1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tubuh manusia secara terus – menerus terpapar oleh agen penginfeksi
yang dapat menyebabkan penyakit. Kebanyakan penyakit ataupun ancaman dari
luar lainnya dicegah masuk ke dalam tubuh oleh sistem pertahanan tubuh manusia
yang dikenal dengan sistem imun (Wood, 2006). Patogen juga dapat mengganggu
kerja sistem imun tubuh. Sistem imun tubuh yang terganggu dapat menyebabkan
terganggunya mekanisme respon imun baik selular maupun humoral (Anonim,
2007), oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk mengembalikan keseimbangan
sistem imun dengan cara pemberian imunostimulator. Sistem imun normal
memiliki keseimbangan antara komponen – komponen yang berperan di dalamnya
(Abbas dkk., 2010). Imunostimulator memiliki kemampuan untuk meningkatkan
ketahanan tubuh yang menyebabkan senyawa imunostimulator potensial untuk
dikembangkan sebagai agen yang dapat digunakan untuk mengatasi masuknya
mikroorganisme penyebab infeksi.
Tanaman Mengkudu (Morinda citrifolia Linn), juga dikenal sebagai Noni,
telah digunakan untuk pengobatan oleh bangsa Polinesia selama lebih dari 2000
tahun dan diketahui memiliki efek terapi yang luas (Wang dkk., 2002). Di
Indonesia tanaman Mengkudu telah dimanfaatkan sejak dulu dan digunakan
secara luas oleh masyarakat karena khasiatnya yang bermacam – macam. Dalam
pengobatan tradisional Mengkudu digunakan untuk obat batuk, radang amandel,
sariawan, tekanan darah tinggi, beri-beri, melancarkan kencing, radang ginjal,
1
2
radang empedu, radang usus, sembelit, limpa, lever, kencing manis, cacingan,
cacar air, sakit pinggang, sakit perut, masuk angin, dan kegemukan
(Wijayakusuma dkk., 1996).
Menurut Sjabana dan Bahalwan (2002), Mengkudu mengandung protein,
polisakarida, skopoletin, asam askorbat, prokseronin, dan prokseroninase. Jus
Mengkudu telah diketahui mampu meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan
membantu memperbaiki
kerusakan sel. Senyawa imunomodulator
kaya
polisakarida dari jus Mengkudu diketahui mempunyai potensi terapetik dalam
menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme aktivasi sistem kekebalan
pada inang (Hirazumi dan Furusawa, 1999).
Penelitian
yang
dilakukan
sebelumnya
oleh
Adventiana
(2012)
menunjukkan bahwa fraksi polisakarida buah Mengkudu yang diperoleh dengan
pengendapan menggunakan aseton, pada kadar 50 μg/mL dapat meningkatkan
indeks fagositosis makrofag secara in vitro (Adventiana, 2012), namun pada
penelitian ini tidak diketahui efek fraksi polisakarida buah Mengkudu terhadap
aktivitas proliferasi limfosit. Penelitian tersebut perlu dioptimasi untuk
mendapatkan respon imunologi optimal dengan metode yang sesuai. Salah satu
cara optimasi adalah dengan mengisolasi polisakarida dengan metode lain. Pada
penelitian ini efek imunostimulan dari fraksi polisakarida buah Mengkudu
(Morinda citrifolia L.) yang diperoleh dengan metode pengendapan menggunakan
etanol 60% dan 95% terhadap aktivitas fagositosis makrofag dan proliferasi
limfosit secara in vitro diamati dan dibandingkan hasilnya dengan metode yang
dilakukan pada penelitian lain. Metode ini dipilih dengan tujuan untuk
mengetahui efek imunostimulan dari fraksi polisakarida buah mengkudu
3
(Morinda citrifolia L.) hasil fraksinasi bertingkat terhadap aktivitas fagositosis
makrofag dan proliferasi limfosit secara in vitro dan profil kandungan kimia
masing masing fraksi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut :
1. Apakah fraksi polisakarida buah Mengkudu yang diperoleh dengan
metode pengendapan bertingkat dapat meningkatkan aktivitas fagositosis
sel makrofag dan proliferasi sel limfosit secara in vitro dibandingkan
dengan kontrol pelarut?
