- RP2U Unsyiah

advertisement
BAB I
ISTILAH, PENGERTIAN DAN RUANG
LINGKUP HUKUM PIDANA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan
mahasiswa mampu memahami: Pengertian hukum pidana,
pembagian hukum pidana, tujuan dan fungsi hukum pidana,
asas legalitas, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, dan
ilmu hukum pidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan defenisi dan istilah hukum pidana
2. Mengungkapkan pengertian hukum pidana
3. Menjelaskan tujuan dan fungsi hukum pidana
4. Menjelaskan arti asas legalitas
5. Menjelaskan ruang lingkup berlakunya hukum pidana
A. ISTILAH DAN PENGERTIAN
Istilah hukum pidana merupakan terjemahan dari bahasa
Belanda “Strafrecht”. Straf berarti Pidana Recht berati
hukum. Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman. Jika
digabungkan keduanya akan berarti hukum hukuman.
Istilah demikian dianggap tidak lazim menurut tata bahasa,
maka istilah “Hukum Hukuman” itu diganti dengan hukum
pidana.
Hukum pidana dapat dibagi:
1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale)
2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)
2
Ad. 1. Hukum pidana objektif adalah sejumlah peraturan yang
mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan
dimana terhadap pelanggaran-pelanggaran diancam dengan
hukuman.
Hukum pidana objektif ini dibagi kedalam Hukum
Pidana Materil dan hukum pidana formil.
Hukum pidana materil adalah hukum yang menentukan
tentang:
1. Perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana;
2. Siapakah yang dapat dipidana, atau siapakah yang dapat
dipertanggungjawabkan;
3. Jenis hukuman apakah yang dapat dijatuhkan kepada
orang yang melanggar undang-undang.
Ketiga unsur dari hukum pidana materil harus ada
dalam aturan hukum pidana materil. Misalnya ketentuan
dalam Pasal 362 KUHP yang berbunyi:
Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama
sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain,
dengan maksud akan memiliki dengan melawan hak,
dihukum karena pencurian, dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp. 900,Dari pasal ini jelas terlihat unsur tersebut:
a. Perbuatan yang dilarang: mengambil barang milik orang
lain;
b. Orang yang dapat dipidana: yang sengaja (dengan
maksud) memiliki dengan melawan hak;
c. Pidana yang dijatuhkan: penjara selama-lamanya lima
tahun atau denda Rp. 900,-
3
Jika unsur-unsur ini tidak ada dalam peraturan
tersebut maka aturan hukum itu, bukanlah aturan hukum
pidana materil.
Istilah hukum pidana materil juga disebut dengan hukum
pidana substansial. Dalam pergaulan sehari-hari hukum
pidana materil disebut dengan hukum pidana atau disebut
juga dengan hukum pidana in abstracto, artinya hukum
pidana dalam arti yang abstrak (tidak nyata) karena berlaku
kepada semua orang, tidak tentu orangnya.
Hukum Pidana Materil ini juga dibagi kedalam
pengertian-pengertian sebagai berikut:
a. Hukum pidana umum
b. Hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang berlaku
bagi orang tertentu saja, seperti hukum pidana militer
dan hukum pidana fiskal (Pajak).
c. Hukum pidana nasional, yaitu hukum yang berlaku
secara nasional.
d. Hukum pidana lokal, yaitu hukum pidana yang berlaku
bagi daerah-daerah tertentu, seperti yang terdpat dalam
Perda, Qanun.
e. Hukum pidana kodifikasi, hukum pidana yang telah
dibukukan dalam satu kitab undang-undang, seperti
KUHP.
f. Hukum pidana yang tidak terkodifikasi, yaitu hukum
pidana yang terdapat peraturan hukum pidana diluar
KUHP, Misalnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1992 tentang Narkotika.
Sehubungan dengan hukum pidana materil ada yang
menyebut dengan hukum delik. Kata delik berasal dari
delictum (Latin), dalam bahasa Belanda disebut dengan
falen yang berarti perumusan sikap/perbuatan yang salah
4
(gagal melaksanakan yang baik dan benar. Disamping
delictum dalam bahasa latin juga dikenal istilah crimen,
yang
berarti
misdaad
(Belanda),
sama
dengan
penyelewengan. Dalam negara yang menganut hukum anglo
saxon dikenal dengan istilah Criminal Law.
Hukum pidana formal adalah keseluruhan aturan
hukum yang menentukan cara bagaimana melaksanakan
ketentuan hukum pidana materil.
Ad. 2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)
Hukum pidana subjektif adalah aturan hukum yang
menentukan hak negara untuk menghukum orang. Hak
untuk menghukum orang adalah:
a. Hak untuk mengancam perbuatan-perbuatan dengan
pidana, hak ini ditangan pembuat undang-undang.
b. Hak untuk menjatuhkan hukuman, hak ini berada
ditangan hakim, untukmenghukum orang terbukti
bersalah.
c. Hak untuk melaksanak hukuman, hak ini terletak
ditangan jaksa, untuk melaksanakan putusan hakim.
(Satochit Kartanegara, tt:3)
B. PENGERTIAN HUKUM PIDANA
Rumusan arti lembaga hukum pidana dapat difahami dan
dipelajari melalui uraian para sarjana hukum, antara lain
sebagai berikut:
1. Prof. DR. W.L.G. Lemaire sebagai dikutip Drs. P.A.F.
Lamintang, S.H. Hukum Pidana terdiiri dari normanorma yang berisi keharusan-keharusan dan laranganlarangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah
diakitkan dengan sanksi berupa hukuman, yaksi suatu
5
penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu merupakan
suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap
tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu
atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu
keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaankeadaan mana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta
hukuman yang bagaimana dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.
Lamintang lebih lanjut menjelaskan bahwa rumusan atau
batasan atau definisi hukum pidana oleh Lemaire seperti
dikutip diatas, mungkin saja benar apabila yang
dimaksud adalah hukum pidana materil. Padahal hukum
pidana itu terdiri dari hukum pidana materil dan hukum
pidana formil. (Lamintang, 1984:1,2)
2. Drs. C.S.T. Kansil, S.H.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang
pelanggaran-pelanggaran
dan
kejahatan-kejahatan
terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau
siksaan. (Kansil, tt:257)
Adapun yang dimaksud dengan kepentingan umum
adalah:
a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti
Negara,
Lembaga-lembaga
Negara,
Pejabat
Negara,Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan
sebagainya.
b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa,
raga/tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak
milik/harta benda.
6
Definisi hukum pidana yang dikemukakan oleh
Kansil juga tidak lengkap, karena tidak mencakup hukum
pidana materil dan hukum pidan formil.
3. Prof. Moeljatno, S.H.
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman
atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada
mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah
diancam.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.
(Moeljatno, 1987:4)
Definisi hukum pidana yang disampaikan oleh
Moeljatno adalah definisi hukum pidana yang lengkap,
artinya dalam definisi ini terkandung hukum pidana
materil dan hukum pidana formil. Untuk perbuatan
dipakai asas legalitas, untuk pertanggungjawaban dipakai
asas tiada pidana tanpa kesalahan dan untuk cara
pengenaan pidana salah satu asasnya adalah asas praduga
tak bersalah.
C. TUJUAN HUKUM PIDANA
Wirjono Projodikoro (2003:19), tujuan hukum pidana adalah
untuk memenuhi rasa keadilan. Di antara para sarjana
7
hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah
sebagai berikut:
1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan
kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak
(generale preventie) maupun menakut-nakuti orang
tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar
dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi
(speciale preventie).
2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang
sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar
menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga bermanfaat
bagi masyarakat.
D. FUNGSI HUKUM PIDANA
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat
terciptannya dan terpeliharanya ketertiban umum.
Secara khusus sebagai bagian hukum publik, hukum
pidana berfungsi untuk:
1. Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan atau
perbuatan-perbuatan yang menyerang atau memperkosa
kepentingan hukum tersebut;
2. Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka
negara menjalankan fungsi perlindungan atas berbagai
kepentingan hukum;
3. Mengatur dan membatasi kekuasaan negara dalam
rangka negara menjalankan fungsi perlindungan atas
kepentingan hukum.
8
Ad.1. Fungsi Melindungi Kepentingan Hukum dari
Perbuatan yang Menyerang atau Memperkosanya.
Kepentingan hukum (rechtbelang) adalah berupa
segala kepentingan yang diperlukan dalam berbagai segi
kehidupan manusia baik sebagai pribadi, anggota
masyarakat, atau suatu negara yang wajib dijaga dan
dipertahankan agar tidak dilanggar oleh perbuatanperbuatan manusia, yang semua ini ditujukan untuk
terlaksana dan terjaminnya ketertiban didalam segala
bidang kehidupan.
Di dalam doktrin hukum pidana Jerman, kepentingan
hukum itu meliputi:
1. Hak-hak (rechten);
2. Hubungan hukum (rechtsbetrekking);
3. Keadaan hukum (rechtstoestand);
4. Bangunan masyarakat (sociale insteliingen). (Satochit
Kartanegara, 1955:7).
Kepentingan hukum yang wajib dilindungi itu ada 3
macam, yaitu:
1. Kepentingan hukum perorangan (individule belangen),
misalnya kepentingan hukum terhadap hak hidup
(nyawa), kepentingan hukum atas tubuh, kepentingan
hukum atas hak milik dan benda, kepentingan hukum
atas harga diri dan nama baik, kepentingan hukum atas
rasa susila, dan lain sebagainya.
2. Kepentingan hukum masyarakat ( sosiale belangen),
misalnya kepentingan hukum atas keamanan dan
ketertiban umum, ketertiban berlalu lintas dijalan raya.
3. Kepentingan hukum negara (staatsbelangen), misalnya
kepentingan hukum terhadap keamanan dan keselamatan
negara, kepentingan hukum terhadap negara-negara
9
sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat kepala
negara dan wakilnya.
Fungsi khusus hukum pidana yang pertama ini terdapat
terutama dalam hukum pidana materil. Dalam hukum pidana
materil terugtama merumuskan bermacam-macam perbuatan
yang dilarang untuk dilakukan (termasuk mewajibkan orang
dalam keadaan tertentu untuk berbuat tertentu), yang apabila
larangan itu dilanggar atau kewajiban hukum untuk berbuat
itu tidak ditaati, maka kepada mereka; pembuat dapat
dijatuhi pidana sesuai dengan yang diancam pada larangan
tersebut.
Dalam hukum pidana materil, terdapat misalnya
larangan mencuri (pasal 362) atau larangan menghilangkan
nyawa orang lain dengan sengaja (pasal 338). Pasal 362
adalah melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum
atas hak milik kebendaan pribadi, dan Pasal 338 adalah
melindungi dan mempertahankan kepentingan hukum
terhadap hak hidup/nyawa orang.
Fungsi umum setiap jenis dan macam hukum adalah
fungsi mengatur. Fungsi mengatur ini terdapat dalam setiap
macam hukum, karena pada dasarnya hukum itu berisi
norma atau tentang norma. Agar norma itu mempunyai arti
dan dapat ditaati dan dijalankan, maka disertai atau diikuti
dengan adanya ancaman sanksi. Misalnya norma hukum
yang mewajibkan orang yang berhutang untuk membayar
hutangnya (hukum perdata), sanksi hukumnya ialah bila
berhutang tidak membayar setelah diingatkan akan
kewajibannya (somasi), maka sanksinya ialah ia akan
digugat ke Pengadilan, di mana harta miliknya disita dan
dilelang, yang hasilnya dibayar pada si berpiutang, dan
tindakan-tindakan negara (melalui pengadilan) ini adalah
10
bersifat paksaan. Tetapi tindakan paksaan dari negara ini
tidak dapat dilakukan, apabila negara tidak diminta oleh
yang merasa dirugikan (si berpiutang).
Lain halnya dengan sanksi hukum pidana. Bila telah
terjadi perkosaan atas kepentingan hukum yang dilindungi,
misalnya pasl 362 atau pasal 338, diminta atau tidak oleh
korban atau keluarga korban negara tetap akan dan tetap
harus
melakukan
perbuatan-perbuatan
untuk
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi tadi,
dalam hal ini Polisi sebagai penyidik akan melakukan
penyidikan, kemudian jaksa penuntut akan melakukan
penuntutan, dan hakim akan menjatuhkan sanksi secara
konkrit dan nyata sesuai dengan pidana yang diancamkan
dan norma pasal yang dilanggar tersebut. (Adami Chazawi,
2002:19).
Kerasnya sanksi pidana ini dibandingkan dengan sanksi
hukum selain hukum pidana, tidak saja dapat dilihat dari dan
prosedure untuk menjatuhkannya, akan tetapi dengan mudah
dapat dilihat dari jenis-jenis sebagaimana disebut dalam
Pasal 10 KUHP. Misalnya pidana yang terberat (lihat pasal
69) adalah pidana mati, yang pelaksanaannya berupa
penyerangan hak pribadi yang tiada tara harganya yang tidak
dapat dinilai dengan apapun, yang sebenarnya hak itu
dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Oleh sebab itu
dapat dianggap bahwa, negara dalam menjalankan hukum
pidana tiada lain adalah dengan melanggar hukum pidana itu
sendiri.
Negara dalam menjalankan norma pasal 362, berarti
negara mempertahankan dan melindungi kepentingan
hukum atas milik kebendaan pribadi, misalnya dengan
menjatuhkan 3 tahun pidana penjara kepada pelakunya,
11
maka sesungguhnya dengan tindakan ini negara telah
melanggar hak atas kebebasan pribadi yang justru dilindungi
oleh hukum pidana sebagaimana dituangkan dalam pasal
333 KUHP. Inilah keistimewaan hukum pidana jika
dibandingkan dengan hukum yang lainnya.
Ad.2. Memberi Dasar Legitimasi Bagi Negara
Didalam mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi, dilakukan oleh negara dengan tindakan-tindakan
yang sangat tidak menyenangkan, tindakan yang justru
melanggar kepentingan hukum pribadi yang mendasar bagi
yang bersangkutan, misalnya dengan dilakukan penagkapan,
penahanan, pemeriksaan yang lamanya berjam-jam bahkan
berhari-hari, sampai yang paling tajam berupa menjatuhkan
sanksi pidana kepada pelakunya. Dengan kekuasaan yang
sangat besar ini, yaitu berupa hak untuk menjalankan pidana
dengan menjatuhkan pidana, hak untuk menyerang
kepentingan hukum manusia atau warganya adalah berupa
kekuasaan yang sangat besar, yang tidak dimiliki oleh siapasiapa kecuali negara. Hak untuk menjatuhkan pidan ini
adalah diatur dalam hukum pidana itu sendiri.
Fungsi hukum yang dimaksud ini tiada lain adalah
memberi dasar legitimasi bagi negara, agar dapat
menjalankan
fungsi
menegakkan
dan
melindungi
kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana tadi
dengan sebaik-baiknya.
Fungsi hukum pidana yang dimaksud ini terutama
terutama terdapat dalam hukum acara pidana. Dalam hukum
acara pidana telah diatur sedemikian rupa tentang apa yang
dilakukan
negara
dan
bagaimana
cara
negara
12
mempertahankan kepentingan hukum yang dilindungi oleh
hukum pidana.
Ad.3. Fungsi Mengatur dan Membatasi Kekuasaan
Negara dalam rangka Menjalankan Fungsi
Mempertahankan Kepentingan Hukum yang
Dilindungi.
Dalam menjalankan fungsi hukum pidana yang
disebutkan kedua, hukum pidana telah memberikan hak dan
kekuasaan yang sangat besar pada negara agar negara dapat
menjalankan. Fungsi mempertahankan kepentingan hukum
yang dilindungi dengan sebaik-baiknya.
Sebaliknya dengan kekuasaan yang sangat besar itu
akan sngat berbahaya bagi penduduk negara apabila tidak
diatur dan dibatasi sedemikian rupa, sebab akan menjadi
bumerang bagi masyarakat dan pribadi manusia, perlakuan
negara menjadi sewenang-wenang. Pengaturan hak dan
kewajiban negara dengan sebaik-baiknya dalam rangka
negara menjalankan fungsi memeprtahankan kepentingan
hukum yang dilindungi, yang secara umum dapat disebut
mempertahankan dan menyelenggarakan ketertiban hukum
masyarakat itu adalah wajib.
E. ASAS LEGALITAS
Setiap orang yang akan menjalankan Undang-undang
hukum pidana hendaknya wajib memperhatikan asas hukum
yang dicantumkan dalam Pasal 1 KUHP. Ketentuan pasal ini
memuat tiang penyanggah dari hukum pidana.
Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: “Tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas kekuatan
aturan pidana dalam Undang-undang yang terdahulu dari
13
perbuatan itu”. Ketentuan ayat ini memuat asas yang
tercakup dalam rumusan: “Nullum delictum, nulla poena
sine praevia lege punali” yang artinya tiada kejahatan, tiada
hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana
terlebih dahulu.
Perumusan asas legalitas dari von Feurbach dalam
bahasa Latin itu dikemukakan berhubung dengan teorinya
yang dikenal dengan nama teori “vom psychologischen
zwang”, yaitu yang menganjurkan supaya dalam
menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam
peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang
harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya
pidana yang diancamkan. (Moeljatno, 2002: 25).
Dengan cara demikian ini, maka orang yang akan
melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah
diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan padanya jika
nanti perbuatan itu dilakukan.
Biasanya asas legalitas ini mengandung tiga pengertian,
yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan
dalam suatu aturan undang-undang.
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Pengertian yang pertama, bahwa harus ada aturan
undang-undang yang tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas
terlihat dalam Pasal 1 KUHP, wettelijke strafbepaling
(aturan pidana dalam perundangan). Tetapi dengan adanya
ketentuan ini konsekuensinya adalah perbuatan-perbuatan
14
pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab
disitu tidak ditentukan dengan aturan tertulis.
Dalam menentukan ada tidaknya perbuatan pidana
tidak boleh digunakan analogi (qiyas) pada umum masih
dipakai oleh kebanayakan negara-negara.
Asas larangan berlaku surut sudah ditentukan untuk
segala bidang hukum, yaitu pasal 2 dari Algemene
Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-ketentuan Umum
tentang Perundang-undangan). Asas ini diulangi untuk
hukum pidana dan juga termuat sebagai pasal pertama dalam
kodifikasi hukum pidana, menadakan bahwa larangan
berlaku surut ini oleh pembentuk undang-undang ditekankan
bagi hukum pidana.
F. RUANG
LINGKUP
BERLAKUNYA
HUKUM
PIDANA
Aturan hukum pidana berlaku bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana sesuai asas ruang lingkup
berlakunya hukum pidana. Asas ruang lingkup berlakunya
aturan hukum, yaitu:
1. Asas Teritorialitas (Teritorialitas beginsel)
Ketentuan asas ini dicantumkan dalam Pasal 2 yang
menyatakan bahwa “Ketentuan pidana dalam undangundang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di dalam
wilayah Indonesia melakukan tindak pidana”. Berdasarkan
ketentuan pasal ini tegas bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia, maka
baginya dikenakan aturan pidana yang dicantumkan dalam
undang-undang Indonesia. Yang menjadi ukuran di sini
bukan warga negara Indonesia saja yang dikenakan aturan
pidana Indonesia melainkan “tindak pidananya terjadi di
15
dalam wilayah Indonesia”. Jadi bagi orang asing sebagai
penghuni Indonesia, artinya selama berada di salah satu
wilayah Indonesia, kalau melakukan tindak pidana
terhadapnya akan dikenakan hukum pidana Indonesia.
Selain dari penegasan berlakunya aturan pidana Indonesia di
dalam wilayah juga ketentuan itu diperluas dengan
ketentuan pasal 3 yang menyatakan bahwa “Ketentuan
pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar Indonesia di atas bahtera Indonesia
melakukann tindak pidana”. Pengluasan aturan pidana
menurut ketentuan pasal 3 ini untuk menyatakan suatu
kepastian hukum bahwa setiap kapal yang berbendera
Indonesia dan bergerak di luar wilayah teritorial, maka
aturan pidana terus mengikutinya. Tetapi tidak berarti bahwa
kapal yang berbendera Indonesia itu adalah Wilayah
Republik Indonesia: hanya saja ukuran yang dipakai dalam
hal ini adalah “alat pelayaran” dan “alat udara” Indonesia.
2. Asas Nasionalitas Aktif (actief nationaliteits beginsel)
Aturan pidana Indonesia tujuannya untuk melindungi
kepentingan umum (nasional). Kalau pasal 2 dan 3 hanya
untuk kepentingan wilayah saja, berarti kurang cukup
berhubung “nation”nya akan diabaikan. Karena itu KUHP
menetapkan juga tentang kepentingan nasionalnya. Asas
kepentingan nasional dalam aturan pidana disebut
“Nasionalitas Aktif” atau “Asas Personalitas (personaliteit
beginsel) dan dicantumkan dalam Pasal 5 yang menyatakan
bahwa:
Ayat 1: Ketentuan dalam Undang-undang Indonesia
berlaku bagi warga negara Indonesia yang di luar Indonesia
melakukan:
16
1. Salah satu kejahatan yang dituangkan pada Bab I dan II
Hukum ke dua dan pasal 160, 16, 240, 279, 450 dan 451.
2. Suatu peristiwa yang dipandang sebagai kejahatan yang
menurut ketentuan-ketentuan pidana dalam Undangundang Indonesia dan dapat dipidana menurut undangundang negara tempat perbuatan itu dilakukan.
Ayat 2: Penuntutan terhadap suatu peristiwa yang
dimaksudkan pada ke-2 itu boleh juga dijalankan jika
tersangka baru menjadi warga negara Indonesia sesudah
melakukan peristiwa itu.
Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka bagi warga
negara yang melakukan tindak pidana di luar wilayah
Indonesia yang menyangkut keamanan negara, kedudukan
Kepala Negara, penghasutan untuk melakukan tindak
pidana, tidak memenuhi kewajiban militer, perkawinan
melebihi jumlah yang ditentukan dan pembajakan, maka
pelakunya dapat dituntut menurut aturan hukum pidana
Indonesia oleh pengadilan Indonesia. Kepentingan
nasionalnya di sini terlihat agar pelaku tindak pidana yang
warga negara Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di
luar Indonesia, tidak diadili dan dikenakan hukuman dari
negara tempat terjadinya peristiwa itu.
Terhadap asas personalitas ini ada pembatasan
hukumannya yang dicantumkam dalam pasal 6 dan
menyatakan bahwa “Berlakunya pasal 5 yat 1 sub 2 itu
dibatasi hingga tidak boleh diajtuhkannya pidana mati untuk
peristiwa yang tidak diancam dengan hukuman mati
menurut undang-undang negara tempat peristiwa itu
dilakukan”. Ketentuan ini untuk melindungi individu
sebagai pelaku tindak pidana tertentu di luar wilayah
Indonesia yang perbuatannya di negara yang bersangkutan
17
tidak ada aturan pidana yang mengancam dengan hukuman
mati. Maka bagi pelaku tindak pidana itu tidak dapat
diancam dengan hukuman mati oleh Penuntut Umum dalam
sidang pengadilan Indonesia walaupun aturan hukum
pidananya tercantum ancaman hukuman mati.
3. Asas Nasionalitas Pasif (pasief nasionaliteits beginsel)
Asas ini juga disebut “asas perlindungan”
G. ILMU HUKUM PIDANA
Pada dasarnya ilmu hukum pidana dapat dibedakan antara:
ilmu hukum pidana dalam arti sempit dan arti luas.
Dalam arti sempit, doktrin atau ilmu hukum yang pada
dasarnya mempelajari dan menjelaskan perihal hukum
pidana yang berlaku atau hukum pidana positif dari suatu
negara (ius constitutum), jadi bersifat dogmatis. Bahan kajian
ilmu hukum pidana dalam arti sempit adalah hukum positif
yang sedang berlaku.
Hukum Pidana terdiri dari norma-norma. Doktrin
hukum pidana bahkan doktrin hukum pada umumnya sangat
berpengaruh dan bahkan menjadi landasan dibentuknya
norma hukum pidana. Oleh sebab itu dalam hal ini tugas ilmu
hukum pidana adalah berusaha merumuskan dan
menjelaskan asas-asas yang menjadi dasar bagi norma-norma
yang berlaku, baik mengenai aturan umumnya maupun
aturan khusus mengenai asas yang satu dengan yang lain
kemudian menyatukannya kedalam sebuah sistem yang bulat,
yang semua itu diperlukan untuk dapat menjelaskan perihal
norma-norma yang sedang berlaku tadi. Kajian ilmu hukum
pidana diatas adalah berupa kajian klasik.
18
Dalam arti luas ilmu hukum pidana, tidak saja terbatas
pada kajian dogmatis sebagaimana yang diterangkan
menjelaskan perihal norma-norma hukum yang sedang
berlaku saja akan tetapi juga meliputi:
1. Bidang-bidang mengapa norma-norma yang berlaku itu
dilanggar, kajiannya tidak terfokus pada normanya saja
tapi pada sebab-sebab mengapa norma itu dilanggar, dan
kemudian bagaimana upaya agar norma itu dilanggar.
Kajian bidang ini telah merupakan ilmu tersendiri yang
disebut dengan kriminolgi.
2. Juga menjadi bahan kajian ilmu hukum pidana ialah
tentang hukum yang akan dibentuk atau hukum yang
dicita-citakan (ius constituendum).
Walaupun kriminologi telah diakui sebagai kajian ilmu
tersendiri, tetap tidak lepas dari ilmu hukum pidana, bahkan
sebagai ilmu pembantu atau melengkapi ilmu hukum pidana
amat berguna dalam praktik menerapkan norma hukum
pidana oleh pengadilan dalam usaha mencapai keadilan.
Keadilan disamping kepastian hukum dalam arti ketetapam
dalam penerapan hukum adalah tujuan utama mempelajari
hukum pidana. (Adami Chazawi, 2002: 22).
Setelah norma-norma dibentuk dan diberlakukan secara
formal, tidak dapat menghindari dan ditemukannya
beberapa kelemahan atau kekurangan dalam norma tadi.
Ditemukannya kelemahan ini dapat disebabkan beberapa
macam, antara lain karena pertumbuhan dan perkembangan
nilai-nilai dalam masyarakat yang berakibat norma hukum
itu tidak lagi menunjang keadilan dan ketertiban, atau
ditemukan atau dicita-citakan (ius constitendum) adalah
suatu keharusan. Dalam ini juga menjadi kajian dari ilmu
hukum pidana modern.
19
RANGKUMAN
Hukum pidana dapat dibagi:
1. Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale)
2. Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)
Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasardasar dan aturan-aturan untuk:
a. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman
atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada
mereka yang atau dijatuhi pidana sebagaimana telah
diancam.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan
pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.
(Moeljatno, 1987:4)
Pasal 1 ayat 1 KUHP menyatakan: “Tiada suatu
perbuatan yang boleh dihukum melainkan atas
kekuatan aturan pidana dalam Undang-undang yang
terdahulu dari perbuatan itu”. Ketentuan ayat ini
memuat asas yang tercakup dalam rumusan: “Nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege punali” yang
artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa
undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.
LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukum pidana.
2. Jelaskan perbedaan antara tujuan dan fungsi hukum
pidana.
20
3. Jelasskan unsur-unsur yang terdapat dalam asas legalitas.
4. Jelaskan perbedaan antara asas nasionaliteit aktif dengan
asas nasionaliteit pasif.
GLOSSARIUM
1. “Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege punali”
yang artinya tiada kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa
undang-undang hukum pidana terlebih dahulu.
2. “Strafrecht”. Straf berarti Pidana Recht berati hukum.
Straf sendiri secara harfiah berarti hukuman
3. wettelijke
strafbepaling
(aturan
pidana
dalam
perundangan)
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I), PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Kansil, CST 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum,
Jakarta, PN Balai Pustaka.
Kartanegara, Satochit, Hukum Pidana I, Balai Lektur
Mahasiswa, tt.
Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung,
Moeljatno 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara,
Jakarta.
Wirjono Prodjodikoro.2003. Asas-asas Hukum Pidana di
Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.
21
BAB II
STELSEL PIDANA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan
mahasiswa mampu memahami mengenai: Pengertian dan
Jenis-jenis Pidana, Pidana Bersyarat, dan Pelepasan
Bersyarat.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan pengertian stelsel pidana.
2. Menjelaskan perbedaan antara pidana denagn tindak
pidana.
3. Menjelaskan jenis-jenis pidana yang diatur dalam
KUHP.
4. Menjelaskan pengertian pidana bersyarat
5. Menjelaskan pengertian pelepasan bersyarat.
A. PENGERTIAN PIDANA
Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang
berisi antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan
pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana
penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.
Pada dasarnya pidana dan tindakan adalah sama, yaitu
berupa penderitaan. Perbedaannya hanyalah, penderitaan
pada tindakan lebih kecil atau ringan daripada penderitaan
yang diakibatkan oleh penjatuhan pidana.
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang
adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana
lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim
merupakan terjemahan dari recht.
22
Pidana dalam hukum pidana merupakan suatu alat dan
bukan tujuan hukum pidana, yang apabila dilaksanakan
tiada lain adalah berupa penderitaan atau rasa tidak enak
bagi yang bersangkutan disebut terpidana. Tujuan utama
hukum pidana adalah ketertiban, yang secara khusus dapat
disebut terhindarnya masyarakat dari perkosaan-perkosaan
terhadap kepentingan hukum yang dilindungi.
Mencantumkan pidana pada setiap larangan dalam
hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum
dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga
bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk
melanggar hukum pidana.
B. JENIS-JENIS PIDANA
Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis
pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana Pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Denda
Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan
pidana tutupan berdasarkan UU Nomor 20 tahun 1946.
Pidana tambahan terdiri dari:
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman keputusan hakim.
Berdasarkan pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok,
berat atau ringannya bagi pidana yang tidak sejenis
didasarkan pada urut-urutannya dalam rumusan Pasal 10
tersebut.
23
Stelsel
pidana
Indonesia
berdasarkan
KUHP
mengelompokkan jenis pidana ke dalam Pidana Pokok dan
Pidana Tambahan. Adapun perbedaan jenis pidana pokok
dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut: (Adami
Chazawi, 2000:26).
1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat
keharusan (imperatif) sedangkan penjatuhan pidana
tambahan sifatnya fakultatif.
Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang
didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim
telah terbukti secara sah dan menyakinkan, hakim harus
menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan
jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada
tindak pidana yang bersangkutan. Menjatuhkan salah
satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan
pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu
keharusan, artinya imperatif.
Sifat imperatif ini sesungguhnya sudah terdapat
dalam setiap rumusan tindak pidana, di mana dalam
rumusan kejahatan maupun pelanggaran hanya ada dua
kemungkinan, yaitu: (a) diancamkan satu jenis pidana
pokok pidana saja (artinya hakim tidak bisa menjatuhkan
jenis pidana pokok yang lain); dan (b) tindak pidana
yang diancam dengan dua atau lebih jenis pidana pokok,
dimana sifatnya alternatif, artinyanhakim harus memilih
salah satu saja. Sementara, menjatuhkan pidana
tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif). Apabila
menurut penilaian hakim, kejahatan atau pelanggaran
yang diancam dengan salah satu jenis pidana tambahan
(misalnya 242 ayat 4 yang diancam dengan pidana
24
tambahan: pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 35) yang didakwakan jaksa
penuntut umum telah terbukti, hakim boleh menjatuhkan
dan boleh juga tidak menjatuhkan pidana tambahan
tersebut.
Walaupun dasarnya penjatuhan jenis pidana
tambahan itu bersifat fakultatif, tetapi ada juga
pengecualiannya, dimana penajtuhan pidana tambahan
menjadi bersifat imperatif, misalnya terdapat pada Pada
250 bis, 261 dan 267.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan
demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri
sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak
boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok.
Sesuai dengan namanya (pidana tambahan),
penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri
sendiri, lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat
dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya
itu telah menajtuhkan salah satu jenis pidana pokok
sesuai dengan yang diancam pada tindak pidana yang
bersangkutan, artinya jenis tambahan tidak dapat
dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana
pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana
pokok.
Sementara itu, menjatuhkan jenis pidana pokok
dapat berdiri sendiri, tanpa harus menjatuhkan jenis
pidana tambahan.
Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat
yang demikian, ada juga pengecualiannya, yakni di mana
jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama
25
jenis pidana pokok, tetapi bersama dengan tindakan
seperti pada Pada: 39 ayat 3, 40. (Adami Chazawi,
2000:27).
3. Jenis pidana pokok yang diatuhkan, bila telah
mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van
gewisjde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan
(executie).
Pengecualiannya apabila pidana yang dijatuhkan itu
adakah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a)
dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak
dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana
tambahan, misalnya pidana pencabutan hak tertentu
sudah berlaku sejak putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Di samping sifat-sifat jenis pidana tambahan
sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi sifat yang
merupakan prinsip dasar pidana pokok, yaitu tidak dapat
dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pembentuk UU,
sebagaimana dalam Memorie van Toelichting (MvT)
WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana
pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena
pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat
dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda.
(Lamintang, 1984:47).
Tentang larangan penajatuhan pidana secara
kumulasi dan jenis perkara pokok ini, sesungguhnya
sudah ternyata dari merumuskan dan mencantumkan
pidana yang diancamkan pada setiap rumusan baik
kejahatan maupun pelanggaran, dimana:
26
1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan
satu jenis pidana pokok saja;
2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yang diancam
dengan lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan
sebagai bersifat alternatif, dengan menggunakan
perkataan atau.
C. Jenis-jenis Pidana Pokok
a. Hukuman Mati
Baik berdasarkan Pasal 69 maupun berdasarkan hak
tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang
terberat, yang pelaksanaannya berupa peneyerangan
terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya
hak ini berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak
dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra,
bergantung dari kepentingan dan cara memandang
pidana mati itu sendiri.
Pembentuk Undang-undang pada saat itu telah
menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana telah
diuraikan tersebut. Oleh karena itulah, walaupun pidana
mati dicantumkan dalam Undang-undang, namun harus
dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht (JE.
Jonkers, 187:294). Tiada lain maksudnya agar pidana
mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu
yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh
karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang
diancam dengan hukuman mati hanyalah pada kejahatankejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlah
sangat terbatas, seperti:
1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan
negara (104, 111 ayat 2, 123 ayat 3 jo 129);
27
2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orangorang tertentu dan atau dilakukan dengan faktorfaktor pemberat, misalnya 140 ayat 3, 340;
3. Kejahahatan terhadap harta benda yang disertai
unsur/faktor yang sangat memberatkan (365 ayat 4,
368 ayat 2)
4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan
pantai (444).
Disamping itu sesungguhnya pembentuk KUHP
sendiri telah memberikan semua isyarat bahwa pidana
mati tidak mudah untuk dijatuhkan. Menggunakan upaya
pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh
gegabah. Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan
yang diancam dengan pidana mati, selalu diancam juga
pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup
atau pidana penajara terbatas maksimal 20 tahun.
Dengan disediakannya hukuman alternatif, maka
bagi hakim tidak selalu harus selalu menajtuhkan
hukuman mati bagi kejahatan-kejahatn yang diancam
dengan pidana mati tersebut. Berdasarkan kebebasan
hakim, ia bebas dalam memilih apakah akan
menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atau
penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat
ringannya apabila hakim memilih pidana penjara
sementara, bergantung dari banyak faktor yang
dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi
secara konkrit.
Pembentuk undang-undang menetapkan adanya
pidana alternatif bagi setiap pidana mati yang diancam
dalam rumusan kejahatan dengan pertimbangan bahwa
28
bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan
tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu
yang bersifat meringankan. Oleh karena itu jika menurut
rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana mati, ia
dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatif. (Adami
Chazawi, 2000: 32).
Pelaksanaannya hukuman mati dilakukan dengan
cara ditembak oleh regu penembak sampai mati, yang
pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam
undang-undang Nomor 2 (PNPS) tahun 1964.
b. Hukuman Penjara
Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan
digunakan
para
terhukum
dalam
menjalankan
hukumannya sesuai dengan putusan hakim. Tempat
terhukum yang ada sekarang merupakan peninggalan
penjajah terdiri dari jalur-jalur bangunan dan setiap jalur
terdiri dari kamar-kamar kecil yang satu sama lainnya
tidak dapat berhubungan.
Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara
menjadi Lembaga Pemasyarakatan artinya para terhukum
ditempatkan bersama dan proses penempatan serta
kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk
lembaga di samping lamanya menjalani hukuman itu.
Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur serta
kewajiban mengikuti bimbingan mental rohaniah dan
ketrampilan.
Terhukum selama menjalankan hukuman ada yang
seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12).
Hukuman terbatas itu sekurang-kurangnya satu hari dan
29
selama-lamanya lima belas tahun. Kalau ada hukuman
yang lebih dari lima belas tahun dan kurang dari dua
puluh tahun sebagai akibat dari tindak pidana yang
dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup
atau ada hukuman plus karena rangkaian kejahatan yang
dilakukan (Pasal 52).
c. Hukuman Kurungan
Dalam beberapa hal kurungan adalah sama dengan
hukuman penjara, yaitu:
1. Sama, berupa hukuman hilang kemerdekaan
bergerak.
2. Mengenal hukuman maksimum, maksimum khusus
dan minimum, dan tidak mengenal minimum khusus.
3. Orang yang dipidana kurungan dan pidan penjara
diwajibkan untuk menjalan pekerjaan tertentu
walaupun narapidana kurungan lebih ringan daripada
narapidana penjara.
4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan
tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada
sedikit perbedaan, yang harus dipisahkan (Pasal 28)
5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku
apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari
putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan hukum
tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat
kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan
tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam
Lembaga Pemasyarakatan.
Akan tetapi, apabila pada saat putusan dibacakan,
terpidana kurungan maupun penjara sudah berada dalam
tahan sementara sehingga putusan itu mulai berlaku pada
30
hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang
tetap.
Putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang
tetap apabila:
1. Putusan diterima baik oleh terpidana maupun oleh
jaksa penuntut umum ketika putusan itu dibaca
dimuka sidang yang terbuka untuk umum;
2. Apabila ketika putusan dibaca, terpidana atau jaksa
penuntut
umum
menyatakan
masih
mempertimbangkan dan dalam tenggang waktu tujuh
hari tidak menyatakan sikapnya, putusan itu menjadi
mempunyai kekuatan hukum tetap setelah lewat
waktu tujuh setelah hari putusan dibacakan.
Menurut ketentuan Pasal 33 ayat 1 hakim
berwenang untuk mempertimbangkan masa tahanan
sementara sebagai bagian dari lamanya masa pidana
yang dijalankan, yang dalam praktik hukum selama ini
selalu diberlakukan karena masa tahanan sementara
menjadi lama berhubung penyelesaian perkara pada
umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama.
Perbedaan penting antara pidana kurungan dengan
pidana penjara ialah: bahwa orang dikenakan pidana
dapat dipindahkan kemana saja untuk menjalani
pidananya, sedangkan yang dipidana kurungan tanpa
persetujuannya tidak dapat dipindahkan ke luar daerah
dimana ia bertempat tinggal pada waktu ia dijatuhi
pidana, perbedaan kedua ialah berupa pekerjaan yang
lebih ringan, hak orang dipidana kurungan untuk
memperbaiki keadaannya atas biaya sendiri. Hak inilah
yang sering disebut dengan pistole.
31
Adapun minimum hukum kurungan adalah satu
hari, sedangkan maksimal hukuman kurungan adalah
satu tahun. Waktu satu tahun dapat dinaikkan menjadi
paling lama satu tahun empat bulan, dalam hal
perbarengan, pengulangan, dan yang ditentukan dalam
Pasal 52 dan 52 a. Ternyata dewasa ini pidana kurungan
jarang diterapkan, namun kadangkala terjadi berhubung
karena melanggar Pasal 504 KUHP yaitu pengemisan.
d. Hukuman Denda
Terhadap hukuman denda, undang-undang tidak
menentukan maksimal umum, hanya minimalnya yang
ditentukan yaitu dua puluh lima sen. Tidak
ditentukannya dengan tegas siapakah yang harus
membayar. Jika denda tidak dibayar, dapat diganti
dengan hukuman kurungan pengganti denda atau
kurungan subsidair.
Menurut aturan yang berlaku, siterhukum bebas
memilih apakah ia akan membayar atau tidak. Biarpun ia
mampu membayar, ia dapat memilih untuk menjalani
hukuman kurungan pengganti denda. Lamanya pidana
kurungan pengganti denda, ditentukan dalam putusan.
Minimal umum kurungan pengganti denda adalah satu
hari dan masimal enam bulam (Pasal 30 ayat 3).
Maksimal hukuman dapat dinaikkan sampai delapan
bulan dalam hal perbarengan, pengulangan atau seperti
yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a (Pasal 30 ayat
3).
Mengenai penentuan lamanya waktu, dalam jangka
waktu mana denda harus diabayar, diserahkan kepada
kebijaksanaan pegawai yang menjalankan putusan.ini
32
dimulai dengan penentuan waktu selama dua bulan,
jangka waktu ini dapat diperpanjang sampai paling lama
satu tahun.
e. Pidana Tambahan
Pidana tambahan dapat diajtuhkan hanyalah
bersama-sama dengan pidana pokok. Berbeda dengan
penjatuhan pidana pokok, penjatuhan pidana tambahan
ini pada dasarnya fakultatif. Jadi pidana ini dapat dapat
dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undangundang, tetapi tidaklah harus. Apabila undang-undang
memungkinkan dijatuhkannya pidana tambahan, maka
hakim harus selalu mempertimbangkan, apakah dalam
perkara yang dihadapinya itu dipandang perlu atau
sebaliknya diajtuhkan pidana tambahan itu. Tentu saja
beberapa pengecualian, yaitu pidana tambahan ini
imperatif, seperti: Pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP.
Pidana tambahan itu adalah pencabutan hak-hak tertentu,
perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman
putusan hakim.
D. PIDANA BERSYARAT
Pidana bersyarat mulai dikenal sejak tahun 927. Jadi
lembaga ini adalah jauh lebih baru jika dibandingkan dengan
lembaga-lembaga kepidanaan lainnya. Hal yang mendorong
munculnya lembaga ini adalah pikiran-pikiran baru tentang
pencegahan kejahatan. Salah satu kebaikan dari lembaga ini,
bahwa pengurungan mereka dalam penjara dengan
pengaruhnya yang merusak atas kehidupan kekeluargaan
dan kemasyarakatan mereka dapat dihindarkan. Bukankah
politik yang baik dimana pada mulanya merusak kehidupan
33
seseorang dan kemudian memerintahkan pula membangun
orang itu sendiri dan hidup kemasyarakatannya.
Pidana bersyarat berdasarkan pada dua pokok pikiran
yang berbeda yaitu Inggris, Amerika dan Belgia, Perancis.
Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah campuran dari
kedua sistem tersebut. Bentuk terutama mengikuti sistem
Belgia-Perancis. Penjatuhan pidana adalah tidak bersyarat,
jadi pasti. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa
terdakwa bersalah, tetapi juga telah menetapkan pidananya.
Hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim)
ditiadakan dengan bersyarat. Selanjutnya diadakan pula
syarat-syarat khusus yang harus ditaatinya, maupun
pengawasan-pengawasan. Ini diambil dari sistem InggrisAmerika.
Sebelum timbul lembaga pidana bersyarat, dalam
praktek sudah pula dikenal hal “tidak dituntut dengan
bersyarat”. Lembaga ini merupakan lanjutan dari hak
penuntut umum untuk tidak menuntut sesuatu perbuatan
pidana (asas opportuniteit). Terhadap asas ini, lalu ditambah
dengan syarat-syarat tertentu.
Pasal 14a ayat 4 KUHP menyatakan bahwa pidana
bersyarat dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim
menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa
akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap
dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu: bahwa
terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak
akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini
diadakan. Selanjutnya ayat terakhir Pasal 14a mengharuskan
hakim supaya dalam putusannya menyatakan keadaan atau
alasan mengapa dijatuhkan pidana bersyarat. Pidana yang
dijatuhkan adalah pasti, hanya saja pidana yang dijatuhkan
34
itu tidak akan dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang
tertentu, sebaliknya pidananya tetap akan dijalankan jika
syarat-syarat itu tidak dipenuhi.
E. PELEPASAN BERSYARAT
Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari putusan
pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksnakan ini
terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat. Sebagai
syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus telah
menjalani tiga perempat dari pidananya dan paling sedikit 3
tahun sehingga pelepasan bersyarat hanhya dapat digunakan
terhadap pidana penjara yang lama.
Kemudian lamanya waktu itu diperpendek. Dengan S.
1925-251 jo 486 lamanya pidana yang sebenarnya dan
sedikitnya 9 bulan. Didalamnya tidak termasuk waktu dalam
tahanan, tetapi hanya waktu yang dijalani sebagai pidana
saja. Jadi pelepasan bersyarat tidak mungkin diadakan
terhadap pidana seumur hidup sebab 2/3 dari seumur hidup
itu tidak dapat diperhitungkan. Jika terpidana seumur hidup
akan dikenakan pelepasan bersyarat, maka jalan yang dapat
ditempuh melalui pemberian grasi, sehingga pidana seumur
hidup dijadikan pidana penjara sementara waktu. Barulah
kemudian diadakan pelepasan bersyarat. Mereka yang tidak
berkelakuan baik tidak akan diberikan pelepasan bersyarat.
Pelepasan bersyarat terdiri dari syarat umum dan
khusus. Isi syarat umum ialah terhukum tidak akan
melakukan perbuatan pidana atau berkelakuan tidak baik
lainnya. Yang dimaksud dengan berkelakuan tidak baik,
misalnya: hidup yang tidak teratur atau bermalas-malasan,
bergaul dengan orang yang tidak baik. Syarat khusus, harus
mengenai kelakuan terhukum dan ini tidaklah merupakan
35
keharusan, artinya boleh diadakan dan boleh ditiadakan,
karena itulah maka syarat-syarat ini diadakan berbeda-beda
menurut kejadian masing-masing.
Pihak Lembaga Pemasyarakatan yang mengusulkan
pada Menteri Hukum dan HAM bagi seseorang selain
karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan
telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal
15 ayat (1), untuk mendapatkan keputusan pemberian
pembebasan bersyarat, juga didasarkan atas beberapa
pertimbangan antara lain:
1. Sifat tindak pidana yang dilakukan;
2. Pribadi dan riwayat hidup narapidana;
3. Kelakuan narapidana selama pembinaan;
4. Kemungkinan-kemungkinan
untuk
mendapatkan
pekerjaan setelah ia dibebaskan;
5. Penerimaan masyarakat di mana ia akan bertempat
tinggal.
Apabila seseorang telah diberikan surat keputusan
pelepasan bersyarat, maka diberikan maka diberikan masa
percobaan yang lamanya lebih satu tahun dari sisa pidana
yang belum dijalaninya (Pasal 15 ayat (3)). Dalam masa
percobaan ini narapidana diberikan syarat-syarat tentang
kelakuannya setelah ia dilepas. Syarat ini ada dua macam,
yaitu syarat umum dan syarat khusus.
Syarat umum berisi keharusan bagi narapidana
selama masa percobaan itu tidak boleh melakukan tindak
pidana dan perbuatan-perbauatan tercela lainnya. Perbuatan
tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya
pnegertian lebih luas dari tindak pidana, misalnya pergi
bersenang-senang ke tempat pelacuran atau hiburan malam,
36
seperti diskotik, dugem, bergaul dengan penjahat, preman
dan lainnya.
Sementara itu syarat khusus adalah segala macam
ketentuan perihal kelakuannya, asal saja syarat itu tidak
membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah
agamanya.
Selama masa percobaan syarat-syarat khusus bisa
diubah, dan dapat juga dicabut, dapat ditetapkan syarat
istimewa. Begitu juga dalam masa percobaan, pengawasan
dapat diserahkan pada pihak lain yang bersifat istimewa,
selain lembaga khusus yang mengawasinya (BAPAS).
Disamping
pelepasan
bersyarat,
keringanan
pelaksanaan hukuman dapat juga dilakukan dengan remisi.
Remisi adalah pengurangan pelaksanaan pidana yang dapat
diberikan pada narapidana, yang biasanya diberikan pada
setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI dan Hari
Keagamaan. Alasan pemberian remisi adalah yang
bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana di
lembaga Pemasyarakatan.
RANGKUMAN
Stelsel pidana adalah bagian dari hukum penitensier yang
berisi antara lain: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana,
cara penjatuhan pidana, cara dan di mana penambahan, dan
pengecualian penjatuhan pidana.
Jenis-jenis perbuatan ini diatur dalam Pasal 10 KUHP. Jenis
pidana dibagi dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana Pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Denda
37
Pidana pokok ini kemudian ditambah lagi dengan
pidana tutupan berdasarkan UU Nomor 20 tahun 1946).
Pidana tambahan terdiri dari:
a. Pencabutan hak-hak tertentu;
b. Perampasan barang-barang tertentu;
c. Pengumuman keputusan hakim.
Pidana bersyarat berdasarkan pada dua pokok pikiran
yang berbeda yaitu Inggris, Amerika dan Belgia, Perancis.
Sistem yang dipakai dalam KUHP adalah campuran dari
kedua sistem tersebut. Bentuk terutama mengikuti sistem
Belgia-Perancis. Penjatuhan pidana adalah tidak bersyarat,
jadi pasti. Putusan itu tidak hanya menyatakan bahwa
terdakwa bersalah, tetapi juga telah menetapkan pidananya.
Hanya pelaksanaannya yang (dengan putusan hakim)
ditiadakan dengan bersyarat. Selanjutnya diadakan pula
syarat-syarat khusus yang harus ditaatinya, maupun
pengawasan-pengawasan. Ini diambil dari sistem InggrisAmerika.
Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari
putusan pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksnakan
ini terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat.
Sebagai syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus
telah menjalani tiga perempat dari pidananya dan paling
sedikit 3 tahun sehingga pelepasan bersyarat hanhya dapat
digunakan terhadap pidana penjara yang lama.
LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan antara tindak pidana dengan pidana.
