BAB I KRIMINOLOGI DAN PERKEMBANGANNYA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Kriminologi dan perkembangannya. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Kriminologi dan Perkembangannya 2. Hubungan Kriminologi dan Hukum Pidana 3. Tujuan Mempelajari Kriminologi A. Kriminologi dan Perkembangannya Istilah kriminologi pertama kali dipergunakan oleh Topinard, seorang antropolog Prancis pada tahun 1879. Asal mula perkembangan kriminologi berasal dari penyelidikan C. Lombroso (1876). Penemuan yang tanpa disengajanya akan merupakan suatu karya agung di lapangan kriminologi dikemudian hari, sebagaimana dikutip oleh John Hagan dalam Romli Atmasasmita1, Lombroso developed these ideas (the concept of atavism and the principles of evolution) during the course of his work as a prison physician. One particular offender, a famous inmate by the name of Vilela, attracted Lombroso's special interest. Lombroso conducted a postmortem examination of Vilela and discoverred a depression in the interior back part of his skull that he called the "median occipital fossa". Lombroso recognized this feature as a characteristic found in inferior animals and excitedly concluded the following ....". Bahkan Lombroso dipandang sebagai salah satu 1 Romli Atmasamita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, 2005. hal. 16. 1 2 tokoh revolusi dalam sejarah hukum pidana, di samping Cesare Beccaria (1764).2 Cesare Beccaria dikenal sebagai tokoh yang paling menonjol dalam upaya menentang kesewenang-wenangan lembaga peradilan pada masanya, Bangsawan Italia ini bukanlah seorang ahli hukum, tetapi seorang ahli matematik dan ekonomi yang menaruh perhatian besar pada kondisi hukum. Dalam bukunya Dei Delitti e delle pene, terdapat pemikirannya tentang keberatan-keberatannya terhadap hukum pidana, hukum acara pidana, dan sistem pidana yang ada pada masa itu. Seperti diketahui, hukum pidana pada abad ke 16 hingga abad ke 18 semata-mata dijalankan untuk menakut-nakuti dengan jalan menjatuhkan hukuman yang sangat berat, dan dengan cara yang sangat mengerikan terhadap pelaku kejahatan dengan tujuan suapaya masyarakat pada umumnya dapat terlindungi dari kejahatan. Begitupun dalam hukum acara pidana yang dilukiskan oleh Bonger sebagaimana dikutip oleh Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, dimana terdakwa diperlakukan seperti barang untuk diperiksa.pemeriksaan dilakukan secara rahasia dan pembuktian digantungkan kepada kemauan sipemeriksa.3 Beccaria mengajukan delapan prinsip yang menjadi landasan untuk menjalankan hukum pidana, hukum acara pidana dan proses penghukuman. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Perlu dibentuk suatu masyarakat berdasarkan prinsip kontrak sosial (social contract). 2. Sumber hukum adalah undang-undang dan bukan hakim. Penjatuhan hukuman oleh hakim harus didasarkan sematamata karena undang-undang. 2 Ibid, hal. 9. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 1. 3 3 3. Tugas hakim hanyalah menentukan kesalahan seseorang. 4. Menghukum adalah merupakan hak negara, dan hak itu diperlukan untuk melindungi masyarakat dari keserakahan individu. 5. Harus dibuat suatu skala perbandingan antara kejahatan dan penghukuman. 6. Motif manusia pada dasarnya didasarkan pada keuntungan dan kerugian, artinya manusia dalam melakukan perbuatan akan selalu menimbang kesenangan atau kesengsaraan yang akan didapatnya (prinsip hedonisme). 7. Dalam menentukan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu kejahatan maka yang menjadi dasar penentuan hukuman adalah perbuatannya dan niatnya. 8. Prinsip dari hukum pidana adalah ada pada sanksi positif Prinsip-prinsip dari Beccaria ini selanjutnya diadopsi dalam undang-undang Napoleon (Code Civil Napoleon) yang lebih dikenal dalam bentuk asas-asas hukum yaitu: a. Kepastian hukum, yang bermakna hukum harus dibuat dalam bentuk tertulis. Beccaria bahkan melarang hakim menginterpretasikan undang-undang karena ia bukan lembaga legislatif. b. Persamaan di depan hukum, yang berarti menentang keberpihakan di depan hukum. Untuk itulah maka dilakukan penuntutan untuk menyamakan derajat setiap orang di depan hukum. c. Keseimbangan antara kejahatan dengan hukuman, yang bermakna spirit of the law yang ada pada hakim melalui kekuasaannya dalam menginterpretasikan suatu undangundang tidak boleh dengan sewenang-wenang.4 4 Ibid, hal. 4. 4 Pendapat lain mengemukakan bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan justru bukan dari Lombroso melainkan dari Adolphe Quetelet (1874), seorang Belgia yang memiliki keahlian dalam bidang matematika. Quetelet mengemukakan statistik moral kejahatan (moral statistics of crime) ketika ia menerapkan keahliannya dalam bidang matematika terhadap bidang sosiologi. Ia percaya bahwa hukum-hukum dalam ilmu pengetahuan hanya dapat diselidiki berdasarkan pelbagai kemungkinan tertentu sebagai hasil dari dan tecermin dalam sejumlah besar observasi dibandingkan melalui kejadian-kejadian yang bersifat individual. Di bidang sosiologi termasuk dalam studi kejahatan, Quetelet menerapkan “hukum” ilmu pengetahuan dan dapat dibuktikan adanya “regularities” dalam perkembangan kejahatan. Dari “regularities” yang ia temukan dari statistik moral dimaksud, Quetelet percaya telah menemukan “hukum kriminologi” (sebagai suatu ilmu pengetahuan) yaitu bahwa kejahatan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan setiap kejadian kejahatan tertentu selalu berulang sama, yaitu memiliki modus operandi dan mempergunakan alat-alat yang sama. Bagi perkembangan kriminologi, penemuan Quetelet tersebut justru mengandung makna yang sangat mendalam, yaitu bahwa penyebab timbulnya kejahatan tidak lagi karena faktor pewarisan, tetapi juga karena faktor lingkungan (sosial dan fisik). “Statistik moral” atau sekarang dikenal dengan “statistik kriminil” kini dipergunakan terutama oleh pihak kepolisian di semua negara dalam memberikan deskripsi tentang perkembangan kejahatan di negaranya. B. Hubungan Kriminologi Dan Hukum Pidana Kriminologi sebagai bagian dari ilmu pengetahuan hukum pidana dalam arti luas, demikian pendapat P.A.F Lamintang 5 pada saat menjelaskan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dalam buku Dasar-Dasar Hukum Pidana.5 Dengan mengutip pendapat Bonger, kriminologi terdiri dari dua bahagian yaitu theoretische atau zuiver criminologie (mempelajari gejalagejala kriminalitas sebagai keseluruhan) dan practische atau toegepaste criminologie (berusaha mengamati dengan sebaik mungkin berbagai tindak pidana, untuk kemudian dengan mempergunakan metoda-metoda tertentu berusaha 6 menyelidiki sebab-sebab dari gejalanya). Kriminologi itu merupakan suatu nama kumpulan dari sejumlah ilmu pengetahuan yang terdiri dari: 1. Antropologi kriminal yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari pribadi si penjahat. Ia berusaha menjawab pertanyaan pertanyaan seperti ciri-ciri jasmani bagaimanakah yangdimiliki olehseorang penjahat itu? Atau adakah hubungan antara suku bangsa dengan sifat jahat seseorang dan sebagainya.Ilmu pengetahuan ini merupakan bagian dari ilmu pengetahuan alam; 2. Sosiologi kriminal yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari kriminalitas sebagai gejala kemasyarakatan. Pada dasarnya ia berusaha menjawab pertanyaan tentang sampai berapa jauh sebab-sebab dari kejahatan itu terdapat dalam masyarakat; 3. Psikilogi kriminal, yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala kejiwaan di dalam kejahatan; 4. Psiko-neuro patologi kriminal, yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari penjahat yang menderita penyakit jiwa atau penyakit syaraf; 5 Lamintang P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984. hal. 23. 6 Ibid. 6 5. Penologi, yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari timbul dan berkembangnya hukuman-hukuman serta arti dan kegunaan hukuman-hukuman tersebut; 6. Kriminologi terapan, yakni criminele hygiene dan criminile politiek; 7. Kriminalistik, yakni suatu ilmu pengetahuan terapan yang mempelajari teknik-teknik kejahatan atau yang juga disebut modus operandi dan teknik-teknik penyelidikan. Ia merupakan suatu kombinasi antara psikologi mengenai kejahatan, psikologi mengenai si penjahat, ilmu kimia, fisika, grafologi dan lain-lain. Bonger seperti dikutip Lamintang, mengkategorikan lima macam ilmu pengetahuan secara bersama-sama disebut sebagai kriminologi yang bersifat teoritis atau yang bersifat murni (Antropologi kriminal, Sosiologi kriminal, Psikologi kriminal, Psiko-neuro patologi kriminal, Penologi). Adapun kriminalistik (police scientifique atau ilmu kepolisian), sebagai salah satu ilmu pengetahuan di dalam kriminologi, yang di dalam pengertiannya yang luas juga termasuk ke dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, masih sangat kurang mendapat perhatian dari para ahli hukum, sesungguhnya kriminalistik dapat memberi sumbangan yang sangat besar untuk memecahkan berbagai permasalahan yang seakan-akan tidak pernah dapat dipecahkan baik di dalam dunia pendidikan maupun di dalam praktek.7 Menurut Moeljatno, di samping ilmu hukum pidana, yang sesungguhnya dapat juga dinamakan ilmu tentang hukumnya kejahatan, ada juga ilmu tentang kejahatannya sendiri yang dinamakan kriminologi. Kecuali obyeknya berlainan, tujuannya pun berbeda. Obyek ilmu hukum pidana 7 Ibid, hal. 24. 7 adalah aturan-aturan hukum mengenai kejahatan atau bertalian dengan pidana (hukum pidana positif), tujuannya agar dapat dimengerti dan digunakan dengan sebaik-baiknya serta seadil-adilnya. Sedangkan obyek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan (penjahat) itu sendiri, dan tujuannya, agar menjadi mengerti apa sebabnya sampai berbuat jahat itu. Apakah memang karena bakatnya adalah jahat, ataukah didorong oleh keadaan masyarakat sekitarnya (milieu) baik keadaan sosiologis maupun keadaan ekonomis. Ataukah ada sebab-sebab lain lagi. Jika sebab-sebab itu sudah diketahui, maka di samping pemidanaan, dapat diadakan tindakan-tindakan yang tepat, agar orang tadi tidak lagi berbuat demikian, atau agar orang-orang lain tidak akan melakukan hal yang serupa.8 Keberadaan kriminologi di samping ilmu hukum pidana, akan memperluas pengetahuan tentang kejahatan, sehingga orang lebih memahami tentang penggunaan hukumnya terhadap kejahatan maupun pengertiannya mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya, sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan penjahat itu sendiri. Untuk menilai keterkaitan antara hukum pidana dan kriminologi kiranya patut disimak uraian Romli Atmasasmita yang menyatakan bahwa banyak ahli berpendapat kedua disiplin ini memiliki perbedaan mendasar yaitu: 1. Hukum pidana merupakan disiplin ilmu normatif dan kriminologi disiplin ilmu sosial; 8 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 14. 8 2. Hukum pidana bersendikan hukum kemungkinankemungkinan (probabilities) untuk menemukan hubungan sebab akibat terjadi kejahatan dalam masyarakat; 3. Hukum pidana mengkaji kejahatan dari sudut hukum, sedangkan kriminologi mengkaji kejahatan dari sudut ilmu sosial atau sering disebut sebagai “nonnormative discipline”; 4. Hukum pidana oleh Van Bemmelen disebut sebagai “normative-strafrechtwissenschaft”, dan kriminologi sebagai “Faktuele strafrechtwissenschaft”. Dilihat dari perbedaan tersebut tampak seakan tidak ada keterkaitan antara keduanya. Namun demikian secara teoritik kedua disiplin ilmu tersebut dapat dikaitkan akan tetapi secara praktik sangat terbatas sekali keterkaitan dan pengaruhnya. Hukum pidana memusatkan perhatiannya terhadap pembuktian suatu kejahatan sedangkan kriminologi memusatkan perhatian pada faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan. Kriminologi telah ditunjukkan untuk mengungkapkan motif pelaku kejahatan sedangkan hukum pidana kepada hubungan antara perbuatan dan akibat (hukum sebab-akibat). Faktor motif dapat ditelusuri dengan buktibukti yang memperkuat adanya niat melakukan kejahatan. Dari uraian ini jelas keterkaitan antara kedua disiplin ilmu ini sangat dekat karena secara praktis, hasil analisis kriminologi dengan demikian banyak manfaatnya dalam kerangka proses penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan. Namun Romli Atmasasmita lebih jauh mengingatkan uraian ini dapat diterima dalam kerangka analisa kejahatan yang bersifat individual dan tidak sepenuhnya dapat diberlakukan 9 untuk mengungkapkan kejahatan yang bersifat terorganisir (organized crime).9 Ilmu hukum pidana dan kriminologi merupakan pasangan (dwitunggal). Yang satu melengkapi yang lain. Kedua ilmu ini di Jerman dicakup dengan nama Die gesammte strafrechts wissenschaft, dan dalam negeri-negeri anglosaxon dengan nama Criminal science. 10 Di negara-negara Anglo Saxon, kriminologi biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Criminal biology, yang menyelidiki dalam diri orang itu sendiri akan sebab-sebab dari perbuatannya, baik dalam jasmani maupun rohaninya; 2. Criminal sosiology, yang mencoba mencari sebab-sebab itu dalam lingkungan masyarakat dimana penjahat itu berada; 3. Criminal Policy, yaitu tindakan-tindakan apa yang sekiranya harus dijalankan supaya orang (orang lain) tidak berbuat jahat. Menurut Marc Ancel, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen yaitu: Criminology, Criminal Law dan Penal Policy. Adapun Penal policy (politik hukum pidana) menurut Barda Nawawi Arief seperti dikutip Hamdan, adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya memberi tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan 9 Romli Atmasamita, Op. cit. hal. 5. Moeljatno, Op. Cit, hal. 16. 10 10 juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.11 Terkait dengan politik kriminal sebagai bagian dari studi kriminologi, Hermann Mannheim berpendapat bahwa kriminologi harus bersifat “non-policy-making discipline, piece-meal social engineering which regards the ends as beyond its provincie”.12 Sahetapy, sependapat dengan Mannheim mengenai hal itu, namun menurutnya hal itu tidak berarti para sarjana kriminologi tidak dapat mengusulkan tindakan hukum atau perbaikan dalam sistem pemidanaan, meskipun kata akhir tetap dalam tangan badan-badan yang berwenang.13 Dalam kedudukannya sebagai suatu ilmu pengetahuan, sering pula dipertanyakan apakah kriminologi merupakan ilmu yang membantu hukum pidana ataukah merupakan ilmu yang berdiri sendiri?. Thorten Sellin mengemukakan bahwa kriminologi adalah “kings without a country”14, pendapat Sellin yang demikian terkait dengan para ahli kriminologi/ kriminolog yang sebenarnya berasal dari disiplin lain seperti, sosiolog, psikiater, sarjana hukum, insinyur dan sebagainya. Bantahan terhadap pernyataan itu datang dari van Bemmelen yang menurutnya tidak ada suatu ilmu pengetahuan pun yang tidak bergantung dari ilmu pengetahuan yang lain, ditegaskannya bahwa kriminologi sebagai “a true king”.15 11 Hamdan, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 12 J.E. Sahetapy, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung, 1979, hal. 20. 22 13 Ibid, hal. 22. Ibid, hal 15. 15 Ibid. 14 11 Ditinjau dari segi perkembangan kriminologi, pada waktu lampau kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Dalam perkembangan selanjutnya, kriminologi ditempatkan sebagai ilmu pembantu hukum pidana. Pada masa sekarang pandangan yang demikian tidak dapat dipertahankan lagi. Kriminologi lebih tepat dikatakan sebagai “meta science” seperti dinyatakan oleh Bianchi, yaitu suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas dimana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat dalam hukum pidana.16 C. Tujuan Mempelajari Kriminologi Berawal dari studi kriminologi yaitu mempelajari kejahatan dari berbagai aspek sehingga diperoleh pemahaman tentang fenomena kejahatan dengan lebih baik, maka rekomendasi pada Konferensi tentang Pencegahan kejahatan dan Tindakan terhadap Delinkuen 17 Desember 1952 di Jenewa dapat digunakan sebagai dasar bagi pengajaran kriminologi untuk mahasiswa fakultas hukum. Konferensi tersebut antara lain merekomendasikan agar kriminologi diajarkan di universitas yang lulusannya akan bekerja dalam bidang penegakan hukum seperti polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan pengacara. Dengan perkembangan kriminologi yang cukup pesat setelah tahun 1960-an terutama dalam bidang sosiologi hukum (pidana) semakin penting bagi penstudi hukum untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik mengenai masalah kejahatan, yang sekaligus akan mendapatkan pemahaman yang lebih baik pula mengenai hukum pada umumnya. 16 hal. 9. Made Darma Weda, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996, 12 Berbagai paradigma studi kejahatan yang lahir pada tahun 1970-an dalam kaitannya dengan perspektif hukum dan organisasi sosial mengandung arti kriminologi telah terkait dan tidak dapat dipisahkan dari perkembangan struktur masyarakat. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa kejahatan yang menjadi fokus setiap pembahasan teori kriminologi tidak lagi bersifat bebas nilai, dalam arti bahwa kejahatan akan selalu merupakan hasil dari pengaruh dan interaksi pelbagai faktor seperti sosial, budaya, ekonomi, politik. Pengaruh faktor-faktor tersebut dikemukakan oleh Hagan sebagaimana dikutip Romli Atmasasmita, telah terbukti dengan munculnya kejadian-kejadian di Amerika Serikat dan lnggris. Kejadian yang paling terkenal adalah apa yang disebut dengan “Berkeley's riot” yang terjadi pada musim semi tahun 1972. Sejak pendirian The School of Criminology di Universitas Berkeley pada tahun 1949, aliran kriminologi yang dianut adalah aliran garis keras, yaitu bahwa kriminologi diharapkan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dengan cara mempengaruhi masyarakat yang mau melaksanakan misi dimaksud. Setelah lembaga ini mendapat kritik yang tajam dari pihak universitas (1961), maka lembaga ini menitikberatkan pada pendekatan sosial, ilmiah, dan hukum dalam mempelajari kejahatan. Menjelang akhir dari perjalanannya, lembaga ini kemudian kembali menganut garis keras dengan tujuan mengambil inisiatif, mengorganisasi dan berpartisipasi dalam gerakan-gerakan militan dalam isu-isu rasisme dan seksisme di Amerika Serikat. Melihat keadaan demikian, sebagai tindak lanjut terhadap apa yang dikenal sebagai “Berkeley Riots”, lembaga ini ditutup pemerintah. lnggris pun mengalami hal yang sama tetapi tidak sekeras yang terjadi di Berkeley. Pergolakan terjadi di Lembaga Kriminologi Universitas Cambridge pada tahun 1970. Usaha-usaha 13 untuk mengadakan gerakan-gerakan militan telah dipelopori oleh Ian Tylor, Paul Walton, dan Jock Young dengan tujuan membebaskan masyarakat dari kejahatan didasarkan pada pembentukan masyarakat sosialis.17 Di abad ke-20 ini, kejahatan dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu proses rekayasa masyarakat baik di bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Sebagai konsekuensi dari proses dimaksud, tujuan kriminologi tidak lagi bersifat science for science tetapi science for the welf are of society atau bahkan dapat dikatakan sebagai science for the interest of the power elite. Menurut Romli Atmasasmita, kriminologi abad ke-20, sejalan dengan pendapat Marc Ancel (la defense sociale), harus merupakan suatu kontrol sosial terhadap kebijakan dalam pelaksanaan hukum pidana. Dengan kata lain, kriminologi harus memiliki peran yang antisipatif dan reaktif terhadap semua kebijakan di lapangan hukum pidana sehingga dengan demikian dapat dicegah kemungkinan timbulnya akibat-akibat yang merugikan, baik bagi si pelaku, korban, maupun masyarakat secara keseluruhan.18 RANGKUMAN 1. Asal mula perkembangan kriminologi berasal dari penyelidikan C. Lombroso (1876), namun ada pendapat lain bahwa penyelidikan secara ilmiah tentang kejahatan dari Adolphe Quetelet (1874), seorang Belgia yang memiliki keahlian dalam bidang matematika. 2. Ilmu hukum pidana kriminologi seperti merupakan pasangan (dwitunggal) saling melengkapi, Kedua ilmu ini di Jerman dicakup dengan nama Die gesammte 17 18 Romli Atmasamita, 2005, Op.Cit. hal. 20. Ibid, hal. 17. 14 strafrechts wissenschaft, dan dalam negeri-negeri anglosaxon dengan nama Criminal science 3. Kriminologi memiliki peran yang antisipatif dan reaktif terhadap semua kebijakan di lapangan hukum pidana dengan demikian dapat dicegah kemungkinan timbulnya akibat-akibat yang merugikan, baik bagi si pelaku, korban, maupun masyarakat secara keseluruhan. 4. Kriminologi sebagai “meta science” yaitu suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas dimana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat dalam hukum pidana. LATIHAN 1. Jelaskan awal mula perkembangan kriminologi? 2. Jelaskan hubungan antara kriminologi dan hukum pidana? 3. Jelaskan tujuan mempelajari kriminologi? 4. Bagaimanakah eksistensi kriminologi dewasa ini? GLOSSARIUM 1. Hedonisme artinya suatu prinsip dimana dalam melakukan perbuatan manusia akan selalu menimbang antara kesenangan atau kesengsaraan yang akan didapatnya dari atau akibat perbuatan tertentu. 2. Theoretische atau zuiver criminologie mempelajari gejala-gejala kriminalitas sebagai keseluruhan. 3. Practische atau toegepaste criminologie berusaha mengamati dengan sebaik mungkin berbagai tindak pidana, untuk kemudian dengan mempergunakan 15 metoda-metoda tertentu berusaha menyelidiki sebabsebab dari gejalanya. 4. Organized crime adalah kejahatan yang bersifat terorganisir. 5. Meta science yaitu suatu ilmu yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas dimana pengertiannya dapat dipergunakan untuk memperjelas konsepsi-konsepsi dan masalah-masalah yang terdapat dalam hukum pidana. 6. Kings without a country adalah pendapat Thorten Sellin tentang kriminologi dimana para kriminolog berasal dari disiplin lain seperti, sosiolog, psikiater, sarjana hukum, insinyur dan sebagainya. DAFTAR PUSTAKA Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta. J.E. Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung. Lamintang P.A.F, 1984, Dasar-Dasar Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Hukum Pidana Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Moeljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Topo Romli Santoso dan Eva Achjani Zulfa, RajaGrafindo Persada, Jakarta. 2001, Kriminologi, Atmasamita, 2005, Teori dan Kapita Kriminologi, Refika Aditama, Bandung. Selekta 16 BAB II PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP KRIMINOLOGI Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami tentang: Pengertian dan Ruang Lingkup Kriminologi, serta Aliran-aliran/mazhabmazhab kriminologi. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mahasiswa mampu: 1. Mengemukakan beberapa pengertian kriminologi. 2. Menjelaskan ruang lingkup kriminologi. 3. Membedakan aliran-aliran/mazhab-mazhab kriminologi. A. Pengertian Kriminologi Kriminologi, secara harfiah, berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi kriminologi diartikan sebagai pengetahuan tentang kejahatan. Pengertian secara harfiah semata dapat mempersempit persepsi orang tentang kajian dari kriminologi, seolah-olah hanya kejahatan saja yang dibahas oleh ilmu pengetahuan ini. Padahal menurut Romli Atmasasmita, kriminologi dapat ditinjau dari dua segi, yaitu kriminologi dalam arti sempit yang hanya mempelajari kejahatan saja, dan kriminologi dalam arti luas, yang mempelajari teknologi dan metodemetode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah 17 prevensi kejahatan dengan tindakan-tindakan yang bersifat punitif.19 Bahkan sebelumnya Sutherland dan Cressey telah menyebutkan bahwa “criminology is the body of knowledge regarding crime as sosial phenomenon” yang bermakna pula dalam pengertian kriminologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum.20 Untuk memperoleh pengertian yang dapat mencakup ruang lingkup dan studinya berikut akan dipaparkan beberapa pengertian menurut beberapa pakar kriminologi lainnya. 1. W. A. Bonger Kriminologi menyelidiki gejala kejahatan seluasluasnya.Bersifat teoritis murni yang mencoba memaparkan sebab-sebab kejahatan menurut berbagai aliran dan melihat berbagai gejala sosial seperti penyakit masyarakat yang dinilai berpengaruh terhadap perkembangan kejahatan. 2. W.H Nagel Kriminologi pasca PD II semakin luas, tidaksemata-mata etiologis,karena sejak tahun 1950-an telah berkembang viktimologi (mempelajari hubungan antara pelakukejahatan dan korbannya).Perkembangan sosiologi hukum semakin memperluas lingkup kriminologi. 3. Martin L.Haskell and Lewis Yablonsky Kriminologi mencakup analisa-analisa tentang: a. Sifat dan luas kejahatan; 19 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 2. 20 Made Darma Weda, Op. Cit, hal. 2. 18 b. Sebab-sebab kejahatan; c. Perkembangan hukumpidana dan pelaksanaannya; d. Ciri-ciri (tipologi) pelaku kejahatan (kriminal) e. Pola-pola kriminalitas dan perubahan sosial 4. Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey: Kriminologi adalah ilmu dari berbagai ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial dan meliputi: a. Sosiologi hukum sebagai analisa ilmiah atas kondisikondisi perkembangan hukum pidana; b. Etiologi kriminal yang mencoba melakukan analisa ilmiah mengenai-sebab-sebab kejahatan; c. Penologi yang menaruh perhatian atas perbaikan narapidana Dari berbagai pengertian di atas pada umumnya acuan yang sering digunakan untuk definisi dan ruang lingkup kriminologi adalah rumusan E.H.Suhtherland dan Katherine S. Willliaam yaitu: “criminology is the body of knowledge, regarding crime as a social phenomenon; includes the study of: the characteristics of the criminal law, the extent of crime, the effects of crime on victimsond on society, methods of crime prevention,the attributes of criminals and the characteristics and workings of criminal justice system. Dengan pengertian demikian, maka kriminologi adalah ilmu dari berbagai pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial yang meliputi: a. Karakteristik hukum pidana; b. Keberadaan kriminalitas; c. Pengaruh kejahatan terhadap korbannya dan terhadap masyarakat; d. Metoda penanggulangan kejahatan; 19 e. Atribut penjahat; f. Karakteristik dan bekerjanya sistem peradilan pidana. Perlu dicatat dalam rumusan ini adalah: a. Yang dimaksud dengan studi kejahatan dalam kriminologi dewasa ini adalah hubungan antara pelaku kejahatan dan korbannya b. Karakteristik hukum pidana dan bekerjanya sistem peradilan pidana, tidak terlepas dari kriminologi dalam hubungannya dengan politik atau kebijakan kriminal dan kebijakan sosial yaitu pembangunan nasional c. The body of knowledge, yaitu kriminologi dalam hubungan dengan berbagai ilmu pengetahuan.21 B. Ruang Lingkup Studi Kriminologi Menurut Sutherland, kriminologi terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: 1. Etiologi kriminal, yaitu usaha secara ilmiah untuk mencari sebab-sebab kejahatan; 2. Penologi,- yaitu pengetahuan yang mempelajari tentang sejarah lahirnya hukuman, perkembangannya serta arti dan faedahnya; 3. Sosiologi hukum (pidana), yaitu analisis ilmiah terhadap kondisi-kondisi yang mempengaruhi perkembangan hukum pidana. Secara garis besarnya dapat dikatakan kriminologi mempelajari tentang : 21 Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 13 20 1. Kejahatan. Apakah yang dimaksud dengan kejahatan ? Dalam hal ini yang dipelajari terutama adalah perundang-undangan pidana, yaitu norma-norma yang termuat di dalam peraturan pidana. Meskipun kriminologi terutama mempelajari perbuatanperbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana, namun perkembangan kriminologi setelah tahun 1960an khususnya studi sosiologis terhadap perundang-undangan pidana telah menyadarkan bahwa dijadikannya perbuatan tertentu sebagai kejahatan (tindak pidana) tidak semata-mata dipengaruhi oleh besar kecilnya kerugian yang diti mbulkannya atau karena bersifat amoral, melainkan lebih dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan (politik). Sebagai akibatnya kriminologi memperluas studinya terhadap perbuatan-perbuatan yang dipandang sangat merugikan masyarakat luas. baik kerugian materi maupun kerugian/bahaya terhadap jiwa dan kesehatan manusia, walaupun tidak diatur dalam undang undang pidana. Sejalan dengan itu, Konggres ke- 5 tentang “Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggar Hukum" yang diselenggarakan oleh badan P.B.B. pada bulan September 1975 di Jenewa memberikan rekomendasi dengan memperluas pengertian kejahatan terhadap tindakan “penyalahgunaan kekuasaan ekonomi secara melawan hukum” (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan lingkungan, penyelewengan dalam bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaan-perusahaan transnasional, pelanggaran terhadap peraturan pajak, dan terhadap “penyalahgunaan kekuasaan umum secara melawan hukum” (illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak-hak 21 asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, misalnya penangkapan dan penahanan yang melanggar hukum. 2. Pelaku. Pelaku yaitu orang yang melakukan kejahatan, atau sering disebut “penjahat”. Studi terhadap pelaku ini terutama dilakukan oleh kriminologi positivis dengan tujuan untuk mencari sebab-sebab orang melakukan kejahatan. Dalam mencari sebab-sebab kejahatan, secara tradisional orang mencarinya dari aspek biologis, psikis dan sosial-ekonomi. Biasanya studi ini dilakukan terhadap orang-orang yang dipenjara atau bekas terpidana. Cara studi yang demikian ini mengandung beberapa kelemahan, yaitu: 1) Sebagai sampel dianggap kurang valid, sebab mereka tidak mewakili populasi penjahat yang ada di masyarakat secara representatif. 2) Terdapat pelaku kejahatan-kejahatan tertentu yang berasal dari kelompok atau lapisan sosial tertentu yang cukup besar jumlahnya akan tetapi hampir tidak pernah dipenjara. Hal ini misalnya ditunjukkan oleh Sutherland dalam penelitiannya terhadap kejahatan white-collar, dimana kurang dari 10% kasus kejahatan white-collar yang diproses melalui peradilan pidana 3) Undang-undang pidana yang bersifat berat sebelah. Di dalam perkembangannya, studi terhadap pelaku ini diperluas dengan studi tentang korban kejahatan. Hal ini karena pengaruh tulisan Hans von Hentig dan B. Mendelsohn. Dalam bukunya The Criminal and his Victim (1949) von Hentig menunjukan bahwa dalam kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang sangat penting daam terjadinya kejahatan. Studi tentang korban ini kemudian berkembang cukup pesat dan muncullah Viktimologi yaitu pengetahuan yang membahas masalah korban dengan segala aspeknya. Pada 22 permulaannya beberapa sarjana antara lain B. Mendelsohn menghendaki viktimologi terlepas dari kriminologi, akan tetapi dengan berkembangnya kriminologi setelah tahun 1960-an yaitu lahirnya “kriminologi hubungan-hubungan” adalah kurang beralasan untuk melepaskan viktimologi dari kriminologi. 3. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan bertujuan untuk mempelajari pandangan serta tanggapan masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan atau gejala yang timbul di masyarakat yang dipandang sebagai merugikan atau membahayakan masyarakat luas, akan tetapi undang-undang belum mengaturnya. Berdasarkan studi ini bisa dihasilkan apa yang disebut sebagai kriminalisasi, dekriminalisasi atau depenalisasi. Kriminalisasi adalah proses penetapan satu perbuatan yang dilakukan oleh penguasa (melalui Undang-Undang) sebagai perbuatan yang dilarang dan dapat dikenai ancaman pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Sedangkan dekriminalisasi atau depenalisasi bermakna sebaliknya yaitu suatu proses di mana suatu perilaku yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana dan dikenakan sanksi, kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksinya. Menyangkut dengan masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi ini menurut Sudarto haruslah diperhatikan halhal yang pada intinya sebagai berikut:22 a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materil dan spirituil berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan 22 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hal 44. 23 mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki”, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan spirituil) atas warga masyarakat. c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil” (cost-benefit principle).Untuk itu perlu diperhitungkan antara besarnya biaya yang dikeluarkan dengan hasil yang diharapkan akan dicapai. d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting). Mengenai kriteria kriminalisasi dan dekriminalisasi dalam laporan Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang antara lain menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut: 1) Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban. 2) Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasil yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikuloleh korban pelaku dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. 3) Apakah akan makin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya. 24 4) Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa Indonesia, yaitu terciptanya masyarakat adil dan makmur, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat. Kriteria umum di atas perlu pula diperhatikan di samping sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu, dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial.23 Demikian pula menurut Bassiouni, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam faktor termasuk:24 1) Keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang dicari atau yang ingin dicapai (the proporsionality of the means used in relationship to the outcome obtained). 2) Analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari (the cost analysis ot the outcome in relationship to the objectives sought). 3) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber-sumber tenaga manusia (the appraisal of the objectives sought in relationship to other priorities in the allocation of resources of human power). 4) Pengarus sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan(dipandang dari segi) pengaruh23 Hamdan, Op.cit. hal. 32. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hal. 162. 24 25 pengaruhnya yang sekunder (the social impact of criminalization and decriminalization in terms of its secocndary effects). Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini bagi masyarakat kita sangat penting antara lain karena KUHP kita rnerupakan peninggalan pemerintah kolonial. masyarakat kita yang terdiri dari berbagai suku dengan nilai-nilai sosialnya yang berbeda-beda, adanya wilayah yang sangai luas dengan tingkat kemajuan yang berbeda-beda, serta pengaruh industrialisasi dan perdagangan pada dasawarsa terakhir ini telah memunculkan fenomena/kejahatan yang baru. Studi mengenai reaksi masyarakat terhadap pelaku, (penjahat) bertujuan untuk mempelajari pandangan-pandangan tindakan-tindakan masyarakat terhadap pelaku kejahatan. Bidang ini khususnya dipelajari oleh penologi. Dengan perkembangan kriminologi setelah tahun 1960-an, yaitu sebagai pengaruh berkembangnya perspektif labeling dan kriminologi kritis, studi mengenai reaksi masyarakat ini terutama diarahkan untuk mempelajari proses bekerjanya (dan pembuatan) hukum, khususnya bekerjanya aparat penegak hukum. C. Aliran/Mazhab Dalam Kriminologi Usaha menerangkan penyebab (kausa) kejahatan oleh para sarjana terus berkembang dan disebut sebagai aliran kriminologi (school of criminology) atau sering disebut juga dengan mazhab-mazhab kriminologi. Terdapat berbagai model di kalangan ahli kriminolog dalam menjelaskan tentang aliran/mazhab tersebut: Pertama, berdasarkan kategori kriminologi klasik, Kriminologi positif, dan kriminologi kritis, Kedua, berdasarkan mazhab klasik, mazhab 26 kartographik, mazhab sosialis, mazhab tipologis, dan pendekatan multi faktor. Kedua model tersebut akan diuraikan satu persatu sebagai berikut. Dalam kriminologi modern dikenal tiga aliran pemikiran untuk menjelaskan fenomena kejahatan, yaitu kriminologi klasik, positivis, dan kritis. 1. Kriminologi Klasik Pemikiran klasik pada umumnya menyatakanan bahwa intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri-ciri fundamental manusia dan menjadi dasar untuk memberikan penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok, maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola yang dikehendakinya. Ini berarti bahwa manusia mengontrol nasibnya sendiri, baik sebagai individu maupun masyarakat. Begitu pula kejahatan dan penjahat pada umumnya dipandang dari sudut hukum, artinya kejahatan adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana, sedangkan penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai pilihan bebas dari individu yang menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Tanggapan rasional yang diberikan oleh masyarakat adalah agar individu tidak melakukan pilihan dengan berbuat kejahatan yaitu dengan cara meningkatkan kerugian yang harus dibayar, dan sebaliknya dengan menurunkan keuntungan yang dapat diperoleh dari melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini, maka tugas kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem hukuman yang akan meminimalkan tindakan kejahatan. 27 2. Kriminologi Positivis Aliran pemikiran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologis maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan kehendaknya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh situasi biologis atau kulturalnya. Aliran pemikiran in telah menghasilkan dua pandangan yang berbeda yaitu “determinisme biologis” dan “determinisme kultural”. Aliran positivis dalam kriminologi mengarahkan pada usaha untuk menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial dan kultural. Oleh karena kriminologi positivis ini dalam hal-hal tertentu menghadapi kesulitan untuk menggunakan batasan undang-undang, akibatnya mereka cenderung untuk memberikan batasan kejahatan secara “alamiah”, yaitu lebih mengarahkan pada batasan terhadap ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perlaku yang didefinisikan oleh undang-undang. 3. Kriminologi Kritis Aliran pemikiran ini mulai berkembang pada beberapa dasawarsa terakhir ini, khususnya setelah tahun 1960-an, yaitu sebagai pengaruh dari semakin populernya persfektif labeling. Aliran pemikiran ini tidak berusaha untuk menjawab persoalan-persoalan apakah perilaku manusia itu “bebas” ataukah “ditentukan”, akan tetapi lebih mengarahkan pada proses-proses yang dilakukan oleh manusia dalam membangun dunuianya dimana dia hidup. Dengan demikian akan mempelajari proses-proses dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan kejahatan kepada orang- 28 orang dan tindakan-tindakan tertentu pada waktu dan tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan pendekatan konflik. Sebelum uraian tentang mazhab-mazhab kriminologi perlu diketahui bahwa usaha menerangkan kausa kejahatan sudah ada sebelum abad ke 18. Pada waktu itu, seseorang yang melakukan kejahatan dianggap sebagai orang yang dirasuk setan. Orang berpendapat bahwa tanpa dirasuk setan seseorang tidak akan melakukan kejahatan. Pendapat ini sudah ditinggalkan dengan munculnya studi ilmiah tentang kejahatan dari berbagai mazhab berikut: 1. Mazhab Klasik Aliran ini timbul di Inggris pada pertengahan abad ke 19 dan tersebar di Eropa dan Amerika. Mazhab ini didasarkan atas psikologi hedonistik. Menurut psikologi hedonistik, setiap perbuatan manusia didasarkan atas pertimbangan rasa senang dan rasa tidak senang. Setiap manusia berhak memilih mana yang baik dan mana yang buruk; perbuatan mana yang mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak. Dengan demikian setiap perbuatan yang sudah dilakukan sudah lebih banyak mendatangkan kesenangan dan mana yang tidak. Dengan demikian setiap perbuatan yang dilakukan sudah tentu lebih banyak mendatangkan kesenangan. Apakah ada orang yang melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan dirinya sendiri? Jadi menurut teori ini orang melakukan kejahatan karena perbuatan tersebut lebih banyak mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri. 29 Beccaria (1764) menerapkan prinsip ini sebagai doktrin dalam penologi sebagaimana dikutip Darma Weda dari pendapat Sutherland dan Cressey.25 Menurut Beccaria, setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan kesenangan dan rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. “That the act which I do is the act which I think will give me most pleasure” demikian Bentham.26 Dengan demikian pidana yang berat sekalipun telah diperhitungkan sebagai “kesenangan” yang akan diperoleh. 2. Mazhab Kartographik Mazhab yang kedua ini disebut sebagai mazhab kartographik. Para tokoh aliran ini memperhatikan penyebaran kejahatan pada wilayah tertentu berdasarkan faktor geografik dan sosial. Menurut aliran ini, kejahatan merupakan perwujudan dari kondisi-kondisi sosial yang ada. Quetelet dan A.M.Guerry adalah pelopor aliran ini di Prancis dan banyak mempunyai pengikut di Inggris dan Jerman.27 Aliran ini mulai berkembang pada tahun 1830sampai tahun 1880. 3. Mazhab Sosialis Mazhab sosialis mulai berkembang pada tahun 1850.Para tokoh mazhab ini banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan dari Marx dan Angels, dan lebih menekankan pada determinisme ekonomi.28 25 26 27 28 Made Darma Weda, Op. Cit, hal. 15. Ibid. Ibid. Ibid. 30 Menurut para tokoh mazhab ini,kejahatan timbul disebabkan adanya tekanan ekonomi. Oleh karena itu untuk melawan kejahatan maka harus diadakan peningkatan ekonomi. Dengan kata lain kemakmuran akan mengurangi terjadinya kejahatan. Apakah benar demikian? Apakah orang yang mempunyai kedudukan sosial ekonomi tinggi tidak akan melakukan kejahatan?. 4. Mazhab Tipologik Ada tiga aliran yang termasuk dalam typological atau bio-typological. Ketiga aliran tersebut, yaitu Lombrosian, Mental tester, dan psychiatric mempunyai kesamaan pemikiran dan metodologi.29 Mereka mempunyai asumsi bahwa terdapat perbedaan antara orang yang jahat dengan orang yang tidak jahat. Untuk lebih jelasnya ketiga aliran tersebut akan diuraikan di bawah ini. a. Aliran Lombroso Aliran ini dipelopori oleh lombroso, dan dikenal sebagai mazhab Italia. Menurut Lombroso, kejahatan merupakan bakat manusia yang dibawa sejak lahir.Oleh karena itu dikatakan oleh Lombroso “Criminal is born, not made”.30 Untuk memperkuat pernyataan tersebut, Lombroso mengadakan penelitian di Inggris. Sebanyak 30.000 narapidana dijadikan sampel penelitiannya. Dari hasil penelitian tersebut Lombroso berkesimpulan bahwa penjahat mempunyai bentuk fisik tertentu, yang berbeda dengan orang yang tidak jahat. 29 30 Ibid. hal. 16. Ibid. 31 Ada beberapa proposisi yang dikemukakan oleh Lombroso.31 yaitu: 1. Penjahat dilahirkan dan mempunyai tipe yang berbeda-beda 2. Tipe ini bisa dikenal dari beberapa ciri tertentu seperti tengkorak yang asimetris, rahang bawah yang panjang, hidung yang pesek, rambut janggut yang jarang, dan tahan terhadap rasa sakit. Tipe penjahat digambarkan dengan kelima ciri tersebut.Jika terdapat tiga sampai lima tanda, maka orang tersebut dianggap meragukan sebagai penjahat. Sedangkan bila terdapat tanda-tanda yang berjumlah kurang dari tiga maka orang tersebut bukan merupakan penjahat. 3. Tanda-tanda lahiriah ini bukan merupakan penyebab kejahatan tetapi merupakan tanda pengenal kepribadian yang cenderung mempunyai perilaku kriminal. Ciri-ciri ini merupakan pembawaan sejak lahir. 4. Karena adanya kepribadian ini, mereka tidak dapat terhindar dari melakukan kejahatan kecuali bila lingkungan dan kesempatan tidak memungkinkan. 5. Penganut aliran ini mengemukakan bahwa penjahatpenjahat seperti pencuri, pembunuh, pelanggarseks dapat dibedakan oleh ciri-ciri tertentu. Aliran Lombroso ini bertujuan untuk membantah aliran klasik dalam persoalan determinisme melawan kebebasan kemauan. Adalah Charles Goring yang membuat penelitian perbandingan terhadap penelitian Lombroso.32 Goring meneliti 3000 narapidana yang berbeda di Inggris. Dari hasil penelitian tersebut, Goring menarik suatu kesimpulan bahwa tidak ada tanda-tanda jasmaniah untuk disebut sebagai tipe penjahat, 31 32 Ibid. Ibid. hal. 17. 32 demikian pula tidak ada tanda-tanda rohaniah yang menyatakan penjahat itu memiliki suatu tipe. Hasil penelitian Goring inilah kemudian dikenal sebagai penelitian yang mengalahkan mazhab Lombroso. Perlu diketahui bahwa teori Lombroso mengalami perubahan dalam perkembangan selanjutnya. Para murid Lombroso, Garofalo, dan Ferry mengadakan modifikasi teori Lombroso. Dengan demikian ajaran Lombroso tidak lagi menekankan pada faktor fisiologis, tetapi juga mengakui adanya faktor psikologis sebagai kausa kejahatan. Hal ini berarti suatu pengakuan terhadap faktor luar yang mempengaruhi manusia.33 Kembali pada penelitian Goring, bagaimanakah pendapat Goring terhadap kausa kejahatan?