BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebaran DBD semakin bertambah setiap tahun. Di Indonesia, penyakit ini pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, pada saat itu terjadi 58 kasus dengan 24 anak meninggal dan pada akhirnya menyebar keseluruh Indonesia (Anonim, 2010a). DBD banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Anonim, 2010a). Sekitar 2,5 milyar penduduk dunia mempunyai risiko untuk terkena infeksi virus dengue. Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami kejadian demam berdarah dengue yang luar biasa, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun menyebabkan pasien dirawat di rumah sakit dan ribuan orang diantaranya meninggal dunia (Dini, dkk, 2010). Sejak pertama kali ditemukan di Indonesia, jumlah kasus DBD menunjukkan angka kesakitan yang cenderung meningkat baik dalam jumlah 1 2 maupun luas wilayah yang terjangkit dan selalu terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) setiap tahun (Lestari, 2007). Angka morbiditas dan mortalitas DBD dari tahun ke tahun terus menunjukkan peningkatan dan terjadi di semua provinsi di Indonesia (Setiati, dkk, 2006). Di Indonesia, pada tahun 2004 terjadi kenaikan angka kejadian DHF yang cukup signifikan dan terjadi pada 30 provinsi dari 32 provinsi di Indonesia (Ahmad, 2004). Kasus DBD perkelompok umur dari tahun 1993 – 2009 terjadi pergesaran. Dari tahun 1993 sampai tahun 1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur dibawah 15 tahun, tahun 1999 – 2009 kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur diatas 15 tahun. Namun saat ini kasus DBD telah menyerang semua kelompok umur, bahkan lebih banyak pada usia produktif (Anonim, 2010a). Data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dalam Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 menyebutkan bahwa penyakit demam berdarah dengue termasuk kedalam sepuluh penyakit terbesar pada pasien rawat inap rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus pada laki-laki 30.232 kasus dan 28.883 kasus pada perempuan (Anonim, 2011). Berdasarkan data Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, hingga tahun 2011 terdapat 14 kabupaten/kota dari keseluruhan 15 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Lampung terjangkit demam berdarah dengue (Anonim, 2011). Dari data tersebut diketahui bahwa angka kejadian penyakit yang disebabkan oleh virus dengue ini di Provinsi Lampung sangat tinggi. 3 Rumah sakit umum daerah (RSUD) Dr. H. Abdul Moeloek merupakan satusatunya RSUD rujukan terbesar bagi seluruh rumah sakit yang terdapat di kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Tingginya angka kejadian DBD yang menyebar di Provinsi Lampung menyebabkan banyaknya pasien tidak dapat ditangani di rumah sakit maupun klinik kesehatan yang terdapat di daerah kabupaten/kota. Selain keterbatasan tenaga kesehatan dan alat kesehatan pendukung, kondisi geografis kabupaten/kota yang terletak jauh dari pusat kota Provinsi Lampung juga menjadi penyebab belum maksimalnya penanganan pasien DBD di daerah, sehingga banyak pasien yang dirujuk ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek. Banyaknya pasien rujukan di rumah sakit ini melatarbelakangi peneliti untuk melakukan evaluasi penggunaan obat di rumah sakit ini berupa pola penggunaan obat dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien DBD. Beberapa penelitian tentang demam berdarah dengue telah dilakukan di ruang lingkup Farmasi UGM yang kebanyakan mengambil lokasi di (Rumah Sakit Umum Pusat) RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (Gusmanto, 2005; Ihsan, 2006; Prabowo, 2006), sehingga perlu dilakukan penelitian di daerah lain yang belum pernah dilakukan penelitian tentang DBD sebelumnya untuk mengetahui kondisi pasien, pola penggunaan obat, dan rasionalitas penggunaan obat pada pasien DBD. Penilitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu pelayanan medik dalam pengobatan demam berdarah dalam rangka perencanaan pelayanan kesehatan yang lebih efektif dan efisien dimasa mendatang di Provinsi Lampung khususnya RSUD Dr. H. Abdul Moeloek sebagai rumah sakit rujukan tertinggi. 4 B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pola penggunaan obat pada terapi demam berdarah dengue di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Oktober 2012 hingga Februari 2013 ? 