1 PERHITUNGAN BESAR EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION (USLE) DI KECAMATAN JUMAPOLO SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Disusun Oleh : ENDAH MARTATI NIM : K 5403028 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009 2 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertambahan penduduk yang begitu pesat secara langsung akan berakibat pada meningkatnya kebutuhan hidup baik sandang, pangan maupun papan. Berdasarkan sensus penduduk yang telah dilaksanakan di Indonesia, pertambahan penduduk di Indonesia meningkat hampir dua kali lipat dari tahun 1971 dengan jumlah penduduk sebesar 119.208.229 jiwa hingga tahun 2000 dengan jumlah penduduk sebesar 206.264.595 jiwa (www.bps.go.id). Penduduk Indonesia sangat bergantung pada bidang pertanian untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, kebutuhan terhadap lahan juga meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Tanah merupakan sumberdaya alam yang penting untuk kelangsungan hidup manusia karena tanah merupakan suatu komponen yang diperlukan dalam setiap bentuk aktivitas manusia seperti pertanian, pemukiman, jalan, industri, bahkan kegiatan pariwisata. Sebagai sumberdaya alam, keberadaan tanah terutama dalam segi kualitas harus senantiasa dijaga agar tetap lestari sehingga generasi selanjutnya masih dapat memanfaatkan. Salah satu tujuan penggunaan tanah adalah untuk menghasilkan barang– barang atau alat–alat pemuas kebutuhan manusia yang terus meningkat karena pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan terus berkembang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang selalu mengalami peningkatan seiring kemajuan teknologi dan mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, seringkali pemanfaatan atau penggunaan lahan oleh manusia kurang bijaksana. Manusia sering kali tidak adil dalam memperhatikan tanah, maksudnya adalah tanah dipaksa untuk terus berproduksi dan memberikan hasil yang semaksimal mungkin tanpa memperhatikan kondisi tanah tersebut. Semua itu dilakukan demi kepentingan manusia semata yaitu terpenuhinya kebutuhan manusia baik kebutuhan primer, sekunder bahkan tersier sekalipun. Perlakuan 3 negatif manusia terhadap tanah tersebut dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Tanah sesuai dengan sifat dan faktor pembatas yang berbeda mempunyai daya guna yang berbeda pula. Tanah dengan produktivitas tinggi seharusnya dijaga agar penggunaannya tetap sebagai tanah pertanian, bukan dimanfaatkan untuk usaha non pertanian. Pemanfaaatan sumberdaya alam, khususnya tanah yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan kemampuannya dan tidak adanya tindakan atau usaha konservasi terhadap sumberdaya alam tersebut dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan dan mengganggu kelangsungan hidup manusia. Salah satu bentuk kerusakan lingkungan adalah terjadinya degradasi tanah. Degradasi tanah adalah penurunan kualitas tanah dan produktivitas potensial dan atau pengurangan kemampuannya, baik secara alami atau karena pengaruh manusia (Dent, 1993 dalam Lanya, 1995). Riquer dalam Lanya (1995: 7), mengelompokkan degradasi ke dalam dua macam, yaitu degradasi alami dan degradasi dipercepat. Degradasi alami terjadi pada masa lampau akibat denudasi, yang biasanya meninggalkan sisanya dalam bentuk permukaan sisa erosi atau dataran aluvial yang luas berbentuk dataran banjir. Degradasi dipercepat adalah degradasi yang proses berlangsungnya cepat, umumnya disebabkan oleh pengaruh campur tangan manusia. Salah satu gejala adanya kerusakan atau degradasi tanah adalah berlangsungnya proses erosi yang ditimbulkan oleh adanya kekeliruan dalam penggunaan lahan, yaitu pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan tingkat kemampuannya. Kerusakan tanah akibat erosi dapat mengakibatkan menurunnya kesuburan dan produktivitas tanah, bahaya banjir pada musim hujan atau kekeringan pada musim kemarau dan pendangkalan sungai–sungai ataupun danau–danau serta makin luasnya lahan kritis (Rukmana, 1995: 10). Menurut Kartasapoetra (2000: 34), bahaya erosi yang di sana sini telah menurunkan produktivitas tanah merupakan masalah utama yang sepanjang tahun, dari tahun ke tahun tetap harus dihadapi oleh Pemerintah. Bahaya erosi yang menimpa lahan–lahan pertanian serta penduduk sering terjadi pada lahan–lahan yang mempunyai kemiringan lereng sekitar 15 % ke atas. Bahaya ini pun selain 4 oleh perbuatan–perbuatan sementara manusia yang terlalu mementingkan pemuasan kebutuhan diri sendiri, juga dikarenakan pengelolaan tanah dan pengairannya yang keliru. Pencegahan erosi sangat diperlukan, jika erosi dibiarkan terus – menerus begitu saja, maka akan menimbulkan adanya ketidakseimbangan lingkungan. Erosi yang terjadi pada lahan pertanian akan mengikis tanah subur yang berada pada bagian atas sehingga lahan tersebut akan berkurang kesuburannya. Akibat lebih jauh adalah menurunnya produktivitas tanah. Ada tiga macam pengamatan tentang erosi, yaitu: 1. Pengamatan Tingkat Makro Merupakan evaluasi umum untuk suatu wilayah yang luas meliputi suatu pulau atau wilayah nasional, dilakukan dengan peta skala 1 : 1.000.000 dan lebih kecil. Evaluasi ini didasarkan pada iklim dengan menggambarkan nilai erosivitas hujan tersebut berupa garis-garis isoeroden, dalam interval tertentu ditunjukkan daerah yang mempunyai potensi erosi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. 2. Pengamatan Tingkat Meso Merupakan evaluasi yang meliputi areal lebih sempit seperti DAS, Sub-DAS, propinsi, kabupaten atau kecamatan, dengan menggunakan peta dasar skala 1 : 20.000 – 1 : 50.000. Jadi evaluasi tingkat meso dapat berupa evaluasi semi detail sampai evaluasi tinjau. Faktor yang dianalisa adalah iklim, topografi dan tanah. Ada dua cara yang digunakan yaitu : a. Persamaan Prediksi seperti USLE dengan rumus A = R K LS C P b. Dengan sistem klasifikasi kemampuan lahan. 3. Pengamatan Tingkat Mikro Merupakan evaluasi yang meliputi satu bidang tanah. Evaluasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode prediksi erosi seperti USLE. Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi dipilihnya Kecamatan Jumapolo sebagai daerah penelitian, yaitu: 5 1. Kecamatan Jumapolo memiliki curah hujan tahunan sebesar 1.998,3 mm/tahun. Pada daerah tropis dengan rerata curah hujan lebih dari 1500 mm/tahun, seperti Kecamatan Jumapolo, maka air merupakan penyebab utama terjadinya erosi. Curah hujan dan aliran permukaan memegang peranan yang cukup penting dalam proses erosi, karena kedua unsur ini dapat merusak struktur tanah dan mengakibatkan penipisan tanah. Penipisan tanah akan terus berlangsung jika tidak segera dilakukan tindakan penanggulangan. Selain itu, sedimentasi atau pengendapan butir-butir tanah yang telah dihanyutkan atau terangkut oleh aliran permukaan akan terakumulasi pada tempat yang lebih rendah sehingga dapat mengakibatkan terjadinya pendangkalan pada badan perairan. Sedimentasi juga dapat mengakibatlan semakin sempitnya lebar sungai yang disebabkan karena pembentukan tanah baru, atau jika lumpur sedimentasi dihanyutkan terus-menerus maka pembentukan tanah baru akan terjadi di muara-muara sungai (Kartasapoetra, 2000:36). 2. Kecamatan Jumapolo memiliki relief yang bervariasi, dari lereng datar hingga sangat curam, berdasarkan Peta Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 semakin ke arah timur lerengnya akan semakin curam dengan perincian sebagai berikut: a. Lereng datar (0-8%) meliputi daerah Jatirejo, Lemahbang, Paseban, Kwangsan, Bakalan, dan Jumapolo. b. Lereng miring (8-15%) meliputi daerah Ploso dan Karangbangun. c. Lereng sangat miring (15-25%) terdapat di daerah Giriwondo. d. Lereng curam (25-45%) terdapat di Kedawung. e. Lereng sangat curam (>45%) meliputi daerah Kadipiro, Jumantoro, dan sebagian Giriwondo. 3. Penggunaan lahan di Kecamatan Jumapolo, khususnya pada lahan dengan kemiringan lereng lebih dari 25% yang digunakan sebagai tegalan semakin memperkuat dugaan bahwa di Kecamatan Jumapolo telah terjadi erosi. 6 Dalam rangka pengendalian laju erosi tanah di Kecamatan Jumapolo, sebelumnya perlu dilakukan pengukuran erosi tanah. Pengukuran besar erosi tanah dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan seperti pendekatan laboratorium, pendekatan lapangan, pendekatan gabungan, serta pendekatan permodelan. Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang paling sesuai digunakan untuk menghitung besarnya erosi pada berbagai tataguna lahan dalam waktu yang bersamaan adalah pendekatan permodelan yang dikenal dengan nama Universal Soill Loss Equation (USLE) atau Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT). USLE merupakan suatu model yang dirancang untuk memprediksi ratarata erosi jangka panjang dari erosi kulit dan erosi alur pada berbagai tataguna lahan dalam waktu bersamaan. Istilah universal atau umum ini menunjukan bahwa persamaan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan besarnya erosi untuk berbagai macam kondisi tataguna lahan dan kondisi iklim yang berbeda. Bertitik tolak dari pemikiran di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Perhitungan Besar Erosi Tanah dengan Pendekatan Universal Soil Loss Equation (USLE) di Kecamatan Jumapolo. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Berapa besar erosi tanah yang terjadi di Kecamatan Jumapolo? 2. Bagaimana tingkat bahaya erosi tanah di Kecamatan Jumapolo? C. Pembatasan Masalah Agar penelitian ini tidak terlalu luas dari permasalahan yang akan dibahas maka penelitian ini dibatasi pada besar dan tingkat bahaya erosi tanah yang terjadi di Kecamatan Jumapolo, Kabupaten Karanganyar. 7 D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui besar erosi tanah yang terjadi di Kecamatan Jumapolo. 2. Mengetahui tingkat bahaya erosi di Kecamatan Jumapolo. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan sumbangan dalam memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam pembelajaran geografi di sekolah khususnya pada kelas VIII semester I. untuk lebih jelasnya disajikan pada siilabus tabel 1 berikut. b. Memberikan sumbangan pemikiran kepada peneliti yang akan datang untuk mengadakan penelitian yang serupa. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan informasi tentang kondisi fisik daerah penelitian dan memberikan masukan tentang pengolahan dan pengelolaan tanah. b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam arahan konservasi tanah. F. Definisi Operasional 1. Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar permukaan planet bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawijaya, 1992: 2). 2. Erosi adalah suatu proses di mana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, atau gravitasi (Hardjowigeno, 1987: 128). 3. Prediksi Erosi adalah suatu metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang akan digunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu (Arsyad, 1989: 237). 4. Degradasi tanah adalah penurunan kualitas tanah dan produktivitas potensial dan atau pengurangan kemampuannya, baik secara alami atau karena pengaruh manusia (Dent, 1993 dalam Lanya, 1995: 7). 8 5. Erodibilitas tanah adalah kepekaan tanah terhadap daya penghancuran dan penghanyutan oleh air curahan hujan (Kartasapoetra, 2000: 56). 6. Erosivitas hujan adalah kekuatan/kemampuan potensial butir – butir air hujan dalam mengerosi tanah (Asdak, 1995: 455). 