sosiologi ruang dan tempat - Jurnal Kajian Ruang Sosial

advertisement
SOSIOLOGI RUANG DAN TEMPAT
John Urry*
Dalam tulisan ini, saya hendak menunjukkan bahwa ruang (dan tempat) perlu
menjadi pusat perhatian sosiologi. Sejarah sosiologi di abad ke-20 telah menjadi
sejarah tunggal tentang ketiadaan ruang. Ini adalah sebuah kehampaan yang tidak
bisa terus dipertahankan. Di mana-mana ruang menerabas masuk, memangkas
konsep-konsep mapan yang terbentuk dari perbedaan-perbedaan yang telah berguna
bagi pembentukan sosiologi yang aspasial. Masyarakat dilihat sebagai endogenus,
seolah-olah memiliki struktur-stuktur aspasial tersendiri. Lebih lagi, masyarakat
dilihat seolah-olah terpisah satu sama lain dan pelbagai proses konsensus-normatif
atau konflik struktural atau perilaku strategis dikonseptualisasikan sebagai aspek
internal dalam setiap masyarakat, yang batas-batasnya sama dengan negara-bangsa.
Hanya sedikit yang mengakui bahwa pelbagai proses pembedaan internal itu
sebenarnya melintasi batas-batas spasial.
Kecenderungan itu pun masih terjadi sekalipun di awal abad ke-20, terdapat
serangkaian peralihan budaya dan perkembangan teknologi yang mengubah total
basis spasial kehidupan kontemporer (Kern, 1983; Soja, 1989). Perubahanperubahan itu termasuk telegram, telepon, sinar X, film, radio, sepeda, mesin
berbahan bakar fosil, pesawat terbang, paspor, pencakar langit, teori relativisme,
kubisme, novel arus kesadaran dan psikoanalisa. Bagaimana juga, sosiologi pada
waktu itu tidak mempertimbangkan perubahan-perubahan tersebut dan mereka
menjadi suatu ranah terpisah bagi ilmu yang semakin positivistik – geografi – yang
*
Diterjemahkan oleh Anton Novenanto dari John Urry “The Sociology of Space and Place”, dalam
Blau (editor) The Blackwell Companion to Sociology, Malden: Blackwell, 2004, hlm. 3-15.
© JKRSB, 2017
Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 17-35.
Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA):
Urry, John. 2017. “Sosiologi Ruang dan Tempat” (penj. Anton Novenanto), Jurnal Kajian Ruang
Sosial-Budaya 1(1):17-35. DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2017.001.1.03
Urry
mendirikan dan memelihara sebuah ketegasan demarkasi dan pembagian kerja
akademis dengan ilmu sosial tetangganya.
Pada bagian selanjutnya, saya merangkum beberapa tulisan “klasik” tentang
ruang yang dikembangkan dalam konteks kolonisasi geografi atas ruang. Pada
bagian setelah itu saya menunjukkan apa yang mengubah hal itu di akhir 1970an
dan membawa ruang kembali masuk dalam teori sosiologi dan ilmu sosial secara
lebih umum. Pada bagian analisis akhir dihadirkan perkembangan terkini tentang
sebuah proyek penelitian sosiologi tentang ruang yang mengikutsertakan pentingnya
perbedaan mobilitas spasial antara, dalam, dan melampaui ruang-ruang tersebut.
Teori “Klasik” dan Ruang
Teori sosiologi klasik kurang mengembangkan perspektifnya dalam melihat
ruang, bahkan sangat misterius. Marx dan Engels memperhatikan bagaimana
industrialisasi masyarakat kapitalis memicu pertumbuhan tak terbatas kota-kota
industrial. Dalam The Manifesto of Communist Party Marx dan Engels
menggambarkan bagaimana relasi-relasi kaku dan baku disingkirkan. Semua relasi
baru yang dibentuk menjadi antik karena mereka stagnan dan “semua benda padat
menyumblim bersama udara” (1888:54; Berman 1983). Marx dan Engels
berpendapat, di antara pendapat lainnya, bahwa kapitalisme membongkar ikatanikatan feodal manusia dari “penguasa-penguasa alamiah”; kapitalisme menekan
kelompok borjuis untuk mencari pasar melintasi bumi dan hal ini menghancurkan
pasar-pasar tradisional dan regional; kelas pekerja bergerombol dalam pabrik-pabrik
sehingga mengonsentrasikan para prolateriat dan menghasilkan sebuah kelass bagi
dirinya sendiri; dan pengembangan kongsi-kongsi dagang dipandu oleh
membaiknya infrastruktur transportasi dan komunikasi yang dibangkitkan oleh
kapitalisme. Dalam karyanya setelah itu, khususnya Capital, Marx menganalisis
bagaimana akumulasi modal didasarkan pada penghancuran total ruang oleh waktu
dan bagaimana hal ini memicu dampak pada perubahan bentuk yang mengejutkan
pada agrikultur, industri dan populasi yang melampaui waktu dan ruang.
Beberapa proses serupa diamati Durkheim, sekalipun dia melihat
konsekuensinya secara berbeda. Dalam The Division of Labor in Society ditunjukkan
bahwa terdapat dua jenis masyarakat yang dicirikan dari ragam bentuk
solidaritasnya: mekanis (berbasis kesamaan dan kesukaan) dan organis (berbasis
perbedaan dan kesalingtergantungan). Tumbuhnya pembagian kerja, yang semakin
18
Sosiologi Ruang dan Tempat
terspesialisasi, yang mengakibatkan pergeseran masyarakat dari mekanis ke organis.
Pembagian kerja yang semakin kuat berasal dari peningkatan kepadatan material
dan moralitas. Mekanis melibatkan peningkatan dalam kepadatan penduduk di
sebuah area, khususnya akibat pembangunan ragam baru dari komunikasi dan
akibat pertumbuhan kota-kota. Kepadatan moral merujuk pada peningkatan
intensitas interaksi sosial. Bagian-bagian berbeda dalam masyarakat kehilangan
individualitasnya seiring dengan setiap individu semakin melakukan kontak dan
interaksi dengan individu lain. Hal semacam itu menghasilkan suatu solidaritas
organis, kesalingtergantungan yang menguntungkan, sekalipun dalam praktiknya
kawasan perkotaan adalah pusat dari patologi sosial.
Secara umum Durkheim menyodorkan sebuah tesis tentang pengaruh
modernisasi terhadap loyalitas geografis lokal yang semakin berkurang akibat
munculnya pekerjaan-pekerjaan baru berdasarkan pembagian kinerja. Dalam
Elementary Forms Durkheim juga menghadirkan sebuah teori sosial tentang ruang.
Teori itu berbicara tentang dua elemen. Pertama, karena setiap orang dalam suatu
masyarakat menghadirkan kembali ruang dengan cara yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa pemicu dari konsep itu pada hakikatnya adalah “sosial.”
Kedua, dalam beberapa kasus setidaknya penghadiran spasial kembali akan
mencerminkan pelbagai pola dominan dari suatu organisasi sosial.