2. Berapa kadar karbohidrat total fraksi polisakarida yang didapatkan dan
bagaimana profil kandungan kimianya?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk:
1. Mengisolasi polisakarida dari buah Mengkudu dan menguji aktivitasnya
terhadap fagositosis sel makrofag dan sel limfosit secara in vitro.
2. Mengetahui kadar karbohidrat total fraksi polisakarida yang diperoleh dan
profil kandungan kimianya.
4
D. Tinjauan Pustaka
1. Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Gambar 1. Mengkudu
Tanaman Mengkudu dalam sistematika tumbuhan dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Bangsa
: Rubiales
Suku
: Rubiaceae
Marga
: Morinda
Jenis
: Morinda citrifolia L.
(Sjabana dan Bahalwan, 2002)
a. Nama Daerah
Mengkudu memiliki nama daerah keumudu (Aceh), leodu (Enggano),
bakudu (batak), bangkudu (Batak Toba, Angkola, dan Melayu), paramai
(Mandailing), makudu (Nias), nateu (Mentawai), bingkudu (Minangkabau),
mekudu (Lampung), pace (Jawa Tengah), cangkudu (Sunda), kuduk (Madura),
wungkudu (Bali), aikombo (Sumba), manakudu (Roti), dan bakulu (Timor)
5
(Sjabana dan Bahalwan, 2002). Pada beberapa budaya di seluruh dunia,
Mengkudu juga dikenal sebagai Indian Mulberry, Ba Ji Tian, Nono atau Noni,
Cheese Fruit, dan Nhau (Wang dkk., 2002).
b. Deskripsi
Tumbuhan ini berbentuk pohon dengan tinggi 4-8 m. Batang berkayu,
bulat, kulit kasar, percabangan monopoidal. Daun tunggal, bulat telur, ujung
pangkal runcing, panjang 10-40 cm. Pohon Mengkudu berbunga sepanjang
tahun. Bunga majemuk, rapat, berbunga banyak, berbau harum dan tumbuh di
ketiak daun, bentuk bongkol, bertangkai, benang sari berjumlah 5, tumbuh jadi
satu dengan mahkota hingga tinggi, tangkai sari berambut wol (Steenis,1975).
Buah Mengkudu umumnya memiliki panjang 5-10 cm, berbongkol,
permukaan tidak teratur, buah muda berwarna hijau, semakin tua menjadi
kekuningan hingga putih transparan, daging buah tidak berbau sedap yang
disebabkan asam kaprilat dan kaproat, juga akibat penguraian protein oleh
bakteri pembusuk menjadi senyawa amin biogenik. Biji Mengkudu berbentuk
segitiga, keras, berwarna coklat kemerahan. Akar Mengkudu berwarna coklat
muda dan berjenis tunggang. Biji Mengkudu dapat bertahan di permukaan laut
dalam waktu cukup lama dapat mentoleransi kondisi yang beragam.Mengkudu
tergolong tanaman tropis ever green, artinya selalu memiliki daun sepanjang
tahun. Buahnya tidak mengenal musim (Sjabana dan Bahalwan 2002).
c. Habitat
Mengkudu banyak terdapat di daerah tropis seperti Amerika Tengah,
Amerika Selatan bagian utara, Afrika, Asia, Australia bagian utara, Melanesia,
dan Polynesia (BPOM, 2007). Tanaman ini tumbuh pada daerah yang
6
berkapur tanpa tergantung keadaan tanah, umumnya tumbuh di dekat pantai,
pada batuan lime stone dan dapat tumbuh pada ketinggian sampai dengan
1000 m di atas permukaan air laut. Mengkudu banyak ditanam di kebun kopi
sebagai tanaman pelindung atau di kebun lada sebagai pohon tempat
merambat. (Sudarsono dkk., 2002).
d. Efek Farmakologis
Buah Mengkudu diketahui memiliki efek terapi yang luas. Jus buah
Mengkudu digunakan secara luas sebagai pengobatan alternatif untuk berbagai
macam penyakit seperti antibakteri, antivirus, antifungi, antitumor, analgesik,
anti inflamasi, hipotensif, dan efek meningkatkan imunitas (Wang dkk., 2002).