7. Tingkat Bahaya Erosi adalah perkiraan jumlah tanah hilang maksimum yang terjadi pada suatu lahan bila pengelolaan tanaman dan konservasi tidak mengalami perubahan (Mangunsukardjo, 1999 dalam Waluyaningsih 2008: 9). 9 TABEL 1 SILABUS 10 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tanah Darmawijaya (1992: 9), menyatakan bahwa tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar permukaan planet bumi, yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai akibat pengaruh iklim dan jasad hidup dalam keadaan relief tertentu selama jangka waktu tertentu pula. Di dalam pertanian, tanah diartikan lebih khusus yaitu sebagai media tumbuhnya tanaman darat. Tanah berasal dari hasil pelapukan batuan bercampur dengan sisa–sisa bahan organik dari organisme (vegetasi atau hewan) yang hidup di atasnya atau di dalamnya. Selain itu, di dalam tanah terdapat pula udara dan air (Hardjowigeno, 1987: 1). Menurut Hardjowigeno (1987: 4), tanah tersusun atas empat bahan utama, yaitu bahan mineral, bahan organik, air dan udara. Bahan–bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya berbeda untuk setiap jenis tanah ataupun setiap lapisan tanah. Tanah dalam bidang pertanian diartikan sebagai bagian atas dari kulit bumi untuk media pertumbuhan tanaman. Tanah sangat penting artinya bagi manusia. Tanah dan manusia mempunyai hubungan timbal balik, artinya tanah memberikan semua kebutuhan manusia, sebaliknya manusia bisa membuat agar tanah tetap produktif sepanjang masa. Kesuburan tanah perlu dijaga sehingga tanah tetap memberikan kehidupan bagi penghuninya. Tanah sangat diperlukan bagi semua orang karena merupakan sumber semua kebutuhan hidup manusia. Meskipun teknologi telah berkembang pesat, tetapi sektor pertanian tidak bisa diabaikan begitu saja. 2. Erosi Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, atau gravitasi (Hardjowigeno, 1987: 128). 11 Soil erosion may be a slow process that continues relatively unnoticed, or it may occur at an alarming rate causing serious loss of topsoil. The loss of soil from farmland may be reflected in reduced crop production potential, lower surface water quality and damaged drainage networks. (www.worldagroforestry.com) Di Indonesia erosi oleh air lebih penting. Pada proses ini terjadi tiga fase, yaitu : a. Pelepasan butir–butir tanah b. Pengangkutan atau transportasi butir–butir tanah oleh tenaga yang menyebabkan erosi. c. Pengendapan butir–butir tanah di lain tempat. Tererosinya lapisan olah tanah tidak memungkinkan lagi dilaksanakan pertanaman, di mana tanah tidak mampu lagi menahan air sehingga terjadi kering dan gersang, sedimentasi dapat menimbulkan kedangkalan sungai (Kartasapoetra, 2000: 47). Erosi dapat menimbulkan adanya ketidakseimbangan lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya erosi menurut (Arsyad 1989: 4) adalah : 1. Pada daerah di mana erosi itu terjadi, akan mengakibatkan : a. Menurunkan kesuburan lapisan tanah atas (top soil) yang kaya akan berbagai unsur hara dan bahan organik, dan hanya meninggalkan lapisan tanah bawah (sub soil) atau kadang tinggal bahan induk b. Mengganggu sifat fisika tanah yang disebabkan oleh tenaga erosif air hujan yang mengakibatkan menurunnya laju infiltrasi, permeabilitas tanah, dan aerasi tanah yang akan memperbesar aliran permukaan. c. Meningkatnya volume aliran permukaan akan mempercepat proses erosi dan memperberat tingkat erosi, sehingga dari erosi permukaan bisa menjadi erosi parit atau bahkan sampai menjadi longsor. d. Menurunkan produktivitas tanah pertanian serta berkurangnya luas lahan olah atau juga lebar jalan akibat adanya erosi jurang. 12 2. Pada daerah di luar terjadinya erosi (daerah sedimentasi), akan berakibat : a. Perubahan sifat–sifat hidrologi pada sungai karena peningkatan kecepatan aliran permukaan yang menyebabkan banjir di musim hujan dan sebaliknya akan kekeringan pada musim kemarau karena tanah tidak mampu menahan air akibat rusaknya sifat fisik tanah. b. Menurunkan kualitas air sungai karena semakin meningkatnya sedimentasi bahan–bahan akibat erosi di daerah atas, sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk keperluan rumah tangga atau juga menurunnya kehidupan organisme di dalam sungai. c. Menurunkan umur waduk akibat sedimentasi bahan yang berlebih, di samping juga pendangkalan pada aliran–aliran sungai yang akan menurunkan volume tampung air sehingga jika terjadi kelebihan aliran permukaan akan segera mengakibatkan banjir di sekitar daerah aliran sungai. 3. Bentuk–bentuk Erosi Bentuk erosi berdasarkan kenampakan lahan akibat erosi menurut Asdak (1995: 441) adalah : a. Erosi lembar (sheet erosion) yaitu pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah. b. Erosi alur (riil erosion), yaitu erosi yang terjadi karena air terkosentrasi dan mengalir pada tempat–tempat tertentu di permukaan tanah sehingga pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut. c. Erosi tebing sungai (stream bank erosion), yaitu erosi yang terjadi akibat pengikisan tebing yang terjadi oleh air yang mengalir dari bagian atas tebing atau oleh terjangan arus air yang kuat pada kelokan sungai. d. Erosi parit (gully erosion), yaitu proses terjadinya seperti alur, tetapi saluran– saluran yang terbentuk sudah sedemikian dalamnya sehingga tidak dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa. 13 4. Faktor–faktor Penyebab Erosi Arsyad (1989: 72), menyatakan bahwa erosi adalah akibat interaksi kerja antara faktor–faktor iklim, topografi, tumbuh–tumbuhan dan manusia terhadap tanah yang dinyatakan dalam persamaan berikut ini : E = f ( i,r,v,t,m, ) E adalah besarnya erosi yang merupakan fungsi dari faktor iklim (i), relief (r), vegetasi (v), tanah (t),dan manusia (m). Vegetasi, sebagian sifat–sifat tanah, dan faktor topografi panjang lereng merupakan faktor–faktor yang dapat diubah oleh manusia. Sedangkan iklim, kelerengan, dan tipe tanah merupakan faktor faktor yang tidak dapat diubah oleh manusia. Uraian faktor–faktor penyebab erosi tersebut adalah sebagai berikut : a. Iklim Salah satu unsur iklim yang mempengaruhi erosi adalah curah hujan/presipitasi. Sifat hujan yang terpenting pengaruhnya terhadap erosi adalah intensitas hujan. Jumlah hujan rata–rata yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila hujan tersebut terjadi merata, sedikit demi sedikit, sepanjang tahun. Sebaliknya curah hujan rata–rata tahunan yang rendah mungkin dapat menyebabkan erosi berat apabila hujan tersebut jatuh sangat deras meskipun hanya sekali (Hardjowigeno, 1987: 132). b. Relief Relief atau topografi merupakan faktor penting yang mempengaruhi besarnyan erosi. Unsur topografi tersebut meliputi kemiringan lereng, panjang lereng, konfigurasi, keseragaman dan arah lereng (Arsyad, 1989: 81). Menurut Hardjowigeno (1987: 136), erosi akan meningkat apabila lerengya semakin curam atau semakin panjang. Apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula. Lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar. 14 c. Vegetasi Vegetasi merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap besarnya erosi, yang sekaligus mudah diubah oleh manusia. Pada suatu vegetasi penutup tanah yang baik seperti rumput yang lebat akan menghilangkan pengaruh hujan dan topografi terhadap erosi (Arsyad, 1989: 84). Vegetasi memiliki sifat melindungi tanah dari timpaan–timpaan keras titik–titik curah hujan kepermukaannya, selain itu dapat memperbaiki susunan tanah dengan bantuan akar – akar yang menyebar (Kartasapoetra, 1991: 37). Vegetasi mampu mempengaruhi laju erosi karena : 1. Adanya intersepsi air hujan oleh tajuk daun 2. Adanya pengaruh terhadap limpasan permukaan 3. Adanya pengaruh terhadap sifat fisik tanah 4. Adanya peningkatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi Adanya tanaman menyebabkan air hujan yang jatuh tidak langsung memukul massa tanah, tetapi terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman. Selanjutnya tidak semua air hujan tersebut diteruskan ke permukaan tanah karena sebagian akan mengalami evaporasi. Kejadian ini akan mengurangi jumlah air yang sampai ke permukaan tanah yang disebut hujan lolos tajuk. d. Tanah Sifat–sifat tanah yang mempengaruhi kepekaan tanah terhadap erosi menurut Hardjowigeno (1987: 135) adalah tekstur tanah, bentuk dan kemantapan struktur tanah, daya infiltrasi atau permeabilitas tanah dan kandungan bahan organik. Kepekaan tanah terhadap erosi dikenal sebagai erodibilitas tanah yang merupakan pernyataan keseluruhan pengaruh sifat–sifat tanah dan bebas dari faktor–faktor penyebab erosi lainnya (Arsyad, 1989: 96). e. Manusia Manusia adalah kunci penentu untuk terjadinya erosi, terutama ditinjau dari perilakunya yang memperlakukan sumberdaya alam (tanah dan air) untuk memenuhi kebutuhannya, juga kemampuannya untuk mengatur keseimbangan faktor–faktor lainnya (Sutopo dan Jaka Suyana, 1999: 8 – 10). 15 5. Prediksi Erosi Metode yang umum digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi adalah metode Universal Soil Loss Equation (USLE) yang dikembangkan oleh Weschmeier dan Smith. USLE memungkinkan pendugaan laju rata–rata erosi suatu lahan tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (konservasi tanah) yang mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan (Arsyad, 1989: 248). USLE adalah suatu model erosi yang dirancang untuk memprediksi ratarata erosi jangka panjang dari erosi lembar atau alur pada keadaan tertentu. Menurut Arsyad (1989: 237), prediksi erosi merupakan metode untuk memperkirakan laju erosi yang akan terjadi dari tanah yang akan digunakan dalam penggunaan lahan dan pengelolaan tertentu. Jika laju erosi masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan sudah ditetapkan maka dapat ditentukan kebijakan penggunaan lahan dan tindakan konservasi tanah yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah sehingga tanah dapat dipergunakan secara lestari. Menurut Wischmeier dan Smith dalam Hardjowigeno (1987: 138), untuk memperkirakan besarnya erosi yaitu menggunakan rumus sebagai berikut : A = R.K.L.S.C.P A = Banyaknya kehilangan tanah per satuan luas lahan. Besarnya kehilanagan tanah atau erosi dalam hal ini hanya terbatas pada erosi kulit dan erosi alur. Tidak termasuk erosi yang berasal dari tebing sungai dan juga tidak termasuk sedimen yang terendapkan di bawah lahan-lahan dengan kemiringan besar. (ton/ha/th). R = Faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu. Faktor R juga merupakan angka indeks yang menunjukkan besarnya tenaga curah hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi. K = Faktor erodibilitas tanah untuk horison tanah tertentu, dan merupakan kehilangan tanah per satuan luas untuk indeks erosivitas tertentu. Faktor 16 K adalah indeks erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkan mudah tidaknya partikel-partikel tanah terkelupas dari agreget tanah oleh gempuran air hujan atau air larian. L = Faktor panjang lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilagan tanah untuk panjang lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72,6 ft. S = Faktor gradien (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk tingkat kemiringan lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk kemiringan lereng 9%. C = Faktor (pengelolaan) cara bercocok tanam yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi cara bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya kehilangan tanah pada keadaan tilled continouos fallow. P = Faktor praktik konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi usaha konservasi tanah ideal (misalnya, teknik penanaman sejajar garis kontur, penanaman dalam teras, penanaman dalam larikan) dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus terhadap garis kontur. Besarnya erosi yang terjadi pada suatu wilayah adalah dengan memperkirakan jumlah kehilangan tanah maksimum yang akan terjadi pada sebidang lahan dengan catatan apabila pengelolaan tanaman dan konservasi tanah tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu yang panjang. Dari persamaan tersebut di atas maka besarnya laju erosi diperoleh dari perhitungan faktor – faktor berikut : a. Erosivitas Hujan (R) Indeks erosivitas hujan (R) merupakan nilai yang menggambarkan kemampuan potensial tetesan air hujan untuk mengerosi tanah. Faktor–faktor erosivitas hujan diangkat dari rumus Bols (1978), yaitu jumlah satuan indeks erosi 17 hujan yang merupakan perkalian energi kinetik hujan (E/KE) dengan intensitas hujan maksimun 30 menit (I30). Persamaan EI30 ini dapat digunakan jika tersedia data hujan yang diperoleh dari pencatat hujan otomatis yang mencatat data waktu dan jumlah hujan. Data hujan yang diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Fakultas Pertanian UNS hanya diketahui jumlah hujan sehingga persamaan EI30 tidak dapat dipergunakan dan untuk menghitung besar erosivitas digunakan persamaan Soemarwoto (2007: 200) berikut ini : R = 0,41 x H 1,09 R = Besar Erosivitas H = Rata – rata curah hujan tahunan (mm/th) b. Erodibilitas Tanah (K) Soil erodibility is an estimate of the ability of soils to resist erosion, based on the physical characteristics of each soil. Generally, soils with faster infiltration rates, higher levels of organic matter and improved soil structure have a greater resistance to erosion. Sand, sandy loam and loam textured soils tend to be less erodible than silt, very fine sand, and certain Rainfall Intensity and Runoff. (http://www.mapok.or.id/juornal/erosion/soil-erosion.htm) Indeks erodibilitas tanah (K) merupakan nilai yang menunjukkan mudah tidaknya tanah tererosi, atau laju erosi per indeks erosi hujan (R) untuk suatu tanah yang didapat dari peta percobaan yang panjangnya 22,13 meter (72,6 kaki) terletak pada lahan dengan kemiringan 9 % tanpa tanaman, dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut : 100K = 1,292{2,1M1,14(10-4) (12 - a ) + 3,25 (b-2) + 2,5 (c-3) Keterangan : K = Erodibilitas tanah M = (% debu dan pasir sangat halus) x (100 - % liat) a = Persentase bahan organik b = Kode struktur tanah 18 c = Kelas permeabilitas tanah c. Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) Faktor LS merupakan kombinasi antara faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) atau nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari plot lahan. Panjang dan kemiringan lereng merupakan dua unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi (Arsyad, 1989:81). Nilai LS diperoleh dengan rumus (Schwab et.al., 1981dalam Wardhana, 2005:14) LS = X0,5 (0,0138 + 0,00965 s + 0,00138 s2) Keterangan : X = Panjang lereng (m) s = Kemiringan lereng (%) d. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Faktor pengelolaan tanaman merupakan gabungan antara jenis tanaman, pengelolaan sisa–sisa tanaman, tingkat kesuburan dan waktu pengelolaan tanah. Faktor C menggambarkan nisbah antara besarnya erosi dari lahan yang bertanaman tertentu dan dengan manajemen (pengelolaan) tertentu terhadap besarnya erosi tanah yang tidak ditanami dan diolah bersih. Nilai C dipengaruhi oleh banyak variabel. Menurut (Suripin, 2004: 77) variabel yang berpengaruh dapat dikelompokkan menjadi dua grup, yaitu: 1. Variabel alami. Variabel alami terutama adalah iklim dan fase pertumbuhan. Efektivitas tanaman dalam mencegah erosi tergantung pada tinggi dan kontinuitas kanopi, kerapatan penutupan lahan, dan kerapatan perakaran 2. Variabel yang dipengaruhi oleh sistem pengelolaan,yaitu tajuk tanaman, mulsa sisa-sisa tanaman, sisa-sisa tanaman yang dibenamkan ke dalam tanah, pengelolaan tanah, pengaruh residual pengelolaan tanah, dan interaksi antara variabel-variabel tersebut. Nilai faktor C dapat dilihat pada Tabel 2. 19 TABEL 2 NILAI C 20 e. Faktor Pengolahan Tanah (P) Faktor pengolahan tanah merupakan bentuk usaha manusia untuk membatasi semaksimum mungkin pengaruh erosi terhadap lahan. Nilai faktor P untuk berbagai tindakan konservasi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Faktor P untuk Berbagai Tindakan Konservasi Tanah Khusus. No. 1 Tindakan Konservasi Tanah Nilai P Terras bangku 1) - konstruksi baik 0.04 - konstruksi sedang 0.15 - konstruksi kurang baik 0.35 - terras tradisional 0.40 2 Strip tanaman rumput Bahia 0.40 3 Pengolahan tanah dan penanaman menurut garis kontur 4 - kemiringan 0-8% 0.50 - kemiringan 9-20% 0.75 - kemiringan lebih dari 20% 0.90 Tanpa tindakan konservasi 1.00 Sumber : Arsyad, 1989 : 259 Keterangan : 1) konstruksi terras bangku dinilai dari kerataan dasar terras dan keadaan talud terras. 6. Satuan Lahan Penelitian mengenai lahan biasanya menggunakan satuan analisis dan satuan pemetaan berupa satuan lahan. Menurut FAO, (1997) dalam R.A. van Zuidam and F.I. van Zuidam-Concelado (1979), satuan lahan adalah satuan bentang alam yang digambarkan serta dipetakan atas dasar sifat fisik atau karakteristik lahan tertentu. Satuan lahan merupakan satuan wilayah yang memiliki kesamaan bentuklahan dan timbulan, bahan induk dan penggunaan lahan atau penutup lahan pada saat sekarang. Satuan lahan dapat dibuat dari hasil tumpangsusun peta geologi, peta tanah, peta lereng dan peta penggunaan lahan. Dengan demikian satuan lahan 21 mencerminkan adanya pengaruh sifat batuan, tanah, relief dan lereng serta penggunaan lahan pada suatu wilayah. 7. Analisis Tingkat Bahaya Erosi Tingkat bahaya erosi adalah keadaan yang memungkinkan erosi yanah akan segera terjadi dalam waktu dekat. Tingkat bahaya erosi dapat diketahui dengan cara menentukan kelas besar erosi terlebih dahulu. Setelah kelas besar erosi pada tiap–tiap satuan lahan diketahui, maka data tersebut digunakan untuk mengklasifikasi tingkat bahaya erosi yang terjadi pada setiap satuan lahan dengan menggunakan pertimbangan berupa kedalaman tanah efektif. Tingkat bahaya erosi dibagi menjadi 5 kelas, yaitu : a. Sangat Ringan (SR) b. Ringan (R) c. Sedang (S) d. Berat (B) e. Sangat Berat (SB) Kriteria tingkat bahaya erosi untuk masing–masing kelas dapat dilihat pada Tabel 4. berikut ini. Tabel 4. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi No. 1. Erosi Kedalaman Tanah Efektif Klas Bahaya Erosi (ton/ha/th) I(<15) II(15-60) III(60-180) IV(180-480) V (>480) (cm) 2. Dalam (>90) SR R S B SB 3. Sedang (60-90) R S B SB SB 4. Dangkal (30-60) S B SB SB SB 5. Sangat Dangkal (<30) B SB SB SB SB Sumber : Utomo, 1994:59 Keterangan: SR = Sangat Ringan B = Berat R = Ringan SB = Sangat Berat S = Sedang 22 B. Hasil Penelitian yang Relevan Wisnu Hermawan (2003) melakukan penelitian Kajian Erosi dan Kualitas Air Limpasan pada Berbagai Macam Kelompok Umur Tanaman Jati (Studi Kasus di RPH Ngawean, Cabak BKPH Pasar Sore KPH Cepu). Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui besarnya erosi yang terjadi pada tiap kelompok umur (KU) tanaman jati serta untuk mengetahui kualitas air limpasan pada setiap kelompok umur tanaman jati. Pengukuran erosi dilakukan dengan menggunakan debit aliran dan sampel sedimen yang keluar melalui outlet dalam daerah tangkapan kecil. Analisis dilakukan secara deskriptif pada berbagai macam kelompok umur tanaman jati. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan sedimen yang cukup besar pada setiap kelompok umur (KU), kecuali KU VII dan KU VIII yang berarti bahwa semakin tua umur tanaman jati, erosi yang terjadi semakin kecil. Kualitas air limpasan pada setiap KU masih berada dalam batas yang normal atau layak untuk dikonsumsi. Supriyadi dan Sutarno (1996) melakukan penelitian Analisis Tingkat Erosi Daerah Sambirejo, Kabupaten Sragen. Tujuan penelitian tersebut adalah mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi erosi dan menghitung jumlah kehilangan tanah maksimum. Untuk menghitung jumlah kehilangan tanah maksimum menggunakan metode USLE. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa daerah penelitian yang meliputi luas 4.776 ha tersebut telah terjadi erosi sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi erosi pada penelitian tersebut adalah pengelolaan tanaman dan faktor lereng. Noorhadi (1997) melakukan penelitian Kajian Erosi Permukaan di Sub Daerah Aliran Sungai Wuryantoro. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk menduga tingkat erosi permukaan, menduga faktor-faktor erosi yang paling besar pengaruhnya terhadap erosi permukaan di daerah penelitian, dan mengevaluasi tingkat erosi permukaan dalam kaitannya dengan usaha konservasi. Penentuan besar erosi yang terjadi dengan menggunakan rumus USLE. 23 Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tingkat erosi permukaan yang tertinggi terjadi pada lahan tegalan dan erosi terendah terjadi pada lahan hutan. Faktor erosi yang paling besar pengaruhnya adalah faktor lereng, dan tindakan konservasi yang dilakukan adalah penanaman tanaman penutup tanah rendah dengan kerapatan sedang dan penanaman menurut kontur. Hanani Retno Kusmintarsih (2005) melakukan penelitian Besar Erosi Aktual di Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengetahui besar erosi aktual di Kecamatan Teras dengan menggunakan rumus USLE. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa terdapat lima kelas bahaya erosi di Kecamatan Teras,yaitu sangat ringan, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. 24 TABEL 5 PENELITIAN YG RELEVAN 25 C. Kerangka Pemikiran Kehidupan manusia tidak lepas dari alam. Dalam interaksinya, manusia dapat mempengaruhi alam, tetapi sebaliknya alam dapat mempengaruhi manusia. Adanya interaksi antara manusia dengan alamnya ini karena manusia berusaha untuk memenuhi segala kebutuhannya. Tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, sedangkan kebutuhan akan tanah selalu meningkat dari waktu ke waktu. Oleh sebab itu, apabila manusia tidak dapat mempertahankan kualitas tanah tersebut atau bahkan cenderung merusak akan berakibat pada menurunnya daya dukung tanah. Erosi merupakan salah satu jenis evaluasi lahan yang dapat ditentukan dengan cara pengharkatan faktor–faktor penentu bahaya erosi. Faktor penentu bahaya erosi adalah erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang dan kemiringan lereng, vegetasi, pengelolaan tanaman, dan praktik konservasi tanah. Untuk memperoleh data kualitas/karakteristik tanah dan faktor lingkungan fisik sekeliling terlebih dahulu dilakukan pembagian daerah survei ke dalam satuan pemetaan. Satuan analisis yang digunakan adalah satuan lahan yang dibuat dengan cara overlay (tumpangsusun) dari peta lereng, peta geologi, peta penggunaan lahan, dan peta tanah. Pengumpulan data dilakukan pada setiap satuan lahan yang diwakili paling sedikit satu sampel pengamatan atau pengukuran di lapangan. Setelah diketahui besarnya nilai erosivitas, erodibilitas, panjang dan kemiringan lereng, serta indeks pengelolaan tanaman dan indeks konservasi tanah yang dilakukan di tiap–tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo, maka dapat dihitung besar erosi tanah di Kecamatan Jumapolo yang dihitung dengan metode USLE. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) di daerah penelitian ditentukan berdasarkan kombinasi besar erosi dengan kedalaman tanah. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka informasi mengenai Tingkat Bahaya Erosi disajikan dalam bentuk peta. Untuk lebih jelasnya kerangka berpikir dari penelitian ini disajikan pada Gambar 1 berikut. 26 Erosivitas Hujan Erodibilitas Tanah Pengolahan Tanah Topografi Panjang Lereng Kemiringan Lereng Pengelolaan tanaman R K LS C Besar erosi Klas Besar Erosi Tingkat Bahaya Erosi Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Konservasi P 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar. Pemilihan tempat penelitian ini didasarkan pada pertimbangan faktor curah hujan, variasi kemiringan lereng, dan praktik pengelolaan tanaman di daerah penelitian yang diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya proses erosi. 2. Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua belas bulan, yaitu dari Bulan Desember 2008 dan selesai pada Bulan Desember 2009, terhitung dari penyusunan proposal, pengumpulan data, analisis data sampai penulisan laporan. Waktu pelaksanaan penelitian disajikan pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Alokasi Waktu Penelitian. No. Kegiatan 1. Penulisan Proposal 2. Pengumpulan Data 3. Analisis Data 4. Penulisan Laporan Waktu Desember 08- Februari 09- Mei 09-Juli Agustus 09- Januari 09 April 09 09 Desember 09 xxxxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxx xxxxxxxxxx xxxxxxxxxxxx B. Metode Penelitian Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif eksploratif melalui survei lapang, sedangkan untuk mengetahui nilai erosi pada masing–masing satuan lahan di daerah penelitian dilakukan dengan pengambilan sampel tanah, titik sampel ditentukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan pertimbangan tertentu. 28 Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, pengambilan data dilakukan dengan metode survei. Metode survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data berupa variabel, unit atau individu dalam waktu bersamaan (Tika, 1996: 9). Di dalam metode survei ini untuk memperoleh data lapangan dilakukan melalui pengamatan, pengukuran dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala yang terjadi pada objek penelitian. Objek penelitian yang dimaksud di sini adalah satuan lahan yang dijadikan sampel atau titik pengamatan dengan batas wilayah berupa wilayah administratif. Seperti halnya suatu Daerah Aliran Sungai (DAS), Kecamatan Jumapolo juga memiliki karakteristik lahan yang bertindak sebagai faktor-faktor penyebab terjadinya erosi yang dapat diteliti dan diukur untuk menentukan besar erosi dan tingkat bahaya erosi. Selain itu, pada pengamatan erosi tingkat meso, pengamatan tentang erosi tidak hanya diperuntukkan bagi Daerah Aliran Sungai (DAS) saja, tetapi juga untuk wilayah kecamatan. Satuan analisis yang digunakan adalah satuan lahan yang dibuat dengan cara overlay (tumpangsusun) dari peta lereng, peta geologi, peta penggunaan lahan, dan peta tanah. Peta geologi diperoleh dari Peta Geologi Bersistem Indonesia lembar Ponorogo, Surakarta dan Giritontro skala 1 : 100.000 Tahun 1992 yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung dengan perbesaran skala tanpa penambahan informasi yang disebabkan oleh keterbatasan tenaga dan biaya. Hal yang sama juga dilakukan untuk peta tanah. C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian (Arikunto, 1993: 102). Dalam setiap penelitian populasi yang dipilih erat hubungannya dengan masalah yang akan dikaji. Sejalan dengan dasar pemikiran tersebut, maka yang dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah lahan, dalam hal ini adalah seluruh wilayah yang ada di Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar seluas 5.567, 021 Ha. 29 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1993: 104). Dalam suatu penelitian, sampel yang diambil harus benar–benar representatif atau dapat mewakili seluruh populasi yang ada. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah satuan lahan yang memiliki karakteristik yang berlainan dan diambil berdasarkan pertimbangan aksesibilitas (tingkat keterjangkauan/kemudahan). Sampel yang diambil sebanyak 39 sampel. Lokasi pengambilan sampel disajikan pada Peta Sampel skala 1 : 80.000. D. Sumber Data 1.Data Primer Data primer merupakan data yang dapat diperoleh secara langsung di lapangan dan di laboratorium. Data ini meliputi : a. Struktur tanah, permeabilitas tanah, kandungan bahan organik, kandungan pasir, dan kandungan debu dan pasir sangat halus untuk menentukan erodibilitas tanah diperoleh dari analisis kimia dan fisika tanah di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian UNS ; b. Panjang dan kemiringan lereng erosi diperoleh dari pengukuran langsung di lapangan; c. Kedalaman tanah yang diperoleh secara langsung di lapangan; d. Penutup lahan dan tindakan konservasi yang diperoleh dengan pengamatan langsung di lapangan. 2. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari catatan atau arsip yang telah dikumpulkan oleh instansi–instansi yang ada hubungannya dengan persoalan atau masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini meliputi : a. Letak dan luas daerah penelitian yang diperoleh dari Peta RBI Lembar Tawangmangu dan Jumantono. 30 b. Data curah hujan daerah penelitian yang diperoleh dari stasiun klimatologi Jumantono. c. Data tanah yang diperoleh dari Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Tengah tahun 2001 yang dibuat oleh Lembaga Penelitian Tanah dan diperoleh dari Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanian UNS. d. Data jenis batuan yang diperoleh dari peta geologi skala 1 : 100.000 E. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang dugunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah teknik observasi lapangan dan dokumentasi. 1. Observasi Lapangan Observasi lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian, selain itu juga merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat dan dipikirkan dalam angka pengumpulan data (Moleong. 1990: 135). Observasi lapangan ini dilakukan dengan cara meneliti langsung di lapangan untuk memperoleh data struktur tanah, panjang lereng erosi, kemiringan lereng erosi, pengelolaan tanaman dan tindakan konservasi serta pengukuran kedalaman tanah yang akan digunakan untuk menghitung besarnya erosi. 2. Dokumentasi Menurut Moleong (1990: 16), dokumentasi adalah bahan tertulis atau film. Dokumentasi digunakan karena merupakan sumber yang stabil, kaya dan mendorong, berguna untuk menguji suatu pengujian. Data yang diperoleh dengan teknik dokumentasi dalam penelitian ini meliputi data tentang letak dan luas daerah penelitian yang diperoleh dari kantor Kecamatan Jumapolo. Peta tanah diperoleh dari Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Tengah tahun 2001 dan data curah hujan diperoleh dari data klimatologi Fakultas Pertanian UNS. 31 PETA SAMPEL 32 F. Teknik Analisis Data 1. Besar Erosi Besar erosi yang terjadi di Kecamatan Jumapolo diketahui dengan cara menghitung besarnya faktor-faktor penyebab erosi terlebih dahulu, yang meliputi: a. Faktor Erosivitas Hujan (R) Erosivitas adalah kemampuan butir-butir hujan mengerosi tanah. Erosivitas dalam penelitian ini dihitung berdasarkan persamaan berikut ini: R = 0,41 x H1,09 Keterangan: R = Besar Erosivitas H = Rata-rata Curah Hujan Bulanan (mm/th) b. Faktor Erodibilitas Tanah (K) Erodibilitas tanah (K) menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah tersebut oleh adanya energi kinetik air hujan (Asdak, 1995: 458). Partikel penyusun tanah yang digunakan untuk menghitung erodibilitas tanah adalah pasir, debu, dan lempung, sedangkan karakteristik tanah yang digunakan untuk menghitung erodibilitas tanah adalah permeabilitas, kandungan bahan organik, dan struktur tanah. Nilai erodibilitas tanah pada penelitian ini dihitung berdasarkan persamaan yang telah dikemukakan pada Sub Bab II. A. 5. b di muka. c. Faktor Panjang (L) dan Kemiringan Lereng (S) Faktor LS merupakan gabungan antara faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) atau nisbah besarnya erosi dari suatu lereng dengan panjang dan kemiringan tertentu terhadap besarnya erosi dari plot lahan. Nilai LS pada penelitian ini dihitung dengan persamaan LS = X0,5 (0,0138 + 0,00965 s + 0,00138 s2) Keterangan: X = panjang lereng (m) s = kemiringan lereng (%) 33 d. Faktor Pengelolaan Tanaman (C) Faktor C menunjukkan keseluruhan pengaruh dari vegetasi, seresah, kondisi permukaan tanah dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang hilang (erosi). Nilai faktor C untuk berbagai tanaman dan pengelolaan tanaman ditentukan dengan menggunakan Tabel 1. pada Sub Bab II. A. 5. d. di muka. Faktor C dinilai berdasarkan tanaman yang paling dominant. Hal ini dikarenakan rumus USLE hanya diperuntukkan untuk sebidang lahan pertanian dengan tanaman tunggal. e. Faktor Konservasi Tanah (P) Faktor P adalah nisbah antara tanah tererosi rata-rata dari lahan yang mendapat perlakuan konservasi tertentu terhadap tanah tererosi rata-rata dari lahan yang diolah tanpa tindakan konservasi, dengan catatan penyebab erosi yang lain diasumsikan tidak berubah. Nilai faktor P diketahui dengan menggunakan Tabel 2. Sub Bab II. A. 5. e. di muka. Setelah nilai masing-masing faktor penyebab erosi diketahui, maka besar erosi yang terjadi di daerah penelitian dihitung dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau Universal Soil Loss Equation (USLE) berikut ini: A = R K LS C P Keterangan : A : Besar erosi tanah rata–rata (ton/ha/th) R : Indeks erosivitas hujan K : Indeks erobilitas tanah L : Indeks panjang lereng S : Indeks kemiringan lereng C : Indeks pengelolaan tanaman P : Indeks pengelolaan tanah Kelas Besar erosi permukaan dalam penelitian ini diketahui berdasarkan klasifikasi tingkat besar erosi permukaan pada Tabel 7 berikut ini. 34 Tabel 7. Klasifikasi Tingkat Besar Erosi Permukaan No. Klasifikasi Tingkat Besar Erosi Laju Erosi (ton/ha/th) 1. Sangat Ringan (SR) <15 2. Ringan (R) 15 – <60 3. Sedang (S) 60 – <180 4. Berat (B) 180 – <480 5. Sangat Berat (SB) ≥480 Sumber : Anonim, 1994 (dalam Wardhana, 2005 : 26) 2. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Setelah diketahui kelas besar erosi pada masing-masing satuan lahan, maka klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) pada setiap satuan lahan dapat ditentukan dengan menggunakan pertimbangan berupa kedalaman tanah, seperti yang disajikan pada Tabel 3. di muka. Metode USLE adalah metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan besarnya erosi. Metode tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan besarnya erosi pada berbagai macam kondisi tataguna tanah dan kondisi iklim yang berbeda. Menurut Asdak (1995:476) dalam metode ini terdapat beberapa keterbatasan, di antaranya sebagai berikut : 1. Metode USLE dirancang untuk memperkirakan besarnya kehilangan tanah rata – rata tahunan, jadi apabila musim hujan lebih tinggi dari biasanya maka akan terjadi penaksiran kurang (sedimen yang terjadi lebih banyak dari yang diperkirakan). 