Screening and Characterization of Bacterial

advertisement
PENAPISAN DAN KARAKTERISASI BAKTERI
ANTAGONIS YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGENS
HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT
KARAT PUTIH PADA KRISAN
RATDIANA
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang
berjudul, Penapisan dan Karakterisasi Bakteri Antagonis yang Berpotensi
sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Karat Putih pada
Krisan adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2012
Ratdiana
ABSTRACT
RATDIANA. Screening and Characterization of Bacterial Antagonists as
Potential Agents for the Biological Control of the Chrysanthemum White Rust
Disease.. Supervised by ARIS TRI WAHYUDI and GIYANTO
White rust disease caused by Puccinia horiana (Basidiomycetes:
Uredinales) is the major problem on chrysanthemum plantation and caused
yield lost until 100%. Biocontrol is an alternative way to control this disease.
Therefore, the aims of this study are to obtain antagonist bacterial as
biocontrol agents of chrysanthemum white rust disease, to identify the
potential isolate and their biocontrol character, charachterized their biocontrol
mechanism, and to know the role of their chitinolytic activity on germination
of teliospore. The methods used in this study are selection of antagonistic
bacteria which are able to control this disease in-vitro, characterized of
potential antagonist bacteria with polymerase chain reaction of a 16S rRNA
gene and physiology and biochemical character, characterized the mechanism
of inhibition teliospore germination, and the role of chitinolytic activity in
antagonism activity using transposon mutagenesis. The result showed that out
of 29 bacterial isolates, 12 isolates had chitinolityc activity. The twelve
isolates were the potential antagonist agents to control teliospore germination
with percentage above 90%. Isolate K2 was the most potential antagonist
bacteria to control this disease. This isolate could inhibit the germination up to
98% and had the highest chitinolytic activity among the isolates. Based on 16S
rRNA gene partial sequences analysis and physiology and biochemical
characters, this isolate was identified as Chromobacterium sp. The major
mechanism was antibiosis. It is showed from the biocontrol activity which are
bacteria’s cell colonization, lytic activity, and disintegrated of protoplasm.
This bacteria produced cyanide acid (HCN) and phenazine beside chitinolytic
enzyme. Chitinolytic activity was not a single factor in the mechanism of
antibiosis but other secondary metabolic compounds produced by this bacteria
also come into play. It is showed on the results of mutagenesis that
transconjugants which had no chitinolytic activity was still able to inhibit
germination of teliospora, whereas transconjugants which still had an activity
equal to or smaller than wild type bacteria, the inhibitory were lower. It was
indicated that chitinase was not the most important compound that inhibited
the germination of teliopsore. There was another compound have the bigger
role such as hydrogen cyanide, phenazine, or other substances produced by
Chromobacterium sp..
Keyword : Chrysanthemum white rust disease, biocontrol mechanism,
Chromobacterium sp.
.
RINGKASAN
RATDIANA. Penapisan dan Karakterisasi Bakteri Antagonis yang Berpotensi
sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Karat Putih pada Krisan.
Dibimbing oleh ARIS TRI WAHYUDI dan GIYANTO
Krisan merupakan salah satu komoditas tanaman hias utama di
Indonesia. Salah satu kendala dalam budidaya tanaman krisan adalah penyakit
karat daun krisan yang disebabkan oleh Puccinia horiana
(Basidiomycetes:Uredinales). Secara umum gejala yang ditimbulkan berupa
pustul berwarna kuning oranye yang diselimuti tepung seperti karat pada
permukaan bawah daun. Pustul tersebut lama-lama akan berubah putih seiring
dengan perkembangannya. Infeksi dari cendawan karat bersifat lokal dan
terkadang menjadi gejala sistemik. Kerusakan yang ditimbulkan dapat
mencapai 100% sehingga tanaman tidak menghasikan bunga karena infeksi
terjadi sejak tanaman berumur 30 hari setelah tanam.
Teknik pengendalian penyakit tanaman umumnya menggunakan
pestisida dan varietas tanaman yang tahan. Alasan utama penggunaan
pestisida karena efeknya dapat langsung dilihat dalam waktu yang singkat,
mudah didapatkan, praktis, dan dapat bersifat kuratif atau preventif.
Penggunaan yang terus menerus dan tidak sesuai dengan aturan efektivitasnya
dapat berkurang atau hilang karena menimbulkan resistensi pada patogen.
Selain itu beberapa pestisida tidak dapat terurai sehingga dapat mencemari
lingkungan. Sehingga dianggap kurang aman dan efektif. Pengendalian
dengan menggunakan varietas tahan bersifat preventif. Namun dianggap
kurang efektif karena sifat ketahanan tersebut dapat dipatahkan. Hal ini terjadi
karena sifat virulensi dari patogen tersebut dapat cepat berubah. Oleh karena
itu dibutuhkan suatu alternatif pengendalian yang efektif, efisien, dampak dari
pengendaliannya dapat bertahan lama, dan ramah lingkungan. Biokontrol atau
pengendalian hayati dapat dijadikan solusi.
Agens antagonis yang digunakan untuk mengendalikan cendawan
patogen memiliki beberapa mekanisme antara lain dapat menghasilkan
beberapa jenis enzim yang memiliki kemampuan mendegradasi dinding sel
cendawan seperti kitinase dan glukanase, dapat berkompetisi untuk menguasai
ruang dan nutrisi, dapat menghasilkan antibiotik yang bersifat anticendawan
seperti fenazin, dan 2,4-diacetyl phloroglucinol (DAPG), serta dapat
menghasilkan senyawa-senyawa lain yang bersifat anticendawan seperti HCN.
Bakteri dari kelompok Pseudomonas, Bacillus, serta cendawan Trichoderma
dan Gliocladium adalah agens-agens antagonis yang telah banyak digunakan.
Selain bakteri dan cendawan tersebut ada satu bakteri yang potensial untuk
digunakan dalam pengendalian cendawan patogen yaitu Chromobacterium sp.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan isolat bakteri antagonis
yang mampu mengendalikan penyakit karat putih pada krisan.
mengidentifikasi isolat bakteri antagonis dan mengkarakterisasi sifat-sifat
biokontrolnya, mengkaji mekanisme penghambatan perkecambahan teliospora
oleh bakteri antagonis, serta mengetahui peran aktivitas kitinolitik dalam
penghambatan perkecambahan teliospora.
Seleksi bakteri antagonis dilakukan dengan melihat potensinya dalam
menghambat perkecambahan teliospora cendawan karat Puccinia horiana
secara in vitro dan aktivitas kitinolitiknya berdasarkan pengukuran indeks
kitinolitik. Identifikasi bakteri antagonis potensial dilakukan dengan perunutan
sekuens gen 16S rRNA dan karakter fisiologis biokimianya. Karakterisasi
sifat-sifat biokontrol dilakukan dengan menguji produksi senyawa yang
bersifat anticendawan seperti asam sianida (HCN) dan antibiotik fenazin.
Pengujian produksi asam sianida dengan menggunakan indikator alkali pikrat.
Produksi antibiotik fenazin dengan mengamplifikasi gen pengkodenya
menggunakan dua pasang primer yaitu PHZX: 5’-TTT TTT CAT ATG CCT
GCT TCG CTT TC-3’ dan PHZY: 5’-TTT GGA TCC TTA AGT TGG AAT
GCC TCC-3’ yang digunakan untuk mendeteksi adanya gen fenazin (phzXY),
serta PHZ1 5’-GGC GAC ATG GTC AAC GG-3’ dan PHZ2 5’-CGG CTG
GCG GCG TAT TC-3’ yang digunakan untuk mendeteksi adanya gen fenazin
(phzAF).
Karakterisasi peranan aktivitas kitinolitik dalam mengendalikan
penyakit karat putih dilakukan dengan transposon mutagenesis menggunakan
plasmid pUTmini-Tn5Km1. Seleksi transkonjugan dilakukan pada media kitin
dengan menambahkan kanamisin untuk mendapatkan koloni transkonjugan
dengan berbagai aktivitas kitinolitik. Masing-masing koloni transkonjugan
dengan berbagai aktivitas kitinolitik dan selanjutnya diuji sifat
antagonismenya untuk melihat peran dari aktivitas kitinolitik terhadap
penghambatan perkecambahan teliospora.
Berdasarkan aktivitas kitinolitiknya, dari 29 isolat yang digunakan
terdapat 12 isolat yang memiliki aktivitas kitinolitik. Keduabelas isolat agens
antagonis yang diujikan berpotensi menghambat perkecambahan teliospora
cendawan P. horiana dengan persentase penghambatan lebih dari 90%. Isolat
K2 menjadi bakteri antagonis terpilih karena memiliki aktivitas kitinolitik
paling besar dan penghambatan terhadap perkecambahan teliospora yang baik
yaitu 98,3%. Isolat K2 teridentifikasi sebagai Chromobacterium sp.
berdasarkan perunutan sekuens gen 16S rRNA secara parsial dan karakterisasi
fisiologi biokimianya. Bakteri ini memproduksi beberapa senyawa yaitu asam
sianida (HCN), antibiotik fenazin, enzim kitinase, dan pigmen violacein yang
bersifat antagonis terhadap cendawan patogen. Mekanisme penghambatan
yang dimiliki oleh bakteri antagonis K2 adalah antibiosis. Antibiosis
ditunjukan dengan adanya proses lisis , protoplasma yang terdegradasi, dan
kolonisasi sel Chromobacterium sp. pada teliospora. Aktivitas kitinolitik
bukan faktor utama yang berperan dalam penghambatan perkecambahan
teliospora. Ada faktor lain yang berperan seperti asam sianida, fenazin, dan
violacein yang dihasilkan Chromobacterium sp.
Kata kunci: Penyakit karat putih krisan, pengendalian hayati, mekanisme
biokontrol, Chromobacterium sp..
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya
tulis dalam apapun tanpa izin IPB.
PENAPISAN DAN KARAKTERISASI BAKTERI
ANTAGONIS YANG BERPOTENSI SEBAGAI AGENS
HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT
KARAT PUTIH PADA KRISAN
RATDIANA
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Mikrobiologi
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si
Judul Penelitian
Nama
: Penapisan dan Karakterisasi Bakteri Antagonis yang
Berpotensi
sebagai
Agens
Hayati
untuk
Pengendalian Penyakit Karat Putih pada Krisan
: Ratdiana
NIM
: G351090161
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Aris Tri Wahyudi, M.Si.
Ketua
Dr. Ir. Giyanto, M.Si
Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor
Mikrobiologi
Dr. Ir. Gayuh Rahayu
Tanggal ujian : 28 Desember 2011
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah
yang berjudul “Penapisan dan Karakterisasi Bakteri Antagonis yang
Berpotensi sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Penyakit Karat Putih
pada Krisan”. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai Juli 2011
di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman,
Fakultas Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,
FMIPA Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
banyak membantu selama kegiatan penelitian berlangsung. Ucapan terima
kasih penulis ucapkan kepada Dr. Aris Tri Wahyudi, M.Si dan Dr. Giyanto,
M.Si atas bimbingan dan arahannya.
Terima kasih kepada Kepala dan Staf Laboratorium Bakteriologi
Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman dan Laboratorium Mikrobiologi
Departemen Biologi IPB yang telah membantu penulis selama penelitian.
Kedua orang tua, suami Adib Sulhan Purnomo, SE serta anak saya Adina
Nareshwari, dan keluarga besar tercinta atas doa dan dukungannya. Tidak lupa
saya ucapkan terima kasih kepada
teman-teman seperjuangan di
Laboratorium Bakteri dan Laboratorium Mikrobiologi, serta teman-teman
mikrobiologi 2009 atas semua bantuan dan kerjasamanya.
Bogor, Januari 2012
Ratdiana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lampung Selatan pada tanggal 10 Maret 1985,
putri bungsu dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Radikun dengan Ibu
Purwati.
Penulis lulus dari SMUN 2 Bandar Lampung pada tahun 2003 dan pada
tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis memilih program studi Hama dan Penyakit
Tumbuhan, Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 2007. Selama kuliah,
penulis menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah di Departemen
Proteksi Tanaman pada tahun 2005 sampai 2007, asisten peneliti dan asisten
pembimbing magang di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen
Proteksi Tanaman pada tahun 2007 sampai sekarang. Penulis pernah bekerja
sebagai staf R&D di PT. Tania Selatan, Wilmar Group Plantation selama tiga
bulan pada tahun 2008. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studi master di
mayor Mikrobiologi, Sekolah Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
xiv
PENDAHULUAN ............................................................................
Latar Belakang ............................................................................
Tujuan Penelitian ........................................................................
Manfaat Penelitian ......................................................................
1
1
3
3
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
Penyakit Karat Daun Krisan ........................................................
Pengendalian Hayati ....................................................................
Chromobacterium sp. .........................................................
Analisis Genetika dengan Menggunakan Transposon ................
4
4
5
7
9
BAHAN DAN METODE .................................................................
Waktu dan Tempat Penelitian .....................................................
Bahan Penelitian ..........................................................................
Seleksi dan Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis
yang Berpotensi Mengendalikan Penyakit Karat Putih ................
Peremajaan Isolat .................................................................
Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis ..................
Penghitungan Indeks Kitinolitik ........................................
Pemilihan Bakteri Antagonis Potensial ..............................
Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Potensial ...........................
Perunutan Sekuens 16S rRNA dan Padanannya
pada Gene Bank ..........................................................
Karakterisasi sifat-sifat fisiologis dan biokimia .........
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri
Antagonis Potensial .....................................................................
Uji Produksi Asam Sianida (HCN) ....................................
Amplifikasi Gen Pengkode Antibiotik Fenazin
dengan PCR ........................................................................
Karakterisasi Peran Aktivitas Kitinolitik Bakteri
Antagonis dalam Mengendalikan Penyakit Karat Putih .............
Mutagenesis dengan pUT Mini-Tn5Km1 ..........................
12
12
12
HASIL ...............................................................................................
Seleksi dan Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis
yang Berpotensi Mengendalikan Penyakit Karat Putih ...............
Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis ..................
12
12
12
14
14
15
15
15
16
16
16
17
17
18
18
18
Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Potensial ..................
