BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan konsepsi hubungan antara Negara dengan tanah terdapat 3 (tiga) entitas tanah, yaitu: (1) tanah Negara; (2) tanah ulayat; dan (3) tanah hak.1 Terhadap ketiga entitas tersebut terdapat politik pertanahan yang berbeda di mana sampai dengan saat ini kebijakan tentang pengelolaan tanah Negara masih belum terwujud. Sementara itu kebijakan pengelolaan tanah ulayat dilakukan secara sporadis dan tidak terintegrasi dalam satu sistem. Tanah hak – termasuk di dalamnya hak yang diberikan oleh otoritas kehutanan dan pertambangan – penguasaan dan pengaturannya masih bersifat sektoral. Tidak dapat dipungkiri bahwa politik pertanahan nasional tersebut masih mewarisi politik pertanahan kolonial yang lebih mementingkan pengaturan tanah hak guna dapat mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Perbedaannya adalah bahwa politik pertanahan kolonial dilandasi oleh asas domein dengan segala kompleksitas dan perdebatannya. Penyebab dari belum terwujudnya kebijakan pengelolaan tanah Negara tersebut adalah: (a) Perbedaan persepsi tentang tanah Negara karena ketentuan tentang tanah Negara (PP No. 8 Tahun 1953) dikeluarkan sebelum UUPA; (b) Perbedaan persepsi antara tanah Negara dengan hutan 1 Maria SW. Sumardjono, 2010, Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat, Penerbit Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.22. 1 Negara (c) tanah ulayat yang kerap dianggap sebagai tanah Negara.2 Hal tersebut mengakibatkan penetapan dan pengadministrasian tanah Negara menjadi sulit dilakukan. Dalam praktek, pengadministrasian tanah hak lebih menonjol, sehingga identifikasi dan inventarisasi tanah Negara menjadi terhambat.3 Hasil studi yang dilakukan oleh BAPPENAS menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) persoalan mendasar seputar tanah Negara, yaitu: ketidakjelasan definisi, dasar hukum dan penanggung jawab pengelolaannya. Hal tersebut berpotensi menimbulkan permasalahanpermasalahan yang mengganggu stabilitas sosial ekonomi, keamanan dan kelangsungan pembangunan berkelanjutan, baik di daerah perkotaan mapun di perdesaan.4 Mengingat bahwa jumlah luas areal tanah Negara (termasuk hutan) meliputi lebih dari 75 % dari seluruh areal tanah di Indonesia,5 maka kompleksitas permasalahan yang bersumber dari tanah Negara hampir mendominasi persoalan dan konflik pertanahan di Indonesia. Secara normatif, permasalahan seputar tanah Negara terjadi karena adanya sektoralisasi penguasaan tanah Negara. Pada Ragaan 1 (satu) dapat dilihat bahwa tanah, sebagai matriks dasar dari ruang, penguasaannya menjadi sektoral sebagai akibat dari politik pembangunan nasional. 2 ibid, hlm. 23-27. 3 ibid, hlm. 27. 4 Anonim, 2004, Studi Pendefinisian dan Penyederhanaan Perangkat Penguasaan Tanah dan Pengelolaan Tanah Negara, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia, Proyek Pengelolaan dan Pengembangan Kebijakan Pertanahan (P3KP), hlm.3.4. 5 Angka 75 % diambil dari Anonim, Penelitian Pengelolaan Tanah Negara, Laporan Akhir, Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Pertanahan Nasional Tahun 1993/1994, hlm.7. 2 IZIN UDARA (DKP) WILAYAH PESISIR (ESDM) KERJA WILAYAH (ESDM) MINERBA HUT) (KEMEN HUTAN HAK PENGELOLAAN MINYAK DANGAS BUMI (DIKUASAI OLEH NEGARA) ALAM (Kem. PU) SUMBERDAYA (BPN) TANAH Sumber Data: Diolah dari Berbagai Sumber, 2013. ? ? AIR HAK IZIN KKS/IZIN TAMBANGAN WILAYAHPER KAWASAN HUTAN IZIN Ragaan 1. Sektoralisasi Penguasaan Tanah dan Sumber Daya Alam Selain Tanah 3 Tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut terjadi karena UUPA memang tidak tuntas dalam melakukan pengaturan tentang sumber daya alam (SDA). Secara politis dan juridis, UUPA dimaksudkan untuk menjabarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengisyaratkan bahwa obyek yang seharusnya diatur meliputi bumi, air, ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun ternyata bahwa UUPA sendiri menunjukkan adanya ketidakselarasan antara wadah dan prinsip-prinsipnya dengan substansi penjabarannya yang lebih menekankan pada tanah saja. Konsekuensinya, pembangunan hukum masing-masing sektor didasarkan pada pola pikir dan kepentingan yang berbeda yang dikembangkan oleh masing-masing instansi yang diberi kewenangan khusus.6 Secara konseptual, hak menguasai negara atas SDA sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dijabarkan secara sektoral oleh berbagai undang-undang tentang SDA. “Masing-masing dari UU tersebut memposisikan dirinya sebagai suatu sistem, bukan sebagai sub sistem dari UU tentang SDA”.7 Sektoralisasi dari penguasaan SDA tersebut serta implikasinya terhadap tanah Negara dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, secara historis sektoralisasi tersebut terjadi pada periode kedua8 dari arah kebijakan pertanahan yang ditandai dengan munculnya berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang tidak mengacu pada UUPA, yang terbit 6 Maria S.W. Sumardjono, 2004, Naskah Akademis Rancangan UndangUndang tentang Sumber Daya Agraria (Penyempurnaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria), hlm. 2 dan 3. 7 Maria S.W. Sumardjono, et.al, 2011, Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 8 Maria SW. Sumardjono membagi lima periode yang menandai terjadinya pergeseran arah kebijakan pertanahan, yaitu: (1) periode pertama (sejak UUPA – 1970an); (2) antara tahun 1970-an – 1980-an; (3) antara tahun 1980-an – 1990-an; (4) tahun 1990-an – 1997; (5) pasca Reformasi. Lihat Maria S.W. Sumardjono, 2008, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Buku KOMPAS, Jakarta, hlm.3740. 4 karena dipicu oleh masalah penggalangan dana yang besar pada awal periode pembangunan ekonomi.9 Mc. Donald menyatakan bahwa masing-masing instansi mengembangkan kebijakan dan landasan hukumnya secara terpisah dan cenderung bersaing antara satu dengan lainnya. Persaingan itu tampaknya memang didorong agar masing-masing sektor menjalankan kewenangannya secara efisien dan rasional sehingga mampu memberikan kontribusi yang maksimal kepada proses pembangunan.10 Sektoralisasi tersebut, dalam perkembangannya telah mengakibatkan terjadinya dominasi penguasaan tanah negara oleh 3 (tiga) sektor dominan yaitu: kehutanan, perkebunan dan pertambangan sebagaimana ditunjukkan oleh Ragaan 2 (dua) berikut. Ragaan 2. Penguasaan Tanah Oleh Berbagai Sektor di Indonesia No 1. 2. 3. 4. Luas Daratan Indonesia Kawasan Hutan (Hutan Lindung 31,5 juta ha) Kawasan Pertambangan Areal Perkebunan Sisa (untuk Petani?), belum dikurangi areal permukiman, kawasan industri dan pariwisata. 173 juta ha. 137,45 juta ha 100% 79,45% 2,15 juta ha 20 juta ha* 13,40 juta ha. 1,25% 11,56% 7,74% Sumber Data: Anonim, 2010, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara; *Angka 20 juta ha. berasal dari 13,7 % dari total 173 juta ha., merupakan persentase pada tahun 2000, hasil Sensus Pertanian 2003, dikutip dan dimodifikasi dari Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, 2011, Enam Dekade Ketimpangan. Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Agrarian Resource Centre, Bina Desa & KPA, hlm.40. Angka-angka di atas menunjukkan adanya ketimpangan struktur penguasaan tanah11 di Indonesia. Kehutanan, perkebunan dan pertambangan 9 ibid, hlm.37. 10 dalam Maria SW. Sumardjono, 2004, op.cit., hlm.11. 