2. USLE hanya memperkirakan besarnya kehilangan tanah erosi kulit dan erosi alur, dan tidak ditujukan untuk menghitung erosi parit. 3. USLE hanya memperkirakan besarnya tanah yang tererosi tanpa mempertimbangkan deposisi sedimen dalam perhitungan besarnya prakiraan erosi. 35 G. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian adalah urut–urutan atau tahap–tahap yang harus dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tahap Persiapan, yang meliputi kegiatan studi pustaka, orientasi lapangan, dan studi peta. 2. Penyusunan Proposal Proposal merupakan rancangan penelitian yang berisi tentang latar belakang masalah dan alasan penelitian, kajian pustaka, pemilihan tempat penelitian, rancangan pengumpulan data. 3. Penyusunan Instrumen penelitian 4. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan untuk menghitung besar erosi tanah. 5. Analisis Data Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga ditemukan tema. Data dari hasil penelitian dan analisis laboratorium disusun dalam bentuk tabel untuk mempermudah analisis data, kemudian dimasukkan ke dalam rumus untuk menghitung besarnya erosi. 6. Penulisan laporan Penulisan laporan merupakan tahap akhir penelitian yang melibatkan keseluruhan tahapan atau urut–urutan dalam penelitian. 36 Peta Geologi skala 1: 80000 Peta Tanah skala 1: 80000 Peta Kemiringan Lereng skala 1: 80000 Peta Penggunaan Lahan skala 1: 80000 Peta Satuan Lahan Tentatif skala 1: 80000 Chek Lapangan Peta Satuan Lahan skala 1: 80000 Penentuan Titik Sampel Pengumpulan Data Data primer : 1. Struktur tanah, 2. Permeabilitas tanah, 3. Kandungan bahan organik, 4. Kandungan pasir, 5. Kandungan debu dan pasir sangat halus. 6. Kemiringan dan panjang lereng 7. Penggunaan tanah Data sekunder : 1. Data curah hujan, 2. Data ordo tanah, 3. Data jenis batuan, 4. Letak dan luas daerah penelitian. Analisis Data Kedalaman Tanah Besar Erosi Tanah Tingkat Bahaya Erosi Peta Tingkat Bahaya Erosi Kec. Jumapolo skala 1:80000 Gambar 2. Diagram Alur Penelitian 37 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kondisi Daerah Penelitian 1. Letak dan Luas Daerah penelitian terletak di Kecamatan Jumapolo Kabupaten Karanganyar. Jarak dari ibukota Kabupaten Karanganyar 18 km arah tenggara, dengan luas daerah mencapai 5567, 021 Ha yang terdiri dari 12 desa. Secara geografis Kecamatan Jumapolo terletak pada 0493500 – 0507600 mT dan 9151000 – 9144100 mU. Batas–batas Kecamatan Jumapolo adalah sebagai berikut : a. Sebelah Utara : Kecamatan Jumantono b. Sebelah Selatan : Kecamatan Jatipuro c. Sebelah Barat : Kecamatan Bendosari Kabupaten Sukoharjo d. Sebelah Timur : Kecamatan Jatiyoso Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Peta Administrasi Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000. 2. Iklim Iklim merupakan gabungan dari berbagai kondisi cuaca sehari–hari atau dikatakan iklim adalah rata–rata cuaca dalam periode waktu yang panjang (Wisnubroto, 1983: 68). Untuk mengetahui klasifikasi iklim suatu daerah, perlu diketahui data curah hujan di daerah penelitian tersebut. Untuk mengetahui tipe curah hujan dapat ditentukan dengan mendasarkan pada nilai Q (Quotient), yaitu perbandingan rata– rata bulan kering dengan rata– rata bulan basah dikalikan 100%. Untuk menentukan bulan kering, bulan lembab, dan bulan basah digunakan kriteria sebagai berikut : a. Bulan Kering, bila curah hujan dalam satu bulan kurang dari 60 mm, b. Bulan Lembab, bila curah hujan dalam satu bulan berkisar antar 60 mm - 100 mm, c. Bulan Basah, bila curah hujan dalam satu bulan lebih dari 100 mm. 38 PETA ADMINISTRASI 39 Berdasarkan nilai Q, maka dapat ditentukan tipe curah hujan, yang disajikan pada Tabel 8. di bawah ini. Tabel 8. Tipe Curah Hujan di Indonesia Menurut Schmidt dan Ferguson. No. Nilai Q ( % ) Tipe Curah Hujan Keterangan 1. 0 ≤ Q <14,3 A Sangat Basah 2. 14,3 ≤ Q < 33,3 B Basah 3. 33,3 ≤ Q <60,0 C Agak Basah 4. 60,0 ≤ Q < 100,0 D Sedang 5. 100,0 ≤ Q < 167,0 E Agak Kering 6. 167,0 ≤ Q < 300,0 F Kering 7. 300,0 ≤ Q < 700,0 G Sangat kering 8. 700,0 ≤ Q H Luar Biasa Kering Sumber : Daljoeni, 1983 : 143 Data curah hujan di daerah penelitian diperoleh dari Puslitbang Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Data curah hujan diambil 10 tahun yaitu mulai tahun 1997 sampai dengan 2006. Data Curah Hujan di Kecamatan Jumapolo selama 10 tahun (1997 - 2006) dapat dilihat dalam Tabel 9. berikut ini. Tabel 9. Curah Hujan di Kecamatan Jumapolo Tahun 1997 – 2006. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Jumlah Bulan Kering Bulan Lembab Bulan Basah 1997 278 432 75 192 155 0 0 0 0 23 130 283 1568 5 1 6 1998 214 460 570 205 175 372 339 4 47 201 201 353 3141 2 0 10 1999 322 406 264 113 51 74 3 11 0 149 250 400 2043 3 0 9 2000 231 389 536 415 96 28 0 50 51 324 186 99 2405 4 2 6 2001 369 278 492 248 66 80 88 0 42 311 228 102 2304 1 4 7 2002 339 331 226 126 104 0 0 6 0 49 114 390 1685 5 0 7 2003 356 349 271 62 22 12 0 0 0 102 269 226 1669 5 1 6 2004 262 284 225 84 25 2 47 0 0 27 248 436 1640 6 1 5 2005 281 306 223 96 16 62 0 0 31 143 235 384 1777 4 2 6 2006 306 293 258 118 32 37 0 0 0 113 253 341 1751 5 0 7 40 Dari data tersebut diperoleh rata–rata bulan kering sebesar 4,1 dan rata– rata bulan basah sebesar 6,9. Maka besarnya nilai Q adalah : Rata–rata Bulan Kering (BK) Q= x 100 % Rata–rata Bulan Basah (BB) 4,1 Q= x 100 % 6,9 Q = 59,42 % Berdasarkan hasil yang telah diperoleh dan dengan melihat tabel nilai Q, maka Kecamatan Jumapolo memiliki tipe curah hujan C (Agak Basah). Grafik Curah Hujan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Diagram Tipe Iklim Kec. Jumapolo menurut Schmidt dan Ferguson 41 3. Tanah Tanah adalah akumulasi tubuh alam bebas yang menduduki sebagian besar planet bumi yang mampu menumbuhkan tanaman dan memiliki sifat sebagai pengaruh iklim dan jasad hidup yang bertindak terhadap bahan induk dalam keadaan relatif tertentu selama jangka waktu tertentu pula (Darmawijaya, 1992: 9). Menurut pengertian tersebut iklim, jasad hidup, bahan induk, relief atau topografi, dan waktu memiliki pengaruh terhadap pembentukan tanah. Faktor iklim yaitu curah hujan dan suhu sangat dominan pengaruhnya terhadap pembentukan tanah. Semakin tinggi curah hujan dan suhu maka pelapukan akan berlangsung intensif. Faktor topografi meliputi kemiringan lereng terhadap sinar matahari akan mempengaruhi kecepatan pelapukan dan proses perkembangan tanah. Faktor organisme yaitu manusia, vegetasi dan mikrobiologi di dalam tanah. Manusia dapat mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung misalnya pengolahan tanah, mempercepat pelapukan batuan dan perkembangan tanah. Sedangkan pengaruh tidak langsung seperti pemupukan dengan kotoran hewan, daun – daun dan penebangan hutan. Faktor waktu berperan dalam pelapukan dan pembentukan tanah maka semakin lama waktu maka semakin tebal tanah yang terbentuk. Berdasarkan Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 yang disalin dari Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 yang diperoleh dari Fakultas Pertanian UNS, di daerah penelitian dijumpai 3 ordo tanah, yaitu : 1. Alfisol Tanah Alfisol merupakan tanah di mana terdapat penimbunan liat di horison bawah (horison argilik) dan mempunyai kejenuhan basa tinggi yaitu lebih dari 35 % pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah. Liat yang tertimbun di horison bawah ini berasal dari horison di atasnya dan tercuci ke bawah bersama dengan gerakan air. Tanah Alfisol banyak tersebar di Desa Kwangsan, Bakalan, Ploso, dan Kedawung. 42 2. Oxisol Merupakan tanah tua sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit. Kandungan liat tinggi tetapi tidak aktif sehingga kapasitas tukar kation rendah (kurang dari 16 me/100 gram liat). Banyak mengandung oksida–oksida besi atau oksida Al. di lapang tanah ini menunjukkan batas–batas horison yang tidak jelas. Tanah Oxisol banyak terdapat di Desa Jumapolo, Karangbangun, Jumantoro dan Kadipiro. 3. Inceptisol Merupakan tanah muda tetapi lebih berkembang daripada Entisol (inceptium permulaan). Umumnya mempunyai horison (bawah) kambik (bertekstur pasir sangat halus, atau lebih halus, ada petunjuk-petunjuk lemah sebagai horison argilik atau spodik tetapi belum memenuhi syarat untuk kedua horison tersebut). Karena tanah belum berkembang lanjut, kebanyakan tanah ini cukup subur. Tanah Inceptisol tersebar di Desa Jatirejo, Paseban, Kedawung, Giriwondo, dan Ploso. 4. Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan (Land Use) adalah setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989: 207). Penggunaan lahan dibedakan atas dua kelompok besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Sandy (1989: 87) menyatakan klasifikasi penggunaan lahan pada skala 1 : 100.000 dan 1 : 50.000 sebagai berikut: a. Pemukiman Pemukiman adalah kelompok bangunan tempat tinggal penduduk yang dimaksudkan untuk dimukimi menetap. b. Persawahan Persawahan adalah areal pertanian tanah basah atau sering digenangi air. Fisiknya di Indonesia dikenal sebagai tanah sawah, serta periodik atau terus– menerus ditanami padi. Termasuk dalam hal ini sawah–sawah yang ditanami tebu, tembakau, rosela, dan sayur–sayuran. Persawahan ini meliputi : 1. Sawah 2x padi setahun dan lebih, 43 2. Sawah 1x padi setahun dan palawija, 3. Sawah 1x padi setahun, 4. Sawah ditanami tebu/ tembakau/ rosela/ sayur– sayuran. c. Pertanian kering semusim Pertanian kering semusim adalah areal pertanian yang tidak pernah diairi, yang ditanami jenis tanaman umur pendek saja. Tanaman keras yang mungkin ada hanya pada pematang–pematang. Misal : 1. Tegalan, ialah yang penggarapannya permanen, 2. Ladang, ialah yang setelah digarap 3 tahun atau kurang kemudian ditinggalkan. Tanaman palawija atau padi, 3. Sayuran, ialah yang terus–menerus ditanami sayur–mayur, 4. Bunga–bungaan, ialah yang ditanami jenis–jenis bunga saja. d. Perkebunan Perkebunan adalah areal yang ditanami jenis tanaman keras dan jenis tanamannya hanya satu. e. Kebun campur Kebun campur adalah areal yang ditanami rupa–rupa jenis tanaman keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim dengan jelas jenis mana yang menonjol. f. Hutan, terdiri dari : 1. Hutan lebat Hutan lebat adalah areal hutan yang ditanami berjenis–jenis pepohonan besar dengan tingkat pertumbuhan maksimum. 2. Hutan belukar Hutan belukar adalah areal hutan alam yang ditumbuhi berjenis–jenis pepohonan yang berbatang kecil. 3. Hutan sejenis Hutan sejenis adalah areal hutan alam atau buatan yang ditumbuhi pepohonan dengan didominasi oleh satu jenis saja tanpa memandang tingkat pertumbuhannya. 44 4. Hutan rawa Hutan rawa adalah hutan lebat yang berrawa–rawa, permukaan tanah mutlak tergenang selama enam bulan atau lebih dalam setahun dan pada waktu penggenangan surut tanah senantiasa jenuh air. g. Kolam Kolam adalah penggunaan–penggunaan berupa kolam ikan air tawar, tambak, dan kolam penggaraman. h. Tanah tandus Tanah tandus adalah areal yang tidak digarap karena fisiknya yang jelek atau menjadi jelek setelah digarap. i. Padang Padang adalah areal terbuka karena hanya ditumbuhi tanaman rendah dari keluarga rumput dan semak rendah. j. Perairan darat, terdiri dari : 1. Danau/ situ 2. Rawa 3. Waduk k. Penggunaan lain Suatu areal yang tidak dapat digolongkan kepada yang manapun dari golongan a sampai dengan j tersebut di atas. Misalnya tanah baru dibuka dan hutan yang baru ditebang. l. Penggunaan tambahan berupa kualitas jalan dan saluran pengairan. Pada dasarnya penggunaan lahan oleh manusia bertujuan untuk memperoleh produksi semaksimal mungkin pada suatu lahan. Dalam mencapai hasil yang semaksimal mungkin tersebut maka dalam penggunaan suatu lahan harus disesuaikan dengan kemampuan lahan, karena setiap lahan mempunyai kemampuan yang berbeda atau tidak sama (Rahim, 2000: 67). Berdasarkan peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 yang bersumber dari peta Rupa Bumi Indonesia dan pengecekan di lapangan, penggunaan tanah di daerah penelitian adalah sebagai pemukiman, sawah, kebun, dan tegalan. 