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri
Antagonis Potensial .....................................................................
Aktivitas Penghambatan Perkecambahan Teliospora ........
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan
Bakteri Antagonis Potensial ...............................................
Karakterisasi Peran Aktivitas Kitinolitik Bakteri
Antagonis dalam Mengendalikan Penyakit Karat Putih .............
Mutagenesis dengan pUT Mini-Tn5Km1 ..........................
PEMBAHASAN ...............................................................................
Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis ...........................
Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Potensial ...........................
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri
Antagonis Potensial .....................................................................
Karakterisasi Peran Aktivitas Kitinolitik Bakteri
Antagonis dalam Mengendalikan Penyakit Karat Putih .............
19
25
25
25
28
28
30
30
31
32
34
KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................
Kesimpulan .................................................................................
Saran ............................................................................................
39
39
39
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
40
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Isolat bakteri Pseudomonas dan asalnya yang digunakan
dalam penelitian ini ............................................................................ 13
2. Potensi isolat-isolat bakteri antagonis dalam menghambat
perkecambahan teliospora Puccinia horiana ................................... 19
3. Analisis hasil sekuens gen 16S rRNA secara parsial
dari isolat K2 ..................................................................................... 22
4. Karakteristik biokimia dan fisiologis isolat K2 ................................ 24
5. Persentase perkecambahan teliospora dengan perlakuan
transkonjugan .................................................................................... 29
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Plasmid pUT Mini-Tn5Km1 .............................................................
10
2. Aktivitas hidrolisis koloidal kitin oleh beberapa
isolat-isolat antagonis ........................................................................
19
3. Perkecambahan teliospora .................................................................
21
4. Koloni isolat K2 ................................................................................
22
5. Kesejajaran sekuens gen 16S rRNA isolat K2 dengan
sekuens gen 16S rRNA Chromobacterium sp (Ch)
secara parsial pada GenBank ..............................................................
23
6. Mekanisme antagonisme bakteri antagonis terhadap
teliospora P. horiana .........................................................................
26
7. Produksi asam sianida (HCN) Chromobacterium sp. .......................
27
8. Amplifikasi gen pengkode fenazin dengan primer
PHZ1 dan PHZ2 pada Chromobacterium sp. ...................................
27
9. Aktivitas kitinolitik transkonjugan ....................................................
28
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Krisan merupakan salah satu komoditas tanaman hias utama di Indonesia.
Salah satu kendala dalam budidaya tanaman krisan adalah penyakit karat daun
krisan yang disebabkan oleh Puccinia horiana (Basidiomycetes: Uredinales).
Secara umum gejalanya berupa pustul berwarna kuning oranye yang diselimuti
tepung
seperti
karat
pada
permukaan
bawah
daun.
Seiring
dengan
perkembangannya pustul akan berubah menjadi putih. Infeksi dari cendawan karat
bersifat lokal dan terkadang dapat menjadi gejala sistemik (Agrios 2005).
Kerusakan yang ditimbulkannya dapat mencapai 100%, sehingga tanaman tidak
menghasikan bunga karena infeksi terjadi sejak tanaman berumur 30 HST
(Hanudin et al. 2004).
Teknik pengendalian penyakit tanaman umumnya menggunakan pestisida
dan varietas tanaman yang tahan penyakit. Alasan utama penggunaan pestisida
karena efeknya dapat langsung dilihat dalam waktu yang singkat, mudah
didapatkan, praktis, dan dapat bersifat kuratif atau preventif.
Penggunaan
pestisida yang terus menerus dan tidak sesuai dengan aturan dapat menurunkan
efektivitasnya. Selain itu juga dapat menimbulkan resistensi pada patogen.
Beberapa jenis pestisida tidak dapat terurai sehingga dapat mencemari
lingkungan. Oleh karena itu penggunaan pestisida dianggap kurang aman dan
efektif. Pengendalian dengan menggunakan varietas tahan penyakitdan kultur
teknis lainnya bersifat preventif. Namun demikian, hal ini dianggap kurang efektif
karena sifat ketahanan tersebut dapat dipatahkan. Hal ini terjadi karena sifat
virulensi dari patogen tersebut dapat cepat berubah. Oleh karena itu dibutuhkan
suatu alternatif pengendalian yang efektif, efisien, dampak dari pengendaliannya
dapat bertahan lama, dan ramah lingkungan. Biokontrol atau pengendalian secara
hayati dapat dijadikan sebagai salah satu alternatifnya.
Biokontrol adalah penghambatan pertumbuhan, infeksi atau reproduksi
satu organisme menggunakan organisme lain (Baker & Cook 1996). Biokontrol
merupakan salah satu alternatif metode pengendalian penyakit tanaman yang
ramah lingkungan. Organisme yang digunakan dalam biokontrol disebut agens
hayati. Salah satu organisme yang digunakan dalam biokontrol adalah antagonis
dari patogen tanaman yang merupakan musuh alami dari patogen yang telah ada
di lingkungan. Masing-masing agens biokontrol memiliki mekanisme tertentu
dalam mengendalikan patogen tanaman. Mekanisme yang terjadi antara lain
hiperparasitisme atau predasi, antibiosis, produksi enzim litik dan senyawasenyawa lain , kompetisi, serta menstimulasi ketahanan tanaman dari serangan
patogen .
Kompetisi terjadi karena terbatasnya nutrisi yang tersedia di habitatnya
seperti besi (Fe) yang konsentrasinya sangat rendah (Loper & Buyer 1991; Beattie
& Lindow 1999; Kageyama & Nelson 2003). Mekanisme antibiosis melibatkan
produksi senyawa antibiotik yang bersifat racun dan dapat membunuh patogen
(Islam et al. 2005; Leclére et al. 2005; Li et al. 2008). Parasitisasi atau
hiperparasitasi terjadi secara langsung pada propagul patogen tersebut. Ada empat
kelompok hiperparasit yaitu hipovirus, parasit fakultatif, bakteri patogen obligat,
dan predator (Benhamou & Chet 1997; Milgroom & Cortesi 2004). Senyawasenyawa metabolit skunder dan senyawa lain yang bersifat volatil seperti asam
sianida adalah mekanisme yang lain (Anderson et al. 2004; Kulakiotu et al. 2004;
Phillips et al. 2004). Senyawa-senyawa yang dikeluarkan oleh bakteri antagonis
juga dapat menstimulasi ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Aktivitas
ini merupakan mekanisme yang terakhir dan sifatnya tidak langsung berhubungan
dengan patogen tanaman. Mekanisme yang dimiliki oleh agens antagonis berbedabeda dalam mengendalikan cendawan patogen.
Agens antagonis yang digunakan untuk mengendalikan cendawan patogen
memiliki beberapa mekanisme antara lain dapat menghasilkan beberapa jenis
enzim yang memiliki kemampuan mendegradasi dinding sel cendawan seperti
kitinase dan glukanase, dapat berkompetisi untuk menguasai ruang dan nutrisi,
dapat menghasilkan antibiotik yang bersifat anticendawan seperti fenazin, dan
2,4-diacetyl phloroglucinol (DAPG), serta dapat menghasilkan senyawa-senyawa
lain yang bersifat anticendawan seperti HCN. Bakteri dari kelompok
Pseudomonas, Bacillus, serta cendawan Trichoderma dan Gliocladium adalah
agens-agens antagonis yang telah banyak digunakan.
Tujuan
1. Mendapatkan isolat bakteri antagonis yang mampu mengendalikan penyakit karat
putih pada krisan.
2. Mengidentifikasi isolat bakteri antagonis terpilih dan mengkarakterisasi sifat-sifat
biokontrolnya.
3. Mengkaji mekanisme penghambatan dari bakteri antagonis terpilih terhadap
perkecambahan cendawan karat putih.
4. Mengetahui peran aktivitas kitinolitik bakteri antagonis terpilih dalam
penghambatan perkecambahan cendawan karat putih.
Manfaat
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi
untuk mengendalikan penyakit karat dan dapat digunakan untuk meningkatkan
aktivitas antagonisme bakteri tersebut.
TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Karat Daun Krisan
Penyakit karat pada krisan disebabkan oleh dua macam cendawan yaitu
Puccinia chrysanthemi Roze (karat hitam) dan P. horiana Henn (karat putih). Di
daerah tropis seperti Indonesia, serangan karat putih lebih umum dijumpai
daripada karat hitam. Gejala serangan karat putih berupa bintil-bintil (pustul)
putih pada permukaan bawah daun yang berisi telium (teliospora) cendawan dan
terjadi lekukan-lekukan mendalam berwarna pucat pada permukaan daun bagian
atas. Teliospora bersel dua dan berdinding tebal. Pada serangan lebih lanjut,
penyakit ini dapat menghambat perkembangan bunga. Selain pada daun, penyakit
ini juga terjadi pada kelopak dan bunga. Pengendalian penyakit ini antara lain
dengan menggunakan varietas yang resisten, penyemprotan fungisida, dan
menggunakan agens antagonis (EPPO 1983).
Cendawan P. horiana merupakan cendawan obligat, tidak memiliki inang
alternatif. Cendawan ini tidak dapat ditumbuhkan pada media artifisial seperti
Potato Dextrose Agar (PDA). Spora cendawan ini dapat menyebar melalui angin,
air, ataupun menempel pada berbagai permukaan. Ada dua jenis spora dari
cendawan ini, yaitu teliospora dan basidiospora. Teliospora adalah bentuk spora
bersel dua berdinding tebal yang tahan terhadap kondisi kering dan kondisi yang
tidak menguntungkan. Spora ini dapat bertahan hingga delapan minggu pada
kondisi yang tidak menguntungkan. Badiospora adalah struktur yang sensitif
terhadap kekeringan. Basidiospora memerlukan kelembaban yang tinggi, sekitar
90% dan air untuk dapat berkecambah (Agrios 2005).
Perkecambahan teliospora membutuhkan kondisi lingkungan dengan
kelembaban 95% atau lebih, kisaran suhu antara 13 sampai 27 ° C, dengan suhu
optimum 17 ° C. Basidiospora akan dilepaskan 2 sampai 6 jam setelah teliospora
berkecambah dan akan segera berkecambah pada permukaan daun krisan jika
terdapat air. Gejala akan muncul antara 9 sampai 10 hari pada kondisi rumah kaca.
Siklus akan terjadi 7 hari setelah basidiospora berkecambah. Secara in vitro pustul
akan muncul 20 hari setelah inokulasi pada kondisi gelap (Contreras & García,
2008).
Proses perkecambahan teliospora diawali dengan pembentukan sel
sporagen yang merupakan permulaan terbentuknya sel teliospora. Setelah
terjadinya pembagian inti sel
dan sekat menjadi dua, sehingga terbentuk
teliospora yang memiliki dua sel dengan dua inti pada setiap selnya. Kematangan
teliospora diikuti oleh meningkatnya kerapatan sitoplasma, menghilangnya
vakuola, dan akumulasi kandungan lemak dan material glikogen. Selanjutnya
terbentuk tabung kecambah dan diikuti dengan beberapa kali proses meiosis yang
merupakan proses pemanjangan tabung kecambah. Tahapan selanjutnya adalah
pembentukan basidiospora (Harder 1977).
Kelembaban udara, suhu, dan inang merupakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perkecambahan (Contreras & García 2008). Teliospora merupakan
bentuk spora yang mampu bertahan pada kondisi lingkungan yang kurang
menguntungkan. Jika kelembaban udara mencapai 95% dan suhu udara mencapai
17 ºC yang merupakan suhu optimumnya, maka dormansi dari teliospora tersebut
berhenti dan akan mulai berkecambah. Inang sangat erat kaitannya dengan sifat
cendawan ini yang termasuk parasit obligat. Hal ini berarti keberadaan inang
menjadi salah satu faktor penting karena cendawan ini tidak dapat hidup dan
berkembang tanpa adanya inang.
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati atau biokontrol adalah pengurangan jumlah inokulum
atau aktivitas terjadinya penyakit oleh patogen dengan menggunakan satu atau
beberapa organisme lain selain manusia (Baker & Cook 1996). Aktivitas ini
meliputi pengambatan pertumbuhan, kemampuan menginfeksi, keganasan,
virulensi, dan berbagai aktivitas dari patogen lainnya. Proses infeksi,
perkembangan gejala, dan reproduksi termasuk aktivitas yang dihambat dalam
pengendalian hayati. Organisme yang digunakan dalam pengendalian hayati
antara lain individu atau populasi yang avirulen atau hipovirulen yang terdapat
pada spesies patogen tersebut, tanaman inang yang telah dimanipulasi secara
genetik secara kultur teknis atau menggunakan organisme lain sehingga tanaman
menjadi resisten terhadap patogen, dan yang terkakhir adalah antagonis yang
merupakan musuh alami dari patogen. Oleh karena itu pengendalian hayati
meliputi kultur teknis (manajemen habitat) yang dapat menciptakan lingkungan
yang sesuai untuk antagonis, resistensi tanaman inang melalui pemulian tanaman
yang dapat meningkatkan resistensi terhadap patogen atau sesuai dengan aktivitas
antagonis, dan introduksi secara masal antagonis, strain yang nonpatogen, atau
organisme yang menguntungkan lainnya.
Mekanisme biokontrol dapat terjadi melalui hiperparasitisme atau predasi,
antibiosis, produksi enzim litik dan senyawa-senyawa lain, serta kompetisi.
Mekanisme biokontrol yang pertama adalah hiperparasitisme. Pada mekanisme
ini, patogen diserang secara langsung. Agens biokontrol akan membunuh
propagul atau patogen itu secara langsung. Secara umum hiperparasit terbagi
menjadi empat kelompok besar yaitu bakteri patogen obligat, hipovirus, parasit
fakultatif, dan predator. Mikroorganisme yang memiliki kemampuan predasi pada
umumnya patogen
yang menjadi targetnya tidak spesifik tetapi hasil
pengendaliannya tidak dapat diprediksi.
Antibiosis adalah mekanisme yang disebabkan oleh aktivitas antibiotik.