2. Jelaskan jenis-jenis pidana/hukuman yang daiatur dalam
KUHP.
38
3. Jelaskan perbedaan antara hukuman penjara dengan
hukuman kurungan.
4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hukuman bersyarat
5. Jelaskan syarat-syarat agar seorang pidana narapidana dapat
diberikan pelepasan bersyarat.
GLOSSARIUM
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in
kracht van gewisjde zaak).
Pistole adalah hak orang dipidana kurungan untuk memperbaiki
keadaannya atas biaya sendiri.
Asas opportuniteit adalah hak penuntut umum untuk tidak
menuntut sesuatu perbuatan pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I),
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Jonkers, J.E. 1987.Hukum Pidana Hindia Belanda, (Judul Asli:
Handbook van het Nederlandsch Indische Strafrecht),
Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara, PT
Bina Aksara, Jakarta
Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung
Moeljatno. 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara,
Jakarta
39
BAB III
PERBUATAN PIDANA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan
mahasiswa mampu memahami mengenai: Perbuatan pidana,
unsur-unsur perbuatan pidana, cara-cara merumuskan tindak
pidana, dan waktu dan tempat pidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan
mahasiswa mahasiswa mampu:
1. Mengungkapkan apa yang dimaksud dengan perbuatan
pidana.
2. Menjelaskan unsur-unsur perbuatan pidana dan mampu
membedakan tentang Error, Schuld, Culpa.
3. Menjelaskan bagaimana cara-cara merumuskan tindak
pidana.
4. Menjelaskan jenis-jenis hukuman yang diatur dalam
KUHP.
5. Menjelaskan tentang waktu dan tempat pidana.
A. PERBUATAN PIDANA
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan yang diatur dalam hukum
pidana. Menurut Bambang Poernomo maksud diadakannya
istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana dan
sebagainya adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah
asing strafbaar feit. (Bambang Purnomo, 1994).
Moeljatno yang mengutip pendapat Simons
menerangkan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan
(handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat
40
melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.
Sedangkan Van Hamel merumuskan strafbaar feit adalah
kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan
dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (straf waardig) dan dilakuklan dengan kesalahan.
(Moeljatno, 2000:7).
Pembentuk undang-undang tidak mengadopsi istilah
strafbaar feit, jika diadopsi mentah-mentah istilah dan
makna strafbaar feit sebagaimana dikemukakan oleh Simon
dan Van Hamel di atas, maka istilah tersebut baru dapat
dipakai setelah ada penetapan putusan hakim yang
mempunyai
kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu,
untuk mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan
hukum atau tidak, dapat dipertanggungjawabkan atau tidak
harus melalui suatu proses penyelesaian perkara pidana
berdasarkan hukum pidana formil yang berlaku. Menurut
Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan pidana”,
memberi makna perbuatan pidana adalah :
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut”. Makna perbuatan pidana yang dikemukakan
oleh Moeljatno berbeda dengan makna istilah strafbaar
feit seperti yang dikemukakan oleh Simons dan Van
Hamel
di atas, perbuatan pidana hanya menunjuk
kepada sifatnya perbuatan saja, yaitu sifat dilarang
dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar.
(Moeljatno, 2000:7)
Makna istilah “perbuatan pidana” yang dikemukakan
Moeljatno di atas masih terkesan bersifat pasif, baru
merupakan perbuatan yang berada dalam dimensi rumusan
41
peraturan pidana belum keluar menjadi perbuatan nyata
yang dilakukan orang.
Lebih lanjut Ketut Wirawan mengatakan bahwa:
Perbuatan pidana sering disebut dengan beberapa istilah
seperti tindak pidana, peristiwa pidana, dan delict.
Dimaksud dengan perbuatan pidana ialah suatu
perbuatan atau rangkaian perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman pidana. Kapan suatu peristiwa
hukum dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana. (Ketut
Wirawan, 2009:8).
Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan
sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur obyektif
dan unsur subyektif. Dua unsur yang harus dipenuhi untuk
menentukan adanya suatu perbuatan pidana adalah:
1. unsur obyektif, yaitu adanya suatu tindakan (perbuatan)
yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang
dilarang oleh hukum dengan ancaman pidananya.
Menjadi titik utama dari pengertian obyektif ini adalah
tindakannya.
2. unsur subyektif, yaitu adanya perbuatan seseorang atau
beberapa orang yang berakibat pada hal yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang. Menjadi titik utama
dari pengertian subyektif ini adalah adanya seseorang
atau beberapa orang yang melakukan tindakan.
(Moeljatno, 2000:8)
Syarat yang harus dipenuhi (sebagai unsur obyektif
dan subyektif yang dipersyaratkan) dalam suatu peristiwa
pidana ialah:
(1) Harus ada perbuatan orang atau beberapa orang.
Perbuatan itu dapat dipahami orang lain sebagai
sesuatu yang merupakan peristiwa;
42
(2) Perbuatan itu harus bertentangan dengan hukum;
(3) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang disebutkan
dalam ketentuan hukum;
(4) Harus terbukti ada kesalahan yang dapat dipertanggung
jawabkan;
(5) Harus tersedia ancaman hukuman terhadap perbuatan
yang dilakukan yang termuat dalam peraturan hukum
yang berlaku. (Moeljatno, 2000:9)
Perbuatan pidana ini menurut sifat dan wujudnya
adalah bertentangan dengan tata atau ketertiban yang
dikehendaki oleh hukum sehingga merugikan masyarakat,
dalam arti bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata tertib dalam pergaulan masyarakat yang
baik dan adil.
Menurut Simon sebagaimana dikutip oleh Djoko
Prakoso:
Hukum pidana adalah perintah dan larangan yang
diadakan oleh negara dengan suatu nestapa (pidana).
Sedangkan hukum pidana menurut Van Hamel adalah
semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh
suatu negara dalam menyelenggarakan ketertiban
hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan
dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada
yang melanggar larangan-larangan tersebut. (Djoko
Prakoso, 1988:20)
Di dalam hukum pidana terdapat asas legalitas, yaitu
apa yang sering disebut dengan Nullum Delictum Nulla
Poena Sine Praevia Lege Poenali (tidak ada orang yang
dapat dipidana selain atas kekuatan undang-undang yang
sudah ada sebelumnya). Di dalam asas hukum ini hanya
ditentukan bahwa tidak ada orang yang boleh dituntut atau
43
ditangkap selain dengan dan dalam peristiwa-peristiwa
dalam undang-undang.
B. TEORI TENTANG TENTANG FAKTOR PENYEBAB
TERJADINYA TINDAK PIDANA
Hukum selama ini dipahami hanya sebagai perangkat norma
atau kaedah belaka yang sifatnya idealitas sebagai patokan
mengenai sikap tindak atau perilaku masyarakat. Karena
tidak dipahami sebagai tindak atau perilaku yang teratur
sehingga wajar saja hukum kita bersifat formalistik dan
legalistik. Hal ini tercermin dari praktek penegakan hukum
(law
enforcement)
di
dalam
masyarakat
yang
mengedepankan hukum dalam arti positif semata.
Oleh karena itu, hukum dibuat harus konkret atau harus
di
konkretisasikan.
Masyarakat
harus
mengetahui
keberadaan hukum tersebut, untuk apa (tujuan) hukum itu
diberlakukan, apakah ada kepentingan mereka yang
dilindungi oleh hukum tersebut dan bagaimana hukum itu
diberlakukan dan apa sanksinya.
Pengetahuan dan pemahaman terhadap hukum yang
berlaku membantu menghindari masyarakat dari rasa curiga
(prejudice) ataupun apriori. Selanjutnya hukum harus dapat
memberikan kejelasan tentang sanksinya bila hukum itu
dilanggar. Sanksi dapat merupakan suatu sarana untuk
membuat orang merasa takut untuk melanggar.
Dalam hal tujuan penerapan sanksi pidana untuk
mencapai tujuan untuk mencapai kepastian hukum, keadilan
dan kemanfaatan van Apeldoorn mengatakan bahwa :
Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup
secara damai, hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian
diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan
44
melindungi kepentingan-kepentingan
manusia yang
tertentu, yaitu kehormatan kemerdekaan, jiwa, harta benda
dan sebagainya terhadap yang merugikannya. Kepentingan
individu dan kepentingan golongan-golongan manusia
selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan
kepentingan-kepentingan ini selalu akan menyebabkan
pertikaian dan kekacauan satu sama lain, kalau tidak diatur
oleh hukum untuk mencapai kedamaian. Dan hukum
mempertahankan
kedamaian
dengan
mengadakan
keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana
setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang
menjadi haknya. (Van Apeldoorn, 1958:20)
Pendapat Van Apeldoorn tersebut sejalan dengan
pendapat Utrecht mengenai kepastian hukum.
Utrecht
mengatakan bahwa :
Hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum
(rechtszerkerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam
tugas itu tersimpul dua tugas lainnya, yaitu harus
menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam
kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga, yaitu
hukum bertugas polisionil (politionele van het recht).
Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi
main hakim sendiri (eigenrechting). (Utrecht, 1958: 21)
Berdasarkan teori tersebut, maka jelas bahwa peraturan
perundang-undangan yang baik akan dapat mewujudkan
keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi semua orang
termasuk ketentuan yang berkaitan dengan informasi dan
transaksi elektronik. Tuntutan akan kepastian hukum dan
keadilan serta kemanfaatan ini terus berkembang dan
menjadi suatu kebutuhan yang mutlak.
45
C. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA.
Membicarakan mengenai unsur-unsur tindak pidana, tidak
dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudat pandang yakni: (1) dari
sudut teoritis dan (2) dari sudut Undang-undang. Maksud teoritis
ialah berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin pada
bunyi rumusannya. Sedangkan sudut UU adalah bagaimana
kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana
tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang
ada.
a. Unsur Tindak Pidana Menurut Beberapa Teoritisi
Dimuka telah dibicarakan berbagai rumusan tindak pidana
yang disusun oleh para ahli hukum baik menganut paham
dualisme maupun paham monisme. Unsur-unsur apa yang ada
dalam tindak pidana adalah melihat bagaimana bunyi rumusan
yang dibuatnya. Beberapa contoh, diambilkan dari batasan tindak
pidana oleh teoritis yang telah dibicarakan dimuka, yakni :
Moeljatno, R. Tresna, Vos, Jonkers dan Schravendijk.
Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :
a. Perbuatan;
b. Yang dilarang (oleh aturan hukum)
c.Ancaman pidana (bagi yang melanggar larangan)
Perbuatan manusia saja yang boleh dilarang, yang melarang
adalah aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan
pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak
dipisahkan dengan orangnya. Ancaman (diancam) dengan pidana
adalah pengertian umum, yang artinya pada umumnya dijatuhi
pidana. Apakah inkongkrito orang yang melakukan perbuatan itu
dijatuhi pidana ataukah tidak, adalah hal yang lain dari pengertian
perbuatan pidana.
46
Dari rumusan R.Tresna dimuka, tindak pidana terdiri dari
unsur-unsur, yakni :
a. Perbuatan/rangkaian perbuatan (manusia);
b. Yang bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan;
c. Diadakan tindakan penghukuman.
Dari unsur yang ketiga, kalimat diadakan tindakan
penghukuman, terdapat pengertian bahwa seolah-olah setiap
perbuatan yang dilarang itu selalu diikuti dengan penghukuman
(pemidanaan). Berbeda dengan Moeljatno, karena kalimat
diancam pidana berarti perbuatan itu tidak selalu dan tidak dengan
demikian dijatuhi pidana.
Walaupun mempunyai kesan bahwa setiap perbuatan yang
bertentangan dengan UU selalu diikuti dengan pidana, namun
dalam unsur-unsur itu tidak terdapat kesan perihal syarat-syarat
(subyektif) yang melekat pada orangnya untuk dapat
dijatuhkannya pidana.
Menurut bunyi batasan yang dibuat Vos, dapat ditarik unsurunsur tindak pidana adalah :
1. Kelakuan manusia;
2. Diancam dengan pidana;
3. Dalam peraturan perundang-undangan.
Dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari 3 batasan penganut
paham dualisme tersebut, tidak ada perbedaan, ialah bahwa tindak
pidana itu adalah : perbuatan manusia yang dilarang, dimuat dalam
UU, dan diancam dipidana bagi yang melakukannya. Dari unsurunsur yang ada jelas terlihat bahwa unsur-unsur tersebut tidak
menyangkut diri si pembuat atau dipidananya pembuat, sematamata mengenai perbuatannya.
Akan tetapi jika dibandingkan dengan pendapat penganut
paham monisme, memang tampak berbeda. Penulis mengambil
dua rumusan saja yang dimuka telah dikemukakan, ialah Jonkers
47
(penganut paham monisme) dapat dirinci unsur-unsur tindak
pidana adalah :
a. Perbuatan (yang);
b. Melawan hukum (yang berhubungan dengan);
c. Kesalahan (yang dilakukan oleh orang yang dapat);
d. Dipertanggungjawabkan.
Sedangkan Schravendijk dalam batasan yang dibuatnya
secara panjang lebar itu, jika dirinci terdapat unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Kelakuan (orang yang);
b. Bertentangan dengan keinsyafan hukum;
c. Diancam dengan hukuman;
d. Dilakukan oleh orang (yang dapat);
e. Dipersalahkan/kesalahan;
Walaupun rincian dari tiga rumusan diatas tampak berbedabeda, namun pada hakekatnya ada persamaannya, ialah: tidak
memisahkan antara unsur-unsur mengenai perbuatannya dengan
unsur yang mengenai diri orangnya.
b. Unsur Rumusan Tindak Pidana Dalam UU
Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak
pidana tertentu yang masuk dalam kelonpok kejahatan, dan Buku
III adalah pelanggaran. Ternyata ada unsur yang selalu disebutkan
dalam setiap rumusan, ialah mengenai tingkah laku/perbuatan,
walaupun ada perkecualian seperti pasal 351 (penganiayaan).
Unsur kesalahan dan melawan hukum kadang-kadang
dicantumkan, dan seringkali juga tidak dicantumkan. Sama sekali
tidak dicantumkan adalah mengenai unsur kemampuan
bertanggung jawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsurunsur lain baik/mengenai obyek kejahatan maupun perbuatan
secara khusus untuk rumusan tertentu.
48
Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP
itu, maka dapat diketahui adanya 8 unsur tindak pidana, yaitu :
a. Unsur tingkah laku.
b. Unsur melawan hukum.
c. Unsur kesalahan
d. Unsur akibat konstitutif.
e. Unsur keadaan yang menyertai.
f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana.
g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana.
h. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana.
Dari 8 unsur itu, diantaranya dua unsur yakni kesalahan dan
melawan hukum adalah berupa hukum objektif. Mengenai unsur
melawan hukum, misalnya melawan hukumnya perbuatan
mengambil pada pencurian (362) adalah terletak bahwa dalam
mengambil itu diluar persetujuan atau kehendak pemilik (melawan
hukum objektif). Atau pada 251 pada kalimat “tanpa izin
pemerintah”, juga pada pasal 253 pada kalimat “menggunakan cap
asli secara melawan hukum”. Adalah berupa berupa melawan
hukum obyektif. Tetapi ada juga melawan hukum subyektif
misalnya melawan hukum dalam penipuan (oplichting, 378),
pemerasan (afpersing, 368), pengancaman (afdreiging, 369) di
mana disebutkan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum. Begitu juga unsur melawan
hukum pada perbuatan memiliki dalam penggelapan (372) yang
bersifat subyektif, artinya bahwa terdapatnya kesadaran bahwa
memiliki benda orang lain yang ada dalam kekuasaanya itu adalah
merupakan celaan masyarakat.
Mengenai kapan unsur melawan hukum itu berupa melawan
hukum obyektif atau subyektif, bergantung dari bunyi redaksi
rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
49
Unsur yang bersifat obyektif adalah semua unsur yang
berada di luar keadaan batin manusia/si pembuat, yakni semua
unsur mengenai pembuatannya, akibat perbuatan dan keadaankeadaan tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan obyek
tindak pidana. Sedangkan unsur yang bersifat subyektif adalah
semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan
batin orangnya.
D. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA
Tindak pidana dapat dibeda-bedakan atas dasar-dasar tertentu,
yaitu sebagai berikut:
1. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan
(misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran
(overtredingen) dimuat dalam buku III
2. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana
formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel
delicten)
3. Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak
pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak
dengan sengaja (culpose delicten)
4. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara
tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana
komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif,
disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis)
5. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat
dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak
pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung
lama/berlangsung terus
6. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana
umum dan tindak pidana khusus
50
7. Dilihat dari sudut hukumnya, dapat dibedakan antara tindak
pidana communia (delicta communia), yang dapat dilakukan
oleh siapa saja, dan tindak pidana propria (dapat dilakukan
hanya oleh orang memiliki kualitas pribadi tertentu
8. Berdasarkan perlu tidaknya pengadua dalam hal penuntutan,
maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten)
dan tindak pidana aduan (klacht delicten)
9. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka
dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok
(eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat
(gequalificeerde delicten) dan tindak pidana yang diperingan
(gepriviligieerde delicten)
10. Berdasarkan kepentingan hukum yan dilindungi, maka tindak
pidana tidak terbatas macamnya bergantung dari kepentingan
hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa
dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan,
tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan dan lain
sebagainya
11. Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu
larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal
(enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai
(samengestelde delicten).
1. Kejahatan dan Pelanggaran
Dalam WvS Belanda (1886) telah terdapat pembagian tindak
pidana antara kejahatan dan pelanggaran, yang berdasarkan asas
concordantie dioper ke dalam WvS Hindia Belanda (1918), kini
KUHP sebelum WvS tahun 1886, di Belanda dikenal tiga jenis
tindak pidana, yaitu misdaden (kejahatan), wanbedrijven
(perbuatan tercela) dan overtredingen (pelanggaran), yang
mendapat pengaruh dari Code Penal Perancis 91810), yang
51
membedakan tindak pidana ke dalam tiga jenis, yakni crime
(kejahatan), celits (perbuatan tercela) dan contravention
(pelanggaran).
Apakah dasar perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran?
Mengenai hal ini, dapat disimpulkan dari keterangan MvT bahwa
pembagian itu didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataanya di
dalam masyarakat terdapat perbuatan-perbuatan yang pada
dasarnya memang sudah tercela dan pantas untuk dipidana,
bahkan sebelum dinyatakan demikian oleh UU, dan juga ada
perbuatan yang baru bersifat melawan hukum dan dipidana setelah
UU menyatakan demikian. Untuk yang pertama tersebut dengan
rechtsdelicten, dan untuk yang kedua disebut dengan wetsdelicten
(D. Simons, 1992:138).
Disebut dengan rechtsdelicten atau tindak pidana hukum,
yang artinya sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya
dalam UU melainkan memang pada dasarnya telah melekat sifat
terlarang sebelum memuatnya dalam rumusan tindak pidana dalam
UU. Walaupun sebelum dimuat dalam UU pada kejahatan telah
mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada
masyarakat, jadi berupa melawan hukum materiil. Sebaliknya,
wetsdelicten sifat tercelanya suatu perbuatan itu terletak pada
setelah dimuatnya sebagai demikian dalam UU.
Sumber
tercelanya wetsdelicten adalah undang-undang.
Dasar pembedaan itu memiliki titik lemah karena tidak
menjamin bahwa seluruh kejahatan dalam buku II itu bersifat
demikian, atau seluruh pelanggaran dalam buku III mengandung
sifat terlarang karena dimuatnya dalam UU.
Apapun alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran,
yang pasti jenis pelanggaran itu lebih ringan dari pada kehatan.
Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran
tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa
52
pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi
dengan ancaman pidana penjara.
Dengan dibedakannya tindak pidana antara kejahatan dan
pelanggaran secara tajam dalam KUHP, terdapat konsekuensi
berikutnya dalam hukum pidana materiil, antara lain sebagai
berikut:
a. dalam hal percobaan, yang dapat dipidana hanyalah terdapat
percobaan melakukan kejahatan saja, dan tidak pada percobaan
pelanggaran
b. mengenai pembantuan, yang dapat dipidana hanyalah
pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam hal
pelanggaran
c. asas personaliteit hanya berlaku pada warga negara RI yang
melakukan kejahatan (bukan pelanggaran) di luar wilayah
hukum RI yang menurut hukum pidana negara asing tersebut
adalah berupa perbuatan yang diancam pidana(pasal 5 ayat 1
sub 2)
d. dalam hal melakukan pelanggaran, pengurus atau anggota
pengurus atau para komisaris hanya dipidana apabila
pelanggaran itu terjadi adalah atas sepengetahuan mereka , jika
tidak pengurus, anggota pengurus atau komisaris itu tidak
dipidana. Hal ini tidak berlaku pada kejahatan.
e. Dalam ketentuan perihal syarat pengaduan bagi penuntutan
pidana terhadap tindak pidana (aduan) hanya berlaku pada
jenis kejahatan saja, dan tidak pada jenis pelanggaran
f. Dalam hal tenggang waktu kedaluarsa hak negara untuk
menuntut pidana dan menjalankan pidana pada pelanggaran
relatif lebih pendek daripada kejahatan
g. Hupusnya hak negara untuk melakukan penuntutan pidana
karena telah dibayarnya secara sukarela denda maksimum
sesuai yang diancamkan serta biaya-biaya yang telah
53
h.
i.
j.
k.
l.
dikeluarkan jika penuntutan telah dimulai, hanyalah berlaku
pada pelanggaran saja (82 ayat 1).
Dalam hal menjatuhkan pidana perampasan barang tertentu
dalam pelanggaran-pelanggaran hanya dapat dilakukan jika
dalam UU bagi pelanggaran tersebut ditentukan dapat
dirampas (39 ayat 2).
Dalam ketentuan mengenai penyertaan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan dengan alat percetakan hanya berlaku
bagi kejahatan-kejahatan saja (61, 62), dan tidak berlaku pada
pelanggaran
Dalam hal penadahan, benda objek penadahan haruslah
diperoleh dari kejahatan saja, dan bukan dari pelanggaran
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya
dibelakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah
hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan (7), dan bukan
pelanggaran jabatan
Dalam hal perbarengan perbuatan sistem penjatuhan pidana
dibedakan antara perbarengan antara kejahatan dengan
kejahatan yang menggunakan sistem hisapan yang diperberat
(verscherpte absorptiestelsel, 65) dengan perbarengan
perbuatan antara kejahatan dengan pelanggaran atau
pelanggaran dengan pelanggaran yang menggunakan sistem
kumulasi murni (zuivere cumulatiestelse, 70).
2. Tindak Pidana Formil dan Tindak Pidana Materiil
Dalam hubungannya dengan akibat terlarang, ada
beberapa cara merumuskan tindak pidana materiil, yaitu
sebagai berikut:
a. merumuskan tindak pidana meteriil di mana akibat
terlarang itu disebutkan secara tegas di samping unsur
tingak laku/perbuatan.
54
b. Merumuskan tindak pidana materiil di mana unsur akibat
terlarang itu tidak dicantumkan secara terpisah dengan
perbuatan, melainkan telah terdapat pada unsur tingkah
lakunya. Artinya dengan merumuskan unsur tingkah
lakunya itu, sudah dengan sendirinya di dalamnya telah
mengadung unsur akibat terlarang.
c. Pada penganiayaan (351) juga berupa tindak pidana
materiil, tidak menggunakan perumusan sebagaimana
kedua cara di atas. Telah diterangkan di muka tentang
latar belakang perumusahan yang demikian singkat ini.
3.
Tindak Pidana Sengaja dan Tindak Pidana Kelalaian
Ketika membicarakan tentang unsur kesalahn dalam
tindak pidana, sudah cukup dibicarakan perihal kesengajaan
dan kelalaian. Tindak pidana sengaja (doleus delicten) adalah
tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan
kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Sementara
itu tindak pidana culpa (culpose delicten) adalah tindak pidana
yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa.
Tindak pidana culpa adalah tindak pidana yang unsur
kesalahnnya berupa kelalaian, kurang hati-hati, dan tidak
karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur
culpa ini, misalnya pasal 114, 359, dan 360.
4. Tindak Pidana Aktif (delict Commisionis) dan Tindak Pidana
Pasif (delict Omisionis)
Tindak pidana aktif (delik commisionis) adalah tindak
pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif).
Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah
perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya
gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Dengan
55
berbuat akif, orang melanggar larangan. Bagian tersebsar
tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak
pidana aktif.
Berbeda dengan tindak pidana pasif, dalam tindak pidana
pasif, ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang
mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk
berbuat tertentu, yang apa bila ia tidak melakukan (aktif)
perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi.
Disini ia telah melakukan tindak pidana pasif. Tindak pidana
ini juga tindak pidana pengabaian suatu kewajiban hukum.
Tindak pidana pasif ada dua macam, yaitu tindak pidana
pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni disebut
dengan (delicta commissionis per omissionem).
Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang
dirumuskan secara formil atau tindak pidana yang pada
dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa
perbuatan pasif, misalnya pasal 224, 304, 522.
5. Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana
Berlangsung Terus
Tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa
sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu
seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan
aflopende delicten. Misalnya pencurian (362), jika perbuatan
mengambilnya selesai, tindak pidana itu menjadi selesai secara
sempurna.
6. Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus
Berdasarkan sumbernya, maka ada dua kelompok
tindak pidana, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana
khusus.
56
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang
dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana
materiil. Sementara tindak pidana khusus adalah semua tindak
pidana yang terdapat di luar kondifikasi tersebut. Misalnya
tindak pidana korupsi, tindak pidana psikotropika, tindak
pidana perbankan dan tindak pidana narkotika.
7. Tindak Pidana Communia dan Tindak Pidana Propria
Jika dilihat dari sudut subjek hukum tindak pidana,
tindak pidana itu dapat dibedakan antara tindak pidana yang
dapat dilakukan oleh semua orang (delicta communia) dan
tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh yang
berkualitas tertentu (delicta propria).
Ada juga kualitas pribadi yang sifatnya dapat
memberatkan atau meringankan pidana, yang dirumuskan
sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Misalnya seorang
ibu melakukan pembunuhan bayinya, seorang perempuan
menggugurkan atau mematikan kandungannya, wali,
pengampu, pengurus, wasi dalam melakukan penggelapan.
8. Tindak Pidana Biasa (gewone delicten) dan Tindak Pidana
Aduan (klacht delicten)
Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak
pidana yang untuk dilakukanyya penuntutan pidana terhadap
pembuatannya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang
berhak. Sebagian besar tindak pidana adalah tindak pidana
biasa yang dimaksudkan ini.
Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk
dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk
terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan
pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata
57
atau keluarga tertentu dalam hal-hal tertentu atau orang yang
diberi kuasa khusus unutk pengaduan oleh orang yang berhak.
Tindak pidana aduan ada 2 macam, yaitu: (1) tindak
pidana aduan mutlak/absolut, dan (2) tindak pidana aduan
relatif.
Tindak pidana aduan mutlak/absolut adalah tindak
pidana aduan yang setiap kejadian syarat pengaduan itu harus
ada, misalnya pencemaran dan fitnah. Tindak pidana aduan
relatif adalah sebaliknya yaitu hanya dalam keadaan tertentu
atau jika memenuhi syarat/unsur tertentu saja tindak pidana itu
menjadi aduan, misalnya pencurian dalam kalangan keluarga
tau penggelapan dalam kalangan keluarga.
9. Tindak Pidana dalam Bentuk Pokok, yang Diperberat dan yang
Diperingan.
Dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu
yang dibentuk menjadi (tiga) bagian, yaitu:
a. dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana
(eenvoudige delicten), atau dapat juga disebut dengan
bentuk standar
b. dalam bentuk yang diperberta (gequalificeerde delicten)
c. dalam bentuk ringan (gepriviligieerde delicten).
Contoh rumusan bentuk pokok pada pembunuhan
(338), yang jika rumusan sempurna itu diurai unsurunsurnya, terdiri dari:
a. Unsur objektif terdiri dari:
1) perbuatannya: menghilangkan (nyawa)
2) Objeknya: nyawa orang lain
b. Unsur subjektif: dengan sengaja.
58
10. Jenis Tindak Pidana Berdasarkan Kepentingan Hukum yang
Dilindungi
Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi ini
tidak terbatas jenis tindak pidana, dan akan terus berkembang
mengikuti perkembangan dan kemajuan manusia, dan untuk
mengikuti perkembangan itu, peranan hukum pidana khusus
menjadi sangat penting sebagai wadah tindak pidan di luar
kondifikasi.
11. Tindak Pidana Tunggal dan Tindak Pidana Berangkai
Tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) adalah
tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga
untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat
dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja.
Bagian tersebesar tindak pidana dalam KUHP adalah berupa
tindak pidana tunggal.
Tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang
sebagai selesai dan dapat dipindanaya pembuat, diisyaratkan
dilakukan secara berulang.
RANGKUMAN
Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang
oleh suatu aturan hukum larangan yang diatur dalam hukum
pidana. Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran, Mengenai hal ini,
dapat disimpulkan dari keterangan MvT bahwa pembagian itu
didasarkan pada alasan bahwa pada kenyataanya di dalam masyarakat
terdapat perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya memang sudah
59
tercela dan pantas untuk dipidana, bahkan sebelum dinyatakan
demikian oleh UU, dan juga ada perbuatan yang baru bersifat
melawan hukum dan dipidana setelah UU menyatakan demikian.
Untuk yang pertama tersebut dengan rechtsdelicten, dan untuk yang
kedua disebut dengan wetsdelicten.
LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan antara Error, Schuld, dan Culpa.
2. Jelaskan perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran
3. Jelaskan rumusan-rumusan tindak pidana yang terdapat dalam
KUHP.
4. Jelaskan perbedaan antara tindak pidana formil dan tindak
pidana materil.
GLOSSARIUM
strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam
dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggungjawab.
Rechtszerkerheid adalah Hukum bertugas menjamin adanya
kepastian hukum dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu
tersimpul dua tugas lainnya, yaitu harus menjamin keadilan
serta hukum tetap berguna.
Politionele van het recht yaitu hukum bertugas polisionil (.
Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main
hakim sendiri (eigenrechting).
60
DAFTAR PUSTAKA
Adami
Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Lamintang, P.A.F.1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung.
Moeljatno 1983. Asas-asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara,
Jakarta.
Simons. D. 1992. Kitab Pelajaran Hukum Pidana. PT Pioner
Jaya, Bandung.
Schavendijk, H.J. 1955. Buku Pelajaran Tentang Hukum
Pidana Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta-Groningen.
61
BAB IV
TEORI PEMIDANAAN
DAN TEORI PENANGGULANGANNYA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan
mampu memahami teori-teori pemidanaan yang merupakan
pembenaran dari penjatuhan pidana terhadap si pembuat dan
tindakan-tindakan
yang
diambil
berkaitan
dengan
penanggulangan pidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan
mampu:
1. mengungkapkan teori absolut atau teori pembalasan bagi
si pelaku pidana
2. menerangkan teori relatif atau teori tujuan
3. menjelaskan teori gabungan sebagai salah satu teori
pemidanaan
4. menjelaskan tindakan-tindakan yang diambil dalam
penanggulangan pidana baik preventif maupun represif
Berkaitan dengan penerapan sanksi pidana dalam arti
umum itu merupakan bagian dari asas legalitas, yang berbunyi:
nullum delictum, nulla poena, sine preavia lege (poenali). Suatu
poena atau pidana diperlukan adanya undang-undang terlebih
dahulu. Peraturan tentang sanksi yang ditetapkan oleh
pembentuk undang-undang, memerlukan perwujudan dari
badan atau instansi dengan alat-alat yang secara nyata dapat
merealisasikan aturan pidana itu. Infrastruktur penintensier ini
62
diperlukan untuk mewujudkan pidana tersebut, dan bilamana
badan ini secara hukum dan organisatoris telah siap maka badan
ini sebagai pendukung stelsel sanksi pidana. (Solehuddin,
2003:131).
Persoalan penetapan sanksi (bentuk-bentuk pidana) dalam
RKUHP Indonesia, dalam sejarahnya, mengalami beberapa kali
perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep RKUHP
yang dalam beberapa konsepnya mempunyai persamaan namun
juga terdapat beberapa perbedaan. (Mohammad Taufik
Makarao, 2005:107-113). Hal ini menunjukkan bahwa konsep
pemidanaan dan penetapan sanksi dalam RKUHP selalu
mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal
sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa
persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu disesuaikan
dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan bahwa
hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan
pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi
perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan
dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau
tindakan yang akan digunakan (Barda Nawawi, 1998:95).
Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah
sinonim
dengan
perkataan
penghukuman,
di
mana
penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat
diartikan sebagai menerapkan hukum atau memutuskan
tentang hukum, khususnya untuk suatu peristiwa pidana.
Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama
dengan sentence atau veroordeling”. (Sudarto, 1991:71).
63
Dari pendapat di atas dapat diketahui bahwa pemidanaan
adalah menetapkan atau memutuskan sesuatu hukuman
terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.
Pemidanaan berhubungan erat kehidupan seseorang di dalam
masyarakat, terutama menyangkut kepentingan yang paling
berharga bagi kehidupan masyarakat, yaitu nyawa,
kemerdekaan dan kebebasan.
Dalam hal ini Sudarto mengemukakan:
Pidana tidak hanya dirasa pada waktu menjalani tetapi se
sudah orang-orang yang dikenai itu bebas ia masih
merasakan akibatnya yang berupa cap oleh masyarakat,
bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu
pengetahuan disebut stigma. Jadi orang tersebut mendapat
stigma dan kalau itu tidak hilang, ia seolah-olah di pidana
seumur hidup (Sudarto, 1991:71).
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas menunjukkan
bahwa pemidanaan sangat erat hubunganya dalam kehidupan
seseorang di dalam masyarakat, maka ada pendapat yang
mengatakan bahwa dari sekian banyak cabang hukum, hukum
pindanalah yang paling banyak
hubungannya dengan
kehidupan orang sehari-hari.
Selanjutnya menurut Van Hamel seperti yang dikutip oleh
Lamintang yang dimaksud dengan pemidanaan yaitu :
Pemidanaan adalah suatu penderitaan yang bersifat
khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang
berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara
sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum
bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang
tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara (Lamintang, PAF, 1984:74).
Penjatuhan pidana atau hukuman dimaksudkan untuk
menjamin keamanan dan ketertiban. Edwin Sutherland yang
dikutip Soedjono D, menyatakan bahwa alasan negara
64
melakukan atau menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak
pidana adalah karena :
1. Hukuman dijatuhkan dengan dasar harus menunjukkan
dan
mendukung
perbuatan
atau
tindakan
mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.
2. Hukuman harus dapat mencegah terjadinya perbuatanperbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan.
3. Negara harus mempertahankan tata tertib masyarakat
yang ada.
4. Negara harus mempertahankan ketentraman dalam
masyarakat apabila ketentraman itu dilanggar
(Lamintang, PAF, 1984:74).
Menurut Von Feuerbach, yang dikutip oleh
Djoko
Prakoso dan Nurwachid mengemukakan bahwa :
Pada hakekatnya ancaman pidana mempunyai akibat
psikologis yang menghendaki orang itu tertib, berhubung
pidana itu merupakan sesuatu yang dirasakan tidak enak
bagi terpidana. Oleh karena itu, syarat atau ukuran
pemidanaan, baik yang menyangkut segi perbuatan
maupun yang menyangkut segi orang atau pelaku (Djoko
Prakoso).
Pada segi perbuatan dipakai azas legalitas dan pada segi
orang dipakai azas kesalahan. Azas legalitas menghendaki tidak
hanya pada ketentuan-ketentuan yang pasti tentang perbuatan
yang bagaimana dapat dipidana, tetapi juga menghendaki
ketentuan atau batas yang pasti tentang pidana yang dapat
dijatuhi. Azas kesalahan menghendaki agar hanya orang-orang
yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dipidana, tiada
pidana tanpa kesalahan.
Dalam hubungannya dengan pemidanaan dikenal 3 teori
yaitu:
65
1. Teori absolut atau teori pembalasan
2. Teori relative atau teori tujuan
3. Teori gabungan
(ad.1).
Teori Absolut atau teori pembalasan.
Menurut teori-teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan
pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seorang mendapat
pidanan oleh karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibatakibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak
dipedulikan, apa dengan demikian masyarakat mungkin akan
dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.
Kegiatan pembalasan, atau disebut juga sebagai vergelding yang
menurut banyak orang dijelaskan sebagai alasan untuk mempidana
suatu kejahatan. Kepuasan hati yang dijadikan suatu ukuran, tetapi
faktor lainnya kurang diperhatikan.
Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita
karena kejahatan itu, maka "kepuasan hati" itu terutama ada pada si
oknum itu. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada keluarga
si korban khususnya dan masyarakat umumnya. Dengan meluasnya
kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga
meluasnya sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si
penjahat, yaitu pada sanak keluarga atau kawan-kawan karib. Maka
unsur pembalasan , meskipun dapat dimengerti, tidak selalu dapat
tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. Perlu diketahui
bahwa, kata vergelding atau "pembalasan" ini biasanya dipergunakan
sebagai istilah untuk menunjukan dasar dari teori "absolut" tentang
Hukum Pidana (absolute strafrechtstheorien). Van Bemmelen dalam
buku karya bersama dengan Van Hattum, Hand-en Leerboek van het
Nederlandsche Strafrecht." Jilid II halaman 12 dan 13 mengemukakan
unsur naastenliefde (cinta kepada sesama manusia) sebagai dasar
adanya norma-norma yang dilanggar oleh para penjahat. Cinta sesama
manusia ini mendasari larangan mencuri, menipu, membunuh,
66
menganiaya, dan sebagainya. Dengan dasar ini maka kejahatan sudah
selayaknya ditanggapi dengan suatu pidana yang dilimpahkan kepada
si penjahat. Tidak perlu dicari lain alasan.Jadi kini ada nada absolut
atau mutlak pula. Nada kemutlakan ini juga terdapat pada sikap
Prof.Mr.R.Kranenburg, yang mendasarkan pidana pada keinsafankeadilan (rechtsbewustzijn) dari sesama warga dari suatu negara.
Menurut Hazewinkel-Suringa, selaras dengan Kranenburg yang
merupakan penulis Leo Polak, yang mempergunakan keinsafankesusilaan (zadelijk bewustzijn) sebagai dasar pidana. Sedangkan Kant
dan Hegel dapat digolongkan kepada kelompok yang menganut teoriteori absolut dalam hal hukum pidana. Kant terkenal sebagai seorang
filsuf yang mengutarakan gagasan-gagasannya sebagai apa yang
menurut Ia sendiri merupakan pikiran yang murni atau yang praktis,
dan atas pikiran semacam inilah oleh Kant didasarkan kemutlakan
pidana sebagai follow up dari kejahatan. Sedangkan menurut Hegel
pidana dianggap mutlak harus ada kemestiannya sebagai reaksi dari
suatu kejahatan.
(ad.2). Teori-teori Relatif atau teori tujuan.
Menurut teori-teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus
diikuti dengan suatu pidana. Untuk itu tidaklah cukup adanya suatu
kejahatan, melainkan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu
pidana bagi masyarakat atau bagi si penjahat sendiri. Tidaklah saja
dilihat pada masa lampau, melainkan juga pada masa depan. Oleh
karena itu, harus ada tujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan
pidana saja. Dengan demikian teori-teori ini juga dinamakan teoriteori "tujuan" (doel-theorien). Tujuan ini pertama-tama harus
diarahkan kepada usaha agar di kemudian hari, kejahatan yang telah
dilakukannya itu tidak terulang lagi (prevensi). Prevensi ini ada dua
macam, yaitu prevensi khusus atau special dan prevensi umum atau
general. Keduanya berdasar atas gagasan, bahwa mulai dengan
67
ancaman akan dipidana dan kemudian dengan dijatuhkannya pidana,
orang akan takut menjalankan kejahatan. Dalam prevensi special, hal
yang membuat takut ini ditujukan kepada si penjahat, sedangkan
dalam prevensi general diusahakan agar para oknum semua sama
takut
akan
menjalankan
kejahatan.
Sebagai penganut prevensi special oleh Zevenbergen disebutkan dua
penulis, yaitu Van Hamel dan Grolman. Sedangkan sebagai penganut
prevensi general oelh Zevenbergen, Van Hattum, dan HazewinkelSuringa disebutkan terutama Paul Anselm Feuerbach, yang
menitikberatkan pada ancaman dengan pidana yang termuat dalam
peraturan hukum pidana.Hal ini disebabkan, karena digunakannya
pandangan pengertian psychologischedwang, yang berarti bahwa
dengan ancaman pidana ini orang-orang didorong secara psikis tidak
secara fisik, untuk tidak melakukan kejahatan. Selain itu, teori relatif
lainnya, telah melihat bahwa usaha untuk dengan menjatuhkan pidana
memperbaiki si penjahat agar menjadi orang baik, yang tidak akan
lagi melakukan kejahatan. Menurut Zevenbergen, ada tiga macam
"memperbaiki si penjahat" ini, yaitu perbaikan "yuridis, perbaikan
"intelektual" dan perbaikan "moral", yang berarti perbaikan "yuridis"
lebih mengenai sikap si penjahat dalam hal menaati Undang-Undang,
perbaikan "intelektual" lebih mengenai cara berpikir si penjahat agar
Ia insaf akan jeleknya kejahatan, sedangkan perbaikan "moral" lebih
mengenai rasa kesulitan si penjahat, agar Ia menjadi orang yang
bermoral tinggi. Zevenbergen menunjukan pembela dari ketiga
macam perbaikan ini masing-masing Stelzer, Groos, dan Kraus.
Konsekuensi dari teori-teori Relatif antara lain jika menurut teori
"relatif" atau teori-teori "tujuan" ini menjatuhkannya pidana
digantungkan kepada kemanfaatannya bagi masyarakat, maka ada
konsekuensi logis, seperti dalam mencapai tujuan "prevensi" atau
"memperbaiki si penjahat", tidak hanya secara negatif, maka tidaklah
layak dijatuhkan pidana, melainkan secara positif dianggap baik, maka
68
pemerintah mengambil tindakan yang tidak bersifat pidana.
Tindakan ini misalnya berupa mengawasi saja tindak-tanduk si
penjahat atau menyerahkannya kepada suatu lembaga swasta dalam
bidang sosial, untuk menampung orang-orang yang perlu dididik
menjadi anggota masyarakat yang berguna (beveiligingsmaatregelen).
(ad.3). Teori-teori Gabungan (Verenigings-Theorien).
Apabila ada dua pendapat yang diametral berhadapan satu sama
lain, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah.
Juga kini, di samping teori-teori absolut dan teori-teori relatif tentang
hukum pidana, kemudian muncul teori ketiga, yang di satu pihak
mengakui adanya unsur "pembalasan" (vergelding) dalam hukum
pidana, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur "prevensi" dan unsur
"memperbaiki penjahat", yang melekat pada tiap pidana.
Zevenbergen menganggap dirinya termasuk golongan ketiga ini, dan
menunjuk nama-nama Beling, Binding, dan Merkel sebagai eksponeneksponen penting dari teori "gabungan" ini. Van Hattum menunjuk
Pompe, sedangkan Hazenwinkel-Suringa menunjuk Hugode Groot,
Rossi dan Taverne sebagai tokoh-tokoh dari golongan teori
"gabungan" ini.
Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika
dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami
beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di
antaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman
pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya
pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Pengaturan ini lebih
lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang
berlaku saat ini (Zainal Abidin, 2005:5).
69
Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok
pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan
adalah :
a)
Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem
hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana
dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada
hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai
tujuan
b)
Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan
merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan
yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga
tahap (Barda Nawawi, 1998:113-114).
c)
Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai
”fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus
memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan
motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah (Barda
Nawawi, 1996:152-153).
Berdasarkan pada pengaturan tersebut dan dikaitkan
dengan pokok-pokok pikiran mengenai perumusan tujuan
pemidanaan, beberapa permasalahan yang bisa diajukan adalah
keterkaitan antara penetapan sanksi pidana dengan perumusan
suatu tujuan pemidanaan atau bagaimana landasan teori
pemidanaan dan aliran hukum pidana yang dianut atau yang
mendominasi pemikiran dalam kebijakan kriminal dan
kebijakan penalnya.
Selanjutnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana
termasuk dalam hal ini tindak pidana dibidang teknologi dan
informatika dalam suatu masyarakat selain dilakukan oleh
penegak hukum juga tidak terlepas dari keterlibatan anggota
masyarakat itu sendiri. Dalam perkembangan kriminologi di
Indonesia yang menjadi persoalan adalah bahwa pada umumnya
70
masyarakat belum mengetahui apa yang dimaksud dengan
menanggulangi kejahatan, padahal pengertian ini sangat penting
untuk dapat menanggulangi kejahatan itu sendiri.
Selain masyarakat dituntut untuk ikut serta dalam
penanggulangan kejahatan, para penegak hukumpun tidak
terlepas dari kewajiban dalam penanggulangan kejahatan sesuai
dengan tugas mereka masing-masing. Sehubungan dengan hal
ini
Sudarto
menjelaskan
bahwa
pemberantasan
kejahatan kalau diartikan secara luas maka banyak pihak yang
akan terlibat di dalamnya, antara lain adalah pembentuk
undang-undang, pamong praja dan aparatur eksekusi serta orang
biasa (Sudarto, 1991:113).
Pada dasarnya penanggulangan kejahatan itu ada dua cara
yaitu tindakan preventif dan tindakan represif.
1. Tindakan Preventif
Tindakan preventif
yaitu suatu upaya untuk
mencegah agar seseorang tidak melakukan kejahatan
tersebut. Tindakan ini tercakup di dalamnya mencegah
bertemunya niat dan kesempatan seseorang yang
hendak melakukan kejahatan.
Melalui cara ini
diharapkan sedini mungkin dapat menangkal hal dan
mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan. Dalam
pada itu Socrates yang dikutip oleh
B. Basu
menyatakan, bahwa manusia melakukan kejahatan
karena pengetahuan tentang kebijakan tidak nyata
baginya.
Pencegahan kejahatan merupakan tindakan yang
melibatkan semua unsur di dalamnya, dan dalam
hubungan ini S.M. Amin memberikan komentar tentang
tindakan preventif, yaitu:
71
Tugas preventif ini bermacam-macam corak ragamnya,
umpamanya dengan mengadakan patroli di waktu malam
hari dengan maksud supaya kaum pencuri tidak
mempunyai kesempatan melakukan pencurian, mengatur
lalu lintas supaya penyelenggaraan lalu lintas terjamin
dan sebagainya (S.M. Amin, 1991:65).
Sejalan dengan uraian di atas, Sudarto mengatakan
bahwa usaha-usaha penanggulangan kejahatan secara
preventif sebenarnya bukan Kepolisian saja, lebih lanjut
ia mengatakan :
Penanggulangan kejahatan dalam arti umum, secara tidak
langsung juga dilakukan tanpa menggunakan sarana
pidana atau hukum pidana, misalnya usaha dari
Departemen sosial dengan karang tarunanya, Gerakan
Pramuka, penggarapan jiwa masyarakat
melalui
pendidikan agama dan sebagainya akan mempunyai
pengaruh baik mengendalikan kejahatan, sedangkan
kegiatan dari kepolisian bersifat preventif, misalnya
patroli secara kontinue (Sudarto, 1991:114-115).
Oleh karena itu penanggulangan kejahatan secara
preventif dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Cara moralistik, dilakukan dengan menyebarluaskan
ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan
yang baik, sarana-sarana lain yang dapat mengekang
nafsu seseorang untuk berbuat jahat.
2. Cara aboliolistik, berusaha menanggulangi kejahatan
dengan membarantas sebab musababnya.
Dari kutipan
di atas
jelas bahwa penanggulangan
kejahatan lebih ditekan pada pembinaan moral melalui
pendidikan agama, sehingga dapat mengekang seseorang untuk
melakukan kejahatan. Selain itu, penanggulangan kejahatan
72
lebih dahulu harus memberantas penyebab terjadinya kejahatan
itu.
Allan R. Coffey mengemukakan bahwa strategi-strategi
pencegahan kejahatan dan delinkuensi dapat memusatkan
perhatian pada dua fokus dasar, yaitu usaha-usaha untuk
mencegah kejahatan untuk pertama kali dan mencegah kontak
dengan sistem peradilan pidana.
Lebih lanjut Coffey yang dikutip oleh Wersniwiro et.all.,
mengemukakan bahwa dalam perencanaan strategi pencegahan,
terutama pogram-pogram pencegahan delinkuensi, dapat
disimpulkan 4 pendekatan umum, yaitu :
1. Pembangunan program-program perubahan perilaku;
2. Pengembangan pelajaran melembaga bagi pelanggar
hukum;
3. Penciptaan pelayanan baru, baik bagi pelanggarpelanggar
hukum maupun bagi mereka yang
mempunyai potensi untuk menjadi pelanggar hukum;
4. Mencegah secara langsung peredaran gelap ecstasy di
dalam negeri di samping mencegah agar Indonesia
tidak dimanfaatkan sebagai mata rantai perdagangan
gelap.
Selain tindakan preventif sebagaimana tersebut di atas,
supaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran zat-zat
berbahaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur:
a. Jalur keluarga
b. Jalur pendidikan formal dan informal
c. Jalur lembaga-lembaga sosial swadaya masyarakat
d. Jalur lembaga keagamaan
e. Jalur
kelompok-kelompok
teman
bermain
remaja/pemuda, club, seni, olah raga, keterampilanketerampilan lain.
73
f. Jalur organisasi kewilayahan, dipimpin aparat RT, RW,
LKMD.
g. Melalui media masa, cetakan, elektronik, film maupun
seni pentas tradisonal.
2. Tindakan Represif
Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana.
Sebagai suatu tindakan pemberantasan kejahatan atau tindak
pidana, tindakan represif ini dilakukan melalui proses
pengadilan yang telah ditentukan, yaitu :
1. Tahap penyidikan oleh Polri.
2. Tahap penuntutan dilakukan Jaksa sebagai penuntut
umum
3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh
hakim.