45 a. Permukiman Permukiman di sini diartikan sebagai lahan yang digunakan sebagai tempat tinggal penduduk. Jadi pada penelitian ini lahan yang digunakan untuk permukiman tidak diambil sebagai sampel karena variabel yang diteliti dianggap sama dengan variabel pada satuan lahan yang terbentuk oleh tiga variabel yang sama yaitu ordo tanah, batuan penyusun, dan kemiringan lereng. Luas tanah yang digunakan untuk permukiman di daerah penelitian adalah 578,491 Ha atau 10,39 % dari luas Kecamatan Jumapolo. b. Sawah Lahan yang digunakan untuk areal sawah adalah pada daerah yang datar sampai dengan daerah berbukit. Keseluruhan luas lahan yang digunakan untuk areal sawah di daerah penelitian mencapai 3.136 Ha atau 56,33 % dari luas Kecamatan Jumapolo. c. Kebun campur Kebun campur adalah areal yang ditanami rupa–rupa jenis tanaman keras atau kombinasi tanaman keras dan tanaman semusim dengan tidak jelas jenis mana yang menonjol. Penggunaan lahan ini menempati daerah dengan luas 488,61 Ha atau 8,78 % dari luas Kecamatan Jumapolo. d. Tegalan Tegalan adalah bentuk pertanian lahan kering semusim yaitu areal pertanian yang tidak pernah diairi yang ditanami dengan jenis tanaman umur pendek saja. Luas lahan yang digunakan untuk tegalan di daerah penelitian adalah 1.363,90 Ha atau 24,50 % dari luas Kecamatan Jumapolo. Persebaran penggunaan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000. 5. Geologi Geologi daerah penelitian merupakan batuan Gunungapi Lawu. Material penyusun batuan di daerah penelitian merupakan Endapan lahar Lawu yang berkomponen Andesit. Dalam penyusunan satuan lahan digunakan simbol Qlla, yaitu lahar Lawu yang komponennya terdiri dari andesit, basal dan sedikit batuapung bercampur dengan pasir gunungapi. 46 B. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Satuan Lahan Daerah Penelitian Satuan lahan adalah satuan bentang alam yang digambarkan serta dipetakan atas dasar sifat fisik atau karakteristik lahan tertentu (FAO, 1976 dalam van Zuidam and F.I.V. Zuidam Concelado, 1979: 303). Dipilihnya satuan lahan sebagai satuan pemetaan karena setiap satuan lahan mencerminkan adanya pengaruh sifat, watak tanahnya, relief dan lereng serta penggunaan lahan. Parameter penyusun satuan lahan Kecamatan Jumapolo selengkapnya diuraikan sebagai berikut: a. Parameter Penyusun Satuan Lahan 1) Tanah Satuan tanah yang digunakan adalah dalam kategori ordo. Ada tiga ordo tanah yang terdapat di daerah penelitian yaitu Alfisol, Oksisol, dan Inceptisol. Luas persebaran setiap ordo tanah dapat dilihat pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Luas Ordo Tanah di Kecamatan Jumapolo No Ordo tanah Simbol Luas Ha % 1 Alfisol Alf 1.567,56 28,16 2 Oxisol Ox 1.496.86 26,89 3 Inceptisol Ept 2.502,601 44,95 Jumlah 5.567,021 100,00 Sumber : Analisis Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000 Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa Inceptisol merupakan ordo tanah terluas di Kecamatan Jumapolo yaitu seluas 2.502,601 Ha (44,95 %), sedangkan untuk ordo tanah Alfisol menempati daerah seluas 1.567,56 Ha (28,16 %) dan ordo tanah Oxisol menempati daerah seluas 1.496, 95 Ha (26,89 %). Untuk lebih jelasnya persebaran ordo tanah di daerah penelitian dapat dilihat pada Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000. 47 PETA TANAH 48 2) Formasi Batuan Berdasarkan litologinya, di Kecamatan Jumapolo hanya tersusun atas satu formasi batuan, yaitu Endapan Lahar Lawu (Qlla), yang umumnya berkomponen Andesit. 3) Kemiringan Lereng Parameter penyusun satuan lahan berikutnya adalah kemiringan lereng. Kemiringan lereng di Kecamatan Jumapolo ada lima kelas kemiringan lereng. Pembagian kelas kemiringan lereng ini didasarkan pada analisis dari peta rupa bumi Indonesia dan pengukuran di lapangan. Luas masing–masing kelas kemiringan lereng di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Tabel Luas Masing-masing Kelas Kemiringan Lereng Kec. Jumapolo. No 1 2 3 4 5 Besar kemiringan lereng 0–8% 8 – 15 % 15 – 25 % 25 – 45 % > 45 % Jumlah Kelas kemiringan lereng I II III IV V Luas Ha 3.633,120 354,840 257,700 439,020 882,341 5567,021 % 65,26 6,37 4,63 7,89 15,85 100,00 Sumber : Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000 Berdasarkan tabel di atas, daerah dengan kemiringan kereng 0–8 % merupakan daerah terluas, yaitu seluas 3.633,12 Ha, sedangkan daerah dengan kemiringan lereng 15–25 % adalah daerah tersempit dengan luas 257,7 Ha. Persebaran kemiringan lereng Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000. 4) Penggunaan Lahan Parameter penyusun satuan lahan yang keempat adalah penggunaan lahan. Bentuk penggunaan lahan di daerah penelitian disajikan pada Tabel 12 berikut. 49 Tabel 12. Luas Masing–masing Penggunaan Tanah di Kecamatan Jumapolo No. 1. 2. Penggunaan Lahan Luas Ha 3.136 Tanah sawah Tanah kering a. Pemukiman b. Tegalan c. Kebun % 56,33 578,491 1.363,90 488,61 10,39 24,50 8,78 3. Jumlah 5567,021 Sumber : Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo Skala 1 : 80.000 100,00 Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa lahan yang digunakan sebagai usaha pertanian tanah basah (sawah) merupakan areal terluas yaitu sebesar 3.136 Ha, sedangkan tanah yang digunakan untuk areal kebun merupakan areal tersempit yaitu 488,61 Ha. b. Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo berdasarkan tumpang susun (overlay) antara Peta Geologi skala 1 : 80.000, Peta Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000, Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000, dan Peta Penggunaan Tanah Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000 dapat dikelompokkan ke dalam 39 satuan lahan. Luasan masing-masing satuan lahan daerah penelitian disajikan pada Tabel 13. Persebaran satuan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada peta Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000. Satuan lahan ini digunakan untuk mengambil informasi di lapangan yang diperlukan untuk menghitung besarnya erosi di Kecamatan Jumapolo dengan cara pada setiap satuan lahan diambil satu titik sebagai titik sampel. 50 PETA LERENG 51 PETA PENGGUNAAN LAHAN 52 Tabel 13. Satuan Lahan di Kecamatan Jumapolo No 1 Simbol Satuan Lahan Qlla-Alf-I-Kb 2 Qlla-Alf-I-Sw 3 Qlla-Alf-I-Tg 4 Qlla-Alf-II-Kb 5 Qlla-Alf-II-Sw 6 Qlla-Alf-II-Tg 7 Qlla-Alf-III-Kb 8 Qlla-Alf-III-Sw 9 Qlla-Alf-III-Tg 10 Qlla-Alf-IV-Kb 11 Qlla-Alf-IV-Sm 12 Qlla-Alf-IV-Sw 13 Qlla-Alf-IV-Tg 14 Qlla-Alf-V-Tg 15 Qlla-Ept-I-Kb Pemerian Satuan Lahan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah alfisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah alfisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan lahan untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah alfisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah alfisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah alfisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah semak Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Alfisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk kebun Luas Ha % 85,02 1,68 678,69 13,38 293,93 5,79 5,85 0,12 34,48 0,68 28,13 0,55 10,30 0,20 53,34 1,05 13,24 0,26 47,20 0,93 26,75 0,53 49,71 0,98 17,92 0,35 23,00 0,45 166,16 3,28 53 16 Qlla-Ept-I-Sm 17 Qlla-Ept-I-Sw 18 Qlla-Ept-I-Tg 19 Qlla-Ept-II-Kb 20 Qlla-Ept-II-Sw 21 Qlla-Ept-III-Sw 22 Qlla-Ept-IV-Kb 23 Qlla-Ept-V-Sw 24 Qlla-Ept-IV-Tg 25 Qlla-Ept-IV-Kb 26 Qlla-Ept-IV-Sw 27 Qlla-Ept-V-Tg 28 Qlla-Ox-I-Kb 29 Qlla-Ox-I-Sw 30 Qlla-Ox-I-Tg 31 Qlla-Ox-II-Kb 32 Qlla-Ox-II-Sw Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah semak Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah inceptisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawr, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah inceptisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah inceptisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lawu, ordo tanah Inceptisol. Kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah oksisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanahu utnuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah oksisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tanah kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng miring, dengan 47,20 0,93 1222,93 24,11 327,61 6,46 6,65 0,13 127,41 2,51 66,79 1,32 19,57 0,39 98,67 1,94 68,72 1,35 19,57 0,39 79,86 1,57 143,15 2,82 30,20 0,60 456,10 8,99 225,28 4,44 5,98 0,12 37,83 0,75 54 33 Qlla-Ox-II-Tg 34 Qlla-Ox-III-Sw 35 Qlla-Ox-III-Tg 36 Qlla-Ox-IV-Sw 37 Qlla-Ox-V-Kb 38 Qlla-Ox-V-Sw 39 Qlla-Ox-IV-Tg penggunaan tanah utuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng miring, dengan penggunaan tana huntuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, keliringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk tegalan Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah oksisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah kebun Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng sangat curam, dengan penggunaan tanah untuk sawah Jenis batuan endapan lahar lawu, ordo tanah Oksisol, kemiringan lereng curam, dengan penggunaan tanah untuk tegalan 8,51 0,17 5,30 0,10 8,73 0,17 10,41 0,21 77,53 1,53 225,22 4,44 205,70 4,05 Sumber : Analisis Peta Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo Skala 1 : 80.000 Berdasarkan tabel di atas satuan lahan terluas adalah satuan lahan QllaEpt-I-Sw yaitu satuan lahan dengan jenis batuan endapan lahar Lawu, ordo tanah Inceptisol, kemiringan lereng datar, dengan penggunaan tanah untuk tegalan. Luas satuan lahan ini adalah 1.222,93 Ha. Sedangkan satuan lahan tersempit adalah satuan lahan Qlla-Ox-III-Sw, yaitu satuan lahan dengan jenis batuan endapan lahar Lawu, ordo tanah Oxisol, kemiringan lereng sangat miring, dengan penggunaan tanah untuk sawah. Luas satuan lahan ini adalah 5,30 Ha. Satuan lahan di daerah penelitian disajikan pada Peta Satuan Lahan Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000. 2. Besar Erosi Tanah Erosi adalah suatu proses di mana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan angin, air, atau gravitasi (Hardjowogeno, 1987: 128). Besarnya erosi yang diperkirakan dalam penelitian ini merupakan erosi yang dipercepat (accelerated erosion), yaitu erosi yang penyebab utamanya adalah aktivitas manusia. 