ISR SEBAGAI PROKSI PENGUNGKAPAN CSR BANK MUAMALAT INDONESIA DAN BANK SYARIAH MANDIRI Irman Firmansyah Universitas Siliwangi Tasikmalaya Mahasiswa Magister Sains Akuntansi Universitas Jenderal Soedirman Email: [email protected] ABSTRACT This research aims to detect Islamic social disclosure in Islamic bank in Indonesia that measuresed with Islamic Social Reporting (ISR) Index. This research is done in two biggest Islamic banks in Indonesia that are Bank Muamalat Indonesia and Bank Syariah Mandiri for look comparison Islamic social disclosure. Analyzer applied in this research is content analysis. The result shows that Islamic social disclosure in Bank Syariah Mandiri is higger than Bank Muamalat Indonesia. But either Bank Muamalat Indonesia or Bank Syariah Mandiri not yet show result perfect disclosure measuresed from Islamic social reporting. Keywords: Islamic Social Reporting, bank muamalat Indonesia, bank syariah mandiri ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengungkapan kinerja sosial pada bank syariah di Indonesia yang diukur dengan Islamic Social Reporting (IRS) indeks. Penelitian ini dilakukan pada dua bank syariah terbesar di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri untuk dilihat perbandingan pengungkapan kinerja sosialnya. Analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan analisis konten (penandaan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengungkapan kinerja sosial Islam pada Bank Syariah Mandiri lebih tinggi dari pada Bank Muamalat Indonesia. Akan tetapi baik pada Bank Muamalat Indonesia maupun Bank Syariah Mandiri belum menunjukkan hasil pengungkapan yang sempurna diukur dari Islamic social reporting. Kata kunci: Islamic social reporting, Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri LATAR BELAKANG Di Indonesia, wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) di kalangan perbankan juga sudah cukup berkembang. Kepedulian sosial perbankan mulai tampak nyata. Kendati belum optimal, upaya perbankan ini merupakan awal yang positif untuk memulai kegiatan yang lebih besar. Bahkan Pemerintah Indonesia pun memberikan respon yang baik terhadap pelaksanaan CSR dengan menganjurkan praktik tanggung jawab sosial (social responsibility) sebagaimana dimuat dalam Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Bab IV pasal 66 ayat 2b dan Bab V pasal 741. Konsep CSR juga terdapat dalam ajaran Islam. Lembaga yang menjalankan bisnisnya berdasarkan syariah pada hakekatnya mendasarkan pada filosofi dasar Alqur’an dan Assunah, sehingga menjadikan dasar bagi pelakunya dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Oleh karenanya ikatan hubungan antara institusi dengan lingkungannya 1 Kedua pasal tersebut menjelaskan bahwa laporan tahunan perusahaan harus mencerminkan tanggung jawab sosial, bahkan perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/ atau berkaitan sumber daya alam harus melaksanakan tanggung jawab sosial. 2 dalam konsep syariah akan lebih kuat ketimbang dalam konsep konvensional. Hal ini didasarkan pada lembaga bisnis syariah didasarkan pada dasar-dasar religius. Ahmad (2002) dalam Fitria dan Hartanti (2010) menjelaskan bahwa lembaga yang menjalankan bisnisnya berdasarkan syariah pada hakekatnya mendasarkan pada filosofi dasar Al-quran dan sunnah, sehingga hal ini menjadikan dasar bagi pelakunya dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sesamanya. Dusuki dan Dar (2005) menyatakan bahwa pada perbankan syariah tanggung jawab sosial sangat relevan untuk dibicarakan mengingat beberapa faktor yaitu, perbankan syariah berlandaskan syariah yang beroperasi dengan landasan moral, etika dan tanggung jawab sosial dan adanya prinsip atas ketaatan pada perintah Allah dan khalifah. Salah satu lembaga bisnis yang operasionalisasinya berdasarkan syariah adalah perbankan syariah. Perkembangan perbankan syariah baik di Indonesia maupun di dunia sangat pesat. Survey yang dilakukan oleh Bahrain Monetary Agency di tahun 2004 memperlihatkan bahwa jumlah institusi perbankan syariah melonjak dengan cukup signifikan dari 176 di tahun 1997 menjadi 267 di tahun 2004 yang beroperasi di 60 negara di dunia. Dengan tingkat pertumbuhan 15% pertahun inilah beberapa pihak menyatakan bahwa industri perbankan syariah merupakan sektor yang paling cepat berkembang di negara muslim (Zaher dan Hassan dalam Fitria & Hartanti, 2010). Saat ini Islamic Social Reporting Index (ISR) sedang marak diperbincangkan di dunia. Indeks ISR merupakan tolak ukur pelaksanakaan kinerja sosial perbankan syariah yang berisi kompilasi item-item standar CSR yang ditetapkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para peneliti mengenai item-item CSR yang seharusnya diungkapkan oleh suatu entitas Islam (Othman et al, 2009). Penelitian terdahulu telah banyak dilakukan mengenai kinerja sosial (social disclosure) perusahaan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Basamalah dan Jermias (2005) yang menunjukkan bahwa salah satu alasan manajemen melakukan pelaporan sosial adalah untuk alasan strategis. Sedangkan Sayekti (2006) menyatakan bahwa hampir semua perusahaan yang terdaftar di BEJ telah mengungkapkan informasi mengenai CSR dalam laporan tahunannya dalam kadar yang beragam. Mirfazli dan Nurdiono (2007) menemukan perbedaan yang cukup signifikan dalam penyajian jumlah pengungkapan tanggung jawab sosial antara perusahaan dalam kelompok aneka industri high profile dengan low profile. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya dampak sosial yang muncul pada sebagian perusahaan dalam dua kelompok tersebut yang mendorong mereka untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial. Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perkembangan pengungkapan Kinerja Sosial Syariah (Islamic Social Disclosure) pada dua bank syariah terbesar di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri selama tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2009, 2010 dan 2011. TINJAUAN TEORITIS Teori Legitimasi Menurut Hadi (2011:88), legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan yang berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat, pemerintah individu dan kelompok masyarakat. Menurut yang dijelaskan Meutia (2010:78), legitimasi adalah menyamakan persepsi bahwa tindakan yang dilakukan oleh suatu entitas merupakan tindakan yang diinginkan, pantas ataupun sesuai dengan sistem norma, nilai kepercayaan dan definisi yang dikembangkan secara sosial. Untuk mencapai tujuan ini organisasi berusaha untuk mengembangkan keselarasan antara nilai-nilai sosial yang dihubungkan dengan 3 kegiatannya dan norma-norma dari perilaku yang diterima dalam sistem sosial yang lebih besar dimana organisasi itu berada serta menjadi bagiannya. Barkemeyer (2007) mengungkapkan bahwa penjelasan tentang kekuatan teori legitimasi organisasi dalam kontenks tanggung jawab sosial perusahaan di negara berkembang terdapat dua hal; pertama, kapabilitas untuk menempatkan motif maksimalisasi keuntungan membuat gambaran lebih jelas tentang motivasi perusahaan memperbesar tanggung jawab sosialnya. Kedua, legitimasi organisasi dapat untuk memasukkan faktor budaya yang membentuk tekanan institusi yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Dasar pemikiran teori ini adalah organisasi atau perusahaan akan terus berlanjut keberadaannya jika masyarakat menyadari bahwa organisasi beroperasi untuk sistem nilai yang sepadan dengan sistem nilai masyarakat itu sendiri. Teori legitimasi menganjurkan perusahaan untuk meyakinkan bahwa aktivitas dan kinerjanya dapat diterima oleh masyarakat. Perusahaan menggunakan laporan tahunan mereka untuk menggambarkan kesan tanggung jawab lingkungan, sehingga mereka diterima oleh masyarakat. Dengan adanya penerimaan dari masyarakat tersebut diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan sehingga dapat meningkatkan laba perusahaan. Hal tersebut dapat mendorong atau membantu investor dalam melakukan pengambilan keputusan investasi Ada beberapa upaya yang perlu dilakukan perusahaan dalam mengelola legitimasi agar efektif (Dowling & Pfeffer, 1975 dalam Hadi 2011): 1. Melakukan identifikasi dan komunikasi dan dialog dengan publik 2. Melakukan komunikasi atau dialog tentang masalah nilai sosial kemasyarakatan dan lingkungan, serta membangun persepsi tentang perusahaan. 3. Melakukan strategi legitimasi dan pengungkapan terkait dengan CSR Dalam konteks ini CSR dipandang sebagai suatu kebijakan yang disetujui antara perusahaan dengan masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang telah memberikan izin kepada perusahaan untuk menggunakan sumber daya alam dan manusianya serta izin untuk melakukan fungsi produksinya. Jadi dalam pelaporan CSR perusahaan harus mengikuti aturan-aturan yang berlaku di masyarakat. Karena itu, CSR merupakan suatu kewajiban asasi perusahaan yang tidak bersifat sukarela. Namun harus diingat bahwa izin tersebut tidaklah tetap sehingga kelangsungan hidup dan pertumbuhan dari perusahaan bergantung pada bagaimana perusahaan secara terus menerus berevolusi dan beradaptasi terhadap perubahan keinginan dan tuntutan dari masyarakat. Konsep Kinerja Sosial Perusahaan Kinerja sosial perusahaan merupakan suatu konsep yang saat ini tengah populer. Kinerja sosial yang sering kita dengar dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) sampai saat ini belum memiliki batasan yang sepadan. Banyak ahli, praktisi dan peneliti belum memiliki kesamaan dalam memberikan definisi. Eklington (1997) dalam bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line of 21th Century Business”, mengemukakan bahwa perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab sosialnya akan memberikan perhatian pada kemajuan masyarakat, khususnya komunitas sekitar (people), serta lingkungan hidup/bumi (planet) dan peningkatan kualitas perusahaan (profit). (Mursitama, 2011:23). McWilliams & Siegel (2001) dalam Mursitama (2011:23) mendefinisikan CSR sebagai serangkaian tindakan perusahaan yang muncul untuk meningkatkan produk sosialnya, memperluas jangkauan melebihi kepentingan ekonomi eksplisit perusahaan, dengan pertimbangan tindakan semacam ini tidak disyaratkan oleh peraturan hukum. Sedangkan Maignan dan Ferrel (2004) dalam Mursitama (2011:23) mengartikannya sebagai perilaku bisnis, di mana pengambilan keputusannya mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan 4 memberikan perhatian secara lebih seimbang terhadap kepentingan stakeholder yang beragam. Jamali & Mirshak (2007) mengutip definisi CSR oleh The World Business Council for Sustainable Development (WBSCD) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk berkontribusi pada pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja sama dengan para pekerja, keluarga mereka dan komunitas lokal (Mursitama, 2011:26). Sementara itu, menurut Suhandari M. Putri dalam artikelnya Schema CSR dalam Kompas, 4 Agustus 2007 yang dikutip oleh Untung, dalam bukunya “Corporate Social Responsibility” (2008:1) bahwa Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan yang menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial dan lingkungan. Dari beberapa konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa CSR merupakan satu bentuk tindakan etis perusahaan/dunia bisnis yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi, yang diikuti dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan, masyarakat dan alam sekitar perusahaan. Kinerja Sosial dalam Pandangan Islam Cakupan Islam mengenai bisnis sangat luas. Islam memberikan penekanan yang signifikan pada sistem ekonomi secara keseluruhan. Islam juga menyatakan bahwa bisnis merupakan salah satu aktivitas yang paling penting dalam sebuah sistem (Affandi, 2002). Oleh karena itu, Islam memberikan konsep bisnis dalam Islam untuk dapat mencapai kesuksesan dunia maupun akhirat (al falah). Berdasarkan pendapat Gambling & Karim (1984) dalam Harahap (2003) dikemukakan bahwa dari sistem nilai Islami akan lahir sistem ekonomi dan sistem akuntansi Islam. Hal ini dikarenakan bahwa Islam adalah sistem nilai terpadu yang berasal dari Allah yang mutlak dan benar serta didesain sebagai suatu sistem terpadu bukan saja dikhususkan bidang tertentu, tetapi juga lengkap terintegrasi dengan kebutuhan dunia dan akhirat. Akuntansi Islam pun tidak hanya terfokus pada ibadah ritual namun juga meliputi segala bidang, termasuk jenis produk, kegiatan perusahaan, transaksi perusahaan, sistem penggajian, sistem cuti dan sebagainya. Hal ini didukung oleh definisi akuntansi Islam (Shahata dalam Harahap, 2003) yang mengemukakan bahwa akuntansi Islam merupakan postulat, standar, penjelasan dan prinsip akuntansi yang menggambarkan semua hal sehingga akuntansi dan berbagai bidang lain itu adalah satu paket dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam akuntansi Islam juga dijelaskan bagaimana mengalokasikan sumber kekayaan yang ada secara adil sesuai syari’ah. Bukan hanya mencatat transaksi perusahaan saja (Harahap, 2003), namun akuntansi Islam juga harus ikut serta menegakkan syariat Islam di berbagai aspek. Hameed (2008) mengemukakan bahwa tujuan dari akuntansi Islam adalah untuk mencapai al-falaah (kesejahteraan dunia dan akhirat). Pencapaian al-falaah merupakan orientasi utama dari akuntansi Islam. Dengan demikian, tujuan akuntansi Islam tidak hanya terbatas pada kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan non ekonomi. Akuntansi Islam tidak akan hanya mengukur nilai moneter dan tidak pula hanya yang bersifat resiprocal transaction suatu organisasi tetapi juga nilai non ekonomi serta non resiprocal transaction (Harahap, 2003). Hal ini dimaksudkan bahwa akuntansi Islam tidak hanya mementingkan kebutuhan pihak-pihak tertentu saja, akan tetapi juga untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam masyarakat secara keseluruhan (Hameed, 2008). Untuk dapat menciptakan keseimbangan dalam masyarakat tersebut, maka pembuat kebijakan seharusnya dapat mendorong perusahaan-perusahaan untuk mengungkapkan seluruh informasi. Pengungkapan tersebut setidaknya dilakukan secara sukarela untuk 5 membantu mereka memenuhi kebutuhan spiritual (Haniffa, 2002). Salah satu informasi tersebut adalah mengenai pengungkapan informasi sosial. Dalam merumuskan kerangka social reporting dalam perspektif Islam harus berlandaskan pada tiga dimensi (Haniffa, 2002). Ketiga dimensi terssebut yakni, mencari ridho Allah; memberikan keuntungan kepada masyarakat; mencari kekayaan untuk memenuhi kebutuhan. Beberapa penulis telah mencoba menggambarkan konsep social reporting dalam akuntansi Islam. Menurut Haniffa (2002), tujuan dari social reporting dalam perspektif Islam adalah sebagai berikut: 1. Menunjukkan akuntabilitas kepada Tuhan dan masyarakat. 2. Meningkatkan transparansi kegiatan bisnis dengan menyajikan informasi yang relevan dengan memperhatikan kebutuhan spiritual investor Muslim dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks tersebut, maka social reporting Islam harus mampu mengungkapkan beberapa informasi yang dibutuhkan pembaca laporan sehingga dapat menjawab segala pertanyaan yang berkaitan dengan keyakinan dan hukum Islam. Menurut Haniffa (2002), format akuntansi Islam harus mencakup aspek sosial ekonomi dan menjamin terciptanya keadilan sosial dan mencari kesejahteraan dunia dan akhirat. Bukan hanya berdimensi dunia apalagi hanya mancari laba pihak tertentu saja. Ia menjelaskan bahwa laporan keuangan harus menggambarkan aspek etis yang menjelaskan akuntabilitas terhadap Tuhan dan manusia serta transparansi mengenai seluruh kegiatan perusahaan yang diperlukan oleh manusia untuk memastikan semuanya sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Aspek-aspek akuntabilitas dirinci informasi yang dibutuhkan (Haniffa, 2002) yaitu: 1) Amanah Amanah (Triyuwono, 2000) mengindikasikan bagaimana seseorang mampu mengambil peran pihak lain (internalisasi nilai-nilai Islam) dan menciptakan peran