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ternyata Goring berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai kelemahan/cacat yang dibawa sejak lahir. Kelemahan atau cacat inilah yang menyebabkan orang tersebut melakukan kejahatan. Dengan demikian Goring dalam mencari kausa kejahatan kembali pada faktor fisiologis.34 Sedangkan faktor lingkungan sangat kecil pengaruhnya terhadap seseorang. b. Mental Tester Setelah runtuhnya aliran Lombroso, maka muncullah aliran yang disebut “mental tester”. Aliran ini dalam metodologinya menggunakan tes mental. Menurut Goddard, setiap penjahat adalah orang yang “feeblemindedness”/orang yang otaknya lemah.35 Orang yang otaknya lemah tidak dapat 33 34 35 Ibid. hal. 18. Ibid. Ibid. 33 menilai perbuatannya dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari perbuatannya tersebut. Menurut aliran ini, kelemahan otak merupakan pembawaan sejak lahir dan merupakan penyebab orang melakukan kejahatan.36 Tes mental yang dilakukan Goddard menunjukkan hampir semua penjahat mengalami “feeblemindedness” dan hampir semua orang yang “feeblemindedness” melakukan kejahatan. c. Aliran Psikiatrik Aliran ketiga ini merupakan aliran tipologis, yang lebih menekankan pada unsur psikologis. Hal ini tidak berarti bahwa aliran ini meninggalkan ciri-ciri morphologis yang dimiliki setiap orang. Sebagaimana dengan aliran Lombroso, aliran ini juga menekankan pada psikosis,epilepsi dan “moral insanity” tetapi lebih menekankan pada gangguan emosional. Menurut aliran ini gangguan emosional diperoleh dalam interaksi sosial. Oleh karena itu tesis sentral dari aliran ini adalah “a certain organization of the personality, developed entirely apart from criminal culture, will result in criminal behavior regardless of social situation”. 37 Aliran psikiatrik lebih banyak dipengaruhi oleh teori dari Sigmund Freud, tentang struktur kepribadian. Menurut Freud, kepribadian terdiri dari tiga, yaitu: das es, das ich, dan das uber ich. Atau dikenal pula sebagai id, ego, dan super ego. Das es atau id merupakan alamtak sadar yang dimiliki setiap makhluk hidup, manusia dan hewan. Segala nafsu atau 36 37 Ibid. Ibid.hal. 19 34 keinginan, begitu pula naluri, berada di alam tak sadar. Misalnya nafsu makan dan sebagainya. Das es atau id ini kemudian mendesak das ich atau alam sadar untuk memenuhi kebutuhannya. Berdasarkan desakan tersebut maka das ich melaksanakan hal-hal yang diperlukan bagi pemenuhan das es atau id. Misalnya ingin makan, minum, tidur dan sebagainya. Berbeda dengan das es dan das ich, dan uber ich atau super ego merupakan bagian yang sangat penting. Super ego ini merupakan aspek moral. Hal ini berarti norma-norma dalam masyarakat yang pernah dialami akan mempengaruhi super ego. Dengan demikian super ego inilah yang akan menilai keinginan dari ego. Sebagai contoh rasa lapar dan haus yang dirasakan setiap orang, harus dipenuhi yaitu makan dan minum. Keinginan untuk makan dan minum tentunya tidak dipenuhi begitu saja. Karena lapar,melihat makanan di bawa langsung dimakan; tidak demikian. Super ego inilah yang menilai/menentukan cara memenuhi keinginan ego,berdasarkan norma-norma atau aturan-aturan yang diketahui. Dengan kata lain, super ego menentukan perbuatanperbuatan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. d. Aliran Sosiologis Dalam mencari kausa kejahatan aliran sosiologis merupakan aliran yang sangat bervariasi. Aliran sosiologis banyak dipengaruhi aliran kartographik. Aliran ini berpendapat bahwa: “crime as a function of social environment”.38 Tesis sentral dari aliran ini adalah that criminal behavior results from the same processes as other 38 Ibid.hal. 20. 35 social behavior.39 Dengan demikian menurut aliran ini, proses terjadinya tingkah laku jahat tidak berbeda dengan tingkah laku lainnya, termasuk tingkah laku baik. Tarde seorang ahli psikologi sosial,menolak ajaran Lombroso dan menyatakan pentingnya “imitation” sebagai penyebab kejahatan. Menurut Tarde, orang yang melakukan kejahatan adalah orang yang meniru.Oleh karena itu “…if a man steals or murders he is merely imitating someone else”.40 Aliran sosiologis ini mengalami perkembangan yang pesat pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa mazhab-mazhab yang mencari kausa kejahatan pada prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:mazhab yang mencari kausa kejahatan dari dalam diri sipelaku, mazhab yang mencari kausa kejahatan dari luar diri si pelaku (lingkungan), dan mazhab yang mencari kausa kejahatan dari diri sipelaku serta lingkungan yang dapat mempengaruhi. Adanya perbedaan antara mazhab-mazhab tersebut menunjukkan bahwa penentuan kausa kejahatan merupakan suatu hal yang sulit. Kesulitan tersebut terletak pada penentuan faktor yang dianggap sebagai kausa kejahatan. Antara mazhab yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan dalam menentukan faktor yang dianggap sebagai kausa kejahatan. Perbedaan tersebut mempunyai konsekuensi bahwa menurut suatu mazhab faktor tersebut menjadi kausa, sebagai contoh; “broken home” yang dianggap sebagai penyebab kejahatan oleh suatu mazhab, tetapi oleh mazhab yang lain “broken home” dianggap bukan sebagai kausa. 39 40 Ibid. Ibid.hal. 21 36 Para ahli menyadari bahwa penyebab kejahatan tidak ditentukan oleh satu/dua faktor tetapi oleh banyak faktor yang menjadi penyebab kejahatan. Hal ini dikatakan sebagai pendekatan multifaktor. Menurut Albert K. Cohen, literatur mengenai disorganisasi sosial merupakan suatu contoh yang representatif dari pemikiran multifaktor.41 Pemikiran pendekatan multi faktor digambarkan sebagai berikut.42 Eleborate investigations of delinquents give us conclusive evidence that there is no single pre-disposing factor leading inevitably to delinquent behavior. On the other hand, the delinquent child is generally a child handicapped not by one or two, but ussually by seven or eight counts. We are save concluding that almost any child can overcome one or two handicaps, such as death of parentor poverty and poor health. However, if the child has a drunken unemployed father and an immoral mother, is mentally deficient, is taken out of school at an early age and put to work in factory, and lives in a crowded home in a bad neigbourhood,nearly every factor in his environtment my seem to militate against him. Pendekatan multi faktor, untuk pertama kali dipergunakan oleh William Healy dalam bukunya yang berjudul “The individual delinquent”.43Munculnya pendekatan multi faktor didasarkan pada keyakinan para ahli bahwa crime is a product of largenumber and great variety of factors and that these factors can not know and perhaps can not ever be organized into general proposition which 41 42 43 Ibid.hal. 22 Ibid. Ibid.hal. 23 37 have no exceptions.44 Berdasarkan hal tersebut para ahli berpendapat bahwa no scientific theory of criminal behavior is possible.45 Albert K.Cohen, dalam tulisannya yang berjudul multiple factor approach, mengemukakan tiga hal penting yang perlu diperhatikan.46 yaitu: Pertama jangan dijumbuhkan antara penjelasan single factor dengan single theory. Single theory tidak menjelaskan kejahatan. Single theory mengandung banyak variabel dan menerangkan hubungan antara variabel. Oleh karena itu Cohen juga mengingatkan agar tidak dijumbuhkan antara kompleksitas faktor dengan kompleksitas variabel. Variabel adalah a logical universal; it is a charachteristic or aspect with respect to which an object or even my vary, such as velocity or size of income.47 Disamping itu juga terdapat apa yang dikatakan sebagai “values of variable”, yaitu are logical particulars; there are the logically possible different concrete circumtances which meet the criterion defining the variable, such as 30 miles per hours or 5.000.48 Sebagai contoh keterangan tersebut misalnya, angka kejahatan lebih tinggi diantara orang-orang yang mempunyai penghasilan kurang dari Rp. 50.000 per bulan. “Penghasilan” merupakan variabel sedangkan Rp. 50.000 merupakan “values of variable”. Berdasarkan uraian tersebut di atas,maka faktor bukan merupakan variabel.Faktor adalah keterangan khusus mengenai 44 Ibid. Ibid. 46 Ibid. 47 Ibid. 45 48 Ibid. 38 keadaan yang nyata. Dengan demikian pendekatan multi faktor bukan merupakan teori. Kedua, faktor jangan dijumbuhkan dengan kausa. Setiap faktor mengandung kekuatan untukmelahirkan kejahatan, tetapi satu faktor tidak cukup untuk menimbulkan kejahatan. It takes many cats of pitc to paint a thing throughly black.49 Sedangkan yang ketiga, Cohen menyebut sebagai “evil-causes-evil fallacy” yang merupakan ciri khas dari studi multifaktor. Yang dimaksud dengan “evil-causes-evil fallacy” adalah merupakan suatu pemikiran yang keliru bila kejahatan dianggap sebagai hasil dari keadaan yang buruk (seperti broken home dan sebagainya) dan merupakan suatu kesalahan pula bila keadaan yang buruk dianggap hanya dapat menghasilkan kejahatan. Dalam kaitannya dengan ini Cohen menulis this unconcious assumption that “evil” consequences have “evil” precedents,that “evil” precedents can have only “evil” consequences.50 RANGKUMAN 1. Kriminologi dalam arti sempit hanya mempelajari kejahatan saja, dan kriminologi dalam arti luas, mempelajari teknologi dan metode-metode yang berkaitan dengan kejahatan dan masalah prevensi kejahatan dengan tindakan-tindakan yang bersifat punitif. Sutherland dan Cressey pengertian kriminologi adalah proses pembentukan hukum, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggar hukum. 49 50 Ibid. hal. 24 Ibid. 39 2. Kriminologi terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: Etiologi kriminal, Penologi, dan Sosiologi hukum (pidana). Secara umum mempelajari tentang kejahatan, pelaku (penjahat), dan reaksi masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku. 3. Kriminologi klasik mendefinisikan kejahatan dari sudut hukum, artinya perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana. Kejahatan sebagai pilihan bebas dari individu yang menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Agar tidak berbuat kejahatan dilakukan dengan cara meningkatkan kerugian yang harus dibayar. 4. Kriminologi Positivis dua pandangan “determinisme biologis” dan “determinisme kultural”. Aliran positivis dalam kriminologi mengarahkan pada usaha untuk menganalisis sebab-sebab perilaku kejahatan melalui studi ilmiah ciri-ciri penjahat dari aspek fisik, sosial dan kultural. Cenderung memberikan batasan kejahatan secara “alamiah”, yaitu lebih mengarahkan pada batasan terhadap ciri-ciri perilaku itu sendiri daripada perlaku yang didefinisikan oleh undangundang. 5. Kriminologi kritis, lebih mengarahkan pada proses-proses yang dilakukan oleh manusia dalam membangun dunianya dimana dia hidup, mempelajari proses-proses dan kondisikondisi yang mempengaruhi pemberian batasan kejahatan kepada orang-orang dan tindakan-tindakan tertentu pada waktu dan tempat tertentu. LATIHAN 1. Kemukakan beberapa pengertian kriminologi? 2. Apa saja yang termasuk ruang lingkup studi kriminologi? 3. Apakah pertimbangan dalam proses kriminalisasi dan dekriminalsisasi?. 40 4. Apakah syarat yang harus dipenuhi kriminalisasi/dekriminalisasi? 5. Kemukakan perbedaan pandangan utama aliran/kriminologi klasik, positif, dan kritis. untuk dari GLOSSARIUM 1. Feeblemindedness berarti orang yang otaknya lemah yang tidak dapat menilai perbuatannya dan dengan demikian tidak dapat pula menilai akibat dari perbuatannya tersebut. 2. Kriminalisasi adalah proses penetapan satu perbuatan yang dilakukan oleh penguasa (melalui Undang-Undang) sebagai perbuatan yang dilarang dan dapat dikenai ancaman pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 3. Dekriminalisasi atau depenalisasi bermakna yaitu suatu proses di mana suatu perilaku yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana dan dikenakan sanksi, kemudian dihapuskan kualifikasi pidananya dan sanksinya. 4. Pendekatan multifaktor berarti penyebab kejahatan tidak ditentukan oleh satu/dua faktor tetapi oleh banyak faktor. DAFTAR PUSTAKA Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Lamintang P.A.F, 1984, Dasar-Dasar Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Hukum Pidana Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. 41 Romli Atmasasmita, 1984, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta. Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. 42 BAB III KEJAHATAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN NORMA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami mengenai: Pengertian tentang Kejahatan dan Hubungan Kejahatan dengan Norma. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan Pengertian dan Sejarah penanganan kejahatan. 2. Menjelaskan Pendekatan dalam mempelajari kejahatan 3. Menjelaskan Hubungan Kejahatan dengan norma A. Pengertian dan Sejarah Penanganan Kejahatan Kejahatan merupakan problem manusia, di mana manusia di sana pasti ada kejahatan. Frank Tannembaum menyatakan “crime is eternal as society”.51 Berbagai sarjana telah berusaha memberikan pengertian kejahatan secara tepat, namun usaha mereka mengalami kegagalan. Hal yang sama pernah pula dilakukan oleh para ahli hukum dalam merumuskan pengertian tentang hukum sebagaimana dikemukakan oleh Imanuel Kant “noch suchen die yuristen eine definition zu ih ihrem begriffe von recht”.52 51 J.E. Sahetapy, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik, Alumni, Bandung, 1981, hal. 1. 52 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 13. 43 Secara umum kejahatan dapat diberi batasan sebagai perilaku manusia yang melanggar norma (hukum Pidana), merugikan, menjengkelkan, menimbulkan korban-korban, sehingga tidak dapat dibiarkan. Berikut akan dikemukakan rumusan para ahli kriminologi tentang Kejahatan: 1. Paul Tappan: Perbuatan pelanggaran terhadap norma hukum dan dijatuhi pidana baik sebagai felony maupun mis demenor. 2. Hasskel dan Yablonsky: a. Yang tercatat dalam statistik b. Tak ada kesepakatantentang prilaku anti sosial c. Sifat kejahatan dalam hukum pidana d. Hukum menyediakan perlindungan bagi seorang dari stigmatisasi yang tidak adil 3. Sutherland: Prilaku yang dilarang negara karena merugikan. Terhadapnya negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya untukmencegah dan memberantasnya. 4. Hermann Mannheim: Perumusan hukum tentang kejahatan yang dapat dipidana. Ia merupakan bahasan teknis.Bila terbukti kejahatan alternatif sanksi tergantung pada pertimbangan perkasus 5. Sellin: Untuk mempelajari kejahatan secara ilmiah perlu diperhatikan belenggu-belenggu yang diciptakan hukum pidana 6. Austin Turk: Sebagian besar orang yang melakukan perbuatan yang secara hukum dirumuskan sebagai kejahatan, maka data kejahatan yang didasarkan pada penahanan atau penghukuman tidak relevan untuk menjelaskan kejahatan karena hanya merupakan cap atau label “penjahat” semata. 7. Howard Backer: Perilaku menyimpang bukanlah suatu kualitas tindakan melainkan akibat penerapan cap atau label terhadap 44 perilaku tersebut. Perilaku menyimpang adalah seseorang terhadapnya cap “jahat” telah berhasil diterapkan 8. Richard Quinney: Kejahatan adalah suatu rumusan tentan perlaku manusia yang diciptakan oleh orang yang berwenang dalam suatu masyarakat yang secara politis terorganisasi. Kejahatan merupakan suatu hasil rumusan perilaku yangdiberikan terhadap sejumlah orang oleh orang-orang lain: dengan begitu kejahatan adalah sesuatu yang diciptakan. 9. Herman dan Julia Schwendinger: Adanya kontroversi sepanjang 3 dasawarsa tentang rumusan positivis, reformis, tradisionalis dan kompromi legistik antara tradisionalis dan ilmiah untuk menilai rumusan kejahatan serta aspek-aspek ideologis dari kontroversi itu. Mereka mengajukan alternatif humanistik modern yang menganjurkan kriminolog mendefinisikan kejahatan 10. G. Peter Hoefnagels: Kejahatan adalah perilaku yang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Pengertian kejahatan yang dikemukakan di atas ada yang diberikan secara yuridis dan sosiologis, dan ada pula yang menyatakan kejahatan sebagai pemberian (cap) atau label oleh masyarakat. Sutherland dan Cressey mengemukakan 7 syarat untuk perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan, yaitu: 1. sebelum suatu perbuatan disebut sebagai kejahatan harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata yang berupa kerugian; 2. kerugian yang ditimbulkan harus merupakan kerugian yang dilarang oleh undang-undang dan secara jelas tercantum dalam hukum pidana; 45 3. harus ada perbuatan yang membiarkan terjadinya perbuatan yang menimbulkan kerugian tersebut; 4. dalam melakukan perbuatan tersebut harus terdapat maksud jahat atau “mens rea”. 5. harus ada hubungan antara perilaku dan “mens rea”. 6. harus ada hubungan kausal antara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang dilakukan atas kehendak sendiri (tanpa adanya unsur paksaan); 7. harus ada pidana terhadap perbuatan tersebut yang ditetapkan oleh undang-undang. Dari kategori di atas nampak jelas bahwa yang dimaksud dengan kejahatan, menurut Sutherland dan Cressey, merupakan pengertian kejahatan dalam arti yuridis. Vouin-Leaute juga mengartikan kejahatan berdasarkan pengertian yuridis yaitu semua perbuatan yang anti sosial adalah dilarang oleh undang-undang dan dirumuskan sebagai kejahatan dalam undang-undang. Oleh karena itu prinsip-prinsip “deminimis non curat praetor” harus diterima oleh para kriminolog.53 Pendapat Vouin-Leaute ini, menurut Herman Mannheim kurang dapat dibenarkan.54 karena dua hal: 1. Perbedaan pendapat yang terjadi tidak berkaitan dengan perbuatan yang berhubungan dengan alat-alat perlengkapan negara tetapiberkaitan dengan perbuatan yang bersifat anti sosial, yang tidak dirumuskan dalam hukum pidana. 2. Pengaturan semua bentuk tingkah laku dalam hukum pidana merupakan suatu asumsi yang tidak dapat dibuktikan kebnarannya.Oleh karena itu kriminolog harus mengadakan penelitian tentang bentuk-bentuk perbuatan yang menjadi obyek 53 54 J.E. Sahetapy, 1979, Op. Cit. hal. 23. Made Darma Weda, Op.Cit. hal. 7. 46 pertentangan. Hal ini berarti para kriminolog tidak terikat pada asas “nullum crimen sine lege” dan harus mengemukakan faktafakta yang diperlukan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka pembaharuan hukum (pidana). Perbedaan dalam memahami kejahatan antara lain disebabkan oleh kejahatan itu sendiri yang bersifat relatif, bergantung kepada ruang, waktu, dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. Menurut G. Peter Hoefnagels “misdaad is benoming” (tingkah laku didefinisikan sebagai jahat oleh manusiamanusia yang tidak mengkualifikasikan dirinya sebagai penjahat.55 Hoefnagels menyatakan ”we have seen that the concept of crimeis highly relativein commen parlance. The use of term “crime” in respect of the same bahavior differs from moment to moment (time), from group to group (place) and from context (situation)”.56 Jadi, dapat dikatakan bahwa kejahatan adalah suatu konsepsi yang bersifat abstrak, hanya dapat dirasakan akibatnya saja. Selanjutnya R. Mc Iver tentang relatifnya kejahatan menyatakan “what is crime in one country is no crime in another; what is a crime at one time is no crime in another; what is a crime at one time is no crime at another”. Dengan demikian jelas bahwa kejahatan dalam suatu masyarakat tidak sama dengan masyarakat lainnya. Meskipun kejahatan bersifat relatif, ada pula perbedaan antara “mala in se” dengan “mala prohibita”. Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangkan mala prohibita adalah suatu 55 56 J.E. Sahetapy, 1979, Op. Cit. hal. 67. Made Darma Weda, Op. Cit. hal. 13. 47 perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam perundang-undangan. Menurut asalnya tidak ada pembatasan secara resmi dan juga tidak ada campur tangan penguasa terhadap kejahatan, melainkan kejahatan semata-mata dipandang sebagai persoalan pribadi atau keluarga. Individu yang merasa dirinya menjadi korban perbuatan orang lain, akan mencari balas terhadap pelakunya atau keluarganya. Konsep peradilan personal ini dapat ditemui pada perundangundangan lama seperti Code Hammurabi (1900 SM), Perundangundangan Romawi Kuno (450 SM), dan pada masyarakat Yunani Kuno seperti “Curi Sapi Bayar Sapi”. Konsep pembalasan ini juga terdapat pada Bible “Eye for Eye”. Kemudian konsep kejahatan ini berkembang, yaitu untuk perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada raja seperti pengkhianatan, sedangkan terhadap perbuatan-perbuatan yang ditujukan kepada individu masih menjadi urusan pribadi. Dalam perjalanan waktu maka kemudian kejahatan menjadi urusan raja (negara) yaitu dengan mulai berkembangnya apa yang disebut sebagai “Parens Patriae”. Konsekuensi selanjutnya dengan diopernya tugas ini oleh negara maka “main hakim sendiri” dilarang. Pada abad ke 18 muncullah para penulis yang kemudian disebut sebagai mazhab klasik, sebagai reaksi atas ketidakpastian hukum dan ketidakadilan serta kesewenang-wenangan penguasa pada waktu “ancien regime”. Mazhab klasik ini mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar undang-undang. Ajarannya yang terpenting adalah doktrin “Nullum Crimen Sine Lege” yang berarti tidak ada kejahatan apabila undang-undang tidak menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang dilarang. Takut terhadap timbulnya 48 ketidakpastian dan kesewenang-wenangan dari penguasa (hakim), maka mazhab ini berpendapat, hakim hanyalah sebagai mulut/corong undang-undang saja. Lama kelamaan timbul ketidakpuasan terhadap ajaran dari mazhab ini dan pada akhir abad ke 19 muncullah pandangan baru yang lebih menitikberatkan pada pelakunya dalam studi terhadap kejahatan. Mazhab ini muncul diantara penstudi kejahatan di Italia yang kemudian disebut dengan mazhab positif. Mazhab ini dipelopori oleh C. Lombroso seorang dokter ahli ilmu kedokteran kehakiman, yang ini berusaha untuk mengatasi relativitet dari hukum pidana dengan mengajukan konsep kejahatan yang non hukum serta mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang melanggar hukum alam (natural law). Dalam perkembangan selanjutnya, konsep kejahatan yang non hukum ini banyak menguasai para sarjana kriminologi di Amerika terutama sampai pertengahan abad 20. Beberapa kritik yang diajukan terhadap mazhab Amerika ini antara lain oleh Ray Jeffery yang menyatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan harus dipelajari dalam kerangka hukum pidana, sebab dari hukum pidana kita dapat mengetahui dengan pasti dalam kondisi yang bagaimanakah suatu tingkah laku diapandang sebagai kejahatan dan bagaimana perundang-undangan berinteraksi dengan sistem norma yang lain. George C. Vold mengatakan bahwa dalam mempelajari kejahatan terdapat persoalan rangkap, artinya bahwa kejahatan selalu menunjuk kepada perbuatan manusia dan juga batasanbatasan atau pandangan masyarakat tentang apa yang dibolehkan dan dilarang, apa yang baik dan buruk, yang semuanya itu terdapat dalam undang-undang, kebiasaan dan adat istiadat. E. Durkheim, seorang pakar sosiologi menyatakan bahwa kejahatan bukan saja normal, dalam arti tidak ada masyarakat tanpa 49 kejahatan, bahkan dia menambahkan bahwa kejahatan merupakan sesuatu yang diperlukan, sebab ciri setiap masyarakat adalah “dinamis”, dan perbuatan yang telah menggerakkan masyarakat tersebut pada mulanya seringkali disebut sebagai kejahatan, misalnya dengan dijatuhkannya hukuman mati terhadap Socrates dan Galilei-Galilea atas buah pikirannya.57 B. Cara-Cara Pendekatan Dalam Mempelajari Kejahatan Menurut Sahetapy apabila kita berpangkal tolak (untuk sementara) pada makna dan batas pengertian kejahatan dalam ruanglingkup hukum (pidana) sebagai suatu tingkah laku yang (dapat) dipidana, maka berdasarkan sistematik dan uraian Hermann Mannheim, studi tentang tingkah laku (jahat) dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pendekatan Deskriptif Kriminologi diartikan disini sebagai observasi dan koleksi data (fakta) tentang kejahatan dan penjahat yang dapat juga disebut sebagai “phenomenology” atau 58 “symptomatology”. Cara pendekatan ini dimaksudkan untuk dapat memberikan gambaran tentang kejahatan dan pelakunya dengan melalui pengamatan (observasi) dan pengumpulan fakta-fakta kejahatan dan pelakunya, frekuensinya, jenis kelamin, umur serta ciri-ciri lainnya serta perkembangan mengenai karier penjahat. Adapun pengamatan (observasi) dan koleksi data haruslah dengan mempergunakan metode penelitian. Sahetapy menegaskan bahwa pengertian deskripsi jangan diartikan secara sempit. Yang beramakna data atau fakta sebagai hasil 57 58 I.S.Susanto, Op. cit. hal. 4. J.E. Sahetapy, 1979, Op.Cit. hal. 20. 50 pengamatan masih memerlukan penafsiran/interpretasi. Karena itu pula tugas seorang kriminolog tidak cukup dengan hanya mendeskrpsikan suatu data atau fakta, tetapi harus memberikan pemahaman dan penjelasan secara objektif terhadap data atau fakta-fakta tersebut.59 2. Pendekatan Kausal Pendekatan ini berupa suatu interpretasi terhadap fakta yang dapat dipergunakan untuk mencari sebab-musabab kejahatan, baik secara umum maupun dalam kasus-kasus individual. Ini disebut etiologi kriminal. Pada masa yang lalu, etiologi kriminal dianggap sebagai fungsi utama kriminologi.Akan tetapi dewasa ini menjadi suatu persoalan yang kontroversial. Penelitian kausal dalam kriminologi berbeda dengan tugas seorang sarjana hukum pidana dalam mencari hubungan kausal antara perbuatan seseorang dengan tindak pidana (kejahatan) tertentu. (Dalam hukum pidana dikenal adanya teori kausalitas seperti teori conditio sine quanon, teori adequat) Seorang sarjana hukum pidana mencari dan hendak membuktikan adanya causal nexus antara actus reus dengan mens rea. Bagi kriminolog yang berasal dari aliran positivis, pertanyaannya adalah “Mengapa orang-orang melakukan kejahatan? Sedangkan bagi penganut aliran kritis, pertanyaan yang dapat diajukan adalah “Mengapa orang dengan ciri tertentu –baik ciri sosial maupun psikologis- lebih sering muncul dalam statistik kriminal resmi? Atau mengapa sekelompok orang dianggap memiliki identitas penjahat. 59 Ibid. 51 Apakah yang dimaksud dengan “kausal”?. Pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah kriminolog dan ahli-ahli ilmu sosial pada umumnya dapat memakai konsep kausal dalam ilmu alam? Menururt Betrand Russel rupannya kausal tidak dipergunakan dalam ilmu pengetahuan yang sudah maju. Sedangkan untuk Max Planck, hukum kausalitas masih merupakan suatu hipotesa yang fundamental. Popper menekankan perbedaan antara penjelasan kausal dari kejadian individu/tunggal yang spesifik dengan apa yang disebut sebagai keteraturan atau hukum, diamana dalam hal yang pertama maka dibutuhkan beberapa hukum yang universal (universal laws), telah diuji dengan baik dan dibenarkan. Dalam hal ini dia mengikuti John Stuart Mill yang mengartikan kausal baik sebagai hukum yang universal maupun kejadian tunggal. Menurut Popper, kalau ilmu pengetahuan teori (baik ilmu sosial maupun ilmu alam) terutama memperhatikan kepada penemuan dan pengujian “universal laws”, maka ilmu sejarah hanya menaruh perhatian kepada kejadian-kejadian tunggal, pada pertanyaan “Bagaimana dan Mengapa”. Sedangkan sosiologi dan kriminologi menaruh perhatian kepada baik “universal laws” maupun kejadian-kejadian tunggal, dengan kata lain sosiologi dan kriminologi merupakan disiplin nomotetik dan idiografik. John Stuart Mill membedakan antara “sufficient” dan “necessary” causes. Perlu diketahui bahwa pada umumnya di dalam kriminologi tidak ada sebab-sebab kejahatan baik “sufficient” maupun “necessary”. Yang ada hanyalah “faktor-faktor” yang mungkin “necessary” untuk menghasilkan kejahatan dalam hubungannya dengan faktor lain. Khususnya pada perkembangan ilmu sosial pada beberapa dasawarsa terakhir 52 ini yaitu dengan munculnya symbolic interactionism, phenomenology dan ethnomethodology, maka pengertian “sebab” telah semakin diperkaya dan semakin kompleks. 3. Pendekatan Normatif Telah disebutkan bahwa kriminologi merupakan disiplin idiografik yang mempelajari fakta-fakta, sebabmusabab serta kemungkinan-kemungkinan di dalam kasus individual, serta disiplin nomotetik yang bertujuan untuk menemukan kecendrungan-kecendrungan (trends) atau hukumhukum umum yang secara ilmiah sah. Penjelasan bahwa kriminologi merupakan disiplin nomotetik membawa persoalan apakah ada hukum-hukum atau kecendrungan yang bersifat kriminologis. Persoalan yang lain adalah apakah perbedaan antara “hukum” (laws) dengan kecendrungan (trends), dan antara keduanya dengan “legal” atau „juridical laws”. Sehingga apakah kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang normatif. Tanpa bermaksud memasuki pembahasan lebih lanjut tentang “normentheorie” dari Binding dan “normative kraft des faktischen” dari G. Jellinek, pandangan yang dianut para ahli pada waktu kini adalah bahwa kriminologi bukanlah suatu disiplin normatif tetapi suatu disiplin faktual. Tanpa mengurangi arti usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari sebab-sebab kejahatan, menurut saya dengan memperhatikan kelemahan kelemahan statistik kriminal, usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan menghadapi persoalan metodologis yang tidak mudah dipecahkan. 53 C. Hubungan Kejahatan dengan Norma Hubungan kejahatan dengan norma-norma masih saja menarik perhatian orang dan merupakan hal yang problematik. Berikut ini akan dicoba untuk membicarakan mengenai hubungan antara kejahatan dengan berbagai norma. Secara teknis yuridis istilah kejahatan hanya digunakan untuk menunjuk perbuatan-perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindak pidana, akan tetapi bagi kriminologi harus ada kebebasan untuk memperluas studinya di luar batas-batas pengertian yuridis, paling tidak untuk dapat digunakan sebagai petunjuk dalam menelusuri apa yang dipandang sebagai kejahatan. Hal ini dimungkinkan khususnya apabila kita memandang hukum tidak lain sebagai salah satu sistem norma diantara sistem norma yang lain yang mengatur tingkah laku manusia atau dalam bahasa psiko analisa hanya sebagai suatu tabu diantara tabu-tabu yang lain yaitu norma agama, kebiasaan dan moral. 1. Hubungan Kejahatan Dengan Hukum (Undang-Undang) Bagaimanapun juga kejahatan terutama merupakan pengertian hukum, yaitu perbuatan manusia yang dapat dipidana oleh hukum pidana. Tetapi kejahatan bukan semata-mata merupakan batasan undang-undang, artinya ada perbuatanperbuatan tertentu yang oleh masyarakat dipandang sebagai “jahat” tetapi undang-undang tidak menyatakan sebagai kejahatan (tidak dinyatakan sebagai tindak pidana ), begitu pula sebalaiknya. Dalam hukum pidana orang seringkali membedakan antara “delik hukum” (rechtsdelicten atau mala in se) khususnya tindak pidana yang disebut “kejahatan” (buku II KUHP) dan “delik undang-undang” (wetsdelicten atau mala prohibita) yang merupakan “pelanggaran” (buku III KUHP). 54 Mengenai perbedaan antara mala in se dan mala prohibita dewasa ini banyak dipertanyakan orang, yaitu apakah semua tindak pidana itu sebanarnya adalah merupakan mala prohibita, artinya bahwa perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan oleh karena perbuatan tersebut oleh undang-undang ditunjuk atau dijadikan sebagai kejahatan (tindak pidana). Oleh karena pandangan orang mengenai hubungan antara undang-undang dengan organisasi sosial mempunyai pengaruh yang penting dalam penyelidikan kriminologi selanjutnya, maka perlu diketahui pandangan-pandangan yang ada mengenai hubungan antara keduanya Secara umum terdapat tiga pandangan mengenai pembentukan undang-undang yang dapat dipakai untuk menjelaskan hubungan antara hukum (undang-undang) dengan masyarakat, yaitu model konsensus, pluralis dan konflik. masing-masing model tersebut mencerminkan perbedaan pandangan mengenai asal pembuatan aturan dan nilai sosialnya, dan untuk selanjutnya perbedaaan pandangan tersebut akan mempengaruhi perbedaaan dalam arah studi tentang kejahatan. a. Model konsensus. Secara singkat, model konsensus mendasarkan pada anggapan atau asumsi bahwa undangundang merupakan pencerminan dari nilai-nilai dasar kehidupan sosial, dengan demikian penerapan undangunadang dipandang sebagai pembenaran hukum yang mencerminkan keinginan kolektif. b. Model pluralis. Apabila model konsensus menganggap adanya persetujuan umum atas kepentingan dan nilai-nilai dasar manusia, sebaliknya model pluralis menyadari adanya keanekaragaman kelompok-kelompok sosial yang mempunyai perbedaan dan persaingan atas kepentingan dan nilai-nilai. 55 c. Model konflik. Menyadari kebutuhan akan adanya mekanisme penyelesaian konflik, orang-orang sepakat terhadap suatu struktur hukum yang dapat menyelesaikan konflik-konflik tersebut tanpa membahayakan kesejahteraan masyarakat. Menurut persfektif ini, konflik timbul karena adanya ketidaksetujuan dalam substansinya, akan tetapi mereka setuju mengenai asal dan bekerjanya hukum. Sebagai model untuk mempelajari hukum dan masyarakat, persfektif konflik menekankan pada adanya paksaaan dan tekanan yang berasal dari sistem hukum. Sistem hukum tidak dipandang sebagai alat yang netral untuk menyelesaikan perselisihan, tetapi sebagai mekanisme yang diciptakan oleh kelompok politik yang paling berkuasa untuk mencaoai kepentingan-kepetintangannya sendiri. Hukum bukan saja untuk melayani pencapaian kepentingankepentingan tertentu bagi kelompok yang berkuasan akan tetapi juga kepentingan umum mereka untuk mempertahankan kekuasaaannya. 2. Hubungan Kejahatan Dengan Agama Persoalannya adalah apakah kita dapat menemukan di dalam norma-norma agama sebagai petunjuk untuk mencari apa yang dianggap sebagai kejahatan? Artinya apakah kejahatan sama dengan perbuatan yang dilarang oleh agama, sehingga apakah kejahatan sama dengan dosa dan karenanya hukum pidana tidak lain hanyalah merupakan daftar dari perbuatan dosa? Pada abad 19 muncul teori (maine) bahwa agama merupakan sumber dari hukum dan doktrin bahwa kejahatan merupakan polusi bagi masyarakat. Akan tetapi ajaran tersebut oleh para penulis modern tidak diterima. Ada berbagai kenyataan yang menunjukkan bahwa perbuatan atau gejala 56 sosial yang dilarang oleh agama seperti homoseks, fornication, inseminasi buatan, keluarga berencana, aborsi, bunuh diri di beberapa negara tidak dijadikan tindak pidana. 3. Hubungan Kejahatan Dengan Kebiasaan Sering dikatakan bahwa kebiasaan merupakan sumber dari hukum dan juga seringkali kebiasaan kemudian ditarik menjadi perbuatan yang dilarang oleh hukum. H. Kontorowicz memberikan daftar kebiasaan tetapi bukan merupakan hukum yaitu: etiket, kebiasaan saling memberi hadiah pada kesempatan tertentu, tata cara pemberian selamat, topik-topik pembicaraan, bentuk-bentuk surat, etika profesi, tingkat kebebasan dalam hubungan sosial antar seks dan sebagainya. Kebiasaan untuk memberi hadiah misalnya dalam keadaan tertentu maka, kadang-kadang dianggap sebagai tindak pidana (misalnya korupsi). Perbedaan antara kebiasaan dengan hukum adalahbahwa kebiasaan terikat pada lapisan sosial, kelompok, daerah dan sukumbangsa, sedangkan hukum sifatnya nasional. 4. Hubungan Kejahatan Dengan Moral Hubungan kejahatan dengan moral telah banyak dibicarakan orang sejak dulu dan hingga kini masih saja menarik untuk dibicarakan. G.P. Hoefnagels menyatakan bahwa hubungan antara kejahatan (dalam pengertian yuridis) dengan moral dapat digambarkan sebagai dua buah lingkaran dengan berbagai bentuk sebagai berikut: a. Pandangan ini menganggap bahwa semua tindak pidana merupakan perbuatan yang melanggar moral. Pada kelompok pandangan ini termasuk mereka yang menganggap kejahatan sebagai dosa dan mereka yang percaya bahwa pemerintah 57 adalah pemberian tuhan. Pandangan ini disebut sebagai model Bonger. b. Pada pandangan ini mereka berpendapat hampir semua tindak pidana meruapakan perbuatan yang melanggar moral, hanya sebagian kecil saja yang tidak melanggar moral. Pandangan ini melihat moral sebagai pengertian absolut yaitu sematamata sebagai generalisasi dari kode moral mereka. c. Pandangan ini menganggap bahwa hanya kejahatan yang sangat berat meruapakan perbuatan yang bertentangan dengan moral, sedangkan sebagian besar tindak pidana tidak bertentangan dengan moral. Pandangan ini mendasarkan pada kenyataan bahwa dalam masyarakat terdapat berbagai kelompok masyarakat yang seringkali memiliki pandangan moral yang berbeda-beda. d. Pandangan ini memisahkan antara moral pribadi dengan kelompok dan dengan hukum pidana.Hal ini karena mereka tidak melihat norma mereka tercermin dalam perarundangundangan pidana karena alasan yang sama sekali berbeda misalnya mereka beranggapan bahwa hukum pidana sematamata hanya sebagai alat teknis untuk membuat masyarakat berfungsi, dan merasa bahwa setiap individu/kelompok akan mengikuti norma norma dan nilai-nilainya sendiri, sama sekali terlepas dari hukum pidana yang memiliki tujuannya sendiri. Menurut H. Mannheim, hubungan antara kejahatan dengan moral dapat digambarkan sebagai dua buah lingkaran yang saling tumpang tindih seperti gambar berikut. a. Sejumlah perbuatan yang dipandang amoral akan tetapi tidak illegal. b. Sejumlah perbuatan yang dipandang amoral dan juga illegal. 58 c. Sejumlah perbuatan yang dipandang illegal akan tetapi tidak amoral. 59 Gambaran di atas menunjukkan adanya sejumlah tingkah laku yang melanggar hukum pidana akan tetapi tidak bertentangan dengan norma moral, begitu pula sebaliknya terdapat sejumlah tingkah laku yang melanggar moral akan tetapi tidak melanggar hukum pidana. Ketidaksesuaian antara kejahatan (dalam pengertian yuridis) dengan norma moral antara lain karena adanya perbedaan yang hakiki antara hukum dan moral. Bahwa hukum lebih menekankan segi luarnya, sedangkan moral lebih menekankan pada segi internal dari tingkah laku manusia, artinya hukum lebih menekankan agar orang tidak melakukan perbuatan yang dilarang daripada untuk berbuat yang positif, sedangkan moral sebaliknya, lebih mengharapkan agar orang bukan saja menahan diri (untuk tidak melakukan larangan) akan tetapi juga untuk berbuat sesuatu yang positif. Di samping itu, adanya perbedaan pandangan moral dan kepentingan berbagai kelompok yang ada di masyarakat akan menghasilkan perbedaan pilihan tentang perbuatan-perbuatan mana yang akan dijadikan tindak pidana dan yang mana yang tidak. Ini berarti terdapatnya pandangan moral tertentu (dan/atau dari kelompok tertentu) yang mendapat dukungan hukum, sedangkan pandangan moral yang lain (dan/atau dari kelompok yang lain) tidak.60 RANGKUMAN 1. Perbedaan dalam memahami kejahatan disebabkan oleh kejahatan yang bersifat relatif, bergantung kepada ruang, waktu, dan siapa yang menamakan sesuatu itu kejahatan. 60 I.S.Susanto, Op.cit. hal. 4. 60 Tingkah laku didefinisikan sebagai jahat oleh manusiamanusia yang tidak mengkualifikasikan dirinya sebagai penjahat. 2. Pendekatan yang sering digunakan dalam memahami kejahatan terdiri dari pendekatan deskriptif, pendekatan sebabakibat, dan pendekatan secara normatif. 3. Kejahatan dalam (definisi yuridis) memiliki hubungan dengan norma hukum(undang-undang), agama, kebiasaan, dan moral (kesusilaan). LATIHAN 1. Apa yang dimaksud dengan kejahatan bersifat relatif 2. Sebutkan perbedaan penanganan kejahatan berdasarkan konsep peradilan personal dengan penaganan kejahatan dewasa ini di Indonesia melalui sistem peradilan pidana 3. Bandingkan ke tiga pendekatan yang digunakan dalam mempelajari kejahatan (pendekatan deskriptif, sebab akibat dan normatif). 4. Bagaimanakah penjelasan Mannheim terkait dengan hubungan kejahatan dengan moral (kesusilaan) GLOSSARIUM 1. Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. 2. Mala prohibita adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam perundang-undangan. 61 3. Nullum crimen sine lege” artinya tidak ada kejahatan (penghukuman) sebelum ada aturan (undang-undang) yang melarang perbuatan jahat. 4. Misdaad is benoming artinya tingkah laku didefinisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan dirinya sebagai penjahat. DAFTAR PUSTAKA I.S.Susanto, 1991, Diktat Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. J.E. Sahetapy, 1979, Kapita Selekta Kriminologi, Alumni, Bandung. J.E. Sahetapy, 1981, Kausa Kejahatan dan Beberapa Analisa Kriminologik, Alumni, Bandung. L.J. Van Apeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta. Made Darma Weda, 1996, Kriminologi, RajaGrafindo Persada, Jakarta. 62 BAB IV PENELITIAN DAN METODE KRIMINOLOGI Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang penelitian dan metode kriminologi. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu: 1. Menjelaskan tentang riset kriminologi dan kegunaannya 2. Menjelaskan metode-metode dalam kriminologi 3. Menjelaskan Statistik kriminal. A. Riset kriminologi dan kegunaannya Riset dapat didefinisikan sebagai penggunaan prosedur baku/sistematik dalam mencari pengetahuan. Riset kriminologi mempunyai kegunaan: 1. Kegunaan teoritis: dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan, perbaikan dan penggantian terhadap teori-teori kriminologi serta metode dalam penelitian kriminologi. 2. Kegunaan praktis: khususnya untuk membantu perbaikanperbaikan dalam bidang pembinaan dan pebegakan hukum pada umumnya.61 Disamping kegunaan seperti di atas, riset kriminologi mempunyai arti penting sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut: 61 I.S.Susanto, Op. Cit. hal. 18. 63 1. Akan menghilangkan atau paling sedikit mengurangi kepercayaan yang salah. Terutama yang menyangkut sebabmusabab kejahatan serta efisiensi pelbagai cara pembinaan narapidana disamping konsepsi prevensi yang efektif. 2. Dalam sisi positifnya suatu penelitian dapat bermanfaat untuk meningkatkan pembinaan pelanggar hukum dan lebih jauh menggantikan cara yang usang dalam pembinaan pelanggar hukum,berupa manfaat individual yang mampu menghapuskan perilaku yang semakin menghayati hakekat kejahatan. 3. Hasil penelitian kriminologi lambat laun memberikan manfaat melalui penelitian kelompok kontrol dan penelitian ekologis yang dapat menyediakan bahan keterangan yang sebelumnya tidak tersedia mengenai non delinkuen dan mengenai ciri-ciri pelbagai wilayah tempat tinggaldalam hubungannya dengan kejahatan,berarti mencakupunsur penting bagi pendekatan subyektif dan obyektif.62 Dengan demikian penelitian kriminologi dengan berbagai metodenya, menempati posisi penting untuk perkembangan ilmu dan untukpenanggulangan kriminalitas dalam rangka mengsukseskan pembangunan nasional. B. Metode Kriminologi Sebagai disiplin idiografik dan nomotetik, serta sebagai pengaruh penerimaan filsafat positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, maka kriminologi dalam melakukan studinya, khususnya dalam usaha mencari sebab-sebab kejahatan, menggunakan metode baik yang digunakan oleh ilmu-ilmu sosial maupun ilmu-ilmu alam. Menurut H. Mannheim, metode yang digunakan dalam penelitian kriminologi63 adalah: 1. Metode primer: 62 63 Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit. hal 73. Loc. Cit. 64 a. Statistik kriminal yaitu angka-angka yang menunjukkan jumlah kriminalitas yang tercatat di suatu tempat dan waktu tertentu. b. Tipologi: mempelajari kejahatan dan penjahat dengan melihat-ciri-ciri dan fenomena tersebut. c. Studi kasus atau individual: mempelajari kejahatan dengan melalui penyelidikan terhadap kasus-kasus individual dengan secara mendalam seperti tentang sejarah kejahatannya (karier) dan sejarah kehidupan lainnya yang dipandang relevan. Ini dapat dilakukan dengan cara wawancara, kuesioner, otobiografi, biografi dan sebagainya. 2. Metode Sekunder: Penggunaan metode ini biasanya bersama-sama dengan salah satu atau lebih metode primer. Yang termasuk metode sekunder adalah: a. Metode Sosiologis. Mempelajari lembaga, kelompok, daerah yang dipandang mempeunyai relevansi dengan kejahatan. b. Metode Eksperimental. Metode ini biasanya dipakai dalam ilmu alam dan psikologi. Di dalam kriminologi, metode ini terutama dipakai untuk studi tentang pemidanaan dan etiologi kriminil. c. Metode Prediksi. Metode ini misalnya dipakai oleh usamiisteri Glueck dalam studinya terhadap anak-anak delinkuensi dalam usahanya untuk meramalkan perlaku masa depannya. d. Metode Operasional (action research). Metode ini terutama digunakan untuk usaha-usaha pencegahan kejahatan atau perbaikan dalam tindakan terhadap pelaku kejahatan. 