kepemimpinan wanita dalam surah an-naml

advertisement
KEPEMIMPINAN WANITA DALAM SURAH AL-NAML
(Analisis dalam Perspektif Gender)
Suharno
Abstract
A fact history proves that most of the history of Muslim
women are placed in an inferior position while men are in a
superior position. It happened because the interpretation of the
Qur'an by the classical mufassir likely influenced by a
patriarchal culture that is entrenched. This paper does not
intend to break the common opinion that forbid female
leadership, but the research is intended to broaden our horizons
about the Quran. This paper will examine one of the suras of
the Qur'an ie Surah Al-Naml (ants) are reviewed from a gender
perspective. In this paper, the researchers further highlight a
story in this surah concerning women's leadership, the story of
Sheba Queen of the Saba kingdom.
Kata Kunci: wanita, kepemimpinan, Ratu Balqis
Pendahuluan
Al-Qur'an merupakan wahyu ilahi yang diturunkan sebagai petunjuk
dan penuntun bagi umat manusia sepanjang zaman. Al-Qur’an juga
melawan segala bentuk ketidakadilan, seperti ekploitasi ekonomi,
penindasan politik, dominasi budaya, dominasi gender, dan segala corak
disequilibirium dan apartheit.1 Sebagaimana yang diungkapkan
Fazlurrahman dalam bukunya Islam, bahwa semangat dasar Al-Qur’an
adalah semangat moral yang menumbuhkan ide-ide keadilan sosial dan
ekonomi.2
Masalah seputar status wanita dalam studi Islam sampai sekarang
masih tetap menjadi isu yang menarik dan tak habis-habisnya serta
mengundang polemik. Fakta sejarah membuktikan bahwa hampir sepanjang
sejarah Muslim kaum wanita ditempatkan pada posisi inferior sementara
1
Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman tentang Wanita (Yogyakarta: Tazaffa
dan Academia, 2002), 1
2
Selanjutnya baca: Fazlurrahman, Islam (terj.) (Bandung: Penerbit Pustaka,
1997)
84 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92
laki-laki berada pada posisi superior. Hal itu terjadi karena penafsiran AlQur’an yang dilakukan oleh mufassir-mufassir klasik yang cenderung
terpengaruh oleh budaya patriarki yang sudah berurat berakar.
Memang ada beberapa ayat Al-Qur’an yang secara tekstual
mendiskreditkan kaum wanita, seperti masalah poligami, waris dan
kepemimpinan. Namun, apa yang salah dengan ayat-ayat tersebut?
Sebenarnya tidak ada yang salah, pokok permasalahan yang sebenarnya
adalah dalam hal penafsirannya. Karena pada dasarnya Al-Qur’an
mengajarkan kesetaraan gender. Hal itu sangat jelas sekali disebutkan
dalam salah satu ayat Al-Qur’an, bahwasanya ukuran kemuliaan seseorang
di sisi Allah adalah dari segi takwanya, bukan jenis kelamin. Oleh sebab itu
wanita berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, demikian juga dalam wilayah politik, seperti kepemimpinan
misalnya.
Dalam tulisan ini peneliti tidak bermaksud mendobrak pendapat
umum yang mengharamkan kepemimpinan wanita, akan tetapi penelitian
ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dan menambah
pembendaharaan studi Al-Qur’an. Tulisan ini akan mengkaji satu surah dari
Al-Qur’an yaitu surah Al-Naml (semut) ditinjau dari perspektif gender.
Dalam tulisan ini peneliti lebih menyorot salah satu cerita dalam surah ini
yang menyangkut kepemimpinan wanita, yaitu cerita Ratu Balqis dari
kerajaan Saba’.