Max Weber membuat beberapa rujukan tentang ruang, meskipun saudaranya,
Alferd Weber, adalah seorang kontributor penting dengan teori lokasi industrial.
Max Weber cenderung kritis pada pelbagai usaha penerapan konsep spasial melalui
analisisnya tentang kota. Dia menolak bingkai analisis pada ihwal ukuran dan
kepadatan dan berusaha memfokuskan pada bagaimana kebangkitan kota-kota abad
pertengahan menantang sistem feodal yang melingkunginya. Kota dicirikan oleh
otonomi dan pada saat itulah untuk pertama kalinya orang-orang tergabung sebagai
penduduk-penduduk individual (Weber 1921).
Penyumbang paling penting pada sebuah sosiologi klasik tentang ruang dan
tempat adalah Simmel (Frisby 1992a, 1992b; Frisby dan Featherstone 1997). Dia
menganalisis lima kualitas dasar ragam bentuk spasial yang ditemukan dalam
interaksi sosial yang mengubah sebuah ruang hampa menjadi sesuatu yang
bermakna. Kualitas-kualitas itu adalah karakter eksklusif atau unik dari sebuah
ruang; cara-cara sebuah ruang dapat dibagi menjadi pelbagai bagian dan aktivitas
dalam “bingkai” spasialitasnya; tingkatan interaksi sosial dapat dilokalisasi dalam
19
Urry
suatu ruang; tingkat keberjarakan (dekat/jauh), khususnya dalam sebuah kota dan
peran perasaan dalam pengamatan; dan kemungkinan perpindahan lokasi dan
pelbagai konsekuensi, khususnya, dari kedatangan “orang asing.” Secara umum
Simmel melihat ruang sebagai semakin kurang relevan seiring dengan organisasi
sosial yang semakin terlepas dari ruang.
Dalam “Metropolis and the City” (dalam Frisby dan Featherstone 1997),
Simmel mengembangkan beberapa argumen yang lebih spesifik tentang ruang dan
kota. Pertama, karena kekayaan dan keragaman seperangkat rangsangan di
metropolis, manusia harus mengembangkan suatu sikap cuek dan acuh tak acuh
pada perasaan. Tanpa mengembangkan sikap semacam itu, orang-orang tidak akan
bisa bertahan mengalami beragam peristiwa yang dipicu oleh tingginya kepadatan
penduduk. Kepribadian urban sudah ditentukan, dipisahkan, dan jenuh. Kedua,
secara simultan, kota memaksakan pada individu suatu jenis kebebasan pribadi yang
beragam. Dibandingkan dengan komunitas skala kecil, kota modern memberi ruang
bagi setiap individu dan bagi pelbagai kebiasaan aneh yang terbentuk dari dalam
dan dari luar dirinya. Ini adalah bentuk spasialitas kota besar yang memungkinkan
pengembangan keunikan setiap individu yang ditaruh dalam keragaman kontak
yang sangat luas. Ketiga, kota berbasis pada ekonomi uang, yang merupakan sumber
dan ekspresi rasionalitas dan kecerdasan bagi kota. Uang dan kecerdasan
menyediakan sebuah perilaku yang sangat penting bagi manusia dan benda. Uang
menghasilkan sebuah perasaan dan sikap yang bertingkat. Keempat, ekonomi uang
menggerakkan sebuah perhatian bagi presisi dan ketepatan waktu, karena dia
membuat manusia lebih memperhitungkan berbagai aktivitas dan relasinya. Simmel
tidak begitu menjelaskan kehidupan urban dalam pengertian bentuk spasial dari
kota sebagaimana menyediakan sebuah pembahasan awal tentang efek dari pelbagai
pola “modern” dari mobilitas kehidupan sosial dimana pun dia berada. Dia
menunjukkan bahwa pergerakan, keragaman rangsangan dan penerimaan visual dari
pelbagai tempat sebagai fitur penting dan sentral dari pengalaman modern.
Analisis-analisis tersebut tidak banyak dikembangkan oleh “sosiologi perkotaan”
yang dibentuk pada periode 1918 dan 1939 di Universitas Chicago. Studi tersebut
memasukkan usaha untuk mengembangkan pendekatan ekologis pada penelitian
tentang perkotaan, seperti teori lingkaran terkonsentrasi. Teori yang penting antara
lain “Urbanisme sebagai sebuah gaya hidup” dari Wirth (1938; diikuti oleh teori
“Masyarakat rakyat” dari Redfield 1947). Wirth berpendapat bahwa terdapat tiga
20
Sosiologi Ruang dan Tempat
penyebab dari perbedaan dalam pelbagai pola sosial antara wilayah perkotaan dan
pedesaan. Mereka adalah: ukuran, yang menghasilkan segregasi, keacuhan dan jarak
sosial; kepadatan yang menyebabkan orang-orang berelasi satu sama lain dalam
pelbagai peran khususnya, segregasi antar-pekerjaan akibat dari perbedaan peran itu
dan meluasnya regulasi formal; dan heterogenitas yang berarti bahwa orang-orang
berpartisipasi dalam lingkaran-lingkaran sosial yang berbeda, tidak satu pun yang
mengatur keterlibatan mereka secara penuh dan ini menghasilkan pertentangan dan
dinamika status sosial. Wirth dan Redfield kemudian mengklaim bahwa
pengaturan ruang, khususnya dalam hal ukuran dan kepadatan, menghasilkan
beragam pola sosial yang saling bergantung satu sama lain.
Usaha ekstra telah diberikan untuk menguji hipotesis tentang keberadaan dua
gaya hidup yang berbeda dan bahwa mereka dihasilkan oleh ukuran, kepadatan dan
heteregonitas di wilayah perkotaan dan pedesaan. Seperti telah ditunjukkan
penelitian, tidak terdapat pola sederhana tentang perkotaan dan pedesaan. Bahkan,
tak jarang wilayah perkotaan berisi beberapa kelompok sosial yang tertutup, seperti
desa-desa perkotaan Bethnal Green di London atau penampungan para imigran
(gettho) di kota-kota di Amerika Utara. Lebih umum, Gans (1986) mempersoalkan
tesis bahwa kebanyakan penghuni kota itu terisolasi, terindividualisasi dan otonom.
Menurutnya, tidak sedikit wilayah pusat kota telah menjadi pusat bagi suatu
sosialita yang rumit dan terfokus pada, misal, gentrifikasi kelas menengah.
Di wilayah perkotaan lainnya yang lebih suburban, di mana fokus aktivitas
adalah di rumah dan di mana aktivitas utama berbasis mobil (lihat Sheller dan Urry
2000, tentang penerapan sosiologi perkotaan pada kendaraan). Pada beberapa kasus
di mana ragam bentuk kendaraan menjadi penting, semakin rendah pula ukuran
dan kepadatan kota itu. Lebih lagi, kehidupan pedesaan bukan sekadar diatur
seputar komunitas berbasis pertanian, tempat orang lebih sering bertemu satu sama
lain, terhubung dengan beragam cara dan cenderung mengenal teman dari yang lain
(Frankenberg 1966). Penelitian tentang komunitas pedesaan telah menunjukkan
bahwa terdapat kemungkinan konflik dan perbedaan yang layak diperhitungkan di
tempat-tempat tersebut, khususnya seputar status, akses pada tanah dan perumahan
dan lingkungan yang “alamiah” (Newby 1979).