65 Metode-metode yang pernah diterapkan sejak perkembangan kriminologi awal abad ke 19 hingga perkembangan mutakhir yang telah berkembang kemanfaatannya ke arah studi kriminologi pembangunan, menurut Soedjono Dirdjosisworo64 adalah: 1. Metode pengobatan. 2. Metode statistik. 3. Metode hubungan antara kejahatan dan kondisi-kondisi menurut statistik. 4. Metode kasus perkara. 5. Metode riwayat hidup. 6. Metode penelitian partisipan. 7. Metode jangka panjang Dari berbagai metode di atas, statistik kriminal dipandang sebagai metode yang mempunyai kedudukan utama dalam kriminologi, karenanya akan dibicarakan secara khusus. Arti statistik kriminal bagi kriminologi sangat penting, bukan saja sebagai metode dan data kejahatan, akan tetapi statistik kriminal juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk gambaran orang mengenai realitas kejahatan atau sebagai kontruksi sosial tentang kejahatan. Dalam membicarakan statistik kriminal, perlu dicatat nama Adolphe Quetelet (1776-1874), seorang Belgia ahli statistik dan guru besar astronomi di Brussels telah berhasil menjadikan statistik suatu mode ilmu pengetahuan serta menciptakan dasardsar statistik praktis. Dialah yang dengan menggunakan data statistik kriminal di Prancis untuk pertamakali membuktikan bahwa kejahatan, seperti halnya dengan banyak kejadian-kejadian sosial lainnya seperti perkawinan, kelahiran dan kematian, maka juga kejahatan merupakan lebih daripada sekedar kejadian yang 64 Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit. hal 81. 66 bersifat perseorangan, melainkan sebagai fenomena yang bersifat massal, sehingga statistik kriminal karenanya menjadi metode yang lebih baik daripada metode yang lain untuk mempelajari kejhatan yang bersifat massal tersebut, yaitu dalam menemukan keteraturan, kecendrungan atau bahkan hukum-hukum sosial. Pengamatannya yang sangat terkenal adalah bahwa jumlah dan jenis kejahatan di negara tertentu setiap tahun cenderung sama dan juga cara melakukannya adalah sama. Statistik kriminal adalah angka-angka yang menunjukkan jumlah kriminalitas tercatat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Statistik kriminal ini disusun berdasarkan kriminalitas yang tercatat, baik secara resmi (kepolisian, kejaksaan, Pengadilan dan sebagainya) maupun yang dicatat sendiri oleh para peneliti sendiri. Kriminalitas yang tercatat ini hanya merupakan sampel dari seluruh kriminalitas yang terjadi. Sedangkan jumlah kriminalitas yang terjadi tidak pernah diketahui. Bagian kriminalitas yang tidak diketahui ini dinamakan “angka gelap” (hidden criminality atau dark numbers/dark figures).65 Oleh karena itu salah satu kelemahan dari statistik kriminal adalah tidak lengkap. Dan memang statistik kriminal tidak pernah dapat mencatat seluruh kriminalitas yang ada. Jika statistik itu digunakan untuk penyelidikan etiologi kriminal maka tidak dibutuhkan lengkapnya bahan-bahan akan tetapi asal bahanbahan tersebut cukup representatif, artinya apakah perbandingan antara yang diketahui dapat dikatakan tetap (pars pro toto). Adapun tujuan dibuatnya statistik kriminal oleh pemerintah adalah untuk memperoleh gambaran/data tentang 65 J.E. Sahetapy, dan B. Mardjono Reksodiputro, Parados dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1982. hal. 28. 67 kriminalitas yang ada di masyarakat, sepertijumlahnya, frekuensinya serta penyebaran pelakunya dan kejahatannya. Berdasarkan data tersebut kemudian oleh pemerintah (khususnya penegak hukum) dipakai untuk menyususn kebijaksanaan penanggulangan kejahatan, sebab dengan data kejahatan tersebut pemerintah (penegak hukum) dapat mengukur naik turunnya kejahatan pada suatu periode tertentu di duatu daerah atau negara. Pengukuran ini tentunya hanya dapat dilakukan dengan asusmsi bahwa hubungan antara kriminalitas yang dilaporkan dengan yang tidak dilaporkan adalah tetap (konstan). Asumsi ini tidah pernah terbukti karena beberapa hal, terutama karena tiga hal: a. Sifat dari kejahatan, b. Peranan korban dan masyarakat c. Aktivitas dari aparat penegak hukum khususya polisi.66 Mengingat tidak semua kejahatan dirasakan sama beratnya bagi masyarakat, maka dalam usaha menggunakan statistik kriminal sebagai alat pengukur kejahatan, disusun suatu “indeks kejahatan” (crime index), yaitu bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang digunakan untuk mengukur naik turunnya kejahatan. Untuk Polda Jawa tengah misalnya, pada waktu itu ditentukan delapan jenis kejahatan yang dilasukkan dalam indeks kejahatan, yaitu: pembakaran, kebakaran, kejahatan terhadap mata uang, pembunuhan, penganiayaan berat, pencurian dengan pemberatan, pencurian dengan kekerasan, pencurian kendaraan bermotor, dan penyalahgunaan narkotika.67 Berdasarkan gambaran kejahatan yang terdapat dalam indeks kejahatan, kemudian disusun kebijaksanaan 66 67 Ibid, hal. 29 I.S.Susanto, Op. Cit. hal. 21. 68 penanggulangan kejahatan untuk suatu daerah tertentu. Untuk dapat mengukur perkembangan kriminalitas di daerah tertentu dengan baik, maka angka mutlak yang terdapat dalam statistik kriminal dihubungkan dengan perkembangan jumlah penduduk sertaciri-ciri penduduk lainnya (seperti jenis kelamin, usia), yaitu dengan menghitung angka perimbangan (rate) antara jumlah kejahatan dengan jumlah penduduk, biasanya dihitung per 100.000 penduduk. Usaha mendayagunakan statistik kriminal antara lain dilakukan dengan mengungkap angka gelap dengan melakukan survai terhadap korban (victim survey) dan penelitian tentang laporan pribadi (self report study). Disamping untuk penggunaan praktis, khususnya bagi tujuan pemerintahan, statistik kriminal juga dipakai oleh para ilmuwan, khususnya kriminologi, sebagai data kejahatan untuk menjelaskan fenomena kejahatan atau menyususn teori. Terhadap cara-cara penggunaan statistik kriminal oleh pemerintah (polisi) dan kriminologi yang menganggap statistik kriminal sebagai mencerminkan kejahatan yang ada di masyarakat, dalam arti diterima sebagai sampel yang sah, mengandung beberapa kelemahan.68 1) Statistik kriminal adalah hasil pencatatatan kejahatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (khususnya polisi) berdasarkan laporan korban dan anggota masyarakat pada umumnya. (Berdasarkan berbagai studi, sekitar 80-90% pencatatan tersebut berasal dari laporan masyarakat). Ini berarti bahwa hasil pencatatan terutama dipengaruhi oleh kemauan korban untuk melaporkan. Dari berbagai penelitian dapat ditunjukkan bahwa kecendrungan korban untuk melaporkan dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti jenis-jenis 68 Soedjono Dirdjosisworo, Op.Cit, hal. 90. 69 kejahatan, nilai kerugian, pandangannya terhadap kemampuan polisi, hubungannya dengan pelaku kejahatan, serta berbagai kepentingan praktis lainnya. 2) Apa yang disebut sebagai kejahatan, dalam perwujudannya akan menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk prilaku dan seringkali tidak jelas, samar-samar sehingga memerlukan penafsiran. Menafsirkan suatu kejadian atau fakta tertentu sebagai kejahatan dipengaruhi oleh pengetahuan dan persepsinya tentang apa yang disebut sebagai kejahatan. 3) Dari berbagai studi dapat ditunjukkan bahwa persepsi korban (dan masyarakat) terhadap kejahatan bersifat berat sebelah (bias) yaitu terutama mengenai kejahatan konvensional dan sangat langka dengan kejahatan white collar. Akibatnya kejahatan yang dilaporkan juga bersifat berat sebelah yaitu terutama berupa kejahatan konvensional dan sangat langka dengan kejahatan white coollar. 4) Persepsi polisi juga berat sebelah. Dari Jenis-jenis kejahatan yang dijadikan indeks kejahatan, yang berarti akan mendapatkan prioritas dalam penanggulangannya- terutama juga berupa kejahatan konvensional. Akibatnya kejahatan yang mendapat perhatian polisi, yang pada akhirnya masuk dalam statistik kriminal-terutama juga berupa kejahatan konvensional. Dengan melihat beberapa kelemahan tersebut dapat disimpulkan bahwa statistik kriminal bukan merupakan pencerminan kejahatan yang ada dalam masyarakat, akan tetapi hanyalah merupakan gambaran tentang aktivitas penegakan hukum. 70 RANGKUMAN 1. Kegunaan riset kriminologi secara teoritis yaitu dapat memberikan sumbangan dalam pembentukan, perbaikan dan penggantian terhadap teori-teori kriminologi serta metode dalam penelitian kriminologi. Sementara kegunaan praktis, khususnya untuk membantu perbaikan-perbaikan dalam bidang pembinaan dan pebegakan hukum pada umumnya. 3. Metode kriminologi terdiri dari metode primer yaitu: Statistik kriminal, Tipologi, dan studi kasus. Metode Sekunder meliputi: metode sosiologis, metode eksperimental, metode prediksi, dan metode operasional (action research). Penggunaan metode sekunder biasanya bersama-sama dengan salah satu atau lebih metode primer. 4. Statistik kriminal adalah angka-angka yang menunjukkan jumlah kriminalitas tercatat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Adapun tujuan dibuatnya statistik kriminal oleh pemerintah adalah untuk memperoleh gambaran/data tentang kriminalitas yang ada di masyarakat, seperti jumlahnya, frekuensinya serta penyebaran pelakunya dan kejahatannya. guna menyusun kebijaksanaan penanggulangan kejahatan, sebab. Disamping riset dan metode dikenal pula dengan sarana-sarana untuk penggalian data yang sekaligus merupakan sumber-sumber berharga sebagai pegangan bagi yang berminat mempelajari kriminologi secara lebih terarah. Sarana-sarana itu adalah: 1. Statistik kriminal; 2. Kriminografi; 3. Angket mengenai biodata Narapidana 4. Autobiografi dan Biografi kriminal; 5. Novel (roman) sosial; 6. Pengamatan pribadi dan berita surat kabar. 71 LATIHAN 1. Jelaskan jenis-jenis metode ilmiah yang digunakan kriminologi, bagaimanakah cara penggunaan metode tersebut? 2. Kemukakan pengertian statistik kriminal dan tujuan pembuatannya 3. Apakah kekurangan-kekurangan metode statistik kriminal tersebut. GLOSSARIUM 1. Statistik kriminal adalah angka-angka yang menunjukkan jumlah kriminalitas tercatat pada suatu waktu dan tempat tertentu. 2. Crime index yaitu bentuk-bentuk kejahatan tertentu yang digunakan untuk mengukur naik turunnya kejahatan 3. Hidden criminality atau dark numbers/dark figures yaitu jumlah kriminalitas yang terjadi tidak pernah diketahui. DAFTAR PUSTAKA J.E. Sahetapy, dan B. Mardjono Reksodiputro, 1982, Parodos dalam Kriminologi, Rajawali, Jakarta. I.S.Susanto, 1991, Diktat Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung. 72 BAB V TEORI SEBAGAI PENUNTUN DALAM PENELITIAN KRIMINOLOGI Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pentingnya teori sebagai penuntun dalam penelitian kriminologi. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan pentingnya teori dalam penelitian kriminologi. 2. Mengungkapkan perkembangan teori dan penelitan terhadap kriminologi. A. Teori dan Penelitian Para kriminolog yang saat ini mengkonsentrasikan perhatiannya pada pengembangan teori, mencari jalan untuk mengukuhkan generalisasi mereka dengan mengambil referensi tulisan-tulisan yang bernada tajam dari Parsons dan Merton. Kebanyakan ahli teori kriminologi terikat secara bertahap atau sekaligus oleh penelitianpenelitian empiris, kuantitatif atau statistik yang lebih diarahkan pada teori para penulis dengan karyanya yang paling baru dan penting dibandingkan yang hanya melakukan koleksi data belaka. Dalam menunjukkan teori fungsional struktural, Parson menguji pendekatan “faktor” dengan mengatakan “ Not the least delecterious effect of the “Factor” type of theorizing....is the division of the field into waring school of thought”. Atas dasar ini setiap mazhab mempunyai justifikasi empiris yang kukuh tapi masing-masing secara sama sebagai hasil dari kebutuhan akan liputan sistem itu, mengaitkan konflik-konflik dan kesukaran- 73 kesukaran yang tak dapat diatasi dengan intepretasi lain dari fenomena yang sama. Dalam keadaan demikian tidaklah mengejutkan bahwa teori semacam ini seharusnya tidak dipercaya dan banyak dari pendapatpendapat yang bijaksana dan obsesif dikecewakan dan menjadi penganut paham empiris yang dogmatis, menolak sebagai prinsip yang dapat dilakukan oleh teori ilmu. Mereka merasakan hanya sebagai hal yang spekulatif. Jadi kemajuan ilmu hanya dapat berisi dalam akumulsi penemuan fakta yang abstrak yang tidak saling berhungungan dan tidak terarah. Suatu pengkonsepan () yang luas yang disebut “sociological imagination” ciptaan Hills, oleh para ahli teori secara implisit dipandang superiors dari pada yang dilakukan pengumpulan data secara serampangan yang didasarkan atas teori faktor ganda yang didasarkan pada pengalaman yang sering dipaparkan dalam artikel tentang teori kriminologi. Para pengumpul data berpendapat bahwa para ahli teori sedang terlibat di dalam penelitian “fundamental” yang hanya akan terganmtung padanya, dimana teori kriminologi dapat bersandar, kecuali bila data yang dikumpulan dan diarahkan cukup dengan cara metodologis yang tepat tak akan timbul teori-teori penting dan tahan lama . Teori dengan skala makroskopis yang luas mungkin lebih diinginkan (differential association, culture conflict, subcultures), tetapi teori sejenis ini isinya harus merupakan hasil penelitian dalam tingkat “inquiry” (pemeriksan) yang lebih sederhana, dan tidak dibuat-buat. Argumen ini lebih merupakan seruan untuk mempergunakan teori pendekatan “middle range” dari Merton, karena ajuan Merton mengenai reduksi abstraksionisme pada dimensi-dimensi yang dapat dicapai, masih dibutuhkan investigator “the middle range” yang harus berfungsi di dalam 74 kerangka atau frame work pelaksanaan menuju rangcangan yang luas, paradigma atau sistem teoritis.69 Menurut anjuran Merton, formasi hipotesis adalah suatu fungsi dari teori yang dewasa ini berasal dari penelaahan, seperti yang dikerjakan oleh Short dan lainnya dengan mencari ukuran intensitas, frekuensi, daya tahan dan lain-lain secara sosiometri dan tehnik-tehnik lain serta teori “differential association” dari Sutherland atau Yeye Wardene yang mencoba melengkapi indeks dari konflik norma-norma yang digambarkan oleh Sellin, agar masuk kedalam range ini. Walaupun pengumpul data dalam teori faktor ganda mendapatkan penelitian semacam ini tetapi tak begitu merugikan karena pada akhirnya, data yang sedang dikumpulkam tidak mencerminkan kesetiaan pada pendekatan yang berdasarkan pengalaman. Sebaliknya pengajar multiple faktor merasa gelisah tentang fakta bahwa penelitian jensi ini adalah terbatas di dalam ruang lingkupnya dan dibatasi atau dilindungi oleh penahanan perspektif teoritis yang tidak benar-benar secara bebas mengabaikan fakta-fakta penting di luar range teori dan mempunyai kesempatan yang sama dengan ditimbang, dikumpulkan dan dihitung berdasarkan asumsi-asumsi apriori yang dapat dicakupnya, yang membatasi dan menentukan terlebih dahulu intepretasi a posteriori pengaruh dan frekuensi data menjadi hanya kekayaan dalam “quantifying” suatu posisi teoritis yang akan ditentukan kelak.70 Apabila teori dapat ditulis tanpa data, maka data yang dikumpulkan untuk menguji hipotesis yang diturunkan dari teori tersebut adalah adalah data yang dipilih secara sangat sempit, dan 69 SoerdjonoDirdjosisworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 39. 70 Ibid, hal. 41. 75 bila beberapa hari hipotesis ini ditolak, teori tersebut tetap tak berubah. Akibatnya tidak dapat dihindari bahwa hipotesis yang ditunjang dan dikukuhkan menjadi himpunan untuk menyangga teori atau penbaian besarnjya moralitas yang tumbuh dari teori itu. Teori tanpa data mendasarkan hipotesis yang “testable” dipanudang premature karena meletakkan “blinder” bagi investigatornya dan tidak memasukkan atau mengecilkan arti fakta-fakta yang tidak sesuai prakonsepsi teori itu. Observasi-observasi tetap tinggal “thin” (tidak meyakinkan) dan atau “skeletal” (bagian luar atau rangkainya saja). Ciri yang serupa telah ditunjukkan di dalam beberapa teori seperti Cohen,71 Block dan Niererchafer Miller, Cloward dan Ohlin, Dsb. Apa yang telah ditekankan oleh Cohen telah didiskusikan dalam hubungannya dengan struktur kelas, perubahanperubahan cultural (cultural changer dan role playing) dia melihat perkembangan delinquen sub-culture sebagai suatu proses yang membangun, mempertahankan dan memperkuat kode tingkah laku yang sesungguhnya merupakan suatu inverse dari nilai-nilai yang dominan (middle class), delinquen sub-culture dipegang untuk dikembangkan dan dipelihara sebagai solusi problem-problem yang dihadapi oleh para remaja “lower class” yang berhubungan dengan statusnya. Cohen menyatakan “middle class” male delinquensi sebagai akibat dari kegelisahan para pemuda yang menanjak dewasa berhubung dengan peran kejahatannya. Posisi Cohen telah ditinjau, diperbesar, diperluas dan sedikit direvisi oleh Cloward dan Ohlin. 71 Albert Cohen adalah murid Robert K. Merton dan Edwin H. Sutherland. Bersama Richard Cloward dan LIoyd Ohlin dia mengembangkan teori sub-culture, yang merupakan perpanjangan dari strain theory, social disorganization theory dan differential association theory (teory yang ungkapkan oleh Edwin H. Sutherland). Lihat Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001, Kriminologi,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 80. 76 Soal yang hangat mengikuti pokok-pokok pandangan teoritis dari ketiga pengarang tersebut adalah deskripsi delinquen sub culture yang muncul dari pembagian berdasar struktur sosial (social structured division) antara aspirasi-aspirasi pada pemuda lower class dan the means (kesempatan) yang tersedia bagi mereka untuk menyadari aspirasi itu. Sosialisasi lower class tidaklah mempersiapkan para remaja untuk melaksanakan sesuai dengan kebutuhan dan harapan suatu intitusi middle class seperti sekolah dan akibatnya para pemuda lower class ini menderita apa yang disebut “status deprivation” dan harga diri yang rendah (law estimated of self). Interaksi sejumlah pemuda semacam ini di kota atau urban area menimbulkan pendirian bebarapa nilai-nilai kelompok ini memungkinkan mereka mendapat kesempatan untuk “sembuh” dari harga diri yang hilang dan menetralkan diri terhadap akibat lebih lanjut dari “hukuman status”. Oleh karena itu “ststus deprivation” menyebabkan motivasi timbulnya lower delinquen sub culture yang sama pentingnya adalah “status punishment” yang dipusatkan diantara kelompok lower class yang apada saat bersamaan juga terhimpun di bagian daerah tertentu dalam masyarakat yang besar, satu kali delinquensi sub culture terbentuk, bisa terjadi individu-individu menggabungkan diri hanya untuk sebab-sebab yang mempunyai hubungan sedikit saja dengan motivasi asal.72 Teori lain yang agak berbeda dan bahkan sebagian berlawanan dengan pandangan-pandangan Cloward, Ohlin diperkenalkan oleh Bloch dan Nierder Haver. Pandangan ini menekankan unsur-unsur umur dan jalan masuk yang berbeda-beda (diferential acces), akibat umur juga sampai ketujuan macammacam materi dan pengaruh lingkungan masyarakat. Gang-gang 72 Ibid, hal. 42....... untuk lengkapnya baca juga David J. Bordua, sociological theories and their implications for juvenile delinquensi. 77 remaja muncul dalam usaha untuk menciptakan dan mempertahankan sekumpulan lambang status yang akan dapat membantu para remaja untuk memperoleh hak-hak dan hak-hak khusus dari kaum dewasa. Dengan demikian terhadap struktur sosial antara chillhood dan adulthood direduksi sebagian. “Pelantikan” oleh gang kepada anggotanya dalam bentuk bermacam-macam lambang, termasuk tato yang seragam, nama kelompok, mempunyai fungsi ritual yang sama seperti: “rites the passage” yang biasa ditemukan dibanyak masyarakat primitiv. Walter B. Muller dalam suatu arti berjudul lower class culture as a generating milleu of gang delinqunsi membenarkan bahwa norma-norma kejahatan yang ditemukan dalam beberapa bagian dari kota-kota modern pada umumnya adalah versi “lower class culture” pada remaja. Sistem kultur ini meletakkan dasar dalam dirinya nilai-nilai yang tinggi pada anggapan kelompok mereka sendiri yang antara lain berupa sikap perilaku yang kontras dan kata-kata sandi yang dimengerti oleh kelompok itu, dan beberapa ciri tingkah laku yang umunya didapatkan dalam kehidupan gang. Pendirian Miller melawan paham bahwa “the street gang” atau “delinquent sub-culture” muncul dari reaksi terhadap tuntutantuntutan middle culture. Dia menekankan pandangan bahwa the lower class culture adalah suatu keseluruhan yang sistematis dari kepercayaan, nilai vocal concerned yang ada di dalam kebenarannya sendiri dan telah berjalan selama beberapa genererasi. Dari perspektif ini, the lower class culture yang bertentangan dengan middle clas culture yang dominan tidak dipandang sebagai reaksi terhadap kepercayaan, norma-norma dan nilai-nilai dari middle class yang berkembang disekitar lingkungan variasi sosial berdasarkan umur, seks, kelas, dsb. 78 Kultur ini mempunyai ciri sekumpulan nilai yang distinctive dan oleh “ female based family” sebagai bentuk kerumah tanggaan “household home”. anak-anaknya tidak sah tetapi yang paling kritis adalah fakta bahwa sistem rumah tangga tak memerlukan bantuan ekonomi yang regular dari kaum pria agar hidupnya berlangsung terus. Kaum wanitanya secara bergantian merawat anak-anak mereka yang sedang bekerja dan pembayaran kesejahteraan umum, penghasilan yang rutin, cross-sex tidak membatasi umur dan sek per grup, demikian dikatakan Miller terjadi untuk memenuhi fungsi-fungsi yang genting sepanjang hidup. Namun demikian ada problem psikologis khusus bagi laki-laki muda di dalam sistem sosial seperti ini sejak lahir sehingga menginjak masa dewasa, anak laki-laki dipelihara di dalam lingkungan perempuan yang pre dominan dan model-model identifikasi peran yang berbeda pada umum hampir tidak ada. Keinginan untuk membuktikan kejantanan seseorang ditambah dengan keinginan untuk menjadi anggota lakilaki dewasa yang sukses di dalam lower class culture membutuhkan latihan keremajaan dengan minuman keras, keuletan dan respon yang cepat dan agresif terhadap ransangan khusus yang merupakan karakteristik kaum laki-laki dewasa lower class. Latihan semacam ini menyangkut kegiatan yang tidak perlu melanggar hukum tetapi sering menyangkut partisipasi dalam tingkah laku yang dipandang melanggar hukum oleh wakil-wakil penguasa dari middle class culture dengan begitu menurut pandangan Miller, lower class culture mempunyai sistem nilainya sendiri, preskripsi tingkah laku yang mempromosi di dalam rangka kerja dari seorang delinquen dari pada ketiadaan beberapa nilai lainnya. Daerah yang digambarkan oleh Miller muncul sebagai slums (daerah tempat tinggal orang miskin) “lower working class” tertentu di Inggris, dimana pelanggaran hukum merupakan hal-hal yang umum dari kaum remaja bahkan diantara anak-anak muda 79 yang secara regular sering mengunjungi rumah-rumah yang dihuni sebagaimana dilaporkan oleh John Baron Mays di dalam bukunya Growing Up In the City.73 Pelanggaran hukum yang dianggap umum oleh kaum remaja merupakan suatu contoh dari bentuk teori sub-culture. Dalam budaya kelompok, kelompok-kelompok yang relatif kecil ini mempunyai pandangan sendiri mengenai nilai sosial dan perilaku sosial, sehingga perbuatannya yang oleh masyarakat dianggap devian-behaviour atau perilaku menyimpang, menurut kelompok yang berbuat dianggapnya perbuatannya wajar dan benar sesuai ukuran sub budaya kelompoknya. B. Perkembangan Yang Sedang Berlangsung Dalam Teori dan Penelitian. Antara tahun 1960-1965, telah pula muncul pernyataanpernyataan baru dalam teori kriminologi dan penelitian baru yang berbungan dengan garis-garis besar teori ini dan revisi-revisi yang datangnya dari hasil penelitian serta merupakan refleksi dari problem-problem dan persoalan-persoalan dasar. Cressy di dalam delinquensi, crime and differential association telah menghiasi dan memperluas teori differential association Sutherland dan dangan begitu menambah kejelasan dan keyakinan mengenai cara pendekatan yang ia pegang. Penjelasan seksama dan dapat memberikan kesempatan baru mengadakan penelitian untuk menguji teori tersebut dan diterapkan ke dalam situasi klinis termasuk prefensi dan terapi. Tidaklah tepat untuk menggambarkan dan mengkritik teori penelitian dalam 73 Marvin E. Wolfgang & Franco Ferracuti, 1967, The Subculture of Violence: Toward and Integrated Theory in Criminology, Tavistoct Publications, London, New York, Sydney, Toronto, Wellington, hal. 45-49. 80 ulasan sekarang ini, tetapi dapat diduga bahwa pernyataanpernyataan baru Cressy mengenai differential association akan membawa kepada diskusi dan penerapan lebih anjur secara hidup. Perlu dicatat bahwa Cressy juga mempunyai sub pandangan dalam karyanya yang baru berjudul Some Obstacles to Generalizing in Criminology, yang pada umumnya sesuai dengan pemikiran tentang the multiple faktor approach yang kontras dengan teori building. Lebih-lebih penjelasan teori Cressy pada umumnya akan lebih baik dari pada Cross empiricism yang dikenal sebagai kejahatan yang disertai dengan penjelasannya. Tentang penggunaan differential association model yang dilaksankan di Chicago, baru-baru ini A.C. Reis dan A. L. Rhodes membuat tes empiris dari teori ini untuk menentukan apakah anakanak muda di dalam kelompok pergaulan yang erat mempunyai pola yang spesifik sama dalam tingkah laku berbuat kejahatan. Datanya tidak merupakan indikasi melainkan penjelasan yang layak, namun demikian mereka benar-benar mendukung teori sub culture dari Cohen dan Walter Miller sebagaimana pendapat Reiss dan Rhodes “delinquensi para remaja middle class, khususnya untuk pelanggaran yang lebih serius tidak tergantung pada pemilihan teman karena diantara para remaja lower class kemunkinan melakukan pelanggaran hukum atau berbuat kejahatan tidak selalu dihubungkan dengan aktivitas kejahatan teman dekatnya”. Pada umumnya, penelaahan studi ini menekankan kesulitan penarikan kesimpulan dari pengujian teori differential association dan kebutuhan untuk menguji hipotesi-hipotesinya dalam pergaulan dan hubungan-hubungan lainnya. Dalam suatu studi multiplace dari anomie dan nilai-nilai kelas dalam kehidupan Amerika, Muzruchi secara sistematis menilai dan menggunakan teori struktur sosial Durkheim dan Merton. 81 Di dalam success dan opportunity, penelitian empiris dan konseptualisasi membawanya kearah analisa culture goals alienation (pemindahan hak) dan arti sukses. Sebagai alternatif Merton menambahkan tipologinya mengenai “stuctutarlsrain” atau ketegangan dalam struktur untuk menjelaskan penyelewengan dan menganjurkan bahwa kekurangan di dalam identifikasi social class tidaklah bertanggung jawa terhadap working class apathy, tetapi itu adalah kualitas spesifik dari “impian” orang Amerika. Peneliannya dilakukan tidak didasarkan agar tesis Cohen atau Cloward, Ohlin, tetapi langsung berasal dari Durkheim dan Merton. Di antara penelaahan-penelaahannya pada penilaian (assessment) dari ketidak seimbangan (disparity) antara aspirasi uccupational dahulu dan apa yang dicapai dewasa ini. ditambahkan pula, ia memisahkan 4 sumber dari “structured strain” di dalam social class system:74 a. Batas-batas luar (external limits) yang dikenakan kepada lower classes oleh middle classes yang menghalanghalangi “pencapaian tujuan kultur yang telah direncanakan; b. Disparitas antara ideoliogi yang berhasil dan kondisikondisi objektif dari kehidupan Amerika membatasi pencapaian masing- masing level dari struktur; c. Disparitas antara sistem nilai lower class dan kebutuhan untuk mencapai keberhasilan dalam masayarakt Amerika; dan d. Perbedaan-perbedaan antara “achievement” (pencapaian ) dan “success” (keberhasilan). Langsung berdasarkan pendekatan Cloward dan Ohlin adalah penelitian Spergel, Racketville, Slumtown dan Haulburg dengan judul: An Exploratory Study of Deliqunnt Subcultures”. 74 Soerdjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal. 46-47. 82 Dalam pembanding neighbourhood yang berbeda-beda dan berpola-pola karekteristik tingkah laku yang delinquent (cenderung melanggar hukum). Spergel menganalisa aspek-aspek fisik dari bidang tersebut, komposisi ethnis, kehidupan keluarga dan interaksi antara anak-anak dan orang tua, kedudukan dan penghasilan serta variasi pola aspirasi dan harapan (expectation) sesuai dengan rencana itu semakin menjadi tegas (typical) dari banyak analisa dewasa ini, aspek-aspek kritis dan struktural legitimate-illegetimale dan impact-nya merupakan bagian “subject matter-nya”. Spergel memberikan argumentasi bahwa kedua “delinquent” dan “concentinal individuals” diperintah oleh motivasi yang diinduksi secara cultural untuk memperoleh “social status”, kondisi-kondisi untuk memenuhi aspirasi-aspirasi bagaimanapun juga secara equal dapat termasuk (accessible) setiap orang. Sampai butir ini, Spergel tidak menambah hal baru pada formulasi terdahu. Ia membuat modifikasi berdasarkan asumsiasumsi Cloward dan Ohlin dalam Unitary Criminal Subcultural, dengan membagi subculture ini menjadi “racket” dan “theft” subcultures. Tetapi mungkin kontribusi terbesar dari karya ini terletak dalam contact subculture itu, yang dibangun dengan bermacammacam cara, termasuk juga intervie formal. Lebih dari itu berisikan pula “index of disfunction” berdasar pada level (tingkatan) aspirasi kerja (job aspirations) dan harapan kerja (job expectation) dan suatu bagian yang secara eksplisit dirancang untuk memngemukakan “proposal” untuk mengemukakan progamprogam aksi sosial.75 Proses perkembangan ini sedang berlangsung pesat sekali, terutama dengan pengaruh perspektif. Krisis yang objek studi penelitiannya lebih banyak tertuju pada kejahatan-kejahatan non 75 Ibid, hal, 49-51. 83 konvensional seperti pada White Collar Crime, Corporate Crime, Environment Crime, Business Crime dll, sehingga hasil-hasil penelitian akan member manfaat bagi upaya pengamanan pembangunan. RANGKUMAN 1. Para pengumpul data berpendapat bahwa para ahli teori sedang terlibat di dalam penelitian “fundamental” yang hanya akan terganmtung padanya, dimana teori kriminologi dapat bersandar, kecuali bila data yang dikumpulan dan diarahkan cukup dengan cara metodologis yang tepat tak akan timbul teori-teori penting dan tahan lama. 2. Antara tahun 1960-1965, telah pula muncul pernyataanpernyataan baru dalam teori kriminologi dan penelitian baru yang berbungan dengan garis-garis besar teori ini dan revisirevisi yang datangnya dari hasil penelitian serta merupakan refleksi dari problem-problem dan persoalan-persoalan dasar. Cressy di dalam delinquensi, crime and differential association telah menghiasi dan memperluas teori differential association Sutherland dan dangan begitu menambah kejelasan dan keyakinan mengenai cara pendekatan yang ia pegang. 3. Terdapat 4 sumber dari “structured strain” di dalam social class system: a. Batas-batas luar (external limits) yang dikenakan kepada lower classes oleh middle classes yang menghalang-halangi “pencapaian tujuan kultur yang telah direncanakan; b. Disparitas antara ideoliogi yang berhasil dan kondisikondisi objektif dari kehidupan Amerika membatasi pencapaian masing- masing level dari struktur; 84 c. Disparitas antara sistem nilai lower class dan kebutuhan untuk mencapai keberhasilan dalam masayarakt Amerika; dan d. Perbedaan-perbedaan antara “achievement” (pencapaian ) dan “success” (keberhasilan). LATIHAN 1. Jelaskan mengapa teori begitu penting dalam penelitian kriminologi? 2. Jelaskan perkembangan yang sedang berlangsung dalam teori dan penelitian kriminologi saat ini? 3. Sebutkan 4 sumber dari ketegangan struktur di dalam sistem kelas sosial? GLOSSARIUM 1. Differential association adalah sebuah teori yang diungkapkan oleh seorang kriminolog Edwin H. Sutherland, teori ini dibangun dari pemikiran bahwa proses belajar perilakukriminal dilakukan melalui interaksi sosial. 2. Sub-culture suatu cabang di dalam budaya dominan yang memiliki norma-norma keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai sendiri. 3. Delinquent : Seseorang yang memepunyai perilaku yang buruk/atau cendenrung untuk melakukan suatu tindakan kriminal. 4. Middle class : kelompok-kelompok masyarakat kelas menengah atas. 5. Lower class: kelompok-kelompok masyarakat kelas bawah. 6. White Collar Crime: Kejahatan kerah putih atau kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kelas pekerja (kelompok masyarakat kelas atas). 85 7. Corporate Crime: Kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. 8. Environment Crime: Kejahatan dalam bidang-bidang lingkungan. 9. Business Crime: Kejahatan dalam bidang-bidang usaha DAFTAR PUSTAKA Soerdjono Dirdjosisworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Marvin E. Wolfgang & Franco Ferracuti, 1967, The Subculture of Violence: Toward and Integrated Theory in Criminology, Tavistoct Publications, London, New York, Sydney, Toronto, Wellington. Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001, Kriminologi, PT Raja Grafindo, Persada, Jakarta. 86 BAB VI PERKEMBANGAN ALIRAN-ALIRAN DALAM KRIMINOLOGI Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Perkembangan aliran-aliran dalam kriminologi. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan perkembangan teori asosiasi diferensial. 2. Menjelaskan perkembangan strain theory. 3. Menjelaskan perkembangan teori kontrol sosial. 4. Menjelaskan perkembangan teori label. 5. Menjelaskan perkembangan teori sendiri. 6. Menjelaskan perkembangan psiko analitik. 7. Menjelaskan perkembangan ransangan psikologis. 8. Menjelaskan perkembangan pilihan rasional. 9. Menjelaskan pengertian teori juvenile delnquensi. Kriminologi lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang sangat penting sebagai salah satu ilmu pengetahuan yanginterdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua “roda besar” yang teruus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas senbagai fenomena sosial yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi. Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori kriminologi. Ada 8 (delapan) teori kriminologi yang masih relevan untuk dipelajari, yakni: 87 A. Teori asosiasi diferensial (Defferential Assosoation Theory). Seorang sarjana Perancis Gabriel Tarde (1912) adalah pertama yang mengusulkan bahwa pola-pola delinquensi dan kejahatan dipelajari dengan hal serupa seperti setiap jabatan atau okupasi, terutama sekali melalui jalan peniruan (imitate) dan asosiasi dengan yang lain. Yang berarti bahwa kejahatan yang dilakukan seseorang adalah hasil dari peniruan terhadap perbuatan kejahatan yang ada dalam masyarakat. Edwin H. Sutherland mengambil ide dasar ini kemudian dikembangakan menjadi teori “perilaku kriminal” Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar normanorma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya tehnik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan resonalisasi yang nyaman atau memuaskan bagi dilakukannya perbauatanperbuatan anti sosial.76 Pengaruh terbesar terhadap Sutherland dalam menyusun teori ini berasal dari W.I Thomas, seorang anggota aliran Chicago. Pengaruh aliran symbolic interactionism dari George Mead, Park dan Burges, srta aliran ekologi yang dikembangkan oleh Shaqw dan McKay serta hubungannya dengan Thorsten Sellin telah memberikan sumbangsih yang sangat berguna bagi Sutherland dalam mengembangkan teori asosiasi diferensial. Penyusunan teori asosiasi diferensial bertitik tolak dari tiga 76 Soerdjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal. 107. 88 teori, yaitu ecological and cultural transmission theory, symbolic interactionism, dan cultural conflic theory. 77 Sutherland memperkenalkan differential association theory dalam buku teksnya Principles of Criminology pada tahun 1939. Sejak saat itu para sarjana telah membaca, menguji, melakukan pengujian ulang, dan terkadang mengkritik teori ini, yang diklaim dapat menjelaskan perkembangan semua tingkah laku kriminal.78 Teori asosiasi diferensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa:79 1. Criminal behavior is learned (perilaku kriminal dipelajari; 2. Criminal behavior is learned in interaction with other person in a process of communication (tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam proses komunikasi). Seseorang tidak begitu saja menjadi kriminal hanya karena hidup dalam satu lingkungan yang kriminal. Kejahatan dipelajari dengan partisipasi bersama orang lain baik dalam komunikasi verbal maupun non-verbal; 3. The principal part of learning of criminal behavior occurs within intimate personal groups (bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi di dalam kelompok-kelompok yang intim/dekat). Keluarga dan kawan-kawan dekat mempunyai pengaruh yang paling besar dalam mempelajari tingkah laku menyimpang. Komunikasi- 77 Romli Atmasamita, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal. 23....Lihat juga Romli Atmasamita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung, hal. 13. 78 Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, 2008, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal 75. 79 Soedjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal. 107-112..... Lihat juga; Edwin H. Sutherland, Criminology. Edisi Kesepuluh, 1978, J. B. Lippincot Company, hal 8082. 89 komunikasi mereka jauh lebih bayak dari pada media massa, seperti film, televise dan surat kabar; 4. When criminal behavior is learned, the learning includes: 1) techniques of commiting the crime, which are sometimes very complicated, sometime very simple, and 2) the specific direction of motives, drives, rationalization, and attitudes (Saat perilaku kriminal dipelajari pembelajaran itu termasuk teknik-teknik melakukan kejahatan yang kadang sangat sulit dan kadang sangat mudah dan arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan, rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikapsikap). Delinquent muda bukan saja mempelajari bagaimana mencuri di toko, membongkar kotak, membuka kunci dan sebagainya, tetapi juga belajar bagaimana merasionalisasi dan membela tindakantindakan mereka. Seorang pencuri akan ditemani oleh pencuri lain selama waktu tertentu sebelum dia melakukannya sendiri. Dengan kata lain, para penjahat juga belajar ketrampilan dan memperoleh pengalaman. 5. The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable or un favorable (arah khusus dari motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari dari definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia menguntungkan atau tidak). Di beberapa masyarakat seorang individu dikelilingi oleh orang-orang yang tanpa kecuali mendefinisikan aturan hukum sebagai aturan yang harus dijalankan, sementara ditempat lain dia dikelilingi oleh orang-orang yang definisi-definisinya menguntungkan untuk melanggar aturan-aturan hukum. Tidak semua orang dalam masyarakat kita yang setuju 90 bahwa hukum itu harus ditaati. Sebagian orang menganggap bahwa aturan hukum itu sebagai hal yang tidak penting. 6. A person becomes delinquent because of an excess of definitions favorable to violation of law over definition un favorable to violation of law (seseorang menjadi delinquen karena definisi-definisi menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum). Ini merupakan prinsip kunci (key principle) dari differential association, arah utama dari teori ini. Dengan kata lain mempelajari tingkah laku kriminal bukanlah mata-mata karena pertemanan yang buruk. Tetapi mempelajari tingkah kriminal tergantung pada berapa banyak definisi yang kita pelajari yang menguntungkan untuk pelanggaran hukum sebaai lawan dari definisi yang tidak menguntungkan untuk pelanggaran hukum. 7. Differential association may vary in frequency, duration, priority, and intencity (asosiasi diferential itu mungkin bermacam-macam dalam frekuensi/kekerapannya, lamanya prioritasnya, dan intensitasnya). Tingkat dari asosiasiasosiasi/definisi-definisi seseorang yang akan mengakibatkan kriminalitas berkaitan dengan kekerapan kontak, berapa lamanya dan arti dari asosiasi/definisi pada si individu. 8. Process learning criminal behavior by asosiation with criminal and anticriminal patern involves allof any mechanisism that are involved in any other learning (Proses mempelajari tingkah laku kriminal asosiasi dengan polapola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang ada disetiap pembelajaran lain. Mempelajari pola-pola tingkah laku kriminal adalah mirip sekali dengan mempelajari pola-pola tingkah laku 91 konvensional dan tidak sekedar mempelajari persoalan pengamatan dan peniruan. 9. While criminal behavior is an expression of general need and values, it is not explained and values, since non criminal behavior is an expression of the same need and values (walapun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu tidak dijelaskan oleh kebutuhankebutuhan dan nilai-nilai umum tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga merupakan ungkapan dari kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama. Pencuri, mencuri untuk dapat apa yang mereka inginkan. Orangorang lain bekerja untuk memperoleh apa yang mereka inginkan. Motif-motif-frustasi, nafsu mengumpulkan harta serta status sosial, konsep dari yang rendah dan semacamnya, menjelaskan baik tingkah laku kriminal maupun non kriminal. Semenjak publikasi awal teori asosiasi diferensial ditahun 1939, Sutherland telah mengambil pendekatan mempelajari mengenai masalah kejahatan, kendatipun kontribusi Aker nampaknya membuat teori ini bahkan lebih sesuai dan harmonis dengan formulasi belajar prilaku dalam kehidupan sosial. Dalam studi permulaannya mengenai teori asosiasi diferensial, James F. Short (1957) menemukan hasil yang pada umumnya mendukung teori tersebut. Ia memang mencatat bahwa, betapapun delikuensi lebih kuat terkait dengan intensitas, daripada dengan frekuensi, lama atau prioritas asosiasi tersebut. Dalam studi jawabannya kemudian, Harwin Voss (1964) menemukan adanya hubungan atau kaitan yang mirip sekali. 