitas kegiatan patroli dan pengawasan cukup jarang disebabkan oleh keterbatasan anggaran, hanya administrasi di kantor (Abet Abdullah 2017) 1 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman Tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan (POL AIR, 2017) 2 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 43 BOBOT (%) 26 25 RANKING NILAI 1 26 2 40 INDIKATOR 3. Mekanisme pengambilan keputusan DEFINISI/ PENJELASAN Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan KRITERIA DATA ISIAN SKOR Belum ada SOP namun terdapat mekanisme pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan tapi belum efektif (DKP Provinsi Sultra, 2017) 2 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya Keterbatasan sarana prasarana menjadi salah satu penyebab utama tidak dijalankannya sebuah keputusan terkait pengelolaan WPP (DKP Provinsi Sultra, 2016) 1 1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); KKPD Sulawesi Tenggara belum meiliki legalitas tentang RPP KKPD Sultra. (Provinsi Sultra, 2016) 1 Koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing lembaga memiliki kepentingan berbeda 1 Kurang Koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang tidak saling mendukung terkait kebijakan (Tahalim, 2016) 2 Bimbingan teknis dan pembinaan sudah dilakukan namun tidak berkesinambungan sesuai dengan peruntukan (politik dominan) (POL AIR, 2016) 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; BOBOT (%) 18 RANKING NILAI 3 18 15 4 15 11 5 16,5 2 5 6 10 RERATA TOTAL 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 4. Rencana pengelolaan perikanan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik 6. Kapasitas pemangku kepentingan Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 1,54 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 44 100 TOTAL 148,50 4.2. Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sultra Pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sultra diarahkan untuk perikanan berkelanjutan harus dijadikan sebagai alat dan acuan oleh nelayan dan pemangku kepentingan lainnya dalam melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan tujuan mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Tujuan tersebut dapat dicapai apabila KKPD dikelola dengan baik serta memberikan manfaat terutama bagi perikanan dengan melindungi suatu kawasan perairan yang memiliki karakteristik tertentu. Ikan-ikan yang terdapat di ekosistem terumbu karang sangat beragam. dimanannelayan sebagai pihak yang melakukan kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya ikan memiliki ikan target yang bernilai ekonomis tinggi sebagi sumber penghasilannya. namun penangkapan ikan target ini sering diikuti hasil tangkapan sampingannya (by catch). Hal tersebut juga penting untuk diperhatikan agar proses-proses alamiah yang terjadi di ekosistem tersebut tetap terjaga keseimbangannya. Pengelolaan pemanfatan sumberdaya perikanan di KKPD ini harus sejalan antara kelangsungan ekosistem (perikanan berkelanjutan) dengan kesejahteraan masyarakat (tidak menimbulkan konflik sosial). Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak akan pernah terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini sebagai upaya penting yang mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari yang menyejahterakan. “Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Oleh karena itu integrasi parameter EAFM merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi untuk menilai performa pengelolaan perikanan di KKPD Sultra. Berdasarkan hasil analisis dan penilaian performa perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara melalui keterkaitan setiap domain yang berdasarkan kriteria masingmasing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa agregat performa pengelolaan perikanan di KKPD Sultra berada pada kategori sedang. Hal ini nilai komposit tertinggi terdapat pada domian ekonomi dan terendah adalah domain soial. Sedangkan, teknik penangkapan dan kelembagaan menunjukan kondisi kurang. Domain habitat dan ekosistem, sumberdaya ikan menunjukan kondisi yang moderat (sedang) Nilai komposit Performa Perikann pada setiap domain secara detail dapat di lihat pada Tabel 4.22 berikut: WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 45 Tabel 4.22. Nilai Komposit dan Deskripsi Performa Perikanan Di Kawasan KKPD Sultra Setiap Domain Yang di Nilai Nilai Domain Deskripsi Komposit Sumberdaya Ikan 166.7 Sedang Habitat & ekosistem 175.8 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 146.7 Kurang Sosial 100.0 Buruk Ekonomi 255.0 Baik Sekali Kelembagaan 148.5 Kurang Aggregat 165.4 Sedang Berdasarkan Tabel 4.22 tersebut terlihat bahwa performa pengelolaan perikanan dari hasio analisis setiap domain pengelolaan menunjukan secara umum status perikanan di KKPD Sultra dalam kondisi sedang dan cederung menuju kurang. Hal ini terlihat dari agragat nilai komposit sebesar 165,4 dari total nilai 300. Namun apabila diperhatikan nilai komposist darisetiap domain maka jelas bahwa ada beberapa domain yang berkategori sedang dan satu domain yang berkategori buruk. Domain-domain inilah yang menodorong kondisi pengelolaan perikanan di KKPD menjadi belum optimal. Sedangkan domain lainnya cenderung mendorong dalam meningkatkan kualitas pengeloaan perikanan yang meliputi domain ekonomi (kategori sangat baik), domain sumberdaya ikan dan domain habitat dan ekosistem dengan kategori sedang. Walaupun secara keseluruhan kondisi pengelolaan perikanan di KKPD masih berada dalam kategori sedang bukan berairi perikanan di KKPD ini tidak mendapat ancaman dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra IV - 46 BAB V PEMBAHASAN 5.1. Metode dan Analisa Iindikator EAFM yang Digunakan 5.1.1. Metode EAFM Penerapan metode EAFM dalam menilai performa pengelolaan di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara sebagai upaya mengoptimalkan pengeolaan kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelnjutan sangat bermanfaat sehingga status kawasan perikanan atau unit perikanan pada kawasan konservasi dapat di tentukan. Metode EAFM ini mudah dipahami karena indikatornya sederhana dan sangat terukur untuk diimplementasikan sehingga mampu menggambarkan kondisi pengelolaan perikanan yang ada di KKPD Sultra dengan catatan apabila data untuk dianalisis tersedia atau masih dapat diperoleh dari instansi terkait. Kegiatan penerapan indicator EAFM dalam rangka melakukan penilaian performa pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sultra yang meliputi 3 wilayah adminsitrasi Kabupaten Konawe Selatan, Konawe dan Kota Kendari melalui pengamatan terhadap beberapa unit perikanan yang berbasis pada produksi dominan sumberdaya ikan yang dimanfaatkan di lokasi tersebut. Metode EAFM untuk menganalisis performa perikanan pada kawasan konservasi dapat di lakukan khususanya untuk memetakan baseline data perikanan yang selama ini hanya berbasis pada wilayah administrasi. Penilaian performa perikanan dilakukan pada kawasan ini untuk mendukung program pemerintah melalui kementrian Kelautan dan perikanan dalam mengembangkan kawasan konservasi sebagai lumbung ikan. Dalam prose penilaian ini walaupun data dan informasi terkait dengan pengelolaan perikaan masih tersebar secara umum dan belum terfokus pada kawasan konservasi Karena KKPD ini belum memiliki penetapan staus pengelolaan dari kementrian namun sebagian besar data khususnya habitat dan kualitas perairan dapat di peroleh dari berbagai sumber yaitu; Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi dan Kabupaten di 3 wilayah administarsi, hasil-hasil penelitian asesmen KKPD Sultra, hasil-hasil penelitian mahasiswa dan hasil-hasil peneltian yang dilakukan oleh praktisi WWF-hHasil penelitian Staf pengajar Universitas, Mahasiswa maupun hasil-hasil penelitian lainnya yang relevan. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-1 Untuk mendapatkan informasi saat ini khususya data-data yang sifatnya kualitatif maka dilakukan assessment dengan menggali informasi dari masyarakat di tiga lokasi Kabupaten yang masuk dalam kawasan konservasi yang dikaji melalui wawancara terhadap nelayan ikan tuna, ikan cakalang, ikan karang, ikan kembung dan nelayan ikan layang dan wawancara kepada pihak pemerintah yang meliputi; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi, Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe dan Kota kendari dengan menggunkan kuesioner. Metode EAFM ini sangat mudah diterapkan dengan waktu yang relatif singkat apabila semua data yang butuhkan untuk menganalisis semua indicator domain dan yang akan dinilai tersedia dengan personil atau organisasi pelaksana yang cukup kecil namun apabila datanya sebagian besar belum tersedia maka akan cukup sulit dan butuh waktu yang lebih lama serta organisasinya atau personilnya cukup banyak untuk diterapkan karena melakukan pendataan untuk setiap domain dan indikatornya dengan membutuhkan berbagai macam bidang ilmu atau keahlian. Selain itu mengingat keberadaan data statistik perikanan dan data-data perikanan lainnya yang ada di setiap instansi terkait masih banyak yang meragukan maka penerapan metode ini perlu di lakukan secara hati-hati dan harus di dahului sosialisasi pada setiap instansi terkait serta diiringi dengan pembenahan data khususnya dalam proses pengumpulan data sumberdaya perikanan di lapangan yang seragam di seluruh Indonesia khususnya data dan informasi pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan perlu mendapat perhatian yang serius. Pemanfaatan metode EAFM untuk melakukan assessmen dalam menilai status perikanan pada kawasan konservasi perairan perlu dikaji lebih jauh khususnya tiap-tiap indikator dan rengkingnya pada masing-masing domain terutama apabila kawasan konservasi perairan telah dikelola dengan system zonasi dimana kemungkinan tidak semua indicator dapat diterpakan pada semua zonasi harus disesuaikan dengan target konservasi dan zona peruntukan khususnya untuk zona perikana berkelanjutan sebagai penyokong produksi perikanan dikawasan konservasi Karena zona tersebut dapat memproduksi dan menerima larva ikan target penangkapan nelayan. Assesmen sumberdaya perikanan pada kawasan konservasi seharusnya sudah dapat ditentukan ikan dominan apa yang dimanfaatkan nelayan di kawasan tersebut sehingga dapat terfokus surveinya karena ikan yang dihasilkan nelayan di kawasan ini tidak semua diatangkap di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sulta namun dari perairan diluar seperti ikan yang memiliki ruaya yang luas; ikan tuna, cakalang atau tenggiri dan sebagainya yang umumnya berada jauh dari pantai. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-2 5.1.2. Analisa Indikator EAFM a. Domain Sumber Daya Ikan Indikator CPUE Baku Kriteria CPUE baku yang diterapkan agak sulit untuk diukur dan dapat memberikan penafsiran yang berbeda-beda karena sifanya kualitatif bila dilakukan melalui wawancara. Hasil wawancara dapat digunakan sebagai pembanding dari data kuanitatif yang hanya diperoleh data produksi bulanan namun cara ini butuh waktu yang relatif lama mengingat setiap nelayan tidak memiliki data-data produksi. Indikator CPUE baku yang sifatnya kualitatif dapat diperoleh melalui wawancara dengan nelayan yang memiliki pengalaman menankap ikan minimal 15 tahun. Untuk bisa menerapkan indikator ini maka perlu dipikirkan agar model pendataan di setiap instansiataupun setiap desa di kawasan konservasi perairan harus dapat menggambarkan perubahan CPUE perikanan yaitu jumlah produksi setiap jenis ikan harus disandingkan dengan jumlah alat tangkap atau jumlah trip penangkapan untuk menangkap ikan tersebut sehingga mudah melakukan analisis data untuk menilai CPUE. Ukuran ikan Indikator ukuran ikan secara kualitatif dapat diterapkan dengan baik namun alangka baiknya bila bisa disinkronkan dengan data-data kuantitatif. Oleh karena itu pendataan ukuran ikan yang selama ini dilakukan oleh instansi terkait hanya berupa data bobot (berat) secara keseluruhan sehigga sulit menggambarkan ukuran ikan sehingga perlu dilakukan model pendataan dengan menekankan ukurn panjang ikan agar penentuan skor kriteria ini dapat digunakan secara efektif. Penerapan indikator ini bisa dilakukan dengan melakukan pengukuran beberapa ikan sampel yang dikaji lalu dibandingkan dengan data-data refrensi terkait ukyran ikan (www.fishbase.com). Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap Kriteria indikator ini dapat digunakan namun gambarannya sangat kualitatif hanya didasarkan dari data interview yang relatif sulit menentukan persentasenya, sehingga data ini lebih obyektif bila diperoleh dari survei/sampling pada nelayan dengan konsekuensi waktu WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-3 lebih lama. Disamping itu apabila pendataan ukuran ikan telah dilakukan dengan baik oleh instansi terkait maka skor untuk menilai kriteria ini dapat dilakukan dengan baik. Komposisi spesies Batasan kriteria komposisi atau proporsi ikan target dan non target perlu di pertegas dan dapat terukur dengan menyebutkan persentasenya. Yang tergambar di dalam pelaksanaan EAFM ini masih berupa data kualitatif dan dapat menmbulkan penafsiran yang berbeda namun secara umum skor kriteria ini dapat digunakan secara efektif. Secara prinsip indikator ini membutuhkan data kuantitatif. Indikator Spesies ETP Kriteria pada indikator jumlah individu ikan ETP di lapangan pada asesmen ini cukup efektif dengan kiteria yang ada dimana sebelumnya kriterianya ditentukan jumlah spesies. Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan Penilaian kriteria indikator ini bersifat kualitatif sehingga melalui wawancara dengan nelayan mudah mendapatkan infomasi sehingga dapat digunakan secara efektif. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah nelayan yang menjadi sasaran interview harus memiliki pengalaman atau telah menekuni bidang penangkapan ikan minimal 15 tahun dengan petimbangan bahwa nelayan tersebut mengetahui perkembangan perikanan yang mereka lakukan selama ini. b. Domain Habitat dan Ekosistem Indikator Kualitas perairan Krteria sub indikator pencemaran perairan harus ditentukan berdasarkan uji laboratorium apabila secara visual ada indikasi adanya masukan bahan B3 ke perairan yang berasal dari aktivitas disekitarnya atau kegiatan-kegiatan industri di pesisir dan laut. Tetapi apabila indikasi tesebut tidak ada maka kita bisa langsung menyimpulkan bawa tidak ada pencemaran. Selain itu berdasarkan definisi/penjelasan berkaitan dengan limbah yang teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun), dengan kriteria indikator 1= tercemar; 2=tercemar sedang; dan 3= tidak tercemar, maka sumberdaya yang sangat berpengaruh adalah yang berada tidak jauh dari pantai sedangkan sumberdaya yang berada di perairan lepas (ikan pelagis) dengan mobilitas yang tinggi kriteria ini perlu di kaji ulang agar bobotnya lebih kecil. Sub indikator tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan setelah dilakukan modivikasi maka relatif mudah diterapkan dengan satuan NTU. Namun WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-4 karena sub indikator kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Berdasarkan hal terssebut sebaiknya kriteria kekeruhan menggunakan satuan mg/m^3 merupakan satuan kekeruhan. Oleh karena itu sebaiknya untuk laju sedimentasi harus mengunakan TSS (mg/m^3). Sub indikator eutrofikasi kriterianya sangat efektfi digunakan dan tidak menimbulkan intepretasi lain karena sifatnya kuantitatif dengan mengukur konsentrasi klofil-a mellaui konsentrasi plankton di perairan yang dikaji. Indikator Status lamun Sub indikator tutupan dan keanekaragaman lamun dengan kriteria skor yang telah di tetapkan dan direvisi dapat digunakan secara efektif. Sub indikator ini kurang efektif bila digunakan untuk menilai status sumberdaya perikanan pelagis yang jauh dari pantai maka rankingnya atau bobotnya atau kedalaman konektivitas dibedakan dengan sumberdaya perikanan yang terkait langsung dengan lamun Indikator Status Mangrove Sub indikator penutupan dan tingkat kerapatan mangrove mudah diterapkan dengan kriteria yang ada dalam pengkajian ini khususnya unuk menilai sumberdaya yang terkait dengan keberadaan mangrove (ikan karang) namun untuk sumberdaya yang