Antibiotik adalah senyawa racun yang dihasilkan mikroorganisme dan konsentrasi
rendah dapat meracuni atau membunuh mikroorganisme lainnya. Antibiotik yang
diproduksi oleh mikroorganisme khususnya agens antagonis sangat efektif untuk
menekan perkembangan patogen tanaman. Beberapa strain agens antagonis dapat
menghasilkan beberapa antibiotik yang dapat menekan satu atau banyak patogen,
contohnya adalah kelompok Bacillus dan Pseudomonas. Bacillus cereus strain
UW85 yang memproduksi zwittermisin dan kanosamin. Agens antagonis
Pseudomonas putida WC358r dapat memproduksi fenazin dan DAPG yang dapat
menekan beberapa penyakit tanaman di lahan gandum (Glandorf et al. 2001).
Mekanisme ketiga adalah produksi enzim litik dan senyawa-senyawa
lainnya. Enzim litik ini memiliki kemampuan untuk menghidrolisis berbagai
senyawa polimer seperti kitin, selulosa, hemiselulosa, protein, dan DNA.
Senyawa-senyawa polimer tersebut merupakan bagian dari penyusun strukturstruktur sel patogen. Aktivitas dari enzim-enzim litik tersebut secara tidak
langsung dapat menghambat patogen tanaman. Salah satu contohnya adalah
Lysobacter dan Myxobacteria yang menghasilkan berbagai enzim litik dalam
jumlah banyak dan beberapa isolat efektif dalam menekan cendawan patogen
tanaman (Bull et al. 2002). Asam sianida dan senyawa volatil seperti amonia
adalah senyawa lain yang dapat menghambat patogen tanaman selain enzimenzim litik.
Mekanisme yang keempat adalah kompetisi. Bagi mikroorganisme, tanah
dan permukaan tanaman menjadi habitat dengan keterbatasan nutrisi. Oleh karena
itu, antar mikroorganisme yang ada saling berkompetisi untuk mendapatkan
nutrisi agar dapat bertahan. Jika kompetisi ini melibatkan agens biokontrol dan
patogen maka dapat berperan dalam menekan penyakit tanaman. Hal ini terjadi
jika agens biokontrol dapat menguasai nutrisi yang tersedia dengan jumlah
populasi yang melebihi populasi patogen. Nutrisi yang paling esensial adalah besi
(Fe). Besi yang tersedia di alam tidak dapat larut dalam air dengan konsentrasi
sangat rendah yaitu 10-18 Molar. Oleh karena itu agar dapat memanfaatkan Fe,
mikroorganisme harus memiliki strategi tertentu untuk mendapatkannya.
Siderofor adalah senyawa yang dapat mengikat Fe. Di alam, mekansimemekanisme tersebut dapat bekerja secara sinergis artinya dalam mengendalikan
suatu penyakit empat mekanisme tersebut berperan (Baker & Cook 1996).
Chromobacterium sp.
Chromobacterium sp. adalah bakteri gram negatif yang hidup bebas dan
banyak terdapat di tanah dan air pada daerah tropis sampai subtropis. Bakteri ini
bersifat anaerobik fakultatif dan oksidase positif. Sebagai sumber energi,
Chromobacterium
sp.
memfermentasi
glukosa,
sukrosa,
trehalosa,
N-
asetilglukosamin, dan glukonat. Bakteri ini dapat ditumbuhkan pada media
nutrient agar dengan bentuk koloni cembung datar dan licin dengan warna ungu
karena memproduksi pigmen berwarna ungu yang disebut violacein. Namun
pigmentasi ini bisa berbeda antara satu strain dengan strain lainnya. Bakteri ini
tidak dapat tumbuh pada suhu 4 °C dan dapat tumbuh baik antara suhu 15 °C
sampai 37 °C. Chromobacterium sp. bukan bakteri patogen manusia tetapi
terkadang dapat menginfeksi manusia dan dapat menyebabkan luka di kulit yang
disebut septisemia (Kaufman et al. 1986; Lee et al. 1999).
Genom dari Chromobacterium sp. telah dikarakterisasi dan berpotensi
untuk dikembangkan untuk beberapa aplikasi bioteknologi (Brazilian National
Genome Project Consortium 2003). Aspek yang dapat dikembangkan antara lain
detoksifikasi racun-racun yang ada di lingkungan, penghasil senyawa-senyawa
yang bersifat antagonis terhadap hama dan penyakit tanaman, serta perakitan
varietas tanaman yang tahan herbisida di bidang pertanian, penghasil antibiotik
seperti fenazin dan antibiotik lainnya dengan potensi sebagai antitumor,
hemolisin, dan antikoagulan di bidang kedokteran. Di bidang industri, bakteri ini
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan plastik yang dapat didegradasi dan juga
menghasilkan selulosa.
Senyawa-senyawa
penting
dan
bersifat
racun
yang
dihasilkan
Chromobacterium sp. antara lain violacein, asam sianida (HCN), enzim kitinase,
dan beberapa antibiotik (McClean et al. 1997; Durán & Menck 2001; Brazilian
National Genome Project Consortium 2003). Violacein adalah turunan dari
senyawa indol yang bersifat antitumor, antimikrobial, antiviral, dan antiparasit
(Durán et al. 2007). Hidrogen sianida adalah senyawa yang dapat menghambat
kerja dari enzim sitokrom c oksidase yang ditemukan pada membran mitokondria
sel eukariot (Isom & Way 1984). Ikatan antara sianida dengan kompleks enzim ini
akan mengganggu transfer elektron ke oksigen sehingga secara aerobik tidak
dapat menghasilkan ATP untuk energi. Jadi senyawa ini dapat digunakan untuk
mengontrol cendawan patogen yang merupakan organisme eukariot.
Kitinase adalah enzim yang memiliki kemampuan untuk mendegradasi
senyawa kitin dan mekanisme kerjanya adalah menghidrolisis ikatan β-1,4
glikosidase
yang
menghubungkan
monomer-monomer
GlcNAc
(N-
asetilglukosamin). Enzim ini dapat menguraikan dinding sel cendawan dan hasil
hidrolisisnya digunakan oleh bakteri kitinolitik sebagai sumber karbon, energi
(oligosakarida), dan nitrogen (Chernin et al. 1995; Boer et al. 2001).
Chromobacterium sp. menghasilkan beberapa antibiotik seperti fenazin
yang dalam bidang kedokteran berpotensi sebagai antitumor sedangkan dalam
bidang pertanian untuk mengendalikan cendawan patogen, hemolisin yang
memiliki potensi sebagai antikoagulan, aztreonam yang merupakan antibiotik
monobaktam dan aktif terhadap gram negatif yang aerobik, aerosianidin efektif
untuk organisme gram positif, dan aerocavin yang efektif untuk gram negatif dan
positif. Pigmen ungu violacein juga memiliki sifat antibiotik terhadap Amoeba dan
Trypanosoma.
Chromobacterium sp. berpotensi sebagai agens antagonis untuk patogen
tanaman karena menghasilkan beberapa senyawa yang bersifat anticendawan
seperti asam sianida (HCN), enzim kitinase, dan antibiotik fenazin. Rhizoctonia
solani, Fusarium sp., Phomopsis sp., Cercospora kikuchi, Corynespora sp.,
Aspergillus sp, dan Colletotrichum sp. adalah cendawan-cedawan patogen yang
berhasil dikendalikan oleh bakteri ini ( Barreto et al. 2008; Park et al. 2005).
Analisis Genetika dengan Menggunakan Transposon
Transposon adalah elemen DNA yang dapat meloncat dan menyisip pada
DNA lain. DNA yang disisipi oleh transposon dapat mengalami mutasi dan akan
dihasilkan banyak mutan. Hal ini terjadi karena transposon akan menyisip pada
sekuens DNA secara random. Teknik ini dinamakan transposon mutagenesis.
Transposon yang digunakan untuk mutagenesis memiliki beberapa syarat antara
lain frekuensi untuk transposisi harus besar, memiliki target yang tidak spesifik,
harus membawa sifat resistensi antibiotik tertentu, dan memiliki kisaran inang
yang luas.
Transposon Tn5 telah banyak digunakan dalam transposon mutagenesis
khususnya untuk bakteri gram negatif dan telah dibuat beberapa turunannya dan
disebut minitransposon. Turunan-turunan ini masing-masing membawa gen
resisten antibiotik yang spesifik seperti kanamisin, kloramfenikol, streptomisinspektinomisin, dan tetrasiklin. Selain itu beberapa turunannya juga telah disisipi
oleh beberapa gen lain yang berfungsi untuk berpindah dari sel donor serta
ekspresi gen di dalam sel resipien (De Lorenzo et al. 1990).
Menurut Goryshin & Reznikoff (1998) ada 3 makromolekul penting yang
berhubungan dengan proses transposisi dari Tn5 ini. Ketiga makromolekul
tersebut adalah DNA transposon yang terdapat pada DNA donor, transposase
yang panjangnya 476 asam amino dan berperan dalam mengkatalis transposisi
atau perpindahan DNA transposon ke DNA target. Makromolekul yang ketiga
adalah urutan DNA target yang komplemen dengan DNA transposon. Sehingga
ketiga komponen tersebut harus ada dalam proses transposisi.
Salah satu transposon turunan dari Tn5 adalah transposon mini-Tn5Km1
(Herrero et al. 1990; De Lorenzo et al. 1990). Pada minitransposon terdapat gen
pembawa sifat resistensi terhadap beberapa antibiotik seperti kanamisin,
kloramfenikol, streptomisin-spektinomisin, dan tetratsiklin yang berfungsi sebagai
penanda seleksi.
A
B
Gambar 1 Plasmid pUT Mini-Tn5Km1. A. Peta plasmid pUT Mini-Tn5Km1. Transposon
yang terdapat pada plasmid ini membawa sifat resistensi terhadap kanamisin. Gen
pengkode transposase (tnp) berada di luar dari transposon dan plasmid ini
memiliki gen pengkode untuk berpindah (mobRP4) dengan cara konjugasi. B.
Peta situs restriksi dari Mini-Tn5Km1. Transposon ini memiliki situs kloning
NotI yang memudahkan untuk proses kloning
kloning yang diapit oleh dua sekuens yang
berulang (IS) masing-masing sebanyak 19 pasang basa.
Selain itu, pada transposon terdapat situs kloning yang sangat unik, yaitu
NotI yang mempermudah proses kloning. Hal ini berarti bahwa transposon dapat
dijadikan vektor kloning untuk penyisipan gen tertentu pada kromosom. Situs ini
diapit oleh sekuens berulang sebanyak 19 pasang basa yang berasal dari
transposon Tn5 (Gambar 1A). Enzim transposase dari transposon ini berada di
luar bagian dari transposon. Transposase ini
ini berada pada genom dari plasmid yang
membawanya, yaitu pUT (Gambar 1B). Plasmid ini akan berpindah dari donor,
yaitu bakteri pembawa plasmid pUT (Escherichia coli S17-1λλ pir) ke sel resipien
melalui proses konjugasi. Setelah berpindah, transposase akan bekerja
melompatkan transposon pada DNA genom resipien secara random. Plasmid pUT
ini tidak akan bertahan lama pada sel resipien dan akhirnya hancur beserta
transposase karena tidak akan direplikasi oleh sel resipien. Oleh karena itu, satu
sel resipien dapat disisipi oleh minitransposon lainnya dan hanya dibatasi oleh
kemampuan penanda seleksi yang berbeda-beda.
Transposon mutagenesis adalah teknik yang banyak digunakan untuk
mengidentifikasi gen yang mengkode beberapa senyawa metabolisme dan fungsi
khusus dari suatu organisme (Mills 1985). Dalam bidang biokontrol, Boucher et
al. (1989) memanfaatkan transposon Tn5 untuk membuat mutan Pseudomonas
solanacearum yang avirulen dan digunakan untuk mengendalikan bakteri yang
virulen. Transposon ini juga dapat digunakan untuk mutasi fungsi dari suatu gen
dan menyebabkan gen lain memproduksi senyawa tertentu secara terus menerus
seperti yang dilakukan oleh Schnider et al. (1995) yaitu ekspresi dari gen pqq
dihentikan sehingga bakteri tersebut dapat memproduksi antibiotik pyoluteorin
secara terus menerus. Anderson et al. (2004) juga menggunakan Tn5 untuk
mengkloning gen pengkode enzim protease ekstraselular dari P. fluorescens
sehingga meningkatkan produksi antibiotik Pantoea agglomerans untuk
mengendalikan Erwinia amylovora.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai Juli 2011 di
Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, FMIPA, Institut
Pertanian Bogor.
Bahan Penelitian
Isolat dan strain bakteri yang digunakan dalam penelitian ini tertera pada
Tabel 1. Teliospora yang digunakan diambil dari gejala pustul karat putih (white
rust disease) pada tanaman krisan.
Seleksi dan Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis yang Berpotensi
Mengendalikan Penyakit Karat Putih
Peremajaan Isolat. Isolat bakteri antagonis yang digunakan adalah dari
kelompok bakteri gram negatif. Media yang digunakan adalah King’s B agar
(protease pepton no.3 20 g, K2HPO4 1.5 g, MgSO4.7H2O 1.5 g, gliserol 15 ml,
agar 15 g, dan aquades 1 L) untuk meremajakan bakteri kelompok Pseudomonas
dan media Tryptic Soybean Agar (TSA) siap pakai (Difco) untuk kelompok
bakteri antagonis lainnya.
Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis. Pengujian in-vitro
terhadap cendawan karat dilakukan dengan
menggunakan metode yang
dikembangkan oleh Mueller et al. (2005) dengan modifikasi. Kultur bakteri
antagonis yang berumur 24 jam diteteskan sebanyak 100 µl pada gelas objek dan
dikeringanginkan. Setelah itu serbuk teliospora dari pustul cendawan karat
P.horiana dipanen dengan menggunakan cover glass diletakan di atas kultur
bakteri tersebut. Gelas objek disimpan pada cawan yang telah dilapisi kertas tisu
yang dibasahi untuk menjaga kelembaban dan diinkubasi pada suhu 17°C selama
24 jam dalam kondisi gelap. Sebagai kontrol digunakan suspensi teliospora yang
tidak diberi perlakuan bakteri antagonis. Setelah 24 jam, dilakukan pengamatan di
bawah mikroskop untuk menghitung jumlah teliospora yang berkecambah.