Pada perkembangannya, sosiologi kemudian mengambil pelbagai perbedaan
sederhana tersebut dalam usahanya untuk menyusun suatu analisis deterministik
spasialitas tentang gaya hidup perkotaan dan pedesaan. Di tempat lain telah
21
Urry
ditunjukkan bahwa konsep “komunitas” dapat digunakan dalam beragam cara (Bell
dan Newby 1976). Pertama, penggunaannya dalam sebuah arti yang topografis,
merujuk pada batas-batas dari suatu permukiman tertentu; kedua, ada arti
komunitas sebagai suatu sistem sosial lokal yang menunjukkan suatu tingkat
keterhubungan sosial dari manusia dan lembaga lokal; ketiga, communion, sebuah
bentuk asosiasi manusia yang menunjukkan ikatan-ikatan personal, rasa memiliki
dan kehangatan; dan keempat, komunitas sebagai ideologi, di mana pelbagai upaya
dilakukan untuk melekatkan konsep-konsep communion pada bangunan atau
wilayah atau perkebunan atau kota dan lain-lain, sedemikian rupa di tempat yang
menunjukkan dan mempertahankan relasi-relasi non-communion tampak nyata.
Akhirnya, diskursus populer dalam sosiologi cenderung tidak hanya
mereproduksi perbedaan antara pedesaan dan perkotaan (Willams 1973), tapi juga
pembedaan antara Gemeinschaft dan Gesselschaft dari Tönnies. Oposisi biner telah
secara khusus dikritik oleh Schmalenbach (1977), yang menambahkan istilah ketiga,
Bund. Bund merupakan komunitas, tapi dia adalah sebuah komunitas disadari dan
dipilih secara sadar berdasarkan sentimen dan perasaan yang sama dan emosional.
Dan menolak Weber, dasar afektif dari sebuah Bund bukanlah irasional dan tak
sadar, tapi sangat sadar, rasional dan non-tradisional. Bund tidak selalu permanen
atau pun stabil (Hetherington 1994).
Memasukkan Ruang Kembali: Era 1970an dan 1980an
Di bagian ini saya mengurai kritik Marxis dan post-Marxis tentang perlakuan
klasik atas ruang dan tempat. Castells (1977; 1978) berpendapat bahwa setiap
disiplin ilmiah membutuhkan sebuah “objek teoretis” yang layak dan bertahan
bahwa sosiologi perkotaan (dan dengan demikian juga sosiologi pedesaan) tidak
memiliki objek teoretis macam itu. Objek tersebut akan menjadi dasar bagi sebuah
analisis “struktural” untuk membongkar ragam pertentangan yang mewarnai
pelbagai relasi dalam masyarakat kapitalis. Relasi-relasi tersebut semakin dikelola
berdasarkan dalam basis internasional dan hal ini memberikan peran khusus pada
kota-kota yang telah menjadi pusat dari – bukan produksi, tetapi – “konsumsi
kolektif.” Istilah ini merujuk pada layanan jasa yang biasanya disediakan oleh negara
yang khusus “mereproduksi” energi dan keterampilan para buruh.
Castells, setelah mengidentifikasi “objek teoretik” yang layak bagi sosiologi
perkotaan (“konsumsi kolektif”), menggunakannya untuk menjelaskan pelbagai
22
Sosiologi Ruang dan Tempat
jenis keragaman spasialitas akibat politik. Dia berpendapat bahwa konsumsi kolektif
disediakan bukannya tanpa masalah karena banyak negara jarang dapat (dan mau)
untuk menaikkan pendapatan pajak yang pantas. Segala jenis persaingan meningkat
seiring dengan keragaman bentuk dan tingkat provisi, seperti kualitas perumahan
publik, lokasi pelayanan kesehatan, sifat transportasi umum dan lain sebagainya.
Masing-masing jasa tersebut menjadi semakin “terpolitisasi” karena mereka
disediakan secara kolektif. Dari sebab itu, sebuah ruang politik perkotaan muncul
dengan fokus berkisar bentuk konsumsi kolektif yang ada. Castells mencurahkan
perhatiannya untuk menganalisis “gerakan sosial perkotaan.” Gerakan tersebut
terdiri dari sejumlah kelompok urban yang berbeda tapi selalu berada di bawah
dominasi pengorganisasian kelas pekerja untuk menjadi lebih berdampak sebagai
suatu bentuk kelas politik baru. Dengan demikian, dia dengan kuat berpendapat
melawan pelbagai usaha memahami perkotaan dalam konteks “budaya” atau “gaya
hidup” atau sebuah determinisme spasial.
Sebuah perhatian pada yang lebih geografis dikembangkan Massey (1984). Dia
berpendapat bahwa spasialitas merupakan bagian integral dan aktif dari prosesproses produksi masyarakat kapitalis; terdapat pelbagai aspek selain wilayah, yakni:
jarak, pergerakan, proksimitas, kekhususan, persepsi, simbolisme dan pemaknaan;
dan ruang membuat segala pembedaan jelas sehingga – menggunakan istilah
kelompok realis – kekuatan kausal dari pelbagai entitas sosial. Seperti kelas, negara,
relasi kapitalis, patriakri, semakin nyata (Sayer 1992). Secara khusus, terdapat
sejumlah pembedaan spasial terbentuk dari pembagian sosial atas kerja; tidak
terdapat tatanan historis dari setiap kemunculan bentuk restrukturisasi tersebut;
bahwa yang mengembangkan bergantung pada perjuangan khusus antara kapital
dan upah buruh; pola penting dari restrukturisasi spasial melibatkan relokasi
elemen-elemen rutin produksi menjauhi pusat-pusat dan fungsi-fungsi penelitian
dan pengembangan; dan keragaman pola restrukturisasi spasial itu menggerakkan
pola-pola ketimpangan baru yang tidak hanya sosial tapi juga spasial. Pada fokus ini,
sebuah lokalitas khusus menjadi luaran dari seperangkat “lapisan” unik
restrukturisasi yang bergantung pada fase-fase akumulasi yang beragam. Bagaimana
lapisan-lapisan tersebut menyatu dalam tempat-tempat tertentu dan bagaimana
secara khusus modal internasional, nasional dan lokal menyatu untuk menghasilkan
pelbagai dampak sosial dan politik lokal menjadi pusat dari program penelitian
utama, misal di Inggris (Bagguley et al. 1990).