4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa dan
lembaga permasyarakatan dengan diawasi oleh Ketua
Pengadilan yang bersangkutan (R.Soesilo, 1982:4).
Tindakan represif ditikberatkan terhadap pelaku tindak
pidana, antara lain dengan memberikan hukuman. Pemberian
hukuman ini akan melibatkan aparat penegak hukum secara
keseluruhan, mulai dari penyidikan, penyidikan lanjutan,
penuntutan oleh jaksa dan akhirnya hakim yang memberi
keputusan berupa pemidanaan.
Hakim dapat memilih pidana yang dijatuhkan dari
beberapa jenis pidana yang tersebut dalam KHUP membuat
kejahatan dan pidana. Cara menjalankan pidana ini bisa berupa
prasyarat, cara ini dimaksudkan untuk menghindari si terdakwa
dari
pengaruh
buruk
rumah
penjara
(Lembaga
Permasyarakatan) (Sudarto, 1991:114-115).
74
Sutherland dan Cressey yang ikutip oleh G.W. Bawengan
mengatakan bahwa pencegahan kejahatan dilakukan dengan
cara:
a. Merubah mereka yang mungkin dapat dirubah dengan
menggunakan teknik tertentu;
b. Mengasingkan mereka yang tidak dapat diperbaiki;
c. Koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang
terbukti gemar melakukan kejahatan
d. Menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat
yang bersifat mendorong ke arah kejahatan
(G.W.Bawengan, 1974:200)
Terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh
pemerintahan agar penanggulangan kejahatan dapat lebih
berhasil. Syarat-syarat tersebut adalah :
1. Sistem organisasi Kepolisian yang baik;
2. Pelaksanaan peradilan yang lebih efektif,
3. Hukum yang berwibawa
4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang lebih
terkoordinir,
5. Partisipasi masyarakat dalam penggolongan kejahatan
RANGKUMAN
Pemidanaan adalah menetapkan atau memutuskan sesuatu hukuman
terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Tujuan dari
pemidanaann adalah untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam
masyarakat, dan ini dapat memberikan tekanan jiwa bagi calon pelaku
kejahatan untuk merencanakan melanggar undang-undang pidana.
Dalam hubungannya dengan pemidanaan terdapat tiga teori yaitu teori
absolut atau teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan dan teori
gabungan. Teori absolut pada dasarnya hanya melihat pemidanaan
sebagai hal yang mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar
75
untuk tidak memidana si pelanggar. Teori absolut ini tidak
memperdulikan manfaat dari pemidanaan tersebut untuk masa yang
akan datang melainkan hanya melihat ke masa lampau saja. Teori
tujuan atau toeri relatif melihat bahwa suatu pelanggaran tidak mutlak
harus dibalas dengan suatu pemidanaan. Hal ini disebabkan teori ini
melihat manfaat dari pemidanaan bagi masyarakat sehingga tidak
hanya melihat masa lampaui namun juga melihat effect dari
pemidanaan tersebut ke masa depan. Teori ini lebih menekankan agar
pemidanaan tersebut manjadi usaha untuk mencegah tidak terulangnya
kejahatan di masa yang akan datang. Tindakan penangulangan pidana
ini ada yang besifat preventif yaitu dilakukan senelum tindak pidana
tersebut dilakukan dan bersifat represif yaitu tindakan yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum setelah suatu tindak pidana dilakukan.
LATIHAN
1.
Uraikan apa yang dimaksud dengan pemidanaan dan apa saja
tujuan dari pemidanaan yang dijatuhkan oleh negara?
2.
Bagaimanakah pandangan teori absolut, teori relatif dan teori
gabungan terhadap pelaksanaan pemidanaan?
3.
Menurut saudara, teori pemidanaan yang manakah yang paling
sesuai untuk diterapkan untuk mengatasi masalah kejahatan saat
ini?
4.
Usaha-usaha untuk menanggulangi kejahatan dapat dilakukan
sebelum atau sesudah tindak pidana dilakukan. Sebutkan usahausaha apa saja yang harus dilakukan baik yang bersifat preventif
maupun represif yang dianggap effektif menanggulangi masalah
kejahatan saat ini?
GLOSSARIUM
nullum delictum, nulla poena, sine preavia lege (poenali ialah
tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana melainkan atas suatu
76
peraturan perundang-undangan pidana yang terlebih dahulu ada
yang mentukan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan
pidana.
Veroordeling adalah putusan pemidanaan
absolute strafrechtstheorien ialah teori pembalasan absolut dari
rechtsbewustzijn ialah keinsafan dari rasa keadilan
zadelijk bewustzijn) ialah keinsafan dari rasa kesusilaan
DAFTAR PUSTAKA
Barda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan
Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra
Aditya Baksi, Bandung.
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Study Tentang Efefktivitas
Pidana Mati di Indonesia Dewasa ini.
G.W.Bawengan, 1974, Pengantar Psychologi kriminal, Pradya
Darmita, Jakarta.
M. Solehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, PT
Raja Grafindo Persada.
Mohammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana
Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk
Pemidanaan, Kreasi Wacana.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-teori dan
Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung.
P.A.F. Lamintang, 1984, Hukum Penetensier di Indonesia,
Armico, Bandung.
77
R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian
Perkara
Pidana Menurut KUHAP bagi Penegak
Hukum), Politeia, Bogor.
S.M. Amin, 1991, Hukum Acara Peradilan Negeri, Pradya
Paramitha, Jakarta.
Sudarto, 1991, Hukum Pidana, Jilid I, Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang.
Zainal Abidin, 2005, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam
Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU
KUHP Seri 3, ELZAM, Jakarta.
78
BAB V
DASAR-DASAR PENIADAAN, PEMBERATAN
DAN PERINGANAN PIDANA
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami hal-hal yang menjadi dasar peniadaan, pemberatan dan
peringanan pidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu:
1. mengungkapkan perbedaan antara alasan pemaaf dan pembenar
dari peniadaan pidana
2. menjelaskan dasar tidak dipidananya seseorang karena adanya
ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat, daya paksa
(overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer excess), menjalankan perintah
Undang-undang, melaksanakan perintah jabatan yang sah dan
karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad
baik
3. menerangkan hal-hal apa saja yang meyebabkan diperberatnya
hukuman
4. menerangkan dasar-dasar yang menyebabkan diperingannya
pidana umum
5. mengungkapkan dasar-dasar peniadaan pidana yang terdapat di
luar KUHP
79
A. DASAR PENIADAAN PIDANA YANG BERSIFAT UMUM
Dasar-dasar
peniadaan
atau
penghapusan
pidana
(strafuitslutingsgronden) di dalam KUHP dibedakan antara yang
bersifat umum dan khusus.
1. Dasar-dasar Peniadaan Pidana yang bersifat umum
Tidak dipidananya seseorang atas pelanggaran ketentuan pidana
yang bersifat umum dibedakan dengan hal-hal yang menyebabkan
tidak dapat dituntutnya si pembuat (vervolgingsuitslutingsgronden)
walaupun bagi kedua-duanya sama, ialah si pembuat pada
kenyataannya tidak dipidana karena perbuatannya.
Pada hal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden),
jaksa penuntut umum telah mengajukan surat dakwaan. Terdakwa
telah diperiksa dalam sidang pengadilan, bahkan telah diajukannya
requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah terbukti
terwujudnya tindak pidana itu oleh si pembuat. Namun, karena
terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat,
majelis hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordering) kepadanya,
melainkan menjatuhkan putusan pelepasan dari tuntutan hukum
(onslag van alle rechtvervolging). Putusan itu dijatuhkan terhadap
pokok perkaranya atau terhadap tindak pidana yang didakwakan.
KUHP tidak melarang jaksa penuntut umum untuk
menghadapkan tersangka ke sidang pengadilan dalam hal adanya
dasar peniadaan pidana. Berbeda pada hal yang disebutkan kedua
karena pada alasan/dasar peniadaan penuntutan yang tidak
membenarkan jaksa penuntut umum untuk mengajukan tersangka ke
sidang pengadilan (menuntutnya), misalnya tanpa adanya pengaduanmengajukan juga si pembuat tindak pidana aduan ke sidang
pengadilan, penetapan majelis hakim akan berisi bahwa jaksa
penuntut umum tidak berwenang menuntut (niet-ontvankelijk
verklaring van het Openbaar Ministerie), tidak diperlukan
80
membuktikan tentang telah terwujud atau atau tidaknya tindak pidana
itu. Artinya pokok perkara tidak perlu diperiksa oleh Majelis sehingga
juga tidak diputus pokok perkaranya. Majelis hanya memutus tentang
tidak berwenangnya Negara (in casu jaksa PU) menuntut perkara itu.
Tindakan yang dilakukan mejelis hakim ini bukanlah vonis, tetapi
berupa penetapan (beschiking) belaka. (Chazawi, 2007:17).
Akibat hukum dari putusan pelepasan dari tuntutan hukum
dengan penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang
mengadili juga mengandung perbedaan yang mendasar. Karena
putusan lepas dari tuntutan hukum mengenai tindak pidana yang
didakwakan atau mengenai pokok perkaranya, putusan itu tunduk
pada ketentuan ayat (1) Pasal 76 KUHP. Artinya, setelah putusan itu
mempunyai kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde zaak),
perbuatan itu tidak dapat lagi diajukan penuntutan kedua kalinya.
Akan tetapi, terhadap penetapan yang berisi penuntut umum tidak
berwenang menuntut, karena bukan mengenai hal tindak pidana yang
didakwakan, maka penetapan Majelis Hakim itu tidak tunduk pada
ketentuan Pasal 76 KUHP. Ketika dasar peniadaan penuntutan itu
telah ditiadakan, misalnya dalam tindak pidana aduan-telah
dipenuhinya syarat pengaduan, maka terhadap pembuat, jaksa
penuntut umum wajib mengajukan tuntutan ke sidang pengadilan
kembali.
Di samping perbedaan di atas, juga terdapat perbedaan
perbedaan dalam hal tidak menerima putusan yang berisi “pelepasan
dari tuntutan hukum”, maka dapat diajukan perlawanan kasasi ke
Mahkamah Agung. Sementara itu, apabila tidak menerima penetapan
majelis hakim yang berisi “negara tidak berwenang menuntut”, maka
dapat diajukan perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi.
Dalam praktik, apabila jaksa penuntut umum mengajukan juga
terdakwa ke sidang pengadilan, maka setelah surat dakwaan
dibacakan, terdakwa atau penasehat hukumnya, kemudian
81
mengajukan dan membacakan eksepsi perihal adanya dasar peniadaan
penuntutan ini, kemudian majelis hakim akan memeriksa tentang
kebenaran eksepsi jika benar terbukti, majelis akan memutus bahwa
“tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima.” (Chazawi, 2007:19)
Bab III KUHP menentukan tujuh dasar yang menyebabkan tidak
dapat dipidananya si pembuat ini, ialah:
a. adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat,
Pasal 44 ayat (1)
b. adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48)
c. adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat 1
d. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas
(noodweerexcess, Pasal 49 ayat 2)
e. karena sebab menjalankan perintah UU (Pasal 50)
f. karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51
ayat 1)
g. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan
i’tikad baik (Pasal 51 ayat 2)
Dari tujuh dasar tersebut diatas, kemudian dikelompokkan
menjadi
dua
dasar,
yakni
(1)
atas
dasar
pemaaf
(schulduitsluitingsgronden), yang bersifat subjektif dan melekat pada
diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada
pada saat akan berbuat; dan (2) atas dasar pembenar
(rechtsvaardingingsgronden), yang bersifat objectif dan melekat pada
perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat.
Adapun dasar pemaaf yaitu:
a. ketidakmampuan bertanggung jawab
b. pembelaan terpaksa yang melampaui batas
c. hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan
i’tikad baik
Sedangkan dasar pembenar adalah:
a. adanya daya paksa
82
b. adanya pembelaan terpaksa
c. sebab menjalankan perintah UU
d. sebab menjalankan perintah jabatan yang sah
Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf walaupun
perbuatannya terbukti melanggar UU, yang artinya perbuatannya itu
tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya
kesalahan pada diri si pembuat, perbuatannya itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya. Dia dimaafkan atas perbuatannya
itu. Contohnya orang gila memukul orang lain sampai luka berat.
Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si
pembuat, karena, karena perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan
hukumnya perbuatan. Walaupun dalam kenyataannya perbuatan si
pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana, tetapi karena hapusnya
sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuatnya tidak dapat
dipidana. Contohnya, petinju yang bertanding diatas ring memukul
lawannya hingga luka-luka, bahkan hingga mati.
a. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan karena Jiwa Cacat
dalam Pertumbuhannya, dan Jiwa Terganggu karena
Penyakit
Pasal 44 KUHP merumuskan:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat
adalam pertumbuhannya atau terganggu karerna
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika
ternyata
perbuatan
itu
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya karena
pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling
lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.
83
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1), jelas ada dua
penyebab tidak dipidananya karena tidak mampunya bertanggung
jawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu:
1) karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
2) karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit
Apakah yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung
jawab? Undang-undang sendiri tidak memberi tidak memberi
keterangan yang lebih jelas tentang tidak mampu bertanggung jawab.
Di dalam Memorie van Toelighting (MvT), ada keterangan mengenai
ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu:
1) apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih
antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang
atau diperintahkan oleh undang-undang.
2) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak
dapat menentukan akibat perbuatannya.
Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu
bertanggung jawab, melainkan sekadar menyebut tentang dua macam
keadaan jiwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab terhadap
perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu tidak dijelaskan
mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, tidak dijelaskan
mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab.
Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat
disimpulkan bahwa orang mampu bertanggung jawab atas
perbuatannya ialah bila dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan
sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut.
84
Alasan UU merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu
secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak
mampu bertanggung jawab dan bukan mengenai mampu
bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk UU yang
menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab.
Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan
dari vonis hakim maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini
dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa
seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana
karena melakukan perbuatan.
Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak
memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan abnormal, keadaan jiwa tidak
dipermasalahkan. Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal,
gejala-gejala itu akan diselidiki apakah gejala-gejala yang tampak itu
benar dan merupakan alasan pemaaf sebagimana dimaksudkan oleh
Pasal 44 (1).
Dua keadaan jiwa sebagaimana disebut Pasal 44 (1) tersebut
merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak adil. Dua keadaan
jiwa tersebut adalah keadaan jiwa sebagai penyebab tidak dapat
dipertanggungjawabkannya atas semua perbuatannya. Dengan kata
lain, keadaan jiwa disini berlaku untuk segala macam bentuk
perbuatan. Oleh itu, sifatnya umum.
Keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab yang
sifatnya khusus itu berkaitan erat dengan perbuatan itu sendiri serta
keadaan-keadaan objektif dan atau subjektif tertentu ketika seorang itu
berbuat. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab secara khusus
ini, ialah:
1) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak
bebas untuk menentukan kehendaknya terhadap perbuatan
apa yang dia lakukan;
85
2) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak
mengerti, tidak menginsyafi atas suatu perbuatan yang
dilakukannya itu sebagai perbuatan yang tercela;
Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki
keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada
dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawabm yaitu:
1) dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejalagejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian
dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung jawab.
2) Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciriciri psikologis yang ada yang kemudian dari ciri-ciri itu
dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu
bertanggung jawab ataukah tidak;
3) Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas
digunakan secara bersama-sama. Di samping menyelidiki
tentang gejala gejala abnormal juga dengan meneliti ciri-ciri
psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan apakah dia
mampu bertanggung jawab ataukah tidak.
2. Daya Paksa (Overmacht)
Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa
(Overmacht) dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan
“Niet straafbaar is hij die een feit begaat waartoe hij door
overmacht is gedrogen”, yang artinya barangsiapa yang
melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak
dipidana.
Pada umumnya pakar hukum lebih banyak menggunakan
istilah daya paksa untuk menerjemahkan istilah overmacht.
Namun ada juga pakar hukum yang menggunakan istilah lain
seperti Surjanatamihardja dengan “berat lawan” atau Jusuf Ismail
dengan kalimat yang agak panjang yakni “terpaksa oleh sesuatu
86
kekuasaan yang tidak dihindarkan” (Roeslan Saleh, 1963:77), atau
“hal memaksa (Wirjono Prodjodikoro, 1981:75), “kekuatan yang
tidak dapat dihindarkan” (Schravendijk, 1955:143), “paksaan
yang menimbulkan keadaan tak berdaya (Satochid: 446).
1) Pengertian Daya Paksa
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh
tentang daya paksa. Menurut Memorie van Toelichting (MvT)
daya paksa adalah “setiap kekuatan, setiap dorongan, setiap
paksaan yang tidak dapat dilawan” (Jonkers, 1987:261).
Sebagaimana istilah-istilah lainnya dalam MvT yang
selalu singkat tidak lah cukup untuk menggambarkan arti yang
sebenarnya. Harus dicari dalam doktrin hukum pidana dan
yurisprudensi. Doktrin hukum dan yurisprudensi juga
merupakan sumber hukum. Memang banyak istilah yang ada
dalam KUHP tanpa penjelasan lebih jauh dalam pasalpasalnya, tetapi dikembangkan oleh para pakar dalam doktrin
hukum pidana dan berbagai yurispudensi. Oleh karena itu,
mempelajari hukum pidana tidaklah cukup hanya dengan
mempelajari teks rumusan dalam UU, tetapi juga harus
mempelajari doktrin hukum. Doktrin hukum selain menjadi
dasar perhatian dan pijakan dalam merumuskan norma hukum
pidana, juga menjadi tempat atau sumber pengembangan
hukum pidana.
Dari keterangan dalam MvT tentang daya paksa,
dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi karena
tekanan psychis dan tekanan fisik. Istilah dorongan
(gedrongen) menunjuk pada tekanan psychis, dan paksaan
(dwang) menunjuk pada tekanan yang bersifat fisik (Jonkers,
1987:261). Namun, orang tidak mengetahui dasar penghapus
pidana tersebut apakah terletak atau melekat pada
87
perbuatannya atau pada sipembuatnya, salah satu hal yang
penting dalam keadaan daya paksa ini.
2) Macam Daya Paksa
Dalam doktrin hukum dapat dibedakan antara 2 macam
daya paksa, ialah:
a) daya paksa absolut
b) daya paksa relatif
Apabila dilihat dari segi dari mana asalnya tekanan dan
paksaan itu maka masing-masing bentuk daya paksa tersebut
diatas dapat dibedakan lagi, antara:
a) daya paksa dari sebab perbuatan manusia
b) daya paksa dari sebab diluar perbuatan manusia, ialah
sebab alam atau binatang
Apabila dilihat dari sifatnya tekanan dan paksaan, maka
baik daya paksa absolut maupun relatif dapat dibedakan:
a) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat pisik
b) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat psychis
Contoh daya paksa absolut yang berupa paksaan fisik
(oleh perbuatan manusia), ialah seorang yang kuat menerjang
seorang anak yang berdiri dekat kaca, membuat anak itu
terpental dan mengenai kaca dan pecahlah kaca itu. Contoh
daya paksa absolut oleh adanya paksaan psychis dari perbuatan
manusia, seorang yang berada dalam keadaan dihipnotis
diperintah oleh hypnotiseur untuk berbuat membakar sebuah
mobil milik musuhnya. Contoh daya paksa absolut karena
alam ialah seseorang dipanggil sebagi ahli untuk memberikan
keteranngan di sidang pengadilan pidana, tidak dapat hadir
karena pada saat sebelum berangkat hendak memenuhi
panggilan itu rumahnya disambar petir dan dia tak sadarkan
diri akibat luka bakar yang dideritanya.
88
Sedangkan daya paksa yang dimaksud oleh Pasal 48
adalah daya paksa relatif baik yang bersifat fisik maupun yang
bersifat psychis baik yang karena perbuatan manusia maupun
yang bukan. Daya paksa relatif yang bersifat fisik disebut
dengan noodstand atau keadaan darurat, suatu daya paksa
yang disebabkana oleh alam (Soedarto, tt:42). Daya paksa
relatif sebagaimana tersebut dalam Pasal 48 adalah suatu
paksaan yang sedemikian rupa menekan seorang sehingga ia
berada dalam suatu keadaan yang serba salah, suatu keadaan
mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat yang
pada kenyataannya melanggar UU, yang bagi setiap orang
normal tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain
berhubung dengan resiko dari pilihan perbuatan lain itu lebih
besar terhadap dirinya. Mengorbankan kepentingan hukum
yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan
kepentingan hukum yang lebih besar, inilah prinsip dari daya
paksa menurut arti Pasal 48.
Bahwa apa yang sudah diterangkan diatas, kiranya
senada dengan apa yang dikemukakan oleh Hoge Raad dalam
arrestnya (12-6-1951) yang menyatakan bahwa “overmacht
terdapat bilaman paksaan itu menjadi begitu kuat dan
dijalankan terhadap suatu kepentingan tertentu, sehingga dari
pembuat tidak dapat diharapkan mengadakan suatu
perlawanan, yaitu apbila jalan keluar lain tidak terbuka atau
pelanggaran terhadapnya secara patut dapat diharapkan dan
selanjutnya, jikalau dalam meyelamatkan kepentingan sendiri
tidak menghasilkan korban yang lebih besar” (Zainal Abidin,
1995:194). Kalimat terakhir “dalam menyelamtkan
kepentingan sendiri tidak menghasilkan korbanyang lebih
besar” mengadung arti bahwa perbuatan apa yang menjadi
pilihannya (membubuhkan tanda tangan di atas akta palsu)
89
risikonya lebih kecil (yakni pidana karena melanggar UU)
daripada apabila dia memilih perbuatan lain (tidak
menandatangani akta palsu), yaitu kematian. Dari contoh ini
dapat terlihat bahwa kepentingan hukum yang dilanggar (dari
pemalsuan akta) adalah lebih kecil daripada kepentingan
hukum yang diselamtkan (ialah dari bahaya kematian).
3) Keadaan Darurat (Noodtoestand)
Di atas tadi telah diterangkan bahwa noodtoestand atau
keadaan darurat adalah suatu daya paksa relatif dari sebab di
luar perbuatan manusia, jadi bagian dari daya paksa relatif.
Namun menurut Jonkers keadaan darurat itu adalah berdiri
sendiri, di mana daya paksa menurut beliau adalah (1) daya
paksa absolut, (2) daya paksa relatif dan (3) noodtoestand.
Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana suatu
kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari
ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada
kenyataannya melanggar kepentingan hukum yang lain.
Contohnya untuk menolong anak kecil yang terperangkap api
dalam sebuah rumah yang sedang terbakar (kepentingan
hukum atas anak itu sedang terancam), maka seorang merusak
sebuah pintu rumah ( melanggar kepentingan hukum atas hak
milik orang) untuk menolong anak itu.
Keadaan terpaksa dapat dibagi tiga macam:
a. dalam hal terjadi pertentangan antara dua kepentingan
hukum
b. dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum
dengan kepentingan hukum
c. dalam hal terjadinya pertentangan antara dua kewajiban
hukum.
90
3. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
Perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam
Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagi berikut:
“ tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan
terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain , kehormatan
kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena
adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum
pada ketika itu juga.”
Dari rumusan di atas lebih sempurna daripada rumusan
tentang overmacht (Pasal 48) yang telah dibicarakan di muka. Dari
rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan mengenai
dua hal, yaitu:
1) unsur mengenai syarat adanya pembelaan terpaksa.
• pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa;
• untuk mengatasi danya serangan atau ancaman serangan
seketika yang bersifat melawan hukum;
• serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada (tiga)
kepentingan hukum, ialah kepentingan hukum atas; badan,
kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang
lain;
• harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan
berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam;
• perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang
mengancam.
2) unsur dalam hal apa (macamnya) pembelaan terpaksa
• dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau orang lain
artinya juga ialah serangan itu bersifat dan ditujukan pada
fisik atau badan manusia;
• dalam hal untuk membela kehormatan kesusilaan, artinya
ialah serangan itu tertuju pada kehormatan kesusilaan; dan
91
• dalam hal untuk membela harta benda sendiri atau harta
benda lain, artinya ialah serangan itu tertuju pada harta atau
kebendaan.
Perbuatan orang yang memenuhi unsur-unsur Pasal 49 ayat
(1) tersebut diatas, pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak
pidana tertentu, bisa penganiayaan (351) misalnya berwujud
memukul seorang pria yang sedang berusaha memperkosa seorang
perempuan, bahkan bisa berwujud pembunuhan (338), misalnya
polisi menembak mati seorang perampok di sebuah bank yang
dengan menggunakan senjata api telah memberondong petugas
yang hendak menangkapnya dengan tembakan yang dapat
mematikan. Akan tetapi dengan dasar pembelaan terpaksa,
perbuatan yang pada kenyataannya bertentangan dengan undangundang itu telah kehilangan sifat melawan hukum, oleh sebab itu
kepada pembuatnya tidak dipidana. Di sini ada alasan pembenar.
1) Macam-macam Pembelaan Terpaksa
a) dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau diri orang
terhadap serangan yang bersifat fisik
b) dalam hal membela kehormatan kesusilaan diri sendiri atau
orang lain
c) dalam hal pembelaan harta benda sendiri atau orang lain.
Dalam hal untuk membela diri, adalah terhadap
serangan fisik oleh orang lain, sebagimana contoh diatas.
Terhadap serangan yang boleh dilakukan perbuatan
pembelaan terpaksa, hanyalah serangan oleh perbuatan
(fisik, aktif) manusia, dan tidak dibenarkan oleh binatang,
misalnya dikejar anjing kemudian anjingnya dibunuh.
Dalam hal kehormatan kesusilaan adalah kesusilaan
yang berkaitan erat dengan masalah seksual misalnya lakilaki hidung belang meraba buah dada seorang perempuan
92
yang duduk di sebelah di sebuah taman, maka dibenarkan
apabila ketika serangan berlangsung memukul laki-laki itu.
Dalam hal pembelaan terhadap harta benda, ialah
terhadap benda-benda yang bergerak dan berwujud dan yang
melekat bak kebendaan, sama dengan pengertian benda pada
pencurian (362).
2) Syarat Pembelaan Terpaksa
Suatu perbuatan masuk sebagai pembelaan terpaksa,
apabila perbuatan itu dilakukan:
a) karena terpaksa/sifatnya terpaksa;
b) yang dilakukan ketika timbulnya ancaman serangan dan
berlangsung serangan
c) untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan
yang bersifat melawan hukum
d) yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam
e) pembelaan terpaksa itu hanya terbatas dalam hal
mempertahankan tiga macam kepentingan hukum yaitu (1)
kepentingan hukum atas diri; (2) kepentingan hukum
mengenai kehormatan kesusilaan; dan (3) kepentingan
hukum mengenai kebendaan.
Kelima syarat itu adalah suatu kebulatan yang tidak
terpisahkan, dan berkaitan satu dengan yang lain sangat erat.
3) Perbedaan Daya Paksa (Overmacht) dengan Pembelaan
Terpaksa (Noodweer)
Jika dilihat dari segi serangan yang bersifat melawan
hukum dalam hubungannya dengan akibat terpaksanya orang
lain yang diserang itu melakukan suatu perbuatan tertentu,
maka terdapat perbedaan antara pembelaan terpaksa dengan
daya paksa. Perbedaan itu yaitu:
93
Pada daya Paksa
• Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan
oleh orang yang diserang (korban) adalah berupa perbuatan
yang memang dimaksudkan dan diinginkan si penyerang.
Misalnya, dengan todongan pistol seorang memaksa orang
lain untuk menandatangani akta palsu, kemudian korban
menandatanganinya.
• Di sini orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan
yang in casu dikehendaki si penyerang, karena dia tidak
berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu.
• Tidaklah ditentukan bidang kepentingan hukum apa dalam
hal penyerangan yang dapat dilakukan perbuatan dalam
keadaan daya paksa
• Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat,
yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan
hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan konflik
antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum.
Pada pembelaan terpaksa adalah sebaliknya ialah:
• perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang
adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau
maksud si penyerang. Misalnya si majikan, laki-laki
hidung belang sedang berusaha memperkosa pembantu
rumah tangganya dengan telah menindih tubuh perempuan
itu, kepergok oleh suaminya dan dengan kuat sang suami
menendang kepala majikannya itu. Pilihan perbuatan
suami pembantu berupa menendang kepala majikannya itu
adalah suatu pilihan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh
sang majikan.
94
•
•
•
pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan
pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk
melawan serangan oleh si penyerang.
pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap
serangan-serangan yang bersifat melawan hukum dalam
tiga bidang ialah; tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta
benda.
pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan
darurat.
4. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer
Exces)
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dirumuskan
dalam Pasal 49 ayat (2), yang rumusannya adalah pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana.
Adapun persamaan antara pembelaan terpaksa dan
pembelaan melampaui batas adalah:
• keduanya terdapat serangan atau ancaman serangan yang
melawan hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum
(tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda) dan adanya
kesamaan pada melakukan perbuatan pembelaan memang
dalam
keadaan
terpaksa
dalam
usaha
untuk
mempertahankandan melindungi suatu kepentingan hukum
yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan
yang melawan hukum.
• pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan
melindungi kepentingan hukum diri sendiri atau kepentingan
hukum orang lain.
95
Adapun perbedaannya yaitu:
• Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud
pembelaan terpaksa haruslah perbuatan seimbang dengan
bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya
haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak
diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam
pembelaan itu. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, ialah perbuatan apa yang menjadi pilihannya
sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan
atas kepentingan hukum yang terancam, yang artinya pilihan
perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang
ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan.
Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol,
yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu, tetapi
karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan
menembaknya.
• Kedua, bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan
pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman
serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh
dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi
pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perbuatan
pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan
terhenti.
• Ketiga, tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa oleh
karena kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya,
jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaann pidana
karena pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya.
Sedangkan tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa
yang melampaui batas oleh karena adanya alasan penghapus
kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf.
Dasar tidak dipidananya si pembuat dalamm pembelaan yang
96
melampaui batas terletak pada diri orangnya, dan bukan pada
perbuatannya.
Melampaui batas dapat diartikan sebagai (1) melampaui
batas apa yang perlu, dan (2) boleh dilakukan walaupun serangan
telah tiada. Keistimewaan ini pada dasarnya merupakan
perkecualian dari pembelaan darurat pada ayat pertama, yang
terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat.
5. Menjalankan
Perintah
Undang-undang
(Wettelijk
Voorschrift)
Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah
undang-undang (wettelijk voorschrift) dirumuskan dalam Pasal
yang berbunyi: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang tindak pidana”.
Dari rumusan yang singkat itu, ada beberapa yang perlu
diterangkan ialah:
1) tentang apa yang dimaksud dengan ketentuan undang-undang;
2) tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan; dan
3) tentang apa yang dimaksud melaksanakan ketentuan undangundang.
Mengenai persoalan yang pertama, dalam praktik, pada
mulanya ketentuan undang-undang itu diartikan undang-undang
dalam arti sempit atau arti formal belaka seperti dalam arrest Hoge
Raad tanggal 27-6-1887 yang mengartikan sebagai peraturan yang
dibuat oleh raja dan Staten General berikut ketentuan hukum
dalam Algemene Maatregel van Bestuur dan peraturan sebagai
pelengkap undang-undang secara keseluruhan atau diperintahkan
oleh undang-undang (Andi Hamzah, 1991:137). Jadi peraturan
perundang-undangan dalam arti formal ini terbatas pada peraturan
dari undang-undang negara dan peraturan-peraturan yang
diperintahkan oleh undang-undang negara.
97
Kemudian pengertian itu berubah ke arah pengertian luas
atau pengertian materiil, sebagaimana dalam arrest Hoge Raad
berikutnya (26-6-1899) yang dalam pertimbangan hukumnya
menyatakan bahwa “peraturan perundang-undangan (wettelijk
voorschrift) adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat oleh
kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut
undang-undang” (Lamintang, 1990:489). Jadi dalam pengertian
luas di sini adalah peraturan undang-undang yang dibuat oleh
Parlemen (DPR) bersama pemerintah, dan termasuk segala
peraturan yang ada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah
maupun Peraturan Daerah, karena semua peraturan itu dibentuk
oleh kekuasaan berdasarkan undang-undang.
Mengenai hal yang kedua, tentang perbuatan, yang
dimaksudkan itu ialah perbuatan mana yang pada dasarnya jika
tidak ada undang-undang yang memberi kewenangan untuk
melakukannya adalah berupa suatu tindak pidana. Contohnya
Polisi yang telah memenuhi syarat dan prosedurnya melakukan
penangkapan seorang tersangka dan menahannya, yang jika tidak
ada ketentuan peraturan undang-undang yang memberi
kewenangannya adalah berupa tindak pidana.
Sedangkan mengenai hal yang ketiga, ialah tentang apa yang
dimaksud melaksanakan perintah peraturan undang-undang.
Sebenarnya Pasal 50 ini berlebihan, mengingat bahwa segala apa
yang telah diberikan kewenangan atau diperintahkan oleh suatu
peraturan undang-undang, tidaklah mungkin diancam dengan
pidana atau berupa tindak pidana menurut ketentuan undangundang yang lain. Ketentuan Pasal 50 pada dasarnya bukan
sekadar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh undang-undang saja, akan tetapi
termasuk juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berdasrkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang itu.
98
Hoge Raad dalam pertimbangan suatu arrestnya (28-10-1985)
menyatakan bahwa “menjalankan undang-undang tidak hanya
terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh
undang-undang, akan tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula
perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang
diberikan oleh suatu undang-undang (Soesilo, 1980:57).
6. Menjalankan Perintah Jabatan
Mengenai dasar peniadaan karena menjalankan perintah
jabatan dirumuskan dalam Pasal 51 ayat (1) yang bunyinya:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak
dipidana.”
Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh
sebab menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) yang
telah diterangkan di atas, dalam arti pada kedua-duanya dasar
peniadaan pidana itu menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan. Juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah berupa
perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan
kewenangan berdasrkan perintah undang-undang maupun perintah
jabatan.
Perbedaannya ialah pada perintah jabatan ada hubungan
publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi
perintahyang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu.
Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada
perintah yang diberikan berdasrkan undang-undang. Sedangkan
pada
menjalankan
perintah
undang-undang
keabsahan
menjalankan perintah itu ada pada undang-undang.
Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah
seorang penyelidik mendapat perintah dari penyidik untuk
menagkap seorang tersangka (Pasal 16 ayat ke 1 KUHAP). Antara
99
penyelidik dan penyidik ada hubungan publik yang berdasrkan
undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi
penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak
dalam upaya menjalankan perintah jabatan itu,, misalnya dengan
kekerasan memaksa memborgol (sifatnya serangan) terhadap si
tersangka yang tidak menurut dan melawan, dan jika perlu dan
layak dapat melumpuhkan dengan tembakan pada kakinya apabila
yang bersangkutan menggunakan pisau melawan penyelidik yang
hendak menjalankan tugas penangkapan tersebut.
7. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikad
Baik
Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (een onbevoged
ambtelijk bevel) dengan itikad baik sebagai dasar peniadaan
pidana, dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) yang bunyinya:
“perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya
pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad
baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”
Sejalan dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
pada menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang/tidak sah
dengan itikad baik ini, mengenai apa yang dilakukan itu pada
dasarnya adalah terlarang oleh undang-undang, namun karena
sesuatu hal yang menjadi alasan luar biasa, maka perbuatan itu
menjadi tidak dipidana. Tidak dipidananya si pembuat karena
alasan noodweer exces terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat,
tetapi pada pelaksanaan perintah tanpa wewenang adalah pada
“itikad baik dan pelaksanaan dari apa yang menjadi isi perintah
itu adalah memang menjadi tugas pekerjaannya.”
Dari apa yang dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) tersebut,
ada syarat yang wajib dipenuhi agar orang yang menjalankan
100
perintah yang tidak sah dengan tidak ada itikad baik itu tidak
dipidana, ialah syarat subjektive dan syarat objektif yang bersifat
kumulatif-imperatif.
1) Syarat subjektif, ialah dengan itikad baik dia mengira bahwa
perintah itu adalah sah;
2) Syarat objektif, ialah pada kenyataannya perintah itu masuk
dalam bidang tugas pekerjaannya.
B. DASAR PENIADAAN PIDANA DI LUAR UNDANGUNDANG
Segala sesuatu yang telah dibicarakan perihal peniadaan pidana di
atas, adalah menurut undang-undang. Diluar undang-undang
terdapat pula alasan peniadaan pidana, ialah:
1) apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara
materiil (melawan hukum materiil) dari suatu perbuatan atau
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif
2) didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf
zonder schuld)
Dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang
berhubungan dengan sifat melawan hukum materiil dari suatu
perbuatan dalam fungsinya yang negatif, dalam arti mencari
ketiadaan unsur melawan hukum di luar undang-undang untuk
tidak mempidana suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dan
bukan mencari adanya unsur melawan hukum di luar undangundang dalam rangka untuk mempidana suatu pelaku perbuatan
tertentu.
Ad.1. Hilangnya Sifat Tercela dari Perbuatan Melawan
Hukum
Sebagimana diketahui bahwa undang-undang hanya
mempidana seseorang yang melakukan perbuatan, apabila
101
perbuatan itu telah dicantumkan dalam peraturan perundangundangan, sebagai perbuatan yang dilarang (artinya mengandung
sifat tercela/melawan hukum). Hanya perbuatan yang diberi label
tercela atau terlarang saja yang pelakunya dapat dipidana.
Pengertian sifat melawan hukum tersebut dinamakan melawan
hukum formil, karena semata-mata sifat terlarangnya perbuatan
didasarkan pada pemuatannya dalam undang-undang. Perbuatan
lain yang diluar apa yang ditentukan sebagi dilarang oleh undangundang, walaupun tercela menurut masyarakat atau menurut asasasas umum maasyarakat atau melawan hukum materiil, sepanjang
tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan, tidak lah
dapat dipidana. Hal ini telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP tentang apa yang dikenal dengan asas legalitas.
Perbutan yang mengandung sifat tercela menurut masyarakat
yang tidak tercela menurut undang-undang tidaklah dapat
dipidana. Tetapi sebaliknya pada perbuatan yang secara nyata
terlarang menurut undang-undang, yang karena sesuatu faktor atau
sebab tertentu boleh jadi tidak mengandung sifat tercela atau
kehilangan sifat tercelanya menurut masyarakat, maka terhadap si
pembuatnya tidak dipidana. Inilah yang dimaksud dengan sifat
melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.
ad.2. Dasar Peniadaan Pidana karena Ketiadaan Unsur
Kesalahan pada si Pembuat
Asas tiada pidana tampa kesalahan telah dianut sejak tahun
1930, hanya si pembuat yang terbukti bersalah saja yang dapat
dijatuhi pidana. Kesalahan adalah bagian penting dalam tindak
pidana dan demikian juga halnya untukmenjatuhkan pidana. Jika
kesalahan itu tidak ada pada si pembuat dalam suatu perbuatan
tertentu, maka berdasrkan asas ini si pembuatnya tidak boleh
dipidana.
102
Ketiadaan kesalahan si pembuat atas perbuatannya terjadi
karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang keadaan nyata atau
fakta yang ada ketika perbuatan dilakukan. Contoh pada kasus
pengusaha susu, dimana si pengusaha susu mencampur susu
dengan air, yang oleh liveransirnya dikirim pada pelanggannya
yang menurut ketentuan hukum pidana dilarang. Liveransirnya
tersebut tidak dipdana oleh Hoge Raad dikarenakan dia tidak
mengetahui tentang susu yang dikirimkannya ke pelanggannya itu
ternyata telah dicampur dengan air oleh si pengusaha.
Sesungguhnya arrest HR inilah yang menjiwai asas tiada pidana
tanpa kesalahan.
Mengenai penegakan hukum pidana berlaku prediksi bahwa
setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga si pembuat
tidak dapat membela diri dengan alasan bahwa dia tidak
mengetahui hukum. Tetapi dalam praktik ketidaktahuan atau
kekeliruan mengenai hukum kadang dapat dijadikan alasan
peniadaan pidana. Contohnya adalah pada kasus seorang
pengendara sepeda motor yang sebelum mengendarai motornya itu
dia telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenang
untuk mendapatkan informasi selengkapnya tentang surat-surat
yang diperlukan untuk mengendarai kendaraan bermotor, yang
ternyata pejabat itu tidak memberikan informasi yang sempurna,
karena polisi itu tidak memberikan keterangan bahwa diperlukan
juga surat bukti kewarganegaraan, tidak dipersalahkan dan
karenanya tidak dipidana oleh Hoge Raad atas dakwaan
mengendarai kendaraan bermotor tanpa kelengkapan surat-surat.
(Schaffmeister dkk., Sahetapy (ed), 1995:71, 147).
103
C. DASAR-DASAR
YANG
DIPERBERATNYA PIDANA
MENYEBABKAN
a. Dasar Pemberatan Pidana Umum
Undang-undang mengatur tentang tiga dasar yang
menyebabkan diperberatnya pidana umum, ialah:
1. dasar pemberatan karena jabatan
2. dasar pemberatan karena menggunakan bendera kebangsaan
3. dasar pemberatan karena pengulangan (recidive)
ad.1. Dasar Pemberatan Pidana karena Jabatan
Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam Pasal 52 KUHP
yang rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat
karena melakukan tindak pidana melanaggar suatu kewajiban
khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana
memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah
sepertiga.”
Dasar pemberat pidana tersebut dalam Pasal 52 ini adalah
terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat (pejabat
atau pegawai negeri) mengenai empat hal ialah dalam melakukan
tindak pidana dengan:
a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya
b. memakai kekuasaan jabatannya
c. menggunakan kesempatan karena jabatannya
d. menggunakan sarana yang diberikan karena jabatannya
Subjek hukum yang diperberat pidananya dengan dapat
ditambah sepertiga, adalah bagi seorang pejabat atau epgawai
negeri yang melakukan tindak pidana dengan melanggar dan atau
menggunakan 4 keadaan tersebut diatas. Walaupun kualitas
pegawai negeri dalam Pasal ini sama dengan kulitas subjek hukum
104
pada kejahatan-kejahatan jabatan dalam BAB XXXVIII Buku II
dan pelanggaran jabtan dalam BAB VIII Buku III, tetapi pemberat
pidana berdasarkan Pasal 52 ini tidak berlaku pada kejahatankejahatan Jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut,
melainkan berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain,
sebabnya ialah pidana yang diancamkan pada kejahatan jabatan
dan pelanggaran jabatan karena dari kualitasnya sebagai pegawai
negeri itu telah diperhitungkan.
Jadi pemberat pidana berdasarkan Pasal 52 ini berlaku umum
seluruh jenis dann bentuk tindak pidana, kecuali pada kejahatan
dan pelanggaran jabatan seperti yang diterangkan diatas.
Walaupun subjek tindak pidana Pasal 52 dengan subjek hukum
kejahatan dan pelanggaran jabatan adalah sama yakni pegawai
negeri, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan
memperberat atas dasar Pasal 52 ini dengan kejahatan dan
pelanggaran jabatan, yaitu:
• tindak pidana yang dapat diperberat dengan menggunakan Pasal
52 ini pada dasarnya adalah tindak pidana yang dapat dilakukan
oleh setiap orang
• sedangkan tindak pidana berupa kejahatan dan pelanggaran
jabatan hanyalah dapat dilakukan oleh subjek hukum yang
berkualitas pegawai negeri saja.
Tentang siapa atau dengan syarat-syarat apa yang
dimaksud dengan pegawai negeri tidaklah dijelaskan lebih jauh
dalam undang-undang. Pasal 92 KUHP tidaklah menerangkan
tentang siapa pegawai negeri, tetapi sekedar menyebut tentang
beberapa macam pegawai negeri, yaitu:
• orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan
berdasrkan aturan-aturan umum
• orang-orang yang dipilih bukan karena pemilihan menjadi
anggota badan pembentuk undang-undang, badan
105
pemerintahan, atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk
oleh pemerintah atau atas nama pemerintah
• semua anggota dewan subak
• semua kepala rakyat indonesia asli
• semua kepala golongan Timur Asing yang menjalankan
kekuasaan yang sah.
Sedangkan tentang pengertian pegawai negeri ada
diterangkan dalam yurisprudensi, seperti dalam pertimbanganpertimbangan putusan Hoge Raad masing-masing tanggal 30-11911, 25-10-1915 dan 26-5-1911, yang pada dasarnya
menerangkan bahwa pegawai negeri itu adalah: “barangsiapa
yang oleh kekuasaan umum diangkat untuk menjabat pekerjaan
umum untuk melakukan sebagian dari tugas pemerintahan atau
alat perlengkapannya” (Jonkers, 1987:282). Jadi pengertian
pegawai negeri menurut Hoge Raad mengandung 3 unsur pokok,
ialah:
• dia diangkat oleh kekuasaan umum
• untuk menjabat pekerjaan umum dan
• melaksanakan sebagian tugas pemerintahan atau alat
perlengkapannya
Menurut Hoge Raad, gaji tidaklah merupakan syarat
penting dari pengertian pegawai negeri. Pengertian pegawai
negeri menurut H.R. ini ternyata dianut pula oleh Mahkamah
Agung R.I sebagaimana ternyata dalam pertimbangan dari
putusan-putusannya (22-11-953, 1-12-1962) yang pada
pokoknya menyatakan bahwa pegawai negeri adalah setiap
orang yang diangkat oleh penguasa yang dibebani dengan
jabatan umum untuk melaksanakan sebagian tugas negara.
106
a. Melanggar Suatu Kewajiban Khusus dari Jabatan
Dalam hal ini, yang dilanggar dilakukan oleh pegawai
negeri dalam melakukan tindak pidana itu adalah kewajiban
khusus dari jabatan, dan bukan kewajiban umum jabatan.
Dalam suatu jabatan in casu jabatan publik yang dipangku
oleh seorang pegawai negeri terdapat suatu kewajiban khusus di
dalamnya. Suatu kewajiban khusus adalah suatu kewajiban yang
berhubungan erat dengan tugas pekerjaan tertentu dari suatu
jabatan. Seorang polisi yang diperintah bertugas di Pos
Keamanan sebuah Bank, maka dia dibebani tugas khusus yaitu
untuk menjaga keamanan dan keselamtan bank beserta seluruh
orang yang berhubungan dan berkepentingan dengan bank
tersebut dimana dia bertugas. Akan tetapi kewajiban khusus
tersebut dapat pula dilanggarnya dengan melakukan tindak
pidana yang justru menyerang keselamatan dan keamanan bank
itu sendiri, misalnya dia berkomplotan dengan orang lain untuk
merampok bank tersebut, dia memberi informasi dan merancang
kejahatan itu serta berlaku pasif untuk memberi kesempatan
pada teman-temannya tadi dalam menjalankan aksi perampokan
tersebut.
b. Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan
Kekuasaan Jabatan
Suatu jabatan in casu jabatan publik disamping
membeban kewajiban khusus dan kewajiban umum dari
jabatannya, juga memiliki suatu kekuasaan jabatan, suatu
kekuasaan yang melekat dan timbul dari jabatan yang
dipangku. Kekuasaan yang dimilikinya dapat disalahgunakan
pemangkunya untuk melakukan suatu kejahatan tertentu
yang berhubungan dengan kekuasaan itu. Contohnya seorang
Penyidik karena jabatannya itu dia memiliki kekuasaan
107
untuk menangkap dan menahan seorang tersangka. Dengan
kekuasaan ini dia menangkap seorang musuh pribadi yang
dibencinya dan menahannya tanpa memperdulikan ada atau
tidaknya alasan penahanannya atau merekayasa alasan dari
tindakannya itu. Oknum polisi ini dapat diperberat pidananya
dengan ditambah sepertiga dari 8 tahun penjara (333 ayat 1).
c. Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan
Kesempatan dari Jabatan
Pegawai negeri dalam melaksanakan tugas pekerjaan
berdasarkan hak dan kewajiban jabatan yang dipangkunya
kadangkala memiliki suatu waktu yang tepat untuk
melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang,
apabila kesempatan ini disalahgunakan untuk melakukan
tindak pidana itu, maka dia dipidana pemberatan
sepertiganya dari ancaman pidana maksimum yang
ditentukan dalam tindak pidana yang dilakukannnya tadi.
Misalnya, seorang penyidik pembantu dalam melaksanakan
penyitaan barang-barang perhiasan di toko perhiasan, ketika
itu dia mempunyai kesempatan untuk mengambil dengan
melawan hukum sebagian dari perhiasan yang disita, maka
pada kesempatan yang demikian dia melakukan perbuatan
terlarang tersebut.
d. Melakukan Tindak Pidana dengan Menggunakan Sarana
Jabatan
Seorang pegawai negeri dalam menjalankan kewajiban dan
tugas jabatannya diberikan sarana-sarana tertentu, dan sarana
mana dapat digunakan untuk melakukan tindak pidana tertentu.
Di sini dapat diartikan menyalahgunakan sarana dari jabatannya
untuk melakukan suatu tindak pidana. Misalnya, seorang polisi
108
yang diberi hak menguasai senjata api, dan dengan senjata api
itu dia menembak mati musuh pribadi yang dibencinya. Maka
dapat diperberat pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya
dengan ditambah sepertiga dari 15 tahun (338) atau sampai
maksimum 20 tahun.
Pemberat pidana yang didasarkan pada 4 (empat) macam
keadaan yang melekat atau timbul dari jabatan adalah wajar,
mengingat keadaan-keadaan dari jabatan itu dapat memperlancar
atau mempermudah terjadinya tindak pidana (segi objektif), dan
juga dari orang itu membuktikan niat buruknya yang lebih kuat
untuk mewujudkan tindak pidana, yang keadaan-keadaan mana
diketahuinya atau disadarinya dapat mempermudah dalam
mewujudkan apa yang dilarang undang-undang (segi subjektif).
ad.2. Dasar Pemberatan Pidana dengan Menggunakan Sarana
Bendera Kebangsaan
Melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana
bendera kebangsaan dirumuskan dalam Pasal 52 a, KUHP yang
bunyi lengkapnya adalah:
“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan digunakan bendera
kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut
dapat ditambah sepertiga.”
