BAB I ISTILAH, PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami: Pengertian hukum pidana, pembagian hukum pidana, tujuan dan fungsi hukum pidana, asas legalitas, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dan ilmu hukum pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum pidana 2. Mengungkapkan pengertian hukum pidana 3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum pidana 4. Menjelaskan arti asas legalitas 5. Menjelaskan ruang lingkup berlakunya hukum pidana A. ISTILAH DAN PENGERTIAN Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda “Strafrecht”. Straf berarti Pidana Recht berati hukum. Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman. Jika digabungkan keduanya akan berarti hukum hukuman. Istilah demikian dianggap tidak lazim menurut tata bahasa, maka istilah “Hukum Hukuman” itu diganti dengan hukum pidana. Hukum pidana dapat dibagi: 1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi) 2 Ad. 1. Hukum pidana objektif adalah sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggaran-pelanggaran diancam dengan hukuman. Hukum pidana objektif ini dibagi kedalam Hukum Pidana Materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil adalah hukum yang menentukan tentang: 1. Perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana; 2. Siapakah yang dapat dipidana, atau siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan; 3. Jenis hukuman apakah yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melanggar undang-undang. Ketiga unsur dari hukum pidana materil harus ada dalam aturan hukum pidana materil. Misalnya ketentuan dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi: Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki dengan melawan hak, dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 900,Dari pasal ini jelas terlihat unsur tersebut: a. Perbuatan yang dilarang: mengambil barang milik orang lain; b. Orang yang dapat dipidana: yang sengaja (dengan maksud) memiliki dengan melawan hak; c. Pidana yang dijatuhkan: penjara selama-lamanya lima tahun atau denda Rp. 900,- 3 Jika unsur-unsur ini tidak ada dalam peraturan tersebut maka aturan hukum itu, bukanlah aturan hukum pidana materil. Istilah hukum pidana materil juga disebut dengan hukum pidana substansial. Dalam pergaulan sehari-hari hukum pidana materil disebut dengan hukum pidana atau disebut juga dengan hukum pidana in abstracto, artinya hukum pidana dalam arti yang abstrak (tidak nyata) karena berlaku kepada semua orang, tidak tentu orangnya. Hukum Pidana Materil ini juga dibagi kedalam pengertian-pengertian sebagai berikut: a. Hukum pidana umum b. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi orang tertentu saja, seperti hukum pidana militer dan hukum pidana fiskal (Pajak). c. Hukum pidana nasional, yaitu hukum yang berlaku secara nasional. d. Hukum pidana lokal, yaitu hukum pidana yang berlaku bagi daerah-daerah tertentu, seperti yang terdpat dalam Perda, Qanun. e. Hukum pidana kodifikasi, hukum pidana yang telah dibukukan dalam satu kitab undang-undang, seperti KUHP. f. Hukum pidana yang tidak terkodifikasi, yaitu hukum pidana yang terdapat peraturan hukum pidana diluar KUHP, Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1992 tentang Narkotika. Sehubungan dengan hukum pidana materil ada yang menyebut dengan hukum delik. Kata delik berasal dari delictum (Latin), dalam bahasa Belanda disebut dengan falen yang berarti perumusan sikap/perbuatan yang salah 4 (gagal melaksanakan yang baik dan benar. Disamping delictum dalam bahasa latin juga dikenal istilah crimen, yang berarti misdaad (Belanda), sama dengan penyelewengan. Dalam negara yang menganut hukum anglo saxon dikenal dengan istilah Criminal Law. Hukum pidana formal adalah keseluruhan aturan hukum yang menentukan cara bagaimana melaksanakan ketentuan hukum pidana materil. Ad. 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi) Hukum pidana subjektif adalah aturan hukum yang menentukan hak negara untuk menghukum orang. Hak untuk menghukum orang adalah: a. Hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan pidana, hak ini ditangan pembuat undang-undang. b. Hak untuk menjatuhkan hukuman, hak ini berada ditangan hakim, untukmenghukum orang terbukti bersalah. c. Hak untuk melaksanak hukuman, hak ini terletak ditangan jaksa, untuk melaksanakan putusan hakim. (Satochit Kartanegara, tt:3) B. PENGERTIAN HUKUM PIDANA Rumusan arti lembaga hukum pidana dapat difahami dan dipelajari melalui uraian para sarjana hukum, antara lain sebagai berikut: 1. Prof. DR. W.L.G. Lemaire sebagai dikutip Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. Hukum Pidana terdiiri dari normanorma yang berisi keharusan-keharusan dan laranganlarangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah diakitkan dengan sanksi berupa hukuman, yaksi suatu 5 penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaankeadaan mana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. Lamintang lebih lanjut menjelaskan bahwa rumusan atau batasan atau definisi hukum pidana oleh Lemaire seperti dikutip diatas, mungkin saja benar apabila yang dimaksud adalah hukum pidana materil. Padahal hukum pidana itu terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil. (Lamintang, 1984:1,2) 2. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. (Kansil, tt:257) Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah: a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti Negara, Lembaga-lembaga Negara, Pejabat Negara,Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan sebagainya. b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik/harta benda. 6 Definisi hukum pidana yang dikemukakan oleh Kansil juga tidak lengkap, karena tidak mencakup hukum pidana materil dan hukum pidan formil. 3. Prof. Moeljatno, S.H. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987:4) Definisi hukum pidana yang disampaikan oleh Moeljatno adalah definisi hukum pidana yang lengkap, artinya dalam definisi ini terkandung hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Untuk perbuatan dipakai asas legalitas, untuk pertanggungjawaban dipakai asas tiada pidana tanpa kesalahan dan untuk cara pengenaan pidana salah satu asasnya adalah asas praduga tak bersalah. C. TUJUAN HUKUM PIDANA Wirjono Projodikoro (2003:19), tujuan hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Di antara para sarjana 7 hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie). 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. D. FUNGSI HUKUM PIDANA Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat terciptannya dan terpeliharanya ketertiban umum. Secara khusus sebagai bagian hukum publik, hukum pidana berfungsi untuk: 1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa kepentingan hukum tersebut; 2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai kepentingan hukum; 3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas kepentingan hukum. 8 Ad.1. Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari Perbuatan yang Menyerang atau Memperkosanya. Kepentingan hukum (rechtbelang) adalah berupa segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota masyarakat, atau suatu negara yang wajib dijaga dan dipertahankan agar tidak dilanggar oleh perbuatanperbuatan manusia, yang semua ini ditujukan untuk terlaksana dan terjaminnya ketertiban didalam segala bidang kehidupan. Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan hukum itu meliputi: 1. Hak-hak (rechten); 2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking); 3. Keadaan hukum (rechtstoestand); 4. Bangunan masyarakat (sociale insteliingen). (Satochit Kartanegara, 1955:7). Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada 3 macam, yaitu: 1. Kepentingan hukum perorangan (individule belangen), misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan hukum atas hak milik dan benda, kepentingan hukum atas harga diri dan nama baik, kepentingan hukum atas rasa susila, dan lain sebagainya. 2. Kepentingan hukum masyarakat ( sosiale belangen), misalnya kepentingan hukum atas keamanan dan ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas dijalan raya. 3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara 9 sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala negara dan wakilnya. Fungsi khusus hukum pidana yang pertama ini terdapat terutama dalam hukum pidana materil. Dalam hukum pidana materil terugtama merumuskan bermacam-macam perbuatan yang dilarang untuk dilakukan (termasuk mewajibkan orang dalam keadaan tertentu untuk berbuat tertentu), yang apabila larangan itu dilanggar atau kewajiban hukum untuk berbuat itu tidak ditaati, maka kepada mereka; pembuat dapat dijatuhi pidana sesuai dengan yang diancam pada larangan tersebut. Dalam hukum pidana materil, terdapat misalnya larangan mencuri (pasal 362) atau larangan menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja (pasal 338). Pasal 362 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum atas hak milik kebendaan pribadi, dan Pasal 338 adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum terhadap hak hidup/nyawa orang. Fungsi umum setiap jenis dan macam hukum adalah fungsi mengatur. Fungsi mengatur ini terdapat dalam setiap macam hukum, karena pada dasarnya hukum itu berisi norma atau tentang norma. Agar norma itu mempunyai arti dan dapat ditaati dan dijalankan, maka disertai atau diikuti dengan adanya ancaman sanksi. Misalnya norma hukum yang mewajibkan orang yang berhutang untuk membayar hutangnya (hukum perdata), sanksi hukumnya ialah bila berhutang tidak membayar setelah diingatkan akan kewajibannya (somasi), maka sanksinya ialah ia akan digugat ke Pengadilan, di mana harta miliknya disita dan dilelang, yang hasilnya dibayar pada si berpiutang, dan tindakan-tindakan negara (melalui pengadilan) ini adalah 10 bersifat paksaan. Tetapi tindakan paksaan dari negara ini tidak dapat dilakukan, apabila negara tidak diminta oleh yang merasa dirugikan (si berpiutang). Lain halnya dengan sanksi hukum pidana. Bila telah terjadi perkosaan atas kepentingan hukum yang dilindungi, misalnya pasl 362 atau pasal 338, diminta atau tidak oleh korban atau keluarga korban negara tetap akan dan tetap harus melakukan perbuatan-perbuatan untuk mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi tadi, dalam hal ini Polisi sebagai penyidik akan melakukan penyidikan, kemudian jaksa penuntut akan melakukan penuntutan, dan hakim akan menjatuhkan sanksi secara konkrit dan nyata sesuai dengan pidana yang diancamkan dan norma pasal yang dilanggar tersebut. (Adami Chazawi, 2002:19). Kerasnya sanksi pidana ini dibandingkan dengan sanksi hukum selain hukum pidana, tidak saja dapat dilihat dari dan prosedure untuk menjatuhkannya, akan tetapi dengan mudah dapat dilihat dari jenis-jenis sebagaimana disebut dalam Pasal 10 KUHP. Misalnya pidana yang terberat (lihat pasal 69) adalah pidana mati, yang pelaksanaannya berupa penyerangan hak pribadi yang tiada tara harganya yang tidak dapat dinilai dengan apapun, yang sebenarnya hak itu dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Oleh sebab itu dapat dianggap bahwa, negara dalam menjalankan hukum pidana tiada lain adalah dengan melanggar hukum pidana itu sendiri. Negara dalam menjalankan norma pasal 362, berarti negara mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum atas milik kebendaan pribadi, misalnya dengan menjatuhkan 3 tahun pidana penjara kepada pelakunya, 11 maka sesungguhnya dengan tindakan ini negara telah melanggar hak atas kebebasan pribadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana sebagaimana dituangkan dalam pasal 333 KUHP. Inilah keistimewaan hukum pidana jika dibandingkan dengan hukum yang lainnya. Ad.2. Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penagkapan, penahanan, pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan berhari-hari, sampai yang paling tajam berupa menjatuhkan sanksi pidana kepada pelakunya. Dengan kekuasaan yang sangat besar ini, yaitu berupa hak untuk menjalankan pidana dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa kekuasaan yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh siapasiapa kecuali negara. Hak untuk menjatuhkan pidan ini adalah diatur dalam hukum pidana itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud ini tiada lain adalah memberi dasar legitimasi bagi negara, agar dapat menjalankan fungsi menegakkan dan melindungi kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi dengan sebaik-baiknya. Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini terutama terutama terdapat dalam hukum acara pidana. Dalam hukum acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang dilakukan negara dan bagaimana cara negara 12 mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana. Ad.3. Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuasaan Negara dalam rangka Menjalankan Fungsi Mempertahankan Kepentingan Hukum yang Dilindungi. Dalam menjalankan fungsi hukum pidana yang disebutkan kedua, hukum pidana telah memberikan hak dan kekuasaan yang sangat besar pada negara agar negara dapat menjalankan. Fungsi mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi dengan sebaik-baiknya. Sebaliknya dengan kekuasaan yang sangat besar itu akan sngat berbahaya bagi penduduk negara apabila tidak diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sebab akan menjadi bumerang bagi masyarakat dan pribadi manusia, perlakuan negara menjadi sewenang-wenang. Pengaturan hak dan kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka negara menjalankan fungsi memeprtahankan kepentingan hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum masyarakat itu adalah wajib. E. ASAS LEGALITAS Setiap orang yang akan menjalankan Undang-undang hukum pidana hendaknya wajib memperhatikan asas hukum yang dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP. Ketentuan pasal ini memuat tiang penyanggah dari hukum pidana. Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari 13 perbuatan itu”. Ketentuan ayat ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan: “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali” yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya yang dikenal dengan nama teori “vom psychologischen zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. (Moeljatno, 2002: 25). Dengan cara demikian ini, maka orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan padanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian, yaitu: 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. 3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan undang-undang yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas terlihat dalam Pasal 1 KUHP, wettelijke strafbepaling (aturan pidana dalam perundangan). Tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan 14 pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan tertulis. Dalam menentukan ada tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas) pada umum masih dipakai oleh kebanayakan negara-negara. Asas larangan berlaku surut sudah ditentukan untuk segala bidang hukum, yaitu pasal 2 dari Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan). Asas ini diulangi untuk hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam kodifikasi hukum pidana, menadakan bahwa larangan berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan bagi hukum pidana. F. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup berlakunya hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya aturan hukum, yaitu: 1. Asas Teritorialitas (Teritorialitas beginsel) Ketentuan asas ini dicantumkan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Ketentuan pidana dalam undangundang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di dalam wilayah Indonesia melakukan tindak pidana”. Berdasarkan ketentuan pasal ini tegas bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, maka baginya dikenakan aturan pidana yang dicantumkan dalam undang-undang Indonesia. Yang menjadi ukuran di sini bukan warga negara Indonesia saja yang dikenakan aturan pidana Indonesia melainkan “tindak pidananya terjadi di 15 dalam wilayah Indonesia”. Jadi bagi orang asing sebagai penghuni Indonesia, artinya selama berada di salah satu wilayah Indonesia, kalau melakukan tindak pidana terhadapnya akan dikenakan hukum pidana Indonesia. Selain dari penegasan berlakunya aturan pidana Indonesia di dalam wilayah juga ketentuan itu diperluas dengan ketentuan pasal 3 yang menyatakan bahwa “Ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia di atas bahtera Indonesia melakukann tindak pidana”. Pengluasan aturan pidana menurut ketentuan pasal 3 ini untuk menyatakan suatu kepastian hukum bahwa setiap kapal yang berbendera Indonesia dan bergerak di luar wilayah teritorial, maka aturan pidana terus mengikutinya. Tetapi tidak berarti bahwa kapal yang berbendera Indonesia itu adalah Wilayah Republik Indonesia: hanya saja ukuran yang dipakai dalam hal ini adalah “alat pelayaran” dan “alat udara” Indonesia. 2. Asas Nasionalitas Aktif (actief nationaliteits beginsel) Aturan pidana Indonesia tujuannya untuk melindungi kepentingan umum (nasional). Kalau pasal 2 dan 3 hanya untuk kepentingan wilayah saja, berarti kurang cukup berhubung “nation”nya akan diabaikan. Karena itu KUHP menetapkan juga tentang kepentingan nasionalnya. Asas kepentingan nasional dalam aturan pidana disebut “Nasionalitas Aktif” atau “Asas Personalitas (personaliteit beginsel) dan dicantumkan dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa: Ayat 1: Ketentuan dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia melakukan: 16 1. Salah satu kejahatan yang dituangkan pada Bab I dan II Hukum ke dua dan pasal 160, 16, 240, 279, 450 dan 451. 2. Suatu peristiwa yang dipandang sebagai kejahatan yang menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam Undangundang Indonesia dan dapat dipidana menurut undangundang negara tempat perbuatan itu dilakukan. Ayat 2: Penuntutan terhadap suatu peristiwa yang dimaksudkan pada ke-2 itu boleh juga dijalankan jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia sesudah melakukan peristiwa itu. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka bagi warga negara yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia yang menyangkut keamanan negara, kedudukan Kepala Negara, penghasutan untuk melakukan tindak pidana, tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan melebihi jumlah yang ditentukan dan pembajakan, maka pelakunya dapat dituntut menurut aturan hukum pidana Indonesia oleh pengadilan Indonesia. Kepentingan nasionalnya di sini terlihat agar pelaku tindak pidana yang warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar Indonesia, tidak diadili dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa itu. Terhadap asas personalitas ini ada pembatasan hukumannya yang dicantumkam dalam pasal 6 dan menyatakan bahwa “Berlakunya pasal 5 yat 1 sub 2 itu dibatasi hingga tidak boleh diajtuhkannya pidana mati untuk peristiwa yang tidak diancam dengan hukuman mati menurut undang-undang negara tempat peristiwa itu dilakukan”. Ketentuan ini untuk melindungi individu sebagai pelaku tindak pidana tertentu di luar wilayah Indonesia yang perbuatannya di negara yang bersangkutan 17 tidak ada aturan pidana yang mengancam dengan hukuman mati. Maka bagi pelaku tindak pidana itu tidak dapat diancam dengan hukuman mati oleh Penuntut Umum dalam sidang pengadilan Indonesia walaupun aturan hukum pidananya tercantum ancaman hukuman mati. 3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nasionaliteits beginsel) Asas ini juga disebut “asas perlindungan” G. ILMU HUKUM PIDANA Pada dasarnya ilmu hukum pidana dapat dibedakan antara: ilmu hukum pidana dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit, doktrin atau ilmu hukum yang pada dasarnya mempelajari dan menjelaskan perihal hukum pidana yang berlaku atau hukum pidana positif dari suatu negara (ius constitutum), jadi bersifat dogmatis. Bahan kajian ilmu hukum pidana dalam arti sempit adalah hukum positif yang sedang berlaku. Hukum Pidana terdiri dari norma-norma. Doktrin hukum pidana bahkan doktrin hukum pada umumnya sangat berpengaruh dan bahkan menjadi landasan dibentuknya norma hukum pidana. Oleh sebab itu dalam hal ini tugas ilmu hukum pidana adalah berusaha merumuskan dan menjelaskan asas-asas yang menjadi dasar bagi norma-norma yang berlaku, baik mengenai aturan umumnya maupun aturan khusus mengenai asas yang satu dengan yang lain kemudian menyatukannya kedalam sebuah sistem yang bulat, yang semua itu diperlukan untuk dapat menjelaskan perihal norma-norma yang sedang berlaku tadi. Kajian ilmu hukum pidana diatas adalah berupa kajian klasik. 18 Dalam arti luas ilmu hukum pidana, tidak saja terbatas pada kajian dogmatis sebagaimana yang diterangkan menjelaskan perihal norma-norma hukum yang sedang berlaku saja akan tetapi juga meliputi: 1. Bidang-bidang mengapa norma-norma yang berlaku itu dilanggar, kajiannya tidak terfokus pada normanya saja tapi pada sebab-sebab mengapa norma itu dilanggar, dan kemudian bagaimana upaya agar norma itu dilanggar. Kajian bidang ini telah merupakan ilmu tersendiri yang disebut dengan kriminolgi. 2. Juga menjadi bahan kajian ilmu hukum pidana ialah tentang hukum yang akan dibentuk atau hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). Walaupun kriminologi telah diakui sebagai kajian ilmu tersendiri, tetap tidak lepas dari ilmu hukum pidana, bahkan sebagai ilmu pembantu atau melengkapi ilmu hukum pidana amat berguna dalam praktik menerapkan norma hukum pidana oleh pengadilan dalam usaha mencapai keadilan. Keadilan disamping kepastian hukum dalam arti ketetapam dalam penerapan hukum adalah tujuan utama mempelajari hukum pidana. (Adami Chazawi, 2002: 22). Setelah norma-norma dibentuk dan diberlakukan secara formal, tidak dapat menghindari dan ditemukannya beberapa kelemahan atau kekurangan dalam norma tadi. Ditemukannya kelemahan ini dapat disebabkan beberapa macam, antara lain karena pertumbuhan dan perkembangan nilai-nilai dalam masyarakat yang berakibat norma hukum itu tidak lagi menunjang keadilan dan ketertiban, atau ditemukan atau dicita-citakan (ius constitendum) adalah suatu keharusan. Dalam ini juga menjadi kajian dari ilmu hukum pidana modern. 19 RANGKUMAN Hukum pidana dapat dibagi: 1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi) Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk: a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah diancam. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. (Moeljatno, 1987:4) Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: “Tiada suatu perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari perbuatan itu”. Ketentuan ayat ini memuat asas yang tercakup dalam rumusan: “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali” yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. LATIHAN 1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum pidana. 2. Jelaskan perbedaan antara tujuan dan fungsi hukum pidana. 20 3. Jelasskan unsur-unsur yang terdapat dalam asas legalitas. 4. Jelaskan perbedaan antara asas nasionaliteit aktif dengan asas nasionaliteit pasif. GLOSSARIUM 1. “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali” yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu. 2. “Strafrecht”. Straf berarti Pidana Recht berati hukum. Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman 3. wettelijke strafbepaling (aturan pidana dalam perundangan) DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Kansil, CST 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Jakarta, PN Balai Pustaka. Kartanegara, Satochit, Hukum Pidana I, Balai Lektur Mahasiswa, tt. Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, Moeljatno 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta. Wirjono Prodjodikoro.2003. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung. 21 BAB II STELSEL PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami mengenai: Pengertian dan Jenis-jenis Pidana, Pidana Bersyarat, dan Pelepasan Bersyarat. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan pengertian stelsel pidana. 2. Menjelaskan perbedaan antara pidana denagn tindak pidana. 3. Menjelaskan jenis-jenis pidana yang diatur dalam KUHP. 4. Menjelaskan pengertian pidana bersyarat 5. Menjelaskan pengertian pelepasan bersyarat. A. PENGERTIAN PIDANA Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu berupa penderitaan. Perbedaannya hanyalah, penderitaan pada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana. Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. 22 Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan bukan tujuan hukum pidana, yang apabila dilaksanakan tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan terhadap kepentingan hukum yang dilindungi. Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana. B. JENIS-JENIS PIDANA Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok: a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Denda Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan pidana tutupan berdasarkan UU Nomor 20 tahun 1946. Pidana tambahan terdiri dari: a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman keputusan hakim. Berdasarkan pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok, berat atau ringannya bagi pidana yang tidak sejenis didasarkan pada urut-urutannya dalam rumusan Pasal 10 tersebut. 23 Stelsel pidana Indonesia berdasarkan KUHP mengelompokkan jenis pidana ke dalam Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Adapun perbedaan jenis pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut: (Adami Chazawi, 2000:26). 1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif) sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan menyakinkan, hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan, artinya imperatif. Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat dalam setiap rumusan tindak pidana, di mana dalam rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua kemungkinan, yaitu: (a) diancamkan satu jenis pidana pokok pidana saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan jenis pidana pokok yang lain); dan (b) tindak pidana yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok, dimana sifatnya alternatif, artinyanhakim harus memilih salah satu saja. Sementara, menjatuhkan pidana tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif). Apabila menurut penilaian hakim, kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana tambahan (misalnya 242 ayat 4 yang diancam dengan pidana 24 tambahan: pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35) yang didakwakan jaksa penuntut umum telah terbukti, hakim boleh menjatuhkan dan boleh juga tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut. Walaupun dasarnya penjatuhan jenis pidana tambahan itu bersifat fakultatif, tetapi ada juga pengecualiannya, dimana penajtuhan pidana tambahan menjadi bersifat imperatif, misalnya terdapat pada Pada 250 bis, 261 dan 267. 2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok. Sesuai dengan namanya (pidana tambahan), penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menajtuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancam pada tindak pidana yang bersangkutan, artinya jenis tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok. Sementara itu, menjatuhkan jenis pidana pokok dapat berdiri sendiri, tanpa harus menjatuhkan jenis pidana tambahan. Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yang demikian, ada juga pengecualiannya, yakni di mana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama 25 jenis pidana pokok, tetapi bersama dengan tindakan seperti pada Pada: 39 ayat 3, 40. (Adami Chazawi, 2000:27). 3. Jenis pidana pokok yang diatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie). Pengecualiannya apabila pidana yang dijatuhkan itu adakah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan, misalnya pidana pencabutan hak tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Di samping sifat-sifat jenis pidana tambahan sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi sifat yang merupakan prinsip dasar pidana pokok, yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pembentuk UU, sebagaimana dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda. (Lamintang, 1984:47). Tentang larangan penajatuhan pidana secara kumulasi dan jenis perkara pokok ini, sesungguhnya sudah ternyata dari merumuskan dan mencantumkan pidana yang diancamkan pada setiap rumusan baik kejahatan maupun pelanggaran, dimana: 26 1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja; 2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yang diancam dengan lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sebagai bersifat alternatif, dengan menggunakan perkataan atau. C. Jenis-jenis Pidana Pokok a. Hukuman Mati Baik berdasarkan Pasal 69 maupun berdasarkan hak tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa peneyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri. Pembentuk Undang-undang pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana telah diuraikan tersebut. Oleh karena itulah, walaupun pidana mati dicantumkan dalam Undang-undang, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht (JE. Jonkers, 187:294). Tiada lain maksudnya agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati hanyalah pada kejahatankejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlah sangat terbatas, seperti: 1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (104, 111 ayat 2, 123 ayat 3 jo 129); 27 2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orangorang tertentu dan atau dilakukan dengan faktorfaktor pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340; 3. Kejahahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2) 4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444). Disamping itu sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah memberikan semua isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penajara terbatas maksimal 20 tahun. Dengan disediakannya hukuman alternatif, maka bagi hakim tidak selalu harus selalu menajtuhkan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatn yang diancam dengan pidana mati tersebut. Berdasarkan kebebasan hakim, ia bebas dalam memilih apakah akan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat ringannya apabila hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung dari banyak faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara konkrit. Pembentuk undang-undang menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap pidana mati yang diancam dalam rumusan kejahatan dengan pertimbangan bahwa 28 bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan. Oleh karena itu jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana mati, ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatif. (Adami Chazawi, 2000: 32). Pelaksanaannya hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati, yang pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam undang-undang Nomor 2 (PNPS) tahun 1964. b. Hukuman Penjara Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum dalam menjalankan hukumannya sesuai dengan putusan hakim. Tempat terhukum yang ada sekarang merupakan peninggalan penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur terdiri dari kamar-kamar kecil yang satu sama lainnya tidak dapat berhubungan. Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya menjalani hukuman itu. Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur serta kewajiban mengikuti bimbingan mental rohaniah dan ketrampilan. Terhukum selama menjalankan hukuman ada yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukuman terbatas itu sekurang-kurangnya satu hari dan 29 selama-lamanya lima belas tahun. Kalau ada hukuman yang lebih dari lima belas tahun dan kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman plus karena rangkaian kejahatan yang dilakukan (Pasal 52). c. Hukuman Kurungan Dalam beberapa hal kurungan adalah sama dengan hukuman penjara, yaitu: 1. Sama, berupa hukuman hilang kemerdekaan bergerak. 2. Mengenal hukuman maksimum, maksimum khusus dan minimum, dan tidak mengenal minimum khusus. 3. Orang yang dipidana kurungan dan pidan penjara diwajibkan untuk menjalan pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan lebih ringan daripada narapidana penjara. 4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan, yang harus dipisahkan (Pasal 28) 5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan hukum tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Akan tetapi, apabila pada saat putusan dibacakan, terpidana kurungan maupun penjara sudah berada dalam tahan sementara sehingga putusan itu mulai berlaku pada 30 hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila: 1. Putusan diterima baik oleh terpidana maupun oleh jaksa penuntut umum ketika putusan itu dibaca dimuka sidang yang terbuka untuk umum; 2. Apabila ketika putusan dibaca, terpidana atau jaksa penuntut umum menyatakan masih mempertimbangkan dan dalam tenggang waktu tujuh hari tidak menyatakan sikapnya, putusan itu menjadi mempunyai kekuatan hukum tetap setelah lewat waktu tujuh setelah hari putusan dibacakan. Menurut ketentuan Pasal 33 ayat 1 hakim berwenang untuk mempertimbangkan masa tahanan sementara sebagai bagian dari lamanya masa pidana yang dijalankan, yang dalam praktik hukum selama ini selalu diberlakukan karena masa tahanan sementara menjadi lama berhubung penyelesaian perkara pada umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Perbedaan penting antara pidana kurungan dengan pidana penjara ialah: bahwa orang dikenakan pidana dapat dipindahkan kemana saja untuk menjalani pidananya, sedangkan yang dipidana kurungan tanpa persetujuannya tidak dapat dipindahkan ke luar daerah dimana ia bertempat tinggal pada waktu ia dijatuhi pidana, perbedaan kedua ialah berupa pekerjaan yang lebih ringan, hak orang dipidana kurungan untuk memperbaiki keadaannya atas biaya sendiri. Hak inilah yang sering disebut dengan pistole. 31 Adapun minimum hukum kurungan adalah satu hari, sedangkan maksimal hukuman kurungan adalah satu tahun. Waktu satu tahun dapat dinaikkan menjadi paling lama satu tahun empat bulan, dalam hal perbarengan, pengulangan, dan yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a. Ternyata dewasa ini pidana kurungan jarang diterapkan, namun kadangkala terjadi berhubung karena melanggar Pasal 504 KUHP yaitu pengemisan. d. Hukuman Denda Terhadap hukuman denda, undang-undang tidak menentukan maksimal umum, hanya minimalnya yang ditentukan yaitu dua puluh lima sen. Tidak ditentukannya dengan tegas siapakah yang harus membayar. Jika denda tidak dibayar, dapat diganti dengan hukuman kurungan pengganti denda atau kurungan subsidair. Menurut aturan yang berlaku, siterhukum bebas memilih apakah ia akan membayar atau tidak. Biarpun ia mampu membayar, ia dapat memilih untuk menjalani hukuman kurungan pengganti denda. Lamanya pidana kurungan pengganti denda, ditentukan dalam putusan. Minimal umum kurungan pengganti denda adalah satu hari dan masimal enam bulam (Pasal 30 ayat 3). Maksimal hukuman dapat dinaikkan sampai delapan bulan dalam hal perbarengan, pengulangan atau seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a (Pasal 30 ayat 3). Mengenai penentuan lamanya waktu, dalam jangka waktu mana denda harus diabayar, diserahkan kepada kebijaksanaan pegawai yang menjalankan putusan.ini 32 dimulai dengan penentuan waktu selama dua bulan, jangka waktu ini dapat diperpanjang sampai paling lama satu tahun. e. Pidana Tambahan Pidana tambahan dapat diajtuhkan hanyalah bersama-sama dengan pidana pokok. Berbeda dengan penjatuhan pidana pokok, penjatuhan pidana tambahan ini pada dasarnya fakultatif. Jadi pidana ini dapat dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undangundang, tetapi tidaklah harus. Apabila undang-undang memungkinkan dijatuhkannya pidana tambahan, maka hakim harus selalu mempertimbangkan, apakah dalam perkara yang dihadapinya itu dipandang perlu atau sebaliknya diajtuhkan pidana tambahan itu. Tentu saja beberapa pengecualian, yaitu pidana tambahan ini imperatif, seperti: Pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP. Pidana tambahan itu adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. D. PIDANA BERSYARAT Pidana bersyarat mulai dikenal sejak tahun 927. Jadi lembaga ini adalah jauh lebih baru jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kepidanaan lainnya. Hal yang mendorong munculnya lembaga ini adalah pikiran-pikiran baru tentang pencegahan kejahatan. Salah satu kebaikan dari lembaga ini, bahwa pengurungan mereka dalam penjara dengan pengaruhnya yang merusak atas kehidupan kekeluargaan dan kemasyarakatan mereka dapat dihindarkan. Bukankah politik yang baik dimana pada mulanya merusak kehidupan 33 seseorang dan kemudian memerintahkan pula membangun orang itu sendiri dan hidup kemasyarakatannya. Pidana bersyarat berdasarkan pada dua pokok pikiran yang berbeda yaitu Inggris, Amerika dan Belgia, Perancis. Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah campuran dari kedua sistem tersebut. Bentuk terutama mengikuti sistem Belgia-Perancis. Penjatuhan pidana adalah tidak bersyarat, jadi pasti. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa terdakwa bersalah, tetapi juga telah menetapkan pidananya. Hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim) ditiadakan dengan bersyarat. Selanjutnya diadakan pula syarat-syarat khusus yang harus ditaatinya, maupun pengawasan-pengawasan. Ini diambil dari sistem InggrisAmerika. Sebelum timbul lembaga pidana bersyarat, dalam praktek sudah pula dikenal hal “tidak dituntut dengan bersyarat”. Lembaga ini merupakan lanjutan dari hak penuntut umum untuk tidak menuntut sesuatu perbuatan pidana (asas opportuniteit). Terhadap asas ini, lalu ditambah dengan syarat-syarat tertentu. Pasal 14a ayat 4 KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu: bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini diadakan. Selanjutnya ayat terakhir Pasal 14a mengharuskan hakim supaya dalam putusannya menyatakan keadaan atau alasan mengapa dijatuhkan pidana bersyarat. Pidana yang dijatuhkan adalah pasti, hanya saja pidana yang dijatuhkan 34 itu tidak akan dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang tertentu, sebaliknya pidananya tetap akan dijalankan jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi. E. PELEPASAN BERSYARAT Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari putusan pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksnakan ini terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat. Sebagai syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus telah menjalani tiga perempat dari pidananya dan paling sedikit 3 tahun sehingga pelepasan bersyarat hanhya dapat digunakan terhadap pidana penjara yang lama. Kemudian lamanya waktu itu diperpendek. Dengan S. 1925-251 jo 486 lamanya pidana yang sebenarnya dan sedikitnya 9 bulan. Didalamnya tidak termasuk waktu dalam tahanan, tetapi hanya waktu yang dijalani sebagai pidana saja. Jadi pelepasan bersyarat tidak mungkin diadakan terhadap pidana seumur hidup sebab 2/3 dari seumur hidup itu tidak dapat diperhitungkan. Jika terpidana seumur hidup akan dikenakan pelepasan bersyarat, maka jalan yang dapat ditempuh melalui pemberian grasi, sehingga pidana seumur hidup dijadikan pidana penjara sementara waktu. Barulah kemudian diadakan pelepasan bersyarat. Mereka yang tidak berkelakuan baik tidak akan diberikan pelepasan bersyarat. Pelepasan bersyarat terdiri dari syarat umum dan khusus. Isi syarat umum ialah terhukum tidak akan melakukan perbuatan pidana atau berkelakuan tidak baik lainnya. Yang dimaksud dengan berkelakuan tidak baik, misalnya: hidup yang tidak teratur atau bermalas-malasan, bergaul dengan orang yang tidak baik. Syarat khusus, harus mengenai kelakuan terhukum dan ini tidaklah merupakan 35 keharusan, artinya boleh diadakan dan boleh ditiadakan, karena itulah maka syarat-syarat ini diadakan berbeda-beda menurut kejadian masing-masing. Pihak Lembaga Pemasyarakatan yang mengusulkan pada Menteri Hukum dan HAM bagi seseorang selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1), untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat, juga didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain: 1. Sifat tindak pidana yang dilakukan; 2. Pribadi dan riwayat hidup narapidana; 3. Kelakuan narapidana selama pembinaan; 4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia dibebaskan; 5. Penerimaan masyarakat di mana ia akan bertempat tinggal. Apabila seseorang telah diberikan surat keputusan pelepasan bersyarat, maka diberikan maka diberikan masa percobaan yang lamanya lebih satu tahun dari sisa pidana yang belum dijalaninya (Pasal 15 ayat (3)). Dalam masa percobaan ini narapidana diberikan syarat-syarat tentang kelakuannya setelah ia dilepas. Syarat ini ada dua macam, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum berisi keharusan bagi narapidana selama masa percobaan itu tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan-perbauatan tercela lainnya. Perbuatan tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya pnegertian lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi bersenang-senang ke tempat pelacuran atau hiburan malam, 36 seperti diskotik, dugem, bergaul dengan penjahat, preman dan lainnya. Sementara itu syarat khusus adalah segala macam ketentuan perihal kelakuannya, asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah agamanya. Selama masa percobaan syarat-syarat khusus bisa diubah, dan dapat juga dicabut, dapat ditetapkan syarat istimewa. Begitu juga dalam masa percobaan, pengawasan dapat diserahkan pada pihak lain yang bersifat istimewa, selain lembaga khusus yang mengawasinya (BAPAS). Disamping pelepasan bersyarat, keringanan pelaksanaan hukuman dapat juga dilakukan dengan remisi. Remisi adalah pengurangan pelaksanaan pidana yang dapat diberikan pada narapidana, yang biasanya diberikan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI dan Hari Keagamaan. Alasan pemberian remisi adalah yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana di lembaga Pemasyarakatan. RANGKUMAN Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang berisi antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana. Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana Pokok: a. Pidana mati b. Pidana penjara c. Pidana kurungan d. Denda 37 Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan pidana tutupan berdasarkan UU Nomor 20 tahun 1946). Pidana tambahan terdiri dari: a. Pencabutan hak-hak tertentu; b. Perampasan barang-barang tertentu; c. Pengumuman keputusan hakim. Pidana bersyarat berdasarkan pada dua pokok pikiran yang berbeda yaitu Inggris, Amerika dan Belgia, Perancis. Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah campuran dari kedua sistem tersebut. Bentuk terutama mengikuti sistem Belgia-Perancis. Penjatuhan pidana adalah tidak bersyarat, jadi pasti. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa terdakwa bersalah, tetapi juga telah menetapkan pidananya. Hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim) ditiadakan dengan bersyarat. Selanjutnya diadakan pula syarat-syarat khusus yang harus ditaatinya, maupun pengawasan-pengawasan. Ini diambil dari sistem InggrisAmerika. Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari putusan pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksnakan ini terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat. Sebagai syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus telah menjalani tiga perempat dari pidananya dan paling sedikit 3 tahun sehingga pelepasan bersyarat hanhya dapat digunakan terhadap pidana penjara yang lama. LATIHAN 1. Jelaskan perbedaan antara tindak pidana dengan pidana. 