Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan Di KKPD Sultra

advertisement
25 Oktober 2016
Penilaian Performa
Pengelolaan Perikanan Di
KKPD Sultra menggunakan
Indikator EAFM
Provinsi Sulawesi Tenggara
FPIK
UNIVERSITAS HALUOLEO
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Konservasi perairan merupakan salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya yang
bertujuan untuk memberikan kesejahteraan sosial, ekonomi, dan lingkungan bagi
masyarakat. Pemerintah Indonesia telah mengatur konservasi perairan ini dalan UU No.
31/2004 dan UU No. 27/2007 serta turunannya masing-masing. Pemerintah Indonesia
berkomitmen untuk membuat 20 Juta Ha kawasan di tahun 2020. Di akhir tahun 2012,
Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyebutkan angka pencapaian hingga 16
juta Ha (atau 80% dari target 2020). Penetapan kawasan konservasi perairan dilakukan
dengan Keputusan Menteri (KEPMEN). Terlepas dari itu, pemerintah daerah masih
diharapkan untuk dapat lebih proaktif dalam upaya mencadangkan dan mengelola
kawasan konservasi perairan daerah masing-masing sehingga Indonesia dapat lebih
menjamin keberlanjutan sumberdaya kelautan dan perikanan.
Tujuan penetapan kawasan konservasi ; (1) melindungi dan melestarikan sumber
daya ikan serta tipe tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi
ekologisnya; (2) mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan
secara berkelanjutan; (3) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan
konservasi.
Pada Tahun 2014, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara telah melakukan
pencadangan Kawasan Konservasi Sultra seluas 10.371,78 Ha sebagai Kawasan Taman
Wisata Perairan (TWP) melalui Surat Keputusan Gubernur nomor : 324 Tahun 2014,
yang terdiri dari: (1) Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan seluas
8.700,04 Ha; (2) Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe seluas 1.295,67; dan (3)
Kawasan perairan pesisir Kota Kendari seluas 376,07 Ha. Dalam perkembangannya,
KKPD yang telah dicadangkan mengalami perubahan dengan Surat Keputusan
Gubernur Sulawesii Tenggara Nomor 98 Tahun 2016 dengan penambahan luas kawasan
sebesar 11.414,36 Ha sehingga total luas keseluruhan mencapai 21.786,14 Ha.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
I-1
Penetapan KKPD Sultra didasarkan keberadaan kawasan tersebut yang sebagai
besar berada di kawasan Teluk Staring dengan beberapa pulau-pulau kecil yang tersebar
dengan karakteristik sebagai berikut :
Kawasan Konservasi Perairan daaerah Sultra potensial Sumber Plasma nufta
Kelautan/ perikanan
Pada kawasan tersebut sebagai daerah penangkapan ikan karena tonsentrasi ikan
pelagis kecil dan ikan dermersal
Kawasan tersebut memiliki potensi ekologi; ekosistem mangrove, ekosistem
terumbu karang, padang lamun, ekosistem estuary, ekosistem teluk.
Memiliki beberapa anak teluk (sekitar 12 buah) yang berpotensi sebagai nursery
ground
Mengalair beberapa sungai dan anak sungai sebagai pensuplai hurun hara
Pada kawasan tersebut terdapat indikasi sebagai daerah pemijahan ikan kakap,
lobster, ikan teri dan rajungan.
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sulawesi Tenggara menempati perairan di 3
wilyah adminstrasi yaitu Kabupaten Konawe yang meliputi Keamatan Soropia, Kota
Kendari meliputi Kecmatan Kendari, Kendari Barat, Poassia dan Kecamatan Abeli dan
Kabupaten Konawe Selatan yang meliputi Kecamatan Moramo, Moramo Utara dan Laonti.
Seperti KKPD lainnya kawasan ini memiliki pateni sumberdaya yang dapat dimanfaatkan
untuk mendukung kesejateraan masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar kawasan
itu. Manfaat konservasi telah nyata meningkatkan produksi perikanan tangkap,
utamanya berhubungan dengan proses-proses biofisik seperti spill-over, ekspor
spesies ikan dewasa maupun benih ke daerah penangkapan ikan, ekspor larva ikan
dari tempat pemijahan yang tersedia sebagai stok perikanan, sehingga mampu
mencegah kolaps tangkapan.
Pengelolaan kawasan konservasi perairan menjadi kompleks karena bukan saja
terfokus pada kawasannya tapi juga terhadap sumberdaya yang ada di dalam kawasan
tersebut. Untuk mengola KKPD sebagai suatu kawasan yang berkelanjutan dalam
pengeloaan sumberdaya yang ada di dalamnya maka pengelolaannya akan dilakukan
dengan system zonasi. Sedangkan status pengelolaan terhadap sumberdaya yang dapat
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
I-2
dimanfaatkan oleh masyarakat (sumberdaya ikan) tersebut maka harus diloakukan secara
komprehensip yang meliputi keterpaduan pengelolaan antar sumberdaya, lingkungan,
sarana prasarana, masyarakat maupn manajemen. Salah satu model pengeloaan yang saat
ini telah diakembangkan untuk mengintegrasikan unsur-unsur tersebut adalah model
pengeloaan pengeloaan perikanan dengan pendekatan eksositem (EAFM) dimana model
tersebut merupakan hasil pengembangan dari model pengeloaan sebelumnya. Adanya
pengeloaan dengan model EAFM tersebut pada kawasan konservasi perairan maka status
keberlanjutan sumberdaya daya ikan dan unsur-unsur pendukungnya dapat diketahui dan
dimplementasikan.
Prinsip pengelolaan perikanan dikawasan konservasi perairan dengan model EAFM
adalah sebagai berikut :
(1) perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat
ditoleransi oleh ekosistem;
(2) interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga;
(3) perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya
ikan;
(4) prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan;
(5) tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia
Oleh karena itu kawasan konservasi perairan yang telah ditetapkan harus dikelola
secara bijaksana khususnya denagn model EAFM dalam memanfatkan sumberdaya ikan
yang terdapat didalamnya. Implementasi EAFM dapat dilakukan dengan berpedoman pada
perangkat domaian dan indikator EAFM sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai
performa pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis
ekosistem di kawasan konservasi perairan. Melalui kajian EAFM yang bersifat
komprehensif, meliputi domain Sumberdaya ikan, Teknologi Penangkapan, Habitat dan
ekosistem, Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan diharapkan dapat menggambarkan performa
pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang diterapkan di kawasan konservai perairan
daerah Sulawesi Tenggara.
Penilaian EAFM merupakan salah satu alat pengukur dalam melihat kondisi
pengelolaan perikanan disuatu daerah, terdapat 6 Domain yang terdiri atas 31 indikator.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
I-3
Melalui analisis indikator EAFM ini, diharapkan dapat memeberikan gambaran status dan
kondisi perikanan, di kawasan konservasi perairan sebagai baseline data bagi pemerintah
maupun bagi pemerintah Provinsi Sulawesii Tenggara baik itu di KKP pusat dan Dinas
Perikanan setempat sebagai dasar pengelolaan perikanan untuk mendukung kesejahteraan
masyarakat pesisir khususnya yang bermukim dan memanfaatkan sumvberdaya perikanan
di kawasan konservasi perairan daerah dan sekitarnya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas WWF-South East Sulawesi Sub Seascape
program akan dilaksanakan kegiatan survei lapangan untuk mengumpulkan infromasi
terkini perihal data indikator baik data primer maupun sekunder untuk melihat performa
pengelolaan perikanan dikawasan konservasi perairan daerah sebagai base line data untuk
kebutuhkan pengelolaan selanjutnya.
Data yang terkumpul akan dianalisis oleh tim ahli (FPIK-UHO) dan dibuat dalam
bentuk laporan hasil. Selanjutnya laporan hasil ini akan di sosialisasikan kepada jajaran
SKPD terkait khususnya di tiga Kabupaten keberadaan kawasan konservasi perairan
daerah untuk membahas kondisi terkini dari performa pengelolaan perikanan kawasan
yang dikasud. Diharapkan dalam diskusi nanti dapat membangun kesepahaman bersama
terhadap pengelolaan perikanan berbasis ekosistem yang bersinergi antar lembaga dalam
mewujudkan perikanan yang berkelanjutan di kawasan konservasi perairan daerah
Sulawesi Tenggara.
1.2.
Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan kajian dan analisis base line
performa pengelolaan perikanan di Kawasan konservasi Perairan darha Provinsi
Sulawesi Tenggara melalui
indikator-indikator
pengelolaan perikanan dengan
pendekatan metode EAFM
1.3.
Hasil
Adapun hasil yang diharapkan dari pertemuan ini adalah ; memberikan gambaran
awal mengenai penilaian dan penerapan indikator EAFM pada pengelolaan perikanan
di Kawasan konservasi Perairan daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dan memberikan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
I-4
rekomendasi tentang keterkaitan penerapan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah
serta adanya rekomendasi perbaikan metode dan analisa indikator EAFM
untuk
kawasan konservasi perairan.
1.4.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup kegiatan adalah mengevaluasi dan membahas kondisi awal performa
pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) kawasan konservasi
perairan Sulawesi sebagai base line data dalam pengelolaan selanjutnya. Dan
dihasilkannya perencanaan kerja dalam usaha meningkatkan Performa Pengelolaan
Perikanan Berbasis Ekosistem (EAFM) di kawasan konservasi perairan khususnya KKPD
Sulawesi Tenggara.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
I-5
BAB II
KONDISI PERIKANAN DI KKPD SULTRA
2.1. Profil KKPD Sultra
Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu
seluas 21.786,14 Ha (dua puluh satu ribu tujuh ratus delapan puluh enam koma empat
belas hektar), yang terdiri dari :
1). Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe Selatan seluas 20.114,40 Ha (dua
puluh ribu seratus empat belas koma empat puluh hektar), dengan batas dan titik
koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini.
2). Kawasan perairan pesisir Kabupaten Konawe seluas 1.295,67 Ha (seribu dua ratus
sembilan puluh lima koma enam puluh tujuh hektar), dengan batas dan titik
koordinat sebagaimana peta tercantum dalam lampiran keputusan ini.
3). Kawasan perairan pesisir Kota Kendari seluas 376,07 Ha (tiga ratus tujuh puluh
enam koma nol tujuh hektar), dengan batas dan titik koordinat sebagaimana peta
tercantum dalam lampiran keputusan ini.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
II - 1
Gambar 2.1. Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara
2.2. Profil Perikanan Tangkap KKPD Sultra
Kawasan Konservasi Perairan Daerah Sulawesi Tenggara memiliki potensi
perikanan tangkap di 3 wilayah administrasi yaitu Kota Kendari, Kabupaten Konawe dan
Konawe Selatan masih cukup besar. Hal ini disebabkan karena kawasan ini menempati
kawasan perairan seluas 21.114,40 ha dengan panjang pantai yang cukup panjang dan
terdapat banyak pulau-pulau kecil dan berhadapan langsung dengan Laut Banda yang
terkenal akan berbagai jenis ikan yang berekonomis tinggi seperti ikan tuna, cakalang,
tongkol, layang, tenggiri dan kembung serta berbagai jenis ikan karang seperti ikan kerapu
dan kakap.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
II - 2
Pemanfaatan KKPD sebagai daerah penangkapan ikan umumnya dilakukan oleh
nelayan tradisional yang bermukim di wilayah pesisir kawasan tersebut dengan
menggunakann berbagai macam malat tangkap ikan, antara lain pancing, gill net, sero,
payang, mini purse seine dan bagan. Keberadaan KKPD sebagai daerah penangkapan ikan
sudah lama dilakukan nelayan sebelum status kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan
konservasi perairan sehingga sebagian besar masyarakat belum memahami sepenuhnya
fungsi kawasan konservasi tersebut. KKPD sebagain besar perairannya menempat wilayah
administrasi Kabupaten Konawes Selatan yang terdiri dari Kecamatan Moramo Utara,
Kecamatan Moramo dan Kecamatan Laonti yang sekaligus juga berada di kawasan Teluk
Staring. Sedangkan KKPD yang berada di wilayah Kabupaten Konawe hanya kecematan
Soropia namun memiliki jumlah nelayan terbesar khsusnya di Desa Sampnda dan Saponda
Laut serta Wilayah adminstrasi Kota Kendari yang terdiri dari beberapa kecamatan namun
tidak berbatasan langsung dengan KKPD tetapi sebagain nelayannya memanfaatkan
KKPD sebagai daerah penangkapan.
Kawasan KKPD Sultra ini memiliki kekayaan dan keanekaragaman hayati
(biodiversity) yang sangat besar seperti sumberdaya ikan, terumbu karang, mangrove dan
padang lamun. Selain itu, terdapat pula jasa-jasa lingkungan kelautan yang dapat
dikembangkan seperti jasa pariwisata bahari dan jasa transportasi laut. Aktifitas yang
berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan KKPD cukup padat.
Mayoritas masyarakat yang menghuni sekitar kawasan ini menggantungkan hidupnya
melalui sumberdaya perikanan yang terdapat di dalamnya.
Aktifitas pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlangsung di kawasan KKPD
Sulawesi Temggara
adalah perikanan skala kecil dan menengah. Dengan demikian,
kapasitas penangkapan masing-masing nelayan masih skala kecil dan menengah pula.
Kapasitas kapal penangkap ikan yang beroperasi di kawasan KKPD ini bervariasi mulai
dari kapasitas 0,5 GT hingga 27 GT. Sebagian besar kapal-kapal yang beroperasi di
kawasan KKPD sebenarnya adalah kapal-kapal dengan kapasitas di bawah 5 GT (< 5GT).
Jenis kapal dengan kapasitas ini antara lain, sampan, body batang dan jolor. Adapun kapalkapal dengan kapasitas di atas 5 GT (> 5 GT) hingga 27 GT, daerah pengoperasian
sebenanrnya adalah diluar kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, misalnya di perairan laut
banda, laut arafura dan perairan perikanan skala besar lainnya. Namun, terkadang pada
waktu atau musim-musim tertentu kapal-kapal tersebut menangkap juga di kawasan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
II - 3
KKPD. Umumnya kapal-kapal dengan kapasitas tersebut adalah nelayan andong atau
nelayan pendatang dari luar sulawesi tenggara.
Beberapa nelayan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masih menggunakan
peralatan penangkapan ikan yang tradisional dan beberapa lainnya sudah menggunakan
teknologi modern, serta beberapa juga memadukan antara peralatan tradisional dan
modern. Secara keseluruhan, jenis-jenis alat penangkapan ikan (fishing gear) yang
dioperasikan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara antara lain: Jaring Insang (gill net),
Mini Purse Seine, Purse Seine, Bagan, Payang, Pancing Rawai, Pole and Line, Pancing
Kedo-kedo, Sero, Bubu Rajungan, Rawai, Pancing Ulur, Pancing Gurita, Pancing Tonda,
Panah (Speargun) dan Pancing Bambu. Tidak semua alat tangkap tersebut berasal atau
digunakan oleh masyarakat sekitar kawasan KKPD. Beberapa alat tangkap ikan seperti
bagan, payang, mini purse seine dan purse seine adalah alat tangkap yang dioperasikan
oleh nelayan pendatang (nelayan andong) dari luar kawasan KKPD bahkan dari luar
sulawesi tenggara (nelayan dari sulawesi selatan). Kondisi ini seringkali menimbulkan
konflik antara nelayan setempat dengan nelayan andong, karena beroperasinya nelayan
andong ini dapat menyebabkan turunnya hasil tangkapan nelayan setempat yang hanya
memiliki kapasitas penangkapan yang kecil.
Potensi perikanan yang ada di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara meliputi
perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Potensi perikanan tangkap terbagi kedalam dua
kelompok ikan yaitu ikan pelagis dan ikan demersal. Terdapat tiga jenis perikanan prioritas
utama di kawasan KKPD ini yang ditangkap oleh nelayan setempat, yakni: jenis perikanan
karang, ikan-ikan kembung dan ikan putih atau kuweh. Ikan pelagis yang kebanyakan
ditangkap oleh nelayan di kawasan KKPD ini adalah jenis ikan kembung lelaki (Rastrlliger
kanagurta) dan ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachyosoma). Adapun ikan-ikan
demersal yang banyak tertangkap oleh nelayan adalah dari jenis ikan-ikan karang dan ikan
putih atau ikan kuweh. Ikan-ikan karang yang dimaksud antara lain: sunu merah, sunu
hitam, katamba, kakap merah, jenis-jenis ikan kerapu lainnya, ikan ekor kuning, biji
nangka, ikan kakatua serta banyak lagi jenis ikan karang lainnya. Terkadang hasil
tangkapan nelayan juga meliputi ikan-ikan tongkol, layang, cakalang, baby tuna, ikan
tengiri dan ikan-ikan pelagis kecil dan besar lainnya. Namun, ikan-ikan tersebut bukan
ditangkap dalam kawasan KKPD melainkan di perairan bagian luar ataupun lebih jauh dari
itu. Sementara itu, perikanan budidaya yang diusahakan oleh masyarakat di kawasan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
II - 4
KKPD Sulawesi Tenggara antara lain keramba jaring apung, keramba jaring tancap dan
budidaya kerang mutiara. Di kawasan KKPD ini juga terdapat budidaya rumput laut,
namun pengusahaan budidaya ini telah berhenti beberapa tahun belakangan disebabkan
melimpahnya hama tanaman rumput laut, misalnya penyu.
Produksi rata-rata perikanan kembung di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara
adalah sekitar 37,35 kg/trip. Sedangkan produksi rata-rata perikanan karang di kawasan
KKPD ini adalah sekitar 39,0 kg/trip. Adapun produksi rata-rata perikanan kuweh adalah
sekitar 23,9 kg/trip. Daerah penangkapan jenis perikanan karang, ikan kembung dan ikan
kuweh tersebut, yang paling sering dikunjungi nelayan adalah perairan pulau hari, tanjung
lemo, perairan pulau lara, perairan labotaone, perairan tanjung tiram, perairan saponda,
perairan labuan beropa, tanjung beropa, tanjung gomo, perairan tambeanga, perairan
tambolosu dan sekitar pulau bokori. Nelayan yang memiliki kapasitas mesin kapal yang
lebih besar dan mendukung, terkadang menangkap keluar dari kawasan KKPD hingga di
perairan wawonii, perairan buton dan perairan labengki. Selain ikan mati, pengusahaan
ikan hidup di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara ini juga ada. Beberapa rumah tangga
perikanan (RTP) yang tinggal di kawasan KKPD ini merupakan pengumpul ikan hidup.
Ikan-ikan hidup tersebut baik masih bibit seperti bibit ikan kuweh, maupun ikan-ikan
karang ukuran komersil siap jual seperti sunu merah, sunu hitam, kerapu tiger, dan jenisjenis kerapu lainnya. Jumlah pengumpul ikan hidup di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara
tidak sebanyak pengumpul ikan mati. Ikan-ikan mati dan hidup tersebut
biasanya
dipasarkan di Kota Kendari, beberapa daerah di sulawesi tenggara dan sulawesi selaatan
hingga ke pulau jawa dan Bali.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
II - 5
BAB III
METODE PENILAIAN
PENGELOLAAN PERIKANAN DI KKPD SULTRA
3.1. Waktu Pelaksanaan
Kegiatan ini akan dilaksanakan selama 3 bulan sejak bulan Juli sampai september
2016 dengan tahapan dan rencana waktu pelaksanaan sebagai berikut :
Tabel 3.1. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Penilaian Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD
Sulawesi Tenggara
Juli
Agustus
September
Kegiatan
II
IV
I
II
III
IV
I
II
III
Koordinasi Tim dan
persiapan
Identifikasi Nelayan dan
lokasi kegiatan
Pengumpulan data
Tabulasi data
Analisis Data
Penyusunan laporan
Sosialisasi hasil
3.2.
Lokasi Kegiatan
Lokasi pelaksanaan Evaluasi performa pengelolaan perikanan di kawsan konservasi
perairan dengan pendekatan ekosistem (EAFM) di laksanakan di Kota Kendari, Kabupaten
Konawe Selatan dan Kabupaten Konawe yang menfokuskan aktivitas di kawasan
konservasi perairan daerah Sulawesi Tenggara.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 1
IV
Tabel 3. 2. Rancangan Lokasi Survei dan Jumlah Responden Berdasarkan Setiap
Kecamatan
Kabupaten
Kota Kendari
Konawe Selatan
Konawe
Instansi Pemerintah
3.3.
Kecamatan
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kendari
Poasia
Nambo
Moramo Utara
Moramo
Laonti
Tapulaga
Soropia
Lalonggasomeeto
DKP Provinsi Sultra
DKP Kota Kendari
DKP Konawe Selartan
DKP Konawe
PPS Kendari
PPI Lapulu
PPI Sodoha
PPI Soropia
Rancangan Jumlah
Responden
40
40
40
50
50
50
50
50
50
5
5
5
5
5
5
5
5
Kebutuhan Data
Adapun data-data yang dibutuhkan dalam penilaian status indikator setiap domain
yang menjadi fokus penilaian di kawasan konservasi perairan daearah ini, sebagai
berikut :
a. Indikator Domain Sumberdaya Ikan
Indikator
Sumber data
Kriteria
CPUE Baku
(Standarize CPUE)
Kondisi Perikanan Di KKPD (DKP
dan Nelayan)
Ukuran Ikan
Wawancara (DKP dan Nelayan)
Proporsi Ikan Yuwana
(Juvenile) yang
ditangkap
Wawancara (DKP dan Nelayan)
Komposisi Spesies
Wawancara (DKP dan Nelayan)
1 = CPUE baku menurun tajam
2 = CPUE baku menurun sedikit
3 = CPUE baku stabil atau meningkat
1 = trend ukuran rata-rata ikan yang
ditangkap semakin kecil
2 = trend ukuran relatif tetap
3 = trend ukuran semakin besar
1 = banyak sekali (> 60 %)
2 = banyak (30 – 60 %)
3 = sedikit (<30 %)
1 = proporsi target lebih sedikit
2 = proporsi target sama dengan nontarget
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 2
3 = proporsi target lebih banyak
"Range Collapse"
sumberdaya Ikan
DKP dan Wawancara Nelayan)
Spesies ETP
Wawancara (DKP dan Nelayan)
1 = semakin Sulit
2 = relatif tetap
3 = makin mudah
1 = fishing ground menjadi sangat jauh
2 = fishing ground jauh
3 = fishing ground relatif tetap
jaraknya.
1 = banyak tangkapan spesies ETP
2 = sedikit tangkapan spesies ETP
3 = tidak ada spesies ETP yang
tertangkap
b. Indikator Domain Habitat dan Ekosistem
Indikator
Sumber data
Kualitas perairan
Data skunder : Hasil
penelitian baik telah
dipublikasikan maupun
tidak terpublikasi, laporan
dan dokumen yang
relevan.
Status lamun
Data skunder : Hasil
penelitian baik telah
dipublikasikan maupun
tidak terpublikasi, laporan
dan dokumen yang
relevan.
Status Mangrove
Data skunder : Hasil
penelitian baik telah
dipublikasikan maupun
tidak terpublikasi, laporan
dan dokumen yang
relevan.
Kriteria
Limbah yang reidentivikasi secara klinis,
audio/visual
1 = tercemar
2 = tercemar sedang
3 = tidak tercemar
Tingkat kekeruhan
1 = > 20 mg/m3 konsentrasi tinggi
2 = 10 – 20 mg/m3 konsentrasi sedang
3 = < 10 mg/m3 konsentrasi rendah
Eutrofikasi
1 = konsentrasi klorofil a > 10 mg/m3 terjadi
eutrofikasi.
2 = konsentrasi klorofil a 1 - 10 mg/m3 potensi
terjadi eutrofikasi.
3 = konsentrasi klorofil a < 1 mg/m3tidak terjadi
eutrofikasi
1 = tutupan rendah, 29,9 %
2 = tutupan sedang, 30–49,9 %.
3 = tutupan tinggi 50 %
1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1 = kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan
<50%;
2 = kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha, tutupan
50-75%;
3 = kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan
>75%
1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
Kriteria Luasan :
1= luasan mangrove berkurang dari data awal;
2= luasan mangrove tetap dari data awal;
3= luasan mangrove bertambah dari data awal
1 = INP rendah;
2 = INP sedang;
3 = INP tinggi;
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 3
Status Terumbu
Karang
Data skunder : Hasil
penelitian baik telah
dipublikasikan maupun
tidak terpublikasi, laporan
dan dokumen yang
relevan.
Habitat unik/khusus
(spawning ground,
nursery ground,
feeding ground,
upwelling).
Data skunder : Hasil
penelitian baik telah
dipublikasikan maupun
tidak terpublikasi, laporan
dan dokumen yang
relevan.
Status dan
produktivitas Estuari
dan perairan
sekitarnya
Data skunder : Hasil
penelitian baik telah
dipublikasikan maupun
tidak terpublikasi, laporan
dan dokumen yang
relevan.
1 = tutupan rendah, < 25 %
2 = tutupan sedang, 25 – 49,9 %.
3 = tutupan tinggi > 50 %
1 = keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' < 1)
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1 = tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;
2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi tidak
dikelola dengan baik;
3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik
1 = produktivitas rendah;
2 = produktivitas sedang;
3 = produktivitas tinggi
1= belum adanya kajian tentang dampak perubahan
iklim;
2= diketahui adanya dampak perubahan iklim tapi
tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim dan
diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
Perubahan iklim
terhadap kondisi
perairan dan habitat
c. Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan
Indikator
Sumber data
Kriteria
Metode penangkapan
ikan yang bersifat
destruktif dan atau
ilegal
Wawancara (DKP dan
Nelayan) dan Laporan hasil
pengawas perikanan
Modifikasi alat
penangkapan ikan dan
alat bantu
penangkapan.
Wawancara (DKP dan
Nelayan)
Fishing capacity dan
Effort
Wawancara (DKP dan
Nelayan)
Selektivitas
penangkapan
Statistika Perikanan dan
Wawancara
Kesesuaian fungsi dan
ukuran kapal
penangkapan ikan
dengan dokumen legal
Laporan tahunan DKP
Nelayan)
Sertifikasi awak kapal
perikanan sesuai
dengan peraturan.