dalam rangka mengekspresikan nilai-nilai itu dan mengimplementasikannya dalam dunia nyata. Triyuwono juga mengemukakan bahwasanya konsep amanah juga memiliki interpretasi bahwa dalam kepemilikan yang dipercayakan terdapat hak bagi orang-orang lain untuk mendapatkan keuntungan dari mereka. Dalam Islam, hak ini disimbolkan dengan istilah zakat, infaq dan shadaqah. Amanah memuat unsur kejujuran (honesty), keadilan (fairness), memelihara/menjaga (care), kesadaran (awareness), terpercaya (trustworthiness), bertanggung jawab (responsibility) dan setia kepada komitmen (Ghani, 2005). Amanah dalam konteks praktek akuntansi diinterpretasikan sebagai akuntabilitas (Triyowono, 2000). Pengertian akuntabilitas disini adalah bahwa orang-orang yang memegang amanah harus bertanggung jawab kepada pemegang saham, pelaksana, masyarakat dan Tuhan. Bentuk tanggung jawab untuk pemegang saham, pelaksana dan masyarakat bersifat formal, yakni menerbitkan laporan keuangan dengan mengikuti standar akuntansi yang sudah ada sebagai norma-norma. Tanggung jawab pada Tuhan berarti bahwa para pemegang amanah dalam mempersiapkan dan menerbitkan laporan keuangan, secara etis harus sesuai dengan norma-norma tersebut (Triyuwono, 2000). 2) Memenuhi kewajiban kepada Allah dan manusia Manusia tidak akan lepas dari pertanggungjawaban yang harus diberikan atas segala aktivitas yang dilakukan, baik kewajiban kepada manusia maupun kepada Allah SWT. Kewajiban kepada manusia meliputi kewajiban terhadap shareholder, karyawan, serta masyarakat luas. Mengingat bahwa manusia dengan segala wasilah al hayat yang dikuasakan oleh Allah kepada manusia ini bukanlah kepemilikan yang sesungguhnya secara hakiki, akan tetapi hanyalah pihak yang diserahi tanggung jawab untuk mengelola secara benar oleh Allah (Muslich, 2004). Oleh karena itu, tentu saja manusia yang sudah dititipi tanggung 6 jawab untuk mengelola sumber daya ini harus mempertanggungjawabkan kepada Allah sebagai pemilik yang sebenarnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Perlunya tanggung jawab sosial ini juga diungkapkan oleh Syahatah (2005), yakni bahwa seorang pelaku bisnis adalah bagian dari masyarakat dan ia dibatasi oleh kewajibankewajiban tertentu. Oleh karena itulah hendaknya ia berbuat kebajikan dengan memerintahkan apa yang baik dan mencegah apa yang mungkar dalam lingkungan kerjanya. Islam memahami bahwasanya tanggung jawab sosial sebagai bentuk dari solidaritas sosial. Islam menjadikan perbuatan ini sebagai kewajiban bagi setiap manusia. Bukti tersebut adalah apa yang difirmankan Allah: “ Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung.” (QS: Ali Imran : 104). Kewajiban terhadap manusia dapat diwujudkan dalam bentuk penciptaan keseimbangan kepada seluruh stakeholder. Keseimbangan disini dimaksudkan dengan tidak mengutamakan kepentingan pihak tertentu saja, akan tetapi juga memperhatikan kepentingan pihak-pihak lain. Akuntabilitas dan responsibilitas terhadap Allah diterjemahkan sebagai pertanggungjawaban di Padang Mahsyar (yaumul hisab) kelak, yang merupakan pengadilan abadi terhadap aktivitas manusia (Ghani, 2005). Dengan demikian, para pengusaha dalam menjalankan bisnisnya hendaknya senantiasa memperhatikan segala tindakan-tindakannya. Allah berfirman: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?”. (QS: Al-Qiyamah : 36) Tanggung jawab sangat terkait dengan hak dan kewajiban, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua bentuk kesadaran: Pertama, kesadaran yang muncul dari hati nurani seseorang yang sering disebut dengan etika dan moral. Kedua, kesadaran hukum yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan yang diiringi sanksi-sanksi hukum. Kesadaran tanggung jawab yang berupa etika dan moral akan dapat menciptakan keadilan dalam aspek bisnis. Bentuk kesadaran tanggung jawab tersebut salah satunya adalah dengan melakukan sikap jujur pada setiap aktivitas bisnis. Dalam dunia kerja dan usaha, kejujuran ditampilkan dalam bentuk kesungguhan dan ketepatan (mujahadah dan itqan). Bentuk kesungguhan dan ketepatan tersebut meliputi ketepatan waktu, janji, pelayanan, pelaporan, megakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi) untuk kemudian diperbaiki secara terus-menerus, serta menjauhkan diri dari berbuat bohong dan menipu (Hafidhuddin, 2003). 3) Mengejar laba sesuai syari’ah Di dalam bisnis Islam, profitabilitas harus selalu seimbang dengan kebutuhan untuk penciptaan efisiensi, keandalan dan pelayanan yang sopan, bermanfaat, berkualitas bagus, serta pemberian harga yang layak bagi pelanggan (Affandi, 2005). Islam tidak melarang jika tujuan bisnis yang dijalani adalah untuk mendapatkan keuntungan. Namun, perlu diingat bahwa keuntungan bukan satu-satunya tujuan. Hal yang terpenting adalah bahwa dalam menjalani segala aktivitas bisnis tersebut harus dilakukan berdasar aturan-aturan syariah, termasuk juga dalam hal mendapatkan keuntungan bisnis. 7 4) Mencapai tujuan perusahaan Ada empat ciri utama amanah (sebagai realitas organisasional) yang harus dicerminkan dan dipertanggungjawabkan oleh akuntansi (Triyuwono,2000). Salah satu ciri amanah tersebut yakni penetapan tujuan organisasi. Ini dimaksudkan untuk menyebar rahmat yang bisa diterjemahkan oleh organisasi sebagai peningkatan kesejahteraan mereka yang miskin serta mendorong mereka yang kaya untuk berpartisipasi dalam kerangka kehidupan sosial-ekonomi dan spiritual material (Mas’udi, 1991 dalam Triyuwono, 2000). 