23
Urry
Satu implikasi dari pembedaan spasial adalah untuk menentang pemahaman
bahwa kelas sosial adalah sebuah fenomena nasional, bahwa kelas secara hakiki
terspesialisasi oleh batas-batas negara-bangsa. Penekanan banyak penelitian tentang
restrukturisasi variasi lokal/regional telah membawa analis untuk memikirkan ulang
kelas sosial melalui prisma spasial semacam itu (gender dan etnisitas adalah
perhatian belakangan dari analisis-analisis serupa). Dengan demikian, terdapat
penentu-penentu internasional dari relasi-relasi kelas sosial dalam suatu negarabangsa; terdapat pelbagai variasi dalam struktur stratifikasi lokal dalam masyarakat,
sehingga pola nasional bisa jadi tidak ditemukan dimana pun; kombinasi
perusahaan lokal, nasional dan internasional dapat menghasilkan kesamaan lokal
dan pertentangan internasional yang tak terduga dan sangat terbuka; terdapat variasi
jelas dalam tingkat konsentrasi sosial atas kelas; beberapa konflik kelas nyata-nyata
dipicu oleh, atau dipindahkan pada, konflik spasial; dan dalam beberapa kasus,
lokalitas muncul bersama kekuasaan berbeda untuk menghasilkan dampak-dampak
sosial dan politik yang signifikan (lihat Urry 1995; Fröbel et al. 1977, tentang
pembagian kerja baru secara internasional).
Beberapa poin tersebut dikembangkan dalam konsep “kompresi waktu-ruang”
dari Harvey (1989). Dia menunjukkan bagaimana kapitalisme membawa ragam
“kebakuan spasial” dalam pelbagai periode waktu. Di era masyarakat kapitalis, ruang
dikelola dalam sebuah cara untuk memfasilitasi pertumbuhan produksi, reproduksi
kekuasaan buruh dan memaksimalkan keuntungan. Dan melalui pengelolaan ulang
atas waktu-ruang tersebut kapitalisme mengatasi periode-periode krisis dan
meletakkan pondasi bagi sebuah periode baru akumulasi kapital dan perubahan
bentuk berkelanjutan dari ruang dan alam sepanjang waktu.
Harvey mendedah tesis Marx tentang penghancuran total ruang oleh waktu dan
berusaha untuk menunjukkan bagaimana hal itu menjelaskan pergeseran dari
“Fordisme” menuju akumulasi lentur “post-Fordisme.” Yang terakhir ini melibatkan
suatu kebakuan spasial baru dan yang paling penting beragam cara baru untuk
menghadirkan kembali waktu dan ruang. Pusat dari itu adalah “kompresi wakturuang” dari baik manusia dan pengalaman dan proses fisik. Harvey menunjukkan
bagaimana “kompresi” tersebut dapat menggerakkan sebuah perasaan tentang
cemas, sebagaimana ketika jaringan kereta api mengubah bentuk pedesaan.
Selama beberapa dekade terakhir mobilitas telah dibawa pada ujung-ujung
ekstrem, sehingga waktu dan ruang tampak secara literal terkompresi: “kita dipaksa
24
Sosiologi Ruang dan Tempat
untuk mengubah ... cara kita merepresentasikan dunia pada diri kita ... Ruang
seolah-olah mengerdil menjadi sebuah ‘desa global’ akibat telekomunikasi dan
sebuah ‘pesawat bumi’ yang saling tergantung secara ekonomi dan ekologis ... kita
harus belajar bagaimana mengatasi sebuah rasa yang berlebihan akibat kompresi
ruang dan waktu” (Harvey 1989:240). Menariknya, tahun 1950 Heidegger sudah
meramalkan “pengerdilan” jarak waktu dan ruang, pentingnya “informasi instan” di
radio dan cara televisi menghilangkan keberjarakan dan kemudian “peniadaan jarak”
antara manusia dan benda (Zimmerman 1990:151, 209).
Bagaimanapun juga, cara-cara dramatis mengkompresikan ruang dan waktu
tidak berarti bahwa tempat semakin tidak penting. Orang menjadi semakin sensitif
pada apa yang berada dalam tempat-tempat di dunia atau makna apa yang mungkin
dari hal semacam itu. Terdapat sebuah desakan untuk mencari akar-akar “di dalam
sebuah dunia tempat arus imaji meningkat dan menjadi semakin tak bertempat.
Siapa kita dan di ruang/tempat apa kita berada? Apakah saya adalah seorang
penduduk dunia, bangsa, lokalitas? Dapatkah saya memiliki suatu eksistensi virtual
dalam dunia siber?” (Harvey 1996:246). Dengan demikian, semakin batas-batas
temporal dan spasial tidak penting, semakin tinggi sensitivitas pergerakan modal,
migran, turis dan pencari suaka menuju tempat yang beragam dan semakin tinggi
dorongan bagi diferensiasi tempat, sekali pun melalui rangkaian proses yang sangat
terkapitalisasi.
Akhirnya, melalui teori post-Marxist tentang waktu dan ruang Giddens
berpendapat bahwa pergerakan individu-individu melalui waktu dan ruang menjadi
ditangkap melalui interpenetrasi kehadiran dan ketidakhadiran, yang dihasilkan dari
lokasi tubuh manusia dan perubahan cara pertukaran dengan masyarakat yang lebih
luas (Giddens 1979; 1981; 1984; 1991). Setiap teknologi baru mengubah bentuk
percampuran kehadiran dan ketidakhadiran, suatu bentuk yang menyimpan ingatan
dan membebani masa kini dan rangkaian cara yang mempertahankan keberadaan
lembaga sosial penting melalui tindakan-tindakan sosial yang terus
menyesuaikannya. Kemampuan-hadir (presence-availibility) bergantung pada tingkat
dan bentuk, kehadiran bersama manusia dalam lingkungan sosial seseorang.
Komunitas dengan tingkat kemampuan-hadir tinggi terdapat dalam semua
masyarakat sampai beberapa ratus tahun yang lalu. Kemampuan-hadir telah berubah
bentuk dalam satu atau dua abad terakhir melalui perkembangan terbaru dari
teknologi transportasi dan pemisahan media komunikasi dari media transportasi.
25
Urry
Akibatnya, terdapat variasi dalam “penjarakkan waktu-ruang”, suatu proses yang
“melenturkan” masyakarat dalam rentang waktu yang lebih pendek atau lebih
panjang. Pelenturan ini mencerminkan fakta bahwa aktivitas sosial semakin
bergantung pada interaksi-interaksi dengan mereka yang tidak hadir dalam ruangwaktu.
Dalam masyarakat kontemporer terdapat pencerabutan waktu dan ruang dari
aktivitas sosial, pengembangan dimensi “kehampaan” dari waktu, pemisahan ruang
dari tempat dan kemunculan mekanisme pencerabutan pelbagai simbol dan sistem
ahli yang mencabut relasi sosial dari keterlibatan lokal. Sistem ahli mengurung
waktu dan ruang dengan digerakkan oleh moda-moda pengetahuan teknis yang
dinilai mandiri dari praktisi dan klien yang menggunakannya. Sistem semacam itu
bergantung pada kepercayaan (trust), pada sebuah lompatan kualitatif atau
komitmen yang terhubung pada ketidakhadiran dalam waktu dan/atau ruang.