11 Struktur penguasaan tanah atau struktur agraria bukanlah bentukan alami, melainkan bentukan sosial. Struktur agraria merupakan hubungan sosial yang ditata dalam rangka distribusi akses terhadap sumber-sumber agraria khususnya tanah. Sebagai 5 merupakan sektor yang mendominasi penguasaan tanah saat ini, plus perusahaan-perusahaan besar yang mengelola pengembangan kota-kota baru, fasilitas pariwisata dan kawasan industri. Data penguasaan tanah oleh ketiga sektor tersebut menunjukkan salah satu gambaran yang menyatakan bahwa pilihan betting on the strong ternyata berbuah betting on the weak atau memukul golongan ekonomi lemah. Kondisi penguasaan tanah oleh perusahaan penerima HPH, luasan usaha tani petani gurem, serta peningkatan jumlah rumah tangga buruh tani, menyajikan fakta tentang ketimpangan yang diproduksi dari kebijakan politik ekonomi Indonesia empat puluh tahun lalu dan sudah bermula dari masa pra kolonial.12 Dominasi penguasaan tanah oleh ketiga sektor tersebut memperoleh legitimasi dari regulasi yang bersifat sektoral yang dibangun oleh masing-masing otoritas. Sejak Orde Baru lahirlah beberapa undangundang sektoral seperti UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan dan UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan yang kemudian difasilitasi oleh undang-undang Penanaman Modal. Kehadiran UU Sektoral tersebut menunjukkan adanya dinamika regulasi pertanahan yang menggambarkan bahwa formasi struktur agraria yang ditata pada masa Orde Baru cenderung mengarah pada formasi kapitalisme, formasi yang melenceng dari formasi populisme yang ditata suatu hubungan sosial, struktur agraria mengambil salah satu dari lima kemungkinan formasi ideal, yaitu naturalisme, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, serta populisme. Lihat M.T. Felix Sitorus, “Tanah, Etnisitas, dan Kekuasaan. Dinamika Agraria pada Komunitas Tepian Hutan di Sulawesi Tengah” dalam Jurnal Pembaruan dan Agraria, Volume 01/Tahun 2004, hlm.59. 12 Joyo Winoto, 2008, Tanah Untuk Rakyat. Risalah tentang Reforma Agraria Sebagai Agenda Bangsa, tanpa penerbit, hlm.38. 6 oleh regulasi pertanahan Orde Lama. Penelitian Nurhasan Ismail13 menunjukkan bahwa dinamika regulasi tersebut mengakibatkan terjadinya “perubahan kelompok yang diuntungkan” sebagaimana Ragaan berikut. Ragaan 3: Perubahan Kelompok Diuntungkan Antara Orde Lama (1960-1966) dengan Orde Baru (1966-2005) PerubahanKelompokDiuntungkan NO 19601966 19672005 1. KELOMPOKWARGAMASY.PERORANGAN a. Petanitunatanahdanbertanahsempit; b. Kelompokpetanipenggaraptanah; c. Buruhtanidanpetanitetapperusahaan perkebunan; d. Kelompokpetaniyangmenduduki perkebunan. PERUSAHAANSWASTABESAR, berupa: a. Jaminanketersediaandan perolehantanah; b. Jaminanpemberianhakatas tanah; c. Jaminankeberlangsungan kegiatanusaha. 2. KOPERASI,sebagai: a. penerimatanahobyeklandreform; b. Penggaraptanahpertanian; c. SubyekHakMilik; d. Pelakuusahaperkebunanskalabesar INSTANSIPEMERINTAH,berupa jaminan: a. ketersediaantanahbagi pembangunanpelabuhan; b. Ketersediaantanahbagi pembangunan; 3. PERUSAHAANNEGARA,sebagai: a. Pelanjutperusahaanasingyangdi Nasionalisasi; Sumber Data: Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan. Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.471-588. Eksploitasi sumberdaya hutan, tanah dan tambang menuntut tersedianya tanah Negara dalam jumlah yang relatif besar. Meskipun terdapat perbedaan persepsi tentang pengertian dan obyek dari tanah Negara, namun berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dapatlah dipahami bahwa pada prinsipnya seluruh daratan di Indonesia diklasifikasikan 13 Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan. Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.471588. 7 sebagai tanah Negara. Hak Menguasai Negara atas tanah Negara tersebut kemudian dijabarkan secara sektoral oleh berbagai undang-undang tentang sumberdaya agraria. Kedua, sektoralisasi tersebut juga meliputi kelembagaan. Tanah, air, hutan, wilayah pesisir, mineral dan batubara serta minyak dan gas bumi diatur oleh UU tersendiri yang kemudian penguasaannya didelegasikan ke berbagai otoritas. Otoritas yang mengelola SDA tersebut adalah14 tanah oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; hutan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; air oleh Kementerian Negara Pekerjaan Umum (PU); wilayah pesisir oleh Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP); mineral dan batubara serta minyak dan gas bumi oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Masing-masing otoritas tersebut menerima mandat sebagai pengelola “hak menguasai negara” atas sektor-sektor tersebut di atas. Pengotakan peraturan perundang-undangan dalam bingkai sektoral ini sudah berjalan demikian lama (lebih dari tiga dasawarsa) sehingga akhirnya diam-diam diterima sebagai kenyataan (taken for granted). Padahal pengotakan tersebut mengakibatkan inkonsistensi, tumpang-tindih antar peraturan perundang-undangan sektoral, serta longgarnya koordinasi di tingkat pusat maupun antara pusat dan daerah. Dampaknya terutama terkait dengan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, serta peminggiran hak-hak masyarakat termasuk masyarakat adat dan sumber penghidupan mereka. Gejalanya dapat dirasakan berupa konflik yang semakin bertambah antar interest-group.15 14 Sesuai dengan Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla 2014-2019. 15 Maria SW. Sumardjono, “Undang-Undang Agraria. Menyelesaikan Pekerjaan Rumah” dalam Endang Suhendar et.al. (Penyunting), 2002, Menuju Keadilan Agraria. 70 Tahun Gunawan Wiradi, Penerbit Yayasan Akatiga, Bandung, hlm.86. 8 Ketiga, dalam sektoralisasi tersebut terlihat sifat eksklusif dari Otoritas Kehutanan dan Otoritas Pertambangan. Sebelum “ijin” diterbitkan Otoritas Kehutanan mempunyai kewenangan untuk menetapkan “kawasan hutan”16 sebagai areal yang sepenuhnya berada di bawah otoritasnya; sedangkan Otoritas Pertambangan menetapkan Wilayah Pertambangan dan Wilayah Kerja. Penetapan tersebut tidak mempersoalkan hak dan/atau penguasaan/pemilikan dan penggunaan lain yang telah ada di kawasan tersebut. Keempat, merujuk pada pendapat Maria SW. Sumardjono yang menyatakan bahwa dilihat dari konsepsi hubungan antara Negara dengan tanah yang menghasilkan tiga entitas tanah yaitu tanah Negara, tanah ulayat dan tanah hak, maka Ragaan tersebut menunjukkan bahwa terdapat “kebijakan yang menempatkan tanah ulayat dan tanah Negara sebagai “sisa” dari tanah-tanah yang telah diberikan hak dan ijin”.17 Sektoralisasi tersebut menunjukkan adanya ketidaktuntasan UUPA memberikan dasar pengaturan bagi semua bidang sumberdaya agraria dan penekanan yang lebih banyak pada tanah berdampak pada pembangunan hukum dan timbulnya konflik. Ketidaktuntasan tersebut secara normatif mengakibatkan terjadinya tumpang tindih aturan hukum yang berlaku (tidak sinkron dan tidak harmonis) antara bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan; dan secara empiris menimbulkan konflik vertikal karena masingmasing pengaturan dan pengurusan sumber daya agraria itu 16 UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan bahwa luas kawasan hutan yang harus dipertahankan adalah minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau pada masing-masing provinsi, dan kabupaten/kota. 17 Maria SW. Sumardjono, 2004, op.cit, hlm.28. 9 dilaksanakan oleh instansi atau departemen pemerintah yang berbeda.18 Konflik vertikal tersebut – khususnya dengan UU Kehutanan – terlihat dengan adanya dualisme penguasaan dan pengurusan tanah Indonesia. Tanah-tanah di dalam kawasan hutan menjadi kewenangan Otoritas Kehutanan, dan tanah-tanah diluarnya menjadi kewenangan Otoritas Pertanahan.” Tanah dalam kawasan hutan tidak dimungkinkan untuk disertifikatkan, dan hanya diberi legalitas melalui ijin pemanfaatan hutan. Kenyataannya ijin pemanfaatan hutan tersebut merupakan ijin pemanfaatan tanah juga”.19 Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tidak terdapat ketentuan yang secara tegas menyebut tanah Negara, namun terdapat ketidaksinkronan konsepsi penguasaan tentang tanah Negara tersebut. Pasal 1 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan hanya menyebut beberapa pengertian dari hutan, yaitu: hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah; dan 18 Kurnia Warman, 2008, Pengaturan Sumber Daya Agraria di Sumatera Barat Pada Era Desentralisasi (Interaksi Hukum Adat dan Hukum Negara Dalam Perspektif Keanekaragaman Dalam Kesatuan Hukum), Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm.6-7. 