wacana kesetaraan gender - Universitas Lambung Mangkurat

advertisement
LAPORAN PENELITIAN
WACANA KESETARAAN GENDER
DI KALANGAN MAHASISWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
Tim Penyusun:
198011292005011002
197408052006042002
197001262005012001
Lumban Arofah, S.Sos, M.Sc
Alfisyah, S.Ag, M.Hum
Sigit Ruswinarsih, S.Sos, M.Pd
Ketua Peneliti
Anggota
Anggota
Yuli Apriati, S.Sos, MA
198404162008122006
Anggota
Syahlan Mattiro, SH, M.Si
198003092009121002
Anggota
Nasrullah, S.Sos, I, MA
197905262009121001
Anggota
Tutung Nurdiyana, S.Sos, MA, M.Pd
197610212005012001
Anggota
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
NOVEMBER 2013
|i
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN
1. Judul Penelitian
:
WACANA KESETARAAN GENDER DI KALANGAN MAHASISWA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT
2. Ketua Penelitian:
a. Nama Lengkap
: Lumban Arofah, S.Sos, M.Sc
b. Jenis Kelamin
: Laki laki
c. NIP
: 198011292005011002
d. Jabatan Struktural
:e. Jabatan Fungsional : Asisten Ahli
f. Bidang Keahlian
: Sosiologi
g. Fakultas/Jurusan
: FKIP/Jurusan Pendidikan IPS
h. Perguruan Tinggi
: Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
i. Tim Peneliti
:
No. Nama
NIP
1
Alfisyah, S.Ag, M.Hum
19740805 2006042002
2
Sigit Ruswinarsih, S.Sos, M.Pd
197001262005012001
3
Yuli Apriati, S.Sos, MA
198404162008122006
4
Syahlan Mattiro, SH, M.Si
198003092009121002
5
Nasrullah, S.Sos, I, MA
197905262009121001
6
Tutung Nurdiyana, S.Sos, MA, M.Pd
197610212005012001
3. Jangka Waktu Penilaian
: 6 Bulan
4. Pembiayaan
:
a. Jumlah biaya BNOPTN
: Rp. 6.000.000,Mengetahui,
Dekan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Banjarmasin, November 2013
Ketua Tim Peneliti,
Drs. H. Ahmad Sofyan, MA
NIP. 1951110 197703 1 003
Lumban Arofah, S.Sos, M.Sc
NIP. 198011292005011002
Menyetujui,
Ketua Lembaga Penelitian
Universitas Lambung Mangkurat
Dr. Ahmad Alim Bachri, SE, M.Si
NIP. 196712311995121002
| ii
ABSTRAK
Dalam dekade terakhir ini, upaya pengarus utamaan gender menjadi diskursus di
berbagai kalangan aktivis perempuan, keluarga-keluarga, wartawan, dunia pendidikan
maupun kalangan politisi. Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar
kesetaraan gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci.
Mengingat pentingnya kaitan antara gender dan pendidikan, penelitian ini akan berusaha
untuk mendapatkan gambaran persepektif gender menurut Mahasiswa FKIP mengingat
mereka disiapkan untuk menjadi guru pelajaran. Sehingga, perspektif mereka tentang
gender nantinya akan diturunkan kepada anak-anak didik dimana mereka mengajar.
Penelitian ini juga berusaha untuk menginvestigasi darimana wacana gender itu berasal
dan bagaimana operasionalisasi konsep gender bagi mahasiswa.
Untuk menjawab masalah penelitian tersebut penelitian ini menggunakan metode
penelitan kualitatif dengan mengedepankan penggunaan wawancara dan observasi sebagai
alat untuk menggali data.
Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa terdapat tiga jenis wacana gender
menurut perspektif mahasiswa;
Pertama, Pandangan mahasiswa berpendapat bahwa kesetaraan gender itu adalah
kesamaan posisi, derajat, kedudukan, hak, dan kewajiban antara Laki-laki dan Perempuan.
Implikasi dari pandangan tersebut terletak dari pernyataan bahwa tidak ada perbedaan
antara Laki-laki dan perempuan dalam memperoleh dan mendapatkan posisi di
masyarakat. Setiap individu berhak mendapatkan posisinya di masyarakat tanpa adanya
pembatasan dari jenis kelamin lainnya. Oleh karena itu, perempuan dan Laki-laki berhak
untuk memperjuangkan posisinya masing-masing.
Kedua, Pandangan mahasiswa yang percaya bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara
Laki-laki dan Perempuan oleh karena itu maka perbedaan akan konstruksi sosial antara
keduanya harus dihapuskan. Namun, ada perbedaan yang tidak dapat dipisahkan antara
laki-Laki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak pada fisik antara jenis kelamin
tersebut, atau dalam kata lain terdapat perbedaan biologis antara keduanya. Oleh karena
itu, maka walaupun dimungkinkan tidak ada perbedaan dalam konstruksi sosial, namun
perbedaan dalam hal biologis akan berpengaruh dalam hal kehidupan dan peran peran juga
dimasyarakat.
Ketiga, Pandangan mahasiswa yang tidak menyetujui kesetaraan gender. pandangan
tersebut berasal dari kenyataan bahwa Mahasiswa memandang tidak perlu ada kesetaraan
gender, karena peran dan posisi masing-masing individu tidak lah sama. Oleh karena itu,
mengingat peran dan posisi masing-masing telah ditentukan baik oleh faktor biologis
maupun faktor sosial, maka tidak perlu ada kesetaraan gender.
Kata Kunci: Gender, Feminsime, Kesetaraan, Pengarusutamaan, Perspektif,
Pandangan, Mahasiswa
| iii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas terselesaikannya Penulisan
Laporan Penelitian dengan Judul “WACANA KESETARAAN GENDER DI
KALANGAN MAHASISWA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT”. Penelitian ini bertujuan untuk menggali
wacana gender bagi Mahasiswa dan bagaimana operasionalisasi konsep Kesetaraan dan
Pengarusutamaan Gender bagi Mahasiswa. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan
terciptanya sebuah karya ilmiah yang membahas dan berkontribusi untuk menjawab
permasalahan tentang tantangan apa saja yang perlu diatas dalam upaya promosi
kesetaraan gender terutama di dalam dunia pendidikan.
Banyak pihak yang terlibat dalam kegiatan ini, oleh karena itu kami mengucapkan
terima kasih kepada:
1.
2.
3.
4.
5.
Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lambung Mangkurat.
Dekan FKIP Universitas Lambung Mangkurat.
Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.
Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi FKIP Unlam
Juga diucapkan terima kasih kepada mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi
dan Antropologi FKIP Berbagai masukan dan diskusi yang dilakukan baik di dalam
kelas maupun dalam pertemuan informal turun memperkaya khasanah penelitian ini.
Kami menyadari bahwa banyak terdapat kekurangan dalam penelitian kali ini. Namun
demikian, semoga kegiatan ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong untuk kegiatan
yang sejenis
Banjarmasin, November 2013
Tim Penyusun
| iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ i
ABSTRAK...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vi
BAB I.
PENDAHULUAN ......................................................................... 1
I.1
Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1
I.2
Fokus Penelitian ...................................................................................................... 2
I.3
Rumusan Permasalahan .......................................................................................... 3
I.4
Tujuan Penelitian .................................................................................................... 3
I.5
Manfaat Penelitian .................................................................................................. 3
I.5.1
Manfaat Praktis ................................................................................................ 3
I.5.2
Manfaat Teoritis .............................................................................................. 3
BAB II. LANDASAN TEORI .................................................................... 4
II.1
Teori-teori Gender .................................................................................................. 4
II.1.1
Teori Struktural-Fungsional ............................................................................ 4
II.1.2
Teori Sosial-Konflik ........................................................................................ 8
II.1.3
Teori Feminisme ............................................................................................ 12
II.1.3.1
Teori Feminisme Liberal ........................................................................ 13
II.1.3.2
Feminisme Cultural ................................................................................ 15
II.1.3.3
Teori Feminisme Marxis-Sosialis .......................................................... 16
II.1.3.4
Teori Feminisme Radikal ....................................................................... 18
II.1.3.5
Feminisme Multicultural dan Global ..................................................... 20
II.1.3.6
Teori Ekofeminisme ............................................................................... 21
II.1.4
Teori Psikoanalisa ......................................................................................... 23
BAB III. METODE PENELITIAN ........................................................... 25
III.1
Lokasi Penelitian................................................................................................... 25
III.2
Penentuan Informan .............................................................................................. 26
III.3
Jenis dan Sumber Data .......................................................................................... 26
III.4
Teknik Pengumpulan dan Analisa Data ................................................................ 26
|v
III.4.1
Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 26
III.4.2
Analisa Data .................................................................................................. 27
III.4.2.1
Reduksi Data. ......................................................................................... 27
III.4.2.2
Penyajian Data........................................................................................ 27
III.4.2.3
Menarik Kesimpulan .............................................................................. 27
BAB IV. HASIL PENELITAN DAN ANALISA DATA ........................ 29
IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. .................................................................... 29
IV.1.1
Keadaan Geografis Kota. ............................................................................... 29
IV.1.2
Komposisi Masyarakat di Kota Banjarmasin ................................................ 32
IV.1.3
Kondisi Perekonomian daerah ....................................................................... 33
IV.1.4
Pendidikan Masyarakat.................................................................................. 34
IV.2 Hasil dan Pembahasan .......................................................................................... 35
IV.2.1
Pengarusutamaan Gender di Indonesia.......................................................... 35
IV.2.2
Usaha Pengarusutamaan Gender di Bidang Pendidikan................................ 37
IV.2.3
Perspektif Gender Menurut Mahasiswa ........................................................ 42
IV.2.4
Pendapat Mahasiswa Tentang Kesetaraan dan Pengarusutamaan Gender. ... 46
IV.2.5
Diskusi Teori. ................................................................................................ 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 57
V.1
Kesimpulan ........................................................................................................... 57
V.2
Saran ..................................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 59
LAMPIRAN ................................................................................................. 60
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 84 TAHUN 2008
TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER
BIDANG PENDIDIKAN ................................................................................................ 60
INDEKS ....................................................................................................... 61
| vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Luas Banjarmasin Berdasarkan Kecamatan ................................................... 30
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin .............................................................. 33
Tabel 3. Distribusi Presentase Kegiatan Ekonomi ......................................................... 34
|1
BAB I.
I.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Bagi suatu negara, pendidikan merupakan realisasi kebijaksanaan
untuk meningkatkan taraf kesejahteraan yang dicita-citakan oleh
pendirinya. Pendidikan merupakan komponen pokok dalam pembinaan
landasan pengembangan sosial budaya sekaligus pencipta manusia yang
memiliki peradaban tinggi. Pendidikan tidak bisa lepas dari kehidupan
sosial masyarakat sekitar sehingga perlu dibuat sebuah sistem yang
memperhatikan khasanah pendidikan dalam aras lokal
Karenanya, proses belajar mengajar merupakan kebutuhan penting
hidup manusia. Hal ini harus dirasakan bersama oleh setiap individu lakilaki dan perempuan tanpa pandang bulu. Karena sama-sama memiliki
kemampuan untuk belajar. Semakin lama, setiap aspek kehidupan manusia
berkembang, kebutuhannya pun kian beragam. Oleh karena itu, baik lakilaki maupun perempuan diharuskan memiliki tingkat pembelajaran yang
setara serta didukung oleh satuan pendidikan yang mendukung
hal
tersebut.
Kesenjangan pada bidang pendidikan dianggap menjadi faktor utama yang
sangat berpengaruh terhadap bidang lain di Indonesia, hampir semua sektor, seperti
lapangan pekerjaan, jabatan, peran dimasyarakat sampai pada masalah menyuarakan
pendapat antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab bias gender
adalah karena faktor kesenjangan pendidikan yang belum setara selain masalah-masalah
|2
klasik yang cenderung menjustifikasi ketidakadilan seperti intepretasi teks-teks
keagamaan yang tekstual dan kendala sosial budaya lainnya. Bahkan proses dan institusi
pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestarikan nilainilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan gender dalam
masyarakat.
Dalam dekade terakhir ini, upaya pengarus utamaan gender
menjadi diskursus di berbagai kalangan aktivis perempuan, keluargakeluarga, wartawan, dunia pendidikan maupun kalangan politisi.
Begitupun strategi-strategi telah ditawarkan dengan tujuan agar kesetaraan
gender tercapai terutama dalam pendidikan yang dianggap dimensi kunci.