tidak terkait langsung atau yang hidup di laut lepas dan jauh dari pantai (ikan tuna) maka perlu dilakukan verifikasi khususnya apabila zona-zona peruntukan di KKPD sudah ditetpakan dan perlu juga mempertimbangkan konektivitas ikan-kan yang berinteraksi antara zona KKPD dilakuka asesmen. Indikator Status Terumbu Karang Sub indikator Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dengan kriteria yang telah ditetapkan dapat digunakan secara efektif dikarenakan metode pegukuran kondisi karang yang digunakan secara umum sama. Selain itu data pendukung sangat banyak dan mudah di akses. Sedangkan krieria nilai indek keanekaragaman jenis karang sulit di lakukan karena sangat sulit menghitung junlah individu karang. Kenakaragaman yang dimaksud dalam pilot test ini adalah bentuk pertumbuhan (life form) yang tidak cocok diterapkan untuk menghitung keanekaragaman karena basisnya adalah bukan spesies dan individu serta pengambilan sampel bukan berbasis luas tetap panjang transek. Oleh karena itu WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-5 sub indikator keanekaragaman karang perlu ditinjau ulang sehingga lebih aplikatif untuk menilai status sumberdaya perikanan. Indkator Habitat Unik/khusus. Indikator ini dapat di lakukan analisis dengan mencari informasi dari masyarakat atau dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Menentukan nilai dari kriteria skor mengenai diketahui atau tidaknya habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling) dapat dilakukan dengan efektif. c. Domain Teknik Penangkapan Ikan Indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Penilaian kriteria dengan skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun; dan 3 = frekuensi pelanggaran < 5 kasus per tahun. Berdasarkan skor kriteria tersebut perlu ditentukan jumlah pelanggaran tingkat kecamatan, kawasan atau kabupaten termasuk level pelanggaran (ringan, sedang dan berat), sehingga bobot pelanggaran dapat di lebih proporsional. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan Indikator ini dapat di terapkan namun karena di dukung oleh data penunjang khsusunya yang berhubungan dengan Lenght of maturity dari jenis sumberdaya yang akan dikaji (www.fishbase.com). Sehingga kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm; dan 3 = <25% ukuran target spesies < Lm mudah di lakukan. Untuk memenuhi data tersebut harus dilakukan sampling ukuruan ikan target/ikan dominan namun dapat membutuhkan waktu yang relatif agak lama untuk mendapatkan data tersebut. Fishing capacity dan Effort Indikator ini tidak dapat diterapkan disebabkan beberapa hal, yaitu; data dan informasi yang mendukung untuk menilai kriteria ini tidak tersedia; indikator ini spesifik bidang ilmu penangkapan sehingga perlu adanya exsecise agar dipahami semua yang melalakukan analisis. Selain itu data yang sekunder untuk mendukung indikator ini tidak WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-6 tersedia. Oleh karena itu perlu persuasi agar setiap DKP Provinsi dan Kabupaten/Kota melakukan pendataan perikanan terkait indikator tersebut. Indikator Selektivitas penangkapan Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Indikator Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal. Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun demikian kapal yang digunakan nelayan perorangan umumnya memiliki ukuran kurang dari 5 GT sehingga tidak memiliki dokumen dan izin dalam melakukan operasi penngkapan. Selain itu indikator ini harus dilakukan pengukuran dilapangan terhadap kapal-kapal yang berukuran diatas 5 GT karena justifikasi ukuran kapal dilakukan oleh perhubungan yang kadang tidak sesuai denagn ukuran kapal sebenarnya. Oleh karena itu indikator ini membutuhkan sumberdaya yang besar untuk melakukan sampling ukuran kapal. Indikator Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Kriteria untuk menilai status indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan yang ada dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun demikian awak kapal yang menangkap ikan umumnya tidak memiliki dokumen atau sertifikat dalam melakukan operasi penangkapan ikan dan yang memilki dokumen sertifikat hanya nahkoda. d. Domain Sosial Indikator Partisipasi pemangku kepentingan Kriteria untuk menilai status indikator partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan baik. Untuk partisipasi secara formal, dapat saja dengan mudah diketahui dari laporan-laporan kegiatan pelatihan, penyuluhan ataupun pengawasan. Persoalannya adalah ada pada partisipasi pemangku kepentingan yang informal karena rekam jejak partisipasinya tidak diketahui. Oleh karena itu, diperlukan adanya instrumen khusus dalam mengukur partisipasi stakeholder yang terkait dengan pengelolaan perikanan kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-7 Konflik perikanan Kriteria untuk menilai status indikator konflik kepentingan dalam pengelolaan sumberdaya ikan khususnya berkaitan dengan resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sektor dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan baik khususnya di DKP, sehingga perlu dilakukan pengecekkan kembali pada pihak-pihak lain, misalnya pihak penegak hukum. Selain itu, pengumpulan data yang berhubungan dengan konflik perikanan cukup baik bila berasal dari masyarakat nelayan langsung yang terlibat dalam sistem perikanan di kawasan KKPD ini. Meskipun demikian, pemilihan responden perlu dilakukan terlebih dahulu agar kesan penyampaian tentang konflik perikanan tidak berlebihan ataupun terlalu dikurangi. Indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge). Kriteria untuk menilai status indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Informasi ini umumnya hanya di peroleh melalui wawancara dengan nelayan sedang pada instansi terkait tidak dapat diperoleh karena tidak terekam dengan baik. e. Domain Ekonomi Indikator Kepemilikan aset Kriteria untuk menilai status indikator kepemilikan aset dalam dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Meskipun demikian, untuk menilai aset dalam waktu singkat sebenarnya cukup sulit dan umumnya bias dari kondisi sebenarnya. Hal ini bisa terjadi karena minimnya pencatatan ataupun minimnya tingkat pengetahuan masyarakat nelayan yang berujung pada sulitnya memprediksi nilai aset yang sebenarnya. Umumnya kondisi ini terjadi pada nelayan-nelayan kecil yang terkadang hasil perhitungan jumlah asetnya tidak sesuai dengan aktifitas operasi penangkapan ikan yang dilakukan. Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) Kriteria untuk menilai status indikator pendapatan rumah tangga perikanan (RTP) dalam dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Meskipun demikian, sebenarnya sulit menerapkan indikator ini karena dalam perjalanan rekam jejak penerapan indikator ini ditemukan bahwa mayoritas WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-8 nelayan sulit menyampaikan atau kurang terbuka dalam hal menyampaikan hal-hal yang berhubungan dengan pendapatan. Indikator ini bisa saja diterapkan apabila data-data pendapatan nelayan itu, masuk dalam statistik perikanan. Rasio Tabungan (Saving rate) Kriteria untuk menilai status indikator saving rate dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun hal ini dapat terealisasi jika responden memberikan informasi tabungan dengan income mereka. Sementara, umumnya sebagian besar RTP enggan atau kurang terbuka dalam hal memberikan informasi tentang tabungan mereka sehingga informasi saving rate diperoleh dengan melakukan wawancara terhadap pendapatan dan pengeluaran nelayan. Dengan demikian, pengukuran indikator ini dengan menggunakan data langsung secara parsial dikalangan masyarakat nelayan cukup sulit dan kurang efektif. Jadi, untuk menilai indikator ini sebaiknya diperlukan instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah yang terintegrasi dalam statistik ekonomi yang mestinya ter-input dalam bagian sensus ekonomi. f. Domain Kelembagaan Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal (Alat). Kriteria skor untuk menilai tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun di tingkat Provinsi Sulawesi Tenggara belum ada Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) sehingga penilaiannya dilakukan pendekaan dengan menggunakan aturan-aturan pengeloaan sumberdaya perikanan terkait yang sudah ada. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator kelengkapan dokumen pengelolaan perikanan dan membandingkan situasi sekarang dengan sebelumnya serta ada atau tidak penegakan aturan hukum yang baik dan dapat diaplikasikan secara efektif. Mekanisme pengambilan keputusan Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak mekanisme pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V-9 dapat digunakan secara efektif. Namun yang menjadi kendala data kuantitatif, standar operasional kerja serta sarana dan prasarana belum mendukung. Rencana pengelolaan perikanan Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak rencana pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun di Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di WPP 714 belum ada RPP. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya DKP Provinsi dan Kabupaten yang dikaji dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Kapasitas pemangku kepentingan Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di wilayah kajian dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. 5.2. Performa Perikanan yang Dikaji Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai pada kriteria maka performa perikanan di perairan Konawe Selatan menunjukkan bahwa terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu domain yang berkualifikasi baik sekali adalah domain ekonomi, domain yang berkualifikasi sedang dimiliki oleh domain sumberdaya ikan, domain habitat dan ekosistem dan domain sumberdaya ikan, sedangkan domain yang termasuk dalam kualifikasi kurang adalah domain teknik penangkapan ikan dan domain kelembagaan serta kualifikasi buruk adalah domain sosial. Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat, dimana nilai aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai (Tabel 4.24). Berdasarkan nilai aggregat nilai komposit pada Tabel 4.24 yang mencapai 165,4 dari nilai total 300 maka penilaian terhadap performa perikanan di kawasan KKPD termasuk dalam kategori status sedang. Kondisi tidak berarti bahwa status performa perikanan di kawasan KKPD Sultra tidak mengalami tekanan, oleh karena itu untuk melihat sejauh mana kekuatan kontribusi WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V - 10 setiap domain dan indikatornya apakah meningkatkan atau menurunkan perfroma perikanan dapat diuraikan untuk setiap domain. a. Domain Sumberdaya Ikan Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya ikan terhadap performa perikanan di kawasan KKPD Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian skor terhadap keenam parameter domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi setiap indikator terhadap performa pengelolaan perikanan pada domain sumberdaya ikan. Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini menunjukkan bahwa nilai skor domain sumberdaya ikan sebesar 12,3 pada skala skor 6 – 18 dengan agregat 166,7, yang termasuk dalam kategori sedang. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain sumberdaya ikan di KKPD Sultra sesuai dengan urutan prioritasnya berdasarkan perolehan skor adalah; komposisi jenis, CPUE baku, proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, tren ukuran ikan dan spesies ETP (Gambar 4.10). Sedangkan indikator , range collapse sumberdaya ikan dan densitas biomassa memilii kontribusi skor yang kurang dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain sumberdaya ikan di KKPD Sultra. 7. Densitas/Biomassa untuk ikan karang &… 1.0 6. Spesies ETP 1.3 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 1.0 4. Komposisi spesies 3.0 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 1.7 2. Ukuran ikan 1.3 1. CPUE Baku 2.0 0 Gambar 5.1. 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain Sumberdaya ikan di di KKPD Sultra. b. Domain Habitat dan Ekosistem Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V - 11 terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi skor setiap indikator pada domain tersebut. Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini menunjukkan bahwa nilai skor domain habitat dan ekosistem sebesar 13,5 pada skala skor 7 – 21 dengan agregat 175,8 yang termasuk dalam kategori performa sedang. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama skor dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain habitat dan ekosistem performa perikanan di KKPD sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1) ) status mangrove, (2 status terumbu karang, (3) Status lamun, kualitas perairan dan status produktivitas perairan dan kualitas perairan, (4) habitat unik/khusus dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat (Gambar 4.11). 1 7. Perubahan iklim 2 6. Status dan produktivitas estuari 1 5. Habitat unik/khusus 2.5 4. Status terumbu karang 3 3. Status mangrove 2. Status lamun 2 1. Kualitas perairan 2 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 Gambar 5.2. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain Habitat dan Ekosistem di KKPD Sultra. c. Domain Teknik Penangkapan Ikan Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan ikan terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi indikator terhadap performa perikanan dari aspek teknik penangkapan ikan. Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini menunjukkan bahwa nilai skor domain teknik penangkapan ikan sebesar 11 pada skala skor 6 – 18 denga agregat 146,7, yang termasuk dalam kategori kurang. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain teknik penangkapan ikan berdasarkan skor indicator di KKPD Sultra sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1) ) selektivitas penangkapan dan kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, (2) ) modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) fishing capacity dan effort serta (4) sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan dan metode penangkapan ikan yang WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra bersifat V - 12 destruktif dan atau ilegal (Gambar 5.3). Dua indikator tersebut pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain teknik penangkapan dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan di KKPD Sultra disebabkan pada umumnya dari armada penangkapan hanya nahkoda yang mempunyai sertifikasi keahlian dan bahkan sebagain belum ada sertifikasi keahlian dan di kawasan ini sering terjadi pelanggaran dalam melakukan penangkapan ikan (24 300 kali setahun.. 1.0 6. Sertifikasi awak kapal perikanan 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal 2.0 4. Selektivitas penangkapan 2.0 1.3 3. Fishing capacity dan Effort 1.7 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu 1.0 1. Metode penangkapan ikan 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0 Gambar 5.3. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan di KKPD Sultra d. Domain Sosial Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak tiga indikator. Pemberian skor terhadap ketiga parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi setiap indikator tehadap performa perikanan dari aspek sosial. Hasil analisis performa perikanan melalui status skor indikator pada domain ini menunjukkan bahwa nilai skor domain sosial sebesar 3 pada skala skor 3 – 9 dengan agregat 100, yang termasuk dalam kategori buruk. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor pembangkit antara 3 indikator dalam domain sosial berjenjang sama. Tidak ada indikator yang saling melampaui anatara satu dengan yang lainnya, baik partisipasi pemangku kepentingan, konflik perikanan maupun pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) (Gambar 4.13). WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V - 13 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan SDI (termasuk TEK) 2. Konflik perikanan 1. Partisipasi pemangku kepentingan 0 1 2 Gambar 5.4. Peran Masing-masing Indikator Berdasarkan Nilai Skor Indikator Domain Sosial di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. e. Domain Ekonomi Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap performa perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara sebanyak tiga indikator. Pemberian skor terhadap ketiga parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran seberapa besar kontribusi setiap indikator terhadap performa perikanan dari aspek ekonomi. Hasil analisis performa perikanan melalui skor status indikator pada domain ini menunjukkan bahwa nilai skor domain sosial sebesar 8 pada skala skor 3 – 9 dengan agregat 255, yang termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain ekonomi di Kabupaten Konawe Selatan sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1) Rasio Tabungan/Saving rate, (2) Pendapatan rumah tangga (RTP) dan (3) kepemilikan aset (Gambar 4.14.). Indikator yang memiliki kontribusi skor paling sedikit dalam peningkatan status domain ekonomi dalam performa pengelolaan adalah kepemilikan aset. Masyarakat belum sepenuhnya memberikan informasi tentang aset dan umumnya pada saat-saat tertentu aset yang mereka dijual untuk keperluan sehari-hari. 3. Rasio Tabungan/Saving Rate 2. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (RTP) 1. Kepemilikan Aset 0 Gambar 5.5. 1 2 3 Peran Masing-masing Indikator Berdasarkan Nilai Skor Indikator Domain Ekonomi di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara. f. Domain Kelembagaan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V - 14 Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap performa pengelolaan perikanan di KKPD Prov. Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi setiap indikator terhadap performa pengelolaan perikanan dari aspek kelembagaan. Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini menunjukkan bahwa nilai skor domain kelembagaan sebesar 8,8 pada skala skor 6 – 18 dengan agregat 148,5 yang termasuk dalam kategori kurang. Hasil analisis skor indicator menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain kelembagaan di KKPD prov. Sultra sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (2) kapasitas pemangku kepentingan pengelolaan perikanan, (3) mekanisme pengambilan keputusan, (4) tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, (5) kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal, dan (6) rencana pengelolaan perikanan (Gambar 4.15). Salah satu indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain kelembagaan dalam performa pengelolaan perikanan adalah rencana pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyak mendapat perhatian dari pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan kata lain kebijakan yang terkait rencana pengelolaan perikanan belum ada. 6. Kapasitas pemangku kepentingan 2 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan… 4. Rencana pengelolaan perikanan 1.5 1 3. Mekanisme pengambilan keputusan 1.5 2. Kelengkapan aturan main dalam… 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip… 1.8 1 Gambar 5.6. Peran Masing-Masing Indikator Berdasarkan Nilai Rata-Rata Skor Indikator Domain Kelembagaan WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra V - 15 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 6.1.1. Metode dan Analisa Indikator EAFM Penggunaan metode EAFM dalam mengkaji performa perikanan disuatu kaasan khususnya di kawasan konservasi mudah diterapkan dan dipahami dengan indikator yang sederhana dan mampu menggambarkan kondisi yang ada. Analisa menggunakan sistem Flag mampu memberikan dekripsi kretria stastus wilayah yang dikaji. Analisa menggunakan EAFM untuk mengkaji performa perikanan pada kawasan konservasi dengan sistem flag model perlu mengpalikasikan konektivitas untuk setiap indikator domasi lalu dibandingkan dengan tanpa konektivitas. 6.1.2. Pengelolaan Perikanan dari Hasil Kajian EAFM Hasil analisis dengan metode EAFM terhadap Performa perikanan di KKPD Sultra secara umum termasuk dalam kriteria sedang. Beberapa domain yang perlu mendapat perhatian yang serius untuk keberlanjutan status performa perikanan di KKPD Sultra yaitu; domain social, domain kelembagaan dan domain Teknik, Beberapa indikator pada setiap domain masih menunjukan skor kriteria yang rendah atau buruk sehingga indicator ini yang menjadi focus rencana program berikutnya, 6.2. Rekomendasi 6.2.1. Metode dan Analisa Indikator EAFM Perlu ada keseragaman penerapan metode dan anlisa indikator EAFM untuk semua kawasan konservasi didaerah lain sehingga keluar satu model EAFM untuk kawasan konservasi perairan. Perlu uji coba indicator setiap domain pada kawasan konservasi yang telah di zonasi sehingga ada perlakuan yang berbeda antara setiap zonas serta kemungkinan ada perbedaan indicator antar zona KKPD Perlu adanya perbaikan pendataan statistik perikanan yang dapat mendukung pelaksanaan analisis EAFM di kawasan KKPD WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra VI - 1 Perlu adanya penguatan sumberdaya manusia di lingkup DKP dan masyarakat khususnya yang bersinggungan dnagn KKPD dalam pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. 6.2.2. Pengelolaan Perikanan dari Hasil Kajian EAFM Perlu adanya perbaikan pada domain sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem dan domain kelembagaan Skala prioritas perlu dilakukan segera terhadap domain teknik penangkapan ikan dan domain sosial Rancangan perbaikan setiap indicator harus sudah tercover didalam perencanaan kegiatan DKP Provinsi maupun kabupaten Danya monitoring secara berkala khususnya kegiatan-kegiatan penagkapan ikan maupun aktivitas lainnya yang ada di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD)Sultra. WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra VI - 2 Referensi Anonim., 2014. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan (EAFM). National Working Group on Ecosystem Approach to Fisheries Management, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.Jakarta Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press. Anonim, 2006. Studi basline ekologi Kabupaten Wakatobi. CRITC-LIPI. Jakarta Abdullah, 2011. Koosisi jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap payang di perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi Jurusan Periknan FPIK. Universitas Haluoleo. Kendari Alfajar, 2013. Studi kesesuaian jenis untuk perencanaan Rehabilitasi ekosistem angrove di Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari Balai Taman Nasional Wakatobi, 2009. Buku Informasi Taman Nasional Wakatobi. Bau-Bau Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Konawe. 2016. Statistik Perikanan 2015. DKP Kab. Konawe. DKP Kabupaten Konawe.2015. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Konawe,Unaaha DKP Kabupaten Konawe Selatan, 2016. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Konawe Selaan, Andoolo DKP Prov. Sultra, 2014. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari Bapped Konawe Selatan. 2011. Masterplan Kawasan Minapolitan Kabupaten Konawe Selatan. Andoolo. DKP Propinsi Sulawesi Tenggara. 2016. Statistik Perikanan Tangkap Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2015. Kendari. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi Tenggara. DKP Provinsi Sultra, 2012. Identifikasi dan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 1 DKP Provinsi Sultra, 2014. Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari DKP Provinsi Sultra, 2015. Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari Fitria, 2013. Studi kelayakan lokasi karamba jaring apung (KJA) Dalam budidaya ikan kerapu (epinephelus spp.) Di Perairan Desa Wawatu Kabupaten Konawe Selatan. . Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari Siringiringo R. M., Palupi,R. D., Hadi, T. A., 2012. Biodiversitas Karang Batu (Scleractinia) di Perairan Kendari. Jurnal Ilmu Kelautan. LIPI. In Jakara Plagányi,E., 2003. Models for an ecosystem approach to fisheries.. FAO Fisheries Technical Paper. University of Cape Town South Africa. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome. FAO, 1997. Fisheries Management .Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome. FAO, 2003. Fisheries Management . The ecosystem approach to fisheries. Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Food And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome. Fletcher, R., 2008. A Guide to implementing an Ecosystem approach to fisheries management (EAFM) for tuna fisheries of the Western and Central Pacfic Region. Pacific Islands Forum Fisheries Agency Honiara. Solomon Islands. Gracia, S.M. and Cochrane, K.L 2005. Ecosystem Approach to Fisheries : A Review of Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences Ramli M. 2012. Kontrib usi Ekosistem Mangrove sebagai Pemasok Makanan Ikan Belanak (Liza subviridis) di Perairan Panta i Utara Konawe Selata n Sulawesi Tenggara. [Disertasi] tidak dipublikasikan. Bogor. Sekolah Pascasar jana IPB WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 2 Lampiran Lampiran 1. Tabel Hasil Analisis Domain Habitat dan Ekosistem INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kualitas perairan KRITERIA 1= tercemar; 2=tercemar sedang; 3= tidak tercemar Tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan 1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi 2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang; 3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah Satuan NTU Eutrofikasi 1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; terjadi eutrofikasi; 2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; potensi terjadi eutrofikasi; DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI Parameter kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu Perairan. 57,4 % responden mengatakan daerah tempat tinggal tercemar sedang dan 42,6% tidak tercemar 2 20 1 33,3 Nilai kekeruhan yang terukur di perairan Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara adalah 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang (BLH Prov Sultra, 2016). Hasil analisa data primer 2016 konsentrasi klorofil berkisar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, 2016 berkisar 0,68 - 2,72 mg/m3 1 Nilai tutupan lamun dapat dilihat di kawasan KKPD khususnya Teluk Staring berkisar 10 - 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016) 3 15 2 37,5 Nilai keanekaragaman atau jumlah spesies lamun di kawasan KKP Sultra sebanyak 5 jenis (KKPD Prov. Sultra, 2016) 2 Kerapatan mangrove di pesisir wilayah KKPD berkisar 1400-5000 ind/ha. (KKPD 2 15 3 30 2 3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l tidak terjadi eutrofikasi 2. Status ekosistem lamun Luasan tutupan lamun. 1=tutupan rendah, 29,9%; 2=tutupan sedang, 30-49,9%; 3=tutupan tinggi, 50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1), jumlah spesies < 3 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3), jumlah spesies 3-7 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3), jumlah spesies > 7 3. Status ekosistem Kerapatan, nilai penting, perubahan luasan dan jenis 1=tutupan rendah, < 50%; WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 1 INDIKATOR mangrove DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA mangrove 2=tutupan sedang, 3=tutupan tinggi, DATA ISIAN 50 - < 75%; SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI 15 4 26,5 15 4 15 Sultra, 2016 75 % 1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan <50%; 2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan 50-75%; Keanekaragam ekosistem mangrove mencapai yaitu pohon 1,7683 (KKPD Sultra, 2016). kriteria keanekaragaman mangrove mencapai kriteria sedang 2 Putupan karang hidup yang terukur di kecaatan Laonti rata-rata berkisar 27% sedang di kecamatan Moramo = 25% (KKPD, 2012). Di pulau Lara tutupan karang hidup mencapai 64,82% (Adi, dkk 2012), Teluk Stairng = 29,6 - 70,48 (KKP, 2012) nilai keanekaragaman di Teluk Wawatu 3,64 dengan jumlah jenis karang batu = 51 jenis. (Siringiringo, 2012) 2 3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan >75% 4. Status ekosistem terumbu karang > Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover). 1=tutupan rendah, <25%; 2=tutupan sedang, 25-49,9%; 3=tutupan tinggi, >50% 1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1); 2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau 1<H’<3); 2 3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3) 1= luasan mangrove berkurang dari data awal; 2= luasan mangrove tetap dari data awal; 3= luasan mangrove bertambah dari data awal 5. Habitat unik/khusus Luasan, waktu, siklus, distribusi, dan kesuburan perairan, spawning ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach 1 = INP rendah (< 100); 2 = INP sedang (100-200); 3 = INP tinggi (>200) 1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus; 2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak dikelola dengan baik; Informasi dari 90 % responden mengatakan bahwa luas mangrove di kawasan ini telah berkurang dari luas awal akibat di konversi dan sebagai bahan konstruksi INP mangrove dari setiap jenis berkisar 17300 (Muh.Ramli 2012) dan antara 16,84 300 (KKPD Sultra, 2016) Menurut informasi dari masyarakat hingga saat ini telah di ketahui adanya habitat khusus tempat pemijahan lobster, rajungan dan ikan kakap namun belum berdasarkan hasil kajian 1 2 1 3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan dikelola dengan baik WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 2 INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR BOBOT (%) RANKING NILAI Produktivitas estuari berdasarkan kelimpahan phytoplankton = 10.125 - 24.300 ind/l yang tergolong tinggi (KKPD Sultra, 2014) 3 10 5 30 1 10 6 10 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi 6. Status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya 7. Perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat Tingkat produktivitas perairan estuar Untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat 1=produktivitas rendah; 2=produktivitas sedang; 3=produktivitas tinggi > State of knowledge level : 1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan iklim; 2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi; 3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi Berdasarkan pengamatan secara kualitatif dan informasi dari masyarakat bahwa di kawasan ini terkena dampak perubahan iklim khsuusnya pada ekosistem pesisir namun hingga saat ini belum ada strategi dan mitigasi untuk mengaadapi hal teresebut 1 > state of impact (key indicator menggunakan terumbu karang): 1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching >25%); 2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching 5-25%); Infromasi dari responden mengatakan bahwa di kawasan terumbu karang mengalami pemutihan, kondisi ini diduga merupakan dampak dari perubahan iklim, khususnya pada kedalaman kurang dari 7 meter 3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g coral bleaching <5%) RERATA 1,9 TOTAL TOTAL 100 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 197,08 3 Lampiran 2. Tabel Hasil Analisis Domain Sumberdaya Ikan INDIKATOR 1. CPUE Baku KRITERIA 1 = menurun tajam (rerata turun > 25% per tahun) 2 = menurun sedikit (rerata turun < 25% per tahun) 3 = stabil atau meningkat 2. Tren Ukuran ikan 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap 1 = trend ukuran rata-rata ikan yang ditangkap semakin kecil; 2 = trend ukuran relatif tetap; 3 = trend ukuran semakin besar 1 = banyak sekali (> 60%) 2 = banyak (30 - 60%) DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG 57,8% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 42,2% menyatakan sama saja. CPUE rata2 saat ini 39 kg/trip/unit kapal. Kerapatan Ikan Karang di Labuan Beropa Menurun dari 1,9 ind/m2 tahun 2010 menjadi 0,76 ind/m2 tahun 2014 (menurun 20,8% per thn) 6,6 7% responden menyatakan ukuran hasil tangkapan cenderung lebih kcil dan dan 82,26% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja 67,74% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 32,26% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 37,35 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kembung menurun 56% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014) 100% responden tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur 59% % responden