Sekilas tentang Surah Al-Naml
Surah Al-Naml adalah surah kedua puluh tujuh (27) dari 114 surah
Al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 93 ayat, termasuk golongan surah-surah
Makkiyah dan diturunkan setelah surah Asy-Syu’ara’. Dinamai dengan ”An
Naml”, karena pada ayat 18 dan 19 terdapat perkataan ”An Naml” (semut),
di mana raja semut mengatakan kepada anak buahnya agar masuk sarangnya
masing-masing, supaya jangan terpijak oleh Nabi Sulaiman dan tentaranya
yang akan lalu di tempat itu.3 Ada juga yang menamai surah ini dengan
sebutan Hudhud. Di samping itu ia dikenal juga dengan nama surah
Sulaiman. Boleh jadi karena uraian tentang nabi yang raja itu, diuraikan
3
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Alwaah,
1993), 591
Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml
85
pada surah ini dengan sedikit lebih rinci dibanding dengan uraian tentang
beliau pada surah-surah yang lain.4
T{ah> i>r Ibn ’A<syu>r mengemukakan bahwa yang menonjol dalam surah
ini adalah uraian tentang Al-Qur’a>n dan kemukjizatannya sebagaimana
diisyaratkan oleh pembuka surah ini yang menggunakan dua huruf, yaitu T{a>
dan Si>n. Dalam surah ini diuraikan tentang kerajaan terbesar yang pernah
dianugerahkan kepada seorang Nabi, yaitu Nabi Sulaiman as. dan diuraikan
pula umat bangsa Arab yang terkuat, yaitu Tsamûd, serta kerajaan Arab
yang agung, yaitu kerajaan Saba’. Uraian-uraian tersebut – masih menurut
Ibn ’A<syu>r – memberi isyarat bahwa kenabian Muhammad saw. adalah
risalah yang disertai dengan kebijakan memimpin umat, yang disusul
dengan kekuasaan dan bahwa melalui syari’at Nabi Muhammad saw. akan
terbentuk satu kekuasaan yang kuat, sebagaimana terbentuk untuk Banî
Isra>’îl kerajaan yang kuat pada masa kerajaan Nabi Sulaima>n as.
T{aba>t}aba>’i> secara singkat berpendapat bahwa tema utama dan tujuan
pokok uraian surah ini, adalah peringatan dan berita gembira. Ini
menurutnya terlihat dengan jelas pada ayat-ayat yang pertama serta lima
ayatnya yang terakhir. Untuk membuktikan kebenaran peringatan dan janjijanji-Nya, surah ini menampilkan sekelumit dari kisah Nabi Musa, Daud
dan Sulaiman, dan ini merupakan contoh berita gembira, serta kisah Nabi
Shaleh dan Luth yang dipaparkan dalam konteks uraian tentang ancaman
dan peringatannya. Yang kemudian disusul dengan uraian tentang keesaan
Allah dan keniscayaan hari kiamat.
Sayyid Quthub menegaskan bahwa tema utama surah ini serupa
dengan tema utama surah-surah yang turun sebelum hijrah. Yaitu keimanan
kepada Allah, pengesaan-Nya, keniscayaan hari Kiamat, serta ganjaran dan
balasannya. Demikian juga persoalan wahyu dan gaib bahwa Allah adalah
Maha Kuasa lagi Pemberi rezeki yang harus disyukuri. Kisah-kisah yang
diuraikan surah ini bertujuan mengukuhkan persoalan-persoalan tersebut.
Dengan demikian penekanan utama pada surah ini adalah tentang ilmu
Allah yang mutlak, lahir dan batin.
Al-Biqa>’i yang menjadikan nama surah sebagai petunjuk tentang
tema utamanya, berpendapat bahwa tema utama surah ini adalah uaian
tentang Al-Qur’an dan betapa kita suci itu telah cukup untuk menjadi
petunjuk bagi seluruh makhluk. Dia menjelaskan jalan lebar yang lurus serta
membedakannya dengan jalan kesesatan. Sekaligus menjelaskan tentang
prinsip-prinsip pokok agama. Hal ini dapat terlaksana karena yang
4
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Vol. 10 (Cet. ke-7; Jakarta: Lentera Hati, 2007)
86 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92
menurunkannya adalah Dia yang Maha Mengetahui segala yang
tersembunyi, apalagi yang jelas. Dia yang memberi kabar gembira buat
orang-orang mukmin dan peringatan bagi yang kafir. Semua persoalan ini,
haruslah berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh yang menghasilkan
hikmah.
