KEPEMIMPINAN WANITA DALAM SURAH AL-NAML (Analisis dalam Perspektif Gender) Suharno Abstract A fact history proves that most of the history of Muslim women are placed in an inferior position while men are in a superior position. It happened because the interpretation of the Qur'an by the classical mufassir likely influenced by a patriarchal culture that is entrenched. This paper does not intend to break the common opinion that forbid female leadership, but the research is intended to broaden our horizons about the Quran. This paper will examine one of the suras of the Qur'an ie Surah Al-Naml (ants) are reviewed from a gender perspective. In this paper, the researchers further highlight a story in this surah concerning women's leadership, the story of Sheba Queen of the Saba kingdom. Kata Kunci: wanita, kepemimpinan, Ratu Balqis Pendahuluan Al-Qur'an merupakan wahyu ilahi yang diturunkan sebagai petunjuk dan penuntun bagi umat manusia sepanjang zaman. Al-Qur’an juga melawan segala bentuk ketidakadilan, seperti ekploitasi ekonomi, penindasan politik, dominasi budaya, dominasi gender, dan segala corak disequilibirium dan apartheit.1 Sebagaimana yang diungkapkan Fazlurrahman dalam bukunya Islam, bahwa semangat dasar Al-Qur’an adalah semangat moral yang menumbuhkan ide-ide keadilan sosial dan ekonomi.2 Masalah seputar status wanita dalam studi Islam sampai sekarang masih tetap menjadi isu yang menarik dan tak habis-habisnya serta mengundang polemik. Fakta sejarah membuktikan bahwa hampir sepanjang sejarah Muslim kaum wanita ditempatkan pada posisi inferior sementara 1 Khoiruddin Nasution, Fazlurrahman tentang Wanita (Yogyakarta: Tazaffa dan Academia, 2002), 1 2 Selanjutnya baca: Fazlurrahman, Islam (terj.) (Bandung: Penerbit Pustaka, 1997) 84 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92 laki-laki berada pada posisi superior. Hal itu terjadi karena penafsiran AlQur’an yang dilakukan oleh mufassir-mufassir klasik yang cenderung terpengaruh oleh budaya patriarki yang sudah berurat berakar. Memang ada beberapa ayat Al-Qur’an yang secara tekstual mendiskreditkan kaum wanita, seperti masalah poligami, waris dan kepemimpinan. Namun, apa yang salah dengan ayat-ayat tersebut? Sebenarnya tidak ada yang salah, pokok permasalahan yang sebenarnya adalah dalam hal penafsirannya. Karena pada dasarnya Al-Qur’an mengajarkan kesetaraan gender. Hal itu sangat jelas sekali disebutkan dalam salah satu ayat Al-Qur’an, bahwasanya ukuran kemuliaan seseorang di sisi Allah adalah dari segi takwanya, bukan jenis kelamin. Oleh sebab itu wanita berhak mendapatkan perlakuan yang sama dalam kehidupan bermasyarakat, demikian juga dalam wilayah politik, seperti kepemimpinan misalnya. Dalam tulisan ini peneliti tidak bermaksud mendobrak pendapat umum yang mengharamkan kepemimpinan wanita, akan tetapi penelitian ini dimaksudkan untuk memperluas wawasan dan menambah pembendaharaan studi Al-Qur’an. Tulisan ini akan mengkaji satu surah dari Al-Qur’an yaitu surah Al-Naml (semut) ditinjau dari perspektif gender. Dalam tulisan ini peneliti lebih menyorot salah satu cerita dalam surah ini yang menyangkut kepemimpinan wanita, yaitu cerita Ratu Balqis dari kerajaan Saba’. Sekilas tentang Surah Al-Naml Surah Al-Naml adalah surah kedua puluh tujuh (27) dari 114 surah Al-Qur’an. Surah ini terdiri atas 93 ayat, termasuk golongan surah-surah Makkiyah dan diturunkan setelah surah Asy-Syu’ara’. Dinamai dengan ”An Naml”, karena pada ayat 18 dan 19 terdapat perkataan ”An Naml” (semut), di mana raja semut mengatakan kepada anak buahnya agar masuk