55 PETA SATUAN LAHAN 56 a. Faktor-faktor Penyebab Erosi 1) Perhitungan Indeks Erosivitas Hujan (R) Erosivitas adalah kemampuan hujan yang dapat menimbulkan erosi. Hujan merupakan kelompok energi di mana kemampuan potensial hujan akan menyebabkan terjadinya erosi. Walaupun curah hujan memiliki kemampuan untuk menimbulkan erosi, tetapi tidak semua kejadian hujan menimbulkan erosi. Besar energi kinetik hujan bergantung pada jumlah hujan, intensitas, dan kecepatan jatuhnya hujan. Dari data hujan yang diperoleh selama 10 tahun (1997 - 2006) dapat diketahui besar curah hujan tahunan. Berikut data jumlah hujan per tahun di daerah penelitian. Tabel 14. Data Hujan per Tahun No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rata – rata hujan tahunan (H) Jumlah Hujan Tahunan (mm) 1.568 3.141 2.043 2.405 2.304 1.685 1.669 1.640 1.777 1.751 1.998,3 Sumber : Data Klimatologi FP UNS Besar erosivitas dihitung dengan persamaan dari Soemarwoto (2007:200) berikut ini: R = 0,41 x H1,09 R = 0,41 x ( 1998,3 )1,09 R = 1623,7 mm/th Jadi besar nilai erosivitas yang terjadi di Kecamatan Jumapolo adalah 1623,7 mm/th. Nilai erosivitas tersebut menunjukkan bahwa kemampuan hujan untuk mengerosi cukup besar. 57 2) Perhitungan Indeks Erodibilitas Tanah (K) Dua kejadian hujan dengan tingkat energi yang berbeda dapat menimbulkan erosi yang berbeda jika turun pada tanah yang sama, sebaliknya dua kejadian hujan dengan tingkat energi yang sama dapat menimbulkan erosi yang berbea jika turun pada tanah yang berbeda. Pada tingkat energi hujan yang sama, tanah yang memiliki nilai erodibilitas tinggi akan lebih mudah tererosi dibandingkan tanah yang memiliki nilai erodibilitas yang rendah. Erodibilitas tanah merupakan kepekaan tanah terhadap erosi, yang tergantung pada sifat fisik dan kimia tanah. Berdasarkan hasil analisis mengenai tekstur, struktur, kandungan bahan organik dan permeabilitas tanah diperoleh nilai erodibilitas tanah (K) terendah 0,070 dan nilai K tertinggi 0,257. hasil perhitungan nilai erodibilitas tanah pada setiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo lebih lengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1. 3) Perhitungan Indeks Faktor Lereng (LS) Besarnya kemiringan lereng ditentukan berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Jumapolo skala 1 : 80.000, sedangkan panjang lereng pada tiap sampel satuan lahan diukur berdasarkan pengukuran di lapangan. Nilai indeks faktor lereng (LS) terendah adalah sebesar 0,07 dan tertinggi adalah sebesar 15,8. nilai LS tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Lampiran 2. 4) Perhitungan Indeks Faktor Penutup Lahan (C) Faktor penutup lahan di daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan di lapangan dan dari Peta Penggunaan Lahan Kecamatan Jumapolo. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan perhitungan, diperoleh nilai faktor penutup lahan (C) yang bervariasi, berkisar antara 0,01 – 0,8. Nilai C terendah terdapat pada satuan lahan dengan penggunaan lahan berupa sawah, sedangkan nilai C tertinggi terdapat pada satuan lahan dengan penggunaan lahan berupa tegalan. Perhitungan indeks faktor C tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Lampiran 3. 58 5) Perhitungan Indeks Faktor Pengelolaan Lahan dan Konservasi Tanah (P) Faktor pengelolaan dan konservasi tanah dapat berubah dari waktu ke waktu tergantung pada aktivitas manusia yang menyangkut pola pergiliran tanaman dan tindakan konservasi yang dilakukan. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan perhitungan, diperoleh nilai faktor P yang bervariasi, terendah adalah 0,04 dan nilai faktor P tertinggi adalah 1. Nilai P terendah (0,04) terdapat pada lahan dengan tindakan konservasi berupa teras bangku berkonstruksi baik, sedangkan nilai P tertinggi (1) terdapat pada lahan tanpa tindakan konservasi. Perhitungan indeks P tiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Lampiran 4. b. Besar Erosi Tanah Kelima faktor penyebab erosi yang telah diketahui nilainya, yaitu erosivitas hujan, erodibilitas tanah, faktor lereng, faktor penutup lahan serta faktor tindakan konservasi, kemudian dimasukkan dalam persamaan A = R K LS C P untuk menghitung besarnya erosi tanah pada setiap satuan lahan di daerah penelitian. Besar erosi tanah yang terjadi di Kecamatan Jumapolo berkisar antara 0,008 ton/ha/th sampai dengan 1276,802 ton/ha/th. Besar erosi tanah 0,008 ton/ha/th terjadi di Desa Jumapolo, Desa Bakalan, dan Desa Karangbangun pada satuan lahan 29, Qlla-Ox-I-Sw. Satuan lahan tersebut berada pada kemiringan lereng kelas I (0-8%) dengan penggunaan lahan berupa sawah yang diiringi dengan praktik konservasi berupa teras bangku berkonstruksi baik. Ketiga faktor tersebut, yaitu faktor lereng, penggunaan lahan dan tindakan konservasi sangat berpengaruh terhadap kecilnya laju erosi tanah yang terjadi. Besar erosi tanah tertinggi yaitu dengan nilai 1276,802 ton/ha/th terjadi pada satuan lahan 27, Qlla-Ept-V-Tg meliputi Desa Giriwondo, Jumantoro, sabagian kecil Kadipiro dan Kedawung. Satuan lahan tersebut berada pada kemiringan lereng kelas V (>45%) dengan penggunaan lahan berupa tegalan dan penutup lahan berupa tanaman jagung. Kedua faktor tersebut, yaitu faktor kemiringan lereng dan penggunaan lahan berpengaruh besar terhadap besarnya 59 laju erosi yang terjadi. Hasil perhitungan besar erosi pada setiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo dapat dilihat pada Tabel 15 berikut ini. Tabel 15. Hasil Perhitungan Besar Erosi Masing-masing Satuan Lahan. No R K 1 Qlla-Alf-1-Kb Satuan Lahan Luas (ha) 85,02 1623,7 0,199 LS 0,23 0,2 C 1 P A 2 Qlla-Alf-1-Sw 678,69 1623,7 0,257 0,15 0,01 0,15 0,094 3 Qlla-Alf-1-Tg 23,93 1623,7 0,130 0,07 0,8 0,5 5,910 4 Qlla-Alf-2-Kb 5,85 1623,7 0,108 0,85 0,2 1 5 Qlla-Alf-2-Sw 34,48 1623,7 0,163 1,14 0,01 0,15 0,453 6 Qlla-Alf-2-Tg 28,13 1623,7 0,126 0,49 0,8 0,75 60,148 7 Qlla-Alf-3-Kb 10,30 1623,7 0,07 1,80 0,5 0,5 51,147 8 Qlla-Alf-3-Sw 53,34 1623,7 0,158 1,66 0,01 0,15 0,639 14,863 29,811 9 Qlla-Alf-3-Tg 13,24 1623,7 0,119 1,38 0,8 0,75 159,986 10 Qlla-Alf-4-Kb 47,20 1623,7 0,226 2,12 0,2 0,4 62,236 11 Qlla-Alf-4-Sm 26,75 1623,7 0,170 5,09 0,3 1 12 Qlla-Alf-4-Sw 49,71 1623,7 0,244 2,66 0,01 0,04 13 Qlla-Alf-4-Tg 17,92 1623,7 0,113 2,19 0,7 0,9 253,145 14 Qlla-Alf-5-Tg 23,00 1623,7 0,113 7,45 0,7 0, 853,534 15 Qlla-Ept-1-Kb 166,16 1623,7 0,206 0,07 0,5 1 11,707 16 Qlla-Ept-1-Sm 47,20 1623,7 0,169 0,29 0,3 1 23,873 17 Qlla-Ept-1-Sw 1222,93 1623,7 0,187 0,15 0,01 0,15 0,068 18 Qlla-Ept-1-Tg 327,61 1623,7 0,162 0,23 0,7 0,5 21,175 19 Qlla-Ept-2-Kb 6,65 1623,7 0,195 0,76 0,5 0,5 60,158 20 Qlla-Ept-2-Sw 127,41 1623,7 0,166 0,59 0,01 0,04 0,063 21 Qlla-Ept-3-Sw 66,79 1623,7 0,124 1,93 0,01 0,04 22 Qlla-Ept-4-Kb 19,57 1623,7 0,140 3,44 0,5 0,4 23 Qlla-Ept-4-Sw 98,67 1623,7 0,113 1,97 0,01 0,15 24 Qlla-Ept-4-Tg 68,72 1623,7 0,190 2,14 0,7 0,9 415,924 25 Qlla-Ept-5-Kb 34,15 1623,7 0,212 9,94 0,5 0,4 684,318 26 Qlla-Ept-5-Sw 79,86 1623,7 0,165 15,8 0,01 0,04 27 Qlla-Ept-5-Tg 143,15 1623,7 0,142 8,79 0,7 0,9 28 Qlla-Ox-1-Kb 30,20 1623,7 0,146 0,12 0,2 1 5,689 29 Qlla-Ox-1-Sw 456,10 1623,7 0,186 0,07 0,01 0,04 0,008 30 Qlla-Ox-1-Tg 225,28 1623,7 0,091 1,00 0,7 1 31 Qlla-Ox-2-Kb 5,98 1623,7 0,190 0,10 0,5 0,4 6,170 32 Qlla-Ox-2-Sw 37,83 1623,7 0,202 0,58 0,01 0,04 0,076 33 Qlla-Ox-2-Tg 8,51 1623,7 0,085 0,80 0,7 1 34 Qlla-Ox-3-Sw 5,30 1623,7 0,135 2,26 0,01 0,04 35 Qlla-Ox-3-Tg 8,73 1623,7 0,126 8,72 0,7 0,5 36 Qlla-Ox-4-Sw 10,48 1623,7 0,160 4,12 0,01 0,15 37 Qlla-Ox-5-Kb 77,53 1623,7 0,163 10,2 0,5 0,4 38 Qlla-Ox-5-Sw 225,22 1623,7 0,145 7,45 0,01 0,15 39 Qlla-Ox-5-Tg 205,70 1623,7 0,087 9,37 0,7 0,9 Sumber : Analisis Besar Erosi di Kecamatan Jumapolo 421,496 0,421 0,155 156,394 0,542 1,693 1276,802 103,429 77,288 0,198 624,397 1,606 539,913 2,631 833,883 60 Berdasarkan klasifikasi besar erosi permukaan pada Tabel 5 di muka, maka besar erosi di daerah penelitian dapat dibedakan menjadi 5 kelas yaitu: 1. Kelas besar erosi tanah Sangat Ringan (SR) dengan besar erosi berkisar antara 0,008 – 14,863 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 3828,1 Ha (68,76%), persebarannya meliputi desa Jumapolo, Jatirejo, karangbangun, Ploso, Giriwondo, Kwangsan, Lemahbang, Bakalan, dan Kadipiro. 2. Kelas besar erosi tanah Ringan (R) dengan besar erosi berkisar antara 21,175 – 51,147 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 517,18 Ha (9,29%) yang tersebar di Desa Karangbangun, Ploso, Lemahbang, dan Jumantoro. 3. Kelas besar erosi Sedang (S) dengan besar erosi berkisar antara 60,148 – 156,394 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 422,36 Ha (7,59%) terjadi di Desa Ploso, Jumapolo, dan Lemahbang. 4. Kelas besar erosi tanah Berat (B) dengan besar erosi berkisar antara 253,145 – 421, 496 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 213,38 Ha (3,83%) terjadi di Desa Kedawung, Jumantoro, dan Jumapolo. 5. Kelas besar erosi tanah Sangat Berat (SB) dengan besar erosi berkisar antara 539,913 – 1.276,802 ton/ha/th yang meliputi daerah seluas 585,99 Ha (10,53%) terjadi di Desa Giriwondo, Kadipiro, bakalan, dan Jumantoro. Kelas besar erosi tiap satuan lahan di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 16 berikut ini. 61 Tabel 16. Kelas Besar Erosi Tiap Satuan Lahan di Kecamatan Jumapolo. No Satuan Lahan Luas (ha) Besar Erosi Kelas Besar Erosi 1 Qlla-Alf-1-Kb 85,02 14,863 SR 2 Qlla-Alf-1-Sw 678,69 0,094 SR 3 Qlla-Alf-1-Tg 23,93 5,910 SR 4 Qlla-Alf-2-Kb 5,85 29,811 R 5 Qlla-Alf-2-Sw 34,48 0,453 SR 6 Qlla-Alf-2-Tg 28,13 60,148 S 7 Qlla-Alf-3-Kb 10,30 51,147 R 8 Qlla-Alf-3-Sw 53,34 0,639 SR 9 Qlla-Alf-3-Tg 13,24 159,986 10 Qlla-Alf-4-Kb 47,20 62,236 S 11 Qlla-Alf-4-Sm 26,75 421,496 B 12 Qlla-Alf-4-Sw 49,71 0,421 SR 13 Qlla-Alf-4-Tg 17,92 253,145 B 14 Qlla-Alf-5-Tg 23,00 853,534 SB 15 Qlla-Ept-1-Kb 166,16 11,707 SR 16 Qlla-Ept-1-Sm 47,20 23,873 R 17 Qlla-Ept-1-Sw 1222,93 0,068 SR 18 Qlla-Ept-1-Tg 327,61 21,175 R 19 Qlla-Ept-2-Kb 6,65 60,158 SR 20 Qlla-Ept-2-Sw 127,41 0,063 SR 21 Qlla-Ept-3-Sw 66,79 0,155 SR 22 Qlla-Ept-4-Kb 19,57 156,394 23 Qlla-Ept-4-Sw 98,67 0,542 24 Qlla-Ept-4-Tg 68,72 415,924 B 25 Qlla-Ept-5-Kb 34,15 684,318 SB 26 Qlla-Ept-5-Sw 79,86 1,693 SR 27 Qlla-Ept-5-Tg 143,15 1276,802 SB 28 Qlla-Ox-1-Kb 30,20 5,689 SR 29 Qlla-Ox-1-Sw 456,10 0,008 SR 30 Qlla-Ox-1-Tg 225,28 103,429 31 Qlla-Ox-2-Kb 5,98 6,170 SR 32 Qlla-Ox-2-Sw 37,83 0,076 SR 33 Qlla-Ox-2-Tg 8,51 77,288 S 34 Qlla-Ox-3-Sw 5,30 0,198 SR 35 Qlla-Ox-3-Tg 8,73 624,397 SB 36 Qlla-Ox-4-Sw 10,48 1,606 SR 37 Qlla-Ox-5-Kb 77,53 539,913 SB 38 Qlla-Ox-5-Sw 225,22 2,631 SR 39 Qlla-Ox-5-Tg 205,70 833,883 SB Sumber : Analisis Besar Erosi di Kecamatan Jumapolo S S SR S 62 PETA BESAR EROSI 63 3. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Kelas Tingkat Bahaya Erosi pada setiap satuan lahan di Kecamatan Jumapolo ditentukan berdasarkan besar erosi dengan mempertimbangkan faktor kedalaman tanah seperti yang telah disajikan pada Tabel 4 di muka. Uraian secara rinci dijelaskan sebagai berikut: a. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Ringan (SR) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Ringan (R) memiliki besar erosi tanah berkisar antara 0,008 ton/ha/th – 2,631 ton/ha/th dengan kedalaman tanah lebih dari 90 cm meliputi luas daerah sebesar 2953, 15 ha atau 58,63% dari luas total daerah penelitian, dengan penggunaan lahan berupa sawah. TBE Sangat Ringan ini terjadi karena faktor konservasi tanah yang cukup baik, yaitu berupa teras bangku berkonstruksi sedang dan teras bangku berkonstruksi baik. Tingkat Bahaya Erosi Sangat Ringan ini tersebar di Desa Jumapolo, Ploso, Kwangsan, Lemahbang, Bakalan, Karangbangun, Kadipiro, sebagian kecil Giriwondo dan Jumantoro. Gambar 4. Satuan Lahan dengan TBE Sangat Ringan di Desa Kwangsan 64 b. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Ringan (R) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Ringan (R) memiliki besar erosi antara 0,421 ton/ha/th – 5,910 ton/ha/th dengan kedalaman tanah antara 55 cm – 95 cm meliputi daerah seluas 223,86 ha atau 4,44% dari luas total daerah penelitian, dengan penggunaan lahan berupa kebun, sawah dan tegalan dengan penutup lahan berupa tanaman ubi kayu. Karakteristik lahannya memiliki kemiringan lereng kelas I (0-8%), kelas II (8-15%), dan kelas IV (25-45%) yang pada lahannya telah dilakukan tindakan konservasi berupa teras bangku berkonstruksi baik. Tingkat Bahaya Erosi ini tersebar di Desa Karangbangun, Giriwondo, Ploso, dan Kwangsan. Gambar 5. Satuan Lahan dengan TBE ringan di Desa Karangbangun. TBE pada daerah dengan penggunaan lahan berupa kebun termasuk ringan karena pada lahan kebun, tanaman yang diusahakan merupakan tanaman tahunan sehingga akan membentuk pohon yang tinggi dengan perakaran yang kuat dan dalam, tajuk tanaman juga lebar. Adanya intersepsi air hujan oleh tajuk tanaman akan memperlambat limpasan dan memperkecil erosi. Pada daerah dengan penggunaan lahan berupa sawah juga terjadi TBE yang ringan karena meskipun berada pada kemiringan lereng >25% namun 65 pada lahan ini telah dilakukan tindakan konservasi berupa pembuatan teras bangku. c. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sedang (S) Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sedang (S) memiliki besar erosi berkisar antara 6,170 ton/ha/th – 103,429 ton/ha/th dengan kedalaman tanah 35 cm – 97 cm, dengan luas daerah 1022,84 ha (20,3%) kebun dan tegalan yang ditanami ubi kayu dan jagung. Tingkat Bahaya Erosi ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas I (0-8%) dan kelas II (8-15%). Tingkat Bahaya Erosi ini tersebar di Desa Jumapolo, Ploso, dan Lemahbang. Gambar 6. Satuan Lahan dengan TBE Sedang di Desa Jatirejo. d. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Berat (B) Tingkat Bahaya Erosi Berat memiliki besar erosi berkisar antara 23,873 ton/ha/th – 624,397 ton/ha/th dengan kedalaman tanah berkisar antara 20 cm – 51 cm, meliputi luas daerah 196,51 ha (3,91%), dengan penggunaan lahan berupa kebun, semak, dan tegalan dengan tanaman penutup ubi kayu dan jagung. Tingkat Bahaya Erosi ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas I (0-8%), kelas II (8-15%), dan kelas III (15-25%). TBE Berat 66 ini terjadi karena kedalaman tanah yang dangkal. Persebarannya meliputi Desa Karangbangun, Ploso, Jatirejo, Lemahbang dan Jumantoro. Gambar 7. Satuan Lahan dengan TBE Berat di Desa Jumantoro e. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Sangat Berat (SB) Tingkat Bahaya Erosi Sangat Berat memiliki besar erosi berkisar antara 62,236 ton/ha/th – 1276,802 ton/ha/th dengan kedalaman tanah berkisar pada 20 cm – 68 cm yang meliputi daerah seluas 676,92 ha (13,44%), dengan penggunaan lahan berupa kebun dan tegalan. TBE ini terjadi pada lahan dengan kemiringan lereng kelas IV (25-45%) dan kelas V (>45%). Persebarannya meliputi Desa Giriwondo, Kadipiro, Kedawung, Jumantoro, sebagian Desa Bakalan dan Jumapolo. TBE Sangat berat ini terjadi karena faktor kemiringan lereng yang >25% dan penggunaan lahan berupa tegalan. Penggunaan lahan tegalan di lokasi penelitian dengan jenis tanaman yang diusahakan adalah tanaman semusim menyebabkan seringnya tanah mengalami tindakan pengolahan tanah dan penyiangan. Hal ini dapat mengakibatkan tanah menjadi gembur dan terbuka sehingga lebih memungkinkan terjadinya erosi. Jatuhnya butirbutir hujan yang langsung mengenai permukaan tanah akan mempercepat terjadinya erosi (Waluyaningsih, 2008:65). Tanaman semusim pada umumnya memiliki daun yang tidak lebar sehingga intersepsi tanaman oleh tajuk sangat kecil. Adanya intersepsi yang 67 kecil ini akan mempercepat erosi. Perakaran tanaman semusim juga dangkal dan tidak kuat sehingga kemampuan akar untuk menggenggem massa tanah juga rendah. Persebaran Tingkat Bahaya Erosi lebih lengkap disajikan pada Peta Tingkat Bahaya Erosi di Kecamatan Jumapolo skala 1:80.000. Hasil analisis Tingkat Bahaya Erosi di Kecamatan Jumapolo disajikan pada Tabel 17. 68 Tabel 17. Tingkat Bahaya Erosi Tiap Satuan Lahan di Kecamatan Jumapolo No Satuan Lahan Luas (ha) Besar Erosi (ton/ha/th) Kelas Besar Kelas Kelas Tingkat Erosi Kedalaman Bahaya Erosi Efektif 1 Qlla-Alf-1-Kb 85,02 14,863 SR K1 S 2 Qlla-Alf-1-Sw 678,69 0,094 SR K0 SR 3 Qlla-Alf-1-Tg 23,93 5,910 SR K0 R 4 Qlla-Alf-2-Kb 5,85 29,811 R K1 B 5 Qlla-Alf-2-Sw 34,48 0,453 SR K1 R 6 Qlla-Alf-2-Tg 28,13 60,148 S K0 S 7 Qlla-Alf-3-Kb 10,30 51,147 R K1 B 8 Qlla-Alf-3-Sw 53,34 0,639 SR K0 SR 9 Qlla-Alf-3-Tg 13,24 159,986 S K1 B 10 Qlla-Alf-4-Kb 47,20 62,236 S K1 SB 11 Qlla-Alf-4-Sm 26,75 421,496 B K1 SB 12 Qlla-Alf-4-Sw 49,71 0,421 SR K1 R 13 Qlla-Alf-4-Tg 17,92 253,145 B K1 SB 14 Qlla-Alf-5-Tg 23,00 853,534 SB K3 SB 15 Qlla-Ept-1-Kb 166,16 11,707 SR K3 B 16 Qlla-Ept-1-Sm 47,20 23,873 R K2 B 17 Qlla-Ept-1-Sw 1222,93 0,068 SR K0 SR 18 Qlla-Ept-1-Tg 327,61 21,175 R K1 S 19 Qlla-Ept-2-Kb 6,65 60,158 SR K2 B 20 Qlla-Ept-2-Sw 127,41 0,063 SR K0 SR 21 Qlla-Ept-3-Sw 66,79 0,155 SR K0 SR 22 Qlla-Ept-4-Kb 19,57 156,394 S K3 SB 23 Qlla-Ept-4-Sw 98,67 0,542 SR K1 R 24 Qlla-Ept-4-Tg 68,72 415,924 B K2 SB 25 Qlla-Ept-5-Kb 34,15 684,318 SB K3 SB 26 Qlla-Ept-5-Sw 79,86 1,693 SR K0 SR 27 Qlla-Ept-5-Tg 143,15 1276,802 SB K3 SB 28 Qlla-Ox-1-Kb 30,20 5,689 SR K1 R 29 Qlla-Ox-1-Sw 456,10 0,008 SR K0 SR 30 Qlla-Ox-1-Tg 225,28 103,429 S K0 S 31 Qlla-Ox-2-Kb 5,98 6,170 SR K2 S 32 Qlla-Ox-2-Sw 37,83 0,076 SR K0 SR 33 Qlla-Ox-2-Tg 8,51 77,288 S K1 B 34 Qlla-Ox-3-Sw 5,30 0,198 SR K0 SR 35 Qlla-Ox-3-Tg 8,73 624,397 SB K0 B 36 Qlla-Ox-4-Sw 10,48 1,606 SR K0 SR 37 Qlla-Ox-5-Kb 77,53 539,913 SB K3 SB 38 Qlla-Ox-5-Sw 225,22 2,631 SR K0 SR 39 Qlla-Ox-5-Tg 205,70 833,883 SB K3 SB Sumber : Hasil Perhitungan 69 PETA TBE 70 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dan analisis data, maka dari penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Perkiraan besar erosi tanah yang terjadi di Kecamatan Jumapolo adalah sebesar 0,008 ton/ha/th sampai dengan 1.276,802 ton/ha/th dengan perincian bahwa daerah yang mengalami erosi sangat ringan seluas 3828,1 ha (68,76%), erosi ringan seluas 517,18 ha (9,29%), erosi sedang seluas 422,36 ha ( 7,59%), erosi berat seluas 213,39 ha (3,83%), dan erosi sangat berat seluas 585,99 ha (10,53%). 2. Tingkat Bahaya Erosi daerah penelitian adalah tingkat bahaya erosi sangat ringan seluas 2953,15 ha (58,63%), tingkat bahaya erosi ringan seluas 223,86 ha (4,44%), tingkat bahaya erosi sedang seluas 1022,84% (20,3%), tingkat bahaya erosi berat seluas 196,52 ha (3,91%), dan tingkat bahaya erosi sangat berat seluas 676,92 ha (13,44%). B. Implikasi Hasil penelitian yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan dalam pola pengelolaan dan penggunaan lahan di daerah penelitian dengan : 1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam merencanakan dan melakukan perubahan penggunaan lahan yang disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik lahan. Hal ini dilakukan agar penggunaan lahan disesuaikan dengan kemampuannya sehingga dapat meminimalisasikan potensi erosi. 2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam penetapan tindakan konservasi untuk mengurangi laju erosi yang terjadi di daerah penelitian. 71 C. Saran Berdasarkan hasil penelitian besar laju erosi yang diperkirakan dengan metode USLE, penulis menyarankan: 1. Pemberian mulsa, yaitu bahan yang digunakan di atas permukaan tanah dengan tujuan mencegah kehilangan air melalui evaporasi, memperbaiki struktur tanah, mempertahankan kapasitas memegang air serta menekan aliran permukaan (run off), dan meningkatkan kandungan bahan organik sehingga dapat mengurangi laju erosi. Bahan-bahan itu bisa berupasisa-sisa panentanaman seperti jerami, brangkasan jagung dan kacang tanah. Bisa juga bahan hijau lain seperti pangkasan Flemingia atau vetiver yang disebar di atas permukaan tanah. Mulsa disebarkan di antara tanaman utama untuk menutupi bidang yang kosong. Peranan mulsa dalam konservasi tanah dan air adalah melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir hujan sehingga erosi dapat dikurangi dan tanah menjadi padat. Pemberian mulsa dilakukan pada lahan dengan kemiringan >5%. Cara pemberiannya adalah dengan menghempaskan mulsa tersebut di atas permukaan lahan secara merata dengan tebal 3 – 5 cm sebanyak 5 ton/Ha. (www.situshijau.com) Saran pemberian mulsa pada penelitian ini dapat dilihat pada Peta 9. Rekomendasi. 2. Penanaman strip rumput secara campuran di bibir teras pada lahan dengan kemiringan 15 – 45%, hal ini dapat mengendalikan erosi sebesar 35 – 40%. (www.situshijau.com) 3. Pemerintah atau pihak-pihak yang terkait diharapkan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya erosi dan arti penting usaha pengawetan tanah. 72 73 DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Bina Aksara. Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Daldjoeni, N. 1983. Pokok-pokok Klimatologi. Bandung : Alumni. Darmawijaya, Isa. 1992. Asas – Asas Klasifikasi Tanah. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Hardjowigeno, Sarwono. 1987. Ilmu Tanah. Jakarta : Mediyatama Sarana Perkasa. Hermawan, Wisnu. 2003. Kajian Erosi dan Kualitas Air Limpasan pada Berbagai Kelompok Umur Tanaman Jati (Studi Kasus di RPH Ngawean, Cabak BKPH Pasar Sore KPH Cepu). Skripsi. Fakultas Pertanian UNS. Kartasapoetra. 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Jakarta : Rineka Cipta. Kusmintarsih, Hanani Retno. 2005. Besar Erosi Aktual Di Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali. Skripsi. Surakarta : FKIP UNS. Lanya, Indayati. 1995. Evaluasi Kualitas dan Produktivitas Lahan Kering Terdegradasi di Daerah Transmigrasi WPP VII Rengat Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Rukmana, Rahmat. 1995. Teknik pengelolaan Lahan Berbukit dan Kritis. Yogyakarta : Kanisius. Sarief, Saifuddin. 1988. Konservasi Tanah dan Air. Bandung : Pustaka Buana. Sandy, I Made. 1989. Esensi Pembangunan Wilayah dan Penggunaan Tanah Berencana. Jakarta : FMIPA UI. Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES. 74 Soemarwoto, Otto. 2007. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Suripin. 2004. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi. Sutopo dan Jaka Suyana. 1999. Potensi Bahaya Erosi pada Beberapa Tipe Agroekosistem di Sub-DAS Samin, DAS Solo. Laporan Penelitian. Fakultas Pertanian UNS. Utomo, Wani Hadi. 1989. Erosi dan Konservasi Tanah. Malang : IKIP Malang. Tika, Moh. Pabundu. 1996. Metode Penelitian Geografi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Tohir, Kaslan A. 1973. Seuntai Pengetahuan tentang Usaha Tani di Indonesia. Jakarta : Bina Aksara. Waluyaningsih, Sri Rahayu. 2008. Studi Analisis Kualitas Tanah pada Beberapa Penggunaan Lahan dan Hubungannya dengan Tingkat Bahaya Erosi di Sub DAS Keduang, Wonogiri. Tesis. Program Pascasarjana UNS. Wardhana, Sandy. 2005. Pemetaan Daerah Rawan Bahaya Erosi di Kecamatan Jumantono, Kabupaten Karanganyar dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Skripsi. Fakultas Pertanian UNS. Wisnubroto, Soekardi, Siti Lela Aminah dan Mulyono Nitisapto. 1983. Asas – asas Meteorologi dan Pertanian. Jakarta : Ghalia Indonesia. www.bps.go.id http://www.mapok.or.id/juornal/erosion/soil-erosion.htm www.worldagroforestry.com