Atas dasar itu, al-Biqa>’i menyimpulkan bahwa tujuan pokok dan
tema utama surah ini adalah penonjolan pengetahuan dan hikmah
kebijaksanaan Allah swt., sebagaimana surah ini menonjolkan kekuasaan
dan pembalasan-Nya. Pengetahuan tentang semut, keadaan dan ciri-cirinya,
merupakan salah satu yang paling jelas membuktikan tentang hal-hal
tersebut. Serangga ini dikenal sangat baik kebijakannya serta memiliki
kemampuan luar biasa dalam mengatur kehidupannya, lebih-lebih yang
digarisbawahi dalam surah ini menyangkut ketulusannya dalam menetapkan
tujuan dan kemampuannya mengekspresikan tujuan itu serta kesesuaiannya
dengan kondisi yang mereka hadapi.5
Demikianlah beberapa pendapat para ulama mengenai tema pokok
surah al-Naml. Namun dalam tulisan ini penulis hanya akan memfokuskan
pada kepemimpinan raja puteri (Ratu) kerajaan Saba’ yang dikenal dengan
nama Ratu Balqis (Bulqis), yaitu seputar ayat 20-44.
Kontroversi Kepemimpinan Wanita
Di Indonesia, pembicaraan soal pemimpin wanita selalu ramai
diperdebatkan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro umumnya
berdalih Islam tidak memiliki dalil yang qath’y (kuat) yang mengatur soal
ini. Apalagi kita hidup di zaman modern yang berbeda dengan abad
pertengahan, UUD 1945 tidak melarang wanita jadi pemimpin (presiden).
Yang kontra juga berdalil dengan Al-Qur’an dan Hadits serta tabiat wanita
yang secara naluriah memang diciptakan berbeda dengan kaum pria.
Diskriminasi terhadap wanita dalam hal menduduki kursi kepala
negara masih sangat sering terjadi. Satu bukti yang menonjol dari sekian
bukti yang ada dan bisa dicatat adalah apa yang terjadi di abad ke 14, ketika
tiga kerajaan Islam di Aceh yang ada di bawah kepemimpinan wanita, harus
menyerahkannya kepada kaum pria, dengan dalih agama Islam
melarangnya. Ketiga kerajaan itu adalah Sulthanah Khadijah, Sulthanah
Maryam, dan Sulthanah Fatimah. Alasan yang digunakan untuk memecat
raja-raja tersebut adalah fatwa Qadhi Mekkah yang tidak mentolerir wanita
menjadi pemimpin (sult}a>nah).6
5
Ibid., 167-169
Fatimah Mernissi, The Forgotten Queens of Islam (Monnopolis University
of Minnesota Press, 1993), 107-107
6
Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml
87
Ketika Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden di
Indonesia, banyak yang menghujatnya terutama dari kalangan Muslim.
Mereka berpegang pada hadits Rasulullah yang artinya berbunyi:
”Tidaklah sekali-kali akan beruntung keadaan suatu kaum/bangsa yang
menyerahkan urusan (menyerahkan kepemimpinan) mereka kepada
perempuan”. (H.R. Bukhari, At-Turmudzi dan An-Nasa’i).
Hadits tersebut bisa jadi sebenarnya menggambarkan situasi politik
pada masa Rasulullah. Di mana wanita yang terjun ke dunia politik sangat
langka dan pendidikan perpolitikan juga belum merambah wanita muslim.
Jadi wajar saja kalau wanita tidak diperkenankan menjadi pemimpin.
Karena bagaimana bisa seorang memimpin suatu kaum, sedangkan dia tidak
mengetahui perkara politik sebagai bekal menghadapi problematika
pemerintahan. Karena menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan
ahlinya akan berakibat kepada kehancuran.
Jadi hadits tersebut menurut hemat penulis bersifat kasuistik dan
temporer. Sedangkan masa sekarang, sekolah perpolitikan dan ilmu
pemerintahan sudah sangat memadai dan menjangkau semua kalangan, jadi
tidak ada alasan lagi seorang wanita tidak bisa menguasai ilmu
pemerintahan.