2. Jelaskan jenis-jenis pidana/hukuman yang daiatur dalam KUHP. 38 3. Jelaskan perbedaan antara hukuman penjara dengan hukuman kurungan. 4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukuman bersyarat 5. Jelaskan syarat-syarat agar seorang pidana narapidana dapat diberikan pelepasan bersyarat. GLOSSARIUM Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde zaak). Pistole adalah hak orang dipidana kurungan untuk memperbaiki keadaannya atas biaya sendiri. Asas opportuniteit adalah hak penuntut umum untuk tidak menuntut sesuatu perbuatan pidana. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Jonkers, J.E. 1987.Hukum Pidana Hindia Belanda, (Judul Asli: Handbook van het Nederlandsch Indische Strafrecht), Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, PT Bina Aksara, Jakarta Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung Moeljatno. 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta 39 BAB III PERBUATAN PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu memahami mengenai: Perbuatan pidana, unsur-unsur perbuatan pidana, cara-cara merumuskan tindak pidana, dan waktu dan tempat pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mahasiswa mampu: 1. Mengungkapkan apa yang dimaksud dengan perbuatan pidana. 2. Menjelaskan unsur-unsur perbuatan pidana dan mampu membedakan tentang Error, Schuld, Culpa. 3. Menjelaskan bagaimana cara-cara merumuskan tindak pidana. 4. Menjelaskan jenis-jenis hukuman yang diatur dalam KUHP. 5. Menjelaskan tentang waktu dan tempat pidana. A. PERBUATAN PIDANA Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang diatur dalam hukum pidana. Menurut Bambang Poernomo maksud diadakannya istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana dan sebagainya adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing strafbaar feit. (Bambang Purnomo, 1994). Moeljatno yang mengutip pendapat Simons menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat 40 melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf waardig) dan dilakuklan dengan kesalahan. (Moeljatno, 2000:7). Pembentuk undang-undang tidak mengadopsi istilah strafbaar feit, jika diadopsi mentah-mentah istilah dan makna strafbaar feit sebagaimana dikemukakan oleh Simon dan Van Hamel di atas, maka istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, untuk mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku. Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan pidana”, memberi makna perbuatan pidana adalah : Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut”. Makna perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno berbeda dengan makna istilah strafbaar feit seperti yang dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel di atas, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar. (Moeljatno, 2000:7) Makna istilah “perbuatan pidana” yang dikemukakan Moeljatno di atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang berada dalam dimensi rumusan 41 peraturan pidana belum keluar menjadi perbuatan nyata yang dilakukan orang. Lebih lanjut Ketut Wirawan mengatakan bahwa: Perbuatan pidana sering disebut dengan beberapa istilah seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict. Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat dikenakan hukuman pidana. Kapan suatu peristiwa hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana. (Ketut Wirawan, 2009:8). Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif dan unsur subyektif. Dua unsur yang harus dipenuhi untuk menentukan adanya suatu perbuatan pidana adalah: 1. unsur obyektif, yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya. Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah tindakannya. 2. unsur subyektif, yaitu adanya perbuatan seseorang atau beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak dikehendaki oleh undang-undang. Menjadi titik utama dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang atau beberapa orang yang melakukan tindakan. (Moeljatno, 2000:8) Syarat yang harus dipenuhi (sebagai unsur obyektif dan subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa pidana ialah: (1) Harus ada perbuatan orang atau beberapa orang. Perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai sesuatu yang merupakan peristiwa; 42 (2) Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum; (3) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan dalam ketentuan hukum; (4) Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan; (5) Harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan yang dilakukan yang termuat dalam peraturan hukum yang berlaku. (Moeljatno, 2000:9) Perbuatan pidana ini menurut sifat dan wujudnya adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum sehingga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan terlaksananya tata tertib dalam pergaulan masyarakat yang baik dan adil. Menurut Simon sebagaimana dikutip oleh Djoko Prakoso: Hukum pidana adalah perintah dan larangan yang diadakan oleh negara dengan suatu nestapa (pidana). Sedangkan hukum pidana menurut Van Hamel adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut. (Djoko Prakoso, 1988:20) Di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas, yaitu apa yang sering disebut dengan Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali (tidak ada orang yang dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang sudah ada sebelumnya). Di dalam asas hukum ini hanya ditentukan bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau 43 ditangkap selain dengan dan dalam peristiwa-peristiwa dalam undang-undang. B. TEORI TENTANG TENTANG FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA Hukum selama ini dipahami hanya sebagai perangkat norma atau kaedah belaka yang sifatnya idealitas sebagai patokan mengenai sikap tindak atau perilaku masyarakat. Karena tidak dipahami sebagai tindak atau perilaku yang teratur sehingga wajar saja hukum kita bersifat formalistik dan legalistik. Hal ini tercermin dari praktek penegakan hukum (law enforcement) di dalam masyarakat yang mengedepankan hukum dalam arti positif semata. Oleh karena itu, hukum dibuat harus konkret atau harus di konkretisasikan. Masyarakat harus mengetahui keberadaan hukum tersebut, untuk apa (tujuan) hukum itu diberlakukan, apakah ada kepentingan mereka yang dilindungi oleh hukum tersebut dan bagaimana hukum itu diberlakukan dan apa sanksinya. Pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang berlaku membantu menghindari masyarakat dari rasa curiga (prejudice) ataupun apriori. Selanjutnya hukum harus dapat memberikan kejelasan tentang sanksinya bila hukum itu dilanggar. Sanksi dapat merupakan suatu sarana untuk membuat orang merasa takut untuk melanggar. Dalam hal tujuan penerapan sanksi pidana untuk mencapai tujuan untuk mencapai kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan van Apeldoorn mengatakan bahwa : Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai, hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan 44 melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu, yaitu kehormatan kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain, kalau tidak diatur oleh hukum untuk mencapai kedamaian. Dan hukum mempertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya. (Van Apeldoorn, 1958:20) Pendapat Van Apeldoorn tersebut sejalan dengan pendapat Utrecht mengenai kepastian hukum. Utrecht mengatakan bahwa : Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (rechtszerkerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lainnya, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga, yaitu hukum bertugas polisionil (politionele van het recht). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrechting). (Utrecht, 1958: 21) Berdasarkan teori tersebut, maka jelas bahwa peraturan perundang-undangan yang baik akan dapat mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi semua orang termasuk ketentuan yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik. Tuntutan akan kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatan ini terus berkembang dan menjadi suatu kebutuhan yang mutlak. 45 C. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA. Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, tidak dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudat pandang yakni: (1) dari sudut teoritis dan (2) dari sudut Undang-undang. Maksud teoritis ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada bunyi rumusannya. Sedangkan sudut UU adalah bagaimana kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang ada. a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi Dimuka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana yang disusun oleh para ahli hukum baik menganut paham dualisme maupun paham monisme. Unsur-unsur apa yang ada dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan tindak pidana oleh teoritis yang telah dibicarakan dimuka, yakni : Moeljatno, R. Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah : a. Perbuatan; b. Yang dilarang (oleh aturan hukum) c.Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan) Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian perbuatan pidana. 46 Dari rumusan R.Tresna dimuka, tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni : a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia); b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan; c. Diadakan tindakan penghukuman. Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman (pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan demikian dijatuhi pidana. Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan UU selalu diikuti dengan pidana, namun dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat (subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat dijatuhkannya pidana. Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsurunsur tindak pidana adalah : 1. Kelakuan manusia; 2. Diancam dengan pidana; 3. Dalam peraturan perundang-undangan. Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak pidana itu adalah : perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam UU, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsurunsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, sematamata mengenai perbuatannya. Akan tetapi jika dibandingkan dengan pendapat penganut paham monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil dua rumusan saja yang dimuka telah dikemukakan, ialah Jonkers 47 (penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak pidana adalah : a. Perbuatan (yang); b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan); c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat); d. Dipertanggungjawabkan. Sedangkan Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. Kelakuan (orang yang); b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum; c. Diancam dengan hukuman; d. Dilakukan oleh orang (yang dapat); e. Dipersalahkan/kesalahan; Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak berbedabeda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah: tidak memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan unsur yang mengenai diri orangnya. b. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam UU Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu yang masuk dalam kelonpok kejahatan, dan Buku III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti pasal 351 (penganiayaan). Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan bertanggung jawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsurunsur lain baik/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan tertentu. 48 Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu : a. Unsur tingkah laku. b. Unsur melawan hukum. c. Unsur kesalahan d. Unsur akibat konstitutif. e. Unsur keadaan yang menyertai. f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana. g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana. h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana. Dari 8 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan melawan hukum adalah berupa hukum objektif. Mengenai unsur melawan hukum, misalnya melawan hukumnya perbuatan mengambil pada pencurian (362) adalah terletak bahwa dalam mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan hukum objektif). Atau pada 251 pada kalimat “tanpa izin pemerintah”, juga pada pasal 253 pada kalimat “menggunakan cap asli secara melawan hukum”. Adalah berupa berupa melawan hukum obyektif. Tetapi ada juga melawan hukum subyektif misalnya melawan hukum dalam penipuan (oplichting, 378), pemerasan (afpersing, 368), pengancaman (afdreiging, 369) di mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (372) yang bersifat subyektif, artinya bahwa terdapatnya kesadaran bahwa memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaanya itu adalah merupakan celaan masyarakat. Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan hukum obyektif atau subyektif, bergantung dari bunyi redaksi rumusan tindak pidana yang bersangkutan. 49 Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni semua unsur mengenai pembuatannya, akibat perbuatan dan keadaankeadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek tindak pidana. Sedangkan unsur yang bersifat subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. D. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut: 1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran (overtredingen) dimuat dalam buku III 2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten) 3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten) 4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis) 5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama/berlangsung terus 6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus 50 7. Dilihat dari sudut hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia), yang dapat dilakukan oleh siapa saja, dan tindak pidana propria (dapat dilakukan hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu 8. Berdasarkan perlu tidaknya pengadua dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten) 9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten) 10. Berdasarkan kepentingan hukum yan dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain sebagainya 11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten). 1. Kejahatan dan Pelanggaran Dalam WvS Belanda (1886) telah terdapat pembagian tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran, yang berdasarkan asas concordantie dioper ke dalam WvS Hindia Belanda (1918), kini KUHP sebelum WvS tahun 1886, di Belanda dikenal tiga jenis tindak pidana, yaitu misdaden (kejahatan), wanbedrijven (perbuatan tercela) dan overtredingen (pelanggaran), yang mendapat pengaruh dari Code Penal Perancis 91810), yang 51 membedakan tindak pidana ke dalam tiga jenis, yakni crime (kejahatan), celits (perbuatan tercela) dan contravention (pelanggaran). Apakah dasar perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran? Mengenai hal ini, dapat disimpulkan dari keterangan MvT bahwa pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataanya di dalam masyarakat terdapat perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya memang sudah tercela dan pantas untuk dipidana, bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh UU, dan juga ada perbuatan yang baru bersifat melawan hukum dan dipidana setelah UU menyatakan demikian. Untuk yang pertama tersebut dengan rechtsdelicten, dan untuk yang kedua disebut dengan wetsdelicten (D. Simons, 1992:138). Disebut dengan rechtsdelicten atau tindak pidana hukum, yang artinya sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya dalam UU melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam UU. Walaupun sebelum dimuat dalam UU pada kejahatan telah mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada masyarakat, jadi berupa melawan hukum materiil. Sebaliknya, wetsdelicten sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam UU. Sumber tercelanya wetsdelicten adalah undang-undang. Dasar pembedaan itu memiliki titik lemah karena tidak menjamin bahwa seluruh kejahatan dalam buku II itu bersifat demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung sifat terlarang karena dimuatnya dalam UU. Apapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran, yang pasti jenis pelanggaran itu lebih ringan dari pada kehatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa 52 pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara. Dengan dibedakannya tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran secara tajam dalam KUHP, terdapat konsekuensi berikutnya dalam hukum pidana materiil, antara lain sebagai berikut: a. dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terdapat percobaan melakukan kejahatan saja, dan tidak pada percobaan pelanggaran b. mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal pelanggaran c. asas personaliteit hanya berlaku pada warga negara RI yang melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) di luar wilayah hukum RI yang menurut hukum pidana negara asing tersebut adalah berupa perbuatan yang diancam pidana(pasal 5 ayat 1 sub 2) d. dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus atau para komisaris hanya dipidana apabila pelanggaran itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka , jika tidak pengurus, anggota pengurus atau komisaris itu tidak dipidana. Hal ini tidak berlaku pada kejahatan. e. Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan pidana terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada jenis kejahatan saja, dan tidak pada jenis pelanggaran f. Dalam hal tenggang waktu kedaluarsa hak negara untuk menuntut pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran relatif lebih pendek daripada kejahatan g. Hupusnya hak negara untuk melakukan penuntutan pidana karena telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum sesuai yang diancamkan serta biaya-biaya yang telah 53 h. i. j. k. l. dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku pada pelanggaran saja (82 ayat 1). Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu dalam pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika dalam UU bagi pelanggaran tersebut ditentukan dapat dirampas (39 ayat 2). Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak pidana yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan-kejahatan saja (61, 62), dan tidak berlaku pada pelanggaran Dalam hal penadahan, benda objek penadahan haruslah diperoleh dari kejahatan saja, dan bukan dari pelanggaran Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya dibelakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan (7), dan bukan pelanggaran jabatan Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan kejahatan yang menggunakan sistem hisapan yang diperberat (verscherpte absorptiestelsel, 65) dengan perbarengan perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran atau pelanggaran dengan pelanggaran yang menggunakan sistem kumulasi murni (zuivere cumulatiestelse, 70). 2. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil Dalam hubungannya dengan akibat terlarang, ada beberapa cara merumuskan tindak pidana materiil, yaitu sebagai berikut: a. merumuskan tindak pidana meteriil di mana akibat terlarang itu disebutkan secara tegas di samping unsur tingak laku/perbuatan. 54 b. Merumuskan tindak pidana materiil di mana unsur akibat terlarang itu tidak dicantumkan secara terpisah dengan perbuatan, melainkan telah terdapat pada unsur tingkah lakunya. Artinya dengan merumuskan unsur tingkah lakunya itu, sudah dengan sendirinya di dalamnya telah mengadung unsur akibat terlarang. c. Pada penganiayaan (351) juga berupa tindak pidana materiil, tidak menggunakan perumusan sebagaimana kedua cara di atas. Telah diterangkan di muka tentang latar belakang perumusahan yang demikian singkat ini. 3. Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaian Ketika membicarakan tentang unsur kesalahn dalam tindak pidana, sudah cukup dibicarakan perihal kesengajaan dan kelalaian. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sementara itu tindak pidana culpa (culpose delicten) adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa. Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang unsur kesalahnnya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini, misalnya pasal 114, 359, dan 360. 4. Tindak Pidana Aktif (delict Commisionis) dan Tindak Pidana Pasif (delict Omisionis) Tindak pidana aktif (delik commisionis) adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan 55 berbuat akif, orang melanggar larangan. Bagian tersebsar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apa bila ia tidak melakukan (aktif) perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi. Disini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana ini juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum. Tindak pidana pasif ada dua macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni disebut dengan (delicta commissionis per omissionem). Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif, misalnya pasal 224, 304, 522. 5. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung Terus Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende delicten. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. 6. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus Berdasarkan sumbernya, maka ada dua kelompok tindak pidana, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. 56 Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kondifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana korupsi, tindak pidana psikotropika, tindak pidana perbankan dan tindak pidana narkotika. 7. Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propria Jika dilihat dari sudut subjek hukum tindak pidana, tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang (delicta communia) dan tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh yang berkualitas tertentu (delicta propria). Ada juga kualitas pribadi yang sifatnya dapat memberatkan atau meringankan pidana, yang dirumuskan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Misalnya seorang ibu melakukan pembunuhan bayinya, seorang perempuan menggugurkan atau mematikan kandungannya, wali, pengampu, pengurus, wasi dalam melakukan penggelapan. 8. Tindak Pidana Biasa (gewone delicten) dan Tindak Pidana Aduan (klacht delicten) Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukanyya penuntutan pidana terhadap pembuatannya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sebagian besar tindak pidana adalah tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini. Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata 57 atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang diberi kuasa khusus unutk pengaduan oleh orang yang berhak. Tindak pidana aduan ada 2 macam, yaitu: (1) tindak pidana aduan mutlak/absolut, dan (2) tindak pidana aduan relatif. Tindak pidana aduan mutlak/absolut adalah tindak pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan itu harus ada, misalnya pencemaran dan fitnah. Tindak pidana aduan relatif adalah sebaliknya yaitu hanya dalam keadaan tertentu atau jika memenuhi syarat/unsur tertentu saja tindak pidana itu menjadi aduan, misalnya pencurian dalam kalangan keluarga tau penggelapan dalam kalangan keluarga. 9. Tindak Pidana dalam Bentuk Pokok, yang Diperberat dan yang Diperingan. Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi (tiga) bagian, yaitu: a. dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana (eenvoudige delicten), atau dapat juga disebut dengan bentuk standar b. dalam bentuk yang diperberta (gequalificeerde delicten) c. dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten). Contoh rumusan bentuk pokok pada pembunuhan (338), yang jika rumusan sempurna itu diurai unsurunsurnya, terdiri dari: a. Unsur objektif terdiri dari: 1) perbuatannya: menghilangkan (nyawa) 2) Objeknya: nyawa orang lain b. Unsur subjektif: dengan sengaja. 58 10. Jenis Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum yang Dilindungi Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi ini tidak terbatas jenis tindak pidana, dan akan terus berkembang mengikuti perkembangan dan kemajuan manusia, dan untuk mengikuti perkembangan itu, peranan hukum pidana khusus menjadi sangat penting sebagai wadah tindak pidan di luar kondifikasi. 11. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Bagian tersebesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa tindak pidana tunggal. Tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipindanaya pembuat, diisyaratkan dilakukan secara berulang. RANGKUMAN Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan yang diatur dalam hukum pidana. Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, Mengenai hal ini, dapat disimpulkan dari keterangan MvT bahwa pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataanya di dalam masyarakat terdapat perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya memang sudah 59 tercela dan pantas untuk dipidana, bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh UU, dan juga ada perbuatan yang baru bersifat melawan hukum dan dipidana setelah UU menyatakan demikian. Untuk yang pertama tersebut dengan rechtsdelicten, dan untuk yang kedua disebut dengan wetsdelicten. LATIHAN 1. Jelaskan perbedaan antara Error, Schuld, dan Culpa. 2. Jelaskan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran 3. Jelaskan rumusan-rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP. 4. Jelaskan perbedaan antara tindak pidana formil dan tindak pidana materil. GLOSSARIUM strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab. Rechtszerkerheid adalah Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lainnya, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Politionele van het recht yaitu hukum bertugas polisionil (. Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri (eigenrechting). 60 DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Moeljatno 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta. Simons. D. 1992. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. PT Pioner Jaya, Bandung. Schavendijk, H.J. 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta-Groningen. 61 BAB IV TEORI PEMIDANAAN DAN TEORI PENANGGULANGANNYA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami teori-teori pemidanaan yang merupakan pembenaran dari penjatuhan pidana terhadap si pembuat dan tindakan-tindakan yang diambil berkaitan dengan penanggulangan pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu: 1. mengungkapkan teori absolut atau teori pembalasan bagi si pelaku pidana 2. menerangkan teori relatif atau teori tujuan 3. menjelaskan teori gabungan sebagai salah satu teori pemidanaan 4. menjelaskan tindakan-tindakan yang diambil dalam penanggulangan pidana baik preventif maupun represif Berkaitan dengan penerapan sanksi pidana dalam arti umum itu merupakan bagian dari asas legalitas, yang berbunyi: nullum delictum, nulla poena, sine preavia lege (poenali). Suatu poena atau pidana diperlukan adanya undang-undang terlebih dahulu. Peraturan tentang sanksi yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang, memerlukan perwujudan dari badan atau instansi dengan alat-alat yang secara nyata dapat merealisasikan aturan pidana itu. Infrastruktur penintensier ini 62 diperlukan untuk mewujudkan pidana tersebut, dan bilamana badan ini secara hukum dan organisatoris telah siap maka badan ini sebagai pendukung stelsel sanksi pidana. (Solehuddin, 2003:131). Persoalan penetapan sanksi (bentuk-bentuk pidana) dalam RKUHP Indonesia, dalam sejarahnya, mengalami beberapa kali perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep RKUHP yang dalam beberapa konsepnya mempunyai persamaan namun juga terdapat beberapa perbedaan. (Mohammad Taufik Makarao, 2005:107-113). Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam RKUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan (Barda Nawawi, 1998:95). Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman, di mana penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menerapkan hukum atau memutuskan tentang hukum, khususnya untuk suatu peristiwa pidana. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan sentence atau veroordeling”. (Sudarto, 1991:71). 63 Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa pemidanaan adalah menetapkan atau memutuskan sesuatu hukuman terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pemidanaan berhubungan erat kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama menyangkut kepentingan yang paling berharga bagi kehidupan masyarakat, yaitu nyawa, kemerdekaan dan kebebasan. Dalam hal ini Sudarto mengemukakan: Pidana tidak hanya dirasa pada waktu menjalani tetapi se sudah orang-orang yang dikenai itu bebas ia masih merasakan akibatnya yang berupa cap oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut stigma. Jadi orang tersebut mendapat stigma dan kalau itu tidak hilang, ia seolah-olah di pidana seumur hidup (Sudarto, 1991:71). Berdasarkan penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa pemidanaan sangat erat hubunganya dalam kehidupan seseorang di dalam masyarakat, maka ada pendapat yang mengatakan bahwa dari sekian banyak cabang hukum, hukum pindanalah yang paling banyak hubungannya dengan kehidupan orang sehari-hari. Selanjutnya menurut Van Hamel seperti yang dikutip oleh Lamintang yang dimaksud dengan pemidanaan yaitu : Pemidanaan adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara (Lamintang, PAF, 1984:74). Penjatuhan pidana atau hukuman dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan ketertiban. Edwin Sutherland yang dikutip Soedjono D, menyatakan bahwa alasan negara 64 melakukan atau menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana adalah karena : 1. Hukuman dijatuhkan dengan dasar harus menunjukkan dan mendukung perbuatan atau tindakan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat. 2. Hukuman harus dapat mencegah terjadinya perbuatanperbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan. 3. Negara harus mempertahankan tata tertib masyarakat yang ada. 4. Negara harus mempertahankan ketentraman dalam masyarakat apabila ketentraman itu dilanggar (Lamintang, PAF, 1984:74). Menurut Von Feuerbach, yang dikutip oleh Djoko Prakoso dan Nurwachid mengemukakan bahwa : Pada hakekatnya ancaman pidana mempunyai akibat psikologis yang menghendaki orang itu tertib, berhubung pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak bagi terpidana. Oleh karena itu, syarat atau ukuran pemidanaan, baik yang menyangkut segi perbuatan maupun yang menyangkut segi orang atau pelaku (Djoko Prakoso). Pada segi perbuatan dipakai azas legalitas dan pada segi orang dipakai azas kesalahan. Azas legalitas menghendaki tidak hanya pada ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat dijatuhi. Azas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada pidana tanpa kesalahan. Dalam hubungannya dengan pemidanaan dikenal 3 teori yaitu: 65 1. Teori absolut atau teori pembalasan 2. Teori relative atau teori tujuan 3. Teori gabungan (ad.1). Teori Absolut atau teori pembalasan. Menurut teori-teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seorang mendapat pidanan oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibatakibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan, apa dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan. Kegiatan pembalasan, atau disebut juga sebagai vergelding yang menurut banyak orang dijelaskan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hati yang dijadikan suatu ukuran, tetapi faktor lainnya kurang diperhatikan. Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka "kepuasan hati" itu terutama ada pada si oknum itu. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan meluasnya kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si penjahat, yaitu pada sanak keluarga atau kawan-kawan karib. Maka unsur pembalasan , meskipun dapat dimengerti, tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. Perlu diketahui bahwa, kata vergelding atau "pembalasan" ini biasanya dipergunakan sebagai istilah untuk menunjukan dasar dari teori "absolut" tentang Hukum Pidana (absolute strafrechtstheorien). Van Bemmelen dalam buku karya bersama dengan Van Hattum, Hand-en Leerboek van het Nederlandsche Strafrecht." Jilid II halaman 12 dan 13 mengemukakan unsur naastenliefde (cinta kepada sesama manusia) sebagai dasar adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat. Cinta sesama manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh, 66 menganiaya, dan sebagainya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah selayaknya ditanggapi dengan suatu pidana yang dilimpahkan kepada si penjahat. Tidak perlu dicari lain alasan.Jadi kini ada nada absolut atau mutlak pula. Nada kemutlakan ini juga terdapat pada sikap Prof.Mr.R.Kranenburg, yang mendasarkan pidana pada keinsafankeadilan (rechtsbewustzijn) dari sesama warga dari suatu negara. Menurut Hazewinkel-Suringa, selaras dengan Kranenburg yang merupakan penulis Leo Polak, yang mempergunakan keinsafankesusilaan (zadelijk bewustzijn) sebagai dasar pidana. Sedangkan Kant dan Hegel dapat digolongkan kepada kelompok yang menganut teoriteori absolut dalam hal hukum pidana. Kant terkenal sebagai seorang filsuf yang mengutarakan gagasan-gagasannya sebagai apa yang menurut Ia sendiri merupakan pikiran yang murni atau yang praktis, dan atas pikiran semacam inilah oleh Kant didasarkan kemutlakan pidana sebagai follow up dari kejahatan. Sedangkan menurut Hegel pidana dianggap mutlak harus ada kemestiannya sebagai reaksi dari suatu kejahatan. (ad.2). Teori-teori Relatif atau teori tujuan. Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa depan. Oleh karena itu, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teoriteori "tujuan" (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah dilakukannya itu tidak terulang lagi (prevensi). Prevensi ini ada dua macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau general. Keduanya berdasar atas gagasan, bahwa mulai dengan 67 ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana, orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi special, hal yang membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan dalam prevensi general diusahakan agar para oknum semua sama takut akan menjalankan kejahatan. Sebagai penganut prevensi special oleh Zevenbergen disebutkan dua penulis, yaitu Van Hamel dan Grolman. Sedangkan sebagai penganut prevensi general oelh Zevenbergen, Van Hattum, dan HazewinkelSuringa disebutkan terutama Paul Anselm Feuerbach, yang menitikberatkan pada ancaman dengan pidana yang termuat dalam peraturan hukum pidana.Hal ini disebabkan, karena digunakannya pandangan pengertian psychologischedwang, yang berarti bahwa dengan ancaman pidana ini orang-orang didorong secara psikis tidak secara fisik, untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu, teori relatif lainnya, telah melihat bahwa usaha untuk dengan menjatuhkan pidana memperbaiki si penjahat agar menjadi orang baik, yang tidak akan lagi melakukan kejahatan. Menurut Zevenbergen, ada tiga macam "memperbaiki si penjahat" ini, yaitu perbaikan "yuridis, perbaikan "intelektual" dan perbaikan "moral", yang berarti perbaikan "yuridis" lebih mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati Undang-Undang, perbaikan "intelektual" lebih mengenai cara berpikir si penjahat agar Ia insaf akan jeleknya kejahatan, sedangkan perbaikan "moral" lebih mengenai rasa kesulitan si penjahat, agar Ia menjadi orang yang bermoral tinggi. Zevenbergen menunjukan pembela dari ketiga macam perbaikan ini masing-masing Stelzer, Groos, dan Kraus. Konsekuensi dari teori-teori Relatif antara lain jika menurut teori "relatif" atau teori-teori "tujuan" ini menjatuhkannya pidana digantungkan kepada kemanfaatannya bagi masyarakat, maka ada konsekuensi logis, seperti dalam mencapai tujuan "prevensi" atau "memperbaiki si penjahat", tidak hanya secara negatif, maka tidaklah layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik, maka 68 pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana. Tindakan ini misalnya berupa mengawasi saja tindak-tanduk si penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam bidang sosial, untuk menampung orang-orang yang perlu dididik menjadi anggota masyarakat yang berguna (beveiligingsmaatregelen). (ad.3). Teori-teori Gabungan (Verenigings-Theorien). Apabila ada dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Juga kini, di samping teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang di satu pihak mengakui adanya unsur "pembalasan" (vergelding) dalam hukum pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur "prevensi" dan unsur "memperbaiki penjahat", yang melekat pada tiap pidana. Zevenbergen menganggap dirinya termasuk golongan ketiga ini, dan menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Merkel sebagai eksponeneksponen penting dari teori "gabungan" ini. Van Hattum menunjuk Pompe, sedangkan Hazenwinkel-Suringa menunjuk Hugode Groot, Rossi dan Taverne sebagai tokoh-tokoh dari golongan teori "gabungan" ini. Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini (Zainal Abidin, 2005:5). 69 Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : a) Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan b) Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap (Barda Nawawi, 1998:113-114). c) Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai ”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah (Barda Nawawi, 1996:152-153). Berdasarkan pada pengaturan tersebut dan dikaitkan dengan pokok-pokok pikiran mengenai perumusan tujuan pemidanaan, beberapa permasalahan yang bisa diajukan adalah keterkaitan antara penetapan sanksi pidana dengan perumusan suatu tujuan pemidanaan atau bagaimana landasan teori pemidanaan dan aliran hukum pidana yang dianut atau yang mendominasi pemikiran dalam kebijakan kriminal dan kebijakan penalnya. Selanjutnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana termasuk dalam hal ini tindak pidana dibidang teknologi dan informatika dalam suatu masyarakat selain dilakukan oleh penegak hukum juga tidak terlepas dari keterlibatan anggota masyarakat itu sendiri. Dalam perkembangan kriminologi di Indonesia yang menjadi persoalan adalah bahwa pada umumnya 70 masyarakat belum mengetahui apa yang dimaksud dengan menanggulangi kejahatan, padahal pengertian ini sangat penting untuk dapat menanggulangi kejahatan itu sendiri. Selain masyarakat dituntut untuk ikut serta dalam penanggulangan kejahatan, para penegak hukumpun tidak terlepas dari kewajiban dalam penanggulangan kejahatan sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Sehubungan dengan hal ini Sudarto menjelaskan bahwa pemberantasan kejahatan kalau diartikan secara luas maka banyak pihak yang akan terlibat di dalamnya, antara lain adalah pembentuk undang-undang, pamong praja dan aparatur eksekusi serta orang biasa (Sudarto, 1991:113). Pada dasarnya penanggulangan kejahatan itu ada dua cara yaitu tindakan preventif dan tindakan represif. 1. Tindakan Preventif Tindakan preventif yaitu suatu upaya untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan kejahatan tersebut. Tindakan ini tercakup di dalamnya mencegah bertemunya niat dan kesempatan seseorang yang hendak melakukan kejahatan. Melalui cara ini diharapkan sedini mungkin dapat menangkal hal dan mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan. Dalam pada itu Socrates yang dikutip oleh B. Basu menyatakan, bahwa manusia melakukan kejahatan karena pengetahuan tentang kebijakan tidak nyata baginya. Pencegahan kejahatan merupakan tindakan yang melibatkan semua unsur di dalamnya, dan dalam hubungan ini S.M. Amin memberikan komentar tentang tindakan preventif, yaitu: 71 Tugas preventif ini bermacam-macam corak ragamnya, umpamanya dengan mengadakan patroli di waktu malam hari dengan maksud supaya kaum pencuri tidak mempunyai kesempatan melakukan pencurian, mengatur lalu lintas supaya penyelenggaraan lalu lintas terjamin dan sebagainya (S.M. Amin, 1991:65). Sejalan dengan uraian di atas, Sudarto mengatakan bahwa usaha-usaha penanggulangan kejahatan secara preventif sebenarnya bukan Kepolisian saja, lebih lanjut ia mengatakan : Penanggulangan kejahatan dalam arti umum, secara tidak langsung juga dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya usaha dari Departemen sosial dengan karang tarunanya, Gerakan Pramuka, penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan agama dan sebagainya akan mempunyai pengaruh baik mengendalikan kejahatan, sedangkan kegiatan dari kepolisian bersifat preventif, misalnya patroli secara kontinue (Sudarto, 1991:114-115). Oleh karena itu penanggulangan kejahatan secara preventif dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: 1. Cara moralistik, dilakukan dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik, sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu seseorang untuk berbuat jahat. 2. Cara aboliolistik, berusaha menanggulangi kejahatan dengan membarantas sebab musababnya. Dari kutipan di atas jelas bahwa penanggulangan kejahatan lebih ditekan pada pembinaan moral melalui pendidikan agama, sehingga dapat mengekang seseorang untuk melakukan kejahatan. Selain itu, penanggulangan kejahatan 72 lebih dahulu harus memberantas penyebab terjadinya kejahatan itu. Allan R. Coffey mengemukakan bahwa strategi-strategi pencegahan kejahatan dan delinkuensi dapat memusatkan perhatian pada dua fokus dasar, yaitu usaha-usaha untuk mencegah kejahatan untuk pertama kali dan mencegah kontak dengan sistem peradilan pidana. Lebih lanjut Coffey yang dikutip oleh Wersniwiro et.all., mengemukakan bahwa dalam perencanaan strategi pencegahan, terutama pogram-pogram pencegahan delinkuensi, dapat disimpulkan 4 pendekatan umum, yaitu : 1. Pembangunan program-program perubahan perilaku; 2. Pengembangan pelajaran melembaga bagi pelanggar hukum; 3. Penciptaan pelayanan baru, baik bagi pelanggarpelanggar hukum maupun bagi mereka yang mempunyai potensi untuk menjadi pelanggar hukum; 4. Mencegah secara langsung peredaran gelap ecstasy di dalam negeri di samping mencegah agar Indonesia tidak dimanfaatkan sebagai mata rantai perdagangan gelap. Selain tindakan preventif sebagaimana tersebut di atas, supaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran zat-zat berbahaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur: a. Jalur keluarga b. Jalur pendidikan formal dan informal c. Jalur lembaga-lembaga sosial swadaya masyarakat d. Jalur lembaga keagamaan e. Jalur kelompok-kelompok teman bermain remaja/pemuda, club, seni, olah raga, keterampilanketerampilan lain. 73 f. Jalur organisasi kewilayahan, dipimpin aparat RT, RW, LKMD. g. Melalui media masa, cetakan, elektronik, film maupun seni pentas tradisonal. 2. Tindakan Represif Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana. Sebagai suatu tindakan pemberantasan kejahatan atau tindak pidana, tindakan represif ini dilakukan melalui proses pengadilan yang telah ditentukan, yaitu : 1. Tahap penyidikan oleh Polri. 2. Tahap penuntutan dilakukan Jaksa sebagai penuntut umum 3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh hakim. 4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa dan lembaga permasyarakatan dengan diawasi oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan (R.Soesilo, 1982:4). Tindakan represif ditikberatkan terhadap pelaku tindak pidana, antara lain dengan memberikan hukuman. Pemberian hukuman ini akan melibatkan aparat penegak hukum secara keseluruhan, mulai dari penyidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan oleh jaksa dan akhirnya hakim yang memberi keputusan berupa pemidanaan. Hakim dapat memilih pidana yang dijatuhkan dari beberapa jenis pidana yang tersebut dalam KHUP membuat kejahatan dan pidana. Cara menjalankan pidana ini bisa berupa prasyarat, cara ini dimaksudkan untuk menghindari si terdakwa dari pengaruh buruk rumah penjara (Lembaga Permasyarakatan) (Sudarto, 1991:114-115). 