Polisakarida teridentifikasi
berada dalam
tanaman
Mengkudu.
Beberapa polisakarida menunjukkan aktivitas imunomodulasi, antitumor,
antikoagulansi, hipoglikemik, dan antivirus (Sjabana dan Bahalwan, 2002).
Berdasarkan penelitian Hirazumi dan Furuzawa (1999), ditemukan bahwa jus
Mengkudu mengandung banyak senyawa polisakarida yang menghambat
pertumbuhan tumor. Hal ini menunjukkan kemungkinan bahwa jus buah
Mengkudu dapat menghambat pertumbuhan tumor melalui mekanisme
aktivasi sistem imun. Jus Mengkudu juga mampu menstimulasi pelepasan
berbagai mediator kekebalan tubuh yaitu TNF-alpha, IL-1, IL-10, IL-12, IFNγ, dan NO (nitro oxide).
Wang dkk. (2002) mengamati bahwa terjadi perbesaran berat kelenjar
timus hingga 1,7 kali dibandingkan hewan kontrol pada hari ketujuh setelah
meminum 10% jus Mengkudu yang dicampur pada air minum. Kelenjar timus
merupakan organ yang penting dalam tubuh karena menghasilkan sel limfosit
7
T yang berfungsi pada sistem imun seluler. Hal ini menunjukkan bahwa jus
Mengkudu memiliki potensi sebagai immunostimulator (Wang dkk., 2002).
Metode isolasi terdahulu dengan pengendapan menggunakan aseton
menunjukkan bahwa fraksi polisakarida buah Mengkudu kadar 50 μg/mL
meningkatkan indeks fagositosis makrofag secara in vitro (Adventiana, 2012).
e. Kandungan Kimia
Tanaman Mengkudu telah diidentifikasi mengandung kurang lebih 160
senyawa fitokimia dengan komponen mikronutrien yang utama adalah
senyawa-senyawa fenolik, asam-asam organik dan alkaloid. Di antara
senyawa fenolik yang ada, yang paling penting dilaporkan adalah antrakuinon
(damnakanthal, morindon, morindin, dll), dan juga aukubin dan asperulosid
(Blanco dkk., 2005).
Buah Mengkudu diketahui mengandung skopoletin (suatu kumarin
fenolik), polisakarida, asam askorbat, β-karoten, 1-arginin, proxeronin, dan
proxeroninase (Sjabana dan Bahalwan, 2002). Polisakarida yang terkandung
dalam buah Mengkudu merupakan gabungan dari galaktosa, arabinosa, asam
glukoronat, dan rhamnosa (Hirazumi dan Furusawa, 1999). Terdapat 2
glikosida (rutin dan asam asperulosidat) dan ester asam lemak tersakarida
[2,6-di-O- (β-D-glukopiranosil)-1-O-oktanoil- β-D-glukopiranosa] yang di
isolasi dari fraksi tidak larut butanol ektrak etanol buah Mengkudu (Wang
dkk., 2002).
2. Polisakarida
Polisakarida sering disebut sebagai senyawa karbohidrat bukan gula
karena rasanya tidak manis. Polisakarida merupakan senyawa yang tersusun atas
8
sejumlah monosakarida dalam satu molekul. Satuan – satuan polisakarida saling
berhubungan satu sama lain secara glikosidik dan dapat dipecah dengan cara
hidrolisis. Polimer tersebut terbentuk secara alami, yang terbentuk akibat
polimerisasi kondensasi dari aldosa atatu ketosa (Gunawan dan Mulyani, 2004).
Polisakarida berasal dari mono, di, tri, maupun oligosakarida. Hidrolisis dengan
enzim atau reagen tertentu dapat memecah polisakarida tersebut menjadi sakarida
penyusunnya (Evans, 2004).
