BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia secara terus – menerus terpapar oleh agen penginfeksi yang dapat menyebabkan penyakit. Kebanyakan penyakit ataupun ancaman dari luar lainnya dicegah masuk ke dalam tubuh oleh sistem pertahanan tubuh manusia yang dikenal dengan sistem imun (Wood, 2006). Patogen juga dapat mengganggu kerja sistem imun tubuh. Sistem imun tubuh yang terganggu dapat menyebabkan terganggunya mekanisme respon imun baik selular maupun humoral (Anonim, 2007), oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan keseimbangan sistem imun dengan cara pemberian imunostimulator. Sistem imun normal memiliki keseimbangan antara komponen – komponen yang berperan di dalamnya (Abbas dkk., 2010). Imunostimulator memiliki kemampuan untuk meningkatkan ketahanan tubuh yang menyebabkan senyawa imunostimulator potensial untuk dikembangkan sebagai agen yang dapat digunakan untuk mengatasi masuknya mikroorganisme penyebab infeksi. Tanaman Mengkudu (Morinda citrifolia Linn), juga dikenal sebagai Noni, telah digunakan untuk pengobatan oleh bangsa Polinesia selama lebih dari 2000 tahun dan diketahui memiliki efek terapi yang luas (Wang dkk., 2002). Di Indonesia tanaman Mengkudu telah dimanfaatkan sejak dulu dan digunakan secara luas oleh masyarakat karena khasiatnya yang bermacam – macam. Dalam pengobatan tradisional Mengkudu digunakan untuk obat batuk, radang amandel, sariawan, tekanan darah tinggi, beri-beri, melancarkan kencing, radang ginjal, 1 2 radang empedu, radang usus, sembelit, limpa, lever, kencing manis, cacingan, cacar air, sakit pinggang, sakit perut, masuk angin, dan kegemukan (Wijayakusuma dkk., 1996). Menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), Mengkudu mengandung protein, polisakarida, skopoletin, asam askorbat, prokseronin, dan prokseroninase. Jus Mengkudu telah diketahui mampu meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan membantu memperbaiki kerusakan sel. Senyawa imunomodulator kaya polisakarida dari jus Mengkudu diketahui mempunyai potensi terapetik dalam menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme aktivasi sistem kekebalan pada inang (Hirazumi dan Furusawa, 1999). Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Adventiana (2012) menunjukkan bahwa fraksi polisakarida buah Mengkudu yang diperoleh dengan pengendapan menggunakan aseton, pada kadar 50 μg/mL dapat meningkatkan indeks fagositosis makrofag secara in vitro (Adventiana, 2012), namun pada penelitian ini tidak diketahui efek fraksi polisakarida buah Mengkudu terhadap aktivitas proliferasi limfosit. Penelitian tersebut perlu dioptimasi untuk mendapatkan respon imunologi optimal dengan metode yang sesuai. Salah satu cara optimasi adalah dengan mengisolasi polisakarida dengan metode lain. Pada penelitian ini efek imunostimulan dari fraksi polisakarida buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) yang diperoleh dengan metode pengendapan menggunakan etanol 60% dan 95% terhadap aktivitas fagositosis makrofag dan proliferasi limfosit secara in vitro diamati dan dibandingkan hasilnya dengan metode yang dilakukan pada penelitian lain. Metode ini dipilih dengan tujuan untuk mengetahui efek imunostimulan dari fraksi polisakarida buah mengkudu 3 (Morinda citrifolia L.) hasil fraksinasi bertingkat terhadap aktivitas fagositosis makrofag dan proliferasi limfosit secara in vitro dan profil kandungan kimia masing masing fraksi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apakah fraksi polisakarida buah Mengkudu yang diperoleh dengan metode pengendapan bertingkat dapat meningkatkan aktivitas fagositosis sel makrofag dan proliferasi sel limfosit secara in vitro dibandingkan dengan kontrol pelarut? 2. Berapa kadar karbohidrat total fraksi polisakarida yang didapatkan dan bagaimana profil kandungan kimianya? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengisolasi polisakarida dari buah Mengkudu dan menguji aktivitasnya terhadap fagositosis sel makrofag dan sel limfosit secara in vitro. 