19 Myrna A. Safitri, et.al, 2011, Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial. Pandangan kelompok masyarakat sipil Indonesia tentang prinsip, prasyarat, dan langkah mereformasi kebijakan penguasaan tanah dan kawasan hutan di Indonesia, Kelompok Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Tenurial, Jakarta, hlm.7. 10 hutan adat20 adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk menentukan klasifikasi tanah Negara maka harus juga diperhatikan apakah tanah tersebut merupakan kawasan hutan atau tidak. Jadi, meskipun tidak terdapat hak atas tanah dan tanah tersebut merupakan kawasan hutan maka diklasifikasikan sebagai hutan Negara; dan jika tidak merupakan kawasan hutan maka diklasifikasikan sebagai tanah Negara. Pembedaan tersebut membawa konsekuensi pada perbedaan kewenangan pengelolaan, di mana hutan Negara dikelola oleh otoritas kehutanan, dan tanah Negara merupakan kewenangan otoritas pertanahan. Konsepsi yang sektoral ini merupakan konsepsi kolonial yang masih diwarisi hingga saat ini. “Seyogianya, pengertian hutan dalam UU Kehutanan haruslah ditafsirkan sebagai hutan yang berada pada tanah negara”.21 Pada kenyataannya, seluruh tanah yang oleh otoritas kehutanan telah diklasifikasikan sebagai hutan22 menjadi kewenangan otoritas kehutanan untuk melakukan pengelolaannya. Secara formal hal tersebut 20 Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi membatalkan beberapa pasal dari UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu Pasal 1 angka 6 yang menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat; dan Pasal 5 ayat (1) yang membagi status hutan hanya atas hutan negara dan hutan hak. 21 Maria SW. Sumardjono, 2010, op.cit., hlm.25-26. 22 Pengertian hutan menurut UU No. 5 Tahun 1967 adalah: “suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan”; dan menurut UU No.41 Tahun 1999 adalah: “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan”. 11 dimulai dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum. INPRES ini menegaskan bahwa “pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) tidak diwajibkan mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah dalam areal HPH-nya, jika tanah tersebut digunakan untuk usaha yang sesuai dengan pemberian HPH yang bersangkutan. Pemberian HPH dianggap sekaligus sebagai hak untuk menggunakan tanahnya”.23 Dalam konteks hukum pertanahan, status tanah dalam kawasan hutan menimbulkan perbedaan persepsi dalam memahami status tanah Negara. Menurut Otoritas Kehutanan tanah tersebut berstatus sebagai hutan Negara, dan status itu ‘diakui' oleh otoritas pertanahan dan pemerintah daerah. Artinya, otoritas pertanahan tidak berkompeten untuk menetapkan tanah di kawasan tersebut sebagai tanah Negara. Selain fakta-fakta normatif tentang tanah Negara sebagaimana diuraikan sebelumnya, secara empiris terdapat beberapa permasalahan tanah Negara yang menjadi pokok perhatian. Pertama, terdapat ketidaksamaan persepsi tentang status tanah Negara yang berkaitan dengan pengertian, lingkup, isi dan kewenangan pengelolaannya. Fakta yang diperoleh menunjukkan bahwa persepsi tanah Negara beragam. 23 Moh. Hasan Wargakusumah, 2003, Pengaturan Penguasaan Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional dan di Kawasan Industri, Disertasi, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 261. 12 Adanya keragaman tersebut dapat dilihat dari adanya konsep pikir tentang “tanah milik negara”, masih adanya istilah “tanah negara bebas” yang sepengertian dengan “vrij Gouvernements Grond” atau vrij lands domein (Penjelasan Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1953), dan masih adanya konsep tanah Negara di wilayah eks Gemeente yang dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat,24 analog dengan hak eigendom Gementee dahulu.25 Selain itu, “sebagian lainnya menggunakan pendekatan hukum adat yang tidak sesuai dengan hukum adat menurut Pasal 5 UUPA, namun menggunakan konsep pikir hak ulayat di luar jangkauan penguasaan negara, serta adanya upaya menghidupkan kembali hak ulayat”.26 Ragam persepsi tersebut mengakibatkan ragam kebijakan pengelolaan tanah negara. Pengelolaan tanah negara belum menunjukkan kebijakan yang menyeluruh dan terpadu, belum adanya suatu rencana pengelolaan yang jelas serta operasional di daerah, belum adanya upaya-upaya sistematis di lapangan dalam penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah negara, lebih-lebih belum adanya langkahlangkah sistematis dalam pengendalian serta pemanfaatannya serta terbatasnya dan tenaga pengelola yang dialokasikan untuk menunjang pelaksanaannya. Hal tersebut menimbulkan beberapa masalah lanjutan (derived problems) khususnya persediaan tanah negara, baik yang harus tetap dilestarikan sebagai tanah negara maupun yang dapat dan akan dialokasikan sebagai tanah hak untuk menunjang pembangunan.27 24 Di Surabaya, berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 1997 tentang Izin Pemakaian Tanah, maka Pemerintah Kota Surabaya memberikan Izin Pemakaian Tanah; dimana salah satu dari tanah yang diberikan tersebut merupakan Eigendom Gemeente Surabaya, lihat Arie Sukanti Hutagalung dan Oloan Sitorus, 2011, Seputar Hak Pengelolaan, Penerbit STPN Press, Yogyakarta, hlm.69. 25 Anonim, Penelitian Pengelolaan Tanah Negara ..., op.cit, hlm. 39. 26 ibid, hlm. 40. 27 ibid, hlm. vi-vii. 13 Ragam persepsi tersebut juga mengakibatkan sulitnya melakukan identifikasi tanah negara karena penetapan status tanah negara masih merupakan permasalahan tersendiri.28 Hasil identifikasi sendiri menghadapi konsekuensi yang dilematis yaitu, jika hasil identifikasi melebihi areal tanah negara yang sebenarnya maka akan menghadapi tuntutan pihak lain. Sebaliknya, jika hasilnya kurang dari yang sebenarnya atau seharusnya maka akan menghadapi kecurigaan penggelapan tanah negara untuk kepentingan tertentu.29 Selain itu, meskipun dalam bentuk dan wujud yang sederhana namun upaya pengadministrasian tanah negara tidak dilaksanakan secara tertib dan kontinu, terlebih-lebih karena terbatasnya dana dan tenaga terampil untuk menyelenggarakannya.30 Kedua, ketidakjelasan pengaturan tentang tanah Negara bekas kawasan, baik kawasan hutan maupun kawasan tambang. Jika ‘ijin’ pemanfaatan hutan atau tambang berakhir, maka kawasan dimaksud diklasifikasikan sebagai tanah Negara, namun tidak ditemukan pengaturan yang tegas otoritas manakah yang mempunyai kewenangan atas tanah-tanah tersebut. Selama ini kewenangan itu dikembalikan kepada otoritas yang mempunyai kewenangan sebelum ‘ijin’ diberikan. Ijin yang dikeluarkan oleh otoritas kehutanan maka kewenangan atas ‘tanah Negara’ dimaksud ada pada Otoritas Kehutanan. Demikian juga halnya bila tanah Negara tersebut berada di kawasan pertambangan. 28 ibid, hlm.viii. 29 ibid, hlm. 45. 