Polisakarida dalam berbagai tanaman dipercaya sebagai bahan bioaktif
yang terlibat dalam aktivitas imunomodulasi. Kebanyakan tanaman yang
diketahui memiliki aktivitas imunomodulator mempunyai efek terutama pada
imunitas non spesifik seperti fungsi makrofag (Chen dkk., 2006). Polisakarida
yang terkandung dalam buah Mengkudu merupakan gabungan dari galaktosa,
arabinosa, asam glukoronat & rhamnosa. Hal ini menunjukkan kemungkinan
polisakarida buah Mengkudu dapat menghambat pertumbuhan tumor melalui
mekanisme aktivasi sistem imun (Hirazumi & Furusawa, 1999).
Galaktosa merupakan suatu monosakarida yang tersusun dengan enam
atom karbon yang disebut dengan heksosa (Cseke dkk., 2006). Galaktosa
diperlukan untuk sintesis rafinose yang dibentuk dari epimerisasi UDP-glukosa
(Heldt, 2005). Arabinosa tersusun atas aldopentosa (memiliki lima atom karbon)
(Cseke dkk., 2006).
Asam glukoronat merupakan glukosa yang teroksidasi sehingga pada
karbon keenam menjadi asam karboksilat. Rhamnosa terdapat dalam bentuk 6deoksi-L-mannose dan merupakan gula deoksi alami. Rhamnosa terdapat pada
berbagai jenis gom dan merupakan komponen penyusun pektin yang terdapat
9
pada dinding sel bakteri, dan terdapat pada obat kardioaktif. Rhamnosa terdapat
pada glikosida sebagai bagian gula (Evans, 2004).
3. Sistem Imun
Tubuh kita secara terus – menerus terpapar oleh berbagai organisme
penginfeksi yang dapat menginfeksi dan menyebabkan penyakit pada tubuh kita.
Imunitas merupakan suatu perlindungan dari penyakit, dan secara lebih spesifik,
penyakit infeksi. Protein, sel, molekul dan organ yang bertanggung jawab
terhadap imunitas membentuk sistem imun yang melindungi tubuh dari ancaman
penyakit yang disebabkan oleh agen penginfeksi melalui respon imun (Abbas
dkk., 2007; Wood, 2006).
Sistem imun dapat dibagi menjadi dua bagian, sistem imun spesifik
(adaptive atau acquired) dan non spesifik (innate atau bawaan). Sistem imun non
spesifik memberikan pertahanan garis depan terhadap mikroorganisme patogen
yang memberikan respon bahkan sebelum terjadi infeksi, merespon secara cepat
bila terjadi infeksi namun tidak memiliki sistem memori terhadap infeksi yang
pernah ditemui (Abbas dkk., 2007; Shen dan Louie, 2005). Jumlah sistem imun
non spesifik dapat ditingkatkan oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih
meningkat selama fase akut pada banyak penyakit. Sistem imun ini disebut
nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap antigen tertentu dan telah ada sejak
lahir. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi antigen
dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja, 2009). Sistem imun
spesifik yang terdiri dari sel T dan sel B distimulasi oleh paparan agen infeksi
yang mampu meningkatkan kemampuan pertahanan dan adaptasi terhadap infeks
tersebut sehingga disebut sistem imun adaptif. Respon imun spesifik teraktivasi
10
ketika mikroba atau antigen melewati epithelial barrier dan menuju ke organ
limfoid dimana antigen atau mikroba tersebut dikenali oleh limfosit. Respon imun
spesifik ini sering menggunakan sel dan molekul dari respon imun non spesifik
atau bawaan untuk mengeliminasi mikroba dan meningkatkan aktivitas
antimikrobial dari respon imun bawaan (Abbas dkk., 2007).
Gambar 2. Sistem Imun Spesifik dan Non Spesifik (Abbas dkk., 2007)
Karakteristik sistem imun adaptif adalah spesifik terhadap molekul
tertentu yang mampu mengenali dan membedakan antigen yang berbeda. Sistem
imun spesifik mampu mengenali dan merespon paparan dari mikroorganisme
yang sama. Sistem imun spesifik juga disebut sebagai sistem imun perolehan
karena kemampuan respon imunnya diperoleh dari infeksi sebelumnya.