92 Individu yang berasosiasi dengan kawan-kawan delinquen, cenderung untuk lebih melibatkan diri dengan perilaku delinkuen yang lebih menonjol dibandingkan dengan individu-individu yang berhubungan secara minimal dengan delinkuen yang sebayanya. Enyon dan Reckless (1961) juga mengamati bahwa kesetia kawanan dengan kawan sebaya yang anti sosial sering mendahului perbuatan kriminal yang yang dilaporkan sendiri maupun delinkuensi yang tercatat resmi. Reiss and Rhodes (1964) menyelidiki teori asosiasi deferensial dengan menggunakan 37.812 sampel yang bertingkat-tingkat dari anak laki-laki muda usia hingga 16 tahun yang didaftarkan pada sekolah-sekolah pemerintah, swasta dan gereja atau paroki di Davidson Country, Tennesse pemudapemuda tadi dikelompokkan 3 serangkai, masing-masing kelompok berisi suatu subjek bersama dua teman akrabnya. Untuk mendukung teori Sutherland tentang asosiasi diferensial Reiss dan Rhodes melaporkan bahwa pemuda-pemuda tadi dalam contohnya telah memiliki kawan-kawan yang sama delinqkuen dan kepatuhan pada hukumnya. Namun, penemuanpenemuan ini berbeda dengan golongan sosial, karena pemuda kelas pekerja memperlihatkan pengaruh asosiasi diferensial yang jelas bagi tindak pidana berat maupun kurang berat, sedangkan pemuda kelas menengah memperlihatkan pengaruh asosiasi diferensial bagi kejahatan yang tidak begitu berat tetapi tidak untuk kejahatan yang lebih serius. Untuk mendukung penjelasan yang sebelumnya mengenai pembatasan-pembatasan teori asosiasi diferensial yang relatif bagi isu-isu spesialisasi kejahatan. Reiss dan Rhodes tidak berhasil menguji tentang teori Sutherland bahwa delinkusensi itu belajar “teknik-teknik” kriminal spesifi dalam hubangan antara kawan dan sebayanya. Pengujain dan pengkajian 93 mengenai perilaku dengan acuan teori asosiasi diferensial memang sulit, karena betapapun individu memiliki kebebasan memilih. Riset akhir-akhir ini dilakuakan atas teori asosiasi diferensial adalah sekedar mengenai hal yang sama memebenarkan seperti halnya banyak penyelidikan yang lebih dini dilakukan. Robins, West dan Herjanik (1975) menemukan bahrwa delinkuensi sangat kuat asosiasi dengan delinkuensi saudara sekandung, dan Johnson (1979) melaporkan bahwa pemuda-pemuda yang dekat dengan teman-teman delinkuen lebih cenderung untuk melibatkan diri dalam kriminalitas dari pada dengan pemuda yang tidak punya kawan sepergaulan yang delinkuen. Dengan menggunakan corak prospektif, West dan Farrington (1977) mendemontrasikan bahwa kegiatan anti sosial dan rekan meramalkan perilaku delinkuen dipihak kelompok orang-orang muda London. Dalam pemeriksaan ulangan nasional mengenai kejahatan dinegara-negara yang sedang berkembang, Clinard dan Abbot (1973) mengungkapkan hasil-hasil yang sangat serupa dengan pendapat Sutherland tentang asosiasi diferensial. Selain itu pula, sementara Gary Jensen (1972) menemukan teori asosiasi difensial kurang efektif dibandingkan dengan teori sosial kontrol Hirschi, dalam mengklasifikasikan hasil-hasilnya dari proyek Richmond Youth, Rossmatsueda (1982) menentukan bahwa teori asosiasi diferensial sesungguhnya lebih unggul dibandingkan teori kontrol sosial dalam menganalisa kembali data ini dengan menggunakan langkah operasional yang lebih baik mengenai pola perilaku yang dipelajari: “nyaman atau tidak nyaman bagi pelanggaran hukum”. D. A. Andrews (1980) dari Cariton University di Ottawa, Kanada, membahas hasil 94 serangkaian studi yang dilakukan oleh ia sendiri dan rekanrekannya dengan menggunakan model intervensi kelompok masyarakat. Kelompok-kelompok masyarakat ini terdari dari 4 hingga 7 para sukarelawan masyarakat yang pada umumnya para mahasiswa dan 4 hingga 7 orang tahana penjara, dan bertemu sekali dalam seminggu selama jangka waktu 8 minggu. Para anggota tahanan yang berpartisiapasi mendemonstrasikan toleransi yang menurun untuk melanggar peraturan dan identifikasi yang merosot pula menegan unsur kriminal sedangkan sukarelawan masyarakat memperlihatkan adanya pergeseran yang berlawanan dalam sikap kearah identifikasi yang meningkat terhadap nilai-nilai kriminal. Analisa selanjutnya mengungkapkan bahwa hasil yang diobservasi mustahil sebagai akibat perhatian yang lebih digeneralisasikan memerlukan pengaruh dan akibat tadi. Sungguh disayangkan, Sutherland kurang jelas dalam menegaskan mekanisme yang mendasari asosiasi diferensial oleh karenanya, campuran sebagai model telah diusulkan dalam usaha menjelaskan secara tepat bagaimana gerangan proses asosiasi diferensial itu beroprasi. Charles R. Title, Mary Jean Burke dan Ellen F. Jackson (1986) tidak hanya mengungkapkan dukungan bagi gagasan teoritis mengenai asosiasi diferensial namun mereka juga menemukan bahwa prosses tersebut memberikan pengaruhnya pada perilaku secara tidak langsung dengan jalan konteks stimbolis yang dipelajari yaitu motivasi untuk melibatkan diri dalam kriminalitas, dan tidak langsung melalui imitasi atau model. Dalam penyelidikan kedua yang dilakukan oleh kelompok pakar riset yang sama ini (Jackson, Title dan Burk 1986), telah ditentukan bahwa sementara Sutherland bisa 95 dibenarkan dalam minta perhatian atas pentingnya asosiasi antar sebaya. Asosiasi-asosiasi ini bersifat kriminogenik hanya sejauh itu meningkatkan motivasi kriminal dan bukan karena mengajarkan dan rasionalisasi yang konsisten karena penyimpangan. Pengujian terhadap teori Differential Association:80 a. James Short menguji sample 126 anak laki-laki 50 anak perempuan dan menemukan hubungan yang konsisten antara tingkah laku delinquent dengan seringnya, lamanya, prioritas serta intesitas dengan teman-teman bermain yang delinquent. b. Albert Reiss dan A. Lewis menemukan bahwa kesempatan melakukan perbuatan delinquent tergantung apakah temantemannya melakukan perbuatan yang sama. c. Travis Hirschi menunjukkan bagaimana anak-anak laki-laki dengan teman-teman delinquent lebih mungkin menjadi delinquent. d. Charles Tittle Melakukan penelitian terhadap orang-orang dewasa dan menemukan bahwa differential association berhubungan secara signifikan dengan beberapa kejahatan sepertimperjudian illegal, kecurangan pajak pendapatan dan pencurian. B. Strain Theory (Teori Tegang) Sosiolog terkenal Perancis Emilie Durkheim (1938) membuat teori bahwa di bawah kondisi sosial tertentu, normanorma sosial tradisional dan berbagai peraturan kehilangan otoritasnya atas perilaku. 80 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, 2001, Op.cit, hal. 78. 96 Seperti halnya Durkheim Robert K. Merton mengaitkan masalah kejahatan dengan anomie, tetapi konsep anomi dari Merton berbeda dengan konsep anomi yang kembangkan oleh Dirkheim. Masalah sesungguhnya menurut Merton tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial).81 Menurut Merton, suatu masyarakat menanamkan pada anggotaanggotanya suatu hasrat untuk mencapai cita-cita tertentu dan kemudian menggariskan cara-cara yang sah melalui mana citacita tadi dapat dicapai. Itu beralasan, apabila seseorang dihalanghalangi dalam uasahanya baik itu pria ataupun wanita untuk mencapai cita-cita ini secara sah, ia akan berusaha mencapainya melalui berbagi macam manuver atau cara yang tidak legal. Individu-individu dari kelas sosial rendah menjadi frustasi dengan ketidak mampuannya untuk berpartisipasi dalam anugrah ekonomi masyarakat yang lebih luas, akan mengarahkan kembali energi mereka ke dalam kegiatan kriminal sebagai suatu cara untuk memperoleh anugerah ini. 82 Teori tegang ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya teori tegang memandang manusia dengan sinar atau cahaya yang optimis dengan perkataan lain manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan. 81 82 Ibid, hal. 61. Sorjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal.113. 97 Teori tegang ini banyak mendapatkan kecaman dari para peneliti kriminologi karena teori ini dianggap terlampau umum dan tidak cermat serta dianggap gagal dalam memeprhatikan krimnalitas orang-orang yang dibesarkan keluarga kelas menengah (Elliot dan Voss, 1975), dan meremehkan perbedaan penting individu dalam perilaku. Selain itu sangat tidak berhasil dalam memberikan penjelasan mengapa sebagian besar pemuda kelas pekerja tidak pernah mengambil jalan atau terlibat kejahatan atau mengapa banyak delinquent meninggallkan cara hidup kriminal pada saat mereka menginjak usian dewasa.83 Kekurangan atau kelemahan bahwa berlawanan dengan ramalan teori tegang, aspirasi tinggi dikalangan kaum muda kelas pekerja cenderung untuk berkorelasi secara kebalikannya dengan delinquensi demikian (Elliot dan Voss, 1974). Operasionalitas dan upaya-upaya penghematan merupakan bidang-bidang lain yang memerlukan perhatian tambahan apabila teori tegang harus banyak kegunaannya dalam memeperdalam pengertian kita dalam kejahatan dan para kriminal. Akhirnya, sementara kita jumpai adanya dukungan bagi pendirian Merton bahwa sebagian besar masyarakat Amerika mempunyai tujuan kelas menengah (lihat Erlanger, 1980), ada riset lainnya yang mempertentangkan dasar pikiran tentang teori tegang (Kitsuse dan Dutrick, 1959; Lemer 1972) sebagai respon atas banyak kecaman yang dilontarkan pada teori ini, para penyelidik telah berusaha mengintegrasikannya dengan model-model pelaku kriminal lain Cloward dan Ohlin 1960 misalnya berusaha untuk mengeintegrasikan teori strain dengan pendekatan asosiasi diferensisasi Sutherland, dengan mengargumentasikan bahwa pengaruh teori tegang tidak akan beroperasi kecuali apabila orang juga memiliki peluang untuk 83 Ibid, hal. 116-117. 98 belajar dari kawan-kawan delinquent sebayanya. Betapapun, dalam tes empiris atas teori ini Elliot dan Voss 1974 memperoleh konfirmasi bagi komponen model asosiasi diferensiasi namun akhirnya tidak memperoleh dukungan bagi komponen tegang dan anomi. Akhir-akhir ini Elliot, Ageton dan Canter 1979 berusaha meningkatkan relevansi antara teori tegang melalui mensintesakan engan teori kontrol sosial Hirschi 1969. Sementara integrasi Elliot dan rekan nampak mengemukakan banyak pendapat yang diremehkan oleh teori Strain, namun bagaimanapun masih harus dievaluasi dengan cermat dari segi pandangan empiris. Akibatnya, hal tersebut masih merupakan kemungkinan yang menarik serta menunggu analisa selanjutnya. Dari riset yang ditinjau kembali akan Nampak bahwa teori tegang hanya sedikit sekali bagi kita yang tertarik untuk mengungkapkan misteri kejahatan. dari segi kemampuannya untuk menjelaskan gaya hidup seorang kriminal mungkin bisa dibenarkan. Betapapun, teori strain dapat terbukti lebih berguna dalam menguraikan aspek kejahatan dalam masyarakat secara keseluruhan. Keributan di daerah Overtown Miami, Florida suatu lingkungan utama kelas rendah orang kulit hitam dalam bulan Januari 1989 merupakan kasus pokok. Kendatipun dimungkinkan bahwa beberapa darapa individu yang berpartisipasi dalam kericuhan gangguan keamanan ini merupakan para kriminal yang gaya hidupnya, sebagian besar terdiri dari warga yang frustasi dan murka bertahun-tahun karena ketidak samaan ekonomi dan persepsi yang tumbuh bahwa mereka merasa diberikan kesempatan-kesempatan berdasarkan hukum untuk mencapai kemajuan. Begitu kericuhan tadi selesai, bagaimanapun juga sebagian besar individu-individu ini kembali 99 kepada keluarga mereka, teman maupun pekerjaan dan bukannya meneruskan perbuatan tidak legal mereka, ini memberikan kenyataan bahwa sementara teori strain mungkin bermanfaat dalam memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang tingkat kejahatan, itu hanya berbuat sedikit sepanjang yang menyangkur data tingkat (level), kendatipun wajar sekali bagi Merton, teori tegang ini sama sekali tidak pernah ditiujukan bagi prediksi tingkat individu (Bernard 1987). Teori tegang Merton berbeda dengan asosiasi diferensial pada karir personal apabila Sutherland berusaha merumuskan proses perkembangan seseorang menjadi kriminal melalui belajar ditengah asosiasi yang ber aneka ragam, maka Merton dalam teori tegang lebih menekankan pada terjadinya peristiwa situasional dimana seseorang karena “ketegangan yang terlalu berpengaruh menjadi tanpa kendali dan berbuat kejahatan. Dalam peristiwa kekacauan massal maka peran individual yang didorong masa lebih bersifat temporer dan tidak membekas menjadi kriminal karir. Oleh karena itu tida menghemat bahwa sementara pakar dan peneliti mengkombinsikan teori tegang ini dengan teori-teori lain seperti teori kontrol sosial, teori asosiasi diferensial, dll. Pendekatan teori yang lebih bersifat psikologis betapapun dapat menjawa mengapa “A terlibat kejahatan disuatu waktu dan tempat tertentu”. Sebenarnya tekanan lebih terletak pada peristiwa insidentil yang cukup menggetarkan. C. Teori Kontrol Sosial Pengertian “teori kontrol” atau “control theory”, menunjuk pada setiap perspektif yang membahas ikhwal pengendalian tingkah laku manusia. Sedangkan pengertian “teori kontrol sosial” atau “social control theory” menunjuk pada pembahasan delinquensi dan kejahatan dikaitkan dengan variable-variabel yang bersifat 100 sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. Dengan demikian pendekatan teori kontrol sosial ini berbeda dengan teori kontrol lainnya. Pemunculan teori kontrol sosial ini diakibatkan oleh tiga perkembangan ragam dalam kriminologi, yaitu:84 Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik dan kembali kepada penyelidikan tentang tingkah laku kriminal. Kriminologi konservativ (sebagaimana teori ini berpijak) kurang menyukai “kriminologi baru” (new criminology) dan hendak kembali kepada subjek semula, yaitu: penjahat. Kedua, muncul studi tentang “criminal justice” sebagai ilmu baru telah membawa pengaruh terhadap kriminologi menjadi lebih pragmatis dan orientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah diakitkan dengan suatu teknik riset baru khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni “selfreport survey”. Sebenarnya dapat ditemukan adanya banyak teori kontrol sosial yang dirumuskan sekitar berpuluh tahun, namun tidak satupun yang benyak memberikan pengaruh pada cara berpikir kriminologi kontemporer atau pada zamannya seperti yang berasal dari Travis Hirschi 1969 yang kini menjabat sebagai guru besar tetap sosiologi di University of Arizona pendapat Hirschi adalah perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikat atau terikat dengan individu. Tidak sama halnya seperti teori tegang, argumentasi kontrol sosial tidak melihat individu sebagai orang yang secara intrisik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan anti tesis dimana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak 84 Romli Atmasamita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung, hal. 31. 101 pidana. mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinquent dipandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum. Dengan demikian, teori Hirschi lebih terfokus kepada konformitas-konformitas dari pada delinquent sementara Hirschi tidak mempertentangkan pentingnya sumber kontrol sosial langsung atau keluar, ia menambahkan bahwa kontrol ke dalam bahkan lebih kuat dalam mengarahkan perilaku manusia. Terdapat empat unsur kunci dalam teori sosial mengenai perilaku kriminal Hirschi (1969): kasih sayang, komitmen, keterlibatan dan kepercayaan. Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu. Sehubungan dengan komitment ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinquensi. Keterlibatan, yang merupakan ukuran gaya kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat. Hirschi menegaskan bahwa lebih banyak orang menggunakan waktu untuk kegiatan-kegiatan konvensional, peluang orang untuk melibatkan diri dalam perilaku kriminal akan lebih kurang. Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. 102 Kendatipun Hirschi gagal untuk menilai secara empiris bagaimana keempat unsur ini beriteraksi, ia menghipotesakan adanya kaitan antara kasih sayang dengan komitmen, kasih sayang dengan kepercayaan, serta komitmen dengan keterlibatan. Hirschi (1969) mengukur validitas dan keabsahan teori konrol sosial mengenai kriminalitas dengan jalan menggunakan pertanyaan kepa suatu kelompok sebesar 4000 siswa sekolah atas. Tidak hanya terdapat hubungan yang berarti antara delinquensi yang dilaporkan sendiri dengan kurang kasih sayang pada orang tua seseorang, seperti teori kontrol sosial meramalkannya, namun juga terdapat dukungan bagi keabsahan masing-masing dari keempat unsur kunci yaitu kasih sayang, komitment, keterlibatan dan kepercayaan.85 Berlawanan dengan pengesahan penyelidikan asal Hirschi, Michael Hindelang (1973) mengamati adanya korelasi negatif antara delinkuensi dengan masing-masing dari unsur kunci Hirschi. Perbedaan satu-satunya yang perlu diperhatikan mengenai hasil dua penyelidikan tadi adalah bahwa Hirschi mengamati adanya hubungan negatif antara kasih sayang teman sebaya dan delinkuensi, Hindelang mempertentangkan bahwa teori Hirschi memerlukan perluasan lebih jauh dari segi kasih sayang teman sebaya, karena hasil yang berbeda akan timbul dari kasih sayang pada teman sebaya konvensional lawan teman-teman sebaya non konvensional. Riset berikutnya cenderung menentukan keabsahan banya aspek dan ciri teori kontrol sosial Hirschi mengenai keterlibatan kriminal (Lihat Austin 1977), Bahr (1979), Johnson dan EVE (1976), Jonhson (1979), Poole dan Regoli, Rankin (1977). Pembatasan yang dimungkinkan bagi teori ini adalah bahwa 85 Sorjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, hal. 120. 103 hampir semua riset yang dilakukan, menggunakan sampel pelaku remaja di dalam tindak pidana. Orang dapat bertanya secara sah apakah teori Hirschi dapat banyak diterapkan pada bentuk kriminalitas usia dewasa. Dengan menyelidiki perilaku suatu kelompok yang menjalani hukuman percobaan atau probasi melanggar hukum, Linguist, Smusz, dan Doemer (1985) menyelidiki 3 dari unsur kunci Hirschi yaitu kasih sayang, komitmen, dan keterlibatan dengan maksud menilai kegunaannya untuk meramalkan keberhasilan hukuman percobaan atau probasi. Hasil penyelidikan ini telah mengungkapkan bahwa komitmen kuat korelasinya. Keterlibatan moderat korelasi dan kasih sayang sangat tidak berkorelasi dengan variable yang tergantung pada keberhasilan probasi.86 Kinquist dan rekan-rekan menarik kesimpulan bahwa hasil hal ini tidak mendukung penuh teori kontrol sosial mereka benar-benar menyatakan secara tidak langsung bahwa model Hirschi memiliki tingkat utilitas untuk diterapkan pada pelaku tindak pidana dewasa. Para penulis mengakui bahwa ketidak mampuan mereka untukkas menungkapkan adanya hubungan antara kasih sayang dengan keberhasilan pada masa pembebasan bersayarat atau parole dapat mencerminkan problem mengenain langkah-langkah yang diambil dari teori itu. Wiatrowski, Griswold dan Roberts (1981) merintis analisa dengan berbagai cara mengenai data longitudinal yang dihimpun atas 2.213 para siswa SMA Michigan. Setelah mengawasi kemampuan, kelas sosial dan performansi sekolah atau prestasi belajar, Wiatrowski dan rekan menemukan dukungan umum bagi pendirian ajaran “teori kontrol sosial”. Kendatipun unsurunsur kunci kontrol sosial serba berbeda dari maksud semula Hirischi. Sedangkan kasih sayang pada orang tua, keterlibatan 86 Ibid, hal. 120-121. 104 dalam kegiatan-kegiatan konvensional, dan kepercayaan dalam validitas moral mengenai struktur sosial yang ada, kesemuanya merupakan bagian dari pemecahan dengan berbagai variasi, komitment untuk meninggalkan analisa atau kemungkinan karena kelebijhan atau kurang diandalkan dan beberapa faktor yang diremehkan oleh Hirischi misalnya berkencan atau pacaran, kasih sayang pada sekolah mengakibatkan penyamaan. Penemuan-penemuan seperti ini menyarankan bahwa sementara model kontrol sosial menerima dukungan empiris umum, teori dibelakang data mungkin memerlukan perbaikan (Lihat juga Bernard, 1987), dengan memanfaatkan data sendiri dari Seatle Youth Study (Hindelang, Hirischi dan Weis, 1981, 1981); Jill Leslie Rosenbaum (1987), menyelenggarakan studi dimana subjek-subjek dikelompokkan melalui penggolongan tindak pidana, seperti kejahatan terhadap harta benda, menyalahgunakan obat, dan lain-lain. 87 Dalam menganalisa data ini, Rosenbaun mencatat bahwa teori kontrol sosial secara berhasil menerangkan dan mempertanggungjawabkan tindak pidana penyalahgunaan narkotika. Namun tidak begitu banyak mengenai pertanggungjawaban kejahatan atas harta benda dan pekerjaan yang kurang baik yang dapat menjurus kepada perilaku melanggar hukum. Tidak terdapatnya kaitan antara perilaku melanggar dan indeks kontrol sosial tidak harus merupakan tanda bagi teori Hirschi, betapapun karena perilaku melanggar tidak merupakan indikator delinquensi atau kecenderungan kriminal dikalangan kaum remaja. Sangat menarik kiranya, bahwa Rosenbaum menemukan hipotesa yang tumbuh oleh teori kontrol sosial, lebih meramalkan wanita, dibandingkan dengan delinkuensi pria. 87 Ibid, hal. 121-122. 105 Dapat diterapkannya teori kontrol sosial terhadap bentuk-bentuk delinkuensi wanita telah didokumentasikan juga dalam belbagai study sebelumnya (yaitu Hindelang, 1973): Jensen dan Eve 1976: Warren 1983 dan meningkatkan kemungkinan generalisasi bagi teori khusus mengenai keterlibatan kriminal ini. Sementara dapat diterapkannya asas-asas teori kontrol sosial terhadap kaum dewasa wanita, dan orang-orang dengan pelbagai status sosial (Brennan dan Huizinga 1975, Wiatrowski dan rekan, 1981) sudah barang tentu berkesan, kekuatan empiris sebenarnya suatu teori dapat sering didemonstrasikan dengan baik dengan perbandingan-perbandingan yang menggunakan pelbagai model.88 Pembaca harus mengetahui bahwa teori kontrol sosial berjalan dengan baik sekali dalam hal ini. Namun, beberapa studi riset akhir-akhir ini menunjukkan bahwa putus dari sekolah biasanya disertai tingkat kriminalitas, selanjutnya yang lebih meningkat bukan menurun (Bachman dan O Malley, 1978: Polk, Adler, Bazemore, Blake, Cordray, Coventry, Galvin dan Temple, 1981: Shavit dan Ratnner, 1988; Thornberry dan rekan 1985), suatu hubungan yang lebih jatuh lebih sejajar dengan teori kontrol sosial daripada model teori tegang. Suatu perbandingan teori nasional ulangan mengenai tingkat kejahatan di Amerika Serikat dan Swedia oleh Stack (1982) juga mengungkapkan dukungan bagi teori kontrol sosial relatif terhadap perumusan atau formulasi “teori tegang” Stephen Cernrovich (1978), sebaliknya menemukan dukungan bagi baik teori tegang maupun model model kontrol sosial dalam melaporkan sendiri atas 412 siswa pria sekolah menengah atas dan mencatat bahwa pengaruh kombinasi kedua teori ini lebih mempertanggungjawabkan variasi daripada yang dilakukan oleh 88 Ibid, hal. 122. 106 masing-masing model. Dalam analisa data dari Richmond Toouth Project, Garry F. Jensen (1972) mengumpulkan bahwa teori kontrol sosial mendapat dukungan di atas asosiasi diferensial untuk menjelaskan pola-pola delinkuen perilaku, kendatipun suatu analisa kembali atas data ini oleh Matsueda (1982) mengungkapkan hasil yang berlawanan.89 Walaupun Thompson, Mitchel dan Dodder (1984) melaporkan bahwa penemuan-penemuan mereka mengenai kasih sayang pada keluarga, asosiasi temen sebaya, dan delinkuensi lebih kongruen atau cocok satu sama lain dengan asosiasi diferensiasi daripada dengan konseptualisasi kontrol sosial. Amdur (1989) mencari kesalahan bagaimana variable-variabel dalam studi ini diukur. Dalam suatu penyelidikan yang dirancang serba lebih baik, John R. Hepbum (1976) memperoleh dukungan besar bagi teori kontrol sosial daripada perspektif asosiasi diferensial Sutherland dalam semua sampel terdiri dari 139 pria usia 14-17 di Mid. Western. Dengan menggunakan serangkaian korelasi sebagian untuk menguji kedua teori ini Hepburn menentukan bahwa definisidefinisi delinkuen, misalnya tingkat pengekangan perorangan dan hasrat untuk melibatkan diri dalam perilaku melanggar hukum, mendahului asosiasi delinquen. Poole dan Regoli (1979) juga menegaskan dukungan bagi formulasi kontrol sosial atas pengaruh teman sebaya dan kejahatan. Kaum remaja dengan dukungan lemah orang tua lebih mudah pengaruh negatif kaum sebaya, sedangkan mereka dengan dukungan kuat orang tua dapat mengisilasi remaja dari pengaruh-pengaruh kawan sebaya yang anti sosial, kendatipun kuat dalam hampir semua test empiris teori kontrol sosial tidak lepas dari celaan-celaan. 89 Ibid, hal. 124. 107 Sudah sering diargumentasikan bahwa ikatan-ikatan yang lemah itu tidak mungkin dapat dipertanggungjawabkan bagi semua kategori perilaku delinquen dan kriminal. Karena proprorsi yang kuat orang-orang dengan ikatan lemah tidak mengembangkan pola-pola penyesuaian pada delinkuen (Elliot dan rekan, 1970), Hirschi telah juga dikecam karena tidak memperinci bagaimana ikatan-ikatan itu dipelhara, pecah atau gagal membentuknya semula (Colvin dan Pauly, 1983). Selain itu, Colvin dan Pauly membawa Hirschi bertugas untuk menganut pendekatan yang sangat bercabang dua. Yaitu kuat lemah terhadap pendapat atau ikatan yang Nampak berbeda dalam berbagai dimensi, kualitatif maupun kuantitatif dan untuk mengurangi hingga seminim mungkin penonjolan cara sosialisasi dalam proses ikatan sesungguhnya. Akhirnya, tidak sama halnya seperti banyak sosiolog, Hirschi nampak meampertimbangkan pengaruh perbedaan-perbedaan individu, kecerdasan, temperamen dan watak, kendatipun ia mengusulkan efek tidak langsung. 90 Sedangkan Wilson dan Hernstein (1985) mempertentangkan bahwa beberapa dari perbedaan-perbedaan individu ini memberikan pengaruh langsung pada kejahatan dan delinkuensi. Teori kontrol sosial menyajikan suatu paradoks mengenai macam-macam. Walaupun dapat digeneralisasikan secara luas, sangat subur dan bermanfaat dan sangat wajar sekali didukung dari segi empiris, itu masih kurang dari segi kecermatan dan operasionalitasnya (lihat tabel), seperti yang ditunjukkan oleh Bernard (1987), Hirschi gagal untuk mendefinisikan dengan banyak dari istilah-istilahnya yang bahkan lebih membingungkan sekitar aspek-aspek tertentu tentang teorinya. 90 Ibid, hal. 124. 108 Versi Hirschi mengenai kontrol sosial juga kurang memiliki definisi yang tegas mengenai penyimpangan di samping juga gagal untuk membedakan secara memadai antara delinquensi dengan penyimpangan atau legalitas dan konformitas (Bernard 1987). Karena kekurangjelasan ini, teori tersebut juga cenderung untuk lebih tidak menghemat daripada seharusnya. Ringkasnya, hingga struktur teori dan presisi atau kecermatan teori Hirschi mengenai teori kontrol sosial perihal delinquensi belum bisa mengejar catatan mengesankan tentang model mengenai dukungan empiris, maka teori ini akan terus merosot potensinya. Sekalipun demikian teori kontrol sosial merupakan salah satu teori kotemporer yang memiliki daya tarik kuat dalam hal mendorong penelitian-penelitian yang cukup berarti. D. Teori Label (Labeling Thery). Teori label diartikan dari segi pandangan pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya (Gibbs dan Erickson, 1975); Plummer 1979; Schur 1971). Berdasarkan perspektif ini, pelanggar hukum tidak bisa dibedakan dari mereka yang tidak melanggar hukum, terkecuali bagi adanya pemberian nama atau label terhadap mereka yang ditentukan demikian. Oleh sebab itu, maka kriminal dipandang oleh teoretisi pemberi nama sebagai korban lingkungannya dan kebiasaan pemberian nama oleh masyarakat konvensional.91 Para teoretisi pemberi nama lebih lanjut memperdebatkan bahwa terkecuali apabila diadakan perubahan bagaimana 91 Ibid, hal. 125 109 penyimpangan itu ditangani oleh bangsa-bangsa seperti Amerika Serikat maka pengaruh-pengaruh yang merusak dari proses negatif ini akan berkepanjangan dan mengakibatkan meningkatnya tingkat kejahatan secara cepat sekali. Suatu perkembangan teori atribusi dan interaksionalisme simbolis, teori labeling ini membuat hipotesa bahwa hubungan-hubungan ditentukan oleh arti yang diberikan masyarakat pada umumnya dan karakteristik-karakteristik yang oleh individu-individu diatribusikan satu kepada yang lain. Begitu orang telah di cap, yang khas terjadi apabila seseorang sedang diproses melalui sistem peradilan pidana, maka suatu rantai peristiwa-peristiwa mulai bergerak. Tidak hanya terjadi perubahan-perubahan dalam konsep sendiri atau individu, tetapi di situ juga terdapat penyusutan yang sesuai dan bersamaan bagi jalan masuk kepada kesempatan-kesempatan yang sah. Sebaliknya dari proses membentuk ikatan-ikatan dengan masyarakat konvensional maka individu ini tertarik pada penyelewengan-penyelewengan tercap lainnya dan lalu membentuk pasangan baru norma-norma perilaku bagi dirinya, baik itu pria maupun wanita. Pendekatan teori labeling dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu: 1. Persoalan bagaimana dan mengapa seseorang memperoleh cap atau label! 2. Efek labeling tehadap penyipangan tingkah laku berikutnya. Persoalan labeling ini, memeprlakukan labeling sebagai dependet variable atau variable tidak bebas dan keberadaannya memerlukan kejelasan. Labeling dalam arti ini adalah labeling sebagai akibat dari reaksi masyarakat. Howard S. Becker (1963) berpendapat: 110 “Social group create deviance by making the rules whose infraction constitue deviance........ The devian is one to whom that label has successfully been applied: devian behavior is behavior that people so label”.92 Terdapat banyak cara di mana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya: 1. Bahwa pemberian label memberikan pengaruhnya melalui perkembangan imajinasi sendiri yang negatif. Lemert (1951) menjawab dengan pedas bahwa dengan memberikan label kriminal pada seorang remaja dapat akhirnya menyesatkan individu tersebut hingga mulai memperlakukan dirinya sendiri seperti itu. 2. Adalah bahwa pemberian label dapat mengekang seseorang untuk memasuki kesempatan-kesempatan yang sah atau legitimasi dan membuat kesempatan yang tidak legal atau tidak sah Nampak lebih menarik baginya. 93 3. Pemberian label dapat menciptakan pancaran cahaya yang membuat individu tadi kurang tertarik pada teman-teman sebaya yang anti sosial (Wilkins, 1965). Seperti yang dapat diantisipasi teori member label ini telah menimbulkan perdebatan, reaksi dan penyelidikan. Menurut teori label ini maka cap/merk yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang 92 Romli Atmasasmita, 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung, hal. 50. 93 Teori labeling, banyak dihubungkan oleh para pakar kriminologi dengan buku Frank Tannenbaum (1938) Crime and the Community. Menurut Tannenbaum, kejahatan tidaklah sepenuhnya merupakan hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, dimana terdapat dua definisi yang bertentangan tentang tingkah laku yang layak. 111 dicap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen. 94 Martin Gold dan Jay Williams (1969) memperbandingkan 35 remaja yang tidak ditahan disesuaikan dengan usia, ras, kelamin dan kriminalitas sebelumnya. Hasil dari studi ini Nampak/cenderung mendukung prinsip dasar teori pemberian label dari segi subjek yang ditahan tadi yang ternyata telah melakukan tindak pidana lebih banyak daripada subjek-subjek yang tidak ditahan, kendatipun penulis tidak berhasil mengawasi beratnya tindak pidana yang dilaporkan. Terence Thombury (1971) menetapkan bahwa disposisi oleh pengadilan remaja nakal yang lebih berat ada kaitannya dengan meningkatnya volume, namun bukan beratnya kriminalitas berikutnya dalam sampel besar kaum remaja Philadelphia. Akhirnya, walaupun sebagian besar remaja yang tidak merasakan penampilan di pengadilan sangat menyolok (Foster, Dinitz dan Reckless, 1972), terdapat bukti bahwa para guru (Balch, 1972), para karyawan (Buikhuisen dan Dijksterhuss 1971), dan beberapa anggota keluarga (Snyder, 1971) pada hakekatnya dapat beraksi kurang menguntungkan pada anak remaja yang pernah muncul dihadapan persidangan untuk anak remaja (Juvenille Court). Setelah meninjau kembali literature secara wajar merupakan prognosa atau ramalan mengenai perilaku di kemudian hari. Bahr (1979) juga menemukan bahwa memprosesnya secara resmi melalui sistem peradilan pidana dapat meningkatkan kemungkinan dilakukannya penyimpangan di kemudian hari. Ia cepat dapat memberikan anotasi betapapun bahwa pengaruh pemberian label bukan merupakan suatu yang 94 Soerjono Dirdjosisworo, 1994, Op.cit, 126 112 begitu merembes seperti yang pernah dipikirkan, itu lebih menyolok bagi para pelaku tindak pidana untuk pertama kalinya, dan dapat memberikan pengaruhnya dengan cara lain daripada mencela "konsep sendiri” individu yang memperoleh label tadi. Beberapa peneliti juga telah menemukan pengaruh diferensial untuk pemberian label yang didasarkan pada ciri-ciri atau watak individu yang bersangkutan, oleh sebab itu pengaruh pemberian label secara negatif adalah yang terbesar bagi remaja kelas menengah dan terlemah bagi individu-individu yang lebih cenderung untuk diproses melalui sistem peradilan pidana. Ageton, Elliot dan Canter, sebaliknya mengkonsepsikan pemberian label secara negatif sebagai suatu proses menipiskan yang berpengaruh, berat pada para remaja belum dewasa yang sebelumnya telah melakukan tindak pidana terhadap ketertiban umum. Juga terdapat kemungkinan bahwa pemberian label dapat berfungsi sebagai suatu penghindaran atau penjeraan dalam keadaan-keadaan tertentu. Kemungkinan kecaman yang paling berat terhadap teori tersebut gagal untuk menjelaskan pola-pola penyimpangan perilaku yang telah terjadi sebelum diberikannya label tadi. Beberapa teoretisi label ini seperti halnya memperdebatkan bahwa ketidakmampuan teori tersebut untuk menjelaskan “penyimpangan primer” dikompensasikan oleh kemampuannya, untuk meneliti dibentuknya stigmatisasi dan dianut peranan penyimpangan yang berkaitan dengan adanya pemberian label tadi. Betapapun, gagasan tentang penyimpangan sekunder itu sendiri masih dipertanyakan oleh beberapa sarjana. Dalam suatu peninjauan kembali riset label di tahun 70-an, Anne Mahoney (1974) melihat dengan tajam adanya hanya sedikit dukungan bagi hipotesa “pemberian label penyimpangan sekunder”. 113 Dengan demikian sementara teori pemberian label itu bukan sama sekali tanpa kekuatannya, karena dapat menunjukkan kekeliruan untuk menganggap bahwa individu itu merupakan tempat seluruh patologi serta mendorong untuk menggunakan simbol interaksionalisme dalam mengkaitkan perilaku dengan konteks situasional atau kondisionalnya (Colvin dan Pauli, 1983), kecenderungan a-historis dan a-strukturalnya yang membatasi dapat diterapkan pada pelbagai bentuk periku dan perilaku kriminal (Danis, 1972). Dalam menyelidiki ciri-ciri formal teori pemberian label dapat diperhatikan bahwa itu mengandalkan pada hanya beberapa postulat dan asumsi. Betapapun, seperti yang disebut terdahulu, teori ini sangat terbatas dalam ruang lingkupnya dan mengalami ketidakcermatan serta operasionalitas yang menurun. Istilah seperti penyimpangan primer dan sekunder perlu pendefinisian yang lebih jelas dan asumsi-asumsi sekitar perkembangannya diperluas dan diteliti lebih jauh. Meskipun demikian, teori pemberian label ini telah merangsang secara luas perdebatan di kalangan sarjana dan penyelidikan riset selama decade yang lalu, teori tersebut telah menerima dukungan empiris cukup tinggi, kendatipun ruang lingkup hipotesa yang diuji dalam konteks teori ini sifatnya lebih terbatas. Argumentasi bahwa gambaran sendiri atau imaji sendiri sangat berpengaruh dalam mengembangkan kriminalitas selanjutnya merupakan suatu posisi yang juga dianjurkan oleh teori sendiri atau the self theories mengenai perilaku kriminal posisi teoretis berikutnya yang harus diselidiki. Teori label menekankan pada tindak dan kebijakan politik kriminal yang kurang hati-hati merupakan salah satu faktor kriminologi. Oleh karena itu teori ini merupakan bahan masukan 114 agar menjadi peringatan dalam menentukan upaya penanggulangan kejahatan tidak berakibat sebaliknya malahan menjadi penyebab kejahatan. Lombroso yang namanya telah mengisi lembaran sejarah kriminal dengan ilmu pengetahuannya telah membentuk teori dan hipotesa yang mencap orang dengan ciri-ciri fisik lahiriah sebagai manusia jahat yang ditulisnya dalam buku yang berjudul “Homo Delinquinto Nato”. Teori-teorinya ini tidak hanya saja tenar malahan membawa pengaruh yang cukup fatal dalam dunia peradilan pidana yang pada gilirannya juga bersifat kriminogen pada mereka yang dicap kriminal. Teori atau Hipotesa yang pertama dinamakan atavisme yang mengkontruksi mereka yang memiliki tipologi kriminal mendapatkan sifat jahat dari nenek moyang manusia yang telah lama pudar. Lambroso memanfaatkan teori evolusi Charles Darwin yang intinya kesempurnaan adalah hasil perkembangan dari yang tidak sempurna. 95 Demikian pula dengan sifat manusia yang digambarkannya bahwa manusia prasejarah kasar dan jahat. Maka dalam proses peradaban manusia masih terdapat mereka yang lahir dengan kewarisan sifat “jahat”. Setelah teori Atavisme96 gugur Lombroso pindah pada Hipotesa Pathologis yang berarti sifat kriminal karena yang 95 96 Ibid, hal. 129. Teori atau hipotesa atavisme dilontarkan oleh Dokter di Italia, Cesare Lombroso yang merupakan seorang guru besar dalam ilmu Kedokteran Kehakiman dan juga Ilmu Penyakit Jiwa. Lombroso yang merupakan Darwinisme menungkapkan bahwa berdasarkan hukum evolusi Darwin sesuatu berkembang kearah “sempurna” dari yang tidak sempurna. Baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun manusia. Dikatakan manusia pada awal kehidupannya memiliki watak “jahat”, namun melalui proses evolusi berkembang dalam pembudayaan dan peradaban menjadi baik seperti keadaan sekarang, kata Lombroso saat itu. Tetapi sifat jahat nenek moyang manusia yang sudah lama pudar dapat mewarisi kembali pada 115 bersangkutan menderita sakit (psikologis-psikiatris). Teori inipun tidak dapat bertahan dan beralih ke teori degenerasi yang menggambarkan sifat jahat disebabkan oleh karena kemerosotan sifat-sifat manusiawi ke sifat moyang manusia pra-sejarah. Hipotesa Lombroso yang telah digugurkan baik dari segi antropologi dan sosiologi tidak begitu saja pudar, malahan dari segi amalan medis dalam studi kriminologi telah melahirkan Neo-Lombroso yang tetap menganggap kejahatan adalah produk kelemahan dan kelainan yang terletak pada diri individu atau bakatlah sebagai sebab kejahatan. Teori dan hipotesa Lombroso menjadi cukup terkenal saat berkembang dan berpengaruhnya aliran positivism yang menyuburkan pendekatan etiologis yang untuk waktu yang cukup lama sempat mewarnai kriminologi sebagai ilmu yang menitikberatkan penggalian sebab musabab kejahatan sebagai missi utamanya. Namun setelah tahun 1960-an kriminologi telah meninggalkan perspektif positivism dan memasuki cakrawala baru dalam kriminologi. Dalam horizon baru kriminologi teori label tetap masih menarik karena sifatnya yang kontemporer dan perspektifnya menyesuaikan dengan perkembangan perspektif pada zamannya. Untuk Indonesia penelitian-penelitian seperti yang dilakukan di Negara-negara maju belum dilakukan, namun proses pelabelan terjadi sebagaimana ditemukan di berbagai Negara khususnya dalam peradilan pidana. Teori pemberian label yang tumbuh berpengaruh lewat teori-teori ala Lombroso dan tokoh-tokoh neo-Lombroso, manusia dalam kehidupan dewasa ini dan “mereka” yang memperoleh kewarisan sifat nenek moyangnya yang jahat lahir sebagai “orang jahat” dan memiliki tipologi tertentu yang oleh Lombroso dinamakan “tipe kriminal” yang dapat tercermin dari fisik jasmaninya. 116 kemudian lewat penguasa yang memformulasikan dalam hukum pidana telah menimbulkan kontroversi dalam praktek peradilan yang cukup menimbulkan berbagai reaksi terutama di kalangan para pakar hukum. Sebagai misal dalam praktek penerapan hukum pidana khususnya dalam hal tindak pidana keamanan Negara dan ketertiban umum dalam kaitan tanggung jawab pers. Mereka yang dicap atau diberi label penjahat yang mengancam keamanan Negara dan ketertiban umum karena memberitakan peristiwa tertentu, “bertanya-tanya” benarkah pernyataanya mengancam keselamatan dan keamanan Negara? Oleh karena itu teori label sekali lagi cukup relevan dalam memberi peringatan bagi pelaksanaan undang-undang pidana yang pavourabel akomodatif akan aspirasi masyarakat dan antisipasi terhadap gejala dan masalah sosial yang senantiasa berubah. E. Teori-teori Sendiri (The Self-Theories). Dengan mengambil isyarat dari teori organism personalitas yang dirintis Carl Ronger (1951), teori-teori sendiri tentang kejahatan menitikberatkan pada penafsiran atau interpretasi individu yang bersangkutan. Dengan menjajaki pendapat tentang bayangan sendiri dan penyimpangan, L. Edward Wells (1978) berspekulasi bahwa perilaku adalah suatu usaha oleh seorang individu untuk mengkontruksi, menguji, mengesahkan dan menyatakan apa tentang dirinya. Wells memandang banyak bentuk kesulitan emosional dan penyimpangan perilaku sebagai suatu yang muncul dari ketidaklayakan yang dihipotesakan agar terjadi di 117 antara bayangan sendiri dan berbagai permintaan atau keinginan pribadi seperti aspirasi dan harapan-harapan.97 Dalam keadaan seperti itu, pertimbangan sendiri/perasaan subjektif tentang diri sendiri, cenderung akan negatif dan individu lebih akan condong ke arah bentuk-bentuk penyimpangan sebagai jalan untuk membentuk bayangan sendiri. Pemberian label sendiri, sudah barang tentu juga dilihat oleh banyak teoretisi sebagai hal yang berkaitan yang kuat dalam mengembangkan gaya hidup menyimpang (Warren, 1974). Perilaku dan bayangan sendiri berkaitan paling sedikitnya dalam dua cara:98 Pertama; perilaku dapat berupa ekspresi konsep diri sendiri (Cohen, 1983). Oleh sebab itu, apabila seseorang memiliki opini rendah tentang dirinya biasanya direfleksikan atau dicerminkan ke dalam susunan luas perilaku negatif termasuk juga depresi ke dalamnya, penyalahgunaan alkohol dan kriminalitas. Perilaku dapat juga mendukung atau menahan konsep diri sendiri dengan mengarahkan seseorang pada kegiatan-kegiatan yang sebagian besar konsisten dengan konsep sendiri atau self concept. Oleh karenanya, seseorang yang menyembunyikan kepentingan mengenai ketajaman intelektualnya akan cenderung membatasi kegiatan-kegiatannya hingga pada tugastugas yang lebih diorientasikan secara fisik, yang sebaliknya memperkuat image atau bayangan yang dimiliki orang seperti itu, bagi dirinya bagaikan: “ Seluruhnya hanya kekuatan dan tanpa otak” atau all brawn and no brains. Ciri-ciri yang ekspresif dan bersifat mendukung dari hubungan perilaku sendiri 97 98 Ibid, hal. 130-131 Ibid, hal. 131 118 juga nampak beroperasi ketika seseorang memilih kejahatan tergantung pada bagaimana itu cocok dengan bayangan sendiri. Sarjana Wells mengidentifikasikan tiga kecenderungan dalam teori-teori sendiri tentang perilaku kriminal: Interaksional structural; pemberian label dan kontrol sosialisasi Walter C. Reckless dan rekan-rekannya mengembangkan teori kriminalitas, model penahanan atau pengurungan, yang sangat mengandalkan pada pandangan kontrol sosialisasi mengenai perilaku manusia. Dengan berfokus pada faktor-faktor “dorong dan tarik” atau push and pull factors serta penahanan ke dalam dan ke luar, para penulis ini berpendapat bahwa seorang anak laki yang dibesarkan di daerah dengan tingkat delinquensi tinggi dan kebanggaan perorangan dapat melindungi seseorang dari episode-episode masa mendatang mengenai perilaku menyimpang. Penyelidikan sebagai tindak lanjut selanjutnya tentang sampel asli subjek-subjek yang digunakan dalam mengembangkan teori penahanan atau pengurungan memberikan dukungan berkualifikasi bagi gagasan bahwa rasa harga diri membentuk semacam isolasi penyekatan terhadap penyimpangan kemudian. Di Luar riset yang diselenggarakan oleh Reckless dan rekan-rekannya terdapat kekurangan dari penyelidikan empiris mengenai hubungan-hubungan antara diri sendiri dan kejahatan. Satu kekecualian bagi peraturan umum ini adalah karya perintis Gresham Sykts dan David Matza. Setelah menganalisa pola berpikir kelompok tindak pidana remaja Sykts dan Matza menarik kesimpulan bahwa:” banyak delinkuen didasarkan pada apa yang secara esensial tidak dikenal mengenai ketahanan terhadap kejahatan dalam bentuk pembenaran penyimpangan yang terlihat sebagai hal yang absah oleh delinkuen akan tetapi 119 tidak oleh sistem hukum maupun masyarakat luas. Para penulis ini melanjutkan uraiannya yang mereka sebut sebagai proses netralisasi, dengan mana si pelaku membenarkan perbuatan illegalnya dalam usaha mempertahankan pandangan positif mengenai dirinya dan perbuatannya. 99 Dengan membatasi hingga minimal pentinganya perilaku melanggar peraturan, menyalahkan para korban, mempertanyakan motif-motif, mengutuk pihak yang berwajib dan menunjukkan bagaimana kriminal tadi dipaksakan memasuki kehidupan kejahatan oleh pelbagai faktor ekternal sang kriminal tadi, berusaha untuk menyebarkan pertanggungjawaban bagi tindak tanduk kriminalnya dan melindungi bayangan sendirinya yang sudah rapuh. Walaupun pendapat Sykes dan Matza membangkitkan minat dan jelas dapat diterima dan dipertanggungjawabkan bagi penyelidikan masih tidak terdapat riset yang menyolok sekali mengenai topic ini. Untuk dapat menjadi model perilaku manusia yang benar dapat aktif terus, teori-teori sendiri harus lebih banyak memberikan perhatian lebih besar kepada sejumlah besar pendapat teoritis dan metodologis. Reverensi-reverensi yang samar-samar dan tidak membentuk mengenai “diri sendiri” perlu digantikan oleh definisi-definisi yang tepat, cermat, tegas, dan operasional. Kaplan (1976) dengan langkah sikap sendirinya merupakan contoh yang baik mengenai konsep sendiri atau self concept yang lebih teliti. Para pakar riset juga perlu memberikan penjelasan tentang kaitan-kaitan teoritis yang dipikirkan bakal ada antara konsep sendiri, penyimpangan dan struktur sosial sebelum bidang riset ini dapat berbuat sesuai dengan titik permulaan yang memberikan harapan. Akhirnya, daripada harus 99 Ibid, hal 132. 120 bertanggung jawab bagi uraian yang tidak pernah mengenai prasangka hubungan antara konsep sendiri dan penyimpangan, Wells (1978) minta adanya lebih perhatikan pada interaksionalisme struktural dan hubungan timbal balik antara konsep sendiri dan penyimpangan. Teori-teori sendiri tentang perilaku kriminal terbuka bagi sejumlah kecaman pedas. Seperti halnya teori organism Roger mengenai personalitas, teori-teori sendiri tentang kriminalitas cenderung menjadi tidak cermat dan kurang penuh operasional. Mengambil studi dan penyelidikan Reckless sebagai pokok kasus, kita jumpai bahwa angka tentang skala “California Personality Scale” tunggal berlaku sebagai ukuran criteria tentang rasa harga diri. Bukan saja prakrek definisi-definisi seperti itu tidak kokoh baik dalam hakekatnya maupun sendiri juga cenderung mengurangi nilai perangsang dan empiris suatu teori. Oleh sebab itulah dapat dimengerti mengapa kita tidak boleh meremehkan potensial besar yang mewujudkan teori-teori sendiri mengenai kejahatan. Kenyataan bahwa para pakar riset telah mampu mencapai tingkat tertentu kekakuan metodologis dalam menyelidiki teori Roger tentang personalitas harus berlaku sebagai dorongan besar bagi para teoritis sendiri yang sedang menyelidiki perkembangan perilaku kriminal. Pada masa kini, betapapun teori-teori sendiri mengenai keterlibatan pidana merupakan ide yang baik sementara menunggu spesifikasi, penjelasan dan membuktikan secara empiris. Karakteristik teori ini yang terletak pada persepsi individu yang memang variatif kerap kali menjadi ajang perdebatan yang controversial. Apabila diingat kembali hukum variasi individu Adolfquetelet diakhir abad 19, maka orang akan memahami bahwa terdapat keadaan umum yang relatif mewakili persepsi 121 objektif dan ada kekecualian subjektif yang secara perorangan menunjukkan fakta yang cukup kuat buktinya oleh karena itu yang ke-2 dianggap sebagai eksepsional. Dalam studi kriminalitas yang subjektif adalah masalah medic individual. F. Teori Psiko Analitik (Psyko Analitik Theory) Sigmund Frued, penemu psikoanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Frued hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidak beresan atau penyakit seperti ini. Pada satusatunya paper yang pernah diterbitkan dengan referensi spesifik bagi kriminalitas, Frued (1957) berefleksi pada bagaimana sikap kita terhadap para kriminal pada umumnya nampak mencerminkan sikap yang kita miliki terhadap kriminal dalam diri sendiri. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psiko analitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non-kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongandorongan dan perasaan anti sosialnya. Augus Aichhom (1935) adalah salah seorang analis pertama yang mengusulkan teori psiko analitik tentang perkembangan deliquensi. Ia membuat hipotesa bahwa seorang anak dilahirkan a sosial karena dia memerlukan pemenuhan kebutuhan langsung bagi kebutuhan primer, dorongan dan naluri. Pada titik ini dalam kehidupan muda, perhatian primer sang anak adalah untuk memperoleh kepuasan bagi kebutuhankebutuhan mendalaminya yang menjadi dasar. Apabila susunan birahi atau libido sang anak terganggu oleh pengalaman- 122 pengalaman negatif, konflik-konflik dipus atau “mencintai” orang lawan sejenisnya dini khususnya, maka ia akan tetap egosentris dan a sosial dan akan menghadapi masa yang sulit unuk menyesuaikan diri dengan kebuthuhan, hukumperaturan dan masyarakat.100 Aichhom lebih jauh memperdebatkan bahwa keadaan yang baru terjadi ini mengenai delinquensi laten dapat menjurus pada perilaku deliquen sesungguhnya apabila dihasut dan dibangkitkan oleh peristiwa keadaan lingkungan. Aichhomlah yang benar-benar meyakini bahwa tujuan utama penanggulangan adalah membuat sadar kembali faktor-faktor tidak sadar yang bertanggung jawab bagi perilaku antin sosial individu. Dalam berbagi tulisannya, Frued mendalami bahwa tipe kejahatan dimotivasikan oleh keinginan tak disadari untuk menjatuhi hukuman, kendatipun ia tidak pernah memperdalam tema ini dalam penjelasannya yang mengenai pendekatan psikoanalatik terhadap kejahatan, Edward Glover (1960) mencatat bahwa kejahatan adalah proyeksi tentang kesalahan yang tidak disadari yang dengan sendirinya ditranformasikan kedalam hasrat untuk dihukum. 101 Dengan meneruskan argumentasi ini lebih jauh selangkah, teoretisi yang berorientasi psikoanalitik akan berpendapat bahwa karena kejahatan secara esensial merupakan gejala konflik intrakpsikis yang mendasar, tehnik-tehnik yang dirancang untuk memperbaiki perilaku, tetapi bukan struktur personalitas yang mendasi, mengakibatkan kegagalan total semenjak awal. Pada hakekatnya, telah terpikirkan bahwa penanggulangan yang dangkal seperti itu hanya akan berkesudahan dengan penampilan kembali gejala tersebut secara 100 101 Ibid, hal. 134-135 Ibid 123 lain, dan kemungkinan bahkan lebih buruk lagi atau lebih serius lagi oleh para psiko analisis, betapapun, karena tidak adanya dukungan empris yang kuat bagi terjadinya gejala subtitusi dalam hasil penganggulangan yang berorientasikan perilaku. Wollersheim, 1970. Bagaimanapun tidak mencegah para sarjana psiko analitik seperti Karl Meninger 1968 dari penegasannya bahwa hukuman yang bersangsi sosial sesunggunya dapat memperburuk lagi kecederungan kriminal para pelaku kejahatan dengan memberikan kepadanya hukuman yang mereka rindukannya secara tidak sadar. Dalam sebuah penghimpunan kembali beberapa ide Freud tentang kejahatan dan kriminalitas. David J. Dixon 1968 menemukan dan kecenderungan etiologis dalam perkembangan perilaku kriminal yang serius. Jalan yang paling umum meliputi kesalahan yang belum mendapatkan penyelesaian sebagai akibat pemecahan keadaan rasa kasih sayang pada lawan sejenis relatif pada ibu dan ayah individu. Seorang ayah yang terlalu lunak atau lemah sikap atau terlalu kasar dan ringan tangan dianggap sangat penting sekali dalam perkembangan tipe pelemahan ego yang diasosiasi dengan keinginan yang tidak disadari akan hukuman. Jalan merefleksikan keadaan umum kecintaan pada diri sendiri disertai dengan tingkat menimal kesalahan dan penyesalan yang dalam karena perbuatan anti sosial seseorang. Orang-orang seperti itu dikatakan memiliki super ego yang lemah atau super ego yang mengalami gangguan funsi di bidang-bidang tertentu. akibatnya, individu-individu ini secara khas tidak disusahkan oleh kesdaran ketika merka melanggar peraturan masyarakat.102 Super ego seharusnya kuat, sehingga mampu berperan sebagai stabilisator personalitas dalam utusan ego individu tertentu. Jalan menuju kehidupan kejahatan ini dikatakan 102 Ibid 124 berkembang dari masa kanak-kanak yang terisolasi dan kesepian, suatu perkiraan yang mendapatkan dukungan dalam karya Jonh Bowmby (1946,1969) mengenai nrasa kasih sayang dan delinquensi. Franz Alexander dan Edward Glover adalah dua dari penulis yang banyak berhasil mengenai psiko analisa mengenai perilaku kriminal dalam publikasi-publikasi yang terpisah, kedua penulis ini telah berusaha untuk merancang postulat kunci atau dalih pokok teori psiko analitik mengenai keterlibatan dalam kriminalitas (Alexander dan Staub, Glover mengungkapkan kembali dalam kata-kata hingga titik tertentu, dalil kunci tentang teori psiko analitik mengenai keterlibatan dalam kejahatn dapat diikhtisarkan sebagai berikut;103 Pertama hubungan-hubungan keluarga yang masih dini dipandang oleh para teoretisi psiko analitik sebagai suatu yang menonjol dalam perkembangan tindakan anti sosial selanjutnya. Kedua teori psiko dinamik memandang fakta-fakta intropsikis bahwa sadar sebagai faktor utama dalam asal muasal perilaku keiminal dan delinquensi. Ketiga, karena faktor-faktor bawah sadar dipandang sebagai yang utama dalam evolusi gaya kehidupan kriminal, banyak neo-freudians percaya bahwa terdapat banyak sekali arti simbolik dalam pelanggaran kejahatan dari rata-rata pelaku tindak pidana tadi. Akhirnya, para psikoanalis yakin bahwa sebahagian besar pelanggar hukum menginginkan hukuman sebagai jalan untuk meredakan kesalahan bawah sadar yang mereka alami. Teori psiko analitik telah merangsang sedikit sekali penyelidikan empiris atas pendapat yang menarik sebagian besar ilmuan pidana, dari penyelidikan-penyelidikan yang telah dilakukan sebagian besar telah menggunakan pendekatan studi kasus klinis. 103 Ibid, hal. 136-137. 125 Paul Hoffer 1988, misalnya mengamati banyak tema dinamik dalam interaksi terapiknya dengan kelompok-kelompok terpilih para tahanan penetensier. Dalam membahas berbagai ciri hubungan psiko analitik ia menyelinap ke dalam para pelaku tindak pidana ini, ia mencatat bahwa hubungan-hubungan dengan ibu, amarah yang besar terhadap ayah, dan terlampau sekali mengandalkan pada mekanisme pertahanan perpecahan, merupakan keseluruhan ciri-ciri dunia intrapsikis para tahanan ini. Seperti yang telah ditunjukkan sebelumnya, dalam pembahasan mengenai karya Aichhorn (1935) bersama delinquen, tujuan utama psikoterapi yang diarahkan secara psikoanalitik terhadap para delinquen, begitu juga yang sudah dewasa, adalah untuk membawa kembali determinan atau faktor penentu bahwa sadar mengenai peilaku kriminal kepada kepercayaan yang sadar. Kendatipun tulisan-tulisan Freud itu penuh semangat dan deskriptif.104 Sukar kiranya untuk membayangkan seseorang yang melakukan penyelidikan riset tanpa menarik manfaat dari ukuran kriteria spesifik, kendatipun ini adalah tepat dengan apa yang dipertanyakan mengenai studi empiris, mengenai teori psikoanalitis. Hal ini dapat membentu member penjelasan mengapa begitu sedikit riset telah dilaksanakan terhadap teori psikoanalitik mengenai perilaku kriminal. Lebih lanjut lagi, perspektif psikoanalitik nampak mengabaikan prospek pilihan individu dan pertanggung jawaban perorangan meskipun terdapat penemuan-penemuan riset yang memberikan indikasi bahwa anak-anak memberikan sama banyak pengaruk pada lingkungannya seperti halnya lingkungan memberikan pengaruh kepadanya. tanpa adanya kecermatan atau presisi kehematan dan hipotesa yang dan dapat diuji kebenarannya, bisa ditarik 104 Ibid 126 kesimpulan bahwa pendekatan secara psikoanalitik ini hanya seidikit dapat memberikan suatu ilmu pengetahuan tentang perilaku kriminal pada titik ini dalam perkembangannya. G. Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking). Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Menurut Quay, kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan-peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenannya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon phisiologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif atau kurang reaktif atau di bawah responsiv terhadap rangsangan. 105 Quay mengemukakan bahwa kriminal memandang lebih tinggi daripada angka normal rangsangan indera seoptimal mungkin, dan dengan demikian mengikuti tingkat tinggi kegiatan semacam itu sebagai cara kompensasi bagi getaran otak yang secara intrinsik rendah. Kecenderungan ini akhirnya dikonversikan atau dirubah ke dalam perilaku yang dirancang untuk menciptakan kehebohan dan meredakan rasa bosan. Menyolok sekali bahwa tidak sama halnya seperti banyak teoriteori yang didasarkan pada sosiologi mengenai perilaku 105 Ibid, hal. 138. 127 krimianal, model Quay memandang perbedaan-perbedaan individu itu penting. Di tahun 1977, Quay memperbaiki teorinya dengan serba memasukkan faktor-faktor lingkungan. Seperti halnya dengan teori semula diusulkan analisa bahwa kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang hiporeaktif. Betapapun, dibahas lebih lanjut bahwa otak yang kurang memberikan respon ini tidak ditemukan adanya hubungan antara mencari rangsangan dan delinkuensi atau kriminalitas pada anak-anak, kaum wanita, dan “putih” maupun “bukan putih”, serta remaja.106 Dengan mengiktisarkan literatur riset tentang rancangan kejahatan dan psikopati dalam berbagai abnormalitas, psikolog Dennis Doren (1987) menemukan hubungan yang sederhana antara kriminalitas dan mencari rangsangan dalam studi yang menggunakan skala SSS, namun terdapat ikatan yang jauh lebih kuat apabila pelbagai langkah-langkah perilaku dan indeks atau angka mencari sensasi diperhatikan. David Lykken (1957) dengan penyelidikannya mengenai kondisi penghindaran dalam psikopati mengungkapkan bahwa sebagai kelompok, individuindividu ini memperlihatkan sensitivitas yang rendah terhadap rangsangan berbahaya dan pemulihan yang lebih cepat terhadap respon kulit galvanis dasar (Galvanis Skin Respon: GSR), setelah adanya serangan rangsangan tadi. Penemuan ini menyarankan bahwa reaktivitas dasar yang tingkatannya menurun, demikian juga tingkat pembiasaan diri yang meningkat, kedua-duanya dapat melibatkan timbulnya perilaku psikopatik dan kriminal. 107 Fairweather (1953) memanfaatkan paradigma mempelajari silabus, hasil-hasil yang diungkapkan yang mendukung uraian 106 107 Ibid, hal. 138-139. Ibid, hal.139. 128 mengenai sensitivitas dan penyesuaian yang menurun, mengapa para kriminal cenderung untuk mencari rangsangan lingkungan dengan tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat normal. Dalam menyelidiki pendapat atau isu ini, Quay (1965) mengarahkan perhatian kita kepada hasil penyelidikan oleh Fox dan Lippert (1963) di mana suatu kelompok pelaku psikopati memperlihatkan kegiatan GSR spontan yang lebih rendah relatif bagi kelompok para pelaku yang non-psikopat. Quay menggunakan hasil-hasil ini untuk mengargumentasikan bahwa itu dimungkinkan adanya adaptasi lebih cepat yang terdapat di belakang kecenderungan-kecenderungan mencari rangsangan oleh psikopati dan kriminal. Setelah meninjau kembali riset yang dilakukan semenjak Quay mempublikasikan thesis aslinya tentang mencari rangsangan patologis dan psikopati di tahun 1965. Robert Blackburn (1978) menarik kesimpulan bahwa hanya terdapat sedikit bukti yang menguntungkan atau memihak hipotesa pembiasaan diri menurut Quay. Mendukung argumentasi dengan datanya sendiri, demikian juga data lain. Blackburn mengamati tingkat lebih tinggi mengenai fliktuasi atau turun naik mengenai langkah-langkah pshisiologis seperti itu, seperti halnya kapasitas kulit di kalangan psikopati primer dan kriminal dibandingkan dengan kelompok-kelompok psikopati sekunder dan kontrol non kriminal. Penemuan seperti itu jelas tidak konsisten dengan hipotesa “membiasakan diri” menurut Quay.108 Siapapun tak bisa beranggapan bahwa justru karena hipotesa pembiasaan sendiri tidak berhasil memperoleh dukungan dalam penyelidikan ini maka harus secara positif memberikan reflek pada hipotesa hiporeaktif, karena yang disebut belakangan ini juga serba kekurangan dalam pembenaran 108 Ibid 129 secara empiris. Dalam edisi 1977 mengenai teori ini, Quay menunjukkan dengan jelas adanya perhatian benar dalam faktorfaktor lingkungan sebagaimana diuraikan dalam versi teorinya terdahulu. Faktor lingkungan ditekankan secara sungguhsungguh dalam revisi Quay (1977) mengenai teori mencari rangsangan pathologis adalah keluarga inti atau Nuclear family. Dalam mempertimbangkan perkembangan delinkuensi, kejahatan dan perilaku anti sosial, Quay mengususulkan dua model utama mengenai interaksi orang versus keadaan atau person versus situation. Pertama, telah dihipotesiskan bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya. Hipotesa umum yang ke-2 adalah bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya baik pria maupun wanita untuk mengantisipasi konsekuensi menyakitkan perbuatannya. Kedua, faktor tadi dilihat sebagai kontribusi kepada siklus yang ganas dalam transaksi orang tua terhadap anak yang negatif yang akhirnya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Sementara kedua postulat tersebut masih harus menikmati konfirmasi empiris, namun sudah menerima dukungan tidak langsung yang luas dalam pelbagai tinjauan literature misalnya Mc Cord 1959; Wilson dan Hernstein 1985. Apabila disimak kembali mengenai mashab-mashab dalam perkembangan kriminologi, teringat pendapat Enrico Ferry mengenai mashab bio-sosiologi yang pada intinya berpendapat bahwa kejahatan disebabkan oleh faktor biologis dan sosiologis tentunya aspek- 130 aspek psikologis sangat berperan, ditambah oleh faktor-faktor lingkungan. Maka saat-saat itu ada semacam dalil bahwa:109 K= B + L Yaitu kejahatan disebabkan faktor gabungan antara bakat dan lingkungan. Kritik terhadap Quay menyalahkannya membuat teori yang tidak lengkap dan sukar dibuktikan, oleh karenanya, sementara teorinya telah merangsang sekali penyelidikan para sarjana dan memperoleh dukungan empiris yang cukup lumayan, kita masih tidak mengetahui mengapa para kriminal dan psikopati pada umumnya memandang secara abnormal tingkatan stimulasi atau rangsanagn sebagai optimal. Itu merupakan pembiasaan yang cepat, reaktifitas dasar atau sebagian variable ketiga yang bertanggung jawab bagi hasrat nyata seorang kriminal bagi tingkat kehebohan dan stimulasi atau rangsangan yang meningkat? Lebih-lebih lagi, seperti yang ditunjukkan oleh Smith secara hati-hati, teori ini mengalami kekurangjelasan karena variasi yang luas mengenai rangsangan yang berbeda-beda atau divergen, yang disajikan kepada sejumlah besar posisi indera yang berbeda, telah dipergunakan untuk menguji teori sementara praktek ini meningkat sehingga dapat digeneralisasikannya teori, demi presisi. Oleh karena itulah, apabila teori Quay harus memainkan peranan yang konsekwen dalam penyelidikan masa datang atas gaya hidup kriminal, itu harus dilakukan dengan cara yang tepat atau cermat dan dapat dibuktikan. Seperti halnya kritik terhadap Quay maka mazhab bio-sosiologis pada zamanya mendapat sanggahan dengan mengetengahkan hukum variasi individu dari Adolf Quetelet (ahli statistic dan sosiolog Belgia). Variasi individu dalm hubungan dengan kehidupan pergaulan membuktikan bahwa sang terbesar atau terbanyak 109 Ibid, hal. 140-141. 131 adalah yang umum atau yang rata-rata sedang yang ekstrim termasuk perilaku kriminil yang berkait dengan bio-psikis jumlahnya relatif kecil sehingga merupakan kekecualian atau eksepsional. Teori rangsangan pathologis banyak member kontribusi pada studi psikologi kriminal yang cukup menarik perhatian. Beberapa butir bahasan di atas perlu mendapat perhatian:110 a. Kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang hiporeaktif dan otak yang kurang member respon, keadaan demikian tidak terjadi dalam vakum melainkan berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal tertentu di mana individu hidup dalam pergaulan. b. Anak-anak pra delinquen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsang ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkaran interaksi negatif “orang tua anak” yang pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memenddam rasa benci dan rasa anti sosial. Kecenderungan mencari rangsangan pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal. c. Interaksi orang X keadaan meliputi Hipotesa: a. Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkenbangan kecenderungan - kecenderungan kriminalitas selanjutnya. b. Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mengantisipasi konsekwensi yang menyakitkan atas perbuatannya. 110 Ibid, hal. 142. 132 Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interaksi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan psikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emosionalimmaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi oleh maslah-masalah keluarga yaitu disharmoni home dan broken home. Apakah emosional immaturity berdampak hiporeaktif, masih memerlukan penelitian seksama. Betapapun teori-teori mencari rangsang pathologis yang menjawab mengenai delinkuensi dan kriminal cukup menarik minat untuk penelitian lapangan. Oleh karena itu ia bersifat kontemporer. H. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory). Berkembang dari teori pencegahan atau penjeraan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan, perspektik pemilihan rasional meminjam atau memanfaatkan teori ekonomi kontemporer dan menerapkan banyak dari konsep-konsep ini bagi perilaku kriminal. Apabila teori penjeraan menyoroti pengaruh hukuman bagi perilaku selanjutnya prevensi khusus untuk mencegah perilaku kriminal ulangan yaitu perbaikan dan pembinaan narapidana, teori pilihan rational menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum, pendukung semula teori pilihan rasional. Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta 133 keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi peluang-peluang yang terdapat baginya.111 Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non-kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diproses melalui peradilan pidana. Apabila demikian maka seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan rasional. hal ini mengingatkan teori pada kriminologi klasik, Hedonisme misalnya. Dengan berdasarkan pendapatnya pada Neuman Morgensterm daengan pola dan paradigma utilitas yang diharapkan, Becker mengusulkan bahwa individu yang memepertimbangkan opsi atau pilihan-pilihan kriminal akan bertindak berdasarkan pemikiran ini , hanya apabila hasil yang diantisipasi yang diharapkan untuk melakukan tindak pidana tadi melebihi manfaat yang diharapkan apabila tidak melibatkan diri dalam tindak pidana tertentu tadi. Dengan kata lain teori bertindak rasional berpendapat bahwa individu menimbang berbagai kemungkinan dan kemudian memilih pemecahan optimal. Nampaknya Becker tidak begitu melihat cetusancetusan emosional dan spontan dalam menerapkan pola kriminal. Dengan menilai penawaran dan permintaan mengenai interaksi manusia dapat sungguh merupakan tugas iyang banyak diminta. Seperti halnya yan ditunjukkan oleh Cook 1980 kita temukan banyak variasi mengenai faktor-faktor perorangan yang memberikan kontribusi kepada kerimitan atau kompleksitas proses pengambilan putusan oleh manusia. Oleh karenannya berakibat bahwa proses ini lebih sedikit 111 Ibid, hal. 146. 134 mekanistiknya dibandingkan dengan para teoretisi pilihan rasional iyang minta mempercayainy hasil studi yang diarahkan oleh Jonh Carol 1978 menggambarkan kompleksitas dalam proses pengambilan putusan oleh manusia, dan menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil terkadang tidak lagi irasional dan bersifat non ekonomis. Juga telah ditentukan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang dioertimbangkan oleh pengambilan keputusan manusia itu bersifat subjektif. Subyektifitas dan kebebasan memilih perlu ditambah dengan faktor pengendaliaan emosi yang kadang-kadang terabaikan aplikasi teori ini, dan aspek mengenai scenario pengambilan putusan pidana tadi misalkan kerugian dan keuntungannya lebih dipertimbangkan secara individual dari pada secara multiplikatif atau perkalian atau pergandaan seperti yang diharapkan oleh presdiksi teori utilitas (Cimler dan Beach 1981) penemuan-penemuan semacam ini sulit untuk mengabaikan kesimpulan Carol 1978 yang menyatakan bahwa pertimbangan dan keputusan yang diambil manusia dicapai dengan cara yang mengurangi penggunaan optimal berbagai kemungkinan dan peluang.112 Teori ekonomi mementingkan kemapuan untuk memperoleh dan distrisi sumber-sumber. Oleh karenanya, meningkatkan pendapatan atau peluang ekonomi yang lebih meluas harus berkurang, bukan saja sebagai insentif bagi ilegalitas, namun juga bagi perilaku kriminal yang sebenarnya atau sesungguhnya, menurut perspektif pilihan rasional. Begitu pula resesi ekonomi atau menurunnya peluang ekonomi akan menjurus kepada meningkatnya tingkat kriminalitas dengan 112 Ibid, hal. 144. 135 megurangi peluang-peluang yang sah menurut hukum bagi kemajuan.113 Betapapun riset terhadap indicator ekonomi seperti pengangguran dan kriminalitas bercampur dengan beberapa study yang menyoroti adanya asosiasi pengagguran dan kejahatan, namun masih banyak lagi studi yang tidak berhasil menemukan mata rantai antara kedua variable ini. Penelitian W. A Bonger setelah PD-II melaporkan mengenai adanya hubungan antara kondisi ekonomi dan kejahatan yanh berpangkal pada adanya pengangguran yang menyebabkan ketidakmampuan untuk mengatasi kesulitan ekonomi, sementara harga pangan terus naik. 114 Adapun kemiskinan dan pengangguran disebabkan oleh perang dengan segala efek sampingnya seperti alkoholisme, demoralisasi seksual dan kurang atau menurunnya pengembangan budaya. Harus kita catat lebih jauh bahwa sekalipun harus terdapat hubungan antara pengangguran dan perilaku kriminal, ciri klinis yang menonjol mengenai hubungan ini dipertanyakan akibat hasil penyelidikan oleh Freeman (1983), yang mengestimasikan bahwa reduksi sebesar 50% dalam pengagguran dalam tingkat kriminalitas secara keseluruhan. Kembali menurut Bonger yang merevisi teori Von Mayr kejahatan berhubungan dengan objectiv Nahrung Ershewrung “yaitu harga gandum yang baik turun diikuti secara spontan oleh naik turunnya kriminalitas”, menjadi subjective Nahrung Ershewrung yang mana individu penganggur sebagai mediator yang karena ketidakmampuannya tidak sanggup mengikuti kenaikan harga pokok pangan dan berbuat kejahatan. 113 114 Ibid. Ibid, hal. 146 136 Sebagian besar riset atas “teori pilihan” telah dilaksanakan dengan menggunakan data dalam keseluruhannya bersama-sama. Betapapun, riset atau subjek-subjek secara individual nampaknya akan merupakan model paradigma eksperimental yang lebih tepat mengingat bahwa fokus utama mengenai model pilihan rasional adalah untuk kejahatan dan peristiwa-peristiwa kriminal dan bukan semata-mata pada kriminalitas maupun keterlibatan dalam kejahatan. Oleh sebab itulah sementara tingkat himpunan data penyelidikan nampak sangat mendukung sekali hipotesa pilihan rasional, penyelidikan-penyelidikan tingkat individu jauh lebih kurang nampaknya.115 Apabila diamati pola-pola kriminalitas modern economical crimes umpamanya memang teori ini memiliki manfaat yang cukup berarti karena pelaku kejahatan non konvensial ini adalah para intelektual yang justru rasional, individual dan pengamat situasi yang jeli. Studi atau penyelidikan level individu yang dipimpin oleh Ann White (1980) memberikan dukungan tertentu bagi perspektif ekonomi atas kejahatan dalam arti bahwa baik kepastian yang diharapkan maupun beratnya hukuman yang dijatuhkan, memperlihatkan pengaruh “jera” atau “kapok” yang relatif lemah, namun walau bagaimanapun juga terdapat hubungan dengan perilaku kriminal selanjutnya. Tetapi dalam semua teori “pilihan rasional” jarang mengadakan penilaian melalui data tingkat/level individe. Sepanjang tidak dilakukan usaha untuk memperluas “teori-teori ekonomi” dan “pilihan rasional” mengenai perilaku kriminal terhadap individu, maka akan tetap merupakan seperti yang ditegaskan oleh Rutter dan Giller (1984) sebagai 115 Ibid 137 penjelasan parsial mengenai: perilaku anti sosial dalam keadaan yang paling baik. Selain dari sempit, dan terbatas serta lebih tertarik pada hubungan-hubungan yang bersifat sepele, “teori pilihan rasional” menghadapi kesulitan besar dalam menjelaskan sejumlah fenomena yang pernah diobservasi dalam aneka ragam penyelidikan mengenai “manusia dalam mengambil keputusan”. Fenomena ini meliputi, walau tidak terbatas pada “efeks konteks” dengan memproses seleksi pilihan yang awet dan memberikan semangat untuk melakukan penyelidikan selanjutnya, seperti halnya kritik atas “teori pilihan rasional” itu ditujukan pada model kegunaan atau utilitas yang diharapkan, juga telah dikemukakan modifikasi perbaikan oleh para teoretisi di lapangan. Beberapa diantara modifikasi yang lebih populer mengenai teoti utilitas yang juga diharapkan meliputi model kegunaan yang diharapkan yang bersifat subjektif (Edward’s, 1955), pendekatan rata-rata produk yang ditimbang secara diferensial dan teori prospek. “Lattimore dan Witte (1985) menentukan bahwa model kegunaan yang diharapkan dan teori prospek menjurus pada prediksi yang sangat berbeda apabila diminta untuk menilai bagaimana perbahan-perubahan dalam kebijaksanaan peradilan pidana akan memberikan dampak pada kecenderungan-kecenderungan membuat keputusan mengenai para pelaku tindak pidana. Betapapun kita masih harus menentukan apakah teori prospek memberikan sesuatu yang lebih baik daripada “model kegunaan” atau utility model, yang diharapkan apabila data tingkat individual dihubungkan dengan penyamaan atau ekuasi tadi. 138 Dalam aplikasi teori ini terutama pada penanganan economical crimes, maka perlu dikaji sebagai masukan mengenai fungsi undang-undang pidana dalam tindak pidana yang ekspresif atau instrumental yang pernah dikemukakan William Chamblis, seperti apa yang terjadi sekarang, teori pilihan rasional memberikan penjelasan yang berguna bagi kriminalitas, namun tidak lengkap. Kekuatannya terletak pada presisi, operasionalitas dan kemampuannya untuk menjelaskan peristiwa kriminal spesifik, sedangkan kelemahannya telah terungkapkan dalam sifat keterbatasan mengenai hubungan-hubungan yang diamatinya, kurangnya memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena empiris dan ketidakmampuannya untuk mempertanggungjawabkan tentang perilaku kriminal untuk waktu lama. Riset dimasa mendatang perlu kirannya untuk memperhatikan pokok-pokok yang beraneka ragam apabila diinginkan agar teori pilihan rasional dapat memperoleh tempat dalam usaha riset ilmu pengetahuan tentang kejahatan. Kembali bahwa sasaran pengujian dan pengkajian teori pilihan rasional adalah kejahatan non konvensional atau yang kontemporer yang pelakunya dikalangan intelektual yang memiliki wibawa di bidang bisnis dan politis. Beberapa catatan penting mengenai teori pilihan rasional adalah:116 a. Teori pilihan rasional menitikbertkan pada pemnafaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. b. Akibat pidana yang dialami seseorang merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang 116 Ibid, hal. 147-149 139 c. d. e. f. dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi peluangpeluang yang ada padanya. Teori pilihan rasional dengan demikian berpendapat bahwa individu menimbang dari berbagai kemungkinan, kemudian memilih pemecahan yang optimal yang dapat dilakukan. Terdapat kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan oleh manusian yang menunjukkan bahwa keputusan-keputusan yang diambil terkadang tidak lagi rasional dan bersifat non-ekonomis serta bersifat subjektif. Meningkatnya pendapatan atau peluang yang lebih meluas harus berkurang, tidak saja sebagai insentif bagi ilegalitas dan perilaku menyimpang, melainkan pula bagi perilaku kriminal yang sebenarnya seperti pada berbagai pola kejahatan konvensional, menurut perspektif pilihan rasional. Patut diperhatikan bahwa resesi ekonomi menjurus pada meningkatkan tingkat kriminalitas (crime rate). Karena saingan semakin tajam dan demi survifal, ilegalitas akan menjadi alternatif yang menarik. Teori pilihan rasional member penjelasan yang bermanfaat dalam mempelajari kriminalitas: 1) Kekuatan teori terletak pada presisi, operasionalitas dan kemampuannya untuk menjelaskan peristiwaperistiwa kejahatan yang khas, terutama yang nonkonvensional. 2) Kekurangan teori ini adalah dalam sifat keterbatasan mengenai hubungan-hubungan yang diamatinya dan kurang memberikan penjelasan tentang berbagai fenomena. 140 g. Teori pilihan rasional kurang mampu mempertanggungjawabkan mengenai perilaku kriminal untuk waktu yang relatif lama. Betapapun teori ini akan mampu mengisi acuan teori baru yang sebelumnya menjadi kendala dalam mengamati dan menganalisa kejahatan modern:117 a. Proses dan akibat yang menyangkut masalah kriminalisasi dan deskriminalisasi. b. Reaksi terhadap penjahat dan kejahatan. c. Mekanisme-mekanisme dalam bekerjanya sistem peradilan pidana. d. Enkulturasi petugas mengenai tugas-tugasnya. e. Gambaran sikap serta pembentukan peranan diantara pejabatpejabat serta alat-alat penegak hukum. f. Penghukuman sebagai sosio legal serta psikolegal dan penology. g. Metode-metode penanganan penjahat. Hal-hal yang berhubungan dengan kejahatan sebagai fenomena sosial itu adalah segi hukum pidana tentang kejahatan dan pelaku kejahatan (criminal) “criminal jurism” yang menurut para ahli kriminologi merupakan sasaran study kriminologi seperti diantaranya dikemukakan oleh Katherine S. Williams: “Criminologi includes the study of; the characteristics of the criminal law; the extent of crime; the effects of crime on society; methods of crime prevention, the attributes of criminals, and the characteristics and woekings of the criminal justice system”. Berarti kriminologi mempelajari: 117 Ibid, hal. 148-149. 141 a. Karakteristik hukum pidana; b. Keberadaan kriminalitas; c. Pengaruh kejahatan terhadap korban dan masyarakat pada umumnya; d. Metode penaggulangan kejahatan; e. Atribut penjahat; f. Karakteristik dan bekerjanya sistem peradilan pidana. Enam butir yang menjadi perhatian utama kriminologi menghadapkan kejahatan dengan hukum pidana dan peradilan pidan, sehingga kalau dihadapkan dapat digambarkan sebagi berikut:118 Kejahatan 1. Keberadaan kejahatan. 2. Pengaruh/akibat kejahatan. 3. Atribut kriminal. 4. Penanggulangan kejahatan. Hukum dan Peradilan Pidana 1. Karakteristik Hukum Pidana. 2. Karakteristik dan bekerjanya sistem peradilan pidana. Oleh karena itu Kathrine S. Williams menegaskan bahwa: “Criminologi is concerned with crime; to understand the materials every criminologist should thus have a good grounding in the criminal law.” Jelaslah bahwa berbicara tentang kejahatan, maka pola penaggulangannya bersifat penal dan non penal atau lewat bekerjanya hukum pidana dan kebijakan di luar hukum pidana. 118 Ibid 142 Bila penanggulangan kejahatan melalui penal approach, maka sistem sebagai cara untuk menyelesaikan peristiwa pidana dan menaggulanginya kejahatan di sini hukum pidana berperan sebagai upaya prevensi khusus yang melalui Lembaga Pemasyarakatan untuk mencegah residivis. Melalui pemahaman materi studi yang dengan jelas dikemukakan oleh Katherine S. Williams maka relasi antara kriminologi dan sistem perdilan pidana telah dapat terjabarkan sesuai proporsinya. I. Teori Juvenille Delinquensi Teori ini memepelajari tentang sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan latar belakang dilakukannya perbauatan itu. Dengan perkataan lain, perlu diketahui motivasinya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia (1995) bahwa yang dikatakan motivasi itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Yang dimaksud dengan motivasi intrinsic adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah doronganyang datang dari luar diri seseorang. Berikut ini Romli mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak:119 119 Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, hal. 46. 143 1. Yang termasuk motivasi intrinsik pada kenakalan anak-anak adalah: a. Faktor intelegensia; b. Faktor usia; c. Faktor kelamin; d. Faktor kedudukan anak dalam keluarga. 2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik adalah: a. Faktor rumah tangga; b. Faktor pendidikan dan sekolah; c. Faktor pergaulan anak;dan d. Faktor mass media. Intelegensia adalah kecerdasan seseorang, menurut Wundt dan 120 Eisler adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak delinquen ini pada umumnya mempunyai intelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dalam pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali terseret oleh ajakan buruk untuk menjadi delinquen jahat. Usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-musabab timbulnya kejahatan. Apabila pendapat tersebut diikuti secara konsekuen, maka dapat pula dikatakan bahwa usia seseorang adalah faktor yang penting dalam sebab-musabab timbulnya kejahatan.121 Di dalam penyelidikannya Paul W. Tappan122 mengemukakan pendapatnya bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki amaupun oleh anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih banyak daripada anak perempuan pada batas usia tertentu. Adaniya perbedaan jenis 120 Ibid, hal. 46. Ibid, hal. 48. 122 Ibid, hal. 49. 121 144 kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan, tidak hanya dari segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya. Faktor kedudukan anak dalam keluarga, adalah kedudukan seorang anak dala keluarga menurut urutan kelahirannya, misalnya anak pertama, kedua dan seterusnya. Namun hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Noach terhadap delinquensi dan kriminalitas di Indonesia telah mengemukakan pendapatnya bahwa kebanyakan deliquensi dan kejahatan dilakukan oleh anak pertama dan atau anak tunggal atau oleh anak wanita atau dia satu-satunya diantara sekian saudara-saudaranya (kakak atau adik-adiknya). Sebagaimana diketahui terdapat berbagai macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang juvenile delinquency ini, seperti diuraikan di bawah ini. Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile Delinquency, yaitu sebagai berikut: 1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan deliquency. ladi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya. 2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya 3. Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.123 Menurut Kartini Kartono yang dikatakan Juvenile Delinquency adalah : Perilaku jahat dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial 123 Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2006, hal. 9. 145 sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan yang dikatakan Juvenile Delinquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan. Paul M. Tappan memberikan suatu perumusan tentang pengertian JuveniIe Delinquency, yaitu sebagai berikut: The juvenile delinquent is a person has been aiudicated as such by a court of proper jurisdiction though he may be no different up until the time of court contact and ajudication at any rate, from masses of children who are not delinquent. Maud A. Merril merumuskan Juvenile Delinquency sebagai berikut: A child is classified as a delinquent when his anti socialtendencies appear to be so grave that he become or ought to.become the subject of off icial action. (Seorang anak digolongkan anak delinkuent apabila tampak adanya kecenderungankecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang berwajib terpaksa atau hendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti menahannya atau mengasingkannya.)124 R. Kusumanto Setyonegoro dalam hal ini mengemukakan pendapatnya antara lain sebagai berikut: Tingkah laku individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap sebagai akseptabel dan baik, oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Apabila individu itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku serupa itu disebut dengan istilah tingkah laku yang sukar atau nakal. Jika ia berusaha adolescent atau preadolescent, maka tingkah laku itu sering disebut delinkuen; dan jika ia dewasa maka tingkah 124 Ibid, hal. 10. 146 laku ia seringkali disebut psikopatik dan jika terang-terangan melawan hukum disebut kriminal.125 Tim proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Desember 1967 memberikan perumusan mengenai JuveniIe Delinquency sebagai berikut : Suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela. Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan Juvenile Delinquency, yaitu sebagai berikut: Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan.126 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anakanak usia muda. Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya. Dalam KUHPidana di lndonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsurunsur: a. Adanya perbuatan manusia; b. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan Hukum; 125 126 Ibid Romli Atmasasmita, 1983, Op.cit, 49 147 c. Adanya kesalahan; d. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi anak dalam hal ini adalah anak yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah Juvenile Delinquent, memiliki kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis yang sedang berlangsung menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukan kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan karena tindakannya lahir dari kondisi psikologis yang tidak seimbang, di samping itu pelakunya pun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam suatu perbuatan kejahatan (KUHPidana), yaitu menyadari akibat dari perbuatannya dan pelakunya mampu bertanggungjawab. Hal demikian pun terjadi di Amerika Serikat, di mana dibedakan antara perbuatan yang dilakukan anak dengan orang dewasa. Suatu tindakan anti sosial, yang melanggar norma hukum pidana, kesusilaan, ketertiban umum, yang apabila itu dilakukan oleh seseorang di atas usia 21 tahun, maka perbuatannya dinamakan kejahatan (crime). Jika dilakukan oleh seseorang yang usianya di bawah 21 tahun disebut kenakalan (Delinquency) . Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency ini menurut Adler adalah:127 1. Kebut-kebutan dijalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain; 2. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan; 127 Wageati Soetodjo, Op.cit, hal. 13-14. 148 3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa; 4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan asusila; 5. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya; 6. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang mengganggu sekitarnya; 7. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan inferior, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain; 8. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bius, drug, opium, ganja) yang erat berkaitan dengan tindak kejahatan; 9. Tindakan-tindakan imoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali (promiscuity) yang didorong oleh hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usahausaha kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya; 10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada anak remaja disertai dengan rindakantindakan sadis; 149 11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses kriminalitas; 12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin; 13. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja; 14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, neurotik dan menderita gangguan jiwa lainnya; 15. Tindak kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics Lethargoical) dan ledakan maningitis serta posten cephalitics, juga luka di kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol diri; 16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior. RANGKUMAN 1. Teori asosiasi diferensial (Defferential Assosoation Theory). Edwin H. Sutherland mengambil ide dasar ini kemudian dikembangakan menjadi teori “perilaku kriminal” Sutherland menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar normanorma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya tehnik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan resonalisasi yang nyaman atau memuaskan bagi dilakukannya perbauatan-perbuatan anti sosial. 2. Strain Theory (Teori Tegang) Masalah sesungguhnya menurut Merton tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan 150 sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial). Menurut Merton, suatu masyarakat menanamkan pada anggotaanggotanya suatu hasrat untuk mencapai cita-cita tertentu dan kemudian menggariskan cara-cara yang sah melalui mana cita-cita tadi dapat dicapai. 3. Teori Kontrol Sosial (social control theory) Travis Hirshi berpendapat bahwa perilaku kriminal merupakan kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional seperti keluarga, sekolah, kawan sebaya untuk mengikat atau terikat dengan individu. Menunjuk pada pembahasan delinquensi dan kejahatan dikaitkan dengan variable-variabel yang bersifat sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, kelompok dominan. 4. Teori label diartikan dari segi pandangan pemberian nama, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. Berdasarkan persepsi ini pelanggar hukum tidak bisa dibedakan dari mereka yang tidak melanggar hukum, terkecuali bagi adanya pemberian nama atau label terhadap mereka yang ditentukan demikian. 5. Teori-teori Sendiri (The Self-Theories) tentang kejahatan menitikberatkan pada penafsiran atau interpretasi individu yang bersangkutan. Dengan menjajaki pendapat tentang bayangan sendiri dan penyimpangan, L. Edward Wells berspekulasi bahwa perilaku adalah suatu usaha oleh seorang individu untuk mengkontruksi, menguji, mengesahkan dan menyatakan apa tentang dirinya. teori-teori sendiri tentang kejahatan menitikberatkan pada penafsiran atau interpretasi individu yang bersangkutan. Dengan menjajaki pendapat tentang bayangan sendiri dan penyimpangan, L. Edward Wells berspekulasi bahwa perilaku adalah suatu usaha oleh seorang individu untuk mengkontruksi, menguji, mengesahkan dan menyatakan apa tentang dirinya. 151 6. Teori Psiko Analitik (Psyko Analitik Theory) Sigmund Frued berefleksi pada bagaimana sikap kita terhadap para kriminal pada umumnya nampak mencerminkan sikap yang kita miliki terhadap kriminal dalam diri sendiri. 7. Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking) Herbert C. Quay mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Menurut Quay, kriminalitas merupakan manifestasi banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan-peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku. 8. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory). Gary Becker menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihanpilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi peluang-peluang yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non-kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diproses melalui peradilan pidana. 9. Juvenile Delinquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda. Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya. LATIHAN 1. Kemukakan perkembangan teori asosiasi diferensial? 2. Kemukakan perkembangan strain theory? 3. Kemukakan teori kontrol sosial? 4. Kemukakan perkembangan teori label? 152 5. Kemukakan perkembangan teori sendiri? 6. Kemukakan perkembangan teori psiko analitik? 7. Kemukakan perkembangan teori ransangan psikologis? 