Laporan tahunan DKP dan
Wawancara Nelayan)
1 = frekuensi pelanggaran > 10 kasus per
tahun
2 = frekuensi pelanggaran 5-10 kasus per
tahun
3 = frekuensi pelanggaran <5 kasus per tahun
1 = lebih dari 50% ukuran target spesies < Lm
2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm
3 = <25% ukuran target spesies < Lm
1 = R kecil dari 1;
2 = R sama dengan 1;
3 = R besar dari 1
1 = rendah (> 75%) ;
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%) penggunaan alat
tangkap yang tidak selektif)
1 = kesesuaiannya rendah (lebih dari 50%
sampel tidak sesuai dengan dokumen legal);
2 = kesesuaiannya sedang (30-50% sampel tdk
sesuai dgn dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi (kurang dari 30%)
sampel tidak sesuai dgn dokumen legal
1= Kepemilikan sertifikat <50%;
2= Kepemilikan sertifikat 50-75%;
3 = Kepemilikan sertifikat >75%
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 4
d. Indikator Domain Ekonomi
Indikator
Sumber data
Kepemilikan aset
Wawancara (DKP dan
Nelayan)
Pendapatan rumah tangga
(RTP)
Wawancara (DKP dan
Nelayan)
Saving rate
Wawancara (DKP dan
Nelayan)
Kriteria
1 = nilai aset berkurang (lebih dari 50%) ;
2 = nilai aset tetap (kurang dari 50%);
3 = nilai aset bertambah (di atas 50%)
1 = kurang dari rata-rata UMR,
2 = sama dengan rata-rata UMR,
3 = > rata-rata UMR
1 = kurang dari bunga kredit pinjaman;
2 = sama dengan bungan kredit pinjaman;
3 = lebih dari bunga kredit pinjaman
e. Domain Sosial
Indikator
Sumber data
Data skunder : Hasil penelitian baik telah
dipublikasikan maupun tidak
terpublikasi, laporan dan dokumen yang
relevan.
Wawancara (DKP dan Nelayan)
Data skunder : Hasil penelitian baik telah
dipublikasikan maupun tidak
terpublikasi, laporan dan dokumen yang
relevan.
Wawancara (DKP dan Nelayan)
Data skunder : Hasil penelitian baik telah
dipublikasikan maupun tidak
terpublikasi, laporan dan dokumen yang
relevan.
Wawancara (DKP dan Nelayan)
Partisipasi pemangku
kepentingan
Konflik perikanan
Pemanfaatan pengetahuan
lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan
(termasuk di dalamnya
TEK, traditional ecological
knowledge)
Kriteria
1 = kurang dari 50%;
2 = 50-100%;
3 = 100 %
1= lebih dari 5 kali/tahun;
2 = 2-5 kali/tahun;
3 = kurang dari 2 kali/tahun
1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak efektif;
3 = ada dan efektif digunakan
f. Domain Kelembagaan
Indikator
Kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip perikanan
yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan
perikanan yang telah
ditetapkan baik secara
formal maupun nonformal (Alat)
Kelengkapan aturan main
dalam pengelolaan
perikanan
Mekanisme
Kelembagaan
Sumber data
Laporan tahunan DKP,
Statistika Perikanan
Wawancara (DKP dan
Nelayan)
Wawancara (DKP,
TNL dan Nelayan)
Laporan tahunan DKP,
Statistika Perikanan,
Wawancara (DKP dan
Nelayan),
Kriteria
1 = lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran hukum
dalam pengelolaan perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;
3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
Non formal
1 = lebih dari 5 informasi pelanggaran,
2 = lebih dari 3 informasi pelanggaran,
3 = tidak ada informasi pelanggaran
1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak lengkap;
3 = ada dan lengkap
Elaborasi untuk poin 2
1 = ada tapi jumlahnya berkurang;
2 = ada tapi jumlahnya tetap;
3 = ada dan jumlahnya bertambah
1 = tidak ada penegakan aturan main;
2 = ada penegakan aturan main namun tidak efektif;
3 = ada penegakan aturan main dan efektif
1 = tidak ada alat dan orang;
2 = ada alat dan orang tapi tidak ada tindakan;
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 5
Mekanisme
Kelembagaan
Laporan tahunan DKP,
Statistika Perikanan,
Wawancara (DKP dan
Nelayan).
Rencana pengelolaan
perikanan
Laporan tahunan DKP,
Statistika Perikanan,
Wawancara (DKP dan
Nelayan).
Laporan tahunan DKP,
Statistika Perikanan,
Wawancara (DKP, dan
Nelayan
Tingkat sinergisitas
kebijakan dan
kelembagaan
pengelolaan perikanan
Kapasitas pemangku
kepentingan
3.4.
Laporan tahunan DKP,
Statistika Perikanan,
Wawancara (DKP,
TNL dan Nelayan
3 = ada alat dan orang serta ada tindakan
1 = tidak ada teguran maupun hukuman;
2 = ada teguran atau hukuman;
3 = ada teguran dan hukuman
1 = tidak ada mekanisme kelembagaan;
2= ada mekanisme tapi tidak berjalan efektif;
3 = ada mekanisme kelembagaan dan berjalan
efektif
1 = ada keputusan tapi tidak dijalankan;
2 = ada keputusan tidak sepenuhnya dijalankan;
3 = ada keputusan dijalankan sepenuhnya
1 = belum ada RPP;
2 = ada RPP namun belum sepenuhnya dijalankan;
3 = ada RPP dan telah dijalankan sepenuhnya
1 = konflik antar lembaga (kebijakan antar lembaga
berbeda kepentingan);
2 = komunikasi antar lembaga tidak efektif;
3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
1 = terdapat kebijakan yang saling bertentangan;
2 = kebijakan tidak saling mendukung;
3 = kebijakan saling mendukung
1 = tidak ada peningkatan;
2 = ada tapi tidak difungsikan;
3 = ada dan difungsikan
Analisa Data
Penilaian indikator EAFM merupakan sebuah sistem multikriteria yang berujung
pada indeks komposit terkait dengan tingkat pencapaian sebuah pengelolaan perikanan
sesuai dengan prinsip EAFM. Analisis komposit data hasil survei/sampling dan data
sekunder ini menggunakan Teknik Flag Modeling. Dari tiap indikator yang dinilai,
kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis komposit sederhana berbasis rataan
aritmetik yang kemudian ditampilkan dalam bentuk model bendera (flag model)
dengan kriteria seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 6
Tabel 3.3. Visualisasi Hasil Analisis Komposit Indikator EAFM untuk performa
Pengelolaan Perikanan di KKPD Sultra
Nilai Skor
Komposit
100-125
126-160
161-200
201-250
251-300
Model Bendera
Deskripsi
Buruk
Kurang Baik
Sedang
Baik
Baik Sekali
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
III - 7
BAB IV
ANALISIS TEMATIK DAN KOMPOSIT
PENGELOLAAN PERIKANAN DI KAWASAN KKPD SULTRA
4.1.
Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sultra
4.1.1. Domain Habitat dan Ekosistem
Domain habitat merupakan salah satu parameter lingkungan dimana sumberdaya
ikan sangat dipengaruhi domain ini berdasarkan indicator-indikatornya. Diasamping
tekanan Karena pemanfatan sumberdaya ikan parameter lingkungan ini memberikan
pengaruh yang sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup dan biomasa (reproduksi
dan pertumbuhan) sumberdaya ikan tersebut. Indikator-indikator yang termasuk dalam
domain habitat dan ekosistem yang meliputi kualitas perairan, status lamun , status
mangrove, status terumbu karang, habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground,
feeding ground, upwelling),
status dan produktivitas estuari dan perairan sekitarnya,
perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat. Berdasarkan hasil analisis setiap
indikator EAFM pada domain habitat dan ekosistem ditampilkan dalam Tabel 4.1.
Wilayah KKPD merupakan satu kesatuan kawasan perairan beserta pesisirnya yang
menghubungkan Kota Kendari, Kabupaaten Konawe dan kabupaten Konawe Selatan yang
memiliki ekosistem perairan pesisir yang kompleks. Wilayah KKPD sebagaian besar
terdapat di Teluk Staring yang memiliki ekosistem pesisir yang lengkap diantaranya
mangrove, lamun, terumbu karang, estuary dan gusung. Sedangkan wilayah KKPD yang
masuk dalam adminstrasi Kabupaten Konawe (P. Saponda) dan Kota Kendari hanya
memiliki ekosistem padang lamun dan terumbu karang. Di wilayah pesisir KKPD
khususnya di Teluk terbentang hutan mangrove. Sepanjang garis pantai terbentang
dangkalan yang landai dan tubir-tubur karang. Perairan KKPD merupakan perairan terbuka
yang berhubungan langsung dengan Laut Banda sehingga pada waktu tertentu kondisi
perairan sulit untuk dilakukan kegiatan penangkapan yang sangat dipengaruhi oleh musim
timur dan dan angina utara dimana kondisi laut Banda dengan gelombang dan arus yang
cukup tinggi.
Aktivitas pembangunan khususnya industri maupun aktivitas lahan atas (tambak
dan pertanian) khususnya di kawasan Teluk Staring yang dapat mempengaruhi kualitas
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 1
perairan sudah dirasakan oleh masyarakat khususnya kawasan perairan di Kecamatan
Moramo dan Moramoo Utara dimana aktivitas pertanian dan pembukaan lahan atas sangat
berpengaruh terhadap kualitas perairan sehingga dampak aktivitas di darat tersebut adalah
peningkatan kekeruhan di sepanjang pesisir di kedua kecamatann tersebut. Sedangkan di
perairan lainnya KKPD pengaruh aktivitas darat masih sangat sedikit sehingga kondisi ini
relatif terisolasi oleh keberadaan gelombang dan arus.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 2
Tabel 4.1. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Habitat dan Ekosistem.
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
1. Kualitas
perairan
DATA ISIAN
SKOR
BOBOT
(%)
RANKIN
G
NILAI
Parameter kualitas air berada dibawah batas
ambang baku mutu perairan
dalam
KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu
Perairan. 57,4 % responden mengatakan
daerah tempat tinggal tercemar sedang dan
42,6% tidak tercemar
2
20
1
33,3
Nilai kekeruhan yang terukur di perairan
Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara
adalah 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk
dalam kategori sedang (BLH Prov Sultra,
2016).
Hasil analisa data primer 2016 konsentrasi
klorofil berkisar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data
DKP Prov, 2016 berkisar 0,68 - 2,72 mg/m3
1
Nilai tutupan lamun dapat dilihat di kawasan
KKPD khususnya Teluk Staring berkisar 10
- 80% denagn rata-rata tutupan lamun =
33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016)
3
15
2
37,5
Nilai keanekaragaman atau jumlah spesies
lamun di kawasan KKP Sultra sebanyak 5
jenis (KKPD Prov. Sultra, 2016)
2
Kerapatan mangrove di pesisir wilayah
KKPD berkisar 1400-5000 ind/ha. (KKPD
Sultra, 2016
2
15
3
30
KRITERIA
1= tercemar;
2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar
Tingkat kekeruhan (NTU) untuk
mengetahui laju sedimentasi
perairan
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi
2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang;
3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah
Satuan NTU
Eutrofikasi
1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; terjadi
eutrofikasi;
2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; potensi
terjadi eutrofikasi;
2
3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l tidak terjadi
eutrofikasi
2.
Status
ekosistem
lamun
Luasan tutupan lamun.
1=tutupan rendah, 29,9%;
2=tutupan sedang, 30-49,9%;
3=tutupan tinggi, 50%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' <
1), jumlah spesies < 3
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3), jumlah spesies 3-7
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
H’>3), jumlah spesies > 7
3.
Status
ekosistem
mangrove
Kerapatan, nilai penting,
perubahan luasan dan jenis
mangrove
1=tutupan rendah, < 50%;
2=tutupan sedang,
3=tutupan tinggi,
50 - < 75%;
75 %
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 3
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
KRITERIA
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan
<50%;
2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha,
tutupan 50-75%;
DATA ISIAN
SKOR
Keanekaragam ekosistem mangrove
mencapai yaitu pohon 1,7683 (KKPD
Sultra, 2016). kriteria keanekaragaman
mangrove mencapai kriteria sedang
2
Putupan karang hidup yang terukur di
kecaatan Laonti rata-rata berkisar 27%
sedang di kecamatan Moramo = 25%
(KKPD, 2012). Di pulau Lara tutupan
karang hidup mencapai 64,82% (Adi, dkk
2012), Teluk Stairng = 29,6 - 70,48 (KKP,
2012)
nilai keanekaragaman di Teluk Wawatu 3,64
dengan jumlah jenis karang batu = 51 jenis.
(Siringiringo, 2012)
2
BOBOT
(%)
RANKIN
G
NILAI
15
4
26,5
15
4
15
3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan
>75%
4. Status
ekosistem
terumbu
karang
> Persentase tutupan karang
keras hidup (live hard coral
cover).
1=tutupan rendah, <25%;
2=tutupan sedang, 25-49,9%;
3=tutupan tinggi, >50%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' <
1);
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
2
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
H’>3)
1= luasan mangrove berkurang dari data awal;
2= luasan mangrove tetap dari data awal;
3= luasan mangrove bertambah dari data awal
5. Habitat
unik/khusus
Luasan, waktu, siklus, distribusi,
dan kesuburan perairan,
spawning ground, nursery
ground, feeding ground,
upwelling, nesting beach
1 = INP rendah (< 100);
2 = INP sedang (100-200);
3 = INP tinggi (>200)
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;
2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi
tidak dikelola dengan baik;
Informasi dari 90 % responden mengatakan
bahwa luas mangrove di kawasan ini telah
berkurang dari luas awal akibat di konversi
dan sebagai bahan konstruksi
INP mangrove dari setiap jenis berkisar 17300 (Muh.Ramli 2012) dan antara 16,84 300 (KKPD Sultra, 2016)
Menurut informasi dari masyarakat hingga
saat ini telah di ketahui adanya habitat
khusus tempat pemijahan lobster, rajungan
dan ikan kakap namun belum berdasarkan
hasil kajian
3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik
2=produktivitas sedang;
3=produktivitas tinggi
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 4
1
2
1
INDIKATOR
6. Status dan
produktivitas
estuari dan
perairan
sekitarnya
7. Perubahan
iklim
terhadap
kondisi
perairan dan
habitat
DEFINISI/ PENJELASAN
Tingkat produktivitas perairan
estuar
Untuk mengetahui dampak
perubahan iklim terhadap
kondisi perairan dan habitat
KRITERIA
1=produktivitas rendah;
2=produktivitas sedang;
3=produktivitas tinggi
DATA ISIAN
Produktivitas estuari berdasarkan
kelimpahan phytoplankton = 10.125 24.300 ind/l yang tergolong tinggi (KKPD
Sultra, 2014)
> State of knowledge level :
1= belum adanya kajian tentang dampak
perubahan iklim;
2= diketahui adanya dampak perubahan iklim
tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim
dan diikuti dengan strategi adaptasi dan
mitigasi
2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching 5-25%);
BOBOT
(%)
RANKIN
G
NILAI
3
10
5
30
1
10
6
10
Berdasarkan pengamatan secara kualitatif
dan informasi dari masyarakat bahwa di
kawasan ini terkena dampak perubahan
iklim khsuusnya pada ekosistem pesisir
namun hingga saat ini belum ada strategi
dan mitigasi untuk mengaadapi hal teresebut
1
> state of impact (key indicator menggunakan
terumbu karang):
1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching >25%);
SKOR
Infromasi dari responden mengatakan bahwa
di kawasan terumbu karang mengalami
pemutihan, kondisi ini diduga merupakan
dampak dari perubahan iklim, khususnya
pada kedalaman kurang dari 7 meter
3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching <5%)
RERATA
1,9
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 5
TOTAL
100
TOTAL
197,08
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan oleh DKP Provinsi Sulawesi
Tenggara tahun 2016 terhadap beberapa parameter kualitas perairan seperti ditunjukan
pada Tabel 4.2 mengindikasikan bahwa kualitas perairan dari aspek pencemaran Tabel
17 maka indikator penilaian untuk kualitas air berada dibawah batas ambang baku mutu
perairan dalam KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu khususnya perairan yang
berhadapan langsung dengan laut banda. Namun perairan yang berada di Selat Tiworo
khusunya di wilayah pesisir secara visual menunjukan adanya tanda-tanda pencemaran.
Kondisi ini diperkuat dengan hasil wawancara kepada masyarakat yang bermukim
disekitar perairan bahwa 66,7% mengatakan perairannya tercemar
akibat kegiatan
pertambangan. Berdasarkan kondisi tersebut maka perairan Kabupaten Konawe Selatan
dikategorikan tercemar sedang dengan nilai skor 2.
Tabel 4.2. Parameter bio-fisik perairan laut Kecamatan Moramo dan Moramo Utara
Kabupaten Konawe Selatan
Parameter Kualitas Perairan KKPD-SULTRA
No. Stasiun Suhu Salinitas pH
Clorofil-A
(Mg/L) LatD
Koordinat
LatM LonD LonM
Keterangan
1
ST001
28
31
7.2
1.91
122
40.800
3
58.928
Pasi Jambe, Kota Kendari
2
ST002
29
32
7.1
2.27
122
45.757
3
58.541 Pulau Saponda, Kab. Konawe
3
ST003
28
32
7.2
0.68
122
45.436
4
0.344
Sapa Pulau Hari, Kab.
Konawe Selatan
4
ST004
29
32
7.2
2.48
122
46.539
4
2.181
Pulau Hari, Kab. Konawe
Selatan
5
ST005
29
32
6.9
1.06
122
48.006
4
6.484
Desa Tambeanga, Kab.
Konawe Selatan
6
ST006
29
31
6.9
1.50
122
48.752
4
7.923
Pulau Gala, Kab. Konawe
Selatan
7
ST007
29
32
7.8
1.53
122
42.084
4
7.968
Desa Pandambea Barata, Kab.
Konawe Selatan
8
ST008
29
30
6.9
1.73
122
40.437
4
7.176
9
ST009
29
32
6.9
2.72
122
40.188
4
6.076
Rata-rata
28.78
31.56
7.12
1.76
Sdv.
0.44
0.73
0.29
0.66
Pulau Moramo Besar, Kab.
Konawe Selatan
Pulau Lara, Kab. Konawe
Selatan
Sumber: DKP Prov. Sultra, 2016
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 6
Nilai kekeruhan yang yang terdapat disalah satu perairan Kabupaten Selatan
yaitu di Selat Tiworo khususnya di perairan Torobulu kecamatan Palangga Selatan
berkisar 5,75 -
24,81 NTU yang termasuk dalam kategori sedang sebagai akibat
aktivitas pertanian dan pertambakan khususnya di lokasi daratan kawasan Teluk Staring
sebagai bagian terbesar KKPD Sultra. Berdasarkan kondisi tersebut maka kriteria
kekeruhan dapat diberikan nilai skor 2. Sedangkan eutrofikasi dilakukan melalui analisa
konsetrasi klorofil-a dan berdasarkan hasil analisis data di laboratorium maka diperoleh
konsenrasi klorofil-a sebesar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data DKP Prov, (2016) berkisar 0,68 2,72 mg/m3 yang menunjkan bahwa periran KKPD Sultra menunjukan gejala akan
terjadi eutrofikasi sehingga diberi nilai kriteria dengan skor 2.
Ekosistem padang lamun banyak ditemukan hamper di seluruh perairan KKPD Sultra
Pulau Saponda, Pulau Hari, pasih Jambe hingga kawasan Teluk Staring. Ekosistem
lamun yang dijumpai masih beragam dalam bentuk hamparan dengan jenis yang
dominan adalah E. acoroides dan Thallasia hemprichii. Kondisi ini disebabkan
perairannya pada musim hujan sering terjadi peningkatan bahan organic akibat aliran
sungai khususnya di sekitar estuaria Teluk Staring sehingga dapat menambah kesuburan
pertumbuhan lamun. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di kawasan KKPD Sultra yang
dicadangkan sebagai terdiri dari Cymodocea rotundata, Syringodium isotifelium,
Halodule uninervis, Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata. Persentase
penutupan ekosistem lamun di Kabupaten Konawe Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Berdasarkan tersebut terlihat bahwa persentase penutupan lamun pada beberapa
kecamatan berkisar 10 - 80% denagn rata-rata tutupan lamun = 33,18% (KKPD Prov.
Sultra, 2016). Dengan demikian untuk indikator persen tutupan lamun dapat diberi skor
2 atau tergolong tingkat penutupan sedang (30 - 50%). Sedangkan jumlah jenis lamun
yang terdapat 4 jenis sehingga berdasarkan informasi tersebut maka untuk indikator
keanekaragaman jenis lamun dapat diberi skor 2 yakni keanekaragaman sedang dengan
jumlah spesies lamun 3-7 spesies.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 7
Tabel 4.3. Persentase penutupan ekosistem lamun di Kawasan KKPD Sultra.
Sumber: KKP Sultra, 2016.
Hutan mangrove di KKPD Sultra umumnya tersebar disepanjang pesisir Teluk
Staring di Kabupaten Konawe Selatan sedangka lokakasi lainnya tidak terdapat
mangrove di mana di kawasan Teluk Staring mempunyai vegetasi mangrove yang padat
yang menyebar disepanjang pesisirnya mulai dari pesisir Kecamatan Laonti hingga
pesisir Kecamatan Moramo Utara di Teluk Staring. Hampir setiap daerah landai yang
mempunyai substrat lumpur dan pasir kawasan ini dapat kita temukan vegetasi
mangrove yang lebat. Ketebalan mangrove juga menyebar dihampir seluruh muara
aliran sungai. Untuk lebih jelasnya kita dapat melihat penutupan vegetasi mangrove
pada Tabel 4.4 berikut.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 8
Tabel 4.4. Kondisi Vegetasi Mangrove Pada Beberapa Wilayah di KKPD Sultra
Lokasi
Kanopi
Kera
Tinggi
Jum.
patan
Kriteria
Pohon Substrat
Jenis
%
(m)
(ind.) Cover Kriteria (phn/ha)
INP
Min (%)
Max (%)
Tanjung Lemo
3
65.7
Sedang
1700
Padat
4-6
Lumpur XM : 31,39 SA : 201,51
Desa Labotaone
3
45
Rusak
1400
Sedang
4-7
Lumpur AM : 29,35 BG : 172,33
Desa Tambeanga
2
73.
Sedang
2133
Padat
6 - 10
Lumpur RS : 94,12
Desa Woru-Woru 1
5
72.9
Sedang
2950
Padat
10 - 15 Lumpur AM : 19,75 RM : 208,15
Desa Woru-Woru 2
3
60.8
Sedang
2150
Padat
6 - 8m Lumpur BG : 59,76 RS : 148,65
Desa Wandaeha
2
57.8
Sedang
1800
Padat
9 - 17
Muara Sungai
Laonti
1
78.9
Baik
2300
Padat
10 - 15 Lumpur
Sungai Laonti
3
76.0
Baik
2033
Padat
8 - 15 Lumpur RA : 18,64 RM : 157,072
Sekitar Pulau Gala
2
77.9
Baik
2850
Padat
8 - 11
Lumpur BG : 143,56 RM : 156,44
Sebelum Emba
3
65
Sedang
5000
Padat
7 - 12
Lumpur
SA : 72,68
berpasir
Desa Tambolosu
4
85.
Baik
2150
Padat
7 - 12
Lumpur AM : 28,05 RM : 194,88
Desa Ranooha
Raya (Dusun
Beroro)
4
76.4
Baik
3400
Padat
10 - 17
Lumpur
berpasir RA : 22,007 BG : 134,94
Desa Wawatu
3
66.8
Sedang
1450
Sedang 9 - 12m
BG : 205,88
Lumpur
SA : 122,34 RM : 177,66
berpasir
RM :300
Lumpur
SA : 68,46
berpasir
BG : 153,23
RM : 146,84
Sumber: DKP prov. Sultra, 2016
Berdasarkan diatas terlihat bahwa kondisi vegetasi hutan mangrove di KKPD
khususnya Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan seara keseluruhan kondisi
penutupannya berada pada ksaran 45 – 85%. Sedangkan tingkat kerapatan berkisar
antara 1400 – 5000 ind/ha. Berdasarkan informasi di atas maka untuk indikator status
ekosistem mangrove yang dilihat dari aspek tingkat penutupan dan kerapatannya dapat
diberi skor 3 yakni penutupan dan tingkat kerapatan tergolong tinggi (penutupan berada
antara 50 – 75 % dan kerapatan antara 1400 - 5000 ind/ha).
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian penting dari ekosistem pesisir
yang memberi kontribusi yang signifikan bagi produksi perikanan di KKPD khususnya
Teluk Staring Konawe Selatan maupun wilayah lainnya dalam lingkupp KKPD Sultra.
Terumbu karang di wilayah ini pada umumnya adalah terumbu karang tepi yang
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 9
menyebar sepanjang tubir sejajar garis pantai, kecuali pada beberapa lokasi berupa
gugus karang namun dengan luasan yang sempit.
Tabel 4.5. Tutupan karang karang di perairan KKPD Sultra
No.