2. Bagaimanakah rasionalitas penggunaan obat yang meliputi tepat indikasi, tepat obat dan tepat pasien pada terapi demam berdarah dengue di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Oktober 2012 hingga Februari 2013 ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pola penggunaan obat dalam terapi demam berdarah di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. 2. Untuk memperoleh gambaran tentang rasionalitas penggunaan obat dalam terapi demam berdarah di RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan masukan bagi RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional bagi pasien demam berdarah. 2. Koreksi kesesuaian penatalaksanaan penyakit demam berdarah dengan pedoman dasar yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2004. 5 E. Tinjauan Pustaka 1. Demam Berdarah Dengue (DBD) a. Definisi Demam Berdarah Dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue pada manusia sebagai manifestasi klinis dan infeksi virus dengue dapat berupa demam dengue dan demam berdarah dengue (Sylvana dkk., 2000). Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang perjalanan penyakitnya cepat dan dapat menyebabkan kematian dalam waktu singkat. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di Indonesia (Anonim, 2011). Demam Berdarah Dengue adalah penyakit infeksi virus dengue yang berat, ditandai gejala panas yang mendadak, perdarahan, dan kebocoran plasma. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan sering menimbulkan wabah serta dapat menyebabkan kematian (Soegijanto, 2006a). Demam Berdarah Dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai dengan pembesaran hati dan adanya tanda-tanda perdarahan. Pada keadaan parah, DBD dapat menyebabkan kegagalan sirkulasi darah dan pasien dapat mengalami syok akibat kebocoran plasma, keadaan yang disebut Dengue Syok Syndrome (DSS) (Anonim, 2004b). Infeksi dengue adalah infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang termasuk virus kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, family Flaviviride. Virus dengue terdiri dari empat 6 serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut. Keempat serotipe dapat ditemukan di Indonesia dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Anonim, 2004b). Hasil penelitian Hariadhi dan Soegijanto (2006) di Provinsi Jawa Timur, menyebutkan bahwa pada masyarakat di daerah Jawa Timur ditemukan serotipe DEN-2 yang dominan yaitu sebesar 95,8 % dan serotipe DEN-3 sebesar 4,2 % yang secara bersamaan ditemukan pada satu penderita dengan diagnosis DBD. Infeksi ganda DEN-2 dan DEN-3 ini ternyata dapat memperparah perjalanan penyakit (Hariadhi dan Soegijanto, 2006). Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan (Anonim, 2004b). Nyamuk Aedes aegypti ini merupakan vektor utama penyakit demam berdarah dengue. Aedes aegypti berkembang biak ditempat yang berwarna gelap, terlindung sinar matahari, permukaan terbuka lebar, berisi air tawar jernih dan tenang. Banyak peneliti telah melaporkan adanya transimisi virus dengue yang ada dalam tubuh nyamuk betina Aedes aegypti kedalam telurtelurnya (Soegijanto dkk, 2006). Virus yang masuk dan berkembang biak didalam tubuh nyamuk dapat ditularkan selama hidupnya. Di tubuh manusia, virus 7 memerlukan waktu masa empat sampai tujuh hari sebelum menimbulkan penyakit (Anonim, 2004). Virus dengue merupakan RNA virus yang terdiri atas protein struktural dan protein non-struktural (Bumi dkk, 2006). Virus dikelilingi oleh nukleokapsid icosahedral dengan diameter 30 nm. Nukleokapsid ditutupi oleh lemak dengan tebal 10 nm sebagai tanda batas virus dengan sel inang (Anonim, 2004b). b. Patogenesis Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup didalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut tergantung daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul antibodi, namun bila daya tahan rendah maka akan perjalanan penyakit menjadi makin berat dan bahkan menimbulkan kematian (Anonim, 2004b). Patogenesis DBD dan Sindrom Syok Dengue (SSD) masih merupakan masalah yang kontroversial. Terdapat dua teori yang sering digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenetik yang terjadi pada DBD dan SSD. Teori yang paling banyak digunakan adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologus infection) atau hipotesis antybody dependent enhancement (ADE) (Anonim, 2004b). Teori ini menyatakan bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6 bulan sampai 5 tahun. Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang 8 berlainan pada seorang penderita dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Disamping itu replikasi virus dengue terjadi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5 menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah (Rena, dkk., 2009). Gambar 1. Patogenesis DBD (Anonim, 2004b) 9 Infeksi virus dengue pada makrofag dan monosit selanjutnya akan mengaktivasi limfosit T, baik T helper (CD4) maupun T sitotoksik (CD8). Aktivasi makrofag dan monosit akan merangsang infeksi virus dengue untuk mengaktivasi makrofag dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan memproduksi mediator inflamasi seperti TNF, IL-1, PAF (platelet activating factor), IL-6, histamin sedangkan limfosit T menghasilkan mediator inflamasi berupa IL-2, TNF , IL-1, IL-6 dan IFN. Peningkatan C3a dan C5a juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma melalui anafilaktoksin yang dihasilkan (Rena, dkk., 2009). Gambar 2. Mekanisme Patologi Kebocoran Plasma Pada DBD (Rena, dkk., 2009) Teori antibody dependent enhancement (ADE) menyatakan bahwa adanya antibodi menyebabkan proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuclear. Sehingga terjadi sekresi mediator vasoaktif 10 yang dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok (Anonim, 2004b). c. Epidemiologi Hingga saat ini, surveilans epidemiologi DBD masih dihadapkan pada beberapa permasalahan, antara lain kasus-kasus yang dilaporkan dengan diagnosa DBD, tidak semuanya didukung dengan pemeriksaan laboratorium klinik, terutama adanya peningkatan hematokrit dan penurunan trombosit sebagaimana kriteria yang ditetapkan oleh WHO. Hal ini menyebabkan pengelompokan penderita dan pelaporan Demam Dengue (DD), DBD atau Dengue Syok Syndrom (DSS) belum terlaksana seperti yang diharapkan. Selain itu kasus-kasus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologis jumlahnya masih sangat sedikit (Anonim, 2007). Sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun 1998. Pada tahun 2004, terdapat sebanyak 334 kabupaten/kota di Indonesia yang terjangkit DBD, tahun 2006 meningkat menjadi 330, tahun 2007 meningkat lagi menjadi 357 kabupaten/kota menyebar di seluruh Indonesia sedangkan pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang terjangkit menjadi 346 Kabupaten/Kota (Sukowati, 2010). Provinsi Lampung merupakan salah satu provinsi yang pernah mengalami kejadian luar biasa (KLB) DBD, sampai sekarang kejadian penyakit DBD di seluruh daerah di Provinsi Lampung tetap muncul setiap tahun dengan angka 11 kejadian yang bervariasi. Penderita DBD di Provinsi Lampung yang tercatat hingga November 2012 mengalami peningkatan tajam, yaitu mencapai 4.215 kasus (Anonim, 2012a). Sedangkan pada tahun 2011 terdapat 1.494 kasus dan 1.714 kasus pada tahun 2010 (Anonim, 2011 ; Anonim 2012b). Awal KLB penyakit virus dengue setiap lima tahun selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun, dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tertentu. Hal ini terjadi, kemungkinan berhubungan erat dengan : a) perubahan iklim dan kelembapan b) terjadinya migrasi penduduk dari daerah yang belum ditemukan atau jarang ditemukan infeksi virus dengue ke daerah endemis penyakit infeksi virus dengue atau dari pedesan ke perkotaan. c) Meningkatknya kantong-kantong jentik nyamuk Aedes aegypti di perkotaan terutama daerah yang kumuh pada bulan-bulan tertentu (Soegijanto, 2006a). Dijelaskan juga oleh Soegijanto (2006a) bahwa dari data Kasus DBD tahun 1996 sampai dengan 2000 peningkatan kasus dari tahun ketahun bervariasi bulanannya. Keadaan tersebut dimungkinkan karena adanya perubahan musim penghujan. d. Diagnosis Diagnosis demam berdarah ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan dan laboratoris. 12 1) Kriteria klinis a) Demam tinggi mendadak, tanpa sebab jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari. b) Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : (1) Uji tourniquet positif (2) Retekia, ekomosis, epitaksis, perdarahan gusi. (3) Hemetamesis dan atau melena. c) Pembesaran hati d) Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah. 2) Kriteria Laboratoris a) Trombositopenia (100.000 sel/mm3 atau kurang) b) Hemokonsentrasi peningkatan hematokrit 20% atau lebih. Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengklasifikasikan penyakit DBD menjadi derajat I, II, III, dan IV berdasarkan derajat penyakit yang diklasifikasikan oleh WHO tahun 1997. Tabel I. Derajat Penyakit Demam Berdarah Dengue (Anonim, 2004b). Derajat I Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniquet Derajat II Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan dikulit dan atau perdarahan lain. Derajat III Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit dingin dan lembab, dan tampak gelisah. Derajat IV Syok berat, nadi tidak dapat diraba an tekanan darah tidak teratur 13 Pada Demam Berdarah Dengue (DBD) umumnya dijumpai trombositopenia dan hemokonsentrasi. Penurunan jumlah trombosit kurang dari 100.000/µl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-7, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. Pada pasien DBD, saat sebelum syok terjadi atau sebelum suhu turun biasanya terjadi penurunan nilai trombosit yang disertai dengan peningkatan nilai hematokrit. Nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau karena perdarahan. Jumlah leukosit dapat menurun (leucopenia), limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Asidosis metabolik dan peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) ditemukan pada syok berat. Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral (Anonim, 2004b). e. Penatalaksanaan DBD 1) Terapi non obat Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat simptomatis dan suportif, yaitu mengatasai kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi. Pada pasien DBD dapat 14 terjadi peningkatan nilai hematokrit, jika nilai hematokrit meningkat lebih dari 20% mencerminkan perembesan plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Tujuan pemberian cairan oral adalah untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah, atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Cairan diberikan untuk mengurangi rasa haus dan dehidrasi karena demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Penderita DBD perlu diberi minum sebanyak mungkin, dapat diberikan berupa air teh manis, sirup atau susu, dan dapat diberikan juga oralit (Anonim, 2004b). a) Penggantian Volume Plasma Patogenesis dasar DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan suhu maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Penggantian volume cairan harus adekuat (Anonim, 2004b). Dalam kasus dehidrasi isotonik, diberikan glukosa 5% (50 g/l) dilarutkan dalam 1:2 atau 1:1 dalam salin fisiologis normal. Terapi intravena tanpa renjatan dilakukan bila pasien terus menerus muntah atau terjadi peningkatan nilai hematokrit lebih dari 40%. Penurunan nilai hematokrit sekitar 40%, jumlah urin 12 ml/kg BB/jam maka menandakan keadaan sirkulasi pasien membaik. Bila terdapat asidosis dapat diberikan larutan yang mengandung natrium bikarbonat. Namun larutan natrium bikarbonat tidak boleh diberikan untuk penatalaksanaan awal dehidrasi intravena dalam DBD karena belum ditemukan kegagalan sirkulasi dan belum terdapat asidosis sehingga jika diberikan larutan tersebut akan menyebabkan hipervolemia, dengan akibat terjadi edema paru dan gagal jantung. 15 Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% didalam larutan NaCl 0.45%. Bila terdapat asidosis dapat diberikan larutan natrium bikarbonat 7,46%,1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan (Anonim,1999). Pemilihan jenis dan volume cairan yang diperlukan tergantung dari umur dan berat badan serta derajat kehilangan plasma. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam (Anonim,2004b). Tabel II.Kebutuhan Cairan Rumatan (Anonim, 2004 Berat Badan (kg) 10 10-20 >20 b) Jumlah Cairan (ml) 100 per kg BB 1000 + 50 x kg (diatas 10 kg) 1500 + 20 x kg (diatas 20 kg) Jenis cairan yang direkomendasikan pada pasien DBD sebagai cairan rumatan adalah : (1) Kristaloid (a) Larutan ringer laktat (RL) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL). (b) Larutan asetat (RA) atau dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RA). (c) Larutan NaCl 0,9% (faali/GF) atau dekstrosa 5% dalam larutan garam faali (D5/GF) (Anonim, 2004 ; Soegijanto, 2006b). (2) Koloid (a) Dekstran 40 (b) Plasma 16 (c) b) Albumin (Anonim, 2004 ; Soegijanto, 2006b). Pemberian Oksigen Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen (Anonim, 2004b). c) Transfusi Darah Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan melena diindikasikan untuk memperoleh transfusi darah. Darah segar sangat berguna untuk mengganti volume massa sel darah merah agar menjadi normal (Soegijanto, 2006b). Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan (Anonim, 2004b). 