sarangnya masing-masing, supaya jangan terpijak oleh Nabi Sulaiman dan tentaranya yang akan lalu di tempat itu.3 Ada juga yang menamai surah ini dengan sebutan Hudhud. Di samping itu ia dikenal juga dengan nama surah Sulaiman. Boleh jadi karena uraian tentang nabi yang raja itu, diuraikan 3 Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Alwaah, 1993), 591 Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml 85 pada surah ini dengan sedikit lebih rinci dibanding dengan uraian tentang beliau pada surah-surah yang lain.4 T{ah> i>r Ibn ’A<syu>r mengemukakan bahwa yang menonjol dalam surah ini adalah uraian tentang Al-Qur’a>n dan kemukjizatannya sebagaimana diisyaratkan oleh pembuka surah ini yang menggunakan dua huruf, yaitu T{a> dan Si>n. Dalam surah ini diuraikan tentang kerajaan terbesar yang pernah dianugerahkan kepada seorang Nabi, yaitu Nabi Sulaiman as. dan diuraikan pula umat bangsa Arab yang terkuat, yaitu Tsamûd, serta kerajaan Arab yang agung, yaitu kerajaan Saba’. Uraian-uraian tersebut – masih menurut Ibn ’A<syu>r – memberi isyarat bahwa kenabian Muhammad saw. adalah risalah yang disertai dengan kebijakan memimpin umat, yang disusul dengan kekuasaan dan bahwa melalui syari’at Nabi Muhammad saw. akan terbentuk satu kekuasaan yang kuat, sebagaimana terbentuk untuk Banî Isra>’îl kerajaan yang kuat pada masa kerajaan Nabi Sulaima>n as. T{aba>t}aba>’i> secara singkat berpendapat bahwa tema utama dan tujuan pokok uraian surah ini, adalah peringatan dan berita gembira. Ini menurutnya terlihat dengan jelas pada ayat-ayat yang pertama serta lima ayatnya yang terakhir. Untuk membuktikan kebenaran peringatan dan janjijanji-Nya, surah ini menampilkan sekelumit dari kisah Nabi Musa, Daud dan Sulaiman, dan ini merupakan contoh berita gembira, serta kisah Nabi Shaleh dan Luth yang dipaparkan dalam konteks uraian tentang ancaman dan peringatannya. Yang kemudian disusul dengan uraian tentang keesaan Allah dan keniscayaan hari kiamat. Sayyid Quthub menegaskan bahwa tema utama surah ini serupa dengan tema utama surah-surah yang turun sebelum hijrah. Yaitu keimanan kepada Allah, pengesaan-Nya, keniscayaan hari Kiamat, serta ganjaran dan balasannya. Demikian juga persoalan wahyu dan gaib bahwa Allah adalah Maha Kuasa lagi Pemberi rezeki yang harus disyukuri. Kisah-kisah yang diuraikan surah ini bertujuan mengukuhkan persoalan-persoalan tersebut. Dengan demikian penekanan utama pada surah ini adalah tentang ilmu Allah yang mutlak, lahir dan batin. Al-Biqa>’i yang menjadikan nama surah sebagai petunjuk tentang tema utamanya, berpendapat bahwa tema utama surah ini adalah uaian tentang Al-Qur’an dan betapa kita suci itu telah cukup untuk menjadi petunjuk bagi seluruh makhluk. Dia menjelaskan jalan lebar yang lurus serta membedakannya dengan jalan kesesatan. Sekaligus menjelaskan tentang prinsip-prinsip pokok agama. Hal ini dapat terlaksana karena yang 4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Vol. 10 (Cet. ke-7; Jakarta: Lentera Hati, 2007) 86 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92 menurunkannya adalah Dia yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, apalagi yang jelas. Dia yang memberi kabar gembira buat orang-orang mukmin dan peringatan bagi yang kafir. Semua persoalan ini, haruslah berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh yang menghasilkan hikmah. Atas dasar itu, al-Biqa>’i menyimpulkan bahwa tujuan pokok dan tema utama surah ini adalah penonjolan pengetahuan dan hikmah kebijaksanaan Allah swt., sebagaimana surah ini menonjolkan kekuasaan dan