Penghitungan dilakukan dengan mengamati 100 teliospora untuk setiap perlakuan.
Tabel 1 Isolat bakteri Pseudomonas dan asalnya yang digunakan dalam penelitian ini
IIsolat
P1
P2
P11
P12
P13
P14
P15
P16
P17
P19
P21
P22
P24
P25
P26
P28
P29
P30
P32
P33
P34
P36
P38
P39
Pfd2
Pfd3
K2
K4
K6
Genus
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Pseudomonas kelompok fluorescens
Asal Isolat
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Tembilah-Riau
Citere-Pengalengan
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Landungsari-Malang
Landungsari-Malang
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Maribaya-Lembang
Malabar-Pangalengan
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Cibodas-Lembang
Batu-Malang
Segunung-Cipanas
Malabar-Pangalengan
Koleksi laboratorium bakteriologi DPT
Tanaman kubis-MegaMendung,Bogor
Tanaman kubis-MegaMendung,Bogor
Mangunkerta-Cianjur
Karanganyar-Cirebon
Karanganyar-Cirebon
Referensi
Nawangsih 2006
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Penelitian ini
Persentase perkecambahan dan persentase penghambatan dihitung menggunakan
rumus berikut:
% 100%
% % 100 %
% Keterangan: Rumus diatas berlaku dengan asumsi bahwa teliospora pada
perlakuan kontrol berkecambah 100%.
Penghitungan Indeks Kitinolitik. Penghitungan aktivitas kitinase
menggunakan metode yang digunakan Tahtamouni et al. (2006) dengan
modifikasi. Isolat bakteri ditumbuhkan pada media LB 10% (tripton 1 g, NaCl
0.5 g, ekstrak khamir 0.5 g, dan aquades 1 L) dengan penambahan serbuk kitin
1%. Sebanyak 25 µl dari masing-masing kultur bakteri diteteskan pada media
kitin (K2HPO4 0.7 g, MgSO4.7H2O 0.5 g, KH2PO4 0.3 g, FeSO4.7H2O 0.01 g,
MnCl2 0.001, ZnSO4 0.001, koloidal kitin 1%, agar 20 g, dan aquades 1 L).
Pengujian untuk setiap isolat dilakukan tiga ulangan dan diinkubasi pada suhu
30°C selama 14 hari. Lebar zona bening menunjukan indeks kitinolitik dari
masing-masing isolat. Penghitungan berdasarkan persamaan ∆Y=Y2-Y1 (∆Y=
besarnya indeks kitinolitik, Y2= diameter zona bening dan diameter koloni, dan
Y2= diameter koloni).
Pemilihan Bakteri Antagonis Potensial. Karakterisasi mekanisme
antagonis dilakukan pada bakteri antagonis yang menunjukan sifat antagonisme
yang paling baik dari bakteri antagonis lainnya secara kualitas dan kuantitasnya.
Selain itu, pemilihan juga didasarkan pada tingkat sensitivitasnya terhadap
antibiotik yang akan digunakan sebagai penanda seleksi. Plasmid yang membawa
transposon yang akan digunakan memiliki gen penyandi resistensi terhadap
kanamisin. Oleh karena itu dipilih bakteri antagonis yang sensitif terhadap
kanamisin.
Sehingga
transposon
yang
menyisip
pada
genom
bakteri
menyebabakan bakteri memiliki sifat resistensi terhadap kanamisin. Isolat-isolat
bakteri antagonis ditumbuhkan pada media LB yang mengandung antibiotik
kanamisin dengan konsentrasi 50 µg/ml semalaman. Setelah semalaman diamati
pertumbuhannya. Jika bakteri tersebut dapat tumbuh pada media LB dengan
kanamisin maka bakteri tersebut bersifat resisten terhadap antibiotik tersebut dan
sifat sensitif ditunjukan dengan tidak adanya pertumbuhan. Selanjutnya bakteri
yang sensitif tersebut dipilih untuk dikarakterisasi gen-gennya.
Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Terpilih
Perunutan Sekuens 16S rRNA dan Padanannya pada Gene Bank.
Isolasi DNA bakteri antagonis dilakukan dengan menggunakan kit ekstraksi
(Genaid) sesuai dengan protokol pada manualnya. Selanjutnya DNA tersebut
diamplifikasi dengan menggunakan primer 16S rRNA yaitu 63f (primer forward5’- CAGGCCTAACACATGCAAGTC -3’) dan 1387r (primer reverse- 5’GGGCGGWGTGTACAAGGC-3’) (Marchesi et al. 1998). Komponen PCR yang
digunakan adalah KAPA Taq Ready Mix (KAPA Biosystems) sebanyak 12.5 µl,
10 pmol untuk masing-masing primer, DNA genom, dan ddH2O hingga volume
reaksi 25 µl. Tahapan PCR adalah predenaturasi pada suhu 94 ºC selama 2
menit, denaturasi pada suhu 95 ºC selama 1 menit, pelekatan primer (annealing)
pada suhu 55 ºC selama 1 menit, pemanjangan (elongation) pada suhu 72 ºC
selama 1.5 menit, proses ini diakhiri dengan pemanjangan DNA pada suhu 72 ºC
selama 5 menit. Fragmen DNA hasil amplifikasi dielektroforesis menggunakan
agarose dengan konsentrasi akhir 1%. Selanjutnya DNA tersebut disekuensing
dengan menggunakan jasa PT. Genetika Science, dan dilihat kesamaan urutan
basanya dengan menggunakan program BLAST (http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/).
Karakterisasi Sifat-Sifat Fisiologis dan Biokimia. Pengujian sifat
fisiologis dan biokimia dilakukan mengacu pada Bergey Manual untuk bakteri
hasil karakterisasi dengan molekuler yang telah dilakukan sebelumnya. Pengujian
dilakukan dengan menggunakan Microgen Gn-ID A+B Panel (Microgen
Bioproducts).
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri Antagonis Potensial
Uji produksi Asam Sianida (HCN). Produksi asam sianida dapat
diketahui dengan menggunakan indikator alkali pikrat (Reddy et al. 2008).
Produksi asam sianida oleh isolat bakteri antagonis dapat dideteksi dengan
perubahan warna kertas indikator dari kuning menjadi oranye kecoklatan pada
kertas saring yang dicelupkan pada larutan indikator.
Kultur bakteri yang
berumur 24 jam diinokulasikan pada medium agar miring TSA yang ditambahkan
4.4 g/L glisin. Setelah itu pada masing-masing tabung reaksi diberikan sepotong
kertas saring Whatman No.1 yang telah dicelupkan ke dalam larutan 0.5% asam
pikrat dan 2% sodium karbonat (Na2CO3) sebagai indikator pada bagian dalam
tabung reaksi. Kultur bakteri di dalam tabung reaksi diinkubasi pada suhu ruang
selama 3 sampai 5 hari.
Amplifikasi Gen Pengkode Antibiotik Fenazin dengan PCR. Gen
pengkode antibiotik fenazin diamplifikasi dari DNA genom bakteri antagonis
dengan menggunakan dua pasang primer yaitu PHZX: 5’-TTT TTT CAT ATG
CCT GCT TCG CTT TC-3’ dan PHZY: 5’-TTT GGA TCC TTA AGT TGG AAT
GCC TCC-3’ yang digunakan untuk mendeteksi adanya gen fenazin (phzXY),
serta PHZ1 5’-GGC GAC ATG GTC AAC GG-3’ dan PHZ2 5’-CGG CTG GCG
GCG TAT TC-3’ yang digunakan untuk mendeteksi adanya gen fenazin (phzAF).
Komponen PCR yang digunakan adalah KAPA Taq Ready Mix (KAPA
Biosystems) sebanyak 12.5 µl, 10 pmol untuk masing-masing primer, DNA
genom, dan ddH2O hingga volume reaksi 25 µl. Produk PCR gen target
menggunakan primer PHZX dan PHZY adalah 1.1 kb. Siklus PCR terdiri dari
denaturasi awal 94 ºC selama 1.50 menit, dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi
94 ºC selama 45 detik, penempelan primer 58 ºC selama 45 detik, pemanjangan
72 ºC selama 1.75 menit
dan pemanjangan akhir 72 ºC selama 1 menit.
Sedangkan untuk produk PCR gen target menggunakan primer PHZ1 dan PHZ2
adalah 1.4 kb. Siklus PCR terdiri dari denaturasi awal 94ºC selama 2 menit,
dilanjutkan dengan 30 siklus denaturasi 94ºC selama 1 menit, penempelan primer
56ºC selama 45 detik, pemanjangan 72ºC selama 1.75 menit dan pemanjangan
akhir 75ºC selama 1 menit (Delaney et al. 2001).
Karakterisasi Peranan Aktivitas Kitinolitik Bakteri Antagonis dalam
Mengendalikan Penyakit Karat Putih
Mutagenesis dengan pUT Mini-Tn5Km1. Transposon mutagenesis
dilakukan dengan metode konjugasi antara bakteri antagonis sebagai resipien
dengan E.coli S17-1λ pir yang merupakan pembawa plasmid pUT mini Tn5-Km1
sebagai donor (De Lorenzo et al. 1990). Bakteri antagonis ditumbuhkan
semalaman (suhu ruang, 100 rpm) pada media LB sampai konsentrasi sel 108 dan
dipanen selnya dengan sentrifugasi selama 8 menit pada kecepatan 10.000 rpm.
Setelah itu dicuci menggunakan NaCl 0.85% 3 kali. E.coli S17-1λ pir
ditumbuhkan selama 18 jam (suhu 37 °C, 80 rpm) pada LB yang ditambahkan
kanamisin 50 µg/ml dan ampisilin 50 µg/ml. Pemanenan dan pencucian sel
dilakukan seperti sebelumnya. Kedua pelet diresuspensikan dengan 40 µl LB
,dicampur, dan diteteskan pada membran steril yang diletakan di atas media LA.
Selanjutnya diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 °C. Setelah 24 jam, membran
diambil, dimasukan ke dalam tabung yang telah berisi 1 ml NaCl 0.85%, dan
dikocok dengan vorteks. Sebanyak 100 µl kultur bakteri disebar pada media TSA
yang ditambah kanamisin 50 µg/ml. Hasil transkonjugan ditunjukan dengan
koloni yang dapat tumbuh pada media tersebut. Seleksi transkonjugan dilakukan
pada media kitin untuk mendapatkan koloni transkonjugan dengan berbagai
aktivitas kitinolitik. Masing-masing koloni transkonjugan dengan aktivitas
kitinolitik yang berbeda selanjutnya diuji sifat antagonismenya untuk melihat
peran dari aktivitas kitinolitik terhadap penghambatan perkecambahan teliospora.
HASIL
Seleksi dan Identifikasi Isolat Bakteri
Mengendalikan Penyakit Karat Putih
Antagonis
yang
Berpotensi
Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis. Berdasarkan aktivitas
kitinolitiknya, dari 29 isolat yang digunakan terdapat 12 isolat yang memiliki
aktivitas kitinolitik. Keduabelas isolat agens antagonis yang diujikan berpotensi
menghambat perkecambahan teliospora cendawan P. horiana dengan persentase
penghambatan lebih dari 90% (Tabel 2). Teliospora pada perlakuan kontrol
mampu berkecambah dengan baik dengan presentase perkecambahan 100%.
Sedangkan untuk perlakuan dengan menggunakan bakteri antagonis teliospora
yang berkecambah antara 0.5% sampai 3.5%. Isolat P36 menunjukan persentase
penghambatan yang paling rendah yaitu 96.55 dan isolat P29 yang menunjukan
presentase penghambatan yang terbesar yaitu 99.7%. Isolat yang memiliki
penghambatan yang baik dengan presentase penghambatan antara 98% sampai
99.5% adalah P11, P25, K2, P21, P26, P34, dan P28. Beberapa isolat menunjukan
penghambatan yang sama yaitu P25 dan K2 sebesar 98.3% serta P26 dan P34
sebesar 99.2%.
Aktivitas kitinolitik (Gambar 2) yang ditunjukan dengan nilai indeks
kitinolitik ternyata tidak berkorelasi positif dengan aktivitas antagonismenya
terhadap cendawan karat. Berdasarkan hasil pada tabel 2, diketahui bahwa isolat
dengan indeks kitinolitik yang tinggi persentase penghambatannya masih lebih
rendah dari isolat dengan indeks kitinolitik yang lebih rendah. Isolat K2 dengan
indeks kitinolitik tertinggi (22.6) memiliki persentase penghambatan yang sama
dengan isolat P25 yang indeks kitinolitiknya 5.6 yaitu sebesar 98.3%. Jika
dibandingkan dengan isolat yang memiliki indeks kitinolitik rendah lainnya,
persentase penghambatan isolat K2 lebih rendah. Penghambatan paling baik
ditunjukan oleh isolat P29 yaitu 99.7% yang memiliki indeks kitinolitik 10.1
yang termasuk dalam kategori sedang. Sedangkan penghambatan terendah juga
ditunjukan oleh isolat P36 yang memiliki indeks kitinolitik sedang.
Tabel 2 Potensi isolat-isolat bakteri antagonis dalam menghambat perkecambahan
teliospora P. horiana.
Persentase
Persentase
Nama
Penghambatan
Perkecambahan
Indeks Kitinolitik
Isolat
Perkecambahan (%)
(%)
P11
2
98
10.1
P21
98.6
8.5
1.4
P25
98.3
5.6
1.7
P26
99.2
5.1
0.8
P28
99.5
0.5
11.1
P29
99.7
0.3
10.1
P30
97.7
2.3
9.6
P34
99.2
0.8
6.05
P36
96.5
3.5
8.1
K2
98.3
1.7
22.6
1
99
K4
10.6
K6
96.7
3.3
11.6
Kontrol
0
100
Keterangan: Aktivitas ditentukan berdasarkan indeks kitinolitik .Kuat menunjukan indeks
kitinolitik >12, sedang menunjukan indeks kitinolitik 9-12, rendah menunjukan indeks kitinolitik
1-8, dan tidak menunjukan aktivitas (Tahtamouni et al. 2006)
C
A
B
D
Gambar 2 Aktivitas hidrolisis koloidal kitin oleh beberapa isolat-isolat antagonis. A.