Kepercayaan pada mekanisme pencerabutan tidak diberikan pada individu-individu
tetapi pada sistem atau kapasitas abstrak dan secara khusus terhubung pada
ketidakhadiran dalam waktu dan ruang.
Menuju Sebuah Sosiologi Tempat
Dari beberapa masukan yang telah disebutkan, ruang dan waktu telah
diperlakukan dalam pengertian Newtonian, yaitu sebagai sesuatu yang objektif,
linear dan absolut yang di dalamnya terdapat tiga dimensi ruang dan dimensi yang
terpisahkan dari waktu. Diasumsikan bahwa setiap objek berada dalam dimensi
objektif dari waktu dan ruang tersebut, bahwa setiap objek tidak secara intrinsik
“diruangkan” dan “diwaktukan.” Namun, pada beberapa tahun belakangan banyak
tantangan dari cara pandang ilmu pengetahuan abad ke-20 itu yang telah mulai
merasuk pada sosiologi tentang tempat dan ruang.
Dengan demikian, sebagai contoh, fisika abad ke-20 telah menunjukkan bahwa
waktu bukanlah sebuah dimensi terpisah, bersamaan dengan objek yang dapat
bergerak maju atau mundur. Waktu dapat dibayangkan sebagai tak dapat diulang
(irreversible) dan sebagai entitas fisik dan sosial yang konstitutif. Hal ini tampak jelas
dalam ekspansi semesta melalui jarum waktu kosmologis, mengikuti peristiwa
sejarah tunggal tentang “dentuman besar.” Terdapat banyak contoh konyol dari itu:
kopi selalu mendingin, organisme selalu menua, musim semi mengikuti musim
dingin dan seterusnya. Tidak ada jalan kembali, tidak ada pengembalian panas,
26
Sosiologi Ruang dan Tempat
tidak ada kembali muda, tidak ada musim semi sebelum musim dingin dan
seterusnya. Hukum alam adalah historis dan menawarkan kelampauan, kekinian
dan yang akan datang. “Hal terbaik dari waktu adalah bahwa dia akan berjalan
terus” (Eddington, dikutip dalam Coveney dan Highfield 1990:83), sementara
“[waktu] yang tak dapat diulang adalah mekanisme yang membawa keteraturan dari
kekacauan” (Prigogine dan Stengers 1984:292; lihat juga Hayles 1991; Adam
1998).
Yang terbaru, teori-teori kekacauan dan kompleksitas telah mulai merasuk pada
analisis sosiologi (Byrne 1998). Teori-teori tersebut melakukan penolakan
penyederhanaan dikotomis tentang keteraturan dan ketakteraturan, tentang
mengada (being) dan menjadi (becoming). Sistem-sistem fisik tidak menunjukkan
dan mempertahankan stabilitas struktural. Konsepsi awam bahwa perubahanperubahan kecil pada penyebab dapat memicu perubahan-perubahan kecil pada
akibat adalah keliru. Bahkan, terdapat sifat determinasi dari kekacauan, dinamika
proses menjadi dan perubahan non-linear dalam seperangkat sistem sebagai suatu
kesatuan dari perubahan bentuk pada komponen tertentu. Waktu dalam perspektif
semacam itu putus-putus dan terdapat banyak situasi timpang yang padanya terjadi
serangkaian perubahan mengejutkan dan tak diperkirakan seiring perubahan tolok
ukurnya sepanjang waktu. Mengikuti seperangkat determinasi aturan, hasil-hasil
yang tak diperkirakan namun berpola dapat diciptakan. Contoh klasik adalah efek
kupu-kupu yang populer, ketika perubahan kecil di satu lokasi, dalam situasi-situasi
khusus, menghasilkan dampak-dampak masif di mana-mana. Sistem kompleks itu
dicirikan oleh luaran-luaran yang bertentangan dengan harapan yang terjadi pada
keberjarakan dalam waktu dan spasial dari kemunculan awalnya.
Teori kompleksitas menekankan pada bagaimana kerumitan lompatan-lompatan
reaksi memperparah tekanan-tekanan awal pada sistem itu dan membuatnya tak
dapat menyerap guncangan-guncangan yang secara sederhana mengubah posisi
ekuilibrium awal. Interaksi-interaksi yang kuat tampak terjadi di antara bagianbagian dalam sebuah sistem dan terdapat suatu kesenjangan dalam struktur hirarkis
utama. Zohar dan Marshall (1994) mengelaborasi pelbagai dampak dari konsep
tersebut dalam masyarakat kuantum. Mereka menggambarkan keruntuhan dari
kepastian usang dari fisika klasik, dicirikan oleh kategori kaku dan absolutisme
tentang waktu dan ruang; materi padat tak tertembus yang terdiri dari interaktivitas
“bola-bola biliar”dan hukum-hukum gerakan yang sangat menentukan. Dalam
27
Urry
tempatnya terdapat “suatu dunia aneh tentang fisika kuantum, sebuah dunia yang
tak teridentifikasi yang hukum-hukumnya menghina batas-batas antara ruang,
waktu dan materi” (Zohar dan Marshall 1994:33). Mereka secara khusus
mengembangkan analogi-analogi antara dampak gelombang/partikel dan
kemunculan ciri-ciri dari kehidupan sosial: “Realitas kuantum” berpotensi untuk
menjadi bentuk-partikel dan bentuk-gelombang. Partikel-partikel adalah individu,
terletak dan terukur dalam ruang dan waktu. Mereka berada di sini atau di sana,
sekarang atau nanti. Gelombang-gelombang adalah “non-lokal,” mereka menyebar
luas ke segala penjuru ruang dan waktu dan dampak-dampak instannya di manamana. Gelombang-gelombang meluaskan diri ke segala penjuru sekaligus, mereka
saling menutupi dan bergabung dengan gelombang-gelombang lain untuk
membentuk realitas-realitas baru (lubang-lubang baru bermunculan), sebagaimana
perubahan-perubahan itu terjadi dalam skala global (Zohar dan Marshall 1994:326;
Urry 2000).
Banyak penulis telah secara langsung atau pun tidak langsung mengembangkan
pelbagai aspek dari argumen tersebut dalam hubungannya dengan dunia sosial
(Byrne 1998; Cilliers 1998). Sekarang saya hendak membahas tiga penulis sebelum
ini, yang ide-idenya terhubung dengan pengertian-pengertian tersebut: Lefebvre,
Bachelard, dan Benjamin. Pertama, Lefebvre (1991) berpendapat bahwa ruang
bukanlah suatu geometri yang netral dan pasif. Ruang diproduksi dan direproduksi
dan kemudian merepresentasikan situs perjuangan. Lebih lagi, segala bentuk
fenomena spasial – tanah, wilayah, situs dan lainnya – perlu dipahami sebagai
bagian dari struktur dialektis dari ruang dan pengruangan (spasialisasi,
spatialization). Sementara secara konvensional fenomena-fenomena yang berbeda itu
dipisahkan sebagai sebuah hasil dari analisis berbasis disiplin ilmu yang
terfragmentasi, mereka perlu dipersatukan dalam sebuah struktur yang utuh.