Live
Coral
(%)
Death
Others
Abiotik (%)
Coral (%)
(%)
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
37.3
33.0
19.0
26.3
64.3
46.0
51.7
70.0
74.0
76.7
32.7
79.0
81.0
63.3
48.0
38.0
35.3
50.0
33.3
66.7
25.7
46.3
42.0
28.3
22.3
23.0
34.7
18.0
17.3
30.3
48.0
52.7
7.7
6.3
8.7
4.3
6.7
3.3
6.0
1.7
1.0
0.3
5.7
3.0
1.7
2.3
1.0
3.7
19.7
10.7
39.0
2.7
3.3
4.3
0.3
0.0
2.7
0.0
27.0
0.0
0.0
4.0
3.0
5.7
17
45.0
44.3
4.0
6.7
18
57.7
39.3
2.3
0.7
19
76.3
23.3
0.3
0.0
20
59.3
35.3
4.0
1.3
21
37.0
52.7
4.7
5.7
34.0
48.0
64.7
27.7
23
Sumber: DKP Sultra, 2016
3.7
6.7
14.3
1.0
1
2
22
Keterangan
Pasi Jambe, Kota Kendari
Pulau Saponda, Kab. Konawe
Pulau Saponda, Kab. Konawe
Pulau Saponda, Kab. Konawe
Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan
Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan
Pulau Hari Kab. Konawe Selatan
Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan
Sapa Pulau Hari Kab. Konawe Selatan
Pulau Hari Kab. Konawe Selatan
Tanjung Gomo Kab. Konawe Selatan
Desa Labotaone Kab. Konawe Selatan
Desa Tambeanga Kab. Konawe Selatan
Desa Lolibu Kab. Konawe Selatan
Pulau Gala Kab. Konawe Selatan
Desa Tambolosu Kab. Konawe Selatan
Desa Rumbi-Rumbia Kab. Konawe
Selatan
Desa Toli-Toli Kab. Konawe Selatan
Pulau Wawosunggu Kab. Konawe
Selatan
Desa Pandambea Barata Kab. Konawe
Selatan
Pulau Moramo Besar Kab. Konawe
Selatan
Moramo Kab. Konawe Selatan
Pulau Lara Kab. Konawe Selatan
Tabel 4.5 memperlihatkan punutupan karang hidup yang terukur di seluruh
KKPD Sultra pada 23 lokasi pengamatan. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut
mengmabrakan bahwa tutupan karang hidup mencapai 19 – 81% % dengan rata-rata
sekitar 52,8 % (DKP Sultra, 2016). Berdasarkan hasil analisis dari Tabel 4.5
menunjukan kondisi penutupan karang di kawasan KKPD Sultra berada pada kisaran
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 10
diatas 50 % yang tergolong kategori tinggi sehingga indikator status karang aspek
penutupan diberi nilai skor 3. Dengan melihat karakteristik penyebaran terumbu karang
yang bervariasi serta kualitas air pada kondisi kawasan KKPD tersebut maka dapat
diduga bahwa keanekaragaman terumbu karang di daerah ini termasuk sedang, hal ini
didukung hasil penelitian Siringiringo, 2012 bahwa nilai indeks keanekaragaman
terumbu karang di kecamatan Moramo Utara sebesar 3,65 atau 51 jenis. Berdasarkan
kondisi tersebut maka indikator keanekaragaman jenis terumbu karang dapat diberi skor
2 yakni keanekaragaman sedang ((3,20<H’<9,97).
Informasi indikator habitat khusus/unik yang berkaitan dengan spawning
ground, nursery ground, feeding ground, upwelling, nesting beach di Kawasan KKPD
Sultra Kabupaten Konawe Selatan diperoleh berasarkan hasil wawancara dengan
nelayan. Berdasarkan informasi yang dihimpun maka sebagian besar masyarakat belum
mengetaui adanya lokasi atau habitat khusus. Namun berdasarkan informasi hasil
tangkapan maka di kawasan pesisir Moramo masyarakat sering menangkap bibit lobster
dan rajungan sedangkan di Tanjunga Gomo Kecamatan Laonti sering dijumpai larva
ikan kakap, namun informasi tersebut belum pernah dikaji. Oleh karena itu berdasarkan
informasi tersebut maka indikator habitat khusus dapat di berikan skor 1 yaitu tidak
diketahui adanya habitat unik/khusus atau indicator keberadaannya masih berupa
ausmsi dari hasil tangkapan nelayan sehingga indikator habitat khusus diberi nilai skor
1.
Pengkajian dampak perubahan iklim di Kabupaten Konawe Selatan belum
banyak dilakukan, namun secara kualitatif dampak perubahan iklim sudah dapat di
rasakan oleh masyarakat yaitu adanya perubahan tinggi gelombang serta hujan yang
sulit di prediksi dan tidak teratur namun informasi terkait dengan adanya coral
bleaching pada saat tertentu khususny apada kedalaman kurang dari 7 meter .
Keberadaan infromasi yang demikian belum diikuti langkah-langkah strategis untuk
mengantisipasinya, oleh karenan itu kriteria ini dapat diberikan skor 2.
4.1.2. Domain Sumberdaya Ikan
Penilaian Domain Sumberdaya Ikan terbagi dalam 6 indikator penilaian yaitu
CPUE Baku, Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi
spesies, "Range Collapse" sumberdaya ikan dan Spesies ETP. Berdasarkan hasil analisis
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 11
pemberian skor kriteria indikator-indikator domain sumberdaya ikan dapat dilihat pada
Tabel 4.6.
Domain sumberdaya ikan dianalisa terhadap 3 kelompok ikan yang menjadi
tangkapan utama di perairan KKPD Sultra yang meliputi; ikan karang, ikan kembung,
dan ikan kuwe. Ikan karang terutama tertangkap oleh alat tangkap rawai, pancing, bubu
dan jarring insang, sedangkan ikan kembung tertangkap dengan pukat cincin, pancing,
jaring insang, payang dan bagan, adapun ikan kuwe tertangkap dengan pancing, jaring
insang dan rawai.
Berdasarkan analisa data Statistik Perikanan DKP Prov. Sultra 2009 dan 2013
terhadap produksi dan jumlah alat tangkap disimpulkan bahwa CPE baku belum bisa
ditentukan dengan baik keterbatasan data terutama data-data lokasi penangkapan dan
jumlah tangkapan tiap trip. Nelayan pun sukar untuk memprediksi adanya penurunan
atau peningkatan CPUE karena variabilitas kondisi penangkapan dan kapasitas tangkap.
Disamping itu, pola operasi yang berpindah-pindah berdasarkan musim menambah
sukarnya menentukan besaran CPUE di lokasi studi.
Meskipun demikian nelayan dapat merasakan adanya perbedaan hasil tangkapan
saat ini dibanding dengan 5-10 tahun yang lalu. Data yang memungkinkan untuk
digunakan hanya dari presepsi atau pandangan nelayan, data inilah dilakukan
pendugaan CPUE pada beberapa jenis ikan namun datanya tidak lengkap. Berasarkan
hasil wawancara dengan nelayan, 54,55 sampai 67,74 % responden dari masing-masing
kelompok sumberdaya ikan mengatakan telah terjadi penurunan hasil tangkapan dalam
lima tahun terakhir. Nelayan payang di Wawosunggu dengan tangkapan utama ikan
kembung (70%) merasakan penurunan hasil tangkapan per trip dari sekitar 500 kg
menjadi 300 kg per trip dalam 5 tahun. Nelayan ikan karang di Labuan Beropa pun
mengindikasikan adanya penurunan CPUE seperti pada Tabel 4.7.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 12
Tabel 4.6. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR
1. CPUE Baku
KRITERIA
1 = menurun tajam (rerata
turun > 25% per tahun)
2 = menurun sedikit (rerata
turun < 25% per tahun)
3 = stabil atau meningkat
2. Tren Ukuran
ikan
3. Proporsi
ikan yuwana
(juvenile) yang
ditangkap
1 = trend ukuran rata-rata
ikan yang ditangkap
semakin kecil;
2 = trend ukuran relatif
tetap;
3 = trend ukuran semakin
besar
1 = banyak sekali (> 60%)
2 = banyak (30 - 60%)
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
57,8% responden menyatakan
bahwa hasil tangkapan per trip
mengalami penurunan dibanding
5 tahun yang lalu, 42,2%
menyatakan sama saja. CPUE
rata2 saat ini 39 kg/trip/unit
kapal. Kerapatan Ikan Karang di
Labuan Beropa Menurun dari 1,9
ind/m2 tahun 2010 menjadi 0,76
ind/m2 tahun 2014 (menurun
20,8% per thn)
6,6 7% responden menyatakan
ukuran hasil tangkapan cenderung
lebih kcil dan dan 82,26%
responden menyatakan ukuran
ikan hasil tangkapan relatif sama
saja
67,74% responden menyatakan
bahwa hasil tangkapan per trip
mengalami penurunan
dibanding 5 tahun yang lalu,
32,26% menyatakan sama saja.
CPUE rata-rata saat ini 37,35
kg/trip/unit kapal. Produksi ikan
kembung menurun 56% antara
tahun 2009 dan 2013 (DKP
Provinsi 2014)
100% responden tidak
mengetahui karakter ikan yang
belum bertelur
59% % responden mengatakan
bahwa 30 -40% ikan yang
tertangkap belum bertelur, 31%
respondentidak mengetahui dan
10% telah bertelur
88,89% responden menyatakan
proporsi ikan target lebih banyak
dan 6,67% menyatakan target
lebih sedikit. Hasil penelitian di
Labuan Beropa ikan target hanya
40,36% (Minsaris 2014)
91,94% responden menyatakan
ikan target lebih banyak
tertangkap, 8,06% menyatakan
target lebih sedikit. Hasil
penelitian di Tel.Staring pada
alat tangkap payang 35,3 - 46,7
% merupakan ikan target
(Abdullah, 2011)
67,74% responden menyatakan
semakin sulit medapatkan
3 = sedikit (<30%)
4. Komposisi
spesies
5. "Range
Collapse"
1 = proporsi target lebih
sedikit (< 15% dari total
volume)
2 = proporsi target sama
dgn non-target (16-30%
dari total volume)
3 = proporsi target lebih
banyak (> 31 % dari total
volume)
1 = semakin sulit,
tergantung spesies target
57,78% responden menyatakan
semakin sulit mencari lokasi
17,74% responden menyatakan
trend ukuran ikan hasil
tangkapan semakin kecil dan
82,26% responden menyatakan
sama saja
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
DATA ISIAN
IKAN KUWE
54,55% responden
menyatakan bahwa hasil
tangkapan per trip mengalami
penurunan dibanding 5 tahun
yang lalu, 45,45%
menyatakan sama saja. CPUE
rata-rata saat ini 23,9
kg/trip/unit kapal. Produksi
ikan kuweh meningkat 17%
antara tahun 2009 dan 2013
(DKP Provinsi 2014)
100% responden menyatakan
ukuran ikan hasil tangkapan
relatif sama saja
2.0
BOBO
T (%)
40
1.3
20
2
26.67
89% responden mengatakan
bahwa proporsi ikan yang
belum bertelur dengan ikan
dewasa berimbang, 11%
responden sedikit ikan
bertelur
84,85% responden
menyatakan proporsi ikan
target lebih banyak
1.7
15
3
25
3.0
10
4
30
54,55% responden
menyatakan semakin sulit
1.0
5
5
5
IV - 13
SKOR
RKG
NILAI
1
(Killer
Indica
tor)
80
INDIKATOR
sumberdaya
ikan
KRITERIA
2 = relatif tetap, tergantung
spesies target
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
penangkapan dan 42,22% lainnya
menyatakan relatif sama saja
lokasi penangkapan ikan dan
32,26% responden menyatakan
relatif sama
75,5% responden menyatakan
fishing ground semakin jauh dan
24,4 sisanya menganggap sama
saja
69,35% responden menyatakan
fishing ground semakin jauh
dan 30,65% responden
menyatakan relatif sama saja
91,9 % responden menyatakan
tidak ada spesies ETP yang
tertangkap dan 8,89% responden
menyatakan ada 1 spesies.
WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies
ETP yang tertangkap
98,39 % responden menyatakan
tidak ada spesies ETP yang
tertangkap dan 1,61%
responden menyatakan ada 1
spesies. WWF,( 2015) ada 3
jenis soesies ETP yang
tertangkap
3 = semakin mudah,
tergantung spesies target
1 = fishing ground menjadi
sangat jauh, terg. spesies
target
2= fishing ground jauh,
terg. spesies target
6. Spesies ETP
3= fishing ground relatif
tetap jaraknya, terg. spesies
target
1= > 1 tangkapan spesies
ETP;
2 = 1 tangkapan spesies
ETP;
3 = tidak ada spesies ETP
yang tertangkap
7. Densitas/
Biomassa untuk
ikan karang &
invertebrata
DATA ISIAN
IKAN KUWE
mencari lokasi penangkapan
dan 45,45% responden
menyatakan relatif sama
SKOR
BOBO
T (%)
63,6% responden menyatakan
fishing ground semakin jauh
dalam beberapa tahun terakhir
dan 36,3% lainnya
menyatakan sama saja
1.0
8
93,94% menyatakan tidak
ada Spesies ETP yang
tertangkap dan 6,06%
menyatakan 1 spesies)
WWF,( 2015) ada 3 jenis
spesies ETP yang tertangkap
1.3
5
Kelimpahan ikan karang di Teluk
stairng Kabupaten Konawe
berkisar 0,4 - 2,9 ind/m3
1
RERATA
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 14
NILAI
6
6.66666
67
2
TOT
AL
TOTA
L
105
175.3
3
1.5
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
RKG
Tabel 4.7. Kondisi Hasil Tangkapan Ikan Karang di Perairan Labuan Beropa
Bobot
No Bulan Tangkapan Jumlah Trip Kondisi Sekarang1 Kondisi 5 Tahun2
(kg)
(trip)
(kg/trip)
Lalu (kg/trip)
Rawai
1 April
55.1
12
4.59
2 Mei
75.2
12
6.27
6.58
3 Juni
49.9
12
4.16
4 Juli
57.4
12
4.78
Pancing Kedo-kedo
1 April
24.3
15
1.62
2 Mei
32.7
15
2.18
2.25
3 Juni
18.6
15
1.24
4 Juli
18.7
15
1.25
Keterangan: 1. Hasil pengamatan langsung
2. Hasil wawancara nelayan
Sumber : Minsaris (2014)
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat pula perubahan produksi
ketiga kelompok sumberdaya ikan yang diolah dari data Statistik Perikanan Prov. Sultra
tahun 2013 dan 2015 seperti pada Gambar 4.1. Tampaknya ikan karang dan ikan kembung
mengalami penurunan produksi yang signifikan sedangkan ikan kuwe mengalami sedikit
peningkatan.
Ikan Kembung
Ikan Kuwe
Perubahan
-88%
2013
Perubahan
2013
17%
2009
Perubahan
2013
2009
-56%
2009
4500
4000
3500
3000
2500
(ton) 2000
1500
1000
500
0
Ikan Karang
Gambar 4.1. Perubahan Produksi Ikan Kembung, Ikan Kuwe dan Ikan Karang di Lokasi Studi
Tahun 2009 dan 2013
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 15
Berdasarkan informasi di atas maka Indikator CPUE Baku diberikan skor 2 atau berada
pada kondisi menurun sedikit. Penggambaran sedemikian ini disebabkan data jumlah
produksi tiap jenis ikan serta alat tangkapnya tidak terurai dengan jelas berdasarkan daerah
penangkapan. Oleh karena itu pendekatan CPUE dilakukan melalui hasil wawancara
sehingga belum tergambar jelas CPUE baku.
Untuk indikator ukuran ikan yang dikaji, diperoleh bahwa sebagian besar
responden untuk ikan karang memandang tidak ada perbedaan ukuran antara saat ini
dengan beberapa tahun lalu. Berbeda dengan reponden untuk ikan kembung dan ikan kuwe
yang hampir seluruhnya menyatakan bahwa trend ukuran ikan semakin menurun.
6.67
%
93.3
3%
Makin Pendek
Sama Saja
Makin Panjang
0.31%
99.69
%
Makin Pendek
Sama Saja
Makin Panjang
Semakin Pendek
Sama Saja
Semakin Panjang
Gambar 4.2. Persentase Jawaban Responden terhadap Trend Ukuran Ikan Hasil Tangkapan
dalam 5 tahun terakhir
Tidak banyak diperoleh data sekunder tentang ukuran ikan di kawasan ini.
Perubahan
trend ukuran ikan yang tertangkap hanya dapat diduga melalui presepsi
nelayan. Beberapa data sekunder yang tersedia adalah ukuran Ikan Karang yang tertangkap
oleh nelayan di Labuan Beropa dapat dilihat pada Gambar 4.3. Terlihat bahwa ada
perbedaan komposisi ukuran antara L. argentimaculatus dan P. leopardus yakni spesies
L. argentimaculatus telah kehilangan ikan-ikan berukuran besar. Efektivitas penggunaan
pancing kedo-kedo untuk penangkapan ikan kakap merah diduga menjadi penyebabnya.
Hasil penelitian lainnya adalah tentang sebaran ukuran ikan kembung di Teluk
Staring bagian dalam yang menunjukkan bahwa sekitar 70% ikan Rastreliger brachysoma
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 16
yang menjadi tangkapan utama payang belum mencapai ukuran dewasa (Abdullah, 2011).
Hal ini diduga menjadi penyebab menurunnya populasi ikan kembung di perairan ini.
Berdasarkan uraian di atas maka indikator ukuran ikan diberikan skor 1,3.
Frekunsi (%)
a. Lutjanus argentimaculatus
30.68
35
30
25
20
15
10
5
0
3.57
17.05
2.27
5.68
17.05
5.68
21-23 24-27 28-32 33-37 38-43 44-49 50-62
L (cm)
di
b. Plectropomus leopardus
Frekunsi (%)
40
32.26
30
24.19
20
10
14.52
9.68
3.57
6.45
3.23
0
27-31 32-35 36-40 41-46 47-53 54-61 62-70
L (cm)
Gambar 4.3. Sebaran Ukuran Ikan Karang yang Tertangkap di Perairan Desa Labuan
Beropa (Minsaris, 2014)
Data kuantitatif yang berkaitan dengan proporsi ikan yuwana yang tertangkap
hanya tersedia untuk ikan karang dan ikan kembung, sedangkan ikan kuwe tidak tersedia.
Oleh karena itu untuk indikator ini dilakukan pula wawancara pada nelayan yang telah
berpengalaan 5 – 10 tahun. Abdullah (2011) menemukan bahwa 100% ikan kembung R.
brachysoma yang tertangkap dengan payang belum mencapai ukuran pertama kali matang
gonad. Adapun untuk ikan karang Minsaris (2014) menemukan rata-rata 19% ikan karang
yang tertangkap oleh nelayan Labuan Beropa belum mencapai ukuran dewasa (Tabel 4.8).
Berdasarkan hasil wawancara menunjukan bahwa perikanan ikan karang 100 % responden
tidak mengetahui karakter ikan yang belum bertelur sedangakan kedua perikanan lainnya
59 – 89 % responden mengatakan 30-40% ukuran ikan belum bertelur, oleh karena itu
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 17
indikator ini untuk ketiga kelompok ikan dapat diberikan skor rerata 2,0 atau proporsi ikan
yuwana yang tertangkap sedikit (30-40%).
Faktor selektivitas alat tangkap pancing kedo-kedo dan rawai yang menangkap ikan
karang dengan ukuran minimum yang sesuai target nelayan menyebabkan rendahnya
persentase juvenile yang tertangkap. Sebaliknya pada ikan kembung juvenile banyak
tertangkap terutama oleh alat tangkap payang yang kurang selektif dan dioperasikan pada
area penyebaran ikan kembung yang belum dewasa yaitu di teluk staring bagian dalam.
Pengoperasian jaring insang dengan ukuran mata jarring yang dibatasi dapat menjadi
alternatif solusi bagi masalah ini. Adapun untuk ikan kuwe, Teluk Staring diduga
merupakan salah satu habitat utama ikan ini sehingga penelitian untuk mengetahui sebaran
ukuran ikan sebagai rekomendasi untuk megatur daerah penangkapan sangat diperlukan.
Tabel 4.8. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Karang yang Telah Mencapai Ukuran
Pertama Kali Matang Gonad (LFM) di Perairan Labuan Beropa
Belum Mencapai LFM
Telah Mencapai LFM
Jumlah
Bulan
(ekor)
Ekor
%
Ekor
%
44
24.04
139
75.96
183
April
60
18.35
267
81.65
327
Mei
31
13.9
192
86.1
223
Juni
55
19.71
224
80.29
279
Juli
19
81
Rerata
Sumber : Minsaris (2014)
Hasil wawancara nelayan tentang komposisi spesies target yang tertangkap selama
5 tahun terakhir menggambarkan kecenderungan komposisi ikan target lebih banyak dari
pada ikan-ikan non target. Terdapat 84,8 - 91,9% responden dari masing-masing kelompok
sumberdaya ikan menyatakan bahwa proporsi ikan target lebih banyak dari pada ikan non
target. Dalam hal ini spesies target termasuk beberapa jenis ikan selain jenis yang menjadi
obyek kajian. Ikan target dari kelompok ikan karang adalah ikan-ikan konsumsi dari
sebgaian besar family Serranidae, family Carangidae, Lethrinidae, Lutjanidae, Haemulidae
dan Siganidae. Ikan target yang ditangkap dengan alat tangkap yang menangkap ikan
kembung adalah ikan-ikan pelagis lainnya seperti layang, selar, tembang, sedangkan ikan
kuwe dapat tertangkap bersama ikan pelagis maupun ikan karang sebagai target.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 18
Ikan Karang
Ikan Kembung
6.67%
4.44%
Ikan Kuwe
8.06%
3.03
%
88.89
%
84.85
%
91.94
%
Target Lebih Banyak
Target = Non Target
Target Lebih Sedikit
12.12
%
Target Lebih Banyak
Target = Non Target
Target Lebih Sedikit
Target Lebih Banyak
Target = Non Target
Target Lebih Sedikit
Gambar 4.4. Perbandingan Jawaban Responden Tentang Komposisi Ikan Target dan Non
Target yang Tertangkap dalam 5 tahun terakhir.
Berdasarkan data hasil penelitian Minsaris (2014) di Labuan Beropa, ikan hasil
tangkapan alat penangkap ikan karang yakni rawai dasar dan pancing kedo-kedo
didapatkan 29 spesies dari 11 family. Komposisi spesies target dan non target jumlahnya
tidak terpaut jauh yakni 40,36% untuk spesies target dan 59,64 untuk spesies non target.
Selengkapnya disajikan pada Tabel 4.9. Atas gambaran tersebut di atas maka untuk
indikator komposisi hasil tangkapan diberi skor 3.
Tabel 4.9. Komposisi Spesies Ikan Karang Hasil Tangkapan Nelayan di Labuan Beropa
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Famly
Carangidae
Spesies
Caranx ferdaus
Caranx sexfasceatus
Cephalopholis boenak
Serranidae
Cephalopholis sonnerati
Epinephelus coioides
Epinephelus areolatus
Epinephelus howlandi
Epinephelus ongus
Epinephelus quoyanus
Plectropomus pessuliferus
Plectropomus leopardus
Plectropomus areolatus
Plectropomus oligacanthus
Jumlah
individu
16
19
78
11
26
3
13
13
19
59
62
9
11
Komposisi (%)
Target Non target
1.58
1.88
7.72
1.09
2.57
0.30
1.29
1.29
1.88
5.84
6.13
0.89
1.09
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 19
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Lutjanus argentimaculatus
Lutjanus bohar
Lethrinidae
Letrinus microdon
Nemipterus balinensis
Nemipterus japonicas
Nemipteridae
Scolopsis ciliate
Scolopsis affinis
Priacantus humrur
Priacanthidae
Cookelous japonicas
Parupeneus barberinus
Mullidae
Upeneus tragula
Plectorhinchus lineatus
Haemulidae
Plectorhinchus chrysotaenia
Synodontidae Saurida tumbil
Siganidae
Siganus argenteus
Sphyraeinidae Spyraena barracuda
Lutjanidae
Jumlah Total
88
30
4
205
85
24
45
19
48
22
48
4
14
26
7
3
8.70
2.97
0.40
-
0.69
-
20.28
8.41
2.37
4.45
1.88
4.75
2.18
4.75
2.57
0.30
1011
40.36
59.64
0.40
1.38
-
Sumber: Minsaris (2014)
Komposisi hasil tangkapan payang di Teluk Staring bagian dalam menunjukan
dominasi dua spesies ikan kembung yaitu Rastreliger canagurta dan Rastereliger
brachysoma yang mencapai 82% (Gambar 4.5). Hal ini menggambarkan tingginya
dominasi spesies target, meskipun demikian spesies lainnya yang tertangkap tidak dibuang
(bukan discards). Sayangnya kedua spesies target diatas seluruhya belum mencapai ukuran
dewasa yaitu 24 cm untuk R.canagurta (Musse dan Huttubessy, 1996), dan 22 cm
(Nurhakim, 1993).
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 20
Rastrelliger canagurta
46.7%
Rtrelligeras bracysoma
35.3%
Atule mate
6.1%
Sardinella fimbriata
3.9%
Selaroides spp
2.8%
Selar boops
1.3%
Sardinella jussieu
1.2%
Secutor rucorius
0.9%
Selaroides leptolepis
0.7%
Scomberomorus semifasciatus
0.6%
Selar crumenopthalmus
0.2%
Pterocaesio diagramma
0.2%
Pterocaesio pisang
0.7%
Pterocirtes lupus
0.5%
Pterocaesio tile
0.4%
Leiognathus fasciatus
0.2%
Carangoides spp
0.1%
Elagatis bipinulatus
0.3%
Siganus canaliculatus
0.1%
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
Gambar 4.5. Komposisi Jenis Ikan Hasil Tangkapan Payang di Teluk Staring
Bagian Dalam (Abdullah, 2011).
Untuk indikator Range Collapse sumberdaya ikan, dari hasil wawancara kepada
nelayan yang menangkap ketiga kelompok sumberdaya ikan yang dikaji maka diperoleh
54,55 – 67,74 % responden menyatakan kondisi mencari ikan 3 tahun terakhir semakin
sulit dan sekitar 32,26-42,45 % respoden mengatakan kondisi mencari ikan sama saja (lihat
Gambar 4.6). Indikator ini diberi skor 1.
Ikan Karang
42.22
%
Ikan Kembung
45.4
5%
32.26
%
57.78
%
Ikan Kuwe
67.74
%
54.5
5%
Semakin sulit
sama saja
Semakin Mudah
Semakin sulit
Sama saja
Semakin Mudah
Semakin sulit
Sama saja
Semakin Mudah
Gambar 4.6. Perbandingan Jawaban Responden tentang Kemudahan Memperoleh Ikan.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 21
Kondisi semakin sulitnya memperoleh ikan yang dirasakan para nelayan
menggambarkan penurunan stok ikan di daerah penangkapan. Indikasi ini merupakan
akumulasi dari beberapa sebab seperti penangkapan ikan di daerah pembesaran yang
berpotensi menangkap ikan yang belum dewasa dan di daerah pemijahan yang berpotensi
menangkap ikan yang akan memijah khususnya untuk ikan-ikan pelagis. Pengoperasian
alat tangkap payang dengan alat bantu rumpon di Teluk Staring bagian dalam menangkap
ikan kembung muda. demikian pula pengoperasian bagan perahu dengan alat bantu lampu
di sekitar hutan mangrove di pesisir Moramo pada momen sekitar 10 hari antara Bulan
September sampai Nopember yang diduga sebagai momen pemijahan ikan teri menangkap
induk teri dalam densitas yang tinggi. Hal ini dapat berakibat terjadinya biological
overfishing dan recruitment overfishing. Pengaturan zona penangkapan dan pembatasan
alat tangkap serta penutupan musim pemijahan dari aktivitas penangkapan dapat menjadi
langkah pengelolaan yang efektif.