Aktivitas kitinolitik Chromobacterium sp. lebih kuat ditandai dengan indeks
kitinolitik 22.6 dan zona bening (tanda panah merah) yang terbentuk sangat lebar.
B. Zona bening (tanda panah merah) yang dihasilkan oleh isolat K6 lebih kecil
dari Chromobacterium sp. dan masuk kategori kuat dengan indeks kitinolitik 11.6.
C. Isolat P25 yang menunjukan aktivitas sedang dengan zona bening (tanda panah
merah) lebih kecil dari isolat
isolat K6. D. Menunjukan isolat bakteri antagonis yang
tidak memiliki aktivitas, tidak terbentuk zona bening (tanda panah merah).
Penghambatan perkecambahan tidak hanya terjadi berdasarkan pada
jumlah teliosporanya, tetapi juga tabung kecambah yang tebentuk. Pada perlakuan
kontrol (Gambar 3A), tabung kecambah (metabasidium) sudah terbentuk dan
berkembang dengan sempurna setelah 24 jam inkubasi. Berdasarkan gambar
tersebut, pada tabung kecambah terjadi aliran protoplasma dari teliospora.
Teliospora terlihat kosong. Setelah 72 jam, tabung kecambah membentuk
basidiospora dan struktur lainnya seperti sterigma atau tangkai basidiospora
(Gambar 3B). Sedangkan teliospora yang diberi perlakuan bakteri antagonis,
tabung kecambah sudah muncul pada 24 jam inkubasi tetapi perkembangannya
tidak sempurna (Gambar 3C dan 3D). Tidak terjadi proses pemanjangan tabung
kecambahnya sehingga setelah 72 jam, tabung kecambah masih sama seperti
sebelumnya. Tabung kecambahnya menjadi lebih besar (Gambar 3D).
Basidiospora juga tidak terbentuk.
Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Potensial.
Berdasarkan potensi antagonismenya dan aktivitas kitinolitik terhadap
cendawan karat, isolat K2 (Gambar 4) dipilih untuk diidentifikasi dan
dikarakterisasi mekanisme penghambatannya. Hal ini berdasarkan persentase
penghambatannya yang tinggi yaitu 98.3% dan sensitifitasnya terhadap antibiotik
kanamisin karena transkonjugan yang dihasilkan akan menjadi resisten terhadap
kanamisin.
Berdasarkan hasil analisis gen 16S rRNA nya, isolat K2 teridentifikasi
sebagai Chromobacterium sp dengan derajat kemiripan mencapai 99% (Tabel 3
dan Gambar 5). Secara fisiologis dan biokimia, bakteri ini sangat mudah
ditumbuhkan pada media yang mengandung gula-gula sederhana seperti glukosa
dan sukrosa (Tabel 4). Hal lainnya adalah bakteri ini memproduksi pigmen
berwarna ungu baik pada media padat maupun media cair. Hal ini diperkuat lagi
dengan hasil uji fisiologis (Tabel 4), yang menyatakan bahwa isolat K2 sebagai
Chromobacterium sp.. Ciri khas dari bakteri ini adalah koloninya yang berwarna
ungu, cembung, dan licin. Hal tersebut sama dengan koloni dari isolat K2
(Gambar 4).
Gambar 3 Perkecambahan teliospora. A. Perkecambahan kontrol pada H+1,
metabasidium (M) berkembang dengan baik, terlihat adanya
perpindahan protoplas ke metabasidium. B. Perkecambahan kontrol
pada H+3, tahap perkembangan teliospora sampai pada tahap
pembentukan basidiospora (bs). Sterigma (S) atau tangkai basidiospora
terlihat dan metabasidiumnya membentuk basidiospora lain. C.
Perkecambahan isolat K2 pada H+1, metabasidium (M) baru muncul
dari sel teliospora dan tidak berkembang dengan baik. Protoplas dan
inti belum berpindah ke metabasidium. D. Perkecambahan isolat K2
pada H+3, pemanjangan metabasidium tidak sempurna, protoplas
masih banyak tertinggal pada sel teliospora, dan metabasidium
ukurannya lebih besar dari kontrol.
Bakteri ini memiliki sifat oksidatif fermentatif atau anaerob fakultatif. Hal
ini ditunjukan oleh hasil uji fisiologisnya di mana hasil uji oksidasenya positif
sedangkan bakteri ini juga dapat memfermentasi beberapa gula-gula sederhana
sebagai sumber energinya. Gula-gula yang dapat difermentasi adalah manosa,
sukrosa, dan glukosa. Isolat K2 juga bereaksi positif terhadap uji arginin
dihidrolase dan dapat menghasilkan asam sianida (HCN). Selain itu bakteri ini
dapat mereduksi nitrat.
Tabel 3 Analisis hasil sekuens gen 16S rRNA secara parsial dari isolat K2
Nama
Isolat
K2
Homologi
No Akses di
GenBank
Derajat
Kemiripan
Chromobacteriu
m sp. 06 16S
ribosomal RNA
gene, complete
sequence
AY117560.1
99%
Skor
Maksim
al
1267
Evalue
0.0
Gambar 4 Koloni isolat K2. Isolat ditumbuhkan pada media TSA dan koloninya
berwarna ungu dengan bentuk koloni cembung, dan licin. Berdasarkan
analisis kesejajaran sekuens gen 16S rRNAnya, bakteri ini
teridentifikasi sebagai Chromobacterium sp.. Warna ungu merupakan
pigmen yang diproduksi oleh bakteri ini yang disebut violacein.
K2
Ch
K2
Ch
10 AGGGTGCTTGCACCGCTGACGAGTGGCGAACGGGTGAGTAATGCGTCGGAATGTACCGTG 69
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31 AGGGTGCTTGCACCGCTGACGAGTGGCGAACGGGTGAGTAATGCGTCGGAATGTACCGTG 90
70 TAATGGGGGATAGCTCGGCGAAAGCCGGATTAATACCGCATACGCCCTGAGGGGGAAAGT 129
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
91 TAATGGGGGATAGCTCGGCGAAAGCCGGATTAATACCGCATACGCCCTGAGGGGGAAAGT 150
K2 130 GGGGGACCGTAAGGCCTCACGTTATACGAGCAGCCGACGTCTGATTAGCTAGTTGGTGAG 189
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 151 GGGGGACCGTAAGGCCTCACGTTATACGAGCAGCCGACGTCTGATTAGCTAGTTGGTGAG 210
K2 190 GTAAAGGCTCACCAAGGCGACGATCAGTAGCGGGTCTGAGAGGATGATCCGCCACACTGG 249
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 211 GTAAAGGCTCACCAAGGCGACGATCAGTAGCGGGTCTGAGAGGATGATCCGCCACACTGG 270
K2 250 GACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATTTTGGACAATGGGC 309
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 271 GACTGAGACACGGCCCAGACTCCTACGGGAGGCAGCAGTGGGGAATTTTGGACAATGGGC 330
K2 310 GCAAGCCTGATCCAGCCATGCCGCGTGTCTGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGGACTTT 369
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 331 GCAAGCCTGATCCAGCCATGCCGCGTGTCTGAAGAAGGCCTTCGGGTTGTAAAGGACTTT 390
K2 370 TGTTCGGGAGGAAATCCCGCTGGTTAATACCTGGCGGGGATGACAGTACCGGAAGAATAA 429
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||| ||||||
Ch 391 TGTTCGGGAGGAAATCCCGCTGGTTAATACCTGGCGGGGATGACAGTACCGGA-GAATAA 449
K2 430 GCACCGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGGTGCAAGCGTTAATCGGA 489
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 450 GCACCGGCTAACTACGTGCCAGCAGCCGCGGTAATACGTAGGGTGCAAGCGTTAATCGGA 509
K2 490 ATTACTGGGCGTAAAGCGTGCGCAGGCGGTTGTGCAAGTCTGATGTGAAAGCCCCGGGCT 549
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 510 ATTACTGGGCGTAAAGCGTGCGCAGGCGGTTGTGCAAGTCTGATGTGAAAGCCCCGGGCT 569
K2 550 TAACCTGGGAACGGCATTGGAGACTGCACGACTAGAGTGCGTCAGAGGGGGGTAGAATTC 609
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 570 TAACCTGGGAACGGCATTGGAGACTGCACGACTAGAGTGCGTCAGAGGGGGGTAGAATTC 629
K2 610 CCACGTGTAGCAGTGAAATGCGTAGAGATGTGGAGGAATACCGATGGCGAAGGCAGCCCC 669
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ch 630 C-ACGTGTAGCAGTGAAATGCGTAGAGATGTGGAGGAATACCGATGGCGAAGGCAGCCCC 688
K2 670 CTGGGATGACACTGACGCTTCATGCTACGAAAGCGTGGGGGAGC
||||||||||||||||||| ||||| |||||||||||||| |||
Ch 689 CTGGGATGACACTGACGCT-CATGC-ACGAAAGCGTGGGG-AGC
713
729
Gambar 5 Kesejajaran sekuens gen 16S rRNA isolat K2 dengan sekuens gen 16S
rRNA Chromobacterium sp (Ch) secara parsial pada GenBank
Tabel 4 Karakteristik biokimia dan fisiologis isolat K2
Sifat
Biokimia
dan
Chromobacterium
Fisiologis
violaceum (berdasarkan
Bergey Manual)
Warna koloni
Ungu
Gram
Oksidase
+
Produksi HCN
[+]
Produksi H2S
Arginin
Dihidrolase
d
(ADH)
Urease
Produksi Asam dari:
Maltose
d
Manosa
+
Sorbitol
d
Sukrosa
[-]
L-arabinosa
Glukosa
+
Manitol
Inositol
Ramnosa
Laktosa
Adonitol
Rafinosa
Xylosa
β- galaktosidase(ONPG)
Lysin dihidrolase (LDH)
Ornitin
dekarboksilase
(ODH)
Produksi senyawa indole
Triptopan
deaminase
(TDA)
Produksi Asetoin (VogesProskauer/ VP)
Gelatinase
+
Pereduksi Nitrat
+
Isolat K2
Ungu
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan : [+] 80% atau lebih strain menunjukan hasil positif, (d) 31-79% strain menunjukan
hasil positif, [-] 80% atau lebih menunjukan hasil negatif.
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri Antagonis Potensial
Aktivitas Penghambatan Perkecambahan Teliospora. Berdasarkan
hasil pengamatan di bawah mikroskop terdapat beberapa aktivitas penghambatan
yang terjadi (Gambar 6). Penghambatan yang terjadi antara lain kolonisasi sel-sel
Chromobacterium sp. berwarna ungu yang dapat menghambat keluarnya tabung
kecambah walaupun mahkota telispora sudah terbuka (Gambar 6B). Aktivitas
lainnya adalah protoplasnya mengalami disintegrasi (Gambar 6C). Gambar 6D
menunjukan protoplas keluar dari sel teliospora karena dinding selnya
terdegradasi. Gambar 6E menunjukan teliospora yang belum berkecambah dan
tidak terjadi disintegrasi pada protoplasmanya. Sedangkan gambar 6F menunjukan
perkecambahan teliospora, tabung kecambah keluar dari mahkota teliospora dan
terjadi aliran protoplas.
Karakterisasi
Mekanisme
Penghambatan
Bakteri
Antagonis
Potensial. Produksi senyawa antibiotik dan senyawa lainnya adalah mekanisme
lain yang dimiliki oleh bakteri antagonis. Berdasarkan hasil pengujian produksi
senyawa antibiotik fenazin dan senyawa asam sianida pada isolat K2 menunjukan
bahwa bakteri ini memiliki kemampuan memproduksi kedua senyawa tersebut.
Asam sianida terdeteksi pada hari pertama inkubasi yang ditunjukan dengan
perubahan warna kertas indikator dari kuning menjadi merah oranye (Gambar 7).
Gen
pengkode
antibiotik
fenazin
berhasil
diamplifikasi
dengan
menggunakan primer PHZ1 dan PHZ2. Hasilnya ditunjukan dengan pita DNA
berukuran 1.4 kb (kilobase pair) dan 1.1 kb (Gambar 8). Sedangkan kontrol P.
aureofaciens 30-84 menghasilkan pita berukuran 1.4 kb, 1.2 kb, dan 400 bs.
Produk PCR dengan menggunakan primer tersebut adalah pita DNA berukuran
1.4 kb. Isolat K2 memiliki gen penyandi phzAF yang ditunjukan dengan pita
DNA berukuran 1.4 kb. Beberapa pita DNA yang terbentuk ada kemungkinan
menyandikan gen fenazin lainnya yang ikut dapat diamplifikasi dengan
menggunakan primer ini. Pita DNA yang berukuran 1.1 kb merupakan gen
penyandi fenazin lainnya, yaitu phzXY jika diamplifikasi menggunakan primer
PHZX dan PHZY. Namun dengan menggunakan primer PHZ1 dan PHZ2 pita
DNA tersebut dapat diamplifikasi.
Gambar 6 Mekanisme antagonisme bakteri antagonis terhadap teliospora P.
horiana. A. Sel Chromobacterium sp. (tanda panah merah) yang
berwarna ungu mengkolonisasi teliospora. B. Bagian mahkota (tanda
panah hijau) teliospora sudah terbuka tetapi tidak terbentuk
metabasidium. Selain itu terdapat kolonisasi sel Chromobacterium
sp.(tanda panah merah), dan protoplas
protoplas (tanda panah hitam) mengalami
disintegrasi. C. Protoplas (tanda panah hitam) teliospora mengalami
disintegrasi. D. Protoplas teliospora keluar dari sel yang disebabkan
terdegradasinya dinding sel (tanda panah oranye) teliospora. E.
Kontrol teliospora yang
yang belum berkecambah. Protoplas (tanda panah
hitam) tidak mengalami disintegrasi. F. Kontrol teliospora yang
berkecambah. Metabasidium (tanda panah biru) keluar dari mahkota
(tanda panah hijau) dan protoplas (tanda panah hitam) berpindah dari
sel teliospora ke metabasidium.