Hal ini terdiri dari tiga elemen. Pertama, terdapat “praktik-praktik spasial.”
Mereka berkisar dari kegiatan rutin individu sampai penciptaan sistematis dari zona
dan wilayah. Praktik-praktik sosial tersebut terkonsentrasi sepanjang waktu dalam
suatu lingkungan buatan dan dalam suatu lansekap. Praktik-praktik spasial paling
penting adalah tentang kepemilikan dan bentuk-bentuk lain dari modal. Kedua,
terdapat representasi-representasi ruang, suatu bentuk pengetahuan dan praktik
yang menyusun dan merepresentasikan ruang, khususnya melalui teknik
perencanaan dan negara. Ketiga, terdapat ruang-ruang representasi atau suatu
28
Sosiologi Ruang dan Tempat
pengalaman kolektif tentang ruang. Ini termasuk pembedaan simbolis dan
menghasilkan bentuk-bentuk perlawanan individual dan kolektif.
Lefebvre secara khusus memperhatikan produksi ruang di bawah kapitalisme.
Pelbagai bentuk ruang saling menggantikan sepanjang waktu. Terdapat pergantian
konsepsi ruang dari alamiah ke absolut ke abstrak, dampaknya sangat progresif
untuk memurnikan alam dari sosial. Ruang abstrak adalah titik tertinggi dari relasirelasi masyarakat kapitalis, membawa pada “ruang-ruang ciptaan” yang luar biasa.
Analisis Shields (1991) tentang spasialisasi sosial mengembangkan kajian Lefebvre
tentang konstruksi kultural atas ruang. Dia membahas perubahan spasialisasi sosial
di pantai, bagaimana dia bergeser dari sebuah zona medis menjadi sebuah zona
wisata; konstruksi sosial atas tempat mistis di Brighton dan Niagara; konstruksi
“ruang” “utara” dan “selatan” di Inggris; dan mitos-mitos ruang yang
dipertarungkan di Kanada utara (lihat Urry 1995, untuk contoh lainnya).
Bachelard (1969) juga mengembangkan sebuah konsepsi tentang ruang yang
kualitatif dan heterogen, alih-alih ruang yang abstrak, hampa, dan statis. Dia secara
spesifik memperhatikan sifat “rumah” (house) dan berpendapat bahwa dia tidak bisa
dilihat sebagai objek fisik saja. Secara khusus, rumah adalah situs yang di dalamnya
imajinasi dan mimpi seseorang dapat terjadi dan dilepaskan dari kekangan
(Bachelard 1969: 6). Dan “rumah” (home) adalah juga suatu metafora bagi
intimitas. Rumah berada di dalam kita dan kita berada dalam rumah. Secara khusus,
segala jenis ruang, seperti rumah tempat seseorang dilahirkan, diwarnai dengan
jejak-jejak ingatan. Rasa memiliki itu berasal dari materialitas di tempat khusus.
Lebih lagi, Bachelard berpendapat bahwa durasi waktu adalah sendirinya
bergantung pada kekhususan spasial. Ruang sangat penting untuk membuat waktu
berkualitas. Game (1995:201) menuliskan, “Ruang mengubah waktu sebagaimana
ingatan dibuat mungkin. ”Kemudian suatu ruang seperti sebuah rumah memainkan
peran khusus yang sangat penting dalam membentuk dan mempertahankan ingatan.
Dia melindungi mimpi. Lebih lanjut, tubuh kita tidak melupakan rumah pertama
yang kita jumpai. Bachelar (1969:15) berbicara tentang sebuah “ikatan kuat” antara
tubuh dan rumah pertama itu. Ciri-cirinya terpatri dalam tubuh kita. Ingataningatan dilokalkan secara material dan juga temporalitas dari ingatan berakar pada
spasialitas.
Bachelard meruangkan temporalitas ingatan. Rumah-rumah dihidupi melalui
tubuh seseorang dan ingatan-ingatannya (Game 1995:202-203). Ingatan-ingatan
29
Urry
tentang ruang menubuh. Masa lalu “diteruskan” pada kita bukan sekadar dalam apa
yang kita pikirkan atau apa yang kita lakukan tapi dalam bagaimana kita
melakukannya. Tempat-tempat bukanlah sekadar dilihat, sebagaimana dalam
bingkai rezim “penglihatan,” tapi diterima melalui beragam perasaan yang dapat
membuat kita menderita ketika berada di tempat lain atau merinding ketika akan
ditempatkan di tempat itu (lihat Urry 2000, tentang perasaan). Proust terinspirasi
oleh ciri menubuh dari ingatan ini: “tangan dan kaki kita dipenuhi ingatan-ingatan
yang terpendam” (Lowenthal 1985:203).
Benjamin (1979) berangkat dari tema-tema serupa dalam analisisnya tentang
bagaimana orang “membaca” kota (lihat juga Buck-Morss 1989). Ini bukanlah
suatu soal pengamatan intelektual atau positivistik; namun, dia melibatkan fantasi,
harapan dan mimpi. Kota adalah suatu penampung pelbagai ingatan manusia dan
masa lampau; dan dia juga berfungsi sebagai sebuah wadah bagi simbol-simbol
budaya. Ingatan-ingatan tersebut tersimpan dalam bangunan-bangunan yang
kemudian mengambil kepentingan berbeda dari yang diharapkan sang arsitek.
Namun, ini bukan sekadar soal penafsiran individual, karena bangunan-bangunan
menunjukkan mitos-mitos kolektif. Memahami mitos-mitos tersebut membawa
serta suatu proses membongkar atau merusak penafsiran dan tradisi yang sudah ada
dan mencapur aduk elemen-elemen yang bertentangan secara bersamaan. Bahkan
bangunan-bangunan mangkrak dapat meninggalkan jejak dan membongkar
ingatan, mimpi dan harapan dari periode-periode sebelumnya. Dalam A Journey
through Ruins, Wright (1992) secara baik menunjukkan metode Benjamin dengan
memulai perjalanannya dengan sebuah toilet tua di Dalston Lane di timur London.
Benjamin juga peduli dengan persamaan-persamaan antara persepsi artistik dan
pembacaan atas teks urban. Benjamin menyarankan bahwa bangunan-bangunan
dimaknai dalam waktu, dalam sebuah posisi terdistorsi, sebagaimana manusia terus
bergerak ke mana-mana. Ini bertolak belakang dengan pemusatan “konsentrasi”
manusia pada lukisan di sebuah galeri. Yang paling terkenal, Benjamin membahas
peran dari flâneur, turis yang berjalan berkeliling kota mengambil contoh kehidupan
dalam suatu bentuk yang terganggu dan tak direfleksikan (Buck-Morss 1989). Sifat
senggang dan tak fokus dari suatu perjumpaan dengan perkotaan berarti bahwa
ingatan-ingatan lampau dapat dipicu oleh peristiwa masa kini. Hanya dengan
persepsi yang terdistorsi peluang menghubungkan masa lalu dan sekarang dapat
terjadi dan menghilangkan tekanan dari tradisi-tradisi lama. Benjamin juga
30
Sosiologi Ruang dan Tempat
menganalisis tempat-tempat yang hanya peduli dengan hiburan, seperti ruang
pameran di Paris; mereka mengubah pengunjung menjadi komoditas seiring mereka
masuk dalam sebuah “dunia fantasmagoris.”