5) Adil kepada karyawan dan masyarakat Bisnis secara sub sistem telah hidup atau eksis di masyarakat. Dengan demikian, lembaga bisnis ini tidak bisa lepas keberadaannya dengan masyarakat atau sosial. Bisnis tidak bisa bekerja sendirian tanpa kerja sama dengan masyarakat atau stakeholders. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang saling menguntungkan secara adil dan seimbang dalam konteks alokasi nilai sumber daya. Keselarasan sosial ini dapat diwujudkan dalam bentuk tidak melakukan aktivitas yang dapat merugikan masyarakat maupun lingkungan sekitar. Allah berfirman: ”…dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka...” (QS. Hud : 85). Kaitannya dengan konsep CSR yang juga memperhatikan kepentingan people telah dikemukakan juga dalam konsep bisnis Islam. Seorang pengusaha Muslim wajib mematuhi batasan-batasan syariat dalam berhubungan dengan para pekerja (Badroen, dkk. 2006). Seorang pengusaha Muslim juga tidak dibenarkan untuk eksploitasi kemampuan para tenaga kerja ataupun menganiaya hak-haknya. Islam menyerukan bahwasanya pemberi kerja agar bersegera dalam memberikan gaji para pekerja. Rasulullah bersabda: “Berikanlah upah kepada para pekerja sebelum keringat mereka kering”. (HR. Ibnu Majah dalam Badroen, 2006). 6) Meyakinkan bahwa kegiatan perusahaan tidak merusak lingkungan Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwasanya aktivitas bisnis selain tidak boleh merugikan masyarakat juga harus memperhatikan lingkungan sekitar. Sebagaimana firman Allah: ”...dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan…” (QS: Hud : 85). 7) Menganggap tugas adalah berdimensi dari ibadah Menurut Syed Nawad Haidar Naqvi dalam Muslich (2004), tanggung jawab sosial dapat dilihat dari beberapa aspek, yang salah satunya adalah aspek unity (Ke-Esaan Allah/Tauhid). Unity adalah suatu integritas vertikal interaksi sistem sosial yang bermuara pada keesaan Tuhan (Muslich, 2004). Artinya, segala upaya yang dilakukan manusia berpulang kepada fungsi tugas sebagai ibadah dan tanggung jawab yang akan diberikan kepada Allah sebagai pemberi amanah dan pemilik sumber daya yang sesungguhnya. Dalam konteks transparansi, Haniffa (2002) merinci informasi yang dibutuhkan sebagai berikut: 1. Memberikan informasi mengenai kegiatan yang halal dan haram 2. Memberikan informasi tentang kebijakan keuangan dan investasi 3. Informasi mengenai kebijakan kepegawaian 4. Informasi mengenai hubungan perusahaan dengan masyarakat 5. Informasi menyangkut sumber dan perlindungan alam Konteks transparansi tersebut juga telah diajarkan oleh Nabi SAW yang tersermin dari sifat Tabligh. Tabligh (Ghani, 2005) memuat unsur sosialisasi, internalisasi, komunikasi, informasi, kepemimpinan, keteladanan, transfer of knowledge, empati, transparan, jujur, 8 konsekuen, konsisten, lentur, matang (matured) dan pengendalian diri/emosi. Tabligh adalah menyebarkan kebenaran dan keyakinan kepada orang lain. Muatan tabligh secara garis besar adalah ”amar ma’ruf nahyi munkar”, yaitu menyeru berbuat kebajikan dan melarang kemungkaran terjadi di sekitar kita. Islam menganjurkan bagi setiap pengusaha Muslim supaya memperlakukan seluruh transaksi bisnis berdasar tata cara yang layak, fair dan etis. Hal ini dikarenakan bahwa apapun yang dilakukan setiap individu akan diminta pertanggungjawaban. Kaitan dengan CSR adalah bahwasanya dalam menjalankan operasi bisnis, pelaku bisnis seharusnya menyampaikan segala informasi yang dibutuhkan para pengguna, termasuk informasi sosial perusahaan. Islamic Social Reporting (ISR) Sejalan dengan makin meningkatnya pelaksanaan CSR dalam konteks Islam, maka makin meningkat pula keinginan untuk membuat pelaporan sosial yang bersifat syariah (Islamic Social Reporting atau ISR). Ada dua hal yang harus diungkapkan dalam perspektif Islam, yaitu: pengungkapan penuh (full disclosure) dan akuntabilitas sosial (social accountability). Konsep akuntabilitas sosial terkait dengan prinsip pengungkapan penuh dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan publik akan suatu informasi. Dalam konteks Islam, masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui berbagai informasi mengenai aktivitas organisasi. Hal ini dilakukan untuk melihat apakah perusahaan tetap melakukan kegiatannya sesuai syariah dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Baydoun & Willet, 1997). Hanya saja ketiadaan standar CSR secara syariah menjadikan pelaporan CSR perusahaan syariah menjadi tidak seragam dan standar. Standar yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) tidak dapat dijadikan sebagai suatu standar pengungkapan CSR karena tidak menyebutkan keseluruhan item-item terkait CSR yang harus diungkapkan suatu perusahaan. Othman et al (2009) melakukan penelitian mengenai praktek pelaporan CSR perusahaan syariah yang listed di bursa Malaysia dan hasilnya memperlihatkan bahwa kebanyakan masih pada tahap konseptual. Hal ini dikarenakan belum adanya standar yang bisa di adopsi perusahaan dalam penerapan CSR syariah tersebut. Penelitian dalam ranah CSR syariah umumnya menggunakan model indeks Islamic Social Reporting yang dikembangkan dengan dasar dari standar pelaporan berdasarkan