Mengingat pentingnya kaitan antara gender dan pendidikan, penelitian ini
akan berusaha untuk mendapatkan gambaran persepektif gender menurut
Mahasiswa FKIP mengingat mereka disiapkan untuk menjadi guru
pelajaran. Sehingga, perspektif mereka tentang gender nantinya akan
diturunkan kepada Anak didik dimana mereka mengajar. Penelitian ini
juga berusaha untuk menginvestigasi darimana wacana gender itu berasal
dan bagaimana operasionalisasi konsep gender bagi mahasiswa.
I.2
Fokus Penelitian
Penelitian ini akan difokuskan kepada;
1. Makna Gender bagi mahasiswa
2. Bagaimana kesetaraan gender menurut Mahasiswa.
|3
I.3
Rumusan Permasalahan
Penelitian ini berupaya untuk menjawab:
1. Makna Gender bagi mahasiswa
2. Bagaimana kesetaraan gender menurut Mahasiswa.
I.4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini berupaya untuk menjawab:
1. Makna gender bagi mahasiswa
2. Bagaimana kesetaraan gender menurut Mahasiswa.
I.5
I.5.1
Manfaat Penelitian
Manfaat Praktis
Pemangku kebijakan, sebagai sarana untuk mengevaluasi pendidikan
gender di perguruan tinggi.
I.5.2
Manfaat Teoritis
Dosen sebagai sarana evaluasi dan informasi tentang pendidikan gender
yang telah dilakukan.
|4
BAB II.
LANDASAN TEORI
II.1 Teori-teori Gender
Menurut Marzuki (2013: 1-15) secara khusus belum ditemukan teori yang
melihat dan membicarakan persoalan gender. Teori yang digunakan dalam
melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teori-teori yang dikembangkan oleh
para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan permasalahan gender, terutama
bidang sosial dan psikologis
Karena itu teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini
banyak diambil dari teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang
dikembangkan oleh para ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan
permasalahan gender, dalam kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja
yang dianggap penting dan cukup populer.
II.1.1 Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan salah satu teori
yang dikembangkan dalam keilmuwan sosiologi yang digunakan dalam melihat
bagaimana bekerjanya pranata sosial yang lebih khusus disebut dengan pranata
keluarga. Pendekatan Struktural Fungsional melihat bagaimana masyarakat
tersebut terdiri dari sebuah sistem yag terdiri dari berbagai sub sistem – sub sistem
yang saling mempengaruhi satu sama lain. Berdasarkan pendapat diatas, dapat
dilihat bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang didalamnnya terdiri dari
berbagai bagian-bagian yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pendekatan ini
|5
berusaha menginvetigasi sub sistem-sub sistem apa saja yang ada di dalam
masyarakat dan bagaimana sub sistem tersebut saling mempengaruhi satu sama
lain, dan bagaimana fungsi dari sub sistem tersebut dalam masyarakat. Beberapa
sosiolog yang termasuk ke dalam pendekatan Struktural Fungsional antara lain;
William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna Megawangi, 1999: 56).
Pendekatan struktural-fungsional mengakui adanya segala berbagai
keperbedaan dan keragaman di dalam kehidupan sosial. Adanya perbedaan
tersebut menimbulkan konsekwensi adanya perbedaan struktur, status, dan peran
dalam masyarakat sebagai sebuah sistem. Dalam sebuah organisasi sosial pasti
terdapat perbedaan posisi yang mengandung potensi status dan peran yang pada
tujuannya menciptakan tujuan organisasi yang akan menimbulkan keharmonisan,
keteraturan bagi keseluruhan sistem dalam masyarakat. Adanya perbedaan
struktur dan fungsi dalam masyarakat dipengaruhi oleh pranata, sistem sosial, dan
sistem norma yang berlaku secara ajeg dalam masyarakat. (Ratna Megawangi,
1999: 56).
Dalam hal pembagian jenis kelamin berdasarkan gender, perspektif
structural fungsional melihat aspek kesejarahan pada masyarakat pra-industri
terutama munculnya pembagian kerja berbasis jenis kelamin yang terjadi pada
masyarakat pra industri dimana peran laki-laki dan perempuan dibedakan
berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan. Laki-laki berperan dalam penyedia
makanan melalui kegiatan berburu sementara perempuan menjadi peramu di
dalam wilayah rumah. Implikasi dari pandangan tersebut adalah munculnya
pembagian kerja berbasis jenis kelamin dimana laki-laki berperan di wilayah
|6
publik sementara perempuan bekerja di dalam wilayah privat atau di dalam rumah
dan keluarga. Jika ditelisik lebih lanjut, peran laki=laki memiliki dimensi yang
lebih luas, karena peran di wilayah publik memiliki dimensi yang lebih luas,
dibandingkan wilayah privat. Bagi perempuan, tugas di wilayah privat atau di
dalam rumah memiliki dimensi yang lebih sempit, dimana perempuan terbatas
hanya berperan dari bidang reproduksi yaitu mengandung, memilihara anak,
memelihara rumah, memelihara pekarangan, dan lain sebagainya. Pembagian
kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dalam menciptakan masyarakat yang
stabil dan mengidamkan equilibrium atau keseimabangan. Dengan pembagian
kerja berbasis jenis kelamin, masyarakat akan mengalami keharmonisan sehingga
meminimalisir konflik, karena pembagian kerja tersebut dianggap dapat
meminimalisir konflik terutama dalam keluarga.
Pendekatan struktural-fungsional dianggap masih relevan jika diterapkan
dalam masyarakat modern.
Pembagian peran secara jenis kelamin dianggap
sebagai suatu yang biasa dan wajar adanya(Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan
pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik
dan harmonis. Penyimpangan terjadi karena munculnya konflik antar fungsi
dalam keluarga. Oleh karena itu, maka sistem sosial berupa pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin harus dijamin keutuhannya.
Prinsip yang sama berlaku untuk keluarga di masyarakat modern.
Gangguan diminimalkan, harmoni dimaksimalkan, dan dan keluarga bermanfaat
ketika pasangan saling membutuhkan satu sama lain. (Parsons dan Bales, 1955;
Parsons, 1966). Ketika suami/ayah mengambil peran instrumental, ia diperkirakan
|7
akan mempertahankan integritas fisik keluarga dengan menyediakan makanan
dan tempat tinggal dan menghubungkan keluarga ke dunia luar rumah. Ketika
istri/ ibu mengambil peran privat, ia diharapkan untuk mempererat hubungan dan
memberikan dukungan dan memelihara kegiatan emosional yang menjamin
berjalan rumah tangga lancar. Jika terlalu banyak penyimpangan dari peran-peran
ini terjadi , atau ketika ada terlalu banyak tumpang tindih, sistem keluarga
didorong ke dalam keadaan ketidakseimbangan yang dapat mengancam
kelangsungan hidup unit keluarga Lindsey LL and Christie S. (1997; 6).
Fungsionalisme cenderung mendukung kelas menengah. Model keluarga
yang menekankan kegiatan ekonomi kepala rumah tangga kepada laki-laki dan
kegiatan domestik kepada wanitanya. Wanita berfungsi di luar rumah hanya
sebagai tenaga kerja cadangan , seperti ketika tenaga mereka dibutuhkan di masa
perang.
Model ini tidak berlaku untuk perempuan miskin dan orang tua tunggal
yang oleh kebutuhan harus bekerja di luar rumah untuk menjaga rumah tangga .
Ini mungkin tidak berlaku untuk Negara Afrika
Wanita Amerika , yang cenderung dengan pilihan untuk keluarga dan
pekerjaan yang terpisah dan yang mendapatkan tingkat kepuasan yang tinggi dari
kedua peran tersebut. Penelitian juga menunjukkan bahwa spesialisasi tugas
rumah tangga berdasarkan gender di keluarga kontemporer lebih disfungsional
daripada fungsional. wanita terdegradasi peran keluarga yang mereka lihat
membatasi, misalnya, tidak bahagia dalam pernikahan dan lebih mungkin untuk
memilih keluar dari hal tersebut.
|8
Pendekatan struktural-fungsional ini mendapat kritik dari para feminis.
Pendekatan ini dianggap menyetujui adanya peran dan status sosial yang
dihasilkan dari jenis kelamin.. Perempuan dan laki-laki dipisahkan oleh peran
mereka dalam urusan publik dan privat.
Kondisi tersebut akan memberikan
implikasi berupa diteruskannya dominasi yang kental dari laki-laki kepada
perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 53).
Namun, meski pendekatan strultural fungsional telah mendapatkan
berbagai kritik tajam, namun masyarakat modern masih mempertahankan sistem
pembagian kerja berbasis jenis kelamin, karena masyarakat masih menekankan
aspek prinsip ekonomi dengan menekankan produktivitas. Jika faktor produksi
diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar alat
produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan. Karena itu,
tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat diterima secara
wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena masyarakat
modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin
Umar, 1999: 60), cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan
perbedaan jenis kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah
dan dalam posisi marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki
posisi sentral.
II.1.2 Teori Sosial-Konflik
Paradigma konflik sosial memandang bahwa masyarakat merupakan
sebuah entitas yang selalu diwarnai oleh konflik sosial. Hal tersebut terutama
|9
disebabkan oleh karena pembagian sumber daya yang terbatas dan terkadang tidak
adil. Kompetisi sebagai salah satu hal asasi di masyarakat akan menyebabkan
diferensiasi kekuasaan dan menimbulkan pertentangan antara kelompok yang
menguasai dan kelompok yang dikuasai. Kondisi tersebut akan menimbulkan
perbedaan kepentingan dan pertentangan antar dua kelompok yang pada akhirnya
akan menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat (Ratna
Megawangi, 1999: 76).
Dalam masalah gender, pendekatan sosial-konflik mendapatkan pengaruh
besar dari Teori Marx,dalam Das Kapital yang juga ditulis oleh Frederic Engels.
Kedua Tokoh tersebut mengemukakan suatu gagasan yang menyatakan bahwa
perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak
disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari konflik kelas
yang berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan (suami-isteri) diibaratkan dengan
hubungan an tara kaum ploretar dan kaum borjuis, hamba dan tuan, atau pemeras
dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran gender dalam masyarakat
bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi masyarakat.
Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh R. Dahrendorf, dan Randall
Collins. Asumsi yang dipakai dalam pengembangan pendekatan sosial-konflik
berasal dari teori diterminisme ekonomi Marx. Teori ini berpandangan bahwa
walaupun manusia telah memiliki pola hubungan sesuai dengan sistem sosial yang
ajeg, namun pola tersebut dibentuk atas kepentingan individu atau kelompok
sosial, hal tersebut cenderung akan menghasilkan konflik sosial. Pandangan teori
| 10
ini menolak pendapat yang menyatakan bahwa konflik sosial merupakan sumber
perpecahan masyarakat, lebih lanjut, teori ini berpendapat bahwa konflik sosial
yang disebabkan karena pendistribusian daya yang terbatas terutama kekuasaan
justru menjadi dasar dari munculnya perubahan sosial di masyarakat (Ratna
Megawangi, 1999: 81).
Akumulasi harta, benda, serta kontrol laki-laki atas produksi menjadi
sebab insubordinasi perempuan baik di masyarakat maupun di keluarga. Negasi
teori ini sesuai dengan perkembangan masyarakat yang menunjukkan keunggulan
antara kaum kapitalis dan kaum pekerja. (Nasaruddin Umar, 1999: 62).
Sebagaimana sistem masyarakat yang kapitalistik, keluarga dipandang
bukan sebagai sebuah sistem sosial yang normatif dimana didalamnya
berlangsung hubungan yang harmonis dan seimbang. Keluarga, dipandang
sebagai sebuah sistem sosial yang penuh dengan konflik yang bersumber pada
perbedaan biologis. Lembaga dan pranata di masyarakat yang paling eksis dalam
menjunjung peran gender adalah keluarga dan agama, sehingga usaha untuk
menciptakan kesetaraan gender adalah dengan menghilangkan peran biologis
gender, yaitu dengan usaha radikal untuk mengubah pola pikir dan struktur
keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi, 1999: 91).
Teori konflik berfokus pada penempatan sosial dari fungsi keluarga bahwa
sejak lahir orang akan diberikan kepada ke dalam keluarga yang memiliki
berbagai tingkat sumber daya ekonomi . Orang-orang cukup beruntung untuk
diberikan
ke
dalam
keluarga
kaya
akan
bekerja
untuk
melestarikan
ketidaksetaraan yang ada dan daya hubungan dalam masyarakat yang lebih luas
| 11
karena mereka jelas memberikan manfaat dari keseluruhan ketidakseimbangan
kekuasaan. Kelas sosial endogami (menikah dalam kelas yang sama) dan pola
warisan memastikan bahwa properti dan kekayaan disimpan di tangan keluarga
yang kuat.