30 ibid, hlm. viii. 14 Di beberapa daerah, areal bekas kawasan (hutan dan tambang) digarap/dikuasai oleh masyarakat sekitar dengan asumsi bahwa dengan berakhirnya ‘ijin’ pengelolaan atas kawasan tersebut maka berakhir pula hubungan antara pemegang ‘ijin’ dengan tanah tersebut, dan statusnya menjadi ‘tanah Negara’, oleh karena itu masyarakat berhak untuk menguasai tanah tersebut. Contoh kasus ‘tanah Negara’ bekas kawasan tambang terdapat di Kabupaten Bangka dimana oleh masyarakat sekitar dilakukan penguasaan dan penggarapan tanah di areal Kuasa Pertambangan (K.P.) P.T. Timah Tbk. pasca reklamasi. Sebagai bukti penguasaan atas areal yang dikuasai/digarap tersebut, oleh yang bersangkutan diterbitkan Surat Penjelasan Penguasaan Hak Usaha Atas Tanah dengan Saksi-saksi Kepala Dusun dan Kepala Desa serta diketahui oleh Camat. Sebagian dari tanah tersebut dilakukan juga penyerahan/pelepasan dengan dibuatnya Surat Pernyataan Penyerahan/Pelepasan Hak Usaha Atas Tanah, ditandatangani oleh aparat desa setempat. Di dalam dokumen tersebut dinyatakan bahwa yang menguasai/menggarap tanah tersebut akan dimintai pertimbangan jika P.T. Timah Tbk. bermaksud melakukan pengelolaan pasca tambang, karena terdapat rencana bahwa areal tersebut akan dijadikan sebagai hutan wisata. Hal yang menarik adalah bahwa otoritas pertanahan mensyaratkan Surat Keterangan Pelepasan Hak dari P.T. Timah Tbk jika tanah-tanah yang dikuasai/digarap tersebut akan didaftarkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun tanah tersebut 15 diklasifikasikan sebagai tanah Negara, namun otoritas pertanahan “mengakui” hak keperdataan yang masih melekat pada P.T. Timah Tbk. Kasus lain terjadi di areal bekas Kuasa Pertambangan (K.P) dari P.T. Bukit Asam di Kota Sawahlunto. Ketika K.P. berakhir, P.T. Bukit Asam melakukan perjanjian dengan Pemerintah Kota Sawahlunto yang tertuang dalam Perjanjian Kerjasama No. No.06/09.04/2400000002/XI2004 dan No.180/11/Huk-Org/2004 tgl.5 Nov.2004 tentang Penyerahan wilayah bekas tambang seluas 293,45 ha yg terletak di daerah Kandi dan Tanah Hitam serta penyerahan dana reklamasi sebesar Rp.1.283.000.000,Areal bekas tambang tersebut akan dipergunakan untuk pembangunan resort dan sarana olah raga seperti lapangan pacu kuda, arena motor cross, sirkuit road race, pembuatan danau wisata dan sarana prasarana lainnya. Hal tersebut telah menimbulkan konflik dengan masyarakat adat setempat, karena menurut masyarakat, tanah tersebut semestinya kembali menjadi penguasaan masyarakat adat karena sebelum diterbitkan K.P. areal tersebut merupakan tanah ulayat. Menurut Hutagalung, tanah negara bekas hak (hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai) pengelolaannya dilaksanakan oleh BPN, sementara itu tanah negara bekas kawasan dilaksanakan oleh instansi sektoral (departemen-departemen). Jika kawasan tambang tersebut berada pada kawasan hutan maka pasca tambang otoritas kehutanan mempunyai kewenangan pengelolaan atas areal tersebut. Jika kawasan tambang tersebut berada pada Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK), belum terdapat pengaturan yang jelas tentang pengelolaan areal pasca tambang tersebut.31 31 Arie Sukanti Hutagalung, “Pengaturan Pengelolaan Tanah Negara Bekas Hak dan Tanah Negara Bekas Kawasan Ditinjau dari Perspektif Hukum dan PerundangUndangan”, Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Tanah Negara Bekas 16 “Dengan kata lain, belum terdapat mekanisme baku proses pengembalian/pendaftaran lahan bekas tambang, khususnya dari aspek legalitas/hukum, kelembagaan dalam arti ‘siapa bertugas apa’? dan tanggung jawab pemeliharaan pasca tambang hingga menjadi produktif”.32 Ketiga, adanya perbedaan penyelesaian atas tanah Negara pada swapraja/bekas swapraja sebagaimana diatur dalam UUPA. Diktum Keempat UUPA menegaskan: A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undangundang ini hapus dan beralih kepada Negara. B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan pemerintah yang mengatur penyelesaian tanah Negara dimaksud sampai saat ini belum terbit, meskipun sebagian kalangan berpendapat bahwa PP dimaksud adalah PP No.224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Pasal 4 PP tersebut mengatur pembagian tanah Negara dari swapraja/bekas swapraja dimaksud. Hak dan Tanah Negara Bekas Kawasan, diselenggarakan oleh BPN di Golden Boutique Hotel pada tanggal 24-26 November 2010, hlm.9. 32 Soemarno Witoro Soelarno, Direktorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi, “Pemanfaatan Tanah Negara Bekas Kawasan Pertambangan”, materi disampaikan pada Lokakarya Pengelolaan Tanah Negara Bekas Hak dan Tanah Negara Bekas Kawasan, diselenggarakan oleh BPN di Golden Boutique Hotel pada tanggal 24-26 November 2010. 17 Beberapa hasil penelitian tentang penyelesaian tanah Negara di wilayah swapraja/bekas swapraja33 menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan pengaturan, persepsi, dan perlakuan yang berbeda dalam menyelesaikan tanah-tanah swapraja/bekas swapraja. Keempat, perbedaan persepsi dalam menentukan status tanah Negara yang terjadi dalam hal “Pengadaan Tanah Untuk Pelaksanaan Pembangunan Bagi Kepentingan Umum”. Dalam pelaksanaan Pengadaan Tanah, tanah-tanah yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum haruslah di ‘tanah Negara-kan’ terlebih dahulu melalui ‘pelepasan hak atas tanah’. Dalam praktik, meskipun para pemegang hak atas tanah yang haknya akan dilepaskan itu tidak mempunyai bukti hak ataupun alas hak atas tanah namun tetap diberikan uang santunan. Sebagai contoh dapat dilihat pada Peraturan Menteri Negara Agraria No. 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; yang menyatakan bahwa kepada mereka yang menggunakan tanah 33 Lihat Emri, 2005, Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Medan; Julius Sembiring, et.al, 2006, Penyelesaian Tanah-Tanah Bekas Kesultanan di Cirebon Provinsi Jawa Barat, Laporan Hasil Penelitian, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta; Maria SW. Sumardjono, “Keistimewaan Yogyakarta di Bidang Pertanahan: Status Hukum Tanah Kraton Dalam Lingkup Hukum Tanah Nasional” dalam Jurnal Mimbar Hukum, Edisi Khusus, September 2007; Martinus Tamalowu, 2007, Status Hak Atas Tanah Ciptaan Pemerintah Swapraja Kasunanan Surakarta (Studi Kasus di Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon Kota Surakarta, Skripsi, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta; dan Masyhud Asyhari, et.al, 2008, Status TanahTanah Kesultanan Ternate di Provinsi Maluku Utara (Tinjauan Juridis Hukum Tanah Nasional), Laporan Hasil Penelitian, Fak. Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. 18 Negara diberikan uang santunan yang ditetapkan Panitia Pengadaan Tanah menurut pedoman yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota. Di DKI Jakarta, uang santunan disebut dengan istilah uang kerohiman. Diberikan dengan tidak menggunakan luas tanah atau bangunan tetapi sebagai pesangon atas penguasaan secara nyata tetapi tidak ada hubungan hukum dengan tanahnya. Diterimakan dengan kuitansi dan besarnya bisa lebih besar dari pembebasan/pelepasan hak. Dalam beberapa kasus pengadaan tanah, tanah negara (tidak bebas) tersebut belum diatur peraturan perundang-undangan tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum yang baru (Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 dan UU No. 2 Tahun 201234). Dampak dari masalah tersebut: a) appraisal tidak bisa menghitung ganti rugi tanah Negara; b) Panitia Pengadaan Tanah tidak berani mengganti rugi; c) Panitia Pengadaan Tanah disalahkan (dipidana) karena mengganti rugi tanah bekas hak; d) pembangunan tersendat.35 34 Penjelasan Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 menyebutkan bahwa “pihak yang menguasai tanah Negara dengan itikad baik” dapat diberikan ganti rugi, seperti bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. 35 Maria SW. Sumardjono, “Tanah Negara dan Implementasinya Dalam Pengadaan Tanah”, Makalah disampaikan pada Sarasehan Tanah Negara dan Implementasinya Dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, diselenggarakan oleh Kanwil BPN Provinsi Jawa Tengah, tgl. 15 November 2010. 