AAOIFI yang kemudian dikembangkan oleh masing-masing peneliti berikutnya (Haniffa, 2002; Maali et al, 2006; Othman et al, 2009). Haniffa (2002) menyatakan bahwa praktik pengungkapan informasi sosial menurut perspektif Islam seharusnya berbeda dengan perspektif konvensional karena jenis informasi yang perlu disajikan juga berbeda. Penggunaan kerangka syariah diperlukan dalam penyusunan konsep Islamic Social Reports (ISR) yang memenuhi tujuan akuntabilitas dan transparansi sebagai bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam semesta. Haniffa (2000:136) menyarankan dua tujuan dari ISR antara lain: (a) untuk menunjukkan akuntabilitas kepada Tuhan dan komunitas masyarakat; dan (b) untuk meningkatkan transparansi dari aktivitas bisnis dengan menyediakan informasi yang relevan yang sesuai dengan kebutuhan spiritual para pembuat keputusan. Haniffa (2002) mengusulkan prinsip-prinsip etika dan isi dari ISR berdasarkan lima dimensi: keuangan dan investasi, produk, sumber daya insani, masyarakat dan lingkungan. Secara khusus indeks ISR adalah perluasan dari social reporting yang meliputi harapan masyarakat tidak hanya mengenai peran perusahaan dalam perekonomian, tetapi juga peran perusahaan dalam perspektif spiritual (Haniffa, 2002). Selain itu, indeks ISR juga menekankan pada keadilan sosial terkait pelaporan mengenai lingkungan, hak minoritas dan karyawan. 9 Pengungkapan Kinerja Sosial Perusahaan Pengungkapan kinerja sosial atau tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting (Mathews, 1995 dalam Sembiring, 2005) atau corporate social responsibility (Hackston & Milne, 1996 dalam Sembiring, 2005) merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray et. al., 1987 dalam Sembiring, 2005). Gray et. al., (1995b) dalam Sembiring (2005) menyebutkan ada dua pendekatan yang secara signifikan berbeda dalam melakukan penelitian tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Pendekatan pertama, pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan mungkin diperlakukan sebagai suatu suplemen dari aktivitas akuntansi konvensional. Pendekatan ini secara umum akan menganggap masyarakat keuangan sebagai pemakai utama pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan cenderung membatasi persepsi tentang tanggung jawab sosial yang dilaporkan. Pendekatan alternatif kedua dengan meletakkan pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan pada suatu pengujian peran informasi dalam hubungan masyarakat dan organisasi. Pandangan yang lebih luas ini telah menjadi sumber utama kemajuan dalam pemahaman tentang pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan dan sekaligus merupakan sumber kritik yang utama terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Darwin (2004) dalam Anggraini (2006) mengatakan bahwa Corporate Sustainability Reporting terbagi menjadi 3 kategori yaitu kinerja ekonomi, kinerja lingkungan dan kinerja sosial. Sedangkan Zhegal & Ahmed (1990) dalam Anggraini (2006) mengidentifikasi hal-hal yang berkaitan dengan pelaporan sosial perusahaan, yaitu sebagai berikut.: 1) Lingkungan, meliputi pengendalian terhadap polusi, pencegahan atau perbaikan terhadap kerusakan lingkungan, konservasi alam dan pengungkapan lain yang berkaitan dengan lingkungan. 2) Energi, meliputi konservasi energi, efisiensi energi, dll. 3) Praktik bisnis yang wajar, meliputi, pemberdayaan terhadap minoritas dan perempuan, dukungan terhadap usaha minoritas, tanggung jawab sosial. Anggraini (2006) menyatakan bahwa tuntutan terhadap perusahaan untuk memberikan informasi yang transparan, organisasi yang akuntabel serta tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) memaksa perusahaan untuk memberikan informasi mengenai aktivitas sosialnya. Masyarakat membutuhkan informasi mengenai sejauh mana perusahaan sudah melaksanakan aktivitas sosialnya sehingga hak masyarakat untuk hidup aman dan tentram, kesejahteraan karyawan dan keamanan mengkonsumsi makanan dapat terpenuhi. Oleh karena itu dalam perkembangan sekarang ini akuntansi konvensional telah banyak dikritik karena tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat secara luas, sehingga kemudian muncul konsep akuntansi baru yang disebut sebagai Social Responsibility Accounting (SRA) atau Akuntansi Pertanggungjawaban Sosial. Ikatan Akutan Indonesia (IAI) dalam Pernyataan Standar Akutansi Keuangan (PSAK) Nomor 1 (revisi 2007) paragraf sembilan secara implisit menyarankan untuk mengungkapkan tanggung jawab akan masalah sosial sebagai berikut : “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor-faktor lingkungan hidup memegang peran penting dan bagi 10 industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting” Perusahaan semakin menyadari bahwa kelangsungan hidup perusahaan juga tergantung dari hubungan perusahaan dengan masyarakat dan lingkungannya tempat perusahaan beroperasi. Hal ini sejalan dengan legitimacy theory yang menyatakan bahwa perusahaan memiliki kontrak dengan masyarakat untuk melakukan kegiatannya berdasarkan nilai-nilai justice dan bagaimana perusahaan menanggapi berbagai kelompok kepentingan untuk melegitimasi tindakan perusahaan (Tilt, 1994, dalam Haniffa et al, 2005). Jika terjadi ketidakselarasan antara sistem nilai perusahaan dan sistem nilai masyarakat, maka perusahaan dalam kehilangan