Keyakinan tentang ketimpangan dan ketidakseimbangan menjadi kekuatan yang
dilembagakan - mereka diterima dan bertahan dari waktu ke waktu sebagai
sesuatu yang sah oleh kedua pihak baik yang mendapatkan hak istimewa maupun
yang tertindas.
mereka yang lahir dalam keluarga miskin tetap miskin karena mereka tidak
memiliki bakat dan etos kerja yang dilanggengkan. Kondisi struktural yang
menopang kemiskinan diabaikan . Penempatan sosial beroperasi melalui sistem
patriarkal dan sistem patrilineal , kekayaan lebih terkonsentrasi di tangan laki-laki
dan lebih lanjut membuat sikap tunduk perempuan , penelantaran , dan
kemiskinan .
teori konflik sependapat dengan pandangan Engels dengan menyarankan bahwa
ketika wanita mendapatkan kekuatan ekonomi dengan juga menjadi penerima
upah , kekuasaan mereka di dalam rumah akan diperkuat dan dapat menyebabkan
pengaturan yang lebih egaliter Lindsey LL and Christie S. (1997; 8) .
Teori ini mendapatkan kritik karena terlalu menekankan pada faktor
ekonomi, padahal konflik juga terjadi karena disebabkan oleh ketegangan antara
orang tua dan anak, istri dan suami, laki – laki dan perempuan dan lain-lain
(NasaruddinUmar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh
| 12
para feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru
mengenai feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan
feminisme radikal.
II.1.3 Teori Feminisme
Teori feminis yang menawarkan kerangka terhadap organisasi perempuan
dalam upaya untuk mengubah posisi sosial perempuan yang rendah dari posisi
sosial, politik, dan diskriminasi ekonomi serta pola dan tindakan yang
mengabadikan hal tersebut. Banyak organisasi dibawah jaringan dan payung
feminisme, bertujuan auntuk mengakhiri persoalan seksisme dan penindasan
seksis
dengan
memberdayakan
perempuan.
Tiga
puluh
tahun
lalu gerakan perempuan tersendat karena tidak realistis menjelaskan bagaimana
kategori pendindasan yang saling berpotongna satu sama lain (Breines, 2006).
Melalui
upaya jaringan feminis di seluruh dunia dan di bawah kepemimpinan PBB dan
konferensi perempuan mereka terorganisir dan persoalan ini dijembatani.
Perubahan sosial global menyajikan tantangan baru dan berkelanjutan bagi
perempuan, sehingga agenda feminis dalam menangani kebutuhan semua
perempuan belum pernah dapat diselesaikan. Feminis menerima tujuan
mengakhiri seksisme dengan memberdayakan perempuan, tetapi ada banyak
ketidaksepakatan tentang bagaimana tujuan yang harus dicapai.
Karena gerakan feminis bersifat inklusif, tidak mungkin akan pernah ada
kesepakatan penuh pada persoalan mengidentifikasi masalah dan menentukan
| 13
strategi untuk mengatasi masalah. Karena sangat
inklusivitas dan beragam,
gerakan untuk menyatukan gerakan menjadi sangat mustahil. Karena tidak adanya
kesatuan pandangan yang lengkap dalam menyusun agenda tentang pengentasan
perempuan dari dominasi, hal tersebut memunculkan perdebatan di seluruh dunia
yang sering mengakibatkan muncul eklusivisme tentang siapa yang paling kreatif,
realistis, dan inovatif dalam menyusun strategi untuk pemberdayaan perempuan.
Karena kesulitan dalam mengadopsi satu agenda, gerakan feminism cenderung
untuk partisi dirinya menjadi beberapa cabang yang berbeda menurut perbedaan
filosofis umum.
Perempuan dan laki-laki mengidentifikasi dengan organisasi dan prinsipprinsip yang mungkin jatuh di bawah lebih dari satu cabang. Selain itu, cabang
adalah cairan, mereka terus menciptakan sendiri gelombang yang berbeda
feminisme mengalir melalui masyarakat. Cabang feminis, oleh karena itu, tidak
saling eksklusif atau lengkap. Feminis sebagai individu atau formal kelompok
mana mereka berasal, namun, umumnya berlangganan prinsip-prinsip satu atau
lain dari cabang-cabang berikut.
II.1.3.1 Teori Feminisme Liberal
Feminisme liberal , juga disebut " feminisme egaliter dan feminisme
mainstream " dianggap sebagai cabang yang paling moderat . Hal ini didasarkan
pada proposisi sederhana yang menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama
dan oleh karenanya kesetaraan kesempatan tidak boleh ditolak karena gender.
Karena kedua jenis kelamin sama-sama diberi manfaat dengan adanya
| 14
penghapusan seksisme, pria diintegrasikan ke dalam feminism ini. Feminisme
liberal didasarkan pada pencerahan terhadap keyakinan rasionalitas , pendidikan ,
dan hak-hak alam yang berlaku untuk semua laki-laki dan perempuan . Hal ini
dituangkan dalam John Stuart Mill (1869/2002) The Subjection of WomenKetaatan Perempuan , dengan pernyataannya bahwa " apa yang sekarang disebut
sifat perempuan merupakan hal - yang nyata buatan hasil dari penindasan paksa di
beberapa arah, stimulasi tidak wajar pada orang lain . " Wanita bisa bekerja sama
dalam sistem pluralistik dan memobilisasi konstituen mereka untuk efek
perubahan sosial yang positif dan produktif. Tuntutan akan terpenuhi jika
dipegang ooleh mobilisasi efektif dan tekanan efisien (Deckard, 1983:463).
Feminis liberal percaya masyarakat tidak harus benar-benar direstrukturisasi
untuk mencapai pemberdayaan bagi perempuan dan memasukkan perempuan ke
dalam dan peran yang lebih adil .
Pandangan ini cenderung dianut oleh perempuan kelas menengah
professional yang menempatkan nilai tinggi pada pendidikan dan prestasi . Para
wanita ini cenderung memiliki sumber daya ekonomi untuk lebih bersaing dengan
laki-laki untuk diinginkan
Teori ini mendasarkan pandangannya pada tidak adanya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, maka perempuan dan laki-laki memiliki
hak dan kewajiban yang sama baik didalam kehidupan publik maupun domestik,
di masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga. Namun, pandangan teori ini
menolak pandangan tidak adanyana perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan
perempuan. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-
| 15
laki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak dari unsur biologis yang dimiliki
antara perempuan dan laki-laki yang menimbulkan akibat dalam kehidupan di
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).
Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori
feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara
total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak
ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi
bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di
sektor publik.
II.1.3.2 Feminisme Cultural
Feminis liberal juga dapat disebut dengan "feminisme budaya"dengan
menfokuskan pada pemberdayaan perempuan dengan menekankan kualitas positif
yang terkait dengan peran perempuan seperti pengasuhan, peduli, kerjasama, dan
keterhubungan kepada orang lain (Worell, 1996:360).
Masalah berapa banyak wanita sama dan berapa banyak mereka berbeda
disorot dalam penekanan ini, meskipun tidak merupakan cabang terpisah dari
feminisme keseluruhan, perdebatan sekitar "Tingkat perbedaan jenis kelamin atau
kesamaan" telah memungkinkan feminisme budaya menjadi tergabung dalam
semua cabang feminis pada tingkat tertentu. Feminis liberal, namun, lebih
mungkin untuk berhubungan prinsip-prinsip ini daripada wanita di cabang lain.
| 16
II.1.3.3 Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini disebut juga sebagai " feminisme Marxis , " feminisme
sosialis umumnya mengadopsi Model Marx- Engels yang dijelaskan sebelumnya
dimana menghubungkan posisi inferior perempuan pada sistem kapitalisme
berbasis kelas dan keselarasan dengan keluarga patriarkal di kapitalistik
masyarakat.
Feminisme sosialis berpendapat bahwa seksisme dan kapitalisme saling
mendukung.
Tenaga kerja perempuan yang tidak dibayar dalam rumah dan tenaga mereka
dibayar sebagai cadangan angkatan kerja secara simultan melayani kapitalisme
patriarki. Banyak sosialis feminis – baik pria maupun wanita - juga percaya
bahwa ketergantungan ekonomi dan emosional saling berkaitan. Takut kehilangan
keamanan ekonomi, kekuasaan suami atas Istri adalah mutlak.
Kapitalisme perlu dihilangkan dan prinsip-prinsip sosialis yang diadopsi
untuk kedua rumah dan tempat kerja. Seksisme dan penindasan ekonomi yang
saling memperkuat, sehingga agenda sosialis revolusioner diperlukan untuk
mengubah keduanya.
Feminisme sosialis terlihat pada perenpuan kelas pekerja dan mereka yang
kehilangan kesempatan ekonomi pada masyarakat kapitalis.
Feminisme ini membuat banyak kemajuan di Amerika Latin dan telah
menjadi contoh sebagai titik simpul yang kuat bagi perempuan di Negara
berkembang lainnya. kumpul kuat
| 17
Namun sungguh ironis bahwa Negara yang kuat pengaruh Marx yaitu, Uni
Soviet , di mana perempuan terus membawa berat beban kerja rumah tangga yang
tidak dibayar sementara juga berfungsi dalam angkatan kerja yang dibayar.
Meskipun feminisme sosialis secara eksplisit terkait dengan teori Marxis,
ada perbedaan kunci antara keduanya. Jika teori Marxis berfokus pada properti
dan kondisi ekonomi untuk membangun sebuah ideologi, feminisme sosialis
berfokus pada seksualitas dan gender.
Pria dan wanita mempertahankan kepentingan dalam kelompok jenis
kelamin mereka sendiri, sehingga tidak jelas apakah sosialisme yang berjuang
untuk adalah sama bagi pria dan wanita(Hartmann, 1993).
Feminisme pada dasarnya menghendaki adanya kesetaraan antara lakilaki dan perempuan. Menurut pandangan dari teori ini, ketimpangan dan dominasi
terhadap perempuan disebabkan karena sistem kapitalis yang berujung pada
pembagian kelas dan pembagian kerja yang terjadi di dalam keluarga.
Teorema dasar dari pandangan ini meniru pandangan yang dikembangkan
oleh Karl Marx yang melihat pendindasan kaum ploretar oleh kaum kapitalis.
Marx berpendapat bahwa kaum proletar harus disadarkan agar tidak mendapatkan
penindasan dari kaum borjuis. Penyadaran yang sama harus dilakukan kepada
kaum perempuan agar mereka sadar bahwa dalam sistem sosial keluarga
tradisional mereka adalah kaum yang tertindas. Dengan adanya penyadaran
tersebut, kaum perempuan akan bangkit dan merubahan keadaan dari sistem sosial
tersebut (Ratna Megawangi, 1999: 225).
| 18
Jika teori sosial konflik memandang bahwa adanya akumulasi modal
berupa property pribadi sebagai kerangka utama, teori feminis Marxist sosialis
memandang seksualitas dan gender sebagai titik tolak acuan teori.
Teori ini mendapatkan kritik karena menolak pekerjaan domestik, padahal
pekerjaan domestik juga berpengaruh terhadap pekerjaan publik. Makanan layak
yang dihasilkan di sektor domestik, rumah yang baik untuk ditinggali, serta
suasana kekeluargaan secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap hasil yang
didapatkan laki-laki pada sektor pekerjaan publik. Kontribusi ekonomi yang
dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak
diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan
sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).
II.1.3.4 Teori Feminisme Radikal
Secara umum, teori ini hampir serupa dengan teori feminism marxissosialis. Namun teori ini banyak menganalisa sistem partiarkhi dan lembaga
keluarga. Lembaga sosial terutama keluarga merupakan tempat berkembangnya
dominasi laki-laki atas perempuan. Feminis tipe ini cenderung untuk mendorong
perempuan agar mandiri dan menafikkan keberadaan laki-laki. Lebih lanjut, teori
ini berpendapat bahwa menjadi lesbian merupakan jalan untuk terbebas dari
dominasi laki-laki. Dan oleh karena itu, lesbianism adalah salah satu sarana dan
cara yang perlu dijadikan oleh acuan bagi perempuan untuk mandiri. (Ratna
Megawangi, 1999: 226).
| 19
Feminis radikal kontemporer percaya bahwa seksisme merupakan inti dari
masyarakat patriarkal dan semua lembaga sosial mencerminkan seksisme tersebut.