Dalil lain yang menjadi acuan kelompok yang mengharamkan
pemimpin wanita adalah surah An-Nisa ayat 34, yang artinya berbunyi:
   
”Laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita”7
Menurut mereka mengangkat wanita sebagai presiden adalah
menyimpang dari syari’at Islam dan tidak menggubris kepentingan umat
yang lagi prihatin atas merosotnya akhlaq.8
Sedangkan bagi sebagian kalangan, ayat tersebut justru mengangkat
kesetaraan gender. Karena sifat al-qiwa>mah pada ayat tersebut ditujukan
untuk kaum laki-laki dan kaum perempuan sekaligus.9
7
Q.S. An-Nisa: 34
Lebih lanjut baca: Hartono A.Jaiz, Polemik Presiden Wanita dalam Tinjauan
Islam (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1998), 3
9
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer(terj.)
(Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2004), 448
8
88 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92
Jadi pada dasarnya, diskriminasi dan dominasi gender yang terjadi
berawal dari pembacaan dan pemahaman kitab suci yang cenderung parsial,
tanpa kembali kepada semangat dasar yang sebenarnya, yaitu semangat
moral menuju keadilan sosial.
Kepemimpinan Wanita dalam Surah al-Naml
Gambaran Kepemimpinan Ratu Balqis
Kisah mengenai Ratu Kerajaan Saba’ ini berawal ketika Nabi
Sulaiman memeriksa dan memperhatikan rakyatnya, terutama bala
tentaranya. Ternyata burung Hudhud tidak ada di tempat, sehingga
menyebabkan kemurkaan Nabi Sulaiman dan beliau bermaksud menghukum
Hudhud jika tidak bisa mengemukakan alasan yang jelas (ayat 30-21).
Namun ketika Hudhud kembali dan mengkonfirmasi ketidakhadirannya,
Hudhud memberi alasan bahwasanya ia baru kembali dari suatu negeri yang
belum diketahui Nabi Sulaiman keberadaannya, yaitu negeri Saba’ (ayat
22).
Kemudian Hudhud menguraikan dan menjelaskan berita ini dengan
berkata: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana
yang besar” (Q.S Al-Naml: 23).
Dalam pembicaraan ini Hudhud menjelaskan urusan duniawi mereka.
Antara lain disajikan tiga perkara:10
- Mereka dipimpin oleh seorang ratu bernama Balqis binti Syurahail.
Sebelumnya, bapaknya juga seorang raja yang agung yang memiliki
kerajaan yang luas.
- Balqis dikaruniai kekayaan dan kerajaan yang megah dengan segala
perlengkapan perangnya, suatu hal yang banyak yang hanya dimiliki
oleh kerajaan-kerajaan besar.
- Dia mempunyai singgasana yang agung, yang ditatah dengan emas dan
berbagai macam permata serta mutiara, di sebuah istana yang besar
dan megah. Hal ini menunjukkan keagungan raja, keluasan wilayahnya
dan keluhuran derajatnya di antara para raja.
Dari uraian di atas, kiranya dapat kita ambil gambaran bahwa Ratu
Balqis adalah seorang pemimpin (Ratu) yang piawai dalam memerintah.
Karena kerajaan yang besar tidak mungkin bisa dikendalikan kecuali oleh
orang yang ahli dalam ilmu pemerintahan.
10
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (terj.), Jilid 19
(Semarang: Toha Putra, 1993), 245
Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml
89
Karakteristik kepemimpinan Ratu Balqis juga tergambar jelas ketika
menyikapi surat Nabi Sulaiman. Karakteristik tersebut adalah sebagaimana
berikut:
1.
Bijaksana dan demokratis
Setelah menerima seruan Nabi Sulaiman agar tidak berlaku sombong
dan berserah diri, beliau tidak langsung memutuskan perkara tersebut. Akan
tetapi meminta pertimbangan kepada para pembesar pemerintahan yang
tergambar dalam ayat 32, yang artinya: Berkata dia (Balqis): ”Hai para
pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah
memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”.
Hal ini menunjukkan, sang ratu adalah tipe seorang pemimpin yang
bijaksana dan demokratis, tidak bersikap otoriter tanpa mempertimbangkan
pendapat orang lain.
2.