Selain itu kerusakan habitat khususnya terumbu karang akibat penggunaan bahan
peledak dan peningkatan kekeruhan akibat pasokan material dari beberapa muara sungai
juga berkontribusi dalam memberikan tekanan ekologis pada komunitas ikan di kawasan
ini. Pengelolaan secara terpadu dan penerapan model-model pengelolaan yang lebih ramah
lingkungan menjadi keharusan di Teluk Staring dan sekitarnya.
Adapun untuk indikator perubahan jarak fishing ground, sebagian besar responden
(63,64-75,56%) menyatakan semakin jauh jaraknya dalam 5 tahun terakhir. Dalam konteks
ini nelayan mentaktisi pola operasi dengan memindahkan daerah penangkapan. Nelayan
payang/bagan dapat berpindah hingga ke Teluk Lasolo di Konawe Utara, nelayan pancing
dapat berpindah kesekitar P. Cempedak, Wawonii dan Kolono
Berdasarkan hal tersebut maka untuk indikator range collapse sumberdaya ikan,
yaitu tingkat kesulitan memperoleh ikan dalam 3 tahun terakhir dapat di berikan skor
kriteria 1 yang berarti semakin menurun tergantung spesies target. Adapun tentang jarak
lokasi fishing ground umumnya respoden mengatakan bahwa lokasi penangkapan semakin
jauh sehingga nilai skor kriteria ini juga diberikan nilai 1.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 22
Ikan Karang
24.44
%
75.56
%
30.65
%
69.35
%
Semakin Dekat
Sama saja
Semakin Jauh
Ikan Kuwe
Ikan Kembung
Semakin Dekat
sama saja
Semakin Jauh
36.36
%
63.64
%
Semakin Dekat
Sama saja
Semakin Jauh
Gambar 4.7. Perbandingan Jawaban Responden tentang Perubahan Jarak Daerah Penangkapan Ikan
Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan responden tentang pengalaman
tertangkapnya biota ETP menunjukan bahwa >90 % responden mengatakan bahwa nelayan
tidak pernah menangkap ikan yang tergolong ETP (lihat Gambar 4.8).
Ikan Kembung
Ikan Karang
1.61%
8.89%
91.11
%
98.39
%
>1 spesies
1 spesies
Ikan Kuwe
Tidak Ada
>1 spesies
6.06%
93.94
%
1 spesies
Tidak Ada
>1 spesies
1 spesies
Tidak Ada
Gambar 4.8. Perbandingan Jawaban Responden terhadap Spesies ETP yang Tertangkap.
Namun demikian hasil studi tentang bycatch biota ETP di wlayah SES (WWF,
2015) menyebutkan di perairan Konawe (dalam hal ini meliputi perairan pesisir Konawe
dan Konawe Selatan, Teluk Staring, Wawonii dan perairan lepas pantai antara P. Menui
dan P. Wawonii), terdapat 6 jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang menangkap
penyu. Pukat cincin yang berbasis di PPS Kendari dan Teluk Kolono menangkap penyu
sisik sebagai bycatch dalam porsi yang cukup besar yakni 20 ind./unit/tahun. Alat tangkap
ini dioperasikan malam hari dengan alat bantu rumpon dan lampu sebagai pengumpul ikan.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 23
Rawai dasar juga menangkap penyu dalam frekuensi yang cukup signifikan yakni 24
ind./unit /tahun. Rawai dasar ini terutama beroperasi di pesisir semenanjung Laonti dan
Pulau Cempedak yang menangkap penyu lekang, penyu sisik dan penyu hijau.
Tabel 4.10. Bycatch Penyu di wilayah Southern-Eastern Sulawesi Seascape berdasarkan informasi
nelayan.
Wilayah Perairan Alat tangkap
Bycatch
Jumlah
(ind./unit/tahun)
Teluk Staring,
Perairan Sekitar P.
Saponda, P. Hari
dan Laonti
Pukat Cincin
Penyu sisik
20
Bagan Perahu
Penyu Lekang
Penyu Hijau
4
Jaring Insang
Penyu lekang
Penyu sisik
Penyu hijau
1
Sero
Penyu lekang
3
Penyu sisik
Penyu hijau
Rawai dasar
Penyu lekang
Penyu sisik
24
Penyu hijau
Pancing tonda
Penyu lekang
Penyu sisik
Penyu hijau
2
Sumber : Laporan Studi Bycatch Biota ETP di Wilayah SES 2015, WWF dan FPIK UHO
Di perairan Tel. Staring dan Konawe terdapat lima jenis alat tangkap jaring maupun
pancing yang menangkap hiu sebagai bycatch yakni rawai dasar, jaring insang tetap, pancing ulur,
pancing tonda dan sero. Alat tangkap yang paling sering mendapat bycatch hiu yaitu rawai dasar
dan pancing ulur dengan intensitas 10 ind./unit/tahun. Alat tangkap lainnya hanya menangkap 3-6
ind./unit/tahun. Rawai dasar yang beroperasi di perairan Wawonii Tenggara menangkap beberapa
jenis hiu dengan intensitas 2-4 ind./unit/tahun, sedangkan di Labuan Beropa dapat menangkap hiu
karang sebanyak 10-30 ind./unit/tahun. Pengoperasian rawai dasar menggunakan umpan segar di
sekitar terumbu karang menarik perhatian hiu karang untuk memakan umpan. Di Desa Mekar di
Soropia masih ada nelayan yang mengoperasikan jaring insang dengan ukuran panjang 400 m,
lebar 2,5 m dan mesh size 30 cm untuk menangkap hiu sebagai spesies target dengan daerah
operasi di sekitar Pulau Saponda dan Saponda Laut (Laporan Studi Bycatch Biota ETP di Wilayah
SES 2015-WWF dan FPIK UHO, 2015).
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 24
Di perairan Konawe Selatan terdapat 4 jenis alat tangkap jaring maupun pancing yang
menangkap lumba-lumba sebagai bycatch. Rawai dasar yang beroperasi di pesisir semenanjung
Laonti dan P. Cempedak menangkap lumba-lumba sebagai dalam jumlah yang sangat sedikit yaitu
sekitar 1 ind./unit/tahun namun dengan jenis yang bervariasi seperti lumba-lumba totol, lumbalumba paruh panjang, lumba-lumba biasa, lumba-lumba fraser dan lumba-lumba hidung botol.
Hiu
Dugong
Lumba
Paus
Penyu
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
Gambar 4.9. Persentase responden yang mengetahui status hiu, penyu, paus, lumba-lumba,
dugong, dan pari manta sebagai biota langka dan dilindungi.
Di perairan Konawe, pada umumnya hiu yang tertangkap dengan rawai dasar
berada dalam kondisi cacat dan mati. Ada beberapa perlakuan yang di lakukan nelayan
terhadap hasil tangkapan biota ETP tersebut, seperti melepaskan kembali jika biota non
target tersebut masih hidup dan tidak diperlukan, namun kadang-kadang di ambil
digingnya untuk dikondumsi. Sementara itu hiu yang tertangkap sebagai target diambil
dagingnya baik hidup maupun mati pada saat tertangkap untuk dijual dalam bentuk
kabengka (bahasa lokal) seperti yang terjadi di Kecamatan Soropia. Berdasarkan uraian di
atas maka untuk indikator Biota ETP diber skor 1.
Untuk indikator densitas ikan karang diambil sampel pada perairan Labuan
Beropa dan Pulau Hari. Berdasarkan hasil pengamatan pengukuran ikan karang
yang didapatkan di sekitar terumbu karang perairan Desa Labuan Beropa
menunjukan adanya perbedaan densitas antara tahun 2010, 2012, dan 2013, dimana
pada tahun 2010 nilai densitas ikan karang cenderung tinggi dibandingkan dua
tahun setelahnya. Apabila dirata-ratakan densitas ikan karang pada tahun 2014
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 25
yaitu berkisar 0,72 ind/m2, tahun 2012 jumlahnya berkisar 0,68 ind/m2, dan pada
tahun 2010 nilainya berkisar 1,90 ind/m2. Ini berarti densitas ikan karang >10
ind/m2 sehingga diberi skor 1.
Tabel 4.11. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa
Labuan Beropa pada Tahun 2014
Hasil Pengukuran kan Karang
Stasiun Pengamatan
II
III
83
142
13
18
10
10
0,332
0,568
I
307
15
11
1,228
jum. Individu (Ind./250m2)
jum. Jenis
Jum. Famili
Densitas (ind./m2)
IV
184
13
8
0,736
Sumber : Data Primer Selama Penelitian
Tabel 4.12. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa
Labuan Beropa pada Tahun 2012
Hasil Pengukuran Ikan Dasar
jum. Individu (Ind./250m2)
jum. Jenis
Jum. Famili
Densitas (ind./m2)
Sub Stasiun Pengamatan
4
5
6
1
2
3
7
8
9
84
16
102
17
320
18
136
13
300
22
100
16
219
28
127
20
87
19
9
0.557
12
0.408
14
1.280
11
0.544
12
1.200
11
0.400
16
0.876
12
0.508
14
0.348
Sumber : Sidik, 2012
Tabel 4.13. Hasil Pengamatan Kepadatan Ikan Karang di Sekitar Perairan Desa
Labuan Beropa pada Tahun 2010
Hasil pengukuran ikan karang
jum. Individu (Ind./250m2)
jum. Jenis
Jum Total Family (stasiun 1-3)
Densitas (ind./m2)
Stasiun Pengamatan
II
458
66
18
1,996
1,832
I
499
63
III
468
63
1,872
Sumber : Udia, 2010
4.1.3. Domain Teknologi Penangkapan Ikan
Berdasarkan aspek teknis penangkapan ikan telah dirumuskan 6 (enam) indikator
utama, yakni: (1) metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal, (2)
modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan, (3) Fishing capacity dan
effort, (4) Selektivitas penangkapan, (5) Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan
ikan dengan dokumen legal, dan (6) Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan
peraturan.
Kegiatan penangkapan ikan yang bersifat destruktif di wilayah studi masih
merupakan salah satu masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan dalam pengelolaan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 26
perikanan.
Meskipun jumlah responden yang mengungkapkan masih terjadinya
penggunaan bahan peledak jumlahnya relatif sedikit yakni 12,1-17,8 % tetapi intensitas
pelanggaran yang mereka ungkapkan sangat besar yakni 1-300 kali per tahun (lihat Tabel
4.14). Ada dugaan bahwa sebagian besar reponden menyembunyikan informasi tersebut,
atau pelanggaran dengan intensitas yang tinggi tersebut terjadi pada lokasi-lokasi tertentu
yang “tersembunyi” dari akses/alur masyarakat umum atau kurang terjangkau oleh
pengawasan. Berdasarkan informasi tersebut maka indikator metode penangkapan yang
destruktif atau ilegal dapat diberi skor 1 yaitu frekuensi pelanggaran lebih dari 10 kali per
tahun.
Tabel 4.14.
Kategori nelayan
Nelayan Ikan
Karang
Nelayan Ikan
Kembung
Nelayan Ikan
Kuwe
Jumlah responden yang menyatakan terjadinya penggunaan bom di wilayah
studi
Responden
Jumlah
%
8
17,8
Intensitas
(kali/tahun)
1-300
8
12,9
3-100
4
12,1
24-100
Daerah Penangkapan
P.Bokori, P.Hari, P.Saponda, T.Tiram, Tel.
Staring
P.Hari,
P.Saponda,
Tambeanga,
Tamboloosu, P.Lemo, Tg.Tiram
P.Hari, P.Saponda, L.Beropa, Wawonii
Tampaknya pendekatan pengawasan masih menjadi pilihan utama untuk mengatasi
destruktif fishing, disamping tentunya upaya penyadaran yang terus menerus. Belum ada
peningkatan yang signifikan dari frekuensi pengawasan karena alasan klasik yaitu
terbatasanya anggaran untuk pengawasan. Kegiatan pengawasan di wilayah KKPD Sultra
dan sekitarnya dapat dilakukan secara terpadu termasuk sharing anggaran antara ketiga
kabupaten terkait dan pemerintah propinsi. Selain itu juga telah ada kelompok-kelompok
masyarakat pengawas namun hingga saat ini belum efektif. Pemberian insentif untuk
memacu kinerja pokmaswas dapat dilakukan. Adanya kegiatanya pengwasan dapat
memberikan harapan bahwa tekanan perikanan yang ilegal bisa menurun.
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan di suatu
wilayah akan menggambarkan kualitas dan kapasitas nelayan dalam berinovasi dan
mengadopsi teknologi. Dalam kajian ini kualitas modifikasi alat tangkap oleh nelayan
diukur dari sifat selektif alat tangkap yang berkembang di wilayah itu terhadap ukuran ikan
yang telah dewasa. Persoalannya adalah pada umumnya nelayan belum mengetahui ukuran
minimal ikan target yang telah dewasa.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 27
Hasil pengukuran ikan hasil tangkapan nelayan ikan karang di Labuan Beropa
menunjukkan bahwa 81% hasil tangkapan mereka telah mencapai ukuran dewasa (lihat
Tabel 4.15). Hal ini didorong oleh keinginan nelayan untuk menangkap ikan yang cukup
besar untuk memenuhi grade harga di pasaran. Penggunaan pancing rawai dan kedo-kedo
dengan mengatur ukuran mata pancing sangat efektif memenuhi keinginan nelayan
tersebut.
Tabel 4.15.
Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Karang yang Telah Mencapai Ukuran
Pertamakali Matang Gonad (LFM) di Labuan Beropa
Belum Mencapai LFM
Telah Mencapai LFM
Jumlah
Bulan
(ekor)
Ekor
%
Ekor
%
44
24.04
139
75.96
183
April
60
18.35
267
81.65
327
Mei
31
13.9
192
86.1
223
Juni
55
19.71
224
80.29
279
Juli
19
81
Rerata
Sumber : Minsaris (2014)
Hasil pengoperasian payang di Teluk Staring bagian dalam dengan target ikan
kembung mendapatkan hasil tangkapan 82% ikan kembung, dan 100% ikan yang
tertangkap berukuran 10-18,4 cm sementara Lfm ikan kembung 22 dan 24 cm (Nurhakim,
1993 dan Musse dan Hutubessy, 1996) (Abdullah, 2011). Adapun untuk ikan kuwe tidak
ditemukan cukup data, namun ada indikasi pengoperasian alat tangkap yang relatif dekat
dengan garis pantai berpotensi menangkap juvenile ikan kuwe. Oleh karena itu maka untuk
indikator modifikasi alat tangkap diberi skor 1,7.
Alat penangkap ikan di kawasan KKPD Sultra baik ikan karang maupun ikan
pelagis yaitu sero, jaring insang, bubu, rawai dan pancing, purse seine, bagan dan payang.
Beberapa bentuk modifikasi disain maupun pengoperasian alat tangkap khususnya untuk
menangkap ikan karang di daerah ini adalah : (1) Jaring insang yang umumnya
dioperasikan secara pasif di dasar perairan, untuk meningkatkan produktivitas nelayan
mengoperasikan gill net dengan cara melingkari dan mempersempit ruang gerak ikan
(aktif). Modifikasi ini bisa menyebabkan penurunan ukuran ikan
sebab ukuran ikan
dipengaruhi ukuran mata jaring, sedangkan nelayan setempat untuk mendapatkan hail yang
tinggi maka mereka mengatur mesh sizemenjadi,lebih kecil. (2) Sero menggunakan jaring
sebagai dinding pada penaju, sayap dan badan , bahkan waring pada area bunuhannya.
Modifikasi ini tidak selektif terhadap jenis dan ukuran tagkapan. (3) Modifikasi pancing
adalah dengan mengubah ukuran mata pancing dan jenis umpan. Sedangkan alat tangkap
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 28
untuk menangkap ikan pelagis modifikasinya dalam oprasi penangkapannya khususnya
penggunaan rumpon pada alat tangkap payang dan purse seine dan lampu pada bagan yang
menyebabkan semua kelompok ukuran ikan tertangkap mulai dari juvenil hingga yang
dewasa.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 29
Tabel 4.16. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Teknik Penangkapan Ikan.
INDIKATOR
KRITERIA
1. Metode
penangkapan ikan
yang bersifat
destruktif dan atau
ilegal
1=frekuensi pelanggaran > 10
kasus per tahun;
2 = frekuensi pelanggaran 510 kasus per tahun ;
3 = frekuensi pelanggaran <5
kasus per tahun
2. Modifikasi alat
penangkapan ikan
dan alat bantu
penangkapan.
1 = lebih dari 50% ukuran
target spesies < Lm ;
2 = 25-50% ukuran target
spesies < Lm
3 = <25% ukuran target
spesies < Lm
3. Kapasitas
1 = Rasio kapasitas penangkapan
< 1;
Perikanan dan
Upaya Penangkapan 2 = Rasio kapasitas penangkapan
(Fishing Capacity
= 1;
and Effort)
3 = Rasio kapasitas penangkapan
>1
4. Selektivitas
1 = rendah (> 75%) ;
penangkapan
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%)
penggunaan alat tangkap yang
tidak selektif)
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
DATA ISIAN
IKAN KUWEH
Terdapat 8 orang (17,8%)
responden menyatakan masih
terjadi penggunaan bahan peledak
dengan kisaran 24-300 kali
pertahun. Fishing ground meliputi
P.Hari, P.Saponda, P.Bokori,
Tg.Tiram dan Tel. Staring
Terdapat 8 orang (12,9%)
responden menyatakan terjadi
penggunaan bom dengan
intensitas 3-100 kali pertahun.
Fishing Ground P.Hari,
P.Saponda, Tambeanga,
Tambolosu, P.Lemo dan
Tg.Tiram
Terdapat 4 orang (12,1%)
responden menyatakan masih
terjadi penggunaan bahan
peledak dengan intensitas
24-100 kali per tahun.
Fishing Ground P. Hari,
P.Saponda, Labuan Beropa
81% ikan karang yang tertangkap
telah mencapai ukuran pertama
matang gonad (Minsaris, 2014)
84% ikan ukuran ikan yang
tertangkap umunya berkisar 9 17,4 cm sementara Lm ikan
kembung 17,6 cm
(www.fishbase.org)
84 % hasil tangkapan
dibawah ukuran Lm (6 - 13,2
cm) sedangkan ukuran Lm =
13,8 cm utk jenis Sardinella
fimbriat (Abdullah, 2011)
1.7
25
2
41.7
Rasio Kapasitas Penangkapan
adalah 0,71
Rasio Kapasitas Penangkapan
adalah 0,96
Rasio Kapasitas
Penangkapan adalah 1,03
1.3
15
3
20.0
Terdapat 4 jenis alat tangkap
ikan yang tidak selektif dari 6
jenis alat tangkap yang beroperasi
di KPPD Sultra sehinggga PS =
66,7% sehingga ektivitasnya
kategori sedang (Data Primer,
2016)
Terdapat 4 jenis alat tangkap
ikan yang tidak selektif dari 6
jenis alat tangkap yang
beroperasi di KPPD Sultra
sehinggga PS = 66,7%
sehingga ektivitasnya kategori
sedang (Data Primer, 2016)
Terdapat 4 jenis alat tangkap
ikan yang tidak selektif dari 6
jenis alat tangkap yang
beroperasi di KPPD Sultra
sehinggga PS = 66,7%
sehingga ektivitasnya
kategori sedang (Data
Primer, 2016)
2.0
15
4
30.0
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 30
SKOR
BOBOT
(%)
1.0
30
RKG
NILAI
1
(Kill
er
Indic
ator)
30
INDIKATOR
5. Kesesuaian
fungsi dan ukuran
kapal penangkapan
ikan dengan
dokumen legal
6. Sertifikasi awak
kapal perikanan
sesuai dengan
peraturan.
KRITERIA
1 = kesesuaiannya rendah
(lebih dari 50% sampel tidak
sesuai dengan dokumen
legal);
2 = kesesuaiannya sedang
(30-50% sampel tidak sesuai
dengan dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi
(kurang dari 30%) sampel
tidak sesuai dengan dokumen
legal
1 = Kepemilikan sertifikat
<50%;
2 = Kepemilikan sertifikat 5075%;
3 = Kepemilikan sertifikat
>75%
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
DATA ISIAN
IKAN KUWEH
Ukuran kapal relatif kecil dan
tidak membutuhkan dokumen
untuk kapal penangkapan ikan
karang
Semua sampel kapal
penangkapan memiliki
spesifikasi kapal penankapan
ikan sesuai dengan
kelengkapan dokumennya
(Purse seine dan payang)
Semua respoden tidak memiliki
sertifikat kecakapan
Hanya Nahkoda yang memiliki
sertifikasi kecakapan
sedangkan anak buah yag lain
tidak memiliki sertifikasi
kecakapan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
SKOR
BOBOT
(%)
RKG
NILAI
Semua sampel kapal
penangkapan memiliki
spesifikasi kapal penankapan
ikan sesuai dengan
kelengkapan dokumennya
(Purse seine dan payang)
2.0
10
5
20.0
Hanya Nahkoda yang
memiliki sertifikasi
kecakapan sedangkan anak
buah yag lain tidak memiliki
sertifikasi kecakapan
1.0
5
6
5.0
RERATA
1.5
TOTAL
100
IV - 31
TOTAL
146,7
Informasi yang berhubungan dengan Indikator fishing capacity dan effort di
Kabupaten Konawe Selatan tidak tersedia khususnya estimasi produksi pada tahn
berikutnya. Namun dari informasi respnden hasil wawancara nelayan dirasakan tidak ada
perbedaan fishing capacity dalam beberapa tahun terakhir. Dengan demikian indikator
fishing capacity dapat diberi skor 2 yakni FCm : FCn = 1.
Untuk memperoleh data yang menggambarkan Fishing Capacity and Effort Ratio
dilakukan estimasi menggunakan data statistik perikanan tahun 2009 dan 2013 dari ketiga
kabupaten yang terkait dengan KKPD Sultra. Dengan memodifikasi perhitungan
menggunakan factor koreksi berupa factor tangkapan dan faktor sebaran maka diperoleh
nilai Fishing Capacity and Effort Ratio 0,97-1,4 sebagaimana pada Tabel 4.18. Oleh
karena itu untuk indikator ini diberi skor 1,3.
Tabel 4.17. Estimasi Fishing Capacity and Effort Ratio
Kelompok
SDI
Alat tangkap
Faktor
Faktor
tangkapan
sebaran
Jmlah unit
2009
2013
Produksi
(kg/thn)
Fishing Capacity
2009
2013
Ikan
Rawai
0.8
0.6
606
606
3582
1041932.16
1041932.16
Karang
Pancing Ulur
0.5
0.6
1727
1710
4812
2493097.2
2468556
Bubu
Jaring
Insang
100
0.6
192
130
2840
32716800
22152000
0.2
0.6
454
545
5565
303181.2
363951
Ikan
Pukat cincin
0.3
0.6
297
447
Kembung
Pancing
0.3
0.6
1727
Payang
Jaring
Insang
0.8
0.6
21
0.5
0.6
454
545
Bagan
0.7
0.6
172
96
4,659,811
4,490,902
Pancing
Jaring
Insang
0.2
0.6
1727
1710
6314
1308513.36
1295632.8
0.3
0.6
454
545
4864
397486.08
477158.4
Rawai
0.2
0.6
606
606
3582
260483.04
260483.04
1,966,482
2,033,274
Jumlah
36,555,011
26,026,439
42800
2288088
3443688
710
7323
2276427.78
935879.4
166
24000
241920
1912320
5115
696663
836302.5
20000
1444800
806400
Jumlah
Ikan
Kuwe
Jumlah
Ratio
Pada tahun 2012 di Kabupaten Konawe Selatan terdapat terdapat 13 jenis alat
tangkap
ikan yang digunaan oleh nelayan dan terdaftar di DKP Kabupaten Konawe
Selatan. Dari 13 jenis alat tangkap tersebut terdapat 3 jenis alat tangkap yang tidak selektif
sehinggga persentase antara jumlah alat tangkap yang tergolong memiliki selektivitas
rendah (PS) adalah adalah 23,07% (DKP, 2012). Sehingga itu indikator ini dapat diberi
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 32
1.40
1.03
0.97
skor 3 yaitu selektivitas penangkapan tinggi (kurang dari 50% penggunaan alat tangkap
yang tidak selektif)
Hasil penelusuran pada masyarakat nelayan di sekitar KKPD Sultra menunjukkan
bahwa sebagian besar dari kapal yang digunakan untuk perikanan terumbu karang adalah
kapal-kapal yang tidak memiliki dokumen legal dimana ukuran kapalnya rata-rata dibawah
5 GT khususnya kapal penangkapan ikan yang menangkap
ikan karang dengan alat
tangkap pancing, sero dan alat tangkap bagan . Sedangkan kapal kapal yang berukuran
besar (mulai dari 5 GT) khususnya yang menangkap ikan cakalang, kembung dan ikan
layang dengan alat tangkap purse seine memiliki dokumen legal. Berdasarkan fenomena
tersebut maka Indikator kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan
dokumen legal dapat diberi skor 2 yaitu kesesuaiannya sedang (30-50%) sampel tidak
sesuai dengan dokumen legal.
Pada umumnya nelayan ikan karang di sekitar Sultra KKPD
adalah nelayan
tradisional dan semi komersil dengan skala usaha yang kecil khusunya alat tangkap
pancing untuk menangkap ikan karang dan alat tangkap bagan berukuran kurang dari 5
GT, sehingga tidak diwajibkan memiliki sertifikat, bahkan tidak mengetahui akan perlunya
sertifikat. Sedangkan nelayan pada alat tangkap purse seine dan payang nahkodanya
memiiki sertifikasi kecakapan. Berdasarkan hal tersbut maka indikator sertifikasi awak
kapal perikanan sesuai dengan peraturan dapat diberi skor 1 yaitu kepemilikan sertifikat
<50%.