Ketika feminisme liberal fokus pada kerja dan perubahan hukum, feminis radikal
fokus pada keluarga patriarkal sebagai situs utama dominasi dan penindasan
(Shelton dan Agger , 1993).
Mereka percaya bahwa karena semua lembaga sosial begitu terjalin,maka
hampir tidak mungkin untuk menyerang seksisme dalam berbagai cara.
Penindasan perempuan berasal dari dominasi laki-laki, jadi jika laki-laki adalah
masalah , tidak kapitalisme , sosialisme atau , maupun
sistem yang didominasi
laki-laki lain akan memecahkan masalah . Oleh karena itu , perempuan harus
menciptakan lembaga terpisah yang menjadi perempuan sebagai pusat – atau
individu dan masyarakat yang harusnya bergantung pada perempuan daripada
laki-laki.
Feminis radikal akan setuju dengan feminisme budaya bahwa jalur
alternatif bagi perempuan adalah menjadi berbeda dibandingkan laki-laki . Sebuah
masyarakat akan muncul di mana kebajikan perempuan terdapat dalam
pengasuhan, keinginan berbagi, dan intuisi sosial akan mendominasi berdasarkan
kebajikan perempuan tersebut.
Karena ketidakmungkinan menghapus seksisme dari semua lembaga,
feminis radikal bekerja di tingkat lokal dan di lingkungan mereka untuk
mengembangkan keuntungan dan tidak - untuk lembaga nirlaba yang dioperasikan
sendiri oleh perempuan untuk melayani lainnya wanita, seperti usaha kecil,
| 20
fasilitas penitipan anak, pusat konseling, dan
rumah aman bagi perempuan
melarikan diri kekerasan dalam rumah tangga.
Merefleksikan lebih beragam secara keseluruhan dari salah satu cabang
lain dalam jajarannya, terutama yang berkaitan dengan ras dan orientasi seksual ,
lembaga-lembaga ini sangat bervariasi dalam struktur , filosofi , dan strategi untuk
mencapai
tujuan
mereka.
Cetak
biru
untuk
masyarakat
perempuan
mengidentifikasi mereka membayangkan tertera pada kegiatan mereka yang jauh
lebih individual di cabang feminis lainnya . Keyakinan bahwa supremasi laki-laki
dan penindasan perempuan adalah karakteristik masyarakat adalah apa yang
menyatukan elemen berbeda dari feminisme radikal .
Namun, justru karena sifatnya yang radikal, teori ini mendapatkan kritik
baik oleh kalangan ilmuwan sosial maupun pendapat dari kalangan feminism
sendiri. Hal tersebut tidak lepas dari sifat biologis perempuan itu sendiri, dengan
menafikkan laki-laki maka akan merugikan kaum perempuan itu sendiri karena
laki-laki akan bebas sementara perempuan harus menanggung kondisi biologis
mereka sendiri.
II.1.3.5 Feminisme Multicultural dan Global
Perhatian terhadap isu-isu keragaman di tingkat makro jelas antara feminis
yang mengatur sekitar isu-isu multikultural dan global. Cabang feminis ini
berfokus pada titik persimpangan gender dengan ras, kelas , dan isu-isu yang
berkaitan dengan penjajahan dan eksploitasi perempuan di negara berkembang .
Feminisme global adalah pergerakan orang yang bekerja untuk perubahan
melintasi batas-batas nasional. Dunia ini saling tergantung dan menjadi lebih luas.
| 21
Feminisme global berpendapat bahwa tidak ada wanita
ketergantungan dan dominasi
yang bebas dari
sampai kondisi yang menindas perempuan di
seluruh dunia dieliminasi ( Bunch , 1993:249 ) .
Feminisme multikultural berfokus pada unsur-unsur budaya tertentu dan
kondisi sejarah yang berfungsi untuk mempertahankan penindasan perempuan .
Di Amerika Latin, misalnya , rezim militer telah menyusun pola tertentu hukuman
dan perbudakan seksual bagi perempuan yang menentang rezim mereka ( Bunster
- Bunalto , 1993) .
Feminisme global bekerja untuk memberdayakan perempuan Timur Asia
Selatan dan Tengah yang dibatasi dari pendidikan , perawatan kesehatan , dan
pekerjaan yang dibayar hanya karena mereka adalah perempuan. Dalam upaya
untuk memberdayakan perempuan , mereka tidak mendukung gagasan relativisme
budaya ketika melanggar hak asasi manusia perempuan, seperti membatasi akses
seorang gadis untuk pendidikan atas dasar agama. Para wanita yang datang
bersama-sama untuk Amerika Pertemuan Bangsa tentang Perempuan mewakili
pandangan ini
II.1.3.6 Teori Ekofeminisme
Teori ekofeminisme merupakan wacana ketidakpuasan perempuan
terhadap kondisi ekologi dunia yang semakin kritis dan bertolak belakang dari
teori feminisme lainnya. Jika teori feminisme cenderung untuk melihat perempuan
sebagai makhluk otonom dan dapat menentukan hidupnya sendiri serta lepas dari
pengaruh lingkungan tempat mereka berada. Kondisi tersebut mengakibatkan
| 22
manusia lepas dari pengaruh alam. Pendekatan ekofeminisme percaya bahwa
individu baik laki-laki maupun perempuan adalah makhluk yang tidak akan
sepenuhnya lepas dari alam. Sebagai makhluk, manusia selalu bergantung dari
alam (Ratna Megawangi, 1999: 189).
Beberapa perempuan ditarik ke dalam feminisme oleh aktivis lingkungan.
wanita-wanita ini adalah katalis ecofeminism, cabang baru feminisme.
Ecofeminism menghubungkan degradasi dan penindasan terhadap perempuan
dengan degradasi ekosistem. Berbasis pada citra spiritual bumi, ecofeminism
menunjukkan bahwa dunia agama memiliki tanggung jawab etis untuk menantang
sistem patriarki perusahaan globalisasi yang memperdalam pemiskinan bumi dan
orang-orangnya (Lowdan Tremayne, 2001; Ruether, 2005). Planet ini dapat
disembuhkan dan ekologi harmoni dipulihkan melalui aksi politik menekankan
prinsip kesetaraan semua makhluk bumi(Bowerbank, 2001). Dengan sudut
pandang holistik dan menekankan pada saling ketergantungan dalam segala
bentuknya, ecofeminism sangat kompatibel dengan feminisme global.
Teori ini melihat kenyatakan bahwa ketika terjadi kesetaraan gender yang
ditunjukkan dengan masuknya perempuan dalam sektor publik, perempuan
kehilangan jatidirinya sebagai perempuan dan justru menjadi laki-laki dimana
sifat maskulinitasnya jauh berubah melampui sifat femininmnya. Masuknya
perempuan ke dunia maskulin (dunia publik umumnya) telah menyebabkan
peradaban modern semakin dominan diwarnai oleh kualitas maskulin. Akibatnya,
yang terlihat adalah kompetisi, self-centered, dominasi, dan eksploitasi. Contoh
nyata dari cerminan memudarnya kualitas feminin (cinta, pengasuhan, dan
| 23
pemeliharaan) dalam masyarakat adalah semakin rusaknya alam, meningkatnya
kriminalitas, menurunnya solidaritas sosial, dan semakin banyaknya perempuan
yang menelantarkan anak-anaknya (Ratna Megawangi, 1999: 183).
II.1.4 Teori Psikoanalisa
Teori ini pertama kali diperkenalkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) Menurut
Marzuki (2013: 1-15), Teori ini mengungkapkan bahwa perilaku dan kepribadian
laki-laki dan perempuan sejak awal ditentukan oleh perkembangan seksualitas.
Freud menjelaskan kepribadian seseorang tersusun di atas tiga struktur, yaitu id,
ego, dan superego. Tingkah laku seseorang menurut Freud ditentukan oleh
interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifat-sifat fisik biologis sejak
lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan terhadap kedua
sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya menjinakkan
keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara keinginan
subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi
sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar
senantiasa menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46).
Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat
dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh
kesenangan pada saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak
memeroleh kesenangan erotis dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak
perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6 tahun) perkembangan kepribadian anak lakilaki dan perempuan mulai berbeda. Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi
| 24
sosial berdasarkan identitas gender, yakni bersifat laki-laki dan perempuan
(Nasaruddin Umar, 1999: 41).
Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan terhadap
ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya
sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman
dari ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya
sebagai idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak
memiliki penis seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa
sudah “terkebiri”. Ia menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan
ibunya sebagai objek irihati.
Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena
Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu.
Teori psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis.
Freud sendiri menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka
untuk dikritik. Freud tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya
lebih banyak didasarkan pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori
Freud ini justeru dapat dijadikan pijakan dalam mengembangkan gerakan
feminisme dalam rangka mencapai keadilan gender. Karena itu, penyempurnaan
terhadap teori ini sangat diperlukan agar dapat ditarik kesimpulan yang benar.
| 25
BAB III.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang akan dilakukan adalah bersifat kualitatif, sehingga data
yang dikumpul dan dianalisa bersifat deskriftif, naratif, argumentative yang
melalui paparan kalimat-kalimat.Alasan memilih metode penelitian kualitatif
ini karena data yang akan dikumpulkan berisi pandangan mendalam tentang
pengetahuan gender yang dimiliki para mahasiswa FKIP Unlam di
Banjarmaisn yang tidak dapat dicapai melalui ukuran penghitungan angkaangka. Penggunaan metode penelitian kulitatif ini mempengaruhi pilihan
penentuan lokasi penelitian, penentuan informan, Jenis dan sumber data serta
teknik pengumpulan dan analisa data yang akan diteliti.
III.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Pemilihan lokasi
penelitian ini adalah:
1. Merupakan tempat yang memiliki mahasiswa dengan berbagai tingkat
keilmuwan yang beragam dari sudut keilmuwan;
2. Oleh karena itu dimungkinkan timbul perspektif yang berbeda tentang
gender.
3. Mahasiswa FKIP Unlam dididik untuk menjadi pengajar sehingga perspektif
yang diyakini oleh mereka saat ini, dimungkinkan akan diajarkan pula kepada
anak didik mereka di kemudian hari.
| 26
III.2 Penentuan Informan
Informan ditentukan dengan cara dipilih secara sengaja oleh peneliti
(purposive sampling) dengan dua pertimbangan utama. Pertama, sebagai
informan adalah mahasiswa FKIP Unlam. Kedua, diutamakan kepada
mahasiswa pada program studi PKn, Sejarah, dan Sosiologi dan Antropologi,
hal tersebut dikarenakan sebagian besar ilmu yang mereka ajarkan memiliki
prespektif gender.
III.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digali meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer yang digali meliputi pandangan Mahasiswa FKIP Unlam di
Banjarmasin tentang Gender dan Pespektif mereka tentang gender. Sumber
data primer dari hasil wawancara dengan sejumlah informan. Sementara data
sekunder yang digali meliputi informasi tentang keadaan Mahasiwa FKIP
Unlam, jumlah Mahasiswa, dll.
III.4 Teknik Pengumpulan dan Analisa Data
III.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara yakni wawancara dan
dokumentasi.
Wawancara
dilakukan
kepada
informan
dengan
cara
menyampaikan beberapa pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya, dan
mengembangkan pertanyaan dari jawaban informan tersebut. Dokumentasi
berupa data visual berkaitan dengan penelitian.
| 27
III.4.2 Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data
kualitatif yang digunakan oleh Miles dan Huberman. Aktivitas penelitian
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus
sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dan analisis datanya
meliputi :
III.4.2.1 Reduksi Data.
Data yang telah didapatkan baik melalui observasi maupun wawancara akan
dirangkum untuk diperoleh hal-hal pokok serta isu-isu strategis apa yang
mengemuka. Dalam reduksi data, tim peneliti berusaha menemukan suatu
yang dianggap asing atau tidak umum untuk diperhatikan guna menemukan
pola.
III.4.2.2 Penyajian Data
Selanjutnya data akan dijasikan dan diorganisasikan secara sistematis
sehingga semakin mudah dipahami. Dalam penelitian kualitatif ini, penyajian
data dilakukan melalui uraian singkat.