legitimasinya, yang selanjutnya akan mengancam kelangsungan hidup perusahaan (Lindblom, 1994, dalam Haniffa et al, 2005). Pengungkapan informasi CSR dalam laporan tahunan merupakan salah satu cara perusahaan untuk membangun, mempertahankan dan melegitimasi kontribusi perusahaan dari sisi ekonomi dan politis (Guthrie & Parker, 1990). Penelitian Basamalah et al (2005) yang melakukan review atas social and environmental reporting and auditing dari dua perusahaan di Indonesia, yaitu PT Freeport Indonesia dan PT Inti Indorayon, mendukung prediksi legitimacy theory tersebut. Berbagai alasan perusahaan dalam melakukan pengungkapan informasi CSR secara sukarela telah diteliti dalam penelitian sebelumnya, di antaranya adalah karena untuk mentaati peraturan yang ada, untuk memperoleh keunggulan kompetitif melalui penerapan CSR, untuk memenuhi ketentuan kontrak pinjaman dan memenuhi ekspektasi masyarakat, untuk melegitimasi tindakan perusahaan dan untuk menarik investasor (Deegan & Blomquist, 2001; Patten, 1992; dalam Basamalah & Jermias, 2005). METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan komparasi dua bank syariah terbesar di Indonesia yang dimaksudkan untuk membandingkan pengungkapan kinerja sosial antara Bank Muamalat Indonesia dengan Bank Syariah Mandiri dalam kurun waktu 3 tahun. Ukuran pengungkapan ini menggunakan Islamic Social Reporting Index (ISR) yang sesuai dengan karakteristik bank syariah seperti yang telah dilakukan oleh Haniffa (2002) dan Othman et al (2009). ISR terdiri dari 6 kategori pengungkapan yaitu investasi dan keuangan (Financing and Investment), Produk dan Jasa (Products And Services Theme), Tenaga Kerja (Employees Theme), sosial (Social), lingkungan (Environment) dan Tata Kelola Organisasi (Corporate Governance Theme). Analisis data dilakukan pada penelitian ini yaitu Content analysis yaitu dengan memberikan tanda checklist pada tiap item yang diungkapkan pada laporan tahunan bank syariah (annual report). Jika terdapat satu item yang diungkapkan maka akan mendapakan skor “1”, dan jika tidak maka akan mendapat skor “0”. Pemberian tanda checklist didasarkan pada analisis isi (content analysis) seperti pada penelitian Othman et al (2009). Hasil Penelitian Berdasarkan hasil penelitian pada dua bank umum syariah yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, maka berikut hasil analisisnya yang disajikan pada tabel 1: 11 Tabel 1 Perbandingan Pengungkapan Kinerja Sosial BMI dan BSM Disclosure BMI BSM 2010 2011 2009 2010 2011 50% 100% 50% 50% 83% 75% 50% 50% 75% 75% 20% 50% 30% 50% 60% 82% 100% 82% 82% 100% 43% 43% 57% 43% 43% 80% 100% 80% 60% 80% 58% 74% 58% 60% 74% 2009 Finance and Investment 67% Product and service 50% 10% Employees 91% Society 14% Environment 100% Corporate Governance Total Pengungkapan 55% Sumber: Data Hasil Pengolahan Dari hasil penelitian tersebut maka dapat kita ketahui bahwa terdapat perbedaan besarya pengungkapan antara Bank Muamalat Indonesia dengan Bank Syariah Mandiri. Pada aspek keuangan dan investasi, di tahun 2009 Bank Muamalat Indonesia mengungkapkan sebesar 67% nilai ini lebih dari separuhnya sehingga dapat dianggap cukup, namun di tahun 2010 besarnya pengungkapan menjadi menurun hingga 50%. Akan tetapi di tahun selanjutnya yaitu tahun 2011 ternyata Bank Muamalat Indonesia melakukan pengungkapkan sempurna yaitu sebanyak 100% pengungkapan mengenai keuangan dan investasi. Berdasarkan data tersebut maka track record Bank Muamalat Indonesia dalam melakukan pengungkapan bidang keuangan dan investasi sudah bagus meski sempat mengalami penurunan di tahun 2010. Sedangkan pada Bank Syariah Mandiri, pengungkapan mengenai keuangan dan investasi di tahun 2009 sebanyak 50%. Begitu pun pada tahun 2011 masih mengungkapkan sebanyak 50%. Ini menandakan bahwa tidak ada perbaikan dalam pengungkapan di BSM. Namun perubahan besar terjadi pada tahu 2011 yaitu melakukan pengungkapan sebanyak 83%. Artinya di tahun 2011 Bank Syariah Mandiri telah melakukan perbaikan yang signifikan dalam hal pengungkapan investasi dan keuangan meskipun secara penilaian kuantitatif bahwa pengungkapan pada Bank Muamalat Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Syariah Mandiri. Dari data tersebut menandakan bahwa baik bank Muamalat maupun Bank Syariah Mandiri terus meningkatkan kualitas pengungkapan terutama dalam aspek keuangan dan investasi. Namun pengungkapan investasi dan keuangan yang terus meningkat ini harus diikuti pula dengan kinerja keuangan dan investasinya karena aspek ini sangat rentan dengan praktek riba. Oleh karena itu Dewan Pengawas Syariah pada masing-masing bank harus terus bekerja keras memantau agar aktivitasnya sesuai dengan kepatuhan syariah (sharia compliance). Aspek selanjutnya yaitu pengungkapan mengenai produk dan jasa. Pada Bank Muamalat Indonesia, di tahun 2009 pengungkapannya hanya sebesar 50% namun di tahun selanjutnya (2010) pengungkapannya meningkat menjadi 75%. Ini menunjukkan bahwa pada Bank Muamalat Indonesia terjadi peningkatan luas pengungkapan. Namun di tahun 2011 ternyata pengungkapan mengenai produk dan jasa pada Bank Muamalat Indonesia kembali menunjukkan penurunan yaitu sebesar 50%. Dengan data tersebut maka pada Bank Muamalat Indonesia tidak menunjukkan konsistensi pengungkapan mengenai produk dan jasa karena tidak terjadi