4.1.4. Domain Sosial
Terdapat 3 (tiga) indikator penilaian untuk domain sosial yaitu partisipasi pemangku
kepentingan, konflik perikanan dan pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge).
Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM perikanan yang dikaji di kawasan KKPD
Sulawesi Tenggara pada domain sosial ditampilkan dalam Tabel 4.18.
Pengelolaan perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara khususnya di
DKP masih semata-mata merupakan domain bidang perikanan tangkap DKP sehingga
partisipasi dan siklus pengelolaan sifatnya masih parsial dan belum jelas. Partispasi
pemangku kepentingan ditandai hanya dengan keikutsertaan setiap kegiatan pelatihan,
workshop maupun bimbingan teknis (bintek) yang hanya berkaitan dengan tupoksi masingWWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 33
masing bidang. Ditambah lagi, tindak lanjut dari hasil yang disepakati dalam kegiatankegiatan pelatihan, workshop maupun bintek tersebut umumnya tidak dilaksnakan dan
adapun dilaksanakan, pelaksanaannya tidak efektif.
Keterkaitan ataupun kolaborasi instansi utama (DKP) dengan instansi lain di lingkup
kawasan KKPD Sulawesi Tenggara belum berjalan efektif atau dengan kata lain masih
bersifat sektoral. Umumnya kegiatan-kegiatan pengembangan kesadaran ataupun
pelatihan-pelatihan yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan KKPD Sulawesi
Tenggara dari suatu instansi terkait, jarang diketahui oleh instansi lain. Uraian tersebut di
atas menyiratkan bahwa indikator partisipasi pemangku kepentingan pengelolaan
perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masuk dalam kategori kurang
dari 50%, baik terhadap ikan karang, ikan kembung maupun ikan kuweh. Berdasarkan hal
tersebut, maka untuk indikator ini diberikan skor 1.
Konflik pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di kawasan KKPD Sulawesi
Tenggara umumnya berhubungan dengan konflik pemanfaatan fishing ground dan konflik
kebijakan. Konflik pemanfaatan fishing ground umumnya terjadi antara nelayan lokal
dengan nelayan pendatang (nelayan andong). Adapun sesama nelayan lokal, konflik fishing
ground umumnya jarang terjadi bahkan tidak terjadi sekalipun dalam beberapa tahun
belakangan.
Konflik fishing ground antara nelayan lokal dengan pendatang biasanya terjadi dalam
bentuk nelayan pendatang menangkap di lokasi penangkapan nelayan lokal. Nelayan lokal
merasa bahwa hal ini dapat mengurangi hasil tangkapan mereka karena ikan-ikan telah
banyak tertangkap oleh nelayan pendatang, karena umumnya nelayan pendatang memiliki
kapasitas penangkapan yang lebih besar. Dengan demikian, ikan-ikan di lokasi
penangkapan lebih cepat berkurang. Hal ini menimbulkan kecemburuan bagi nelayan lokal
dan jika hal ini terus dibiarkan, maka dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik yang lebih
luas. Adapun konflik kebijakan hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat di kawasan
KKPD Sulawesi Tenggara biasanya terjadi dalam bentuk kebijakan lembaga terkait yang
satu dengan yang lain tidak sejalan. Hal ini menimbulkan kebingungan dikalangan
masyarakat yang dapat menjadi cikal bakal konflik yang lebih meluas ataupun berujung
pada pelanggaran-pelanggaran terkait pengelolaan perikanan di kawasan KKPD Sulawesi
Tenggara.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 34
Secara keseluruhan, berdasarkan hasil kajian konflik perikanan di kawasan KKPD
Sulawesi Tenggara baik terhadap ikan karang, ikan kembung maupun ikan kuweh, konflik
fishing ground dan konflik kebijakan khususnya nelayan yang memanfaatkan bagan rambo
serta rumpon sebagai alat bantu sering terjadi bahkan sampai pada kategori > 5 kali
setahun.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk indikator konflik perikanan
hubungannya dengan kondisi sosial masyarakat di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara
diberikan skor 1.
Pengetahuan dan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di kawasan
KKPD Sulawesi Tenggara pada umumnya adalah pengetahuan yang terkait dengan musim,
iklim dan dinamika melimpah dan menurunnya sumberdaya ikan. Pengetahuan tersebut
bersumber dari pengalaman masing-masing nelayan yang umumnya sudah puluhan tahun
bergelut dibidang perikanan tangkap. Meskipun demikian, pengetahuan-pengetahuan
tradisional seperti ini hampir sudah tidak digunakan lagi karena sulitnya memprediksi
perubahan-perubahan iklim dan cuaca beberapa tahun belakangan ini. Berbeda dengan
sepuluh atau dua puluh tahun sebelumnya, perubahan cuaca masih dapat diprediksi
sehingga pengetahuan-pengatahuan tradisional yang telah disebutkan di atas sangat
dibutuhkan dalam aktifitas operasi penangkapan ikan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden mengenai pengetahuan lokal
yang dimaksud, diperoleh bahwa bahwa semua responden di lokasi survei mengatakan
tidak memanfaatkan pengetahuan lokal dalam melakukan penangkapan ikan. Hal ini
karena sudah seringnya dilakukan penyuluhan-penyuluahan dan pelatihan-pelatihan terkait
teknologi penangkapan ikan. Selain itu, sulitnya menangkap ikan pada masa-masa
sekarang ini akibat susahnya memprediksi cuaca, juga turut mempengaruhi jarangnya atau
bahakan tidak digunakan lagi pengetahuan lokal dalam operasi penangkapan ikan.
Berdasarkan uraian di atas tersebut, maka untuk indikator pemanfaatan pengetahuan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological
knowledge), diberikan skor 1.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 35
Tabel 4.18. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Sosial.
INDIKATOR
1. Partisipasi
pemangku
kepentingan
DEFINISI/
PENJELASAN
Keterlibatan
pemangku
kepentingan
KRITERIA
1 = kurang dari 50%;
2 = 50-100%;
3 = 100 %
2. Konflik
perikanan
3. Pemanfaatan
pengetahuan lokal
dalam pengelolaan
sumberdaya ikan
(termasuk di
dalamnya TEK,
traditional
ecological
knowledge)
Resources conflict,
policy conflict,
fishing gear
conflict, konflik
antar sector.
1 = lebih dari 5
kali/tahun;
2 = 2-5 kali/tahun;
Pemanfaatan
pengetahuan lokal
yang terkait dengan
pengelolaan
perikanan
1 = tidak ada;
3 = kurang dari 2
kali/tahun
2 = ada tapi tidak
efektif;
3 = ada dan efektif
digunakan
BOBOT RANKIN
(%)
G
IKAN KARANG
IKAN KEMBUNG
IKAN KUWEH
SKOR
Pengelolaan perikanan
tangkap masih
merupakan Domain
Bidang perikanan tangkap
DKP sehingga partisipasi
dan siklus pengelolaan
sifatnya parial belum
jelas, (DKP Sultra, 2016)
Partispasi pemangku
kepentingan di tandai
dengan keikutsetaan
setiap kegiatan pelatiahn,
workshop maupun bintek
yang hanya berkaitan
dengan tupoksi masingmasing bidang
1.0
40
1
40.0
Hasil wawancara 4,4 %
responden mengatakan
adanya konflik
pemanfaatan fising
ground dan kebijakan
khususnya nelayan yang
memanfaatkan bom, bius
dengan frekuensi lebih
dari 5 kali (DKP Prov,
2016)
20,97 % responden
mengatakan adanya
konflik pemanfaatan
fishing ground dan
kebijakan khususnya
nelayan yang
memanfaatkan bagan
rambo serta rumpon
sebagai alat bantu lebih
dari 5 kali (DKP Prov,
2016)
Semua responden di
lokasi survei mengatakan
tidak memanfaatkan
pengetahuan lokal dalam
melakukan penangkapan
ikan krn sdh sering ada
penyuluhan dan
menangkap ikan saat ini
sdh semakin sulit
Partispasi pemangku
kepentingan di tandai
dengan keikutsetaan
setiap kegiatan
pelatiahn, workshop
maupun bintek yang
hanya berkaitan dengan
tupoksi masing-masing
bidang
6,1 % responden
mengatakan adanya
konflik pemanfaatan
fising ground dan
kebijakan khususnya
nelayan yang
memanfaatkan rumpon
sebagai alat bantu
maupun bom lebih dari
5 kali (DKP Prov, 2016)
1,0
35
2
35
Semua responden di
lokasi survei
mengatakan tidak
memanfaatkan
pengetahuan lokal
dalam melakukan
penangkapan ikan krn
sdh sering ada
penyuluhan dan
menangkap ikan saat ini
sdh semakin sulit
1.0
25
3
25
Semua responden di
lokasi survei mengatakan
tidak memanfaatkan
pengetahuan lokal dalam
melakukan penangkapan
ikan krn sdh sering ada
penyuluhan dan
menangkap ikan saat ini
sdh semakin sulit
RERAT
A
1,0
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 36
TOTAL
100
NILAI
TOTAL
100
4.1.5. Domain Ekonomi
Aspek ekonomi ditetapkan 4 (empat) indikator utama, yakni: (1) kepemilikan aset, (2) pendapatan rumah tangga perikanan (RTP), dan
(3) rasio tabungan, Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain ekonomi ditampilkan dalam Tabel 4.19.
Tabel 4.19. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Ekonomi.
INDIKATOR
DEFINISI/
PENJELASAN
1. Kepemilikan
Aset
Perubahan nilai/jumlah
aset usaha RTP cat : aset
usaha perikanan atau
aset RT.
2. Pendapatan
rumah tangga
(RTP)
Pendapatan total RTP
yang dihasilkan dari
usaha RTP
3. Rasio
Tabungan
(Saving ratio)
menjelaskan tentang
rasio tabungan terhadap
pendapatan bersih
KRITERIA
BOBOT
RANKING
(%)
IKAN KARANG
IKAN KEMBUNG
IKAN KUWEH
SKOR
1 = nilai aset
berkurang (lebih
dari 50%) ;
2 = nilai aset tetap
(kurang dari 50%);
3 = nilai aset
bertambah (di atas
50%)
1= kurang dari ratarata UMR,
2= sama dengan
rata-rata UMR,
3 = > rata-rata UMR
Dalam 1 tahun terakhir
seluruh responden
menyatakan ada
peningkatan aset usaha
perikanan maupun aset
rumah tangga, tetapi <50%
Mayoritas responden
memiliki nilai aset tetap
(kurang dari 50%)
Mayoritas responden memiliki
nilai aset tetap (kurang dari
50%)
2,0
45
1
90
100% responde memeiliki
pendapatan diatas UMR
(Rp 1.690.00 – Rp.
3.400.00)
Rata-rata pendapatan
responden (Rp. 4.415.000 per
bulan) perbulan melebih UMR
regional Sulawesi Tenggara
2016 ( Rp 1.850.000)
3,0
30
2
90
1 = kurang dari
bunga kredit
pinjaman;
2 = sama dengan
bunga kredit
pinjaman;
3 = lebih dari bunga
kredit pinjaman
SR= 46,33% - 72,79%.
Besarnya bunga kredit
pinjanman = 7,52 – 8,22%
per September 2013
Rata-rata pendapatan
responden ( Rp.
3.215.000 per bulan)
melebih UMR regional
Sulawesi Tenggara 2016
( Rp 1.850.000)
Suku bunga kredit Sultra
bulan Oktober s/d
Desember 2016 sebesar
7,25 - 7,5% (BI Sultra,
2016), sedangkan ratio
tabungan rata-rata
responden nelayan
penangkap ikan karang
=47,4%
Suku bunga kredit Sultra bulan
Oktober s/d Desember 2016
sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra,
2016), sedangkan ratio
tabungan rata-rata responden
nelayan penangkap ikan
kembung =66,5%
3,0
25
3
75
TOTAL
RERATA
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 37
2,67
100
NILAI
TOTA
L
255
Berdasarkan wawancara dengan responden pada setiap perikanan menunjukkan
bahwa nilai aset cenderung bertambah sesuai dengan omset usaha dan kepemilikan sarana
usaha. Pada umumnya RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara merupakan nelayan
skala kecil dengan aset milik sendiri. Aset-aset mereka terdiri dari bodi batang atau perahu,
alat tangkap dan mesin. Beberapa nelayan hanya memiliki alat tangkap dengan tanpa kapal
ataupun mesin, sehingga bertambah ataupun berkurangnya aset perikanannya hanya
seputar alat tangkap saja. Secara umum, aset-aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi
Tenggara pertambahan asetnya kurang dari 50%. Berdasarkan kriteria untuk indikator ini,
kepemilikan aset RTP di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masuk dalam kategori “nilai
aset tetap” atau dengan kata lain pertambahan aset mereka kurang dari 50%. Oleh karena
itu, berdasarkan kriteria ini, maka untuk indikator kepemilikan aset RTP di kawasan
KKPD Sulawesi Tenggara diberikan skor 2.
Indikator pendapatan rumah tangga nelayan (RTP) di kawasan KKPD Sulawesi
Tenggara menunjukkan tingkat pendapatan yang tergolong tinggi. Berdasarkan hasil
wawancara dan diskusi terarah dengan nelayan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara,
diperoleh bahwa rerata pendapatan RTP jenis perikanan karang, kembung dan kuweh
menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) yang
ditetapkan provinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2016 (Rp. 1850.000,-) (Tabel 4.21). Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan RTP perikanan karang, kembung dan
kuweh di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara telah sejahtera. Hal ini dapat didukung pula
oleh alasan penetapan UMR yang mengacu pada PDRB bahwa dengan nilai tersebut maka
masyarakat sudah tergolong sejahtera. Selain itu, kondisi ini juga menunjukkan bahwa
sumberdaya perikanan yang tersedia di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara masih cukup
untuk menopang kehidupan RTP yang memanfaatkan kawasan KKPD ini. Kondisi ini
diharapkan terus stabil bahkan meningkat hingga dimasa-masa yang akan datang.
Berdasarkan uraian di atas, maka untuk indikator pendapatan rumah tangga RTP di
kawasan KKPD Sulawesi Tenggara untuk semua jenis perikanan (karang, kembung dan
kuweh) yang dikaji dalam riset ini, masuk dalam kategori pendapatan lebih besar dari
UMR (>UMR) tahun 2016, sehingga diberikan skor 3.
Tingkat kesejahteraan yang dibahas pada indikator pendapatan RTP di kawasan
KKPD Sulawesi Tenggara juga didukung oleh tingginya prosentase rasio tabungan (saving
ratio) terhadap suku bunga BI Sulawesi Tenggara. Indikator rasio tabungan (saving ratio),
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 38
yakni perbandingan antara pendapatan dan pengeluaran pada masing-masing perikanan
yang dikaji dalam kawasan KKPD Sulawesi Tenggara, dapat dilihat pada Tabel 4.20:
Tabel 4.20. Perbandingan Rerata Pendapatan dan Pengeluaran serta Saving Rate pada
masing-masing jenis Perikanan di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara.
Rerata
Rerata
No.
Jenis Perikanan
Pendapatan Per
Pengeluaran Per
Saving Rate (%)
Bulan (Rp.)
Bulan (Rp.)
1. Ikan Karang
3.215.000,1.693.000,47,4
2. Ikan Kembung
4.415.000,1.480.000,66,5
3. Ikan Kuweh
3.750.000,1.537.000,58,9
Sumber: Data Primer 2016
Tabel 4.20 menunjukkan bahwa rasio tabungan RTP di kawasan KKPD Sulawesi
Tenggara untuk jenis perikanan karang, kembung dan kuweh masing-masing sebesar
47,4%, 66,5% dan 58,9%. Nilai-nilai prosentase ini lebih tinggi dari nilai suku bunga
kredit Sultra bulan Oktober s/d Desember 2016 sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra, 2016).
Berdasarkan informasi ini, maka secara keseluruhan baik untuk perikanan karang,
kembung maupun kuweh dapat disimpulkan bahwa indikator saving rate (SR) masuk
dalam kategori “lebih besar dari suku bunga kredit pinjaman”, sehingga dapat diberikan
skor 3.
4.1.6. Domain Kelembagaan
Aspek kelembagaan telah dirumuskan 6 (enam) indikator utama. Keenam kriteria
tersebut memiliki nilai bobot dan ranking yang berbeda berdasarkan pengaruh terhadap
pengelolaan perikanan, yakni: (1) Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal
maupun non-formal (Alat), (2) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (3)
mekanisme pengambilan keputusan, (4) rencana pengelolaan perikanan, (5) tingkat
sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, dan (6) kapasitas
pemangku kepentingan. Berdasarkan hasil analisis setiap indikator EAFM pada domain
kelembagaan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara
ditampilkan dalam Tabel 4.21.
Pelanggaran tertulis yang terjadi di Kabupaten Konawe Selatan yang ditemukan
umumnya berkaitan dengan dokumen dimana kapal-kapal penangkapan ikan tidak
dilengkapi dengan dokumen resmi. Data tertulis tentang pelanggaran terhadap aturanWWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 39
aturan perikanan yang telah di tetapkan baik formal maupun tidak formal pada tahun 2016
ditemukan sebanak 5 kali dengan penyelesaian kasus dilakukan dengan pembinaan.
Sedangkan berdasarkan wawancara dengan nelayan responden berhasil diidentifikasi
beberapa jenis pelanggran baik formal maupun informal. Secara formal pelangaran utama
yang banyak dilakukan nelayan berupa pelanggaran hukum secara administrasi yaitu
manajemen perijinan yang masih kurang diperhatikan. Terdapat lebih 5 kali pelanggaran
ini terjadi sepanjang tahun 2016, oleh karena itu kriteria pelanggaran terhadap aturan
perikanan dapat di kategorikan buruk dengan skor 1. Sedangkan informasi pelanggaran
untuk aturan non formal yang ditemukan di wilayah perairan Teluk Staring berupa
pelanggaran terkai Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP), dimana masih banyak
pelanggaran terhadap armada-armada penangkapan yang tidak spesifik menangkap
disekitar wilayah perairan Teluk Staring. Lebih dari 90% responden menyatakan
pelanggaran terkait WPP terjadi diatas 5 kali sepanjang tahun 2016 sehingga kriteria ini
dapat di berikan kategori buruk dengan skor 1.
Berdasarkan wawancara dengan perangkat DKP Kabupaten Konawe Selatan
diketahui bahwa Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) KKPD Prov. Sultra masih dalam
proses regulasi penetapan, namun aturan-aturan lain khususnya secara nasional seperti UU
No 27 Tahun 2007 jo No. 1 Tahun 2014, UU No 45 Tahun 2009, UU No 45 tahun 2007,
UU No 45 tahun 2004, PP No 60 tahun 2009 dan UU No. 23 Tahun 2014 yang terkait
dengan kewenangan pengelolan kawasan konservasi, masih mendominasi aturan untuk
dijadikan rujukan dalam pengelolaan perikanan di KKPD Prov. Sultra. Sedangkan aturan
yang bersifat teknis dan operasional yang ada meliputi; Permen, Pergub, Perda SIUP, SIPI,
SIKPI, namun beberapa belum memiliki kekuatan hukum. Berdasarkan kriteria mengenai
aturan pengelolaan perikanan KKPD Prov. Sultra tersebut maka diberikan skor 2 = ada tapi
tidak lengkap.
Beberapa dokumen rencana pembangunan telah disusun seperti Rencana Tata
Ruang Wialayah, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
telah disusun yang diikuti dengan dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Konawe
Selatan, namun hingga tahun 2017 jumlahnya tidak bertambah. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan jumlahnya tetap,
sehingga untuk indikator ini dapat diberi skor 1 (ada dan jumlahnya tetap).
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 40
Dalam hal penegakkan aturan main, DKP dan pihak kepolisian telah melakukan
upaya penegakkan aturan namun belum efektif, (untuk itu indikator ini dapat diberi skor
2). Menurut pihak DKP hal ini disebabkan karena keterbatasan petugas dan sarana
pengawasan. Berdasarkan hasil wawancara Kelompok masyarakat pengawas (Pokmaswas)
menyatakan, saat ini belum di tetapkan secara pasti kegiatan rutin pengawasan karena
kegiatan pengawasan hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan instansi dan ketersediaan
biaya. Kegiatan pengawasan hingga saat ini sangat jarang dilakukan, ketersediaan biaya
dan perlengkapan alat yang dibutuhkan sangat terbatas bahkan tidak memenuhi standar
pengawasan (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 1).
Dalam rangka penegakkan
aturan, petugas pengawas yang berwenang (POL AIR) memberikan tindak lanjut bagi
nelayan yang melakukan pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan teguran terlebih
dahulu, pembinaan serta proses hukum sampai ke tingkat pengaadilan. Petugas pengawas
memberikan teguran untuk pelanggaran yang skala kecil seperti penenpatan daerah
penangkapan yang tidak sesuai dengan armada, sedangkan pelanggaran skala besar
diberikan hukuman denda dan pidana (untuk itu indikator ini dapat diberi skor 2).
Dalam hal mekanisme pengambilan keputusan, program yang terkait dengan
pengelolaan perikanan masih merupakan kebijakan Dinas Kelautan dan Perikanan.
Pelibatan stakeholders hanya sebagai prosedur penyusunan dokumen perencanaan
pembangunan di karenakan mekanisme pengambilan keputusan ini belum memiliki SOP
sehingga dikatakan belum efektif (Indikator ini dapat diberi skor 2). Beberapa kebijakan
dan program terkait pengelolaan perikanan belum sepenuhnya dijalankan sebagaimana
mestinya, beberapa keputusan yang telah ada tidak dijalankan mengingat keterbatasan
sarana dan prasarana menjadi salah satu penyebabnya. Model pengelolaan WPP perlu
didukung dengan kapasitas kebijakan yang memadai dan sosialisasi kepada pelaku
penangkapan (karena itu indikator ini dapat diberi skor 1).
Legalitas mengenai RPP digunakan untuk memberikan kekuatan terhadap
keberadaan Kawasan Konservasi Perairan Daerah. KKPD Prov. Sultra yang telah
ditetapkan masih dalam tahap keputusan pencadangan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara.
Hal ini memberikan kendalam terhadap penerapan implementasi dari aturan pengelolaan
KKPD Prov. Sultra. Hingga saat ini KKPD Prov. Sultra belum meiliki legalitas mengingat
RPP saat ini belum disusun. Belum adanya RPP terhadap KKPD Prov. Sultra sehingga
indikator ini diberi skor 1.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 41
indikator Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan,
terlihat bahwa koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program masing-masing
lembaga memiliki kepentingan yang berbeda. Kepentingan yang terkait dalam pengelolaan
perikanan di Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Prov. Sultra menjadi kendala
dalam penentuan kebejikan dalam penetapan kawasan. Terdapat beberapa kepentingan
yang saat ini terjadi di dalam kawasan konservasi seperti pembangunan smelter di wilayah
pesisir Kecamatan moroma dan pembangunan PLUT di pesisir Kecamatan Moramo Utara.
Pembangunan kepentingan ini telah mendapat izin dari pemerintah Prov. Sultra sehingga
bertolak belakang dengan kebijakan pengelolaan KKPD itu sendiri (indikator ini dapat
diberi skor 1).
Selain adanya kebijakan sektor yang berbeda, juga hubungan dalam mendukung
aturan setiap sektor sangat kurang. koordinasi setiap sektor yang memiliki tugas dan
tanggung jawab serta kewajiban mengenai kebijakan pada wilayah KKPD yang tidak
saling mendukung, terlihat adanya kerusakan lingkungan kawasan yang timbul akibat
aktivitas sektor lain seperti penimbunan serta sedimentasi sehingga indikator ini diberi skor
2.
Kapasitas pemangku kepentinga memberikan kekuatan terhadap pelaksanaan dan
penetapan serta pengelolaan kawasan konservasi. Beberapa hal yang telah dilakukan untuk
memberikan penguatan terhadap pengelolaan perikan seperti bimbingan teknis dan
pembinaan, namun tidak berkesinambungan dan tidak diimplementasikan sesuai
peruntukannya. Hal ini menggambarkan akibat dari kekuasaan politik yang sangat
dominan melihat setiap sektor memiliki kepentingan yang berbeda sehingga kebutuhan dan
kapasitas yang dimiliki pemangku kepentingan tidak sesuai dengan peruntukannya
ditambah lagi belum adanya kegiatan peningkatan kapasitas pemangku kepentingan yang
mengarah pada pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem sehingga kriteria ini
diberi skor 2.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 42
Tabel 4.21. Hasil Analisis Komposit Indikator Domain Kelembagaan.
INDIKATOR
DEFINISI/
PENJELASAN
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
Pelanggaran terkait WPP di wilayah perairan Teluk
Staring Kabupaten Konawe Selatan berupa
pelanggaran hukum secara admistrasi kelengkapan
izin terjadi lebih dari 5 kali di tahun 2016 (Bidang
Pengawasan DKP Provinsi Sultra, 2017)
1
Non formal
1= lebih dari 5 informasi pelanggaran,
2= lebih dari 3 informasi pelanggaran,
3= tidak ada informasi pelanggaran
90 % reponden mengatakan bahwa pelanggaran
hukum terkait WPP lebih dari 5 kali
1
1. Kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip perikanan
yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan
perikanan yang telah
ditetapkan baik secara
formal maupun non-formal
Tingkat kepatuhan
(compliance) seluruh
pemangku kepentingan
WPP terhadap aturan
main baikformal maupun
tidak formal
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran
hukum dalam pengelolaan perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;
2. Kelengkapan aturan
main dalam pengelolaan
perikanan
Sejauh mana
kelengkapan regulasi
dalam pengelolaan
perikanan
1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak lengkap;
3 = ada dan lengkap
Ada aturan main hanya di tingkat provinsi (Perda
Pesisir, Pergub dan aturan terkai retribusi).