Sangat memperhatikan kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya
Dalam memutuskan apa yang akan dilakukan dalam menghadapi
ancaman Nabi Sulaiman, Ratu Balqis juga sangat memperhatikan kondisi
rakyatnya. Hal ini tergambar dalam perkataannya pada ayat 34, yang
artinya: ”Dia berkata: ”Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu
negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya
yang mulia jadi hina; demikian pulalah yang akan mereka perbuat”.
3.
Menyukai diplomasi dan perdamaian
Sikap diplomatis ini ditempuhnya, dengan alasan agar ketentraman
rakyatnya tidak terganggu. Sudah menjadi kebiasaan bagi raja-raja zaman
dulu, ketika ingin mengadakan persahabatan dengan kerajaan lain, mereka
mengirimkan hadiah sebagai tanda perdamaian. Hal ini tergambar dalam
(ayat 35): ”Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan kepada mereka
dengan membawa (hadiah), dan (aku akan) menunggu apa yang akan
dibawa kembali oleh utusan-utusan itu”
4.
Cerdas, teliti dan memiliki kekuatan mental
Ketika singgasana Ratu Balqis berada di hadapan Sulaiman dan
dirubah ornamen luarnya yang mengesankan perbedaannya dengan
singgasana tersebut ketika masih di kerajaan Saba’. Dan kemudian
Sulaiman bertanya kepada Ratu Balqis apakah singgasana yang dimilikinya
serupa itu. Ternyata Ratu Balqis tidak serta merta mengatakan ”tidak” atau
”iya”. Namun menjawab dengan perkataan ”seakan-akan ia dia
(singgasanaku) (Q.S. Al-Naml: 42). Yang demikian itu menunjukkan
ketelitian dan kecerdasan luar biasa yang dimiliki Ratu Balqis, serta
90 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92
kekuatan mentalnya karena menjawab dengan tepat pada situasi seperti
yang dialaminya itu.
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan
bahwa Ratu Balqis adalah seorang pemimpin yang ideal dari sisi duniawi,
kepemimpinan Ratu Balqis hampir tidak memiliki cacat cela dan kelemahan
sama sekali walaupun beliau adalah seorang wanita. Jadi keberhasilan
seseorang dalam memimpin bukanlah diukur dari jenis kelaminnya, akan
tetapi lebih kepada kemampuan dan karisma yang dimilikinya dalam
menjalankan pemerintahan.
Setelah menjelaskan perkara dunia kerajaan Saba’, selanjutnya
Hudhud menjelaskan keyakinan keagamaan mereka, yang tergambar dalam
ayat 24: ”Aku mendapati sang ratu dan kaumnya dalam kesesatan yang
nyata. Mereka menyembah kepada matahari, tidak kepada Tuhan matahari
dan pencipta alam yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Setan membuat
mereka memandang baik apa yang mereka kerjakan, sehingga mengira baik
apa yang sesungguhnya tidak baik; dan menghalang-halangi mereka dari
jalan yang lurus yang diajarkan para nabi dan rasul, yaitu keikhlasan
bersujud dan beribadah kepada Allah”.
Penjelasan tersebut berakhir dengan reaksi Nabi Sulaiman mengirim
surat yang berisi seruan agar tidak bersikap sombong dan agar berserah diri.
Secara ringkas, surat ini menunjukan kepada beberapa perkara, yaitu:11
a. Surat mengandung penetapan Tuhan, keesaan, kekuasaan, dan keadaanNya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
b. Larangan kepada mereka untuk mengikuti hawa nafsu, dan keharusan
mengikuti yang haq.
c. Perintah kepada mereka untuk datang kepada Sulaiman dalam keadaan
tunduk dan patuh.
Sebagaimana diketahui bahwa sudah menjadi tugas seorang Nabi
untuk menyampaikan risalah kenabiannya, yaitu tentang keesaaan Allah
dan kemutlakan kekuasaan-Nya.
Jadi, seruan agar berserah diri yang dihimbau oleh Nabi Sulaiman
kepada Ratu Balqis bukanlah bernuansa politis, akan tetapi lebih kepada
dakwah keagamaan. Karena, kelemahan yang dimiliki oleh Ratu Balqis
adalah dari aspek spiritualnya, yaitu menyembah matahari. Sebagai seorang
Nabi yang mengemban risalah kenabian, sudah menjadi kewajiban bagi
Nabi Sulaiman menyampaikan jalan yang lurus tersebut kepada orang yang
menyimpang daripadanya, dalam hal ini Ratu Balqis dan rakyatnya.