2. Mengetahui kadar karbohidrat total fraksi polisakarida yang diperoleh dan profil kandungan kimianya. 4 D. Tinjauan Pustaka 1. Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Gambar 1. Mengkudu Tanaman Mengkudu dalam sistematika tumbuhan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Rubiales Suku : Rubiaceae Marga : Morinda Jenis : Morinda citrifolia L. (Sjabana dan Bahalwan, 2002) a. Nama Daerah Mengkudu memiliki nama daerah keumudu (Aceh), leodu (Enggano), bakudu (batak), bangkudu (Batak Toba, Angkola, dan Melayu), paramai (Mandailing), makudu (Nias), nateu (Mentawai), bingkudu (Minangkabau), mekudu (Lampung), pace (Jawa Tengah), cangkudu (Sunda), kuduk (Madura), wungkudu (Bali), aikombo (Sumba), manakudu (Roti), dan bakulu (Timor) 5 (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Pada beberapa budaya di seluruh dunia, Mengkudu juga dikenal sebagai Indian Mulberry, Ba Ji Tian, Nono atau Noni, Cheese Fruit, dan Nhau (Wang dkk., 2002). b. Deskripsi Tumbuhan ini berbentuk pohon dengan tinggi 4-8 m. Batang berkayu, bulat, kulit kasar, percabangan monopoidal. Daun tunggal, bulat telur, ujung pangkal runcing, panjang 10-40 cm. Pohon Mengkudu berbunga sepanjang tahun. Bunga majemuk, rapat, berbunga banyak, berbau harum dan tumbuh di ketiak daun, bentuk bongkol, bertangkai, benang sari berjumlah 5, tumbuh jadi satu dengan mahkota hingga tinggi, tangkai sari berambut wol (Steenis,1975). Buah Mengkudu umumnya memiliki panjang 5-10 cm, berbongkol, permukaan tidak teratur, buah muda berwarna hijau, semakin tua menjadi kekuningan hingga putih transparan, daging buah tidak berbau sedap yang disebabkan asam kaprilat dan kaproat, juga akibat penguraian protein oleh bakteri pembusuk menjadi senyawa amin biogenik. Biji Mengkudu berbentuk segitiga, keras, berwarna coklat kemerahan. Akar Mengkudu berwarna coklat muda dan berjenis tunggang. Biji Mengkudu dapat bertahan di permukaan laut dalam waktu cukup lama dapat mentoleransi kondisi yang beragam.Mengkudu tergolong tanaman tropis ever green, artinya selalu memiliki daun sepanjang tahun. Buahnya tidak mengenal musim (Sjabana dan Bahalwan 2002). c. Habitat Mengkudu banyak terdapat di daerah tropis seperti Amerika Tengah, Amerika Selatan bagian utara, Afrika, Asia, Australia bagian utara, Melanesia, dan Polynesia (BPOM, 2007). Tanaman ini tumbuh pada daerah yang 6 berkapur tanpa tergantung keadaan tanah, umumnya tumbuh di dekat pantai, pada batuan lime stone dan dapat tumbuh pada ketinggian sampai dengan 1000 m di atas permukaan air laut. Mengkudu banyak ditanam di kebun kopi sebagai tanaman pelindung atau di kebun lada sebagai pohon tempat merambat. (Sudarsono dkk., 2002). d. Efek Farmakologis Buah Mengkudu diketahui memiliki efek terapi yang luas. Jus buah Mengkudu digunakan secara luas sebagai pengobatan alternatif untuk berbagai macam penyakit seperti antibakteri, antivirus, antifungi, antitumor, analgesik, anti inflamasi, hipotensif, dan efek meningkatkan imunitas (Wang dkk., 2002). Polisakarida teridentifikasi berada dalam tanaman Mengkudu. Beberapa polisakarida menunjukkan aktivitas imunomodulasi, antitumor, antikoagulansi, hipoglikemik, dan antivirus (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Berdasarkan penelitian Hirazumi dan Furuzawa (1999), ditemukan bahwa jus Mengkudu mengandung banyak senyawa polisakarida yang menghambat pertumbuhan tumor. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa jus buah Mengkudu dapat menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme aktivasi sistem imun. Jus Mengkudu juga mampu menstimulasi pelepasan berbagai mediator kekebalan tubuh yaitu TNF-alpha, IL-1, IL-10, IL-12, IFNγ, dan NO (nitro oxide). Wang dkk. (2002) mengamati bahwa terjadi perbesaran berat kelenjar timus hingga 1,7 kali dibandingkan hewan kontrol pada hari ketujuh setelah meminum 10% jus Mengkudu yang dicampur pada air minum. Kelenjar timus merupakan organ yang penting dalam tubuh karena menghasilkan sel limfosit 7 T yang berfungsi pada sistem imun seluler. Hal ini menunjukkan bahwa jus Mengkudu memiliki potensi sebagai immunostimulator (Wang dkk., 2002). Metode isolasi terdahulu dengan pengendapan menggunakan aseton menunjukkan bahwa fraksi polisakarida buah Mengkudu kadar 50 μg/mL meningkatkan indeks fagositosis makrofag secara in vitro (Adventiana, 2012). e. Kandungan Kimia Tanaman Mengkudu telah diidentifikasi mengandung kurang lebih 160 senyawa fitokimia dengan komponen mikronutrien yang utama adalah senyawa-senyawa fenolik, asam-asam organik dan alkaloid. Di antara senyawa fenolik yang ada, yang paling penting dilaporkan adalah antrakuinon (damnakanthal, morindon, morindin, dll), dan juga aukubin dan asperulosid (Blanco dkk., 2005). Buah Mengkudu diketahui mengandung skopoletin (suatu kumarin fenolik), polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxeronin, dan proxeroninase (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Polisakarida yang terkandung dalam buah Mengkudu merupakan gabungan dari galaktosa, arabinosa, asam glukoronat, dan rhamnosa (Hirazumi dan Furusawa, 1999). Terdapat 2 glikosida (rutin dan asam asperulosidat) dan ester asam lemak tersakarida [2,6-di-O- (β-D-glukopiranosil)-1-O-oktanoil- β-D-glukopiranosa] yang di isolasi dari fraksi tidak larut butanol ektrak etanol buah Mengkudu (Wang dkk., 2002). 2. Polisakarida Polisakarida sering disebut sebagai senyawa karbohidrat bukan gula karena rasanya tidak manis. Polisakarida merupakan senyawa yang tersusun atas 8 sejumlah monosakarida dalam satu molekul. Satuan – satuan polisakarida saling berhubungan satu sama lain secara glikosidik dan dapat dipecah dengan cara hidrolisis. Polimer tersebut terbentuk secara alami, yang terbentuk akibat polimerisasi kondensasi dari aldosa atatu ketosa (Gunawan dan Mulyani, 2004). Polisakarida berasal dari mono, di, tri, maupun oligosakarida. Hidrolisis dengan enzim atau reagen tertentu dapat memecah polisakarida tersebut menjadi sakarida penyusunnya (Evans, 2004). Polisakarida dalam berbagai tanaman dipercaya sebagai bahan bioaktif yang terlibat dalam aktivitas imunomodulasi. Kebanyakan tanaman yang diketahui memiliki aktivitas imunomodulator mempunyai efek terutama pada imunitas non spesifik seperti fungsi makrofag (Chen dkk., 2006). Polisakarida yang terkandung dalam buah Mengkudu merupakan gabungan dari galaktosa, arabinosa, asam glukoronat & rhamnosa. Hal ini menunjukkan kemungkinan polisakarida buah Mengkudu dapat menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme aktivasi sistem imun (Hirazumi & Furusawa, 1999). Galaktosa merupakan suatu monosakarida yang tersusun dengan enam atom karbon yang disebut dengan heksosa (Cseke dkk., 2006). Galaktosa diperlukan untuk sintesis rafinose yang dibentuk dari epimerisasi UDP-glukosa (Heldt, 2005). Arabinosa tersusun atas aldopentosa (memiliki lima atom karbon) (Cseke dkk., 2006). Asam glukoronat merupakan glukosa yang teroksidasi sehingga pada karbon keenam menjadi asam karboksilat. Rhamnosa terdapat dalam bentuk 6deoksi-L-mannose dan merupakan gula deoksi alami. Rhamnosa terdapat pada berbagai jenis gom dan merupakan komponen penyusun pektin yang terdapat 9 pada dinding sel bakteri, dan terdapat pada obat kardioaktif. Rhamnosa terdapat pada glikosida sebagai bagian gula (Evans, 2004). 