Gambar 7 Produksi asam sianida (HCN) Chromobacterium sp . Kertas indikator
(tanda panah hitam) yang semula berwarna kuning berubah menjadi
oranye.
M
K
+
K
2
M
K
+
K
2
1,
1,
1,12
Gambar 8 Amplifikasi gen pengkode fenazin dengan primer PHZ1 dan PHZ2
pada Chromobacterium sp.. Pada perlakuan kontrol (K+) dengan
Pseudomonas aureofaciens 30-84 didapatkan dua pita DNA
berukuran 1.4 kb, 1.2 kb, dan 400 bp, sedangkan pada isolat K2
didapatkan pita DNA berukuran 1.6 kb, 1.4 kb, 1.1 kb, dan 700 bp.
Marker yang digunakan adalah gene rule 1 Kb DNA ladder
(Promega)
Karakterisasi Peranan Aktivitas
Aktivitas Kitinolitik dalam Mengendalikan Penyakit
Karat Putih
Mutagenesis dengan pUTMini-Tn5Km1. Frekuensi transkonjugasi
Chromobacterium sp. adalah 8.1 x 108. Seratus koloni transkonjugan dipilih
secara acak dan diseleksi. Seleksi dilakukan untuk mencari transkonjugan dengan
berbagai kriteria aktivitas kitinolitik. Seleksi ini tidak dapat dilakukan langsung
pada media kitin+Km 50 µg/ml karena transkonjugan-transkonjugan tidak dapat
tumbuh. Oleh karena itu seleksi awal dilakukan pada media TSA+ Km 50 µg/ml.
Hanya 62 koloni transkonjugan yang memiliki viabilitas atau kemampuan tumbuh
dan diseleksi pada media kitin+ Km 50 µg/ml. Hasil seleksi menunjukan adanya
perbedaan aktivitas kitinolitik dari transkonjugan yang terpilih (Gambar 9).
C
1
C
2
C
3
C
4
Gambar 9 Aktivitas kitinolitik transkonjugan. C1 menunjukan aktivitas lebih
besar dari bakteri tipe liar oleh transkonjugan K284 (ditunjukan oleh
no.84), C2 menunjukan aktivitas sama dengan bakteri tipe liar oleh
transkonjugan K272, C3 menunjukan aktivitas lebih kecil dari bakteri
tipe liar oleh transkonjugan K285 (ditunjukan oleh no.85), dan C4
menunjukan tidak ada aktivitas oleh transkonjugan K239.
Mutagenesis pada isolat Chromobacterium sp. mempengaruhi aktivitas
kitinolitik transkonjugan dan aktivitas antagonisme (Tabel 5). Transkonjugan
yang tidak memiliki aktivitas kitinolotik antara lain K216, K239, K245, dan
K284.Sedangkan K265, K268, dan K272 memiliki aktivitas sama dengan bakteri
tipe liarnya. Selain dua kategori tersebut juga di dapatkan transkonjugan dengan
aktivitas kitinoloik lebih tinggi dari bakteri tipe liar yaitu K262 dan transkonjugan
yang beraktivitas lebih rendah yaitu K273.
Tabel 5 Persentase perkecambahan teliospora dengan perlakuan transkonjugan
Nama
Aktivitas Kitinolitik
Persentase
Isolat
Perkecambahan (%)
K216
C4
6.7
K239
C4
33
K245
C4
9.5
K284
C4
6.7
K265
C2
14.3
K268
C2
25.7
K272
C2
53.3
K273
C3
26.6
K262
C1
4.7
Isolat K2
C2
1.7
Kontrol
100
air
Pertambahan presentase perkecambahan yang cukup besar terjadi pada
perlakuan dengan menggunakan transkonjugan K272 yaitu 53.3%. Ketiga
transkonjugan dengan aktivitas yang sama dengan bakteri tipe liar menunjukan
perkecambahan yang berbeda-beda yaitu 14.3% untuk isolat K265, 25.7% untuk
K268, dan yang tertinggi pada isolat K272 yaitu 53.3%. Transkonjugan dengan
aktivitas yang lebih rendah, yaitu K273 juga menunjukan persentase
perkecambahan yang cukup besar yaitu 26.6%. Sedangkan transkonjugan yang
memiliki aktivitas lebih tinggi maupun tanpa aktivitas masih menunjukan
penghambatan yang tinggi. Hal ini ditunjukan dengan presentase perkecambahan
antara 3.3% sampai 6.7%.
PEMBAHASAN
Potensi Antagonisme Isolat Bakteri Antagonis
Keduabelas isolat agens antagonis yang diujikan berpotensi menghambat
perkecambahan
teliospora
cendawan
P.
horiana
dengan
persentase
penghambatan lebih dari 90%. Namun, aktivitas kitinolitik yang dimiliki oleh
isolat-isolat tersebut tidak berkorelasi positif dengan aktivitas antagonisme
tersebut. Isolat yang memiliki aktivitas kitinolitik tinggi, aktivitas antagonismenya
masih lebih rendah dari isolat dengan aktivitas kitinolitik yang lebih rendah. Hal
ini mengindikasikan bahwa aktivitas kitinolitik terjadi pada tahapan tertentu
dalam proses perkecambahan bukan pada proses inisiasi munculnya tabung
kecambah.
Sembilan isolat yang diujikan adalah bakteri Pseudomonas kelompok
fluorescens sedangkan tiga isolat lainnya merupakan bakteri gram negatif yang
belum teridentifikasi. Isolat-isolat bakteri kelompok fluorescens telah diketahui
memiliki aktivitas penghambatan terhadap cendawan. Namun isolat-isolat bakteri
lainnya belum diketahui aktivitas antagonismenya. Walaupun demikian, pada
penelitian ini menunjukan bahwa bakteri-bakteri tersebut mampu menghambat
cendawan karat dengan persentase penghambatan yang hampir sama dengan isolat
bakteri kelompok fluorescens.
Penghambatan perkecambahan tidak hanya terjadi berdasarkan pada
jumlah teliosporanya, tetapi juga tabung kecambah yang tebentuk. Pada perlakuan
kontrol, tabung kecambah (metabasidium) sudah terbentuk dan berkembang
dengan sempurna setelah 24 jam inkubasi. Setelah 72 jam terbentuk basidiospora.
Kualitas dari tabung kecambah yang terbentuk juga sangat berbeda. Tabung
kecambah pada perlakuan kontrol lebih ramping dengan elastisitas yang baik.
Sedangkan pada perlakuan dengan antagonis, tabung kecambah tampak lebih
besar dari kontrol dan elastisitasnya kurang baik. Hal ini dimungkinkan adanya
pengaruh senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh bakteri antagonis sehingga
proses meiosis dan pembentukan dinding sel dari tabung kecambah terganggu.
Proses meiosis berhubungan dengan pemanjangan tabung kecambah, dalam hal
ini inti dari teliospora akan membelah yang akhirnya akan menjadi inti dari
basidiospora (Harder 1977). Pada proses pemanjangan selain terjadi proses
meiosis juga terjadi sintesis dinding sel dari metabasidium tersebut. Sintesis kitin
sangat berperan dalam pembentukan dinding sel ini (Zahiri et al. 2005). Oleh
karena itu, ada kemungkinan enzim kitinase yang dihasilkan oleh bakteri
antagonis dapat
menghambat pembentukan dinding sel ini, sedangkan untuk
penghambatan perkecambahan secara umum senyawa lain ikut berperan.
Identifikasi Isolat Bakteri Antagonis Potensial
Berdasarkan hasil analisis gen 16S rRNA nya, isolat K2 teridentifikasi
sebagai Chromobacterium sp dengan derajat kemiripan mencapai 99%. Hal ini
diperkuat lagi dengan hasil uji fisiologis yang menyatakan bahwa isolat K2
sebagai Chromobacterium sp.. Isolat ini merupakan bakteri gram negatif yang
bersifat anaerob fakultatif, artinya bakteri ini dapat hidup pada kondisi dimana
tidak tersedia oksigen atau anaerob. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji
fermentasi karbohidrat dan pereduksi nitrat yang positif. Pada dasarnya bakteri
ini bersifat aerob (hidup dalam kondisi tersedia oksigen) dengan memanfaatkan
oksigen bebas untuk respirasi. Respirasi berhubungan dengan sistem sitokrom
dimana transfer elektron terjadi dan oksigen sebagai penerima elektron terakhir.
Sedangkan untuk dapat hidup secara anaerob dengan dengan mengubah glukosa,
sukrosa, dan manosa menjadi asam piruvat sehingga dihasilkan ATP sebagai
sumber energi. Selain dari fermentasi karbohidrat, bakteri ini menghasilkan ATP
dengan mereduksi nitrat untuk bertahan dalam keadaan anaerob. Hasil uji
fisiologis menunjukan bahwa bakteri ini memiliki kemampuan menghidrolisis
asam amino menjadi amine yang digunakan bakteri sebagai sumber nitrogen
untuk pertumbuhannya. Bakteri ini juga dapat menghidrolisis protein menjadi
asam amino dengan menghasilkan enzim proteolitik yang disebut gelatinase.
Bakteri K2 berpotensi sebagai agens antagonis untuk patogen tanaman
karena menghasilkan beberapa senyawa seperti violacein, asam sianida (HCN),
enzim kitinase, dan beberapa antibiotik (Chernin et al. 1998; Durán & Menck
2001; Brazilian National Genome Project Consortium 2003). Asam sianida, enzim
kitinase, dan antibiotik seperti fenazin yang dihasilkan oleh bakteri ini dapat
berperan dalam penghambatan cendawan patogen. Hidrogen sianida adalah
senyawa yang dapat menghambat kerja dari enzim sitokrom c oksidase yang
ditemukan pada membran mitokondria dari sel eukariot. Ikatan antara sianida
dengan kompleks enzim ini akan mengganggu transfer elektron ke oksigen,
sehingga secara aerobik tidak dapat menghasilkan ATP sebagai sumber energi.
Jadi senyawa ini dapat digunakan untuk mengontrol cendawan patogen yang
merupakan organism eukariot. Kitinase adalah enzim yang memiliki kemampuan
untuk
mendegradasi
senyawa
kitin
menghidrolisis ikatan β-1,4 glikosidase
dan
mekanisme
kerjanya
adalah
yang menghubungkan monomer-
monomer GlcNAc (N-asetilglukosamin). Enzim ini dapat menguraikan dinding sel
cendawan dan hasil hidrolisisnya digunakan oleh bakteri kitinolitik sebagai
sumber karbon, energi (oligosakarida), dan nitrogen (Chernin et al. 1995; Boer et
al. 2001). Senyawa-senyawa tersebut dimungkinkan memiliki peran dalam
penghambatan terhadap perkecambahan teliospora.
Karakterisasi Mekanisme Penghambatan Bakteri Antagonis Potensial
Berdasarkan hasil pengamatan, ada beberapa aktivitas yang terjadi dalam
penghambatan perkecambahan teliospora. Aktivitas yang pertama adalah
kolonisasi sel Chromobacterium sp. pada teliospora. Pada aktivitas ini ada
kemungkinan bakteri ini memanfaatkan teliospora sebagai sumber nutrisi (Rytter
et al. 1989). Karena yang diaplikasikan adalah sel hidup, maka bakteri ini akan
dapat memperbanyak diri sehingga jumlahnya menjadi bertambah. Semakin
bertambahnya sel ini mengakibatkan nutrisi yang berasal dari media kultur
tersebut habis sehingga bakteri memanfaatkan teliospora sebagai sumber nutrisi.
Dalam mengkolonisasi teliospora,diduga mekanisme antibiosis dan lisis juga ikut
berperan. Bakteri menghasilkan senyawa-senyawa tertentu yang dapat mengubah
komponen dari sel teliospora menjadi nutrisi yang dibutuhkan dan juga
mengganggu aktivitas fisiologis teliospora, khususnya dalam perkecambahan.
Mekanisme antibiosis juga terjadi pada aktivitas degradasi protoplasma. Oleh
karena itu secara umum antibiosis adalah mekanisme yang dilakukan oleh bakteri
ini untuk menghambat perkecambahan teliospora P. horiana.
Perkecambahan teliospora diawali dengan kematangan teliospora yang
ditandai dengan fusi inti sel, meningkatnya kerapatan sitoplasma, menghilangnya
vakuola-vakuola, serta akumulasi kandungan lemak dan material glikogen (Harder
1977). Ada kemungkinan senyawa-senyawa yang dihasilkan bersifat antagonis
menghambat kematangan dari teliospora tersebut, sehingga protoplasnya menjadi
seperti terpecah-pecah dan tidak utuh karena mengalami degradasi. Aktivitas
kitinolitik yang dimiliki oleh bakteri ini kemungkinan berperan dalam
penghambatan proses perkecambahan berikutnya yaitu pemanjangan tabung
kecambah. Hal ini disebabkan pada proses tersebut senyawa kitin yang menyusun
dinding sel tabung kecambah tersebut disintesis.
Mekanisme antibiosis adalah mekanisme yang banyak ditunjukkan oleh
bakteri-bakteri antagonis yang diaplikasikan untuk mengendalikan cendawan
karat (Kempf & Wolf 1989; Rytter et al. 1989). Antibiosis melibatkan peran
senyawa-senyawa metabolisme skunder yang dihasilkan oleh bakteri. Huang et al.
(2005) mengamati perubahan yang terjadi pada konidia yang diberi perlakuan
enzim kitinase. Perubahan yang terjadi antara lain konidia menjadi lebih besar
dari kontrol dan jika terjadi perkecambahan maka tabung kecambah yang
terbentuk pemanjangannya menjadi terhambat. Enzim kitinase yang digunakan
dalam penelitian Huang et al. (2005) mampu menghambat perkecambahan
konidia Botrytis elliptica hingga mencapai 84%. Velusamy et al. (2011)
menunjukan adanya mekanisme antibiosis yang ditunjukan dengan proses lisis
pada hifa F. oxysporum yang diberi perlakuan enzim kitinase. Hifa F. oxysporum
terlihat membesar, terpotong-potong, dan terdapat kerusakan pada dinding sel
hifanya.