19 Demikian juga halnya bila tanah-tanah yang terkena proyek Pengadaan Tanah tersebut merupakan tanah-tanah bekas obyek landreform. Dalam banyak kasus didapati bahwa tanah-tanah obyek Landreform (S.K. No.60,61,62 dan 63) oleh subyek penerima hak tidak didaftarkan (tidak disertipikatkan), dan ketika tanah bekas obyek landreform tersebut terkena proyek Pengadaan Tanah timbul keraguan untuk menentukan status tanah dimaksud, sebagai tanah Negara atau tanah Hak. Jika diklasifikasikan sebagai tanah Negara akan menimbulkan persoalan-persoalan sosial yang rumit, namun jika diklasifikasikan sebagai tanah hak, akan menimbulkan permasalahan dalam pemberian uang ganti kerugian karena dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Kelima, perbedaan persepsi tentang status tanah Negara juga terjadi dalam hal “berakhirnya hak atas tanah (HGU/HGB/HP)”. Menurut UUPA, dengan berakhirnya hak atas tanah maka status tanah tersebut dinyatakan menjadi tanah Negara. Yang menjadi persoalan adalah, apakah bekas pemegang hak masih mempunyai hak atas tanah bekas HGU/HGB/HP tersebut? Dari beberapa kasus yang ada menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi antara berbagai otoritas dalam memahami tanah Negara bekas hak tersebut. Di satu sisi terdapat pandangan bahwa bekas pemegang hak tidak mempunyai hak atas bekas HGB/HGU/HP tersebut sebagaimana dianut oleh otoritas kejaksaan dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Sementara itu, pada sisi lain 20 terdapat pandangan bahwa bekas pemegang hak masih mempunyai hak atas bekas HGU/HGB/HP tersebut sebagaimana selama ini menjadi pegangan bagi otoritas pertanahan. Otoritas pertanahan berpendapat bahwa meskipun hak atas tanah berakhir, namun masih terdapat hubungan hukum antara bekas pemegang hak atas tanah dengan tanahnya. “Otoritas pertanahan berpegang pada tesis bahwa hubungan subyek hukum dengan tanah tersebut pada hakikatnya berdimensi 2 (dua), yaitu berwujud: (a) hak atas tanah dan (b) pemilikan/penguasaan tanah. Dalam pemikiran ini, meski sesuatu hak atas tanah berakhir dan/atau diakhiri namun kewenangan bekas pemegang hak atas tanah masih diakui. Dalam praktek, hal tersebut dapat dilihat dalam hal adanya pemberian ganti kerugian atas tanah-tanah yang terkena ketentuan landreform (tanah bekas Nasionalisasi, tanah absentei, tanah yang terkena batas maksimum), dan tanah-tanah terlantar.”36 Otoritas Kejaksaan berpendapat bahwa dengan berakhirnya hak atas tanah maka berakhirlah hubungan hukum antara bekas pemegang hak atas tanah dengan tanah tersebut, sehingga segala bentuk ganti rugi yang diberikan kepada bekas pemegang hak dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Demikian juga pemberian ganti kerugian (uang tali asih, kerohiman dsb.) dalam hal pengadaan tanah kepada orang-orang yang menguasai tanah negara, dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.37 Khusus untuk tanah-tanah bekas HGU yang tidak dilakukan perpanjangan haknya, maka untuk menyelesaikan status tanah-tanah bekas HGU tersebut otoritas pertanahan mengeluarkan kebijakan tentang pemutusan hubungan hukum bekas pemegang hak dengan hak atas tanahnya tersebut. Kebijakan itu dapat dilihat pada dokumen-dokumen berikut: 36 Sustiyadi dalam Oloan Sitorus, et al, 2008, “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara” dalam Bhumi, Jurnal Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Nomor 24 Tahun 8, Desember 2008, hlm. 4. 37 ibid, hlm.4 21 a) Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditandatangani Deputi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah tanggal 20 Maret 2007 Nomor 880 – 310.3 – D.II perihal Permohonan/Usul Penegasan Status Tanah dalam rangka Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) di Kabupaten Bogor, yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Barat, dinyatakan bahwa tanah bekas HGU atas nama P.T. Jasinga telah dibuatkan Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah P.T. PP. Jasinga seluas 1.044,4962 ha; b) Surat Direktur Landreform, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan Nomor 43/S-LR/VI/2010 tanggal 14 Januari 2010, menyatakan bahwa sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi Obyek Pengaturan Penguasaan Tanah/Landreform, atas tanah-tanah negara bekas Hak Guna Usaha tetap harus melampirkan surat pelepasan dari bekas pemegang hak. Keenam, pengertian tanah Negara sering disalahtafsirkan ataupun dicampuradukkan38 dengan tanah Pemerintah. Tanah Pemerintah merupakan “tanah-tanah yang dikuasai oleh Departemen-departemen dan Lembaga 38 Salah tafsir dan campur aduk tersebut terjadi karena kesulitan untuk membedakan antara negara dan pemerintah. Silih arti antara negara dan pemerintah dapat dipahami sebab negara merupakan pengertian abstrak, sedangkan pemerintah adalah sesuatu yang konkrit. Akan tetapi secara yuridis ada perbedaan yang sangat nyata antara negara dan pemerintah. Negara adalah sebuah badan (lichaam) sedangkan pemerintah adalah alat kelengkapan negara (orgaan). Perbuatan negara sebagai badan hukum publik (publiek rechtspersoon) dilakukan oleh Pemerintah sebagai organ negara (organ of state). Lihat Bagir Manan dalam Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, Penerbit UII Press, Yogyakarta, hlm.27-28. 22 lembaga Pemerintah non Departemen lainnya dengan Hak Pakai, yang merupakan asset atau bagian kekayaan Negara yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan dengan penguasaan yang bersifat publik.”39 Kompleksitas permasalahan tanah Negara beserta persoalan hukum yang mengitarinya sebagaimana disajikan oleh fakta normatif dan empiris di atas menjadi semakin rumit dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan mengenai tanah Negara. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada 2 (dua) hal, pertama, mengingat bahwa istilah tanah Negara pertama sekali lahir pada masa Kolonial Belanda maka kajian dilakukan terhadap tanah Negara menurut sistem hukum Kolonial Belanda tersebut beserta politik hukum yang melatarbelakanginya. Berikutnya dilakukan pengkajian tanah Negara menurut sistem Hukum Nasional. Hasil pengkajian ini dimaksudkan untuk membangun pemahaman yang sama mengenai makna, substansi, dan ruang lingkup tentang tanah Negara. Dalam membangun pemahaman dimaksud maka konsepsi dasar yang digunakan adalah wewenang Negara atas tanah Negara yang disebut dengan Hak Menguasai Negara. Hak Menguasai Negara merupakan kewenangan Negara, untuk melakukan pengaturan guna pencapaian hasil yang maksimal yaitu sebesarbesar kemakmuran rakyat. Dengan demikian, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai sebuah instrumen (menguasai) yang bertujuan (objectives) 39 Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jilid 1. Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, hlm.242. 23 merupakan sesuatu yang ‘sarat nilai’, sebagaimana dapat dilihat dari latar belakang penyusunan Pasal tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam lembaga Hak Menguasai Negara tersebut adalah nilai keadilan, komunalistik, dan kesejahteraan atau demokrasi ekonomi. Penelitian ini menitikberatkan analisa pada nilai keadilan yang terkandung dalam lembaga Hak Menguasai Negara. Nilai keadilan tersebut akan dilihat dalam hal pengaturan terhadap tanah Negara yang berada dalam wewenang otoritas pertanahan, otoritas kehutanan dan otoritas pertambangan. Dengan demikian penelitian ini tidak dikhususkan pada tanah Negara berdasarkan ruang lingkup terjadinya, namun lebih dititikberatkan pada pengertian tanah Negara sebagai konsepsi tanah yang belum dilekati dengan sesuatu hak atas tanah. Pemilihan lingkup tanah Negara pada ketiga otoritas tersebut didasari oleh pertimbangan sebagai berikut, pertama, sebagaimana disajikan pada Ragaan 2, sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan merupakan sektor yang mendominasi penguasaan tanah di Indonesia. Selain itu, konflik agraria yang terjadi di Indonesia sebagian besar terjadi pada ketiga sektor tersebut. Terhadap tanah Negara yang berada dalam pengelolaan ketiga otoritas tersebut dilakukan pengkajian prinsip yang mendasari Hak Menguasai Negara atas tanah Negara pada ketiga otoritas tersebut, serta bagaimana Hak Menguasai Negara melahirkan wewenang – baik yang berkarakter publik maupun yang berkarater perdata. Selain itu dilakukan 24 juga pengkajian tentang eksistensi tanah Negara pasca berakhirnya wewenang yang berkarakter publik dan perdata tersebut. Kedua, berseiring dengan adanya pemahaman yang sama mengenai konsepsi penguasaan tanah negara serta dinamika Hak Menguasai Negara atas tanah Negara pada ketiga otoritas sebagaimana diuraikan sebelumnya, selanjutnya akan dilakukan pembentukan hukum (rechtsvorming) atau penemuan hukum (rechtsvinding)40 dengan melakukan konstruksi hukum penguasaan tanah Negara. B. Rumusan Masalah Mengingat kompleksitas persoalan penguasaan tanah Negara maka permasalahan yang akan diteliti adalah: 1. Bagaimanakah konsepsi penguasaan tanah Negara menurut sistem Hukum Tanah Nasional? Secara khusus, permasalahan yang diteliti dirumuskan sebagai-berikut: a. Konsepsi penguasaan tanah negara oleh Negara, yang membahas tentang Hak Menguasai Negara; kewenangan Negara atas tanah Negara pada otoritas pertanahan, otoritas kehutanan dan otoritas pertambangan. 