2
Elaborasi untuk poin 2
1= ada tapi jumlahnya berkurang;
2= ada tapi jumlahnya tetap;
3= ada dan jumlahnya bertambah
Kelengkapan regulasi hingga tahun 2013
jumlahnya tetap
2
Ada atau tidak
penegakan aturan main
dan efektivitasnya
1=tidak ada penegakan aturan main;
2=ada penegakan aturan main namun tidak
efektif;
3=ada penegakan aturan main dan efektif
Penegakan hukum atau aturan main sudah
diterapkan hanya saja kurang efektif
2
1= tidak ada alat dan orang;
2=ada alat dan orang tapi tidak ada
tindakan;
3= ada alat dan orang serta ada tindakan
Intensitas kegiatan patroli dan pengawasan cukup
jarang disebabkan oleh keterbatasan anggaran,
hanya administrasi di kantor (Abet Abdullah 2017)
1
1= tidak ada teguran maupun hukuman;
2= ada teguran atau hukuman;
3=ada teguran dan hukuman
Tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan
pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan
teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses
hukum sampai ke tingkat pengaadilan (POL AIR,
2017)
2
3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 43
BOBOT
(%)
26
25
RANKING
NILAI
1
26
2
40
INDIKATOR
3. Mekanisme pengambilan
keputusan
DEFINISI/
PENJELASAN
Ada atau tidaknya
mekanisme pengambilan
keputusan (SOP) dalam
pengelolaan perikanan
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
Belum ada SOP namun terdapat mekanisme
pengambilan keputusan terkait pengelolaan
perikanan tapi belum efektif (DKP Provinsi Sultra,
2017)
2
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan;
2= ada keputusan tidak sepenuhnya
dijalankan;
3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
Keterbatasan sarana prasarana menjadi salah satu
penyebab utama tidak dijalankannya sebuah
keputusan terkait pengelolaan WPP (DKP Provinsi
Sultra, 2016)
1
1=belum ada RPP;
2=ada RPP namun belum sepenuhnya
dijalankan;
3=ada RPP dan telah dijalankan
sepenuhnya
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar
lembaga berbeda kepentingan);
KKPD Sulawesi Tenggara belum meiliki legalitas
tentang RPP KKPD Sultra. (Provinsi Sultra, 2016)
1
Koordinasi antar lembaga dalam menjalankan
program masing-masing lembaga memiliki
kepentingan berbeda
1
Kurang Koordinasi setiap sektor yang memiliki
tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang
tidak saling mendukung terkait kebijakan (Tahalim,
2016)
2
Bimbingan teknis dan pembinaan sudah dilakukan
namun tidak berkesinambungan sesuai dengan
peruntukan (politik dominan) (POL AIR, 2016)
1=tidak ada mekanisme pengambilan
keputusan;
2=ada mekanisme tapi tidak berjalan
efektif;
BOBOT
(%)
18
RANKING
NILAI
3
18
15
4
15
11
5
16,5
2
5
6
10
RERATA
TOTAL
3=ada mekanisme dan berjalan efektif
4. Rencana pengelolaan
perikanan
Ada atau tidaknya RPP
untuk wilayah
pengelolaan perikanan
dimaksud
5. Tingkat sinergisitas
kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan
Semakin tinggi tingkat
sinergi antar lembaga
(span of control-nya
rendah) maka tingkat
efektivitas pengelolaan
perikanan akan semakin
baik
Semakin tinggi tingkat
sinergi antar kebijakan
maka tingkat efektivitas
pengelolaan perikanan
akan semakin baik
6. Kapasitas pemangku
kepentingan
Seberapa besar frekuensi
peningkatan kapasitas
pemangku kepentingan
dalam pengelolaan
perikanan berbasis
ekosistem
2 = komunikasi antar lembaga tidak
efektif;
3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
1= terdapat kebijakan yang saling
bertentangan;
2 = kebijakan tidak saling mendukung;
3 = kebijakan saling mendukung
1=tidak ada peningkatan;
2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian
yang didapat tidak sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
3 = ada dan difungsikan (keahlian yang
didapat sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
1,54
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 44
100
TOTAL
148,50
4.2.
Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan di Kawasan KKPD Sultra
Pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sultra diarahkan untuk
perikanan berkelanjutan harus dijadikan sebagai alat dan acuan oleh nelayan dan pemangku
kepentingan lainnya dalam melakukan kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan dengan tujuan
mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Tujuan
tersebut dapat dicapai apabila KKPD dikelola dengan baik serta memberikan manfaat
terutama bagi perikanan dengan melindungi suatu kawasan perairan yang memiliki
karakteristik tertentu.
Ikan-ikan
yang
terdapat
di
ekosistem
terumbu
karang
sangat
beragam.
dimanannelayan sebagai pihak yang melakukan kegiatan eksploitasi terhadap sumber daya
ikan memiliki ikan target yang bernilai ekonomis tinggi sebagi sumber penghasilannya.
namun penangkapan ikan target ini sering diikuti hasil tangkapan sampingannya (by catch).
Hal tersebut juga penting untuk diperhatikan agar proses-proses alamiah yang terjadi di
ekosistem tersebut tetap terjaga keseimbangannya.
Pengelolaan pemanfatan sumberdaya
perikanan di KKPD ini harus sejalan antara kelangsungan ekosistem (perikanan
berkelanjutan) dengan kesejahteraan masyarakat (tidak menimbulkan konflik sosial).
Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan tidak akan pernah
terlepas dari fungsi konservasinya. Bahkan konservasi telah diyakini sebagai upaya penting yang
mampu menyelamatkan potensi sumberdaya tetap tersedia dalam mewujudkan perikehidupan lestari
yang menyejahterakan. “Konservasi telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi
sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan
sumberdaya yang ada bagi masa depan. Oleh karena itu integrasi parameter EAFM merupakan satu
kesatuan yang saling mempengaruhi untuk menilai performa pengelolaan perikanan di KKPD Sultra.
Berdasarkan hasil analisis dan penilaian performa perikanan di kawasan KKPD
Sulawesi Tenggara melalui keterkaitan setiap domain yang berdasarkan kriteria masingmasing indikator domain pada domain habitat & ekosistem, sumberdaya ikan, teknik
penangkapan ikan, sosial, ekonomi dan kelembagaan menunjukkan bahwa agregat performa
pengelolaan perikanan di KKPD Sultra berada pada kategori sedang. Hal ini nilai komposit
tertinggi terdapat pada domian ekonomi dan terendah adalah domain soial. Sedangkan, teknik
penangkapan dan kelembagaan menunjukan kondisi kurang. Domain habitat dan ekosistem,
sumberdaya ikan menunjukan kondisi yang moderat (sedang) Nilai komposit Performa
Perikann pada setiap domain secara detail dapat di lihat pada Tabel 4.22 berikut:
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 45
Tabel 4.22.
Nilai Komposit dan Deskripsi Performa Perikanan Di Kawasan KKPD Sultra
Setiap Domain Yang di Nilai
Nilai
Domain
Deskripsi
Komposit
Sumberdaya Ikan
166.7
Sedang
Habitat & ekosistem
175.8
Sedang
Teknik Penangkapan Ikan
146.7
Kurang
Sosial
100.0
Buruk
Ekonomi
255.0
Baik Sekali
Kelembagaan
148.5
Kurang
Aggregat
165.4
Sedang
Berdasarkan Tabel 4.22 tersebut terlihat bahwa performa pengelolaan perikanan dari
hasio analisis setiap domain pengelolaan menunjukan secara umum status perikanan di
KKPD Sultra dalam kondisi sedang dan cederung menuju kurang. Hal ini terlihat dari agragat
nilai komposit sebesar 165,4 dari total nilai 300. Namun apabila diperhatikan nilai komposist
darisetiap domain maka jelas bahwa ada beberapa domain yang berkategori sedang dan satu
domain yang berkategori buruk. Domain-domain inilah yang menodorong kondisi
pengelolaan perikanan di KKPD menjadi belum optimal. Sedangkan domain lainnya
cenderung mendorong dalam meningkatkan kualitas pengeloaan perikanan
yang meliputi
domain ekonomi (kategori sangat baik), domain sumberdaya ikan dan domain habitat dan
ekosistem dengan kategori sedang. Walaupun secara keseluruhan kondisi pengelolaan
perikanan di KKPD masih berada dalam kategori sedang bukan berairi perikanan di KKPD
ini tidak mendapat ancaman dalam keberlanjutan sumberdaya perikanan.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator
EAFM di Kawasan KKPD Sultra
IV - 46
BAB V
PEMBAHASAN
5.1.
Metode dan Analisa Iindikator EAFM yang Digunakan
5.1.1. Metode EAFM
Penerapan metode EAFM dalam menilai performa pengelolaan di kawasan konservasi
perairan daerah (KKPD) Sulawesi Tenggara sebagai upaya mengoptimalkan pengeolaan
kawasan konservasi untuk mendukung pengelolaan perikanan berkelnjutan
sangat
bermanfaat sehingga status kawasan perikanan atau unit perikanan pada kawasan konservasi
dapat di tentukan. Metode EAFM ini mudah dipahami karena indikatornya sederhana dan
sangat terukur untuk diimplementasikan sehingga mampu menggambarkan kondisi
pengelolaan perikanan yang ada di KKPD Sultra dengan catatan apabila data untuk dianalisis
tersedia atau masih dapat diperoleh dari instansi terkait.
Kegiatan penerapan indicator EAFM dalam rangka melakukan penilaian performa
pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sultra yang meliputi 3
wilayah adminsitrasi Kabupaten Konawe Selatan, Konawe dan Kota Kendari melalui
pengamatan terhadap beberapa unit perikanan yang berbasis pada produksi dominan
sumberdaya ikan yang dimanfaatkan di lokasi tersebut. Metode EAFM untuk menganalisis
performa perikanan pada kawasan konservasi
dapat di lakukan khususanya untuk
memetakan baseline data perikanan yang selama ini hanya berbasis pada wilayah
administrasi. Penilaian performa perikanan dilakukan pada kawasan ini untuk mendukung
program pemerintah melalui kementrian Kelautan dan perikanan dalam mengembangkan
kawasan konservasi sebagai lumbung ikan. Dalam prose penilaian ini walaupun data dan
informasi terkait dengan pengelolaan perikaan masih tersebar secara umum dan belum
terfokus pada kawasan konservasi Karena KKPD ini belum memiliki penetapan staus
pengelolaan dari kementrian namun sebagian besar data khususnya habitat dan kualitas
perairan dapat di peroleh dari berbagai sumber yaitu; Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi dan Kabupaten di 3 wilayah administarsi, hasil-hasil penelitian asesmen
KKPD Sultra, hasil-hasil penelitian mahasiswa dan hasil-hasil peneltian yang dilakukan oleh
praktisi WWF-hHasil penelitian Staf pengajar Universitas, Mahasiswa maupun hasil-hasil
penelitian lainnya yang relevan.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
V-1
Untuk mendapatkan informasi saat ini khususya data-data yang sifatnya kualitatif
maka dilakukan assessment dengan menggali informasi dari masyarakat di tiga lokasi
Kabupaten yang masuk dalam kawasan konservasi yang dikaji melalui wawancara terhadap
nelayan ikan tuna, ikan cakalang, ikan karang, ikan kembung dan nelayan ikan layang dan
wawancara kepada pihak pemerintah yang meliputi; Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi,
Kabupaten Konawe Selatan, Kabupaten Konawe dan Kota kendari dengan menggunkan
kuesioner.
Metode EAFM ini sangat mudah diterapkan dengan waktu yang relatif singkat apabila
semua data yang butuhkan untuk menganalisis semua indicator domain dan yang akan dinilai
tersedia dengan personil atau organisasi pelaksana yang cukup kecil namun apabila datanya
sebagian besar belum tersedia maka akan cukup sulit dan butuh waktu yang lebih lama serta
organisasinya atau personilnya cukup banyak untuk diterapkan karena melakukan pendataan
untuk setiap domain dan indikatornya dengan membutuhkan berbagai macam bidang ilmu
atau keahlian. Selain itu mengingat keberadaan data statistik perikanan dan data-data
perikanan lainnya yang ada di setiap instansi terkait masih banyak yang meragukan maka
penerapan metode ini perlu di lakukan secara hati-hati dan harus di dahului sosialisasi pada
setiap instansi terkait serta diiringi dengan pembenahan data khususnya dalam proses
pengumpulan data sumberdaya perikanan di lapangan yang seragam di seluruh Indonesia
khususnya data dan informasi pengelolaan perikanan di kawasan konservasi perairan perlu
mendapat perhatian yang serius.
Pemanfaatan metode EAFM untuk melakukan assessmen dalam menilai status
perikanan pada kawasan konservasi perairan perlu dikaji lebih jauh khususnya tiap-tiap
indikator dan rengkingnya pada masing-masing domain terutama apabila kawasan konservasi
perairan telah dikelola dengan system zonasi dimana kemungkinan tidak semua indicator
dapat diterpakan pada semua zonasi harus disesuaikan dengan target konservasi dan zona
peruntukan khususnya untuk zona perikana berkelanjutan sebagai penyokong produksi
perikanan dikawasan konservasi Karena zona tersebut dapat memproduksi dan menerima
larva ikan target penangkapan nelayan.
Assesmen sumberdaya perikanan pada kawasan
konservasi seharusnya sudah dapat ditentukan ikan dominan apa yang dimanfaatkan nelayan
di kawasan tersebut sehingga dapat terfokus surveinya karena ikan yang dihasilkan nelayan di
kawasan ini tidak semua diatangkap di kawasan konservasi perairan daerah (KKPD) Sulta
namun dari perairan diluar seperti ikan yang memiliki ruaya yang luas; ikan tuna, cakalang
atau tenggiri dan sebagainya yang umumnya berada jauh dari pantai.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-2
5.1.2. Analisa Indikator EAFM
a. Domain Sumber Daya Ikan
Indikator CPUE Baku
Kriteria CPUE baku yang diterapkan agak sulit untuk diukur dan dapat memberikan
penafsiran yang berbeda-beda karena sifanya kualitatif bila dilakukan melalui wawancara.
Hasil wawancara dapat digunakan sebagai pembanding dari data kuanitatif yang hanya
diperoleh data produksi bulanan namun cara ini butuh waktu yang relatif lama mengingat
setiap nelayan tidak memiliki data-data produksi. Indikator CPUE baku yang sifatnya
kualitatif dapat diperoleh melalui wawancara dengan nelayan yang memiliki pengalaman
menankap ikan minimal 15 tahun. Untuk bisa menerapkan indikator ini maka perlu
dipikirkan agar model pendataan di setiap instansiataupun setiap desa di kawasan konservasi
perairan harus dapat menggambarkan perubahan CPUE perikanan yaitu jumlah produksi
setiap jenis ikan harus disandingkan dengan jumlah alat tangkap atau jumlah trip
penangkapan untuk menangkap ikan tersebut sehingga mudah melakukan analisis data untuk
menilai CPUE.
Ukuran ikan
Indikator ukuran ikan secara kualitatif dapat diterapkan dengan baik namun alangka
baiknya bila bisa disinkronkan dengan data-data kuantitatif. Oleh karena itu pendataan
ukuran ikan yang selama ini dilakukan oleh instansi terkait hanya berupa data bobot (berat)
secara keseluruhan sehigga sulit menggambarkan ukuran ikan sehingga perlu dilakukan
model pendataan dengan menekankan ukurn panjang ikan agar penentuan skor kriteria ini
dapat digunakan secara efektif. Penerapan indikator ini bisa dilakukan dengan melakukan
pengukuran beberapa ikan sampel yang dikaji lalu dibandingkan dengan data-data refrensi
terkait ukyran ikan (www.fishbase.com).
Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
Kriteria indikator ini dapat digunakan namun gambarannya sangat kualitatif hanya
didasarkan dari data interview yang relatif sulit menentukan persentasenya, sehingga data ini
lebih obyektif bila diperoleh dari survei/sampling pada nelayan dengan konsekuensi waktu
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-3
lebih lama. Disamping itu apabila pendataan ukuran ikan telah dilakukan dengan baik oleh
instansi terkait maka skor untuk menilai kriteria ini dapat dilakukan dengan baik.
Komposisi spesies
Batasan kriteria komposisi atau proporsi ikan target dan non target perlu di pertegas
dan dapat terukur dengan
menyebutkan persentasenya. Yang tergambar di dalam
pelaksanaan EAFM ini masih berupa data kualitatif dan dapat menmbulkan penafsiran yang
berbeda namun secara umum skor kriteria ini dapat digunakan secara efektif. Secara prinsip
indikator ini membutuhkan data kuantitatif.
Indikator Spesies ETP
Kriteria pada indikator jumlah individu ikan ETP di lapangan pada asesmen ini cukup
efektif dengan kiteria yang ada dimana sebelumnya kriterianya ditentukan jumlah spesies.
Indikator "Range Collapse" sumberdaya ikan
Penilaian kriteria indikator ini bersifat kualitatif sehingga melalui wawancara dengan
nelayan mudah mendapatkan infomasi sehingga dapat digunakan secara efektif. Hal lain yang
perlu mendapat perhatian adalah nelayan yang menjadi sasaran interview harus memiliki
pengalaman atau telah menekuni bidang penangkapan ikan minimal 15 tahun dengan
petimbangan bahwa nelayan tersebut mengetahui perkembangan perikanan yang mereka
lakukan selama ini.
b. Domain Habitat dan Ekosistem
Indikator Kualitas perairan
Krteria sub indikator pencemaran perairan harus ditentukan berdasarkan uji
laboratorium apabila secara visual ada indikasi adanya masukan bahan B3 ke perairan yang
berasal dari aktivitas disekitarnya atau kegiatan-kegiatan industri di pesisir dan laut. Tetapi
apabila indikasi tesebut tidak ada maka kita bisa langsung menyimpulkan bawa tidak ada
pencemaran. Selain itu berdasarkan definisi/penjelasan berkaitan dengan limbah yang
teridentifikasi secara klinis, audio dan atau visual (Contoh :B3-bahan berbahaya & beracun),
dengan kriteria indikator 1= tercemar; 2=tercemar sedang; dan 3= tidak tercemar, maka
sumberdaya yang sangat berpengaruh adalah yang berada tidak jauh dari pantai sedangkan
sumberdaya yang berada di perairan lepas (ikan pelagis) dengan mobilitas yang tinggi kriteria
ini perlu di kaji ulang agar bobotnya lebih kecil.
Sub indikator tingkat kekeruhan (NTU) untuk mengetahui laju sedimentasi perairan
setelah dilakukan modivikasi maka relatif mudah diterapkan dengan satuan NTU. Namun
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-4
karena sub indikator kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan
banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air.
Berdasarkan hal terssebut sebaiknya kriteria kekeruhan menggunakan satuan mg/m^3
merupakan satuan kekeruhan. Oleh karena itu sebaiknya untuk laju sedimentasi harus
mengunakan TSS (mg/m^3).
Sub indikator eutrofikasi kriterianya sangat efektfi digunakan dan tidak menimbulkan
intepretasi lain karena sifatnya kuantitatif dengan mengukur konsentrasi klofil-a mellaui
konsentrasi plankton di perairan yang dikaji.
Indikator Status lamun
Sub indikator tutupan dan keanekaragaman lamun dengan kriteria skor yang telah di
tetapkan dan direvisi dapat digunakan secara efektif. Sub indikator ini kurang efektif bila
digunakan untuk menilai status sumberdaya perikanan pelagis yang jauh dari pantai maka
rankingnya atau bobotnya
atau kedalaman konektivitas dibedakan dengan sumberdaya
perikanan yang terkait langsung dengan lamun
Indikator Status Mangrove
Sub indikator penutupan dan tingkat kerapatan mangrove mudah diterapkan dengan
kriteria yang ada dalam pengkajian ini khususnya unuk menilai sumberdaya yang terkait
dengan keberadaan mangrove (ikan karang) namun untuk sumberdaya yang tidak terkait
langsung atau yang hidup di laut lepas dan jauh dari pantai (ikan tuna) maka perlu dilakukan
verifikasi khususnya apabila zona-zona peruntukan di KKPD sudah ditetpakan dan perlu juga
mempertimbangkan konektivitas ikan-kan yang berinteraksi antara zona KKPD dilakuka
asesmen.
Indikator Status Terumbu Karang
Sub indikator Persentase tutupan karang keras hidup (live hard coral cover) dengan
kriteria yang telah ditetapkan dapat digunakan secara efektif dikarenakan metode pegukuran
kondisi karang yang digunakan secara umum sama. Selain itu data pendukung sangat banyak
dan mudah di akses. Sedangkan krieria nilai indek keanekaragaman jenis karang sulit di
lakukan karena sangat sulit menghitung junlah individu karang. Kenakaragaman yang
dimaksud dalam pilot test ini adalah bentuk pertumbuhan (life form) yang tidak cocok
diterapkan untuk menghitung keanekaragaman karena basisnya adalah bukan spesies dan
individu serta pengambilan sampel bukan berbasis luas tetap panjang transek. Oleh karena itu
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-5
sub indikator keanekaragaman karang perlu ditinjau ulang sehingga lebih aplikatif untuk
menilai status sumberdaya perikanan.
Indkator Habitat Unik/khusus.
Indikator ini dapat di lakukan analisis dengan mencari informasi dari masyarakat atau
dari hasil penelitian yang telah dilakukan. Menentukan nilai dari kriteria skor mengenai
diketahui atau tidaknya habitat unik/khusus (spawning ground, nursery ground, feeding
ground, upwelling) dapat dilakukan dengan efektif.
c. Domain Teknik Penangkapan Ikan
Indikator Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal
Penilaian kriteria dengan skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = frekuensi pelanggaran
> 10 kasus per tahun; 2 = frekuensi pelanggaran 5 - 10 kasus per tahun; dan 3 = frekuensi
pelanggaran < 5 kasus per tahun. Berdasarkan skor kriteria tersebut perlu ditentukan jumlah
pelanggaran tingkat kecamatan, kawasan atau kabupaten termasuk level pelanggaran (ringan,
sedang dan berat), sehingga bobot pelanggaran dapat di lebih proporsional.
Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan
Indikator ini dapat di terapkan namun
karena di dukung oleh data penunjang
khsusunya yang berhubungan dengan Lenght of maturity dari jenis sumberdaya yang akan
dikaji (www.fishbase.com). Sehingga kriteria skor yang telah ditentukan yaitu : 1 = lebih dari
50% ukuran target spesies < Lm; 2 = 25-50% ukuran target spesies < Lm; dan 3 = <25%
ukuran target spesies < Lm mudah di lakukan. Untuk memenuhi data tersebut harus
dilakukan sampling ukuruan ikan target/ikan dominan namun dapat membutuhkan waktu
yang relatif agak lama untuk mendapatkan data tersebut.
Fishing capacity dan Effort
Indikator ini tidak dapat diterapkan disebabkan beberapa hal, yaitu; data dan
informasi yang mendukung untuk menilai kriteria ini tidak tersedia; indikator ini spesifik
bidang ilmu penangkapan sehingga perlu adanya
exsecise agar dipahami
semua yang
melalakukan analisis. Selain itu data yang sekunder untuk mendukung indikator ini tidak
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-6
tersedia. Oleh karena itu perlu persuasi agar setiap DKP Provinsi dan Kabupaten/Kota
melakukan pendataan perikanan terkait indikator tersebut.
Indikator Selektivitas penangkapan
Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang
telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Indikator Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen
legal.
Kriteria untuk menilai status indikator selektivitas penangkapan dengan skor yang
telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun demikian kapal yang digunakan
nelayan perorangan umumnya memiliki ukuran kurang dari 5 GT sehingga tidak memiliki
dokumen dan izin dalam melakukan operasi penngkapan. Selain itu indikator ini harus
dilakukan pengukuran dilapangan terhadap kapal-kapal yang berukuran diatas 5 GT karena
justifikasi ukuran kapal dilakukan oleh perhubungan yang kadang tidak sesuai denagn ukuran
kapal sebenarnya. Oleh karena itu indikator ini membutuhkan sumberdaya yang besar untuk
melakukan sampling ukuran kapal.
Indikator Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan.
Kriteria untuk menilai status indikator sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan
peraturan yang ada dengan skor
yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Namun demikian awak kapal yang menangkap ikan umumnya tidak memiliki dokumen atau
sertifikat dalam melakukan operasi penangkapan ikan dan yang memilki dokumen sertifikat
hanya nahkoda.
d. Domain Sosial
Indikator Partisipasi pemangku kepentingan
Kriteria untuk menilai status indikator partisipasi pemangku kepentingan dalam
pengelolaan sumberdaya ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara
efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan baik.
Untuk partisipasi secara formal, dapat saja dengan mudah diketahui dari laporan-laporan
kegiatan pelatihan, penyuluhan ataupun pengawasan. Persoalannya adalah ada pada
partisipasi pemangku kepentingan yang informal karena rekam jejak partisipasinya tidak
diketahui. Oleh karena itu, diperlukan adanya instrumen khusus dalam mengukur partisipasi
stakeholder yang terkait dengan pengelolaan perikanan kawasan KKPD Sulawesi Tenggara.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-7
Konflik perikanan
Kriteria untuk menilai status indikator konflik kepentingan dalam pengelolaan
sumberdaya ikan khususnya berkaitan dengan resources conflict, policy conflict, fishing gear
conflict, konflik antar sektor dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara
efektif. Namun kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya ikan belum terekam dengan baik
khususnya di DKP, sehingga perlu dilakukan pengecekkan kembali pada pihak-pihak lain,
misalnya pihak penegak hukum. Selain itu, pengumpulan data yang berhubungan dengan
konflik perikanan cukup baik bila berasal dari masyarakat nelayan langsung yang terlibat
dalam sistem perikanan di kawasan KKPD ini. Meskipun demikian, pemilihan responden
perlu dilakukan terlebih dahulu agar kesan penyampaian tentang konflik perikanan tidak
berlebihan ataupun terlalu dikurangi.
Indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan
(termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge).