pembalasan-Nya. Pengetahuan tentang semut, keadaan dan ciri-cirinya, merupakan salah satu yang paling jelas membuktikan tentang hal-hal tersebut. Serangga ini dikenal sangat baik kebijakannya serta memiliki kemampuan luar biasa dalam mengatur kehidupannya, lebih-lebih yang digarisbawahi dalam surah ini menyangkut ketulusannya dalam menetapkan tujuan dan kemampuannya mengekspresikan tujuan itu serta kesesuaiannya dengan kondisi yang mereka hadapi.5 Demikianlah beberapa pendapat para ulama mengenai tema pokok surah al-Naml. Namun dalam tulisan ini penulis hanya akan memfokuskan pada kepemimpinan raja puteri (Ratu) kerajaan Saba’ yang dikenal dengan nama Ratu Balqis (Bulqis), yaitu seputar ayat 20-44. Kontroversi Kepemimpinan Wanita Di Indonesia, pembicaraan soal pemimpin wanita selalu ramai diperdebatkan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro umumnya berdalih Islam tidak memiliki dalil yang qath’y (kuat) yang mengatur soal ini. Apalagi kita hidup di zaman modern yang berbeda dengan abad pertengahan, UUD 1945 tidak melarang wanita jadi pemimpin (presiden). Yang kontra juga berdalil dengan Al-Qur’an dan Hadits serta tabiat wanita yang secara naluriah memang diciptakan berbeda dengan kaum pria. Diskriminasi terhadap wanita dalam hal menduduki kursi kepala negara masih sangat sering terjadi. Satu bukti yang menonjol dari sekian bukti yang ada dan bisa dicatat adalah apa yang terjadi di abad ke 14, ketika tiga kerajaan Islam di Aceh yang ada di bawah kepemimpinan wanita, harus menyerahkannya kepada kaum pria, dengan dalih agama Islam melarangnya. Ketiga kerajaan itu adalah Sulthanah Khadijah, Sulthanah Maryam, dan Sulthanah Fatimah. Alasan yang digunakan untuk memecat raja-raja tersebut adalah fatwa Qadhi Mekkah yang tidak mentolerir wanita menjadi pemimpin (sult}a>nah).6 5 Ibid., 167-169 Fatimah Mernissi, The Forgotten Queens of Islam (Monnopolis University of Minnesota Press, 1993), 107-107 6 Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml 87 Ketika Megawati Soekarno Putri menjabat sebagai presiden di Indonesia, banyak yang menghujatnya terutama dari kalangan Muslim. Mereka berpegang pada hadits Rasulullah yang artinya berbunyi: ”Tidaklah sekali-kali akan beruntung keadaan suatu kaum/bangsa yang menyerahkan urusan (menyerahkan kepemimpinan) mereka kepada perempuan”. (H.R. Bukhari, At-Turmudzi dan An-Nasa’i). Hadits tersebut bisa jadi sebenarnya menggambarkan situasi politik pada masa Rasulullah. Di mana wanita yang terjun ke dunia politik sangat langka dan pendidikan perpolitikan juga belum merambah wanita muslim. Jadi wajar saja kalau wanita tidak diperkenankan menjadi pemimpin. Karena bagaimana bisa seorang memimpin suatu kaum, sedangkan dia tidak mengetahui perkara politik sebagai bekal menghadapi problematika pemerintahan. Karena menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya akan berakibat kepada kehancuran. Jadi hadits tersebut menurut hemat penulis bersifat kasuistik dan temporer. Sedangkan masa sekarang, sekolah perpolitikan dan ilmu pemerintahan sudah sangat memadai dan menjangkau semua kalangan, jadi tidak ada alasan lagi seorang wanita tidak bisa menguasai ilmu pemerintahan. Dalil lain yang menjadi acuan kelompok yang mengharamkan pemimpin wanita adalah surah An-Nisa ayat 34, yang artinya berbunyi: ”Laki-laki itu adalah pemimpin atas kaum wanita”7 Menurut mereka mengangkat wanita sebagai presiden adalah menyimpang dari syari’at Islam dan tidak menggubris kepentingan umat yang lagi prihatin atas merosotnya akhlaq.8 Sedangkan bagi sebagian kalangan, ayat tersebut