2) Terapi Obat-obatan a) Antipiretik Obat antipiretik diberikan bila suhu tubuh lebih dari 38.5°C. Obat antipiretik diberikan apabila diperlukan. Obat antipiretik digunakan bertujuan untuk menurunkan suhu tubuh menjadi dibawah 39o C. Antipiretik yang dianjurkan adalah parasetamol, sedangkan asetosal tidak dianjurkan 17 karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis (Anonim, 2004b). Tabel III. Dosis Parasetamol Menurut Kelompok Umur (Anonim, 2004b) Umur (tahun) <1 1-3 4-6 7 - 12 b) Dosis (mg) 60 60 - 125 125 - 250 250 - 500 Parasetamol (tiap kali pemberian) Tablet(1 tab=500mg) 1/8 1/8 - 1/4 1/4 - 1/2 1/2 - 1 Antibiotik Belum ada bukti yang mendukung penggunaan antibiotik pada pasien DBD (Anonim, 2010a). Pertimbangan pemberian antibiotik pada keadaan syok mengingat kemungkinan adanya kejadian infeksi sekunder dengan translokasi dari saluran cerna. Antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak berefek terhadap sistem pembekuan (Anonim, 2004b). c) Antisedatif Antisedatif dibutuhkan terutama pada pasien yang sangat gelisah. Obat hepatotoksik sebaiknya dihindarkan, kloralhidrat oral atau rektal dianjurkan dengan dosis 12,5 – 50 mg/kg tidak lebih dari 1 jam digunakan sebagai satu macam obat hipnotik (Soegijanto, 2006b). d) Antikonvulsan Anti konvulsan seperti diazepam, fenobarbital atau largaktil diberikan apabila terdapat indikasi kejang (Anonim, 2004b). e) Kortikosteroid Pemakain kortikosteroid pada penderita DBD masih kontroversial. Pemberian steroid tidak direkomendasikan pada pasien DBD (Anonim, 18 2010b). Sedangkan menurut Dep.Kes. RI. Menyebutkan bahwa pemberian deksametason 0,5 mg/KgBB/kali tiap 8 jam berguna untuk mengurangi udem otak karena syok yang berlangsung lama, tetapi apabila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan (Anonim, 2004b). f) Antidiuretik Furosemid 1 mg/KgBB dapat diberikan pada pengobatan syok apabila diuresis 1 ml/KgBB belum cukup untuk memperbaiki keadaan penderita. Furosemid diberikan terutama jika pada psien syok terdapat overload antara lain edema atau pernafasan meningkat (Anonim, 2004b). g) Neomisin dan laktulosa Neomisin dan laktulosa dapat diberikan pada pasien yang mengalami ensefalopati karena berguna untuk mengurangi produksi amoniak (Anonim, 2004b). h) Vitamin K Pemberian vitamin K secara intravena 3-10 mg selama 3 hari dapat diberikan apabila terdapat disfungsi hati (Anonim, 2004b). i) Vasopresor Obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin dapat diberikan jika pasien mengalami syok yang belum teratasi dengan pemberian ringer laktat (Anonim, 2004b). 19 j) Heparin Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratories didapatkan tanda-tanda Koagulasi Intravaskuler Disseminata (KID) (Anonim, 2004b). k) Natrium bikarbonat Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks. Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan (Anonim, 2004b). Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DBD belum ada dan masih dalam proses penelitian, sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya (Sukowati, 2010). Di Thailand telah ditemukan keseluruhan tipe vaksin dengue dan telah dicoba yang monovalen maupun tetravalen vaksin. Namun hasilnya kurang memuaskan. Hal ini terjadi karena reaksi antibody dependent enhancement (ADE) pasca imunisasi (Soegijanto, 2006c). Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia pasien dapat dipulangkan apabila, memenuhi semua keadaan dibawah ini : (1) Tampak perbaikan secara klinis 20 (2) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik (3) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis) (4) Hematokrit stabil (5) Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl (6) Tiga hari setelah syok teratasi (7) Nafsu makan membaik (Anonim, 2004b). 2. RSUD DR. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung didirikan sejak tahun 1914 oleh Perkebunan (Onderneming) Pemerintah Hindia Belanda untuk merawat buruh perkebunan, bangunan Rumah Sakit semi permanen dengan kapasitas 100 tempat tidur. Rumah sakit ini sempat bergantiganti pengelola, namun sejak tahun 1965 sampai sekarang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Lampung. RSUD Dr. H. Abdul Moeloek semula bernama Rumah Sakit Umum Provinsi Lampung, namun tahun 1984 berganti nama menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek. Sejak berdiri hingga saat ini RSUD Dr.H.Abdul Moeloek tercatat telah mengalami 22 kali pergantian Direktur. Selama 22 kali pergantian Direktur RSUDAM, yang paling lama menjabat sebagai Direktur adalah Dr.H.Abdul Moeloek yaitu selama 17 tahun,dan saat ini nama beliau diabadikan menjadi nama rumah sakit (RSUD Dr.H.Abdul Moeloek). 