40 Bruggink membedakan antara pembentukan hukum (rechtsvorming) dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Rechtsvorming adalah perumusan aturan hukum oleh para pengemban kewenangan hukum, dan rechtsvinding adalah pengambilan putusan hukum oleh para pengemban kewenangan hukum (lain); lihat J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum (alih bahasa Arief Sidharta), Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 169. Sementara itu Sudikno Mertokusumo lebih memilih istilah penemuan hukum, yang diartikan sebagai proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das Sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das Sein) tertentu. Penemuan hukum dapat dilakukan melalui 2 (dua) metode, yaitu: penafsiran dan penalaran; lihat Sudikno Mertokusumo, 2007a, Penemuan Hukum. Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm. 37, 56 dan 65. 25 b. Kosepsi penguasaan tanah negara oleh perorangan, yang membahas tentang konsep penguasaan dan kepentingan di atas tanah Negara. 2. Bagaimanakah Konstruksi Hukum penguasaan tanah Negara berdasarkan Hak Menguasai Negara dilakukan? Secara khusus, permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: a. Konsepsi pengaturan tanah Negara; b. Asas-asas dalam pengaturan tanah Negara; c. Substansi pengaturan tanah Negara. C. Tujuan Penelitian Pertama, tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui, menganalisis dan menjelaskan pengertian dan pengaturan tanah Negara menurut sistem Hukum Tanah Nasional. Sejalan dengan itu, maka akan dianalisis dan dijelaskan tentang konsep penguasaan tanah Negara oleh Negara berdasarkan Hak Menguasai Negara; dan konsep penguasaan tanah Negara oleh perorangan. Kedua, dengan dipahaminya konsepsi penguasaan tanah Negara tersebut maka dilakukan konstruksi hukum penguasaan tanah Negara berdasarkan Hak Menguasai Negara yang mendukung pembangunan hukum pertanahan di Indonesia. Dengan demikian akan dianalisis dan dijelaskan konsepsi, asas, dan substansi dari konstruksi penguasaan tanah Negara yang sesuai dengan landasan filosofis, sosiologis dan yuridis dari pembangunan hukum pertanahan. 26 D. Manfaat Penelitian Penelitian mengenai Konstruksi Hukum Penguasaan Tanah Negara Dalam Sistem Hukum Tanah Nasional diharapkan akan memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Secara teoretis, penelitian ini menjelaskan pengaturan tanah Negara dalam sistem hukum tanah Kolonial Belanda dan sistem hukum tanah Nasional. Dalam sistem hukum tanah Nasional diuraikan tentang wewenang Negara berdasarkan Hak Menguasai Negara melakukan pengaturan atas tanah Negara yang dikelola otoritas pertanahan, otoritas kehutanan dan otoritas pertambangan. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaturan dan pengelolaan tanah Negara yang dilakukan oleh ketiga otoritas tersebut akan dilakukan konstruksi hukum tentang penguasaan tanah Negara yang meliputi konsepsi, asas-asas dan substansi pengaturan. 2. Secara praksis, hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang sama tentang pengertian dan ruang lingkup tanah Negara. Dengan demikian diharapkan dapat dihindari terjadinya: a) konflik horizontal, khususnya antar Otoritas Pertanahan dengan Otoritas Kehutanan dan Otoritas Pertambangan; dan b) konflik vertikal, yaitu antara masyarakat/masyarakat adat dengan otoritas tertentu, dan juga dengan pemerintah daerah. Dalam melakukan pembangunan hukum tanah nasional maka hasil penelitian ini memberikan kontribusi dalam penyusunan regulasi tanah 27 Negara sehingga terdapat kesamaan persepsi antar otoritas – khususnya Otoritas Pertanahan, Otoritas Kehutanan dan Otoritas Pertambangan – serta bagi pemerintah daerah dan masyarakat/masyarakat adat. E. Keaslian Penelitian Dari penelusuran Penulis, belum ditemukan penelitian yang secara khusus membahas tentang Konstruksi Hukum Penguasaan Tanah Negara Dalam Sistem Hukum Tanah Nasional. Kesamaan dengan disertasi ini dimungkinkan terjadi, namun hanya dalam hal topik yang diteliti. Subtansi, rumusan masalah dan kesimpulan penelitian menunjukkan perbedaan dimaksud. Beberapa hasil penelitian yang mirip atau relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 28 Judul Permasalahan Kesimpulan Penelitian Hak 1. Bagaimanakah 1. Konsep hak penguasaan negara dalam Pasal Penguasaan konsep dan makna 33 UUD 1945 ialah perpaduan antara unsur Negara Atas hak penguasaan teori negara kesejahteraan dan konsep Pertambangan negara atas penguasaan menurut hak ulayat. Makna hak Berdasarkan pertambangan penguasaan negara ialah negara mempunyai Undangberdasarkan Pasal kebebasan atau kewenangan penuh (volldige Undang Dasar 33 ayat (3) UUD bevoegdheid) untuk menentukan 1945 1945? kebijaksanaan yang diperlukan dalam 2. Bagaimanakah bentuk mengatur (regelen), mengurus pola pengusahaan (besturen) dan mengawasi (toezichthouden) pertambangan penggunaan dan pemanfaatan sumbedaya yang relevan alam nasional. dengan makna dan 2. Penguasaan negara atas pertambangan yang substansi hak sesuai dan dikehendaki oleh Pasal 33 UUD penguasaan 1945 ialah penguasaan negara yang negara? memberikan perlindungan dan menjamin kepastian hukum terhadap pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya alam nasional secara berkeadilan dan keterjangkauan bagi seluruh rakyat Indonesia. 2. Moh. Hasan Pengaturan 1.Bagaimanakah sifat 1. Konsepsi penguasaan tanah yang dinyatakan WargakuPenguasaan isi dan konsep dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan sumah, Atas Tanah penguasaan tanah dijelaskan dalam Pasal 2 UUPA masih 2003 Dalam Hukum dalam pengaturan diterima sebagai suatu pilihan kebijakan N Peneliti O 1. Abrar Saleng, 1999 Disertasi, UNPAD, Bandung. 29 Disertasi ini mengkaji konsepsi penguasaan tanah negara oleh Negara serta Perbedaan Dengan Penelitian Ini Sama-sama mengkaji Hak Menguasai Negara (HMN) berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, namun penelitian ini difokuskan pada kajian hukum pelimpahan wewenang Hak Menguasai Negara dalam pengelolaan tanah Negara. Ragaan 4. Hasil Penelitian Ilmu Hukum Sebelumnya yang Memiliki Relevansi Dengan Disertasi ini 3. Muhammad Bakri, 2006 Disertasi, UNAIR, Surabaya. Disertasi, UGM Tanah dan sistem hukum yang tepat yang mengatur tentang pola dan Nasional dan tanah nasional? kerangka pemikiran tentang kedudukan dan di Kawasan 2.Bagaimanakah hubungan antara bangsa, negara dan warga Industri. pemberian negara dengan tanahnya; serta bersifat keseimbangan religius komunalistik. dalam memberikan 2. Pencapaian ketertiban dan kepastian hukum perlindungan dan perangkat penguasaan tanah di kawasan kepastian hukum industri pada Tahap I (Perencanaan kepada para Kawasan) dan Tahap III (Penguasaan hak pemegang hak dan atas tanah) bagi kepentingan pihak penanam kewajiban yang modal dan kepentingan Pemerintah sudah bersangkutan dalam cukup memadai. Pengecualian terjadi pada pengaturan dan Tahap II (Pelaksanaan Rencana) dan pada implementasi asasTahap IV (Pemanfaatan Kawasan) yang asas hukum belum cukup memberikan pengaturan yang penguasaan tanah di cukup memberikan keseimbangan dan rasa kawasan industri? keadilan bagi kepentingan pemilik tanah lama dan bagi perusahaan industri. Pembatasan 1.Bagaimanakah 1.Pembatasan wewenang negara yang Hak pembatasan bersumber pada HMT oleh negara yang Menguasai wewenang negara diatur dalam UUPA, Pasal 2 ayat (2), Pasal Tanah oleh yang bersumber 4 ayat (1) dan Pasal 8. Negara Dalam pada hak menguasai 2. Implementasi wewenang negara yang Hubungannya tanah (HMT) oleh bersumber pada HMT oleh negara terhadap dengan Hak negara yang diatur hak ulayat dibatasi oleh hak ulayat tersebut Ulayat dan dalam UUPA? namun hak ulayat harus tunduk pada Hak 2.Bagaimanakah kepentingan nasional. Perorangan implementasi Implementasi wewenang negara yang 30 Disertasi ini tidak mengkaji pembatasan HMN namun lebih difokuskan pada sumber dan pelimpahan HMN pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan. pelimpahan penguasaan tersebut pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan; dan konsepsi penguasaan tanah negara oleh perorangan. 