Proses perkecambahan merupakan proses yang sifatnya aerob artinya
membutuhkan oksigen dalam aktivitas respirasinya. Oleh karena itu, dibutuhkan
suatu senyawa yang dapat mengganggu aktivitas tersebut. Asam sianida dan
fenazin merupakan senyawa yang berperan dalam menghambat proses respirasi.
Oleh karena itu ada kemungkinan kedua senyawa ini memiliki peran penting
dalam perkecambahan teliospora cendawan karat.
Chromobacterium violaceum merupakan bakteri yang dapat memproduksi
sianida (Michael et al. 1965) dengan glisin sebagai prekusornya. Asam sianida
merupakan senyawa metabolit skunder yang dihasilkan oleh C. violaceum pada
fase stasioner pertumbuhannya (Michaels et al. 1965) dalam kondisi anaerob.
Bakteri ini dapat hidup dalam kondisi aerob dan anaerob, sehingga asam sianida
yang dihasilkan tidak akan meracuni dirinya sendiri. Senyawa ini sangat efektif
untuk mengendalikan mikroorganisme yang dalam respirasinya sangat tergantung
pada oksigen untuk menghasilkan energi.
Sianida menghambat kerja dari enzim sitokrom c oksidase pada
mitokondria teliospora sehingga sel teliospora tidak dapat menggunakan oksigen
sebagai penerima elektron terakhir untuk menghasilkan energi (Isom & Way
1984). Energi tersebut digunakan dalam proses metabolisme termasuk untuk
berkecambah. Terhambatnya respirasi akan mempengaruhi proses metabolisme
dari sel teliospora. Sel teliospora yang mampu berkecambah ada kemungkinan
memiliki sifat toleran terhadap kerja dari senyawa ini tetapi pada tahap
perkembangan selanjutnya akan dihambat oleh senyawa lain.
Fenazin adalah antibiotik yang mekanisme kerjanya sama dengan asam
sianida yaitu menghambat transfer elektron (Dietrich et al. 2008). Selain itu
antibiotik ini memiliki mekanisme kerja lainnya yaitu, berperan dalam mobilisasi
senyawa besi di dalam tanah sehingga berperan dalam kompetisi penggunaan
senyawa tersebut di lingkungan (Hernandez et al. 2004; Price-Whelan et al.
2006). Antibiotik ini akan menghasilkan oksigen radikal yang bersifat racun
sehingga dapat mengganggu proses respirasi (Mavrodi et al. 2006). Oksigen yang
bersifat racun tersebut jika digunakan oleh sel teliospora diduga akan
menghambat proses respirasi dan dampaknya tidak akan terjadi perkecambahan.
Proses perkecambahan selain tergantung pada proses respirasi, tetapi juga
melibatkan sintesis protein untuk inisiasi munculnya tabung kecambah (Lin et al.
1971). Sintesis protein melibatkan kerja dari RNA sehingga antibiotik yang dapat
menghambat sintesis protein dan RNA akan efektif untuk menghambat
perkecambahan
teliospora,
sehingga
dalam
aktivitas
penghambatan
perkecambahan teliospora dapat melibatkan beberapa senyawa yang dapat bekerja
secara simultan.
Karakterisasi Peranan Aktivitas Kitinolitik Bakteri Antagonis dalam
Mengendalikan Penyakit Karat Putih
Mutagenesis pada isolat Chromobacterium sp. mempengaruhi aktivitas
kitinolitik transkonjugan dan aktivitas antagonismenya. Setelah diseleksi,
transkonjugan-transkonjugan tersebut memiliki 4 kategori yaitu, aktivitas
kitinolitik yang lebih tinggi dari bakteri tipe liar, sama dengan bakteri tipe liar,
lebih kecil dari bakteri tipe liar, dan tidak memiliki aktivitas kitinolitik. Hal ini
dapat terjadi karena transposon yang digunakan dapat menyisip secara random
pada genom bakteri. Menurut Chernin et al. (1998), bakteri ini dapat
menghasilkan
beberapa
enzim
kitinase
seperti
kitobiose,
N-
acetylglucosaminidase, endokitinase, dan kitobiosidase yang memiliki spesifisitas
terhadap substrat yang digunakan. Ada kemungkinan penyisipan transposon
tersebut terjadi pada salah satu gen pengkode enzim-enzim tersebut.
Transkonjugan yang tidak memiliki aktivitas kitinolitik kemungkinan penyisipan
terjadi pada gen pengkode enzim kitinase yang dapat mendegradasi koloidal kitin,
sedangkan pada transkonjugan dengan aktivitas kitinolitik lainnya penyisipan
tidak terjadi pada gen tersebut atau pada gen lain yang dapat menekan,
meningkatkan, atau bahkan tidak berpengaruh terhadap aktivitas kitinolitik.
Aktivitas antagonisme transkonjugan-transkonjugan tersebut banyak
mengalami perubahan. Persentase perkecambahan teliospora lebih tinggi dari
bakteri tipe liarnya. Hal yang menarik terjadi pada transkonjugan yang memiliki
aktivitas kitinolitik sama dengan bakteri tipe liarnya. Ketiga transkonjugan yang
digunakan memberikan penghambatan sebesar 50% untuk isolat K272, 75% untuk
isolat K268, dan 85% untuk isolat K265. Hal ini mengindikasikan bahwa gen
yang disisipi adalah gen pengkode senyawa yang dominan dalam menghambat
perkecambahan teliospora pada transkonjugan K272. Sedangkan kedua isolat
lainnya gen yang disisipi merupakan gen yang memilki peranan dalam
penghambatan tetapi tidak yang dominan.
Berdasarkan hasil tersebut diduga bahwa aktivitas kitinolitik bukanlah
satu-satunya faktor yang mempengaruhi perkecambahan teliospora. Peran dari
aktivitas ini mungkin terjadi pada tahapan tertentu dari perkecambahan spora
yaitu pada proses pemanjangan tabung kecambah dimana pada proses tersebut
senyawa kitin disintesis sebagai komponen penyusun dinding sel tabung
kecambah tersebut. Oleh karena itu ada peran dari senyawa lain yang berperan
sangat dominan untuk menghambat perkecambahan khususnya proses inisiasi
munculnya tabung kecambah.
Hal tersebut ditunjukan dengan hasil mutagenesis di mana transkonjugan
yang tidak memiliki aktivitas kitinolitik dengan asumsi bahwa seluruh gen yang
menyandikan aktivitas kitinolitik sudah tidak aktif masih memiliki sifat
antagonisme yang kuat terhadap perkecambahan teliospora. Mutagenesis yang
terjadi pada transkonjugan yang memiliki aktivitas kitinolitik sama dengan bakteri
tipe liar mungkin terjadi pada gen lain yang lebih dominan dalam penghambatan
perkecambahan teliospora. Namun aktivitas kitinolitik tetap memiliki peran dalam
aktivitas antagonisme walaupun bukan yang dominan. Oleh karena itu ada
senyawa lain yang ikut berperan. Chromobacterium sp. memiliki kemampuan
untuk menghasilkan senyawa yang bersifat toksik seperti violacein, asam sianida,
dan antibiotik fenazin yang mungkin ikut berperan dalam aktivitas ini. Ketiga
senyawa tersebut memiliki aktivitas antagonisme. Ada kemungkinan salah
satunya memiliki peranan yang lebih dominan atau peran ketiganya sama-sama
dominan sehingga dalam aktivitas penghambatan bekerja secara sinergis.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian Kempf dan Wolf (1989)
yang menunjukan bahwa transkonjugan bakteri Erwinia herbicola B247 yang
telah disisipi oleh Tn5 dan tidak memiliki sifat antibiosis tidak menunjukan
penghambatan terhadap Puccinia recondita f. sp. tritici di gandum. Moricca et al.
(2001) dan Assante et al. (2004) menyebutkan bahwa dalam mendegradasi lapisan
dinding sel spora karat melibatkan kerja dari enzim β-1,3-glukanase dan enzim
lisis lainnya. Cladosporium tenuissimum yang memiliki sifat hiperparasit terhadap
cendawan juga menghasilkan beberapa senyawa metabolisme yang memiliki sifat
antifungi seperti kladosporol A-C. Senyawa ini efektif untuk menekan
perkecambahan urediospora Uromyces appendiculatus dan aesiospora dari P.
recondita dan P. sorghi (Moricca et al. 2004).
Menurut Chernin et al. (1998) aktivitas kitinolitik dari C. violaceum
dipengaruhi oleh sistem quorum sensing yang dikendalikan oleh AHL Nhexanoyl-L-homoserine lactone (HHL) yang dihasilkan oleh bakteri itu sendiri.
Sedangkan sistem ini juga mengendalikan produksi dari violacein, hidrogen
sianida, dan antibiotik. Senyawa-senyawa tersebut bersifat toksik dan mekanisme
yang ditimbulkan adalah antibiosis. Oleh karena itu dalam penghambatan
perkecambahan teliospora senyawa-senyawa tersebut mungkin ikut berperan.
Ada kemungkinan senyawa-senyawa tersebut berperan secara sinergis dalam
mengendalikan cendawan patogen.
Mutagenesis yang terjadi pada isolat K2 mengindikasikan penyisipan
terjadi secara random. Pada transkonjugan yang memiliki aktivitas kitinolitik
lebih kuat dari bakteri tipe liarnya, penyisipannya terjadi bukan pada gen yang
mengkode enzim kitinase dan gen lain yang lebih berperan dalam proses
penghambatan perkecambahan teliospora. Sedangkan pada transkonjugan yang
memiliki aktivitas lebih kecil dari bakteri tipe liarnya, penyisipan kemungkinan
terjadi pada gen pengkode enzim kitinase tapi bukan pada bagian yang berperan
penting dalamproduksi enzim kitinase pada struktur gen tersebut. Selain itu
penyisipan juga terjadi pada gen yang mengkode senyawa yang berperan dalam
penghambatan perkecambahan. Sedangkan tiga transkonjugan yang memiliki
aktivitas kitinolitik sama dengan bakteri tipe liarnya, penyisipan terjadi pada gen
yang berperan pada gen pengkode senyawa yang lebih berperan dalam
peghambatan.
Ada kemungkinan gen pengkode senyawa penghambat perkecambahan
teliospora tersebut merupakan suatu operon (dalam mengekspresikan suatu
produk melibatkan beberapa gen dan diregulasikan oleh satu promotor). Hal ini
ditunjukkan pada perkecambahan teliospora oleh transkonjugan dengan aktivitas
sama dengan bakteri tipe liarnya. Beberapa senyawa yang dihasilkan oleh isolat
K2 yang mungkin berperan dalam penghambatan perkecambahan seperti asam
sianida dan fenazin, gen yang mengkodekanya berupa operon.
Biosintesis fenazin secara umum melibatkan beberapa gen yaitu operon
phzABCDEFG (Stover et al. 2000; Mavrodi et al. 2004). Produk dari gen phzC,
phzD, dan phzE sama dengan metabolisme asam sikimat dan korismik. Semua gen
tersebut bersama dengan gen phzF dibutuhkan untuk produksi Phenazine –1Carboxylic acid (PCA). phzG yang sama dengan pyridoxamine-5’-phosphate
oxidases merupakan kofaktor dari enzim untuk sintesis PCA. Sedangkan phzA dan
phzB berperan dalam menstabilkan kompleks dari multienzim yang berperan
dalam sintesis PCA. Pada P. aureofaciens 30-84 dua gen yaitu, phzX dan phzY
memproduksi 2-hydroxy phenazine-1- carboxyclic acid dan 2-hydroxy phenazine.
Ada kemungkinan dalam kasus transkonjugan yang memiliki aktivitas yang sama
dengan bakteri tipe liar, penyisipan terjadi pada salah satu gen dalam operon
tersebut. Penyisipan transposon pada transkonjugan K272 mungkin saja terjadi
pada gen phzC, phzD, atau phzE yang berhubungan sintesis awal dari produksi
PCA. Hal ini menyebabkan penghambatan perkecambahan dapat berkurang
sampai 50% karena ada kemungkinan biosintesis dari PCA tidak akan terjadi.
Sedangkan untuk transkonjugan K265 dan K268 penyisipan terjadi pada gen
tertentu seperti gen phz A, phzB, atau phzF yang berperan langsung dalam sintesis
PCA. Pada kondisi ini mungkin saja PCA telah dihasilkan sehingga masih terjadi
penghambatan oleh transkonjugan tersebut. Selain itu, transkonjugan dengan
aktivitas lebih kecil penyisipannya mungkin saja terjadi sama dengan
transkonjugan K268.
Biosintesis asam sianida dikatalis oleh enzim HCN sintase yang akan
mengubah glisin menjadi CO2 dan HCN (Castric 1977). Enzim tersebut
disandikan oleh suatu operon yaitu hcnABC (Laville et al. 1998). Ketiga subunit
gen tersebut memiliki kesamaan dengan dehidrogenase. HcnA memiliki kesamaan
dengan format dehidrogenase, sedangkan HcnB dan HcnC memiliki kesamaan
dengan asam amino dehidrogenase. hcnA memiliki peranan yang penting dalam
pembentukan senyawa asam sianida karena sebagai katalis untuk kerja dari enzim
HCN sintetase. Sedangkan gen hcnB dan hcnC berperan dalam pengikatan enzim
ini pada membrane mitokondria. Jika senyawa ini yang berperan, maka
penyisipan transposon pada hcnA sangat mempengaruhi kerja dari enzim ini. Ada
kemungkinan enzim ini tidak bekerja atau pengaruhnya sedikit terhadap
perkecambahan teliospora.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan aktivitas kitinolitiknya, dari 29 isolat yang digunakan terdapat
12 isolat yang memiliki aktivitas kitinolitik. Keduabelas isolat agens antagonis
yang diujikan berpotensi menghambat perkecambahan teliospora cendawan
Puccinia horiana dengan persentase penghambatan lebih dari 90%. Isolat K2
menjadi bakteri antagonis terpilih karena memiliki aktivitas kitinolitik paling
besar dan penghambatan terhadap perkecambahan teliospora yang baik yaitu
98.3%. Isolat K2 teridentifikasi sebagai Chromobacterium sp. berdasarkan
perunutan sekuens gen 16S rRNA dan karakterisasi fisiologi biokimia. Bakteri ini
memproduksi beberapa senyawa yaitu asam sianida (HCN), antibiotik fenazin,
enzim kitinase, dan pigmen violacein yang dapat menghambat perkembangan
cendawan patogen.