11
Ibid., 250
Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml
91
Ratu atau pemimpin adalah panutan bagi rakyatnya, oleh sebab itu
jika pemimpinnya bisa diajak ke jalan yang benar maka rakyatnya akan
mengikutinya, sehingga upaya yang dilakukan Nabi Sulaiman tersebut
ibarat sambil menyelam minum air. Dengan mendakwahi pemimpinnya
maka rakyatnya juga akan terkena imbasnya juga.
Penyerahan diri Ratu Balqis juga bukanlah penyerahan kedaulatan
suatu bangsa kepada bangsa yang lain, akan tetapi penyerahan diri seorang
hamba Allah kepada sang Pemiliknya, Allah yang Maha Kuasa lagi Maha
Penyayang. Hal tersebut tergambar dalam ayat 44, yang artinya:
”Berkatalah Balqis: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim
terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah,
Tuhan semesta alam”.
Dalam ayat tersebut sangat jelas sekali disebutkan bahwasanya
penyerahan diri yang dilakukan Ratu Balqis bukanlah penyerahan
kekuasaan kepada Nabi Sulaiman, karena dalam pernyataan tersebut Ratu
Balqis berserah diri kepada Allah bersama Sulaiman selaku nabi, bukan
kepada Sulaiman selaku raja.
Dari cerita kepemimpinan Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman tersebut
dapat kita ambil pelajaran, yaitu bahwa seorang pemimpin itu setidaktidaknya harus memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Memiliki kemampuan dalam memimpin
2. Bijaksana dan demokratis
3. Sangat memperhatikan kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya
4. Menyukai diplomasi dan perdamaian
5. Cerdas, teliti dan memiliki kekuatan mental
Dan yang menjadi aspek terpenting adalah dalam memimpin
hendaknya seorang pemimpin adalah seorang yang beriman dan menyeru
orang-orang lain kepada jalan Allah. Dengan demikian seruannya selalu
akan berisi kegiatan menuntun, memotivasi, membimbing dan mengarahkan
agar manusia beriman kepada Allah swt.12
Demikianlah pembahasan mengenai kepemimpinan wanita yaitu Ratu
Balqis dalam surah Al-Naml, mudah-mudah dari kisah tersebut dapat kita
ambil hikmahnya.
Kesimpulan
Dari analisis yang sudah dilakukan terhadap surah Al-Naml, terutama
menyangkut kepemimpinan wanita dapat diambil kesimpulan bahwasanya
kepemimpinan wanita bukanlah sesuatu yang melanggar ketentuan Allah.
12
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993), 27
92 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92
Karena pada dasarnya agama Islam mengajarkan kesetaraan gender, ukuran
kemuliaan seseorang bukanlah ditinjau dari jenis kelaminnya akan tetapi
lebih kepada ketakwaannya kepada Allah.
Seorang wanita boleh saja menjadi pemimpin apabila memiliki
kemampuan yang memadai sehingga bisa mengendalikan roda
pemerintahan tanpa hambatan, dan aspek terpenting yang menjadi ciri
pemimpin yang Islami adalah berpegang kepada ajaran Allah dan tidak
menyimpang daripadaNya.
Daftar Pustaka
Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Alwaah, 1993.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi (terj.). Jilid 19.
Semarang: Toha Putra, 1993
Fazlurrahman. Islam (terj.). Bandung: Penerbit Pustaka, 1997.
Jaiz, Hartono A. Polemik Presiden Wanita dalam Tinjauan Islam. Jakarta:
Penerbit Al-Kautsar, 1998.
Mernissi, Fatimah. The Forgotten Queens of Islam. Monnopolis University
of Minnesota Press, 1993.
Nasution, Khoiruddin. Fazlurrahman tentang Wanita. Yogyakarta: Tazaffa
dan Academia, 2002.
Nawawi, Hadari. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1993.
Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (terj.).
Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2004.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Vol. 10 Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.
Download