74 Sutherland dan Cressey yang ikutip oleh G.W. Bawengan mengatakan bahwa pencegahan kejahatan dilakukan dengan cara: a. Merubah mereka yang mungkin dapat dirubah dengan menggunakan teknik tertentu; b. Mengasingkan mereka yang tidak dapat diperbaiki; c. Koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan kejahatan d. Menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong ke arah kejahatan (G.W.Bawengan, 1974:200) Terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan agar penanggulangan kejahatan dapat lebih berhasil. Syarat-syarat tersebut adalah : 1. Sistem organisasi Kepolisian yang baik; 2. Pelaksanaan peradilan yang lebih efektif, 3. Hukum yang berwibawa 4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang lebih terkoordinir, 5. Partisipasi masyarakat dalam penggolongan kejahatan RANGKUMAN Pemidanaan adalah menetapkan atau memutuskan sesuatu hukuman terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Tujuan dari pemidanaann adalah untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, dan ini dapat memberikan tekanan jiwa bagi calon pelaku kejahatan untuk merencanakan melanggar undang-undang pidana. Dalam hubungannya dengan pemidanaan terdapat tiga teori yaitu teori absolut atau teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan dan teori gabungan. Teori absolut pada dasarnya hanya melihat pemidanaan sebagai hal yang mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar 75 untuk tidak memidana si pelanggar. Teori absolut ini tidak memperdulikan manfaat dari pemidanaan tersebut untuk masa yang akan datang melainkan hanya melihat ke masa lampau saja. Teori tujuan atau toeri relatif melihat bahwa suatu pelanggaran tidak mutlak harus dibalas dengan suatu pemidanaan. Hal ini disebabkan teori ini melihat manfaat dari pemidanaan bagi masyarakat sehingga tidak hanya melihat masa lampaui namun juga melihat effect dari pemidanaan tersebut ke masa depan. Teori ini lebih menekankan agar pemidanaan tersebut manjadi usaha untuk mencegah tidak terulangnya kejahatan di masa yang akan datang. Tindakan penangulangan pidana ini ada yang besifat preventif yaitu dilakukan senelum tindak pidana tersebut dilakukan dan bersifat represif yaitu tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum setelah suatu tindak pidana dilakukan. LATIHAN 1. Uraikan apa yang dimaksud dengan pemidanaan dan apa saja tujuan dari pemidanaan yang dijatuhkan oleh negara? 2. Bagaimanakah pandangan teori absolut, teori relatif dan teori gabungan terhadap pelaksanaan pemidanaan? 3. Menurut saudara, teori pemidanaan yang manakah yang paling sesuai untuk diterapkan untuk mengatasi masalah kejahatan saat ini? 4. Usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan sebelum atau sesudah tindak pidana dilakukan. Sebutkan usahausaha apa saja yang harus dilakukan baik yang bersifat preventif maupun represif yang dianggap effektif menanggulangi masalah kejahatan saat ini? GLOSSARIUM nullum delictum, nulla poena, sine preavia lege (poenali ialah tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana melainkan atas suatu 76 peraturan perundang-undangan pidana yang terlebih dahulu ada yang mentukan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan pidana. Veroordeling adalah putusan pemidanaan absolute strafrechtstheorien ialah teori pembalasan absolut dari rechtsbewustzijn ialah keinsafan dari rasa keadilan zadelijk bewustzijn) ialah keinsafan dari rasa kesusilaan DAFTAR PUSTAKA Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Baksi, Bandung. Djoko Prakoso dan Nurwachid, Study Tentang Efefktivitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini. G.W.Bawengan, 1974, Pengantar Psychologi kriminal, Pradya Darmita, Jakarta. M. Solehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada. Mohammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung. P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penetensier di Indonesia, Armico, Bandung. 77 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP bagi Penegak Hukum), Politeia, Bogor. S.M. Amin, 1991, Hukum Acara Peradilan Negeri, Pradya Paramitha, Jakarta. Sudarto, 1991, Hukum Pidana, Jilid I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Zainal Abidin, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, ELZAM, Jakarta. 78 BAB V DASAR-DASAR PENIADAAN, PEMBERATAN DAN PERINGANAN PIDANA Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami hal-hal yang menjadi dasar peniadaan, pemberatan dan peringanan pidana. Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu: 1. mengungkapkan perbedaan antara alasan pemaaf dan pembenar dari peniadaan pidana 2. menjelaskan dasar tidak dipidananya seseorang karena adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess), menjalankan perintah Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan yang sah dan karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik 3. menerangkan hal-hal apa saja yang meyebabkan diperberatnya hukuman 4. menerangkan dasar-dasar yang menyebabkan diperingannya pidana umum 5. mengungkapkan dasar-dasar peniadaan pidana yang terdapat di luar KUHP 79 A. DASAR PENIADAAN PIDANA YANG BERSIFAT UMUM Dasar-dasar peniadaan atau penghapusan pidana (strafuitslutingsgronden) di dalam KUHP dibedakan antara yang bersifat umum dan khusus. 1. Dasar-dasar Peniadaan Pidana yang bersifat umum Tidak dipidananya seseorang atas pelanggaran ketentuan pidana yang bersifat umum dibedakan dengan hal-hal yang menyebabkan tidak dapat dituntutnya si pembuat (vervolgingsuitslutingsgronden) walaupun bagi kedua-duanya sama, ialah si pembuat pada kenyataannya tidak dipidana karena perbuatannya. Pada hal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden), jaksa penuntut umum telah mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam sidang pengadilan, bahkan telah diajukannya requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah terbukti terwujudnya tindak pidana itu oleh si pembuat. Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordering) kepadanya, melainkan menjatuhkan putusan pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging). Putusan itu dijatuhkan terhadap pokok perkaranya atau terhadap tindak pidana yang didakwakan. KUHP tidak melarang jaksa penuntut umum untuk menghadapkan tersangka ke sidang pengadilan dalam hal adanya dasar peniadaan pidana. Berbeda pada hal yang disebutkan kedua karena pada alasan/dasar peniadaan penuntutan yang tidak membenarkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan tersangka ke sidang pengadilan (menuntutnya), misalnya tanpa adanya pengaduanmengajukan juga si pembuat tindak pidana aduan ke sidang pengadilan, penetapan majelis hakim akan berisi bahwa jaksa penuntut umum tidak berwenang menuntut (niet-ontvankelijk verklaring van het Openbaar Ministerie), tidak diperlukan 80 membuktikan tentang telah terwujud atau atau tidaknya tindak pidana itu. Artinya pokok perkara tidak perlu diperiksa oleh Majelis sehingga juga tidak diputus pokok perkaranya. Majelis hanya memutus tentang tidak berwenangnya Negara (in casu jaksa PU) menuntut perkara itu. Tindakan yang dilakukan mejelis hakim ini bukanlah vonis, tetapi berupa penetapan (beschiking) belaka. (Chazawi, 2007:17). Akibat hukum dari putusan pelepasan dari tuntutan hukum dengan penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang mengadili juga mengandung perbedaan yang mendasar. Karena putusan lepas dari tuntutan hukum mengenai tindak pidana yang didakwakan atau mengenai pokok perkaranya, putusan itu tunduk pada ketentuan ayat (1) Pasal 76 KUHP. Artinya, setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde zaak), perbuatan itu tidak dapat lagi diajukan penuntutan kedua kalinya. Akan tetapi, terhadap penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang menuntut, karena bukan mengenai hal tindak pidana yang didakwakan, maka penetapan Majelis Hakim itu tidak tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Ketika dasar peniadaan penuntutan itu telah ditiadakan, misalnya dalam tindak pidana aduan-telah dipenuhinya syarat pengaduan, maka terhadap pembuat, jaksa penuntut umum wajib mengajukan tuntutan ke sidang pengadilan kembali. Di samping perbedaan di atas, juga terdapat perbedaan perbedaan dalam hal tidak menerima putusan yang berisi “pelepasan dari tuntutan hukum”, maka dapat diajukan perlawanan kasasi ke Mahkamah Agung. Sementara itu, apabila tidak menerima penetapan majelis hakim yang berisi “negara tidak berwenang menuntut”, maka dapat diajukan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi. Dalam praktik, apabila jaksa penuntut umum mengajukan juga terdakwa ke sidang pengadilan, maka setelah surat dakwaan dibacakan, terdakwa atau penasehat hukumnya, kemudian 81 mengajukan dan membacakan eksepsi perihal adanya dasar peniadaan penuntutan ini, kemudian majelis hakim akan memeriksa tentang kebenaran eksepsi jika benar terbukti, majelis akan memutus bahwa “tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.” (Chazawi, 2007:19) Bab III KUHP menentukan tujuh dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat ini, ialah: a. adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat, Pasal 44 ayat (1) b. adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48) c. adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1 d. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexcess, Pasal 49 ayat 2) e. karena sebab menjalankan perintah UU (Pasal 50) f. karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat 1) g. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (Pasal 51 ayat 2) Dari tujuh dasar tersebut diatas, kemudian dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1) atas dasar pemaaf (schulduitsluitingsgronden), yang bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada pada saat akan berbuat; dan (2) atas dasar pembenar (rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objectif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. Adapun dasar pemaaf yaitu: a. ketidakmampuan bertanggung jawab b. pembelaan terpaksa yang melampaui batas c. hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik Sedangkan dasar pembenar adalah: a. adanya daya paksa 82 b. adanya pembelaan terpaksa c. sebab menjalankan perintah UU d. sebab menjalankan perintah jabatan yang sah Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf walaupun perbuatannya terbukti melanggar UU, yang artinya perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Dia dimaafkan atas perbuatannya itu. Contohnya orang gila memukul orang lain sampai luka berat. Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat, karena, karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuatnya tidak dapat dipidana. Contohnya, petinju yang bertanding diatas ring memukul lawannya hingga luka-luka, bahkan hingga mati. a. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan karena Jiwa Cacat dalam Pertumbuhannya, dan Jiwa Terganggu karena Penyakit Pasal 44 KUHP merumuskan: (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat adalam pertumbuhannya atau terganggu karerna penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan. 83 (3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1), jelas ada dua penyebab tidak dipidananya karena tidak mampunya bertanggung jawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu: 1) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya 2) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit Apakah yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung jawab? Undang-undang sendiri tidak memberi tidak memberi keterangan yang lebih jelas tentang tidak mampu bertanggung jawab. Di dalam Memorie van Toelighting (MvT), ada keterangan mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu: 1) apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. 2) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung jawab, melainkan sekadar menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab. Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa orang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut. 84 Alasan UU merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk UU yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab. Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana karena melakukan perbuatan. Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan abnormal, keadaan jiwa tidak dipermasalahkan. Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal, gejala-gejala itu akan diselidiki apakah gejala-gejala yang tampak itu benar dan merupakan alasan pemaaf sebagimana dimaksudkan oleh Pasal 44 (1). Dua keadaan jiwa sebagaimana disebut Pasal 44 (1) tersebut merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak adil. Dua keadaan jiwa tersebut adalah keadaan jiwa sebagai penyebab tidak dapat dipertanggungjawabkannya atas semua perbuatannya. Dengan kata lain, keadaan jiwa disini berlaku untuk segala macam bentuk perbuatan. Oleh itu, sifatnya umum. Keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab yang sifatnya khusus itu berkaitan erat dengan perbuatan itu sendiri serta keadaan-keadaan objektif dan atau subjektif tertentu ketika seorang itu berbuat. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab secara khusus ini, ialah: 1) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak bebas untuk menentukan kehendaknya terhadap perbuatan apa yang dia lakukan; 85 2) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti, tidak menginsyafi atas suatu perbuatan yang dilakukannya itu sebagai perbuatan yang tercela; Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawabm yaitu: 1) dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejalagejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung jawab. 2) Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciriciri psikologis yang ada yang kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggung jawab ataukah tidak; 3) Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan secara bersama-sama. Di samping menyelidiki tentang gejala gejala abnormal juga dengan meneliti ciri-ciri psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan apakah dia mampu bertanggung jawab ataukah tidak. 2. Daya Paksa (Overmacht) Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa (Overmacht) dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan “Niet straafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door overmacht is gedrogen”, yang artinya barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana. Pada umumnya pakar hukum lebih banyak menggunakan istilah daya paksa untuk menerjemahkan istilah overmacht. Namun ada juga pakar hukum yang menggunakan istilah lain seperti Surjanatamihardja dengan “berat lawan” atau Jusuf Ismail dengan kalimat yang agak panjang yakni “terpaksa oleh sesuatu 86 kekuasaan yang tidak dihindarkan” (Roeslan Saleh, 1963:77), atau “hal memaksa (Wirjono Prodjodikoro, 1981:75), “kekuatan yang tidak dapat dihindarkan” (Schravendijk, 1955:143), “paksaan yang menimbulkan keadaan tak berdaya (Satochid: 446). 1) Pengertian Daya Paksa Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang daya paksa. Menurut Memorie van Toelichting (MvT) daya paksa adalah “setiap kekuatan, setiap dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan” (Jonkers, 1987:261). Sebagaimana istilah-istilah lainnya dalam MvT yang selalu singkat tidak lah cukup untuk menggambarkan arti yang sebenarnya. Harus dicari dalam doktrin hukum pidana dan yurisprudensi. Doktrin hukum dan yurisprudensi juga merupakan sumber hukum. Memang banyak istilah yang ada dalam KUHP tanpa penjelasan lebih jauh dalam pasalpasalnya, tetapi dikembangkan oleh para pakar dalam doktrin hukum pidana dan berbagai yurispudensi. Oleh karena itu, mempelajari hukum pidana tidaklah cukup hanya dengan mempelajari teks rumusan dalam UU, tetapi juga harus mempelajari doktrin hukum. Doktrin hukum selain menjadi dasar perhatian dan pijakan dalam merumuskan norma hukum pidana, juga menjadi tempat atau sumber pengembangan hukum pidana. Dari keterangan dalam MvT tentang daya paksa, dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi karena tekanan psychis dan tekanan fisik. Istilah dorongan (gedrongen) menunjuk pada tekanan psychis, dan paksaan (dwang) menunjuk pada tekanan yang bersifat fisik (Jonkers, 1987:261). Namun, orang tidak mengetahui dasar penghapus pidana tersebut apakah terletak atau melekat pada 87 perbuatannya atau pada sipembuatnya, salah satu hal yang penting dalam keadaan daya paksa ini. 2) Macam Daya Paksa Dalam doktrin hukum dapat dibedakan antara 2 macam daya paksa, ialah: a) daya paksa absolut b) daya paksa relatif Apabila dilihat dari segi dari mana asalnya tekanan dan paksaan itu maka masing-masing bentuk daya paksa tersebut diatas dapat dibedakan lagi, antara: a) daya paksa dari sebab perbuatan manusia b) daya paksa dari sebab diluar perbuatan manusia, ialah sebab alam atau binatang Apabila dilihat dari sifatnya tekanan dan paksaan, maka baik daya paksa absolut maupun relatif dapat dibedakan: a) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat pisik b) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat psychis Contoh daya paksa absolut yang berupa paksaan fisik (oleh perbuatan manusia), ialah seorang yang kuat menerjang seorang anak yang berdiri dekat kaca, membuat anak itu terpental dan mengenai kaca dan pecahlah kaca itu. Contoh daya paksa absolut oleh adanya paksaan psychis dari perbuatan manusia, seorang yang berada dalam keadaan dihipnotis diperintah oleh hypnotiseur untuk berbuat membakar sebuah mobil milik musuhnya. Contoh daya paksa absolut karena alam ialah seseorang dipanggil sebagi ahli untuk memberikan keteranngan di sidang pengadilan pidana, tidak dapat hadir karena pada saat sebelum berangkat hendak memenuhi panggilan itu rumahnya disambar petir dan dia tak sadarkan diri akibat luka bakar yang dideritanya. 88 Sedangkan daya paksa yang dimaksud oleh Pasal 48 adalah daya paksa relatif baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psychis baik yang karena perbuatan manusia maupun yang bukan. Daya paksa relatif yang bersifat fisik disebut dengan noodstand atau keadaan darurat, suatu daya paksa yang disebabkana oleh alam (Soedarto, tt:42). Daya paksa relatif sebagaimana tersebut dalam Pasal 48 adalah suatu paksaan yang sedemikian rupa menekan seorang sehingga ia berada dalam suatu keadaan yang serba salah, suatu keadaan mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat yang pada kenyataannya melanggar UU, yang bagi setiap orang normal tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain berhubung dengan resiko dari pilihan perbuatan lain itu lebih besar terhadap dirinya. Mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar, inilah prinsip dari daya paksa menurut arti Pasal 48. Bahwa apa yang sudah diterangkan diatas, kiranya senada dengan apa yang dikemukakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya (12-6-1951) yang menyatakan bahwa “overmacht terdapat bilaman paksaan itu menjadi begitu kuat dan dijalankan terhadap suatu kepentingan tertentu, sehingga dari pembuat tidak dapat diharapkan mengadakan suatu perlawanan, yaitu apbila jalan keluar lain tidak terbuka atau pelanggaran terhadapnya secara patut dapat diharapkan dan selanjutnya, jikalau dalam meyelamatkan kepentingan sendiri tidak menghasilkan korban yang lebih besar” (Zainal Abidin, 1995:194). Kalimat terakhir “dalam menyelamtkan kepentingan sendiri tidak menghasilkan korbanyang lebih besar” mengadung arti bahwa perbuatan apa yang menjadi pilihannya (membubuhkan tanda tangan di atas akta palsu) 89 risikonya lebih kecil (yakni pidana karena melanggar UU) daripada apabila dia memilih perbuatan lain (tidak menandatangani akta palsu), yaitu kematian. Dari contoh ini dapat terlihat bahwa kepentingan hukum yang dilanggar (dari pemalsuan akta) adalah lebih kecil daripada kepentingan hukum yang diselamtkan (ialah dari bahaya kematian). 3) Keadaan Darurat (Noodtoestand) Di atas tadi telah diterangkan bahwa noodtoestand atau keadaan darurat adalah suatu daya paksa relatif dari sebab di luar perbuatan manusia, jadi bagian dari daya paksa relatif. Namun menurut Jonkers keadaan darurat itu adalah berdiri sendiri, di mana daya paksa menurut beliau adalah (1) daya paksa absolut, (2) daya paksa relatif dan (3) noodtoestand. Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataannya melanggar kepentingan hukum yang lain. Contohnya untuk menolong anak kecil yang terperangkap api dalam sebuah rumah yang sedang terbakar (kepentingan hukum atas anak itu sedang terancam), maka seorang merusak sebuah pintu rumah ( melanggar kepentingan hukum atas hak milik orang) untuk menolong anak itu. Keadaan terpaksa dapat dibagi tiga macam: a. dalam hal terjadi pertentangan antara dua kepentingan hukum b. dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum c. dalam hal terjadinya pertentangan antara dua kewajiban hukum. 90 3. Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagi berikut: “ tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain , kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.” Dari rumusan di atas lebih sempurna daripada rumusan tentang overmacht (Pasal 48) yang telah dibicarakan di muka. Dari rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan mengenai dua hal, yaitu: 1) unsur mengenai syarat adanya pembelaan terpaksa. • pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa; • untuk mengatasi danya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum; • serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada (tiga) kepentingan hukum, ialah kepentingan hukum atas; badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain; • harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam; • perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam. 2) unsur dalam hal apa (macamnya) pembelaan terpaksa • dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau orang lain artinya juga ialah serangan itu bersifat dan ditujukan pada fisik atau badan manusia; • dalam hal untuk membela kehormatan kesusilaan, artinya ialah serangan itu tertuju pada kehormatan kesusilaan; dan 91 • dalam hal untuk membela harta benda sendiri atau harta benda lain, artinya ialah serangan itu tertuju pada harta atau kebendaan. Perbuatan orang yang memenuhi unsur-unsur Pasal 49 ayat (1) tersebut diatas, pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak pidana tertentu, bisa penganiayaan (351) misalnya berwujud memukul seorang pria yang sedang berusaha memperkosa seorang perempuan, bahkan bisa berwujud pembunuhan (338), misalnya polisi menembak mati seorang perampok di sebuah bank yang dengan menggunakan senjata api telah memberondong petugas yang hendak menangkapnya dengan tembakan yang dapat mematikan. Akan tetapi dengan dasar pembelaan terpaksa, perbuatan yang pada kenyataannya bertentangan dengan undangundang itu telah kehilangan sifat melawan hukum, oleh sebab itu kepada pembuatnya tidak dipidana. Di sini ada alasan pembenar. 1) Macam-macam Pembelaan Terpaksa a) dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau diri orang terhadap serangan yang bersifat fisik b) dalam hal membela kehormatan kesusilaan diri sendiri atau orang lain c) dalam hal pembelaan harta benda sendiri atau orang lain. Dalam hal untuk membela diri, adalah terhadap serangan fisik oleh orang lain, sebagimana contoh diatas. Terhadap serangan yang boleh dilakukan perbuatan pembelaan terpaksa, hanyalah serangan oleh perbuatan (fisik, aktif) manusia, dan tidak dibenarkan oleh binatang, misalnya dikejar anjing kemudian anjingnya dibunuh. Dalam hal kehormatan kesusilaan adalah kesusilaan yang berkaitan erat dengan masalah seksual misalnya lakilaki hidung belang meraba buah dada seorang perempuan 92 yang duduk di sebelah di sebuah taman, maka dibenarkan apabila ketika serangan berlangsung memukul laki-laki itu. Dalam hal pembelaan terhadap harta benda, ialah terhadap benda-benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat bak kebendaan, sama dengan pengertian benda pada pencurian (362). 2) Syarat Pembelaan Terpaksa Suatu perbuatan masuk sebagai pembelaan terpaksa, apabila perbuatan itu dilakukan: a) karena terpaksa/sifatnya terpaksa; b) yang dilakukan ketika timbulnya ancaman serangan dan berlangsung serangan c) untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang bersifat melawan hukum d) yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam e) pembelaan terpaksa itu hanya terbatas dalam hal mempertahankan tiga macam kepentingan hukum yaitu (1) kepentingan hukum atas diri; (2) kepentingan hukum mengenai kehormatan kesusilaan; dan (3) kepentingan hukum mengenai kebendaan. Kelima syarat itu adalah suatu kebulatan yang tidak terpisahkan, dan berkaitan satu dengan yang lain sangat erat. 3) Perbedaan Daya Paksa (Overmacht) dengan Pembelaan Terpaksa (Noodweer) Jika dilihat dari segi serangan yang bersifat melawan hukum dalam hubungannya dengan akibat terpaksanya orang lain yang diserang itu melakukan suatu perbuatan tertentu, maka terdapat perbedaan antara pembelaan terpaksa dengan daya paksa. Perbedaan itu yaitu: 93 Pada daya Paksa • Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang yang diserang (korban) adalah berupa perbuatan yang memang dimaksudkan dan diinginkan si penyerang. Misalnya, dengan todongan pistol seorang memaksa orang lain untuk menandatangani akta palsu, kemudian korban menandatanganinya. • Di sini orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki si penyerang, karena dia tidak berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu. • Tidaklah ditentukan bidang kepentingan hukum apa dalam hal penyerangan yang dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa • Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum. Pada pembelaan terpaksa adalah sebaliknya ialah: • perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud si penyerang. Misalnya si majikan, laki-laki hidung belang sedang berusaha memperkosa pembantu rumah tangganya dengan telah menindih tubuh perempuan itu, kepergok oleh suaminya dan dengan kuat sang suami menendang kepala majikannya itu. Pilihan perbuatan suami pembantu berupa menendang kepala majikannya itu adalah suatu pilihan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh sang majikan. 94 • • • pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk melawan serangan oleh si penyerang. pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang bersifat melawan hukum dalam tiga bidang ialah; tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda. pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat. 4. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2), yang rumusannya adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana. Adapun persamaan antara pembelaan terpaksa dan pembelaan melampaui batas adalah: • keduanya terdapat serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda) dan adanya kesamaan pada melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan terpaksa dalam usaha untuk mempertahankandan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum. • pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain. 95 Adapun perbedaannya yaitu: • Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, ialah perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukum yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan. Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu, tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan menembaknya. • Kedua, bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perbuatan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti. • Ketiga, tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa oleh karena kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaann pidana karena pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa yang melampaui batas oleh karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat dalamm pembelaan yang 96 melampaui batas terletak pada diri orangnya, dan bukan pada perbuatannya. Melampaui batas dapat diartikan sebagai (1) melampaui batas apa yang perlu, dan (2) boleh dilakukan walaupun serangan telah tiada. Keistimewaan ini pada dasarnya merupakan perkecualian dari pembelaan darurat pada ayat pertama, yang terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat. 5. Menjalankan Perintah Undang-undang (Wettelijk Voorschrift) Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah undang-undang (wettelijk voorschrift) dirumuskan dalam Pasal yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tindak pidana”. Dari rumusan yang singkat itu, ada beberapa yang perlu diterangkan ialah: 1) tentang apa yang dimaksud dengan ketentuan undang-undang; 2) tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan; dan 3) tentang apa yang dimaksud melaksanakan ketentuan undangundang. Mengenai persoalan yang pertama, dalam praktik, pada mulanya ketentuan undang-undang itu diartikan undang-undang dalam arti sempit atau arti formal belaka seperti dalam arrest Hoge Raad tanggal 27-6-1887 yang mengartikan sebagai peraturan yang dibuat oleh raja dan Staten General berikut ketentuan hukum dalam Algemene Maatregel van Bestuur dan peraturan sebagai pelengkap undang-undang secara keseluruhan atau diperintahkan oleh undang-undang (Andi Hamzah, 1991:137). Jadi peraturan perundang-undangan dalam arti formal ini terbatas pada peraturan dari undang-undang negara dan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh undang-undang negara. 97 Kemudian pengertian itu berubah ke arah pengertian luas atau pengertian materiil, sebagaimana dalam arrest Hoge Raad berikutnya (26-6-1899) yang dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa “peraturan perundang-undangan (wettelijk voorschrift) adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang” (Lamintang, 1990:489). Jadi dalam pengertian luas di sini adalah peraturan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen (DPR) bersama pemerintah, dan termasuk segala peraturan yang ada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah, karena semua peraturan itu dibentuk oleh kekuasaan berdasarkan undang-undang. Mengenai hal yang kedua, tentang perbuatan, yang dimaksudkan itu ialah perbuatan mana yang pada dasarnya jika tidak ada undang-undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya adalah berupa suatu tindak pidana. Contohnya Polisi yang telah memenuhi syarat dan prosedurnya melakukan penangkapan seorang tersangka dan menahannya, yang jika tidak ada ketentuan peraturan undang-undang yang memberi kewenangannya adalah berupa tindak pidana. Sedangkan mengenai hal yang ketiga, ialah tentang apa yang dimaksud melaksanakan perintah peraturan undang-undang. Sebenarnya Pasal 50 ini berlebihan, mengingat bahwa segala apa yang telah diberikan kewenangan atau diperintahkan oleh suatu peraturan undang-undang, tidaklah mungkin diancam dengan pidana atau berupa tindak pidana menurut ketentuan undangundang yang lain. Ketentuan Pasal 50 pada dasarnya bukan sekadar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasrkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang itu. 98 Hoge Raad dalam pertimbangan suatu arrestnya (28-10-1985) menyatakan bahwa “menjalankan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang (Soesilo, 1980:57). 6. Menjalankan Perintah Jabatan Mengenai dasar peniadaan karena menjalankan perintah jabatan dirumuskan dalam Pasal 51 ayat (1) yang bunyinya: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.” Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) yang telah diterangkan di atas, dalam arti pada kedua-duanya dasar peniadaan pidana itu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan. Juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenangan berdasrkan perintah undang-undang maupun perintah jabatan. Perbedaannya ialah pada perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintahyang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasrkan undang-undang. Sedangkan pada menjalankan perintah undang-undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undang-undang. Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah seorang penyelidik mendapat perintah dari penyidik untuk menagkap seorang tersangka (Pasal 16 ayat ke 1 KUHAP). Antara 99 penyelidik dan penyidik ada hubungan publik yang berdasrkan undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam upaya menjalankan perintah jabatan itu,, misalnya dengan kekerasan memaksa memborgol (sifatnya serangan) terhadap si tersangka yang tidak menurut dan melawan, dan jika perlu dan layak dapat melumpuhkan dengan tembakan pada kakinya apabila yang bersangkutan menggunakan pisau melawan penyelidik yang hendak menjalankan tugas penangkapan tersebut. 7. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikad Baik Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (een onbevoged ambtelijk bevel) dengan itikad baik sebagai dasar peniadaan pidana, dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) yang bunyinya: “perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.” Sejalan dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pada menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang/tidak sah dengan itikad baik ini, mengenai apa yang dilakukan itu pada dasarnya adalah terlarang oleh undang-undang, namun karena sesuatu hal yang menjadi alasan luar biasa, maka perbuatan itu menjadi tidak dipidana. Tidak dipidananya si pembuat karena alasan noodweer exces terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat, tetapi pada pelaksanaan perintah tanpa wewenang adalah pada “itikad baik dan pelaksanaan dari apa yang menjadi isi perintah itu adalah memang menjadi tugas pekerjaannya.” Dari apa yang dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) tersebut, ada syarat yang wajib dipenuhi agar orang yang menjalankan 100 perintah yang tidak sah dengan tidak ada itikad baik itu tidak dipidana, ialah syarat subjektive dan syarat objektif yang bersifat kumulatif-imperatif. 1) Syarat subjektif, ialah dengan itikad baik dia mengira bahwa perintah itu adalah sah; 2) Syarat objektif, ialah pada kenyataannya perintah itu masuk dalam bidang tugas pekerjaannya. B. DASAR PENIADAAN PIDANA DI LUAR UNDANGUNDANG Segala sesuatu yang telah dibicarakan perihal peniadaan pidana di atas, adalah menurut undang-undang. Diluar undang-undang terdapat pula alasan peniadaan pidana, ialah: 1) apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara materiil (melawan hukum materiil) dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif 2) didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) Dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang berhubungan dengan sifat melawan hukum materiil dari suatu perbuatan dalam fungsinya yang negatif, dalam arti mencari ketiadaan unsur melawan hukum di luar undang-undang untuk tidak mempidana suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dan bukan mencari adanya unsur melawan hukum di luar undangundang dalam rangka untuk mempidana suatu pelaku perbuatan tertentu. Ad.1. Hilangnya Sifat Tercela dari Perbuatan Melawan Hukum Sebagimana diketahui bahwa undang-undang hanya mempidana seseorang yang melakukan perbuatan, apabila 101 perbuatan itu telah dicantumkan dalam peraturan perundangundangan, sebagai perbuatan yang dilarang (artinya mengandung sifat tercela/melawan hukum). Hanya perbuatan yang diberi label tercela atau terlarang saja yang pelakunya dapat dipidana. Pengertian sifat melawan hukum tersebut dinamakan melawan hukum formil, karena semata-mata sifat terlarangnya perbuatan didasarkan pada pemuatannya dalam undang-undang. Perbuatan lain yang diluar apa yang ditentukan sebagi dilarang oleh undangundang, walaupun tercela menurut masyarakat atau menurut asasasas umum maasyarakat atau melawan hukum materiil, sepanjang tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan, tidak lah dapat dipidana. Hal ini telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang apa yang dikenal dengan asas legalitas. Perbutan yang mengandung sifat tercela menurut masyarakat yang tidak tercela menurut undang-undang tidaklah dapat dipidana. Tetapi sebaliknya pada perbuatan yang secara nyata terlarang menurut undang-undang, yang karena sesuatu faktor atau sebab tertentu boleh jadi tidak mengandung sifat tercela atau kehilangan sifat tercelanya menurut masyarakat, maka terhadap si pembuatnya tidak dipidana. Inilah yang dimaksud dengan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. ad.2. Dasar Peniadaan Pidana karena Ketiadaan Unsur Kesalahan pada si Pembuat Asas tiada pidana tampa kesalahan telah dianut sejak tahun 1930, hanya si pembuat yang terbukti bersalah saja yang dapat dijatuhi pidana. Kesalahan adalah bagian penting dalam tindak pidana dan demikian juga halnya untukmenjatuhkan pidana. Jika kesalahan itu tidak ada pada si pembuat dalam suatu perbuatan tertentu, maka berdasrkan asas ini si pembuatnya tidak boleh dipidana. 102 Ketiadaan kesalahan si pembuat atas perbuatannya terjadi karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang keadaan nyata atau fakta yang ada ketika perbuatan dilakukan. Contoh pada kasus pengusaha susu, dimana si pengusaha susu mencampur susu dengan air, yang oleh liveransirnya dikirim pada pelanggannya yang menurut ketentuan hukum pidana dilarang. Liveransirnya tersebut tidak dipdana oleh Hoge Raad dikarenakan dia tidak mengetahui tentang susu yang dikirimkannya ke pelanggannya itu ternyata telah dicampur dengan air oleh si pengusaha. Sesungguhnya arrest HR inilah yang menjiwai asas tiada pidana tanpa kesalahan. Mengenai penegakan hukum pidana berlaku prediksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga si pembuat tidak dapat membela diri dengan alasan bahwa dia tidak mengetahui hukum. Tetapi dalam praktik ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai hukum kadang dapat dijadikan alasan peniadaan pidana. Contohnya adalah pada kasus seorang pengendara sepeda motor yang sebelum mengendarai motornya itu dia telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenang untuk mendapatkan informasi selengkapnya tentang surat-surat yang diperlukan untuk mengendarai kendaraan bermotor, yang ternyata pejabat itu tidak memberikan informasi yang sempurna, karena polisi itu tidak memberikan keterangan bahwa diperlukan juga surat bukti kewarganegaraan, tidak dipersalahkan dan karenanya tidak dipidana oleh Hoge Raad atas dakwaan mengendarai kendaraan bermotor tanpa kelengkapan surat-surat. (Schaffmeister dkk., Sahetapy (ed), 1995:71, 147). 103 C. DASAR-DASAR YANG DIPERBERATNYA PIDANA MENYEBABKAN a. Dasar Pemberatan Pidana Umum Undang-undang mengatur tentang tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana umum, ialah: 1. dasar pemberatan karena jabatan 2. dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan 3. dasar pemberatan karena pengulangan (recidive) ad.1. Dasar Pemberatan Pidana karena Jabatan Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP yang rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat karena melakukan tindak pidana melanaggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.” Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai empat hal ialah dalam melakukan tindak pidana dengan: a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya b. memakai kekuasaan jabatannya c. menggunakan kesempatan karena jabatannya d. menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat ditambah sepertiga, adalah bagi seorang pejabat atau epgawai negeri yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan atau menggunakan 4 keadaan tersebut diatas. Walaupun kualitas pegawai negeri dalam Pasal ini sama dengan kulitas subjek hukum 104 pada kejahatan-kejahatan jabatan dalam BAB XXXVIII Buku II dan pelanggaran jabtan dalam BAB VIII Buku III, tetapi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini tidak berlaku pada kejahatankejahatan Jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai pegawai negeri itu telah diperhitungkan. Jadi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis dann bentuk tindak pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang diterangkan diatas. Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52 dengan subjek hukum kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sama yakni pegawai negeri, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat atas dasar Pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan, yaitu: • tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan Pasal 52 ini pada dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan oleh setiap orang • sedangkan tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh subjek hukum yang berkualitas pegawai negeri saja. Tentang siapa atau dengan syarat-syarat apa yang dimaksud dengan pegawai negeri tidaklah dijelaskan lebih jauh dalam undang-undang. Pasal 92 KUHP tidaklah menerangkan tentang siapa pegawai negeri, tetapi sekedar menyebut tentang beberapa macam pegawai negeri, yaitu: • orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasrkan aturan-aturan umum • orang-orang yang dipilih bukan karena pemilihan menjadi anggota badan pembentuk undang-undang, badan 105 pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah • semua anggota dewan subak • semua kepala rakyat indonesia asli • semua kepala golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan yang sah. Sedangkan tentang pengertian pegawai negeri ada diterangkan dalam yurisprudensi, seperti dalam pertimbanganpertimbangan putusan Hoge Raad masing-masing tanggal 30-11911, 25-10-1915 dan 26-5-1911, yang pada dasarnya menerangkan bahwa pegawai negeri itu adalah: “barangsiapa yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat pekerjaan umum untuk melakukan sebagian dari tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya” (Jonkers, 1987:282). Jadi pengertian pegawai negeri menurut Hoge Raad mengandung 3 unsur pokok, ialah: • dia diangkat oleh kekuasaan umum • untuk menjabat pekerjaan umum dan • melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat perlengkapannya Menurut Hoge Raad, gaji tidaklah merupakan syarat penting dari pengertian pegawai negeri. Pengertian pegawai negeri menurut H.R. ini ternyata dianut pula oleh Mahkamah Agung R.I sebagaimana ternyata dalam pertimbangan dari putusan-putusannya (22-11-953, 1-12-1962) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pegawai negeri adalah setiap orang yang diangkat oleh penguasa yang dibebani dengan jabatan umum untuk melaksanakan sebagian tugas negara. 106 a. Melanggar Suatu Kewajiban Khusus dari Jabatan Dalam hal ini, yang dilanggar dilakukan oleh pegawai negeri dalam melakukan tindak pidana itu adalah kewajiban khusus dari jabatan, dan bukan kewajiban umum jabatan. Dalam suatu jabatan in casu jabatan publik yang dipangku oleh seorang pegawai negeri terdapat suatu kewajiban khusus di dalamnya. Suatu kewajiban khusus adalah suatu kewajiban yang berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu dari suatu jabatan. Seorang polisi yang diperintah bertugas di Pos Keamanan sebuah Bank, maka dia dibebani tugas khusus yaitu untuk menjaga keamanan dan keselamtan bank beserta seluruh orang yang berhubungan dan berkepentingan dengan bank tersebut dimana dia bertugas. Akan tetapi kewajiban khusus tersebut dapat pula dilanggarnya dengan melakukan tindak pidana yang justru menyerang keselamatan dan keamanan bank itu sendiri, misalnya dia berkomplotan dengan orang lain untuk merampok bank tersebut, dia memberi informasi dan merancang kejahatan itu serta berlaku pasif untuk memberi kesempatan pada teman-temannya tadi dalam menjalankan aksi perampokan tersebut. b. Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Kekuasaan Jabatan Suatu jabatan in casu jabatan publik disamping membeban kewajiban khusus dan kewajiban umum dari jabatannya, juga memiliki suatu kekuasaan jabatan, suatu kekuasaan yang melekat dan timbul dari jabatan yang dipangku. Kekuasaan yang dimilikinya dapat disalahgunakan pemangkunya untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan itu. Contohnya seorang Penyidik karena jabatannya itu dia memiliki kekuasaan 107 untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Dengan kekuasaan ini dia menangkap seorang musuh pribadi yang dibencinya dan menahannya tanpa memperdulikan ada atau tidaknya alasan penahanannya atau merekayasa alasan dari tindakannya itu. Oknum polisi ini dapat diperberat pidananya dengan ditambah sepertiga dari 8 tahun penjara (333 ayat 1). c. Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Kesempatan dari Jabatan Pegawai negeri dalam melaksanakan tugas pekerjaan berdasarkan hak dan kewajiban jabatan yang dipangkunya kadangkala memiliki suatu waktu yang tepat untuk melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang, apabila kesempatan ini disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana itu, maka dia dipidana pemberatan sepertiganya dari ancaman pidana maksimum yang ditentukan dalam tindak pidana yang dilakukannnya tadi. Misalnya, seorang penyidik pembantu dalam melaksanakan penyitaan barang-barang perhiasan di toko perhiasan, ketika itu dia mempunyai kesempatan untuk mengambil dengan melawan hukum sebagian dari perhiasan yang disita, maka pada kesempatan yang demikian dia melakukan perbuatan terlarang tersebut. d. Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Sarana Jabatan Seorang pegawai negeri dalam menjalankan kewajiban dan tugas jabatannya diberikan sarana-sarana tertentu, dan sarana mana dapat digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu. Di sini dapat diartikan menyalahgunakan sarana dari jabatannya untuk melakukan suatu tindak pidana. Misalnya, seorang polisi 108 yang diberi hak menguasai senjata api, dan dengan senjata api itu dia menembak mati musuh pribadi yang dibencinya. Maka dapat diperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya dengan ditambah sepertiga dari 15 tahun (338) atau sampai maksimum 20 tahun. Pemberat pidana yang didasarkan pada 4 (empat) macam keadaan yang melekat atau timbul dari jabatan adalah wajar, mengingat keadaan-keadaan dari jabatan itu dapat memperlancar atau mempermudah terjadinya tindak pidana (segi objektif), dan juga dari orang itu membuktikan niat buruknya yang lebih kuat untuk mewujudkan tindak pidana, yang keadaan-keadaan mana diketahuinya atau disadarinya dapat mempermudah dalam mewujudkan apa yang dilarang undang-undang (segi subjektif). ad.2. Dasar Pemberatan Pidana dengan Menggunakan Sarana Bendera Kebangsaan Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana bendera kebangsaan dirumuskan dalam Pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah: “Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga.” Dalam Pasal tersebut tidak menentukan tentang bagaimana caranya dalam menggunakan bendera kebangsaan pada waktu melakukan kejahatan itu, oleh sebab itu dapat dengan menggunakan cara apapun , yang penting kejahatan itu terwujud. Oleh karena dalam Pasal 52 a ini disebutkan secara tegas penggunaan bendera kebangsaan itu adalah waktu melakukan kejahatan, maka disini tidak berlaku pada pelanggaran. Disini berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut perundang-undangan di luar KUHP. 109 ad.3. Dasar Pemberatan Pidana karena Pengulangan (Recidive) Mengenai pengulangan KUHP mengatur: a. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP; dan b. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386, 387 dan 388 itu, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3). Pada tindak pidana yang lain yang tidak masuk pada yang diterangkan pada butir a dan b tersebut di atas, tidak dapat terjadi pengulangan. Oleh karena tidak mengenal general recidive inilah, maka pengaturannya tidak dimuat dalam buku pertama, melainkan dikelompokkan pada ketiga Pasal tersebut dalam Buku II dan Pasal-pasal tertentu lainnya dalam Buku II (kejahatan) maupun Buku III (pelanggaran). Menurut Pasal 486, 487, dan 488 pemberatan pidana ialah dapat ditambah dengan dengan sepertiga dari ancaman maksimum pidana (penjara menurut Pasal 486 dan 487, dan semua jenis pidana menurut Pasal 488) yang diancamkan pada kejahatan yang bersangkutan. Sedangkan pada recidive yang ditentukan lainnya di luar kelompok tindak pidana yang termasuk dan disebut dalam ketiga pasal ini ada juga yang diperberat-dapat ditambah dengan sepertiga dari ancaman maksimum, tetapi banyak yang tidak menyebut “dapat ditambah dengan sepertiga, melainkan diperberat dengan menambah lamanya saja, misalnya dari 6 hari kurungan menjadi dua minggu kurungan (492 ayat 2) atau mengubah jenis 110 pidananya dari denda diganti dengan kurungan (495 ayat 2, 501 ayat 2). Alasan pemberatan pidana pada pengulangan ini ialah terletak pada 3 (tiga) faktor: a. faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana b. faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena tindak pidana yang pertama c. pidana itu telah dijalankannya pada yang besangkutan Pada faktor yang pertama sebenarnya sama dengan faktor pemberat pada perbarengan. Perbedaannya dengan perbarengan, ialah pada faktor kedua dan ketiga, sebab pada perbarengan si pembuat karena melakukan tindak pidana pertama kali belum diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberatan pada pengulangan, yang lebih penting ialah pada faktor kedua dan ketiga. Penjatuhan pidana karena melakukan suatu tindak pidana, dapat dianggap suatu peringatan oleh negara tentang tentang kelakuan yang tidak dibenarkan. Dengan melakukan tindak pidana kedua kalinya, dinilai bahwa yang bersangkutan tidak mengindahkan peringatan negara tersebut, menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai perangai yang sangat buruk, yang tidak cukup peringatan dengan mempidana sebagimana yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum dari tindak pidana yang dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487 dan 488 harus memenuhi dua syarat essensial, yaitu: a. Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana yang telah dijatuhkan hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani 111 pidana, atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu, hak negara untuk menjalankan pidananya belum daluarsa. b. Melakukan kejahatan penanggulangannya adalah dalam waktu belum lewat 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani sebagian atau seluruh pidana yang dijatuhkan. Pada syarat yang pertama, disitu disebutkan 4 (empat) kemungkinan, ialah: 1) telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan 2) telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan 3) ditiadakan dari menjalani pidana; atau 4) hak negara untuk menjalankan pidana terhadapnya belum lampaui waktu. Dalam hal pengulangan, si pembuatnya harus sudah dipidana karena melakukan tindak pidana yang pertama kali, karena dalam Pasal 486, 487 dan 488 disebutkan telah menjalani pidana yang dijatuhkan. Walaupun tidak disebut perihal syarat telah dijatuhkan pidana, tetapi dengan menyebut syarat telah menjalani pidana, maka sudah pasti didalamnya mengandung syarat telah dijatuhi pidana. Bahwa mengenai pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan terdapat beberapa kemungkinan, ialah: a) pertama dilaksanakan seluruhnya b) kedua dilaksanakan sebagian c) ketiga pelaksnaannya ditiadakan d) keempat tidak dapat dilaksanakan berhubung sesuatu halangan yang tidak dapat dihindarkan, misalnya sebelum putusan yang mempidanya in kracht van gewijsde atau sebelum putusan itu dieksekusi narapidana melarikan diri. 112 D. DASAR-DASAR DIPERINGANNYA PIDANA BAGI PEMBUAT 1. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Umum a. Menurut KUHP: Belum Berumur 16 Tahun Bab III Buku I KUHP mengatur tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana. Tentang hal yang memperingan pidana dimuat dalam Pasal 45, 46 dan 47. akan tetapi sejak berlakunya Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketiga pasal itu telah tidak berlaku lagi (Pasal 67). Kini penting hanya dari segi sejarah hukum pidana, khususnya pidana anak. Sebelum membicarakan tentang hal yang memperingan pidana bagi anak menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997. Menurut Undang-undang Pengadilan anak, anak yang disebut anak adalah manusia yang umurnya 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dan belum berumur 8 tahun tidak dapat diajukan ke pengadilan tetapi dapat dilakukan penyidikan (Pasal 5 UU No.3 Tahun 1997), dan dalam hal ini terdapat dua kemungkinan: a. jika penyidik berpendapat anak itu masih dapat dibina oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali anak itu kepada orang tua, wali atau orangtua asuhnya. b. jika penyidik berpendapat anak itu tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak itu kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan. 113 Dasar peringanan pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997, terdapat 2 (dua) unsur kumulatif yang menjadi syaratnya, ialah: pertama mengenai: umurnya (telah 8 tahun tapi belum 18 tahun)dan yang kedua mengenai: belum pernah menikah. Dalam sistem hukum kita, selain umur juga perkawinan adalah menjadi sebab kedewasaan seseorang. Sama dengan KUHP, UU No.3 Tahun 1997 ini juga terhadap anak (KUHP: belum berumur 16 Tahun, UU ini telah berumur 8 tahun tapi belum 18 tahun dan belum pernah kawin) yang terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan satu diantara dua kemungkinan, ialah menjatuhkan pidana atau menjatuhkan tindakan. (Pasal 21). Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal yang melakukan tindak pidana ialah pidana pokok dan pidana tambahan (23 ayat 1). Pidana Pokoknya ada 4 macam (23 ayat 2), ialah: a. pidana penjara b. pidana kurungan c. pidana denda d. pidana pengawasan Sedangkan pidana tambahan bagi Anak Nakal (23 ayat 3) ialah: a. pidana perampasan barang-barang tertentu dan atau b. pembayaran ganti rugi c. menyerahkannya kepada Departemen Sosial, Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (Pasal 24 ayat 1) 114 Dalam hal pidana penjara, dibedakan menjadi dua kategori (Pasal 26), yaitu: a. Untuk tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan ialah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat 1) b. Sedangkan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dapat dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun ialah hanya terhadap Anak Nakal yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum 18 (delapan belas) tahun (Pasal 23 ayat 2). 2. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Khusus Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringanan tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang disebutkan itu saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar peringan pidana khusus ini tersebar di dalam pasal-pasal KUHP. Untuk dapatnya dinyatakan suatu tindak pidana sebagai lebih ringan tentu ada pembandingnya. Dalam tindak pidana lebih ringan, inilah ada unsur yang menyebabkan diperingannya pidana terhadap si pembuatnya. Tindak pidana bandingannya atau pembandingnya itu ada dua, yaitu: 1. biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut juga bentuk biasa atau bentuk standard 2. pada tindak pidana lainnya (bukan termasuk bentuk pokok), tapi perbuatannya serta syarat-syarat lainnya sama 115 Pertama, ada macam tindak pidana tertentu yang dapat dibedakan atau dikelompokkan ke dalam bentuk pokok, yang lebih berat dan yang lebih ringan. Pada tindak pidana bentuk ringan (sama jenisnya), di dalamnya terdapat unsur tertentu yang menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih ringan dari pada bentuk pokoknya . unsur penyebab ringannya inilah yang dimaksud dengan “dasar diperingannya pidana khusus. Contoh tindak pidana dalam bentuk pokok: pembunuhan (338), penganiayaan (351 ayat 1), pencurian (362), penggelapan (372), penipuan (378). Pada beberapa tindak pidana dalam jenis yang sama, ada dalam bentuk yang lebih ringan (kadang disebut tindak pidana ringan), yaitu pembunuhan dalam hal yang meringankan (341), penganiayaan ringan (352), pencurian ringan (364), penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379). Dasar penyebab diperingannya tindak pidana tersebut yaitu: ï‚· pada pembunuhan Pasal 341 ialah pembuatnya adalah seorang ibu, dan objeknya adalah bayinya sendiri ï‚· pada penganiayaan ringan ialah akibat perbuatan berupa tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan pekerjaan jabatan atau pencairan (352) ï‚· pada pencurian ringan ialah (1) tidak dilakukan dalam sebuah kediaman atau pekarangan yang tertutup yang didalamnya ada tempat kediaman, dan (2) nilai/harga benda (objek) kurang dari Rp.250,- (364) ï‚· penggelapan ringan ialah: (1) objeknya bukan ternak, dan (2) nilai benda/objek kejahatan kurang dari Rp. 250,- (373) 116 ï‚· penipuan ringan ialah (1) objek kejahatan bukan ternak, dan (2) nilai benda-objek kejahatan kurang dari Rp. 250,(379) Kedua, disebut tindak pidana yang lebih ringan, yang pembanding lebih ringannya itu bukan pada bentuk pokok, tetapi pada perbuatan serta syarat-syarat lainnya yang sama. Contohnya, kejahatan meninggalkan bayi karena takut diketahui melahirkan pada Pasal 308 jika dibandingkan kejahatan meninggalkan anak pada Pasal 305. RANGKUMAN Dalam KUHP terdapat 7 (tujuh) dasar yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat, yaitu: karena cacat jiwa, daya paksa (overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer excess), menjalankan perintah undang-undang dan karena melaksanakan perintah jabatan yang sah serta menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik. Sedangkan dasar peniadaan pidana diluar undang-undang yaitu apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara materiil dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif dan didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. (geen straft zonder schuld). Sedangkan dasar dari pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana yaitu karena melaksanakan suatu kewajiban khusus dari jabatannya, memakai kekuasaan jabatannya, menggunakan kesempatan karena jabatannya dan menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya. Adapun dasar-dasar dari peringanan pidana yaitu karena pelakunya yang masih dibawah umur atau anak. Dengan disahkannya Undangundang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilananak maka Pasal 45, 46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdsarkan Undang- 117 undang tersebut peringanan pidana terhadap anak nakal yaitu sepertiga dari ancaman hukuman orang dewasa dan apabila diancam dengan hukuman mati atau seumur hidup maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara. LATIHAN 1. Jelaskan, apakah yang dimaksud dengan overmacht, dan diatur dalam Pasal berapa di dalam KUHP? 2. Apakah yang dimaksud dengan keadaan darurat, dan sebutkan 3 macam keadaan terpaksa? 3. Apakah yang dimaksud dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, dan apa persamaannya dengan pembelaan terpaksa? 4. Coba saudara berikan contoh kasus dari seseorang yang diringankan pidananya karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik? 5. Sebutkan tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana umum? 6. Bagaimanakah sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup dalam kaitannya dengan peringanan pidana atas penghapusan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP? GLOSSARIUM overmacht adalah daya paksa noodweer adalah pembelaan terpaksa noodweer excess adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas strafuitslutingsgrondena adalah alasan penghapus pidana requisitoir adalah tuntutan Jaksa Penuntut Umum veroordering adalah putusan pemidanaan 118 onslag van alle rechtvervolging adalah putusan pelepasan dari tuntutan hukum geen straft zonder schuld adalah tiada pemidanaan tanpa kesalahan DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. H.J. Schravendijk, 1955, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta-Groningen. J. Hardjawidjaja dan J.E. Jonkers, 1987, Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta. P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Aksara Baru, Jakarta. Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana, Bagian I, Balai Lektur Mahasiswa. --------------------------, Tanpa Tahun, Hukum Pidana, Bagian II, Balai Lektur Mahasiswa. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang. Zainal Abidin, 1995, Hukum Pidana, Prapantja dan Taufieq, JakartaMakassar. Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta. 119 BAB VI PERBARENGAN TINDAK PIDANA (CONCURSUS ATAU SAMENLOOP) Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami pengertian concursus dalam kaitannya dengan penjatuhan hukuman Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu: 1. menjelaskan pengertian concursus, baik concursus realis maupun concursus idealis 2. menerangkan pengertian dari perbuatan lanjutan sebagai salah satu bentuk concursus 3. mengungkapkan penerapan hukuman terhadap ketiga jenis concursus yang tersebut diatas. 4. memberikan contoh kasus dari setiap bentuk concursus tersebut Concursus atau perbarengan tindak pidana ialah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim (Adami Chazawi, 2007:109). Concursus juga diartikan sebagai beberapa perbuatan pidana yang terjadi secara sekaligus atau serentak (Leden Marpaung, 2005:32). Ilmu hukum pidana mengenal 3 (tiga) bentuk concursus yang juga disebut ajaran, yakni sebagai berikut: 120 a. Concursus idealis (eendaadsche samenloop); terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan hukum pidana b. Concursus realis (meerdaadsche samenloop); terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan c. Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling); terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang sedemikian eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan. Ketiga hal di atas merupakan suatu yang rumit dan sering menimbulkan perdebatan dalam penanganan perkara pidana. Agar lebih jelas, perlu pembahasan secara rinci. 1. Concursus Idealis Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP yang berbunyi sebagai berikut. (1) Jika satu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu norma pidana, yang dipakai hanya salah satu dari norma pidana itu; jika hukumannya berlainan, yang dipakai adalah norma pidana yang diancam pidananya yang terberat. (2) Jika bagi suatu perbuatan yang termasuk dalam norma pidana umum, ada suatu norma pidana khusus, norma pidana khusus ini saja yang harus dipakai. Berdasakan rumusan Pasal 63 KUHP tersebut, para pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan pidana. Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan pidana yang dimuat dalam Pasal 63 KUHP sebagai berikut. “Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang berguna menurut hukum pidana, yang karena cara 121 melakukannya, atau karena orang yang melakukannya, atau karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang” (Tirtaamidjaja, 1995: 114). Beberapa contoh dari pendapat Prof. HazewinkelSuringa di atas diutarakan sebagai berikut: 1) Seorang guru berbuat cabul dengan muridnya yang masih di bawah umur. Kejadian tersebut melanggar tindak pidana perlindungan terhadap anak dan salah menggunakan kekuasaan 2) Seseorang melakukan pemerkosaan di jalan umum. Kejadian tersebut melanggar tindak pidana pemerkosaan dan kessusilaan di hadapan umum. Dahulu sampai pada tahun 1932, feit diartikan sebagai perbuatan atau tindakan materiil. Hal ini dapat diketahui dari arrest Hoge Raad, masing-masing tanggal 15 Oktober 1917, N.J.1917, halaman 1092, W.10170, dan tanggal 26 Mei 1930, N.J. 1930, halaman 1437, W.12200, yang antara lain berbunyi sebagai berikut. “feit itu berarti suatu tindakan dalam arti materiil. Perbuatan bersepeda di sebuah jalan yang terlarang dan tanpa memakai sebuah bel itu merupakan satu tindakan. Demikian halnya perbuatan bersepeda ke arah yang terlarang dan tampa memakai tanda pembayaran pajak bersepeda.” Pendapat Hoge Raad kemudian beubah pada tahun 1932 dalam arrest-arrest sebagai berikut, a) Arrest tanggal 15 Februari 1932, N.J. 1932 halaman 289, W.12491. Hoge Raad berpendapat antara lain sebagai berikut: “Terdakwa telah mengendarai mobilnya pada waktu ia sedang berada dalam kaeadaan mabuk. Dalam 122 pada itu mobilnya tersebut tidak dilengkapi dengan dua buah lampu. Yang penting di dalam kenyataan yang pertama itu adalah keadaan terdakwa, sedang di dalam kenyataan yang kedua adalah keadaan mobilnya. Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing merupakan pelanggaran yang berdiri sendiri-sendiri dengan sifat yang berbeda-beda. Bahwa dua kenyataan itu telah timbul pada waktu yang bersamaan bukanlah merupakan sesuatu yang bersifat menentukan. Kenyataan yang satu tidak ada kaitan dengan kenyataan yang lain. Kenyataan yang satu bukan merupakan syarat bagi timbulnya kenyataan yang lain. Kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri. Disini terdapat concursus realis.” b) Arrest tanggal 13 Maret 1933, halaman 837, W. 12592. Hoge Raad berpendapat, antara lain sebagai berikut: “Di dalam satu kecelakaan, seorang pengemudi mobil telah menyebabkan matinya seorang pengendara sepeda dan telah menyebabkan seorang lainnya luka-luka pada tubuhnya. Apa yang sesungguhnya telah terjadi itu bukanlah satu pelanggaran, melainkan perbuatan yang menimbulkan dua akibat yang terlarang oleh undangundang. Ini merupakan dua perbuatan....(Lamintang, PAF, 1984:652). Berdasarkan uraian di atas Hoge Raad menyatakan pendapatnya terhadap concursus realis. Berdasrkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang satu bukan bagian perbuatan yang lain; perbuatan yang satu bukan suatu keadaan, dalam mana perbuatan yang lain 123 terjadi; bahwa perbuatan itu tampak dengan nyata tidak bersangkut paut. Bagi concursus idealis merupakan hal sebaliknya, yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana. Dalam hal yang demikian, yang diterapkan hanya satu norma pidana yakni yang ancaman hukumannya yang terberat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa keadilan. Selain itu Pasal 63 ayat (2) menentukan bahwa jika ada aturan khusus, aturan umum dikesampinkan. Aturan khusus tersebut umumnya telah mencakup semua unsur aturan umum ditambah satu atau lebih unsur lain. Hal ini dapat dilihat mislnya, Pasal 351 KUHP yang berbunyi: (1) Penganiayaan dihukum.... (2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, ia dihukum.... (3) jika perbutan itu menjadikan mati orangnya, ia dihukum.... Hal serupa juga dapat dilihat pada Pasal 356 KUHP: Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya: 1e. jika sitersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya), atau anaknya. 2e. Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab ia menjalankan pekerjaannya yang sah. 3e. .... 2. Concursus Realis Hal ini diatur dalam Pasal 65, 66 dan 67 KUHP. Pasal 65 KUHP berbunyi sebagai berikut: 124 (1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang masing-masing berdiri sendiri dan merupakan beberapa kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman pokok yang sejenis, maka satu hukuman saja yang dijatuhkan (2) Lama yang tertinggi dari hukuman itu adalah jumlah hukuman-hukuman tertinggi atas perbuatan itu, tetapi tidak boleh lebih dari hukuman yang terberat ditambah sepertiga Pasal 66 KUHP berbunyi sebagai berikut: (1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan merupakan beberapa kejahatan yang atasnya ditentukan hukuman pokok tidak sejenis, maka setiap hukuman itu dijatuhkan, tetapi jumlah lamanya tidak boleh melebihi hukuman yang tertinggi ditambah sepertiga. Pasal 70 KUHP berbunyi: (1) jika ada gabungan secara dimaksud dalam Pasal 65 dan 66 atau antara pelanggaran dengan pelanggaran maka untuk tiap-tiap pelanggaran itu dijatuhkan hukuman dengan tidak dikurangi. Mengenai concursus realis terdapat contoh kasus sebagi berikut: S alias R (33 tahun) pada tahun 1995 sampai dengan 1996, beberapa kali telah melakukan sodomi dengan anak lelaki berumur sekitar 10-12 tahun. Setelah melakukan sodomi, R menghabisi anak-anak tersebut dan meninggalkan mayat para korban. Putusan Judex facti (No.254/Pid/B/1996/PN.Jkt. Pusat dan No.80/Pid/1997/PT.DKI) hingga Mahkamah Agung No.1467.K/Pid/1997) menetapkan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan melakukan perbuatan cabul dengan orang sejenis, yang patut diduga belum dewasa. Dengan 125 demikian, terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan dalam dakwaan pertama primair eks Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP tentang perbarengan perbuatan dan dakwaan kedua eks Pasal 292 tentang perbuatan cabul jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Kemudian Mahkamah Agung menghukum terdakwa dengan pidana mati. Pasal 65 dan 66 KUHP disebut menganut sistem kumulasi sedangkan Pasal 70 KUHP disebut menganut sistem absorbsi yang diperberat. Adapun pelanggaran dengan pelanggarann disebut kumulasi murni. Pada penerapan kumulasi murni terhadap pelanggaran-pelanggaran, selainn berpedoman pada Pasal 70 KUHP, juga harus diperhatikan Pasal 30 ayat (6) KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Hukuman kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan. 3. Perbuatan Lanjutan (Voortgezette Handeling) Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: (2) Dalam hal antara beberapa perbuatan, meskipun perbuatan itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada sedemikian hubungannya sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut, maka hanayalah satu atauran hukum saja yang diberlakukan, jika berlainan, maka dipakai aturan dengan hukuman pokok yang terberat. Tirtaamidjaja memberi contoh perbuatan berlanjut tersebut sebagai berikut; miksalnya A hendak berzina dengan seorang perempuan B yang telah bersuami; A melaksanakan maksudnya itu dengan beberapakali berzina dengan perempuan itu dalam selang waktu yang tidak terlalu lama. Contoh keadua, A 126 menguasai kas N.V. tempat ia bekerja, memutuskan untuk megambil untuk dirinya sendiri sebagian dari isi kas itu. Untuk melaksanakan maksud itu, ia mengambil beberapa kali dalam interval waktu yang tak lama suatu jumlah tertentu (Tirtaamidjaja, 1955: 118). Pada memorie tentang pembentukan Pasal 64 KUHP dimuat anatara lain: (1) bahwa beberapa perbuatan itu harus merupakan pelaksanaan suatu keputusan yang terlarang; bahwa suatu kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari sekumpulan tindak pidana yang sejenis; (2) bahwa suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu pencurian dan suatu penganiayaan itu secara bersama-sama tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu perbuatan berlanjut, oleh karena a) untuk melaksanakan kejahatan-kejahatan itu, pelakunya harus membuat lebih dari satu putusan; b) untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan untuk melaksanakannya, pelakunya pasti memerlukan waktu yang berbeda (Lamintang, 1984:679). Berdasarkan penjelasan memorie diatas, para pakar pada umumnya berpendapat bahwa “perbuatan berlanjut” sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP, terjadi apabila: a) kejahatan atau pelanngaran tersendiri itu adalah pelaksanaan dari satu kehendak yang terlarang b) kejahatan atau pelanggaran itu sejenis c) tenggang waktu antara kejahatan atau pelanggaran itu tidak terlalu lama 127 RANGKUMAN Concursus idealis terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan hukum pidana. Sedangkan concursus realis; terjadi apabila seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan. Adapun bentuk concursus yang ketiga yaitu perbuatan lanjutan terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang sedemikian eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan. GLOSSARIUM Concursus : perbarengan tindak pidana eendaadsche samenloop : concursus idealis meerdaadsche samenloop : concursus realis voortgezette handeling : perbarengan dari perbuatan berlanjut LATIHAN 1. Jelaskan, apakah yang dimaksud dengan concursus idealis 2. Jelaskan pula, apakah yang dimaksud dengan concursus realis 3. Apa saja yang menjadi syarat suatu perbuatan dapat dikatakan sebagi perbuatan berlanjut. Sebutkan. 4. Bagaimanakah penerapan pidana terhadap masing-masing concursus tersebut. Jelaskan secara singkat. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. 128 Leden Marpaung, 1993, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta. Tirtaamidjaja, 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta. 129 BAB VII AJARAN KAUSALITAS Tujuan Umum Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami ajaran kausalitas dalam hukum pidana sebagai salah satu ajaran yang sangat penting dalam hubungannya siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas pelanggaran pidana Tujuan Khusus Pembelajaran Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu: 1. memahami pentingnya asas kausalitas dalam hukum pidana 2. menjelaskan kaitan asas legalitas dengan delik materiil dari hukum pidana 3. menguraikan perbedaan antara teori conditio sine que non, teoriteori yang mengindividualisir dan teori-teori yang menggeneralisir 1. Pentingnya Ajaran Kausalitas Apabila dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak pidana dapat dibedakan antara (1) tindak pidana yang dirumuskan secara formil, disebut dengan tindak pidana formil (formeel delicten), dan (2) tindak pidana yang dirumuskan secara materiil, disebut dengan tindak pidana materiil (materieel delicten). Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu. Artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud perbuatan tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilah yang menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil, 130 kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak pidana tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari perbuatan itu. Contohnya pencurian (362), apabila perbuatan mengambil selesai, maka pencurian itu selesai. (Adami Chazawi, 2007:213) Tindak pidana materiil ialah tindak pidana yang dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat terlarang (unsur akibat konstitutif). Walaupun dalam rumusan tindak pidana disebut juga unsur tingkah laku (misalnya menghilangkan nyawa pada pembunuhan: 338 atau menggerakkan pada penipuan: 378), namun untuk penyelesaian tindak pidana tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku, akan tetapi apakah wujud dari tingkah laku telah menimbulkan akibat terlarang ataukah tidak. Pada pembunuhan (338) hilangnya nyawa orang lain, atau pada penipuan telah menimbulkan akibat orang menyerahkan benda, membuat hutang atau menghapuskan piutang. Mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa, misalnya dengan wujud konkritnya menusuk (dengan pisau) tidaklah demikian melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya korban (Adami Chazawi, 2007:213). Dalam hal percobaan tindak pidana materiil juga digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah laku. Tingkah laku telah diwujudkan misalnya melepas tembakan, tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah percobaan pembunuhan (338 jo 53) (Adami Chazawi, 2007:213). Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu: 131 1. terwujudnya tingkah laku 2. terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gevolg), dan 3. ada hubungan kausal (causaal verband) antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif. Tiga syarat itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil atau tiga syarat diatas adalah kumulatif. Untuk menentukan terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat tidak lah sulit. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit dikarenakan seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Contoh, seorang bapak mengendarai sepeda motor hendak menyeberang-mengambil jalur yang lain dengan berbelok ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dan ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang. Menghadapi keadaan seperti itu si pengendara mobil menginjak rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban dijalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut. Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda motor, namun tiba-tiba di depan mobil yang telah berhenti dan masih duduk diatas sadel sepeda motornya,bapak itu rubuh dan jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan ke rumah sakit. Di rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah jam kemudian meninggal dunia. Hasil penyidikan menentukan bahwa si pengendara mobil dissangka kurang hati-hati yang menyebabkan orang meninggal dunia (359). Di samping itu hasil otopsi menentukan bahwa kematian korban karena seranngan jantung karena si korban mengidap penyakit jantung yang sewaktu-waktu dapat kambuh dan meyebabkan kematian. Contoh 132 kasus diatas menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam praktik hukum untuk menentukan ada tidaknya hubungan kausal antara wujud perbuatan (pada contoh di atas: mengemudikan kendaraan dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat yang timbul yang menyebabkan kematian bapak tadi. Pada peristiwa di atas, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian. Rangkaian faktor itu ialah: 1. korban berbelok kanan-menyeberang dengan tiba-tiba 2. pengemudi mobil dengan sekuat tenaga menginjak rem 3. adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal; menyebabkan 4. korban terkejut; menyebabkan 5. kambuhnya penyakit jantung korban 6. tidak segera mendapatkan pertolongan medis. 2. Macam-Macam Ajaran Kausalitas Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat dikelompokkan kedalam 3 teori yang besar, yaitu: 1. teori conditio sine que non; 2. teori-teori yang mengindividualisir (individualiserede theorien); 3. teori-teori yang menggeneralisir (genaraliserende theorien) ad. 1. Teori Conditio Sine Que Non Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden reichtsgericht (Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai hukum ialah (1) Uber Kausalitat und deren verantwortung, dan (2) Die Kausalitat und ible strafrechtliche Beziebungen. Tentang ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873 133 ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada dan tidak dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat. Teori ini tidak membedakan mana faktor syarat dan mana faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk penyebabnya. Sehingga keenam faktor yang disebutkan diatas yang menyebabkan kematian pengendara motor diatas tidak ada yang merupakan syarat, semuanya menjadi faktor penyebab. Semua faktor dinilai sama perananannya terhadap timbulnya akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah satu dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat menurut waktu, tempat dan keadaan senyatanya dalam peristiwa itu. Teori ini memperluas pertanggung jawab dalam hukum pidana disebabkan karena orang yang perbuatannya dari sudut objektif hanya sekadar syarat saja dari timbulnya suatu akibat, misalnya pada contoh diatas tadi ialah faktor pengeamudi mobil menginjak rem dengan keras dan kemudian faktor menimbulkan bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal adalah sekadar faktor syarat saja, akan tetapi karena dinilai sama dengan faktor penyebab kematiannya secara medis adalah karena kambuhnya penyakit jantung, sehingga si pengemudi dinilai bertanggung jawab atas kematian bapak tadi. Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan tidakadilan. Walupun teori ini memiliki kelemahan yang mendasar, tetapi toh dalam praktik di negeri Belanda pernah juga dianut oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan (8-41929) yang menyatakan bahwa “untuk dianggap sebagai sebab daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak perlu bersifat umum atau normal” (Satochid,tt:451). 134 Walaupun ada kelemahan pada ajaran ini, tetapi dengan mudah dapat digunakan dan diterapkan pada segala peristiwa, dan para praktisi hukum tidaklah perlu berdebat panjang dan susah payah memikirkan untuk mencari faktor penyebab yang sebenarnya atau faktor yang paling kuat baik secara akal maupun ilmu pengetahuan yang menjadi penyebab atas timbulnya suatu akibat tertentu. Ad.2. Teori-Teori yang Mengindividualisir Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu berserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka diantara sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu akibat. Sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat saja dan bukan faktor penyebab. Menurut Birkmeyer, tidak semua faktor yahg tidak bisa dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor penyebab, melainkan hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang paling dominan atau palaing kuat pengaruhnya terhadap timbulnya akibat. Menurut pendapat ini pada contoh kasus diatas maka sekiranya faktor serangan penyakit jantung yang paling dominan peranannya terhadap kematian pengendara motor tersebut. Sedangkan faktor lainnya bukanlah sebagai faktor penyebab dari matinya orang tersebut. 135 Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya, pada teori yang mengindeividualisir ini terdapat kelemahan berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu: a. dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang mempunyai pengaruh yang paling kuat, dan b. dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul. Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu, menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian ahli hukum terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah teori-teori yang menggeneralisir. Ad.3. Teori-teori yang Menggeneralisir Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akbiat adalah dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat. Persoalannya ialah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu sebab itu pada umunya secara wajar dan menurut akal dapat menimbulkan suatu akibat? Membahas mengenai persoalan ini, maka timbulah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang disebut dengan toeri adequat subjektif, dan pendirian objektif yang kemudian disebut dengan teori adequat objektif. a. Teori Adequat Subjektif Teori adequat subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau 136 disadari oleh si pembuat sebagai adequat akibat tersebut. Sebenarnya teori adequat subjektif dari teoeri kausalitas yang murni, karena di penentuan tentang unsur kesalahan pada diri 1990:71). untuk menimbulkan von kries ini bukan dalamnya tersimpul si pembuat (Sudarto, b. Teori Adequat Objektif Teori ini dipelopori RUMELIN yang ajarannya disebut dengan teori obyectif nachtragliche prognose atau peramalan yang objektif, karena dalam mencari causa dari suatu akibat pada faktor objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat. Contoh teori adequat subjektif dengan teori adequat objektif serta penerapannya: seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena meminum obat yang telah dimasuki racun, maka racun itu menimbulkan akibat matinya pasien. c. Ajaran kausalitas dalam Hal Perbuatan Pasif. Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana dibedakan antara tindak pidana aktif atau tindak pidana positif (tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana negatif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewajiban hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu. 137 RANGKUMAN Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu: terwujudnya tingkah laku terwujudnya akibat, dan ada hubungan kausal antara wujud tingkah laku dengan akibat konstitutif. Tiga syarat itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil atau tiga syarat diatas adalah kumulatif. Untuk menentukan terwujudnya tingkah laku dengan terwujudnya akibat tidak lah sulit. Akan tetapi untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit dikarenakan seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. LATIHAN 1. Jelaskan alasan pentingnya asas kausalitas bagi hukum pidana? 2. Apakah kaitan asas legalitas dengan delik materiil dari hukum pidana? 3. Jelaskan perbedaan antara teori conditio sine que non, teori-teori yang mengindividualisir dan teori-teori yang menggeneralisir? GLOSSARIUM formeel delicten : delik formil materieel delicten : delik materil post factum: masa setelah terjadinya tindak pidana DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang. 138 BAB VIII DELIK ADUAN Tujuan Umum Pembelajaran (TUP): Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang delik aduan absolut dan delik aduan relatif. Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP): Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan: (1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang perbedaan delik biasa dan delik aduan. (2) Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara delik aduan absolut dan delik aduan relatif. (3) Mahasiswa mampu menyebutkan/menunjukkan contoh-contoh delik aduan yang terdapat dalam KUHP. (4) Mahasiswa mampu menyebutkan pihak yang berhak mengajukan pengaduan dan tenggang waktu pengajuan aduan. A. PENGERTIAN DELIK ADUAN (KLACHT DELICT) Delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu. Pada umumnya seseorang telah melakukan kejahatan, maka demi kepentingan umum, maka ia akan dituntut oleh Pemerintah melalui aparat-aparatnya yaitu Jaksa (Penuntut Umum). Akan tetapi dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu, Jaksa tidak akan mengadakan penuntutan, karena kepentingan orang yang menderita oleh kejahatan tersebut adalah jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kepentingan umum. 139 Dalam delik aduan ini, jaksa hanya akan melakukan penuntutan, bila telah ada pengaduan dari orang yang menderita dirugikan oleh kejahatan tersebut, umpamanya dalam suatu rumah tangga terjadi pencurian, kemudian setelah diusut ternyata yang melakukan pencurian tersebut adalah isterinya sendiri. Dalam peristiwa ini, Jaksa tidakakan melakukan penuntutan sebelum pihak yang dirugikan itu (suami) mengajukan pengaduan lebih dahulu. Delik-delik aduan ini tidak terdapat pengaturannya dalam Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku ke-II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjuk siapa-siapa yang berhak mengajukan aduan tersebut. Pembentuk undang-undang telah mensyaratkan tentang adanya suatu pengaduan bagi delik tertentu. Adapun sebabnya menurut von Liszt, Berner dan von Swinderen (Lamintang, 1984: 207) adalah bahwa dipandang secara obyektif pada beberapa delik tertentu itu kerugian material atau ideal dari orang yang secara langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan daripada kerugian-kerugian lain pada umumnya. Menurut Memorie van Toelichting (MvT), disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan daripada kenyataan, yakni jika penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus tersebut. Sehingga keputusan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan. 140 Dalam KUHP Indonesia hanya dikenal lembaga delik aduan ini khusus dalam bidang kejahatan saja. Sungguhpun dalam suatu kejahatan itu telah ditentukan adanya delik aduan, baik absolut maupun relatif, namun dalam hukum acaranya tetap berlaku azas opportunitas. Jadi walaupun yang mengajukan perkara tersebut telah membuat pengaduan, namun Jaksa Penuntut Umum masih tetap berhak mendeponeer perkara yang bersangkutan bila dianggap perkara itu patut untuk tidak diajukan ke pengadilan. Kemudian timbul pula persoalan baru, yaitu apakah dapat dilakukan pengusutan/penyidikan (opsporing) sebelum kejahatan aduan itu diajukan oleh yang berhak. Menurut Jonkers, penyidikan dapat dilakukan, karena KUHP hanya melarang penuntutan (vervolging) dan tidak pernah melarang pengusutan/penyidikan (opsporing). Bukankah, sering penting sekali pengusutan itu segera dilakukan setelah kejahatan tersebut diketahui, demi untuk mencegah dihilangkannya bahan bukti (Utrecht, tt: 247). B. PEMBAGIAN DELIK ADUAN Perihal delik aduan ini, pada umumnya dibagi dalam dua jenis yaitu: 1. Delik aduan yang absolut (mutlak). Tresna menamainya absolute klachtdelict. Yang dimaksud dengan delik aduan absolut ini ialah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan oleh penuntut umum bila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannya. Sejalan dengan itu Pompe mengemukakan absolute klachtdelict atau delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya, adanya suatu pengaduan itu merupakan voorwaarde van 141 vervolgbaarheid atau merupakan syarat agar pelakunya dapat dituntut. Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jenis delik aduan absolut ini ialah misalnya: a. Kejahatan penghinaan (Pasal-pasal 310 s/d 319 KUHP), kecuali penghinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Maka terhadap si penghina ini dapat dituntut oleh Jaksa tanpa menunggu aduan dari si pejabat tersebut. Dasar penuntutan ini ialah adanya kepentingan umum yang lebih besar dari kepentingan orang yang bersangkutan. b. Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284 tentang zina; Pasal 287 tentang bersetubuh dengan perempuan yang bukan isterinya yang umurnya belum sampai 15 tahun; Pasal 293 tentang membujuk seseorang yang masih belum dewasa dan belum pernah berkelakuan tidak pantas, menjalankan perbuatan cabul: Pasal 332 tentang melarikan seorang perempuan). c. Kejahatan membuka rahasia (Pasal 322 KUHP) 2. Delik aduan relatif (relatieve klachtdelict) Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu, justeru diperlakukan sebagai delik aduan. Menurut Pompe, relatieve klachtdelict atau delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde voor vervolgbaarheid atau suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat 142 suatu hubungan yang bersifat khusus (Pompe dalam Lamintang, 1984: 208) Dalam melakukan penuntutan terhadap delik aduan relatif ini, dapat dipisah-pisahkan penuntutannya. Misal si A dan si B sama-sama melakukan pencurian harta benda ayahnya, tetapi kemuadian oleh si ayah hanya si B yang diminta untuk dituntut, sedang si A tidak dituntut. Jadi umumnya delik aduan relatif ini hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan: (1) Pencurian dalam keluarga , dan kejahatan terhadap harta kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP); (2) Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP); (3) Penggelapan (Pasal 376 KUHP); (4) Peniupuan (Pasal 394 KUHP). Jadi dalam delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisahpisahkan, artinya bila ada beberapa orang yang melakukan kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap orang yang diingini oleh yang berhak mengajukan aduan, maka sebaliknya dalam delik aduan absolut, maka bila yang satu dituntut, dengan sendirinya semua pelaku dari kejahatan itu harus dituntut juga. Pada delik aduan absolut itu adalah cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja, sedang pada delik-delik aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orangnya yang ia duga telah merugikan dirinya (Pompe dalam Lamintang, 1984: 209). Orang juga sering mengatakan bahwa suatu pengaduan pada delik-delik aduan absolut itu adalah onsplitbaar atau tidak dapat dipecahkan, dan tidaklah demikian halnya dengan suatu pengaduan pada delik-delik aduan relatif yang splitbaar atau dapat di pecahkan (Lamintang, 1984: 209). 143 Disamping pengaduan, dikenal pula istilah “pelaporan”. Dari segi hukum, antara istilah pengaduan dan pelaporan terdapat perbedaan-perbedaan sebagai berikut: Pelaporan Dapat dilakukan terhadap semua kejadian dan semua perbuatan, baik yang bersifat pidana maupun tidak, yang biasanya dilakukan bila ada permintaan dari orang yang berkepentingan. Dapat dilakukan oleh semua orang terhadap kejadian yang diketahuinya. Dapat dijadikan dasar penuntutan, tetapi bukanlah merupakan suatau keharusan. Pengaduan Hanya dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana, dan hanya oleh orang-orang tertentu saja. Hanya dapat diadukan oleh orang-orang tertentu yang merasa dirugikan. Menjadi syarat untuk diadakannya penuntutan. C. PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PENGADUAN DAN TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN PENGADUAN Pihak mana atau siapa yang sesungguhnya berhak mengajukan aduan dan berapa lama tenggang waktunya, menegenai hal ini dapat dilihat ketentuan Pasal 72 KUHP: (1) Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau kepada orang yang dibawah penilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil (2) Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang mengawas-awas atau curator (penilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas-awas atau yang menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan isteri, 144 seorang kaum keluarga dalam turunan yang lurus, atau kalau ini tak ada atas pengaduan kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat yang ketiga. Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa yang berhak mengajukan aduan tersebut ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang yang belum dewasa). Tetapi selain orang-orang yang tersebut di atas yang paling utama yang berhak mengajukan aduan tersebut ialah orang yang langsung dikenai kejahatan itu. Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut diatur dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP: Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo enam bulan sesudah orang yang berhak mengadu mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, kalau ia berdiam di Negara Indonesia ini, atau dalam tempo sembilan bulan sesudah ia mengetahui itu, kalau berdiam di luar Negara Indonesia. Jadi kalau seseorang mempunyai hak untuk mengajukan aduan, ia hanya boleh memasukkan aduan tersebut paling lama dalam jangka waktu enam bulan setelah kejadian itu diketahuinya, tetapi kalau kebetulan ia berdiam di luar negeri, maka tenggang waktu itu paling lama sembilan bulan. Dalam penjelasan KUHP disebutkan, kalau pengaduan tersebut diajukan secara tertulis, maka tenggang waktu untuk mencabutnya adalah tiga bulan kemudian, terhitung semenjak hari dimasukkan. Dan untuk yang diajukan secara lisan, terhitung semenjak hari pemberitahuan dengan lisan, atau untuk yang dikirim, terhitung semenjak tanggal pengiriman. Apabila yang berhak mengajukan aduan tersebut meninggal sebelum ia sempat memasukkan pengaduan, maka yang berhak mengajukan aduan tersebut adalah ibu, bapak, atau suami yang masih hidup, kecuali nyata-nyata bahwa yang meninggal itu tidak menginginkan diadakannya penuntutan (Pasal 73 KUHP). 145 Menurut MvT, penentuan dari suatau jangka waktu adalah untuk menentukan suatu vervaltermijn atau untuk menentukan suatu jangka waktu tertentu yang apabila di dalam jangka waktu yang telah ditentukan itu orang yang berwenang untuk mengajukan suatu pengajuan telah tidak mengajukan suatu pengaduan, maka haknya untuk mengajukan pengaduan menjadi batal. Di samping itu agar seseorang yang berwenang untuk mengajukan pengaduan itu jangan sampai terlalu lama memikul beban menurut undang-undang dan agar perkaranya dapat dituntut secepat mungkin (van Hamel dalam Lamintang, 1984: 210) Khusus terhadap kejahatan zina, pengaduan dapat dicabut setiap saat, sebelum sidang pengadilan dimulai, dan setiap aduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi untuk hal yang serupa (Tresna, 1959: 67). D. PENGATURAN DELIK ADUAN DALAM RKUHP Pengaturan Delik Aduan (Tindak Pidana Aduan) dalam RKUHP terdiri dari 6 pasal, dimulai dari pasal 25 sampai dengan Pasal 30. Pasal 25 (1) Dalam hal-hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan. (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilakukan kepada semua peserta, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu. Penjelasan: Ayat (1) Beberapa tindak pidana hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam beberapa kejadian, mengingat kepentingan pribadi dari orang yang dikenai tindak pidana akan lebih besar dirugikan apabila perkara 146 itu dituntut dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum bila tidak dilakukan penuntutan. Ayat (3) Pada tindak pidana aduan mutlak, pengaduan tidak dapat dipisahpisahkan, dalam arti walaupun disebutkan nama orang tertentu dalam pengaduan, penuntutan dilakukan atas semua peserta yang oleh pengadu tidak disebutkan. Dalam penuntutan tindak pidana aduan mutlak yang dipentingkan adalah menyebut tindak pidananya. Dalam pengaduan relatif pengaduan dapat dipecah, dalam arti penuntutan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang disebut dalam pengaduan dan tidak dapat dilakukan terhadap orang lain. Pasal 26 (1) Dalam hal orang yang terkena tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada di bawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah menurut hukum perdata. (2) Dalam hal wakil yang sah tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas, atau atas dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus. (3) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ada, maka peng-aduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyamping sampai derajat ketiga. Pasal 27 (1) Dalam hal yang terkena tindak pidana aduan meninggal dunia dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tuanya, anaknya, suaminya, atau isterinya yang masih hidup. (2) Hak pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur, jika yang meninggal sebelumnya tidak menghendaki penuntutan. 147 Pasal 28 (1) Pengaduan dilakukan dengan cara menyampaikan pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang. Pasal 29 (1) Pengaduan hams diajukan dalam tenggang waktu : a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; atau b. 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak mengadu bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia. (2) Jika yang berhak mengadu lebih dari seorang, maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak masing-masing mengetahui adanya tindak pidana. Pasal 30 (1) Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan. (2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi. RANGKUMAN: 1. Disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di dalam suatu kasus tertentu mungkin akan mendatangkan kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu dari orang yang telah dirugikan. Sehingga keputusan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan. 148 2. Delik aduan absolut (absolute klachtdelict) adalah tiap-tiap kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan oleh penuntut umum bila telah diterima aduan dari yang berhak mengadukannya. 3. Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu, justeru diperlakukan sebagai delik aduan. LATIHAN: 1. Kemukakan pengertian delik aduan 2. Jelaskan perbedaan antara delik biasa dan delik aduan. 3. Jelaskan perbedaan antara delik aduan absolut dan delik aduan relatif 4. Sebutkan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jenis delik aduan absolut dan delik aduan relatif. 5. Sebutkan pihak-pihak yang berhak mengajukan pengaduan 6. Jelaskan tentang tenggang waktu pengajuan aduan dan maksud pembuat undang-undang membatasi tenggang waktu pengajuan pengaduan tersebut. 7. Kemukakan perbedaan antara pelaporan dan pengaduan GLOSSARIUM: absolute klachtdelict: delik aduan absolut yaitu delik yang pada dasarnya, adanya suatu pengaduan itu merupakan syarat agar pelakunya dapat dituntut. relatieve klachtdelict: delik aduan relatif yaitu delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana 149 antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus voorwaarde van vervolgbaarheid: syarat agar pelakunya dapat dituntut. DAFTAR PUSTAKA Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: Sinar Baru. R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya. Tresna, R. 1959. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta. P.T.Tirta Ltd. 150 BAB IX PERCOBAAN (POGING) Tujuan Umum Pembelajaran (TUP): Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang percobaan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana. Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP): Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan: (1) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan syarat-syarat percobaan. (2) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tujuan dipidananya pelaku percobaan melakukan kejahatan. (3) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Niat (voornemen) pada percobaan. (4) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang adanya permulaan pelaksanaan kejahatan. (5) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tidak selesainya perbuatan diluar kehendak si pelaku. (6) Mahasiswa mampu menyebutkan/menunjukkan contoh-contoh percobaan kejahatan yang dapat dipidana. (7) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis-jenis percobaan. A. PENGERTIAN DAN SYARAT-SYARAT PERCOBAAN (POGING) Pengaturan mengenai percobaan dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP yaitu: Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadisampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri. 151 Dari rumusan di atas terlihat bahwa penyusun KUHP telah membuat percobaan untuk melakukan kejahatan sebagai suatu perbuatan yang terlarang dan mengancam pelakunya dengan suatu hukuman. Adapun mengenai pengertian dari percobaan itu sendiri ternyata pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksudkan dengan percobaan itu. Untuk itu ada baiknya melihat kepada penjelasan dalam MvT tentang pembentukan Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan: Dengan demikian, percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai, tetapi ternyata tidak selesai ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan”. Penjelasan MvT di atas ternyata tidak banyak membantu untuk dapat memahami maksud dari percobaan, bahkan penjelasan tersebut telah pula menimbulkan masalah berkenaan dengan istilah “permulaan pelaksanaan” yang harus ditafsirkan sebagai permulaan pelaksanaan maksud si pelaku ataukah permulaan pelaksanaan kejahatan itu sendiri. Ada tiga syarat agar pelaku dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu: 1. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud untuk melakukan kejahatan tertentu. 2. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki, dan 3. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalahmasalah yang tidak tergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah 152 disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri. B. TUJUAN/MAKSUD PEMIDANAAN PERCOBAAN KEJAHATAN Pembentuk undang-undang merasa perlu pula membebani tanggungjawab pidana dengan mengancam pidana pada si pembuat yang belum sepenuhnya mewujudkan tindak pidana secara sempurna sebagaimana yang dirumuskan undang-undang. Adapun alasannya dapat dilihat dari dua sudut ialah bahwa walaupun kejahatan itu tidak terselesaikan secara sempurna: 1. Pada orang yang mempunyai niat (voornemen) jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut subjektif); dan 2. Pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa permulaan pelaksanaan (sudut objektif) dari suatu kejahatan, dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang. Agar niat jahat orang itu tidak berkembang lebih jauh dengan diwujudkan sedemikian rupa ke dalam pelaksanaan sehingga pelaksanaan menjadi selesai sempurna, maka untuk pencegahannya kepada orang seperti itu telah patut diancam pidana. Untuk itu perlulah orang yang telah memenuhi syarat-syarat percobaan kejahatan sebagaimana ditentukan undang-undang dibebani tanggung jawab dengan memberikan ancaman pidana terhadap si pembuatnya, walaupun ancaman pidana lebih ringan daripada jika kejahatan itu telah diselesaikannya secara sempurna. Andaikata tidak dirumuskan tersendiri (yang bersifat umum) seperti pada Pasal 53, sudah barang tentu sipembuat yang tidak menyelesaikan tindak pidana (kejahatan) tidaklah dipidana. 153 Dari apa yang diterangkan di atas, maka tidak dapat lain bahwa percobaan kejahatan ini bukan suatu tindak pidana (yang berdiri sendiri) seperti pada istilah delik percobaan, akan tetapi ketentuan khusus dalam hal memperluas pembebanan pertanggungjawaban pidana, bukan saja terhadap si pembuat yang menyelesaikan tindak pidana dengan sempurna, tetapi dipertanggungjawabkan pula dengan dipidananya bagi si pembuat yang karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak pidana secara sempurna. Demikian juga, percobaan bukan unsur tindak pidana, tetapi tindak pidana yang tidak sempurna, yang pada dasarnya tidak dipidana. Tindak pidana yang tidak sempurna tidaklah disebut sebagai tindak pidana, walaupun diancam pidana sebagaimana juga tindak pidana sempurna. Dengan demikian, percobaan juga bukan perluasaan arti dari tindak pidana. Dari pemuatan syarat-syarat dipidananya percobaan kejahatan dalam Pasal 53 ayat (1) tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi syarat-syarat tersebut Pasal 53 (1), dan secara a contrario ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat dipindana, yakni jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, misalnya pada syarat ke tiga: percobaan kejahatan yang pelaksanaanya tidak selesai disebabkan karena kehendaknnya sendiri atau yang biasa disebut dengan pengunduran diri sukarela (vrijwillige terugtred) 2. disamping itu juga ada percobaan kejahatan yang secara tegas oleh undang-undang ditetapkan percobaanya tidak dipidana, contoh pada percobaan penganiayaan biasa (351 ayat 5), percobaan penganiayaan hewan (302 ayat 4) percobaan perang tanding (184 ayat 5). 3. percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (bahkan ditegaskan dalam Pasal 54). 154 4. percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus, dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa. Karena istilah niat di sini adalah artinya kesengajaan yang mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki. Sedangkan culpa adalah sikap batin yang ceroboh tidak berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa. 5. percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab tindak pidana omisionis unsure perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan yang in casu haru berbuat. 6. juga ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaanya. C. PENGERTIAN NIAT (VOORNEMEN) Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat di sini diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Tetapi sebaliknya dalam hal kesengajaan yang mana, di sini telah menimbulkan perbedaan pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum berpendapat luas, ialah terhadap semua bentuk kesengajaan (Hanindyopoetro, 1967:4). Demikian juga dalam praktik hukum mengikuti pandangan sebagian besar para pakar hukum dengan menganut pendapat yang luas. Pendapat yang sempit telah dianut oleh VOS yang memberikan arti niat di sini sebagai kesengajaan sebagai tujuan saja. Di Indonesia, Moeljatno yang berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan. 155 Adanya persoalan tentang niat yaitu apakah niat untuk melakukan kejahatan mempunyai kedudukan yang sama pada percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus yang selesai menurut yurisprudensi (HR 6 Pebruari 1951) niat sering disamakan dengan kesengajaan (Schaffmeister. Dkk, 2007: 211). D. Pengertian Adanya Permulaan Pelaksanaan (Begin Van Uitvoering) Sebagaimana diketahui dalam hal percobaan kejahatan, terdapat dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subjektif dan ajaran objektif yang berbeda pokok pangkal dalam memandang hal permulaan pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran yang digunakan adalah berbeda. Ajaran subjektif bertitik tolak dari ukuran batin si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak dari sudut wujud perbuatannya. Patutnya dipidana terhadap percobaan kejahatan menurut pandangan subjektif, adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi. Sebaliknya menurut ajaran objektif, patutnya dipidana percobaan kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang, jadi telah mengandung sifat berbahaya bagi kepentingan hukum. Berdasarkan pijakan masing-masing dari kedua ajaran itu, maka menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Ajaran subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat secara psikis sanggup melakukannya. 156 Van Dijk, tentang hal ini menyatakan: “Ada perbuatan pelaksanaan kalau pembuatnya dihadapkan dengan waktu dan tempat akan dilakukannya kejahatan, membuktikan dirinya sanggup melakukan perbuatan yang diperlukan untuk menyelesaikannya” (Schaffmeister. Dkk, 2007: 212). Simons, tentang permulaan pelaksanaan ini menjelaskan bahwa: “Pada kejahatan dengan rumusan formal ada percobaan yang dapat dipidana kalau perbuatan yang dilarang dalam undangundang mulai dilakukan. Pada kejahatan dengan rumusan materiil, kalau perbuatan mulai dilakukan yang menurut sifatnya segera dapat menimbulkan akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang yang tanpa dilakukannya perbuatan lebih lanjut, dapat menimbulkan akibat itu” (dalam Schaffmeister. Dkk, 2007: 212). Menurut ajaran subjektif ada permulaan pelaksanaan ialah apabila dari wujud perbuatan yang dilakukan telah tampak secara jelas niat atau kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana. Contohnya orang yang tidak biasa berhubungan dengan senjata tajam, suatu hari sekonyong-konyong dia mengasah pedang, dari wujud mengasah pedang ini telah tampak adanya niat untuk melaksanakan kejahatan dengan pedang yang diasahnya itu, misalnya pembunuhan orang. Tetapi sebaliknya menurut ajaran objektif adanya permulaan pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan ialah pada tindak pidana tertentu. Misalnya seseorang berhadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan mengarahkan moncong senjata itu kearah orang yang dibencinya. Perbuatan mengokang pistol dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Sedangkan menarik pelatuk pistol adalah perbuatan pelaksanaan pembunuhan. 157 Untuk melihat dimana letak batas antara perbuatan persiapan dengan perbuatan permulaan pelaksanaan menurut pandangan subjektif, diberikan contoh: A. berkehendak untuk membunuh. B. musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan rangkaian tingkah laku sebagai berikut: a. suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar b. masuk ke sebuah toko c. di toko itu dia membeli sebuah pedang d. dia kembali ke rumah e. dilihatnya pedang itu tumpul dia kemudian mengasah pedang itu sampai tajam f. kemudian disimpannya di almari g. pada malam harinya dengan membawa pedang dia berjalan menuju rumah calon korban, yakni B h. di muka pintu dia mengetuk pintu dan dibukakan oleh istri B, dan A dipersilahkan masuk – dia masuk dan duduk disalah satu kursi i. ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, cepat A mencabut pedang dari balik bajunya j. A mengayunkan pedang yang terhunus kea rah leher B dan mengenai bahu, (istri B berteriak – banyak orang berdatangan hendak menolong. A melarikan diri). Dari lukanya tidak menyebabkan kematian. Dalam pembentukan KUHP, Menteri Modderman dengan tegas menyerahkan pilihan antara ajaran objektif dan subjektif kepada ilmu pengetahuan dan peradilan karena menurut beliau, keduanya lebih sanggup mencari jalan yang tepat daripada pembuat undang-undang. Memang yurisprudensi sedikit demi sedikit sempat membangun jalur kebijakan untuk menghadapi kebhinekaan situasi dalam praktik yang tidak dapat diatur secara tuntas oleh ketentuan hukum yang abstrak. Jadi penting pula mengetahui pertumbuhan jalur kebijakan dari Hoge Raad. 158 Pada tahun 1934 Hoge Raad mengeluarkan putusan pembakaran di kota Eindhoven. A dan B bersepakat untuk membakar rumah dengan persetujuan pemiliknya yang sedang bepergian, dengan maksud untuk membagi pembayaran asuransi yang akan diperoleh di antara mereka bertiga. Mereka membuat sumbu panjang dari pakaian bekas, mencelupkannya ke dalam bensin dan menaruhnya di seluruh rumah. Ujung sumbu diikat dengan “pistol gas” dalam dapur. Picu dari pistol diikat dengan tali yang melalui jendela dapur ditarik melewati tembok luar sehingga semua peralatan itu dapat dipergunakan dari luar rumah. Setelah menjadikan rumah “siap bakar”, mereka pergi dengan maksud kembali pada waktu malam untuk menarik tali tadi. Bau bensin mengganggu hidung orang lewat dan terjadilah kerumunan orang di sekitar rumah itu. Mudah dipahami bahwa waktu para calon penarik tadi kembali dan melihat kerumunan itu, merka takut dan mengambil langkah seribu. Persoalannya apakah disini hanya ada perbuatan persiapan ataukah juga ada perbuatan pelaksanaan yang bukan karena kehendak pelaku-pelakunya (takut karena kerumunan orang yang menciumbau bensin) tadi mengakibatkan delik pembakaran menjadi tidak selesai. Hoge Raad memutuskan pelaku tidak dapat dipidana karena belum ada permulaan pelaksanaan sebagaimana tersebut dalam pasal 53 KUHP. Dalam perkembangan dari yurisprudensinya, HR dalam putusannya mengarah pada ajaran objektif yang diperlunak. Hal ini terlihat pada putusan Cito (Oktober 1978) sebagai berikut: Dua orang bersenjata dan bertopeng dengan membawa tas menuju ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan perampokan. Mereka membunyikan bel, tetapi pintu tidak dibuka. Pada saat itu merekaditangkap polisi. HR menimbang bahwa 159 perbuatan tersebut merupakan perbuatan pelaksanaan karena “menurut bentuk perwujudannyadari luar harus dipandangsebagai diarahkan untuk menyelesaikan kejahatan”. Jadi dalam hal ini terjadilah percobaan yang dapat dipidana yaitu kejahatan pencurian dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP). Perbuatan dua orang tersebut hanya dapat merupakan permulaan perampokan bersenjata, sedangkan karena perilakunya bersama-sama satu unsur perumusan delik telah terpenuhi. Menurut van Veen yang memberikan catatan dibawah putusan Cito tersebut, pada delik yang dikualifikasi lebih banyak terdapat perbuatan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya. Dengan perkataan lain, bersenjata, bertopeng, dan membunyikan bel adalah mulai melaksanakan pencurian dengan kekerasan, tetapi tidak bersenjata, tidak bertopeng, dan mengebel bukan permulaan pelaksanaan dari pencurian biasa (Schaffmeister. Dkk, 2007: 223). E. ARTI PELAKSANAAN TIDAK SELESAI BUKAN SEBAB DARI KEHENDAKNYA SENDIRI Pada syarat ketiga ini, ada 3 unsur atau hal yang penting untuk dibicarakan, ialah: a. tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan? b. tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan yang tidak selesai, atau pelaksanaan dengan syarat apa yang disebut dengan pelaksanaan yang tidak selessai? c. Tentang apa yang dimaksud dengan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri? Mengenai pelaksanaan (uitvoering) ini atau lengkapnya perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen) adalah perbuatan yang didahului oleh permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering), dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang 160 diperbuat, artinya ialah inilah satu-satunya perbuatan yang langsung dapat melahirkan kejahatan secara sempurna, tanpa harus ada perbuatan lain lagi. Ukuran ini memang harus objektif, karena perbuatan pelaksanaan itu sendiri adalah sesuatu yang objektif. Dalam hal ini tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan unsure perbuatan terlarang dalam rumusan kejahatan tertentu, atau dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari unsure perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya pada pencurian (362) perbuatan pelaksanaan adalah merupakan pelaksanaan dari perbuatan mengambil (wegnemen). Sedangkan dalam hal tindak pidana materiil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat terlarang yang dirumuskan dalam undang-undang, atau dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari perbuatan yang dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang. Misalnya pada pembunuhan (338), perbuatan yang dapat menimbulkan kematian: menembak, memukul, membacok, meracun, menusuk, dan lain-lain yang tidak terbatas wujudnya. Mengenai hal yang kedua, tentang pelaksanaan yang tidak selesai. Hal ini pun memiliki ukuran atau indicator yang tidak sama dengan tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Pada tindak pidana formil, pelaksaan yang tidak selesai artinya ialah perbuatan itu telah dimulai laksanakan yang pada saat atau sedang berlangsungnya kemudian terhenti, dalam arti apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan itu tidak terpenuhi. Apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi, adalah berlainan untuk setiap kejahatan, bergantung dari unsur perbuatan apa yang ditetapkan dalam rumusan kejahatan. 161 Agak lain dengan syarat pelaksanaan yang tidak selesai pada tindak pidana materiil, yang dalam hal ini ada 2 kemungkinan, yaitu: 1. karena tindak pidana yang dirumuskan secara materiil ini, pada intinya melarang menimbulkan akibat tertentu, dalam arti intinya larangan adalah pada menimbulkan akibat tertentu, dan bukan melarang melakukan perbuatan tertentu, maka pelaksaan tidak selesai artinya bila dari wujud perbuatan itu tidak menghasilkan akibat yang terlarang. Bisa jadi wujud perbuatannya tidak terhenti, melainkan telah penuh sempurna dilaksanakan seperti kejahatan selesai, misalnya menghilangkan nyawa (338) telah menarik pelatuk dan senapan meledak – peluru mengenai tubuh, tetapi tidak pada bagian yang mematikan, perbuatan itu tidak menimbulkan akibat matinya korban. 2. pada tindak pidana materiil bisa juga pelaksanaanya terhenti seperti pada tindak pidana formil, dan tentu akibat terlarang tidak timbul karena akibat ini merupakan syarat esensial. Misalnya perbuatan menembak, dia telah menarik pelatuk senapan, tetai tidak meledak. Perbuatan menembak sempurna ialah bila memenuhi syarat: menarik pelatuk senapan dan senapan meledak. Contoh yang lain, perkosaan (285), laki-laki itu memaksa untuk bersetubuh dengan mengeluarkan pisau, tetapi si wanita melawan- pisau terlepas dan beralih ketangan calon korban, dan persetubuhan/menyetubuhi tidak terjadi. Mengenai tidak selesai pelaksanaan semata-mata bukan sebab dari kehendaknya sendiri, titik berat pada syarat ketiga untuk dapat dipidananya percobaan kejahatan ialah tidak selesainya pelaksanaan semata-mata disebabkan oleh hal diluar kehendaknya. Arti kebalikannya ialah, apabila tidak selesainya pelaksanaan itu 162 disebabkan oleh kehendaknya sendiri (vrijwillige terugtred) maka orang itu tidak dipidana. Pengunduran diri sukarela syaratnya ialah pada keadaan tertentu dari suatu perbuatan (misalnya telah mengarah moncong pistol ke tubuh korban), dia dapat menruskan pelaksanaan kejahatan itu tanpa ada halangan (misalnya dengan hanya tinggal menarik pelatuknya), namun kesempatan untuk meneruskan pelaksanaanya tidak dipergunakannya (dia tidak menarik pelatuk pistolnya). Sedangkan motif apa seseorang mengundurkan diri secara sukarela tidak penting, misalnya takut berdosa, rasa kasihan, atau takut masuk penjara. Tetapi lain jika pengunduran diri itu disebabkan oleh adanya halangan bersifat fisik yang menekan kehendaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa menghentikan usaha membongkar brankas, karena tidak berhasil membuka pintunya. Dari keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda dapat disimpulkan bahwa pengunduran diri sukarela ini tidak dipidana, disebabkan karena dua hal, ialah: 1. untuk menjamin tidak dipidananya bagi orang yang sebenarnya mampu untuk meneruskan kejahatan, tapi dengan sukarela dia tidak meneruskannya. Bahwa bagi orang yang seperti ini harus dikesampingkan anggapan bahwa dia mampu melakukan kejahatan, karena telah ternyata kebalikannya (pertimbangan psikologis). 2. Usaha yang paling efektif untuk mencegah kejahatan ialah dengan cara memberikan perlindungan hukum untuk tidak dipidananya bagi orang yang sesungguhnya mampu meneruskan kejahatan, tetapi dengan sukarela tidak meneruskannya (adalah alasan utilitis) (Soedarto, 1987:22). 163 Halangan-halangan ini adalah berupa halangan fisik dari luar diri si pembuat, yang halangan mana tertentu pada 2 macam, yaitu: a. tertuju pada fisik si pembuat, sehingga dia tidak mampu menyelesaikan kejahatan. Halangan ini baik datangnya dari pihak korban (misalnya ditodong pisau, korban lebih kuat dan melawan), dari pihak ketiga (misalnya sedang menodong dengan pisau-tangannya dipukul orang), maupun dari alatnya (misalnya menodong dengan pistol yang lupa mengisi peluru), yang menyebabkan secara fisik si pembuat menjadi tidak dapat menyelesaikan pelaksanaan kejahatan. b. tertuju pada, psychis si pembuat, oleh sebab adanya tekanan yang bersifat fisik yang sedemikian rupa yang memaksa seseorang (psychis) mengundurkan diri dari kejahatan yang telah dimulai dan belangsung dilakukannya. Misalnya seorang penodong nasabah bank yang menyerah dengan meninggalkan tas korban di tempat, karena takut mati dikeroyok massa yang sedang mengepungnya, atau pencuri yang meninggalkan barang yang telah diangkatnya karena tidak kuat fisiknya untuk terus membawa pergi barang itu. Bisa juga orang yang mengundurkan diri sukarela karena telah berjam-jam berusaha membuka brankas namun tidak berhasil, ini pun dapat dipidana. F. PERCOBAAN TIDAK MAMPU Percobaan tidak mampu diartikan sebagai percobaan yang betapapun lanjutnya tidak akan dapat menyelesaikan kejahatan karena sarananya atau tujuannya tidak mampu. Ketidakmampuan sarana atau tujuan dibedakan antara yang mutlak dan yang nisbi. 164 Tidak mampu mutlak adalah sarana atau tujuan yang dalam keadaan apa pun tidak dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki. Tidak mampu nisbi adalah sarana atau tujuan pada umumnya dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki, tetapi dalam keadaan tertentu tidak demikian Jadi percobaan tidak mampu ada empat kemungkinan yaitu: Percobaan tidak mampu: 1. Percobaan tidak mampu mutlak a. Sarana tidak mampu mutlak Contoh: percobaan pembunuhan dengan membubuhkan gula yang dikira pelakunya racun. b. Tujuan tidak mampu mutlak Contoh: Percobaan pengguguran kandungan yang ternyata tidak ada kehamilan 2. Percobaan tidak mampu nisbi a. Sarana tidak mampu nisbi Contoh: Percobaan pembunuhan dengan menggunakan racun yang dosisnya terlampau kecil. b. Tujuan tidak mampu nisbi Contoh: Percobaan pencurian dari kas yang ternyata kosong. Dapat dipahami bahwa adanya pertentangan antara ajaran objektif dan subjektif berkenaan percobaan tidak mampu. Ajaran subjektif tidak membutuhkan perbedaan antaratidak mampu nisbi dan tidak mampu mutlak. Semua bentuk percobaan tidak mampu, baik nisbi maupun mutlak dapat dipidana menurut ajaran subjektif. Dalam teori ini percobaan yang dapat dipidana berdasarkan sikap batin jahat dari pembuat dan ini adalahidentik dalam kedua hal tersebut. Sebaliknya, teori objektif menginginkan hanya percobaan yang tidak mampu mutlak yang tidak dapat dipidana 165 sebab percobaan ini dalam keadaan apapun tidak menimbulkan bahaya objektifbagi tertib hukum. Lain halnya dengan percobaan yang tidak mampu nisbi. Sarana atau tujuan yang dipilih pada umumnya tidak mengesampingkan diselesaikannya kejahatan yang dituju, tetapi dalam keadaan konkret kemungkinan hasilnya berkurang dan karena inilah dianggap menimbulkan bahaya bagi tertib hukum. G. PENGATURAN PERCOBAAN DALAM RKUHP Percobaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana diatur dalam Paragraf 4, mulai Pasal 17 sampai dengan Pasal 20. Pasal 17 (1) Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang. (2) Ada permulaan pelaksanaan, jika: a) pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum; b) perbuatan itu langsung mendekati terjadinya tindak pidana; c) perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan untuk terjadinya tindak pidana. Penjelasan: Ketentuan dalam Pasal ini tidak memberikan definisi tentang percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang disebut melakukan percobaan tindak pidana, pembuat tindak pidana telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak pidana dan pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai basil atau akibat yang dilarang. 166 Permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan yang sudah sedemikian rupa berhubungan langsung dengan tindak pidana, sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah dimulai. Perbuatan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan persiapan, karena jika perbuatan yang dilakukan masih merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut tidak dipidana. Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika : a. perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum; b. secara obyektif, apa yang telah dilakukan sudah mendekati dengan tindak pidana yang dituju. Atau dengan kata lain, sudah mampu atau mengandung potensi mewujudkan tindak pidana tersebut; dan c. secara subyektif, dilihat dari niat pembuat tindak pidana tidak diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu ditujukan untuk mewujudkan tindak pidana. Pasal 18 (1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana. (2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana. (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tersebut. Penjelasan: Ketentuan dalam Pasal ini mengatur percobaan yang tidak dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas kemauan pembuat tindak pidana. Namun apabila percobaan itu 167 telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan suatu tindak pidana tersendiri, maka is tetap dipidana. Pasal 19 Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda Kategori I, tidak dipidana. Pasal 20 Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2 (satu per dua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang dituju. Penjelasan: Ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan objek tindak pidana yang dituju dapat teijadi secara relatifatau secara mutlak. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek secara relatif, percobaan itu telah membahayakan kepentingan hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana tidak teijadi. Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek secara mutlak, tidak akan ada bahaya terhadap kepentingan hukum. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka yang dipergunakan adalah taxi percobaan subjektif. H. YURISPRUDENSI (PUTUSAN TERHADAP KASUS PERCOBAAN) 1. Kasus Pembakaran di Kota Eindhoven (HR 19-3-1934) Para terdakwa telah membuat rencana yang canggih untuk membakar sebuah rumah di Jalan Ampere Eindhoven. Para penghuni rumah sepakat memberikan bantuan dengan keluar rumah pada hari yang ditentukan. Pada hari itu juga pembuat utama dengan pembantunya menaruh pakaian bekas 168 yang sudah direndam bensin secara rapat berjajar sehingga merupakan semacam sumbu di semua kamar, tangga, dan gang dalam rumah tersebut. Dalam dapur sepucuk pistol gas diikat pada kompor gas. Picunya diikat tali panjang yang melalui jendela dapur ditarik sampai tergantung di tembok luar. Dengan menarik tali dari luar rumah, maka akan timbul kebakaran karena percikan api dari pistol tersebut. Percobaan yang dilakukan polisi kemudian membuktikan bahwa pakaian bekas itu segera terbakar. Ketika pembuat utama pada malam harinya kembali ke rumah tersebut untuk menyelesaikan tugasnya menarik tali, dia menjumpai kerumunan orang yang agaknya terganggu hidungnya karena bau bensin. Merasa ulahnya sudah diketahui, pembuat ketakutan lalu mengambil langkah seribu. Adegan penarikan tali seperti telah ditentukan dalam skenario tidak dilangsungkan. Para terdakwa dituduh melakukan percobaan pembakaran yang menimbulkan bahaya umum bagi barang (Pasal 187 KUHP) dan pembantuan pada percobaan tersebut. Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Den Boch kaerena yang dituduhkan bukan perbuatan pelaksanaan, melainkan hanya perbuatan persiapan. Selain itu, dianggap mungkian ada pengunduran sukarela. Jaksa naik banding dan Pengadilan Tinggi Den Haag menjatuhkan pidana empat tahun terhadap terdakwa utama dan pembantunya dipidana enam bulan penjara. Para terdakwa minta kasasi dan sebagai salah satu sarana diajukan bahwa pembakaran masih dalam tahap persiapan sehingga tidak ada percobaan yang dapat dipidana. Hoge Raad sependapat dengan itu, membatalkan putusan Pengadilan Tingi dan melepaskan para terdakwa dari semua tuntutan hukum. Putusan mendapat banyak kecaman, kecuali dari penjahat Oss 169 yang terlibat dalam pembakaran tersebut yang tentu saja mensyukurinya. Hoge Raad Bantahan bahwa perbuatan yang terbukti baru merupakan perbuatan persiapan dan belum perbutan pelaksanaan adalah beralasan. Menururt Pasal 53 KUHP, untuk dapat dipidana percobaan melakukan kejahatan disyaratkan bahwa niat dari pembuatnya ternyata dari permulaan pelaksanaan, yaitu permulaan pelaksanaan dari kejahatan, yang dalam hal ini berupa pembakaran. Telah dimulainya pembakaran itu, jadi telah dilakukan perbuatan yang tidak hanya-seperti dipertimbangkan oleh pengadilan tinggi-harus ada untuk melaksanakan pembakaran yang diniatkan, tidak dapat ditujukan pada apapun lainnya serta berhubungan langsung dengan kejahatan yang dituju-sifat-sifat mana juga dapat dimiliki perbuatan persiapan-tetapi perbuatan mana menurut pengalaman-kecuali kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga-tanpa perbuatan pembuat lebih lanjut akan menimbulkan kebakaran. Kalau hubungan langsung itu diartikan oleh pengadilan tinggi sebgai hubungan segera dengan akibat, pendapat itu sesungguhnya tidak benar karena di sini tidak ada perbuatan yang menurut sifatnya menentukan dan perbuatan itu juga belum dimulai. Perbuatan perbuatan yang terbukti tidak memenuhi syarat perbuatan pelaksanaan. Benar pembuat telah menyiapkan segala sesuatu untuk membakar rumah, tetapi perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan dari pembakaran, perbuatan yang tanpa kejadian tak terdugamisalnya, macetnya pistol gas, tidak menyalanya pakaian 170 bekas yang dicelup bensin, tidak menjalarnya api, dan sebagainya-atau tanpa perbuatan dari orang lain- seperti ditepisnya tangan yang hendak menarik ujung tali dan sebagainya-dapat menimbulkan kebakaran, tidak tercakup dalam pembuktian dan juga tidak terdapat dalam alat-alat pembuktian. Pengadilan tinggi memang menyatakan terbukti bahwa pelaksanaan kejahatan tidak terjadi hanya karena suatu keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa. Maksud jahatnya terhalang sebelum api dinyalakan olehnya dan khususnya pengadilan tinggi menganggap bahwa kehadiran kerumunan orang tersebut menghalangi terdakwa untuk menarik tali, bahkan menghalangi munculnya terdakwa di tempat itu. Akan tetapi justru hal-hal inilah yang membuktikan tidak adanya perbuatan yang berada cukup dekat dengan penyelesaian kejahatan untuk dapat dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan. Komentar: Pengadilan tinggi menentukan bahwa pembuat utama akan menyelesaikan perbauatan pelaksanaan secara lengkap apabila dia tidak dihalangi oleh keadaan yang tidak bergantung pada kehendaknya. HR menganggap bahwa penilaian yuridis pengadilan tinggi mengenai perbuatan yang terbukti adalah tidak tepat. Tidak hanya pada soal percobaan tidak mampu-di sinipembedaan lebih berarti-tapi juga dalam soal dimana harus menarik garis antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan, harus dibedakan antara ajaran subjektif yang diperlunak atau ajaran objektif yang diperlunak karena pembedaan antara perbautan persiapan dan perbuatan pelaksanaan tanpa kriteria objektif adalah tidak mungkin. Ajaran yang paling subjektif pun harus mengajukan ciri-ciri objektif untuk menilai ketentuan dari niat. Soalnya, 171 hanya sampai seberapa penyelesaian itu harus didekati. Tidak diragukan bahwa putusam ini menuju ke arah yang sangat objektif. Tidak ada perbuatan positif lagi setelah pembuat utama meninggalkan rumah tersebut. Hoge Raad tidak mensyaratkan hubungan langsung dengan kejahatan, tetapi suatu perbuatan yang menurut pengalaman yang menuju ke penyelesaian, kecuali kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga. Di sini perbuatan yang menuju ke pembakaran adalah penarikan tali yang tergantung di tembok luar. Sekalipun demikian, Hoge Raad menegaskan bahwa perbuatan menarik tali tidak harus dilakukan tetapi dikehendaki kepastian bahwa perbuatan akan diselesaikan kalau tidak terhalang. Kepastian ini tidak ada karena terdakwa menyangkal keras (Dari Taverne, catatan di bawah putusan) 230 2. Kasus Martil (HR 29-5-1951) Setelah rencana-rencana terdahulu tidak berhasil, seorang wanita yang telah menikah bersepakat dengan pacarnya untuk menghilangkan nyawa suaminya dengan cara berikut. Si pacar diberi kunci untuk memasuki rumah pada malam hari, kemudian masuk ke kamar tidur dan memukul pingsan si suami, lau menyeretnya ke dapur untuk diracuni dengan gas sampai mati. Si pacar melakukan perannya menurut skenario, tetapi si suami agak bergoyang dalam tidurnya ketika kepalanya hendak dimartil sehingga palu besiini tidak tepat mengenai sasarannya. Si suami terbangun dan mengadakan perlawanan. Si pacar masih menghadiahkan beberapa pukulan lagi, tetapi akhirnya lari. Sama seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi pun memidana terdakwa karena percobaan pembunuhan berencana dengan pidana penjara selama 10 tahun. Pembela terpidana mengajukan sarana-sarana kasasi sebagai berikut: a. Dari alat-alat bukti tidak dapat disimpulkan bahwa kejahatan yang diniatkan tidak selesai semata-mata karena keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terpidana. 