Kriteria untuk menilai status indikator Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam
pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge)
dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Informasi ini umumnya
hanya di peroleh melalui wawancara dengan nelayan sedang pada instansi terkait tidak dapat
diperoleh karena tidak terekam dengan baik.
e. Domain Ekonomi
Indikator Kepemilikan aset
Kriteria untuk menilai status indikator kepemilikan aset dalam dalam memanfaatkan
sumberdaya ikan dengan skor
yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Meskipun demikian, untuk menilai aset dalam waktu singkat sebenarnya cukup sulit dan
umumnya bias dari kondisi sebenarnya. Hal ini bisa terjadi karena minimnya pencatatan
ataupun minimnya tingkat pengetahuan masyarakat nelayan yang berujung pada sulitnya
memprediksi nilai aset yang sebenarnya. Umumnya kondisi ini terjadi pada nelayan-nelayan
kecil yang terkadang hasil perhitungan jumlah asetnya tidak sesuai dengan aktifitas operasi
penangkapan ikan yang dilakukan.
Pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)
Kriteria untuk menilai status indikator pendapatan rumah tangga perikanan (RTP)
dalam dalam memanfaatkan sumberdaya ikan dengan skor
yang telah ditentukan dapat
digunakan secara efektif. Meskipun demikian, sebenarnya sulit menerapkan indikator ini
karena dalam perjalanan rekam jejak penerapan indikator ini ditemukan bahwa mayoritas
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-8
nelayan sulit menyampaikan atau kurang terbuka dalam hal menyampaikan hal-hal yang
berhubungan dengan pendapatan. Indikator ini bisa saja diterapkan apabila data-data
pendapatan nelayan itu, masuk dalam statistik perikanan.
Rasio Tabungan (Saving rate)
Kriteria untuk menilai status indikator saving rate dalam memanfaatkan sumberdaya
ikan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun hal ini dapat
terealisasi jika responden memberikan informasi tabungan dengan income mereka.
Sementara,
umumnya sebagian besar RTP enggan atau kurang terbuka dalam hal
memberikan informasi tentang tabungan mereka sehingga informasi saving rate diperoleh
dengan melakukan wawancara terhadap pendapatan dan pengeluaran nelayan. Dengan
demikian, pengukuran indikator ini dengan menggunakan data langsung secara parsial
dikalangan masyarakat nelayan cukup sulit dan kurang efektif. Jadi, untuk menilai indikator
ini sebaiknya diperlukan instrumen lain yang digunakan oleh pemerintah yang terintegrasi
dalam statistik ekonomi yang mestinya ter-input dalam bagian sensus ekonomi.
f. Domain Kelembagaan
Indikator Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun
non-formal (Alat).
Kriteria skor untuk menilai
tingkat kepatuhan (compliance) seluruh pemangku
kepentingan WPP terhadap aturan main baik formal maupun tidak formal dengan skor yang
telah ditentukan dapat digunakan secara efektif. Namun di tingkat Provinsi Sulawesi
Tenggara belum ada Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) sehingga penilaiannya dilakukan
pendekaan dengan menggunakan aturan-aturan pengeloaan sumberdaya perikanan terkait
yang sudah ada.
Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan
Kriteria
untuk melakukan penilaian terhadap indikator kelengkapan dokumen
pengelolaan perikanan dan membandingkan situasi sekarang dengan sebelumnya serta ada
atau tidak penegakan aturan hukum yang baik dan dapat diaplikasikan secara efektif.
Mekanisme pengambilan keputusan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak mekanisme
pengambilan keputusan dalam pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V-9
dapat digunakan secara efektif. Namun yang menjadi kendala data kuantitatif, standar
operasional kerja serta sarana dan prasarana belum mendukung.
Rencana pengelolaan perikanan
Kriteria
untuk melakukan penilaian terhadap indikator ada atau tidak rencana
pengelolaan perikanan dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara efektif.
Namun di Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di WPP 714 belum ada RPP.
Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan
Kriteria untuk melakukan penilaian terhadap indikator tingkat sinergisitas kebijakan
dan kelembagaan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di Provinsi Sulawesi Tenggara
khususnya DKP Provinsi dan Kabupaten yang dikaji dengan skor yang telah ditentukan dapat
digunakan secara efektif.
Kapasitas pemangku kepentingan
Kriteria
untuk melakukan penilaian terhadap indikator seberapa besar frekuensi
peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan perikanan berbasis
ekosistem di wilayah kajian dengan skor yang telah ditentukan dapat digunakan secara
efektif.
5.2.
Performa Perikanan yang Dikaji
Berdasarkan hasil penilaian pada indikator setiap domain melalui pemberian nilai
pada kriteria maka performa perikanan di perairan Konawe Selatan menunjukkan bahwa
terdapat tiga pengelompokan berdasakan nilai komposit, yaitu domain yang berkualifikasi
baik sekali adalah domain ekonomi, domain yang berkualifikasi sedang dimiliki oleh domain
sumberdaya ikan, domain habitat dan ekosistem dan domain sumberdaya ikan, sedangkan
domain yang termasuk dalam kualifikasi kurang adalah domain teknik penangkapan ikan dan
domain kelembagaan serta kualifikasi buruk adalah domain sosial.
Hasil dari nilai komposit dari keenam domain tersebut diperoleh nilai agregat, dimana
nilai aggregat tersebut dibandingkan ke dalam lima rentang nilai (Tabel 4.24). Berdasarkan
nilai aggregat nilai komposit pada Tabel 4.24 yang mencapai 165,4 dari nilai total 300 maka
penilaian terhadap performa perikanan di kawasan KKPD termasuk dalam kategori status
sedang. Kondisi tidak berarti bahwa status performa perikanan di kawasan KKPD Sultra
tidak mengalami tekanan, oleh karena itu untuk melihat sejauh mana kekuatan kontribusi
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V - 10
setiap domain dan indikatornya apakah meningkatkan atau menurunkan perfroma perikanan
dapat diuraikan untuk setiap domain.
a. Domain Sumberdaya Ikan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sumberdaya ikan
terhadap performa perikanan di kawasan KKPD Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian
skor terhadap keenam parameter domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar
kontribusi setiap indikator terhadap performa pengelolaan perikanan pada domain
sumberdaya ikan.
Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini
menunjukkan bahwa nilai skor domain sumberdaya ikan sebesar 12,3 pada skala skor 6 – 18
dengan agregat 166,7, yang termasuk dalam kategori sedang. Hasil analisis menunjukkan
bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan
aspek domain sumberdaya ikan di KKPD Sultra sesuai dengan urutan prioritasnya
berdasarkan perolehan skor adalah; komposisi jenis, CPUE baku, proporsi ikan yuwana
(juvenile) yang ditangkap, tren ukuran ikan dan spesies ETP (Gambar 4.10). Sedangkan
indikator , range collapse sumberdaya ikan dan densitas biomassa memilii kontribusi skor
yang kurang dalam peningkatan status performa perikanan aspek domain sumberdaya ikan di
KKPD Sultra.
7. Densitas/Biomassa untuk ikan karang &…
1.0
6. Spesies ETP
1.3
5. "Range Collapse" sumberdaya ikan
1.0
4. Komposisi spesies
3.0
3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap
1.7
2. Ukuran ikan
1.3
1. CPUE Baku
2.0
0
Gambar 5.1.
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain
Sumberdaya ikan di di KKPD Sultra.
b. Domain Habitat dan Ekosistem
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain habitat dan ekosistem
terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak tujuh indikator. Pemberian skor
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V - 11
terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar
kontribusi skor setiap indikator pada domain tersebut.
Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini
menunjukkan bahwa nilai skor domain habitat dan ekosistem sebesar 13,5 pada skala skor 7 –
21 dengan agregat 175,8 yang termasuk dalam kategori performa sedang. Hasil analisis
menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama skor dalam peningkatan status
performa perikanan aspek domain habitat dan ekosistem performa perikanan di KKPD sesuai
dengan urutan prioritasnya adalah; (1) ) status mangrove, (2 status terumbu karang, (3) Status
lamun, kualitas perairan dan status produktivitas perairan dan kualitas perairan, (4) habitat
unik/khusus dan perubahan iklim terhadap kondisi perairan dan habitat (Gambar 4.11).
1
7. Perubahan iklim
2
6. Status dan produktivitas estuari
1
5. Habitat unik/khusus
2.5
4. Status terumbu karang
3
3. Status mangrove
2. Status lamun
2
1. Kualitas perairan
2
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
Gambar 5.2. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain Habitat
dan Ekosistem di KKPD Sultra.
c. Domain Teknik Penangkapan Ikan
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain teknik penangkapan ikan
terhadap performa perikanan di KKPD Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian skor
terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar
kontribusi indikator terhadap performa perikanan dari aspek teknik penangkapan ikan.
Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini
menunjukkan bahwa nilai skor domain teknik penangkapan ikan sebesar 11 pada skala skor 6
– 18 denga agregat 146,7, yang termasuk dalam kategori kurang. Hasil analisis menunjukkan
bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan status performa perikanan
aspek domain teknik penangkapan ikan berdasarkan skor indicator di KKPD Sultra sesuai
dengan urutan prioritasnya adalah; (1) ) selektivitas penangkapan dan kesesuaian fungsi dan
ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal, (2) ) modifikasi alat penangkapan
ikan dan alat bantu penangkapan, (3) fishing capacity dan effort serta (4) sertifikasi awak
kapal perikanan sesuai dengan peraturan dan metode penangkapan ikan yang
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
bersifat
V - 12
destruktif dan atau ilegal (Gambar 5.3). Dua indikator
tersebut pada domain ini yang
memiliki paling sedikit kontribusi dalam peningkatan status domain teknik penangkapan
dalam keberlanjutan pengelolaan perikanan di KKPD Sultra disebabkan pada umumnya dari
armada penangkapan hanya nahkoda yang mempunyai sertifikasi keahlian dan bahkan
sebagain belum ada sertifikasi keahlian dan di kawasan ini sering terjadi pelanggaran dalam
melakukan penangkapan ikan (24 300 kali setahun..
1.0
6. Sertifikasi awak kapal perikanan
5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal
2.0
4. Selektivitas penangkapan
2.0
1.3
3. Fishing capacity dan Effort
1.7
2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu
1.0
1. Metode penangkapan ikan
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8 2.0
Gambar 5.3. Peran masing-masing indikator berdasarkan nilai skor indikator Domain
Teknik Penangkapan Ikan di KKPD Sultra
d. Domain Sosial
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain sosial terhadap performa
perikanan di KKPD Sultra sebanyak tiga indikator. Pemberian skor terhadap ketiga parameter
indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa besar kontribusi setiap indikator
tehadap performa perikanan dari aspek sosial.
Hasil analisis performa perikanan melalui status skor indikator pada domain ini
menunjukkan bahwa nilai skor domain sosial sebesar 3 pada skala skor 3 – 9 dengan agregat
100, yang termasuk dalam kategori buruk. Hasil analisis menunjukkan bahwa faktor
pembangkit antara 3 indikator dalam domain sosial berjenjang sama. Tidak ada indikator
yang saling melampaui anatara satu dengan yang lainnya, baik
partisipasi pemangku
kepentingan, konflik perikanan maupun pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan
sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK/traditional ecological knowledge) (Gambar
4.13).
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V - 13
3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam
pengelolaan SDI (termasuk TEK)
2. Konflik perikanan
1. Partisipasi pemangku kepentingan
0
1
2
Gambar 5.4. Peran Masing-masing Indikator Berdasarkan Nilai Skor Indikator Domain Sosial
di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara.
e. Domain Ekonomi
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain ekonomi terhadap
performa perikanan di kawasan KKPD Sulawesi Tenggara sebanyak tiga indikator.
Pemberian skor terhadap ketiga parameter indikator domain ini akan membeikan gambaran
seberapa besar kontribusi setiap indikator terhadap performa perikanan dari aspek ekonomi.
Hasil analisis performa perikanan melalui skor status indikator pada domain ini
menunjukkan bahwa nilai skor domain sosial sebesar 8 pada skala skor 3 – 9 dengan agregat
255, yang termasuk dalam kategori sangat baik. Hasil analisis menunjukkan bahwa yang
menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan
status performa perikanan aspek
domain ekonomi di Kabupaten Konawe Selatan sesuai dengan urutan prioritasnya adalah; (1)
Rasio Tabungan/Saving rate, (2) Pendapatan rumah tangga (RTP) dan (3) kepemilikan aset
(Gambar 4.14.). Indikator yang memiliki kontribusi skor paling sedikit dalam peningkatan
status domain ekonomi dalam performa pengelolaan adalah kepemilikan aset. Masyarakat
belum sepenuhnya memberikan informasi tentang aset dan umumnya pada saat-saat tertentu
aset yang mereka dijual untuk keperluan sehari-hari.
3. Rasio Tabungan/Saving Rate
2. Pendapatan Rumah Tangga Perikanan (RTP)
1. Kepemilikan Aset
0
Gambar 5.5.
1
2
3
Peran Masing-masing Indikator Berdasarkan Nilai Skor Indikator Domain
Ekonomi di Kawasan KKPD Sulawesi Tenggara.
f. Domain Kelembagaan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V - 14
Parameter yang digunakan untuk melihat kontribusi domain kelembagaan terhadap
performa pengelolaan perikanan di KKPD Prov. Sultra sebanyak enam indikator. Pemberian
skor terhadap keenam parameter indikator domain ini akan memberikan gambaran seberapa
besar kontribusi setiap indikator terhadap performa pengelolaan perikanan dari aspek
kelembagaan.
Hasil analisis performa perikanan melalui status indikator pada domain ini
menunjukkan bahwa nilai skor domain kelembagaan sebesar 8,8 pada skala skor 6 – 18
dengan agregat 148,5 yang termasuk dalam kategori kurang. Hasil analisis skor indicator
menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pembangkit utama dalam peningkatan
status
performa perikanan aspek domain kelembagaan di KKPD prov. Sultra sesuai dengan urutan
prioritasnya adalah; (1) kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan, (2) kapasitas
pemangku kepentingan pengelolaan perikanan, (3) mekanisme pengambilan keputusan, (4)
tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan, (5) kepatuhan
terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan
yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal, dan (6) rencana pengelolaan
perikanan (Gambar 4.15). Salah satu indikator pada domain ini yang memiliki paling sedikit
kontribusi dalam peningkatan status domain kelembagaan dalam performa pengelolaan
perikanan adalah rencana pengelolaan perikanan disebabkan indikator ini belum banyak
mendapat perhatian dari pemangku kepentingan di Provinsi Sulawesi Tenggara, dengan kata
lain kebijakan yang terkait rencana pengelolaan perikanan belum ada.
6. Kapasitas pemangku kepentingan
2
5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan…
4. Rencana pengelolaan perikanan
1.5
1
3. Mekanisme pengambilan keputusan
1.5
2. Kelengkapan aturan main dalam…
1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip…
1.8
1
Gambar 5.6. Peran Masing-Masing Indikator Berdasarkan Nilai Rata-Rata Skor Indikator
Domain Kelembagaan
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di
Kawasan KKPD Sultra
V - 15
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
6.1.1. Metode dan Analisa Indikator EAFM
Penggunaan metode EAFM dalam mengkaji performa perikanan disuatu kaasan
khususnya di kawasan konservasi mudah diterapkan dan dipahami dengan indikator
yang sederhana dan mampu menggambarkan kondisi yang ada. Analisa menggunakan
sistem Flag mampu memberikan dekripsi kretria stastus wilayah yang dikaji.
Analisa menggunakan EAFM untuk mengkaji performa perikanan pada kawasan
konservasi dengan sistem flag model perlu mengpalikasikan konektivitas untuk setiap
indikator domasi lalu dibandingkan dengan tanpa konektivitas.
6.1.2. Pengelolaan Perikanan dari Hasil Kajian EAFM
Hasil analisis dengan metode EAFM terhadap Performa perikanan di KKPD Sultra
secara umum termasuk dalam kriteria sedang.
Beberapa domain yang perlu mendapat perhatian yang serius untuk keberlanjutan
status performa perikanan di KKPD Sultra yaitu; domain social, domain kelembagaan
dan domain Teknik,
Beberapa indikator pada setiap domain masih menunjukan skor kriteria yang rendah
atau buruk sehingga indicator ini yang menjadi focus rencana program berikutnya,
6.2. Rekomendasi
6.2.1. Metode dan Analisa Indikator EAFM
Perlu ada keseragaman penerapan metode dan anlisa indikator EAFM untuk semua
kawasan konservasi didaerah lain sehingga keluar satu model EAFM untuk kawasan
konservasi perairan.
Perlu uji coba indicator setiap domain pada kawasan konservasi yang telah di zonasi
sehingga ada perlakuan yang berbeda antara setiap zonas serta kemungkinan ada
perbedaan indicator antar zona KKPD
Perlu adanya perbaikan pendataan statistik perikanan yang dapat mendukung
pelaksanaan analisis EAFM di kawasan KKPD
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
VI - 1
Perlu adanya penguatan sumberdaya manusia di lingkup DKP dan masyarakat
khususnya yang bersinggungan dnagn KKPD dalam pengelolaan perikanan dengan
pendekatan ekosistem.
6.2.2. Pengelolaan Perikanan dari Hasil Kajian EAFM
Perlu adanya perbaikan pada domain sumberdaya ikan, habitat dan ekosistem dan
domain kelembagaan
Skala prioritas perlu dilakukan segera terhadap domain teknik penangkapan ikan dan
domain sosial
Rancangan perbaikan setiap indicator harus sudah tercover didalam perencanaan
kegiatan DKP Provinsi maupun kabupaten
Danya monitoring secara berkala khususnya kegiatan-kegiatan penagkapan ikan
maupun aktivitas lainnya yang ada di kawasan konservasi perairan daerah
(KKPD)Sultra.
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
VI - 2
Referensi
Anonim., 2014. Modul Penilaian Pendekatan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan
(EAFM). National Working Group on Ecosystem Approach to Fisheries
Management, Direktorat Sumberdaya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia.Jakarta
Adrianto L, Arsyad AM, Ahhmad S, dan Dede IH., 2011. Konstruksi Lokal Pengelolaan
Sumberdaya Perikanan di Indonesia. PT Penerbit IPB Press.
Anonim, 2006. Studi basline ekologi Kabupaten Wakatobi. CRITC-LIPI. Jakarta
Abdullah, 2011. Koosisi jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap payang di perairan
Teluk Staring Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi Jurusan Periknan FPIK.
Universitas Haluoleo. Kendari
Alfajar, 2013. Studi kesesuaian jenis untuk perencanaan Rehabilitasi ekosistem angrove di
Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Provinsi Sulawesi Tenggara. Program
Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan
Dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari
Balai Taman Nasional Wakatobi, 2009. Buku Informasi Taman Nasional Wakatobi. Bau-Bau
Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Konawe. 2016. Statistik Perikanan 2015. DKP
Kab. Konawe.
DKP Kabupaten Konawe.2015. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Konawe,Unaaha
DKP Kabupaten Konawe Selatan, 2016. Laporan Tahunan Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Konawe Selaan, Andoolo
DKP Prov. Sultra, 2014. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari
Bapped Konawe Selatan. 2011. Masterplan Kawasan Minapolitan Kabupaten Konawe
Selatan. Andoolo.
DKP Propinsi Sulawesi Tenggara. 2016. Statistik Perikanan Tangkap Propinsi Sulawesi
Tenggara Tahun 2015. Kendari. Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi
Tenggara.
DKP Provinsi Sultra, 2012. Identifikasi dan Penilaian Potensi Calon Kawasan Konservasi
Perairan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kendari
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
1
DKP Provinsi Sultra, 2014. Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan
di Provinsi Sulawesi Tenggara. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Kendari
DKP Provinsi Sultra, 2015. Statistik Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi
Tenggara. Kendari
Fitria, 2013. Studi kelayakan lokasi karamba jaring apung (KJA) Dalam budidaya ikan
kerapu (epinephelus spp.) Di Perairan Desa Wawatu Kabupaten Konawe Selatan. .
Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas
Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo. Kendari
Siringiringo R. M., Palupi,R. D., Hadi, T. A., 2012. Biodiversitas Karang Batu (Scleractinia)
di Perairan Kendari. Jurnal Ilmu Kelautan. LIPI. In Jakara
Plagányi,E., 2003. Models for an ecosystem approach to fisheries.. FAO Fisheries Technical
Paper. University of Cape Town South Africa. Food And Agriculture Organization
Of The United Nations. Rome.
FAO, 1997. Fisheries Management .Technical Guidelines for Responsible Fisheries. Food
And Agriculture Organization Of The United Nations. Rome.
FAO, 2003. Fisheries Management . The ecosystem approach to fisheries. Technical
Guidelines for Responsible Fisheries. Food And Agriculture Organization Of The
United Nations. Rome.
Fletcher, R., 2008. A Guide to implementing an Ecosystem approach to fisheries
management (EAFM) for tuna fisheries of the Western and Central Pacfic Region.
Pacific Islands Forum Fisheries Agency Honiara. Solomon Islands.
Gracia, S.M. and Cochrane, K.L 2005. Ecosystem Approach to Fisheries : A Review of
Implementation Guidelines. ICES Journal of Marine Sciences
Ramli M. 2012. Kontrib usi Ekosistem Mangrove sebagai Pemasok Makanan Ikan
Belanak (Liza subviridis) di Perairan Panta i Utara Konawe Selata n
Sulawesi Tenggara. [Disertasi] tidak dipublikasikan. Bogor. Sekolah
Pascasar jana IPB
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM
di Kawasan KKPD Sultra
2
Lampiran
Lampiran 1. Tabel Hasil Analisis Domain Habitat dan Ekosistem
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
1. Kualitas
perairan
KRITERIA
1= tercemar;
2=tercemar sedang;
3= tidak tercemar
Tingkat kekeruhan (NTU) untuk
mengetahui laju sedimentasi
perairan
1= > 20 mg/m^3 konsentrasi tinggi
2= 10-20 mg/m^3 konsentrasi sedang;
3= <10 mg/m^3 konsentrasi rendah
Satuan NTU
Eutrofikasi
1= konsentrasi klorofil a < 2 µg/l; terjadi
eutrofikasi;
2= konsentrasi klorofil a 2-5 µg/l; potensi
terjadi eutrofikasi;
DATA ISIAN
SKOR
BOBOT
(%)
RANKING
NILAI
Parameter kualitas air berada dibawah batas
ambang baku mutu perairan
dalam
KEPMEN No. 51/2004 tentang Baku Mutu
Perairan. 57,4 % responden mengatakan
daerah tempat tinggal tercemar sedang dan
42,6% tidak tercemar
2
20
1
33,3
Nilai kekeruhan yang terukur di perairan
Tanjung Tiram Kecamatan Moramo Utara
adalah 5,75 - 24,81 NTU yang termasuk
dalam kategori sedang (BLH Prov Sultra,
2016).
Hasil analisa data primer 2016 konsentrasi
klorofil berkisar 2,91 - 6,93 mg/m3. Data
DKP Prov, 2016 berkisar 0,68 - 2,72 mg/m3
1
Nilai tutupan lamun dapat dilihat di kawasan
KKPD khususnya Teluk Staring berkisar 10
- 80% denagn rata-rata tutupan lamun =
33,18% (KKPD Prov. Sultra, 2016)
3
15
2
37,5
Nilai keanekaragaman atau jumlah spesies
lamun di kawasan KKP Sultra sebanyak 5
jenis (KKPD Prov. Sultra, 2016)
2
Kerapatan mangrove di pesisir wilayah
KKPD berkisar 1400-5000 ind/ha. (KKPD
2
15
3
30
2
3= konsentrasi klorofil a > 5 µg/l tidak terjadi
eutrofikasi
2.
Status
ekosistem
lamun
Luasan tutupan lamun.
1=tutupan rendah, 29,9%;
2=tutupan sedang, 30-49,9%;
3=tutupan tinggi, 50%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' <
1), jumlah spesies < 3
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3), jumlah spesies 3-7
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau
H’>3), jumlah spesies > 7
3.
Status
ekosistem
Kerapatan, nilai penting,
perubahan luasan dan jenis
1=tutupan rendah, < 50%;
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
1
INDIKATOR
mangrove
DEFINISI/ PENJELASAN
KRITERIA
mangrove
2=tutupan sedang,
3=tutupan tinggi,
DATA ISIAN
50 - < 75%;
SKOR
BOBOT
(%)
RANKING
NILAI
15
4
26,5
15
4
15
Sultra, 2016
75 %
1=kerapatan rendah, <1000 pohon/ha, tutupan
<50%;
2=kerapatan sedang 1000-1500 pohon/ha,
tutupan 50-75%;
Keanekaragam ekosistem mangrove
mencapai yaitu pohon 1,7683 (KKPD Sultra,
2016). kriteria keanekaragaman mangrove
mencapai kriteria sedang
2
Putupan karang hidup yang terukur di
kecaatan Laonti rata-rata berkisar 27%
sedang di kecamatan Moramo =
25%
(KKPD, 2012). Di pulau Lara tutupan
karang hidup mencapai 64,82% (Adi, dkk
2012), Teluk Stairng = 29,6 - 70,48 (KKP,
2012)
nilai keanekaragaman di Teluk Wawatu 3,64
dengan jumlah jenis karang batu = 51 jenis.
(Siringiringo, 2012)
2
3=kerapatan tinggi, >1500 pohon/ha, tutupan
>75%
4. Status
ekosistem
terumbu
karang
> Persentase tutupan karang
keras hidup (live hard coral
cover).