4. Suteki, 2008 Disertasi, UNDIP, Semarang. Rekonstruksi Politik Hukum Tentang Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Air Berbasis Nilai Keadilan Sosial (Studi Privatisasi Pengelolaan Sumber Daya Air) Atas Tanah wewenang negara yang bersumber pada HMT oleh negara terhadap hak ulayat dan hak perorangan? 1. Mengapa politik hukum tentang HMN atas Sumber Daya Air (SDA) mengingkari nilai keadilan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945? 2. Mengapa privatisasi pengelolaan SDA membahayakan akses rakyat terhadap air? 3. Bagaimanakah rekonstruksi politik hukum tentang HMN atas SDA yang berbasis nilai keadilan sosial? 1. Pasal 33 UUD NRI 1945 praamandemen bercirikan Sosialisme Indonesia, sedangkan pascamanademen berubah menjadi Neososialisme Indonesia yang bercirikan prinsip Good Corporate Governance. Upaya menafsirkan Pasal 33 UUD NRI 1945 melalui pembentukan UU SDA telah gagal karena UU ini mengusung agenda privatisasi tanpa batas ‘emas biru’ yang seharusnya menjadi res commune. Politik hukum tentang HMN dalam pengelolaan SDA mengingkari nilai keadilan sosial sesuai amanat Pasal 33 UUD NRI 1945 bila makna HMN adalah negara sebagai provider (penyedia) dan sekaligus regulator atas pengelolaan SDA. 2. Privatisasi pengelolaan SDA berpotensi membahayakan akses rakyat terhadap air, dengan alasan: (a) negara tidak dapat menjamin akses rakyat terhadap air; (b) privatisasi identik dengan kenaikakan tarif air; (c) keadilan sosial dalam distribusi air bersumber pada HMT oleh negara terhadap hak perorangan dibatasi oleh hak perorangan namun kerap terjadi pelanggaran hak perorangan oleh negara. 31 Politik Hukum yang menjadi kajian Disertasi ini adalah nilai keadilan dari Hak Menguasai Negara dalam pengaturan tanah Negara. 5. Winahyu Erwiningsih 2009, Disertasi, Fak. Hukum, UII Yogyakarta. Pelaksanaan 1. Apakah Hak pengertian, makna Menguasai dan substansi hak Negara Atas menguasai negara Tanah Menurut atas tanah menurut UUD 1945 . UUD 1945? 2. Bagaimanakah Hak Menguasai Negara atas tanah diatur dalam peraturan perundangundangan dan implementasinya pada saat ini? terancam; (d) privatisasi memicu konflik di daerah perkotaan (antara konsumen, Pemeritah dan PAM) dan daerah perdesaan (antara swasta, pemerintah dan petani) dan memicu konflik hulu-hilir; (e) keuntungan justru dinikmati oleh swasta bahkan asing sedangkan rakyat dirugikan. 3. Konstruksi baru politik hukum tentang HMN atas SDA dapat dilakukan melalui proses dialektika dengan kerangka teori prismatik dari Fred W. Riggs yang disebut juga dengan Hybrid Construction (Konstruksi Hibrida). 1. HMN berisi wewenang untuk mengatur, mengurus dan mengawasi perolehan dan penggunaan tanah. Makna HMN berarti tuntutan hak dan kewajiban negara atas tanah dalam hubungannya dengan penguasaan hak-hak atas tanah masyarakat agar tercapai tujuan nasional. Substansi HMN adalah pencapaian penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat secara adil dan merata. 2. Asas-asas yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 belum diimplementasikan secara jelas dan tegas dalam UUPA sebagai dasar, arah dan tujuan pemegang kekuasaan negara dalam 32 Penelitian ini hanya membahas konsepsi HMN atas tanah negara, khususnya tanah negara pada otoritas pertanahan, kehutanan, pertambangan. 3. Bagaimanakah seharusnya Hak Menguasai Negara atas tanah tersebut diatur dalam peraturan perundangundangan agar tercapai sebesarbesar kemakmuran rakyat secara adil dan merata? menjalankan politik hukum agraria khususnya tanah di Indonesia. Sampai dengan saat ini pemerintah belum mempunyai kemauan politik untuk merumuskan dasar dan struktur penguasaan atas tanah maupun melengkapi peraturanperaturan pelaksanaannya. Hal ini disebabkan oleh: (a) konfigurasi politik masa Orde Baru yang cenderung otoriter dan ortodoks sehingga pendekatan pada penciptaan produk hukum bersifat parsial dan pragmatis; (b) sifat fungsi tanah yang mengandung nilai-nilai sosial ekonomi budaya dalam berbagai lapisan masyarakat menyebabkan pembuatan peraturan berkaitan dengan hak menguasai negara atas tanah bersifat pragmatis; (c) belum terbangunnya lembaga komunikasi sosial yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat dengan pemerintah berkaitan dengan peraturan dan kebijakan pertanahan. 3. Konsep pengaturan HMN atas tanah yang ideal di masa yang akan datang ialah: (a) menegaskan hubungan antara hak bangsa dan HMN atas tanah sehingga mampu mendudukkan secara proporsional wewenang, tugas, dan kewajiban negara; (b) menegaskan berlakunya asas-asas dalam 33 6 Suparjo, 2014, Disertasi, UI Jakarta Manifestasi 1. Bagaimanakah Hak Bangsa konsepsi Hak Indonesia dan Bangsa Indonesia Hak (HBI) dan Hak Menguasai Menguasai Negara Negara Dalam (HMN) dalam Politik Hukum perspektif Agraria Pasca hubungan manusia Proklamasi dengan tanah? 1945 Hingga 2. Bagaimanakah Pasca manifestasi HBI Reformasi dan HMN dalam 1998 politik hukum agraria sejak pascaproklamasi kemerdekaan 1945 hingga menjelang globalisasi perdagangan 2020? 3. Bagaimanakah Teori Keadilan Amartya Khumar Sen menganalisis persoalan keadilan dalam manifestasi penggunaan hak bagi setiap pemilik hak atas tanah. 1. Konsepsi HBI dan HMN dalam perspektif hubungan manusia dengan tanah muncul sebagai norma hukum tertulis dalam UUPA dan masih dapat dipahami sebagai produk hukum Indonesia yang merefleksikan manifestasi Pancasila sebagai falsafah negara di dalamnya. 2. Manifestasi HBI dan HMN dalam politik hukum agraria sejak pascaproklamasi kemerdekaan 1945 hingga menjelang globalisasi perdagangan 2020 merefleksikan bahwa hukum dan politik senantiasa bersentuhan secara intensif dalam tiap periode dengan perbedaan karakternya. 3. Dalam tataran praktis, politik hukum belum melaksanakan tataran ideal dari perspektif keadilan Amartya Khumar Sen, karena neoimperaialisme dan neo-kapitalisme ‘memakan’ Indonesia dan sumber kekayaan alamnya. Hal tersebut terjadi pada periode kedua dan ketiga politik hukum agraria Indonesia. 4. Preskripsi tersebut dengan mengembangkan pemahaman teoritik dari Teori Keadilan Sen dengan menggunakan traditional jurisprudence (sangkan paraning 34 Disertasi ini difokuskan pada nilai keadilan dalam konsepsi penguasaan tanah Negara berdasarkan HMN pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan. 7. RB.Agus Widjayanto, 1997, Tesis, UGM. Penguasaan Tanah-Tanah Bekas Hak Asal Konversi Hak Barat Oleh Rakyat Di DKI Jakarta Setelah Berlakunya Keppres No.32/1979 tentang PokokPokok HBI dan HMN dumadi dan memayu hayuning bawana) dalam politik sebagai kearifan lokal. Keduanya dapat hukum agraria digunakan sebagai model penafsiran sejak proklamasi hubungan manusia dengan tanah sebagai kemerdekaan 1945 manifestasi nilai-nilai Pancasila; menjadi hingga menjelang konsepsi awal sebagai landasan konseptual globalisasi bagi pengembangan politik hukum agraria; perdagangan dan menjadi solusi untuk re-inventing 2020? politik hukum agraria yang berlandaskan 4. Bagaimanakah Pancasila. preskripsi manifestasi HBI dan HMN di masa globalisasi perdagangan? 