Komponen utama sistem imun spesifik adalah limfosit dan antibodi (Abbas dkk.,
2007).
4. Imunomodulator
Imunomodulasi merupakan suatu cara untuk mengembalikan dan
memperbaiki sistem imun yang fungsinya terganggu atau untuk menekan fungsi
yang berlebihan (Baratawidjaja, 2009). Imunomodulator adalah suatu senyawa
biologis maupun sintetis yang mampu menstimulasi, menekan atau memodulasi
11
komponen – komponen sistem imun baik sistem imun spesifik maupun non
spesifik (Agarwal dan Singh, 1999).
Obat golongan imunomodulator bekerja salah satunya melalui mekanisme
imunostimulasi. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun
dengan menggunakan bahan yang merangsang sistem tersebut. Bahan yang dapat
meningkatkan respon imun disebut imunostimulator. Imunostimulator dapat
berupa imunostimulan biologis (sitokin, antibodi monoklonal, interferon, sel LAK
(Lymphokine-Activated Killer), bakteri, dan jamur) maupun imunostimulan
sintetis (levamisol, antioksida, muramil dipeptida, dan lain – lain) (Baratawidjaja,
2009). Imunostimulator dibagi menjadi dua, imunostimulator spesifik dan non
spesifik. Imunostimulasi spesifik mampu meningkatkan respon imun melalui
pacuan antigen spesifik seperti vaksin yang digunakan untuk menstimulasi respon
imun melawan patogen spesifik. Imunostimulasi non spesifik menstimulasi respon
imun tanpa berhubungan dengan spesifisitas antigen, contohnya adjuvant yang
biasanya digunakan bersamaan dengan penggunaan vaksin untuk memperkuat
efek perlindungannya (Kumar dkk., 2011).
5. Limfosit
Limfosit adalah sel yang secara spesifik mengenali dan merespon antigen
asing dan juga merupakan suatu mediator pada imunitas humoral dan selular
(Abbas dkk., 2007). Limfosit dihasilkan dari sumsum tulang dan diproduksi dari
sel induk pluripoten. Sel induk pluripoten dapat berdiferensiasi menjadi sel induk
limfopoietik yang merupakan asal muasal sel limfosit B dan limfosit T. Sel B
berkembang dan mengalami pematangan di sumsum tulang, sedangkan sel T di
timus (Wood, 2006). Limfosit B berfungsi sebagai mediator imunitas humoral dan
12
mampu memproduksi antibodi dan mengenali antigen permukaan. Limfosit T
terdiri dari T helper (Th) dan sel T sitolitik (CTLs atau Tc). Limfosit T mengenali
peptida antigen yang diperlihatkan ke permukaan sel oleh molekul MHC (Abbas
dkk., 2007).
Gambar 3. Perkembangan sel limfosit B dan T (Abbas dkk., 2007)
Aktivasi sel limfosit terjadi secara bertahap dan dimediasi oleh interaksi
reseptor-ligan yang ada di permukaan sel dengan menggunakan molekul seperti
sitokin. Ketika antigen masuk, komponen sistem imun non spesifik akan
mengeliminasi di daerah infeksi kemudian mengaktifkan sistem imun adaptif (sel
T dan B) untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi efektor limfosit. Setelah
proliferasi dan diferensiasi terjadi, sel T akan kembali ke daerah yang terinfeksi
untuk mengeliminasi antigen. Interaksi antara T cell receptor (TCR) dan MHCpeptide complex dibutuhkan dalam aktivasi antigen spesifik limfosit T. Semua
TCR yang ada dipermukaan sel dari limfosit T identik dan hanya mengikat satu
tipe dari peptida. Oleh karena itu, limfosit T hanya akan teraktivasi oleh antigen
spesifiknya. Sel Th mengekspresikan molekul CD4 di permukaan selnya
sedangkan sel Tc mengekspresikan molekul CD8 di permukaan sel. Sebagai
respon stimulasi antigen, sel Th mensekresi suatu sitokin yang berfungsi untuk
13
menstimulasi proliferasi dan diferensiasi sel T dan mengaktifkan sel lain,
termasuk sel B, makrofag dan leukosit yang lain. Sel Th mengenali antigen yang
diperlihatkan ke permukaan APC oleh MHC kelas II. Sel Tc membunuh sel yang
memproduksi antigen asing, seperti sel yang terinfeksi virus atau mikroba
intraseluler lain. Sel Tc mengenali antigen dari virus atau mikroba yang
diperlihatkan ke permukaan sel oleh MHC kelas I. (Abbas dkk., 2007; Janeway
dkk., 2001). Sel B merupakan sel yang bertanggung jawab atas pembentukan
imunoglobulin (Ig). Ketika terjadi rangsangan antigen, limfosit B akan mengalami
proses diferensiasi melalui dua jalur yaitu menjadi sel plasma yang membentuk
imunoglobulin dan membelah lalu kembali dalam keadaan istirahat sebagai
limfosit B memory. Sel B memory adalah sel yang mengekskresikan Ig yang
proliferasinya bergantung pada sel T (Kresno, 2001).