III.4.2.3 Menarik Kesimpulan
Setelah data diorganisasikan, maka dilakukan penarikan kesimpulan dan
verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan
akan berubah jika ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada
| 28
tahap pengumpulan data berikutnya. Jika data yang didapatkan sesuai dengan
maksud dan tujuan penelitian serta sesuai dengan kerangka teori
yang
berguna sebagai point of departure, maka dapat dikatakan bahwa kesimpulan
yang didapat merupakan kesimpulan yang kredibel.
| 29
BAB IV.
HASIL PENELITAN DAN ANALISA DATA
IV.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian.
IV.1.1 Keadaan Geografis Kota.
Kota Banjarmasin merupakan salah satu kota di Propinsi Klaimantan Selatan,
secara geografis terletak antara 3o16 46 - 3o22 54 LS dan antara 114o31 40 114o39 55 BT. Daerah ini berbatasan dengan Barito Kuala di utara dan barat,
Kabupaten Banjar di timur dan selatan. Luas wilayah Kota Banjarmasin 72
Km2.
Secara administratif, daerah ini terbagi menjadi lima Kecamatan dan 51
Kelurahan. Daerah ini juga mempunyai potensi yang besar untuk
dikembangkan antara lain di sektor perkebunan dengan komoditi utamanya
berupa kelapa sawit, karet, dan kelapa dalam, dari hasil perkebunan ini
terdapat beberapa industri yang bahan bakunya berasal dari hasil perkebuanan
ini salah satunya PT. Sinar Mas Group yang mengolah kelapa sawit menjadi
minyak goreng.
Kota Banjarmasin yang letaknya strategis yaitu di sekitar muara Sungai
Barito, menyebabkan kampung kecil (Kampung Banjar) menjadi gerbang bagi
kapal-kapal yang hendak berlayar ke daerah pedalaman di Kalimantan Selatan
dan Kalimantan tengah. Dan cikal bakal Kota Banjarmasin ini berkembang
menjadi bandar perdagangan dan ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari
pelbagai negeri.
| 30
Tabel 1. Luas Banjarmasin Berdasarkan Kecamatan
No
Kecamatan
Luas (Km)2
1.
Banjarmasin Selatan
20,18
2.
Banjarmasin Timur
11,54
3.
Banjarmain Barat
13,37
4.
Banjarmasin Tengah
11,66
5.
Banjarmasin Utara
15,25
Total
72,00
Sumber : BPS Kota Banjarmasin,2011
Orientasi Wilayah
Wilayah Kota Banjarmasin memiliki luas wilayah 72 Km² dengan batas-batas
berikut :

Batas Utara : Kabupaten Barito Utara

Batas Selatan : Kabupaten Banjar

Batas Timur : Kabupaten Banjar

Batas Barat : Kabupaten Barito Kuala
Kota Banjarmasin, dengan kondisi daerah yang berawa-rawa (perpaya-paya),
tergenang air dan pengaruh dengan musim hujan dan musim kemarau dan
memiliki Flora dan Fauna yang spesifik, juga cukup kaya akan sumber
nutfahnya.Wilayah rawanya ditumbuhi berbagai jenis tanaman diantaranya
jenis Rambai (soneritia Alba), Ranggas (Gluta Rengas), Bakau Panggang,
Pulantan (Alstonia Sp) /api-api, Waru Tancang (Brueiera SP), Belangiran
| 31
(Shorea belangiran) Jambu (Eugenia Sp), nipah, Pandan, Bakung piai dan
Jeruju. Adapun Fauna yang hidup seperti
mamalia Bekantan dan Kera. Jenis melata ; Biawak.Jenis Aves ; Ketilang.
Jenis Ikan ; Gabus, Papuyu, Patin. Bekantan adalah kera spesial yang hanya
ditemukan di sini, penampilan fisik dari Bekantan sangat lucu. Dengan bulu
yang berwarna coklat kemerahan dan hidung yang panjang. Binatang ini
dipercaya
oleh
sebagian
warga
bisa
mendatangkan
kebaikan
dan
keberuntungan.
Sesuai dengan kedudukannya maka pemerintahan Kota Banjarmasin berperan
sebagai motivator, dinamisator dan fasilitator kegiatan pembangunan disegala
bidang ditingkat kota. Dalam pelaksanaan tugasnya berusaha menjembatani
penyampaian aspirasi masyarakat. Termasuk menciptakan hubungan yang
harmonis seluruh elemen dan sumber daya yang ada antara pemerintah,
masyarakat dan sektor swasta agar menjadi satu kesatuan yang kuat dan
bermartabat. Disinilah peran pemerintah untuk menumbuhkan rasa memiliki
dan gotong-royong terhadap lingkungannya.
Dalam pelaksanaan pembangunan di Kota Banjarmasin, yang sangat
membanggakan dan mendapat perhatian adalah peran aktif dan swadaya
masyarakat yang tinggi. Masyarakat di lingkungan Kota Banjarmasin sangat
menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga yang baik dan taat sehingga
bukan hanya objek tapi juga sebagai subjek dalam pembangunan.
| 32
Hal ini dapat terlihat dari tingginya partisipasi dan swadaya masyarakat, mulia
dari ketaatan dalam pembayaran PBB, pembangunan/rehab rumah ibadah,
pembangunan fasilitas umum seperti posyandu, poskamling dan lain-lain.
Meningkatnya kegiatan organisasi, perempuan dan dan kepemudaan.
Disamping itru meningkatnya permintaan pelayanan menunjukkan kesadaran
masyarakat akan taat dan patuh akan aturan yang berlaku, tingginya kesadaran
masyarakat dalam menjaga keamanan dan bergotong-royong, serta menjaga
kebersihan lingkungan.
IV.1.2 Komposisi Masyarakat di Kota Banjarmasin
Berdasarkan hasil catatan komposisi penduduk di Kota Banjarmasin
berjumlah 527.415 jiwa, dengan kepadatan rata-rata 7.325 jiwa/km2. Wilayah
dengan kepadatan penduduk tertinggi berada di kecamatan Banjarmasin Barat,
yaitu 9.418 jiwa/km2. Sedangkan wilayah dengan kepadatan penduduk
terendah yaitu kecamatan Banjarmasin utara (5.205 jiwa/km2). Untuk lebih
jelasnya dapat kita lihat pada tabel berikut :
| 33
Tabel 2. Jumlah Penduduk Kota Banjarmasin
No
1.
Kecamatan
Banjarmasin Selatan
Jumlah Penduduk
126,313
Kepadatan
6.259
2.
Banjarmasin Timur
99,453
8.618
3.
Banjarmain Barat
125,916
9.418
4.
Banjarmasin Tengah
96,348
8.263
5.
Banjarmasin Utara
79.383
5.205
Total
527.415
Sumber : BPS Kota Banjarmasin
IV.1.3 Kondisi Perekonomian daerah
Kontribusi
yang
cukup
signifikan
membangun
perekonomian
Kota
Banjarmasin yaitu sektor industri pengolahan (30,37%), kemudian diikuti oleh
sektor pengangkutan dan komunikasi (22,58%), perdagangan, hotel dan
restoran (15,69%), sektor keuangan (10,67%), jasa-jasa (10,51%), sedangkan
sektor lainnya (10,18%) meliputi sektor bangunan, listrik, dan gas, serta
pertanian. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut :
| 34
Tabel 3. Distribusi Presentase Kegiatan Ekonomi
No
Bidang
1. Perdagangan,Hotel dan Restoran
2. Bangunan
3. Listrik, Gas dan Air Bersih
4. Pengangkutan dan Komunikasi
5. Keuangan
6. Jasa-jasa
7. Pertanian
8. Industri Pengolahan
Sumber : BPS Kota Banjarmasin
Jumlah (%)
15,69
6,54
2,75
22,58
10,67
10,51
0,89
30,37
IV.1.4 Pendidikan Masyarakat
Berdasarkan tingkat pendidikan, di Kota Banjarmasin pada umumnya relatif
merata dan tidak terlalu tinggi. Hampir rata-rata berpendidikan sekolah Dasar
sampai Pendidikan menengah, namun ada sebagian masyarakat yang
berpendidikan tinggi tetapi relative sangat kecil.
Jumlah lembaga pendidikan yang terdapat di Kota Banjarmasin kota
Banjarmasin yaitu tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) 236 unit, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) 34 unit, Sekolah Menengah Atas (SMA) 13 unit,
(sumber data Kota Banjarmasin).
Jumlah guru yang ada di kota Banjarmasin berdasarkan jenjang pendidikan
mulai dari taman kanak-kanak (TK) guru negeri 55 orang, guru swasta 1.164,
tingkat sekolah dasar (SD) guru negeri 2.539 orang, guru swasta 539 orang,
tingkat SMP guru negeri 1.241, guru swasta 417 orang, tingkat SMA guru
| 35
negeri 1000 orang, guru swasta 685 orang, tingkat SMK guru negeri 348
orang, dan guru swasta 333 orang.
IV.2 Hasil dan Pembahasan
IV.2.1 Pengarusutamaan Gender di Indonesia
Pengarusutaman gender merupakan tema yang selalu belum mendapat
tempat yang layak terutama di Negara-negara berkembang (Pitts, 2011: 11-14).
Selain itu di dalam Lembaga-lembaga Intenational pun, hal serupa juga terjadi.
Indonesia dipandang sebagai Negara yang masih dalam tahap yang dini dalam
menginisiasi munculnya pengarus utamaan Gender.
Hal tersebut tidak lepas dari masih dicarinya strategi yang memunkinkan
munculnya pekerjaan yang masih dicari formatnya, karena ideology Negara yang
sebelumnya berbeda ketika era reformasi. Aparatur Negara masih dianggap belum
menemukan format yang jelas tentang bagaimana pengarusutamaan gender akan
dilakukan. Hal tersebut dapat terlihat dalam ketidaksanggupan aparatur dalam
menunjukkan perwakilan gender yang memadai dan memiliki kapabilitas yang
luas ketika mengambil keputusan, bagaimana mengejawantahkan kebijakan
pengarusutamaan gender di Indonesia
Trend tentang pengarusutamaan gender di Indonesia dimulai ketika
pergantian rejim dari rejim orde baru ke rejim reformasi. Hal tersebut diinisasi
dengan dibuatnya Undang-undang yang berkaitan dengan pengarusutamaan
gender. Namun disisi lain, terdapat kelompok-kelompok lain yang tidak setuju
dengan pengarusutamaan gender juga memperkuat posisinya ditengah-tengah
| 36
masyarakat. Lebih lanjut, kronologis pengarusutamaan gender di Indonesia akan
ditampilkan dalam lampiran.
Agenda pengarus utamaan gender mengalami titik kulminasinya ketika
adanya peristiwa 11 September 2001 yang dibarengi oleh invasi Amerika ke
Afganistan dan Irak. Pengarusutamaan gender sebagai salah satu program
Pemerintah dan berbagai Organisasi perempuan dikhawatirkan akan dianggap
merupakan agenda dan kebijakan dari Negara-negara barat yang dipaksakan ke
Negara-negara berkembang.
Berbagai
upaya
telah
dilakukan
pemerintah
untuk
mendukung
pengarusutamaan gender di Indonesia. Salah satunya dengan membuat Undangundang dan Peraturan yang mendukung kearah pengarusutamaan gender, antara
lain;

Peraturan Pemerintah nomor IV-1999 perihal Pedoman luas
Kebijakan Negara 1999-2004 menetapkan kesetaraan gender
sebagai salah satu amanat bagi pembangunan nasional.

Selanjutnya, Undang-undang nomor 22/2000 tentang Program
Pembangunan Nasional menegaskan kesetaraan dan keadilan
gender sebagai isu pembangunan dalam segala bidang.

Keputusan Presiden nomor 163/1999, kantor Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak diberi
amanat untuk melaksanakan pengarusutamaan gender.
| 37

Inpres nomor 9/2000 yang berisi pedoman mengenai cara
mengikutsertakan isu gender dalam program dan kebijakan
pembangunan dalam semua lapisan pemerintahan Indonesia.

Pembangunan Nasional jangka menengah tahun 2004-2009
(Peraturan
Pemerintah
No.
7/2005)
didesain
untuk
mempromosikan kualitas kehidupan perempuan, kesetaraan
dan keadilan gender.