Mekanisme yang terjadi dalam penghambatan perkembangan teliospora
oleh isolat K2 yang utama adalah antibiosis. Hal tersebut ditunjukkan dengan
beberapa aktivitas penghambatan baik penghambatan pada teliosporanya maupun
pada tabung kecambah yang terbentuk. Penghambatan pada teliospora antara lain
kolonisasi sel-sel Chromobacterium sp. pada sel teliospora, disintegrasi
protoplasma sel teliospora, dan lisis pada sel teliospora. Sedangkan pada
teliospora yang mulai berkecambah, perlakuan dengan isolat K2 menunjukkan
tabung kecambah yang terbentuk lebih besar dari tabung kecambah pada kontrol.
Penghambatan
perkembangan
dari
teliospora
tidak
sepenuhnya
dipengaruhi oleh peran aktivitas kitinolitik isolat K2. Hal ini ditunjukkan oleh
inaktivasi sifat kitinolitik tersebut dengan menggunakan transposon mini-Tn5Km1
tidak mempengaruhi aktivitas penghambatan
perkecambahan teliospora.
Berdasarkan hal tersebut itu, ada senyawa lain yang lebih berperan dalam aktivitas
penghambatan tersebut.
Saran
Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui peranan asam sianida,
antibiotik fenazin, dan violacein dalam penghambatan perkecambahan teliospora.
Selain itu apakah ada hubungan antara aktivitas kitinolitik Chromobacterium sp.
dengan karakter lainnya dalam pengendalian penyakit karat.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson LM, Stockwell VO, Loper JE. 2004. An extracellular protease of
Pseudomonas fluorescens inactivates antibiotic of Pantoea agglomerans.
Phytopathology 94: 1228-1234.
Agrios GN. 2005. Plant Phatology. Ed ke-5. New York: Academic Press.
Assante G et al. 2004. Hystological studies on mycoparasitism of Cladosporium
tenuissimum and urediospores of Uromyces appendiculatus. Mycol Res 108 (2):
170-182.
Baker KF, Cook JR. 1996. The Nature and Practice of Biological Control of Plant
Pathogens. Minnesota: APS Press.
Barreto et al. 2008. Diversity of antifungal activity of strain of Chromobacterium
violaceum from brazilian amazon. J Ind Microbiol Biotechnol 35: 783-790.
Beattie GA, Lindow SE. 1999. Bacterial colonization of leaves: A spectrum of
strategies. Phytopathology 89: 353-359.
Benhamou N, Chet I. 1997. Cellular and molecular mechanisms involved in the
intersection between Trichoderma harzianum and Pythium ultimum. Appl Environ
Microbiol 63: 2095–2099.
Boer DW, Gunnewiek PJAK, Kowalchuk GA, Veen JAV. 2001. Growth of
chitinolytic dune soil b-subclass proteobacteria in response to invading fungal
hyphae. Appl Environ Microbiol 67: 3358–3362.
Boucher CA, Barberis PA, Trigalet APH, Demery DA. 1989. Transposon
mutagenesis of Pseudomonas solanacearum: isolation of Tn5- induced avirulent
mutants. J Gen Microbiol 131: 2449-2457.
[BNGPC] Brazilian National Genome Project Consortium. 2003. The complete
genome sequence of Chromobacterium violaceum reveals remarkable and
exploitable bacterial adaptability. Proc Natl Acad Sci USA 100: 11660-11665.
Bull CT, Shetty KG, Subbarao KV. 2002. Interactions between Myxobacteria, plant
pathogenic fungi, and biocontrol agents. Plant Dis 86: 889-896.
Castric PA. 1977. Glycine metabolism by Pseudomonas aeruginosa: hydrogen cyanide
biosynthesis. J Bacteriol 130: 826–831.
Chernin LS, Ismailov Z, Haran S, Chet I. 1995. Chitinolytic Enterobacter
agglomerans antagonistic to fungal plant pathogens. Appl Environ Microbiol 61:
1720-1726.
Chernin LS et al. 1998. Chitinolytic activity in Chromobacterium violaceum:
substrate analysis, and regulation by quorum sensing. J Bacteriol 180: 44354441.
Contreras CV, Garcia LMV. 2008. Inoculation white rust (Puccinia horiana
Hennings) in chrysanthemum (Dendranthema grandiflora Tzvelev). Agron
Mesoam 19: 81-85.
Delaney SM, Mavrodi D, Bonsall R, Thomashow LS. 2001.
biosynthesis of 2-hydroxylated phenazine compounds
aureofaciens 30-84. J Bacteriol 183: 318–327.
phzO, a gene for
in Pseudomonas
De Lorenzo V, Herrero M, Jakuezik U, Timmis KN. 1990. Mini-Tn5 transposon
derivatives for insertion mutagenesis, promoter probing, and chromosomal
insertion of cloned DNA in gram-negative eubacteria. J Bacteriol 172: 65686572.
Dietrich LEP, Teal TK, Price-Whealan A, Newman DK. 2008. Redox-active
antibiotics control gene expression and community behavior of divergent bacteria.
Science 321: 1203–1206.
Durán N, Menck CF.
2001. Chromobacterium violaceum: a review of
pharmacological and industiral perspectives. Crit Rev Microbiol 27(3): 201-22.
Dur´an N et al. 2007. Violacein: properties and biological activities. Biotechnol Appl
Biochem 48: 127–133
EPPO. 1983. Data Sheets on Quarantine Pests NO.80. Puccinia horiana. Bulletin
OEPP/EPPO Bulletin 12 (1).
Glandorf DC et al.. 2001. Effect of genetically modified Pseudomonas putida
WCS358r on the fungal rhizosphere microflora of field-grown wheat. Appl
Environ Microbiol 67: 3371-3378.
Goryshin IY, Reznikoff WS. 1998. Tn5 in vitro transposition. J Biol Chem 273:
7367–7374.
Hanudin K, Kardin, Suhardi. 2004. Evaluasi ketahanan klon-klon krisan terhadap
penyakit karat putih. J Hort 14: 430-435.
Harder DE. 1977. Electron microscopy of teliospore formation in Puccinia coronata
avenae. Physiol Plant Pathol 10: 21–28.
Hernandez ME, Kappler A, Newman DK. 2004. Phenazines and other redox-active
antibiotic promote microbial mineral reduction. Appl Environ Microbiol 70: 921–
928.
Herrero M, De Lorenzo V, Timmis KM. 1990. Transposon vectors containing nonantibiotic resistance selection markers for cloning and stable chromosomal
insertion of foreign genes in gram-negative bacteria. J Bacteriol 172: 6557-6567.
Huang CJ, Wang TK, Chung SC, Chen CY. 2005. Identification of an antifungal
chitinase from a potential biocontrol agent, Bacillus cereus 28-9. J Biochem Mol
Biol 38 (1): 82-88.
Islam TM, Hashidoko Y, Deora A, Ito T, Tahara S. 2005. Suppression of damping-off
disease in host plants by the rhizoplane bacterium Lysobacter sp. strain SB-K88 is
linked to plant colonization and antibiosis against soilborne peronosporomycetes.
Appl Environ Microbiol 71: 3786-3796.
Isom GE, Way JL. 1984. Effect of oxygen on the antagonism of cyanide intoxication:
cytochrome oxidase, in vitro. Taxicol Appl Pharm 15: 57–62.
Kageyama K, Nelson EB. 2003. Differential inactiviation of seed exudates stimulation
of Pythium ultimum sporangium germination by Enterobacter cloacae influences
biological control efficacy on different plant species. Appl Environ Microbiol 69:
1114-1120.
Kaufman SC, Ceraso D, Schugurensky A. 1986. First Case Report from Argentina of
Fatal Septicemia Caused by Chromobacterium violaceum. J Bacteriol 23: 956958
Kempf HJ, Wolf G. 1989. Erwinia herbicola as a biocontrol agent of Fusarium
culmorum and Puccinia recondite f. sp. tritici on wheat. Phytopathology 79: 990994.
Kulakiotu EK, Thanassoulopoulos CC, Sfakiotakis EM. 2004. Biological control of
Botrytis cinerea by volatiles of ‘Isabella’ grapes. Phytopathology 94: 924-931.
Laville J et al. 1998. Characterization of the hcnABC gene cluster encoding hydrogen
cyanide synthase and anaerobic regulation by ANR in the strictly aerobic
biocontrol agent Pseudomonas fuorescens CHA0. J Bacteriol 180: 3187-3196.
Leclére V et al. 2005. Mycosubtilin overproduction by Bacillus subtilis BBG100
enhances the organism’s antagonistic and biocontrol activities. Appl Environ
Microbiol 71: 4577-4584.
Lee et al. 1999. Two Cases of Chromobacterium violaceum Infection after Injury in a
Subtropical Region. J Clin Microbiol 37: 2068–2070.
Li S et al. 2008. An antibiotic complex from Lysobacter enzymogenes strain C3:
Antimicrobial activity and role in plant disease control. Phytopathology 98: 695701.
Lin FK, Davies FL, Tripathi RK, Raghu K, Gottlieb D. 1971. Ribonucleic acids in
spore germination of Ustilago maydis. Phytopathology 61: 645-648.
Loper JE, Buyer JS. 1991. Siderophores in microbial interactions of plant surfaces.
Mol Plant Microbe Interact 4: 5-13.
Marchesi JR, Sato T, Weightman AJ, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade WG. 1998.
Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify
genes coding for bacterial 16S rRNA. Appl Environ Microbiol 64: 795–799.
Mavrodi DV, Bleimling N, Thomashow LS, Blankenfeldt W. 2004. The purification,
crystallization and preliminary structural characterization of PhzF, a key enzyme
in the phenazine-biosynthesis pathway from Pseudomonas fluorescens 2-79. Acta
Crystallogr D Biol Crystallogr 60: 184-186.
Mavrodi DV, Blankenfeldt W, Thomashow LS. 2006. Phenazine compounds in
fluorescent Pseudomonas spp. biosynthesis and regulation. Annu Rev Phytopathol
44: 417–445.
Michaels R, Hankes LV, Corpe WA. 1965. Cyanide formation by nonproliferating
cells of Chromobacterium violaceum. Arch Biochem Biophys 111: 121-125.
Mills D. 1985. Transposon mutagenesis and its potential for studying virulence genes
in plant pathogens. Ann Rev Phytopathol 23: 297-320.
McClean et al. 1997. Quorum-sensing and Chromobacterium violaceum: exploitation
of violacein production and inhibition for the detection of N-acylhomoserine
lactones. Microbiology 143: 3703-3711.
Milgroom MG, Cortesi P. 2004. Biological control of chestnut blight with
hypovirulence: a critical analysis. Annu Rev Phytopathol 42: 311-338.
Moricca S, Ragazzi A, Mitchelson KR, Assante G. 2001. Antagonism of the twoneedle pine stem rust fungi Cronartium flaccidum and Peridermium pini by
Cladosporium tenuissimum in vitro and in planta. Phytopathology 91: 457-468.
Moricca S, Ragazzi A, Assante G. 2004. Biocontrol of rust fungi by Cladosporium
tenuissimum. Di dalam: McCracken AR, Pei MH, editor. Rust Disease of Willow
and Poplar. USA: CAB International. hlm 213-229.
Mueller DS, Jeffers SN, Buck JW. 2005. Toxicity of Fungicides to Urediniospores of
Six Rust Fungi That Occur on Ornamental Crops. Plant Dis 89: 255-261.
Nawangsih AA. 2006.
Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk
mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat
[disertasi]. Bogor: Program PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor.
Park SK, Lee MC, Harman GE. 2005. The biocontrol activity of Chromobacterium sp.
strain C-16 against Rhizoctonia solani depends on the productive ability of
chitinase. Plant Pathol J 21 (3): 275-282.
Phillips AD, Fox TC, King MD, Bhuvaneswari TV, Teuber LR. 2004. Microbial
products trigger amino acid exudation from plant roots. Plant Physiol 136: 28872894.
Price-Whelan A, Dietrich LE, Newman DK. 2006. Rethinking ‘secondary’
metabolism: physiological roles for phenazine antibiotics. Nat Chem Biol 2: 71–
78.
Reddy BP, Reddy KRN, Subba Rao M, Rao KS. 2008. Efficacy of antimicrobial
metabolites of Pseudomonas fluorescens against rice fungal pathogens. Curr
Trends Biotechnol Phar 2 (1): 178-182.
Rytter JL., Lukezic FL, Craig R, Moorman GW. 1989. Biological control of
geranium rust by Bacillus subtilis. Phytopathology 79: 367-370.
Schnider U, Keel C, Voisard C, Ve Defago G, Hass D. 1995. Tn5-Directed Cloning
of pqq Genes from Pseudomonas fluorescens CHA0: Mutational Inactivation of
the Genes Results in Overproduction of the Antibiotic Pyoluteorin. Appl Environ
Microbiol 61: 3856-3864.
Stover CK et al. 2000. Complete genome sequence of Pseudoonas aeruginosa PA01,
an opportunistic pathogen. Nature 406: 959-964.
Tahtamouni MEW, Hameed KM, Saadoun IM. 2006. Biological Control of
Sclerotinia sclerotiorum Using Indigenous Chitinolytic Actinomycetes in Jordan.
Plant Pathol J 22 (2): 107-114.
Velusamy P, Ko HS, Kim KY. 2011. Determination of antifungal activity of
Pseudomonas sp. A3 against Fusarium oxysporum by high performance liquid
chromatography (HPLC). Agric Food Anal Bacteriol 1: 15-23.
Zahiri AR, Babu MR, Saville BJ. 2005. Differential gene expression during
teliospore germination in Ustilago maydis. Mol Gen Genom 273: 394–403.
Download