6. Makrofag
Makrofag merupakan salah satu komponen sistem imun non spesifik dan
memiliki kemampuan berfagositasi. Makrofag berasal dari sumsum tulang dan
bersirkulasi di dalam darah kemudian mengalami diferensiasi menjadi monosit
darah dan akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa dan membentuk
sistem fagosit mononukleus. Makrofag yang berada di jaringan yang berbeda
diberikan penamaan khusus untuk menunjukkan letak spesifiknya. Meskipun
memiliki nama yang berbeda-beda tapi semuanya memiliki kesamaan yaitu dapat
mengikat dan memakan partikel asing. Makrofag yang disebut fixed macrophage
berbentuk sesuai dengan jaringan yang ditempati. Makrofag peritoneal berada
secara bebas dalam cairan peritoneum. Kehadirannya sepanjang kapiler
memungkinkan untuk menangkap patogen dan antigen yang masuk ke dalam
14
tubuh. Sel makrofag merupakan mediator imunitas non spesifik yang paling tua.
Makrofag umumnya mampu merespon mikroba hampir sama cepatnya dengan
neutrofil, namun makrofag mampu berahan hidup lebih lama pada daerah
inflamasi. Oleh karena itu, makrofag merupakan sel dominan pada tahap akhir
sistem imun non spesifik (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaja, 2009).
Gambar 4. Proses Maturasi Makrofag (Abbas dkk., 2007)
Fungsi utama makrofag adalah sebagai sel fagosit. Fagositosis merupakan
proses pemakanan dan penghancuran mikroba oleh suatu sel fagosit (gambar 2).
Proses fagositosis terjadi dalam beberapa tahap yaitu perlekatan sel fagosit pada
bakteri patogen, penelanan, membunuh, dan degradasi komponen bakteri oleh
enzim di dalam lisosom (Wood, 2006).
Makrofag dapat berperan sebagai APC (Antigen Precenting Cell), yaitu
proses pengenalan antigen kepada sel T. Makrofag sebagai APC ini akan
mengenalkan antigen kepada sel T kemudian mengaktivasinya melalui
mekanisme interaksi efektor sel T dengan makrofag. Proses ini akan
menghasilkan sitokin dan akan mengaktivasi makrofag untuk memfagositosis
antigen. Makrofag memproduksi IL-2 yang menstimulasi sel NK dan sel T untuk
15
memproduksi IFN-γ (Abbas dkk., 2007). Kemampuan makrofag memakan
mikroorganisme menyangkut proses fagositosis dan pembentukan Reactive
Oxygen Species (ROS). Sitokin IFN-γ akan meningkatkan endositosis dan
fagositosis oleh monosit. Fagositosi terhadap partikel tertentu dapat ditingkatkan
dengan opsonisasi bakteria yaitu dengan melapisi bakteria dengan molekul
Imunoglobulin G (IgG) dan komplemen. Setelah bakteria masuk ke dalam sel
maka makrofag akan melakukan pembunuhan dengan pembentukan ROS.