21 Pada tahun 2008 Rumah Sakit Umum Dr.H.Abdul Moeloek telah ditetapkan sebagai Rumah Sakit Tipe B Pendidikan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.HK/03.05/I/2603/2008 Tentang Penetapan Rumah Sakit Umum Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung sebagai Rumah Sakit Pendidikan. Visi dan misi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Lampung Nomor 44 tahun 2009,Visi dan Misi RSUD Dr.H.Abdul Moeloek Provinsi Lampung adalah sebagai berikut: a. Visi : Rumah Sakit Profesional kebanggaan Masyarakat Lampung b. Misi : 1) Memberikan pelayanan prima di segala bidang 2) Menyelenggarakan dan kembangkan pusat-pusat pelayanan unggulan 3) Membentuk sumber daya manusia profesional bidang kesehatan 4) Menjadikan Pusat Penelitian bidang kesehatan Saat ini Rumah Sakit Umum Daerah Dr.H.Abdul Moeloek adalah Rumah Sakit milik Pemerintah Provinsi Lampung sebagai Lembaga Teknis Daerah Provinsi Lampung dan merupakan Rumah Sakit Rujukan tertinggi di Provinsi Lampung. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1163/MenKes/SK/XII/1993 ditetapkan dengan kapasitas 555 tempat tidur. Kemudian dalam rangka upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang berumutu, efektif, efisien dan optimal, pada tahun 2000 dilakukan relokasi kelas perawatan dan tempat tidur dari 555 tempat tidur menjadi 400 tempat tidur, 22 Namun sejak tahun 2008 kapasitas tempat tidur RSUD Dr. H. Abdul Moeloek menjadi 600 tempat tidur. 3. Pengobatan Yang Rasional Pengobatan yang rasional adalah pemilihan dan penggunaan obat yang efektifitasnya terjamin serta aman, dengan mempertimbangkan masalah harga, yaitu dengan harga yang paling menguntungkan dan sedapat mungkin terjangkau. Untuk menjamin efektifitas dan keamanan, pemberian obat harus dilakukan secara rasional, berarti perlu dilakukan diagnosis yang akurat, pemilihan obat yang tepat, serta obat dengan dosis, cara, interval serta lama pemberian yang tepat (Anonim, 2002). WHO menjelaskan bahwa definisi Penggunaan Obat Rasional adalah apabila pasien menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan klinisnya, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan, dalam periode waktu yang sesuai dan dengan biaya yang terjangkau oleh dirinya dan kebanyakan masyarakat. Dengan empat kata kunci yaitu kebutuhan klinis, dosis, waktu, dan biaya yang sesuai, penggunaan obat rasional merupakan upaya intervensi untuk mencapai pengobatan yang efektif. Penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya dengan menggunakan Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat diagnosis, Tepat Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara dan lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada terhadap Efek Samping Obat, dengan penjabaran sebagai berikut menurut WHO : 23 a. Tepat Diagnosis Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien. b. Tepat obat Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai dengan diagnosis dan kondisi pasien serta mempertimbngkan keefektifan dan keamanan obat. c. Tepat indikasi Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai dengan penyakitnya. d. Tepat Pasien Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan kondisi individu yang bersangkutan. e. Tepat dosis Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat tersebut dan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan pasien sesuai dengan kondisi pasien. f. Tepat cara dan lama pemberian Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien (Swandari, 2012). 24 g. Tepat harga Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk peresepan obat yang mahal. h. Tepat Informasi Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan. i. Waspada Efek samping Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi (Swandari, 2012). Penerapan penggunaan obat yang rasional akan memberi manfaat yaitu optimalisasi tujuan pengobatan yang ingin dicapai dengan meminimalkan efek samping obat dengan rasio antara manfaat dan resiko yang optimal serta berkurangnya beban biaya pengobatan (Aslam dkk, 2003). Informasi obat pada dasarnya merupakan awal dari implementasi preskripsi yang rasional maupun penggunaan obat yang rasional melalui formularium maupun standar pengobatan, tanpa informasi obat yang memadai maka penggunaan obat yang rasional tidak akan tercapai. Pemberian informasi obat harus dilakukan secara profesional oleh mereka yang yang memiliki kualifikasi, keahlian, dan terikat kode etik profesi (Sampurno, 2001).