justru mengangkat kesetaraan gender. Karena sifat al-qiwa>mah pada ayat tersebut ditujukan untuk kaum laki-laki dan kaum perempuan sekaligus.9 7 Q.S. An-Nisa: 34 Lebih lanjut baca: Hartono A.Jaiz, Polemik Presiden Wanita dalam Tinjauan Islam (Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1998), 3 9 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer(terj.) (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2004), 448 8 88 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92 Jadi pada dasarnya, diskriminasi dan dominasi gender yang terjadi berawal dari pembacaan dan pemahaman kitab suci yang cenderung parsial, tanpa kembali kepada semangat dasar yang sebenarnya, yaitu semangat moral menuju keadilan sosial. Kepemimpinan Wanita dalam Surah al-Naml Gambaran Kepemimpinan Ratu Balqis Kisah mengenai Ratu Kerajaan Saba’ ini berawal ketika Nabi Sulaiman memeriksa dan memperhatikan rakyatnya, terutama bala tentaranya. Ternyata burung Hudhud tidak ada di tempat, sehingga menyebabkan kemurkaan Nabi Sulaiman dan beliau bermaksud menghukum Hudhud jika tidak bisa mengemukakan alasan yang jelas (ayat 30-21). Namun ketika Hudhud kembali dan mengkonfirmasi ketidakhadirannya, Hudhud memberi alasan bahwasanya ia baru kembali dari suatu negeri yang belum diketahui Nabi Sulaiman keberadaannya, yaitu negeri Saba’ (ayat 22). Kemudian Hudhud menguraikan dan menjelaskan berita ini dengan berkata: “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar” (Q.S Al-Naml: 23). Dalam pembicaraan ini Hudhud menjelaskan urusan duniawi mereka. Antara lain disajikan tiga perkara:10 - Mereka dipimpin oleh seorang ratu bernama Balqis binti Syurahail. Sebelumnya, bapaknya juga seorang raja yang agung yang memiliki kerajaan yang luas. - Balqis dikaruniai kekayaan dan kerajaan yang megah dengan segala perlengkapan perangnya, suatu hal yang banyak yang hanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan besar. - Dia mempunyai singgasana yang agung, yang ditatah dengan emas dan berbagai macam permata serta mutiara, di sebuah istana yang besar dan megah. Hal ini menunjukkan keagungan raja, keluasan wilayahnya dan keluhuran derajatnya di antara para raja. Dari uraian di atas, kiranya dapat kita ambil gambaran bahwa Ratu Balqis adalah seorang pemimpin (Ratu) yang piawai dalam memerintah. Karena kerajaan yang besar tidak mungkin bisa dikendalikan kecuali oleh orang yang ahli dalam ilmu pemerintahan. 10 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (terj.), Jilid 19 (Semarang: Toha Putra, 1993), 245 Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml 89 Karakteristik kepemimpinan Ratu Balqis juga tergambar jelas ketika menyikapi surat Nabi Sulaiman. Karakteristik tersebut adalah sebagaimana berikut: 1. Bijaksana dan demokratis Setelah menerima seruan Nabi Sulaiman agar tidak berlaku sombong dan berserah diri, beliau tidak langsung memutuskan perkara tersebut. Akan tetapi meminta pertimbangan kepada para pembesar pemerintahan yang tergambar dalam ayat 32, yang artinya: Berkata dia (Balqis): ”Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)”. Hal ini menunjukkan, sang ratu adalah tipe seorang pemimpin yang bijaksana dan demokratis, tidak bersikap otoriter tanpa mempertimbangkan pendapat orang lain. 2. Sangat memperhatikan kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya Dalam memutuskan apa yang akan dilakukan dalam menghadapi ancaman Nabi Sulaiman, Ratu Balqis juga sangat memperhatikan kondisi rakyatnya. Hal ini tergambar dalam perkataannya pada ayat 34, yang artinya: ”Dia berkata: ”Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu negeri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; demikian pulalah yang akan mereka perbuat”. 