172 Selain itu hambatan-hambatan pribadi juga terpidana untuk menyelesaikan perbuatannya. b. Perbuatan-perbuatan yang terbukti secara dikualifikasikan sebagai “percobaan berencana” karena memukul dengan martil dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan dari yang diniatkan. menghalangi tidak benar pembunuhan belum dapat pembunuhan Hoge Raad a. Mengingat jalannya kejadian tidak ada sesuatu yang menunjukkan bahwa tanpa melesetnya pukulan pertama, terbangunnya korban dan-meskipun dipukul berkali-kali oleh terdakwa-perlawanan keras si korban, maka terdakwa menghentikan pelaksanaannya lebih lanjut dari niatnya dan dari kejahatan. Tidak ada sesuatu yang menghalangi pengadilan untuk menarik kesimpulan dari alat-alat bukti bahwa tidak selesainya pelaksanaannya lebih lanjut, hanya akibat dari keadaan yang terbukti dan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa. b. Kalau seseorang dengan pertimbangan yang masak dan secara tenang berniat memukul pingsan orang lain dan kemudian membunuhnya dengan peracunan gas, terdapatlah permulaan pelaksanaan kalau dia dengan sengaja membawa sebuah martil dan memukulkannya dengan keras ke kepala orang lain tadi yang sedang tidur. Dengan perbuatan itu, dia mulai melaksanakan tahap pertama dari rencana untuk merampas nyawa yang hendak dia wujudkan dalam dua tahap. Tahap pertama berisi penyerangan yang sedemikian keras dan langsung terhadap keadaan normal dari korban sehingga dalam keadaan tanpa kehendak dan tanpa daya pasti menjadikan korban keracunan hanya dengan membuka saluran gas. 173 Komentar: Mempersoalkan ini dari pengertian permulaan pelaksanaan juga ditentukan oleh hakikat dari hukum pidana yang bersangkutan. Dalam hukum pidana yang mengenal pembuat sebagai pengertian pusat, permulaan pelaksanaan hanya dianggap ada kalau suatu perbuatan menunjukkan ketetapan dari niat (van Hamel) atau kalau pembuat dengan perbuatannya menunjukkan secara psikis sanggup melakukannya (van Dijck). Akan tetapi, hukum pidana Belanda tetap merupakan hukum pidana perbuatan (daadstrafrecht) dan mengutamakan berbahayanya perbuatan yang tidak dapat dibiarkan dalam masyarakat hukum. Yang penting adalah kehendak dan sikap batin yang nyata dari perbuatan. Perbuatan menjadi manifestasi riil, perwujudan yang sesungguhnya dari kehendak jahat. Kehendak jahat yang mengejawantah dalam tertib hukum memerlukan pidana. Juga, kalu ini disetujui, garis antara permulaan pelaksanaan yang dapat dipidana dan persiapan yang tidak dapat dipidana, tetap sulit ditentukan. Dapat dipahami bahwa di sini seringkali hanya dimungkinkan putusan in concreto. Mungkin inilah arti dari rumus yang sering digunakan oleh Hoge Raad sehubungan dengan memori penjelasan “hubungan yang sedemikian langsung sehingga dapat dikatakan ada permulaan pelaksanaan”. Rumusan ini sedikit berbau “bahasa dukun” kalau bukan kesaksian kelemahan (testimonium paupertatis) karena beralasan untuk bertanya hubungan itu harus seberapa eratnya? Kepastian bahwa terdakwa sungguh akan menyelesaikan hanya diperoleh hakim jika percobaan itu adalah apa yang dinamakan percobaan selesai, yaitu kalau pembuat sudah melakukan semua yang diharapkan dari seorang pembuat. Ada permulaan pelaksanaan kalau perbuatan menurut penampilan di luar ditujukan untuk menyelesaikan kejahatan. Niat pembuat dapat ikut menentukan arah itu. Undang-undang hanya mensyaratkan bahwa niat ternyata dari permulaan pelaksanaan, tidak terbukti. Yurisprudensi lama menetapkan syarat terlampau berat yang berkaitan dengan kemungkinan bahwa pembuat akan 174 membatalkan rencananya kalau dihadapkan pada kenyataan sehingga mengabaikan kenyataan dari bekerjanya perbuatan yang telah ia lakukan dalam masyarakat hukum (dari BVA Roling, catatan di bawah putusan) RANGKUMAN: Ada tiga syarat agar pelaku dapat dihukum karena telah melakukan suatu percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu: 1. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa orang itu haruslah mempunyai suatu maksud untuk melakukan kejahatan tertentu. 2. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki, dan 3. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalahmasalah yang tidak tergantung pada kemauannya, atau dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar kemauannya sendiri. Alasan dapat dipidananya percobaan kejahatan: 1. Pada orang yang mempunyai niat (voornemen) jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut subjektif); dan 2. Pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa permulaan pelaksanaan (sudut objektif) dari suatu kejahatan, dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang. 175 LATIHAN: 1. Jelaskan pengertian dan syarat-syarat percobaan. 2. Apakah yang dimaksud dengan Niat (voornemen) dalam percobaan. 3. Jelaskan tentang perbedaan antara perbuatan persiapan dan permulaan pelaksanaan 4. Jelaskan arti tidak selesainya pelaksanaan kejahatan diluar kehendak si pelaku 5. Jelaskan tujuan dipidananya pelaku percobaan melakukan kejahatan. 6. Sebutkan beberapa perkecualian percobaan untuk tindak pidana tertentu 7. Buatlah 3 contoh kasus percobaan kejahatan yang dapat dipidana. 8. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan percobaan tidak mampu. GLOSSARIUM: Begin van uitvoering: Suatu permulaan pelaksanaan dalam arti bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Percobaan & Penyertaan). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Abidin Farid. A.Z. & A.Hamzah. 2006. Bentuk Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 176 Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: Sinar Baru. Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya. R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 177 BAB X PENYERTAAN Tujuan Umum Pembelajaran (TUP): Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu memahami tentang pelaku dan keturutsertaan (daderschap en deelneming). Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP): Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan: (1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian deelneming atau keturutsertaan. (2) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dader atau pelaku. (3) Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk deelneming. (4) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan. (5) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian medeplegen atau turut melakukan (6) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (7) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan (8) Mahasiswa mampu menyebutkan perbedaan antara beberapa bentuk deelneming A. PENGERTIAN DEELNEMING Ajaran mengenai deelneming itu menurut van Hamel, sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh 178 seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerjasama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material (Lamintang, 1984: 567). Ketentuan berkenaan dengan masalah pelaku (dader) dan keikutsertaan (deelneming) terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP menyatakan: (1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana: 1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu; 2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan. (2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya Pasal 56 KUHP: Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan: 1e. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu; 2e. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu. Adapun maksud ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk mengatur pertanggungjawaban menurut hukum pidana dari setiap orang yang terlibat di dalam suatu tindak pidana-kecuali pelakunya sendiri-, oleh karena tanpa adanya ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 55 KUHP itu, orang-orang tersebut menjadi tidak dapat dihukum. 179 B. PENGERTIAN PELAKU (DADER) Pada delik formal, yakni delik-delik yang dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu segera setelah pelakunya itu melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader itu, memang tidak sulit. Orang tinggal menemukan siapa yang sebenarnya telah melakukan pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang telah disebutkan di dalam undang-undang. Lain halnya apabila orang harus memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader pada delik-delik material, oleh karena untuk dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai dader itu, sebelumnya orang harus telah dapat memastikan apakah suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai suatu penyebab dari suatu akibat yang timbul ataupun tidak. Jadi nampak jelas bahwa apa yang disebut dengan causaliteitsleer (ajaran kausalitas) itu mempunyai arti yang sangat penting di dalam ajaran daderschap pada khususnya dan di dalam ajaran mengenai deelneming pada umumnya (van Hattum dalam Lamintang, 1984: 563) Pengertian dader atau pelaku dari suatu tindak pidana menurut van Hamel adalah: pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seorang diri telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan. (Lamintang, 1984: 566). 180 Pengertian dader seperti tersebut di atas dapat dibandingkan dengan pula telah rumusan dader menurut Simons sebagai berikut: Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undangundang, baik itu merupakan unsur-unsur subyektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan pihak ketiga (Lamintang, 1984: 567). Tegasnya dari kedua pendapat di atas, yang dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana yaitu dengan melihat pada bagaimana caranya tindak pidana tersebut telah dirumuskan di dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang. Mengenai hal ini menurut Pompe bahwa yang dipandang sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebutkan dalam Pasal 55 KUHP. Hal mana telah dikuatkan oleh memori penjelasan dimana telah dikatakan bahwa semua orang yang telah disebutkan dalam Pasal 55 KUHP itu adalah pelaku. C. BENTUK-BENTUK DEELNEMING Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP adalah: 1. Doen plegen atau menyuruh melakukan. 2. Medeplegen atau turut melakukan. 181 3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan 4. Medeplichtigheid. Ad. 1. Pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan Di dalam suatu doen plegen itu jelas terdapat seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh melakukan tindak pidana tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya disebut sebagai middellijke dader artinya seorang pelaku tidak langsung. Ia disebut sebagai pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Sedang orang lain yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu, biasanya disebut sebagai seorang materieele dader atau seorang pelaku material. Menurut ketentuan Pasal 55 KUHP, seorang middellijke dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu hukuman yang dapat dijatuhkan kepada materieele dader atau seorang pelaku material-nya itu sendiri. Ad. 2. Pengertian Medeplegen atau turut melakukan. Oleh kerena di dalam bentuk deelneming selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu mededaderschap. Dengan demikian, maka medeplegen itu juga merupakan suatu daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau 182 seorang pelaku. Apabila beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserta di dalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta-peserta yang lain (Lamintang, 1984: 588). Di dalam praktek tidak mudah untuk menentukan pelaku dan pelaku penyerta tersebut. Dalam hal ini menurut pendapat van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di dalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara sempurna. Menurut pendapat van Hattum, perbuatan medeplegen di dalam Pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan orang lain. Apakah dengan demikian untuk adanya suatu medeplegen itu sudah cukup apabila opzet seorang mededader itu ditujukan kepada perbuatan “turut melakukan” saja?. Tentang hal tersebut menurut van Hattum, “kecuali bahwa opzet seorang mededader itu harus ditujukan kepada suatu kerjasama, opzet dari mededader tersebut harus juga ditujukan kepada unsur-unsur dari delik yang diliputi oleh opzet, yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku”. Ini berarti bahwa menurut van Hattum opzet seorang mededader itu harus ditujukan kepada: a. Maksud untuk bekerja sama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana, dan b. Dipenuhinya semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet, yang harus dipenuhioleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan di dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan. 183 Menurut pendapat Hoge Raad (HR) untuk adanya suatu medeplegen itu disyaratkan bahwa setiap pelaku itu mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang disyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu haruslah diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud tersebut memang terdapat pada tiap peserta . Pendapat HR di atas ternyata tidak diikuti oleh Mahkamah Agung RI, yang tidak memperhatikan adanya maksud yang sama diantara peserta, melainkan hanya memperhatikan tindakan peserta yang mana yang dapat dipandang sebagai wajar untuk disebut sebagai penyebab suatu akibat yang timbul. Dalam putusan kasasinya tanggal 26 Juni 1971 nomor 15 K/Kr./1970, MA memberi putusan yang berbunyi: “Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di dalam Pasal 339 KUHP, terdakwa Ilah yang memukul si korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan matinya si korban. Karena itu untuk terdakwa II kualifikasi yang sangat tepat adalah “turut melakukan” tindak pidana (medeplegen), sedangkan pembuat materialnya ialah terdakwa I”. Di dalam putusan kasasi MA di atas tidak tampak adanya syarat bahwa untuk suatu medeplegen itu juga disyaratkan bahwa opzet para peserta dalam kejahatan itu harus pula ditujukan kepada medewerking atau pada kerjasama untuk melakukan kejahatan yang bersangkutan, melainkan hanya kepada dipenuhinya unsur-unsur dari rumusan tindak pidana di dalam Pasal 339 KUHP. Untuk adanya suatu medeplegen itu justru yang perlu diperhatikan ialah ada atau tidaknya suatu volledig en nauwe samenwerking atau adanya suatu kerjasama yang lengkap dan bersifat demikian eratnya diantara para peserta di dalam kejahatan, oleh karena itu tanpa adanya kerjasama seperti itu, kita juga tidak dapat berbicara mengenai adanya suatu medeplegen. 184 Dari putusan kasasi di atas dapat diketahui bahwa MA telah mensyaratkan bahwa didalam suatu opzettelijk delict atau di dalam suatu tindak pidana yang menurut ketentuan undang-undang harus dilakukan dengan sengaja itu, opzet para medepleger harus juga ditujukan kepada semua unsur dari delik yang bersangkutan (Lamintang, 1984: 595). Tentang hal ini Pompe (dalam Lamintang, 1984: 597), menyatakan antara lain: Demikian halnya agar seseorang yang turut melakukan itu dapat dihukum, maka orang tersebut harus mempunyai opzet dan memenuhi lain-lain unsur dari delik yang bersangkutan. Apabila opzet tersebut tidak terdapat pada orang yang turut melakukan, maka orang tersebut tidak dapat dihukum karena telah turut melakukan...,Oleh karena itu sama halnya dengan dapat dihukumnya seseorang yang telah ‘menyuruh melakukan’, maka untuk dapat dihukumnya seseorang yang telah “turut melakukan” itu disyaratkan, bahwa mereka itu harus mempunyai suatu opzet yang ditujukan kepada tindak pidana yang ingin mereka lakukan. Sekarang timbul pertanyaan, dimanakah letak perbedaan antara suatu medeplegen dengan suatu medeplichtigheid itu?. Tentang hal ini dapat dilihat penjelasan dalam Memorie van Toelichting (MvT) yang antara lain menyebutkan: Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orangyang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undangundang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebut terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan seperti dimaksud di atas. 185 Adapun untuk menentukan batas-batas antara mededaderschap dan medeplichtigheid itu, di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana pada dasarnya terdapat dua paham yaitu de objectieve deelnemingstheorie dan de subjectieve deelnemingstheorie. Menurut objectieve deelnemingstheorie, apakah terdapat suatu mededaderschap ataukah suatu medeplichtigheid, hal mana digantungkan pada sifat dari perbuatan yang telah dilakukan seseorang. Teori ini mensyaratkan adanya suatu tindakan yang juga dapat dianggap sebagai penyebab dari terjadinya suatu tindak pidana, atau juga dapat dianggap sebagai sebagian dari tindakan untuk melaksanakan suatu tindak pidana, yang mampu membuat tindak pidana tersebut menjadi suatu kenyataan (Simons dalam Lamintang, 1984: 600). Menurut subjectieve deelnemingstheorie, terutama dari von Buri, apakah terdapat suatu mededaderschap ataukah suatu medeplichtigheid itu, hal mana digantungkan pada kenyataan apakah tujuan atau maksud sesorang itu tergantung pada tujuan atau maksud orang lain ataupun tidak. Jadi menurut teori ini, seorang mededader itu mempunyai tujuan sendiri, dan tidak menginginkan akibat perbuatannya itu harus digantungkan pada kehendak orang lain. Sedangkan seorang medeplichtige itu menggantungkan tujuannya pada tujuan seorang pelaku, dan menggantungkan akibat perbuatannya pada si pelaku, yakni selama pelaku tersebut menghendaki timbulnya suatu akibat. Dengan demikian adanya suatu kesadaran diantara para peserta di dalam suatu tindak pidana bahwa mereka telah melakukan suatu kerjasama untuk melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam suatu mededaderschap, atau dapat dikatakan sebagai suatu faktor yang menentukan untuk dapat mengatakan bahwa disitu terdapat suatu 186 medeplegen atau suatu keturutsertaan melakukan suatu tindak pidana. Ad. 3. Pengertian Uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana Van Hamel telah merumuskan uitlokking itu sebagai berikut: Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”. Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa antara doen plegen atau menyuruh melakukan dengan uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu terdapat suatu kesamaan, yaitu bahwa di dalam doen plegen itu orang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagai doen pleger atau manus domina itu telah tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya disebut sebagai de materiele dader ataupun yang juga sering disebut sebagai manus ministra. Sedang di dalam uitlokking itu, orang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang didalam doktrin sering juga disebut sebagai de uitlokker atau provocateur atau agent provocateur atau lokbeambte itu juga telah tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya disebut sebagai de uitgelokte atau sebagai orang yang telah digerakkan. 187 Di dalam doktrin, orang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu kecuali disebut sebagai agentprovocateur atau sebagai lokbeambte, ia juga sering disebut sebagai auctor intellectualis ataupun sebagai intellectueel dader. Walaupun antara doen plegen dengan uitlokken itu terdapat suatu kesamaan, akan tetapi di antara kedua bentuk deelneming tersebut juga terdapat perbedaan-perbedaan, yaitu antara lain adalah: a. Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu haruslah merupakan orang yang niettoerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah merupakan orang yang sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar. b. Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu tidak ditentukan oleh undang-undang, sedang caracara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana di dalam uitlokking itu telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang. Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam doenplegen itu yang disyaratkan bukanlah bahwa orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu harus merupakan orang yang ontoerekeningsvatbaar, artinya bahwa orang tersebut haruslah merupakan seseorangyang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP, melainkan bahwa perbuatan orang yang telah disuruh 188 melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Atau dengan perkataan lain, perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindakpidana itu haruslah niettoerekenbaar. Hal itu sejalan dengan penjelasan yang terdapat dalam MvT yang antara lain menyebutkan: “Pelaku langsung (dari suatu tindak pidana) itu merupakan seorang manus ministra yaitu orang yang bertindak tanpa opzet (dolus), tanpa schuld (culpa) atau tanpa toerekenbaarheid (tanpa perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya), disebabkan oleh ketidak tahuan pada dirinya, oleh kesalahpahaman, yang memang dikehendaki oleh orang yang menyuruh atau oleh kekerasan yang telah berpengaruh pada dirinya”. Dari rumusan Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP itu dapat diketahui, bahwa suatu uitlokking itu harus dilakukan dengan sengaja atau secara opzettelijk. Dan opzet seorang uitlokker itu harus ditujukan kepada feit-nya atau kepada tindak pidananya, yakni tindak pidana yang ia harapkan akan dilakukan oleh orang yang telah ia gerakkan dengan mempergunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP tersebut. Dengan demikian, apabila seorang uitlokker itu menghendaki agar de uitgelokte melakukan suatu pembunuhan seperti yang telah dilarang di dalam Pasal 338 KUHP, maka opzet dari uitlokker tersebut haruslah pula ditujukan kepada tindak pidana pembunuhan yang bersangkutan. Dan ini berarti pula uitlokker tersebut harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat dalam rumusan Pasal 338KUHP. 189 Bagaimana dengan opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan tersebut? Van Hamel berpendapat, bahwa secara yuridis opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah identik dengan opzet dari orang yang telah menggerakkan orang tersebut untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan. Jadi opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan itu harus pula sama dengan opzet dari uitlokker-nya. Dan ini berarti pula bahwa sama halnya dengan uitlokker-nya, maka orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan itu harus juga memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat di dalam rumusan Pasal 338 KUHP. Untuk adanya suatu uitlokking itu haruslah dipenuhi dua syarat obyektif, yaitu: 1. Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbarepoging atau suatu percobaan yang dapat dihukum; dan 2. Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP. Menurut van Hamel antara tindak pidana yang telah dilakukan oleh orangyang tergerak dengan uitlokking-nya itu sendiri harus terdapat suatu hubungan kausal, yang harus dibuktikan. Walaupun diakui bahwa untuk menyatakan terbuktinya hubungan kausal itu tidaklah mudah, dan biasanya orang 190 menganggap bahwa hubungan kausal tersebut sebagai cukup terbukti, yaitu apabila secara nyata apa yang disebut “orang yang tergerak” itu telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang menggerakkan. Dengan demikian, maka perbuatan menggerakkan orang lain itu tidaklah perlu harus ditujukan kepada seseorang tertentu atau kepada orang-orang tertentu saja, melainkan ia juga dapat dilakukan secara umum, dalam arti ditujukan kepada orang banyak. Dan sudah barang tentu untuk menggerakkan orang-orang tersebut harus pula dipergunakan salah satu cara seperti yang telah disebutkan secara limitatif di dalam pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP. Sebab bila tidak demikian, perbuatan menggerakkan orang banyak itu bukannya menghasilkan suatu uitlokking, melainkan ia akan menghasilkan suatu opruing atau suatu perbuatan menghasut seperti yangdimaksudkan di dalam Pasal 160 KUHP, dimana poging tot uitlokking atau percobaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana itu telah dijadikan suatu kejahatan yang berdiri sendiri. Diantara cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana, terdapat beberapa cara yang sangat perlu mendapat perhatian yaitu: 1. Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan. Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan itu sifatnya tidak boleh sedemikian rupa sehingga orang yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam keadaan overmacht. Sebab apabila orang yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam keadaan yang demikian, maka perbuatan orang tersebut menjadi niettoerekenbaar atau menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi 191 berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen. 2. Perbuatan untuk membuat orang yang digerakkan menjadi mempunyai pandangan yang keliru dari orang yang telah digerakkan itu. Apabila sebagai akibat pandangan yang keliru dari orang yang telah digerakkan itu, orang tersebut menjadi tidak mempunyai schuld terhadap salah satu unsur delik, padahal undang-undang telah mensyaratkan tentang harus adanya unsur schuld (dolus atau culpa) pada pelakunya terhadap unsur tersebut, maka perbuatan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu menjadi niettoerekenbaar, sehingga dalam keadaan semacam itu orang tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen. 3. Berkenaan dengan misbruik van gezag atau penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Simons, “misbruik van gezag” itu menunjukan adanya sifat membawah dari orang yang digerakkan terhadap orang yang telah menggerakkan orang tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana. (Lamintang, 1984: 614). Ad. 4. Pengertian medeplichtigheid atau membantu melakukan tindak pidana Menurut Simons, medeplichtigheid itu merupakan suatu onzelf standige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplichtige itu dapat dihukum atau tidak, hal mana tergantung pada kenyataan, yaitu apakah pelakunya sendiri telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak. Bentuk medeplichtigheid yang pertama adalah kesengajaan membantu melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, maka 192 setiap tindakan yang telah dilakukan orang dengan maksud membantu orang lain melakukan suatu kejahatan itu, dapat membuat orang tersebut dituntut dan dihukum karena dengan sengaja telah membantu orang lain, pada waktu orang lain tersebut sedang melakukan suatu kejahatan. Bantuan yang dapat diberikan oleh seorang medeplichtige dapat merupakan bantuan yang bersifat material, yang bersifat moral ataupun yang bersifat intelektual. Bentuk medeplichtigheid yang kedua adalah kesengajaan memberikan bantuan kepada orang lain untuk mempermudah orang lain tersebut melakukan suatu kejahatan. Bantuan ini dapat bersifat material misalnya menyerahkan senjata atau alat-alat kepadapelakunya, dan dapat pula bersifat intelektual, misalnya dengan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada di dalam pengawasannya. Dari rumusan Pasal 56 KUHP dapat diketahui, bahwa pemberian bantuan seperti dimaksudkan di atas haruslah diberikan dengan opzettelijk atau haruslah diberikan dengan sengaja. Tentang opzet ini menurut Simons: ”Opzet seorang medeplichtige itu harus ditujukan kepada semua unsur dari tindak pidana yang bersangkutan, bahkan juga kepada unsur-unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan, bahwa opzet pelakunya itu harus pula ditujukan kepada unsur-unsur tersebut”. (Lamintang, 1984: 619). Ini berarti bahwa walaupun kejahatan yang sedang atau yang akan dilakukan oleh pelakunya itu sebenarnya merupakan suatu culpoos misdrijf atau suatu kejahatan yang menurut rumusannya di dalam undang-undang sebenarnya dapat dilakukan dengan tidak 193 sengaja, akan tetapi terhadap kejahatan tersebut, seorang medeplichtige itu harus pula mempunyai suatu opzet. Agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka perbuatan medeplichtige itu harus memenuhi unsur yang bersifat obyektif dan unsur yang bersifat subyektif. Kapankah kehendak pembuat pembantu harus terbentuk, apakah lebih dahulu dari terbentuknya kehendak pembuat pelaksananya dalam hal untuk melakukan kejahatan, atau terbentuknya belakangan? Timbulnya kehendak pembuat pelaksana untuk melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu dari terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan, bukan sebaliknya. Inisiatif untuk mewujudkan kejahatan selalu berasal dari pembuat pelaksana, bukan pada pembuat pembantu. Ketika terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk melakukan perbuatan bantuannya, pada ketika itu telah harus terbentuk pula keinsyafan atau kesadaran bahwa apayang hendak diperbuatnya itu adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya. Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat subyektif, apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut benar-benar telah dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa medeplichtige tersebut memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain, dan perbuatan mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain itu memang ia kehendaki. Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan. B meminjam linggis pada A. Tidaklah mungkin ada bentukpembantuan di sini, apabila A dalam hal meminjamkan linggis itu tidak ada keinsyafan bahwa linggis akan digunakan oleh B untuk membunuh C, misalnya B mengatakan untuk menggali lubang untuk tiang jemuran. 194 Keinsyafan A bahwa linggis yang dipinjamkan pada B hendak digunakan untuk membunuh harus telah terbentuk sebelum linggis dipinjamkan pada B. Contoh: Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan. A memberhentikan dan memegang B yang sedang berlari kencang dengan ketakutan, karena sedang dikejar oleh C untuk dibunuh. Tidaklah mungkin ada bentuk pembantuan pembunuhan dalam hal A memberhentikan B dan memegangnya itu, apabila dalam batin A tidak ada kesadaran bahwa dalam melakukan perbuatan itu bahwa dia akan dibunuh oleh C. Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat obyektif, apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut memang telah ia maksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung dilakukannya suatu kejahatan. Dan ini berarti bahwa apabila alatalat yang oleh seorang medeplichtige telah diserahkan kepada seorang pelaku itu ternyata tidak dipergunakan oleh pelakunya untuk melakukan kejahatannya, maka medeplichtige tersebut juga tidak dapat dihukum. Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan. A seorang pemilik senjata api memberikan pinjaman kepada temannya B yang diketahuinya untuk membunuh C. Wujud perbuatan meminjamkan senjata api ini, tidaklah menentukan untuk terwujudnya pembunuhan atau matinya C. Terwujudnya pembunuhan atau matinya C adalah sepenuhnya bergantung dari perbuatan B pembuat pelaksananya, apakah dia mempergunakannya menembak ataukah tidak, dan apabila telah digunakannya menembak musuhnya, apakah perbuatannya menembak itu mampu memenuhi syarat yang mematikan korban C ataukah tidak. 195 Contoh: Pembantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan. A memegangi kaki seorang perempuan yang sedang diperkosa oleh seorang laki-laki B. Perbuatan A berupa memegang kaki korban, tidaklah menentukan penyelesaian kejahatan perkosaan itu, melainkan sekadar mempermudah saja bagi temannya B dalam menyelesaikan atau mewujudkan perkosaan. Penyelesaian perkosaan sepenuhnya bergantung dari pembuat pelaksananya atau si pemerkosa itu sendiri, apakah dia mampu melakukan persetubuhan dengan perempuan yang dipaksanya itu ataukah tidak. Persetubuhan disini diartikan dapatnya dia memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin perempuan itu yang kemudian mengeluarkan sperma (Adami Chazawi, 2005: 145) D. PERBEDAAN BEBERAPA BENTUK DEELNEMING a. Perbedaan antara suatu uitlokking dengan suatu doen plegen: Uitlokking Perbuatan orang yang telah digerakkan untuk melakukan sutau tindak pidana itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepadaorang tersebut Cara-cara yang harus dipergunakan untuk menggerakkan orang lain itu telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang Doen Plegen Perbuatan orang yang telah disuruh untuk melakukan sutau tindak pidana itu harus tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut Cara-cara untuk menyuruh melakukan itu tidak ditentukan di dalam undangundang 196 b. Perbedaan antara medeplichtigheid: suatu Uitlokking Orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu semula tidak mempunyai opzet untuk melakukan tindak pidana tersebut. Opzet orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu, justru telah dibangkitkan karena adanya suatu uitlokking; c. Perbedaan antara medeplichtigheid: suatu uitlokking dengan suatu Medeplichtigheid Pelakunya telah mempunyai opzet untuk melakukan suatu kejahatan, yang kemudian telah didukung atau didorong oleh suatu medeplichtigheid medeplegen dengan suatu Medeplegen Medeplichtigheid Perbuatan seorang Perbuatan seorang medepleger ditekankan pada medeplichtige ditekankan perbuatan turut melakukan; pada perbuatan membantu melakukan atau membantu untuk melakukan suatu kejahatan; Seorang medepleger itu Seorang medeplichtige itu harus melakukan suatu cukup apabila ia telah uitvoeringshandeling atau melakukan suatu suatu tindakan pelaksanaan; voorbereidingshandeling atau suatu tindakan persiapan ataupun suatu ondersteuningshandeling atau suatu tindakan dukungan; 197 Turut melakukan suatu pelanggaran itu dapat dihukum; Seorang medepleger itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang pelaku, sesuai dengan hukuman yang telah diancamkan di dalam rumusan suatu delik. Membantu melakukan suatu pelanggaran itu tidak dapat dihukum; Seorang medeplichtige itu dapat dijatuhi dengan hukuman pokok yang terberat yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya setelah dikurangi dengan sepertiganya. E. PENGATURAN DEELNEMING ATAU PENYERTAAN DALAM RKUHP Penyertaan dalam RKUHP diatur pada Paragraf 5, terdiri dari 3 pasal yaitu Pasal 21, 22, dan 23 Pasal 21 Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang : a. melakukan sendiri tindak pidana; b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; c. turut serta melakukan; atau d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, memancing orang lain supaya melakukan tindak pidana. Penjelasan: Huruf a Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Jika dilakukan oleh beberapa orang, maka tiap-tiap peserta dalam perbuatan itu mempunyai kedudukan yang mungkin berbeda-beda. Dalam ketentuan pasal ini ditentukan bentuk-bentuk dari penyertaan tersebut yaitu orang yang melakukan, menyuruh 198 melakukan, atau turut serta melakukan tindak pidana, dipidana sebagai pembuat. Menyuruh melakukan tindak pidana terjadi sebelum dilakukannya tindak pidana dan tidak dipersoalkan tentang cara menyuruh dan cara pembuat tindak pidana materiil melakukan tindak pidana. Dalam hal menyuruh melakukan, pembuat tindak pidana materiil tindak pidana tidak dipidana. Pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh dibatasi sampai pada perbuatan yang dilakukan oleh pembuat tindak pidana materiil. Turut serta melakukan tindak pidana adalah mereka yang bersamasama melakukan tindak pidana. Jadi mereka dengan sengaja ikut serta dan tidak perlu tiap-tiap peserta hams melakukan perbuatan pelaksanaan dilihat sebagai kesatuan. Dengan demikian hal yang utama adalah dalam pelaksanaan tindak pidana terdapat kerja sama Dalam menentukan turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta tidak dilihat secara terpisah, berdiri sendiri, dan terlepas dari perbuatan peserta lainnya, tetapi yang erat antarpara peserta. Huruf b Peserta yang dimaksud dalam ketentuan ini disebut sebagai penganjur. Pada dasarnya, penganjur melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain. Berbeda dengan perbuatan menyuruh di mana pembuat tindak pidana materiil tidak dipidana, maka dalam penganjuran pembuat tindak pidana materiil dapat dipidana. Tidak setiap tindak pidana yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah penganjuran. Syarat-syarat untuk penganjuran disebutkan secara limitatif, yakni : a. memberi atau menjanjikan sesuatu; b. menyalahgunakan kekuasaan atau martabat; c. menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan; atau d. memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Yang dimaksud dengan "memberi atau menjanjikan sesuatu" adalah memberi atau menjanjikan sesuatu barang, uang, dan keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana. Yang dimaksud dengan 199 "menyalahgunakan kekuasaan atau martabat" adalah baik kekuasaan yang berdasarkan hukum publik maupun hukum privat. Yang dimaksud dengan "menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan" adalah dengan segala macam bentuk kekerasan, ancaman, atau penyesatan yang menimbulkan orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana. Apabila kekerasan atau ancaman sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan karena itu tidak dapat dipidana, maka dalam keadaan tersebut bukan merupakan penganjuran tetapi menyuruh melakukan. Yang dimaksud dengan "memberi kesempatan, sarana atau keterangan" adalah termasuk upaya-upaya yang disyaratkan dalam pembantuan Huruf c Huruf d Yang dimaksud dengan "memancing" adalah membujuk (uitlokken). Pasal 22 (1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang : a. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan; atau b. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I. Penjelasan: Terdapat dua macam bentuk pembantuan yaitu pembantuan pada waktu melakukan tindak pidana dan pembantuan yang mendahului tindak pidana. Dalam pemberian bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan ikut serta melakukan. Dalam ikut serta melakukan terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang melakukan tindak pidana, namun dalam pembantuan kerja sama antara pembuat tindak pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta. Dalam 200 turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta dilihat sebagai satu kesatuan. Bentuk kedua pembantuan dilakukan mendahului pelaksanaan tindak pidana yang sebenarnya, baik dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan. Pasal 23 Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan. Penjelasan: Ketentuan dalam Pasal ini berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang secara bersamasama, sedangkan di antara mereka terdapat orang yang belum cukup umur atau orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya, karena sakit ingatan, maka orang yang sudah dewasa atau tidak sakit jiwa,dijatuhi pidana sebagaimana biasa, sedangkan untuk yang belum cukup umur pidananya dikurangi dan untuk orang yang sakit ingatan tidak dapat dipidana. RANGKUMAN: 1. Deelneming (keturutsertaan) merupakan ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undangundang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerjasama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material. 2. Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP adalah: a. Doen plegen atau menyuruh melakukan. b. Medeplegen atau turut melakukan. 201 c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan d. Medeplichtigheid. LATIHAN: 1. Jelaskan pengertian deelneming atau keturutsertaan 2. Jelaskan tentang doen plegen atau menyuruh melakukan disertai dengan contoh kasus. 3. Jelaskan tentang mede plegen atau turut melakukan disertai dengan contoh kasus. 4. Dimanakah letak perbedaan antara suatu medeplegen dengan suatu medeplichtigheid itu?. 5. Sebutkan persamaan dan perbedaan doen plegen atau menyuruh melakukan dengan uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana 6. Sebutkan cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana. 7. Sebutkan dua bentuk medeplichtigheid (membantu melakukan suatu kejahatan). 8. Agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka perbuatan medeplichtige itu harus memenuhi unsur yang bersifat obyektif dan unsur yang bersifat subyektif. GLOSSARIUM: 1. Middellijke dader yaitu orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana. Disebut sebagai pelaku tidak langsung karena tidak langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. 202 2. Materieele dader yaitu orang lain yang disuruh melakukan suatu tindak pidana, disebut juga sebagai pelaku material. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Percobaan & Penyertaan). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Abidin Farid. A.Z. & A.Hamzah. 2006. Bentuk Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia, Bandung: Sinar Baru. R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya. 203 BAB XI TINDAK PIDANA MENGENAI KESUSILAAN Tujuan Umum Pembelajaran: Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan mengenai kesusilaan serta unsur-unsurnya. Tujuan Khusus Pembelajaran: Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk, pengertian dan unsur-unsur tindak pidana menyerang rasa kesusilaan umum. 2. Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk tindak pidana persetubuhan dan unsur-unsurnya. 3. Mahasiswa mampu menerangkan tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul dan unsur-unsurnya. 4. Mahasiswa mampu membedakan masing-masing dari bentukbentuk tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul. A. TINDAK PIDANA MENYERANG RASA KESUSILAAN UMUM 1. Kejahatan dengan sengaja melanggar Kesusilaan Kejahatan yang melanggar kesusilaan dirumuskan dalam Pasal 281 KUHP yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,(1) Barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar kesusilaan; (2) Barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan. Dalam rumusan Pasal 281 di atas, ada dua bentuk kejahatan melanggar kesusilaan umum, yaitu: Kejahatan yang pertama dirumuskan pada butir satu terdiri dari unsur-unsur berikut: a. Unsur Objektif, terdiri dari: 204 1. 