Dalam Pasal tersebut tidak menentukan tentang bagaimana
caranya dalam menggunakan bendera kebangsaan pada waktu
melakukan kejahatan itu, oleh sebab itu dapat dengan
menggunakan cara apapun , yang penting kejahatan itu terwujud.
Oleh karena dalam Pasal 52 a ini disebutkan secara tegas
penggunaan bendera kebangsaan itu adalah waktu melakukan
kejahatan, maka disini tidak berlaku pada pelanggaran. Disini
berlaku pada kejahatan manapun, termasuk kejahatan menurut
perundang-undangan di luar KUHP.
109
ad.3. Dasar Pemberatan Pidana karena Pengulangan
(Recidive)
Mengenai pengulangan KUHP mengatur:
a. Pertama, menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak
pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi
pengulangannya. Pengulangan hanya terbatas pada tindak
pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal
486, 487, 488 KUHP; dan
b. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386, 387 dan 388 itu,
KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus
tertentu yang dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216
ayat (3), 489 ayat (2), 495 ayat (2), 501 ayat (2), 512 ayat (3).
Pada tindak pidana yang lain yang tidak masuk pada yang
diterangkan pada butir a dan b tersebut di atas, tidak dapat terjadi
pengulangan. Oleh karena tidak mengenal general recidive inilah,
maka pengaturannya tidak dimuat dalam buku pertama, melainkan
dikelompokkan pada ketiga Pasal tersebut dalam Buku II dan
Pasal-pasal tertentu lainnya dalam Buku II (kejahatan) maupun
Buku III (pelanggaran).
Menurut Pasal 486, 487, dan 488 pemberatan pidana ialah
dapat ditambah dengan dengan sepertiga dari ancaman maksimum
pidana (penjara menurut Pasal 486 dan 487, dan semua jenis
pidana menurut Pasal 488) yang diancamkan pada kejahatan yang
bersangkutan. Sedangkan pada recidive yang ditentukan lainnya di
luar kelompok tindak pidana yang termasuk dan disebut dalam
ketiga pasal ini ada juga yang diperberat-dapat ditambah dengan
sepertiga dari ancaman maksimum, tetapi banyak yang tidak
menyebut “dapat ditambah dengan sepertiga, melainkan diperberat
dengan menambah lamanya saja, misalnya dari 6 hari kurungan
menjadi dua minggu kurungan (492 ayat 2) atau mengubah jenis
110
pidananya dari denda diganti dengan kurungan (495 ayat 2, 501
ayat 2).
Alasan pemberatan pidana pada pengulangan ini ialah
terletak pada 3 (tiga) faktor:
a. faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana
b. faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara
karena tindak pidana yang pertama
c. pidana itu telah dijalankannya pada yang besangkutan
Pada faktor yang pertama sebenarnya sama dengan faktor
pemberat pada perbarengan. Perbedaannya dengan perbarengan,
ialah pada faktor kedua dan ketiga, sebab pada perbarengan si
pembuat karena melakukan tindak pidana pertama kali belum
diputus oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Pemberatan pada pengulangan, yang lebih penting ialah pada
faktor kedua dan ketiga. Penjatuhan pidana karena melakukan
suatu tindak pidana, dapat dianggap suatu peringatan oleh negara
tentang tentang kelakuan yang tidak dibenarkan. Dengan
melakukan tindak pidana kedua kalinya, dinilai bahwa yang
bersangkutan tidak mengindahkan peringatan negara tersebut,
menunjukkan bahwa orang itu benar-benar mempunyai perangai
yang sangat buruk, yang tidak cukup peringatan dengan
mempidana sebagimana yang diancamkan pada tindak pidana
yang bersangkutan.
Pemberatan pidana dengan dapat ditambah sepertiga dari
ancaman maksimum dari tindak pidana yang dilakukan
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 486, 487 dan 488 harus
memenuhi dua syarat essensial, yaitu:
a. Orang itu harus telah menjalani seluruh atau sebagian pidana
yang telah dijatuhkan hakim, atau ia dibebaskan dari menjalani
111
pidana, atau ketika ia melakukan kejahatan kedua kalinya itu,
hak negara untuk menjalankan pidananya belum daluarsa.
b. Melakukan kejahatan penanggulangannya adalah dalam waktu
belum lewat 5 (lima) tahun sejak terpidana menjalani sebagian
atau seluruh pidana yang dijatuhkan.
Pada syarat yang pertama, disitu disebutkan 4 (empat)
kemungkinan, ialah:
1) telah menjalani seluruh pidana yang dijatuhkan
2) telah menjalani sebagian pidana yang dijatuhkan
3) ditiadakan dari menjalani pidana; atau
4) hak negara untuk menjalankan pidana terhadapnya belum
lampaui waktu.
Dalam hal pengulangan, si pembuatnya harus sudah dipidana
karena melakukan tindak pidana yang pertama kali, karena dalam
Pasal 486, 487 dan 488 disebutkan telah menjalani pidana yang
dijatuhkan. Walaupun tidak disebut perihal syarat telah dijatuhkan
pidana, tetapi dengan menyebut syarat telah menjalani pidana,
maka sudah pasti didalamnya mengandung syarat telah dijatuhi
pidana. Bahwa mengenai pelaksanaan pidana yang telah
dijatuhkan terdapat beberapa kemungkinan, ialah:
a) pertama dilaksanakan seluruhnya
b) kedua dilaksanakan sebagian
c) ketiga pelaksnaannya ditiadakan
d) keempat tidak dapat dilaksanakan berhubung sesuatu halangan
yang tidak dapat dihindarkan, misalnya sebelum putusan yang
mempidanya in kracht van gewijsde atau sebelum putusan itu
dieksekusi narapidana melarikan diri.
112
D. DASAR-DASAR
DIPERINGANNYA
PIDANA
BAGI
PEMBUAT
1. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana
Umum
a. Menurut KUHP: Belum Berumur 16 Tahun
Bab III Buku I KUHP mengatur tentang hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana.
Tentang hal yang memperingan pidana dimuat dalam Pasal 45,
46 dan 47. akan tetapi sejak berlakunya Undang-undang No. 3
Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, ketiga pasal itu telah
tidak berlaku lagi (Pasal 67). Kini penting hanya dari segi
sejarah hukum pidana, khususnya pidana anak. Sebelum
membicarakan tentang hal yang memperingan pidana bagi
anak menurut Undang-undang No.3 Tahun 1997.
Menurut Undang-undang Pengadilan anak, anak yang
disebut anak adalah manusia yang umurnya 8 tahun tetapi
belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan
anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dan belum
berumur 8 tahun tidak dapat diajukan ke pengadilan tetapi
dapat dilakukan penyidikan (Pasal 5 UU No.3 Tahun 1997),
dan dalam hal ini terdapat dua kemungkinan:
a. jika penyidik berpendapat anak itu masih dapat dibina oleh
orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik
menyerahkan kembali anak itu kepada orang tua, wali atau
orangtua asuhnya.
b. jika penyidik berpendapat anak itu tidak dapat dibina lagi
oleh orang tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka
penyidik menyerahkan anak itu kepada Departemen Sosial
setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing
Kemasyarakatan.
113
Dasar peringanan pidana menurut UU No. 3 Tahun
1997, terdapat 2 (dua) unsur kumulatif yang menjadi
syaratnya, ialah: pertama mengenai: umurnya (telah 8
tahun tapi belum 18 tahun)dan yang kedua mengenai:
belum pernah menikah. Dalam sistem hukum kita, selain
umur juga perkawinan adalah menjadi sebab kedewasaan
seseorang.
Sama dengan KUHP, UU No.3 Tahun 1997 ini juga
terhadap anak (KUHP: belum berumur 16 Tahun, UU ini
telah berumur 8 tahun tapi belum 18 tahun dan belum
pernah kawin) yang terbukti bersalah karena melakukan
tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan satu diantara dua
kemungkinan, ialah menjatuhkan pidana atau menjatuhkan
tindakan. (Pasal 21).
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal
yang melakukan tindak pidana ialah pidana pokok dan
pidana tambahan (23 ayat 1). Pidana Pokoknya ada 4
macam (23 ayat 2), ialah:
a. pidana penjara
b. pidana kurungan
c. pidana denda
d. pidana pengawasan
Sedangkan pidana tambahan bagi Anak Nakal (23 ayat
3) ialah:
a. pidana perampasan barang-barang tertentu dan atau
b. pembayaran ganti rugi
c. menyerahkannya
kepada
Departemen
Sosial,
Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di
bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja (Pasal
24 ayat 1)
114
Dalam hal pidana penjara, dibedakan menjadi dua
kategori (Pasal 26), yaitu:
a. Untuk tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana
mati atau penjara seumur hidup, maka pidana penjara
yang dapat dijatuhkan ialah paling lama ½ (satu
perdua) dari maksimum pidana penjara yang
diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan
bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat 1)
b. Sedangkan untuk tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dapat
dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya 10 tahun
ialah hanya terhadap Anak Nakal yang telah berumur
12 (dua belas) tahun tapi belum 18 (delapan belas)
tahun (Pasal 23 ayat 2).
2. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana
Khusus
Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan
dasar peringanan tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap
tindak pidana yang disebutkan itu saja, dan tidak berlaku
umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar peringan
pidana khusus ini tersebar di dalam pasal-pasal KUHP.
Untuk dapatnya dinyatakan suatu tindak pidana sebagai
lebih ringan tentu ada pembandingnya. Dalam tindak pidana
lebih ringan, inilah ada unsur yang menyebabkan
diperingannya pidana terhadap si pembuatnya. Tindak pidana
bandingannya atau pembandingnya itu ada dua, yaitu:
1. biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut
juga bentuk biasa atau bentuk standard
2. pada tindak pidana lainnya (bukan termasuk bentuk
pokok), tapi perbuatannya serta syarat-syarat lainnya sama
115
Pertama, ada macam tindak pidana tertentu yang dapat
dibedakan atau dikelompokkan ke dalam bentuk pokok, yang
lebih berat dan yang lebih ringan. Pada tindak pidana bentuk
ringan (sama jenisnya), di dalamnya terdapat unsur tertentu
yang menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih
ringan dari pada bentuk pokoknya . unsur penyebab ringannya
inilah yang dimaksud dengan “dasar diperingannya pidana
khusus.
Contoh tindak pidana dalam bentuk pokok: pembunuhan
(338), penganiayaan (351 ayat 1), pencurian (362),
penggelapan (372), penipuan (378). Pada beberapa tindak
pidana dalam jenis yang sama, ada dalam bentuk yang lebih
ringan (kadang disebut tindak pidana ringan), yaitu
pembunuhan dalam hal yang meringankan (341),
penganiayaan ringan (352), pencurian ringan (364),
penggelapan ringan (373), penipuan ringan (379).
Dasar penyebab diperingannya tindak pidana tersebut
yaitu:
ï‚· pada pembunuhan Pasal 341 ialah pembuatnya adalah
seorang ibu, dan objeknya adalah bayinya sendiri
ï‚· pada penganiayaan ringan ialah akibat perbuatan berupa
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan pekerjaan pekerjaan jabatan atau pencairan
(352)
ï‚· pada pencurian ringan ialah (1) tidak dilakukan dalam
sebuah kediaman atau pekarangan yang tertutup yang
didalamnya ada tempat kediaman, dan (2) nilai/harga
benda (objek) kurang dari Rp.250,- (364)
ï‚· penggelapan ringan ialah: (1) objeknya bukan ternak, dan
(2) nilai benda/objek kejahatan kurang dari Rp. 250,- (373)
116
ï‚·
penipuan ringan ialah (1) objek kejahatan bukan ternak,
dan (2) nilai benda-objek kejahatan kurang dari Rp. 250,(379)
Kedua, disebut tindak pidana yang lebih ringan, yang
pembanding lebih ringannya itu bukan pada bentuk pokok,
tetapi pada perbuatan serta syarat-syarat lainnya yang sama.
Contohnya, kejahatan meninggalkan bayi karena takut
diketahui melahirkan pada Pasal 308 jika dibandingkan
kejahatan meninggalkan anak pada Pasal 305.
RANGKUMAN
Dalam KUHP terdapat 7 (tujuh) dasar yang menyebabkan tidak dapat
dipidananya si pembuat, yaitu: karena cacat jiwa, daya paksa
(overmacht), pembelaan terpaksa (noodweer), pembelaan terpaksa
yang melampaui batas (noodweer excess), menjalankan perintah
undang-undang dan karena melaksanakan perintah jabatan yang sah
serta menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik.
Sedangkan dasar peniadaan pidana diluar undang-undang yaitu apa
yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara materiil dari
suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
negatif dan didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. (geen
straft zonder schuld).
Sedangkan dasar dari pemberatan hukuman bagi pelaku tindak pidana
yaitu karena melaksanakan suatu kewajiban khusus dari jabatannya,
memakai kekuasaan jabatannya, menggunakan kesempatan karena
jabatannya dan menggunakan sarana yang diberikan karena
jabatannya.
Adapun dasar-dasar dari peringanan pidana yaitu karena pelakunya
yang masih dibawah umur atau anak. Dengan disahkannya Undangundang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilananak maka Pasal 45,
46, 47 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Berdsarkan Undang-
117
undang tersebut peringanan pidana terhadap anak nakal yaitu sepertiga
dari ancaman hukuman orang dewasa dan apabila diancam dengan
hukuman mati atau seumur hidup maka terhadap anak tersebut hanya
dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 tahun penjara.
LATIHAN
1. Jelaskan, apakah yang dimaksud dengan overmacht, dan diatur
dalam Pasal berapa di dalam KUHP?
2. Apakah yang dimaksud dengan keadaan darurat, dan sebutkan 3
macam keadaan terpaksa?
3. Apakah yang dimaksud dengan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, dan apa persamaannya dengan pembelaan
terpaksa?
4. Coba saudara berikan contoh kasus dari seseorang yang
diringankan pidananya karena menjalankan perintah jabatan yang
tidak sah dengan i’tikad baik?
5. Sebutkan tiga dasar yang menyebabkan diperberatnya pidana
umum?
6. Bagaimanakah sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap anak
nakal yang melakukan tindak pidana yang diancam hukuman mati
atau penjara seumur hidup dalam kaitannya dengan peringanan
pidana atas penghapusan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP?
GLOSSARIUM
overmacht adalah daya paksa
noodweer adalah pembelaan terpaksa
noodweer excess adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas
strafuitslutingsgrondena adalah alasan penghapus pidana
requisitoir adalah tuntutan Jaksa Penuntut Umum
veroordering adalah putusan pemidanaan
118
onslag van alle rechtvervolging adalah putusan pelepasan dari
tuntutan hukum
geen straft zonder schuld adalah tiada pemidanaan tanpa kesalahan
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
H.J. Schravendijk, 1955, Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana
Indonesia, J.B. Wolters, Jakarta-Groningen.
J. Hardjawidjaja dan J.E. Jonkers, 1987, Hukum Pidana Hindia
Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta.
P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung.
Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab
Pidana, Aksara Baru, Jakarta.
Satochid Kartanegara, Tanpa Tahun, Hukum Pidana, Bagian I, Balai
Lektur Mahasiswa.
--------------------------, Tanpa Tahun, Hukum Pidana, Bagian II, Balai
Lektur Mahasiswa.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang.
Zainal Abidin, 1995, Hukum Pidana, Prapantja dan Taufieq, JakartaMakassar.
Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,
PT. Eresco, Jakarta.
119
BAB VI
PERBARENGAN TINDAK PIDANA
(CONCURSUS ATAU SAMENLOOP)
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami pengertian concursus dalam kaitannya dengan penjatuhan
hukuman
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu:
1. menjelaskan pengertian concursus, baik concursus realis maupun
concursus idealis
2. menerangkan pengertian dari perbuatan lanjutan sebagai salah satu
bentuk concursus
3. mengungkapkan penerapan hukuman terhadap ketiga jenis
concursus yang tersebut diatas.
4. memberikan contoh kasus dari setiap bentuk concursus tersebut
Concursus atau perbarengan tindak pidana ialah terjadinya dua
atau lebih tindak pidana oleh satu orang di mana tindak pidana yang
dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak
pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi
oleh suatu putusan hakim (Adami Chazawi, 2007:109). Concursus
juga diartikan sebagai beberapa perbuatan pidana yang terjadi secara
sekaligus atau serentak (Leden Marpaung, 2005:32).
Ilmu hukum pidana mengenal 3 (tiga) bentuk concursus yang
juga disebut ajaran, yakni sebagai berikut:
120
a. Concursus idealis (eendaadsche samenloop); terjadi apabila
seseorang melakukan satu perbuatan dan ternyata satu
perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan hukum
pidana
b. Concursus realis (meerdaadsche samenloop); terjadi apabila
seseorang sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan
c. Perbuatan lanjutan (voortgezette handeling); terjadi apabila
seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali,
dan di antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan
yang sedemikian eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu
harus dianggap sebagai perbuatan lanjutan.
Ketiga hal di atas merupakan suatu yang rumit dan sering
menimbulkan perdebatan dalam penanganan perkara pidana.
Agar lebih jelas, perlu pembahasan secara rinci.
1. Concursus Idealis
Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut.
(1) Jika satu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu norma
pidana, yang dipakai hanya salah satu dari norma pidana itu;
jika hukumannya berlainan, yang dipakai adalah norma
pidana yang diancam pidananya yang terberat.
(2) Jika bagi suatu perbuatan yang termasuk dalam norma
pidana umum, ada suatu norma pidana khusus, norma pidana
khusus ini saja yang harus dipakai.
Berdasakan rumusan Pasal 63 KUHP tersebut, para
pakar berusaha membuat pengertian tentang perbuatan
pidana.
Hazewinkel-Suringa menjelaskan arti perbuatan pidana
yang dimuat dalam Pasal 63 KUHP sebagai berikut.
“Perbuatan yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang
berguna menurut hukum pidana, yang karena cara
121
melakukannya, atau karena orang yang melakukannya, atau
karena objek yang ditujunya, juga merusak kepentingan
hukum, yang telah dilindungi oleh undang-undang”
(Tirtaamidjaja, 1995: 114).
Beberapa contoh dari pendapat Prof. HazewinkelSuringa di atas diutarakan sebagai berikut:
1) Seorang guru berbuat cabul dengan muridnya yang masih
di bawah umur. Kejadian tersebut melanggar tindak
pidana perlindungan terhadap anak dan salah
menggunakan kekuasaan
2) Seseorang melakukan pemerkosaan di jalan umum.
Kejadian tersebut melanggar tindak pidana pemerkosaan
dan kessusilaan di hadapan umum.
Dahulu sampai pada tahun 1932, feit diartikan sebagai
perbuatan atau tindakan materiil. Hal ini dapat diketahui dari
arrest Hoge Raad, masing-masing tanggal 15 Oktober 1917,
N.J.1917, halaman 1092, W.10170, dan tanggal 26 Mei
1930, N.J. 1930, halaman 1437, W.12200, yang antara lain
berbunyi sebagai berikut. “feit itu berarti suatu tindakan
dalam arti materiil. Perbuatan bersepeda di sebuah jalan yang
terlarang dan tanpa memakai sebuah bel itu merupakan satu
tindakan. Demikian halnya perbuatan bersepeda ke arah
yang terlarang dan tampa memakai tanda pembayaran pajak
bersepeda.”
Pendapat Hoge Raad kemudian beubah pada tahun 1932
dalam arrest-arrest sebagai berikut,
a) Arrest tanggal 15 Februari 1932, N.J. 1932 halaman 289,
W.12491. Hoge Raad berpendapat antara lain sebagai
berikut:
“Terdakwa telah mengendarai mobilnya pada
waktu ia sedang berada dalam kaeadaan mabuk. Dalam
122
pada itu mobilnya tersebut tidak dilengkapi dengan dua
buah lampu. Yang penting di dalam kenyataan yang
pertama itu adalah keadaan terdakwa, sedang di dalam
kenyataan yang kedua adalah keadaan mobilnya.
Kenyataan-kenyataan tersebut dapat dipandang sebagai
berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing merupakan
pelanggaran yang berdiri sendiri-sendiri dengan sifat
yang berbeda-beda. Bahwa dua kenyataan itu telah
timbul pada waktu yang bersamaan bukanlah merupakan
sesuatu yang bersifat menentukan. Kenyataan yang satu
tidak ada kaitan dengan kenyataan yang lain. Kenyataan
yang satu bukan merupakan syarat bagi timbulnya
kenyataan yang lain. Kenyataan tersebut dapat dipandang
sebagai kenyataan yang berdiri sendiri-sendiri. Disini
terdapat concursus realis.”
b) Arrest tanggal 13 Maret 1933, halaman 837, W. 12592.
Hoge Raad berpendapat, antara lain sebagai berikut:
“Di dalam satu kecelakaan, seorang pengemudi mobil
telah menyebabkan matinya seorang pengendara sepeda
dan telah menyebabkan seorang lainnya luka-luka pada
tubuhnya. Apa yang sesungguhnya telah terjadi itu
bukanlah satu pelanggaran, melainkan perbuatan yang
menimbulkan dua akibat yang terlarang oleh undangundang. Ini merupakan dua perbuatan....(Lamintang,
PAF, 1984:652).
Berdasarkan uraian di atas Hoge Raad menyatakan
pendapatnya terhadap concursus realis. Berdasrkan hal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang satu
bukan bagian perbuatan yang lain; perbuatan yang satu
bukan suatu keadaan, dalam mana perbuatan yang lain
123
terjadi; bahwa perbuatan itu tampak dengan nyata tidak
bersangkut paut.
Bagi concursus idealis merupakan hal sebaliknya,
yakni satu perbuatan melanggar beberapa norma pidana.
Dalam hal yang demikian, yang diterapkan hanya satu
norma pidana yakni yang ancaman hukumannya yang
terberat. Hal tersebut dimaksudkan guna memenuhi rasa
keadilan.
Selain itu Pasal 63 ayat (2) menentukan bahwa jika
ada aturan khusus, aturan umum dikesampinkan. Aturan
khusus tersebut umumnya telah mencakup semua unsur
aturan umum ditambah satu atau lebih unsur lain. Hal ini
dapat dilihat mislnya, Pasal 351 KUHP yang berbunyi:
(1) Penganiayaan dihukum....
(2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, ia
dihukum....
(3) jika perbutan itu menjadikan mati orangnya, ia
dihukum....
Hal serupa juga dapat dilihat pada Pasal 356 KUHP:
Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353,
354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya:
1e. jika sitersalah melakukan kejahatan itu kepada
ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya), atau
anaknya.
2e. Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai
negeri pada waktu atau sebab ia menjalankan
pekerjaannya yang sah.
3e. ....
2. Concursus Realis
Hal ini diatur dalam Pasal 65, 66 dan 67 KUHP. Pasal 65
KUHP berbunyi sebagai berikut:
124
(1)
Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus
dipandang sebagai perbuatan yang masing-masing berdiri
sendiri dan merupakan beberapa kejahatan yang atasnya
ditentukan hukuman pokok yang sejenis, maka satu
hukuman saja yang dijatuhkan
(2) Lama yang tertinggi dari hukuman itu adalah jumlah
hukuman-hukuman tertinggi atas perbuatan itu, tetapi tidak
boleh lebih dari hukuman yang terberat ditambah sepertiga
Pasal 66 KUHP berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang harus
dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri dan
merupakan beberapa kejahatan yang atasnya ditentukan
hukuman pokok tidak sejenis, maka setiap hukuman itu
dijatuhkan, tetapi jumlah lamanya tidak boleh melebihi
hukuman yang tertinggi ditambah sepertiga.
Pasal 70 KUHP berbunyi:
(1) jika ada gabungan secara dimaksud dalam Pasal 65 dan 66
atau antara pelanggaran dengan pelanggaran maka untuk
tiap-tiap pelanggaran itu dijatuhkan hukuman dengan tidak
dikurangi.
Mengenai concursus realis terdapat contoh kasus sebagi berikut:
S alias R (33 tahun) pada tahun 1995 sampai dengan 1996,
beberapa kali telah melakukan sodomi dengan anak lelaki
berumur sekitar 10-12 tahun. Setelah melakukan sodomi, R
menghabisi anak-anak tersebut dan meninggalkan mayat para
korban. Putusan Judex facti (No.254/Pid/B/1996/PN.Jkt. Pusat
dan No.80/Pid/1997/PT.DKI) hingga Mahkamah Agung
No.1467.K/Pid/1997) menetapkan bahwa terdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
pembunuhan berencana dan melakukan perbuatan cabul dengan
orang sejenis, yang patut diduga belum dewasa. Dengan
125
demikian, terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang
didakwakan dalam dakwaan pertama primair eks Pasal 340
KUHP tentang pembunuhan berencana jo. Pasal 65 ayat (1)
KUHP tentang perbarengan perbuatan dan dakwaan kedua eks
Pasal 292 tentang perbuatan cabul jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Kemudian Mahkamah Agung menghukum terdakwa dengan
pidana mati.
Pasal 65 dan 66 KUHP disebut menganut sistem kumulasi
sedangkan Pasal 70 KUHP disebut menganut sistem absorbsi
yang diperberat. Adapun pelanggaran dengan pelanggarann
disebut kumulasi murni. Pada penerapan kumulasi murni
terhadap pelanggaran-pelanggaran, selainn berpedoman pada
Pasal 70 KUHP, juga harus diperhatikan Pasal 30 ayat (6)
KUHP yang berbunyi sebagai berikut: Hukuman kurungan
sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.
3. Perbuatan Lanjutan (Voortgezette Handeling)
Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP yang berbunyi
sebagai berikut:
(2) Dalam hal antara beberapa perbuatan, meskipun perbuatan
itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran,
ada sedemikian hubungannya sehingga harus dipandang
sebagai satu perbuatan yang berlanjut, maka hanayalah satu
atauran hukum saja yang diberlakukan, jika berlainan, maka
dipakai aturan dengan hukuman pokok yang terberat.
Tirtaamidjaja memberi contoh perbuatan berlanjut tersebut
sebagai berikut; miksalnya A hendak berzina dengan seorang
perempuan B yang telah bersuami; A melaksanakan maksudnya
itu dengan beberapakali berzina dengan perempuan itu dalam
selang waktu yang tidak terlalu lama. Contoh keadua, A
126
menguasai kas N.V. tempat ia bekerja, memutuskan untuk
megambil untuk dirinya sendiri sebagian dari isi kas itu. Untuk
melaksanakan maksud itu, ia mengambil beberapa kali dalam
interval waktu yang tak lama suatu jumlah tertentu
(Tirtaamidjaja, 1955: 118).
Pada memorie tentang pembentukan Pasal 64 KUHP
dimuat anatara lain:
(1) bahwa beberapa perbuatan itu harus merupakan
pelaksanaan suatu keputusan yang terlarang; bahwa suatu
kejahatan yang berlanjut itu hanya dapat terjadi dari
sekumpulan tindak pidana yang sejenis;
(2) bahwa suatu pencurian dan suatu pembunuhan atau suatu
pencurian dan suatu penganiayaan itu secara bersama-sama
tidak akan pernah dapat menghasilkan suatu perbuatan
berlanjut, oleh karena
a) untuk
melaksanakan
kejahatan-kejahatan
itu,
pelakunya harus membuat lebih dari satu putusan;
b) untuk membuat keputusan-keputusan seperti itu dan
untuk melaksanakannya, pelakunya pasti memerlukan
waktu yang berbeda (Lamintang, 1984:679).
Berdasarkan penjelasan memorie diatas, para pakar
pada umumnya berpendapat bahwa “perbuatan berlanjut”
sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHP, terjadi apabila:
a) kejahatan atau pelanngaran tersendiri itu adalah
pelaksanaan dari satu kehendak yang terlarang
b) kejahatan atau pelanggaran itu sejenis
c) tenggang waktu antara kejahatan atau pelanggaran itu
tidak terlalu lama
127
RANGKUMAN
Concursus idealis terjadi apabila seseorang melakukan satu perbuatan
dan ternyata satu perbuatan tersebut melanggar beberapa ketentuan
hukum pidana. Sedangkan concursus realis; terjadi apabila seseorang
sekaligus merealisasikan beberapa perbuatan. Adapun bentuk
concursus yang ketiga yaitu perbuatan lanjutan terjadi apabila
seseorang melakukan perbuatan yang sama beberapa kali, dan di
antara perbuatan-perbuatan itu terdapat hubungan yang sedemikian
eratnya sehingga rangkaian perbuatan itu harus dianggap sebagai
perbuatan lanjutan.
GLOSSARIUM
Concursus : perbarengan tindak pidana
eendaadsche samenloop : concursus idealis
meerdaadsche samenloop : concursus realis
voortgezette handeling : perbarengan dari perbuatan berlanjut
LATIHAN
1. Jelaskan, apakah yang dimaksud dengan concursus idealis
2. Jelaskan pula, apakah yang dimaksud dengan concursus realis
3. Apa saja yang menjadi syarat suatu perbuatan dapat dikatakan
sebagi perbuatan berlanjut. Sebutkan.
4. Bagaimanakah penerapan pidana terhadap masing-masing
concursus tersebut. Jelaskan secara singkat.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
P.A.F. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Sinar Baru, Bandung.
128
Leden Marpaung, 1993, Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut)
Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.
Tirtaamidjaja, 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Fasco, Jakarta.
129
BAB VII
AJARAN KAUSALITAS
Tujuan Umum Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami ajaran kausalitas dalam hukum pidana sebagai salah satu
ajaran yang sangat penting dalam hubungannya siapa yang dapat
dipertanggungjawabkan atas pelanggaran pidana
Tujuan Khusus Pembelajaran
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan mahasiswa
mampu:
1. memahami pentingnya asas kausalitas dalam hukum pidana
2. menjelaskan kaitan asas legalitas dengan delik materiil dari hukum
pidana
3. menguraikan perbedaan antara teori conditio sine que non, teoriteori yang mengindividualisir dan teori-teori yang menggeneralisir
1. Pentingnya Ajaran Kausalitas
Apabila dilihat dari cara merumuskannya, maka tindak
pidana dapat dibedakan antara (1) tindak pidana yang dirumuskan
secara formil, disebut dengan tindak pidana formil (formeel
delicten), dan (2) tindak pidana yang dirumuskan secara materiil,
disebut dengan tindak pidana materiil (materieel delicten).
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang
dirumuskan dengan melarang melakukan tingkah laku tertentu.
Artinya dalam rumusan itu secara tegas disebutnya wujud
perbuatan tertentu yang terlarang. Perbuatan tertentu inilah yang
menjadi pokok larangan dalam tindak pidana formil. Dalam
hubungannya dengan penyelesaian tindak pidana formil,
130
kriterianya ialah pada perbuatan yang dilarang tersebut. Apabila
perbuatan terlarang selesai dilakukan, maka selesai pulalah tindak
pidana tanpa melihat atau bergantung pada akibat apa dari
perbuatan itu. Contohnya pencurian (362), apabila perbuatan
mengambil selesai, maka pencurian itu selesai. (Adami Chazawi,
2007:213)
Tindak pidana materiil ialah tindak pidana yang
dirumuskan dengan melarang menimbulkan akibat tertentu disebut
akibat terlarang. Titik beratnya larangan pada menimbulkan akibat
terlarang (unsur akibat konstitutif). Walaupun dalam rumusan
tindak pidana disebut juga unsur tingkah laku (misalnya
menghilangkan nyawa pada pembunuhan: 338 atau menggerakkan
pada penipuan: 378), namun untuk penyelesaian tindak pidana
tidak bergantung pada selesainya mewujudkan tingkah laku, akan
tetapi apakah wujud dari tingkah laku telah menimbulkan akibat
terlarang ataukah tidak. Pada pembunuhan (338) hilangnya nyawa
orang lain, atau pada penipuan telah menimbulkan akibat orang
menyerahkan benda, membuat hutang atau menghapuskan
piutang. Mewujudkan tingkah laku menghilangkan nyawa,
misalnya dengan wujud konkritnya menusuk (dengan pisau)
tidaklah demikian melahirkan tindak pidana pembunuhan, apabila
dari perbuatan menusuk itu tidak melahirkan akibat matinya
korban (Adami Chazawi, 2007:213).
Dalam hal percobaan tindak pidana materiil juga
digantungkan pada unsur akibat konstitutif, bukan pada tingkah
laku. Tingkah laku telah diwujudkan misalnya melepas tembakan,
tetapi dari wujud tingkah laku itu tidak atau belum menimbulkan
akibat terlarang yakni matinya korban, maka yang terjadi barulah
percobaan pembunuhan (338 jo 53) (Adami Chazawi, 2007:213).
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara
sempurna diperlukan 3 syarat esensial, yaitu:
131
1. terwujudnya tingkah laku
2. terwujudnya akibat (akibat konstitutif atau constitutief gevolg),
dan
3. ada hubungan kausal (causaal verband) antara wujud tingkah
laku dengan akibat konstitutif.
Tiga syarat itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan
untuk terwujudnya tindak pidana materiil atau tiga syarat diatas
adalah kumulatif. Untuk menentukan terwujudnya tingkah laku
dengan terwujudnya akibat tidak lah sulit. Akan tetapi untuk
menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar
disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit
dikarenakan seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan
oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan
yang lainnya. Contoh, seorang bapak mengendarai sepeda motor
hendak menyeberang-mengambil jalur yang lain dengan berbelok
ke kanan tanpa memperhatikan kendaraan dari arah belakang, dan
ketika itu ada sebuah mobil yang melaju dari arah belakang.
Menghadapi keadaan seperti itu si pengendara mobil menginjak
rem sekuat tenaga sehingga mengeluarkan suara gesekan ban
dijalan yang keras, yang menyebabkan bapak tadi terkejut.
Walaupun mobil tidak sampai menabrak/membentur keras sepeda
motor, namun tiba-tiba di depan mobil yang telah berhenti dan
masih duduk diatas sadel sepeda motornya,bapak itu rubuh dan
jatuh pingsan. Kemudian segera dilarikan ke rumah sakit. Di
rumah sakit ia tidak segera mendapatkan pertolongan, setengah
jam kemudian meninggal dunia. Hasil penyidikan menentukan
bahwa si pengendara mobil dissangka kurang hati-hati yang
menyebabkan orang meninggal dunia (359). Di samping itu hasil
otopsi menentukan bahwa kematian korban karena seranngan
jantung karena si korban mengidap penyakit jantung yang
sewaktu-waktu dapat kambuh dan meyebabkan kematian. Contoh
132
kasus diatas menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam praktik
hukum untuk menentukan ada tidaknya hubungan kausal antara
wujud perbuatan (pada contoh di atas: mengemudikan kendaraan
dengan tiba-tiba menginjak rem) dengan akibat yang timbul yang
menyebabkan kematian bapak tadi.
Pada peristiwa di atas, terdapat beberapa faktor yang
berpengaruh sehingga pada ujungnya menimbulkan kematian.
Rangkaian faktor itu ialah:
1. korban berbelok kanan-menyeberang dengan tiba-tiba
2. pengemudi mobil dengan sekuat tenaga menginjak rem
3. adanya bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal;
menyebabkan
4. korban terkejut; menyebabkan
5. kambuhnya penyakit jantung korban
6. tidak segera mendapatkan pertolongan medis.
2. Macam-Macam Ajaran Kausalitas
Ada beberapa macam ajaran kausalitas, yang dapat
dikelompokkan kedalam 3 teori yang besar, yaitu:
1. teori conditio sine que non;
2. teori-teori
yang
mengindividualisir
(individualiserede
theorien);
3. teori-teori yang menggeneralisir (genaraliserende theorien)
ad. 1. Teori Conditio Sine Que Non
Teori ini berasal dari Von Buri, seorang ahli hukum
Jerman yang pernah menjabat sebagai Presiden reichtsgericht
(Mahkamah Agung Jerman), yang menulis dua buku mengenai
hukum ialah (1) Uber Kausalitat und deren verantwortung, dan (2)
Die Kausalitat und ible strafrechtliche Beziebungen. Tentang
ajaran yang pertama kali dicetuskan oleh beliau dalam tahun 1873
133
ini, menyatakan bahwa penyebab adalah semua faktor yang ada
dan tidak dapat dihilangkan untuk menimbulkan suatu akibat.
Teori ini tidak membedakan mana faktor syarat dan mana
faktor penyebab, segala sesuatu yang masih berkaitan dalam suatu
peristiwa sehingga melahirkan suatu akibat adalah termasuk
penyebabnya. Sehingga keenam faktor yang disebutkan diatas
yang menyebabkan kematian pengendara motor diatas tidak ada
yang merupakan syarat, semuanya menjadi faktor penyebab.
Semua faktor dinilai sama perananannya terhadap timbulnya
akibat yang dilarang. Tanpa salah satu atau dihilangkannya salah
satu dari rangkaian faktor tersebut tidak akan terjadi akibat
menurut waktu, tempat dan keadaan senyatanya dalam peristiwa
itu.
Teori ini memperluas pertanggung jawab dalam hukum
pidana disebabkan karena orang yang perbuatannya dari sudut
objektif hanya sekadar syarat saja dari timbulnya suatu akibat,
misalnya pada contoh diatas tadi ialah faktor pengeamudi mobil
menginjak rem dengan keras dan kemudian faktor menimbulkan
bunyi keras dari gesekan ban dengan aspal adalah sekadar faktor
syarat saja, akan tetapi karena dinilai sama dengan faktor
penyebab kematiannya secara medis adalah karena kambuhnya
penyakit jantung, sehingga si pengemudi dinilai bertanggung
jawab atas kematian bapak tadi.
Kelemahan ajaran ini ialah pada tidak membedakan antara
faktor syarat dengan faktor penyebab, yang dapat menimbulkan
tidakadilan.
Walupun teori ini memiliki kelemahan yang
mendasar, tetapi toh dalam praktik di negeri Belanda pernah juga
dianut oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu putusan (8-41929) yang menyatakan bahwa “untuk dianggap sebagai sebab
daripada suatu akibat, perbuatan itu tidak perlu bersifat umum atau
normal” (Satochid,tt:451).
134
Walaupun ada kelemahan pada ajaran ini, tetapi dengan
mudah dapat digunakan dan diterapkan pada segala peristiwa, dan
para praktisi hukum tidaklah perlu berdebat panjang dan susah
payah memikirkan untuk mencari faktor penyebab yang
sebenarnya atau faktor yang paling kuat baik secara akal maupun
ilmu pengetahuan yang menjadi penyebab atas timbulnya suatu
akibat tertentu.
Ad.2. Teori-Teori yang Mengindividualisir
Teori yang mengindividualisir, ialah teori yang dalam
usahanya mencari faktor penyebab dari timbulnya suatu akibat
dengan hanya melihat pada faktor yang ada atau terdapat setelah
perbuatan dilakukan, dengan kata lain setelah peristiwa itu
berserta akibatnya benar-benar terjadi secara konkret (post
factum). Menurut teori ini setelah peristiwa terjadi, maka diantara
sekian rangkaian faktor yang terkait dalam peristiwa itu, tidak
semuanya merupakan faktor penyebab. Faktor penyebab itu adalah
hanya berupa faktor yang paling berperan atau dominan atau
mempunyai andil yang paling kuat terhadap timbulnya suatu
akibat. Sedangkan faktor lain adalah dinilai sebagai faktor syarat
saja dan bukan faktor penyebab.
Menurut Birkmeyer, tidak semua faktor yahg tidak bisa
dihilangkan dapat dinilai sebagai faktor penyebab, melainkan
hanya terhadap faktor yang menurut kenyataannya setelah
peristiwa itu terjadi secara konkret adalah merupakan faktor yang
paling dominan atau palaing kuat pengaruhnya terhadap timbulnya
akibat. Menurut pendapat ini pada contoh kasus diatas maka
sekiranya faktor serangan penyakit jantung yang paling dominan
peranannya terhadap kematian pengendara motor tersebut.
Sedangkan faktor lainnya bukanlah sebagai faktor penyebab dari
matinya orang tersebut.
135
Walaupun teori ini lebih baik daripada yang sebelumnya,
pada teori yang mengindeividualisir ini terdapat kelemahan
berhubung adanya kesulitan dalam dua hal, yaitu:
a. dalam hal kriteria untuk menentukan faktor mana yang
mempunyai pengaruh yang paling kuat, dan
b. dalam hal apabila faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari
satu dan sama kuat pengaruhnya terhadap akibat yang timbul.
Oleh karena terdapat kelemahan-kelemahan itu,
menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi sebagian ahli hukum
terhadap teori-teori yang mengindividualisir, maka timbullah
teori-teori yang menggeneralisir.
Ad.3. Teori-teori yang Menggeneralisir
Teori yang menggeneralisir adalah teori yang dalam
mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh
atau berhubungan dengan timbulnya akbiat adalah dengan melihat
dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal
serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.
Persoalannya ialah bagaimana cara menentukan, bahwa suatu
sebab itu pada umunya secara wajar dan menurut akal dapat
menimbulkan suatu akibat? Membahas mengenai persoalan ini,
maka timbulah dua pendirian, yakni pendirian yang subjektif yang
disebut dengan toeri adequat subjektif, dan pendirian objektif yang
kemudian disebut dengan teori adequat objektif.
a. Teori Adequat Subjektif
Teori adequat subjektif dipelopori oleh J. Von Kries, yang
menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut
kejadian yang normal adalah adequat (sebanding) atau layak
dengan akibat yang timbul, yang faktor mana diketahui atau
136
disadari oleh si pembuat sebagai adequat
akibat tersebut.
Sebenarnya teori adequat subjektif dari
teoeri kausalitas yang murni, karena di
penentuan tentang unsur kesalahan pada diri
1990:71).
untuk menimbulkan
von kries ini bukan
dalamnya tersimpul
si pembuat (Sudarto,
b. Teori Adequat Objektif
Teori ini dipelopori RUMELIN yang ajarannya disebut dengan
teori obyectif nachtragliche prognose atau peramalan yang
objektif, karena dalam mencari causa dari suatu akibat pada faktor
objektif yang dipikirkan dapat menimbulkan akibat.
Contoh teori adequat subjektif dengan teori adequat objektif
serta penerapannya: seorang juru rawat telah dilarang oleh dokter
untuk memberikan obat tertentu pada seorang pasien, diberikan
juga olehnya. Sebelum obat itu diberikan pada pasien, ada orang
lain yang bermaksud membunuh si pasien dengan memasukkan
racun pada obat itu yang tidak diketahui oleh juru rawat. Karena
meminum obat yang telah dimasuki racun, maka racun itu
menimbulkan akibat matinya pasien.
c. Ajaran kausalitas dalam Hal Perbuatan Pasif.
Dilihat dari macam unsur tingkah lakunya, tindak pidana
dibedakan antara tindak pidana aktif atau tindak pidana positif
(tindak pidana comissi) dan tindak pidana pasif atau tindak pidana
negatif (tindak pidana omisi). Tindak pidana omisi adalah tindak
pidana yang terwujudnya oleh sebab perbuatan pasif atau tidak
berbuat aktif, tidak berbuat mana melanggar suatu kewajiban
hukum (rechtsplicht) untuk berbuat sesuatu.
137
RANGKUMAN
Dalam hal terwujudnya tindak pidana materiil secara sempurna
diperlukan 3 syarat esensial, yaitu: terwujudnya tingkah laku
terwujudnya akibat, dan ada hubungan kausal antara wujud tingkah
laku dengan akibat konstitutif. Tiga syarat itu adalah satu kesatuan
yang tidak terpisahkan untuk terwujudnya tindak pidana materiil atau
tiga syarat diatas adalah kumulatif. Untuk menentukan terwujudnya
tingkah laku dengan terwujudnya akibat tidak lah sulit. Akan tetapi
untuk menentukan bahwa suatu akibat yang timbul itu apakah benar
disebabkan oleh terwujudnya tingkah laku adalah hal yang sulit
dikarenakan seringkali timbulnya suatu akibat tertentu disebabkan
oleh banyak faktor yang saling berkaitan antara yang satu dengan
yang lainnya.
LATIHAN
1. Jelaskan alasan pentingnya asas kausalitas bagi hukum pidana?
2. Apakah kaitan asas legalitas dengan delik materiil dari hukum
pidana?
3. Jelaskan perbedaan antara teori conditio sine que non, teori-teori
yang mengindividualisir dan teori-teori yang menggeneralisir?
GLOSSARIUM
formeel delicten : delik formil
materieel delicten : delik materil
post factum: masa setelah terjadinya tindak pidana
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang.
138
BAB VIII
DELIK ADUAN
Tujuan Umum Pembelajaran (TUP):
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami tentang delik aduan absolut dan delik aduan relatif.
Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP):
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan:
(1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang perbedaan delik biasa
dan delik aduan.
(2) Mahasiswa mampu menjelaskan perbedaan antara delik aduan
absolut dan delik aduan relatif.
(3) Mahasiswa mampu menyebutkan/menunjukkan contoh-contoh
delik aduan yang terdapat dalam KUHP.
(4) Mahasiswa mampu menyebutkan pihak yang berhak
mengajukan pengaduan dan tenggang waktu pengajuan aduan.
A. PENGERTIAN DELIK ADUAN (KLACHT DELICT)
Delik aduan (klacht delict), ditinjau dari arti kata klacht atau
pengaduan berarti tindak pidana yang hanya dapat dilakukan
penuntutan setelah adanya laporan dengan permintaan untuk
dilakukan penuntutan terhadap orang atau terhadap orang tertentu.
Pada umumnya seseorang telah melakukan kejahatan, maka
demi kepentingan umum, maka ia akan dituntut oleh Pemerintah
melalui aparat-aparatnya yaitu Jaksa (Penuntut Umum).
Akan tetapi dalam hal kejahatan-kejahatan tertentu, Jaksa
tidak akan mengadakan penuntutan, karena kepentingan orang yang
menderita oleh kejahatan tersebut adalah jauh lebih besar jika
dibandingkan dengan kepentingan umum.
139
Dalam delik aduan ini, jaksa hanya akan melakukan
penuntutan, bila telah ada pengaduan dari orang yang menderita
dirugikan oleh kejahatan tersebut, umpamanya dalam suatu rumah
tangga terjadi pencurian, kemudian setelah diusut ternyata yang
melakukan pencurian tersebut adalah isterinya sendiri. Dalam
peristiwa ini, Jaksa tidakakan melakukan penuntutan sebelum pihak
yang dirugikan itu (suami) mengajukan pengaduan lebih dahulu.
Delik-delik aduan ini tidak terdapat pengaturannya dalam
Buku ke I KUHP, tetapi dijumpai secara tersebar di dalam Buku
ke-II. Tiap-tiap delik yang oleh pembuat undang-undang dijadikan
delik aduan, menyatakan hal itu secara tersendiri, dan dalam
ketentuan yang dimaksud sekaligus juga ditunjuk siapa-siapa yang
berhak mengajukan aduan tersebut.
Pembentuk undang-undang telah mensyaratkan tentang
adanya suatu pengaduan bagi delik tertentu. Adapun sebabnya
menurut von Liszt, Berner dan von Swinderen (Lamintang, 1984:
207) adalah bahwa dipandang secara obyektif pada beberapa delik
tertentu itu kerugian material atau ideal dari orang yang secara
langsung telah dirugikan harus lebih diutamakan daripada
kerugian-kerugian lain pada umumnya.
Menurut Memorie van Toelichting (MvT), disyaratkannya
suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu itu adalah
berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di
dalam suatu kasus tertentu itu mungkin akan mendatangkan
kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan tertentu
dari orang yang telah dirugikan daripada kenyataan, yakni jika
penguasa telah tidak ikut campur di dalam kasus tersebut. Sehingga
keputusan apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu
dituntut atau tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada
pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan.
140
Dalam KUHP Indonesia hanya dikenal lembaga delik
aduan ini khusus dalam bidang kejahatan saja. Sungguhpun dalam
suatu kejahatan itu telah ditentukan adanya delik aduan, baik
absolut maupun relatif, namun dalam hukum acaranya tetap
berlaku azas opportunitas.
Jadi walaupun yang mengajukan perkara tersebut telah
membuat pengaduan, namun Jaksa Penuntut Umum masih tetap
berhak mendeponeer perkara yang bersangkutan bila dianggap
perkara itu patut untuk tidak diajukan ke pengadilan.
Kemudian timbul pula persoalan baru, yaitu apakah dapat
dilakukan pengusutan/penyidikan (opsporing) sebelum kejahatan
aduan itu diajukan oleh yang berhak.
Menurut Jonkers, penyidikan dapat dilakukan, karena
KUHP hanya melarang penuntutan (vervolging) dan tidak pernah
melarang pengusutan/penyidikan (opsporing). Bukankah, sering
penting sekali pengusutan itu segera dilakukan setelah kejahatan
tersebut diketahui, demi untuk mencegah dihilangkannya bahan
bukti (Utrecht, tt: 247).
B. PEMBAGIAN DELIK ADUAN
Perihal delik aduan ini, pada umumnya dibagi dalam dua jenis
yaitu:
1. Delik aduan yang absolut (mutlak).
Tresna menamainya absolute klachtdelict. Yang dimaksud
dengan delik aduan absolut ini ialah tiap-tiap kejahatan yang
dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan penuntutan oleh
penuntut umum bila telah diterima aduan dari yang berhak
mengadukannya.
Sejalan dengan itu Pompe mengemukakan absolute klachtdelict
atau delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya,
adanya suatu pengaduan itu merupakan voorwaarde van
141
vervolgbaarheid atau merupakan syarat agar pelakunya dapat
dituntut.
Kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jenis delik aduan
absolut ini ialah misalnya:
a. Kejahatan penghinaan (Pasal-pasal 310 s/d 319 KUHP),
kecuali penghinaan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
seseorang pejabat pemerintah, yang waktu diadakan
penghinaan tersebut dalam berdinas resmi. Maka terhadap si
penghina ini dapat dituntut oleh Jaksa tanpa menunggu
aduan dari si pejabat tersebut. Dasar penuntutan ini ialah
adanya kepentingan umum yang lebih besar dari
kepentingan orang yang bersangkutan.
b. Kejahatan-kejahatan susila (Pasal 284 tentang zina; Pasal
287 tentang bersetubuh dengan perempuan yang bukan
isterinya yang umurnya belum sampai 15 tahun; Pasal 293
tentang membujuk seseorang yang masih belum dewasa dan
belum pernah berkelakuan tidak pantas, menjalankan
perbuatan cabul: Pasal 332 tentang melarikan seorang
perempuan).
c. Kejahatan membuka rahasia (Pasal 322 KUHP)
2.
Delik aduan relatif (relatieve klachtdelict)
Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang
dilakukan, yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan,
tetapi khusus terhadap hal-hal tertentu, justeru diperlakukan
sebagai delik aduan.
Menurut Pompe, relatieve klachtdelict atau delik aduan
relatif adalah delik dimana adanya suatu pengaduan itu hanyalah
merupakan suatu voorwaarde voor vervolgbaarheid atau suatu
syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana antara
orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu terdapat
142
suatu hubungan yang bersifat khusus (Pompe dalam Lamintang,
1984: 208)
Dalam melakukan penuntutan terhadap delik aduan relatif
ini, dapat dipisah-pisahkan penuntutannya. Misal si A dan si B
sama-sama melakukan pencurian harta benda ayahnya, tetapi
kemuadian oleh si ayah hanya si B yang diminta untuk dituntut,
sedang si A tidak dituntut. Jadi umumnya delik aduan relatif ini
hanya dapat terjadi dalam kejahatan-kejahatan:
(1) Pencurian dalam keluarga , dan kejahatan terhadap harta
kekayaan yang lain yang sejenis (Pasal 367 KUHP);
(2) Pemerasan dan ancaman (Pasal 370 KUHP);
(3) Penggelapan (Pasal 376 KUHP);
(4) Peniupuan (Pasal 394 KUHP).
Jadi dalam delik aduan relatif ini penuntutan dapat dipisahpisahkan, artinya bila ada beberapa orang yang melakukan
kejahatan, tetapi penuntutan dapat dilakukan terhadap orang
yang diingini oleh yang berhak mengajukan aduan, maka
sebaliknya dalam delik aduan absolut, maka bila yang satu
dituntut, dengan sendirinya semua pelaku dari kejahatan itu
harus dituntut juga.
Pada delik aduan absolut itu adalah cukup apabila pengadu
hanya menyebutkan peristiwanya saja, sedang pada delik-delik
aduan relatif, pengadu juga harus menyebutkan orangnya yang
ia duga telah merugikan dirinya (Pompe dalam Lamintang,
1984: 209).
Orang juga sering mengatakan bahwa suatu pengaduan pada
delik-delik aduan absolut itu adalah onsplitbaar atau tidak dapat
dipecahkan, dan tidaklah demikian halnya dengan suatu
pengaduan pada delik-delik aduan relatif yang splitbaar atau
dapat di pecahkan (Lamintang, 1984: 209).
143
Disamping pengaduan, dikenal pula istilah “pelaporan”. Dari
segi hukum, antara istilah pengaduan dan pelaporan terdapat
perbedaan-perbedaan sebagai berikut:
Pelaporan
Dapat dilakukan terhadap
semua kejadian dan semua
perbuatan, baik yang bersifat
pidana maupun tidak, yang
biasanya dilakukan bila ada
permintaan dari orang yang
berkepentingan.
Dapat dilakukan oleh semua
orang terhadap kejadian yang
diketahuinya.
Dapat dijadikan dasar
penuntutan, tetapi bukanlah
merupakan suatau keharusan.
Pengaduan
Hanya dapat dilakukan terhadap
perbuatan pidana, dan hanya
oleh orang-orang tertentu saja.
Hanya dapat diadukan oleh
orang-orang tertentu yang
merasa dirugikan.
Menjadi syarat untuk
diadakannya penuntutan.
C. PIHAK YANG BERHAK MENGAJUKAN PENGADUAN
DAN TENGGANG WAKTU MENGAJUKAN PENGADUAN
Pihak mana atau siapa yang sesungguhnya berhak mengajukan
aduan dan berapa lama tenggang waktunya, menegenai hal ini
dapat dilihat ketentuan Pasal 72 KUHP:
(1) Jika kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan,
dilakukan kepada orang yang umurnya belum cukup enam
belas tahun dan lagi belum dewasa, atau kepada orang yang
dibawah penilikan (curatele) lain orang bukan dari sebab
keborosan, maka selama dalam keadaan-keadaan itu, yang
berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil
(2) Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan,
maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali yang
mengawas-awas atau curator (penilik) atau majelis yang
menjalankan kewajiban wali pengawas-awas atau yang
menjalankan kewajiban curator itu, atas pengaduan isteri,
144
seorang kaum keluarga dalam turunan yang lurus, atau kalau
ini tak ada atas pengaduan kaum keluarga dalam turunan yang
menyimpang sampai derajat yang ketiga.
Dari ketentuan tersebut jelaslah bahwa yang berhak
mengajukan aduan tersebut ialah wakilnya yang sah dalam perkara
sipil, atau wali, atau pengaduan orang tertentu (khusus untuk orang
yang belum dewasa). Tetapi selain orang-orang yang tersebut di
atas yang paling utama yang berhak mengajukan aduan tersebut
ialah orang yang langsung dikenai kejahatan itu.
Adapun tenggang waktu untuk mengajukan aduan tersebut
diatur dalam Pasal 74 ayat (1) KUHP:
Pengaduan hanya boleh dimasukkan dalam tempo enam bulan
sesudah orang yang berhak mengadu mengadu mengetahui
perbuatan yang dilakukan itu, kalau ia berdiam di Negara
Indonesia ini, atau dalam tempo sembilan bulan sesudah ia
mengetahui itu, kalau berdiam di luar Negara Indonesia.
Jadi kalau seseorang mempunyai hak untuk mengajukan
aduan, ia hanya boleh memasukkan aduan tersebut paling lama
dalam jangka waktu enam bulan setelah kejadian itu diketahuinya,
tetapi kalau kebetulan ia berdiam di luar negeri, maka tenggang
waktu itu paling lama sembilan bulan.
Dalam penjelasan KUHP disebutkan, kalau pengaduan
tersebut diajukan secara tertulis, maka tenggang waktu untuk
mencabutnya adalah tiga bulan kemudian, terhitung semenjak hari
dimasukkan. Dan untuk yang diajukan secara lisan, terhitung
semenjak hari pemberitahuan dengan lisan, atau untuk yang
dikirim, terhitung semenjak tanggal pengiriman.
Apabila yang berhak mengajukan aduan tersebut meninggal
sebelum ia sempat memasukkan pengaduan, maka yang berhak
mengajukan aduan tersebut adalah ibu, bapak, atau suami yang
masih hidup, kecuali nyata-nyata bahwa yang meninggal itu tidak
menginginkan diadakannya penuntutan (Pasal 73 KUHP).
145
Menurut MvT, penentuan dari suatau jangka waktu adalah
untuk menentukan suatu vervaltermijn atau untuk menentukan
suatu jangka waktu tertentu yang apabila di dalam jangka waktu
yang telah ditentukan itu orang yang berwenang untuk mengajukan
suatu pengajuan telah tidak mengajukan suatu pengaduan, maka
haknya untuk mengajukan pengaduan menjadi batal.
Di samping itu agar seseorang yang berwenang untuk
mengajukan pengaduan itu jangan sampai terlalu lama memikul
beban menurut undang-undang dan agar perkaranya dapat dituntut
secepat mungkin (van Hamel dalam Lamintang, 1984: 210)
Khusus terhadap kejahatan zina, pengaduan dapat dicabut
setiap saat, sebelum sidang pengadilan dimulai, dan setiap aduan
yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi untuk hal yang serupa
(Tresna, 1959: 67).
D. PENGATURAN DELIK ADUAN DALAM RKUHP
Pengaturan Delik Aduan (Tindak Pidana Aduan) dalam RKUHP
terdiri dari 6 pasal, dimulai dari pasal 25 sampai dengan Pasal 30.
Pasal 25
(1) Dalam hal-hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas
dasar pengaduan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
secara tegas dalam Undang-Undang.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan
dilakukan kepada semua peserta, walaupun tidak disebutkan
oleh pengadu.
Penjelasan:
Ayat (1)
Beberapa tindak pidana hanya dapat dituntut berdasarkan
pengaduan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam
beberapa kejadian, mengingat kepentingan pribadi dari orang yang
dikenai tindak pidana akan lebih besar dirugikan apabila perkara
146
itu dituntut dibandingkan dengan kerugian kepentingan umum bila
tidak dilakukan penuntutan.
Ayat (3)
Pada tindak pidana aduan mutlak, pengaduan tidak dapat dipisahpisahkan, dalam arti walaupun disebutkan nama orang tertentu
dalam pengaduan, penuntutan dilakukan atas semua peserta yang
oleh pengadu tidak disebutkan. Dalam penuntutan tindak pidana
aduan mutlak yang dipentingkan adalah menyebut tindak
pidananya. Dalam pengaduan relatif pengaduan dapat dipecah,
dalam arti penuntutan hanya dapat dilakukan terhadap orang yang
disebut dalam pengaduan dan tidak dapat dilakukan terhadap
orang lain.
Pasal 26
(1) Dalam hal orang yang terkena tindak pidana aduan belum
berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada
di bawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah
wakilnya yang sah menurut hukum perdata.
(2) Dalam hal wakil yang sah tidak ada, maka penuntutan
dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang
menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas, atau atas
dasar pengaduan istrinya atau keluarga sedarah dalam garis
lurus.
(3) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
ada, maka peng-aduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam
garis menyamping sampai derajat ketiga.
Pasal 27
(1) Dalam hal yang terkena tindak pidana aduan meninggal dunia
dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29
maka pengaduan dapat dilakukan oleh orang tuanya, anaknya,
suaminya, atau isterinya yang masih hidup.
(2) Hak pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur,
jika yang meninggal sebelumnya tidak menghendaki
penuntutan.
147
Pasal 28
(1) Pengaduan
dilakukan
dengan
cara
menyampaikan
pemberitahuan dan permohonan untuk dituntut.
(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
secara tertulis kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 29
(1) Pengaduan hams diajukan dalam tenggang waktu :
a. 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak
mengadu bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia; atau
b. 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal orang yang berhak
mengadu mengetahui adanya tindak pidana, jika yang berhak
mengadu bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik
Indonesia.
(2) Jika yang berhak mengadu lebih dari seorang, maka tenggang
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak
masing-masing mengetahui adanya tindak pidana.
Pasal 30
(1) Pengaduan dapat ditarik kembali dalam waktu 3 (tiga) bulan
terhitung sejak tanggal pengaduan diajukan.
(2) Pengaduan yang ditarik kembali tidak dapat diajukan lagi.
RANGKUMAN:
1. Disyaratkannya suatu pengaduan pada beberapa delik tertentu
berdasarkan pertimbangan bahwa ikut campurnya penguasa di
dalam suatu kasus tertentu mungkin akan mendatangkan
kerugian yang lebih besar bagi kepentingan-kepentingan
tertentu dari orang yang telah dirugikan. Sehingga keputusan
apakah seseorang yang telah merugikan itu perlu dituntut atau
tidak oleh penguasa, hal tersebut diserahkan kepada
pertimbangan orang yang telah merasa dirugikan.
148
2. Delik aduan absolut (absolute klachtdelict) adalah tiap-tiap
kejahatan yang dilakukan, yang hanya akan dapat diadakan
penuntutan oleh penuntut umum bila telah diterima aduan dari
yang berhak mengadukannya.
3. Delik aduan relatif adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan,
yang sebenarnya bukan merupakan kejahatan aduan, tetapi
khusus terhadap hal-hal tertentu, justeru diperlakukan sebagai
delik aduan.
LATIHAN:
1. Kemukakan pengertian delik aduan
2. Jelaskan perbedaan antara delik biasa dan delik aduan.
3. Jelaskan perbedaan antara delik aduan absolut dan delik aduan
relatif
4. Sebutkan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam jenis delik
aduan absolut dan delik aduan relatif.
5. Sebutkan pihak-pihak yang berhak mengajukan pengaduan
6. Jelaskan tentang tenggang waktu pengajuan aduan dan maksud
pembuat undang-undang membatasi tenggang waktu
pengajuan pengaduan tersebut.
7. Kemukakan perbedaan antara pelaporan dan pengaduan
GLOSSARIUM:
absolute klachtdelict: delik aduan absolut yaitu delik yang pada
dasarnya, adanya suatu pengaduan itu merupakan syarat
agar pelakunya dapat dituntut.
relatieve klachtdelict: delik aduan relatif yaitu delik dimana
adanya suatu pengaduan itu hanyalah merupakan suatu
syarat untuk dapat menuntut pelakunya, yaitu bilamana
149
antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan
itu terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus
voorwaarde van vervolgbaarheid: syarat agar pelakunya dapat
dituntut.
DAFTAR PUSTAKA
Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana
Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya.
Tresna, R. 1959. Azas-Azas Hukum Pidana. Jakarta. P.T.Tirta Ltd.
150
BAB IX
PERCOBAAN (POGING)
Tujuan Umum Pembelajaran (TUP):
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami tentang percobaan sebagai suatu perbuatan yang dapat
dipidana.
Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP):
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan:
(1) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan syarat-syarat
percobaan.
(2) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tujuan dipidananya
pelaku percobaan melakukan kejahatan.
(3) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Niat (voornemen)
pada percobaan.
(4) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang adanya permulaan
pelaksanaan kejahatan.
(5) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang tidak selesainya
perbuatan diluar kehendak si pelaku.
(6) Mahasiswa mampu menyebutkan/menunjukkan contoh-contoh
percobaan kejahatan yang dapat dipidana.
(7) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang jenis-jenis percobaan.
A. PENGERTIAN DAN SYARAT-SYARAT PERCOBAAN
(POGING)
Pengaturan mengenai percobaan dirumuskan dalam Pasal 53 ayat
(1) KUHP yaitu:
Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman, bila
maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan
itu dan perbuatan itu tidak jadisampai selesai hanyalah lantaran
hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri.
151
Dari rumusan di atas terlihat bahwa penyusun KUHP telah
membuat percobaan untuk melakukan kejahatan sebagai suatu
perbuatan yang terlarang dan mengancam pelakunya dengan suatu
hukuman.
Adapun mengenai pengertian dari percobaan itu sendiri
ternyata pembentuk undang-undang tidak memberikan penjelasan
tentang apa yang dimaksudkan dengan percobaan itu. Untuk itu ada
baiknya melihat kepada penjelasan dalam MvT tentang
pembentukan Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan:
Dengan demikian, percobaan untuk melakukan kejahatan itu
adalah pelaksanaan untuk melakukan suatu kejahatan yang
telah dimulai, tetapi ternyata tidak selesai ataupun suatu
kehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu yang telah
diwujudkan di dalam suatu permulaan pelaksanaan”.
Penjelasan MvT di atas ternyata tidak banyak membantu
untuk dapat memahami maksud dari percobaan, bahkan penjelasan
tersebut telah pula menimbulkan masalah berkenaan dengan istilah
“permulaan pelaksanaan” yang harus ditafsirkan sebagai permulaan
pelaksanaan maksud si pelaku ataukah permulaan pelaksanaan
kejahatan itu sendiri.
Ada tiga syarat agar pelaku dapat dihukum karena telah
melakukan suatu percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu:
1. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa
orang itu haruslah mempunyai suatu maksud untuk
melakukan kejahatan tertentu.
2. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu
begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang
tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk
melakukan kejahatan yang ia kehendaki, dan
3. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki
itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalahmasalah yang tidak tergantung pada kemauannya, atau
dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk
melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah
152
disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar
kemauannya sendiri.
B. TUJUAN/MAKSUD PEMIDANAAN PERCOBAAN
KEJAHATAN
Pembentuk undang-undang merasa perlu pula membebani
tanggungjawab pidana dengan mengancam pidana pada si pembuat
yang belum sepenuhnya mewujudkan tindak pidana secara
sempurna sebagaimana yang dirumuskan undang-undang.
Adapun alasannya dapat dilihat dari dua sudut ialah bahwa
walaupun kejahatan itu tidak terselesaikan secara sempurna:
1. Pada orang yang mempunyai niat (voornemen) jahat untuk
melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya
(sudut subjektif); dan
2. Pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa
permulaan pelaksanaan (sudut objektif) dari suatu kejahatan,
dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum
yang dilindungi undang-undang.
Agar niat jahat orang itu tidak berkembang lebih jauh dengan
diwujudkan sedemikian rupa ke dalam pelaksanaan sehingga
pelaksanaan menjadi selesai sempurna, maka untuk pencegahannya
kepada orang seperti itu telah patut diancam pidana.
Untuk itu perlulah orang yang telah memenuhi syarat-syarat
percobaan kejahatan sebagaimana ditentukan undang-undang
dibebani tanggung jawab dengan memberikan ancaman pidana
terhadap si pembuatnya, walaupun ancaman pidana lebih ringan
daripada jika kejahatan itu telah diselesaikannya secara sempurna.
Andaikata tidak dirumuskan tersendiri (yang bersifat umum)
seperti pada Pasal 53, sudah barang tentu sipembuat yang tidak
menyelesaikan tindak pidana (kejahatan) tidaklah dipidana.
153
Dari apa yang diterangkan di atas, maka tidak dapat lain
bahwa percobaan kejahatan ini bukan suatu tindak pidana (yang
berdiri sendiri) seperti pada istilah delik percobaan, akan tetapi
ketentuan khusus dalam hal memperluas pembebanan
pertanggungjawaban pidana, bukan saja terhadap si pembuat yang
menyelesaikan tindak pidana dengan sempurna, tetapi
dipertanggungjawabkan pula dengan dipidananya bagi si pembuat
yang karena perbuatannya belum menyelesaikan suatu tindak
pidana secara sempurna. Demikian juga, percobaan bukan unsur
tindak pidana, tetapi tindak pidana yang tidak sempurna, yang pada
dasarnya tidak dipidana. Tindak pidana yang tidak sempurna
tidaklah disebut sebagai tindak pidana, walaupun diancam pidana
sebagaimana juga tindak pidana sempurna. Dengan demikian,
percobaan juga bukan perluasaan arti dari tindak pidana.
Dari pemuatan syarat-syarat dipidananya percobaan kejahatan
dalam Pasal 53 ayat (1) tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi
syarat-syarat tersebut Pasal 53 (1), dan secara a contrario ada
pula percobaan kejahatan yang tidak dapat dipindana, yakni
jika salah satu syarat itu tidak dipenuhi, misalnya pada syarat
ke tiga: percobaan kejahatan yang pelaksanaanya tidak selesai
disebabkan karena kehendaknnya sendiri atau yang biasa
disebut dengan pengunduran diri sukarela (vrijwillige
terugtred)
2. disamping itu juga ada percobaan kejahatan yang secara tegas
oleh undang-undang ditetapkan percobaanya tidak dipidana,
contoh pada percobaan penganiayaan biasa (351 ayat 5),
percobaan penganiayaan hewan (302 ayat 4) percobaan perang
tanding (184 ayat 5).
3. percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (bahkan
ditegaskan dalam Pasal 54).
154
4. percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak
pidana dolus, dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa.
Karena istilah niat di sini adalah artinya kesengajaan yang
mengenai tindak pidananya disadari dan atau dikehendaki.
Sedangkan culpa adalah sikap batin yang ceroboh tidak
berhati-hati atau tidak memiliki dan menggunakan pemikiran
yang cukup baik mengenai perbuatannya maupun akibatnya
sehingga melahirkan suatu tindak pidana culpa.
5. percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak
pidana omisionis), sebab tindak pidana omisionis unsure
perbuatannya ialah berupa tidak berbuat, yang dengan tidak
berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan
pada percobaan kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan
yang in casu haru berbuat.
6. juga ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam
rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaanya.
C. PENGERTIAN NIAT (VOORNEMEN)
Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat di sini diartikan sama
dengan kesengajaan (opzettelijk). Tetapi sebaliknya dalam hal
kesengajaan yang mana, di sini telah menimbulkan perbedaan
pandangan, walaupun pada umumnya para pakar hukum
berpendapat luas, ialah terhadap semua bentuk kesengajaan
(Hanindyopoetro, 1967:4).
Demikian juga dalam praktik hukum mengikuti pandangan
sebagian besar para pakar hukum dengan menganut pendapat yang
luas.
Pendapat yang sempit telah dianut oleh VOS yang
memberikan arti niat di sini sebagai kesengajaan sebagai tujuan
saja. Di Indonesia, Moeljatno yang berpendapat bahwa niat tidak
sama dengan kesengajaan.
155
Adanya persoalan tentang niat yaitu apakah niat untuk
melakukan kejahatan mempunyai kedudukan yang sama pada
percobaan sebagaimana kedudukan kesengajaan pada delik dolus
yang selesai menurut yurisprudensi (HR 6 Pebruari 1951) niat
sering disamakan dengan kesengajaan (Schaffmeister. Dkk, 2007:
211).
D. Pengertian Adanya Permulaan Pelaksanaan (Begin Van
Uitvoering)
Sebagaimana diketahui dalam hal percobaan kejahatan, terdapat
dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subjektif dan ajaran
objektif yang berbeda pokok pangkal dalam memandang hal
permulaan pelaksanaan. Perbedaan ini disebabkan karena ukuran
yang digunakan adalah berbeda. Ajaran subjektif bertitik tolak dari
ukuran batin si pembuat, sedangkan ajaran objektif bertitik tolak
dari sudut wujud perbuatannya.
Patutnya dipidana terhadap percobaan kejahatan menurut
pandangan subjektif, adalah terletak pada niat jahat orang itu yang
dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi.
Sebaliknya menurut ajaran objektif, patutnya dipidana percobaan
kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai
mengancam kepentingan hukum yang dilindungi undang-undang,
jadi telah mengandung sifat berbahaya bagi kepentingan hukum.
Berdasarkan pijakan masing-masing dari kedua ajaran itu,
maka menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Ajaran subjektif lebih menafsirkan istilah permulaan
pelaksanaan dalam Pasal 53 KUHP sebagai permulaan pelaksanaan
dari niat sehingga bertolak dari sikap batin yang berbahaya dari
pembuat dan menamakan perbuatan pelaksanaan sebagai setiap
perbuatan yang menunjukkan bahwa pembuat secara psikis
sanggup melakukannya.
156
Van Dijk, tentang hal ini menyatakan: “Ada perbuatan
pelaksanaan kalau pembuatnya dihadapkan dengan waktu dan
tempat akan dilakukannya kejahatan, membuktikan dirinya
sanggup melakukan perbuatan yang diperlukan untuk
menyelesaikannya” (Schaffmeister. Dkk, 2007: 212).
Simons, tentang permulaan pelaksanaan ini menjelaskan
bahwa:
“Pada kejahatan dengan rumusan formal ada percobaan yang
dapat dipidana kalau perbuatan yang dilarang dalam undangundang mulai dilakukan. Pada kejahatan dengan rumusan
materiil, kalau perbuatan mulai dilakukan yang menurut
sifatnya segera dapat menimbulkan akibat yang tidak
dikehendaki oleh undang-undang yang tanpa dilakukannya
perbuatan lebih lanjut, dapat menimbulkan akibat itu” (dalam
Schaffmeister. Dkk, 2007: 212).
Menurut ajaran subjektif ada permulaan pelaksanaan ialah
apabila dari wujud perbuatan yang dilakukan telah tampak secara
jelas niat atau kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana.
Contohnya orang yang tidak biasa berhubungan dengan senjata
tajam, suatu hari sekonyong-konyong dia mengasah pedang, dari
wujud mengasah pedang ini telah tampak adanya niat untuk
melaksanakan kejahatan dengan pedang yang diasahnya itu,
misalnya pembunuhan orang. Tetapi sebaliknya menurut ajaran
objektif adanya permulaan pelaksanaan apabila dari wujud
perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari
wujud perbuatan ialah pada tindak pidana tertentu. Misalnya
seseorang berhadapan orang yang dibencinya telah mengokang
pistolnya dengan mengarahkan moncong senjata itu kearah orang
yang dibencinya.
Perbuatan mengokang pistol dianggap
merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan. Sedangkan
menarik pelatuk pistol adalah perbuatan pelaksanaan pembunuhan.
157
Untuk melihat dimana letak batas antara perbuatan persiapan
dengan perbuatan permulaan pelaksanaan menurut pandangan
subjektif, diberikan contoh: A. berkehendak untuk membunuh. B.
musuhnya. Untuk hal ini, A melakukan rangkaian tingkah laku
sebagai berikut:
a. suatu hari ia pergi naik taksi menuju pasar
b. masuk ke sebuah toko
c. di toko itu dia membeli sebuah pedang
d. dia kembali ke rumah
e. dilihatnya pedang itu tumpul dia kemudian mengasah pedang
itu sampai tajam
f. kemudian disimpannya di almari
g. pada malam harinya dengan membawa pedang dia berjalan
menuju rumah calon korban, yakni B
h. di muka pintu dia mengetuk pintu dan dibukakan oleh istri B,
dan A dipersilahkan masuk – dia masuk dan duduk disalah
satu kursi
i. ketika B masuk ruang tamu dan duduk di kursi, cepat A
mencabut pedang dari balik bajunya
j. A mengayunkan pedang yang terhunus kea rah leher B dan
mengenai bahu, (istri B berteriak – banyak orang berdatangan
hendak menolong. A melarikan diri). Dari lukanya tidak
menyebabkan kematian.
Dalam pembentukan KUHP, Menteri Modderman dengan
tegas menyerahkan pilihan antara ajaran objektif dan subjektif
kepada ilmu pengetahuan dan peradilan karena menurut beliau,
keduanya lebih sanggup mencari jalan yang tepat daripada pembuat
undang-undang. Memang yurisprudensi sedikit demi sedikit sempat
membangun jalur kebijakan untuk menghadapi kebhinekaan situasi
dalam praktik yang tidak dapat diatur secara tuntas oleh ketentuan
hukum yang abstrak. Jadi penting pula mengetahui pertumbuhan
jalur kebijakan dari Hoge Raad.
158
Pada tahun 1934 Hoge Raad mengeluarkan putusan
pembakaran di kota Eindhoven.
A dan B bersepakat untuk membakar rumah dengan
persetujuan pemiliknya yang sedang bepergian, dengan
maksud untuk membagi pembayaran asuransi yang akan
diperoleh di antara mereka bertiga. Mereka membuat sumbu
panjang dari pakaian bekas, mencelupkannya ke dalam bensin
dan menaruhnya di seluruh rumah. Ujung sumbu diikat dengan
“pistol gas” dalam dapur. Picu dari pistol diikat dengan tali
yang melalui jendela dapur ditarik melewati tembok luar
sehingga semua peralatan itu dapat dipergunakan dari luar
rumah. Setelah menjadikan rumah “siap bakar”, mereka pergi
dengan maksud kembali pada waktu malam untuk menarik tali
tadi. Bau bensin mengganggu hidung orang lewat dan
terjadilah kerumunan orang di sekitar rumah itu. Mudah
dipahami bahwa waktu para calon penarik tadi kembali dan
melihat kerumunan itu, merka takut dan mengambil langkah
seribu.
Persoalannya apakah disini hanya ada perbuatan persiapan
ataukah juga ada perbuatan pelaksanaan yang bukan karena
kehendak pelaku-pelakunya (takut karena kerumunan orang yang
menciumbau bensin) tadi mengakibatkan delik pembakaran menjadi
tidak selesai.
Hoge Raad memutuskan pelaku tidak dapat dipidana karena
belum ada permulaan pelaksanaan sebagaimana tersebut dalam pasal
53 KUHP.
Dalam perkembangan dari yurisprudensinya, HR dalam
putusannya mengarah pada ajaran objektif yang diperlunak. Hal ini
terlihat pada putusan Cito (Oktober 1978) sebagai berikut:
Dua orang bersenjata dan bertopeng dengan membawa tas
menuju ke Biro Penyiaran Cito dengan maksud melakukan
perampokan. Mereka membunyikan bel, tetapi pintu tidak dibuka.
Pada saat itu merekaditangkap polisi. HR menimbang bahwa
159
perbuatan tersebut merupakan perbuatan pelaksanaan karena
“menurut bentuk perwujudannyadari luar harus dipandangsebagai
diarahkan untuk menyelesaikan kejahatan”. Jadi dalam hal ini
terjadilah percobaan yang dapat dipidana yaitu kejahatan pencurian
dengan kekerasan (Pasal 365 KUHP).
Perbuatan dua orang tersebut hanya dapat merupakan
permulaan perampokan bersenjata, sedangkan karena perilakunya
bersama-sama satu unsur perumusan delik telah terpenuhi.
Menurut van Veen yang memberikan catatan dibawah
putusan Cito tersebut, pada delik yang dikualifikasi lebih banyak
terdapat perbuatan pelaksanaan daripada delik pokoknya. Delik
yang dikualifikasi didahului oleh bayangannya. Dengan perkataan
lain, bersenjata, bertopeng, dan membunyikan bel adalah mulai
melaksanakan pencurian dengan kekerasan, tetapi tidak bersenjata,
tidak bertopeng, dan mengebel bukan permulaan pelaksanaan dari
pencurian biasa (Schaffmeister. Dkk, 2007: 223).
E. ARTI PELAKSANAAN TIDAK SELESAI BUKAN SEBAB
DARI KEHENDAKNYA SENDIRI
Pada syarat ketiga ini, ada 3 unsur atau hal yang penting
untuk dibicarakan, ialah:
a. tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan?
b. tentang apa yang dimaksud dengan pelaksanaan yang tidak
selesai, atau pelaksanaan dengan syarat apa yang disebut
dengan pelaksanaan yang tidak selessai?
c. Tentang apa yang dimaksud dengan bukan semata-mata
disebabkan karena kehendaknya sendiri?
Mengenai pelaksanaan (uitvoering) ini atau lengkapnya
perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen) adalah perbuatan
yang didahului oleh permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering),
dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang
160
diperbuat, artinya ialah inilah satu-satunya perbuatan yang
langsung dapat melahirkan kejahatan secara sempurna, tanpa harus
ada perbuatan lain lagi. Ukuran ini memang harus objektif, karena
perbuatan pelaksanaan itu sendiri adalah sesuatu yang objektif.
Dalam hal ini tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan
adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan
unsure perbuatan terlarang dalam rumusan kejahatan tertentu, atau
dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari unsure perbuatan
terlarang yang dirumuskan dalam undang-undang. Misalnya pada
pencurian (362) perbuatan pelaksanaan adalah merupakan
pelaksanaan dari perbuatan mengambil (wegnemen). Sedangkan
dalam hal tindak pidana materiil, perbuatan pelaksanaan adalah
tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat terlarang yang dirumuskan dalam
undang-undang, atau dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari
perbuatan yang dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh
undang-undang. Misalnya pada pembunuhan (338), perbuatan
yang dapat menimbulkan kematian: menembak, memukul,
membacok, meracun, menusuk, dan lain-lain yang tidak terbatas
wujudnya.
Mengenai hal yang kedua, tentang pelaksanaan yang tidak
selesai. Hal ini pun memiliki ukuran atau indicator yang tidak
sama dengan tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Pada
tindak pidana formil, pelaksaan yang tidak selesai artinya ialah
perbuatan itu telah dimulai laksanakan yang pada saat atau sedang
berlangsungnya kemudian terhenti, dalam arti apa yang menjadi
syarat selesainya perbuatan itu tidak terpenuhi. Apa yang menjadi
syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi, adalah berlainan untuk
setiap kejahatan, bergantung dari unsur perbuatan apa yang
ditetapkan dalam rumusan kejahatan.
161
Agak lain dengan syarat pelaksanaan yang tidak selesai pada
tindak pidana materiil, yang dalam hal ini ada 2 kemungkinan,
yaitu:
1. karena tindak pidana yang dirumuskan secara materiil ini, pada
intinya melarang menimbulkan akibat tertentu, dalam arti
intinya larangan adalah pada menimbulkan akibat tertentu, dan
bukan melarang melakukan perbuatan tertentu, maka
pelaksaan tidak selesai artinya bila dari wujud perbuatan itu
tidak menghasilkan akibat yang terlarang. Bisa jadi wujud
perbuatannya tidak terhenti, melainkan telah penuh sempurna
dilaksanakan
seperti
kejahatan
selesai,
misalnya
menghilangkan nyawa (338) telah menarik pelatuk dan
senapan meledak – peluru mengenai tubuh, tetapi tidak pada
bagian yang mematikan, perbuatan itu tidak menimbulkan
akibat matinya korban.
2. pada tindak pidana materiil bisa juga pelaksanaanya terhenti
seperti pada tindak pidana formil, dan tentu akibat terlarang
tidak timbul karena akibat ini merupakan syarat esensial.
Misalnya perbuatan menembak, dia telah menarik pelatuk
senapan, tetai tidak meledak. Perbuatan menembak sempurna
ialah bila memenuhi syarat: menarik pelatuk senapan dan
senapan meledak. Contoh yang lain, perkosaan (285), laki-laki
itu memaksa untuk bersetubuh dengan mengeluarkan pisau,
tetapi si wanita melawan- pisau terlepas dan beralih ketangan
calon korban, dan persetubuhan/menyetubuhi tidak terjadi.
Mengenai tidak selesai pelaksanaan semata-mata bukan
sebab dari kehendaknya sendiri, titik berat pada syarat ketiga
untuk dapat dipidananya percobaan kejahatan ialah tidak selesainya
pelaksanaan semata-mata disebabkan oleh hal diluar kehendaknya.
Arti kebalikannya ialah, apabila tidak selesainya pelaksanaan itu
162
disebabkan oleh kehendaknya sendiri (vrijwillige terugtred) maka
orang itu tidak dipidana.
Pengunduran diri sukarela syaratnya ialah pada keadaan
tertentu dari suatu perbuatan (misalnya telah mengarah moncong
pistol ke tubuh korban), dia dapat menruskan pelaksanaan
kejahatan itu tanpa ada halangan (misalnya dengan hanya tinggal
menarik pelatuknya), namun kesempatan untuk meneruskan
pelaksanaanya tidak dipergunakannya (dia tidak menarik pelatuk
pistolnya). Sedangkan motif apa seseorang mengundurkan diri
secara sukarela tidak penting, misalnya takut berdosa, rasa kasihan,
atau takut masuk penjara. Tetapi lain jika pengunduran diri itu
disebabkan oleh adanya halangan bersifat fisik yang menekan
kehendaknya sedemikian rupa sehingga terpaksa menghentikan
usaha membongkar brankas, karena tidak berhasil membuka
pintunya.
Dari keterangan yang ada dalam MvT WvS Belanda dapat
disimpulkan bahwa pengunduran diri sukarela ini tidak dipidana,
disebabkan karena dua hal, ialah:
1. untuk menjamin tidak dipidananya bagi orang yang
sebenarnya mampu untuk meneruskan kejahatan, tapi dengan
sukarela dia tidak meneruskannya. Bahwa bagi orang yang
seperti ini harus dikesampingkan anggapan bahwa dia mampu
melakukan kejahatan, karena telah ternyata kebalikannya
(pertimbangan psikologis).
2. Usaha yang paling efektif untuk mencegah kejahatan ialah
dengan cara memberikan perlindungan hukum untuk tidak
dipidananya bagi orang yang sesungguhnya mampu
meneruskan kejahatan, tetapi dengan sukarela tidak
meneruskannya (adalah alasan utilitis) (Soedarto, 1987:22).
163
Halangan-halangan ini adalah berupa halangan fisik dari luar
diri si pembuat, yang halangan mana tertentu pada 2 macam,
yaitu:
a. tertuju pada fisik si pembuat, sehingga dia tidak mampu
menyelesaikan kejahatan. Halangan ini baik datangnya
dari pihak korban (misalnya ditodong pisau, korban lebih
kuat dan melawan), dari pihak ketiga (misalnya sedang
menodong dengan pisau-tangannya dipukul orang),
maupun dari alatnya (misalnya menodong dengan pistol
yang lupa mengisi peluru), yang menyebabkan secara fisik
si pembuat menjadi tidak dapat menyelesaikan
pelaksanaan kejahatan.
b. tertuju pada, psychis si pembuat, oleh sebab adanya
tekanan yang bersifat fisik yang sedemikian rupa yang
memaksa seseorang (psychis) mengundurkan diri dari
kejahatan yang telah dimulai dan belangsung
dilakukannya. Misalnya seorang penodong nasabah bank
yang menyerah dengan meninggalkan tas korban di
tempat, karena takut mati dikeroyok massa yang sedang
mengepungnya, atau pencuri yang meninggalkan barang
yang telah diangkatnya karena tidak kuat fisiknya untuk
terus membawa pergi barang itu. Bisa juga orang yang
mengundurkan diri sukarela karena telah berjam-jam
berusaha membuka brankas namun tidak berhasil, ini pun
dapat dipidana.
F. PERCOBAAN TIDAK MAMPU
Percobaan tidak mampu diartikan sebagai percobaan yang
betapapun lanjutnya tidak akan dapat menyelesaikan kejahatan
karena sarananya atau tujuannya tidak mampu. Ketidakmampuan
sarana atau tujuan dibedakan antara yang mutlak dan yang nisbi.
164
Tidak mampu mutlak adalah sarana atau tujuan yang dalam
keadaan apa pun tidak dapat mendatangkan hasil yang dikehendaki.
Tidak mampu nisbi adalah sarana atau tujuan pada umumnya dapat
mendatangkan hasil yang dikehendaki, tetapi dalam keadaan
tertentu tidak demikian
Jadi percobaan tidak mampu ada empat kemungkinan yaitu:
Percobaan tidak mampu:
1. Percobaan tidak mampu mutlak
a. Sarana tidak mampu mutlak
Contoh: percobaan pembunuhan dengan membubuhkan
gula yang dikira pelakunya racun.
b. Tujuan tidak mampu mutlak
Contoh: Percobaan pengguguran kandungan yang ternyata
tidak ada kehamilan
2. Percobaan tidak mampu nisbi
a. Sarana tidak mampu nisbi
Contoh: Percobaan pembunuhan dengan menggunakan
racun yang dosisnya terlampau kecil.
b. Tujuan tidak mampu nisbi
Contoh: Percobaan pencurian dari kas yang ternyata
kosong.
Dapat dipahami bahwa adanya pertentangan antara ajaran
objektif dan subjektif berkenaan percobaan tidak mampu. Ajaran
subjektif tidak membutuhkan perbedaan antaratidak mampu nisbi
dan tidak mampu mutlak. Semua bentuk percobaan tidak mampu,
baik nisbi maupun mutlak dapat dipidana menurut ajaran subjektif.
Dalam teori ini percobaan yang dapat dipidana berdasarkan
sikap batin jahat dari pembuat dan ini adalahidentik dalam kedua
hal tersebut. Sebaliknya, teori objektif menginginkan hanya
percobaan yang tidak mampu mutlak yang tidak dapat dipidana
165
sebab percobaan ini dalam keadaan apapun tidak menimbulkan
bahaya objektifbagi tertib hukum.
Lain halnya dengan percobaan yang tidak mampu nisbi.
Sarana atau tujuan yang dipilih pada umumnya tidak
mengesampingkan diselesaikannya kejahatan yang dituju, tetapi
dalam keadaan konkret kemungkinan hasilnya berkurang dan
karena inilah dianggap menimbulkan bahaya bagi tertib hukum.
G. PENGATURAN PERCOBAAN DALAM RKUHP
Percobaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana diatur dalam Paragraf 4, mulai Pasal 17 sampai dengan
Pasal 20.
Pasal 17
(1) Percobaan melakukan tindak pidana dipidana, jika pembuat
telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak
pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau
tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang
dilarang.
(2) Ada permulaan pelaksanaan, jika:
a) pembuat telah melakukan perbuatan melawan hukum;
b) perbuatan itu langsung mendekati terjadinya tindak
pidana;
c) perbuatan yang dilakukan itu diniatkan atau ditujukan
untuk terjadinya tindak pidana.
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini tidak memberikan definisi tentang
percobaan, tetapi hanya menentukan unsur-unsur kapan seseorang
disebut melakukan percobaan tindak pidana, pembuat tindak
pidana telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan tindak
pidana dan pelaksanaan itu tidak selesai atau tidak mencapai basil
atau akibat yang dilarang.
166
Permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan yang sudah
sedemikian rupa berhubungan langsung dengan tindak pidana,
sehingga dapat dinilai bahwa pelaksanaan tindak pidana telah
dimulai. Perbuatan pelaksanaan dibedakan dari perbuatan
persiapan, karena jika perbuatan yang dilakukan masih
merupakan persiapan, maka perbuatan tersebut tidak dipidana.
Suatu perbuatan dinilai merupakan permulaan pelaksanaan, jika :
a. perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum;
b. secara obyektif, apa yang telah dilakukan sudah mendekati
dengan tindak pidana yang dituju. Atau dengan kata lain,
sudah mampu atau mengandung potensi mewujudkan tindak
pidana tersebut; dan
c. secara subyektif, dilihat dari niat pembuat tindak pidana tidak
diragukan lagi bahwa perbuatan yang dilakukan itu ditujukan
untuk mewujudkan tindak pidana.
Pasal 18
(1) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat
tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri
secara sukarela, maka pembuat tidak dipidana.
(2) Dalam hal setelah permulaan pelaksanaan dilakukan, pembuat
dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau
akibat perbuatannya, maka pembuat tidak dipidana.
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
telah menimbulkan kerugian atau menurut peraturan
perundang-undangan telah merupakan tindak pidana tersendiri,
maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak
pidana tersebut.
Penjelasan:
Ketentuan dalam Pasal ini mengatur percobaan yang tidak
dipidana, yaitu apabila tidak selesainya perbuatan itu atas
kemauan pembuat tindak pidana. Namun apabila percobaan itu
167
telah menimbulkan kerugian atau telah merupakan suatu tindak
pidana tersendiri, maka is tetap dipidana.
Pasal 19
Percobaan melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan
pidana denda Kategori I, tidak dipidana.
Pasal 20
Dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin terjadinya tindak
pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau
ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap
telah melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana
tidak lebih dari 1/2 (satu per dua) maksimum pidana yang
diancamkan untuk tindak pidana yang dituju.
Penjelasan:
Ketidakmampuan alat yang digunakan atau ketidakmampuan
objek tindak pidana yang dituju dapat teijadi secara relatifatau
secara mutlak.
Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek
secara relatif, percobaan itu telah membahayakan kepentingan
hukum, hanya karena sesuatu hal tindak pidana tidak teijadi.
Dalam hal ketidakmampuan alat atau ketidakmampuan objek
secara mutlak, tidak akan ada bahaya terhadap kepentingan
hukum. Oleh karena itu berdasarkan hal tersebut maka yang
dipergunakan adalah taxi percobaan subjektif.
H. YURISPRUDENSI (PUTUSAN TERHADAP KASUS
PERCOBAAN)
1. Kasus Pembakaran di Kota Eindhoven (HR 19-3-1934)
Para terdakwa telah membuat rencana yang canggih
untuk membakar sebuah rumah di Jalan Ampere Eindhoven.
Para penghuni rumah sepakat memberikan bantuan dengan
keluar rumah pada hari yang ditentukan. Pada hari itu juga
pembuat utama dengan pembantunya menaruh pakaian bekas
168
yang sudah direndam bensin secara rapat berjajar sehingga
merupakan semacam sumbu di semua kamar, tangga, dan gang
dalam rumah tersebut. Dalam dapur sepucuk pistol gas diikat
pada kompor gas. Picunya diikat tali panjang yang melalui
jendela dapur ditarik sampai tergantung di tembok luar.
Dengan menarik tali dari luar rumah, maka akan timbul
kebakaran karena percikan api dari pistol tersebut.
Percobaan yang dilakukan polisi kemudian membuktikan
bahwa pakaian bekas itu segera terbakar. Ketika pembuat
utama pada malam harinya kembali ke rumah tersebut untuk
menyelesaikan tugasnya menarik tali, dia menjumpai
kerumunan orang yang agaknya terganggu hidungnya karena
bau bensin. Merasa ulahnya sudah diketahui, pembuat
ketakutan lalu mengambil langkah seribu. Adegan penarikan
tali seperti telah ditentukan dalam skenario tidak
dilangsungkan. Para terdakwa dituduh melakukan percobaan
pembakaran yang menimbulkan bahaya umum bagi barang
(Pasal 187 KUHP) dan pembantuan pada percobaan tersebut.
Mereka dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Den Boch
kaerena yang dituduhkan bukan perbuatan pelaksanaan,
melainkan hanya perbuatan persiapan. Selain itu, dianggap
mungkian ada pengunduran sukarela. Jaksa naik banding dan
Pengadilan Tinggi Den Haag menjatuhkan pidana empat tahun
terhadap terdakwa utama dan pembantunya dipidana enam
bulan penjara.
Para terdakwa minta kasasi dan sebagai salah satu sarana
diajukan bahwa pembakaran masih dalam tahap persiapan
sehingga tidak ada percobaan yang dapat dipidana. Hoge Raad
sependapat dengan itu, membatalkan putusan Pengadilan Tingi
dan melepaskan para terdakwa dari semua tuntutan hukum.
Putusan mendapat banyak kecaman, kecuali dari penjahat Oss
169
yang terlibat dalam pembakaran tersebut yang tentu saja
mensyukurinya.
Hoge Raad
Bantahan bahwa perbuatan yang terbukti baru
merupakan perbuatan persiapan dan belum perbutan
pelaksanaan adalah beralasan. Menururt Pasal 53 KUHP,
untuk dapat dipidana percobaan melakukan kejahatan
disyaratkan bahwa niat dari pembuatnya ternyata dari
permulaan pelaksanaan, yaitu permulaan pelaksanaan dari
kejahatan, yang dalam hal ini berupa pembakaran. Telah
dimulainya pembakaran itu, jadi telah dilakukan perbuatan
yang tidak hanya-seperti dipertimbangkan oleh pengadilan
tinggi-harus ada untuk melaksanakan pembakaran yang
diniatkan, tidak dapat ditujukan pada apapun lainnya serta
berhubungan langsung dengan kejahatan yang dituju-sifat-sifat
mana juga dapat dimiliki perbuatan persiapan-tetapi perbuatan
mana menurut pengalaman-kecuali kalau terjadi sesuatu yang
tidak terduga-tanpa perbuatan pembuat lebih lanjut akan
menimbulkan kebakaran.
Kalau hubungan langsung itu diartikan oleh pengadilan
tinggi sebgai hubungan segera dengan akibat, pendapat itu
sesungguhnya tidak benar karena di sini tidak ada perbuatan
yang menurut sifatnya menentukan dan perbuatan itu juga
belum dimulai.
Perbuatan perbuatan yang terbukti tidak memenuhi
syarat perbuatan pelaksanaan. Benar pembuat telah
menyiapkan segala sesuatu untuk membakar rumah, tetapi
perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan pelaksanaan dari
pembakaran, perbuatan yang tanpa kejadian tak terdugamisalnya, macetnya pistol gas, tidak menyalanya pakaian
170
bekas yang dicelup bensin, tidak menjalarnya api, dan
sebagainya-atau tanpa perbuatan dari orang lain- seperti
ditepisnya tangan yang hendak menarik ujung tali dan
sebagainya-dapat menimbulkan kebakaran, tidak tercakup
dalam pembuktian dan juga tidak terdapat dalam alat-alat
pembuktian.
Pengadilan tinggi memang menyatakan terbukti bahwa
pelaksanaan kejahatan tidak terjadi hanya karena suatu
keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terdakwa.
Maksud jahatnya terhalang sebelum api dinyalakan olehnya
dan khususnya pengadilan tinggi menganggap bahwa
kehadiran kerumunan orang tersebut menghalangi terdakwa
untuk menarik tali, bahkan menghalangi munculnya terdakwa
di tempat itu. Akan tetapi justru hal-hal inilah yang
membuktikan tidak adanya perbuatan yang berada cukup dekat
dengan penyelesaian kejahatan untuk dapat dianggap sebagai
perbuatan pelaksanaan.
Komentar:
Pengadilan tinggi menentukan bahwa pembuat utama
akan menyelesaikan perbauatan pelaksanaan secara lengkap
apabila dia tidak dihalangi oleh keadaan yang tidak bergantung
pada kehendaknya. HR menganggap bahwa penilaian yuridis
pengadilan tinggi mengenai perbuatan yang terbukti adalah
tidak tepat. Tidak hanya pada soal percobaan tidak mampu-di
sinipembedaan lebih berarti-tapi juga dalam soal dimana harus
menarik garis antara perbuatan persiapan dan perbuatan
pelaksanaan, harus dibedakan antara ajaran subjektif yang
diperlunak atau ajaran objektif yang diperlunak karena
pembedaan antara perbautan persiapan dan perbuatan
pelaksanaan tanpa kriteria objektif adalah tidak mungkin.
Ajaran yang paling subjektif pun harus mengajukan
ciri-ciri objektif untuk menilai ketentuan dari niat. Soalnya,
171
hanya sampai seberapa penyelesaian itu harus didekati. Tidak
diragukan bahwa putusam ini menuju ke arah yang sangat
objektif. Tidak ada perbuatan positif lagi setelah pembuat
utama meninggalkan rumah tersebut. Hoge Raad tidak
mensyaratkan hubungan langsung dengan kejahatan, tetapi
suatu perbuatan yang menurut pengalaman yang menuju ke
penyelesaian, kecuali kalau terjadi sesuatu yang tidak terduga.