IV.2.2 Usaha Pengarusutamaan Gender di Bidang Pendidikan
Pendidikan adalah salah satu aspek yang penting dalam usahanya
mengembangkan sebuah kebijakan sosial yang memberikan kesempatan yang
sama dalam hal hak dan kewajiban kepada berbagai individu (Piits, 2011: 8-14)
Pengarusutamaan Gender dituangkan ke dalam Beijing Action Platform
yang memberikan tujuan agar perempuan dapat mengidentifikasi dan mengetahui
keunggulan apa saja yang ada dalam dirinya
sendiri, kemudian dengan
mengetahui keunggulan mereka, hal tersebut dapat disalurkan dan memberikan
dampak positif kepada orang lain.
Beberapa tujuan strategis yang ingin dicapai dalam platform tersebut antara
lain;
1. Memberikan akses yang seimbang antara Laki-laki dan perempuan
dalam bidang pendidikan.
| 38
2. Diminimalisirnya buta huruf dan ketidakberaksaraan terutama di
kalangan perempuan.
3. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada perempuan
untuk mengikuti pelatihan, vokasi, dan iptek serta berbagai
pendidikan lanjutan.
4. Mengembangkan Pendidikan dan Pelatihan yang tidak diskriminatif.
5. Memberikan sumberdaya yang cukup.
6. Memperkenalkan long-live education bagi perempuan.
Disamping memberikan penyadaran dan
promosi akan pentingnya
pendidikan bagi perempuan, platform ini juga menyadarkan kepada khalayak
ramai akan adanya tindakan-tindakan yang dianggap memberikan kontribusi
terhadap mundurnya tindakan pengarusutamaan gender. Tindakan tersebut antara
lain;
1. Sikap dari beberapa adat dan kebudayaan yang menempatkan
perempuan dibawah Laki-laki. Kondisi tersebut melanggengkan
sikap dominasi Laki-laki terhadap perempuan. Sikap tersebut
dikhawatirkan akan menimbulkan pelecehan seksual yang terjadi
terhadap perempuan
2. Adanya pernikahan dini yang berujung pada kehamilan dini. Kedua
hal tersebut saling kait-mengkait satu sama lain, pernikahan dan
kehamilan dini berkaitan dengan bagaimana sikap dan kondisi
psikologis perempuan. Dengan adanya tindakan yang dilakukan
| 39
pada saat usia yang belum matang, dikhawatirkan akan berpengaruh
terhadap kondisi pernikahan dan janin yang dikandungnya.
3. Belum dipahaminya pengetahuan tentang Gender oleh Pendidik di
berbagai jenjang pendidikan.
4. Terlalu beratnya beban bagi perempuan dalam pekerjaannya di
sektor domestik.
Lebih lanjut Platfrom tersebut juga menjelaskan bagaimana cara mengenali
dan mengetahui bagaimana diskriminasi yang terjadi di dunia pendidikan dapat
terjadi melalui beberapa hal berikut:
1. Terdapat Sumber belajar dan Pendidikan yang terdiri dari
materi, buku, kurikulum, dan perangkat pembelajaran yang
tidak menunjang pengarusutamaan gender namun justru
menyimpan
2. Kurangnya fasilitas penunjang pendidikan, terutama untuk
keperluan khusus.
3. Adanya gambar-gambar visual yang justru menunjukkan
pandangan
tradisional
tentang
perempuan
sehingga
mengakibatkan menebalnya gambaran stereotip dominasi Lakilaki atas perempuan. Kondisi tersebut akan menebalkan
dominasi tersebut bahkan diajarkan dalam buku-buku pelajaran
untuk anak usia dini.
| 40
Hasil
penelitian
dari
tim
Universitas
Pendidikan
Indonesia
menemukan data bahwa pada tahun 2001 Index Pembangunan Gender di
Indonesia menempati urutan 91 dari 144 negara. Hal tersebut menunjukkan
bahwa kesetaraan gender masih merupakan tema yang harus diperjuangkan
di Indonesia. Di bidang pendidikan, walaupun UU menjamin tidak adanya
diskriminasi terhadap perempuan, namun dalam kenyataannya perempuan
masih tertinggal dalam menikmati kesempatan untuk belajar. Sebagai cintih,
tahun 1980 hanya 63% perempuan yang tidak buta aksara, sementara angka
bagi Laki-laki telah mendekati 80%. Namun, pada saat ini kesenjangan yang
ada masih saja terjadi.
Fenomena ketimpangan Gender di bidang pendidikan nampaknya
masih sangat kuat. Anak perempuan bukanlah merupakan prioritas untuk
melanjutkan pendidikan. Sebagai contoh, munculnya anggapan bahwa
perempuan tidak cocok untuk sekolah di jenjang kejuruan, jikalau boleh,
hanya untuk jenjang kejuruan tertentu, seperti SMK Tata Boga, SMK Tata
Busana, SMK Perhotelan. Sementara itu, sekolah Kejuruan berbasis teknik,
mesin, dan otomotif rata-rata dipersepsikan sebagai sekolah khusus laki-laki.
Di jenjang Perguruan Tinggi, hal tersebut juga terjadi. Dimana mayoritas
| 41
Perguruan Tinggi dengan Program Studi Teknik kebanyakan siswanya
berasal dari jenis kelamin Laki-laki.
Permasalahan gender di Indonesia terlihat dari beberapa aspek antara
lain, aspek pemerataan pendidikan, pengelolaan pendidikan, dan sumber
daya manusia, kurikulum, bahan ajar, proses pembalajaran, dan lain-lain.
Salah satu factor yang menyebabkan kesenjangan gender tersebut terlihat
dari faktor sosial budaya berupa adat-istiadat setempat yang tidak sesuai
dengan usaha pengarusutamaan gender. Oleh sebab itu, ada beberapa hal
yang harus dilakukan, antara lain:
Pengarusutamaan Gender terutama dalam bidang pendidikan dapat
ditemukan dalam Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 bahwa “Setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan” dan Pasal 20 yang memperinci bahwa
pemerintah menyediakan suatu sistem pendidikan nasional yang didukung
oleh hukum. Oleh karena itu, maka Pemerintah Indonesia kemudian
membentuk berbagai Program Pendidikan Wajib Nasional 1994 yang
mewajibkan pendidikan selama 9 tahun atau sampai jenjang Sekolah
Menengah Pertama.
Lebih lanjut, Pemerintah kemudian membentuk Undang-undang
Nomor 20/2003 (UU) mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Semangat dari
Undang-undang ini adalah bahwa setiap warga Negara berhak untuk
memperoleh hak dan kewajiban yang sama untuk memperoleh pendidikan
| 42
yang berkualitas dan Pemerintah harus memberikan kesempatan ini kepada
setiap warga Negara, terlepas dari asal, jenis kelamin, status ekonomi sosial
dan agama, sehingga setiap orang dapat memiliki akses ke semua bentuk dan
tingkat pendidikan yang sama (Widodo, Hariyati and Sugiarti dalam Pitts:
2011, 3).
Berdasarkan
Instruksi
Presiden
Nomor
9/2000
tentang
Pengarusutamaan Gender, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
mengembangkan
kebijakan
untuk
mengatasi
adanya
kesenjangan
pengetahuan gender dalam pendidikan (Sardjunani: 2008, 3). Kementerian
telah mulai memperbaiki kurikulum dan mencoba membuat bahan
pengajaran dan pembelajaran yang lebih berwawasan gender, baik dari segi
kualitas maupun relevansi di bidang Pendidikan. Mereka juga berusaha
untuk meningkatkan kualitas para guru dan dosen dengan terus
mengadakan pelatihan pendidikan yang menyangkut pemahaman isu-isu
gender, pentingnya sikap berwawasan gender, dan penerapan sensitivitas
gender dalam proses belajar mengajar.
IV.2.3 Perspektif Gender Menurut Mahasiswa
Sub bab berikut akan menggali tentang bagaimana perspektif Mahasiswa
tentang Pengarusutamaan Gender. Sub bab ini akan berusaha untuk menggali
tentang bagaimana perspektif mahasiswa dan bagaimana perspektif tersebut
berasal.
| 43
Salah seorang mahasiswa, Karlina menyatakan bahwa kesetaraan gender tersebut
adalah .
kesetaraan, kesamaan, keseimbangan, peran dalam masyarakat Gender
merupakan penggolangan sifat berdasarkan peran yang dimilikinya jadi
kesetaraan jender adalah pemerataan status gender tersebut dalam
masyarakat
berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa Karlina melihat
kesetaraan gender sebagai sebuah posisi dimana seorang perempuan memiliki
peran yang sama, setara, dan seimbang dalam perannya di masyarakat.
Diharapkan dengan adanya posisi yang sama, setara, dan seimbang tersebut akan
muncul kesetaraan akan status antara Laki-laki dan Perempuan.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Norwegia yang menyatakan bahwa
Yang saya ketahui tentang jender adalah semua perempuan memiliki hak
yang sama dengan laki-laki misalnya dalam pekerjaan
Peran laki-laki dan peran perempuan memiliki kesetaraan dan hak yang
sama
Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa kesetaraan gender dipahami
sebagai bentuk pelaksanaan hak dan kewajiban yang sama antara Laki-laki dan
perempuan dalam hal pekerjaan. Norwegia berpendapat bahwa tidak ada
pekerjaan yang hanya bisa dilakukan secara spesifik oleh jenis kelamin tertentu.
Setiap pekerjaan bisa saja dilakukan oleh baik oleh laki-laki maupun perempuan,
yang membedakan adalah konstruksi sosial sesorang yang terkadang dihubungkan
dengan jenis kelamin.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Wasilah yang menyatakan bahwa
proses kesetaraan gender itu dilihat dari pekerjaan yang dilakukan, dimana
| 44
Proses pekerjaan perempuan setara dengan laki-laki seperti dalam
pekerjaan rumah tangga
Konstruksi bahwa pekerjaan memegang peranan penting juga disampaikan
oleh Muhammad Arsyad yang menyatakan bahwa
Saya sedikit mengetahui tentang kesetaraan gender itu sendiri, yang mana
merupakan apa yang bisa dan lazim dilakukan oleh kaum laki-laki dan
perempuan. Yang bisa dilakukan oleh laki-laki seperti pekerjaan, profesi,
maupun kebiasaan yang dasarnya bisa dilakukan oleh kaum perempuan
Pekerjaan, profesi, mupun kebiasaan yang bisa dilakukan oleh Laki-laki
juga bisa dilakukan oleh perempuan, kondisi tersebut senada dengan pendapat
lainnya yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada batasan antara laki-laki dan
perempuan dalam hubungannya dengan pencapaian pekerjaan antara laki-laki
dengan perempuan.
Sementara salah seorang Mahasiswa, Suriansyah berpendapat bahwa,
kesetaraan gender adalah suatu bentuk yang beranggapan bahwa
perempuan dan laki-laki itu tidak berbeda, yang berbeda hanya fisik.
Artinya, kegiatan yang dilakukan oleh perempuan juga bisa dilakukan oleh
Laki-laki, begitu juga sebaliknya hanya yang membedakan bahwa
perempuan dapat melahirkan sedangkan Laki-laki tidak.
Pendapat dari Suriansyah mencerninkan pernyataan bahwa antara Laki-laki
dan Perempuan hanya dibedakan oleh faktor biologis yaitu faktor fisik semata.
Kondisi tersebut tidak dapat dipertukarkan, namun posisi seseorang di masyarakat
dapat dilakukan sehingga tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan perempuan.
Sementara pendapat dari Paramitha Satya Rini menyatakan bahwa
Kesetaraan gender itu adalah keseimbangan dan kesamaan peran maupun
posisi kedudukan seseorang antara suami dan istri
| 45
Sementara salah seorang mahasiswa lainnya, Nornina memandang bahwa
Gender itu adalah
Menurut sepengetahuan saya kesetaraan jender merupakan peran yang
dimiliki oleh itu baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat
Saya kurang memahami tentang kesetaraan gender namun laki-laki
maupun perempuan sudah memiliki peranya masing-masing
Berdasarkan pernyataan diatas, Nornina menganggap bahwa kesetaraan
Gender tersebut adalah sebuah peran yang dimilliki oleh Laki-laki maupun
Perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nornina, setiap jenis kelamin
memiliki kehidupan sendiri-sendiri yang tidak dapat lagi dipertentangkan. Hal
tersebut mengingat bahwa setiap individu yang memiliki jenis kelamin berbeda
memiliki kondisi biologis tertentu yang konsewensinya akan memiliki peran yang
berbeda pula.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh Abdus Salam yang menyatakan
bahwa
Kesetaraan gender adalah kedudukan Laki-laki dan perempuan, dimana
kedudukan Laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, karena
bagaimanapun perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena sudah ada
pengaturan kedudukan yang sudah ditata
Pendapat diatas menunjukkan bahwa antara Laki-laki dan perempuan
merupakan sebuah kondisi yang tidak dapat disatukan. Antara Laki-laki dan
perempuan telah memiliki sikap dan tanggung jawab sendiri-sendiri yang masingmasing diantaranya memiliki konseweknsi dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi
tersebut mengakibatkan bahwa Laki-laki harus didudukkan lebih tinggi
dibandingkan dengan Perempuan. Hal tersebut dikarenakan pemimpin keluarga
| 46
adalah Laki-laki, sementara Perempuan hanya bisa menjadi anggota keluarga atau
pendamping suami.