3. Sistem Imun Tubuh kita secara terus – menerus terpapar oleh berbagai organisme penginfeksi yang dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada tubuh kita. Imunitas merupakan suatu perlindungan dari penyakit, dan secara lebih spesifik, penyakit infeksi. Protein, sel, molekul dan organ yang bertanggung jawab terhadap imunitas membentuk sistem imun yang melindungi tubuh dari ancaman penyakit yang disebabkan oleh agen penginfeksi melalui respon imun (Abbas dkk., 2007; Wood, 2006). Sistem imun dapat dibagi menjadi dua bagian, sistem imun spesifik (adaptive atau acquired) dan non spesifik (innate atau bawaan). Sistem imun non spesifik memberikan pertahanan garis depan terhadap mikroorganisme patogen yang memberikan respon bahkan sebelum terjadi infeksi, merespon secara cepat bila terjadi infeksi namun tidak memiliki sistem memori terhadap infeksi yang pernah ditemui (Abbas dkk., 2007; Shen dan Louie, 2005). Jumlah sistem imun non spesifik dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Sistem imun ini disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap antigen tertentu dan telah ada sejak lahir. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi antigen dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja, 2009). Sistem imun spesifik yang terdiri dari sel T dan sel B distimulasi oleh paparan agen infeksi yang mampu meningkatkan kemampuan pertahanan dan adaptasi terhadap infeks tersebut sehingga disebut sistem imun adaptif. Respon imun spesifik teraktivasi 10 ketika mikroba atau antigen melewati epithelial barrier dan menuju ke organ limfoid dimana antigen atau mikroba tersebut dikenali oleh limfosit. Respon imun spesifik ini sering menggunakan sel dan molekul dari respon imun non spesifik atau bawaan untuk mengeliminasi mikroba dan meningkatkan aktivitas antimikrobial dari respon imun bawaan (Abbas dkk., 2007). Gambar 2. Sistem Imun Spesifik dan Non Spesifik (Abbas dkk., 2007) Karakteristik sistem imun adaptif adalah spesifik terhadap molekul tertentu yang mampu mengenali dan membedakan antigen yang berbeda. Sistem imun spesifik mampu mengenali dan merespon paparan dari mikroorganisme yang sama. Sistem imun spesifik juga disebut sebagai sistem imun perolehan karena kemampuan respon imunnya diperoleh dari infeksi sebelumnya. Komponen utama sistem imun spesifik adalah limfosit dan antibodi (Abbas dkk., 2007). 4. Imunomodulator Imunomodulasi merupakan suatu cara untuk mengembalikan dan memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan fungsi yang berlebihan (Baratawidjaja, 2009). Imunomodulator adalah suatu senyawa biologis maupun sintetis yang mampu menstimulasi, menekan atau memodulasi 11 komponen – komponen sistem imun baik sistem imun spesifik maupun non spesifik (Agarwal dan Singh, 1999). Obat golongan imunomodulator bekerja salah satunya melalui mekanisme imunostimulasi. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan yang dapat meningkatkan respon imun disebut imunostimulator. Imunostimulator dapat berupa imunostimulan biologis (sitokin, antibodi monoklonal, interferon, sel LAK (Lymphokine-Activated Killer), bakteri, dan jamur) maupun imunostimulan sintetis (levamisol, antioksida, muramil dipeptida, dan lain – lain) (Baratawidjaja, 2009). Imunostimulator dibagi menjadi dua, imunostimulator spesifik dan non spesifik. Imunostimulasi spesifik mampu meningkatkan respon imun melalui pacuan antigen spesifik seperti vaksin yang digunakan untuk menstimulasi respon imun melawan patogen spesifik. Imunostimulasi non spesifik menstimulasi respon imun tanpa berhubungan dengan spesifisitas antigen, contohnya adjuvant yang biasanya digunakan bersamaan dengan penggunaan vaksin untuk memperkuat efek perlindungannya (Kumar dkk., 2011). 5. Limfosit Limfosit adalah sel yang secara spesifik mengenali dan merespon antigen asing dan juga merupakan suatu mediator pada imunitas humoral dan selular (Abbas dkk., 2007). Limfosit dihasilkan dari sumsum tulang dan diproduksi dari sel induk pluripoten. Sel induk pluripoten dapat berdiferensiasi menjadi sel induk limfopoietik yang merupakan asal muasal sel limfosit B dan limfosit T. Sel B berkembang dan mengalami pematangan di sumsum tulang, sedangkan sel T di timus (Wood, 2006). Limfosit B berfungsi sebagai mediator imunitas humoral dan 12 mampu memproduksi antibodi dan mengenali antigen permukaan. Limfosit T terdiri dari T helper (Th) dan sel T sitolitik (CTLs atau Tc). Limfosit T mengenali peptida antigen yang diperlihatkan ke permukaan sel