2. b. 3. Perbuatan melanggar kesusilaan; Secara terbuka Unsur subjektif: Sengaja (Chazawi, 2005: 12). Kejahatan yang kedua dirumuskan pada butir dua dalam Pasal 281 ini pada dasarnya sama dengan kejahatan yang dirumuskan pertama. Hanya pada kejahatan melanggar kesusilaan yang kedua ini, unsur dimuka umum tidak disebutkan, dan sebagai penggantinya dirumuskan unsur “di depan orang lain yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya”. Menurut R. Soesilo (1986: 204) mengatakan bahwa “kesusilaan (Zeden eerbaarheid) adalah perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya” Sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan di tempat itu (Soesilo, 1986: 205). Kata di muka umum dalam pasal ini menunjuk kepada dapat dilihatnya perbuatan itu oleh orang lain dan ini merupakan ciri dari tindak pidana ini (Marpaung, 1996: 33). 2. Kejahatan Pornografi Kejahatan pornografi dimuat dalam Pasal 282 KUHP. Rumusan kejahatan pada ayat (1) dan ayat (2) sedangkan pada ayat (3) dirumuskan tentang alasan pemberatan pidana dari kejahatan pornografi dalam ayat (1). Tiga bentuk kejahatan pornografi pada ayat (1) Pasal 282 KUHP, yaitu: 1. Orang yang melakukan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan; 2. Orang yang dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, melakukan perbuatan membuat tulisan, gambar, atau membuat benda, memasukkan- 205 nya ke dalam negeri, atau memiliki persediaan tulisan, gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan; 3. Orang yang secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang diketahuinya isinya melanggar kesusilaan (Chazawi, 2005: 23). Kejahatan pornografi pada ayat (2) Pasal 282 juga terdiri dari 3 macam yang perbuatannya sama dengan ayat (1). Hanya saja unsur kesalahannya ada perbedaan, yakni pada kesalahan bentuk kejahatan pornografi yang pertama adalah “kesengajaan” atau “dolus”. Sedangkan unsur kesalahan pada tiga bentuk kejahatan pornografi pada ayat kedua, mengandung unsur kesalahan bentuk “kelalaian” atau “culpa”. B. TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN Kejahatan kesusilaan dalam hal persetubuhan dimuat dalam 5 pasal, yaitu: Pasal 284 (perzinahan), Pasal 285 (perkosaan), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya dalam keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun yang bukan isterinya) dan Pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin). 1. Kejahatan Perzinaan Kejahatan zina dirumuskan dalam Pasal 284 ayat (1) terdiri dari empat macam larangan: a. Seorang laki-laki yang telah kawin melakukan zina; b. Seorang perempuan yang telah kawin melakukan zina; c. Seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan yang diketahuinya telah kawin; d. Seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki laki yang diketahuinya (Chazawi, 2005: 56-57). Zinah menurut R. Soesilo (1986: 209) adalah “persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini harus dilakukan 206 dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak”. Lebih lanjut R.Soesilo (1986: 209) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan persetubuhan adalah “peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan perempuan”. Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat essensial, yaitu: a. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki bukan suami atau bukan isterinya; b. Bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW c. Dirinya sedang berada dalam perkawinan. 2. Kejahatan Perkosaan Kejahatan perkosaan (verkrachting) dalam hal persetubuhan dimuat dalam pasal 285 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut:”Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1980: 123) kata perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda), yakni verkraachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak akan menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti yang sebenarnya dari kualifikasi verkrachting, yakni perkosaan untuk bersetubuh. Oleh karena itu, menurut beliau kualifakasi yang tepat untuk Pasal 285 ini adalah perkosaan untuk bersetubuh. Apabila rumusan perkosaan di atas dirinci, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a. Perbuatannya: memaksa b. Caranya: 1) dengan kekerasan 2) ancaman kekerasan c. Objek: seorang perempuan bukan istrinya 207 d. bersetubuh dengan dia (Chazawi, 2005:62). Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu: a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya, atau b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki orang yang memaksa. Menurut Leden Marpaung (1996:52) kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk disetubuhi. Cara-cara memaksa disini terbatas dengan dua cara, yaitu kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh dalam undang-undang. Hanya mengenai kekerasan ada pada pasal 89 yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan yaitu membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. R. Soesilo (1986: 84) memberi arti kekerasan dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut Satochid (I: 92) kekerasan adalah ”setiap perbuatan yang terdiridari digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak berat. 3. Persetubuhan dengan Perempuan dalam Keadaan Bukan Isterinya dalam Keadaan Pingsan Unsur-unsur Pasal 286 KUHP adalah sebagai berikut: Unsur-unsur Objektif: a. Perbuatannya: bersetubuh b. Objeknya: seorang perempuan bukan istrinya c. Dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya 208 Unsur Subjektif d. Diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya Persamaan antara kehatan Pasal 286 dengan 285, ialah sebagai berikut: 1. Persetubuhan itu telah terwujud pada atau dengan perempuan korban, pada saat korban dalam keadaan tidak berdaya. 2. Perempuan korban bukan istri si pembuat (Chazawi, 2005: 67). 4. Persetubuhan dengan Perempuan yang Umurnya Belum 15 Tahun Kejahatan yang dimaksudkan di atas dirumuskan dalam Pasal 287, yang selengkapnya sebagai berikut: (1)Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umur belum 15 tahun, atau kalau umurna tidak jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun (2)Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294. Apabila rumusan Pasal 287 ayat (1) dirinci terdapat unsurunsur sebagai berikut: Unsur-unsur Objektif: a. Perbuatannya: bersetubuh b. Objek: dengan perempuan di luar kawin c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas belum waktunya dikawin. Unsur Subjektif d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun (Chazawi, 2005: 70). 5. Persetubuhan dengan Isteri yang Belum Waktunya untuk Dikawini Kejahatan persetubuhan ini, dirumuskan dalam Pasal 288 KUHP pada ayat (1), sedangkan ayat (2) dan ayat (3) 209 merumuskan dasar pemberatan pidananya. Kejahatan pada ayat (1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur Objektif: a. Perbuatannya: bersetubuh b. Objek: dengan perempuan istrinya yang belum waktunya dikawin; c. Menimbulkan akibat luka-luka Unsur-unsur Subjektif d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa perempuan itu belum waktunya untuk dikawin (Chazawi, 2005: 73-74). C. KEJAHATAN KESUSILAAN MENGENAI PERBUATAN CABUL Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul dirumuskan dalam Pasal: 289,290,292,293,294,295 dan 296, yang semuanya merupakan kejahatan. Masing-masing adalah: 1. Pasal 289, mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan Apabila rumusan Pasal 289 tersebut dirinci, akan terlihat unsur-unsur berikut: a. Perbuatannya: memaksa b. Caranya: dengan 1) kekerasan 2) ancaman kekerasan c. Objeknya: seorang untuk: 1) melakukan; atau 2) membiarkan dilakukan d. perbuatan cabul (Chazawi, 2005: 78) 2. Pasal 290, mengenai kejahatan perbuatan cabul pada orang pingsan atau tidak berdaya, umurnya berulum 15 tahun dan lain-lain Dalam pasal 290 ada tiga bentuk kejahatan yang dirumuskan pada butir 1, 2, dan 3 i.Kejahatan butir 1, mempunyai unsur-unsur: Unsur-unsur Objektif a. Perbuatannya: perbuatan cabul b. Objeknya: dengan seorang c. Dalam keadaan: 1) pingsan, atau 2) tidak berdaya 210 Unsur subjektif d. Diketahunya bahwa orang itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya (Chazawi, 2005: 81) 2. Kejahatan butir 2, mempunyai unsur-unsur: Unsur-unsur objektif a. Perbuatannya: perbuatan cabul b. Objeknya: dengan seorang c. Yang: 1) umurnya belum 15 tahun 2) jika tidak jelas umurnya orang itu belum waktunya untuk dikawin Unsur subjektif d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum 15 tahun (Chazawi, 2005: 81) 3. Kejahatan burir 3: mempunyai unsur-unsur: Unsur objektif a. Perbuatannya: membujuk b. Objeknya: orang yang 1) umurnya belum 15 tahun 2) jika umurnya tidak jelas belum waktunya untuk dikawin c. Untuk: 1) melakukan perbuatan cabul 2) dilakukan perbuatan cabul, atau 3) bersetubuh di luar perkawinan. Unsur subjektif d. Yang diketahuinya umurnya belum 15 tahun, atau jika tidak jelas umurnya yang besangkutan belum waktunya untuk dikawin (Chazawi, 2005: 85). 4. Pasal 292, mengenai perbuatan cabul sesama kelamin (homo seksual) Apabila rumusan di atas dirinci, maka terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur objektif a. Perbuatannya: perbuatan cabul b. Si pembuatnya: oleh orang dewasa c. Objeknya: pada orang sesame jenis kelamin yang belum dewasa 211 Unsur Subjektif d. 1) yang diketahuinya belum dewasa 2) yang seharusnya patut diduganya belum dewasa 5. Pasal 293, mengenai menggerakkan orang belum dewasa untuk melakukan atau dilakukan perbuatan cabul Rumusan tentang kejahatan menggerakkan orang yang belum dewasa untuk berbuat cabul, terdapat dalam ayat (1), yang apabila dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut: Unsur-unsur objektif a. Perbuatannya: menggerakkan b. Cara-Caranya: 1) memberi uang atau barang 2) menjanjikan memberi uang atau barang 3) menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan 4) penyesatan c. objeknya: orang yang belum dewasa d. yang baik tingkah lakunya e. untuk: 1) melakukan perbuatan cabul 2) dilakukan perbuatan cabul dengannya Unsur subjektif f. diketahuinya atau selayaknya harus diduganya tentang belum kedewasaannya (Chazawi, 2005: 91). 6. Pasal 294, mengenai perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, dan lain-lain. 7. Pasal 295,mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa, dan lain-lain. 8. Pasal 296, mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan. RANGKUMAN: 1. Kejahatan menyerang rasa kesusilan apabila perbuatan yang dilakukan dengan sengaja melanggar kesusilaan dengan terbuka di muka umum atau diketahui orang lain. 212 2. 3. Kejahatan kesusilaan dalam hal persetubuhan ada 5 bentuk, yaitu: Pasal 284 (perzinahan), Pasal 285 (perkosaan), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya dalam keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun yang bukan isterinya) dan Pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum waktunya dikawin). Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul dirumuskan dalam Pasal: 289,290,292,293,294,295 dan 296 KUHP yang semuanya merupakan kejahatan. Unsur pokoknya dapat dikatakan telah melakukan perbuatan cabul yaitu ada perbuatan yang memaksa dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan atau membujuk (bagi anak di bawah umur) dengan melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. LATIHAN: 1. Jelaskan kapankah suatu perbuatan dikatakan menyerang rasa kesusilaan? 2. Sebutkan 5 bentuk kejahatan persetubuhan dan landasan yuridisnya! 3. Jelaskan kapankah suatu perbuatan persetubuhan dapat dikatakan sebagai perkosaan? Berikan sebuah contoh! 4. Sebutkan bentuk-bentuk perbuatan cabul dan jelaskan salah satu bentuk perbuatan cabul! GLOSSARIUM: - Zeden eerbaarheid adalah perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin. - dwingen adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi (Ed). 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Jakarta: PT. Raja Grafindo. 213 Kartanegara, Satochid (Ed). Tanpa Tahun, Hukum Pidana II Delikdelik Tertentu, Balai Lektur Mahasiswa. Marpaung, Leden. (Ed). 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan di Hadapan Umum. Jakarta: Sinar Grafika. Soesilo,R. (Ed). 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. Wirjono Prodjodikoro (Ed). 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Eresco. 214 BAB XII TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN Tujuan Umum Pembelajaran: Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kehormatan serta unsur-unsurnya. Tujuan Khusus Pembelajaran: Setelah mempelajarai pokok bahasan ini diharapkan: 1. Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk tindak pidana terhadap kehormatan. 2. Mahasiswa mampu membedakakan perbuatan menista dengan memfitnah. 3. Mahasiswa mampu menyebutkan unsur-unsur tindak pidana menista dengan memfitnah. 4. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaduan terhadap tindak pidana terhadap kehormatan. A. MENISTA Menista diatur dan diancam oleh Pasal 310 ayat (1) KUHP yang bunyinya: Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui umum, dihukum karena salahnya menista, dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Dengan sengaja; 2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain; 3. Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu; 4. Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum. Ad.1. dengan sengaja Menurut doktrin, sengaja termasuk unsur subjektif yang ditujukan terhadap perbuatan. Artinya pelaku 215 mengetahui perbuatannya ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-katanya yang mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik orang lain. Jadi dalam hal ini sipelaku menyadari atau mengetahui bahwa kata-kata itu diucapkan dan kata-kata tersebut merupakan kata-kata menista, bukan merupakan bagian dari dolus/opzet bahwa sipelaku bukan mempunyai niat untuk menghina atau menista. Lain halnya kalau pelaku mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan bermimpi dimana pelaku berbuat tanpa kesadaran yang wajar. Ad.2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain Kata “menyerang” berarti melanggar. Sebagian ahli mempergunakan “memperkosa” kehormatan dan nama baik. Kata “nama baik” dimaksudkan sebagai kehormatan yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seseorang baik karena perbuatannya atau kedudukannya. Jadi nama baik tersebut dimaksudkan terhadap orang-orang tertentu saja, missal: Presiden, gubernur, bupati, kiyai, pendeta, dan lain-lain (Marpaung, 1997: 15). Menurut R. Soesilo (1986: 225) Menista sama dengan menghina yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik bukan kehormatan dalam lapangan seksual. Ad. 3.Menuduh Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu Kata “perbuatan tertentu” sebagai terjemahan dari kata Bahsa Belanda bepaald feit dalam arti bahwa perbuatan yang dituduhkan tersebut dinyatakan dengan jelas, baik tempat maupun waktunya. Jika tidak jelas disebut waktu dan tempat perbuatan tersebut maka perbuatan pelaku tersebut adalah penghinaan biasa misalnya engkau bohong, kau pencuri, kau pemeras dan lain-lain. 216 Ad.4. Dengan Maksud yang Nyata Supaya Diketahui Oleh Umum Unsur ini dalam penerapannya memerlukan kecermatan karena harus dapat dibuktikan “maksud nyata untuk menyiarkan…”, misalnya :  Diberitakan kepada satu orang di hadapan umum dengan suara yang dapat didengar oleh orang lain;  X dan Y bertengkar, dimana Y dengan suara lantang yang dapat didengar oleh banyak orang, menuduh X telah melakukan pencurian di rumah B pada hari senin yang lalu. B. MENISTA SECARA TERTULIS Penistaan tertulis diatur dan diancam oleh Pasal 310 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan, maka pembuat karena salahnya menista dengan surat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500.-“ Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (2) maka menista dan menista dengan tulisan bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedang unsur-unsur lainnya tidak berbeda. “Disebar” atau disiarkan mengandung arti bahwa tulisan atau gambar tersebut, lebih dari satu helai atau satu eksemplar. “Dipertunjukkan” dimaksud bahwa tulisan atau gambar, tidak perlu jumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Kata-kata “disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel diruangan tertutup maka hal itu bukan dimaksudkan untuk diketahui orang lain, atau dipertunjukkan untuk umum karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum (Marpaung, 1997: 19). Terhadap pelanggaran pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dimuat pengecualian sebagai “alasan untuk tidak dapat dihukum” meskipun telah berbuat suatu perbuatan menista atau 217 menista dengan surat. Hal ini diatur oleh ayat (3) pasal 310 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: “Tidak dapat dikatakan menista atau menista dengan surat jika nyata perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri” Rumusan pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat 2 (dua) versi, khususnya terhadap “mempertahankan kepentingan umum” yang juga dipergunakan istilah “membela kepentingan umum.” Prof. Satochid Kartanegara S.H, merumuskan “kepentingan umum” sebagai berikut: “Bila penuduh menyatakan bahwa tuduhannya itu dilancarkan untuk kepentingan umum, maka ini berarti bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu, diuntungkan.” (Hukum Pidana, Bagian dua, Balai Lektur Mahasiswa, 616) Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata “Kepentingan” disinonimkan dengan “Keperluan” dan kata umum, antara lain disinonimkan dengan “orang banyak”khalayak ramai”. Dengan demikian maka kepentingan umum adalah kepentingan atau keperluan orang banyak/khalayak ramai, tetapi kepentingan umum juga dimaksudkan sebagai lawan dari kata “kepentingan individu” atau “kepentingan perorangan”. Persepsi “membela diri karena terpaksa”, tidak jauh berbeda dengan pengertian noodweer yang diatur pasal 49 ayat (1) KUHP; bedanya adalah bahwa pada rumusan pasal 310 ayat (3), hanya berlaku untuk “diri sendiri”. Dengan demikian, maka harus memenuhi syarat-syarat noodweer yakni:  Adanya serangan terhadap diri sendiri;  Terhadap serangan perlu diadakan pembelaan diri; Tindak pidana “menista dengan tulisan dapat terjadi dalam berbagai bentuk,antara lain,sebagai berikut: a. Menista dengan surat dalam bentuk “surat resolusi” b. Pemimpin redaksi suatu surat kabar harian, yang memuat tulisan yang berisi menista dipersalahkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Nopember 1957 Reg. 218 c. d. No. 130 K/kr/1956 atas nama Maridi Danoekoesmo, Pemimpin Redaksi “Bintang Timur” Jakarta. Redaktur suatu surat kabar harian yang memerintah menyuruh memuat suatu karangan yang berisi menista orang lain, dipersalahkan sebagai pelaku dan yang mengarang dipersalahkan sebagai “membantu”. Tidak dapat dikatakan “menista”, jika hal tersebut dimuat dalam kontra memori bandingkarena surat kontra memori banding, tidak disiarkan untuk umum. C. MEMFITNAH (DEFAMATION) Kata “fitnah” sehari-hari umumnya diartikan sebagai yang dimuat dalam kamus besar bahasa Indonesia yakni : “perkataan yang dimaksud menjelekkan orang…”. Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya dan ternyata, tidak dapat membuktikan. Fitnah diatur oleh pasal 311 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : “(1) barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan surat, dalam hal ia diizinkan membuktikan kebenaran tuduhannya itu dihukum karena salahnya fitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran itu dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar”. Izin untuk membuktikan ditetapkan oleh hakim dalam hal : untuk kepentingan umum; untuk mempertahankan diri; yang difitnah adalah pegawai dalam menjalankan tugasnya. Menurut R. Soesilo (1986: 226) jika apa yang dituduhkan ternyata tidak benar, maka tidak disalahkan menista lagi akan tetapi dikenakan perbuatan memfitnah (Pasal 311 KUHP). Hal ini diatur pasal 312 KUHP yang bunyinya sebagai berikut: - 219 pembuktian kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal yang berikut : 1. kalau hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu supaya dapat menimbang perkataan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri; 2. kalau seorang pegawai negeri dituduh melakukan perbuatan dalam menjalankan jabatannya (Marpaung, 1997: 54)”. Rumusan pasal 314 KUHP adlah hal yang logisguna menciptakan kepastian hukum karena pemisahan penanganan antara fitnah dengan perbuatan yang dituduhkan dapat menimbulkan keragu-raguan atas kepastian hukum. Dengan rumusan pasal 314 KUHP msks hsl tersebut dapat dicegah. D. PENGHINAAN RINGAN Menurut doktrin, penghinaan ringan adalh bentuk ke-4 dari tindak pidana terhadap kehormatan. Perbedaan penghinaan ringan dengan menista atau menista dengan surat adalah bahwa pada penulisan (lisan/tertulis), dilakukan dengan cara menuduh melakukan perbuatan tertentu. Berdasarkan rumusan pasal 315 KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Penghinaan 2. Sengaja 3. Tidak bersifat menista atau menista dengan surat 4. Dimuka umum dimuka orang itu sendiri E. FITNAH DENGAN PENGADUAN Fitnah dengan pengaduan terjemahan dari lasterlijke aan klacht (bahasa belanda); sebagian pakar menerjemahkan dengan “pemberitahuan fitnah” dan sebagian lagi menerjemahkan dengan “mengadu dengan fitnah”. Jika diterjemahkan kata aanklacht berarti pengaduan atau mengadu. Pemberitahuan dalam bahasa belanda adalah aangifte. Dengan demikian, lebih tepat “fitnah dengan pengaduan” karena jika “mengadu dengan fitnah” yang menjadi masalah utama adalah 220 mengadu sedang dalam masalh ini yang dipersalahkan adalah fitnah atau penghinaan. Fitnah dengan pengaduan diatur pasal 317 KUHP. Kata ”pembesar negeri” dalam rumusan pasal 317 ayat (1) KUHP merupakan terjemahan dari overheid (bahasa belanda) yang artinya adalah ”penguasa” yang juga diterjemahkan dengan aparat negara atau aparat pemerintah. Untuk lebih memahami ”fitnah dengan pengaduan” perlu diamati unsur-unsurnya yakni sebagai berikut : dengan sengaja menyampaikan pengaduan atau laporan palsu disampaikan kepada penguasa, tentang orang tertentu dan menyerang kehormatan. H. FITNAH DENGAN PERBUATAN Fitnah Belanda lasterlijke verdachtmaking yang sebagai pakar menerjemahkan dengan persangkaan palsu. Fitnah dengan perbuatan diatur oleh pasal 318 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : ”barangsiapa sengaja dengan suatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka membuat tindak pidana hukum, karena salahnya memfitnah dengan perbuatan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.” Berdasarkan rumusan pasal 318 KUHP maka unsurunsurnya adalah sebagai berikut: dengan sengaja, melakukan suatu perbuatan, menyebabkan kesangkaan palsu, seolah-olah orang tersebut telah melakukan tindak pidana. Fitnah dengan perbuatan yang diatur pasal 318 KUHP tampaknya diambil alih oleh RUU KUHP 1993 pada pasal 422 (16.09).Perbedaan pasal 318 KUHP dengan pasal 16.09 RUU KUHP 1993 adalah bahwa pada pasal 16.09 disebut ”persangkaan palsu” sedang pada pasal 318 KUHP disebut fitnah dengan perbuatan. I. PENISTAAN TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL Masyarakat indonesia yang merupakan masyarakat pancasilais dengan unsur pertamanya ”Ke-tuhanan yang maha esa” menyadari bahwa manusia yang hidup di dunia, tidak sempurna, serba kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi perilaku. 221 Terhadap orang yang sudah meninggal, selaku orang yang beragama dan beriman, tidak ada yang berkenan untuk mengungkit-ungkit kekurangan-kekurangan orang yang telah meninggal. Dirasakan kurang layak, tidak etis jika mengutarakan kekurangan-kekurangan orang yang sudah meninggal. Hal yang demikian merugikan perilaku tercela. Dalam ilmu hukum pidana, kehormatan dan nama baik, merupakan obyek manusia yang masih hidup. Manusia yang masih hidup memerlukan kehormatan dan nama baik sedang orang yang sudah meninggal pada hakikatnya tidak memerlukannya. Hal ini merupakan hal yang logis sebab orang yang sudah meninggal tidak memerlukan apa-apa lagi dalam arti tidak memerlukan kepentingan atau kebutuhan. Oleh karenanya, penghinaan bagi orang yang sudah meninggal merupakan hal yang tidak mungkin. Penghinaan terhadap orang yang sudah meningga dimaksudkan dengan tujuan terhadap ahli waris sedang ahli waris sebagai manusia, berkepentingan untuk melindungi kehormatan dan nama baik keluarganya. Penistaan terhadap orang yang sudah meninggal diatur dalam pasal 320 dan 321 KUHP. Berdasarkan bunyi Pasal 320 KUHP, maka unsur-unsurnya sebagai berikut:  Melakukan suatu perbuatan yang dapat dianggap sebagai menista atau menista dengan surat atau tulisan;  Perbuatan itu ditujukan kepada orang yang telah meninggal. Berdasarkan rumusan pasal 321 KUHP maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:  Menyebarluaskan atau menyiarkan,mempertunjukkan kepada umum atau menempelkan;  Tulisan atau gambar/lukisan;  Dengan maksud supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui oleh umum;  Tulisan atau gambar/lukisan tersebut,menghina atau menista orang yang sudah meninggal. 222 RANGKUMAN: 1. 2. 3. Bentuk-bentuk perbuatan pidana terhadap kehormatan, yaitu menista (penghinaan) baik lisan atau tulisan, memfitnah, dan penistaan terhadap orang yang sudah meninggal. Tindak pidana menista dapat terjadi apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum baik lisan atau tulisan dan apabila tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan maka telah dianggap melakukan perbuatan memfitnah. Tindak pidana terhadap kehormatan ini merupakan delik aduan yang harus ada pengaduan agar sipelaku dapat dituntut kecuali Pasal 316 KUHP LATIHAN: 1. Sebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kehormatan! 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang disertai dengan contohnya! 3. Jelaskan perbedaan Pasal 310 ayat (1) dengan ayat (2)? 4. Jelaskan perbedaan perbuatan menista dengan memfitnah dengan disertai contohnya masing-masing. GLOSSARIUM: - Smaad adalah perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik seseorang yang sering juga disebut dengan penghinaan atau menista. - Lasterlijke aan klacht adalah Fitnah dengan pengaduan dalam arti bahwa untuk dituntut perkara memfitnah harus ada pengaduan dari yang difitnah begitu juga penghinaan. DAFTAR PUSTAKA Kartanegara, Satochid (Ed). Tanpa Tahun, Hukum Pidana II Delikdelik Tertentu, Balai Lektur Mahasiswa. 223 Marpaung, Leden. (Ed). 1997. Kejahatan Terhadap Kehormatan Pengertian dan Penerapannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Soesilo,R. (Ed). 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. Wirjono Prodjodikoro (Ed). 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Eresco. 224 BAB XIII TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA BENDA Tujuan Umum Pembelajaran: Setelah mempelari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan mengenai kesusilaan serta unsur-unsurnya. Tujuan Khusus Pembelajaran: Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk tindak pidana terhadap harta benda. 2. Mahasiswa mampu menguraikan unsur-unsur tindak pidana pencurian, pengancaman, penggelapan, penipuan dan penadahan. 3. Mahasiswa mampu membedakan antara penggelapan dengan penadahan. 4. Mahasiswa mampu menjelaskan tindak pidana perusakan dan pengahncuran benda. A. PENCURIAN BIASA Kejahatan terhadap harta benda adalah berupa perkosaan/penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak), dimuat dalam Buku II KUHP yaitu: 1. Pencurian (diefstal), diatur dalam Bab XXII 2. Pemerasan dan pengancaman (afpersing dan afdreiging), diatur dalam Bab XXIII. 3. Penggelapan (verduistering), diatur dalam Bab XXIV 4. Penipuan (bedrog), diatur dalam Bab XXV. 5. Penghancuran dan perusahan benda (versieling og beschadiging van goederen), diatur dalam Bab XXVII. 6. Penadahan (heling), diatur dalam Bab XXX. Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsurunsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi: 225 “Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00” Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari unsur-unsur yakni: 1. Unsur-unsur objektif, terdiri dari: a. Perbuatan mengambil b. Objeknya suatu barang/benda c. Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. 2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari: a. Adanya maksud b. Yang ditujukan untuk memiliki c. Dengan melawan hukum (Chazawi, 2004: 5). Ad.1. Unsur-unsur Objektif a. Mengambil (wegnemen) Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang kemudian diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaanya (Bandingkan dengan Prodjokoro, 1980:15). Sebagaimana dalam bentuk tulisan, aktifitas tangan dan jari-jari sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaanya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak 226 (Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa “perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui”. Dari perbuatan mengambil berakibat pada beralihannya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak juga beralihnya hak milik atas benda itu ke tangan petindak. Oleh karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan hukum, misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain sebagainnya (Chazawi, 2004: 7). Sehubungan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro (1980: 17) mengatakan bahwa “unsure memiliki benda adalah kontradiksi dengan unsur melanggar hukum, karena memiliki benda yang berarti menjadikan dirinya pemilik adalah harus menurut hukum, maka tidak mungkin memiliki benda orang lain dengan melanggar hukum itu. b. Unsur Benda/Barang Pada mulanya benda-benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak (roerend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, rumah yang telah terlepas/dilepas. Apabila petindak terlebih dulu menebang pohon atau melepas daun pintu kemudian diambilnya, maka disamping ia telah melakukan pencurian, ia juga telah melakukan kejahatan perusakan benda (pasal 406 227 KUHP). Dalam hal ini terjadi perbarengan perbuatan (pasal 65 KUHP). Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaanya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Dalam praktik, pengertian benda yang dapat menjadi objek pencurian sebagaimana diterangkan di atas tindak sepenuhnya dianut, kadang-kadang ditafsirkan sedemikian luasnya sehingga sudah jauh menyimpang, sebagaimana dalam kasus-kasus sebagai berikut: 1. Orang yang perbuatannya menyadap aliran listrik, oleh HR dalam arrestnya tanggal 23 Mei 1921 dikualifisir sebagai pencurian aliran listrik, (dikenal dengan elecktrische arrest). Jelas di sini energy listrik telah tetap menjadi objek pencurian. Dalam masyarakat telah dikenal secara meluas mengenai perbuatan-pencurian terhadap energi listrik yang dapat dikualifikasi sebagai pencurian listrik. Bahkan oleh UU No. 15 tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan perbuatan menggunakan tenaga listrik tanpa hak seperti itu dinyatakan sebagai pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP. 2. Orang yang mendapatkan gas yang diusahakan Pemerintah Kotamadya yang bertentangan dengan syarat-syarat penyerahan gas melalui suatu meteran, dipersalahkan oleh HR sebagai melakukan pencurian gas, tanpa memperhatikkan siapa yang telah melakukan perusakan meterannya (arrest HR tanggal 9-11-1932) c. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu 228 menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372). Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam usur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda-benda milik suatu badan misalnya milik Negara. Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek pencurian. Ad. 2.Unsur-unsur subjektif a. Maksud untuk memiliki Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk memiliki bagi diri sendiri (Satochid kartanegara 1:171) atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya. Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya. Pengertian lain dari memiliki, terdapat dalam MvT mengenai pembentukan pasal 362 KUHP yang menyatakan bahwa memiliki itu adalah menguasai sesuatu benda seolah-olah ia pemilik dari benda tersebut. Dalam praktik, pengertian yang diberikan oleh MvT inilah yang sering kali dianut, seperti tampak 229 b. dalam arrest HR tanggal 14-2-1938 yang menyatakan “adalah disyaratkan untuk maksud bertindak seolaholah pemilik dari suatu benda secara melawan hak incasu petindak telah mengambil arus listrik dengan maksud untuk menggerakkan alat-alat yang terdapat di bengkel ayanya secara melawan hukum. Melawan hukum Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua unsur yang ada di belakangnya (Moeljatno, 1983:182). Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. B. PENCURIAN YANG DIPERBERAT Pencurian dalam bentuk diperberat (gequalificeerde diefstal) adalah bentuk pencurian sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 362 (bentuk pokoknya) ditambah unsur-unsur lain, baik yang objektif maupun subjektif, yang bersifat memberatkan pencurian itu, dan oleh karenanya diancam dengan pidana yang lebih berat dari pencurian bentuk pokoknya. Pencurian dalam bentuk yang diperberat diatur dalam pasal 363 dan 365 KUHP. Bentuk pencurian yang diperberat pertama ialah: 1. Pasal 363 KUHP merumuskan: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun: 1. Pencuri ternak 230 2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan, atau bahaya perang. 3. Pencurian pada waktu malam dalam suatu tempat kediaman atau perkarangan yang tertutup yang ada tempat kediamannya, yang dilakukan oleh orang yang ada di sini tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak; 4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, dan; 5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu. (2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal tersebut dalam butir 4 dan 5, maka dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun. Dilihat dari ancaman pidananya, pencurian yang diperberat sebagaimana dirumuskan dalam pasal 363 KUHP ada 2 golongan, yaitu: a. Pertama, pencurian diperberat yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, sebagaimana diatur dalam ayat pertama, yang terdiri dari lima bentuk pencurian, dengan dasar pemberatan pada unsur-unsur: 1) Objeknya, ternak Mengenai arti ternak, menurut pasal 101 KUHP terbatas pada 3 jenis/rumpun hewan, yaitu: a) Binatang yang berkuku satu, seperti kuda, keledai, dan sebagainya. b) Binatang yang memamah biak, seperti sapi, kerbau, dan sebagainya c) Dan Babi 2) Faktor: saat atau keadaan-keadaan dan atau dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang bersifat memberatkan, ketika pencurian itu dilakukan. Seperti pada saat ada 231 kebakaran, letusan, banjir dan lainnya sebagaimana disebutkan dalam pasal 363 ayat (1) sub 2. Adapun dasar pemberatnya tersebut adalah terletak pada pemikiran bahwa, dalam keadaan-keadaan atau peristiwa tersebut, terjadi kepanikan, keributan, kekacauan. Dalam situasi seperti itu, dapat member kemudahan untuk melakukan pencurian, yang sepatutnya keadaan atau peristiwa tersebut tidak digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan kejahatan, akan tetapi untuk memberi pertolongan. 3) Ada 3 faktor kumulatif yang bersifat memberatkan, yaitu: a) saatnya melakukan pencurian: malam hari b) tempat melakukan pencurian (alternative); (1) dalam sebuah tempat kediaman (woning), (2) di pekarangan yang tertutup yang di dalamnya ada tempat kediamannya; c) petindaknya berada di tempat itu (alternative) (1) dengan tidak diketahui atau, (2) dengan tidak dikehendaki oleh yang berhak 4) Pemberatan yang didasarkan pada faktor pelakunya lebih dari seorang dengan bersekutu Yang dimaksud dengan dua orang atau lebih dengan bersekutu ialah bahwa orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab atas timbulnya pencurian itu adalah di antara orang-orang yang berkualitas sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 (1) KUHP, disebut petindak perserta (mededader) yang terditi dari pelaku pelaksana, pelaku penyuruh, pelaku peserta, dan pelaku penganjur, dan bukan yang satu pelaku pelaksana dan yang lain pelaku pembantu. Arrest HR tanggal 10-12-1894 menyatakan bahwa pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu haruslah dilakukan secara turut serta (mededaderschap) dan bukan secara pemberian bantuan (medeplchtigheid). 5) Pemberatan yang didasarkan pada faktor caranya untuk masuk atau sampai pada tempat melakukan kejahatan atau tempat beradanya objek kejahatan, yakni dengan cara: 232 a) membongkar b) merusak c) memanjat d) memakai anak kunci palsu e) dengan memakai perintah palsu, dan f) dengan memakai pakaian jabatan palsu Bentuk pencurian yang diperberatkan kedua, ialah yang diatur dalam Pasal 365 KUHP yang dikenal dengan pencurian dengan kekerasan. Pencurian sebagaimana dirumuskan di atas, dalam praktik dikenal sebagai pencurian dengan kekerasan. Oleh sebab dilakukan dengan upaya kekerasan atau ancaman kekerasan. Berdasarkan ancaman pidananya, pencurian yang diperberat ini, dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu masingmasing bentuk selalu terdapat upaya kekerasan maupun ancaman kekerasan. Empat bentuk itu adalah: a. Bentuk pertama sebagaimana diatur dalam ayat (1) yang memuat semua unsur dari pencurian dengan kekerasan yang diancam dengan pidana maksimum 9 tahun. Unsur-unsurnya sebagai berikut: 1) Unsur-unsur yang terdapat pada pasal 362, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, berupa unsur-unsur pencurian dalam bentuk standar/bentuk pokok. Unsurunsur ini sudah tercakup dalam perkataan pencurian dalam 365 (1) tersebut. 2) Kemudian ditambah unsur-unsur khusus, yaitu unsurunsur yang bersifat memberatkan pencurian, yaitu: (a) cara atau upaya-upaya yang digunakan berupa:kekerasan, atau (b) ancaman kekerasan (1) yang ditujukan pada orang (2) waktu penggunaan upaya kekerasan atau ancaman kekerasan itu, ialah: (a) sebelum (b) pada saat, atau (c) setelah belangsungnya pencurian 233 Unsur subjektifnya ialah maksud digunakannya kekerasan ataupun ancaman kekerasan itu ditujukan pada 4 hal, yaitu (1) untuk mempersiapkan (2) untuk mempermudah pencurian (3) apabila tertangkap tangan memungkinkan untuk melarikan diri sendiri atau peserta lainnya (4) apabila tertangkap tangan dapat tetap menguasai benda hasil curiannya. b. Bentuk kedua, yaitu pada ayat 2 yang diancam dengan pidana penjara maksimum 12 tahun, yang dibagi lagi menjadi 4 bentuk, yang masing-masing memuat unsur-unsur berupa: 1) semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362) 2) ditambah unsur-unsur khusus dalam ayat 1 pasal 365;dan 3) ditambah unsur-unsur lebih khusus lagi bersifat alternatife, yang merupakan ciri masing-masing bentuk dari 4 bentuk yang dimaksud dalam ayat 2 pasal 365, yaitu: a) pertama, yang terdiri dari 4 bentuk lagi, yakni: pencurian yang dilakukan waktu malam di: (1) di tempat kediaman, atau (2) pekarangan tertutup yang di dalamnya ada tempat kediamanya, atau (3) di jalan umum, atau (4) did alam kereta api atau trem yang sedang berjalan. c. Pencurian dengan kekerasan bentuk yang ketiga, yakni yang diancam dengan pidana maksimum 15 tahun. Pencurian dengan kekerasan bentuk ketiga ini adalah sebagaimana diatur dalam pasal 365 ayat 3, yang harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1) semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362) 2) unsur-unsur pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat (1)) 3) adanya akibat kematian orang d. Pencurian dengan kekerasan bentuk keempat, adalah yang terberat, karena diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi- 234 tingginya 20 tahun, yaitu apabila tergabungnya unsur-unsur sebagai berikut: 1) semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362) 2) semua unsur pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat (1)) 3) Unsur timbulnya akibat: luka berat atau matinya orang 4) Dilakukan oleh dua orang dengan bersekutu 5) Ditambah salah satu dari: a) waktu melakukan pencurian yaitu malam, ditambah unsur tempat yakni dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan tertutup yang ada tempat kediamannya b) unsur cara-caranya untuk masuk atau sampai pada tempat melakukan kejahatan dengan jalan: (1) merusak (2) memanjat (3) memakai anak kunci palsu (4) memakai perintah palsu (5) memakai pakaian. jabatan palsu C. PENCURIAN RINGAN Pencurian ringan (gepriviligeerde diefstal) dimuat dalam pasal 364 KUHP yang rumusannya sebagai berikut: Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada kediamannya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250,00 diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 900,00 Jadi ada 3 kemungkinan saja dapat terjadi pencurian ringan, yaitu apabila: 1. Pencurian biasa sebagaimana diatur pasal 362, ditambah adanya unsur yang meringankan yakni nilai benda yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250,00 235 2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu ditambah unsur nilai objeknya tidak lebih dari Rp. 250,00 3. Pencurian yang dilakukan dengan cara masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan jalan: membongkar, merusak, memanjat, memakai anak kunci palsu, penrintah palsu atau pakaian jabatan palsu, ditambah nilainya benda yang dicuri tidak lebih dari Rp. 250,00 D. PENCURIAN DALAM KALANGAN KELUARGA Dalam Pasal 367 KUHP dapat diketahui bahwa ada 2 bentuk pencurian dalam keluarga, yaitu: 1. Bentuk pertama sebagaimana yang diatur dalam ayat(1)yaitu apabila terdapatnya unsur-unsur sebagai berikut: a. semua unsur pencurian pokok (pasal 362) b. adanya unsur khusus, yakni: 1) adanya hubungan antara petindak atau pelaku pembantunya dengan korban sebagai suami atau istri yang tidak terpisah meja dan tempat tidur atau tidak terpisah harta kekayaannya 2) Unsur benda objeknya adalah benda-benda milik suami atau istri tersebut. E. PEMERASAN DAN PENGANCAMAN 1. Pemerasan Dari rumusan Pasal 368 ayat (1) sebagai rumusan dari pengertian pemerasan itu terdapat unsur-unsur: a. Unsur-unsur objektif 1) perbuatan memaksa Undang-undang tidak menerangkan tentang apa yang dimaksud dengan memaksa. Perbuatan memaksa adalah berupa perbuatan (aktif dan dalam hal menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan) yang sifatnya menekan (kehendak atau kemauan) pada orang, agar orang itu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak orang itu sendiri. 236 2) yang dipaksa:seseorang Orang di sini, baik pemilik benda maupun bukan,juga tidak harus orang yang menyerahkan benda, yang memberik hutang maupun yang menghapuskan hutang. Orang yang menerima paksaan, tidak harus sama dengan orang yang menyerahkan benda, yang memberi hutang maupun yang menghapuskan piutang. 3) upaya memaksa dengan: a) kekerasan, atau b) ancaman kekerasan Perbuatan memaksa adalah berupa perbuatan materiil (perbuatan jasmani), karenanya harus aktif, dan juga berupa perbuatan yang bersifat abstrak. Perbuatan yang bersifat abstrak ini akan menjadi lebih konkret sifatnya dan lebih terbatas wujudnya, setelah dihubungkan dengan upaya atau cara melakukannya yakni dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Mengenai pengertian kekerasan dan ancaman kekerasan perhatian kembali pencurian dengan kekerasan yang sudah dibicarakan terdahulu. 4) tujuan, sekaligus merupakan akibat dari perbuatan memaksa dengan menggunakan upaya kekerasan atau ancaman kekerasan, yaitu: a) orang menyerahkan benda b) orang memberi hutang c) orang menghapus piutang b. Unsur-unsur subjektif 1) dengan maksud untuk menguntungkan: a. diri sendiri, atau b. orang lain 2). Dengan melawan hukum. 2) Tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan memaksa, yaitu orang menyerahkan benda, orang memberikan hutang dan atau orang menghapuskan piutang. 3) Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. 237 Yang dimaksud dengan menguntungkan diri, ialah menambah sejumlah kekayaan seseorang dari kekayaan yang sudah ada. Penembahan kekayaan ini baik untuk dirinya sendiri maupun bagi orang lain, yang dalam pemerasan tidak harus telah terwujud. 