IV.2.4 Pendapat Mahasiswa Tentang Kesetaraan dan Pengarusutamaan
Gender.
Sub bab ini akan membahas tentang bagaimana pendapat mahasiswa tentang
konsep
kesetaraan
dan
pengarusutamaan
gender
dan
apa
saja
yang
melatarbelakangi pandangan tersebut. Sebagian mahasiswa setuju bahwa perlu
adanya perjuangan untuk melakukan kesetaraan gender di masyarakat. Hal itu
tidak lepas dari masih adanya hambatan akan kesetaraan gender yang masih
mereka temui dalam kehidupan sehari-hari.
Pendapat tentang kesetaraan dan pengarusutamaan gender disampaikan oleh
Karlina yang menyampaikan bahwa
Setuju, karena dengan adanya kesetaraan jender maka tidak akan terjadi
ketidakadilan jender yang membuat masyarakat tidak aman menjalani
jender tersebut
Karlina berpendapat akan persetujuannya dalam menghadapi kesetaraan
gender, karena dengan adanya kesetaraan gender dapat menjadi masyarakat yang
memiliki keadilan dalam pelaksanaan gender. Dengan adanya kesetaraan gender,
diharapkan muncul keadilan dalam memperlakukan hak dan kewajiban antara
Laki-laki dan Perempuan. Oleh karena itu, maka perlu diwujudkan melalui upaya
untuk membangkitkan kesadaran perempuan melalui pemberian keleluasaan bagi
perempuan untuk berkembang di masyarakat. Hal tersebut bisa dilakukan dengan
memberikan kesempatan bagi Perempuan terutama yang berkeluarga untuk
| 47
mengembangkan diri dalam kehidupan sehari-hari salah satu contohnya dengan
memberikan kesempatan Perempuan untuk bekerja. Selain itu, Perempuan juga
harus diberi kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapat yang sama
dengan Laki-laki. Harapannya, tercipta harmoni antara Laki-laki dan Perempuan.
Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat Karlina dibawah ini;
Tidak karena perempuan juga mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan diri diluar menjadi seorang istri, maka diperlukan
kesetaraan jender sehingga perempuan tidak lagi dianggap lemah
Harus, karena perempuan juga memiliki hak untuk berbicara di dalam
ranah keluarga, walaupun keputusan tidak dapat seenaknya diputuskan
oleh perempuan, tetapi dalam hal urusan keluarga perempuan berhak
menyampaikan pendapat. .Karena rumah tangga tidak hanya dibangun
oleh laki-laki saja tetapi perempuan juga sangat berperan penting
Pendapat tersebut boleh jadi diakibatkan karena, Karlina melihat bahwa
masih ada hambatan bagi Perempuan untuk mengembangkan diri dibandingkan
Laki-laki. Salah satu contoh yang mengemuka adalah adanya anggapan dimana
perempuan tidak perlu untuk disekolahkan tinggi karena toh nanti kembali ke
rumah juga. Kondisi tersebut dapat dianggap merupakan halangan dari terciptanya
kesetaraan gender. Hal tersebut dapat terungkap dari hasil wawancara berikut ini:
Ada, contohnya masih ada perempuan yang tidak disekolahkan oleh orang
tuanya karena dianggap perempuan tidak perlu sekolah tinggi.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Wasilah yang menyatakan
persetujuannya bagi perempuan untuk dapat bekerja dan memiliki kedudukan
yang setara dengan perempuan. Hal tersebut tidak lepas dari bagaimana
perempuan dapat menjadi tenaga kerja yang potensial untuk mencukupi nafkah di
keluarga, terutama ketika terjadi krisis dalam keluarga. Dengan adanya kesetaraan
| 48
tersebut, maka perempuan tidak dapat hany dikategorikan sebagai pendamping
Laki-laki namun juga sebagai mitra dalam keluarga. Selain itu, Wasilah
berpendapat bahwa antara Laki-laki dan perempuan sudah sewajarnya diberikan
porsi yang sama dalam pengambilan keputusan dalam keluarga, karena itu
walaupun Laki-laki masih dianggap pemimpin keluarga dan pengambil keputusan
dalam keluarga, sudah sewajarnya mempertimbangkan masukan, dari masingmasing pihak dari anggota kelurga yang lain seperti Istri dan Keluarga. Hal
tersebut tampak dari pendapat dibawah ini;
Setuju, karena wanita dituntut bekerja. Bekerja tidak hanya ibu rumah
tangga, tidak hanya laki-laki yang mencari nafkah tetapi perempuan juga
mencari nafkah.
Ya jelas karena perempuan sudah jadi istri berhak mendampingi suami
dimanapun berada.
Sebenarnya laki-laki berhak mengambil keputusan, apabila laki-laki tidak
bisa memutuskan maka perempuan boleh memutuskan . laki-laki wajib
mengambil dulu mengambil keputusan karena laki-laki adalah pemimpin
dalam rumah tangga. Tapi dalam rumah tangga pengambilan keputusan
harus ada persetujuan ke dua belah pihak.
Pendapat dari Wasilah tersebut adalah hasil dari kesetaraan Gender yang
telah dicapai melalui dunia pendidikan. Saat ini, baik laki-laki maupun perempuan
telah memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan jenjang pendidikan
yang lebih tinggi. Pendidikan dapat dianggap merupakan salah satu alat untuk
meningkatkan kepedulian akan kesetaraan gender. hal tersebut dapat dilihat dari
hasil wawancara dengan Wasilah seperti tertuang di bawah ini;
Sudah menerapkan kesetaraan jender, dilihat kondisi pendidikan.
Misalnya laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki pendidikan yang
tinggi, sama-sama memiliki pekeran. Suami juga tidak memaksa memang
dasar dari awal sebagian suami tidak mewajibkan istri untuk bekerja
| 49
tetapi terserah istri suami tidak memaksa. Yang paling penting suami
mencari nafkah untuk anak istri.
Pendapat yang serupa disampaika oleh Ulfa Nurwita yang menyatakan
persetujuannya akan konsep kesetaraan gender. Dengan konsep tersebut, akan
tercipta kehidupan yang harmonis antara Laki-laki dan Perempuan sehingga,
dikemudian hari diharapkan kehidupan harmonis tersebut akan menumbuhkan
Keluarga yang harmonis pula. Oleh karena itu, perlu didorong adanya sikap yang
menerima perempuan sebagai mitra perempuan dibandingkan hanya sebagai
pendamping Laki-laki. Dengan adanya sikap tersebut, maka urusan rumah tangga
dapat dijadikan sebagai urusan bersama, dan pada gilirannya akan menimbulkan
harmoni dalam keluarga. Selain itu, dengan dikembangkannya potensi
perempuan,
akan
membuat
perempuan
semakin
mandiri
dan
dapat
mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Hal tersebut tampak
dari pernyataan Ulfa Nurwita berikut ini
Setuju, karena dengan konsep kesetaraan kedua belah pihak dan
berkambang, tidak ada yang ditekan maupun yang tertekan.
Perempuan adalah sebagai mitra suami dimana antara keduanya saling
melengkapi dan saling membantu dalam urusan rumah tangga. Dengan
kerjasama tersebut maka urusan-urusan rumah tangga dapat dijalankan
dengna baik, jika hanya sebagai pendamping, maka istri tidak terlalu
banyak ikut campur dalam urusan rumah tangga dan akibatnya terjadi
ketidakseimbangan. Sebagai mitra suami perempuan dapat bekerja
mengembangkan potensi dan keahlian yang dimilliki dan bersama suami
dapat saling memberi masukan.
Pendapat dari Ulfa Nurwita tersebut salah satunya disebabkan masih
dijumpainya diskriminasi berbasis gender dimasyarakat. Salah satunya adalah
adanya pembatasan bagi Perempuan untuk dapat menjadi pemimpin. Oleh karena
itu, menurut narasumber, perlu dikembangkan upaya untuk mengembangkan
| 50
usaha sadar gender dan hal tersebut dapat dimulai dari rumah. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Narasumber sebagai berikut;
Ada, contohnya dimasyarakat masih ada pembatasan bagi perempuan untuk
menjadi seorang pemimpin. Akan ada banyak suara-suara protes terhadap
hal tersebut. Dalam lingkungan adat tertentu juga terdapat laranganlarangan dan aturan yang membatasi gerak perempuan.
Pendapat yang hampir sama disampaikan oleh Akbar Fadhilah yang
memandang bahwa terkadang dalam urusan sehari-hari contohnya dalam
Organisasi Kemahasiswaan, masih terdapat diskriminasi gender yang terjadi.
Seperti hasil wawancara berikut ini;
Misalnya didalam organisasi, maka biasanya yang menjadi pemimpin
(ketua) itu pada umumnya kebanyakan Laki-laki. Jarang sekali terdapat
perempuan seperti juga di Lembaga Pemeintahan daerah baik propinsi
maupun kota dan kabupaten.
Pendapat yang berbeda disampaikan oleh beberapa mahasiswa berikut yang
menyatakan ketidaksetujuannya akan adanya kesetaraan gender. Hal tersebut
dikarenakan, antara Laki-laki dan Perempuan masing-masing telah memiliki
fungsi dan tugas masing-masing sehingga keduanya tidak dapat diperdebatkan
hak dan kewajibannya masing-masing, selain itu adanya kesetaraan gender
dikhawatirkan akan konflik dalam keluarga ketika adanya posisi yang setara
antara Laki-laki dan Perempuan dalam keluarga. Hal tersebut tampak dari hasil
wawancara dengan Nornina
Tidak setuju, karena laki-laki derajatnya lebih tinggi dari perempuan dan
tidak bisa disetarakan
Perempuan hanya berperan sebagai pendamping suami, karena tugas
laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan istrinya hanya mendampingi
Perempuan juga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga
karena perempuan juga memiliki hak dalam urusan keluarga karena
| 51
perempuan juga memiliki hak dalam urusan keluarga tidak semua urusan
keluarga diserahkan kepada laki-laki.
Dalam pernyataannya Nornina tidak setuju, karena sebetulnya Laki-laki
memiliki derajat yang lebih tinggi daripada perempuan, oleh karena itu maka
Perempuan hanya menjadi pendamping saja bagi laki-laki di rumah tangga.
Namun, menurut Narasumber, walaupun berbeda tetap saja Perempuan harus
dilibatkan dalam urusan pengambilan keputusan sehari-hari, mengingat
perempuan juga memiliki tugas yang tersendiri di rumah tangga.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Norwegia yang menyatakan akan
ketidasetujuannyadalam kesetaraan gender karena dapat memicu angka perceraian
dalam keluarga. Wujud dari kesetaraan gender adalah diperbolehkannya
perempuan untuk bekerja diluar sektor domestik. Dikhawatirkan, ketika
perempuan bekerja maka akan timbul ego yang tinggi antara perempuan maupun
laki-laki. Ego tersebut akan menimbulkan rasa ingin menang sendiri yang pada
gilirannya akan berakibat konflik yang terbuka dalam keluarga. Tentu saja akan
mengakibatkan disharmoni dan berujung pada keretakan rumah tangga. Oleh
karena itu menurut narasumber, kondisi yang ideal adalah Perempuan bukan
menjadi mitra Laki-laki namun menjadi pendamping Laki-laki. Sebagaimana
terlihat dalam hasil wawancara berikut ini.