mengatakan bahwa 30 -40% ikan yang tertangkap belum bertelur, 31% respondentidak mengetahui dan 10% telah bertelur 88,89% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak dan 6,67% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Labuan Beropa ikan target hanya 40,36% (Minsaris 2014) 91,94% responden menyatakan ikan target lebih banyak tertangkap, 8,06% menyatakan target lebih sedikit. Hasil penelitian di Tel.Staring pada alat tangkap payang 35,3 - 46,7 % merupakan ikan target (Abdullah, 2011) 67,74% responden menyatakan semakin sulit medapatkan lokasi penangkapan ikan dan 3 = sedikit (<30%) 4. Komposisi spesies 5. "Range Collapse" sumberdaya ikan 1 = proporsi target lebih sedikit (< 15% dari total volume) 2 = proporsi target sama dgn non-target (16-30% dari total volume) 3 = proporsi target lebih banyak (> 31 % dari total volume) 1 = semakin sulit, tergantung spesies target 2 = relatif tetap, tergantung spesies target 57,78% responden menyatakan semakin sulit mencari lokasi penangkapan dan 42,22% lainnya 17,74% responden menyatakan trend ukuran ikan hasil tangkapan semakin kecil dan 82,26% responden menyatakan sama saja DATA ISIAN IKAN KUWE 54,55% responden menyatakan bahwa hasil tangkapan per trip mengalami penurunan dibanding 5 tahun yang lalu, 45,45% menyatakan sama saja. CPUE rata-rata saat ini 23,9 kg/trip/unit kapal. Produksi ikan kuweh meningkat 17% antara tahun 2009 dan 2013 (DKP Provinsi 2014) 100% responden menyatakan ukuran ikan hasil tangkapan relatif sama saja 2.0 BOBO T (%) 40 1.3 20 2 26.67 89% responden mengatakan bahwa proporsi ikan yang belum bertelur dengan ikan dewasa berimbang, 11% responden sedikit ikan bertelur 84,85% responden menyatakan proporsi ikan target lebih banyak 1.7 15 3 25 3.0 10 4 30 54,55% responden menyatakan semakin sulit mencari lokasi penangkapan 1.0 5 5 5 SKOR WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra RKG NILAI 1 (Killer Indica tor) 80 4 INDIKATOR KRITERIA 3 = semakin mudah, tergantung spesies target 1 = fishing ground menjadi sangat jauh, terg. spesies target 2= fishing ground jauh, terg. spesies target 6. Spesies ETP 3= fishing ground relatif tetap jaraknya, terg. spesies target 1= > 1 tangkapan spesies ETP; 2 = 1 tangkapan spesies ETP; 3 = tidak ada spesies ETP yang tertangkap 7. Densitas/ Biomassa untuk ikan karang & invertebrata DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG menyatakan relatif sama saja 32,26% responden menyatakan relatif sama 69,35% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dan 30,65% responden menyatakan relatif sama saja 75,5% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dan 24,4 sisanya menganggap sama saja 91,9 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang tertangkap dan 8,89% responden menyatakan ada 1 spesies. WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies ETP yang tertangkap Kelimpahan ikan karang di Teluk stairng Kabupaten Konawe berkisar 0,4 - 2,9 ind/m3 98,39 % responden menyatakan tidak ada spesies ETP yang tertangkap dan 1,61% responden menyatakan ada 1 spesies. WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies ETP yang tertangkap DATA ISIAN IKAN KUWE dan 45,45% responden menyatakan relatif sama 63,6% responden menyatakan fishing ground semakin jauh dalam beberapa tahun terakhir dan 36,3% lainnya menyatakan sama saja 93,94% menyatakan tidak ada Spesies ETP yang tertangkap dan 6,06% menyatakan 1 spesies) WWF,( 2015) ada 3 jenis spesies ETP yang tertangkap SKOR BOBO T (%) 1.0 8 1.3 5 RKG NILAI 6 6.66666 67 1 RERATA 2 TOT AL TOTA L 105 175.3 3 1.5 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 5 Lampiran 3. Tabel Hasil Analisis Domain Teknologi Penangkapan Ikan INDIKATOR KRITERIA 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal 1=frekuensi pelanggaran > 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 510 kasus per tahun ; 3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. 1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm ; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm 3 = <25% ukuran target spesies < Lm 3. Kapasitas 1 = Rasio kapasitas penangkapan Perikanan dan < 1; Upaya Penangkapan 2 = Rasio kapasitas penangkapan (Fishing Capacity = 1; and Effort) 3 = Rasio kapasitas penangkapan >1 4. Selektivitas 1 = rendah (> 75%) ; penangkapan 2 = sedang (50-75%) ; 3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat tangkap yang tidak selektif) 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal 1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tidak sesuai dengan dokumen legal); 3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%) sampel tidak sesuai dengan dokumen DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWEH Terdapat 8 orang (17,8%) responden menyatakan masih terjadi penggunaan bahan peledak dengan kisaran 24-300 kali pertahun. Fishing ground meliputi P.Hari, P.Saponda, P.Bokori, Tg.Tiram dan Tel. Staring Terdapat 8 orang (12,9%) responden menyatakan terjadi penggunaan bom dengan intensitas 3-100 kali pertahun. Fishing Ground P.Hari, P.Saponda, Tambeanga, Tambolosu, P.Lemo dan Tg.Tiram Terdapat 4 orang (12,1%) responden menyatakan masih terjadi penggunaan bahan peledak dengan intensitas 24-100 kali per tahun. Fishing Ground P. Hari, P.Saponda, Labuan Beropa 81% ikan karang yang tertangkap telah mencapai ukuran pertama matang gonad (Minsaris, 2014) 84% ikan ukuran ikan yang tertangkap umunya berkisar 9 17,4 cm sementara Lm ikan kembung 17,6 cm (www.fishbase.org) 84 % hasil tangkapan dibawah ukuran Lm (6 - 13,2 cm) sedangkan ukuran Lm = 13,8 cm utk jenis Sardinella fimbriat (Abdullah, 2011) 1.7 25 2 41.7 Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,71 Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 0,96 Rasio Kapasitas Penangkapan adalah 1,03 1.3 15 3 20.0 Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6 jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer, 2016) Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6 jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer, 2016) 2.0 15 4 30.0 Ukuran kapal relatif kecil dan tidak membutuhkan dokumen untuk kapal penangkapan ikan karang Semua sampel kapal penangkapan memiliki spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang) Terdapat 4 jenis alat tangkap ikan yang tidak selektif dari 6 jenis alat tangkap yang beroperasi di KPPD Sultra sehinggga PS = 66,7% sehingga ektivitasnya kategori sedang (Data Primer, 2016) Semua sampel kapal penangkapan memiliki spesifikasi kapal penankapan ikan sesuai dengan kelengkapan dokumennya (Purse seine dan payang) SKOR BOBOT (%) 1.0 30 2.0 RKG NILAI 1 (Kill er Indic ator) 30 10 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 5 20.0 6 INDIKATOR KRITERIA DATA ISIAN IKAN KARANG DATA ISIAN IKAN KEMBUNG DATA ISIAN IKAN KUWEH Semua respoden tidak memiliki sertifikat kecakapan Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi kecakapan sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki sertifikasi kecakapan Hanya Nahkoda yang memiliki sertifikasi kecakapan sedangkan anak buah yag lain tidak memiliki sertifikasi kecakapan SKOR BOBOT (%) RKG NILAI 1.0 5 6 5.0 RERATA 1.5 TOTAL 100 legal 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. 1 = Kepemilikan sertifikat <50%; 2 = Kepemilikan sertifikat 5075%; 3 = Kepemilikan sertifikat >75% WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra TOTAL 146,7 7 Lampiran 4. Tabel Hasil Analisis Domain Sosial INDIKATOR 1. Partisipasi pemangku kepentingan DEFINISI/ PENJELASAN Keterlibatan pemangku kepentingan KRITERIA 1 = kurang dari 50%; 2 = 50-100%; 3 = 100 % 2. Konflik perikanan 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Resources conflict, policy conflict, fishing gear conflict, konflik antar sector. 