3. Menyukai diplomasi dan perdamaian Sikap diplomatis ini ditempuhnya, dengan alasan agar ketentraman rakyatnya tidak terganggu. Sudah menjadi kebiasaan bagi raja-raja zaman dulu, ketika ingin mengadakan persahabatan dengan kerajaan lain, mereka mengirimkan hadiah sebagai tanda perdamaian. Hal ini tergambar dalam (ayat 35): ”Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan kepada mereka dengan membawa (hadiah), dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu” 4. Cerdas, teliti dan memiliki kekuatan mental Ketika singgasana Ratu Balqis berada di hadapan Sulaiman dan dirubah ornamen luarnya yang mengesankan perbedaannya dengan singgasana tersebut ketika masih di kerajaan Saba’. Dan kemudian Sulaiman bertanya kepada Ratu Balqis apakah singgasana yang dimilikinya serupa itu. Ternyata Ratu Balqis tidak serta merta mengatakan ”tidak” atau ”iya”. Namun menjawab dengan perkataan ”seakan-akan ia dia (singgasanaku) (Q.S. Al-Naml: 42). Yang demikian itu menunjukkan ketelitian dan kecerdasan luar biasa yang dimiliki Ratu Balqis, serta 90 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92 kekuatan mentalnya karena menjawab dengan tepat pada situasi seperti yang dialaminya itu. Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa Ratu Balqis adalah seorang pemimpin yang ideal dari sisi duniawi, kepemimpinan Ratu Balqis hampir tidak memiliki cacat cela dan kelemahan sama sekali walaupun beliau adalah seorang wanita. Jadi keberhasilan seseorang dalam memimpin bukanlah diukur dari jenis kelaminnya, akan tetapi lebih kepada kemampuan dan karisma yang dimilikinya dalam menjalankan pemerintahan. Setelah menjelaskan perkara dunia kerajaan Saba’, selanjutnya Hudhud menjelaskan keyakinan keagamaan mereka, yang tergambar dalam ayat 24: ”Aku mendapati sang ratu dan kaumnya dalam kesesatan yang nyata. Mereka menyembah kepada matahari, tidak kepada Tuhan matahari dan pencipta alam yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Setan membuat mereka memandang baik apa yang mereka kerjakan, sehingga mengira baik apa yang sesungguhnya tidak baik; dan menghalang-halangi mereka dari jalan yang lurus yang diajarkan para nabi dan rasul, yaitu keikhlasan bersujud dan beribadah kepada Allah”. Penjelasan tersebut berakhir dengan reaksi Nabi Sulaiman mengirim surat yang berisi seruan agar tidak bersikap sombong dan agar berserah diri. Secara ringkas, surat ini menunjukan kepada beberapa perkara, yaitu:11 a. Surat mengandung penetapan Tuhan, keesaan, kekuasaan, dan keadaanNya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang b. Larangan kepada mereka untuk mengikuti hawa nafsu, dan keharusan mengikuti yang haq. c. Perintah kepada mereka untuk datang kepada Sulaiman dalam keadaan tunduk dan patuh. Sebagaimana diketahui bahwa sudah menjadi tugas seorang Nabi untuk menyampaikan risalah kenabiannya, yaitu tentang keesaaan Allah dan kemutlakan kekuasaan-Nya. Jadi, seruan agar berserah diri yang dihimbau oleh Nabi Sulaiman kepada Ratu Balqis bukanlah bernuansa politis, akan tetapi lebih kepada dakwah keagamaan. Karena, kelemahan yang dimiliki oleh Ratu Balqis adalah dari aspek spiritualnya, yaitu menyembah matahari. Sebagai seorang Nabi yang mengemban risalah kenabian, sudah menjadi kewajiban bagi Nabi Sulaiman menyampaikan jalan yang lurus tersebut kepada orang yang menyimpang daripadanya, dalam hal ini Ratu Balqis dan rakyatnya. 