Makrofag teraktivasi akan menghasilkan sitokin IL-12 atau IFN-γ yang memacu
diferensiasi limfosit. Apabila proses aktivasi makrofag gagal mendegradasi
mikroba
maka
produk-produk
makrofag
teraktivasi
akan
memodifikasi
lingkungan jaringan lokal, selanjutnya dimulailah penghancuran jaringan lokal
dan digantikan jaringan ikat lain (Indriyani, 2011).
Gambar 5. Proses Fagositasi Makrofag (Wood, 2006)
Aktifitas
imunomodulasi
suatu
tanaman
obat
dapat
diketahui
pengaruhnya terhadap sistem imun tubuh melalui pengamatan terhadap aktifitas
makrofag. Aktivitas fagositosis makrofag adalah jumlah sel makrofag yang
secara aktif melakukan fagositosis dalam 100 sel. Kemampuan fagositosis
makrofag juga dapat diketahui dengan mengamati kapasitas fagositosis (Dey dan
Harbone, 1991). Pengamatan aktivitas makrofag dapat dilakukan dengan cara
16
mengkultur makrofag intraperitoneal yang diinduksi dengan lateks. Adanya
peningkatan aktivitas makrofag disebabkan oleh banyaknya antigen yang
berfungsi sebagai induktor. Peningkatan aktivitas makrofag ini dapat
menunjukkan adanya peningkatan sistem imun untuk melindungi tubuh jika ada
patogen yang mungkin menginfeksi di antaranya dengan meningkatnya
kemampuan memakan mikroorganisme, dan meningkatnya efisiensi sebagai
APC (Baratawidjaja, 2009).
E. Landasan Teori
Tubuh membutuhkan pertahanan yang baik untuk menghadapi berbagai
serangan penyakit. Pertahanan tubuh dapat diinisiasi dengan senyawa yang dapat
meningkatkan sistem imun yang disebut dengan imunostimulator. Senyawa yang
dapat menaikkan sistem imun diduga terdapat dalam buah mengkudu. Dari
berbagai penelitian ilmiah sebelumnya, jus Mengkudu telah terbukti mampu
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan membantu memperbaiki kerusakan sel.
Untuk mengisolasi senyawa polisakarida buah mengkudu, diperlukan metode
isolasi yang menghasilkan senyawa polisakarida yang murni tanpa adanya
kontaminan senyawa lain yang terdapat dalam buah mengkudu dan berefek
imunostimulator Dari penelitian sebelumnya oleh Adventiana (2012), masih
terdapat kendala sehingga senyawa polisakarida yang diperoleh belum murni, dan
efek imunostimulator terhadap aktivitas makrofag dan proliferasi limfosit belum
optimal. Perlu dicari suatu metode yang dapat menghasilkan fraksi polisakarida
dalam jumlah yang optimal yang dapat meningkatkan aktivitas komponen sistem
imun. Dari penelusuran pustaka, diketahui berbagai macam metode isolasi
senyawa polisakarida. Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas fagositosis
17
makrofag dan proliferasi limfosit menggunakan metode fraksinasi bertingkat
dengan etanol. Fraksinasi bertingkat dilakukan untuk mendapatkan fraksi
polisakarida yang lebih murni. Polisakarida hasil metode ini tentunya juga
mempunyai aktivitas terhadap sel makrofag dan sel limfosit. Penelitian ini
mempelajari tentang efek imunostimulasi fraksi polisakarida buah Mengkudu
metode fraksinasi bertingkat dengan etanol terhadap parameter aktivitas
fagositosis makrofag yang mewakili gambaran respon imun non spesifik dan
parameter proliferasi limfosit yang mewakili gambaran respon imun spesifik.
F. Hipotesis
Polisakarida buah Mengkudu hasil fraksinasi bertingkat metode Chen dkk.
(2006) mampu meningkatkan respon imun ditinjau dari aktivitas fagositosis
makrofag dan proliferasi limfosit pada mencit Balb/C secara in vitro.
Download