8. Kemukakan perkembangan teori pilihan rasional? 9. Kemukakan yang dimaksud dengan juvenile delinquensi? 10. Kemukan apa yang menyebabkan kenakalan yang dilakuakan oleh remaja? GLOSSARIUM 1. Asosiasi : Orang-orang yang saling terhubung yang membentuk kelompok dalam masayarakat. 2. Anomi : keadaan tanpa norma (chaos). 3. criminal justice: Peradilan pidana. 4. kriminogen: Suatu situasi yang memungkinkan/mendorong munculnya tindakan kriminal. 5. Juvenille Court: Persidangan untuk anak remaja. 6. Abnormalitas: Suatu keadaan yang dianggap tidak normal atau tidak wajar. 7. Juvenile delinquensi: Perilaku jahat dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda. DAFTAR PUSTAKA Romli Atmasamita, 1983, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung. ---------------------., 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, PT Eresco, Bandung. 153 ---------------------., 2005, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Refika Aditama, Bandung. Sorjono Dirdjosisworo, 1994, Sinopsis Kriminologi Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, 2008, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung. 154 BAB VII PENGERTIAN, PERKEMBANGAN DAN RUANG LINGKUP VIKTIMOLOGI Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian, Perkembangan dan Ruang Lingkup Viktimologi Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan pengertian viktimologi dan menyebutkan objek pengkajiannya. 2. Menjelaskan 3 (tiga) fase perkembangan viktimologi. 3. Mengungkapkan persoalan korban mengapa dilupakan. 4. Menjelaskan peranan korban terhadap timbulnya kejahatan menurut para sarjana. 5. Menyebutkan ruang lingkup kajian viktimologi. A. Pengertian Viktimologi Masalah korban kejahatan merupakan elemen yang penting dalam keadaan-keadaan tertentu dapat menjadi pemicu munculnya kejahatan, disamping penanggulangan kejahatan yang selama ini hanya terfokus pada berbagai hal berkaitan dengan penyebab timbulnya kejahatan atau metode yang efektif dipergunakan dalam penanggulangan kejahatan. Pada saat berbicara tentang korban kejahatan, cara pandang kita tidak dapat dilepaskan dari viktimologi. Melalui viktimologi dapat diketahui berbagai aspek yang berkaitan dengan korban, seperti: faktor penyebab munculnya kejahatan, bagaimana 155 seseorang dapat menjadi korban, upaya mengurangi terjadinya korban kejahatan, hak dan kewajiban korban kejahatan. Viktimologi dapat dikatakan sebagai cabang ilmu yang relatif baru jika dibandingkan dengan cabang ilmu lain, seperti sosiologi dan kriminologi. Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi tidak lebih rendah dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu yang lain, dalam kaitan pembahasan mengenai fenomena sosial. Viktimologi, berasal dari bahasa latin victima yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Korban dalam lingkup victimologi memiliki arti yang luas karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, korporasi, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan terhadap korban dan/atau pihak pelaku serta mereka yang secara langsung atau tidak terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan. Pentingnya korban memperoleh perhatian utama dalam membahas kejahatan disebabkan korban sering kali memiliki peran yang sangat penting bagi terjadinya suatu kejahatan. Diperolehnya pemahaman yang luas dan mendalam tentang korban kejahatan, diharapkan dapat memudahkan dalam menemukan upaya penanggulangan kejahatan yang pada akhirnya akan bermuara pada menurunya kuantitas dan kualitas kejahatan. Sejalan dengan semakin berkembangnya viktimologi, sebagai cabang ilmu baru, berkembang pula berbagai rumusan tentang viktimologi. Kondisi ini hendaknya tidak dipandang sebagai pertanda tidak adanya pemahaman yang seragam 156 mengenai ruang lingkup viktimologi, tetapi harus dipandang sebagai bukti bahwa viktimologi akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman, yaitu: 1. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional; 2. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi; 3. Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.128 Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan tentang korban kejahatan (viktimologi), tidak dapat dipisahkan dari lahirnya pemikiran-pemikiran brilian dari Hans von Hentig, seorang ahli kriminologi pada tahun 1941 serta Mendelsohn, pada tahun 1947. Pemikiran kedua ahli ini sangat mempengaruhi setiap fase perkembangan viktimologi. Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah mengalami berbagai perkembangan yang dapat dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini dikatakan sebagai “penal or special victimology.” Sementara itu, pada fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. Pada fase ini disebut sebagai 128 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta 1993, hlm. 40. 157 “general victimology.” Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai “new victimology.”129 Dari pengertian di atas, tampak jelas bahwa yang menjadi objek pengkajian dari viktimologi, di antaranya: pihak-pihak mana saja yang terlibat/memengaruhi terjadinya suatu viktimisasi (kriminal), bagaimanakah respons terhadap suatu viktimisasi kriminal, faktor penyebab terjadinya viktimisasi kriminal, bagaimanakah upaya penanggulangannya, dan sebagainya. B. Perkembangan Viktimologi Sejak awal mula lahirnya hukum pidana, fokus subjek yang paling banyak disoroti adalah si pelaku. Padahal dari suatu kejahatan, kerugian yang paling besar diderita adalah oleh si korban kejahatan tersebut. Akan tetapi, sedikit sekali hukum ataupun peraturan perundang-undangan yang dapat kita temui yang mengatur mengenai korban serta perlindungan terhadapnya. Hukum pidana memperlakukan korban seperti hendak mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Hal yang juga disebutkan oleh Reif: “The problem of crime, always get reduced to what can be done about criminal. Nobody asks what can be done abaout victim? Everyone assumes the best way to help the victim is to catch criminal as thought the offender is the only source of the victims trouble.” Apabila hendak mengamati masalah kejahatan secara komprehensif, maka tidak boleh mengabaikan peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Bahkan, apabila memerhatikan pada 129 Made Darma Weda, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung, 1995, hlm. 200. 158 aspek pencarian kebenaran materiil sebagai tujuan yang akan dicapai dalam pemeriksaan suatu kejahatan, peranan korban pun sangat strategis. Dengan demikian, sedikit banyak menentukan dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Tidak berlebihan apabila selama ini berkembang pendapat yang menyebutkan bahwa korban merupakan asset yang penting dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Pada sebagian besar kasus-kasus kejahatan, korban sekaligus merupakan saksi penting yang dimiliki untuk menghukum pelaku kejahatan. Sayangnya, dalam kerangka pemeriksaan suatu perkara di mana korban merupakan saksi bagi pengungkapan suatu kejahatan. Korban hanya diposisikan sebagai instrument dalam rangka membantu aparat penegak hukum untuk menghukum si pelaku, dan tidak pernah berlanjut pada apa yang dapat Negara serta aparat penegak hukum lakukan untuk si korban, sehingga penderitaan (kerugian) yang diderita korban dapat dipulihkan seperti keadaan sebelum terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya. Persoalan korban tersebut dilupakan disebabkan antara lain karena: 1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang sebenarnya secara multi dimensional; 2. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) yang tidak didasarkan pada konsep yang integral dengan etiologi kriminal; 3. Kurangnya pemahanan bahwa masalah kejahatan merupakan masalah kemanusiaan, demikian pula masalah korban.130 130 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya,Yogyakarta, 2000, hlm. 173. 159 Perhatian kalangan ilmuwan terhadap persoalan korban dimulai pada saat Hans von Hentig pada tahun 1941 menulis sebuah makalah yang berjudul “Remark on the interaction of perpetrator and victim.” Tujuh tahun kemudian beliau menerbitkan buku yang berjudul The criminal and his victim yang menyatakan bahwa korban mempunyai peranan yang menentukan dalam timbulnya kejahatan,131 mempelajari hubungan antara pelaku dan korban (victim-offender relationship) dari aspek penderitaan korban dan aspek korban sebagai pemicu dan mengakibatkan kejahatan.132 Dalam bukunya yang berjudul The criminal and his victim tersebut, von Hentig membagi enam katagori korban dilihat dari keadaan psikologis masing-masing, yaitu: 1. The dpressed, who are weak and submissive; 2. The acquisitive, who succumb to confidence games and racketeers; 3. The wanton, who seek escapimin forbidden vices; 4. The lonesome and heartbroken, who are susceptible to theft and fraud; 5. The tormentors, who provoke violence, and; 6. The blocked and fightings, who are unable to take normal defensive measures.133 Pada tahun 1947 atau setahun sebelum buku von Hentig terbit, Mendelsohn menulis sebuah makalah dengan judul “New bio-psycho-sosial horizons: Victimology.” Pada saat inilah 131 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, CV Akademika Pressindo, Jakarta, 1989, Edisi Pertama-Cetakan Kedua, hlm. 78. 132 Chaerudin dan Syarif Fadillah, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam (Jakarta: Ghalia Press, Juli 2004), Cetakan Pertama, hlm. 21. 133 Prassel, Frank R., Criminal Law, Justice, and Society (Santa Monica California: Goodyear Publishing Company Inc., 1979), hlm. 66 160 Benjamin Mendelsohn, seorang pengacara di Jerusalem dianggap orang yang pertama kali mempergunakan istilah victimology dalam bukunya yang berjudul “ Revue Internationale de Criminologie et de Police Technique.” Pembahasan mengenai Korban oleh von Hentig dan Mendelsohn kemudian diikuti oleh sarjana-sarjana lain diantaranya seperti Ellenberger (1945), yang melakukan suatu studi tentang hubungan psikologis antara penjahat dengan korban, bersama dengan H. Mainheim (1965), Schafer (1968), dan Fiseler (1978).” Kemudian, pada tahun 1949 W.H. Nagel juga melakukan berbagai pengamatan mengenai subjek ini dalam tulisannya berjudul “de Criminaliteit van Oss, Groningen.” Dan sepuluh tahun kemudian dapat dikatakan viktimologi menjadi isu yang menarik dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1959 P. Cornil dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa si korban patut mendapatkan perhatian yang lebih besar dari kriminologi dan viktimologi harus diperhatikan dalam membuat kebijakan kriminal dan juga dalam pembinaan para pelaku kejahatan. Baik Cornil maupun Nagel memperluas wilayah bahasan kriminologi sampai masalah korban. Perhatian terhadap korban kejahatan akhirnya diwujudkan dalam suatu simposium internasional di Jerusalem pada tanggal 56 September 1973. Dalam simposium di Jerusalem ini berhasil dirumuskan beberapa kesimpulan, yaitu: viktimologi dapat dirumuskan sebagai studi ilmiah mengenai para korban, dan kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientasi viktimologi. Simposium kedua diadakan di Boston, pada tanggal 5-9 September 1976. Viktimologi dianggap penting karena dapat 161 membantu menambah kecerahan dalam menghadapi penjahat dan korbannya. Studi lebih lanjut tentang viktimologi juga telah dilakukan dalam bentuk Postgraduate Course on the Victim of Crime in The Criminal Justice Sistem dan telah dua kali dilakukan di Dubrovnick, Yugoslavia. Setelah mengalami berbagai kesulitan pada saat diselenggarakannya simposium yang kedua di Boston, maka pada tahun 1977 didirikanlah World Society of Victimology. World Society of Victimology (WSV) dipelopori oleh Schneider dan Drapkin. Perjalanan panjang untuk menghasilkan suatu prinsip-prinsip dasar tentang perlindungan korban memang sangat terasa. Sekalipun demikian, cita-cita tersebut akhirnya dapat terwujud pada saat diadakan kongres di Milan, Italia pada tanggal 26 Agustus sampai dengan September 1985 dengan nama Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, yang menghasilkan beberapa prinsip dasar tentang korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan yang selanjutnya diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 11 Desember 1985 dalam suatu deklarasi yang dinamakan Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power.” Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa viktimologi yang pada mulanya berwawasan sempit sebagaimana dikemukakan oleh von Hentig dan Mendelsohn, kemudian dikembangkan oleh Mendelsohn. Selanjutnya viktimologi yang berinklusif wawasan hak-hak asasi manusia (juga disebut the new victimology) dikembangkan oleh Elias, kemudian diperluas lagi sehingga mencakup penderitaan mausian (kemanusian) oleh Separovic.134 New Victimology ini bertujuan untuk: 134 J.E. Sahetapi, Kata Pengantar dalam Bunga Rampai Viktimisasi (Bandung: Eresco, 1995), hlm. V. 162 1. Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban; 2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan 3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia.135 Sejak dimulainya studi tentang kepribadian korban yang dilakukan oleh Benyamin Mendelsohn pada tahun 1937, viktimologi sebagai applied science bagi hukum pidana dan kriminologi terus berkembang. Bahkan sampai saat ini telah dilakukan lima kali simposium internasional tentang Viktimologi dan terakhir di Zagreb, Yugoslavia pada tahun 1985, di samping pertemuan-pertemuan ilmiah lain yang diselenggarakan di pelbagai Negara.136 Memang harus diakui bahwa kajian mengenai viktimologi relatif kurang diminati di kalangan praktisi hukum sehingga dari waktu ke waktu perkembangannya jauh tertinggal dibandingkan dengan kajian lainnya seperti kriminologi, penetensier, dan sebagainya. Terbukti bidang viktimologi miskin dengan literatur serta kajian-kajian ilmiah lainnya. Hal ini terjadi karena dalam penanganan perkara pidana perhatian yang diberikan kepada pelaku lebih banyak daripada korban sebagaimana Prassell berpendapat: “ Victim was a forgotten figure in the study of crime. Victims of assaults, robbery, theft, and other offenceses were ignored while police, courts, and academicians on known violators.” Sekalipun demikian, tidak berarti bahwa viktimologi merupakan bidang yang tidak memerlukan perhatian yang serius 135 Muladi, disampaikan pada seminar viktimologi di Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi, S.H., Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 76. 136 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit universitas Dipenogoro, 2002), hlm. 65. 163 dibandingkan dengan bidang kajian lainnya karena melalui viktimologi akan dapat diperoleh masukan dalam menghadapi dan menanggulangi masalah kejahatan yang semakin hari semakin meningkat. C. Perkembangan Konsep Kajian Viktimologi Kebanyakan orang melihat keberadaan sistem peradilan pidana sebagai mana adanya dalam proses pemidanaan. Kebanyakan orang tidak menyadari bahwa metode penanganan pelaku kejahatan bukanlah merupakan norma yang secara intrinsik terjadi dalam perkembangan serjarah. Praktek sistem peradilan pidana dalam proses pemidanaan masih berpegang pada pokok bahasan yang terarah pada pertanggungjawaban pidana pelaku kejahatan terfokus pada korban dan keluarga korban. Di sana tak dijumpai adanya “otoritas” untuk mengubah citra untuk mengupayakan bagaimanakah menolong korban dalam proses penegakan hukum pidana, korban diharapkan membentengi dirinya sendiri dan masyarakat ikut serta dalam persepakatan itu. Pernyataan tentang perlunya korban membentengi dirinya sendiri tersebut tidak didesain dan diformulasikan dalam setiap perangkat hukum pidana atau kitab hukum pidana. Masyarakat hanya mengenal kejahatan berat dan pelakunya sebagai “mala In se” (perilaku yang secara menyeluruh tidak dikehendaki terjadi di masyarakat karena sifat jahatnya). Fokus terarah pada upaya bagaimana tindakan harus dilakukan terhadap pelaku, hanya sayangnya korban yang sebetulnya harus diberikan peran dalam 164 menentukan tindakan apa yang ditimpakan pada pelaku belum memperoleh tempat yang memadai dalam sistem peradilan yang terkerangkakan dan terfomulasikan dalam perangkat hukum pidana atau pun kitab hukum pidana. Korban harus memnbetengi dan mengatasi masalahnya sendiri menurut caranya sendiri. Masyarakat mengenal sistem “retribution” dan “restitution” sebagai dasar tujuan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan. “Retribution” adalah pelaku kejahatan akan mengalami penderitaan sebanding dengan tingkat kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya. Sering terjadi “retribution” ini menjadikan dirinya sebaga “restitution”. “Restitution” adalah pembayaran sejumlah uang dalam rangka untuk memberikan bantuan kepada korban oleh si pelaku, dan apabila pelaku tidak dapat membayarnya, maka keluarganya dipaksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pelaku tersebut pada pihak korban. Sistem pertanggungjawaban tersebut berlandaskan pada prinsip yang disebut “lex talionis” – an eye for an eye, a tooth for a tooth. Pidana disesuaikan dengan penderitaan korban. Di sini tampak bahwa seolah-olah korban menjadi pertimbangan utama penderitaan apa yang seharusnya ditimpakan pada pelaku kejahatan. model ini sebetulnya telah menggambarkan suatu “sistem” yang disebut “sistem peradilan korban” atau victim justice system”. Sistem penanganan perilaku kejahatan semacam ini telah terdapat dalam hukum kuno yang terkodifikasikan – 165 hukum Musa, Kitab Hamurabbi (2200 SM) dan Hukum Romawi. Kesemuanya menekankan unsure pertanggungjawaban individual atas perilaku-perilaku yang menderitakan orang lain. Restitusi dan retribusi merupakan ketentuan khusus yang bersumber dari kitab-kitab hukum kuno itu. Bagian terbesar dari maksud ketentuan tersebut adalah pencegahan terjadinya kejahatan di masa datang – “deterrent effects”. Tujuan utama dari “deterrence” ini adalah pencegahan terjadinya kejatan di masa mendatang. Apa yang terkandung dalam pemikiran itu ialah bahwa besarnya resiko dari setiap niat untuk melakukan kejahatan akan menjadikan orang untuk tidak tertarik melakukan kejahatan. Retribusi dan restritusi mencoba untuk menegakkan kembali “status quo” yang telah sebelum perilaku kejahatan terjadi. Pemindahan ke bentuk finansial akan memunculkan petimbangan bahwa melakukan kejahatan tidak ada untungnya sama sekali. Sistem dasar penanganan perilaku kejahatan di atas masih dapat ditemukan hingga abad pertengahan. Walaupun sering ketentuan secara perlahan-lahan mulai ditinggalkan dalam perkembangannya. Dua faktor yang menandai berakhirnya sistem peradilan korban ini. Pertama, timbulnya gerakan kaum bangsawan feudal (barons) untuk memindahkan tuntutan setiap pembayaran ganti rugi pelaku kejahatan pada korban. Penguasapenguasa itu (kaum bangsawan- Barons) melihat uang ganti rugi itu merupakan cara lukratif untuk meningkatkan ke kayaan 166 mereka sendiri. Kaum Barons itu mengarahkan tujuan pembayaran dari individu itu lewat pendefinisian kembali perilaku kejahatan sebagai bentuk pelanggaran pada negara (bukannya pada korban – pengertian korban dipindahkan dari individu atau kelompok menjadi negara). Strategi itu menempatkan negara (yang tidak lain adalah para Barons itu sendiri sebagai penguasa negara) sebagai pihak yang menderita akibat terjadinya kejahatan. ketentuan perangkat Korban disingkirkan dalam hukumnya dan dirumuskan bahwa kedudukan korban adalah sebagai saksi bagi negara- saksi untuk membuktikan terjadinya kejahatan pada negara dan pertanggungjawaban pelaku pada negara (bukan pada korban). Dengan perangkat peraturan hukum yang demikian, maka negara (dalam hal ini adalah Kaum Barons) dapat akses dalam kasuskasus kejahatan dan meraup keuntungan dari prinsip restitutif model baru ini. Ke dua, terjadinya perubahan sosial yang cepat. Kehidupan masyarakat diwarnai suasana pedesaan yang agraris, orang hidup dalam suasana yang kecil dan sederhana, menjalani kehidupan di bidang pertanian, disibukkan dengan upaya untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang sebagian besar ada yang berusaha memenuhi hidupnya sendiri, ada sebagian yang lain hidup menggantungkan bantuan dari sanak keluarganya. Kejahatan yang terjadi bukan saja menimpa korban individual tetapi juga menimpa keluarga korban secara keseluruhan. 167 Masyarakat selanjutnya mengalami perkembangan, terutama dengan terjadinya revolusi industri. Kehidupan masyarakat industrial memunculkan pola kehidupan masyarakat perkotaan, luas dan meninggalkan kehidupan pendesaan dan pindah ke kotakota besar. Mereka tinggal di lingkungan yang lebih ramai, dilingkup orang-orang “asing”. Para tetangganya tidak lagi mengetahui kehidupan orang-orang disebelahnya. Sebegitu kehidupan menjadi kompleks, hubungan antar mereka pun lalu mengarah pada sifat yang “depersonalized”. Ikatan internasional yang mengikat dalam kehidupan kekerabatan pun menjadi sirna. Dengan model masyarakat yang disebutkan belakangan, praktek-praktek sistem peradilan korban (victim justice system) pun lalu makin tidak popular lagi. mengancam masyarakat Kejahatanpun mulai “kepabrik-pabrikan” yang kini menghubungkan orang-orang satu sama lain. Pada waktu yang bersamaan terjadi pula pergeseran posisi korban secara keseluruhan menuju pemusatan perhatian pada pelaku kejahatan semata-mata. Secara perlahan namun pasti sistem peradilan Koran pun meredup hilang dan digantikan dengan sistem peradilan pidana. Kini, korban kejahatan menempati posisi sekedar sebagai saksi dalam penanganan kejahatan oleh negera. Korban tidak lagi menangani masalahnya dengan caranya sendiri dalam memberikan “retributif” dan “restitutif” dari pelaku kejahatan. Korban harus minta masyarakat untuk berbuat perkembangan 168 penegakkan hukum formal, sistem peradilan pidana dan penjara di masa abad-abad yang lalu telah mencerminkan adanya kepentingan untuk melindungi Negara. Pada sebagian besarnya sistem peradilan pidana telah melupakan korban dan kepentingan terbaik korban. Reemergensi Korban Kejahatan Sistem peradilan pidana menghabiskan sebagian besar waktu dan energinya untuk mengontrol terjadinya kejahatan. Antisipasi terhadap kejahatan dilakukan dengan cara-cara memahami perilaku kejahatan dan identifikasi sebab-sebab terjadinya kejahatan dan kemudian “terungkap” kedudukan korban sebagai salah satu penyebab terjadinya kejahatan. terjadi sekitar tahun 1940 an. Ini Korban dilihat bukan sebagai hakikat individu yang memerlukan simpati dan perhatian, melainkan sebagai pihak penyumbang bagi kematiannya sendiri. Para pemerhati masalah perilaku kejahatan mulai memperhatikan keterkaitan hubungan antara korban dan pelaku kejahatan dengan harapan adanya pemahaman yang lebih baik agar permasalahan terjadinya kejahatan. Sebegitu kepentingan terhadap perlindungan korban mulai merebak dan menarik perhatian kebanyakan para pakar, para penulis mulai menggapainya lewat persoalan-persoalan yang mendasar – viktimologi. Apakah viktimologi itu ? beberapa pakar yakin bahwa viktimologi merupakan bidang khusus yang berada dalam ranah kriminologi. Setelah itu, setiap kejahatan 169 secara definitif di dalamnya tercermin adanya pelaku dan korban. Sementara pihak lain lebih melihat bahwa viktimologi merupakan pokok bahasan yang lebih luas dan menyeluruh sehingga perlu kajian tersendiri, terpisah dari kriminologi. Diramalkan pada saatnya nanti catalog keilmuan akan merumuskan daftar kajian viktimologi sebagai pokok bahasan tersendiri, yang akan mempelajari korban dari aspek atau ilmu biologi, psikologi, matematik, politik dan subyek lain. Para pemikir awal, bekerja dalam bidang viktimologi cenderung memfokuskan perhatiannya pada upaya perumusan tipologi korban. Tipologi korban adalah satu kegiatan yang berupaya untuk mengkategorisasikan pengamatan-pengamatan ke dalam satu pengelompokan yang logis untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam ranah dunia kemasyarakatan. Hans von Hentig : Penjahat dan Korbannya Pioner pertama di bindang viktimologi adalah seorang pemikir Jerman bernama Hans von Hentig. Pemikir kriminologi ini menghabiskan waktunya untuk mengungkap apa yang menjadikan seorang sebagai penjahat. Sebegitu ia mulai memfokuskan perhatiannya pada korban kejahatan. Hentig mulai merasa heran apa yang menjadikan seorang korban kejahatan. Kuncinya menurutnya adalah hubungan timbal balik antara penjatah dan korbannya. Di dalam publikasinya yang pertama Hentig (1941) mengklaim bahwa korban sering menyumbang terjadinya 170 kejahatan. Pesan Hentig sangat jelas. Pengujian sederhana hasil dari suatu kejahatan kadang muncul, “image” yang terdistorsikan akan siapa korban yang sesungguhnya dan siapa pelaku kejahatan yang sesungguhnya. Pengamatan lebih dekat atas dinamika situasi yang melatarbelakangi, menunjukkan bahwa korban seringkali menyumbang terjadinya proses viktimisasi atas dirinya. Hentig memperluas pengertian tentang korban, dinyatakannya bahwa korban adalah agen provokator terjadinya kejahatan. Konstatasi ini dapat ditemukan dalam bukunya yang berjudul “Penjahat dan Korbannya”. Ia menjelaskan bahwa “perhatian harus ditingkatkan pada fungsi provokator dari korban, yang meliputi pengetahuan yang menyeluruh dan interrelasi antara penjahat dan yang dijahati, melalui cara ini akan diperoleh pemahaman dan pendekatan baru terhadap fenomena tersebut. Hentig tidak menutup mata untuk meyakini bahwa dalam hal tertentu sumbangan korban dalam terjadinya kejahatan selalu bersifat aktif. Banyak terjadinya sumbangan korban memunculkan cirinya atau kedudukan sosial di luar control individu bersangkutan. Hasilnya, hentig mengklasifikasikan adanya 13 kategori korban berdasarkan atas kecendrungankecendrungan/propensitas viktimisasinya. Tipologi hentig tentang korban mencerminkan kondisi ketidakberdayaan seseorang/kelompok tertentu untuk menghadapi pelaku kejahatan karena ketidak beruntungan kondisi fisik, sosial kejiwaan seseorang. 171 Tipologi hentig mengarah bukan pada konstatasi bahwa korban selalu akan menyumbang terjadinya kejahatan, tetapi terarah pada karakteristik korban yang secara potensial dapat menyumbang terjadinya viktimisasi. Menurut hentig (1948) kita harus menyadari bahwa “korban merupakan salah satu determinan dan di situ saling keterkaitan kekejaman sering terkandung antara kejahatan dan yang dijahati”. TABEL 1 TIPOLOGI KORBAN (Hentig) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. TIPE Generasi Muda Kelompok Wanita Kelompok Lansia Kelompok Lemah Mental Kaum Imigran Minoritas Orang Terbelakang Pikiran Kelompok Orang Tertekan Kelompok Orang Serakah Kelompok Ceroboh (Grusa-grusu) Kelompok Kesepian & Patah Hati Penyiksa (tormentor) Kelompok Terblokir/marginal BENTUK KONKRIT Anak dan Bayi Semua Perempuan Orang Lanjut Usia Penderita sakit jiwa, Pecandu Obat Bius, Alkoholiks Orang Asing hidup dalm Budaya Setempat Orang yang menderita karena rasnya Orang feeble minded Orang sakit kejiwaan Orang licik yang ingin memperoleh keuntungan dengan cepat Orang dengan siapa saja mau Janda, duda berkabung Orang tua yang kejam Korban pmerasan, pengasingan speculator 172 Benyamin Mendelsohn : Refleksi Lanjutan Beberapa pengamatan menyatakan bahwa Benyamin Mendelsohn, seorang pengacara praktek, dipandang sebagai “Bapak” viktimologi. Mendelsohn, seperti halnya Hentig, tertarik pada dinamika yang terjadi antara korban dan pelaku kejahatan. Sebelum mempersiapkan kasus perkaranya, ia bertanya pada korban, saksi dan yang mewakili dalam suatu situasi untuk mengisi daftar pertanyaan yang rinci dan mendalam. Tabel 2 memperlihatkan daftar istilah umum yang digunakan oleh para viktimologi. TABEL 2 VOCABULARY VICTIMOLOGY (MENDELSOHN) 1. 2. 3. 4. 5. 6. ISTILAH Victimhood Victimizable Victimization Victimize Victimizer victimless MAKNA Keadaan sebagai korban Memungkinkan untuk jadi korban Mendudukan seseorang sebagai korban/fakta dijadikan korban Menjadikan korban menderita terabaikan/termaginalisasikan Seorang yang mengorbankan pihak lain. Ketiadaan indentitas korban secara jelas daripada pelakunya, misalnya situasi sebagai pelacur, drug abuser. Stephen Schaffer : Korban dan Penjahatnya Ketertarikan para ahli pada korban dan peranan yang mereka mainkan yang berkembang di sekitar tahun 1950-1960 an, Stephen Schaffer memutarbalikkan karya Hentig, merevisinya 173 kearah peran korban dalam terjadinya kejahatan dan dimuat dalam bukunya yang berjudul “The Victim and his Criminal”. Konsep kunci pemikiran Schaffer seperti diistilahkan olehnya – “pertanggungjawaban fungsional”. Sekali lagi muncul kecendrungan studi yang menyangkut hubungan korban dan pelaku kejahatan. Seperti terlihat dalam Tabel 3 Schaffer melengkapinya dengan tipologi yang dibangun atas dasar pertanggungjawaban korban atas terjadinya kejahatan. Dalam hal ini, pengelompokan Schaffer merupakan variasi dari katergorisasi Hentig (1948). Perbedaanya terutama terletak pada culpabilitas korban. Hentig mengidentifikasikannya berdasarkan atas berbagai faktor resiko. Schaffer secara eksplisit menyusunya pertanggungjawaban dari berbagai korban. atas dasar 174 TABEL 3 TIPOLOGI PRECIPITASI KORBAN (SCHAFFER) TIPE KORBAN 1. Unrelated Victim 2. Provocative Victim 3. Precipitate Victim 4. Biologically Weak Victim 5. Sosially Weak Victim 6. Self – Victimizing 7. Political Victim KETERANGAN Korban sebagai sasaran pelaku kejahatan Pelaku bereaksi terhadap gerakan atau perilaku korban Korban yang menempatkan dirinya untuk terjadinya viktimisasi dirinya dalam situasi berbahaya Kelompok umur tertentu, anak muda yang kondisi fisiknya memungkinkan dirinya menjadi sasaran pelaku kejahatan. Imigran, minoritas, yang tak terintegrasikan ke dalam masyarakat, berposisi sebagai sasaran empuk pelaku kejahatan. Seseorang yang terlibat dalam kejahatan tertentu, seperti drug abuser, pelacuran, penjudi, dimana hubungan korban dan pelaku kejahatan tak jelas. Seseorang yang dikorbankan karena dirinya berseberangan dengan kelompok berkuasa Studi Empiris Korban Presipitatif Victim Precipitation, mempersoalkan tingkatan pada mana korban bertanggungjawab atas viktimisasi dirinya. Keterlibatan bisa bersifat pasif (seperti tipologi Hentig) atau aktif (klasifikasi Mendelsohn). Setiap tipologi dikemukakan dalam bagian ini mengimplikasikan kontribusi korban sebagai faktor penyebab 175 terjadinya kejahatan. Upaya yang pantas memperoleh perhatian dalam kaitan dengan studi empiris ini adalah karya Marvin E. Wolfgang. Wolfgang mengkaji data-data catatan polisi atas kasus-kasus pembunuhan. Beberapa tahun kemudian salah satu mahasiswa Wolfgang bernama Menachem Amir, mengaplikasikan kerangka kerja gurunya untuk menganalisis kasus-kasus perkosaan dengan kekerasan. Martin E. Wolfgang : Pola Pelaku Pembunuhan Dengan menggunakan data pembunuhan di kota Philadelphia, Wolfgang melaporkan bahwa 26% dari kasus pembunhan yang terjadi dari tahun 1948-1952 merupakan akibat dari precipitasi korban. Wolfgang merumuskan korban presipatatif kasus-kasus pembunuhan adalah mereka pada mana korban adalah pihak yang pertama, dalam drama pembunuhan yang menggunakan kekuatan fisik menyerang pembunuh korban. Kasus-kasus presipitatif korban adalah mereka-mereka dimana korban adalah yang pertama memperlihatkan dan menggunakan senjata yang mematikan, mengarahkan pukulan dalam satu pergulatan, singkatnya korbanlah yang pertama memulai interplay yang akhirnya berbuntut kekerasan fisik itu. Wolfgang, mengidentifikasikan beberapa faktor tipikal presipitatif korban dalam kasus pembunuhan. Pertama, korban dan pelaku biasanya telah menjalin hubungan interpersonal sebelumnya. Tipe hubungan di sini, dapat berupa pasangan anak laki-laki dengan pacarnya. Anggota keluarga dan teman-teman 176 dekat atau persahabatan. Dengan kata lain, korban hampir tewas/berada di tangan seseorang yang mereka telah kenal sebelumnya daripada mereka yang asing terhadap korbannya. Ke dua, pembunuhan sering merupakan hasil dari ketidaksepakatan kecil yang meningkat hingga pada situasi lepas kontrol dari masing-masing pihak. Perubahan itu dalam tingkatan itu bisa terjadi dalam waktu singkat atau merupakan hasil dari konfrontasi yang sudah berlangsung lama, misalnya seorang suami telah memukul isterinya dalam berbagai peristiwa. Pada situasi berikut, si isteri mengira bahwa suaminya akan membawanya ke rumah sakit. Suami menolak dan perdebatan ramai pun terjadi, selama berlangsungnya tamparan-tamparan suami atas isterinya, si isteri lalu menghujamkan pisau dapur ke tubuh suaminya. Ke tiga, pecandu alkohol oleh korban, lazimnya bersumber dari precipitasi korban pembunuhan. Berbagai kemungkinan dapat terjadi di dalam hal ini. Mungkin terjadi pada seseorang yang termabukkan dan kehilangan daya tahannya, mereka mengubar suara tentang apa yang ia rasakan. Sering pihak-pihak yang terlibat tak tahan dengan suara-suara itu dan pada akhirnya berbuntut pada persengketaan yang membawa kematian. Wolfgang menegaskan bahwa “konota si korban sebagai pihak yang lemah dan pasif, yang mencoba lari dari situasi penyerangan dan pelaku adalah seseorang yang brutal, kuat 177 serta sangat agresif yang mencari korbanya, ternyata hal itu tidak selalu benar”. Menachim Amir : Pola Perkosaan dengan Kekerasan Beberapa tahun kemudian, Menachem Amir mengkaji apa yang kemudian menjadi analisis empiris kasus-kasus perkosaan yang sangat kontroversial. Amir memperoleh data dari laporanlaporan polisi atas kasus-kasus perkosaan yang terjadi di Philadelphia antara tahun 1958-1960 an. Berdasarkan atas rincian data yang terdapat dalam laporan polisi itu ia menunjukkan bahwa 19% perkosaan dengan kekerasan terjadi karena precipitasi korban. Menurut Amir precipitasi korban dalam kasus-kasus perkosaan menunjukkan situasi di mana: Korban sesungguhnya atau dianggap menyetujui hubungan seksual tetapi menarik diri sebelum kejadian senyatanya terjadi atau bereaksi namun tidak begitu kuat ketika godaan datang dari si pelaku, istilah menerapkan juga pada kasuskasus dalam situasi perkawinan yang riskan dalam kaitan dengan seksualitas, khususnya ketika ia menggunakan sesuatu yang dapat ditafsirkan sebagai ketidaksenonohan dalam percakapan atau bahasa tubuh, atau difahami sebagai ajakan untuk melakukan hubungan seksual. Amir menyusun daftar berbagai faktor yang dapat membantu precipitasi perilaku kejahatan. Seperti juga halnya temuan Wolfgang dalam kasus pembunuhan, penggunaan alkohol khsusunya oleh korban. Merupakan faktor utama dalam 178 precipitate rape. Resiko viktimisasi seksual meningkat ketika dua pihak sama-sama kebanyakan minum. Faktor penting lain, termasuk perbuatan menggoda oleh korban, mengenakan pakaian menantang, bercakap-cakap dengan bahasa merangsang, memiliki reputasi jelek, dan berbeda dalam tempat dan waktu yang tak tepat. Menurut Amir, perilaku- perilaku tersebut dapat menggiurkan pelaku kejahatan hingga pada tingkatan tertentu ia secara sembarangan menafsirkan “jelek” gerakan korban, memiliki kebutuhan samar-samar pengontrolan seksualitas hingga terjadi perkosaan atas dirinya. Dalam penegasan kesimpulannya erat dengan masalah “precipitation” ini Amir memberikan komentar berikut ini: Akibat-akibat dari fakta bahwa pelaku tidak harus dilihat sebagai penyebab tunggal, dan alasan atas perilaku kejahatan, dan bahwa korban “virtuous” tidak selalu pihak yang tak bersalah, atau pasif. Dengan demikian peran yang dimainkan oleh korban dan sumbanganya pada perilaku sipembuat menjadi satu kepentingan utama yang harus menjadi bahan kajian disiplin viktimologi. Kesimpulan analisis Amir ini ternyata mengundang kritikan tajam dari berbagai pihak, misalnya dari Weis, Borges dan Franklin. Yang disebut terakhir tampaknya menunjukkan berbagai kelemahan substansi yang terkandung dalam kesimpulan analisis Amir. Pendekatan Baru : Viktimologi Umum Ketertarikan pada masalah precipitasi korban dengan segala perpecahannya dan fragmentasinya, mengancam 179 terhentinya perluasan wilayah perhatian terhadap masalah korban. Tidak hanya kemajuan teoritikal menimbulkan kekhawatirankekhawatiran apakah viktimologi harus turun tahta dari kedudukannya sebagai kajian akademik. Meskipun demikian, antidote muncul dari diskusi-diskusi yang berlangsung ketika diselenggarakannya Seminar Internasional di Bellagio, musim panas, tahun 1975. Disana lahirlah istilah “viktimologi umum” atau “general victimology”. TABEL 4 TINGKATAN PRECIPITASI DALAM PEMBERIAN KERANGKA PERTANGGUNGJAWABAN RELATIF KORBAN DAN PELAKU TINGKATAN NIAT PELAKU Pertimbangan mendalam Niat besar Niat kecil/tak ada niat TINGKATAN KETERLIBANTAN KORBAN PROVOKASI TERLIBAT BANYAK SEDIKIT Sama besar Pelaku lebih Tanggungjawab banyak pada pelaku terlibat Lebih besar Lebih besar pada pada korban Sama besar pelaku Murni precipitasi korban Lebih besar pada korban Sama besar Pembenahan yang diusulkan oleh Benyamin Mendelsohn adalah dengan mengeluarkan viktimologi dari kriminologi dan menjadikannya sebagai disiplin tersendiri. Seperti telah dikemukakan di muka, banyak terjadi perdebatan di kalangan para ahli, apakah viktimologi harus berdiri sendiri atau tetap berada 180 dibawah bayang-bayang kriminologi. Mendelsohn berusaha meyakinkan bahwa viktimologi dapat lepas dari kriminologi dengan sebutan “General Victimology”. Menurut Mendelsohn, para viktimolog harus melakukan penyidikan sebab-sebab terjadinya viktimisasi untuk menemukan cara mengatasi yang efektif. Sejauh manusia dideritakan oleh berbagai faktor penyebab, pemfokusan viktimisasi penjahat akan menjadi perspektif kajian yang sangat sempit. Istilah yang lebih mengglobal, seperti halnya viktimologi sangat dibutuhkan untuk mengungkap kebenaran makna bidang viktimologi. Menurut Mendelsohn, General Victimology merumuskan lima (5) tipe korban, yaitu: a. Korban dari penjahat b. Korban dari diri sendiri c. Korban dari lingkungan sosial d. Korban dari teknologi e. Korban dari lingkungan alam Kategori pertama, telah menerangkan dalam istilahnya sendiri. Katergori ini telah menjadi perbincangan para viktimolog dalam studinya. “Selt-victimization” termasuk di dalam pengertian ini bunuh diri, dan penderitaan-penderitaan lain yang dialami korban karena dirinya sendiri. Istilah korban dari lingkungan sosial mengarah pada penderitaan seseorang atau kelompok tertentu di masyarakat. Beberapa contoh di sini adalah diskriminasi rasial, kasta, genocide dan korban perang. Korban 181 teknologi adalah mereka yang jatuh dari kehidupan masyarakat karena banyaknya temuan-temuan baru. Kecelakaan nuklir misalnya, pengujian acak terhadap obat-obatan, pencemaran industrial, dan sebagainya. Akhirnya korban dari lingkungan alam, adalah mereka yang terderitakan karena bencana banjir, gempa bumi, letusan gunung api, dan sebagainya. Senada dengan rumusan Mendelsohn adalah rumusan dari Smith dan Weis yang mengusulkan cara pandang luas dari wilayah kajian “General Victimology” seperti terpampang dalam Tabel V yang menggambarkan adanya empat (4) pokok bahasan utama. Disitu termasuk antaranya kreasi batasan dari korban, pengaplikasian batasan korban itu, reaksi Korban setelah terjadinya viktimisasi atas dirinya dan reaksi sosial terhadap korban. Apabila diamati, pandangan-pandangan dalam konteks “general victimology” tampak dalam kajiannya menjadi luas dan implikasinya pun sangat menyebar tak fokus. Sebagaimana dikatakan oleh Mendelsohn berikut ini: Seperti juga halnya obat mengobati, semua pasien dan semua perawat demikian juga halnya dengan kriminologi yang tertarik pada semua pelaku kejahatan dan semua bentuk kejahatan, maka viktimologi pun harus mengarahkan perhatiannya pada semua korban dan semua aspek viktimitas di mana masyarakat menaruh perhatian padanya. 182 TABEL 5 MODEL UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN APLIKASI VIKTIMOLOGI Situasi umum, kejadian dan proses yang dapat memungkinkan munculnya situasi viktimisasi A. STUDI TENTANG Kreasi pendefinisian korban dalam: a. Proses hukum b. Proses keseharian c. Proses keilmuan C. STUDI TENTANG Tanggapan masyarakat: sistem penanganan korban a. Intervensi krisis b. Pelayanan sosial c. Polisi d. Pencegahan e. Medis f. Pengadilan perdata B. STUDI TENTANG Aplikasi pendefinisian oleh a. Agen kontrol b. Significant others c. Masyarakat d. Psikolog & sosiolog e. Korban sendiri f. D. STUDI TENTANG Reaksi korban: perilaku postvictimization a. Mencari pertolongan b. Mengadu (complaint) c. Reaksi terhadap tanggapan pihak lain Oleh : Smith and Weis : 4 bahasan General Victimology 183 Viktimologi Kritis Satu kecendrungan terakhir dalam viktimologi adalah pergeseran fokus perhatian viktimologi dari hal-hal yang bersifat umum menuju kearah apa yang disebut sebagai Viktimologi Kritis (Critical Victimology). Alasan yang mendorong pemikiran ini menegaskan bahwa karena kegagalan viktimologi untuk mengajukan pertanyaan dasar yang menyangkut tentang apa yang dimaksudkan sebagai kejahatan, melupakan pertanyaan dasar mengapa perilaku tertentu dijatuhi sanksi dan akibatnya. Itu semua pada akhirnya viktimologi salah arah. telah mengarahkan perkembangan Mawby dan Walkiate, merumuskan viktimologi kritis sebagai: Viktimologi yang mencoba menguki konteks sosial yang lebih luas dimana berbagai versi viktimologi telah menjadi begitu dominan dari pada bidang lain dan juga untuk memahami bagaimana versi-versi viktimologi tersebut terjalin dengan pertanyaan yang menyangkut tanggapan yang bersifat kebijakan dan pelayanan yang diberikan kepada korban kejahatan. Titik sentral perhatian viktimologi, kemudian daripada itu, ialah permasalahan tentang bagaimana dan mengapa perilaku tertentu didefinisikan sebagai penjahat dan akibatnya, bagaimana keseluruhan bidang viktimologi menjadi terfokuskan pada satu set aksi nyata. Pemikiran ini tidaklah jauh berbeda dari kategorisasi Mendelsohn yaitu “korban dan lingkungan sosial” Mawby dan Walklate, menandaskan bahwa kebanyakan kejahatan diperbuat oleh kekuatan dominan dalam masyarakat yang lazimnya tidak 184 terlingkupi oleh hukum pidana. Akibatnya korban dan kejahatan mereka itupun tidak termasuk ke dalam diskusi-diskusi viktimologi. Melalui viktimologi kritis, kebanyakan dari orientasi korban cenderung mengarah pada keberadaan definisi kejahatan yang cenderung melupakan pertanyaan dasar menyangkut faktor sosial yang menjadi sebab meningkatnya aksi-aksi dan tanggapan-tanggapan. Alasan kegagalan itu bersifat multificent. Faktor penyumbang salah satunya ialah ketergantungan pada definisi resmi dan data dari berbagai analisis permasalah korban. Kecendrungan-kecendrungan itu menjadikan terlupakannya pertanyaan dasar yang menyangkut sosial setting daripada timbulnya korban kejahatan. Faktor lain adalah kemampuan agensi-agensi yang ada untuk kooptasi dan mendukung terhadap gerakan-gerakan baru di masyarakat (seperti hak-hak anak, hakhak perempuan dan sebagainya) ke dalam sistem kontrol sosial yang sudah ada. Argumentasi radikal ialah bahwa pengawasan dari peradilan pidana dan viktimologi berada di tangan kekuatan dominan dalam masyarakat yang melihat pendekatan-pendekatan kritis sebagai ancaman atas posisi status quo kelompok dominan tersebut. Sementara itu viktimologi kritis menawarkan berbagai pokok-pokok bahasan yang menarik dan mengangkat secara potensial viktimologi, perdebatan-perdebatan yang mengusulkan pokok-pokok bahasan di luar itupun masih tetap terjadi. Berbagai 185 pokok bahasan pada keseluruhan teks ini akan meningkatkan isu permasalahan yang sangat relevan pada pendekatan kritis itu. Sebagai contoh, diskusi-diskusi socio-kultural tentang mengapa kekerasan terjadi dan penyidikan terhadap tantangan programprogram terhadap korban. Gerakan-gerakan yang menyangkut korban dan perlindungannya tampak antara lain dari “The Women’s Movement” sekitar pertengahan tahun 1960 an memfokuskan kegiatannya pada perlindungan wanita korban perkosaan dan pelecehan seksual (Children‟s Right), tahun yang sama, memfokuskan diri pada anak-anak korban penyalahgunaan anak oleh orang dewasa, (Victim Compensation) yang terarah pada penyusunan metode pemberian ganti rugi pada kerugian yang diderita korban, dan (Legal Reform) berupa untuk menempatkan posisi korban baik lewat pemberian peran korban, pemberian ganti rugi pada korban, pemberian pertolongan pada korban kejahatan dan sebagainya. D. Ruang Lingkup Viktimologi Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. Selain itu, menurut Muladi viktimologi merupakan suatu studi yang bertujuan untuk: 1. Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban; 2. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimasi; 186 3. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia. Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi bagaimana seseorang (dapat) menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan bencana alam selain dari korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, dalam perkembangannya di tahun 1985, Separovic mempelopori pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban karena musibah atau bencana alam karena korban bencana alam di luar kemauan manusia (out of man‟s will). Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975, Kongres Keenam Tahun 1980 di Caracas, yang meminta perhatian bahwa korban kejahatan konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan, dan lainnya, tetapi juga kejahatan inkonvensional, seperti terorisme, pembajakan dan kejahatan kerah putih. Dalam Kongres PBB Kelima di Geneva tahun 1975 dihasilkan kesepakatan untuk memerhatikan kejahatan yang disebut sebagai crime as business, yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materiil melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat, seperti pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, perbankan dan kejahatan-kejahatan lain yang biasa dikenal sebagai organized crime, white collar crime, dan korupsi. 187 Dalam Kongres PBB Keenam tahun 1980 di Caracas dinyatakan bahwa kejahatan-kejahatan yang sangat membahayakan dan merugikan bukan hanya kejahatan-kejahatan terhadap nyawa, orang, dan harta benda, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), sedangkan dalam Kongres PBB Ketujuh tahun 1985, menghasilkan kesepakatan untuk memerhatikan kejahatan-kejahatan tertentu yang dianggap atau dipandang membahayakan seperti economic crime, environmental offences, illegal trafficking in drugs, terrorism, apartheid, dan industrial crime. RANGKUMAN 1. Secara terminologi, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Jadi viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial. 2. Perkembangan viktimologi dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan (penal or special victimology). Fase kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaa (general victimology). Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia (new victimology). 3. Viktimologi yang pada mulanya berwawasan sempit sebagaimana dikemukakan oleh von Hentig dan Mendelsohn, kemudian dikembangkan oleh Mendelsohn. Selanjutnya viktimologi yang berinklusif wawasan hak-hak asasi manusia (juga disebut the new 188 victimology) dikembangkan oleh Elias, kemudian diperluas lagi sehingga mencakup penderitaan manusia (kemanusian) oleh Separovic. New Victimology ini bertujuan untuk menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban, berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; dan mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia. 4. Ruang lingkup viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti: peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana. LATIHAN 1. Jelaskan pengertian viktimologi dan menyebutkan objek pengkajiannya? 2. Sebutkan dan uraikan 3 (tiga) fase perkembangan viktimologi? 3. Mengapa persoalan korban dilupakan? 4. Jelaskan bagaimana peranan korban terhadap timbulnya kejahatan menurut para sarjana? 5. Jelaskan ruang lingkup kajian viktimologi menurut Prof. Muladi? GLOSSARIUM 1. Viktimisasi kriminal adalah suatu proses timbulnya korban kejahatan. 2. Penal or special victimology adalah viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja. 3. General victimology adalah viktimologi tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga meliputi korban kecelakaan. 189 4. New victimology dimana viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. 5. Crime as business yaitu kejahatan yang bertujuan mendapatkan keuntungan materiil melalui kegiatan dalam bisnis atau industri yang pada umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan terpandang dalam masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta. Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta. Made Darma Weda, 1995, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung. Muladi, disampaikan pada seminar viktimologi di Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi, S.H., Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung. ---------------, 2002, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit universitas Dipenogoro, Semarang. Prassel, Frank R., 1979, Criminal Law, Justice, and Society, Goodyear Publishing Company Inc., Santa Monica California. 190 Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto, RS., G. Widiartama, 2000, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Viktimologi , Kriminologi dan Hukum Pidana, Universitas Atmajaya,Yogyakarta. 191 BAB VIII KORBAN DAN KEJAHATAN Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami Pengertian Korban, Tipologi Korban, Manfaat Viktimologi, dan Hubungan Korban dan Kejahatan. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan pengertian korban dan tipologi korban. 2. Menyebutkan Hak dan Kewajiban Korban. 3. Menjelaskan manfaat viktimologi. 4. Menjelaskan hubungan viktimologi dengan kriminologi. 5. Menjelaskan hubungan viktimologi dengan ilmu hukum. A. Korban Proses pemidanaan melalui sistem peradilan pidana, korban sering diabaikan, tak diberikan peran yang memadai. Padahal seperti telah sering terdengar dalam perkembangan perbincangan tentang pelakuan kejahatan, korban merupakan bagian yang tak terpisahkan , korban adalah bagian integral dalam kaitan dengan kejadiannya perilaku kejahatan, pelaku dan korban. Baru pada tahun-tahun belakangan ini, terjadi peningkatan ketertarikan di kalangan para penstudi untuk lebih memahami peranan korban kejahatan (bukan saja sebagai bagian dari upaya untuk menunjukan kesalahan pelaku kejahatan) melainkan ditempatkan 192 secara lebih proporsional dan bahkan diintegritasikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk sekadar membantu dalam menentukan secara jelas batas-batas yang dimaksud oleh pengertian tersebut sehingga diperoleh kesamaan cara pandang. Korban suatu kejahatan tidaklah selalu harus berupa individu atau orang perorangan, tetapi bisa juga berupa kelompok orang, masyarakat, atau juga badan hukum. Bahkan pada kejahatan tertentu, korbannya bisa juga berasal dari bentuk kehidupan lainnya seperti tumbuhan, hewan ataupun ekosistem. Korban semacam ini lazimnya kita temui dalam kejahatan terhadap lingkungan. Namun, dalam pembahasan ini, korban sebagaimana dimaksud terakhir tidak termasuk di dalamnya. Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian di antaranya adalah sebagai berikut: a. Arief Gosita Menurutnya, korban adalah mereka yang menderika jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.137 b. Ralph de Sola Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an 137 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, op.cit., hlm. 63 193 c. d. e. f. actual or attempted criminal offense committed by another…”138 Cohen Korban (victim) adalah “…whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.”139 Z.P. Separovic Korban (victim) adalah “…the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another (mean, structure, organization, or institution) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not anly criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences, non fulfillment of work duties) or an accidents. Suffering may be caused by another man or another structure, where people are also involved”. Muladi Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang dundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 138 Ralph de Sola, Crime Distionary, Facts on File Publication, New York 1998), hlm. 188. 139 Cohen dan Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta, tanpa tahun, hlm. 9. 194 Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. g. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korban adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya. h. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak mana pun. i. Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principle of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985 Korban (victims) means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including phydical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal laws operative within Member State, including those laws proscribing criminal abuse of power”…through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of nternationally recognized norms relating to human rights. Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang 195 perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompok, bahkan, lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orangorang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya atau untuk mencegah viktimisasi. Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental. B. Tipologi Korban Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilihmilih jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut: a. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban c. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan ransangan terjadinya kejahatan. d. Participating victims, yaitu merka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban e. False victimis, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. 196 Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut: a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku. b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkug, di mana korban juga sebagai pelaku. c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. d. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. e. Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi.140 Pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolfgang, yaitu sebagai berikut: a. Primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan (bukan kelompok) b. Secondary victimization,yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas 140 Schafer dan Separovic sebagaimana dikutip dari Chaerudin dan Syarif Fadillah, op.cit., hlm. 42, Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjianto. RS., dan G. Wiratama, op.cit., hlm. 176-177 197 d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produk Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut: a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban. c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab. d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku. C. Hak-Hak Korban Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kejahatan, baik yang diperoleh dari berbagai media massa cetak maupun elektronik. Peristiwaperistiwa kejahatan tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/kerugian bagi korban dan juga keluarganya. 198 Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktifitas, tentunya kejahatan-kejahatan ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preemptif, preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara professional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten. Berkaitan dengan korban kejahatan, perlu dibentuk suatu lembaga yang khusus menanganinya. Namun, pertamatama perlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak-hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian tau penderitaan sebagai akibat dari kejahatan yang menimpa dirinya. Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang memengaruhi korban baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Tidak jarang ditemukan seseorang yang mengalami penderitaan (fisik, mental atau materiil) akibat suatu tindak pidana yang menimpa dirinya, tidak mempergunakan hak-hak yang seharusnya dia terima karena sebagai alasan, misalnya perasaan takut dikemudian hari masyarakat menjadi tahu kejadian yang menimpa dirinya (karena kejadian ini merupakan aib bagi dirinya maupun keluarganya) sehingga lebih baik korban menyembunyikannya, atau korban menolak untuk mengajukan ganti kerugian karena dikhawatirkan prosesnya akan menjadi semakin panjang dan berlarut-larut yang dapat berakibat pada timbulnya penderitaan yang berkepanjangan. Sekalipun demikian, tidak sedikit korban atau keluarganya mempergunakan hak-hak yang telah disediakan. 199 Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban kejahatan, yang meliputi: a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti Negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban kejahatan. b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku d. Hak utnuk memperoleh bantuan hukum e. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya f. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis g. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan h. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban i. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya. Berdasarkan Pasal 10 dari Undang-udang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advocate, lembaga sosial, atau lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 200 d. Pendapingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan e. Pelayanan bimbingan rohani. Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 40/A/Res/34 Tahun 1985 juga telah menetapkan bebarapa hak korban (saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan, khususnya dalam proses peradilan, yaitu: a. Compassion, respect and recognition b. Receive information and explanation about the progress of the case c. Provide information d. Providing proper assistance e. Protection of privacy and physical safety f. Restitution and compensation g. To access to the mechanism of justice sistem. D. Kewajiban Korban Sekalipun hak-hak korban kejahatan telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (financial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban kejahatan diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kejahatan dapat dicapai secara signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban kejahatan, antara lain: a. Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan pembalasan) 201 b. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya tindak pidana c. Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang d. Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu berlebihan kepada pelaku e. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya f. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan. g. Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. E. Kejahatan Pengertian kejahatan (crime) sangatlah beragam, tidak ada definisi baku yang di dalamnya mencakup semua aspek kejahatan secara komprehensif. Ada yang memberikan pengertian kejahatan dilihat dari aspek yuridis, sosiologis, maupun kriminologis. Munculnya perbedaan dalam mengartikan kejahatan dikarenakan perspektif orang dalam memandang kejahatan sangat beragam, di samping tentunya perumusan kejahatan akan sangat dipengaruhi oleh jenis kejahatan yang akan dirumuskan. Sebagai contoh pengertian kejahatan korporasi (corporate crime), jenis kejahatan ini acapkali digunakan dalam pelbagai konteks dan penamaan. Tidaklah mengherankan kalau di Amerika Serikat, di mana setiap Negara bagian menyusun perundang-undangannya, terdapat 202 lebih kurang 20 perumusan yang bertalian dengan kejahatan korporasi. Secara etimologi kejahatan adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusian. Kejahatan merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan palng tidak disukai oleh rakyat. Black menyatakan bahwa crime is a sosial harm that the law makers punishable; the breach of a legal duty treated as the subject matter of a criminal proceeding, sedangkan Huge D. Barlow, sebagaimana dikutif oleh Topo Santoso dan Eva A. Zulfa, menyebutkan kejahatan adalah a human act that violate the crimal law. Van Bemmelen merumuskan kejahatan adalah tiap kelakuan yang tidak bersifat susila dan merugikan, yang menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut. Jika dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perumusan kejahatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah semua bentuk perbuatan yang memenuhi perumusan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sekalipun perumusan kejahatan sangat beragam namun pada intinya memiliki kesamaan unsure, dengan mangacu pada pendapat Kimball, unsur-unsur (elemen) kejahatan itu adalah: a. An actor b. With a guilty mind (mens rea) c. Who causes 203 d. Harm e. In particular way or setting, and f. A lawmaker who has decreed that these circumstances expose the actor to imposition of fine, imprisonment, or death as a penalty. 141 Pada awalnya, kejahatan hanyalah merupakan “cap” yang diberikan masyarakat pada perbuatan-perbuatan yang dianggap tidak layak atau bertentangan dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan atau bukan adalah “apakah masyarakat secara umum akan menderita kerugian secara ekonomis serta perbuatan tersebut secara psikologis merugikan sehingga di masyarakat muncul rasa tidak aman dan melukai perasaan. Karena ukuran pertama dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan kejahatan atau bukan adalah normanorma yang hidup dan dianut oleh masyarakat setempat, tentunya sukar untuk menggolongkan jenis-jenis perbuatan yang dapat disebut dengan kejahatan. Kesukaran ini muncul sebagai dampak dari adanya keberagaman suku dan budaya. Bagi suatu daerah suatu perbuatan mungkin merupakan sebuah kejahatan, tetapi di daerah lain perbuatan tersebut bisa saja tidak dianggap sebagai kejahatan. Contoh dalam budaya Madura, membunuh orang sebagai bentuk balas dendam yang lazim dikenal dengan sebutan carok, tentunya lebih merupakan sebuah upaya membela harkat dan martabat keluarga daripada disebut sebagai upaya pembunuhan sehingga ketika carok 141 Kimball, Edward L., “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed), Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983), Volume 1, hlm. 302. 204 dilakukan oleh seseorang, pihak keluarga pelaku menganggap tindakan tersebut sebagai sebuah sikap “pahlawan.” Namun, kita tidak boleh digiring kearah pendikotomian antara budaya dan kejahatan. Kejahatan tetaplah kejahatan, tidak boleh dilegalkan dengan mengatasnamakan adat dan budaya karena kejahatan tetap saja merupakan suatu perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh aksi kejahatan yang selalu menimbulkan korban, baik secara finansial atau materiil, secara fisik maupun psikis, tampak jelas digambarkan oleh Von Hentig dalam bukunya Crime, Causes, and Conditions (1947), dikatakan bahwa pada tahun 1941 saja, kerugian secara materiil diderita oleh 28.500.000 penduduk dari 231 kota di Amerika Serikat bisa mencapai $ US 13.000.000. Kerugian ini pun hanya merupakan angka dari tiga jenis kejahatan saja, yaitu perampokan, pencurian dengan kekerasan, serta pencurian biasa. Angka ini belum lagi ditambah dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai tugas kepolisian, kejaksaan serta kehakiman berserta aparatur lainnya yang berhubungan.142 Sebagai perbandingan, di Indonesia akibat dari terjadinya kasus peledakan bom di Legian Bali pada 12 Oktober Tahun 2002 (Bom Bali I), kerugian yang diderita adalah korban jiwa lebih kurang 192 orang, korban luka-luka sebanyak kurang lebih 161 orang, menghancurkan bangunan Sari Club dan Paddy’s Pub, dan merusakkan bangunan lainnya berjumlah kurang lebih 422 unit, serta merusak fasilitas publik atau fasilitas umum berupa kerusakan jaringan telepon, listrik 142 W.A. Bonger dan G.h. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, Pengantar Tentang Kriminologi (Jakarta: PT Pembangunan, 1995), Cetakan ketujuh, hlm. 23. 205 dan saluran air PDAM.143 Kerugian ini belum termasuk pembatalan paket-paket wisata asing dan domestik yang akan berkunjung ke Bali dan ke daerah-daerah Indonesia lainnya serta perekonomian nasional yang mengalami penurunan secara drastis. Di samping pengertian kejahatan sebagaimana diuraikan di atas, dalam kriminologi dikenal pula apa yang disebut dengan kejahatan tanpa korban (victimless crime). Menurut Black, victimless crime adalah: “A criem is considered to have no direct victim. Because only consenting adults are involved. Examples are possession of drugs, deviant sexual intercourse between consenting adults, and prostitution. Victimless crime tidak menimbulkan keluhan di masyarakat kecuali pihak penegak hukum seperti polisi, sebagaimana dikatakan Frase: “The practical arguments against Victimless crime appear to derive from there attributes of these offenses: a. Most involve no complaining parties other than police officers. b. Many involve the exchange of prohibited goods or services that are strongly desired by the participants c. All seek to prevent individual or sosial harms that are widely believed to be less serious than the harms involved in crimes with victims.144 Kejahatan tanpa korban (victimless crime) biasanya terjadi pada tindak pidana narkotika, perjudian, prostitusi, 143 Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan. 144 Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.), Encyclopedia of Crime and Justice (New York: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., 1983), Volume 4, hlm. 1608. 206 pornografi, di mana hubungan antara pelaku dan korban tidak kelihatan akibatnya. Tidak ada korban sebab semua pihak adalah terlibat dalam kejahatan tersebut. Namun demikian, jika dikaji secara mendalam, istilah kejahatan tanpa korban(victimless crime) ini sebetulnya tidak tepat karena semua perbuatan yang masuk ruang lingkup kejahatan pasti mempunyai korban atau dampak baik secara langsung maupun tidak langsung, atau dalam bahasa agamanya perbuatanperbuatan yang dilakukan ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.145 F. Hubungan Korban Kejahatan dan Pelaku Kejahatan Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan. Perbuatan pelaku dapat mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh Samuel Walker bahwa hubungan antara korban dan pelaku, adalah hubungan sebab akibat. Akibat perbuatan korban, yaitu suatu kejahatan dan korban yang menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita karena kejahatan.146 Kerugian yang dialami oleh korban akibat terjadinya suatu kejahatan tidak selalu berupa kerugian materiil, atau penderitaan fisik saja, tetapi yang paling bersar pengaruhnya adalah kerugian atau dampak psikologis. Korban kejahatan bisa terus merasa dibayang-bayangi oleh kejahatan yang telah menimpanya yang dapat menghalanginya untuk beraktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. 145 Tutty Alawiyah, A.S, kata sambutan dalam buku Tindak Pidana Narkotika dari Moh Taufik Makarao, et.al (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2003), hlm. Vii. 146 Samuel Walker, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, Monterey-California: Brooks/Cole Publishing Company, 1985m hkm. 145. 207 Secara sosiologis dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat, semua warga Negara berpartisipasi penuh atas terjadinya kejahatan sebab masyarakat dipandang sebagai sebuah sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Tanpa kepercayaa ini, kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik sebab tidak ada patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercayaan terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur organisasional. Bagi korban kejahatan, dengan terjadinya kejahatan yang menimpa dirinya tentu akan menghancurkan sistem kepercayaan tersebut. Dengan kata lain, dapat merupakan suatu bentuk trauma kehilangan kepercayaan terhadap masyarakat dan ketertiban umum, yang berwujud menculnya gejala-gejala rasa takut, gelisah, rasa curiga, sisnisme, depresi, kesepian, dan berbagai perilaku penghindaran yang lain. Contoh wanita korban kekerasan dalam rumah tangga, khususnya yang mengalami kekerasan dalam hubungan intim. Rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban. Rasa takut tersebut mengendalikan perilakunya, dan mewarnai segala tindaktanduknya. Bahkan, ketakutan dapat mengganggu pola tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan kebergantungan kepada obat-obat tidur dan obat penenang. Pasangannya dapat mengancam keselamatan dirinya. Bahkan, akan mengancam jiwanya, kalau sampai ia berusaha membuka mulut, atau bila ia berusaha meninggalkan lelaki itu. Kadang kala, hubungan antara korban dan pelaku kejahatan sering kali bersifat personal. Hal ini dapat ditemui dalam berbagai jenis kejahatan yang melibatkan keluarga atau yang terjadi dalam rumah tangga. Pada jenis kejahatan semacam ini, seringnya terjadi kontak dengan pelaku akan semakin 208 menambah ketakutan dari si korban untuk mengambil tindakan. Apabila korban mengambil tindakan dengan cara melaporkan kepada pihak lain tentunya akan mengundang kemarahan tidak hanya kemarahan si pelaku, tetapi juga dari pihak lainnya. Oleh karena itulah, perlindungan terhadap korban sangat diperlukan, tidak hanya dari si pelaku itu sendiri, melainka juga dari pihak-pihak yang cenderung tidak menyukai korban maupun perbuatan si korban dengan melaporkan si pelaku. Menurut E. Kristi Poerwandari, dalam kekerasan terhadap perempuan hubungan antara pelaku dengan korban sangat beragam pelaku, dapat berupa: a. Orang asing/tidak saling kenal; suami; pasangan hubungan intim lain (pacar, tunangan, bekas suami, dan lain-lain); kenalan/teman; anggota keluarga inti dan/atau luas; teman kerja; b. Orang dengan posisi otoritas; atasan kerja/majikan; guru/dosen/pengajar; pemberi jasa tertentu (konselor, dokter, pekerja sosial, dan lain-lain); c. Negara dan/atau wakilnya polisi/anggota militer, dan pejabat (individu dalam kedudukan sebagai pejabat) Untuk kejahatan-kejahatan di luar kekerasan dalam rumah tangga hubungan pelaku dengan korban sangat beragam, tetapi pada umumnya antara pelaku dan korban tidak memiliki relasi secara langsung atau tidak saling mengenal. G. Manfaat Viktimologi Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari ilmu pengetahuan merupakan faktor yang paling penting dalam kerangka pengembangan ilmu itu sendiri. Dengan demikian, apabila suatu ilmu pengetahuan dalam pengembangannya tidak memberikan manfaat, baik yang sifatnya praktis maupun teoritis, 209 sia-sialah ilmu pengetahuan itu untuk dipelajari dan dikembangkan. Hal yang sama akan dirasakan pula pada saat mempelajari viktimologi. Dengan dipelajarinya viktimologi, diharapkan akan banyak manfaat yang diperoleh. Arif Gosita menguraikan beberapa manfaat yang diperoleh dengan mempelajari viktimologi, yaitu sebagai berikut: 1. Viktimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat pemahaman itu, akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal, dan konsepsi-konsepsi mengenai usaha-usaha yang preventif, represif, dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi criminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. 2. Viktimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial. Tujuannya tidaklah untuk menyanjung (eulogize) korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta pihak lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi demi menegakkan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi. 3. Viktimologi memberikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau nonstruktural. Tujuannya adalah bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan pengertian yang baik dan agar waspada. Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang 210 meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya. 4. Viktimologi juga memerhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung, misalnya: efek politik pada penduduk “dunia ketiga” akibat penyuapan oleh suatu korporasi internasional, akibat-akibat sosial pada setiap orang akibat polusi indurstri, terjadinya viktimisasi ekonomi, politik dan sosial setiap kali seorang pejabat menyalahgunakan jabatan dalam pemerintahan untuk keuntungan sendiri. Dengan demikian, dimungkinkan menentukan asal mula viktimisasi, mencari sarana menghadapi suatu kasus, mengetahui terlebih dahulu kasus-kasus (antisipasi), mengatasi akibat-akibat merusak, dan mencegah pelanggaran kejahatan lebih lanjut (diagnosis viktimologis) 5. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal, pendapat-pendapat viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan peradilan kriminal dan reaksi pengadilan terhadap pelaku kriminal. Mempelajari korban dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia. Manfaat viktimologi ini pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam mempelajari manfaat studi korban yaitu: 1. Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindungan hokum. 2. Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana. 3. Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.147 147 Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm. 39. 211 Manfaat viktimologi ini dapat memahami kedudukan korban sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran. Dalam usaha mencari kebenaran dalam usaha mengerti akan permasalahan kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya secara dimensional. Viktimologi juga berperan dalam hal penghormatan hakhak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga Negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Viktimologi bermanfaat bagi kinerja aparatur penegak hukum, seperti aparat kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Bagi aparat kepolisian, viktimologi sangat membantu dalam upaya penanggulangan kejahatan. Melalui viktimologi akan mudah diketahui latar belakang yang mendorong terjadinya kejahatan, seberapa besar peranan korban pada terjadinya kejahatan, bagaimana modus operansi yang biasanya dilakukan oleh pelaku dalam menjalankan aksinya, serta aspek-aspek lainnya yang terkait. Bagi kejaksaan, khususnya dalam proses penuntutan perkara pidana di pengadilan, viktimologi dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan berat ringannya tuntutan yang akan diajukan kepada terdakwa, mengingat dalam praktiknya sering dijumpai korban kejahatan turut menjadi pemicu terjadinya kejahatan. Bagi kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami hukum yang menjalankan tugas luhurnya, yaitu menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarakannya Negara Hukum Republik Indonesia, dengan adanya viktimologi, hakim tidak hanya menepatkan korban sebagai saksi dalam persidangan suatu perkara pidana, tetapi juga turut memahami kepentingan dan penderitaan 212 korban akibat dari sebuah kejahatan atau tindakan pidana sehingga apa yang menjadi harapan dari korban terhadap pelaku sedikit banyak dapat terkonkretisasi dalam putusan hakim. Hakim dapat mempertimbangkan berat ringan hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat pada seberapat bersar penderitaan yang dialami oleh korban pada terjadinya kejahatan, misalnya hakim akan mempertimbangkan hukuman yang akan dijatuhkan pada terdakwa dengan melihat pada penderitaan yang dialami oleh korban akibat perbuatan terdakwa. Misalnya korban menderita cacat seumur hidup, korban kehilangan penghasilan, korban kehilangan orang yang salami ini menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Seperti dikemukakan oleh Soerjono Koesoemo bahwa hakim yang besar adalah yang putusannya merupakan pancaran hati nuraninya, yang dapat dipertanggunjawabkan menurut hukum dan ilmu hukum, serta dapat dipahami dan diterima para pencari keadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.148 Akhirnya, viktimilogi dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama ini terkesan kurang memerhatikan aspek perlindungan korban. H. Viktimologi dan Kriminologi Secara etimologis, kriminologi berasal dari kata crimen yang berarti kejahatan dan logos yang berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Kriminologi diartikan sebagai ilmu yang membahas mengenai kejahatan. Jika diperhatikan secara lebih luas, dapat kita ambil contoh pengertian kriminologi yang dikemukakan oleh Sutherland dan 148 Soerjono Koesoemo, Beberapa Pemikiran tentang Filsafat Hukum: Indonesia Menunggu Kelahiran (Kembali) “Hakim yang Besar,” Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1991. 213 Cressey yang menyebutkan bahwa kriminologi adalah “ the body of knowledfe regarding crime as a sosial phenomenon.” Termasuk dalam pengertian kriminologi tersebut adalah proses perbuatan undang-undang, pelanggaran hukum, dan reaksi terhadap pelanggaran hukum tersebut. Secara umum, kriminologi bertujuan untuk mempelajari kejahatan dari berbagai aspek sehingga diharapkan dapat diperoleh pemahaman tentang fenomena kejahatan yang lebih baik. Menurut antropolog Prancis P. Topinard (1839-1911), kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologi teoritis/murni). Kriminologi teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memerhatikan gejala-gejala dan mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala-gejala tersebut (aetiologi) dengan cara-cara yang ada padanya. Jadi pada pokoknya, kriminologi merupakan ilmu yang menyelidiki kejahatan, serta aspek-aspek yang menyertai kejahatan tersebut, yakni selain mengenai pokok-pokok kejahatan yang dilakukan, juga orang-orang yang melakukan kejahatan tersebut. Akan tetapi, kriminologi tidak menyelidiki kejahatan dari segi yuridisnya ataupun perumusan jenis-jenis kejahatan tersebut. Bahasan yang terakhir disebutkan merupakan bahasan dari bidang hukum pidana. Kriminologi merupakan salah satu ilmu pengentahuan yang usianya relatif muda. Kriminologi baru muncul pada abad ke-19, bersamaan dengan lahirnya sosiologi. Hal ini disebabkan karena perhatian khusus mengenai kejahatan hanyalah disinggung sepintas lalu dalam buku-buku karangan para sarjana terdahulu, seperti pada buku karangan Van Kan “Les Causes Economiques de la Criminalite” (1903), yang mengemukakan pendapatnya tentang 214 sebab-musabab ekonomis kejahatan. Kemudian Havelock Ellis dalam bukunya The Criminal (1889), Maro dalam bukunya I Caratteri dei Delinquenti (1887), dan G. Antonini dalam bukunya I Precuri di lambroso (1909) yang mencari pendapat tentang kejahatan menurut antropologi, tetapi hasilnya sangat kecil. Begitu pula halnya dengan hasil karya Plato dan Aristoteles yang membahas mengenai kejahatan dalam hubungannya dengan kehidupan suatu Negara. Lahirnya kriminologi ditandai dengan munculnya gerakangerakan menentang pemerintahan yang dianggap sewenangwenang dalam menerapkan hukum pidana serta hukum acara pidananya, di mana pada waktu itu hukum pidana diterapkan dengan tujuan untuk menakut-nakuti masyarakatnya dengan menerapkan hukuman penganiayaan yang mengerikan. Proses pemeriksaan orang yang disangka melakukan kejahatan pun sama tidak berperikemanusiaan. Pemeriksaan tersebut hanya bersifat formalitas saja. Tata cara pemeriksaannya pun tergantung bagaimana keinginan si pemeriksa serta dilakukan secara rahasia. Ketika itu, pengakuan dari si tertuduh dipandang sebagai syarat pembuktian yang utama. Gerakan penentangan semacam ini muncul menjelang revolusi Prancis yang pada saat itu kekuasaan raja sangat absolut. Pada masa itu, orang-orang yang ditengarai melakukan penentangan terhadap kekuasaan raja langsung dijebloskan ke dalam penjara Bastille. Penentangan-penentangan semacam ini dikeluarkan oleh tokoh-tokoh Prancis seperti Montesquieu, Rosseau, dan Voltaire. Ketiganya menyatakan penentangan kepada tindakan sewenang-wenang, hukuman yang kejam serta banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Selain ketiga tokoh tersebut, mulai bermunculan pula pemikiran-pemikiran tokoh yang menyuarakan penentangan 215 terhadap hukuman yang berlaku pada saat itu, yang berlaku kejam terhadap penjahat. Pada tahun 1777 oleh “Oeconomische Gisellschaft” di Bern diadakan sayembara untuk merencanakan suatu hukum pidana yang baik. Persertanya di antaranya adalah J.P. Marat (1774-1793) dengan karangannya Plan de Legislation des lois Crimineles ( 1780), J.P. Bnrissot de Warville (1745-1793) Theorie des lois Crimineles (1781), dan juga C. Beccaria (17381794) dengan karangannya Del Delitti e Delle Pene (1764). Hasil perjuangan para tokoh tersebut kemudian melahirkan hasil yang baik. Pada tahun 1780 di Prancis penganiayaan dihapuskan, setelah sebelumnya pada tahun 1740, Frederik Agung sudah menghapuskannya lebih dahulu. Namun, jasa yang sangat besar dari John Howard (1726-1790) dalam bukunya The State of The Prisons (1777), terutama mengenai rumah penjara di Inggris dan dalam Cetakan yang belakangan mengenai kepenjaraan di Negara lain, menunjukkan keadaan yang menyedihkan baik dari segi kesehatan maupun kesusilaan. Sekitar tahun 1880 di Amerika karena pengaruh golongan Quaker, didirikan perkumpulan-perkumpulan yang memerhatikan masalah kepenjaraan dengan tujuan memberantas akibat-akibat yang sangat mendesak yang timbul dari adanya penutupan bersama dalam rumah penjara. Penutupan tersendiri yang akan memberik kesempatan pada penjahat untuk memeriksa diri sendiri (dan karenanya menyesal), akan menggantikan penutupan bersama. Pada tahun 1786 hukuman mati di Pennsylvania dihapuskan. Setelah berakhirnya masa penentangan terhadap hukum pidana dan juga hukum acara pidana, barulah fokus terhadap kejahatan serta pelakunya dapat terealisasi. Mulailah para ahli meneliti mengenai kejahatan serta pelaku-pelakunya, hingga lahirnya banyak pemikiran mengenai kejahatan. 216 Dalam ilmu kriminologi modern dikenal tiga aliran permikiran untuk menjelaskan gejala kejahatan, yaitu sebagai berikut: 1. Kriminologi Klasik Dalam hal ini, gambaran tentang kejahatan dan penjahat pada umunya dipandang dari sudut hukum, kejahatan diartikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana dan penjahat adalah orang yang melakukan kejahatan. Orang melakukan kejahatan sebagai pilihan bebas masing-masing individu dengan menilai untung ruginya. Untuk mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan, kerugian atau risiko yang harus ditanggung oleh pelaku harus ditingkatkan (misalnya dengan ancaman sanksi yang berat atau tinggi). Dengan demikian, perimbangan antara kerugian atu risiko dengan keuntungan atau kenikmatan yang akan diperoleh dari kejahatan akan lebih besar pada risikonya. Dalam kaitan ini, tugas kriminologi adalah membuat pola dan menguji sistem hukumnya akan meminimalkan kejahatan. 2. Kriminologi Positivis Aliran pemikiran ini betolak dari pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di luar kontrolnya, baik berupa faktor biologis maupun kultural. Dengan demikian, manusia tidak bebas untuk menentukan perbuatannya karena dibatasi dan ditentukan oleh situasi biologis atau kulturalnya. Aliran positivis ini mengarahkan fokusnya pada usaha untuk menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatannya melalui studi ilmiah terhadap cirri-ciri pelaku dari aspek fisik, sosial dan kulturan. 3. Kriminologi Kritis Aliran pemikiran ini mulai berkembanga setelah tahun 1960an sebagai pengaruh dari semakin populernya perspektif labeling. 217 Aliran ini tidak mempersoalkan apakah perilaku manusia itu bebas atau dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, tetapi lebih mengarahkan pada proses-proses yang terjadi. Dengan demikian, aliran ini mempelajari proses-proses dan kondisi yang memengaruhi pemberian batasan atau pendefinisian kejahatan pada perbuatan-perbuatan tertentu, orang-orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Pendekatan dalam aliran pemikiran ini dapat dibedakan antara pendekatan interaksionis dan pendekatan konflik. Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri. Akan tetapi, mengenai pentingnya dibentuk ilmu viktimologi secara terpisah dari ilmu kriminologi mengundang beberapa pendapat, yaitu sebagai berikut: 1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi, di antaranya adalah von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspkenya, termasuk korban. Dengan demikian, melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupnya. 2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, di antaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas 218 persoalan korban, viktimologi juga tidak dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri. Khususnya mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum terhadap penjahat maupun tentang pengertian mengenai timbulnya kejahatan maupun mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan adanya kejahatan dan bagaimana menghadapinya untuk kebaikan masyarakat dan pelaku kejahatannya.149 Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala sosial adalah kriminologi.150 Menurut pendekatan kriminologi, ada beberapa alasan perlunya korban kejahatan mendapatkan perhatian, yaitu sebagai berikut:151 1. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberikan perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan (offender-centered). Bukti konkret padangan ini adalah hanya beberapa pasal di dalam KUHAP yang mencerminkan perlindungan terhadap korban. Pasal-pasal tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Pasal 80 KUHAP Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh 149 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta:Rineka Cipta, Mei 1993), 150 Utrecht, E., Hukum Pidana I (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1958), hlm. hlm. 15 136. 151 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme (Bandung: Putra A. Bardin, 1996), hlm. 17 219 2. 3. penyidik atau Jaksa Penuntut Umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya. b. Pasal 108 ayat (1) Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik atau penyidik, baik lisan maupun tulisan. c. Pasal 133 ayat (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani korban baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. d. Pasal 134 ayat (1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban e. Pasal 160 ayat (1b) Yang pertama-tama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi. Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran atas statistik kriminal (terutama statistik yang terdapat pada kepolisian yang dilakukan melalui survei tentang korban kejahatan). Masyarakat yang berkembang akan semakin menyadari bahwa di samping korban kejahatan konvensional (kejahatan jalanan/street crime) tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan nonkonvensional maupun korban dari penyalahgunaan kekuasaan. 220 Dewasa ini, terdapat kecendrungan bahwa masalah korban dibahas secara tersendiri dan terperinci dalam ilmu viktimologi dan bukan merupakan cabang ilmu kriminologi, padahal antara viktimologi dan kriminologi, akan selalu terdapat hubungan yang berkesinambungan dan saling memengaruhi. Menurut von Hentig. H. Mannheim dan Paul Cornil kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Selain itu, viktimologi tidak hanya terfokus kepada korban itu sendiri, tetapi juga melihat kedudukan kejahatan sebagai penyebab timbulnya korban, dan kejahatan hanya ada dalam kajian kriminologi. Dengan demikian, antara viktimologi dan kriminologi terdapat hubungan erat sebagaimana dihasilkan dalam Simposium Internasional tahun 1973 di Jerusalem yang merumuskan kesimpulan mengenai hubungan antara viktimologi dan kriminologi, adalah: 1. Bahwa viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah mengenai para korban 2. Bahwa kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientasi viktimologi.152 Dengan menolak adanya viktimologi dan hanya memusatkan perhatian kepada pelaku kejahatan dengan kejahatannya merupakan penolakann terhadap viktimologi, sebab antara pelaku dan korban adalah suatu kesatuan akan terjadinya sebuah kejahatan. I. Viktimologi dan Ilmu Hukum Secara terminologi menurut Hugo Reading, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban, penyebab 152 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, hlm. 80. 221 timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial. Ilmu hukum adalah ilmu tentang hukum yang berlaku di suatu Negara atau masyarakat tertentu, dan hukum dalam hal ini adalah hukum positif (ius constitutum).153 Hukum yang menjadi kajian dari ilmu hukum adalah hukum yang bertalian dengan kehidupan manusia dalam masyarakat. Kehidupan masyarakat dalam hal ini adalah proses sosial, tempat terjadinya pengaruh timbal balik antarberbagai segi kehidupan (politik, ekonomi, agama, dan sebagainya) sebagai sebuah interaksi yang dapat berlangsung dalam bentuk komunikasi, konflik, kompetisi, akomodasi, asimilasi, dan kooperasi.154 Aspek kehidupan yang digunakan dalam hal hubungan antara ilmu hukum dan viktimologi adalah “konflik,” di mana terdapat konflik, terjadi pertentangan, dan dalam pertentangan pasti terdapat sebuah viktimasi kriminal, yang berlaku menyeimbangkan dan mempertahankan perdamaian.155 Sementara itu, bagi viktimologi, dalam masyarakat terdapat hal yang dapat menyebabkan timbulnya korban serta akibat-akibat korban yang merupakan kenyataan sosial. 