1=tutupan rendah, <25%;
2=tutupan sedang, 25-49,9%;
3=tutupan tinggi, >50%
1=keanekaragaman rendah (H' < 3,2 atau H' <
1);
2 = kanekaragaman sedang (3,20<H’<9,97 atau
1<H’<3);
2
3 = keanekaragaman tinggi (H’>9,97 atau H’>3)
1= luasan mangrove berkurang dari data awal;
2= luasan mangrove tetap dari data awal;
3= luasan mangrove bertambah dari data awal
5. Habitat
unik/khusus
Luasan, waktu, siklus, distribusi,
dan kesuburan perairan,
spawning ground, nursery
ground, feeding ground,
upwelling, nesting beach
1 = INP rendah (< 100);
2 = INP sedang (100-200);
3 = INP tinggi (>200)
1=tidak diketahui adanya habitat unik/khusus;
2=diketahui adanya habitat unik/khusus tapi
tidak dikelola dengan baik;
Informasi dari 90 % responden mengatakan
bahwa luas mangrove di kawasan ini telah
berkurang dari luas awal akibat di konversi
dan sebagai bahan konstruksi
INP mangrove dari setiap jenis berkisar 17300 (Muh.Ramli 2012) dan antara 16,84 300 (KKPD Sultra, 2016)
Menurut informasi dari masyarakat hingga
saat ini telah di ketahui adanya habitat
khusus tempat pemijahan lobster, rajungan
dan ikan kakap namun belum berdasarkan
hasil kajian
1
2
1
3 = diketahui adanya habitat unik/khusus dan
dikelola dengan baik
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
2
INDIKATOR
DEFINISI/ PENJELASAN
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
BOBOT
(%)
RANKING
NILAI
Produktivitas estuari berdasarkan
kelimpahan phytoplankton = 10.125 - 24.300
ind/l yang tergolong tinggi (KKPD Sultra,
2014)
3
10
5
30
1
10
6
10
2=produktivitas sedang;
3=produktivitas tinggi
6. Status dan
produktivitas
estuari dan
perairan
sekitarnya
7. Perubahan
iklim
terhadap
kondisi
perairan dan
habitat
Tingkat produktivitas perairan
estuar
Untuk mengetahui dampak
perubahan iklim terhadap
kondisi perairan dan habitat
1=produktivitas rendah;
2=produktivitas sedang;
3=produktivitas tinggi
> State of knowledge level :
1= belum adanya kajian tentang dampak
perubahan iklim;
2= diketahui adanya dampak perubahan iklim
tapi tidak diikuti dengan strategi adaptasi dan
mitigasi;
3 = diketahui adanya dampak perubahan iklim
dan diikuti dengan strategi adaptasi dan mitigasi
Berdasarkan pengamatan secara kualitatif
dan informasi dari masyarakat bahwa di
kawasan ini terkena dampak perubahan iklim
khsuusnya pada ekosistem pesisir namun
hingga saat ini belum ada strategi dan
mitigasi untuk mengaadapi hal teresebut
1
> state of impact (key indicator menggunakan
terumbu karang):
1= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching >25%);
2= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching 5-25%);
Infromasi dari responden mengatakan bahwa
di kawasan terumbu karang mengalami
pemutihan, kondisi ini diduga merupakan
dampak dari perubahan iklim, khususnya
pada kedalaman kurang dari 7 meter
3= habitat terkena dampak perubahan iklim (e.g
coral bleaching <5%)
RERATA
1,9
TOTAL
TOTAL
100
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
197,08
3
Lampiran 2. Tabel Hasil Analisis Domain Sumberdaya Ikan
INDIKATOR
1. CPUE Baku
KRITERIA
1 = menurun tajam (rerata
turun > 25% per tahun)
2 = menurun sedikit (rerata
turun < 25% per tahun)
3 = stabil atau meningkat
2. Tren Ukuran
ikan
3. Proporsi
ikan yuwana
(juvenile) yang
ditangkap
1 = trend ukuran rata-rata
ikan yang ditangkap
semakin kecil;
2 = trend ukuran relatif
tetap;
3 = trend ukuran semakin
besar
1 = banyak sekali (> 60%)
2 = banyak (30 - 60%)
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
57,8% responden menyatakan
bahwa hasil tangkapan per trip
mengalami penurunan dibanding
5 tahun yang lalu, 42,2%
menyatakan sama saja. CPUE
rata2 saat ini 39 kg/trip/unit
kapal. Kerapatan Ikan Karang di
Labuan Beropa Menurun dari 1,9
ind/m2 tahun 2010 menjadi 0,76
ind/m2 tahun 2014 (menurun
20,8% per thn)
6,6 7% responden menyatakan
ukuran hasil tangkapan cenderung
lebih kcil dan dan 82,26%
responden menyatakan ukuran
ikan hasil tangkapan relatif sama
saja
67,74% responden menyatakan
bahwa hasil tangkapan per trip
mengalami penurunan
dibanding 5 tahun yang lalu,
32,26% menyatakan sama saja.
CPUE rata-rata saat ini 37,35
kg/trip/unit kapal. Produksi ikan
kembung menurun 56% antara
tahun 2009 dan 2013 (DKP
Provinsi 2014)
100% responden tidak
mengetahui karakter ikan yang
belum bertelur
59% % responden mengatakan
bahwa 30 -40% ikan yang
tertangkap belum bertelur, 31%
respondentidak mengetahui dan
10% telah bertelur
88,89% responden menyatakan
proporsi ikan target lebih banyak
dan 6,67% menyatakan target
lebih sedikit. Hasil penelitian di
Labuan Beropa ikan target hanya
40,36% (Minsaris 2014)
91,94% responden menyatakan
ikan target lebih banyak
tertangkap, 8,06% menyatakan
target lebih sedikit. Hasil
penelitian di Tel.Staring pada
alat tangkap payang 35,3 - 46,7
% merupakan ikan target
(Abdullah, 2011)
67,74% responden menyatakan
semakin sulit medapatkan
lokasi penangkapan ikan dan
3 = sedikit (<30%)
4. Komposisi
spesies
5. "Range
Collapse"
sumberdaya
ikan
1 = proporsi target lebih
sedikit (< 15% dari total
volume)
2 = proporsi target sama
dgn non-target (16-30%
dari total volume)
3 = proporsi target lebih
banyak (> 31 % dari total
volume)
1 = semakin sulit,
tergantung spesies target
2 = relatif tetap, tergantung
spesies target
57,78% responden menyatakan
semakin sulit mencari lokasi
penangkapan dan 42,22% lainnya
17,74% responden menyatakan
trend ukuran ikan hasil
tangkapan semakin kecil dan
82,26% responden menyatakan
sama saja
DATA ISIAN
IKAN KUWE
54,55% responden
menyatakan bahwa hasil
tangkapan per trip mengalami
penurunan dibanding 5 tahun
yang lalu, 45,45%
menyatakan sama saja. CPUE
rata-rata saat ini 23,9
kg/trip/unit kapal. Produksi
ikan kuweh meningkat 17%
antara tahun 2009 dan 2013
(DKP Provinsi 2014)
100% responden menyatakan
ukuran ikan hasil tangkapan
relatif sama saja
2.0
BOBO
T (%)
40
1.3
20
2
26.67
89% responden mengatakan
bahwa proporsi ikan yang
belum bertelur dengan ikan
dewasa berimbang, 11%
responden sedikit ikan
bertelur
84,85% responden
menyatakan proporsi ikan
target lebih banyak
1.7
15
3
25
3.0
10
4
30
54,55% responden
menyatakan semakin sulit
mencari lokasi penangkapan
1.0
5
5
5
SKOR
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
RKG
NILAI
1
(Killer
Indica
tor)
80
4
INDIKATOR
KRITERIA
3 = semakin mudah,
tergantung spesies target
1 = fishing ground menjadi
sangat jauh, terg. spesies
target
2= fishing ground jauh,
terg. spesies target
6. Spesies ETP
3= fishing ground relatif
tetap jaraknya, terg. spesies
target
1= > 1 tangkapan spesies
ETP;
2 = 1 tangkapan spesies
ETP;
3 = tidak ada spesies ETP
yang tertangkap
7. Densitas/
Biomassa untuk
ikan karang &
invertebrata
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
menyatakan relatif sama saja
32,26% responden menyatakan
relatif sama
69,35% responden menyatakan
fishing ground semakin jauh
dan 30,65% responden
menyatakan relatif sama saja
75,5% responden menyatakan
fishing ground semakin jauh dan
24,4 sisanya menganggap sama
saja
91,9 % responden menyatakan
tidak ada spesies ETP yang
tertangkap dan 8,89% responden
menyatakan ada 1 spesies.
WWF,( 2015) ada 3 jenis soesies
ETP yang tertangkap
Kelimpahan ikan karang di Teluk
stairng Kabupaten Konawe
berkisar 0,4 - 2,9 ind/m3
98,39 % responden menyatakan
tidak ada spesies ETP yang
tertangkap dan 1,61%
responden menyatakan ada 1
spesies. WWF,( 2015) ada 3
jenis soesies ETP yang
tertangkap
DATA ISIAN
IKAN KUWE
dan 45,45% responden
menyatakan relatif sama
63,6% responden menyatakan
fishing ground semakin jauh
dalam beberapa tahun terakhir
dan 36,3% lainnya
menyatakan sama saja
93,94% menyatakan tidak
ada Spesies ETP yang
tertangkap dan 6,06%
menyatakan 1 spesies)
WWF,( 2015) ada 3 jenis
spesies ETP yang tertangkap
SKOR
BOBO
T (%)
1.0
8
1.3
5
RKG
NILAI
6
6.66666
67
1
RERATA
2
TOT
AL
TOTA
L
105
175.3
3
1.5
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
5
Lampiran 3. Tabel Hasil Analisis Domain Teknologi Penangkapan Ikan
INDIKATOR
KRITERIA
1. Metode
penangkapan ikan
yang bersifat
destruktif dan atau
ilegal
1=frekuensi pelanggaran > 10
kasus per tahun;
2 = frekuensi pelanggaran 510 kasus per tahun ;
3 = frekuensi pelanggaran <5
kasus per tahun
2. Modifikasi alat
penangkapan ikan
dan alat bantu
penangkapan.
1 = lebih dari 50% ukuran
target spesies < Lm ;
2 = 25-50% ukuran target
spesies < Lm
3 = <25% ukuran target
spesies < Lm
3. Kapasitas
1 = Rasio kapasitas penangkapan
Perikanan dan
< 1;
Upaya Penangkapan 2 = Rasio kapasitas penangkapan
(Fishing Capacity
= 1;
and Effort)
3 = Rasio kapasitas penangkapan
>1
4. Selektivitas
1 = rendah (> 75%) ;
penangkapan
2 = sedang (50-75%) ;
3 = tinggi (kurang dari 50%)
penggunaan alat tangkap yang
tidak selektif)
5. Kesesuaian
fungsi dan ukuran
kapal penangkapan
ikan dengan
dokumen legal
1 = kesesuaiannya rendah
(lebih dari 50% sampel tidak
sesuai dengan dokumen
legal);
2 = kesesuaiannya sedang
(30-50% sampel tidak sesuai
dengan dokumen legal);
3 = kesesuaiannya tinggi
(kurang dari 30%) sampel
tidak sesuai dengan dokumen
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
DATA ISIAN
IKAN KUWEH
Terdapat 8 orang (17,8%)
responden menyatakan masih
terjadi penggunaan bahan peledak
dengan kisaran 24-300 kali
pertahun. Fishing ground meliputi
P.Hari, P.Saponda, P.Bokori,
Tg.Tiram dan Tel. Staring
Terdapat 8 orang (12,9%)
responden menyatakan terjadi
penggunaan bom dengan
intensitas 3-100 kali pertahun.
Fishing Ground P.Hari,
P.Saponda, Tambeanga,
Tambolosu, P.Lemo dan
Tg.Tiram
Terdapat 4 orang (12,1%)
responden menyatakan masih
terjadi penggunaan bahan
peledak dengan intensitas
24-100 kali per tahun.
Fishing Ground P. Hari,
P.Saponda, Labuan Beropa
81% ikan karang yang tertangkap
telah mencapai ukuran pertama
matang gonad (Minsaris, 2014)
84% ikan ukuran ikan yang
tertangkap umunya berkisar 9 17,4 cm sementara Lm ikan
kembung 17,6 cm
(www.fishbase.org)
84 % hasil tangkapan
dibawah ukuran Lm (6 - 13,2
cm) sedangkan ukuran Lm =
13,8 cm utk jenis Sardinella
fimbriat (Abdullah, 2011)
1.7
25
2
41.7
Rasio Kapasitas Penangkapan
adalah 0,71
Rasio Kapasitas Penangkapan
adalah 0,96
Rasio Kapasitas
Penangkapan adalah 1,03
1.3
15
3
20.0
Terdapat 4 jenis alat tangkap
ikan yang tidak selektif dari 6
jenis alat tangkap yang beroperasi
di KPPD Sultra sehinggga PS =
66,7% sehingga ektivitasnya
kategori sedang (Data Primer,
2016)
Terdapat 4 jenis alat tangkap
ikan yang tidak selektif dari 6
jenis alat tangkap yang
beroperasi di KPPD Sultra
sehinggga PS = 66,7%
sehingga ektivitasnya kategori
sedang (Data Primer, 2016)
2.0
15
4
30.0
Ukuran kapal relatif kecil dan
tidak membutuhkan dokumen
untuk kapal penangkapan ikan
karang
Semua sampel kapal
penangkapan memiliki
spesifikasi kapal penankapan
ikan sesuai dengan
kelengkapan dokumennya
(Purse seine dan payang)
Terdapat 4 jenis alat tangkap
ikan yang tidak selektif dari 6
jenis alat tangkap yang
beroperasi di KPPD Sultra
sehinggga PS = 66,7%
sehingga ektivitasnya
kategori sedang (Data
Primer, 2016)
Semua sampel kapal
penangkapan memiliki
spesifikasi kapal penankapan
ikan sesuai dengan
kelengkapan dokumennya
(Purse seine dan payang)
SKOR
BOBOT
(%)
1.0
30
2.0
RKG
NILAI
1
(Kill
er
Indic
ator)
30
10
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
5
20.0
6
INDIKATOR
KRITERIA
DATA ISIAN
IKAN KARANG
DATA ISIAN
IKAN KEMBUNG
DATA ISIAN
IKAN KUWEH
Semua respoden tidak memiliki
sertifikat kecakapan
Hanya Nahkoda yang memiliki
sertifikasi kecakapan
sedangkan anak buah yag lain
tidak memiliki sertifikasi
kecakapan
Hanya Nahkoda yang
memiliki sertifikasi
kecakapan sedangkan anak
buah yag lain tidak memiliki
sertifikasi kecakapan
SKOR
BOBOT
(%)
RKG
NILAI
1.0
5
6
5.0
RERATA
1.5
TOTAL
100
legal
6. Sertifikasi awak
kapal perikanan
sesuai dengan
peraturan.
1 = Kepemilikan sertifikat
<50%;
2 = Kepemilikan sertifikat 5075%;
3 = Kepemilikan sertifikat
>75%
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
TOTAL
146,7
7
Lampiran 4. Tabel Hasil Analisis Domain Sosial
INDIKATOR
1. Partisipasi
pemangku
kepentingan
DEFINISI/
PENJELASAN
Keterlibatan
pemangku
kepentingan
KRITERIA
1 = kurang dari 50%;
2 = 50-100%;
3 = 100 %
2. Konflik
perikanan
3. Pemanfaatan
pengetahuan lokal
dalam pengelolaan
sumberdaya ikan
(termasuk di
dalamnya TEK,
traditional
ecological
knowledge)
Resources conflict,
policy conflict,
fishing gear
conflict, konflik
antar sector.
1 = lebih dari 5
kali/tahun;
2 = 2-5 kali/tahun;
Pemanfaatan
pengetahuan lokal
yang terkait dengan
pengelolaan
perikanan
1 = tidak ada;
3 = kurang dari 2
kali/tahun
2 = ada tapi tidak
efektif;
3 = ada dan efektif
digunakan
BOBOT
RANKING
(%)
IKAN KARANG
IKAN KEMBUNG
IKAN KUWEH
SKOR
Pengelolaan perikanan
tangkap masih
merupakan Domain
Bidang perikanan tangkap
DKP sehingga partisipasi
dan siklus pengelolaan
sifatnya parial belum
jelas, (DKP Sultra, 2016)
Partispasi pemangku
kepentingan di tandai
dengan keikutsetaan
setiap kegiatan pelatiahn,
workshop maupun bintek
yang hanya berkaitan
dengan tupoksi masingmasing bidang
1.0
40
1
40.0
Hasil wawancara 4,4 %
responden mengatakan
adanya konflik
pemanfaatan fising ground
dan kebijakan khususnya
nelayan yang
memanfaatkan bom, bius
dengan frekuensi lebih
dari 5 kali (DKP Prov,
2016)
20,97 % responden
mengatakan adanya
konflik pemanfaatan
fishing ground dan
kebijakan khususnya
nelayan yang
memanfaatkan bagan
rambo serta rumpon
sebagai alat bantu lebih
dari 5 kali (DKP Prov,
2016)
Semua responden di
lokasi survei mengatakan
tidak memanfaatkan
pengetahuan lokal dalam
melakukan penangkapan
ikan krn sdh sering ada
penyuluhan dan
menangkap ikan saat ini
sdh semakin sulit
Partispasi pemangku
kepentingan di tandai
dengan keikutsetaan
setiap kegiatan
pelatiahn, workshop
maupun bintek yang
hanya berkaitan dengan
tupoksi masing-masing
bidang
6,1 % responden
mengatakan adanya
konflik pemanfaatan
fising ground dan
kebijakan khususnya
nelayan yang
memanfaatkan rumpon
sebagai alat bantu
maupun bom lebih dari
5 kali (DKP Prov, 2016)
1,0
35
2
35
Semua responden di
lokasi survei
mengatakan tidak
memanfaatkan
pengetahuan lokal
dalam melakukan
penangkapan ikan krn
sdh sering ada
penyuluhan dan
menangkap ikan saat ini
sdh semakin sulit
1.0
25
3
25
Semua responden di
lokasi survei mengatakan
tidak memanfaatkan
pengetahuan lokal dalam
melakukan penangkapan
ikan krn sdh sering ada
penyuluhan dan
menangkap ikan saat ini
sdh semakin sulit
RERATA
1,0
TOTAL
TOTAL
100
100
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
NILAI
8
Lampiran 5. Tabel Hasil Analisis Domain Ekonomi
INDIKATOR
DEFINISI/
PENJELASAN
1. Kepemilikan
Aset
Perubahan nilai/jumlah
aset usaha RTP cat : aset
usaha perikanan atau
aset RT.
2. Pendapatan
rumah tangga
(RTP)
Pendapatan total RTP
yang dihasilkan dari
usaha RTP
3. Rasio
Tabungan
(Saving ratio)
menjelaskan tentang
rasio tabungan terhadap
pendapatan bersih
KRITERIA
BOBOT
RANKING
(%)
IKAN KARANG
IKAN KEMBUNG
IKAN KUWEH
SKOR
1 = nilai aset
berkurang (lebih
dari 50%) ;
2 = nilai aset tetap
(kurang dari 50%);
3 = nilai aset
bertambah (di atas
50%)
1= kurang dari ratarata UMR,
2= sama dengan
rata-rata UMR,
3 = > rata-rata UMR
Dalam 1 tahun terakhir
seluruh responden
menyatakan ada
peningkatan aset usaha
perikanan maupun aset
rumah tangga, tetapi <50%
Mayoritas responden
memiliki nilai aset tetap
(kurang dari 50%)
Mayoritas responden memiliki
nilai aset tetap (kurang dari
50%)
2,0
45
1
90
100% responde memeiliki
pendapatan diatas UMR
(Rp 1.690.00 – Rp.
3.400.00)
Rata-rata pendapatan
responden (Rp. 4.415.000 per
bulan) perbulan melebih UMR
regional Sulawesi Tenggara
2016 ( Rp 1.850.000)
3,0
30
2
90
1 = kurang dari
bunga kredit
pinjaman;
2 = sama dengan
bunga kredit
pinjaman;
3 = lebih dari bunga
kredit pinjaman
SR= 46,33% - 72,79%.
Besarnya bunga kredit
pinjanman = 7,52 – 8,22%
per September 2013
Rata-rata pendapatan
responden ( Rp.
3.215.000 per bulan)
melebih UMR regional
Sulawesi Tenggara 2016
( Rp 1.850.000)
Suku bunga kredit Sultra
bulan Oktober s/d
Desember 2016 sebesar
7,25 - 7,5% (BI Sultra,
2016), sedangkan ratio
tabungan rata-rata
responden nelayan
penangkap ikan karang
=47,4%
Suku bunga kredit Sultra bulan
Oktober s/d Desember 2016
sebesar 7,25 - 7,5% (BI Sultra,
2016), sedangkan ratio
tabungan rata-rata responden
nelayan penangkap ikan
kembung =66,5%
3,0
25
3
75
TOTAL
RERATA
2,67
TOTAL
255
100
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
NILAI
9
Lampiran 6. Tabel Hasil Analisis Domain Kelembagaan
INDIKATOR
DEFINISI/
PENJELASAN
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
Pelanggaran terkait WPP di wilayah perairan Teluk
Staring Kabupaten Konawe Selatan berupa
pelanggaran hukum secara admistrasi kelengkapan
izin terjadi lebih dari 5 kali di tahun 2016 (Bidang
Pengawasan DKP Provinsi Sultra, 2017)
1
Non formal
1= lebih dari 5 informasi pelanggaran,
2= lebih dari 3 informasi pelanggaran,
3= tidak ada informasi pelanggaran
90 % reponden mengatakan bahwa pelanggaran
hukum terkait WPP lebih dari 5 kali
1
1. Kepatuhan terhadap
prinsip-prinsip perikanan
yang bertanggung jawab
dalam pengelolaan
perikanan yang telah
ditetapkan baik secara
formal maupun non-formal
Tingkat kepatuhan
(compliance) seluruh
pemangku kepentingan
WPP terhadap aturan
main baikformal maupun
tidak formal
1= lebih dari 5 kali terjadi pelanggaran
hukum dalam pengelolaan perikanan;
2 = 2-4 kali terjadi pelanggaran hukum;
2. Kelengkapan aturan
main dalam pengelolaan
perikanan
Sejauh mana
kelengkapan regulasi
dalam pengelolaan
perikanan
1 = tidak ada;
2 = ada tapi tidak lengkap;
3 = ada dan lengkap
Ada aturan main hanya di tingkat provinsi (Perda
Pesisir, Pergub dan aturan terkai retribusi).
2
Elaborasi untuk poin 2
1= ada tapi jumlahnya berkurang;
2= ada tapi jumlahnya tetap;
3= ada dan jumlahnya bertambah
Kelengkapan regulasi hingga tahun 2013
jumlahnya tetap
2
Ada atau tidak
penegakan aturan main
dan efektivitasnya
1=tidak ada penegakan aturan main;
2=ada penegakan aturan main namun tidak
efektif;
3=ada penegakan aturan main dan efektif
Penegakan hukum atau aturan main sudah
diterapkan hanya saja kurang efektif
2
1= tidak ada alat dan orang;
2=ada alat dan orang tapi tidak ada
tindakan;
3= ada alat dan orang serta ada tindakan
Intensitas kegiatan patroli dan pengawasan cukup
jarang disebabkan oleh keterbatasan anggaran,
hanya administrasi di kantor (Abet Abdullah 2017)
1
1= tidak ada teguran maupun hukuman;
2= ada teguran atau hukuman;
3=ada teguran dan hukuman
Tindak lanjut bagi nelayan yang melakukan
pelanggaran, berkomunikasi dan memberikan
teguran terlebih dahulu, pembinaan serta proses
hukum sampai ke tingkat pengaadilan (POL AIR,
2017)
2
3 = kurang dari 2 kali pelanggaran hukum
BOBOT
(%)
26
25
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
RANKING
NILAI
1
26
2
40
10
INDIKATOR
3. Mekanisme pengambilan
keputusan
DEFINISI/
PENJELASAN
Ada atau tidaknya
mekanisme pengambilan
keputusan (SOP) dalam
pengelolaan perikanan
KRITERIA
DATA ISIAN
SKOR
Belum ada SOP namun terdapat mekanisme
pengambilan keputusan terkait pengelolaan
perikanan tapi belum efektif (DKP Provinsi Sultra,
2017)
2
1= ada keputusan tapi tidak dijalankan;
2= ada keputusan tidak sepenuhnya
dijalankan;
3= ada keputusan dijalankan sepenuhnya
Keterbatasan sarana prasarana menjadi salah satu
penyebab utama tidak dijalankannya sebuah
keputusan terkait pengelolaan WPP (DKP Provinsi
Sultra, 2016)
1
1=belum ada RPP;
2=ada RPP namun belum sepenuhnya
dijalankan;
3=ada RPP dan telah dijalankan
sepenuhnya
1=konflik antar lembaga (kebijakan antar
lembaga berbeda kepentingan);
KKPD Sulawesi Tenggara belum meiliki legalitas
tentang RPP KKPD Sultra. (Provinsi Sultra, 2016)
1
Koordinasi antar lembaga dalam menjalankan
program masing-masing lembaga memiliki
kepentingan berbeda
1
Kurang Koordinasi setiap sektor yang memiliki
tugas dan tanggung jawab serta kewajiban yang
tidak saling mendukung terkait kebijakan (Tahalim,
2016)
2
Bimbingan teknis dan pembinaan sudah dilakukan
namun tidak berkesinambungan sesuai dengan
peruntukan (politik dominan) (POL AIR, 2016)
1=tidak ada mekanisme pengambilan
keputusan;
2=ada mekanisme tapi tidak berjalan
efektif;
BOBOT
(%)
18
RANKING
NILAI
3
18
15
4
15
11
5
16,5
2
5
6
10
RERATA
TOTAL
3=ada mekanisme dan berjalan efektif
4. Rencana pengelolaan
perikanan
Ada atau tidaknya RPP
untuk wilayah
pengelolaan perikanan
dimaksud
5. Tingkat sinergisitas
kebijakan dan kelembagaan
pengelolaan perikanan
Semakin tinggi tingkat
sinergi antar lembaga
(span of control-nya
rendah) maka tingkat
efektivitas pengelolaan
perikanan akan semakin
baik
Semakin tinggi tingkat
sinergi antar kebijakan
maka tingkat efektivitas
pengelolaan perikanan
akan semakin baik
6. Kapasitas pemangku
kepentingan
Seberapa besar frekuensi
peningkatan kapasitas
pemangku kepentingan
dalam pengelolaan
perikanan berbasis
ekosistem
2 = komunikasi antar lembaga tidak
efektif;
3 = sinergi antar lembaga berjalan baik
1= terdapat kebijakan yang saling
bertentangan;
2 = kebijakan tidak saling mendukung;
3 = kebijakan saling mendukung
1=tidak ada peningkatan;
2 = ada tapi tidak difungsikan (keahlian
yang didapat tidak sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
3 = ada dan difungsikan (keahlian yang
didapat sesuai dengan fungsi
pekerjaannya)
1,54
TOTAL
100
WWF - FPIK UHO | Penilaian Performa Perikanan Menggunakan Indikator EAFM di Kawasan KKPD Sultra
148,50
11
Download