1. Bagaimanakah 1. Keppres 32/1979 memberikan kedudukan kedudukan hukum hukum yang kuat terhadap rakyat yang rakyat di atas menguasai tanah negara bekas asal konversi tanah-tanah negara hak barat karena: (1) sanksi yang diatur bekas hak asal dalam UU No.51 Prp Thn 1960 jo Perda konversi hak barat DKI Jakarta No.3/1972 tentang Ketertiban tersebut? Umum Dalam Wilayah DKI Jakarta jo 2. Bagaimana Keputusan Gubernur DKI Jakarta pelaksanaan No.886/1962 tentang Penertiban pemberian hak atas Penguasaan/Pemakaian Tanah Tanpa Hak tanah kepada Di Wilayah DKI Jakarta tidak dapat rakyat dalam diterapkan terhadap rakyat yang penguasaan perkampungan di tanahnya belum dilandasi hak atas tanah; (2) 35 Disertasi ini membahas tentang penguasaan tanah negara oleh negara dan perorangan serta kewenangan publik dan perdata dari negara atas tanah negara pada otoritas pertanahan, kehutanan, dan pertambangan. Kebijaksanaan PMNA/Ka.BPN No.1/1994 menjamin atas tanah negara Dalam Rangka bahwa rakyat yang menguasai tanah bekas hak asal Pemberian Hak (negara) bekas hak asal konversi hak barat konversi hak barat Baru Atas di DKI Jakarta? tanpa hak diberikan sejumlah uang santunan Tanah Asal 3. Faktor-faktor apa apabila tanahnya diperlukan pemerintah Konversi Hak yang menyebabkan untuk kepentingan umum. Barat. melalui acara sebagian rakyat 2. Pelaksanaannya permohonan/pemberian hak vide PMDN yang menduduki No.5/1973 setelah mendapat rekomendasi tanah negara bekas dari Gubernur DKI Jakarta. Hambatannya hak asal konversi adalah (1) Pemerintah cq Instansi hak barat tersebut Pertanahan bersikap asif; dan (2) ada bidang belum/tidak tanah bekas hak asal konversi hak barat memanfaatkan prioritas yang yang telah dikuasai rakyat tetapi berada diberikan Keppres dalam blokir/proses pelelangan PUPN. No. 32/1979 untuk 3. Penyebabnya: (1) masih ada rakyat yang belum mengetahui tujuan diterbitkannya memohon hak atas tanah dan sertipikat hak atas tanah; (2) sebagian rakyat sertipikatnya? yang tahu tujuan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah ternyata pengetahuannya tidak disertai pemahaman mengenai status hukum tanah yang dikuasai; (c) telah terpenuhi rasa aman dalam penguasaan tanah sekalipun tanpa hak atas tanah dan sertipikat; (d) adanya pendapat bahwa prosedur dan biaya memperoleh hak atas tanah dan sertipikatnya memberatkan; (e) rendahnya tingkat pendidikan sebagian 36 8. Sanusi, 1998 Tesis, UGM Pengelolaan 1. Bagaimana Tanah Negara pelaksanaan dan Permakebijaksanaan salahannya di pengelolaan tanah Kotamadia negara yang telah Semarang ditempuh oleh Pemerintah selama ini? 2. Upaya-upaya apa yang telah ditempuh pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan pendudukan tanah oleh rakyat, serta jaminan perlindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah terhadap kepentingan rakyat? rakyat yang menduduki tanah negara bekas hak asal konversi hak barat mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengurus permohonan hak baru. 1. Tanah Negara bekas tanah partikelir belum dikelola dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya perencanaan, pelaksanaan pengelolaan maupun pengawasannya, serta tidak adanya upaya pengadministrasian tanah-tanah Negara tersebut. Disamping itu juga terlihat adanya intervensi oleh berbagai pihak dalam pengelolaan tanah negara. 2. Pemerintah bersikap pasif dalam menyelesaikan permasalahan pendudukan tanah negara oleh rakyat. Sementara itu keberadaan mereka hanya mendapat perlindungan sepanjang mengenai tanaman/garapannya. Terhadap tanahnya keberadaan rakyat tidak memperoleh perlindungan. Meskipun demikian kepada rakyat dapat diberikan sesuatu hak atas tanah apabila terdapat kesepakatan dengan pihak ketiga yang juga mempunyai kepentingan di atas tanah yang sama. 3. Kebijaksanaan pengelolaan tanah negara dan penyelesaiannya juga belum dilakukan secara konsisten dan terpadu. Kebijaksanaan 37 Tanah Negara yang menjadi objek kajian ini adalah tanah Negara pada otoritas pertanahan, kehutanan dan pertambangan. 9. Saiful Bahri, 2008, Tesis, UGM Perubahan Tanah Adat Menjadi Tanah Negara: Studi Atas Tanah Ageman Gontor Paer di Desa Senaru Kec. Bayan Kab. Lombok Barat Prov. Nusa Tenggara Barat 3. Bagaimana berbagai instansi Pemerintah masih konsistensi dan berorientasi pada kepentingan instansinya keterpaduan antar masing-masing. berbagai kebijaksanaan pemerintah dalam mengelola tanah Negara? 1. Apakah yang 1. Penguasaan tanah ageman gontor paer masyarakat adat (suku) Sasak Wetu Telu merupakan dasar sebagai tanah adat didasarkan atas kebijakan penguasaan tanah yang membiarkan sebagai tanah kosong dan ageman gontor tidak digarap. Semenjak kebijakan domein paer masyarakat verklaring tanah tersebut dinyatakan sebagai adat (suku) Sasak tanah negara bebas karena di atas tanah Wetu Telu di tersebut tidak ada hak yang melekat sampai Senaru Kecamatan tanah tersebut beralih menjadi hak milik Bayan dalam perorangan. Untuk menguatkan dasar kaitannya dengan kebijakan tersebut pemerintah menyatakan perubahan tanah bahwa hak paer sudah tidak ada lagi karena adat menjadi tanah persekutuan hukum atau gubug sudah tidak negara? utuh lagi dan di wilayah bekas tanah paer 2. Bagaimanakah itu telah dikuasai dengan hak perorangan. upaya pemerintah pemerintah belum nampak daerah dalam 2. Upaya dilakukan. Sikap pemerintah yang menyikapi tuntutan membiarkan, tidak pernah menjelaskan dan masyarakat adat meneliti eksistensi hak paer yang berkenaan Sasak Wetu Telu dengan tanah ageman gontor paer di Senaru sehubungan 38 Penelitian ini tidak membahas tentang proses pendaftaran tanah Negara, namun konstruksi hukum penguasaan tanah Negara Andi M. 10 Herniati, 2009, Tesis, UGM dengan hak-hak menunjukkan bahwa pemerintah tidak mereka atas tanahresponsif terhadap permasalahan yang ada tanah ageman di masyarakat. gontor paer yang mereka akui sebagai tanah adat mereka yang berubah menjadi tanah negara? Penyerahan 1. Mengapa Gubernur 1. Gubernur selaku Kepala Daerah Provinsi Hak Atas membenarkan membenarkan perbuatan hukum penyerahan Tanah Negara perbuatan hukum hak atas tanah Negara, dengan di Kota Palu penyerahan pertimbangan sebagai berikut: (a) bahwa Sulawesi penguasaan tanah wilayah Sulawesi Tengah merupakan bekas Tengah. negara dalam daerah swapraja/tanah swapraja dan beralih masyarakat di kepada Negara, atau tanah-tanah yang tidak Provinsi Sulawesi mempunyai bukti kepemilikan tanah Tengah dan apa termasuk sebagai tanah negara; (b) sejalan faktor-faktor yang dengan Pasal 2 ayat (2) UUPA, bahwa menjadi Negara berwenang untuk menentukan dan pertimbangannya? mengatur hubungan hukum antara orang 2. Apakah Notaris dengan perbuatan hukum mengenai tanah terlibat dalam tersebut, maka peralihan penguasaan hak penyerahan hak atas atas tanah diperlukan suatu akta otentik tanah negara yaitu surat penyerahan. tersebut? 2. Notaris berperan dalam penyerahan hak atas 3. Apa akibat hukum tanah Negara dengan keterlibatannya dalam dari perbuatan pembuatan surat penyerahan hak 39 Penelitian ini membahas konsepsi penguasaan atas tanah-tanah yang diklasifikasikan sebagai tanah Negara. penguasaan atas tanah, dimana surat penyerahan sebagai alat bukti otentik yang bentuk dan isinya telah diatur oleh peraturan yang berlaku dan sebagai bukti peralihan penguasaan yang sah dan kuat. Pada pembuatan akta, Notaris berperan pula membantu memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak yang bersepakat. 3. Akibat hukum dari perbuatan penyerahan penguasaan tanah Negara dalam masyarakat di Sulawesi Tengah adalah menimbulkan peralihan hak penguasaan atas tanah Negara, tetapi bukan peralihan pemilikan hak atas tanah karena penyerahan penguasaan tanah Negara tidak dilandasi dengan hak yang diberikan oleh Negara, dan obyek tanah yang dialihkan penguasaannya adalah status tanah Negara, disini pihak yang menerima penyerahan penguasaan hanya berwenang untuk menguasai tanahnya secara fisik, yang mana penggunaannya tidak bertentangan dengan kepentingan umum dan Negara. Sumber Data: Diolah dari Disertasi dan Tesis yang disebut di atas, 2016. hukum penyerahan penguasaan tanah negara dalam masyarakat di Kota Palu, Sulawesi Tengah? 40