oleh molekul MHC (Abbas dkk., 2007). Gambar 3. Perkembangan sel limfosit B dan T (Abbas dkk., 2007) Aktivasi sel limfosit terjadi secara bertahap dan dimediasi oleh interaksi reseptor-ligan yang ada di permukaan sel dengan menggunakan molekul seperti sitokin. Ketika antigen masuk, komponen sistem imun non spesifik akan mengeliminasi di daerah infeksi kemudian mengaktifkan sistem imun adaptif (sel T dan B) untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi efektor limfosit. Setelah proliferasi dan diferensiasi terjadi, sel T akan kembali ke daerah yang terinfeksi untuk mengeliminasi antigen. Interaksi antara T cell receptor (TCR) dan MHCpeptide complex dibutuhkan dalam aktivasi antigen spesifik limfosit T. Semua TCR yang ada dipermukaan sel dari limfosit T identik dan hanya mengikat satu tipe dari peptida. Oleh karena itu, limfosit T hanya akan teraktivasi oleh antigen spesifiknya. Sel Th mengekspresikan molekul CD4 di permukaan selnya sedangkan sel Tc mengekspresikan molekul CD8 di permukaan sel. Sebagai respon stimulasi antigen, sel Th mensekresi suatu sitokin yang berfungsi untuk 13 menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T dan mengaktifkan sel lain, termasuk sel B, makrofag dan leukosit yang lain. Sel Th mengenali antigen yang diperlihatkan ke permukaan APC oleh MHC kelas II. Sel Tc membunuh sel yang memproduksi antigen asing, seperti sel yang terinfeksi virus atau mikroba intraseluler lain. Sel Tc mengenali antigen dari virus atau mikroba yang diperlihatkan ke permukaan sel oleh MHC kelas I. (Abbas dkk., 2007; Janeway dkk., 2001). Sel B merupakan sel yang bertanggung jawab atas pembentukan imunoglobulin (Ig). Ketika terjadi rangsangan antigen, limfosit B akan mengalami proses diferensiasi melalui dua jalur yaitu menjadi sel plasma yang membentuk imunoglobulin dan membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai limfosit B memory. Sel B memory adalah sel yang mengekskresikan Ig yang proliferasinya bergantung pada sel T (Kresno, 2001). 6. Makrofag Makrofag merupakan salah satu komponen sistem imun non spesifik dan memiliki kemampuan berfagositasi. Makrofag berasal dari sumsum tulang dan bersirkulasi di dalam darah kemudian mengalami diferensiasi menjadi monosit darah dan akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa dan membentuk sistem fagosit mononukleus. Makrofag yang berada di jaringan yang berbeda diberikan penamaan khusus untuk menunjukkan letak spesifiknya. Meskipun memiliki nama yang berbeda-beda tapi semuanya memiliki kesamaan yaitu dapat mengikat dan memakan partikel asing. Makrofag yang disebut fixed macrophage berbentuk sesuai dengan jaringan yang ditempati. Makrofag peritoneal berada secara bebas dalam cairan peritoneum. Kehadirannya sepanjang kapiler memungkinkan untuk menangkap patogen dan antigen yang masuk ke dalam 14 tubuh. Sel makrofag merupakan mediator imunitas non spesifik yang paling tua. Makrofag umumnya mampu merespon mikroba hampir sama cepatnya dengan neutrofil, namun makrofag mampu berahan hidup lebih lama pada daerah inflamasi. Oleh karena itu, makrofag merupakan sel dominan pada tahap akhir sistem imun non spesifik (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaja, 2009). Gambar 4. Proses Maturasi Makrofag (Abbas dkk., 2007) Fungsi utama makrofag adalah sebagai sel fagosit. Fagositosis merupakan proses pemakanan dan penghancuran mikroba oleh suatu sel fagosit (gambar 2). Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tahap yaitu perlekatan sel fagosit pada bakteri patogen, penelanan, membunuh, dan degradasi komponen bakteri oleh enzim di dalam lisosom (Wood, 2006). Makrofag dapat berperan sebagai APC (Antigen Precenting Cell), yaitu proses pengenalan antigen kepada sel T. Makrofag sebagai APC ini akan mengenalkan antigen kepada sel T kemudian mengaktivasinya melalui mekanisme interaksi efektor sel T dengan makrofag. Proses ini akan menghasilkan sitokin dan akan mengaktivasi makrofag untuk memfagositosis antigen. Makrofag memproduksi IL-2 yang menstimulasi sel NK dan sel T untuk 15 memproduksi IFN-γ (Abbas dkk., 2007). Kemampuan makrofag memakan mikroorganisme menyangkut proses fagositosis dan pembentukan Reactive Oxygen Species (ROS). Sitokin IFN-γ akan meningkatkan endositosis dan fagositosis oleh monosit. Fagositosi terhadap partikel tertentu dapat ditingkatkan dengan opsonisasi bakteria yaitu dengan melapisi bakteria dengan molekul Imunoglobulin G (IgG) dan komplemen. Setelah bakteria masuk ke dalam sel maka makrofag akan melakukan pembunuhan dengan pembentukan ROS. Makrofag teraktivasi akan menghasilkan sitokin IL-12 atau IFN-γ yang memacu diferensiasi limfosit. Apabila proses aktivasi makrofag gagal mendegradasi mikroba maka produk-produk makrofag teraktivasi akan memodifikasi lingkungan jaringan lokal, selanjutnya dimulailah penghancuran jaringan lokal dan digantikan jaringan ikat lain (Indriyani, 2011). Gambar 5. Proses Fagositasi Makrofag (Wood, 2006) Aktifitas imunomodulasi suatu tanaman obat dapat diketahui pengaruhnya terhadap sistem imun tubuh melalui pengamatan terhadap aktifitas makrofag. Aktivitas fagositosis makrofag adalah jumlah sel makrofag yang secara aktif melakukan fagositosis dalam 100 sel. Kemampuan fagositosis makrofag juga dapat diketahui dengan mengamati kapasitas fagositosis (Dey dan Harbone, 1991). Pengamatan aktivitas makrofag dapat dilakukan dengan cara 16 mengkultur makrofag intraperitoneal yang diinduksi dengan lateks. Adanya peningkatan aktivitas makrofag disebabkan oleh banyaknya antigen yang berfungsi sebagai induktor. Peningkatan aktivitas makrofag ini dapat menunjukkan adanya peningkatan sistem imun untuk melindungi tubuh jika ada patogen yang mungkin menginfeksi di antaranya dengan meningkatnya kemampuan memakan mikroorganisme, dan meningkatnya efisiensi sebagai APC (Baratawidjaja, 2009). E. Landasan Teori Tubuh membutuhkan pertahanan yang baik untuk menghadapi berbagai serangan penyakit. Pertahanan tubuh dapat diinisiasi dengan senyawa yang dapat meningkatkan sistem imun yang disebut dengan imunostimulator. Senyawa yang dapat menaikkan sistem imun diduga terdapat dalam buah mengkudu. Dari berbagai penelitian ilmiah sebelumnya, jus Mengkudu telah terbukti mampu meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan membantu memperbaiki kerusakan sel. Untuk mengisolasi senyawa polisakarida buah mengkudu, diperlukan metode isolasi yang menghasilkan senyawa polisakarida yang murni tanpa adanya kontaminan senyawa lain yang terdapat dalam buah mengkudu dan berefek imunostimulator Dari penelitian sebelumnya oleh Adventiana (2012), masih terdapat kendala sehingga senyawa polisakarida yang diperoleh belum murni, dan efek imunostimulator terhadap aktivitas makrofag dan proliferasi limfosit belum optimal. Perlu dicari suatu metode yang dapat menghasilkan fraksi polisakarida dalam jumlah yang optimal yang dapat meningkatkan aktivitas komponen sistem imun. Dari penelusuran pustaka, diketahui berbagai macam metode isolasi senyawa polisakarida. Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas fagositosis 17 makrofag dan proliferasi limfosit menggunakan metode fraksinasi bertingkat dengan etanol. Fraksinasi bertingkat dilakukan untuk mendapatkan fraksi polisakarida yang lebih murni. Polisakarida hasil metode ini tentunya juga mempunyai aktivitas terhadap sel makrofag dan sel limfosit. Penelitian ini mempelajari tentang efek imunostimulasi fraksi polisakarida buah Mengkudu metode fraksinasi bertingkat dengan etanol terhadap parameter aktivitas fagositosis makrofag yang mewakili gambaran respon imun non spesifik dan parameter proliferasi limfosit yang mewakili gambaran respon imun spesifik. F. Hipotesis Polisakarida buah Mengkudu hasil fraksinasi bertingkat metode Chen dkk. (2006) mampu meningkatkan respon imun ditinjau dari aktivitas fagositosis makrofag dan proliferasi limfosit pada mencit Balb/C secara in vitro.