2. Pengancaman Ada dua bentuk pengancaman (afdreiging), yaitu pertama bentuk pokoknya (pasal 369) dan yang kedua pengancaman dalam kalangan keluarga (pasal 370). Pasal 369, bentuk pokok pengancaman merumuskan: (1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman penceramaran dengan lisan maupun tulisan atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang itu atau orang lain, atau supaya memberikan hutang atau menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. (2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang terkena kejahatan. Tampak dari rumusan tersebut di atas, pengancaman ini banyak persamaannya dengan pemerasan, dapat dilihat jika pengancaman itu dirinci unsur-unsurnya. a. Unsur-unsur objektif, terdiri dari: 1) perbuatan memaksa 2) yang dipaksa, orang a) cara-cara memaksa dengan memakai: ancaman pencemaran nama baik, baik tertulis maupun lisan b) ancaman akan membuka rahasia 3) unsur tujuan yang sekaligus merupakan akibat a) orang menyerahkan suatu benda yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain b) orang memberi hutang c) orang meniadakan piutang b. Unsur-unsur subjektif, yaitu: 1) maksud yang ditujukan pada: a) menguntungkan dirinya sendiri 238 b) menguntungkan orang lain 2) dengan melawan hukum. Setelah dirinci sedemikian rupa, maka tampaklah persamaan dan perbedaan antara pemerasan dan pengancaman. Adapun persamaanya ialah terletak pada: 1) perbuatan materiilnya masing-masing berupa memaksa 2) perbuatan memaksa ditujukan pada: orang tertentu 3) tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan memaksa: agar orang menyerahkan benda, memberi hutang dan atau menghapuskan piutang 4) unsur kesalahan masing-masing berupa maksud yang ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. Sedangkan perbedaannya, adalah: 1) cara-cara digunakan dalam melaksanakan perbuatan materiilnya, yaitu: a. pada pemerasan, dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan b. pada pengancaman, dengan menggunakan ancaman pencemaran dan akan membuka rahasia. 2) pemerasan merupakan tindak pidana biasa. Pengancaman merupakan tindak pidana aduan absolute 3) mengenai ancaman pidananya. 3. Pemerasan dan Pengancaman dalam Kalangan Keluarga Sama halnya dengan pencurian dalan kalangan keluarga, pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga juga terdiri dari dua macam, yaitu pertama ialah berupa pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga yang tidak dapat dituntut pidana, dan kedua pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga yang dapat dituntut pidana dengan suatu pengaduan. 1. Bentuk pertama, pemerasan dna pengancaman ini memuat unsur-unsur: a. semua unsur pemerasan (pasal 369), ditambah unsur khusus yaitu berupa: b. 1) unsur objektif berupa adanya hubungan antara korban dengan petindaknya atau pelaku pembantunya sebagai suami 239 istri yang tidak terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah/dipisahkan harta kekayaannya, ditambah lagi unsur 2)mengenai objeknya, yakni benda-benda milik suami atau istri tersebut. 2. Bentuk kedua, pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga yang merupakan tindak pidana aduan, yaitu apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. Semua unsur pemerasan (pasal 368*) dan pengancaman (pasal 369), ditambah lagi unsur khusus berupa: b. Unsur-unsur yang bersifat alternatif, yaitu: a. petindak atau dia sebagai pelaku pembantunya adalah sebagai suami atau istri yang terpisah meja dan tempat tidur atau terpisah harta kekayaannya, atau b. petindak atau dia sebagai pelaku pembantunya adalah keluarga sedarah atau menenda baik dalam garis lurus maupun menyimpang dalam derajat kedua dengan pemilik benda objek kejahatan F. PENGGELAPAN Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan (verduistering), terdiri dari 6 pasal (372 s/d 377). Ada beberapa bentuk penggelapan, yaitu: a. penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372) b. penggelapan dalam bentuk-bentuk yang diperberat (gequalificeerdpe verduistering, pasal 374 dan 375) c. penggelapan ringan (lichte verduistering, pasal 373) d. penggelapan dalam kalangan keluarga (pasal 376). 1. Penggelapan Biasa Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut dalam Pasal 372, dapat dirinci unsur-unsurnya sebagai berikut: Unsur-unsur objektif, adalah: a. perbuatan memiliki (zinc toeeigenen) b. sesuatu benda (eening goed) c. yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain d. yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan 1. Unsur-unsur subjektif, yaitu: 240 a. dengan sengaja (opzettelijk) b. dan melawan hukum (wederrechtelijk) Unsur-unsur objektif a. perbuatan memiliki pengertian memiliki pada penggelapan ini ada perbedaanya dengan memiliki pada pencurian. Perberdaan ini, ialah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur-unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam unsur memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya, bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat untuk menjadi selesainya penggelapan. Bentuk-bentuk perbuatan memiliki, misalnya menjual, menukar, menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya. b. Unsur objek kejahatan: sebuah benda c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain d. Benda berada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan. Di sini ada 2 unsur, yang pertama: berada dalam kekuasaanya, dan kedua bukan karena kejahatan. Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah disinggung di atas. Suatu benda dalam kekuasaan seseorang apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segal macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus melakukan perbuatan yang lain. 241 Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan antara agar ia dapat berbuat secara langsung). 1. Unsur-unsur subjektif a. Unsur kesengajaan Unsur ini adalah merupakan unsur kesalahan dalam penggelapan. Sebagaimana dalam doktrin, kesalahan (schuld) terdiri dari 2 bentuk yakni kesengajaan (opzettelijk atau dolus) dan kelalaian (culpos). b. Unsur Melawan Hukum Ada beberapa perbedaan antara penggelapan dengan pencurian, perbedaan itu adalah: 1) tentang perbuatan materiilnya. Pada penggelapan adalah perbuatan memiliki, pada pencurian adalah mengambil. Pada pencurian ada unsur memiliki, yang berupa unsur subjektif. Pada penggelapan unsur memiliki adalah unsur tingkah laku, berupa unsur objektif. Untuk selesainya penggelapan disyaratkan pada selesai atau terwujudnya perbuatan memiliki, sedangkan pada pencurian pada perbuatan mengambil, bukan pada unsur memiliki. 2) Tentang beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak. Pada pencurian, benda tersebut berada di tangan/kekuasaan petindak akibat dari perbuatan mengambil, berarti benda tersebut berada dalam kekuasaanya karena suatu kejahatan (pencurian). Tetapi pada penggelapan tidak, benda berada dalam kekuasaannya karena perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan hukum. 2. Penggelapan dalam Bentuk Diperberat Penggelapan diperberat pertama, ialah yang ada dalam pasal 374 KUHP merumuskan sebagai berikut: “penggelapan yang dilakukan oleh orang yang pengausaannya terhadap benda disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena suatu pencaharian atau karena pendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”. 242 Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsurunsur sebagai berikut: a. semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372) b. unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya benda dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh: 1) karena adanya hubungan kerjaan 2) karena mata pencaharian 3) karena mendapatkan upah untuk itu. Penggelapan bentuk yang diperberat kedua, diatur dalam pasal 375 yang rumusannya sebagai berikut: Penggelepan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi benda untuk disimpan atau yang dilakukan oleh wali, pengampu, kuasa, atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap benda yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana paling lama 6 tahun. Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsurunsur: a. unsur-unsur penggelapan bentuk pokok (Pasal 372) b. unsur-usnur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni beradanya benda objek penggelapan di dalam pengusaan petindak disebabkan oleh: 1) suatu keadaan yang terpaksa untuk dititipkan 2) kedudukan sebagai wali (voogd) 3) kedudukan sebagai pengampu (curator) 4) kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder) 5) kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat 6) Kedudukan sebagai pengurus dari lembaga sosial atau yayasan. 3. Penggelapan Ringan Penggelapan yang dikualifikasikan sebagai penggelapan ringan (grepvriligeerde verduistering) dirumuskan dalam pasal 373 yang berbunyi: “perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp. 250,00 dikenal sebagai penggelapan ringan 243 dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp. 900,00”. Rumusan penggelapan ringan tersebut di atas terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:, 1. semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372) 2. unsur-unsur khusus, yakni: a. objeknya : benda bukan ternak b. nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,00 4. Penggelapan dalam Kalangan Keluarga Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian, pengancaman, pemerasan, pengelapan, penipuan apabila dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi: 1) tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap petindaknya maupun terhadap pelaku pembantunya (Pasal 367 ayat (1)) 2) tindak pidana aduan. Tanpa ada pengaduan, baik terhadap petindaknya maupun pelaku pembantunya tidak dapat dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat (2)). G. PENIPUAN Kejahatan penipuan (bedrog) dimuat dalam Bab XXV Buku II KUHP, dari pasal 378 s/d pasal 399 titel asli bab ini adalah bedrog yang oleh banyak ahli diterjemahkan sebagai penipuan, atau ada juga yang menerjemahkan sebagai perbuatan curang. Tresna menyebutkannnya bekicau. Perkataan penipuan itu sendiri mempunyai dua pengertian, yakni: 1. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XX KUHP 2. Penipuan dalam arti sempit, yaitu bentuk penipuan yang dirumuskan dalam pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk khususnya), atau yang biasa disebut dengan oplichting. 1. Penipuan Biasa/Pokok Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur: 1. unsur-unsur objektif a. perbuatan menggerakkan b. yang digerakkan orang c. perbuatan itu ditujukan pada 244 1) 2) 3) d. 1) 2) 3) 4) 2. a. orang lain menyerahkan benda orang lain memberi hutang orang lain menghapuskan piutang cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan memakai nama palsu memakai tipu muslihat memakai martabat palsu memakai rangkaian kebohongan unsur-unsur subjektif 1) maksud untuk menguntungkan diri sendiri 2) maksud untuk menguntungkan orang lain b. dengan melawan hukum 2. unsur-unsur objektif penipuan a. Perbuatan mengerakkan (bewegen) Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain. Objek yang dipengaruhi adalah kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkret bila dihubungkan dengan cara melakukannya. Cara melakukannya inilah sesungguhnya yang lebih berbentuk, yang bisa dilakukan dengan perbuatanperbuatan yang benar dan dengan perbuatan yang tidak benar. b. yang digerakkan adalah orang Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal ini bukan merupakan keharusan, karena dalam rumusan pasal 378 tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda, memberi hutanga maupun menghapuskan piutang adalah harus orang yang digeraakkan. c. 1) menyerahkan benda 245 Pengertian benda dalam penipuan mempunyai arti yang sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak. d. 2) memberi hutang, dan 3) menghapuskan piutang Perkataan hutang di sini tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (30-11928) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang adalah suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang jaminan”. 2. Penipuan Ringan Penipuan ringan (lichte oplichting) dirumuskan dalam pasal 379 yang berbunyi: Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 jika benda yang diserahkan itu bukan ternak dan harga dari benda, hutang atau piutang itu tidak lebih dari Rp 250,00 dikenal sebagai penipuan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 900,00. Faktor yang menyebabkan penipuan sebagaimana dirumuskan di atas menjadi ringan adalah: a. benda objek bukan ternak, dan b. nilai benda objek tidak lebih dari Rp. 250,00 Unsur-unsur penipuan ringan adalah: 1. semua unsur penipuan pasal 378 dan 2. unsur-unsur khusus, yaitu: a. benda objek bukan ternak b. nilainya tidak lebih dari Rp. 250,00 H. PERUSAKAN DAN PENGHANCURAN BENDA 1. Perusakan dan Penghancuran Benda Biasa Perusakan dan penghancuran benda dalam bentuk pokok, diatur dalam pasal 406 merumuskan sebagai berikut: (1) barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat dipakai atau menghilangkan suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, diancam dengan 246 pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda paling banyak Rp. 4.500.00,(2) dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan, membikin tidak dapat dipergunakan atau menghilangkan hewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain. Perbedaan pokok antara ketentuan pada ayat 1 dan pada ayat (2), ialah mengenai objeknya. Pada ayat (1) objeknya bukan binatang, sedangkan pada ayat 2 objek binatang. Unsurunsur rumusan pada ayat pertama adalah: 1. unsur-unsur objektif a. perbuatan 1) menghancurkan 2) merusakkan 3) membikin tidak dapat dipakai 4) menghilangkan b. objeknya: suatu benda c. yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain 2. Unsur-unsur subjektif a. dengan sengaja b. melawan hukum I. PENADAHAN Kejahatan penadahan masuk menjadi bagian Bab XXX buku II KUHP, terdiri dari 3 pasal, yakni 480, 481 dan 482. Pasal 480 merumuskan sebagai berikut: Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00 karena penadahan. 1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperolehnya dari kejahatan, dan 2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperolehnya dari kejahatan. 247 Rumusan penadahan yang pertama mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur-unsur objektif a. perbuatan kelompok 1, yaitu: 1) membeli 2) menyewa 3) menukar 4) menerima gadai 5) menerima hadiah, atau kelompok 2 untuk menarik keuntungan: 1) menjual 2) menukarkan 3) menyewakan 4) menggadaikan 5) mengangkut 6) menyimpan 7) menyembunyikan b. Objenya: suatu benda c. Yang diperolehnya dari suatu kejahatan 2. Unsur-unsur subjektif a. yang diketahuinya b. yang sepatutnya dapat diduga bahwa benda itu peroleh dari kejahatan. Dari rumusan penadahan pertama, ada 2 bentuk penadahan (perhatikan rincian unsur perbuatannya). Bentuk pertama unsur perbuatannya terdiri dari kelompok 1 perbuatan nomor 1 s/d 5, sedangkan bentuk kedua, kelompok perbuatannya:nomor 1 s/d 7. Perbedaan antara bentuk pertama dengan bentuk kedua, ialah pada bentuk kedua, perbuatannya didorong oleh suatu motif untuk menarik keuntungan, dan motif ini harus dibuktikan. Sedangkan bentuk pertama tidak diperlukan motif apa pun juga. Penadahan yang dirumuskan kedua (ayat 2), terdiri dari unsur-unsur: 1. Unsur-unsur objektif a. perbuatan mearik keuntungan dari b. Objeknya hasil suatu benda c. Yang diperolehnya dari suatu kejahatan 2. Unsur-unsur subjektif 248 a. yang diketahuinya, atau b. patut menduga benda itu dari hasil suatu kejatanan Bentuk penadahan sebagai kebiasaan diatur dalam Pasal 481 yang unsur-unsur kejahatannya adalah: 1. Unsur-unsur objektif a. perbuatan 1) membeli 2) menukar 3) menerima gadai 4) menyimpan 5) menyembunyikan b. objeknya: suatu benda c. yang diperoleh dari kejahatan d. menjadikan sebagai kebiasaan. 2. Unsur-unsur subjektif: sengaja. RANGKUMAN: 1. Pencurian meliputi unsur-unsur: - Mengambil - Barang tertentu - Barang itu seluruh atau sebagian milik orang lain - Mengambil dengan maksud untuk memiliki - Memiliki itu harus dengan cara melawan hukum. 2. Jenis-jenis tindak pidana pencurian adalah: a. Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP) b. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) c. Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHP) d. Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 364 KUHP). 3. Penggelapan mempunyai unsur-unsur: - Dengan sengaja memiliki - Dengan melawan hukum - Sebagian atau seluruhnya barang itu kepunyaan orang lain 4. Unsur-unsur Pasal 368 KUHP atau pemerasan adalah: - Memaksa orang lain - Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain atau membuat hutang atau menghapuskan hutang. 249 5. 6. - Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum. - Memaksa dengan memakai kekerasan atau pengancaman Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai penipuan jika memenuhi unsur-unsur: - Adanya orang yang dibujuk atau dapat digerakkan hatinya untuk menyerahkan sesuatu barang atau untuk berbuat hutang atau menghapuskan piutang. - Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Penadahan baru ada setelah terlebih dahulu ada kejahatan lainnya dengan unsure-unsur: - Membeli, menyewa, menukar, menerima gadai menerima hadiah; - Mau mendapat untung dengan jalan menjual, mempersewakan dan menukar; - Diketahuinya atau patut diduga - Barang itu diperoleh dari kejahatan. LATIHAN: 1. Sebutkan bentuk-bentuk tindak pidana terhadap harta benda! 2. Jelaskan unsur-unsur tindak pidana pencurian, pengancaman, penggelapan, penipuan dan penadahan dalam bentuk pokok. 3. Sebutkan bentuk-bentuk tindak pidana pencurian! 4. Sebutkan dalam hal apa saja pencurian dengan pemberatan itu terjadi? 5. A menitipkan sepeda motor kepada B. Sepeda motor yang dititipkan kepada B dijual oleh B dan B mengatakan sepeda motor itu hilang. Perbuatan A termasuk dalam tindak pidana apa? Jelaskan! 6. Jelaskan perbedaan antara penggelapan dengan penadahan. 7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana perusakan dan pengahancuran benda. 250 DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2004. Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang: Bayumedia. Lamintang dan Simorangkir. 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: Penerbit Tarsito. Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta-Bandung: Penerbit Eresco. Soesilo,R.. 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 251 BAB XIV KEJAHATAN TERHADAP TUBUH DAN NYAWA Tujuan Umum Pembelajaran: Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh dan nyawa serta unsurunsurnya. Tujuan Khusus Pembelajaran: 1. Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh baik dengan sengaja mupun kelalain. 2. Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan karena kelalaian. 3. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian penganiayaan dan unsur-unsur penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP. 4. Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur pembunuhan dalam bentuk pokok atau pembunuhan biasa. 5. Mahasiswa mampu menerangkan kapan dikatakan pembunuhan yang direncanakan. A. KEJAHATAN TERHADAP TUBUH DENGAN SENGAJA Kejahatan terhadap tubuh atas dasar unsur kesalahannya ada 2 macam, ialah : 1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja. Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ( misbandeling ), dimuat dalam bab XX buku II, Pasal 351 s/d 358 KUHP. 2. kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal 360 Bab XXI yang dikenal dengan dengan kualifikasi karena lalai menyebabkan orang lain luka. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan ) dapat dibedakan menjadi 6 macam, yakni : 1. Penganiayaan Biasa (351 KUHP) 2. Penganiayaan Ringan (352 KUHP) 3. Penganiayaan Berencana (353 KUHP) 4. Penganiayaan Berat (354 KUHP) 5. Penganiayaan berat berencana (355 KUHP) 252 6. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang – orang yang berkualitas tertentu memberatkan (356 KUHP) 1. Penganiayaan Biasa Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan bentuk pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan pasal 351 sungguh tepat, setidak–tidaknya untuk membedakannya dengan bentuk–bentuk penganiayaan lainnya. Dilihat dari sudut pandang UU dalam merumuskan penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan. Apabila pada rumusan kejahatan-kejahatan lain, pembentukan UU dalam membuat rumusan adalah dengan menyebutkan unsur tingkah laku dan unsur–unsur lainnya, seperti kesalahan, melawan hukum atau unsur mengenai objeknya, mengenai cara melakukannya dan sebagainya, tetapi pada kejahatan yang diberi kualifikasi penganiayaan (351 ayat (1)) ini, dirumuskan dengan sangat singkat yaitu dengan cara menyebut kualifikasinya sebagai penganiayaan (mishandeling) sama dengan judul dari Bab XX dan menyebutkan ancaman pidananya. Pasal 351 merumuskan sebagai berikut : (1) penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4.500,(2) jika perbuatan itu mengakibatkan luka – luka berat, yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. (3) jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun. (4) dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan (5) percobaan untuk melakukan kejahatan tidak dipidana . Menurut R. Soesilo (1986:245) penganiayaan yang dimaksud dalam pasal 351 KUHP ini adalah penganiayaan biasa yang diancam lebih berat jika penganiayaan biasa ini berakibat luka berat atau mati. Tentang luka berat dapat dilihat 253 dalam Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati ini harus hanya merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh sipembuat. Pada mulanya dalam rancangan dari pasal yang bersangkutan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Belanda Parlemen, terdapat dua rumusan yaitu : a. setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit/penderitaan terhadap orng lain. b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merusak kesehatan tubuh orang lain (Satochid Kartanegara: 507, Wirjono Prodjodikoro, 1980: 70 ). Dalam doktrin hukum pidana, berdasarkan sejarah pembentukan dari pasal-pasal yang bersangkutan sebagaimana yang diterangkan di atas, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh oang lain (Satochid Kartanegara, tt: 509) Jadi menurut doktrin penganiayaan mempuyai unsurunsur sebagai berikut : a. adanya kesengajaan b. adanya perbuatan c. adanya akibat perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh Kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau obzet als oogmerk (Wirjono Prodjodikoro, 1974: 71), disamping harus ditujukan pada perbuatannya, juga harus ditujukan pada akibatnya. Sifat kesengajaan yang demikian lebih nyata lagi pada rumusan ayat (4). Sedangkan rasa sakit tidak memerlukan adanya perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan. 2. Penganiayaan Ringan Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan ringan (lichce mishandeling) oleh UU ialah penganiayaan yang dimuat dalam pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut : (1) - kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau 254 halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda pailing banyak Rp. 4.500,-“. - pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya. (2) percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang : a. bukan berupa penganiayaan berencana (353) b. bukan penganiayaan yang dilakukan : 1) terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya 2) terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasnya yang sah 3) dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (356) c. tidak (1) menimbulkan penyakit atau (2) halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian. Misalnya A menampar B tiga kali dikepalanya. B merasa sakit (pijn) tetapi jatuh skit (ziek) dan masih bisa melakukan pekerjaannya sehari-hari, maka A berbuat “penganiayaan ringan”. Umpamanya lagi A melukai kecil jari kelingking kiri B (seorang penggesek biola) hingga jari B dibalut dan terpaksa terhalang untuk main biola atau pekerjaannya sehari-hari. Meskipun hanya luka kecil tetapi penganiayaan ini bukan penganiayaan ringan, karena B terhalang dalam pekerjaannya. 3. Penganiayaan Berencana Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan berencana merumuskan sebagai berikut : (1) penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun; (2) jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun; (3) jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana paling lama 9 tahun. 255 Ketentuan Pasal 353 ini dinamakan “penganiayaan berat”. Agar dapat dijatuhi pasal ini maka niat sipembuat harus ditujukan pada “melukai berat” artinya “luka berat” harus dimaksud oleh sipembuat, apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk “penganiayaan biasa yang berakibat luka berat” (Soesilo, 1986: 246). Ada 3 macam penganiayaan berencana, yakni: a. penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian b. penganiayaan berencana yang berakibat luka berat c. penganiayaan berencana yang berakibat kematian Dalam doktrin banyak dibicarakan oleh para ahli tentang istilah direncanakan lebih dahulu, yang pada dasarnya istilah ini mengandung pengertian yang harus memenuhi syarat-syarat yakni : a. pengambilan keputusan untuk berbuat atas suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang, (kebalikan dari pengambilan keputusan secara tiba-tiba atau tergesa-gesa tanpa dipikirkan lebih jauh tentang misalnya akibatnya baik atas diri orang lain maupun atas dirinya). b. Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup. Ada persamaan dan perbedaan antara penganiayaan biasa bentuk a (351 ayat (1)) dengan penganiayaan bentuk a (353). Persamaannya, ialah pada kedua penganiayaan: a. Masing-masing tidak mengakibatkan luka berat atau kematian b. memiliki kesengajaan yang sama terhadap perbuatan beserta akibatnya, maksudnya baik terhadap perbuatan maupun akibat perbuatan berupa rasa sakit tubuh orang lain sama di inginkan petindak c. bila mengakibatkan luka, haruslah berupa bukan luka berat (dalam arti luka ringan sebagai kebalikan dari luka berat). d. Sama berlaku factor yang memperberat pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 356 Sedangkan perbedaannya adalah, bahwa pada penganiayaan biasa bentuk a : a. Tidak terdapat unsur direncanakan terlebih dahulu 256 b. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yakni bila penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan atau pencaharian. c. Dipandang sebagai bentuk pokok/standard dari penganiayaan d. Percobaannya tidak dapat dipidana. Sedangkan penganiayaan berencana bentuk a adalah : a. Adanya faktor pidana berupa direncanakan lebih dahulu b. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringin, karena pasal 353 disebut sebgai perkecualian dari penganiayaan ringan. c. Dipandang sebagai penganiayaan yang dikualifisir (gequalificeer de mishandeling) d. Percobaannya dipidana. 4. Penganiayaan Berat Penganiayaan yang oleh UU diberi kualifikasi sebagai penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam pasal 354 KUHP. Dengan mengingat pengertian penganiayaan seperti yang diterangkan dibagian muka, dengan menghubungkannya pada rumusan penganiayaan berat, maka pada penganiayaan berat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut ; a. Kesalahan : Kesengajaan b. Perbuataan : melukai berat Ojeknya : tubuh orang lain c. Akibat : luka berat Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan luka berat (dapat dilihat Pasal 90 KUHP) pada tubuh orang lain, haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan (opzettelijk) disini haruslah diartikan secara luas, artinya termasuk dalam ketiga bentuk kesengajaan. Pandangan ini didasarkan pada keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa apabila dalam rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan. penganiayaan berat hanya ada 2 bentuk, yakni : a. Penganiayaan berat biasa (ayat (1) ) dan b. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat (2)) 257 5. Penganiayaan Berat Berencana Penganiayaan berat berencana dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya sebagai berikut : (1) penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. (2) jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah di pidana dengan penjara paling lama 15 tahun. Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat berencana, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat (1)) dengan penganiayaan berencana (353 ayat (1)). Dengan kata lain suatu penganiayaan berat terjadi dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini harus terjadi secara serentak dan bersama. Oleh karena harus terjadi bersama, maka harus terpenuhi unsur penganiayaan berat. Artinya suatu penganiayaan berat berencana dapat terjadi apa bila kesengajaan petindak tidak saja ditujukan pada perbuatannya (misalnya memukul dengan sepotong besi) dan pada luka berat tubuh orang lain (sebagaimana pada penganiayaan berat), melainkan juga pada direncanakan terlebih dahulu (sama sebagaimana pada penganiayaan berencana). 6. Penganiayaan Terhadap Orang-orang Berkualitas Tertentu Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah sepertiga: 1. bagi yang melakukan kejahatan terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istri atau anaknya. 2. jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika karena menjalankan tugasnya yang sah. 3. jika kejahatn itu dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan dan minum. Rumusan pasal 358 tersebut, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: a. Unsur objektif : 1. perbuatan : turut serta 2. a ). Daam penyerangan b ). Dalam perkelahian 3. Dimana terlibat beberapa orang 4. Menimbulkan akibat ada yang luka berat dan ada yang Mati 258 b. Unsur subjektif : dengan sengaja B. KEJAHATAN TERHADAP TUBUH DENGAN TIDAK SENGAJA Pasal 360 menyebutkan bahwa: (1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau hukumtu kurungan selama-lamanya satu tahun. (2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,Isi pasal ini hampir sama dengan Pasal 359, bedanya hanya bahwa akibat dari pasal 359 adalah mati orang sedang akibat dalam pasal 360 adalah: luka berat, luka yang menyebabkan jatuh sakit, dan luka ringan tidak terhalang pekerjaannya sehari-hari. Dalam rumusan Pasal 360 ayat (1) KUHP, terdapat unsurunsur, yakni : 1. adanya perbuatan 2. karena adanya kesalahan ( kealpaan ) 3. menimbulkan akibat orang luka – luka berat , Dalam ayat ke – 2, terdapat unsur-unsur sebagai berikut : a. adanya perbuatan b. karena adanya kesalahan ( kealphaannya ) c. menimbulkan akibat : 1. luka yang menimbulkan penyakit atau 2. halangan menjalankan pekerjaan atau jabatan atau pencarian selama waktu tertentu. Perkataan karena kesalahannya (kealpaannya), menunjukkan bahwa kejahatan ini adalah berupa kejahatan culpa. Unsur kesalahannya berbentuk tidak sengaja atau kulpa atau karena kurang hati-hati. Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar yaitu : 1. atas dasar unsur kesalahannya dan atas dasar objeknya (nyawa). 259 Berdasarkan atas kesalahannya ada 2 kelompok kejahatan terhadap nyawa, ialah : 1. kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijiven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal 338 s/d 350. 2. kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose misdrijiven), dimuat dalam Bab XXI (khusus pasal 359). Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam, yakni: 1. kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam pasal : 338, 339, 340, 344, 345. 2. kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam pasal : 341, 342, dan 343. 3. kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu ( janin ), dimuat dalam pasal 34, 347, 348, dan 349. C. KEJAHATAN TERHADAP NYAWA YANG DILAKUKAN DENGAN SENGAJA Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri atas: a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338) b. Pembunuhan yang di ikuti, disertaiatau didahului dengan tindak pidana lain ( 339 ). c. Pembunuhan berencana ( moord, 340 ) d. Pembunuhan terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan ( 341, 342, dan 343 0 e. Pembunuhan atas permintaan korban ( 344 ) f. Penganjuran dan pertolongan bunuh diri ( 345 ) g. Pengguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346 s/d 349) 1. Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (pembunuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam pasal 338 yang rumusannya adalah : 260 Barang siapa sengaja menghilangkan nyawa orang lalu dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama15 tahun. Apabila rumusan tersebut dirinci unsur-unsurnya, maka terdiri dari: a. unsur objektif : 1. perbuatan : menghilangkan nyawa 2. Objeknya : nyawa orang lain b. unsur subjektif : dengan sengaja Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu : 1. adanya wujud perbuatan 2. adanya suatu kematian (orang lain) 3. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan akibat dan akibat kematian ( orang lain ) 2. Pembunuhan yang Diikuti , Disertai atau Didahului Oleh Tindak Pidana Lain ( 339 ) Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 339, yang berbunyi : ”Pembunuhan yang diikuti, di sertai, atau didahului oleh suatu tindak pidana lain, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukm, dipidana dengan pidana seumur hidup atau sementara waktu, paling lama 20 tahun”. Apabila rumusan tersebut di rinci, maka terdiri dari unsur – unsur sebagai berikut : 1. semua unsur pembunuhan ( objektif dan subjektif ) pasal 338 2. yang (1) di ikuti, (2) disertai atau (3) di dahului oleh tindak pidana lain 3. pembunuhan itu dilakuakn dengan maksud : a. untuk mempersiapkan tindak pidana lain b. untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain c. dalam hal tertangkap tangan ditujukan : 261 2. untuk meghindarkan (1) diri sendiri maupun (2) peserta lainnya dari pidana , atau 3. untuk memastikan penguasaan benda yang diperolehnya secara melawan hukum (dari tindak pidana itu). Kejahatan pasal 339, kejahatan pokoknya adalah pembunuhan, suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat (gequlificeerde doodslag). Pada semua unsur yang disebutkan dalam butir b dan c itulah diletakkan sifat yang memberatkan pidana dalam bentuk pembunuhan kasus ini. 3. Pembunuhan Berencana (MOORD) Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang mengemukakan:”Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun. Rumusannya terdiri atas unsur-unsur : a. unsur subjektif : 1. dengan sengaja 2. dan dengan rencana terlebih dahulu b. unsur objektif : 1. Perbuatan : menhilangkan nyawa 2. objeknya : Nyawa orang lain Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti pasal 338 ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu. Lebih berat ancaman pidanaya pada pembunuha berencana, jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam 338 maupun 339, diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu itu. Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 syarat/unsur yaitu : a. memutus kehendak dalam suasana tenang b. ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak c. pelaksanaan kehendak ( perbuatan ) dalam suasana tenang. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan 262 Bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap bayinay pada saat dan tidak lam setelah dilahirkan, yang dalam praktik hukum sering disebut dengan pembunuhan bayi, ada 2 macam, masing masing dirumuskan dalam pasal 341 dan 342. pasal 241 adalah pembunuhan bayi yang dilakukan tidak dengan berencana (pembunuhan bayi biasa atau kinderdoogslag), sedangkan pasal 342 pembunuhan bayi yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu (kindermoord). 4. Pembunuhan atas Permintaan Korban Bentuk pembunuhan ini diatur dalam pasal 344, yang merumuskan sebagai berikut:”Barang siapa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, di pidanan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Kejahatan yang dirumuskan tersebut di atas, terdiri dari unsur sebagai berikut : a. perbuatan : menhilangkan nyawa b. Objek : nyawa orang lain c. Atas permintaan orang itu sendiri d. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh – sungguh Perbedaan yang dinyatakan antara pembunhan 34 dengan pembunuhan 338, ialah terletak bahwa pada pembunuhan 344 terdapat unsure-unsur : (1) atas permintaan korban sendiri, (2) yang dinyatakan jelas dengan sungguh – sungguh, (3) tidak dicantumkan unsur kesengajaan sebagaiman dalam rumusan Pasal 338. D. KEJAHATAN TERAHADAP NYAWA YANG DILAKUKAN DENGAN TIDAK SENGAJA Kejahatan yang dilakukan tidak sengaja adalah kejahatan yang dirumuskan dalam pasal 359, yang berbunyi : “Barang siapa yang dengan kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.” Unsu-unsur dari rumusan tersebut adalah : 1. adannya unsur kelalaian ( kulpa ) 2. adanya wujud perbuatan tertentu 3. adanya akibat kematian orang lain 263 4. adanya hubungan lausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain. Kalimat “menyebabkan orang lain mati “ mengandung 3 unsur yakni: unsur 2, 3, dan 4. tiga unsur tidak berbeda dengan unsur kejahatan menhilangkan nyawa orang dari pembunuhan (338). Perbedaannya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahannya, yakni pada pasal 359 kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (kulpa), sedangkan kesalahan dalam pembunuhan adalah kesengajaan. Menurut R. Soesilo (1986: 248) mengatakan bahwa “matinya orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh sipetindak, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat daripada kurang hati-hati atau lalainya pelaku (delik culpa), misalnya seorang sopir menjalankan kenderaan mobil terlalu cepat, sehingga menabrak orang sampai mati atau seorang berburu melihat sosok hitam dalam semak-semak dikira rusa terus ditembak mati, tetapi ternyata sosok tersebut adalah orang lain sehingga mati. RANGKUMAN: 1. Penganiayaan dapat dibedakan menjadi 6 macam, yakni : a. Penganiayaan Biasa (351 KUHP) b. Penganiayaan Ringan (352 KUHP) c. Penganiayaan Berencana (353 KUHP) d. Penganiayaan Berat (354 KUHP) e. Penganiayaan berat berencana (355 KUHP) f. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang – orang yang berkualitas tertentu memberatkan (356 KUHP) 2. Penganiayaan mempuyai unsur-unsur sebagai berikut : a. adanya kesengajaan b. adanya perbuatan c. adanya akibat perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh. 3. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri atas: a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338) 264 b. Pembunuhan yang di ikuti, disertaiatau didahului dengan tindak pidana lain (339) c. Pembunuhan berencana (moord, 340) d. Pembunuhan terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan (341, 342, dan 343). e. Pembunuhan atas permintaan korban (344). f. Penganjuran dan pertolongan bunuh diri (345) g. Pengguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346 s/d 349) 4. Unsur-unsur pembunuhan menurut Pasal 338 KUHP, yaitu perbuatan dengan sengaja merampas atau melenyapkan jiwa atau nyawa orang lain.Sedangkan pembunuhan yang direncanakan Pasal 340 KUHP yaitu unsur pembunuhan biasa ditambah dengan direncanakan lebih dahulu dan dilakukan dengan tenang. LATIHAN: 1. Sebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh baik dengan sengaja mupun kelalain! 2. Sebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan karena kelalaian! 3. Jelaskan pengertian penganiayaan dan unsur-unsur penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP! 4. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur pembunuhan dalam bentuk pokok atau pembunuhan biasa! 5. Terangkan kapan dikatakan pembunuhan yang direncanakan! GLOSSARIUM: - Doodslag adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atau di dalam KUHP disebut dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok. - Moord adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu yang disebut dalam KUHP pembunuhan direncanakan. DAFTAR PUSTAKA Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa. 265 Kartanegara, Satochid.. Tanpa Tahun. Hukum Pidana II Delik-delik Tertentu. Balai Lektur Mahasiswa. Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Jakarta-Bandung:: PT. Eresco. Marpaung, Leden.2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya) dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan Pembahasan. Jakarta: Sinar Grafika. Soesilo,R. 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. INDEKS A absolute strafrechttheorien, 65 absolute klachtdelict, 148 auctor intellectualis,, 187 afdreiging, 48 afpersing, 48 agentprovocateur, 187 lokbeambte, 187 Amtelijk bevel, 99 anglosaxon,4 aanklacht, 219 aangifte, 219 B Diefstal, 224 beschiking, 80 bepaald feit, 215 beverligings maatregelen, 68 begin van uitvoering, 151, 174 bewindvoerder, 240 bedrog, 243 bewegen, 244 Dader,178, 179, 180 Deelneming, 177, 178, 179,180,181, 187, 200 de materiele dader, 186 de uitlokker, 186 de uitgelokte, 186 delichten, 48 dellictum,3 bepaald feit, 218 doel-theorien, 66 dolus, 49, 188 doodslag, 263 Doen plegen, 180, 181, 186,187, 200 doen pleger, 186 dwingen,206 Medeplegen, 180 E Eenonbevoged, 99 eigenrichting, 48 executie, 24 C Causaliteitsleer,179 Cito, commun, 50 Concursus idealis, 119, 120, 123 Concursus realis, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 127 Concursus, 118, 119 criminal law, 4 culpus, 49 culpoos misdrijf , 192 culpa, 188 curatele, 143 F falen, 3 feit, 39, 121 D Daderschap, 179, 181, 182 H handelling, 39 G Geen straft zonder schuld, 100,116,118 generale preventie, 5 gewone, 50 grepriviligieerde, 50 geweld, 207 bedreiging met geweld, 207 gequalificeerde diefstal, 229 verduistering, 240 INDEKS Hoge Raad, 105 Heling, 224 I in kracht van gewijsde zaak, 80 in kracht, 24 intellectueel dader, 187 individuale belangen, 8 ius constituendum, 18 ius constitutum, 16 ius poenaendi, 1 ius poenale,1 K klacht, 50,138, 140 L law enforcement, 43 M manus domina, 186 manus ministra, 186 materieele dader, 181 Medeplichtigheid, 181, 185, 191, 193, 194, 196, Mededaderschap, 181, 185 Medeplegen, 181, 182, 186 Mededader, 182, 185 Memorie van Toelichting, 83, 139 middellijke dader, 181 misdaad,4 misdrijven,48, 258 N niet onvankelijk verklaring van het ontoerekeningsvatbaar Openbaar Ministerie, 79 niet-toerekenbaar, 187, 188 noodrecht, 26 Noodtoestand, 89 noodweer excess, 78, 81, 90, 94, 116 noodweer, 78, 81, 92, 116, 217 nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, 61 O objectieve deelnemingstheorie, 185 ommisionis, 49 onslag van alle rechtvervolging, 79, 118 onsplitbaar, 142 ontoerekeningsvatbaar, 187 opzettelijk medeplegen, 182 oplichting, 48 opzettelijk, 154, 192, 240 opzet, 182, 189 overmatch, 78,81, 85, 88, 92, 116 overtredingen, 48 overheid, 219 P personaliteit, 15 politionale, 44 prejudice, 43 propira, 50 provocateur, 186 Q qiyas, 13 R rechtbetrekking, 8 rechten, 8 rechtsbelang, 7 INDEKS rechtsbewuszijn, 66 rechttostand,8 rechtvaardigingsgronden, 81 rechtzekerheid, 44 Recidive, 103, 109 relatieve klachtdelict, 141 S samengestelde,50 schuld, 188, 191, 240 schulduitsluitingsgronden, 81 sentence, 62 sociale belangen, 9 sociale instelingen, 8 speciale preventie, 5 splitbaar, 142 staat belangnen, 9 strafrecht, 1 straft bevaling, 13 straftuitsluitingsgronden, 79 stoffelijk goed, 226 T toelichting, 25 testimonium paupertatis, 173 U Uitvoering, 159 Uitvoeringshandelingen, 159, 196 Uitlokking, 181, 186, 190, 191, 196, 201 Uitlokken, 187 Uitlokker, 188, 189 V van gewisjde, 24 vervaltermijn, 145 verenigings theorien, 68 vergelding, 68 verkrachting, 206 veroordering, 62, 79 vervolging straftuitsluitingsgronden, 79, 140 verzet, 80 voorwaarde van vervolgbaarheid, 141 voornemen, 151, 152, 174 voltooid delict, 189 Vorgezette handelling, 126 vrijwillige terugtred, 162 verduistering, 224 W waardig, 40 wegnemen,160, 225 wetsdelichten, 51 Wettelijk voorschrift, 96, 97 wettelijke, 13 Z zaak, 24 Zeden eerbaarheid, 204