Tidak setuju, karena dengan adanya kesetaraan jender ini dapat memiliki
tingkat perceraian mislanya dalam rumah tangga suami istri dua-duanya
sama-sama bekerja sama-sama sibuk kemudian terjadi cekcok dalam rumah
tangga sehingga perempuan dapat mengajukan cerai karena perempuan
merasa dirinya bisa menghidupi keluarganya walau tanpa suami. Dari situ
istri merasa setara dengan laki-laki.
| 52
Ya. Karena tugas seorang istri hanya mendampingi suami, mengurus rumah
tangga walaupun bekerja tetapi bukan kewajiban seorang istri
Pernyatan
yang
sama
disampaikan
oleh
Yulia
Andriani
yang
mengkhawatirkan kesamaan derajat antara laki-laki dan perempuan akan
mengakibatkan munculnya konflik terbuka dalam keluarga serta berujung pada
ketidakharmonisan dalam keluarga , sebagaimana hasil wawancara berikut ini;
Tidak setuju, karena jika dalam keluarga kedudukan laki-laki dan
perempuan sama maka akan sering terjadi konflik didalam keluarga
tersebut, serta sulit dalam kepemimpinan keluarga tersebut. Tapi dizaman
sekarang sudah hampir setara antara laki-laki dan perempuan terutama
dalam hal pekerjaan.
Pernyataan yang sedikit berbeda disampaikan oleh Pharamita Satya Rini
yang menyatakan ketidaksetujuannya dalam kesetaraan gender. Narasumber
beranggapan bahwa dengan adanya kesetaraan gender, maka akan menafikan
azasi manusia yang telah berbeda secara biologis. Hal tersebut terlihat dalam hasil
wawancara berikut ini;
Saya kurang setuju karena gender merupakan suatu perangkat sendiri yang
berbeda. Hanya saja mungkin dari aspek peran bila dikatakan saat ini
kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dimana perempuan bukan
hanya sebagai istri tetapi juga menjadi wanita karier. Bahkan banyak
diantara wanita-wanita menjadi super dalam menopang perekonomian.
Akan tetapi secara kodrat antara Laki-laki dan Perempuan tetap berbeda.
Pendapat yang sama disampaikan oleh Abdus Salam yang menyatakan
bahwa antara Perempuan dan Laki-laki tidak dapat disetarakan. Karena perbedaan
kedudukan baik secara Agama maupun konstruksi sosial. Sebagaimana hasil
wawancara berikut ini;
Menurut saya konsep kesetaraan gender dalam rumah tangga tidak setuju,
karena kalau kedudukan perempuan misalnya lebih tinggi kedudukannya
dari pada laki-laki, perempuan dan laki-laki sangat berbeda kalau misalnya
| 53
si perempuan menjadi pemimpin maka rumah tangga tidak harmonis.
Karena perempuan memiliki sikap dan sifat yang berbeda.
IV.2.5 Diskusi Teori.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
pandangan dari mahasiswa tentang kesetaraan gender:
Pertama, pandangan mahasiswa berpendapat bahwa kesetaraan gender itu
adalah kesamaan posisi, derajat, kedudukan, hak, dan kewajiban antara Laki-laki
dan Perempuan. Implikasi dari pandangan tersebut terletak dari pernyataan bahwa
tidak ada perbedaan antara Laki-laki dan perempuan dalam memperoleh dan
mendapatkan posisi di masyarakat. Setiap individu berhak mendapatkan posisinya
di masyarakat tanpa adanya pembatasan dari jenis kelamin lainnya. Oleh karena
itu, perempuan dan Laki-laki berhak untuk memperjuangkan posisinya masingmasing.
Pendapat tersebut sesuai dengan Teori Feminisme Liberal yang
juga
disebut "feminisme egaliter dan feminisme mainstream " dianggap sebagai cabang
yang paling moderat . Hal ini didasarkan pada proposisi sederhana yang
menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan oleh karenanya kesetaraan
kesempatan tidak boleh ditolak karena gender. Karena kedua jenis kelamin samasama diberi manfaat dengan adanya
Teori ini mendasarkan pandangannya pada tidak adanya perbedaan antara lakilaki dan perempuan. Oleh karena itu, maka perempuan dan laki-laki memiliki hak
dan kewajiban yang sama baik didalam kehidupan publik maupun domestik, di
| 54
masyarakat maupun dalam kehidupan keluarga. Namun, pandangan teori ini
menolak pandangan tidak adanyana perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan
perempuan. Dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang signifikan antara lakilaki dan perempuan. Perbedaan tersebut terletak dari unsur biologis yang dimiliki
antara perempuan dan laki-laki yang menimbulkan akibat dalam kehidupan di
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 228).
Kedua¸ pandangan mahasiswa yang percaya bahwa sebenarnya tidak ada
perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan oleh karena itu maka perbedaan akan
konstruksi sosial antara keduanya harus dihapuskan. Namun, ada perbedaan yang
tidak dapat dipisahkan antara laki-Laki dan perempuan. Perbedaan tersebut
terletak pada fisik antara jenis kelamin tersebut, atau dalam kata lain terdapat
perbedaan biologis antara keduanya. Oleh karena itu, maka walaupun
dimungkinkan tidak ada perbedaan dalam konstruksi sosial, namun perbedaan
dalam hal biologis akan berpengaruh dalam hal kehidupan dan peran peran juga
dimasyarakat.
Pendapat tersebut sama dengan teori Feminis liberal juga dapat disebut
dengan "feminisme budaya"dengan menfokuskan pada pemberdayaan perempuan
dengan menekankan kualitas positif yang terkait dengan peran perempuan seperti
pengasuhan, peduli, kerjasama, dan keterhubungan kepada orang lain (Worell,
1996:360).
Masalah berapa banyak wanita sama dan berapa banyak mereka berbeda
disorot dalam penekanan ini, meskipun tidak merupakan cabang terpisah dari
| 55
feminisme keseluruhan, perdebatan sekitar "Tingkat perbedaan jenis kelamin atau
kesamaan" telah memungkinkan feminisme budaya menjadi tergabung dalam
semua cabang feminis pada tingkat tertentu. Feminis liberal, namun, lebih
mungkin untuk berhubungan prinsip-prinsip ini daripada wanita di cabang lain.
Ketiga, pandangan mahasiswa yang tidak menyetujui kesetaraan gender.
pandangan tersebut berasal dari kenyataan bahwa Mahasiswa memandang tidak
perlu ada kesetaraan gender, karena peran dan posisi masing-masing individu
tidak lah sama. Oleh karena itu, mengingat peran dan posisi masing-masing telah
ditentukan baik oleh faktor biologis maupun faktor sosial, maka tidak perlu ada
kesetaraan gender.
Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat dari teori gender/feminism
struktural fungsional dimana, dalam hal pembagian jenis kelamin berdasarkan
gender, perspektif structural fungsional melihat aspek kesejarahan pada
masyarakat pra-industri terutama munculnya pembagian kerja berbasis jenis
kelamin yang terjadi pada masyarakat pra industri dimana peran laki-laki dan
perempuan dibedakan berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan. Laki-laki
berperan dalam penyedia makanan melalui kegiatan berburu sementara
perempuan menjadi peramu di dalam wilayah rumah. Implikasi dari pandangan
tersebut adalah munculnya pembagian kerja berbasis jenis kelamin dimana lakilaki berperan di wilayah publik sementara perempuan bekerja di dalam wilayah
privat atau di dalam rumah dan keluarga. Jika ditelisik lebih lanjut, peran laki=laki
memiliki dimensi yang lebih luas, karena peran di wilayah publik memiliki
dimensi yang lebih luas, dibandingkan wilayah privat. Bagi perempuan, tugas di
| 56
wilayah privat atau di dalam rumah memiliki dimensi yang lebih sempit, dimana
perempuan terbatas hanya berperan dari bidang reproduksi yaitu mengandung,
memilihara anak, memelihara rumah, memelihara pekarangan, dan lain
sebagainya. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dalam
menciptakan masyarakat yang stabil dan mengidamkan equilibrium atau
keseimabangan. Dengan pembagian kerja berbasis jenis kelamin, masyarakat akan
mengalami keharmonisan sehingga meminimalisir konflik, karena pembagian
kerja tersebut dianggap dapat meminimalisir konflik terutama dalam keluarga.
Pendekatan struktural-fungsional dianggap masih relevan jika diterapkan
dalam masyarakat modern.
Pembagian peran secara jenis kelamin dianggap
sebagai suatu yang biasa dan wajar adanya(Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan
pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik
dan harmonis. Penyimpangan terjadi karena munculnya konflik antar fungsi
dalam keluarga. Oleh karena itu, maka sistem sosial berupa pembagian kerja
berdasarkan jenis kelamin harus dijamin keutuhannya.
| 57
BAB V.
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data penelitian didapatkan beberapa temuan
sebagai berikut:
1. Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengembangkan
kebijakan pengarusutamaan gender melalui berbagai tindakan dan
kebijkan di bidang kependidikan, namun masih saja ditemuai
berbagai
kendala terutama berhubungan dengan sikap dan nilai
budaya masyarakat yang masih resisten terhadap budaya gender.
2. Pandangan mahasiswa tentang gender terbagi menurut tiga
kharakteristik teori;
a. Pandangan mahasiswa berpendapat bahwa kesetaraan gender
itu adalah kesamaan posisi, derajat, kedudukan, hak, dan
kewajiban antara Laki-laki dan Perempuan. Implikasi dari
pandangan tersebut terletak dari pernyataan bahwa tidak ada
perbedaan
antara
Laki-laki
dan
perempuan
dalam
memperoleh dan mendapatkan posisi di masyarakat. Setiap
individu berhak mendapatkan posisinya di masyarakat tanpa
adanya pembatasan dari jenis kelamin lainnya. Oleh karena
itu, perempuan dan Laki-laki berhak untuk memperjuangkan
posisinya masing-masing.
| 58
b. Pandangan mahasiswa yang percaya bahwa sebenarnya tidak
ada perbedaan antara Laki-laki dan Perempuan oleh karena
itu maka perbedaan akan konstruksi sosial antara keduanya
harus dihapuskan. Namun, ada perbedaan yang tidak dapat
dipisahkan antara laki-Laki dan perempuan. Perbedaan
tersebut terletak pada fisik antara jenis kelamin tersebut, atau
dalam kata lain terdapat perbedaan biologis antara keduanya.
Oleh karena itu, maka walaupun dimungkinkan tidak ada
perbedaan dalam konstruksi sosial, namun perbedaan dalam
hal biologis akan berpengaruh dalam hal kehidupan dan
peran peran juga dimasyarakat.
c. Pandangan mahasiswa yang tidak menyetujui kesetaraan
gender. pandangan tersebut berasal dari kenyataan bahwa
Mahasiswa memandang tidak perlu ada kesetaraan gender,
karena peran dan posisi masing-masing individu tidak lah
sama. Oleh karena itu, mengingat peran dan posisi masingmasing telah ditentukan baik oleh faktor biologis maupun
faktor sosial, maka tidak perlu ada kesetaraan gender.
V.2 Saran
Saran yang diberikan sebagai berikut; Perlunya pembenahan dibidang
pendidikan terutama pelatihan pemahaman gender kepada pendidik sehingga
konsep kesetaraan gender dapat dipahami baik oleh peserta didik diberbagai
tingkatan jenjang pendidikan dari pendidikan dasar sampai tinggi.
| 59
DAFTAR PUSTAKA
Lindsey LL and Christie S. (1997) Gender roles: A Sociological Perspective:
Prentice Hall.
Marzuki (2013) Kajian Awal Tentang Teori-teori Gender. UNY Press
Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang
Relasi Gender. Bandung: Mizan. Cet. I.
Mulia, Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia
Pustaka. Utama. Cet.
Rosalie, Pitt (2011) PELAKSANAAN PENGARUSUTAMAAN GENDER
PADA SEKOLAH DASAR NEGRI DAN SEKOLAH DASAR AGAMA
DI MALANG DAN BATU. AUSTRALIAN CONSORTIUM FOR INCOUNTRY INDONESIAN STUDIES (ACICIS)
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an.
Jakarta: Paramadina. Cet. I
| 60
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL NOMOR 84 TAHUN
2008 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN
PENGARUSUTAMAAN GENDER BIDANG PENDIDIKAN
| 61
INDEKS
F
feminisme · 12, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 22, 25,
55, 56
G
gender · 1, 2, 3, 4, 5, 7, 9, 10, 14, 17, 18, 21, 23,
24, 25, 26, 27, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43,
44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55,
57, 59, 60
P
pendapat · 1, 4, 10, 20, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 54,
57
Pendidikan · i, v, 1, 26, 35, 38, 39, 40, 41, 42, 43,
50
Pengarusutaman · 36
perspektif · 2, 5, 26, 44, 57
S
Sikap · 39
M
Mahasiswa · v, 2, 3, 26, 27, 44, 45, 47, 57, 60
Download