Di sini perbuatan yang menuju ke pembakaran adalah
penarikan tali yang tergantung di tembok luar. Sekalipun
demikian, Hoge Raad menegaskan bahwa perbuatan menarik
tali tidak harus dilakukan tetapi dikehendaki kepastian bahwa
perbuatan akan diselesaikan kalau tidak terhalang. Kepastian
ini tidak ada karena terdakwa menyangkal keras (Dari
Taverne, catatan di bawah putusan) 230
2. Kasus Martil (HR 29-5-1951)
Setelah rencana-rencana terdahulu tidak berhasil,
seorang wanita yang telah menikah bersepakat dengan
pacarnya untuk menghilangkan nyawa suaminya dengan cara
berikut. Si pacar diberi kunci untuk memasuki rumah pada
malam hari, kemudian masuk ke kamar tidur dan memukul
pingsan si suami, lau menyeretnya ke dapur untuk diracuni
dengan gas sampai mati. Si pacar melakukan perannya
menurut skenario, tetapi si suami agak bergoyang dalam
tidurnya ketika kepalanya hendak dimartil sehingga palu
besiini tidak tepat mengenai sasarannya. Si suami terbangun
dan mengadakan perlawanan. Si pacar masih menghadiahkan
beberapa pukulan lagi, tetapi akhirnya lari.
Sama seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi pun
memidana terdakwa karena percobaan pembunuhan berencana
dengan pidana penjara selama 10 tahun. Pembela terpidana
mengajukan sarana-sarana kasasi sebagai berikut:
a. Dari alat-alat bukti tidak dapat disimpulkan bahwa
kejahatan yang diniatkan tidak selesai semata-mata karena
keadaan yang tidak bergantung pada kehendak terpidana.
172
Selain itu hambatan-hambatan pribadi juga
terpidana untuk menyelesaikan perbuatannya.
b. Perbuatan-perbuatan yang terbukti secara
dikualifikasikan
sebagai
“percobaan
berencana” karena memukul dengan martil
dianggap sebagai perbuatan pelaksanaan dari
yang diniatkan.
menghalangi
tidak benar
pembunuhan
belum dapat
pembunuhan
Hoge Raad
a. Mengingat jalannya kejadian tidak ada sesuatu yang
menunjukkan bahwa tanpa melesetnya pukulan pertama,
terbangunnya korban dan-meskipun dipukul berkali-kali
oleh terdakwa-perlawanan keras si korban, maka terdakwa
menghentikan pelaksanaannya lebih lanjut dari niatnya dan
dari kejahatan. Tidak ada sesuatu yang menghalangi
pengadilan untuk menarik kesimpulan dari alat-alat bukti
bahwa tidak selesainya pelaksanaannya lebih lanjut, hanya
akibat dari keadaan yang terbukti dan yang tidak
bergantung pada kehendak terdakwa.
b. Kalau seseorang dengan pertimbangan yang masak dan
secara tenang berniat memukul pingsan orang lain dan
kemudian membunuhnya dengan peracunan gas,
terdapatlah permulaan pelaksanaan kalau dia dengan
sengaja membawa sebuah martil dan memukulkannya
dengan keras ke kepala orang lain tadi yang sedang tidur.
Dengan perbuatan itu, dia mulai melaksanakan tahap
pertama dari rencana untuk merampas nyawa yang hendak
dia wujudkan dalam dua tahap. Tahap pertama berisi
penyerangan yang sedemikian keras dan langsung terhadap
keadaan normal dari korban sehingga dalam keadaan tanpa
kehendak dan tanpa daya pasti menjadikan korban
keracunan hanya dengan membuka saluran gas.
173
Komentar:
Mempersoalkan ini dari pengertian permulaan
pelaksanaan juga ditentukan oleh hakikat dari hukum pidana
yang bersangkutan. Dalam hukum pidana yang mengenal
pembuat sebagai pengertian pusat, permulaan pelaksanaan
hanya dianggap ada kalau suatu perbuatan menunjukkan
ketetapan dari niat (van Hamel) atau kalau pembuat dengan
perbuatannya
menunjukkan
secara
psikis
sanggup
melakukannya (van Dijck). Akan tetapi, hukum pidana
Belanda tetap merupakan hukum pidana perbuatan
(daadstrafrecht) dan mengutamakan berbahayanya perbuatan
yang tidak dapat dibiarkan dalam masyarakat hukum.
Yang penting adalah kehendak dan sikap batin yang
nyata dari perbuatan. Perbuatan menjadi manifestasi riil,
perwujudan yang sesungguhnya dari kehendak jahat.
Kehendak jahat yang mengejawantah dalam tertib hukum
memerlukan pidana. Juga, kalu ini disetujui, garis antara
permulaan pelaksanaan yang dapat dipidana dan persiapan
yang tidak dapat dipidana, tetap sulit ditentukan. Dapat
dipahami bahwa di sini seringkali hanya dimungkinkan
putusan in concreto. Mungkin inilah arti dari rumus yang
sering digunakan oleh Hoge Raad sehubungan dengan memori
penjelasan “hubungan yang sedemikian langsung sehingga
dapat dikatakan ada permulaan pelaksanaan”. Rumusan ini
sedikit berbau “bahasa dukun” kalau bukan kesaksian
kelemahan (testimonium paupertatis) karena beralasan untuk
bertanya hubungan itu harus seberapa eratnya? Kepastian
bahwa terdakwa sungguh akan menyelesaikan hanya diperoleh
hakim jika percobaan itu adalah apa yang dinamakan
percobaan selesai, yaitu kalau pembuat sudah melakukan
semua yang diharapkan dari seorang pembuat. Ada permulaan
pelaksanaan kalau perbuatan menurut penampilan di luar
ditujukan untuk menyelesaikan kejahatan. Niat pembuat dapat
ikut menentukan arah itu. Undang-undang hanya mensyaratkan
bahwa niat ternyata dari permulaan pelaksanaan, tidak terbukti.
Yurisprudensi lama menetapkan syarat terlampau berat
yang berkaitan dengan kemungkinan bahwa pembuat akan
174
membatalkan rencananya kalau dihadapkan pada kenyataan
sehingga mengabaikan kenyataan dari bekerjanya perbuatan
yang telah ia lakukan dalam masyarakat hukum (dari BVA
Roling, catatan di bawah putusan)
RANGKUMAN:
Ada tiga syarat agar pelaku dapat dihukum karena telah
melakukan suatu percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu:
1. Adanya suatu maksud atau voornemen, dalam arti bahwa
orang itu haruslah mempunyai suatu maksud untuk
melakukan kejahatan tertentu.
2. Telah adanya suatu permulaan pelaksanaan atau suatu
begin van uitvoering, dalam arti bahwa maksud orang
tersebut telah ia wujudkan dalam suatu permulaan untuk
melakukan kejahatan yang ia kehendaki, dan
3. Pelaksanaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki
itu kemudian tidak selesai disebabkan oleh masalahmasalah yang tidak tergantung pada kemauannya, atau
dengan perkataan lain tidak selesainya pelaksanaan untuk
melakukan kejahatan yang telah ia mulai itu haruslah
disebabkan oleh masalah-masalah yang berada di luar
kemauannya sendiri.
Alasan dapat dipidananya percobaan kejahatan:
1. Pada orang yang mempunyai niat (voornemen) jahat untuk
melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya
(sudut subjektif); dan
2. Pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa
permulaan pelaksanaan (sudut objektif) dari suatu kejahatan,
dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum
yang dilindungi undang-undang.
175
LATIHAN:
1. Jelaskan pengertian dan syarat-syarat percobaan.
2. Apakah yang dimaksud dengan Niat (voornemen) dalam
percobaan.
3. Jelaskan tentang perbedaan antara perbuatan persiapan dan
permulaan pelaksanaan
4. Jelaskan arti tidak selesainya pelaksanaan kejahatan diluar
kehendak si pelaku
5. Jelaskan tujuan dipidananya pelaku percobaan melakukan
kejahatan.
6. Sebutkan beberapa perkecualian percobaan untuk tindak
pidana tertentu
7. Buatlah 3 contoh kasus percobaan kejahatan yang dapat
dipidana.
8. Jelaskan apa yang dimaksudkan dengan percobaan tidak
mampu.
GLOSSARIUM:
Begin van uitvoering: Suatu permulaan pelaksanaan dalam arti
bahwa maksud orang tersebut telah ia wujudkan dalam suatu
permulaan untuk melakukan kejahatan yang ia kehendaki.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Percobaan &
Penyertaan). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Abidin Farid. A.Z. & A.Hamzah. 2006. Bentuk Bentuk Khusus
Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan
Delik) dan Hukum Penitensier. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
176
Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana
Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya.
R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
177
BAB X
PENYERTAAN
Tujuan Umum Pembelajaran (TUP):
Setelah mempelajari pokok bahasan ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami tentang pelaku dan keturutsertaan (daderschap en
deelneming).
Tujuan Khusus Pembelajaran (TKP):
Setelah mempelajari pokok bahasan ini, diharapkan:
(1) Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian
deelneming atau keturutsertaan.
(2) Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dader atau pelaku.
(3) Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk deelneming.
(4) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian doen plegen atau
menyuruh melakukan.
(5) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian medeplegen atau
turut melakukan
(6) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian uitlokken atau
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
(7) Mahasiswa mampu menyebutkan pengertian doen plegen atau
menyuruh melakukan
(8) Mahasiswa mampu menyebutkan perbedaan antara beberapa
bentuk deelneming
A. PENGERTIAN DEELNEMING
Ajaran mengenai deelneming itu menurut van Hamel, sebagai suatu
ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran
mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut
rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh
178
seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannya telah
dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerjasama yang
terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material
(Lamintang, 1984: 567).
Ketentuan berkenaan dengan masalah pelaku (dader) dan
keikutsertaan (deelneming) terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Pasal 55 KUHP menyatakan:
(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau
turut melakukan perbuatan itu;
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai
kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu
daya atau dengan memberikan kesempatan, daya upaya
atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan
sesuatu perbuatan.
(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang
boleh dipertanggungkan kepadanya hanyalah perbuatan yang
dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan
akibatnya
Pasal 56 KUHP:
Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:
1e. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan
itu;
2e. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya
atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.
Adapun maksud ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP
dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang
dengan maksud untuk mengatur pertanggungjawaban menurut
hukum pidana dari setiap orang yang terlibat di dalam suatu tindak
pidana-kecuali pelakunya sendiri-, oleh karena tanpa adanya
ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 55 KUHP
itu, orang-orang tersebut menjadi tidak dapat dihukum.
179
B. PENGERTIAN PELAKU (DADER)
Pada delik formal, yakni delik-delik yang dapat dianggap telah
selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu segera setelah pelakunya
itu melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang
ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu
yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa
yang harus dipandang sebagai seorang dader itu, memang tidak
sulit. Orang tinggal menemukan siapa yang sebenarnya telah
melakukan pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang
telah disebutkan di dalam undang-undang. Lain halnya apabila
orang harus memastikan siapa yang harus dipandang sebagai
seorang dader pada delik-delik material, oleh karena untuk dapat
memastikan siapa yang harus dipandang sebagai dader itu,
sebelumnya orang harus telah dapat memastikan apakah suatu
tindakan itu dapat dipandang sebagai suatu penyebab dari suatu
akibat yang timbul ataupun tidak.
Jadi nampak jelas bahwa apa yang disebut dengan
causaliteitsleer (ajaran kausalitas) itu mempunyai arti yang sangat
penting di dalam ajaran daderschap pada khususnya dan di dalam
ajaran mengenai deelneming pada umumnya (van Hattum dalam
Lamintang, 1984: 563)
Pengertian dader atau pelaku dari suatu tindak pidana
menurut van Hamel adalah:
pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang
tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari
delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang
bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas
maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku itu
adalah orang yang dengan seorang diri telah melakukan
tindak pidana yang bersangkutan. (Lamintang, 1984: 566).
180
Pengertian dader seperti tersebut di atas dapat dibandingkan
dengan pula telah rumusan dader menurut Simons sebagai berikut:
Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan
tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang
dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti
yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan
suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau
telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan
tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan
perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur
suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undangundang, baik itu merupakan unsur-unsur subyektif maupun
unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan
untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya
sendiri atau timbul karena digerakkan pihak ketiga
(Lamintang, 1984: 567).
Tegasnya dari kedua pendapat di atas, yang dipandang
sebagai pelaku dari suatu tindak pidana yaitu dengan melihat pada
bagaimana caranya tindak pidana tersebut telah dirumuskan di
dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang.
Mengenai hal ini menurut Pompe bahwa yang dipandang
sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebutkan dalam
Pasal 55 KUHP. Hal mana telah dikuatkan oleh memori penjelasan
dimana telah dikatakan bahwa semua orang yang telah disebutkan
dalam Pasal 55 KUHP itu adalah pelaku.
C. BENTUK-BENTUK DEELNEMING
Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan
Pasal 55 dan 56 KUHP adalah:
1. Doen plegen atau menyuruh melakukan.
2. Medeplegen atau turut melakukan.
181
3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
4. Medeplichtigheid.
Ad. 1. Pengertian doen plegen atau menyuruh melakukan
Di dalam suatu doen plegen itu jelas terdapat seseorang yang
menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang
lainnya yang disuruh melakukan tindak pidana tersebut.
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, orang yang
menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana itu biasanya
disebut sebagai middellijke dader artinya seorang pelaku tidak
langsung. Ia disebut sebagai pelaku tidak langsung oleh karena ia
memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak
pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain. Sedang orang
lain yang disuruh melakukan suatu tindak pidana itu, biasanya
disebut sebagai seorang materieele dader atau seorang pelaku
material.
Menurut ketentuan Pasal 55 KUHP, seorang middellijke
dader atau seorang pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi
hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat
dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini yaitu
hukuman yang dapat dijatuhkan kepada materieele dader atau
seorang pelaku material-nya itu sendiri.
Ad. 2. Pengertian Medeplegen atau turut melakukan.
Oleh kerena di dalam bentuk deelneming selalu terdapat
seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan
tindak pidana yang dilakukan pelakunya, maka bentuk deelneming
ini juga sering disebut sebagai suatu mededaderschap.
Dengan demikian, maka medeplegen itu juga merupakan
suatu daderschap. Apabila seseorang itu melakukan suatu tindak
pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau
182
seorang pelaku. Apabila beberapa orang secara bersama-sama
melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserta di dalam
tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari
peserta atau peserta-peserta yang lain (Lamintang, 1984: 588).
Di dalam praktek tidak mudah untuk menentukan pelaku dan
pelaku penyerta tersebut. Dalam hal ini menurut pendapat van
Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada,
yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di dalam suatu tindak
pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu
daderschap secara sempurna.
Menurut pendapat van Hattum, perbuatan medeplegen di
dalam Pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu
opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut
melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan orang lain.
Apakah dengan demikian untuk adanya suatu medeplegen itu
sudah cukup apabila opzet seorang mededader itu ditujukan kepada
perbuatan “turut melakukan” saja?.
Tentang hal tersebut menurut van Hattum, “kecuali bahwa
opzet seorang mededader itu harus ditujukan kepada suatu
kerjasama, opzet dari mededader tersebut harus juga ditujukan
kepada unsur-unsur dari delik yang diliputi oleh opzet, yang harus
dipenuhi oleh seorang pelaku”.
Ini berarti bahwa menurut van Hattum opzet seorang
mededader itu harus ditujukan kepada:
a. Maksud untuk bekerja sama dengan orang lain dalam
melakukan suatu tindak pidana, dan
b. Dipenuhinya semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut
yang diliputi oleh unsur opzet, yang harus dipenuhioleh
pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan di
dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
183
Menurut pendapat Hoge Raad (HR) untuk adanya suatu
medeplegen itu disyaratkan bahwa setiap pelaku itu mempunyai
maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang disyaratkan.
Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu haruslah
diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud tersebut
memang terdapat pada tiap peserta .
Pendapat HR di atas ternyata tidak diikuti oleh Mahkamah
Agung RI, yang tidak memperhatikan adanya maksud yang sama
diantara peserta, melainkan hanya memperhatikan tindakan peserta
yang mana yang dapat dipandang sebagai wajar untuk disebut
sebagai penyebab suatu akibat yang timbul.
Dalam putusan kasasinya tanggal 26 Juni 1971 nomor 15
K/Kr./1970, MA memberi putusan yang berbunyi:
“Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol tidak
memenuhi semua unsur di dalam Pasal 339 KUHP, terdakwa Ilah yang memukul si korban dengan sepotong besi yang
mengakibatkan matinya si korban. Karena itu untuk terdakwa
II kualifikasi yang sangat tepat adalah “turut melakukan”
tindak pidana (medeplegen), sedangkan pembuat materialnya
ialah terdakwa I”.
Di dalam putusan kasasi MA di atas tidak tampak adanya
syarat bahwa untuk suatu medeplegen itu juga disyaratkan bahwa
opzet para peserta dalam kejahatan itu harus pula ditujukan kepada
medewerking atau pada kerjasama untuk melakukan kejahatan yang
bersangkutan, melainkan hanya kepada dipenuhinya unsur-unsur
dari rumusan tindak pidana di dalam Pasal 339 KUHP.
Untuk adanya suatu medeplegen itu justru yang perlu
diperhatikan ialah ada atau tidaknya suatu volledig en nauwe
samenwerking atau adanya suatu kerjasama yang lengkap dan
bersifat demikian eratnya diantara para peserta di dalam kejahatan,
oleh karena itu tanpa adanya kerjasama seperti itu, kita juga tidak
dapat berbicara mengenai adanya suatu medeplegen.
184
Dari putusan kasasi di atas dapat diketahui bahwa MA telah
mensyaratkan bahwa didalam suatu opzettelijk delict atau di dalam
suatu tindak pidana yang menurut ketentuan undang-undang harus
dilakukan dengan sengaja itu, opzet para medepleger harus juga
ditujukan kepada semua unsur dari delik yang bersangkutan
(Lamintang, 1984: 595).
Tentang hal ini Pompe (dalam Lamintang, 1984: 597),
menyatakan antara lain:
Demikian halnya agar seseorang yang turut melakukan itu
dapat dihukum, maka orang tersebut harus mempunyai opzet
dan memenuhi lain-lain unsur dari delik yang bersangkutan.
Apabila opzet tersebut tidak terdapat pada orang yang turut
melakukan, maka orang tersebut tidak dapat dihukum karena
telah turut melakukan...,Oleh karena itu sama halnya dengan
dapat dihukumnya seseorang yang telah ‘menyuruh
melakukan’, maka untuk dapat dihukumnya seseorang yang
telah “turut melakukan” itu disyaratkan, bahwa mereka itu
harus mempunyai suatu opzet yang ditujukan kepada tindak
pidana yang ingin mereka lakukan.
Sekarang timbul pertanyaan, dimanakah letak perbedaan
antara suatu medeplegen dengan suatu medeplichtigheid itu?.
Tentang hal ini dapat dilihat penjelasan dalam Memorie van
Toelichting (MvT) yang antara lain menyebutkan:
Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari
seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa
orangyang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut
mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana
yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undangundang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu
perbuatan atau turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk
menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang
orang yang disebut terakhir itu hanyalah memberikan bantuan
untuk melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan seperti
dimaksud di atas.
185
Adapun
untuk
menentukan
batas-batas
antara
mededaderschap dan medeplichtigheid itu, di dalam ilmu
pengetahuan hukum pidana pada dasarnya terdapat dua paham
yaitu de objectieve deelnemingstheorie dan de subjectieve
deelnemingstheorie.
Menurut objectieve deelnemingstheorie, apakah terdapat
suatu mededaderschap ataukah suatu medeplichtigheid, hal mana
digantungkan pada sifat dari perbuatan yang telah dilakukan
seseorang. Teori ini mensyaratkan adanya suatu tindakan yang juga
dapat dianggap sebagai penyebab dari terjadinya suatu tindak
pidana, atau juga dapat dianggap sebagai sebagian dari tindakan
untuk melaksanakan suatu tindak pidana, yang mampu membuat
tindak pidana tersebut menjadi suatu kenyataan (Simons dalam
Lamintang, 1984: 600).
Menurut subjectieve deelnemingstheorie, terutama dari von
Buri, apakah terdapat suatu mededaderschap ataukah suatu
medeplichtigheid itu, hal mana digantungkan pada kenyataan
apakah tujuan atau maksud sesorang itu tergantung pada tujuan
atau maksud orang lain ataupun tidak. Jadi menurut teori ini,
seorang mededader itu mempunyai tujuan sendiri, dan tidak
menginginkan akibat perbuatannya itu harus digantungkan pada
kehendak orang lain. Sedangkan seorang medeplichtige itu
menggantungkan tujuannya pada tujuan seorang pelaku, dan
menggantungkan akibat perbuatannya pada si pelaku, yakni selama
pelaku tersebut menghendaki timbulnya suatu akibat.
Dengan demikian adanya suatu kesadaran diantara para
peserta di dalam suatu tindak pidana bahwa mereka telah
melakukan suatu kerjasama untuk melakukan suatu tindak pidana
itu merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam suatu
mededaderschap, atau dapat dikatakan sebagai suatu faktor yang
menentukan untuk dapat mengatakan bahwa disitu terdapat suatu
186
medeplegen atau suatu keturutsertaan melakukan suatu tindak
pidana.
Ad. 3. Pengertian Uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana
Van Hamel telah merumuskan uitlokking itu sebagai
berikut:
Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat
dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk
melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan
cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang,
karena telah bergerak, orang tersebut kemudian telah
dengan sengaja melakukan tindak pidana yang
bersangkutan”.
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa antara doen
plegen atau menyuruh melakukan dengan uitlokken atau
menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana itu terdapat suatu kesamaan, yaitu bahwa di dalam doen
plegen itu orang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak
pidana, ataupun yang di dalam doktrin juga sering disebut
sebagai doen pleger atau manus domina itu telah tidak
melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya,
melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya
disebut sebagai de materiele dader ataupun yang juga sering
disebut sebagai manus ministra. Sedang di dalam uitlokking
itu, orang yang telah menggerakkan orang lain untuk
melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang didalam doktrin
sering juga disebut sebagai de uitlokker atau provocateur atau
agent provocateur atau lokbeambte itu juga telah tidak
melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya,
melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya
disebut sebagai de uitgelokte atau sebagai orang yang telah
digerakkan.
187
Di dalam doktrin, orang yang telah menggerakkan orang
lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu kecuali disebut
sebagai agentprovocateur atau sebagai lokbeambte, ia juga
sering disebut sebagai auctor intellectualis ataupun sebagai
intellectueel dader.
Walaupun antara doen plegen dengan uitlokken itu
terdapat suatu kesamaan, akan tetapi di antara kedua bentuk
deelneming tersebut juga terdapat perbedaan-perbedaan, yaitu
antara lain adalah:
a. Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam
doen plegen itu haruslah merupakan orang yang niettoerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang
perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang
orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak
pidana itu haruslah merupakan orang yang sama halnya
dengan
orang
yang
telah
menyuruh,
dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar.
b. Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah
menyuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen
plegen itu tidak ditentukan oleh undang-undang, sedang caracara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah
menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak
pidana di dalam uitlokking itu telah ditentukan secara
limitatif dalam undang-undang.
Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam doenplegen itu
yang disyaratkan bukanlah bahwa orang yang telah disuruh
melakukan suatu tindak pidana itu harus merupakan orang yang
ontoerekeningsvatbaar, artinya bahwa orang tersebut haruslah
merupakan seseorangyang tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya seperti yang dimaksud dalam Pasal 44
KUHP, melainkan bahwa perbuatan orang yang telah disuruh
188
melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu perbuatan
yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut. Atau dengan perkataan lain, perbuatan orang yang
telah disuruh melakukan suatu tindakpidana itu haruslah niettoerekenbaar.
Hal itu sejalan dengan penjelasan yang terdapat dalam
MvT yang antara lain menyebutkan:
“Pelaku langsung (dari suatu tindak pidana) itu
merupakan seorang manus ministra yaitu orang yang
bertindak tanpa opzet (dolus), tanpa schuld (culpa) atau
tanpa toerekenbaarheid (tanpa perbuatannya itu dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya), disebabkan oleh
ketidak tahuan pada dirinya, oleh kesalahpahaman, yang
memang dikehendaki oleh orang yang menyuruh atau
oleh kekerasan yang telah berpengaruh pada dirinya”.
Dari rumusan Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP itu dapat
diketahui, bahwa suatu uitlokking itu harus dilakukan dengan
sengaja atau secara opzettelijk. Dan opzet seorang uitlokker itu
harus ditujukan kepada feit-nya atau kepada tindak pidananya,
yakni tindak pidana yang ia harapkan akan dilakukan oleh
orang yang telah ia gerakkan dengan mempergunakan salah
satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (1)
angka 2 KUHP tersebut.
Dengan demikian, apabila seorang uitlokker itu
menghendaki agar de uitgelokte melakukan suatu pembunuhan
seperti yang telah dilarang di dalam Pasal 338 KUHP, maka
opzet dari uitlokker tersebut haruslah pula ditujukan kepada
tindak pidana pembunuhan yang bersangkutan. Dan ini berarti
pula uitlokker tersebut harus memenuhi semua unsur dari
tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat dalam
rumusan Pasal 338KUHP.
189
Bagaimana dengan opzet dari orang yang telah
digerakkan untuk melakukan pembunuhan tersebut?
Van Hamel berpendapat, bahwa secara yuridis opzet dari
orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak
pidana itu haruslah identik dengan opzet dari orang yang telah
menggerakkan orang tersebut untuk melakukan tindak pidana
yang bersangkutan.
Jadi opzet dari orang yang telah digerakkan untuk
melakukan pembunuhan itu harus pula sama dengan opzet dari
uitlokker-nya. Dan ini berarti pula bahwa sama halnya dengan
uitlokker-nya, maka orang yang telah digerakkan untuk
melakukan pembunuhan itu harus juga memenuhi semua unsur
dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat di dalam
rumusan Pasal 338 KUHP.
Untuk adanya suatu uitlokking itu haruslah dipenuhi
dua syarat obyektif, yaitu:
1. Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan
oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict
atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu
strafbarepoging atau suatu percobaan yang dapat dihukum;
dan
2. Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang
itu disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh
suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan
menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan di
dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.
Menurut van Hamel antara tindak pidana yang telah
dilakukan oleh orangyang tergerak dengan uitlokking-nya itu
sendiri harus terdapat suatu hubungan kausal, yang harus
dibuktikan. Walaupun diakui bahwa untuk menyatakan terbuktinya
hubungan kausal itu tidaklah mudah, dan biasanya orang
190
menganggap bahwa hubungan kausal tersebut sebagai cukup
terbukti, yaitu apabila secara nyata apa yang disebut “orang yang
tergerak” itu telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana
yang dikehendaki oleh orang yang menggerakkan.
Dengan demikian, maka perbuatan menggerakkan orang lain
itu tidaklah perlu harus ditujukan kepada seseorang tertentu atau
kepada orang-orang tertentu saja, melainkan ia juga dapat
dilakukan secara umum, dalam arti ditujukan kepada orang
banyak. Dan sudah barang tentu untuk menggerakkan orang-orang
tersebut harus pula dipergunakan salah satu cara seperti yang telah
disebutkan secara limitatif di dalam pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.
Sebab bila tidak demikian, perbuatan menggerakkan orang banyak
itu bukannya menghasilkan suatu uitlokking, melainkan ia akan
menghasilkan suatu opruing atau suatu perbuatan menghasut
seperti yangdimaksudkan di dalam Pasal 160 KUHP, dimana
poging tot uitlokking atau percobaan untuk menggerakkan orang
lain melakukan suatu tindak pidana itu telah dijadikan suatu
kejahatan yang berdiri sendiri.
Diantara cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang
uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak
pidana, terdapat beberapa cara yang sangat perlu mendapat
perhatian yaitu:
1. Penggunaan kekerasan atau ancaman
dengan kekerasan.
Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan itu
sifatnya tidak boleh sedemikian rupa sehingga orang yang telah
digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam
keadaan overmacht. Sebab apabila orang yang telah digerakkan
untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam keadaan
yang demikian, maka perbuatan orang tersebut menjadi niettoerekenbaar atau menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada dirinya, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi
191
berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu
doen plegen.
2. Perbuatan untuk membuat orang yang digerakkan menjadi
mempunyai pandangan yang keliru dari orang yang telah
digerakkan itu. Apabila sebagai akibat pandangan yang keliru
dari orang yang telah digerakkan itu, orang tersebut menjadi
tidak mempunyai schuld terhadap salah satu unsur delik,
padahal undang-undang telah mensyaratkan tentang harus
adanya unsur schuld (dolus atau culpa) pada pelakunya terhadap
unsur tersebut, maka perbuatan orang yang telah digerakkan
untuk melakukan suatu tindak pidana itu menjadi niettoerekenbaar, sehingga dalam keadaan semacam itu orang tidak
lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan
suatu doen plegen.
3. Berkenaan dengan misbruik van gezag atau penyalahgunaan
kekuasaan. Menurut Simons, “misbruik van gezag” itu
menunjukan adanya sifat membawah dari orang yang
digerakkan terhadap orang yang telah menggerakkan orang
tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana. (Lamintang,
1984: 614).
Ad. 4. Pengertian medeplichtigheid atau membantu melakukan
tindak pidana
Menurut Simons, medeplichtigheid itu merupakan suatu
onzelf standige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak
berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplichtige
itu dapat dihukum atau tidak, hal mana tergantung pada
kenyataan, yaitu apakah pelakunya sendiri telah melakukan suatu
tindak pidana atau tidak.
Bentuk medeplichtigheid yang pertama adalah kesengajaan
membantu melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, maka
192
setiap tindakan yang telah dilakukan orang dengan maksud
membantu orang lain melakukan suatu kejahatan itu, dapat
membuat orang tersebut dituntut dan dihukum karena dengan
sengaja telah membantu orang lain, pada waktu orang lain
tersebut sedang melakukan suatu kejahatan.
Bantuan yang dapat diberikan oleh seorang medeplichtige
dapat merupakan bantuan yang bersifat material, yang bersifat
moral ataupun yang bersifat intelektual.
Bentuk medeplichtigheid yang kedua adalah kesengajaan
memberikan bantuan kepada orang lain untuk mempermudah
orang lain tersebut melakukan suatu kejahatan. Bantuan ini dapat
bersifat material misalnya menyerahkan senjata atau alat-alat
kepadapelakunya, dan dapat pula bersifat intelektual, misalnya
dengan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk
melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada di
dalam pengawasannya.
Dari rumusan Pasal 56 KUHP dapat diketahui, bahwa
pemberian bantuan seperti dimaksudkan di atas haruslah
diberikan dengan opzettelijk atau haruslah diberikan dengan
sengaja.
Tentang opzet ini menurut Simons: ”Opzet seorang
medeplichtige itu harus ditujukan kepada semua unsur dari tindak
pidana yang bersangkutan, bahkan juga kepada unsur-unsur yang
oleh undang-undang tidak disyaratkan, bahwa opzet pelakunya itu
harus pula ditujukan kepada unsur-unsur tersebut”. (Lamintang,
1984: 619).
Ini berarti bahwa walaupun kejahatan yang sedang atau yang
akan dilakukan oleh pelakunya itu sebenarnya merupakan suatu
culpoos misdrijf atau suatu kejahatan yang menurut rumusannya di
dalam undang-undang sebenarnya dapat dilakukan dengan tidak
193
sengaja, akan tetapi terhadap kejahatan tersebut, seorang
medeplichtige itu harus pula mempunyai suatu opzet.
Agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka
perbuatan medeplichtige itu harus memenuhi unsur yang bersifat
obyektif dan unsur yang bersifat subyektif.
Kapankah kehendak pembuat pembantu harus terbentuk,
apakah lebih dahulu dari terbentuknya kehendak pembuat
pelaksananya dalam hal untuk melakukan kejahatan, atau
terbentuknya belakangan? Timbulnya kehendak pembuat pelaksana
untuk melaksanakan kejahatan selalu lebih dahulu dari
terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk melakukan
perbuatan, bukan sebaliknya. Inisiatif untuk mewujudkan kejahatan
selalu berasal dari pembuat pelaksana, bukan pada pembuat
pembantu.
Ketika terbentuknya kehendak pembuat pembantu untuk
melakukan perbuatan bantuannya, pada ketika itu telah harus
terbentuk pula keinsyafan atau kesadaran bahwa apayang hendak
diperbuatnya itu adalah untuk kepentingan orang yang dibantunya.
Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah
memenuhi unsur yang bersifat subyektif, apabila perbuatan yang
telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut benar-benar telah
dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa medeplichtige tersebut
memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah
atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang
lain, dan perbuatan mempermudah atau mendukung dilakukannya
suatu kejahatan oleh orang lain itu memang ia kehendaki.
Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
B meminjam linggis pada A. Tidaklah mungkin ada
bentukpembantuan di sini, apabila A dalam hal
meminjamkan linggis itu tidak ada keinsyafan bahwa linggis
akan digunakan oleh B untuk membunuh C, misalnya B
mengatakan untuk menggali lubang untuk tiang jemuran.
194
Keinsyafan A bahwa linggis yang dipinjamkan pada B
hendak digunakan untuk membunuh harus telah terbentuk
sebelum linggis dipinjamkan pada B.
Contoh: Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan.
A memberhentikan dan memegang B yang sedang berlari
kencang dengan ketakutan, karena sedang dikejar oleh C
untuk dibunuh. Tidaklah mungkin ada bentuk pembantuan
pembunuhan dalam hal A memberhentikan B dan
memegangnya itu, apabila dalam batin A tidak ada kesadaran
bahwa dalam melakukan perbuatan itu bahwa dia akan
dibunuh oleh C.
Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah
memenuhi unsur yang bersifat obyektif, apabila perbuatan yang
telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut memang telah ia
maksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung
dilakukannya suatu kejahatan. Dan ini berarti bahwa apabila alatalat yang oleh seorang medeplichtige telah diserahkan kepada
seorang pelaku itu ternyata tidak dipergunakan oleh pelakunya
untuk melakukan kejahatannya, maka medeplichtige tersebut juga
tidak dapat dihukum.
Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
A seorang pemilik senjata api memberikan pinjaman kepada
temannya B yang diketahuinya untuk membunuh C. Wujud
perbuatan meminjamkan senjata api ini, tidaklah menentukan
untuk terwujudnya pembunuhan atau matinya C.
Terwujudnya pembunuhan atau matinya C adalah
sepenuhnya bergantung dari perbuatan B pembuat
pelaksananya, apakah dia mempergunakannya menembak
ataukah tidak, dan apabila telah digunakannya menembak
musuhnya, apakah perbuatannya menembak itu mampu
memenuhi syarat yang mematikan korban C ataukah tidak.
195
Contoh: Pembantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan
kejahatan.
A memegangi kaki seorang perempuan yang sedang
diperkosa oleh seorang laki-laki B. Perbuatan A berupa
memegang kaki korban, tidaklah menentukan penyelesaian
kejahatan perkosaan itu, melainkan sekadar mempermudah
saja bagi temannya B dalam menyelesaikan atau
mewujudkan perkosaan. Penyelesaian perkosaan sepenuhnya
bergantung dari pembuat pelaksananya atau si pemerkosa itu
sendiri, apakah dia mampu melakukan persetubuhan dengan
perempuan yang dipaksanya itu ataukah tidak. Persetubuhan
disini diartikan dapatnya dia memasukkan alat kelaminnya
ke dalam alat kelamin perempuan itu yang kemudian
mengeluarkan sperma (Adami Chazawi, 2005: 145)
D. PERBEDAAN BEBERAPA BENTUK DEELNEMING
a.
Perbedaan antara suatu uitlokking dengan suatu doen plegen:
Uitlokking
Perbuatan orang yang telah
digerakkan
untuk
melakukan sutau tindak
pidana itu harus dapat
dipertanggungjawabkan
kepadaorang tersebut
Cara-cara
yang
harus
dipergunakan untuk menggerakkan orang lain itu telah
ditentukan secara limitatif
dalam undang-undang
Doen Plegen
Perbuatan orang yang telah
disuruh untuk melakukan
sutau tindak pidana itu harus
tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada
orang
tersebut
Cara-cara untuk menyuruh
melakukan
itu
tidak
ditentukan di dalam undangundang
196
b. Perbedaan
antara
medeplichtigheid:
suatu
Uitlokking
Orang
yang
telah
digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu
semula tidak mempunyai
opzet untuk melakukan
tindak pidana tersebut.
Opzet orang yang telah
digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu,
justru telah dibangkitkan
karena
adanya
suatu
uitlokking;
c. Perbedaan antara
medeplichtigheid:
suatu
uitlokking
dengan
suatu
Medeplichtigheid
Pelakunya telah mempunyai
opzet untuk melakukan suatu
kejahatan, yang kemudian
telah didukung atau didorong
oleh suatu medeplichtigheid
medeplegen
dengan
suatu
Medeplegen
Medeplichtigheid
Perbuatan
seorang Perbuatan
seorang
medepleger ditekankan pada medeplichtige
ditekankan
perbuatan turut melakukan; pada perbuatan membantu
melakukan atau membantu
untuk
melakukan
suatu
kejahatan;
Seorang medepleger itu Seorang medeplichtige itu
harus melakukan suatu cukup apabila ia telah
uitvoeringshandeling atau melakukan
suatu
suatu tindakan pelaksanaan; voorbereidingshandeling
atau suatu tindakan persiapan
ataupun
suatu
ondersteuningshandeling
atau
suatu
tindakan
dukungan;
197
Turut melakukan suatu
pelanggaran
itu
dapat
dihukum;
Seorang medepleger itu
dapat dijatuhi hukuman
yang sama beratnya dengan
hukuman
yang
dapat
dijatuhkan kepada seorang
pelaku,
sesuai
dengan
hukuman
yang
telah
diancamkan
di
dalam
rumusan suatu delik.
Membantu melakukan suatu
pelanggaran itu tidak dapat
dihukum;
Seorang medeplichtige itu
dapat
dijatuhi
dengan
hukuman
pokok
yang
terberat yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya setelah
dikurangi dengan sepertiganya.
E. PENGATURAN DEELNEMING ATAU PENYERTAAN
DALAM RKUHP
Penyertaan dalam RKUHP diatur pada Paragraf 5, terdiri dari 3
pasal yaitu Pasal 21, 22, dan 23
Pasal 21
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang :
a. melakukan sendiri tindak pidana;
b. melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang
lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
c. turut serta melakukan; atau
d. memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana, atau keterangan, memancing orang lain supaya
melakukan tindak pidana.
Penjelasan:
Huruf a
Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh satu atau beberapa orang.
Jika dilakukan oleh beberapa orang, maka tiap-tiap peserta dalam
perbuatan itu mempunyai kedudukan yang mungkin berbeda-beda.
Dalam ketentuan pasal ini ditentukan bentuk-bentuk dari
penyertaan tersebut yaitu orang yang melakukan, menyuruh
198
melakukan, atau turut serta melakukan tindak pidana, dipidana
sebagai pembuat.
Menyuruh melakukan tindak pidana terjadi sebelum dilakukannya
tindak pidana dan tidak dipersoalkan tentang cara menyuruh dan
cara pembuat tindak pidana materiil melakukan tindak pidana.
Dalam hal menyuruh melakukan, pembuat tindak pidana materiil
tindak pidana tidak dipidana. Pertanggungjawaban dari orang yang
menyuruh dibatasi sampai pada perbuatan yang dilakukan oleh
pembuat tindak pidana materiil.
Turut serta melakukan tindak pidana adalah mereka yang bersamasama melakukan tindak pidana. Jadi mereka dengan sengaja ikut
serta dan tidak perlu tiap-tiap peserta hams melakukan perbuatan
pelaksanaan dilihat sebagai kesatuan. Dengan demikian hal yang
utama adalah dalam pelaksanaan tindak pidana terdapat kerja sama
Dalam menentukan turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan
masing-masing peserta tidak dilihat secara terpisah, berdiri sendiri,
dan terlepas dari perbuatan peserta lainnya, tetapi yang erat
antarpara peserta.
Huruf b
Peserta yang dimaksud dalam ketentuan ini disebut sebagai
penganjur. Pada dasarnya, penganjur melakukan tindak pidana
dengan perantaraan orang lain. Berbeda dengan perbuatan
menyuruh di mana pembuat tindak pidana materiil tidak dipidana,
maka dalam penganjuran pembuat tindak pidana materiil dapat
dipidana.
Tidak setiap tindak pidana yang dilakukan dengan perantaraan
orang lain adalah penganjuran. Syarat-syarat untuk penganjuran
disebutkan secara limitatif, yakni :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu;
b. menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;
c. menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan; atau
d. memberi kesempatan, sarana atau keterangan.
Yang dimaksud dengan "memberi atau menjanjikan sesuatu"
adalah memberi atau menjanjikan sesuatu barang, uang, dan
keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan
melakukan
tindak
pidana.
Yang
dimaksud
dengan
199
"menyalahgunakan kekuasaan atau martabat" adalah baik
kekuasaan yang berdasarkan hukum publik maupun hukum privat.
Yang dimaksud dengan "menggunakan kekerasan, ancaman, atau
penyesatan" adalah dengan segala macam bentuk kekerasan,
ancaman, atau penyesatan yang menimbulkan orang yang
dianjurkan melakukan tindak pidana. Apabila kekerasan atau
ancaman sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana materiil
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan karena
itu tidak dapat dipidana, maka dalam keadaan tersebut bukan
merupakan penganjuran tetapi menyuruh melakukan.
Yang dimaksud dengan "memberi kesempatan, sarana atau
keterangan" adalah termasuk upaya-upaya yang disyaratkan dalam
pembantuan Huruf c
Huruf d
Yang dimaksud dengan "memancing" adalah membujuk
(uitlokken).
Pasal 22
(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang :
a. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan;
atau
b. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk
melakukan tindak pidana.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam
dengan pidana denda Kategori I.
Penjelasan:
Terdapat dua macam bentuk pembantuan yaitu pembantuan pada
waktu melakukan tindak pidana dan pembantuan yang mendahului
tindak pidana. Dalam pemberian bantuan pada waktu tindak
pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan ikut serta
melakukan. Dalam ikut serta melakukan terdapat kerja sama yang
erat antarmereka yang melakukan tindak pidana, namun dalam
pembantuan kerja sama antara pembuat tindak pidana dan orang
yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta. Dalam
200
turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing
peserta dilihat sebagai satu kesatuan.
Bentuk kedua pembantuan dilakukan mendahului pelaksanaan
tindak pidana yang sebenarnya, baik dengan memberikan
kesempatan, sarana, maupun keterangan.
Pasal 23
Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau
memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau
pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
Penjelasan:
Ketentuan
dalam
Pasal
ini
berhubungan
dengan
pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan. Apabila suatu
tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang secara bersamasama, sedangkan di antara mereka terdapat orang yang belum
cukup umur atau orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,
misalnya, karena sakit ingatan, maka orang yang sudah dewasa
atau tidak sakit jiwa,dijatuhi pidana sebagaimana biasa, sedangkan
untuk yang belum cukup umur pidananya dikurangi dan untuk
orang yang sakit ingatan tidak dapat dipidana.
RANGKUMAN:
1. Deelneming (keturutsertaan) merupakan ajaran mengenai
pertanggungjawaban dan pembagian pertanggungjawaban, yakni
dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undangundang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara
sendirian, akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh
dua orang atau lebih dalam suatu kerjasama yang terpadu baik
secara psikis (intelektual) maupun secara material.
2. Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan
Pasal 55 dan 56 KUHP adalah:
a. Doen plegen atau menyuruh melakukan.
b. Medeplegen atau turut melakukan.
201
c. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
d. Medeplichtigheid.
LATIHAN:
1. Jelaskan pengertian deelneming atau keturutsertaan
2. Jelaskan tentang doen plegen atau menyuruh melakukan
disertai dengan contoh kasus.
3. Jelaskan tentang mede plegen atau turut melakukan disertai
dengan contoh kasus.
4. Dimanakah letak perbedaan antara suatu medeplegen
dengan suatu medeplichtigheid itu?.
5. Sebutkan persamaan dan perbedaan doen plegen atau
menyuruh melakukan dengan uitlokken atau menggerakkan
orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana
6. Sebutkan cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang
uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu
tindak pidana.
7. Sebutkan dua bentuk medeplichtigheid (membantu
melakukan suatu kejahatan).
8. Agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka
perbuatan medeplichtige itu harus memenuhi unsur yang
bersifat obyektif dan unsur yang bersifat subyektif.
GLOSSARIUM:
1. Middellijke dader yaitu orang yang menyuruh orang lain
melakukan suatu tindak pidana. Disebut sebagai pelaku
tidak langsung karena tidak langsung melakukan sendiri
tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang
lain.
202
2. Materieele dader yaitu orang lain yang disuruh melakukan
suatu tindak pidana, disebut juga sebagai pelaku material.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Percobaan &
Penyertaan). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Abidin Farid. A.Z. & A.Hamzah. 2006. Bentuk Bentuk Khusus
Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan
Delik) dan Hukum Penitensier. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana
Yang Berlaku Di Indonesia, Bandung: Sinar Baru.
R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta
Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
Schaffmeister. Dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya.
203
BAB XI
TINDAK PIDANA MENGENAI KESUSILAAN
Tujuan Umum Pembelajaran: Setelah mempelajari pokok bahasan
ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk
kejahatan mengenai kesusilaan serta unsur-unsurnya.
Tujuan Khusus Pembelajaran:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk, pengertian
dan unsur-unsur tindak pidana menyerang rasa kesusilaan
umum.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk tindak pidana
persetubuhan dan unsur-unsurnya.
3. Mahasiswa mampu menerangkan tindak pidana kesusilaan
mengenai perbuatan cabul dan unsur-unsurnya.
4. Mahasiswa mampu membedakan masing-masing dari bentukbentuk tindak pidana persetubuhan dan perbuatan cabul.
A. TINDAK PIDANA MENYERANG RASA KESUSILAAN
UMUM
1. Kejahatan dengan sengaja melanggar Kesusilaan
Kejahatan yang melanggar kesusilaan dirumuskan dalam
Pasal 281 KUHP yang berbunyi:
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,(1) Barangsiapa dengan sengaja secara terbuka melanggar
kesusilaan;
(2) Barangsiapa dengan sengaja dihadapan orang lain yang
ada disitu bertentangan dengan kehendaknya, melanggar
kesusilaan.
Dalam rumusan Pasal 281 di atas, ada dua bentuk
kejahatan melanggar kesusilaan umum, yaitu:
Kejahatan yang pertama dirumuskan pada butir satu
terdiri dari unsur-unsur berikut:
a. Unsur Objektif, terdiri dari:
204
1.
2.
b.
3.
Perbuatan melanggar kesusilaan;
Secara terbuka
Unsur subjektif:
Sengaja (Chazawi, 2005: 12).
Kejahatan yang kedua dirumuskan pada butir dua dalam
Pasal 281 ini pada dasarnya sama dengan kejahatan yang
dirumuskan pertama. Hanya pada kejahatan melanggar kesusilaan
yang kedua ini, unsur dimuka umum tidak disebutkan, dan
sebagai penggantinya dirumuskan unsur “di depan orang lain
yang ada disitu bertentangan dengan kehendaknya”.
Menurut R. Soesilo (1986: 204) mengatakan bahwa
“kesusilaan (Zeden eerbaarheid) adalah perasaan malu yang
berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah
dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita,
memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium
dan sebagainya”
Sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut
kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu
dan di tempat itu (Soesilo, 1986: 205).
Kata di muka umum dalam pasal ini menunjuk kepada
dapat dilihatnya perbuatan itu oleh orang lain dan ini merupakan
ciri dari tindak pidana ini (Marpaung, 1996: 33).
2. Kejahatan Pornografi
Kejahatan pornografi dimuat dalam Pasal 282 KUHP.
Rumusan kejahatan pada ayat (1) dan ayat (2) sedangkan pada
ayat (3) dirumuskan tentang alasan pemberatan pidana dari
kejahatan pornografi dalam ayat (1).
Tiga bentuk kejahatan pornografi pada ayat (1) Pasal 282
KUHP, yaitu:
1. Orang yang melakukan perbuatan menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan,
gambar atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan;
2. Orang yang dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan
atau ditempelkan di muka umum, melakukan perbuatan
membuat tulisan, gambar, atau membuat benda, memasukkan-
205
nya ke dalam negeri, atau memiliki persediaan tulisan, gambar
atau benda yang diketahuinya melanggar kesusilaan;
3. Orang yang secara terang-terangan atau dengan menyiarkan
tulisan, gambar atau benda tanpa diminta, menawarkannya
atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh yang
diketahuinya isinya melanggar kesusilaan (Chazawi, 2005:
23).
Kejahatan pornografi pada ayat (2) Pasal 282 juga terdiri
dari 3 macam yang perbuatannya sama dengan ayat (1). Hanya
saja unsur kesalahannya ada perbedaan, yakni pada kesalahan
bentuk kejahatan pornografi yang pertama adalah “kesengajaan”
atau “dolus”. Sedangkan unsur kesalahan pada tiga bentuk
kejahatan pornografi pada ayat kedua, mengandung unsur
kesalahan bentuk “kelalaian” atau “culpa”.
B. TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN
Kejahatan kesusilaan dalam hal persetubuhan dimuat
dalam 5 pasal, yaitu: Pasal 284 (perzinahan), Pasal 285
(perkosaan), Pasal 286 (bersetubuh dengan perempuan bukan
isterinya dalam keadaan pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan
perempuan yang belum berumur 15 tahun yang bukan isterinya)
dan Pasal 288 (bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan
yang belum waktunya dikawin).
1. Kejahatan Perzinaan
Kejahatan zina dirumuskan dalam Pasal 284 ayat (1)
terdiri dari empat macam larangan:
a. Seorang laki-laki yang telah kawin melakukan zina;
b. Seorang perempuan yang telah kawin melakukan zina;
c. Seorang laki-laki turut berzina dengan seorang perempuan
yang diketahuinya telah kawin;
d. Seorang perempuan yang turut berzina dengan seorang laki
laki yang diketahuinya (Chazawi, 2005: 56-57).
Zinah menurut R. Soesilo (1986: 209) adalah
“persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan
yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan
isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini harus dilakukan
206
dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah
satu pihak”.