1 = lebih dari 5 kali/tahun; 2 = 2-5 kali/tahun; Pemanfaatan pengetahuan lokal yang terkait dengan pengelolaan perikanan 1 = tidak ada; 3 = kurang dari 2 kali/tahun 2 = ada tapi tidak efektif; 3 = ada dan efektif digunakan BOBOT RANKING (%) IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR Pengelolaan perikanan tangkap masih merupakan Domain Bidang perikanan tangkap DKP sehingga partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya parial belum jelas, (DKP Sultra, 2016) Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek yang hanya berkaitan dengan tupoksi masingmasing bidang 1.0 40 1 40.0 Hasil wawancara 4,4 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fising ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bom, bius dengan frekuensi lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016) 20,97 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fishing ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bagan rambo serta rumpon sebagai alat bantu lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016) Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit Partispasi pemangku kepentingan di tandai dengan keikutsetaan setiap kegiatan pelatiahn, workshop maupun bintek yang hanya berkaitan dengan tupoksi masing-masing bidang 6,1 % responden mengatakan adanya konflik pemanfaatan fising ground dan kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan rumpon sebagai alat bantu maupun bom lebih dari 5 kali (DKP Prov, 2016) 1,0 35 2 35 Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit 1.0 25 3 25 Semua responden di lokasi survei mengatakan tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan krn sdh sering ada penyuluhan dan menangkap ikan saat ini sdh semakin sulit RERATA 1,0 TOTAL TOTAL 100 100 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra NILAI 8 Lampiran 5. Tabel Hasil Analisis Domain Ekonomi INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN 1. Kepemilikan Aset Perubahan nilai/jumlah aset usaha RTP cat : aset usaha perikanan atau aset RT. 2. Pendapatan rumah tangga (RTP) Pendapatan total RTP yang dihasilkan dari usaha RTP 3. Rasio Tabungan (Saving ratio) menjelaskan tentang rasio tabungan terhadap pendapatan bersih KRITERIA BOBOT RANKING (%) IKAN KARANG IKAN KEMBUNG IKAN KUWEH SKOR 1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ; 2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%); 3 = nilai aset bertambah (di atas 50%) 1= kurang dari ratarata UMR, 2= sama dengan rata-rata UMR, 3 = > rata-rata UMR Dalam 1 tahun terakhir seluruh responden menyatakan ada peningkatan aset usaha perikanan maupun aset rumah tangga, tetapi <50% Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%) Mayoritas responden memiliki nilai aset tetap (kurang dari 50%) 2,0 45 1 90 100% responde memeiliki pendapatan diatas UMR (Rp 1.690.00 – Rp. 3.400.00) Rata-rata pendapatan responden (Rp. 4.415.000 per bulan) perbulan melebih UMR regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000) 3,0 30 2 90 1 = kurang dari bunga kredit pinjaman; 2 = sama dengan bunga kredit pinjaman; 3 = lebih dari bunga kredit pinjaman SR= 46,33% - 72,79%. Besarnya bunga kredit pinjanman = 7,52 – 8,22% per September 2013 Rata-rata pendapatan responden ( Rp. 3.215.000 per bulan) melebih UMR regional Sulawesi Tenggara 2016 ( Rp 1.850.000) Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio tabungan rata-rata responden nelayan penangkap ikan karang =47,4% Suku bunga kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016), sedangkan ratio tabungan rata-rata responden nelayan penangkap ikan kembung =66,5% 3,0 25 3 75 TOTAL RERATA 2,67 TOTAL 255 100 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra NILAI 9 Lampiran 6. Tabel Hasil Analisis Domain Kelembagaan INDIKATOR DEFINISI/ PENJELASAN KRITERIA DATA ISIAN SKOR Pelanggaran terkait WPP di wilayah perairan Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan berupa pelanggaran hukum secara admistrasi kelengkapan izin terjadi lebih dari 5 kali di tahun 2016 (Bidang Pengawasan DKP Provinsi Sultra, 2017) 1 Non formal 1= lebih dari 5 informasi pelanggaran, 2= lebih dari 3 informasi pelanggaran, 3= tidak ada informasi pelanggaran 90 % reponden mengatakan bahwa pelanggaran hukum terkait WPP lebih dari 5 kali 1 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal Tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku kepentingan WPP terhadap aturan main baikformal maupun tidak formal 1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum dalam pengelolaan perikanan; 2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum; 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Sejauh mana kelengkapan regulasi dalam pengelolaan perikanan 1 = tidak ada; 2 = ada tapi tidak lengkap; 3 = ada dan lengkap Ada aturan main hanya di tingkat provinsi (Perda Pesisir, Pergub dan aturan terkai retribusi). 2 Elaborasi untuk poin 2 1= ada tapi jumlahnya berkurang; 2= ada tapi jumlahnya tetap; 3= ada dan jumlahnya bertambah Kelengkapan regulasi hingga tahun 2013 jumlahnya tetap 2 Ada atau tidak penegakan aturan main dan efektivitasnya 1=tidak ada penegakan aturan main; 2=ada penegakan aturan main namun tidak efektif; 3=ada penegakan aturan main dan efektif Penegakan hukum atau aturan main sudah diterapkan hanya saja kurang efektif 2 1= tidak ada alat dan orang; 2=ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan; 3= ada alat dan orang serta ada tindakan Intensitas kegiatan patroli dan pengawasan cukup jarang disebabkan oleh keterbatasan anggaran, hanya administrasi di kantor (Abet Abdullah 2017) 1 1= tidak ada teguran maupun hukuman; 2= ada teguran atau hukuman; 3=ada teguran dan hukuman Tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan (POL AIR, 2017) 2 3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum BOBOT (%) 26 25 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra RANKING NILAI 1 26 2 40 10 INDIKATOR 3. Mekanisme pengambilan keputusan DEFINISI/ PENJELASAN Ada atau tidaknya mekanisme pengambilan keputusan (SOP) dalam pengelolaan perikanan KRITERIA DATA ISIAN SKOR Belum ada SOP namun terdapat mekanisme pengambilan keputusan terkait pengelolaan perikanan tapi belum efektif (DKP Provinsi Sultra, 2017) 2 1= ada keputusan tapi tidak dijalankan; 2= ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan; 3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya Keterbatasan sarana prasarana menjadi salah satu penyebab utama tidak dijalankannya sebuah keputusan terkait pengelolaan WPP (DKP Provinsi Sultra, 2016) 1 1=belum ada RPP; 2=ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan; 3=ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya 1=konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga berbeda kepentingan); KKPD Sulawesi Tenggara belum meiliki legalitas tentang RPP KKPD Sultra. (Provinsi Sultra, 2016) 1 Koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing lembaga memiliki kepentingan berbeda 1 Kurang Koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang tidak saling mendukung terkait kebijakan (Tahalim, 2016) 2 Bimbingan teknis dan pembinaan sudah dilakukan namun tidak berkesinambungan sesuai dengan peruntukan (politik dominan) (POL AIR, 2016) 1=tidak ada mekanisme pengambilan keputusan; 2=ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif; BOBOT (%) 18 RANKING NILAI 3 18 15 4 15 11 5 16,5 2 5 6 10 RERATA TOTAL 3=ada mekanisme dan berjalan efektif 4. Rencana pengelolaan perikanan Ada atau tidaknya RPP untuk wilayah pengelolaan perikanan dimaksud 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan Semakin tinggi tingkat sinergi antar lembaga (span of control-nya rendah) maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik Semakin tinggi tingkat sinergi antar kebijakan maka tingkat efektivitas pengelolaan perikanan akan semakin baik 6. Kapasitas pemangku kepentingan Seberapa besar frekuensi peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem 2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif; 3 = sinergi antar lembaga berjalan baik 1= terdapat kebijakan yang saling bertentangan; 2 = kebijakan tidak saling mendukung; 3 = kebijakan saling mendukung 1=tidak ada peningkatan; 2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian yang didapat tidak sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 3 = ada dan difungsikan (keahlian yang didapat sesuai dengan fungsi pekerjaannya) 1,54 TOTAL 100 WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra 148,50 11