11 Ibid., 250 Suharno, Kepemimpinan Wanita dalam Sura al-Naml 91 Ratu atau pemimpin adalah panutan bagi rakyatnya, oleh sebab itu jika pemimpinnya bisa diajak ke jalan yang benar maka rakyatnya akan mengikutinya, sehingga upaya yang dilakukan Nabi Sulaiman tersebut ibarat sambil menyelam minum air. Dengan mendakwahi pemimpinnya maka rakyatnya juga akan terkena imbasnya juga. Penyerahan diri Ratu Balqis juga bukanlah penyerahan kedaulatan suatu bangsa kepada bangsa yang lain, akan tetapi penyerahan diri seorang hamba Allah kepada sang Pemiliknya, Allah yang Maha Kuasa lagi Maha Penyayang. Hal tersebut tergambar dalam ayat 44, yang artinya: ”Berkatalah Balqis: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”. Dalam ayat tersebut sangat jelas sekali disebutkan bahwasanya penyerahan diri yang dilakukan Ratu Balqis bukanlah penyerahan kekuasaan kepada Nabi Sulaiman, karena dalam pernyataan tersebut Ratu Balqis berserah diri kepada Allah bersama Sulaiman selaku nabi, bukan kepada Sulaiman selaku raja. Dari cerita kepemimpinan Ratu Balqis dan Nabi Sulaiman tersebut dapat kita ambil pelajaran, yaitu bahwa seorang pemimpin itu setidaktidaknya harus memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Memiliki kemampuan dalam memimpin 2. Bijaksana dan demokratis 3. Sangat memperhatikan kesejahteraan dan ketentraman rakyatnya 4. Menyukai diplomasi dan perdamaian 5. Cerdas, teliti dan memiliki kekuatan mental Dan yang menjadi aspek terpenting adalah dalam memimpin hendaknya seorang pemimpin adalah seorang yang beriman dan menyeru orang-orang lain kepada jalan Allah. Dengan demikian seruannya selalu akan berisi kegiatan menuntun, memotivasi, membimbing dan mengarahkan agar manusia beriman kepada Allah swt.12 Demikianlah pembahasan mengenai kepemimpinan wanita yaitu Ratu Balqis dalam surah Al-Naml, mudah-mudah dari kisah tersebut dapat kita ambil hikmahnya. Kesimpulan Dari analisis yang sudah dilakukan terhadap surah Al-Naml, terutama menyangkut kepemimpinan wanita dapat diambil kesimpulan bahwasanya kepemimpinan wanita bukanlah sesuatu yang melanggar ketentuan Allah. 12 Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), 27 92 Musawa, Vol. 4, No. 1, Juni 2012: 83-92 Karena pada dasarnya agama Islam mengajarkan kesetaraan gender, ukuran kemuliaan seseorang bukanlah ditinjau dari jenis kelaminnya akan tetapi lebih kepada ketakwaannya kepada Allah. Seorang wanita boleh saja menjadi pemimpin apabila memiliki kemampuan yang memadai sehingga bisa mengendalikan roda pemerintahan tanpa hambatan, dan aspek terpenting yang menjadi ciri pemimpin yang Islami adalah berpegang kepada ajaran Allah dan tidak menyimpang daripadaNya. Daftar Pustaka Al Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Alwaah, 1993. Al-Maraghi, Ahmad Musthafa. Tafsir Al-Maraghi (terj.). Jilid 19. Semarang: Toha Putra, 1993 Fazlurrahman. Islam (terj.). Bandung: Penerbit Pustaka, 1997. Jaiz, Hartono A. Polemik Presiden Wanita dalam Tinjauan Islam. Jakarta: Penerbit Al-Kautsar, 1998. Mernissi, Fatimah. The Forgotten Queens of Islam. Monnopolis University of Minnesota Press, 1993. Nasution, Khoiruddin. Fazlurrahman tentang Wanita. Yogyakarta: Tazaffa dan Academia, 2002. Nawawi, Hadari. Kepemimpinan Menurut Islam. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993. Shahrur, Muhammad. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer (terj.). Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2004. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misba>h: Pesan, Kesan dan Keserasian AlQur’an, Vol. 10 Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati, 2007.