Lebih lanjut R.Soesilo (1986: 209) mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan persetubuhan adalah “peraduan antara
anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa
dijalankan untuk mendapatkan anak, jadi anggota kemaluan
laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan”.
Jadi seorang laki-laki atau perempuan dikatakan
melakukan kejahatan zina, apabila memenuhi tiga syarat
essensial, yaitu:
a. Melakukan persetubuhan dengan perempuan atau laki-laki
bukan suami atau bukan isterinya;
b. Bagi dirinya berlaku Pasal 27 BW
c. Dirinya sedang berada dalam perkawinan.
2. Kejahatan Perkosaan
Kejahatan
perkosaan
(verkrachting)
dalam
hal
persetubuhan dimuat dalam pasal 285 KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut:”Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Menurut Wirjono Prodjodikoro (1980: 123) kata
perkosaan sebagai terjemahan dari kualifikasi aslinya (Belanda),
yakni verkraachting tidaklah tepat karena istilah perkosaan tidak
akan menggambarkan secara tepat tentang perkosaan menurut arti
yang sebenarnya dari kualifikasi verkrachting, yakni perkosaan
untuk bersetubuh. Oleh karena itu, menurut beliau kualifakasi
yang tepat untuk Pasal 285 ini adalah perkosaan untuk
bersetubuh.
Apabila rumusan perkosaan di atas dirinci, terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatannya: memaksa
b. Caranya: 1) dengan kekerasan
2) ancaman kekerasan
c. Objek: seorang perempuan bukan istrinya
207
d. bersetubuh dengan dia (Chazawi, 2005:62).
Pengertian perbuatan memaksa (dwingen) adalah
perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan menekan
kehendak orang lain yang bertentangan dengan kehendak orang
lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak orang yang
menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri. Menerima
kehendaknya ini setidaknya ada dua macam, yaitu:
a. Menerima apa yang akan diperbuat terhadap dirinya, atau
b. Orang yang dipaksa berbuat yang sama sesuai dengan apa
yang dikehendaki orang yang memaksa.
Menurut Leden Marpaung (1996:52) kekerasan atau
ancaman kekerasan tersebut ditujukan terhadap wanita itu sendiri
dan bersifat sedemikian rupa sehingga berbuat lain tidak
memungkinkan baginya selain membiarkan dirinya untuk
disetubuhi.
Cara-cara memaksa disini terbatas dengan dua cara, yaitu
kekerasan (geweld) dan ancaman kekerasan (bedreiging met
geweld). Dua cara memaksa itu tidak diterangkan lebih jauh
dalam undang-undang. Hanya mengenai kekerasan ada pada pasal
89 yang merumuskan tentang perluasan arti dari kekerasan yaitu
membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan
menggunakan kekerasan. R. Soesilo (1986: 84) memberi arti
kekerasan
dengan kata-kata mempergunakan tenaga atau
kekuatan jasmani yang tidak kecil secara tidak sah. Menurut
Satochid (I: 92) kekerasan adalah ”setiap perbuatan yang terdiridari digunakannya kekuatan badan yang tidak ringan atau agak
berat.
3.
Persetubuhan dengan Perempuan dalam Keadaan Bukan
Isterinya dalam Keadaan Pingsan
Unsur-unsur Pasal 286 KUHP adalah sebagai berikut:
Unsur-unsur Objektif:
a. Perbuatannya: bersetubuh
b. Objeknya: seorang perempuan bukan istrinya
c. Dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya
208
Unsur Subjektif
d. Diketahuinya perempuan itu dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya
Persamaan antara kehatan Pasal 286 dengan 285, ialah
sebagai berikut:
1. Persetubuhan itu telah terwujud pada atau dengan perempuan
korban, pada saat korban dalam keadaan tidak berdaya.
2. Perempuan korban bukan istri si pembuat (Chazawi, 2005: 67).
4.
Persetubuhan dengan Perempuan yang Umurnya Belum 15
Tahun
Kejahatan yang dimaksudkan di atas dirumuskan dalam
Pasal 287, yang selengkapnya sebagai berikut:
(1)Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar
perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus
diduga bahwa umur belum 15 tahun, atau kalau umurna tidak
jelas, bahwa ia belum waktunya untuk dikawin, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun
(2)Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur
perempuan itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada
salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294.
Apabila rumusan Pasal 287 ayat (1) dirinci terdapat unsurunsur sebagai berikut:
Unsur-unsur Objektif:
a. Perbuatannya: bersetubuh
b. Objek: dengan perempuan di luar kawin
c. Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya
tidak jelas belum waktunya dikawin.
Unsur Subjektif
d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa
umurnya belum 15 tahun (Chazawi, 2005: 70).
5. Persetubuhan dengan Isteri yang Belum Waktunya untuk
Dikawini
Kejahatan persetubuhan ini, dirumuskan dalam Pasal 288
KUHP pada ayat (1), sedangkan ayat (2) dan ayat (3)
209
merumuskan dasar pemberatan pidananya. Kejahatan pada ayat
(1) terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur-unsur Objektif:
a. Perbuatannya: bersetubuh
b. Objek: dengan perempuan istrinya yang belum waktunya
dikawin;
c. Menimbulkan akibat luka-luka
Unsur-unsur Subjektif
d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa perempuan
itu belum waktunya untuk dikawin (Chazawi, 2005: 73-74).
C. KEJAHATAN KESUSILAAN MENGENAI PERBUATAN
CABUL
Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul
dirumuskan dalam Pasal: 289,290,292,293,294,295 dan 296, yang
semuanya merupakan kejahatan. Masing-masing adalah:
1. Pasal 289, mengenai perbuatan yang menyerang kehormatan
kesusilaan
Apabila rumusan Pasal 289 tersebut dirinci, akan terlihat
unsur-unsur berikut:
a. Perbuatannya: memaksa
b. Caranya: dengan 1) kekerasan
2) ancaman kekerasan
c. Objeknya: seorang untuk: 1) melakukan; atau
2) membiarkan dilakukan
d. perbuatan cabul (Chazawi, 2005: 78)
2. Pasal 290, mengenai kejahatan perbuatan cabul pada orang
pingsan atau tidak berdaya, umurnya berulum 15 tahun dan
lain-lain
Dalam pasal 290 ada tiga bentuk kejahatan yang dirumuskan
pada butir 1, 2, dan 3
i.Kejahatan butir 1, mempunyai unsur-unsur:
Unsur-unsur Objektif
a. Perbuatannya: perbuatan cabul
b. Objeknya: dengan seorang
c. Dalam keadaan: 1) pingsan, atau
2) tidak berdaya
210
Unsur subjektif
d. Diketahunya bahwa orang itu dalam keadaan pingsan
atau tidak berdaya (Chazawi, 2005: 81)
2. Kejahatan butir 2, mempunyai unsur-unsur:
Unsur-unsur objektif
a. Perbuatannya: perbuatan cabul
b. Objeknya: dengan seorang
c. Yang: 1) umurnya belum 15 tahun
2) jika tidak jelas umurnya orang itu belum
waktunya untuk dikawin
Unsur subjektif
d. Diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa
umurnya belum 15 tahun (Chazawi, 2005: 81)
3. Kejahatan burir 3: mempunyai unsur-unsur:
Unsur objektif
a. Perbuatannya: membujuk
b. Objeknya: orang yang 1) umurnya belum 15 tahun
2) jika umurnya tidak jelas belum
waktunya untuk dikawin
c. Untuk: 1) melakukan perbuatan cabul
2) dilakukan perbuatan cabul, atau
3) bersetubuh di luar perkawinan.
Unsur subjektif
d. Yang diketahuinya umurnya belum 15 tahun, atau jika
tidak jelas umurnya yang besangkutan belum waktunya
untuk dikawin (Chazawi, 2005: 85).
4. Pasal 292, mengenai perbuatan cabul sesama kelamin (homo
seksual)
Apabila rumusan di atas dirinci, maka terdapat unsur-unsur
sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif
a. Perbuatannya: perbuatan cabul
b. Si pembuatnya: oleh orang dewasa
c. Objeknya: pada orang sesame jenis kelamin yang belum
dewasa
211
Unsur Subjektif
d. 1) yang diketahuinya belum dewasa
2) yang seharusnya patut diduganya belum dewasa
5. Pasal 293, mengenai menggerakkan orang belum dewasa
untuk melakukan atau dilakukan perbuatan cabul
Rumusan tentang kejahatan menggerakkan orang yang belum
dewasa untuk berbuat cabul, terdapat dalam ayat (1), yang
apabila dirinci terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif
a. Perbuatannya: menggerakkan
b. Cara-Caranya: 1) memberi uang atau barang
2) menjanjikan memberi uang atau barang
3) menyalahgunakan perbawa yang timbul
dari hubungan keadaan
4) penyesatan
c. objeknya: orang yang belum dewasa
d. yang baik tingkah lakunya
e. untuk: 1) melakukan perbuatan cabul
2) dilakukan perbuatan cabul dengannya
Unsur subjektif
f. diketahuinya atau selayaknya harus diduganya tentang belum
kedewasaannya (Chazawi, 2005: 91).
6. Pasal 294, mengenai perbuatan cabul dengan anaknya, anak
tirinya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa,
dan lain-lain.
7. Pasal 295,mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh
anaknya, anak tirinya, anak angkatnya yang belum dewasa,
dan lain-lain.
8. Pasal 296, mengenai memudahkan perbuatan cabul oleh orang
lain dengan orang lain sebagai pencarian atau kebiasaan.
RANGKUMAN:
1.
Kejahatan menyerang rasa kesusilan apabila perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja melanggar kesusilaan dengan terbuka
di muka umum atau diketahui orang lain.
212
2.
3.
Kejahatan kesusilaan dalam hal persetubuhan ada 5 bentuk, yaitu:
Pasal 284 (perzinahan), Pasal 285 (perkosaan), Pasal 286
(bersetubuh dengan perempuan bukan isterinya dalam keadaan
pingsan), Pasal 287 (bersetubuh dengan perempuan yang belum
berumur 15 tahun yang bukan isterinya) dan Pasal 288
(bersetubuh dalam perkawinan dengan perempuan yang belum
waktunya dikawin).
Tindak pidana kesusilaan mengenai perbuatan cabul dirumuskan
dalam Pasal: 289,290,292,293,294,295 dan 296 KUHP yang
semuanya merupakan kejahatan. Unsur pokoknya dapat dikatakan
telah melakukan perbuatan cabul yaitu ada perbuatan yang
memaksa dengan cara kekerasan atau ancaman kekerasan atau
membujuk (bagi anak di bawah umur) dengan melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
LATIHAN:
1. Jelaskan kapankah suatu perbuatan dikatakan menyerang rasa
kesusilaan?
2. Sebutkan 5 bentuk kejahatan persetubuhan dan landasan
yuridisnya!
3. Jelaskan kapankah suatu perbuatan persetubuhan dapat dikatakan
sebagai perkosaan? Berikan sebuah contoh!
4. Sebutkan bentuk-bentuk perbuatan cabul dan jelaskan salah satu
bentuk perbuatan cabul!
GLOSSARIUM:
- Zeden eerbaarheid adalah perasaan malu yang berhubungan nafsu
kelamin.
- dwingen adalah perbuatan yang ditujukan pada orang lain dengan
menekan kehendak orang lain yang bertentangan dengan
kehendak orang lain itu agar orang lain tadi menerima kehendak
orang yang menekan atau sama dengan kehendaknya sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi (Ed). 2005. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
213
Kartanegara, Satochid (Ed). Tanpa Tahun, Hukum Pidana II Delikdelik Tertentu, Balai Lektur Mahasiswa.
Marpaung, Leden. (Ed). 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan di
Hadapan Umum. Jakarta: Sinar Grafika.
Soesilo,R. (Ed). 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
Wirjono Prodjodikoro (Ed). 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta:
PT. Eresco.
214
BAB XII
TINDAK PIDANA TERHADAP KEHORMATAN
Tujuan Umum Pembelajaran: Setelah mempelajari pokok bahasan
ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk
kejahatan terhadap kehormatan serta unsur-unsurnya.
Tujuan Khusus Pembelajaran:
Setelah mempelajarai pokok bahasan ini diharapkan:
1. Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk tindak pidana
terhadap kehormatan.
2. Mahasiswa mampu membedakakan perbuatan menista dengan
memfitnah.
3. Mahasiswa mampu menyebutkan unsur-unsur tindak pidana
menista dengan memfitnah.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan pengaduan terhadap tindak
pidana terhadap kehormatan.
A. MENISTA
Menista diatur dan diancam oleh Pasal 310 ayat (1) KUHP
yang bunyinya:
Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau
nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan
sesuatu perbuatan tertentu, dengan maksud yang nyata untuk
menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui umum, dihukum
karena salahnya menista, dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
4.500,Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP, maka
unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
1. Dengan sengaja;
2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain;
3. Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu;
4. Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
Ad.1. dengan sengaja
Menurut doktrin, sengaja termasuk unsur subjektif
yang ditujukan terhadap perbuatan. Artinya pelaku
215
mengetahui perbuatannya ini, pelaku menyadari
mengucapkan kata-katanya yang mengandung pelanggaran
terhadap kehormatan atau nama baik orang lain.
Jadi dalam hal ini sipelaku menyadari atau
mengetahui bahwa kata-kata itu diucapkan dan kata-kata
tersebut merupakan kata-kata menista, bukan merupakan
bagian dari dolus/opzet bahwa sipelaku bukan mempunyai
niat untuk menghina atau menista. Lain halnya kalau pelaku
mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan mabuk atau
dalam keadaan bermimpi dimana pelaku berbuat tanpa
kesadaran yang wajar.
Ad.2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain
Kata “menyerang” berarti melanggar. Sebagian ahli
mempergunakan “memperkosa” kehormatan dan nama baik.
Kata “nama baik” dimaksudkan sebagai kehormatan
yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seseorang
baik karena perbuatannya atau kedudukannya. Jadi nama
baik tersebut dimaksudkan terhadap orang-orang tertentu
saja, missal: Presiden, gubernur, bupati, kiyai, pendeta, dan
lain-lain (Marpaung, 1997: 15).
Menurut R. Soesilo (1986: 225) Menista sama
dengan menghina yaitu “menyerang kehormatan dan nama
baik seseorang, yang diserang itu biasanya merasa malu.
Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai
kehormatan tentang nama baik bukan kehormatan dalam
lapangan seksual.
Ad. 3.Menuduh Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu
Kata “perbuatan tertentu” sebagai terjemahan dari
kata Bahsa Belanda bepaald feit dalam arti bahwa
perbuatan yang dituduhkan tersebut dinyatakan dengan
jelas, baik tempat maupun waktunya. Jika tidak jelas
disebut waktu dan tempat perbuatan tersebut maka
perbuatan pelaku tersebut adalah penghinaan biasa misalnya
engkau bohong, kau pencuri, kau pemeras dan lain-lain.
216
Ad.4. Dengan Maksud yang Nyata Supaya Diketahui Oleh Umum
Unsur ini dalam penerapannya memerlukan kecermatan
karena harus dapat dibuktikan “maksud nyata untuk
menyiarkan…”, misalnya :
 Diberitakan kepada satu orang di hadapan umum
dengan suara yang dapat didengar oleh orang lain;
 X dan Y bertengkar, dimana Y dengan suara lantang
yang dapat didengar oleh banyak orang, menuduh X
telah melakukan pencurian di rumah B pada hari senin
yang lalu.
B. MENISTA SECARA TERTULIS
Penistaan tertulis diatur dan diancam oleh Pasal 310 ayat (2)
KUHP yang bunyinya sebagai berikut :
“Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambar yang
disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan, maka pembuat
karena salahnya menista dengan surat, dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500.-“
Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (2) maka menista dan
menista dengan tulisan bedanya adalah bahwa menista dengan
tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedang unsur-unsur
lainnya tidak berbeda.
“Disebar” atau disiarkan mengandung arti bahwa tulisan atau
gambar tersebut, lebih dari satu helai atau satu eksemplar.
“Dipertunjukkan” dimaksud bahwa tulisan atau gambar, tidak
perlu jumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain.
Kata-kata “disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan” semua
bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain. Jika suatu
gambar ditempel diruangan tertutup maka hal itu bukan
dimaksudkan untuk diketahui orang lain, atau dipertunjukkan
untuk umum karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki
setiap orang atau umum (Marpaung, 1997: 19).
Terhadap pelanggaran pasal 310 ayat (1) dan ayat (2)
KUHP dimuat pengecualian sebagai “alasan untuk tidak dapat
dihukum” meskipun telah berbuat suatu perbuatan menista atau
217
menista dengan surat. Hal ini diatur oleh ayat (3) pasal 310
KUHP yang bunyinya sebagai berikut:
“Tidak dapat dikatakan menista atau menista dengan surat
jika nyata perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan
kepentingan umum atau karena terpaksa untuk
mempertahankan diri”
Rumusan pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat 2 (dua) versi,
khususnya terhadap “mempertahankan kepentingan umum” yang
juga dipergunakan istilah “membela kepentingan umum.” Prof.
Satochid Kartanegara S.H, merumuskan “kepentingan umum”
sebagai berikut:
“Bila penuduh menyatakan bahwa tuduhannya itu
dilancarkan untuk kepentingan umum, maka ini berarti
bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu,
diuntungkan.”
(Hukum Pidana, Bagian dua, Balai Lektur Mahasiswa, 616)
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, kata “Kepentingan” disinonimkan
dengan “Keperluan” dan kata umum, antara lain disinonimkan
dengan “orang banyak”khalayak ramai”. Dengan demikian maka
kepentingan umum adalah kepentingan atau keperluan orang
banyak/khalayak ramai, tetapi kepentingan umum juga
dimaksudkan sebagai lawan dari kata “kepentingan individu” atau
“kepentingan perorangan”.
Persepsi “membela diri karena terpaksa”, tidak jauh berbeda
dengan pengertian noodweer yang diatur pasal 49 ayat (1)
KUHP; bedanya adalah bahwa pada rumusan pasal 310 ayat
(3), hanya berlaku untuk “diri sendiri”. Dengan demikian,
maka harus memenuhi syarat-syarat noodweer yakni:
 Adanya serangan terhadap diri sendiri;
 Terhadap serangan perlu diadakan pembelaan diri;
Tindak pidana “menista dengan tulisan dapat terjadi dalam
berbagai bentuk,antara lain,sebagai berikut:
a. Menista dengan surat dalam bentuk “surat resolusi”
b. Pemimpin redaksi suatu surat kabar harian, yang memuat
tulisan yang berisi menista dipersalahkan berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Nopember 1957 Reg.
218
c.
d.
No. 130 K/kr/1956 atas nama Maridi Danoekoesmo,
Pemimpin Redaksi “Bintang Timur” Jakarta.
Redaktur suatu surat kabar harian yang memerintah
menyuruh memuat suatu karangan yang berisi menista orang
lain, dipersalahkan sebagai pelaku dan yang mengarang
dipersalahkan sebagai “membantu”.
Tidak dapat dikatakan “menista”, jika hal tersebut dimuat
dalam kontra memori bandingkarena surat kontra memori
banding, tidak disiarkan untuk umum.
C. MEMFITNAH (DEFAMATION)
Kata “fitnah” sehari-hari umumnya diartikan sebagai yang dimuat
dalam kamus besar bahasa Indonesia yakni :
“perkataan yang dimaksud menjelekkan orang…”.
Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau
menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu,
diizinkan membuktikannya dan ternyata, tidak dapat
membuktikan.
Fitnah diatur oleh pasal 311 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut :
“(1) barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista
dengan surat, dalam hal ia diizinkan membuktikan
kebenaran tuduhannya itu dihukum karena salahnya fitnah
dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, jika
ia tidak dapat membuktikan kebenaran itu dan jika tuduhan
itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar”.
Izin untuk membuktikan ditetapkan oleh hakim dalam hal :
untuk kepentingan umum;
untuk mempertahankan diri;
yang difitnah adalah pegawai dalam menjalankan
tugasnya.
Menurut R. Soesilo (1986: 226) jika apa yang dituduhkan
ternyata tidak benar, maka tidak disalahkan menista lagi akan
tetapi dikenakan perbuatan memfitnah (Pasal 311 KUHP).
Hal ini diatur pasal 312 KUHP yang bunyinya sebagai
berikut:
-
219
pembuktian kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal
yang berikut :
1. kalau hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu
supaya dapat menimbang perkataan terdakwa bahwa ia
melakukan perbuatan itu untuk mempertahankan kepentingan
umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri;
2. kalau seorang pegawai negeri dituduh melakukan perbuatan
dalam menjalankan jabatannya (Marpaung, 1997: 54)”.
Rumusan pasal 314 KUHP adlah hal yang logisguna
menciptakan kepastian hukum karena pemisahan penanganan
antara fitnah dengan perbuatan yang dituduhkan dapat
menimbulkan keragu-raguan atas kepastian hukum. Dengan
rumusan pasal 314 KUHP msks hsl tersebut dapat dicegah.
D. PENGHINAAN RINGAN
Menurut doktrin, penghinaan ringan adalh bentuk ke-4 dari tindak
pidana terhadap kehormatan. Perbedaan penghinaan ringan dengan
menista atau menista dengan surat adalah bahwa pada penulisan
(lisan/tertulis), dilakukan dengan cara menuduh melakukan
perbuatan tertentu.
Berdasarkan rumusan pasal 315 KUHP, maka unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut :
1. Penghinaan
2. Sengaja
3. Tidak bersifat menista atau menista dengan surat
4. Dimuka umum dimuka orang itu sendiri
E. FITNAH DENGAN PENGADUAN
Fitnah dengan pengaduan terjemahan dari lasterlijke aan klacht
(bahasa belanda); sebagian pakar menerjemahkan dengan
“pemberitahuan fitnah” dan sebagian lagi menerjemahkan dengan
“mengadu dengan fitnah”.
Jika diterjemahkan kata aanklacht berarti pengaduan atau
mengadu. Pemberitahuan dalam bahasa belanda adalah aangifte.
Dengan demikian, lebih tepat “fitnah dengan pengaduan” karena
jika “mengadu dengan fitnah” yang menjadi masalah utama adalah
220
mengadu sedang dalam masalh ini yang dipersalahkan adalah
fitnah atau penghinaan.
Fitnah dengan pengaduan diatur pasal 317 KUHP. Kata
”pembesar negeri” dalam rumusan pasal 317 ayat (1) KUHP
merupakan terjemahan dari overheid (bahasa belanda) yang
artinya adalah ”penguasa” yang juga diterjemahkan dengan aparat
negara atau aparat pemerintah.
Untuk lebih memahami ”fitnah dengan pengaduan” perlu diamati
unsur-unsurnya yakni sebagai berikut : dengan sengaja
menyampaikan pengaduan atau laporan palsu disampaikan kepada
penguasa, tentang orang tertentu dan menyerang kehormatan.
H. FITNAH DENGAN PERBUATAN
Fitnah Belanda lasterlijke verdachtmaking yang sebagai pakar
menerjemahkan dengan persangkaan palsu.
Fitnah dengan perbuatan diatur oleh pasal 318 KUHP yang
bunyinya sebagai berikut :
”barangsiapa sengaja dengan suatu perbuatan, menyebabkan orang
lain dengan palsu tersangka membuat tindak pidana hukum, karena
salahnya memfitnah dengan perbuatan dengan hukuman penjara
selama-lamanya empat tahun.”
Berdasarkan rumusan pasal 318 KUHP maka unsurunsurnya adalah sebagai berikut: dengan sengaja, melakukan suatu
perbuatan, menyebabkan kesangkaan palsu, seolah-olah orang
tersebut telah melakukan tindak pidana.
Fitnah dengan perbuatan yang diatur pasal 318 KUHP
tampaknya diambil alih oleh RUU KUHP 1993 pada pasal 422
(16.09).Perbedaan pasal 318 KUHP dengan pasal 16.09 RUU
KUHP 1993 adalah bahwa pada pasal 16.09 disebut ”persangkaan
palsu” sedang pada pasal 318 KUHP disebut fitnah dengan
perbuatan.
I. PENISTAAN TERHADAP ORANG YANG MENINGGAL
Masyarakat indonesia yang merupakan masyarakat pancasilais
dengan unsur pertamanya ”Ke-tuhanan yang maha esa” menyadari
bahwa manusia yang hidup di dunia, tidak sempurna, serba
kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi perilaku.
221
Terhadap orang yang sudah meninggal, selaku orang yang
beragama dan beriman, tidak ada yang berkenan untuk
mengungkit-ungkit kekurangan-kekurangan orang yang telah
meninggal. Dirasakan kurang layak, tidak etis jika mengutarakan
kekurangan-kekurangan orang yang sudah meninggal. Hal yang
demikian merugikan perilaku tercela.
Dalam ilmu hukum pidana, kehormatan dan nama baik,
merupakan obyek manusia yang masih hidup. Manusia yang masih
hidup memerlukan kehormatan dan nama baik sedang orang yang
sudah meninggal pada hakikatnya tidak memerlukannya. Hal ini
merupakan hal yang logis sebab orang yang sudah meninggal tidak
memerlukan apa-apa lagi dalam arti tidak memerlukan kepentingan
atau kebutuhan. Oleh karenanya, penghinaan bagi orang yang sudah
meninggal merupakan hal yang tidak mungkin. Penghinaan terhadap
orang yang sudah meningga dimaksudkan dengan tujuan terhadap ahli
waris sedang ahli waris sebagai manusia, berkepentingan untuk
melindungi kehormatan dan nama baik keluarganya.
Penistaan terhadap orang yang sudah meninggal diatur dalam pasal
320 dan 321 KUHP.
Berdasarkan bunyi Pasal 320 KUHP, maka unsur-unsurnya
sebagai berikut:
 Melakukan suatu perbuatan yang dapat dianggap sebagai
menista atau menista dengan surat atau tulisan;
 Perbuatan itu ditujukan kepada orang yang telah meninggal.
Berdasarkan rumusan pasal 321 KUHP maka unsur-unsurnya
adalah sebagai berikut:
 Menyebarluaskan atau menyiarkan,mempertunjukkan kepada
umum atau menempelkan;
 Tulisan atau gambar/lukisan;
 Dengan maksud supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui
oleh umum;
 Tulisan atau gambar/lukisan tersebut,menghina atau menista
orang yang sudah meninggal.
222
RANGKUMAN:
1.
2.
3.
Bentuk-bentuk perbuatan pidana terhadap kehormatan, yaitu
menista (penghinaan) baik lisan atau tulisan, memfitnah, dan
penistaan terhadap orang yang sudah meninggal.
Tindak pidana menista dapat terjadi apabila perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik
orang lain menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu, dengan
maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum baik lisan atau
tulisan dan apabila tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan maka
telah dianggap melakukan perbuatan memfitnah.
Tindak pidana terhadap kehormatan ini merupakan delik aduan
yang harus ada pengaduan agar sipelaku dapat dituntut kecuali
Pasal 316 KUHP
LATIHAN:
1. Sebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap kehormatan!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan perbuatan menyerang
kehormatan dan nama baik seseorang disertai dengan contohnya!
3. Jelaskan perbedaan Pasal 310 ayat (1) dengan ayat (2)?
4. Jelaskan perbedaan perbuatan menista dengan memfitnah dengan
disertai contohnya masing-masing.
GLOSSARIUM:
- Smaad adalah perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang yang sering juga disebut dengan penghinaan atau
menista.
- Lasterlijke aan klacht adalah Fitnah dengan pengaduan dalam arti
bahwa untuk dituntut perkara memfitnah harus ada pengaduan
dari yang difitnah begitu juga penghinaan.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Satochid (Ed). Tanpa Tahun, Hukum Pidana II Delikdelik Tertentu, Balai Lektur Mahasiswa.
223
Marpaung, Leden. (Ed). 1997. Kejahatan Terhadap Kehormatan
Pengertian dan Penerapannya, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Soesilo,R. (Ed). 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
Wirjono Prodjodikoro (Ed). 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta:
PT. Eresco.
224
BAB XIII
TINDAK PIDANA TERHADAP HARTA BENDA
Tujuan Umum Pembelajaran: Setelah mempelari pokok bahasan ini
diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk kejahatan
mengenai kesusilaan serta unsur-unsurnya.
Tujuan Khusus Pembelajaran:
Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk-bentuk tindak pidana
terhadap harta benda.
2. Mahasiswa mampu menguraikan unsur-unsur tindak pidana
pencurian, pengancaman, penggelapan, penipuan dan
penadahan.
3. Mahasiswa mampu membedakan antara penggelapan dengan
penadahan.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan tindak pidana perusakan dan
pengahncuran benda.
A. PENCURIAN BIASA
Kejahatan terhadap harta benda adalah berupa
perkosaan/penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas
harta benda milik orang lain (bukan milik petindak), dimuat
dalam Buku II KUHP yaitu:
1. Pencurian (diefstal), diatur dalam Bab XXII
2. Pemerasan dan pengancaman (afpersing dan afdreiging),
diatur dalam Bab XXIII.
3. Penggelapan (verduistering), diatur dalam Bab XXIV
4. Penipuan (bedrog), diatur dalam Bab XXV.
5. Penghancuran dan perusahan benda (versieling og
beschadiging van goederen), diatur dalam Bab XXVII.
6. Penadahan (heling), diatur dalam Bab XXX.
Pengertian pencurian menurut hukum beserta unsurunsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP, adalah berupa
rumusan pencurian dalam bentuk pokoknya yang berbunyi:
225
“Barang siapa mengambil sesuatu benda yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak
Rp. 900,00”
Untuk lebih jelasnya, apabila dirinci rumusan itu terdiri dari
unsur-unsur yakni:
1. Unsur-unsur objektif, terdiri dari:
a. Perbuatan mengambil
b. Objeknya suatu barang/benda
c. Unsur keadaan yang menyertai/melekat pada benda, yaitu
benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain.
2. Unsur-unsur subjektif, terdiri dari:
a. Adanya maksud
b. Yang ditujukan untuk memiliki
c. Dengan melawan hukum (Chazawi, 2004: 5).
Ad.1. Unsur-unsur Objektif
a. Mengambil (wegnemen)
Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang
mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah
berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu
tingkah laku positif/perbuatan materiil, yang dilakukan
dengan gerakan-gerakan otot yang disengaja yang pada
umumnya dengan menggunakan jari-jari dan tangan yang
kemudian diarahakan pada suatu benda, menyentuhnya,
memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan
memindahkannya ke tempat lain atau dalam kekuasaanya
(Bandingkan dengan Prodjokoro, 1980:15). Sebagaimana
dalam bentuk tulisan, aktifitas tangan dan jari-jari
sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan syarat
dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari
perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif,
ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda
itu ke dalam kekuasaanya. Berdasarkan hal tersebut, maka
mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan
perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda
tersebut ke dalam kekuasaanya secara nyata dan mutlak
226
(Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur
berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata
adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan
mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk
menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.
Sebagai ternyata dari arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12
Nopember 1894 yang menyatakan bahwa “perbuatan
mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku,
sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui”.
Dari perbuatan mengambil berakibat pada
beralihannya kekuasaan atas bendanya saja, dan tidak juga
beralihnya hak milik atas benda itu ke tangan petindak.
Oleh karena untuk mengalihkan hak milik atas suatu benda
tidak dapat terjadi dengan perbuatan yang melanggar
hukum, melainkan harus melalui perbuatan-perbuatan
hukum, misalnya dengan jalan jual beli, hibah dan lain
sebagainnya (Chazawi, 2004: 7).
Sehubungan dengan hal ini Wirjono Prodjodikoro
(1980: 17) mengatakan bahwa “unsure memiliki benda
adalah kontradiksi dengan unsur melanggar hukum, karena
memiliki benda yang berarti menjadikan dirinya pemilik
adalah harus menurut hukum, maka tidak mungkin
memiliki benda orang lain dengan melanggar hukum itu.
b. Unsur Benda/Barang
Pada mulanya benda-benda yang menjadi objek
pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie
van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362
KUHP adalah terbatas pada benda-benda bergerak
(roerend goed) dan benda-benda berwujud (stoffelijk
goed). Benda-benda tidak bergerak, baru dapat menjadi
objek pencurian apabila telah terlepas dari benda tetap dan
menjadi
benda
bergerak,
rumah
yang
telah
terlepas/dilepas. Apabila petindak terlebih dulu menebang
pohon atau melepas daun pintu kemudian diambilnya,
maka disamping ia telah melakukan pencurian, ia juga
telah melakukan kejahatan perusakan benda (pasal 406
227
KUHP). Dalam hal ini terjadi perbarengan perbuatan
(pasal 65 KUHP).
Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud
dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan
mengambil. Benda yang kekuasaanya dapat dipindahkan
secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang
bergerak dan berwujud saja.
Dalam praktik, pengertian benda yang dapat
menjadi objek pencurian sebagaimana diterangkan di atas
tindak sepenuhnya dianut, kadang-kadang ditafsirkan
sedemikian luasnya sehingga sudah jauh menyimpang,
sebagaimana dalam kasus-kasus sebagai berikut:
1. Orang yang perbuatannya menyadap aliran listrik,
oleh HR dalam arrestnya tanggal 23 Mei 1921
dikualifisir sebagai pencurian aliran listrik, (dikenal
dengan elecktrische arrest). Jelas di sini energy
listrik telah tetap menjadi objek pencurian. Dalam
masyarakat telah dikenal secara meluas mengenai
perbuatan-pencurian terhadap energi listrik yang
dapat dikualifikasi sebagai pencurian listrik.
Bahkan oleh UU No. 15 tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan perbuatan menggunakan tenaga
listrik tanpa hak seperti itu dinyatakan sebagai
pencurian sebagaimana yang dimaksud dalam
KUHP.
2. Orang yang mendapatkan gas yang diusahakan
Pemerintah Kotamadya yang bertentangan dengan
syarat-syarat penyerahan gas melalui suatu
meteran, dipersalahkan oleh HR sebagai melakukan
pencurian gas, tanpa memperhatikkan siapa yang
telah melakukan perusakan meterannya (arrest HR
tanggal 9-11-1932)
c. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain
Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang
lain, cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik
petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B,
yang kemudian A mengambilnya dari kekuasaan B lalu
228
menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda tersebut telah
berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka
bukan pencurian yang terjadi melainkan penggelapan
(pasal 372).
Siapakah yang diartikan dengan orang lain dalam
usur sebagian atau seluruhnya milik orang lain? Orang lain
ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan
demikian maka pencurian dapat pula terjadi terhadap
benda-benda milik suatu badan misalnya milik Negara.
Jadi benda yang dapat menjadi objek pencurian ini
haruslah benda-benda yang ada pemiliknya. Benda-benda
yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek
pencurian.
Ad. 2.Unsur-unsur subjektif
a. Maksud untuk memiliki
Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur,
yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai
maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur
kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki.
Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan.
Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang
lain itu harus ditujukan untuk memilikinya.
Sebagai suatu unsur subjektif, memiliki adalah
untuk memiliki bagi diri sendiri (Satochid kartanegara
1:171) atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya.
Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti
sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri
petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap
batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai
miliknya.
Pengertian lain dari memiliki, terdapat dalam
MvT mengenai pembentukan pasal 362 KUHP yang
menyatakan bahwa memiliki itu adalah menguasai
sesuatu benda seolah-olah ia pemilik dari benda
tersebut. Dalam praktik, pengertian yang diberikan
oleh MvT inilah yang sering kali dianut, seperti tampak
229
b.
dalam arrest HR tanggal 14-2-1938 yang menyatakan
“adalah disyaratkan untuk maksud bertindak seolaholah pemilik dari suatu benda secara melawan hak
incasu petindak telah mengambil arus listrik dengan
maksud untuk menggerakkan alat-alat yang terdapat di
bengkel ayanya secara melawan hukum.
Melawan hukum
Maksud memiliki dengan melawan hukum atau
maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum,
artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan
mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar
memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian)
itu adalah bertentangan dengan hukum.
Berhubung dengan alasan inilah, maka unsur
melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke
dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini
kiranya sesuai dengan keterangan dalam MvT yang
menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan
dicantumkan secara tegas dalam rumusan tindak pidana
berarti kesengajaan itu harus ditujukan pada semua
unsur yang ada di belakangnya (Moeljatno, 1983:182).
Unsur maksud adalah merupakan bagian dari
kesengajaan.
B. PENCURIAN YANG DIPERBERAT
Pencurian dalam bentuk diperberat (gequalificeerde diefstal)
adalah bentuk pencurian sebagaimana yang dirumuskan dalam
pasal 362 (bentuk pokoknya) ditambah unsur-unsur lain, baik
yang objektif maupun subjektif, yang bersifat memberatkan
pencurian itu, dan oleh karenanya diancam dengan pidana yang
lebih berat dari pencurian bentuk pokoknya.
Pencurian dalam bentuk yang diperberat diatur dalam
pasal 363 dan 365 KUHP. Bentuk pencurian yang diperberat
pertama ialah:
1. Pasal 363 KUHP merumuskan:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:
1. Pencuri ternak
230
2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir,
gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal
karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara,
pemberontakan, atau bahaya perang.
3. Pencurian pada waktu malam dalam suatu tempat
kediaman atau perkarangan yang tertutup yang ada tempat
kediamannya, yang dilakukan oleh orang yang ada di sini
tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan bersekutu, dan;
5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan
kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang
diambilnya, dilakukan dengan merusak, memotong atau
memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu,
perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai
dengan salah satu hal tersebut dalam butir 4 dan 5, maka
dikenakan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Dilihat dari ancaman pidananya, pencurian yang diperberat
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 363 KUHP ada 2
golongan, yaitu:
a. Pertama, pencurian diperberat yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 7 tahun, sebagaimana diatur
dalam ayat pertama, yang terdiri dari lima bentuk
pencurian, dengan dasar pemberatan pada unsur-unsur:
1) Objeknya, ternak
Mengenai arti ternak, menurut pasal 101 KUHP terbatas
pada 3 jenis/rumpun hewan, yaitu:
a) Binatang yang berkuku satu, seperti kuda, keledai, dan
sebagainya.
b) Binatang yang memamah biak, seperti sapi, kerbau, dan
sebagainya
c) Dan Babi
2) Faktor: saat atau keadaan-keadaan dan atau dalam
peristiwa-peristiwa tertentu yang bersifat memberatkan,
ketika pencurian itu dilakukan. Seperti pada saat ada
231
kebakaran, letusan, banjir dan lainnya sebagaimana
disebutkan dalam pasal 363 ayat (1) sub 2.
Adapun dasar pemberatnya tersebut adalah terletak
pada pemikiran bahwa, dalam keadaan-keadaan atau
peristiwa tersebut, terjadi kepanikan, keributan,
kekacauan. Dalam situasi seperti itu, dapat member
kemudahan untuk melakukan pencurian, yang sepatutnya
keadaan atau peristiwa tersebut tidak digunakan sebagai
kesempatan untuk melakukan kejahatan, akan tetapi untuk
memberi pertolongan.
3) Ada 3 faktor kumulatif yang bersifat memberatkan, yaitu:
a) saatnya melakukan pencurian: malam hari
b) tempat melakukan pencurian (alternative);
(1) dalam sebuah tempat kediaman (woning),
(2) di pekarangan yang tertutup yang di dalamnya ada
tempat kediamannya;
c) petindaknya berada di tempat itu (alternative)
(1) dengan tidak diketahui atau,
(2) dengan tidak dikehendaki oleh yang berhak
4) Pemberatan yang didasarkan pada faktor pelakunya lebih
dari seorang dengan bersekutu
Yang dimaksud dengan dua orang atau lebih dengan
bersekutu ialah bahwa orang-orang yang terlibat dan
bertanggung jawab atas timbulnya pencurian itu adalah di
antara orang-orang yang berkualitas sebagaimana dimaksud
dalam pasal 55 (1) KUHP, disebut petindak perserta
(mededader) yang terditi dari pelaku pelaksana, pelaku
penyuruh, pelaku peserta, dan pelaku penganjur, dan bukan
yang satu pelaku pelaksana dan yang lain pelaku pembantu.
Arrest HR tanggal 10-12-1894 menyatakan bahwa
pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu haruslah dilakukan secara turut serta
(mededaderschap) dan bukan secara pemberian bantuan
(medeplchtigheid).
5) Pemberatan yang didasarkan pada faktor caranya untuk
masuk atau sampai pada tempat melakukan kejahatan atau
tempat beradanya objek kejahatan, yakni dengan cara:
232
a) membongkar
b) merusak
c) memanjat
d) memakai anak kunci palsu
e) dengan memakai perintah palsu, dan
f) dengan memakai pakaian jabatan palsu
Bentuk pencurian yang diperberatkan kedua, ialah yang
diatur dalam Pasal 365 KUHP yang dikenal dengan pencurian
dengan kekerasan.
Pencurian sebagaimana dirumuskan di atas, dalam
praktik dikenal sebagai pencurian dengan kekerasan. Oleh
sebab dilakukan dengan upaya kekerasan atau ancaman
kekerasan. Berdasarkan ancaman pidananya, pencurian yang
diperberat ini, dibedakan menjadi 4 bentuk, yaitu masingmasing bentuk selalu terdapat upaya kekerasan maupun
ancaman kekerasan. Empat bentuk itu adalah:
a. Bentuk pertama sebagaimana diatur dalam ayat (1) yang
memuat semua unsur dari pencurian dengan kekerasan
yang diancam dengan pidana maksimum 9 tahun.
Unsur-unsurnya sebagai berikut:
1) Unsur-unsur yang terdapat pada pasal 362, baik yang
bersifat objektif maupun subjektif, berupa unsur-unsur
pencurian dalam bentuk standar/bentuk pokok. Unsurunsur ini sudah tercakup dalam perkataan pencurian
dalam 365 (1) tersebut.
2) Kemudian ditambah unsur-unsur khusus, yaitu unsurunsur yang bersifat memberatkan pencurian, yaitu:
(a) cara
atau
upaya-upaya
yang
digunakan
berupa:kekerasan, atau
(b) ancaman kekerasan
(1) yang ditujukan pada orang
(2) waktu penggunaan upaya kekerasan atau
ancaman kekerasan itu, ialah:
(a) sebelum
(b) pada saat, atau
(c) setelah belangsungnya pencurian
233
Unsur subjektifnya ialah maksud digunakannya
kekerasan ataupun ancaman kekerasan itu ditujukan pada 4
hal, yaitu
(1) untuk mempersiapkan
(2) untuk mempermudah pencurian
(3) apabila tertangkap tangan memungkinkan untuk
melarikan diri sendiri atau peserta lainnya
(4) apabila tertangkap tangan dapat tetap menguasai
benda hasil curiannya.
b. Bentuk kedua, yaitu pada ayat 2 yang diancam dengan pidana
penjara maksimum 12 tahun, yang dibagi lagi menjadi 4
bentuk, yang masing-masing memuat unsur-unsur berupa:
1) semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362)
2) ditambah unsur-unsur khusus dalam ayat 1 pasal 365;dan
3) ditambah unsur-unsur lebih khusus lagi bersifat alternatife,
yang merupakan ciri masing-masing bentuk dari 4 bentuk
yang dimaksud dalam ayat 2 pasal 365, yaitu:
a) pertama, yang terdiri dari 4 bentuk lagi, yakni:
pencurian yang dilakukan waktu malam di:
(1) di tempat kediaman, atau
(2) pekarangan tertutup yang di dalamnya ada tempat
kediamanya, atau
(3) di jalan umum, atau
(4) did alam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
c. Pencurian dengan kekerasan bentuk yang ketiga, yakni yang
diancam dengan pidana maksimum 15 tahun.
Pencurian dengan kekerasan bentuk ketiga ini adalah
sebagaimana diatur dalam pasal 365 ayat 3, yang harus
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362)
2) unsur-unsur pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat
(1))
3) adanya akibat kematian orang
d. Pencurian dengan kekerasan bentuk keempat, adalah yang
terberat, karena diancam dengan pidana mati, atau pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara setinggi-
234
tingginya 20 tahun, yaitu apabila tergabungnya unsur-unsur
sebagai berikut:
1) semua unsur pencurian bentuk pokok (pasal 362)
2) semua unsur pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat
(1))
3) Unsur timbulnya akibat: luka berat atau matinya orang
4) Dilakukan oleh dua orang dengan bersekutu
5) Ditambah salah satu dari:
a) waktu melakukan pencurian yaitu malam, ditambah
unsur tempat yakni dalam sebuah tempat kediaman
atau pekarangan tertutup yang ada tempat
kediamannya
b) unsur cara-caranya untuk masuk atau sampai pada
tempat melakukan kejahatan dengan jalan:
(1) merusak
(2) memanjat
(3) memakai anak kunci palsu
(4) memakai perintah palsu
(5) memakai pakaian. jabatan palsu
C. PENCURIAN RINGAN
Pencurian ringan (gepriviligeerde diefstal) dimuat dalam pasal 364
KUHP yang rumusannya sebagai berikut:
Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan
363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan
dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah
tempat kediaman atau pekarangan yang tertutup yang ada
kediamannya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari
Rp. 250,00 diancam karena pencurian ringan dengan pidana
penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak
Rp. 900,00
Jadi ada 3 kemungkinan saja dapat terjadi pencurian
ringan, yaitu apabila:
1. Pencurian biasa sebagaimana diatur pasal 362, ditambah
adanya unsur yang meringankan yakni nilai benda yang dicuri
tidak lebih dari Rp. 250,00
235
2. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan
bersekutu ditambah unsur nilai objeknya tidak lebih dari Rp.
250,00
3. Pencurian yang dilakukan dengan cara masuk ke tempat
melakukan kejahatan itu dengan jalan: membongkar, merusak,
memanjat, memakai anak kunci palsu, penrintah palsu atau
pakaian jabatan palsu, ditambah nilainya benda yang dicuri
tidak lebih dari Rp. 250,00
D. PENCURIAN DALAM KALANGAN KELUARGA
Dalam Pasal 367 KUHP dapat diketahui bahwa ada 2 bentuk
pencurian dalam keluarga, yaitu:
1. Bentuk pertama sebagaimana yang diatur dalam ayat(1)yaitu
apabila terdapatnya unsur-unsur sebagai berikut:
a. semua unsur pencurian pokok (pasal 362)
b. adanya unsur khusus, yakni:
1) adanya hubungan antara petindak atau pelaku pembantunya dengan korban sebagai suami atau istri yang tidak
terpisah meja dan tempat tidur atau tidak terpisah harta
kekayaannya
2) Unsur benda objeknya adalah benda-benda milik suami
atau istri tersebut.
E. PEMERASAN DAN PENGANCAMAN
1. Pemerasan
Dari rumusan Pasal 368 ayat (1) sebagai rumusan dari
pengertian pemerasan itu terdapat unsur-unsur:
a. Unsur-unsur objektif
1) perbuatan memaksa
Undang-undang tidak menerangkan tentang apa yang
dimaksud dengan memaksa.
Perbuatan memaksa
adalah berupa perbuatan (aktif dan dalam hal
menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan)
yang sifatnya menekan (kehendak atau kemauan) pada
orang, agar orang itu melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan kehendak orang itu sendiri.
236
2)
yang dipaksa:seseorang
Orang di sini, baik pemilik benda maupun bukan,juga
tidak harus orang yang menyerahkan benda, yang
memberik hutang maupun yang menghapuskan hutang.
Orang yang menerima paksaan, tidak harus sama
dengan orang yang menyerahkan benda, yang memberi
hutang maupun yang menghapuskan piutang.
3) upaya memaksa dengan:
a) kekerasan, atau
b) ancaman kekerasan
Perbuatan memaksa adalah berupa perbuatan
materiil (perbuatan jasmani), karenanya harus
aktif, dan juga berupa perbuatan yang bersifat
abstrak. Perbuatan yang bersifat abstrak ini akan
menjadi lebih konkret sifatnya dan lebih terbatas
wujudnya, setelah dihubungkan dengan upaya atau
cara melakukannya yakni dengan kekerasan dan
ancaman kekerasan.
Mengenai pengertian
kekerasan dan ancaman kekerasan perhatian
kembali pencurian dengan kekerasan yang sudah
dibicarakan terdahulu.
4) tujuan, sekaligus merupakan akibat dari perbuatan
memaksa dengan menggunakan upaya kekerasan atau
ancaman kekerasan, yaitu:
a) orang menyerahkan benda
b) orang memberi hutang
c) orang menghapus piutang
b. Unsur-unsur subjektif
1) dengan maksud untuk menguntungkan:
a. diri sendiri, atau
b. orang lain
2). Dengan melawan hukum.
2) Tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan
memaksa, yaitu orang menyerahkan benda, orang memberikan
hutang dan atau orang menghapuskan piutang.
3) Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum.
237
Yang dimaksud dengan menguntungkan diri, ialah
menambah sejumlah kekayaan seseorang dari kekayaan yang
sudah ada. Penembahan kekayaan ini baik untuk dirinya sendiri
maupun bagi orang lain, yang dalam pemerasan tidak harus telah
terwujud.
2. Pengancaman
Ada dua bentuk pengancaman (afdreiging), yaitu pertama
bentuk pokoknya (pasal 369) dan yang kedua pengancaman
dalam kalangan keluarga (pasal 370).
Pasal 369, bentuk pokok pengancaman merumuskan:
(1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan
ancaman penceramaran dengan lisan maupun tulisan atau
dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang
supaya memberikan suatu benda yang seluruhnya atau
sebagian milik orang itu atau orang lain, atau supaya
memberikan hutang atau menghapuskan piutang, diancam
dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
(2) Kejahatan ini tidak dituntut kecuali atas pengaduan orang yang
terkena kejahatan.
Tampak dari rumusan tersebut di atas, pengancaman ini
banyak persamaannya dengan pemerasan, dapat dilihat jika
pengancaman itu dirinci unsur-unsurnya.
a. Unsur-unsur objektif, terdiri dari:
1) perbuatan memaksa
2) yang dipaksa, orang
a) cara-cara memaksa dengan memakai: ancaman pencemaran
nama baik, baik tertulis maupun lisan
b) ancaman akan membuka rahasia
3) unsur tujuan yang sekaligus merupakan akibat
a) orang menyerahkan suatu benda yang sebagian atau
seluruhnya milik orang lain
b) orang memberi hutang
c) orang meniadakan piutang
b. Unsur-unsur subjektif, yaitu:
1) maksud yang ditujukan pada:
a) menguntungkan dirinya sendiri
238
b) menguntungkan orang lain
2) dengan melawan hukum.