153 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum (Bandung: Alumni, 2000): Edisi Pertama: Buku I, hlm 1. 154 Zen Zanibar M.Z. “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex Jurnalica, Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia Esa Tunggal, No. 1/2004, hlm. 44. 155 Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1996), Cetakan Keduapuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino, hlm. 11. 222 RANGKUMAN 1. Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang dundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 2. Pada prinsipnya terdapat empat tipe korban, yaitu sebagai berikut: a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban anak-anak, orang tua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. 3. Hubungan antara viktimologi dan kriminologi adalah bahwa viktimologi dapat dirumuskan sebagai suatu studi ilmiah mengenai para korban dan kriminologi telah diperkaya dengan suatu orientasi viktimologi. LATIHAN 1. Jelaskan bagaimana pengertian korban dan sebutkan tipologi korban. 2. Sebutkan Hak dan Kewajiban Korban. 3. Jelaskan manfaat mempelajari viktimologi. 4. Jelaskan bagaimanakah hubungan viktimologi dengan kriminologi. 223 5. Jelaskan bagaimana hubungan viktimologi dengan ilmu hukum. GLOSSARIUM 1. Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan. 2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3. Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan ransangan terjadinya kejahatan. 4. Participating victims, yaitu merka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban. 5. False victimis, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri. 6. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku. 7. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban. 8. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 9. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban. 10. Sosially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban. 11. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. 12. Crime (kejahatan) adalah bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusian. Kejahatan 224 merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang sangat ditentang oleh masyarakat dan paling tidak disukai oleh rakyat. DAFTAR PUSTAKA Apeldoorn, L.J. van, 1996, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan Keduapuluhenam, Terjemahan: Mr. Oetarid Sadino. PT Pradnya Paramita, Jakarta Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta. Chaerudin dan Syarif Fadillah, 2004, Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama, Ghalia Press, Jakarta. Cohen dan Romli Atmasasmita, tanpa tahun, Masalah Santunan Korban Kejahatan, BPHN, Jakarta. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada kasus peledakan bom di Legian Bali dengan terdakwa Ali Ghufron alias Muklas alias Sofwan. Kimball, Edward L., 1983, “Crime: Definition of Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed), Encyclopedia of Crime and Justice: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., Volume 1. New York. Made Darma Weda, 1995, Beberapa Catatan tentang Korban Kejahatan Korporasi, dalam Bunga Rampai Viktimisasi, Eresco, Bandung. Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Shidarta, 2000, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Edisi Pertama: Buku I, Alumni, Bandung. 225 Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Muladi, disampaikan pada seminar viktimologi di Universitas Airlangga Surabaya, tanggal 28-29 Oktober 1988 dari Prof. Muladi, S.H., Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Ralph de Sola, 1998, Crime Distionary, Facts on File Publication, New York. Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta. Richard Frase, “Victimless Crime,” dalam: Sanford H. Kadish (ed.), 1983, Encyclopedia of Crime and Justice: The Free Press: A Division of Macmillan Inc., Volume 4. New York. Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra A. Bardin, Bandung. Samuel Walker, 1985, Sense and Nonsense about Crime, A Policy Guide, Brooks/Cole Publishing Company, MontereyCalifornia Soerjono Koesoemo, 1991, Beberapa Pemikiran tentang Filsafat Hukum: Indonesia Menunggu Kelahiran (Kembali) “Hakim yang Besar,” Fakultas Hukum UNDIP, Semarang. Tutty Alawiyah, A.S, 2003, Kata Sambutan dalam Buku Tindak Pidana Narkotika dari Moh Taufik Makarao, et.al: Ghalia Indonesia, Jakarta. Utrecht, E., 1958, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya. 226 W.A. Bonger dan G.h. Th. Kempe, diterjemahkan oleh R.A. Koesnoen, 1995, Pengantar Tentang Kriminologi, Cetakan ketujuh, PT Pembangunan, Jakarta. Zen Zanibar M.Z. 2004, “Wilayah Kajian Ilmu Hukum,” dalam : Lex Jurnalica, Transformasi Ide dan Objektivitas, Jakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Indonesia, Esa Tunggal, Jakarta. 227 BAB IX KEDUDUKAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Menjelaskan kedudukan korban dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Menjelaskan kedudukan korban dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 3. Menjelaskan kedudukan korban dalam UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 4. Menjelaskan kedudukan Korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victimis of Crime and Abuse of Power 5. Menjelaskan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana Islam. A. Kedudukan Korban dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 228 Dalam penegakan hukum kelemahan mendasar adalah terabaikannya hak korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang harus ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai.156 Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP, sedikit sekali pasalpasal yang membahas tentang korban, pembahasannyapun tidak fokus terhadap eksistensi korban tindak pidana melainkan hanya sebagai warga Negara biasa yang mempunyai hak yang sama dengan warga Negara lain. Terlihat dengan bermacammacamnya istilah yang digunakan dalam menunjuk seorang korban. Sebagai contoh, dalam pasal 160 ayat (1)b Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa “yang pertama didengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi”. Dengan demikian posisi korban tindak pidana di sini hanyalah sebagai saksi dari suatu perkara pidana yang semata-mata untuk membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undangundang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhkan sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan tetapi juga korban kejahatan.157 156 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, hlm. 2. 157 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 24. 229 Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil. Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan yaitu hanya sebagai saksi sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. Asas-asas hukum Acara Pidana yang dianut KUHAP pun hampir semua mengedepankan hak-hak tersangka. Paling tidak terdapat sepuluh asas yang dianut oleh KUHAP dengan maksud untuk melindungi hak warganegara dalam proses hukum yang adil, yaitu: 1. Perlakuan yang sama di muka hukum tanpa diskriminasi apapun 2. Praduga tidak bersalah 3. Pelanggaran atas hak-hak individu warganegara (yaitu dalam hal penangkapan, penahanan, penggledahan dan penyitaan harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah; 4. Seorang tersangka hendak diberitahu tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya; 5. Seorang tersangka dan terdakwa berhak mendapat bantuan penasehat hukum; 6. Seorang terdakwa berhak hadir di muka pengadilan 7. Adanya peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat serta sederhana; 8. Peradilan harus terbuka untuk umum; 9. Tersangka maupun terdakwa berhak memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi, serta 230 10. Adalah kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan-putusannya. 158 Melihat sepuluh asas di atas, secara normatif KUHAP hanya memperhatikan hak-hak pelaku kejahatan, tanpa memberi ruang kepada korban untuk memperjuangkan hak-haknya. Sebagaimana dikemukakan pada bab-bab terdahulu, korban dalam KUHAP hanya diatur dalam beberapa pasal saja yaitu Pasal 98101. Bunyi pasal dimaksud secara lengkap seperti di bawah ini: Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua siding atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu. Pasal 99 ayat (1) KUHAP menyebutkan: Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebernaran dasar gugatan dan tentang hukum penggantian biaya yang dirugikan tersebut. Ayat (2) : Kecuali dalam hal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, putusan hakim hanya memuat tentang penetapan hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Ayat (3): 158 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996, hlm. 86. 231 Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya mendapat kekuatan tetap apabila putusan pidannya juga mendapat kekuatan hukum tetap. Pasal 100 ayat (1): Apabila terjadi penggabungan antara perkara perdata dan perkara pidana maka penggabungan itu dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding. Ayat (2): Apabila terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, maka permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan. Pasal 101: Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain. Pasal 98-101 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di atas adalah pasal-pasal yang berkaitan dengan hak korban dalam menuntut ganti kerugian. Mekanisme yang ditempuh adalah penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidana. Penggabungan perkara ganti kerugian merupakan acara yang khas dan karakteristik, yang ada di dalam isi ketentuan dari KUHAP. Asas penggabungan perkara ganti kerugian pada perkara pidana dapat disebutkan sebagai berikut: 1. Merupakan praktik penegakan hukum berdasarkan ciptaan KUHAP sendiri bagi proses beracara (pidana dengan perdata) untuk peradilan di Indonesia. KUHAP memberi prosedur hukum bagi seorang korban (atau beberapa korban) tindak pidana, untuk menggugat ganti rugi yang 232 bercorak perdata terhadap terdakwa bersamaan dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung; 2. Penggabungan pemeriksaan dan putusan gugatan ganti kerugian pada perkara pidana sekaligus adalah sesuai dengan asas keseimbangan yang dimaksud KUHAP.159 Maksud dari penggabungan perkara gugatan ganti kerugian adalah: pertama, supaya perkara gugatan tersebut pada suatu ketika yang sama diperiksa serta diputus sekaligus dengan perkara pidana yang bersangkutan. Kedua, hal penggabungan sesuai dengan asas beracara dengan cepat, sederhana dan biaya ringan. Ketiga, orang lain termasuk korban, dapat sesegera mungkin memperoleh ganti ruginya tanpa harus melalui prosedur perkara perdata biasa yang dapat memakan waktu yang lama.160 Adapun tujuan dari penggabungan perkara gugatan pada perkara pidana adalah, bahwa tujuan yang sebenarnya terkandung dalam lembaga penggabungan yaitu, agar orang lain atau saksi korban dalam tindak pidana sesegera mungkin mendapatkan ganti kerugian, serta tidak lagi dibebani melalui prosedur dan proses perdata yang terpisah dan memakan waktu lama.161 Namun demikian, untuk dapat mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian harus memperhatikan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Haruslah berupa dan merupakan kerugian yang dialami oleh orang lain termasuk korban (saksi korban) sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa. 159 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003. hlm. 86. 160 Loc.cit. 161 R. Soeparmono, Ibid, hlm 87. 233 2. Jumlah besarnya ganti kerugian yang dapat diminta hanya terbatas sebesar jumlah kerugian materiil yang diderita orang lain, termasuk korban tersebut. 3. Bahwa sasaran subjek hukumnya pihak-pihak adalah terdakwa. 4. Penuntutan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidananya tersebut hanya dapat diajukan selambatlambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitor). 5. Dalam hal penuntutan umum tidak hadir, tuntutan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan. 6. Perkara pidananya tersebut menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pada korban. 7. Penuntutan gugatan ganti kerugian yang digabungkan pada perkara pidana tersebut tidak perlu diajukan melalui paitera pengadilan negeri, melainkan dapat langsung diajukan dalam sidang pengadilan melalui majelis hakim/hakim. 8. Gugatan ganti kerugian Pasal 98 ayat (1) KUHAP adalah, harus sebagai akibat kerugian yang timbul karena perbuatan terdakwa dan tidak mengenai kerugian-kerugian lainnya.162 Dari uraian di atas, maka dapat diketahui, yang dapat diajukan dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian hanya terbatas pada tuntutan ganti kerugian yang secara nyatanyata (riil) dikeluarkan atau dengan kata lain ganti kerugian materiil.163 Pembatasan ini dimaksudkan didasarkan pada: a. Proses penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut harus berjalan cepat, tidak memakan waktu yang 162 Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007. 163 Rusli Muhammad, Ibid, hlm. 115. 234 lama dan seketika dan sesegera mungkin dapat direalisasikan, serta adanya prinsip pemeriksaan peradilan yang cepat dan sederhana. Misalnya, hanya membuktikan bukti-bukti surat dan kwitansi, biaya pengobatan, biaya perawatan, biaya memperbaiki kendaraan, dan lain-lain. b. Kerugian materiil yang berupa kerugian yang secara nyata (riil) tersebut mudah pembuktiannya c. Karena hanyalah kerugian yang immateriil tidak dapat diterima untuk penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. d. Karena itulah, imbalan ganti kerugian immateriil harus dipisahkan, dengan maksud agar diajukan tersendiri pada gugatan perdata biasa, karena dipandang tidak sederhana dan tidak mudah. e. Karena pemeriksaan dan pembuktiannya sulit serta memakan waktu, pula menghambat pemeriksaan pidananya, sehingga bertentangan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.164 Dengan adanya pembatasan di atas, muncul kelemahan-kelemahan dari praktik penggabungan gugatan ganti kerugian yang ada dalam KUHAP, diantaranya: a. Sistem penggabungan tersebut dirasakan belum mendekati hakikat tujuan ganti kerugian itu sendiri. b. Tuntutan ganti kerugian oleh orang lain yang menderita langsung kerugian atau pihak korban untuk memperoleh jumlah besarnya ganti kerugian dibatasai hanya pada kerugian materiil yang nyata-nyata dikeluarkan oleh orang yang dirugikan langsung tersebut. Jadi KUHAP dalam ketentuan-ketentuannya membatasi hak. c. Untuk kerugian non materiil, yaitu kerugian immaterial terpaksa harus mengajukan lagi dengan gugatan perdata biasa tersendiri, yang mungkin dapat memakan waktu lama. d. Kondisi seperti ini berarti mengaburkan maksud semula dari penggabungan itu sendiri, yang bertujuan untuk menyederhanakan proses. 164 Rusli Muhammad, Op.cit, hlm. 88-89. 235 e. Adanya kendala dalam pelaksanaan masalah pembayaran ganti kerugian tersebut. f. Apabila pihak korban tetap menuntut ganti kerugian yang bersifat immateriil juga, hasilnya akan nihil, karena putusan selalu menyatakan: gugatan ganti kerugian immateriil tersebut dinyatakan tidak dapat diterima, karena tidak berdasarkan hukum. g. Majelis hakim/hakim harus cermat, sebab selalu harus memisahkan antara kerugian materiil dengan kerugian immateriil, sehingga tidak efisien. h. Karena gugatan ganti kerugian pada perkara pidana hanya bersifat assesor. i. Pada setiap putusan perdatanya, pihak korban/penggugat dalam penggabungan perkara gugatan ganti kerugian tersebut selalu menggantungkan pihak terdakwa atau jaksa penuntut umum jika mau banding, sehingga melenyapkan hak bandingnya sebagai upaya hukum.165 Kelemahan-kelemahan di atas semakin mempersempit ruang korban tindak pidana untuk mengajukan hak-haknya, penggabungan gugatan ganti kerugian hanya memberikan peluang untuk kerugian materiil saja, sedangkan untuk pemulihan kerugian immateriil masih harus diajukan secara terpisah melalui gugatan perdata yang pada prakteknya tidak sederhana. B. Kedudukan Korban dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban Lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan saksi dan korban pada tanggal 11 Agustus 2006 dengan undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, disahkan dan diberlakukan. 165 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 81. 236 Sekalipun beberapa materi dalam undang-undang ini masih harus dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan. Berlakunya undang-undang ini cukup memberikan angin segar bagi upaya perlindungan korban kejahatan. Dasar pertimbangan perlunya diatur undang-undang mengenai perlindungan korban (dan saksi) kejahatan dapat dilihat pada bagian pertimbangan undang-undang ini, antara lain menyebutkan dalam proses peradilan pidana sering mengalami kesukaran dalam mencara dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini terjadi karena tidak hadirnya saksi di persidangan yang disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal diketahui bahwa peran saksi (korban) dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Korban dan/atau saksi diakui keberadaannya dalam proses peradilan pidana.166 Dalam suatu proses peradilan pidana, saksi (korban) memegang peranan kunci dalam upaya mengungkap suatu kebenaran materiil. Maka, tidak berlebihan apabila dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, keterangan saksi ditepatkan pada urutan pertama di atas alat bukti lain yaitu keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Pada saat saksi (korban) akam memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apabila hasil dari tekanan pihak-pihak tertentu. 166 Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom, opcit, hlm. 152. 237 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 menganut pengertian korban dalam arti luas, yaitu seseorang yang mengalami penderitaan, tidak hanya secara fisik atau mental atau ekonomi tetapi bisa juga kombinasi di antara ketiganya. Hal ini terdapat pada Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 yang menyebutkan korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, dapat dilihat tentang hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan c. Memberikan keterangan tanpa tekanan d. Mendapat penerjemah e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan h. Mengetahi dalam hal terpidana dibebaskan i. Mendapatkan identitas baru j. Mendapatkan tempat kediaman baru k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan l. Mendapatkan nasihat hukum m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai waktu perlindungan berakhir. Secara umum hak-hak di atas cenderung memberikan porsi lebih besar terhadap kedudukan saksi daripada kedudukan korban 238 dalam sistem peradilan pidana. Korban tidak mendapat porsi jaminan yang sama dengan saksi. Kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan atau pun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa korban dapat mengajukan hak atas kompensasi (dalam kasus pelanggaran HAM berat) dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Namun, pengajuan hak atas kompensasi, restitusi atau pun ganti kerugian di atas harus diajukan ke pengadilan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada praktiknya mekanisme seperti ini tentu tidak lah sederhana. Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa korban yang telah menjadi objek kekerasan dan penindasan oleh para pelaku dari dulu hingga saat ini menjadi pihak yang dilalaikan. C. Kedudukan Korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Untuk mewujudkan keutuhan dan kerukunan tersebut, sangat tergantung pada setiap orang dalam lingkup rumah tangga, terutama kadar kualitas perilaku dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga. 239 Keutuhan dan kerukunan rumah tangga dapat tergantung jika kualitas dan pengendalian diri tidak dapat dikontrol, yang pada akhirnya dapat terjadi kekerasan dalam rumah tangga sehingga timbul tidakamanan atau ketidakadilan terhadap orang yang berada dalam lingkup rumah tangga tersebut. Setiap orang berhak untuk memiliki rasa man, berhak atas perlakuan hukum yang adil tanpa diskriminasi. Kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi. Kasus kekerasan dalam rumah tangga semakin hari semakin meningkat, untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan dalam rumah tangga tersebut diperlukan suatu perangkat hukum yang lebih terakomodir, hal ini ditanggapi oleh pemerintah dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang disahkan pada tanggal 14 September 2004. Dengan adanya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga diharapkan dapat menjadikan solusi untuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan dalam rumah tangga dalam upaya penegakan hukum. Sesuai dengan asas yang diatur dalam Pasal 3, yaitu: a. Penghormatan hak asasi manusia b. Keadilan dan kesetaraan gender c. Nondiskriminasi d. Perlindungan korban Mengenai korban kekerasan dalam rumah tangga dapat berasal dari berbagai latar belakang usia, pendidikan, tingkat sosial ekonomi, agama dan suku bangsa. Yang dimaksud dengan korban menurut UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 240 Arif Gosita memberikan pengertian tentang korban yaitu mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.167 UU Penghapusan KDRT ini diatur mengenai hak-hak korban, sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 10: Korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ,dan e. Pelayanan bimbingan rohani Dengan adanya pasal yang memuat tentang hak-hak korban ini maka diharapkan korban kekerasan dalam rumah tangga akan mendapat perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat sehingga tidak mengakibatkan dampak traumatis yang berkepanjangan. Sesuai dengan konsideran UU Penghapusan KDRT, korban kekerasan dalam rumah tangga, yang kebanyakan perempuan harus mendapat perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasa, 167 Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 63. 241 penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusian.168 Selain mengatur tentang hak-hak korban, UU Penghapusan KDRT ini pun mengatur tentang pelayanan yang diberikan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pelayanan tersebut diberikan oleh kepolisian dengan menyediakan ruang pelayanan khusus (RPK) bekrjasama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk mendampingi pasal (Pasal 17). Korban kekerasan dalam rumah tangga dapat melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian baik di tempat korban berada maupun di tempat kejadian perkara atau dapat juga memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya. Sebuah kemajuan lain dalam UU PKDRT adalah korban dapat mengajukan permohonan surat perintah penetapan perlindungan kepada pengadilan. Dengan demikian selama dalam proses korban berada dalam kondisi yang aman dan dilindungi. Permohonan untuk memperoleh surat perintah penetapan perlindungan dapat diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani. Permohonan perlindungan tersebut dapat diajukan baik secara lisan maupun tulisan (Pasal 30). Ketua pengadilan dalam tenggang waktu 7 penetapan yang berisi perintah perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lain, kecuali ada alasan yang patut. Perintah perlindungan yang dikeluarkan oleh ketua Pengadilan 168 Rena Yulia, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Penegakan Hukum, Mimbar, LPPM-UNISBA, Bandung, hlm. 322. 242 Negeri dapat diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang atas penetapan pengadilan. Dengan demikian menyangkut perlindungan terhadap korban KDRT, secara normatif sudah memenuhi, tetapi perlu pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan tersebut baik berupa kebijakan maupun tindakan. Hal ini berkenaan dengan pengaturan bentuk-bentuk kekerasan yang termasuk ke dalam delik aduan dan delik biasa. Perbuatan yang termasuk dalam delik aduan (Pasal 51-53) merupakan prebuatan kekerasan yang terjadi antara suami dan istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan perkerjaan, jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari. Ini dimaksudkan agar wilayah privasi suami dan istri dalam rumah tangga tetap terjaga, untuk itu diperlukan kerjasama dari korban kekerasan berupa pengaduan sehingga lebih mudah dalam penanggulangannya. UU Penghapusan KDRT ini mengatur pula mengenai sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga, berbeda dengan KUHAP yang hanya mengatur tentang sanksi berupa pidana berupa: a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Akan tetapi dalam UU Penghapusan KDRT ini dirumuskan sistem sanksi secara alternative, pelaku KDRT dapat dikenakan pidana penjara atau pidana denda. Dengan demikian dalam pelaksanaannya akan memberikan ketidakadilan bagi korban KDRT itu sendiri, dengan adanya sanksi alternative pelaku KDRT 243 dapat memilih untuk membayar denda daripada melaksanakan pidana penjara. Selanjutnya dalam hal pembuktian di pengadilan, Pasal 183 KUHAP mensyaratkan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah sehingga ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya, kemudian hakim menjatuhkan putusan. Mengenai pembuktian perkara di pengadilan, UU PKDRT mengatur sebagaimana yang termuat dalam Pasal 55, bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. Hal ini mengandung pengertian bahwa keterangan saksi korban ditambah dengan alat bukti lainya sudah cukup membuktikan terdakwa bersalah. Ini bisa saja mengandung arti bahwa keterangan saksi korban dianggap sebagai salah satu alat bukti dan jika ditambah satu alat bukti lainnya maka sudah cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku. UU PKDRT merupakan suatu aturan yang memberi solusi untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga sebagai upaya penegakan hukum. Namun tetap diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dengan masyarakat serta korban kekerasan itu sendiri. D. Kedudukan Korban dalam Decalaration of Basic Principles of Justice for Victimis of Crime and Abuse of Power Korban dalam Declaration Of Basic Principles Of Justice For Victims Of Crime And Abuse Of Power meliputi dua hal, yaitu korban kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan. 244 Pengertian korban kejahatan dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power adalah: “Victimis” means persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within Member States, including those laws proscribing criminal abuse of power. Istilah korban juga termasuk, keluarga atau orang yang bergantung kepada orang lain yang menjadi korban. Dengan demikian korban yang dimaksud bukan hanya korban yang mengalami penderitaan secara langsung, melainkan keluarga atau orang-orang yang mengalami penderitaan akibat dari menderitanya si korban tadi. Dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power terdapat beberapa hak yang fundamental bagi korban, yaitu: 1. Access to justice and fair treatment Korban harus diperlakukan dengan rasa kasihan dan rasa hormat. Mereka berhak atas akses kepada mekanismemekanisme dari keadilan dan untuk mengganti kerugian. Mekanisme-mekanisme administratif dan hal tentang pengadilan harus dibentuk/mapan dan diperkuat di mana perlu memungkinkan korban-korban untuk memperoleh mengganti kerugian melalui prosedur-prosedur formal atau informal yang bersifat cepat dan efisien, adil, dapat diakses dan yang murah, korban-korban harus diberitahukan tentang hak-hak mereka di dalam mencari-cari mengganti kerugian melalui mekanismemekanisme seperti itu. 245 Kemampuan reaksi dari proses-proses administratif dan hal tentang pengadilan sesuai dengan kebutuhan korban harus dimudahkan oleh: Kebutuhan korban yang berkaitan dengan proses pengadilan diantaranya: (a) Member tahu korban-korban dari peran mereka dan lingkup, pemilihan waktu dan kemajuan dari cara bekerja dan disposisi kasus-kasus mereka, terutama kejahatankejahatan yang serius dilibatkan dan mereka sudah meminta informasi. (b) Korban didengar keinginannya untuk dipertimbangkan (c) Bantuan yang tepat kepada korban-korban sepanjang proses yang hukum (d) Memperlakukan korban dengan baik dan menjamin keselamatan keluarga korban dan saksi dari ancaman dan intimidasi. (e) Menghindari penundaan dalam mengabulkan putusan korban-korban 2. Restitution Pelaku kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada korban-korban, keluargakeluarga atau orang yang bergantung kepada korban. Penggantian kerugian seperti itu termasuk kembalinya harta atau pembayaran utnuk kerugian yang diderita dan pemulihan hak-hak. Pemerintah perlu meninjau ulang pelaksanaan dari peraturan undang-undang untuk mempertimbangkan penggantian kerugian dalam perkara pidana. Termasuk dalam kasus kejahatan lingkungan. Lebih baik dilakukan pemuliah lingkungan atau ganti kerugian. 246 3. Compensation Kompensasi diberikan kepada korban oleh pelaku. Akan tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka kompensasi itu harus dibayar oleh Negara. Korban yang mendapat kompensasi yaitu: (a) Korban yang menderita luka fisik maupun psikis akibat dari kejahatan yang berbahaya (b) Keluarga korban 4. Assitance/bantuan Korban perlu menerima bantuan baik medis, sosial dan psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan atau masyarakat. Korban harus dijamin kesehatannya. Para aparat terkait harus mempunyai pengetahuan yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan korban. Sehingga bantuan yang diberikan optimal dan professional. Bantuan yang diberikan harus tepat sasaran. E. Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Islam Persoalan kejahatan sudah ada sejak manusia ada sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci agama, oleh karena itu secara substantive pencegahan dan penanggulangan kejahatan sudah merupakan perhatian dari para Nabi yang implementasinya bisa dilihat dalam bab jinayat yang memberikan hukuman bagi pelaku dan melibatkan partisipasi korban dalam menyelesaikan akibat dari suatu kejahatan. Hukuman dalam hukum pidana Islam terdiri dari 3 jenis, yaitu hudud, qishosh diyat dan ta’zir. Dari ketiga jenis hukuman tersebut, yang bersinggungan dengan konsep restorative justice adalah pidana qishash diyat. Pada hakikatnya pidana qishash diyat itu merupakan bentuk pidana yang bersifat melindungi korban. Dilihat dari cara 247 dan wewenang menuntut dan melaksanakan pidana qishash diyat itu dibatasi dan diatur dalam Al-quran dan Hadist, maka ketentuan mengenai kedua bentuk pidana ini juga, sebenarnya melindungi dan meringankan beban terpidana.169 Hakikat yang terkandung dalam konsep pidana diyat adalah adanya prinsip pembalasan terhadap kejahatan, prinsip perlindungan terhadap korban atau keluarganya, dan prinsip perdamaian dan pemaafan yang sangat ditekankan antara terpidana dan keluarga korban. Pada dasarnya, hukuman kisas dan diyat bertujuan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat dengan mengabaikan keadaan pelaku tindak pidana. Dengan kata lain, hukum Islam tidak memperhatikan pribadi dan kondisi pelaku kecuali jika korban atau wilayah memberikan ampunan. Demikianlah, tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan menyentuh eksistensi masyarakat. Walaupun demikian, tindak pidana ini lebih menyentuh korban dari pada menyentuh masyarakat, tindak pidana ini bahkan tidak menyentuh masyarakat kecuali terlebih dahulu menyentuh korban. Apabila korban atau walinya telah mengampuni pelaku, maka tidak ada jalan lain selain melakukan penegakan hukum supaya keadilan dirasakan oleh masyarakat umum. Ini karena pengaruh pidana berat itu telah hilang oleh pemaafan korban sehingga pidana itu menjadi tidak berbahaya dan tidak mempengaruhi eksistensi masyarakat.170 Pada realitasnya, si korban atau walinya tidak akan mengampuni pelaku kecuali ia telah benar-benar memaafkan 169 H.C. Najmuddin HS, Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam, Tesis, Universitas Islam Bandung, Bandung, 2001, hlm. 96. 170 Abdul Qadir Audah, 2007, At-Tasyri al-jina I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy, Edisi Indonesia, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, PT. Kharisma Ilmu, Jakarta. 248 pelaku atau melihat adanya manfaat material pada diyat. Artinya, alasan pengampunan si korban/walinya dapat berupa dua hal: pemaafan dan manfaat material yang berupa diyat untuk korban/walinya. Kedua alasan ini disyariatkan dan dihalalkan oleh hukum Islam. Alasannya, pemaafan bermakna menghilangkan pertikaian dan kedengkian, sedangkan sikap mengutamakan pembayaran diyat daripada menjatuhkan hukuman bermakna sikap toleransi, memaafkan, dan melemahkan rasa permusuhan. Tidak diragukan lagi bahwa hak korban atau walinya adalah agar mereka menjadi pihak pertama yang mendapat manfaat atas tindak pidana yang menimpa mereka setelah mereka menanggung penderitaan yang tidak ditanggung oleh orang lain.171 Korban atau walinya diberi wewenang untuk mengampuni hukumam kisas. Apabila ia memaafkannya, gugurlah hukuman kisas tersebut. Pemberian ampunan terkadang bisa dengan cumacuma atau dengan membayar diayat kepada korban/walinya. Meskipun demikian, pengampunan tersebut tidak menghalangi penguasa untuk menjatuhkan hukuman takzir yang sesuai terhadap pelaku.172 Pada dasarnya, korban atau walinya tidak mempunyai wewenang untuk memberikan pengampunan dalam perkara pidana umum, tetapi dalam pidana kisas diyat, mereka diberi hak untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku sebagai pengecualian karena tindak pidana ini sangat erat hubungannya dengan pribadi korban, juga karena tindak pidana ini lebih banyak menyentuh pribadi korban daripada keamanan masyarakat dan sistemnya.173 171 Ibid, hlm. 23-24. Ibid, hlm. 69. 173 Loc.cit. 172 249 Hukum Islam memberikan hak pengampunan kepada korban atau walinya berdasarkan pertimbangan yang logis dan praktis karena pada dasarnya, hukuman ditetapkan untuk memberantas tindak pidana, tetapi pada banyak keadaan hukuman tidak selalu dapat mencegah terjadinya tindak pidana, sedangkan pengampunan seringkali dapat mencegah terjadinya tindak pidana. Ini karena pengampunan baru akan terjadi setelah adanya perdamaian dan kebersihan hati antara kedua belah pihak dari unsur-unsur yang mendorong terjadinya tindak pidana.174 Jadi dalam hal ini, pengampunan dapat melakukan tugas hukuman dan mewujudkan hasil yang tidak dapat dilaksanakan oleh hukuman itu sendiri. Inilah sisi praktis pemberian hak pengampunan. Adapun dari sisi logika, tindak pidana pembunuhan dan pelukaan bersifat perseorangan yang berasal dari motif perseorangan. Tindak pidana ini lebih banyak menyentuh kehidupan dan fisik korban daripada menyentuh masyarakat. Karena itu, selama suatu tindak pidana memiliki keterkaitan dengan perseorangan korban, penjatuhan hukumannya menjadi hak korban.175 Hukum Islam mengakui sistem pengampunan (hak korban dalam memberikan pengampunan), prinsip ini diakui oleh hukum modern pada masa kini sehingga hukum Islam tetap lebih unggul daripada hukum konvensional karena memilih logika penerapan pengampunan tersebut dengan baik. Alasannya, penetapan hak pengampunan bagi tindak pidana pembunuhan bagi tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan akan menghasilkan perdamaian dan kerukunan serta menghilangkan kedengkian dan rasa dendam. Konsep seperti ini implementasinya diberikan langsung kepada masing-masing Negara yang menerapkan hukum pidana 174 175 Loc.cit. Ibid, hlm. 70. 250 Islam, tetapi secara prinsip, konsep restorative justice embrionya sudah ada dalam stelsel pemindanaan yang dianut dalam hukum pidana Islam. Melihat konsep-konsep yang telah dikemukakan di atas, restorative justice maupun prinsip-prinsip hukum pidana Islam (konsep pemaafan), persaudaraan, konsep tersebut bisa diberlakukan dengan atau tanpa melalui sistem peradilan pidana. RANGKUMAN 1. Kedudukan korban dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Pasal 98-101) adalah hak korban dalam menuntut ganti kerugian. Mekanisme yang ditempuh adalah penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pada perkara pidana. Penggabungan perkara ganti kerugian merupakan acara yang khas dan karakteristik, yang ada di dalam isi ketentuan dari KUHAP. 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban kedudukan korban tidak hanya sekedar dapat ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan atau dapat memperoleh informasi mengenai putusan pengadilan atau pun korban dapat mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Namun, sebagai pihak yang dirugikan korban pun berhak untuk memperoleh ganti rugi dari apa-apa yang diderita. 3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban di dalam Pasal 7 menyebutkan bahwa korban dapat mengajukan hak atas kompensasi (dalam kasus pelanggaran HAM berat) dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. 4. Pasal 10 UU Penghapusan KDRT korban berhak mendapatkan Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, 251 5. 6. pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ,dan pelayanan bimbingan rohani. Dalam declaration of basic principles of justice for victims of crime and abuse of power terdapat beberapa hak yang fundamental bagi korban, yaitu: Access to justice and fair treatment, Restitution, Assistance/bantuan, Compensation. Korban yang mendapat kompensasi yaitu korban yang menderita luka fisik maupun psikis akibat dari kejahatan yang berbahaya dan keluarga korban. Hukum Islam mengakui sistem pengampunan (hak korban dalam memberikan pengampunan), prinsip ini diakui oleh hukum modern pada masa kini sehingga hukum Islam tetap lebih unggul daripada hukum konvensional karena memilih logika penerapan pengampunan tersebut dengan baik. Alasannya, penetapan hak pengampunan bagi tindak pidana pembunuhan bagi tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan akan menghasilkan perdamaian dan kerukunan serta menghilangkan kedengkian dan rasa dendam. LATIHAN 1. Jelaskan kedudukan korban dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 2. Jelaskan kedudukan korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 3. Jelaskan kedudukan korban dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 252 4. Sebutkan dan jelaskan hak-hak dasar korban dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victimis of Crime and Abuse of Power 5. Jelaskan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana Islam. GLOSSARIUM 1. Access to justice and fair treatment artinya korban harus diperlakukan dengan rasa kasihan dan rasa hormat. Mereka berhak atas akses kepada mekanisme-mekanisme dari keadilan dan untuk mengganti kerugian. 2. Restitution artinya pelaku kejahatan atau pihak ketiga bertanggung jawab untuk mengganti kerugian kepada korbankorban, keluarga-keluarga atau orang yang bergantung kepada korban. 3. Compensation adalah pembayaran sejumlah uang kepada korban oleh pelaku. Akan tetapi pada saat pelaku tidak sanggup untuk membayar maka kompensasi itu harus dibayar oleh Negara. 4. Assitance adalah bantuan kepada korban berupa medis, sosial dan psikologis. Bantuan ini disalurkan melalui bidang pemerintahan atau masyarakat. Korban harus dijamin kesehatannya. 5. Restorative justice adalah sebuah konsep pemaafan yang diberikan oleh korban kepada sipelaku. 6. Qishas adalah suatu bentuk jarimah (tindak pidana) yang diancam dengan hukuman qishas (sama dengan yang dilakukan oleh pelaku mis. membunuh dibunuh, mata dengan mata, telinga dengan telinga, tangan dengan tangan dan sebagainya) dan dapat diganti dengan diyat. 253 7. Diyat adalah hukuman pengganti qishas dimana korban atau walinya mengampuni pelaku yang berupa ganti kerugian dan sebagainya. 8. Takzir adalah hukuman yang datangnya dari penguasa atau hakim. DAFTAR PUSTAKA Abdul Qadir Audah, 2007, At-Tasyri al-jina I al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad‟iy, Edisi Indonesia, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, PT. Kharisma Ilmu, Jakarta. Arif Gosita, 1993, Masalah Korban Kejahatan Karangan), Akademika Pressindo, Jakarta. Dikdik (Kumpulan M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan Realita, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta. H.C. Najmuddin HS, 2001, Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana Islam, Tesis, Universitas Islam Bandung, Bandung. M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Mandar Maju, Bandung,. R. Soeparmono, 2003, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung. Rena Yulia, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Penegakan Hukum, Mimbar, LPPM-UNISBA, Bandung. Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Perspektif Eksisten-sialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung,. 254 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung,. Sidik Sunaryo, 2005, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang. 255 INDEKS A a true king,10. abuse power,187. accessible, 82. achievement, 81. action research, 64, 70. adulthood, 77. anomie, 80, 96. applied science, 162. assessment, 81. B behavior, 79. Berkeley's riot, 12. Biologically weak victims 196, 243. bio-typological, 30. blinder, 75. broken home, 35, 38, 132. Business Crime, 83, 85. C carok,203 Children’s Right,185. chillhood, 77. Code Civil Napoleon, 3. concentinal individuals, 82. contact subculture, 82. Corporate Crime, 83, 85. Crime as business, 189. crime index, 67. crimen, 46, 61, 212. Criminal biology, 9. Criminal Law, 9. Criminal Policy, 9. Criminal science, 9, 14. Criminal sosiology, 9. criminele hygiene, 6. criminile politiek, 6. Criminology, 9, 12, 80, 85, 88. Critical Victimology, 183. Cross empiricism, 80. cultural changer, 75. culture conflict, 73. D dark figures, 66, 72. dark numbers, 66, 72. das es, 33, 34. das ich, 33, 34. das uber ich, 3, 34. delinquensi, delinquent, delinquent sub-culture, depersonalized, determinisme biologis, determinisme kultural, deterrence, deterrent effects, devian, diagnosis viktimologis, Die gesammte strafrechts, wissenschaft, diferential acces, differential association, disparity, E economic crime, ego, emosiuonal-immaturity, Environment Crime, environmental offences, eulogize, expectation, external limits, F False victimis, feeblemindedness, felony, female based family, financial, G general victimology, H hedonisme, hidden criminality , household home, I id, 256 INDEKS illegal abuses of economic power, illegal trafficking in drugs, image, imitate, imitation, index of disfunction, industrial crime, inquiry, ius constitutum, J job aspirations, job expectation, K kings without a country, konota, L la defense sociale, Latent victims, Legal Reform, lex talionis, logos, Lombrosian, lower classes, M mala In se, mala in se, mala prohibita, Mental tester, meta science, middle classes, middle range, milieu, mis demenor, moral insanity, moral insanity, moral statistics of crime, multiplace, N necessary, new victimology, No victimization, Nonparticipating victims, O Oeconomische Gisellschaft, opportunity, optional, organized crime, out of man’s will, P Parens Patriae, pars pro toto, Participating victims, penal or special victimology, Penal policy, phenomenology, police scientifique , precipitasi, Primary victimization, Procative victims, Provocative victims, psychiatric, Q quantifying, R racket, rechtsdelicten, regularities, restitution, restorative justice, retribution, rites the passage, role playing, S science for science, science for the interest of the power, elite, science for the welf are of society, Secondary victimization, self report study, Self victimizing victims, Selt-victimization, single factor, single theory, skeletal, 257 INDEKS slums, social class, social class system, social contract, social status, sociological imagination, Sosially weak victims, spirit of the law, status deprivation, status quo, street crime, structured strain, stuctutarlsrain, sub-cultures, subject matter, success, sudden social change, sufficient, super ego, symptomatology, system of institutionalized trust, terrorism, T Tertiary victimization, testable, the lower class culture, the street gang, theft, thin, toegepaste criminologie , typical, typological, U uccupational, Unrelated victims, V values of variable, Victim Compensation, victim justice system, victim survey, victima, victimity, victimless crime, victim-offender relationship, W wetsdelicten, white collar crime, White Collar Crime, working class, working class apathy, World Society of Victimology, Z zuiver criminologi,