Mengikuti teori-teori tersebut, serangkaian poin penting tentang tempat telah
dikembangkan oleh para penulis yang dipengaruhi oleh penulis sebelumnya.
Namun, titik-titik yang terbentuk sekarang sangat beragam dan berarti bahwa
sosiologi tentang tempat telah bergerak menjauhi dimensi Newtonian yang
sederhana dan objektif tentang ruang dan waktu.
Pertama, semakin terlihat jelas sekarang bahwa tempat-tempat tidaklah statis dan
baku (Massey 1994:136-137). Tempat-tempat melibatkan proses dan proses
tersebut melibatkan serangkaian relasi sosial yang lebih lokal dan terus meluas.
Massey menunjukkan bahwa apa yang saya istilahkan dengan lokalitas adalah
sebuah “perbedaan yang menyatu dalam satu tempat menghasilkan dampak-dampak
yang tidak mungkin terjadi sebaliknya” (1994:156, 138). Tempat-tempat dapat
kemudian sangat renggang dipahami sebagai multipleks, sebagai seperangkat ruang
di mana rentang jejaring dan arus relasional melebur, saling terhubung dan
terfragmentasi. Tempat-tempat lain dapat dilihat sebagai nexus antara, pada satu
sisi, kedekatan yang dicirikan dengan interaksi kehadiran bersama yang sangat
bermakna dan, pada sisi lain, jejaring yang bergerak cepat yang melentur melampaui
batas-batas menubuh, virtual dan imaginatif. Kedekatan dan jejaring luas hadir
bersama untuk memungkinan pertunjukkan di, dan tentang, tempat-tempat
tertentu.
Secara khusus, tempat-tempat, kita sekarang tahu terbagi secara gender. Lelaki
dan perempuan dapat memiliki beragam relasi yang berbeda dengan “kota” yang
kerap didominasi oleh kepentingan laki-laki dan oleh bentuk-bentuk representasi
yang kuat, seperti monumen, bangunan pengingat dan situs sejarah yang merekam
aktivitas para lelaki. Kita hanya tahu bagaimana pentingnya desain perkotaan untuk
hunian dan mobilitas yang aman bagi perempuan, khususnya di tempat-tempat
yang didominasi oleh kendaraan (Wilson 1991; Ardener 1993; Wolff 1995; Sheller
dan Urry 2000). Terdapat, tentu saja, interkoneksivitas yang rumit antara analisis
semacam itu dan tentang etnisitas.
Di AS secara khusus, kebanyakan perhatian telah diberikan untuk menunjukkan
perubahan distribusi spasial dari kelompok etnis yang berbeda dan khususnya
pembentukan kelas bawah kulit hitam di pusat-pusat kota (Wilson 1987). Wilson
31
Urry
berpendapat bahwa hal ini dihasilkan dari mobilitas spasial kulit hitam kelas
menengah yang dalam jumlah besar menghasilkan area-area kulit hitam. Ini telah
membantu penghapusan basis kehidupan komunitas. Pada saat yang sama area-area
tersebut telah dikacaukan oleh de-industralisasi seiring dengan lapangan kerja
bergerak ke selatan dan barat dan keluar ke suburban. Terdapat sebuah
“pengosongan ghetto” (Wacquant 1989; Davis 1990).
Perubahan karakter gender dan etnis dihubungkan dengan kota-kota yang
sedang direkonstruksi sebagai pusat-pusat konsumsi (dan lapangan kerja)
posmodern; kota menjadi sebuah cara pandang, sebuah “ruang mimpi konsumsi
visual,” menurut Zukin (1992:221). Dia menunjukkan bagaimana pengembang
bisnis properti telah membangun lansekap kekuasaan baru, suatu panggung ditata.
Di dalamnya konsumsi dapat terjadi, termasuk khususnya minuman dan makanan
(lihat Bell dan Valentine 1997, tentang bagaimana “kita adalah di mana kita
makan”). Ruang-ruang mimpi tersebut menempatkan persoalan sentral bagi
identitas manusia yang secara historis telah didirikan pada tempat, pada dari mana
seseorang berasal atau kemana dia pindah.
Lansekap posmodern adalah tentang tempat, seperti Main Street di EuroDisney,
World Fairs, atau Covent Garden di London. Tapi itu adalah tempat-tempat yang
dibuat untuk konsumsi. Mereka adalah tempat-tempat yang jarang orang berasal
darinya atau tinggal di sana atau yang menyediakan sebuah perasaan tentang
identitas sosial. Hampir mirip, Sennett (1991) berpendapat bahwa dalam kota
kontemporer bangunan berbeda tidak lagi menguji sebuah fungsi moral – di ruangruang baru yang paling terlihat adalah yang berbasis konsumsi dan turisme. Ruangruang tersebut secara khusus dirancang untuk meruntuhkan tembok perbedaan
antar-kelompok sosial dan memisahkan kehidupan pribadi manusia dari aktivitas
publik mereka.
Objek-objek kemudian sangat penting dalam konstruksi tempat tersebut.
Pelbagai jenis objek, aktivitas dan imaji media dapat membentuk dasar dari suatu
“kehadiran yang terbayangkan”. Mereka mendukung bahwa kehadiran yang
terbayangkan antar-anggota sebuah komunitas lokal, sekali pun sering kali anggota
dari tempat itu tidak mungkin menyadari keberadaan komunitas terbayang itu.
Setiap objek dapat berfungsi dalam cara ini – dan tidak sekadar monumenmonumen raksasa tentang tempat dan komunitas. Oldenburg telah
menggambarkan pentingnya tempat-tempat pertemuan informal: bar, café, pusat-
32
Sosiologi Ruang dan Tempat
pusat komunitas, ruang di bawah pohon dan seterusnya. Dia menyebut ini “tempat
ketiga”, tempat-tempat di luar pekerjaan dan keluarga di mana komunitas
menunjukkan diri dan kehidupan bertetangga dapat dipertahankan (Oldenburg
1989; Diken 1998).