Setelah dirinci sedemikian rupa, maka tampaklah
persamaan dan perbedaan antara pemerasan dan pengancaman.
Adapun persamaanya ialah terletak pada:
1) perbuatan materiilnya masing-masing berupa memaksa
2) perbuatan memaksa ditujukan pada: orang tertentu
3) tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan
memaksa: agar orang menyerahkan benda, memberi hutang
dan atau menghapuskan piutang
4) unsur kesalahan masing-masing berupa maksud yang
ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain
dengan melawan hukum.
Sedangkan perbedaannya, adalah:
1) cara-cara digunakan dalam melaksanakan perbuatan
materiilnya, yaitu:
a. pada pemerasan, dengan menggunakan kekerasan dan
ancaman kekerasan
b. pada pengancaman, dengan menggunakan ancaman
pencemaran dan akan membuka rahasia.
2) pemerasan merupakan tindak pidana biasa. Pengancaman
merupakan tindak pidana aduan absolute
3) mengenai ancaman pidananya.
3. Pemerasan dan Pengancaman dalam Kalangan Keluarga
Sama halnya dengan pencurian dalan kalangan keluarga,
pemerasan dan pengancaman dalam kalangan keluarga juga
terdiri dari dua macam, yaitu pertama ialah berupa pemerasan dan
pengancaman dalam kalangan keluarga yang tidak dapat dituntut
pidana, dan kedua pemerasan dan pengancaman dalam kalangan
keluarga yang dapat dituntut pidana dengan suatu pengaduan.
1. Bentuk pertama, pemerasan dna pengancaman ini memuat
unsur-unsur:
a. semua unsur pemerasan (pasal 369), ditambah unsur khusus
yaitu berupa:
b. 1) unsur objektif berupa adanya hubungan antara korban
dengan petindaknya atau pelaku pembantunya sebagai suami
239
istri yang tidak terpisah meja dan tempat tidur atau
terpisah/dipisahkan harta kekayaannya, ditambah lagi unsur
2)mengenai objeknya, yakni benda-benda milik suami atau
istri tersebut.
2. Bentuk kedua, pemerasan dan pengancaman dalam kalangan
keluarga yang merupakan tindak pidana aduan, yaitu apabila
terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Semua unsur pemerasan (pasal 368*) dan pengancaman (pasal
369), ditambah lagi unsur khusus berupa:
b. Unsur-unsur yang bersifat alternatif, yaitu:
a. petindak atau dia sebagai pelaku pembantunya adalah
sebagai suami atau istri yang terpisah meja dan tempat
tidur atau terpisah harta kekayaannya, atau
b. petindak atau dia sebagai pelaku pembantunya adalah
keluarga sedarah atau menenda baik dalam garis lurus
maupun menyimpang dalam derajat kedua dengan
pemilik benda objek kejahatan
F. PENGGELAPAN
Bab XXIV (buku II) KUHP mengatur tentang penggelapan
(verduistering), terdiri dari 6 pasal (372 s/d 377).
Ada beberapa bentuk penggelapan, yaitu:
a. penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372)
b. penggelapan
dalam
bentuk-bentuk
yang
diperberat
(gequalificeerdpe verduistering, pasal 374 dan 375)
c. penggelapan ringan (lichte verduistering, pasal 373)
d. penggelapan dalam kalangan keluarga (pasal 376).
1. Penggelapan Biasa
Dari rumusan penggelapan sebagaimana tersebut dalam
Pasal 372, dapat dirinci unsur-unsurnya sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif, adalah:
a. perbuatan memiliki (zinc toeeigenen)
b. sesuatu benda (eening goed)
c. yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain
d. yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
1. Unsur-unsur subjektif, yaitu:
240
a. dengan sengaja (opzettelijk)
b. dan melawan hukum (wederrechtelijk)
Unsur-unsur objektif
a. perbuatan memiliki
pengertian memiliki pada penggelapan ini ada
perbedaanya dengan memiliki pada pencurian. Perberdaan ini,
ialah dalam hal memiliki pada pencurian adalah berupa unsur
subjektif, sebagai maksud untuk memiliki (benda objek
kejahatan itu). Tetapi pada penggelapan, memiliki berupa
unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan yang
dilarang dalam penggelapan. Kalau dalam pencurian tidak
disyaratkan benar-benar ada wujud dari unsur-unsur memiliki
itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur kesengajaan
sebagai maksud saja. Tetapi pada penggelapan, memiliki
berupa unsur objektif, yakni unsur tingkah laku atau perbuatan
yang dilarang dalam penggelapan.
Kalau dalam unsur
memiliki itu, karena memiliki ini sekedar dituju oleh unsur
kesengajaan sebagai maksud saja. Tetapi memiliki pada
penggelapan, karena merupakan unsur tingkah laku, berupa
unsur objektif, maka memiliki itu harus ada bentuk/wujudnya,
bentuk mana harus sudah selesai dilaksanakan sebagai syarat
untuk menjadi selesainya penggelapan.
Bentuk-bentuk
perbuatan
memiliki,
misalnya
menjual,
menukar,
menghibahkan, menggadaikan, dan sebagainya.
b. Unsur objek kejahatan: sebuah benda
c. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain
d. Benda berada dalam kekuasaanya bukan karena kejahatan.
Di sini ada 2 unsur, yang pertama: berada dalam
kekuasaanya, dan kedua bukan karena kejahatan.
Perihal unsur berada dalam kekuasaannya telah
disinggung di atas. Suatu benda dalam kekuasaan seseorang
apabila antara orang itu dengan benda terdapat hubungan
sedemikian eratnya, sehingga apabila ia akan melakukan segal
macam perbuatan terhadap benda itu ia dapat segera
melakukannya secara langsung tanpa terlebih dulu harus
melakukan perbuatan yang lain.
241
Misalnya ia langsung dapat melakukan perbuatan
menjualnya, menghibahkannya, menukarkannya, dan lain
sebagainya, tanpa ia harus melakukan perbuatan lain terlebih
dulu (perbuatan yang terakhir mana merupakan perbuatan
antara agar ia dapat berbuat secara langsung).
1. Unsur-unsur subjektif
a. Unsur kesengajaan
Unsur ini adalah merupakan unsur kesalahan
dalam penggelapan.
Sebagaimana dalam doktrin,
kesalahan (schuld) terdiri dari 2 bentuk yakni
kesengajaan (opzettelijk atau dolus) dan kelalaian
(culpos).
b. Unsur Melawan Hukum
Ada beberapa perbedaan antara penggelapan dengan
pencurian, perbedaan itu adalah:
1) tentang perbuatan materiilnya. Pada penggelapan adalah
perbuatan memiliki, pada pencurian adalah mengambil. Pada
pencurian ada unsur memiliki, yang berupa unsur subjektif.
Pada penggelapan unsur memiliki adalah unsur tingkah laku,
berupa unsur objektif.
Untuk selesainya penggelapan
disyaratkan pada selesai atau terwujudnya perbuatan memiliki,
sedangkan pada pencurian pada perbuatan mengambil, bukan
pada unsur memiliki.
2) Tentang beradanya benda objek kejahatan di tangan petindak.
Pada pencurian, benda tersebut berada di tangan/kekuasaan
petindak akibat dari perbuatan mengambil, berarti benda
tersebut berada dalam kekuasaanya karena suatu kejahatan
(pencurian). Tetapi pada penggelapan tidak, benda berada
dalam kekuasaannya karena perbuatan-perbuatan yang sesuai
dengan hukum.
2. Penggelapan dalam Bentuk Diperberat
Penggelapan diperberat pertama, ialah yang ada dalam pasal
374 KUHP merumuskan sebagai berikut:
“penggelapan yang dilakukan oleh orang yang pengausaannya
terhadap benda disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena
suatu pencaharian atau karena pendapat upah untuk itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun”.
242
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsurunsur sebagai berikut:
a. semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372)
b. unsur-unsur khusus yang memberatkan, yakni beradanya
benda dalam kekuasaan petindak disebabkan oleh:
1) karena adanya hubungan kerjaan
2) karena mata pencaharian
3) karena mendapatkan upah untuk itu.
Penggelapan bentuk yang diperberat kedua, diatur dalam
pasal 375 yang rumusannya sebagai berikut:
Penggelepan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa
diberi benda untuk disimpan atau yang dilakukan oleh wali,
pengampu, kuasa, atau pelaksana surat wasiat, pengurus
lembaga sosial atau yayasan, terhadap benda yang dikuasainya
selaku demikian, diancam dengan pidana paling lama 6 tahun.
Apabila rumusan tersebut dirinci, maka terdiri dari unsurunsur:
a. unsur-unsur penggelapan bentuk pokok (Pasal 372)
b. unsur-usnur khusus yang sifatnya memberatkan, yakni
beradanya benda objek penggelapan di dalam pengusaan
petindak disebabkan oleh:
1) suatu keadaan yang terpaksa untuk dititipkan
2) kedudukan sebagai wali (voogd)
3) kedudukan sebagai pengampu (curator)
4) kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder)
5) kedudukan sebagai pelaksana surat wasiat
6) Kedudukan sebagai pengurus dari lembaga sosial atau
yayasan.
3. Penggelapan Ringan
Penggelapan
yang
dikualifikasikan
sebagai
penggelapan ringan (grepvriligeerde verduistering) dirumuskan dalam pasal 373 yang berbunyi:
“perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 apabila
yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih
dari Rp. 250,00 dikenal sebagai penggelapan ringan
243
dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda
paling banyak Rp. 900,00”.
Rumusan penggelapan ringan tersebut di atas terdiri
dari unsur-unsur sebagai berikut:,
1. semua unsur penggelapan dalam bentuk pokok (pasal 372)
2. unsur-unsur khusus, yakni:
a. objeknya : benda bukan ternak
b. nilai benda tidak lebih dari Rp. 250,00
4. Penggelapan dalam Kalangan Keluarga
Dalam kejahatan terhadap harta benda, pencurian,
pengancaman, pemerasan, pengelapan, penipuan apabila
dilakukan dalam kalangan keluarga maka dapat menjadi:
1) tidak dapat dilakukan penuntutan terhadap petindaknya
maupun terhadap pelaku pembantunya (Pasal 367 ayat (1))
2) tindak pidana aduan. Tanpa ada pengaduan, baik terhadap
petindaknya maupun pelaku pembantunya tidak dapat
dilakukan penuntutan (pasal 367 ayat (2)).
G. PENIPUAN
Kejahatan penipuan (bedrog) dimuat dalam Bab XXV Buku II
KUHP, dari pasal 378 s/d pasal 399 titel asli bab ini adalah
bedrog yang oleh banyak ahli diterjemahkan sebagai penipuan,
atau ada juga yang menerjemahkan sebagai perbuatan curang.
Tresna menyebutkannnya bekicau. Perkataan penipuan itu sendiri
mempunyai dua pengertian, yakni:
1. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang
dirumuskan dalam Bab XX KUHP
2. Penipuan dalam arti sempit, yaitu bentuk penipuan yang
dirumuskan dalam pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379
(bentuk khususnya), atau yang biasa disebut dengan
oplichting.
1. Penipuan Biasa/Pokok
Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur:
1. unsur-unsur objektif
a. perbuatan menggerakkan
b. yang digerakkan orang
c. perbuatan itu ditujukan pada
244
1)
2)
3)
d.
1)
2)
3)
4)
2.
a.
orang lain menyerahkan benda
orang lain memberi hutang
orang lain menghapuskan piutang
cara melakukan perbuatan menggerakkan dengan
memakai nama palsu
memakai tipu muslihat
memakai martabat palsu
memakai rangkaian kebohongan
unsur-unsur subjektif
1) maksud untuk menguntungkan diri sendiri
2) maksud untuk menguntungkan orang lain
b. dengan melawan hukum
2. unsur-unsur objektif penipuan
a. Perbuatan mengerakkan (bewegen)
Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai
perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh
pada orang lain. Objek yang dipengaruhi adalah kehendak
seseorang.
Perbuatan menggerakkan adalah berupa
perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara
konkret bila dihubungkan dengan cara melakukannya.
Cara melakukannya inilah sesungguhnya yang lebih
berbentuk, yang bisa dilakukan dengan perbuatanperbuatan yang benar dan dengan perbuatan yang tidak
benar.
b. yang digerakkan adalah orang
Pada umumnya orang yang menyerahkan benda,
orang yang memberi hutang dan orang yang
menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah
orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal ini bukan
merupakan keharusan, karena dalam rumusan pasal 378
tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang
menyerahkan benda, memberi hutanga maupun
menghapuskan piutang adalah harus orang yang
digeraakkan.
c. 1) menyerahkan benda
245
Pengertian benda dalam penipuan mempunyai arti
yang sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan,
yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak.
d. 2) memberi hutang, dan 3) menghapuskan piutang
Perkataan hutang di sini tidak sama artinya dengan
hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian
atau perikatan. Hoge Raad dalam suatu arrestnya (30-11928) menyatakan bahwa “yang dimaksud dengan hutang
adalah suatu perikatan, misalnya menyetor sejumlah uang
jaminan”.
2. Penipuan Ringan
Penipuan ringan (lichte oplichting) dirumuskan dalam
pasal 379 yang berbunyi:
Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 378 jika benda yang
diserahkan itu bukan ternak dan harga dari benda, hutang
atau piutang itu tidak lebih dari Rp 250,00 dikenal sebagai
penipuan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan
atau pidana denda paling banyak Rp. 900,00.
Faktor yang menyebabkan penipuan sebagaimana
dirumuskan di atas menjadi ringan adalah:
a. benda objek bukan ternak, dan
b. nilai benda objek tidak lebih dari Rp. 250,00
Unsur-unsur penipuan ringan adalah:
1. semua unsur penipuan pasal 378 dan
2. unsur-unsur khusus, yaitu:
a. benda objek bukan ternak
b. nilainya tidak lebih dari Rp. 250,00
H. PERUSAKAN DAN PENGHANCURAN BENDA
1. Perusakan dan Penghancuran Benda Biasa
Perusakan dan penghancuran benda dalam bentuk
pokok, diatur dalam pasal 406 merumuskan sebagai berikut:
(1) barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
menghancurkan, merusakkan, membikin tidak dapat
dipakai atau menghilangkan suatu benda yang seluruhnya
atau sebagian adalah milik orang lain, diancam dengan
246
pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau denda
paling banyak Rp. 4.500.00,(2) dijatuhkan pidana yang sama terhadap orang, yang dengan
sengaja dan melawan hukum membunuh, merusakkan,
membikin tidak dapat dipergunakan atau menghilangkan
hewan yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.
Perbedaan pokok antara ketentuan pada ayat 1 dan pada
ayat (2), ialah mengenai objeknya. Pada ayat (1) objeknya
bukan binatang, sedangkan pada ayat 2 objek binatang. Unsurunsur rumusan pada ayat pertama adalah:
1. unsur-unsur objektif
a. perbuatan
1) menghancurkan
2) merusakkan
3) membikin tidak dapat dipakai
4) menghilangkan
b. objeknya: suatu benda
c. yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain
2. Unsur-unsur subjektif
a. dengan sengaja
b. melawan hukum
I. PENADAHAN
Kejahatan penadahan masuk menjadi bagian Bab XXX buku II
KUHP, terdiri dari 3 pasal, yakni 480, 481 dan 482.
Pasal 480 merumuskan sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda
paling banyak Rp. 900,00 karena penadahan.
1. barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai,
menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut,
menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang
diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa diperolehnya
dari kejahatan, dan
2. barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda,
yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa
diperolehnya dari kejahatan.
247
Rumusan penadahan yang pertama mempunyai unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Unsur-unsur objektif
a. perbuatan kelompok 1, yaitu:
1) membeli
2) menyewa
3) menukar
4) menerima gadai
5) menerima hadiah, atau kelompok 2 untuk menarik keuntungan:
1) menjual
2) menukarkan
3) menyewakan
4) menggadaikan
5) mengangkut
6) menyimpan
7) menyembunyikan
b. Objenya: suatu benda
c. Yang diperolehnya dari suatu kejahatan
2. Unsur-unsur subjektif
a. yang diketahuinya
b. yang sepatutnya dapat diduga bahwa benda itu peroleh dari
kejahatan.
Dari rumusan penadahan pertama, ada 2 bentuk penadahan
(perhatikan rincian unsur perbuatannya). Bentuk pertama unsur
perbuatannya terdiri dari kelompok 1 perbuatan nomor 1 s/d 5,
sedangkan bentuk kedua, kelompok perbuatannya:nomor 1 s/d 7.
Perbedaan antara bentuk pertama dengan bentuk kedua,
ialah pada bentuk kedua, perbuatannya didorong oleh suatu motif
untuk menarik keuntungan, dan motif ini harus dibuktikan.
Sedangkan bentuk pertama tidak diperlukan motif apa pun juga.
Penadahan yang dirumuskan kedua (ayat 2), terdiri dari
unsur-unsur:
1. Unsur-unsur objektif
a. perbuatan mearik keuntungan dari
b. Objeknya hasil suatu benda
c. Yang diperolehnya dari suatu kejahatan
2. Unsur-unsur subjektif
248
a. yang diketahuinya, atau
b. patut menduga benda itu dari hasil suatu kejatanan
Bentuk penadahan sebagai kebiasaan diatur dalam Pasal
481 yang unsur-unsur kejahatannya adalah:
1. Unsur-unsur objektif
a. perbuatan
1) membeli
2) menukar
3) menerima gadai
4) menyimpan
5) menyembunyikan
b. objeknya: suatu benda
c. yang diperoleh dari kejahatan
d. menjadikan sebagai kebiasaan.
2. Unsur-unsur subjektif: sengaja.
RANGKUMAN:
1. Pencurian meliputi unsur-unsur:
- Mengambil
- Barang tertentu
- Barang itu seluruh atau sebagian milik orang lain
- Mengambil dengan maksud untuk memiliki
- Memiliki itu harus dengan cara melawan hukum.
2. Jenis-jenis tindak pidana pencurian adalah:
a. Pencurian Biasa (Pasal 362 KUHP)
b. Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP)
c. Pencurian Ringan (Pasal 364 KUHP)
d. Pencurian dengan Kekerasan (Pasal 364 KUHP).
3. Penggelapan mempunyai unsur-unsur:
- Dengan sengaja memiliki
- Dengan melawan hukum
- Sebagian atau seluruhnya barang itu kepunyaan orang lain
4. Unsur-unsur Pasal 368 KUHP atau pemerasan adalah:
- Memaksa orang lain
- Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian
kepunyaan orang lain atau membuat hutang atau
menghapuskan hutang.
249
5.
6.
- Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang
lain dengan melawan hukum.
- Memaksa dengan memakai kekerasan atau pengancaman
Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai penipuan jika memenuhi
unsur-unsur:
- Adanya orang yang dibujuk atau dapat digerakkan hatinya
untuk menyerahkan sesuatu barang atau untuk berbuat hutang
atau menghapuskan piutang.
- Menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum.
Penadahan baru ada setelah terlebih dahulu ada kejahatan lainnya
dengan unsure-unsur:
- Membeli, menyewa, menukar, menerima gadai menerima
hadiah;
- Mau mendapat untung dengan jalan menjual, mempersewakan
dan menukar;
- Diketahuinya atau patut diduga
- Barang itu diperoleh dari kejahatan.
LATIHAN:
1. Sebutkan bentuk-bentuk tindak pidana terhadap harta benda!
2. Jelaskan unsur-unsur tindak pidana pencurian, pengancaman,
penggelapan, penipuan dan penadahan dalam bentuk pokok.
3. Sebutkan bentuk-bentuk tindak pidana pencurian!
4. Sebutkan dalam hal apa saja pencurian dengan pemberatan itu
terjadi?
5. A menitipkan sepeda motor kepada B. Sepeda motor yang
dititipkan kepada B dijual oleh B dan B mengatakan sepeda
motor itu hilang. Perbuatan A termasuk dalam tindak pidana
apa? Jelaskan!
6. Jelaskan perbedaan antara penggelapan dengan penadahan.
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan tindak pidana perusakan
dan pengahancuran benda.
250
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2004. Kejahatan Terhadap Harta Benda, Malang:
Bayumedia.
Lamintang dan Simorangkir. 1979. Delik-delik Khusus Kejahatan
yang Ditujukan Terhadap Hak Milik dan lain-lain Hak yang
Timbul dari Hak Milik. Bandung: Penerbit Tarsito.
Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Tindak-tindak Pidana Tertentu di
Indonesia. Jakarta-Bandung: Penerbit Eresco.
Soesilo,R.. 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
251
BAB XIV
KEJAHATAN TERHADAP TUBUH DAN NYAWA
Tujuan Umum Pembelajaran: Mahasiswa mampu menjelaskan
bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh dan nyawa serta unsurunsurnya.
Tujuan Khusus Pembelajaran:
1. Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk kejahatan
terhadap tubuh baik dengan sengaja mupun kelalain.
2. Mahasiswa mampu menyebutkan bentuk-bentuk kejahatan
terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan karena
kelalaian.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian penganiayaan dan
unsur-unsur penganiayaan menurut Pasal 351 KUHP.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur pembunuhan dalam
bentuk pokok atau pembunuhan biasa.
5. Mahasiswa mampu menerangkan kapan dikatakan pembunuhan
yang direncanakan.
A. KEJAHATAN TERHADAP TUBUH DENGAN SENGAJA
Kejahatan terhadap tubuh atas dasar unsur kesalahannya ada
2 macam, ialah :
1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja.
Kejahatan yang dimaksudkan ini diberi kualifikasi sebagai
penganiayaan ( misbandeling ), dimuat dalam bab XX buku II,
Pasal 351 s/d 358 KUHP.
2. kejahatan terhadap tubuh karena kelalaian, dimuat dalam pasal
360 Bab XXI yang dikenal dengan dengan kualifikasi karena
lalai menyebabkan orang lain luka.
Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja
(penganiayaan ) dapat dibedakan menjadi 6 macam, yakni :
1. Penganiayaan Biasa (351 KUHP)
2. Penganiayaan Ringan (352 KUHP)
3. Penganiayaan Berencana (353 KUHP)
4. Penganiayaan Berat (354 KUHP)
5. Penganiayaan berat berencana (355 KUHP)
252
6. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang – orang yang
berkualitas tertentu memberatkan (356 KUHP)
1. Penganiayaan Biasa
Pemberian kualifikasi sebagai penganiayaan biasa (gewone
mishandeling) yang dapat disebut juga dengan penganiayaan
bentuk pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan pasal 351
sungguh tepat, setidak–tidaknya untuk membedakannya
dengan bentuk–bentuk penganiayaan lainnya.
Dilihat dari sudut pandang UU dalam merumuskan
penganiayaan, kejahatan ini mempunyai suatu keistimewaan.
Apabila pada rumusan kejahatan-kejahatan lain, pembentukan
UU dalam membuat rumusan adalah dengan menyebutkan
unsur tingkah laku dan unsur–unsur lainnya, seperti kesalahan,
melawan hukum atau unsur mengenai objeknya, mengenai cara
melakukannya dan sebagainya, tetapi pada kejahatan yang
diberi kualifikasi penganiayaan (351 ayat (1)) ini, dirumuskan
dengan sangat singkat yaitu dengan cara menyebut
kualifikasinya sebagai penganiayaan (mishandeling) sama
dengan judul dari Bab XX dan menyebutkan ancaman
pidananya.
Pasal 351 merumuskan sebagai berikut :
(1) penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak
Rp.4.500,(2) jika perbuatan itu mengakibatkan luka – luka berat, yang
bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 tahun.
(3) jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 7 tahun.
(4) dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak
kesehatan
(5) percobaan untuk melakukan kejahatan tidak dipidana .
Menurut R. Soesilo (1986:245) penganiayaan yang
dimaksud dalam pasal 351 KUHP ini adalah penganiayaan
biasa yang diancam lebih berat jika penganiayaan biasa ini
berakibat luka berat atau mati. Tentang luka berat dapat dilihat
253
dalam Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati ini harus hanya
merupakan akibat yang tidak dimaksud oleh sipembuat.
Pada mulanya dalam rancangan dari pasal yang
bersangkutan yang diajukan oleh Menteri Kehakiman Belanda
Parlemen, terdapat dua rumusan yaitu :
a. setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
menimbulkan rasa sakit/penderitaan terhadap orng lain.
b. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk
merusak kesehatan tubuh orang lain (Satochid Kartanegara:
507, Wirjono Prodjodikoro, 1980: 70 ).
Dalam doktrin hukum pidana, berdasarkan sejarah
pembentukan dari pasal-pasal yang bersangkutan sebagaimana
yang diterangkan di atas, penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan
rasa sakit (pijn) atau luka (letsel) pada tubuh oang lain
(Satochid Kartanegara, tt: 509)
Jadi menurut doktrin penganiayaan mempuyai unsurunsur sebagai berikut :
a. adanya kesengajaan
b. adanya perbuatan
c. adanya akibat perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit pada
tubuh, dan atau luka pada tubuh
Kesengajaan disini berupa sebagai maksud atau obzet
als oogmerk (Wirjono Prodjodikoro, 1974: 71), disamping
harus ditujukan pada perbuatannya, juga harus ditujukan pada
akibatnya. Sifat kesengajaan yang demikian lebih nyata lagi
pada rumusan ayat (4).
Sedangkan rasa sakit tidak memerlukan adanya
perubahan rupa pada tubuh, melainkan pada tubuh timbul rasa
sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan.
2. Penganiayaan Ringan
Kejahatan yang diberi kualifikasi sebagai penganiayaan
ringan (lichce mishandeling) oleh UU ialah penganiayaan yang
dimuat dalam pasal 352, yang rumusannya sebagai berikut :
(1) - kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka
penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau
254
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencarian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan
pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda
pailing banyak Rp. 4.500,-“.
- pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang
melakukan kejahatan terhadap orang yang bekerja
padanya atau menjadi bawahannya.
(2) percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana
Batasan penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang :
a. bukan berupa penganiayaan berencana (353)
b. bukan penganiayaan yang dilakukan :
1) terhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya
2) terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena
menjalankan tugasnya yang sah
3) dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (356)
c. tidak (1) menimbulkan penyakit atau (2) halangan untuk
menjalankan pekerjaan jabatan atau (3) pencaharian.
Misalnya A menampar B tiga kali dikepalanya. B merasa
sakit (pijn) tetapi jatuh skit (ziek) dan masih bisa melakukan
pekerjaannya sehari-hari, maka A berbuat “penganiayaan
ringan”. Umpamanya lagi A melukai kecil jari kelingking kiri
B (seorang penggesek biola) hingga jari B dibalut dan terpaksa
terhalang untuk main biola atau pekerjaannya sehari-hari.
Meskipun hanya luka kecil tetapi penganiayaan ini bukan
penganiayaan ringan, karena B terhalang dalam pekerjaannya.
3. Penganiayaan Berencana
Pasal 353 KUHP mengenai penganiayaan berencana
merumuskan sebagai berikut :
(1) penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 tahun;
(2) jika perbuatan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun;
(3) jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di
pidana dengan pidana paling lama 9 tahun.
255
Ketentuan Pasal 353 ini dinamakan “penganiayaan berat”.
Agar dapat dijatuhi pasal ini maka niat sipembuat harus ditujukan
pada “melukai berat” artinya “luka berat” harus dimaksud oleh
sipembuat, apabila tidak dimaksud dan luka berat itu hanya
merupakan akibat saja, maka perbuatan itu masuk “penganiayaan
biasa yang berakibat luka berat” (Soesilo, 1986: 246).
Ada 3 macam penganiayaan berencana, yakni:
a. penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau
kematian
b. penganiayaan berencana yang berakibat luka berat
c. penganiayaan berencana yang berakibat kematian
Dalam doktrin banyak dibicarakan oleh para ahli tentang
istilah direncanakan lebih dahulu, yang pada dasarnya istilah ini
mengandung pengertian yang harus memenuhi syarat-syarat yakni :
a. pengambilan keputusan untuk berbuat atas suatu kehendak
dilakukan dalam suasana batin yang tenang, (kebalikan dari
pengambilan keputusan secara tiba-tiba atau tergesa-gesa tanpa
dipikirkan lebih jauh tentang misalnya akibatnya baik atas diri
orang lain maupun atas dirinya).
b. Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk
berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang
waktu yang cukup.
Ada persamaan dan perbedaan antara penganiayaan biasa
bentuk a (351 ayat (1)) dengan penganiayaan bentuk a (353).
Persamaannya, ialah pada kedua penganiayaan:
a. Masing-masing tidak mengakibatkan luka berat atau kematian
b. memiliki kesengajaan yang sama terhadap perbuatan beserta
akibatnya, maksudnya baik terhadap perbuatan maupun akibat
perbuatan berupa rasa sakit tubuh orang lain sama di inginkan
petindak
c. bila mengakibatkan luka, haruslah berupa bukan luka berat
(dalam arti luka ringan sebagai kebalikan dari luka berat).
d. Sama berlaku factor yang memperberat pidana sebagaimana
yang diatur dalam pasal 356
Sedangkan perbedaannya adalah, bahwa pada penganiayaan
biasa bentuk a :
a. Tidak terdapat unsur direncanakan terlebih dahulu
256
b. Dapat terjadi pada penganiayaan ringan, yakni bila
penganiayaan itu tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan atau pencaharian.
c. Dipandang sebagai bentuk pokok/standard dari penganiayaan
d. Percobaannya tidak dapat dipidana.
Sedangkan penganiayaan berencana bentuk a adalah :
a. Adanya faktor pidana berupa direncanakan lebih dahulu
b. Tidak mungkin terjadi pada penganiayaan ringin, karena pasal
353 disebut sebgai perkecualian dari penganiayaan ringan.
c. Dipandang
sebagai
penganiayaan
yang
dikualifisir
(gequalificeer de mishandeling)
d. Percobaannya dipidana.
4. Penganiayaan Berat
Penganiayaan yang oleh UU diberi kualifikasi sebagai
penganiayaan berat, ialah dirumuskan dalam pasal 354 KUHP.
Dengan mengingat pengertian penganiayaan seperti yang
diterangkan dibagian muka, dengan menghubungkannya pada
rumusan penganiayaan berat, maka pada penganiayaan berat
mempunyai unsur-unsur sebagai berikut ;
a. Kesalahan : Kesengajaan
b. Perbuataan : melukai berat
Ojeknya : tubuh orang lain
c. Akibat : luka berat
Perbuatan melukai berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt)
atau dapat disebut juga menjadikan luka berat (dapat dilihat Pasal 90
KUHP) pada tubuh orang lain, haruslah dilakukan dengan sengaja.
Kesengajaan (opzettelijk) disini haruslah diartikan secara luas, artinya
termasuk dalam ketiga bentuk kesengajaan. Pandangan ini didasarkan
pada keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa apabila dalam
rumusan tindak pidana dirumuskan unsur kesengajaan, maka
kesengajaan itu harus diartikan ketiga bentuk kesengajaan.
penganiayaan berat hanya ada 2 bentuk, yakni :
a. Penganiayaan berat biasa (ayat (1) ) dan
b. Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat (2))
257
5. Penganiayaan Berat Berencana
Penganiayaan berat berencana dimuat dalam Pasal 355 KUHP
yang rumusannya sebagai berikut :
(1) penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih
dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
(2) jika perbuatan itu menimbulkan kematian, yang bersalah di
pidana dengan penjara paling lama 15 tahun.
Dipandang dari sudut untuk terjadinya penganiayaan berat
berencana, maka kejahatan ini adalah berupa bentuk gabungan antara
penganiayaan berat (354 ayat (1)) dengan penganiayaan berencana
(353 ayat (1)). Dengan kata lain suatu penganiayaan berat terjadi
dalam penganiayaan berencana. Kedua bentuk penganiayaan ini harus
terjadi secara serentak dan bersama. Oleh karena harus terjadi
bersama, maka harus terpenuhi unsur penganiayaan berat. Artinya
suatu penganiayaan berat berencana dapat terjadi apa bila kesengajaan
petindak tidak saja ditujukan pada perbuatannya (misalnya memukul
dengan sepotong besi) dan pada luka berat tubuh orang lain
(sebagaimana pada penganiayaan berat), melainkan juga pada
direncanakan terlebih dahulu (sama sebagaimana pada penganiayaan
berencana).
6. Penganiayaan Terhadap Orang-orang Berkualitas Tertentu
Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355
dapat ditambah sepertiga:
1. bagi yang melakukan kejahatan terhadap ibunya, bapaknya yang
sah, istri atau anaknya.
2. jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika
karena menjalankan tugasnya yang sah.
3. jika kejahatn itu dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan dan minum.
Rumusan pasal 358 tersebut, terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut:
a. Unsur objektif :
1. perbuatan : turut serta
2. a ). Daam penyerangan
b ). Dalam perkelahian
3. Dimana terlibat beberapa orang
4. Menimbulkan akibat ada yang luka berat dan ada yang
Mati
258
b. Unsur subjektif : dengan sengaja
B. KEJAHATAN TERHADAP TUBUH DENGAN TIDAK
SENGAJA
Pasal 360 menyebutkan bahwa:
(1) Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun
atau hukumtu kurungan selama-lamanya satu tahun.
(2) Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau
tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara,
dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan
bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau
hukuman denda setinggi-tingginya Rp. 4.500,Isi pasal ini hampir sama dengan Pasal 359, bedanya hanya
bahwa akibat dari pasal 359 adalah mati orang sedang akibat dalam
pasal 360 adalah: luka berat, luka yang menyebabkan jatuh sakit, dan
luka ringan tidak terhalang pekerjaannya sehari-hari.
Dalam rumusan Pasal 360 ayat (1) KUHP, terdapat unsurunsur, yakni :
1. adanya perbuatan
2. karena adanya kesalahan ( kealpaan )
3. menimbulkan akibat orang luka – luka berat ,
Dalam ayat ke – 2, terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. adanya perbuatan
b. karena adanya kesalahan ( kealphaannya )
c. menimbulkan akibat :
1. luka yang menimbulkan penyakit atau
2. halangan menjalankan pekerjaan atau jabatan atau pencarian
selama waktu tertentu.
Perkataan karena kesalahannya (kealpaannya), menunjukkan
bahwa kejahatan ini adalah berupa kejahatan culpa. Unsur
kesalahannya berbentuk tidak sengaja atau kulpa atau karena kurang
hati-hati.
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau
dikelompokkan atas 2 dasar yaitu : 1. atas dasar unsur kesalahannya
dan atas dasar objeknya (nyawa).
259
Berdasarkan atas kesalahannya ada 2 kelompok kejahatan
terhadap nyawa, ialah :
1. kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
misdrijiven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX
KUHP, pasal 338 s/d 350.
2. kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja
(culpose misdrijiven), dimuat dalam Bab XXI (khusus pasal 359).
Sedangkan atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang
dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja
dibedakan dalam 3 macam, yakni:
1. kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam
pasal : 338, 339, 340, 344, 345.
2. kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan, dimuat dalam pasal : 341, 342, dan 343.
3. kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan
ibu ( janin ), dimuat dalam pasal 34, 347, 348, dan 349.
C. KEJAHATAN TERHADAP NYAWA YANG DILAKUKAN
DENGAN SENGAJA
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja
disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri
atas:
a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338)
b. Pembunuhan yang di ikuti, disertaiatau didahului dengan
tindak pidana lain ( 339 ).
c. Pembunuhan berencana ( moord, 340 )
d. Pembunuhan terhadap bayinya pada saat atau tidak lama
setelah dilahirkan ( 341, 342, dan 343 0
e. Pembunuhan atas permintaan korban ( 344 )
f. Penganjuran dan pertolongan bunuh diri ( 345 )
g. Pengguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346 s/d 349)
1. Pembunuhan Biasa dalam Bentuk Pokok
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja
(pembunuhan) dalam bentuk pokok, dimuat dalam pasal 338 yang
rumusannya adalah :
260
Barang siapa sengaja menghilangkan nyawa orang lalu
dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling
lama15 tahun.
Apabila rumusan tersebut dirinci unsur-unsurnya, maka
terdiri dari:
a. unsur objektif :
1. perbuatan : menghilangkan nyawa
2. Objeknya : nyawa orang lain
b. unsur subjektif : dengan sengaja
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain)
terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
1. adanya wujud perbuatan
2. adanya suatu kematian (orang lain)
3. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
perbuatan akibat dan akibat kematian ( orang lain )
2. Pembunuhan yang Diikuti , Disertai atau Didahului Oleh
Tindak Pidana Lain ( 339 )
Pembunuhan yang dimaksud ini adalah sebagaimana yang
dirumuskan dalam pasal 339, yang berbunyi :
”Pembunuhan yang diikuti, di sertai, atau didahului oleh suatu
tindak pidana lain, yang dilakukan dengan maksud untuk
mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
menghindarkan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana
dalam hal tertangkap tangan, ataupun memastikan penguasaan
benda yang diperolehnya secara melawan hukm, dipidana
dengan pidana seumur hidup atau sementara waktu, paling lama
20 tahun”.
Apabila rumusan tersebut di rinci, maka terdiri dari unsur –
unsur sebagai berikut :
1. semua unsur pembunuhan ( objektif dan subjektif ) pasal 338
2. yang (1) di ikuti, (2) disertai atau (3) di dahului oleh tindak
pidana lain
3. pembunuhan itu dilakuakn dengan maksud :
a. untuk mempersiapkan tindak pidana lain
b. untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain
c. dalam hal tertangkap tangan ditujukan :
261
2. untuk meghindarkan (1) diri sendiri maupun (2) peserta
lainnya dari pidana , atau
3. untuk
memastikan
penguasaan
benda
yang
diperolehnya secara melawan hukum (dari tindak
pidana itu).
Kejahatan pasal 339, kejahatan pokoknya adalah pembunuhan,
suatu bentuk khusus pembunuhan yang diperberat (gequlificeerde
doodslag). Pada semua unsur yang disebutkan dalam butir b dan c
itulah diletakkan sifat yang memberatkan pidana dalam bentuk
pembunuhan kasus ini.
3. Pembunuhan Berencana (MOORD)
Pembunuhan berencana diatur dalam Pasal 340 KUHP,
yang mengemukakan:”Barang siapa dengan sengaja dan dengan
rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain,
dipidana karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati
atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
20 tahun.
Rumusannya terdiri atas unsur-unsur :
a. unsur subjektif :
1. dengan sengaja
2. dan dengan rencana terlebih dahulu
b. unsur objektif :
1. Perbuatan : menhilangkan nyawa
2. objeknya : Nyawa orang lain
Pembunuhan berencana terdiri dari pembunuhan dalam arti
pasal 338 ditambah dengan adanya unsur dengan rencana terlebih
dahulu. Lebih berat ancaman pidanaya pada pembunuha berencana,
jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam 338 maupun 339,
diletakkan pada adanya unsur dengan rencana terlebih dahulu itu.
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya
mengandung 3 syarat/unsur yaitu :
a. memutus kehendak dalam suasana tenang
b. ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak
sampai dengan pelaksanaan kehendak
c. pelaksanaan kehendak ( perbuatan ) dalam suasana tenang.
Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan
262
Bentuk pembunuhan yang dilakukan oleh ibu terhadap bayinay
pada saat dan tidak lam setelah dilahirkan, yang dalam praktik hukum
sering disebut dengan pembunuhan bayi, ada 2 macam, masing masing dirumuskan dalam pasal 341 dan 342. pasal 241 adalah
pembunuhan bayi yang dilakukan tidak dengan berencana
(pembunuhan bayi biasa atau kinderdoogslag), sedangkan pasal 342
pembunuhan bayi yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
(kindermoord).
4. Pembunuhan atas Permintaan Korban
Bentuk pembunuhan ini diatur dalam pasal 344, yang
merumuskan sebagai berikut:”Barang siapa menghilangkan nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, di pidanan dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun”.
Kejahatan yang dirumuskan tersebut di atas, terdiri dari unsur
sebagai berikut :
a. perbuatan : menhilangkan nyawa
b. Objek : nyawa orang lain
c. Atas permintaan orang itu sendiri
d. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh – sungguh
Perbedaan yang dinyatakan antara pembunhan 34 dengan
pembunuhan 338, ialah terletak bahwa pada pembunuhan 344 terdapat
unsure-unsur : (1) atas permintaan korban sendiri, (2) yang dinyatakan
jelas dengan sungguh – sungguh, (3) tidak dicantumkan unsur
kesengajaan sebagaiman dalam rumusan Pasal 338.
D. KEJAHATAN TERAHADAP NYAWA YANG DILAKUKAN
DENGAN TIDAK SENGAJA
Kejahatan yang dilakukan tidak sengaja adalah kejahatan yang
dirumuskan dalam pasal 359, yang berbunyi : “Barang siapa yang
dengan kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati,
dipidana dengan pidana penjara paling lam 5 tahun atau pidana
kurungan paling lama 1 tahun.”
Unsu-unsur dari rumusan tersebut adalah :
1. adannya unsur kelalaian ( kulpa )
2. adanya wujud perbuatan tertentu
3. adanya akibat kematian orang lain
263
4. adanya hubungan lausal antara wujud perbuatan dengan akibat
kematian orang lain.
Kalimat “menyebabkan orang lain mati “ mengandung 3
unsur yakni: unsur 2, 3, dan 4. tiga unsur tidak berbeda dengan
unsur kejahatan menhilangkan nyawa orang dari pembunuhan
(338). Perbedaannya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada
unsur kesalahannya, yakni pada pasal 359 kesalahan dalam bentuk
kurang hati-hati (kulpa), sedangkan kesalahan dalam pembunuhan
adalah kesengajaan.
Menurut R. Soesilo (1986: 248) mengatakan bahwa
“matinya orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh sipetindak,
akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat daripada
kurang hati-hati atau lalainya pelaku (delik culpa), misalnya
seorang sopir menjalankan kenderaan mobil terlalu cepat,
sehingga menabrak orang sampai mati atau seorang berburu
melihat sosok hitam dalam semak-semak dikira rusa terus
ditembak mati, tetapi ternyata sosok tersebut adalah orang lain
sehingga mati.
RANGKUMAN:
1. Penganiayaan dapat dibedakan menjadi 6 macam, yakni :
a. Penganiayaan Biasa (351 KUHP)
b. Penganiayaan Ringan (352 KUHP)
c. Penganiayaan Berencana (353 KUHP)
d. Penganiayaan Berat (354 KUHP)
e. Penganiayaan berat berencana (355 KUHP)
f. Penganiayaan dengan cara dan terhadap orang – orang yang
berkualitas tertentu memberatkan (356 KUHP)
2. Penganiayaan mempuyai unsur-unsur sebagai berikut :
a. adanya kesengajaan
b. adanya perbuatan
c. adanya akibat perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit pada
tubuh, dan atau luka pada tubuh.
3. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan cara sengaja
disebut atau diberi kualifikasi sebagai pembunuhan, yang terdiri
atas:
a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (doodslag, 338)
264
b.
Pembunuhan yang di ikuti, disertaiatau didahului dengan
tindak pidana lain (339)
c. Pembunuhan berencana (moord, 340)
d. Pembunuhan terhadap bayinya pada saat atau tidak lama
setelah dilahirkan (341, 342, dan 343).
e. Pembunuhan atas permintaan korban (344).
f. Penganjuran dan pertolongan bunuh diri (345)
g. Pengguran dan pembunuhan terhadap kandungan (346 s/d 349)
4. Unsur-unsur pembunuhan menurut Pasal 338 KUHP, yaitu
perbuatan dengan sengaja merampas atau melenyapkan jiwa atau
nyawa orang lain.Sedangkan pembunuhan yang direncanakan Pasal
340 KUHP yaitu unsur pembunuhan biasa ditambah dengan
direncanakan lebih dahulu dan dilakukan dengan tenang.
LATIHAN:
1. Sebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap tubuh baik dengan
sengaja mupun kelalain!
2. Sebutkan bentuk-bentuk kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan
dengan sengaja dan karena kelalaian!
3. Jelaskan pengertian penganiayaan dan unsur-unsur penganiayaan
menurut Pasal 351 KUHP!
4. Sebutkan dan jelaskan unsur-unsur pembunuhan dalam bentuk
pokok atau pembunuhan biasa!
5. Terangkan kapan dikatakan pembunuhan yang direncanakan!
GLOSSARIUM:
- Doodslag adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain atau
di dalam KUHP disebut dengan pembunuhan biasa dalam bentuk
pokok.
- Moord adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang
dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu yang disebut dalam
KUHP pembunuhan direncanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.
265
Kartanegara, Satochid.. Tanpa Tahun. Hukum Pidana II Delik-delik
Tertentu. Balai Lektur Mahasiswa.
Prodjodikoro, Wirjono. 1980. Tindak Pidana Tertentu di Indonesia.
Jakarta-Bandung:: PT. Eresco.
Marpaung, Leden.2005. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh
(Pemberantasan dan Prevensinya) dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI dan Pembahasan. Jakarta: Sinar Grafika.
Soesilo,R. 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta
Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor:
Politeia.
INDEKS
A
absolute strafrechttheorien, 65
absolute klachtdelict, 148
auctor intellectualis,, 187
afdreiging, 48
afpersing, 48
agentprovocateur, 187
lokbeambte, 187
Amtelijk bevel, 99
anglosaxon,4
aanklacht, 219
aangifte, 219
B
Diefstal, 224
beschiking, 80
bepaald feit, 215
beverligings maatregelen, 68
begin van uitvoering, 151, 174
bewindvoerder, 240
bedrog, 243
bewegen, 244
Dader,178, 179, 180
Deelneming, 177, 178,
179,180,181, 187, 200
de materiele dader, 186
de uitlokker, 186
de uitgelokte, 186
delichten, 48
dellictum,3
bepaald feit, 218
doel-theorien, 66
dolus, 49, 188
doodslag, 263
Doen plegen, 180, 181,
186,187, 200
doen pleger, 186
dwingen,206
Medeplegen, 180
E
Eenonbevoged, 99
eigenrichting, 48
executie, 24
C
Causaliteitsleer,179
Cito,
commun, 50
Concursus idealis, 119, 120,
123
Concursus realis, 120, 121,
122, 123, 124, 125, 127
Concursus, 118, 119
criminal law, 4
culpus, 49
culpoos misdrijf , 192
culpa, 188
curatele, 143
F
falen, 3
feit, 39, 121
D
Daderschap, 179, 181, 182
H
handelling, 39
G
Geen straft zonder schuld,
100,116,118
generale preventie, 5
gewone, 50
grepriviligieerde, 50
geweld, 207
bedreiging met geweld, 207
gequalificeerde diefstal, 229
verduistering, 240
INDEKS
Hoge Raad, 105
Heling, 224
I
in kracht van gewijsde zaak, 80
in kracht, 24
intellectueel dader, 187
individuale belangen, 8
ius constituendum, 18
ius constitutum, 16
ius poenaendi, 1
ius poenale,1
K
klacht, 50,138, 140
L
law enforcement, 43
M
manus domina, 186
manus ministra, 186
materieele dader, 181
Medeplichtigheid, 181, 185,
191, 193, 194, 196,
Mededaderschap, 181, 185
Medeplegen, 181, 182, 186
Mededader, 182, 185
Memorie van Toelichting, 83,
139
middellijke dader, 181
misdaad,4
misdrijven,48, 258
N
niet onvankelijk verklaring van
het ontoerekeningsvatbaar
Openbaar Ministerie, 79
niet-toerekenbaar, 187, 188
noodrecht, 26
Noodtoestand, 89
noodweer excess, 78, 81, 90,
94, 116
noodweer, 78, 81, 92, 116, 217
nullum delictum nulla poena
sine praevia lege poenali, 61
O
objectieve deelnemingstheorie,
185
ommisionis, 49
onslag van alle
rechtvervolging, 79, 118
onsplitbaar, 142
ontoerekeningsvatbaar, 187
opzettelijk medeplegen, 182
oplichting, 48
opzettelijk, 154, 192, 240
opzet, 182, 189
overmatch, 78,81, 85, 88, 92,
116
overtredingen, 48
overheid, 219
P
personaliteit, 15
politionale, 44
prejudice, 43
propira, 50
provocateur, 186
Q
qiyas, 13
R
rechtbetrekking, 8
rechten, 8
rechtsbelang, 7
INDEKS
rechtsbewuszijn, 66
rechttostand,8
rechtvaardigingsgronden, 81
rechtzekerheid, 44
Recidive, 103, 109
relatieve klachtdelict, 141
S
samengestelde,50
schuld, 188, 191, 240
schulduitsluitingsgronden, 81
sentence, 62
sociale belangen, 9
sociale instelingen, 8
speciale preventie, 5
splitbaar, 142
staat belangnen, 9
strafrecht, 1
straft bevaling, 13
straftuitsluitingsgronden, 79
stoffelijk goed, 226
T
toelichting, 25
testimonium paupertatis, 173
U
Uitvoering, 159
Uitvoeringshandelingen, 159,
196
Uitlokking, 181, 186, 190, 191,
196, 201
Uitlokken, 187
Uitlokker, 188, 189
V
van gewisjde, 24
vervaltermijn, 145
verenigings theorien, 68
vergelding, 68
verkrachting, 206
veroordering, 62, 79
vervolging
straftuitsluitingsgronden, 79,
140
verzet, 80
voorwaarde van
vervolgbaarheid, 141
voornemen, 151, 152, 174
voltooid delict, 189
Vorgezette handelling, 126
vrijwillige terugtred, 162
verduistering, 224
W
waardig, 40
wegnemen,160, 225
wetsdelichten, 51
Wettelijk voorschrift, 96, 97
wettelijke, 13
Z
zaak, 24
Zeden eerbaarheid, 204
Download