Akhirnya, bahkan tempat-tempat tersebut yang didasarkan pada kedekatan
geografis bergantung pada mobilitas yang tinggi. Terdapat banyak cara untuk
mengakui kembali sebuah perasaan menghuni melalui pergerakan antar-batas
komunitas, seperti berjalan sepanjang jalan setapak. Tetapi komunitas semacam itu
juga saling terhubung dengan tempat-tempat lain melalui pelbagai bentuk
perjalanan. Raymond Williams dalam Border Country (1988) “terkesima dengan
jejaring yang dibentuk lelaki dan perempuan, struktur jejak dan kewilayahan yang
mereka buat seiring mereka bergerak melintasi sebuah wilayah dan cara-cara mereka
berinteraksi atau berjumpa satu sama lain” (Pinkey 1991:49; Cresswell 1997:373).
Massey berpendapat sama bahwa identitas dari sebuah tempat sebagian besar
diturunkan melalui pertukaran-pertukaran dengan tempat-tempat lain yang bisa jadi
sangat merangsang dan progresif. Terkadang pengertian-pengertian tersebut
bergantung pada relasi-relasi gender yang timpang menuju kemungkinankemungkinan untuk bergerak. Massey mendiskusikan bagaimana “ibu” dapat
berfungsi sebagai pusat simbolis bagi “anak-anak nakal” untuk kembali ketika tidak
ada tempat lain untuk dituju (1994:180).
Akhirnya, saya akan mempertimbangan dua contoh penelitian yang telah
menunjukkan bagaimana tempat-tempat diciptakan melalui pergerakan jejaring.
Pertama, di kalangan demonstran jalanan dan pengelana, hunian terkadang
impermanen dan dicirikan oleh, menurut seorang partisipan, “iklim impermanen
yang diyakini bersama, tentang menjadi siap untuk bergerak terus ... berpindah ke
kampus lain, puncak gunung, ghetto, pabrik, rumah penampungan, ladang-ladang
mangkrak” (Mckay 1996:8). Terdapat sebuah perasaan tentang pergerakan, tentang
tindakan-tindakan transgresi berkelanjutan, sebagai terjadi dalam kasus sebuah
konvoi perdamaian. Ruang-ruang hunian mereka diciptakan melalui pelbagai jalur
dan titik-titik sakral tertentu. Hunian itu mengikat emosi, tidak tetap dan terus
berpindah. Budaya resistensi semacam ini terbentuk sebagai “sebuah jejaring ...
kolektif dan komunitas yang independen” (Albion Free State Manifesto 1974; lihat
Mckay 1996:11). Pengelompokan semacam itu membentuk sebuah “jaringan
longgar dari jejaring yang renggang” seperti halnya mereka yang terlibat dalam
33
Urry
festival, pameran desa, musik alternatif, sabotase, protes jalanan, perjalanan era baru,
budaya liar, protes pengangguran, konvoi damai, hak binatang dan seterusnya
(Mckay 1996:11). Jejaring itu diperkuat oleh pelbagai pola pergerakan yang di
dalamnya terdapat sejenis pemetaan perlawanan pada peristiwa-peristiwa kunci,
tempat-tempat, jalur-jalur dan seterusnya (lihat Urry 2000, tentang mobilitas yang
menubuh).
Kedua, bacaan-bacaan tentang diaspora menunjukkan bagaimana budaya telah
dibuat dan dimodifikasi sebagai sebuah konsekuensi dari laju manusia, objek dan
imaji keluar dan masuk melintasi batas-batas (Bhabha 1990). Gilroy secara khusus
berpendapat bahwa: “Berlawanan dengan ... pendekatan etnisitas yang absolut, saya
ingin menyarankan bahwa ahli sejarah budaya dapat mengambil Samudra Atlantik
sebagai sebuah unit analisis yang tunggal namun rumit ... dan menggunakannya
untuk menghasilkan sebuah perspektif transnasional dan interkultural yang nyata”
(Gilroy 1993:15). Masyarakat-masyarakat diaspora tidak dapat bertahan tanpa
perjalanan tubuh, imaginatif dan virtual yang terus meningkat ke tanah asalnya dan
ke tempat-tempat diaspora lainnya (Kaplan 1996:134-136). Clifford (1997:247)
merangkum:
Orang-orang yang tersebar, begitu terpisahkan dari tanah asalnya oleh lautan luas dan
batas-batas politik, semakin menemukan dirinya dalam relasi-relasi perbatasan
dengan negara lamanya. Terima kasih pada sebuah pergerakan pergi-pulang yang
dimungkinan oleh modernisasi teknologi transportasi, komunikasi dan migrasi
pekerjaan. Pesawat terbang, telepon, kaset, kamera, pasar kerja bergerak mengurangi
jarak dan memfasilitasi arus dua-arah, legal dan ilegal, antara tempat-tempat di
dunia.
Tempat-tempat sakral dan anggota keluarga dan komunitas yang dikunjungi
berada di pelbagai “masyarakat” yang terhubung dengan “sirkuit perjalanan
terstruktur” (Clifford 1997:253). Modus-modus perjalanan dan pertukaran tersebut
– Clifford mengistilahkan “sumbu-sumbu utama diaspora” – menata kembali
perasaan tentang apa itu “warisan” dari suatu kelompok sosial yang tidak pernah
baku, stabil, alamiah, dan “otentik” (Clifford 1997:269). Secara khusus, koneksi
keluarga inti, keluarga besar, klan, etnis di dalam seorang diaspora memungkinkan
pergerakan manusia dan pendapatan melintasi batas nasional dan semakin
meluaskan organisasi perdagangan diasporik.
34
Sosiologi Ruang dan Tempat
Kecenderungan bagi diaspora untuk hidup di dalam kota-kota utama “dunia”
berarti bahwa mereka secara khusus berkontribusi pada, dan mengambil untung
dari, meningkatnya karakter kosmopolitan dari tempat-tempat tersebut (Hannerz
1996). Hal ini dapat dilihat dalam Cina perantauan yang menghidupkan Pecinan di
banyak kota utama di seluruh dunia. Yang terbesar adalah di New York dan menjadi
sebuah fenomena mengejutkan belakangan ini. Pada 1960an hanya terdapat sekitar
15.000 penduduk tapi selama lebih dua puluh tahun kemudian mereka telah
tumbuh 20 kali lipat dengan merasuk ke pelbagai sektor jasa, bengkel dan
perdagangan profesional. Pecinan telah menjadi pusat kunci dalam jalur “turisme
global” karena mereka menjual “relik etnis” yang otentik, sebuah relik yang
dibersihkan dan dikemas ulang untuk perjalanan turis internasional (Cohen
1997:93).
Para diaspora kemudian mengindikasikan penekanan yang lebih umum tentang
tempat, yang dirangkum Bell Hooks (1991:148) saat dia menulis: “rumah bukan
lagi suatu tempat. Dia adalah lokasi-lokasi” – dan, kita mungkin bisa
menambahkan, mobilititas-mobilitas antar-lokasi tersebut. Saya sudah
mendeskripsikan petualangan sosiologi dalam rangka mencari makna atas tempattempat itu, sebuah perjalanan yang melibatkan pergerakan masuk dan keluar dari
beragam rumah intelektual, menghasilkan sebuah analisis hibrid yang berasal dari
pelbagai lokasi. (*)
35
Download