peningkatan lagi. Berbeda dengan pengungkapan produk dan jasa pada Bank Syariah Mandiri. Di tahun 2009 Bank Syariah Mandiri melakukan pengungkapan yang sama seperti pada Bank Muamalat Indonesia yaitu sebesar 50% dan meningkat di tahun 2011 yaitu sebesar 75%. Namun di tahun 2011 tidak mengalami penurunan ataupun peningkatan, yaitu tetap sebesar 75% pengungkapan. Dengan melihat nilai ini, maka Bank 12 Syariah Mandiri masih dianggap konsisten untuk mempertahankan pengungkapan karena tidak menunjukkan penurunan seperti pada Bank Muamalat Indonesia dalam hal pengungkapan aspek produk dan jasa. Aspek selanjutnya yaitu pengungkapan kinerja sosial (CSR) mengenai kepegawaian. CSR yang dimaksud di sini yaitu CSR internal kepada para pekerja bukan kepada lingkungan masyarakat. Seharusnya sebagai perusahaan yang besar, maka kedua bank tersebut harus mengungkapkan kinerja kepegawaiannya dengan baik karena jika perusahaan mempunyai jumlah pekerja yang banyak maka tanggungjawab kepada para pegawainya pun menjadi lebih besar. Hasil penelitian pada Bank Muamalat Indonesia menunjukkan bahwa di tahun 2009 pengungkapan kinerja sosial mengenai kepegawaian sebanyak 10% dan di tahun 2010 sebanyak 20%. Nilai ini masih sangat kecil karena menunjukkan bahwa Bank Muamalat Indonesia masih jauh dari kata sempurna dalam pengungkapan kinerja sosial dalam aspek kepegawaiannya. Nilai ini bisa disebabkan karena kurangnya perhatian kepada para pegawai atau karena pengungkapannya yang sengaja tidak dilakukan. Namun perubahan signifikan terjadi pada tahun 2010 yang meningkat menjadi 50%. Meskipun nilai ini masih separuh dari yang seharusnya tapi menunjukkan peningkatan yang baik. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Bank Syariah Mandiri. Pengungkapan mengenai aspek kepegawaian pada Bank Syariah Mandiri terus meningkat dari tahun ke tahun. Di tahun 2009 pengungkapan yang dilakukan sebesar 30% dan meningkat pada tahun 2010 menjadi 50% lalu di tahun 2011 kembali meningkat menjadi 60%. Peningkatan ini jelas berbeda dengan peningkatan pada Bank Muamalat Indonesia karena pada Bank Syariah Mandiri nilai pengungkapannya lebih besar sehingga lebih luas. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pengungkapan kinerja sosial mengenai aspek kepegawian pada Bank Syariah Mandiri lebih tinggi dibandingkan dengan Bank Muamalat Indonesia. Pengungkapan kinerja sosial lainnya yaitu mengenai aspek sosial kemasyarakatan. Pengungkapan kinerja sosial aspek sosial kemasyarakatan menunjukkan CSR eksternal atau kepedulian terhadap masyarakat dan menunjukkan bahwa bank syariah berjiwa sosial, membantu masyarakat sekitar dan berkontribusi positif di tengah-tengah masyarakat. Seharusnya sebagai perusahaan yang berdiri di masyarakat maka suatu perusahaan dalam hal ini bank syariah harus menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar karena eksistensi perusahaan tidak hanya ditunjukkan oleh keberhasilan perusahaan dalam hal memperoleh keuntungan, tapi bagaimana perusahaan itu bisa diakui keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Salah satu cara yang harus ditempuh yaitu dengan menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan sekitar (masyarakat). Hasil penelitian mengenai pengungkapan kinerja sosial dalam aspek sosial pada Bank Muamalat Indonesia yaitu sebesar 91% pada tahun 2009. Nilai ini sudah besar dan hampir sempurna, artinya Bank Muamalat Indonesia sudah mengungkapkan aspek sosial dengan baik. Namun pada tahun 2010 pengungkapannya menurun menjadi 82%. Meskipun nilai pengungkapan menurun akan tetapi luas pengungkapan masih baik. Kemudian nilai pengungkapan mengejutkan di tahun 2011 yaitu pengungkapan yang sempurna atau sebesar 100%. Nilai yang sempurna ini menunjukkan bahwa Bank Muamalat Indonesia telah melakukan pengungkapan dengan baik. Artinya bank muamalat menginginkan bahwa keberadaanya di tengah-tengah masyarakat benar-benar diakui sebagai bank yang peduli terhadap lingkungan sekitar, yang menunjukkan bahwa Bank Mualamat Indonesia tidak hanya bekerja untuk mencari keuntungan semata namun mencari benefit lain yaitu pengakuan dari masyarakat melalui kinerja sosialnya. Tidak hanya pada Bank Muamalat Indonesia, pada Bank Syariah Mandiri pun hasil pengungkapan kinerja sosial aspek sosial menunjukkan hasil yang baik, yaitu pada tahun 2009 dan 2010 pengungkapan sebesar 82% dan pada tahun 2011 pengungkapan sebesar 100%. Nilai yang sebesar ini pada kedua bank syariah telah menunjukkan sisi keislamannya 13 yaitu selalu membantu kepada sesama manusia khususnya yang membutuhkan dan dibuktikan melalui pengungkapan pada laporan tahunan. Sehingga baik di Bank Muamalat Indonesia maupun di Bank Syariah Mandiri pengungkapan kinerja sosial aspek sosial kemasyarakatan telah diungkapkan dengan sempurna. Pengungkapan selanjutnya yaitu mengenai aspek lingkungan. Pada aspek ini bank syariah mengungkapkan mengenai kepedulian terhadap lingkungan sekitar seperti perlindungan lingkungan, polusi, kebijakan lingkungan dan lainnya. Bank syariah sebagai lembaga keungan yang bekerja sebagai intermediasi antara masyarakat yang kelebihan uang dengan masyarakat yang membutuhkan uang memang tidak secara langsung berhubungan dengan lingkungan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa bank syariah menunjukkan kepeduliannya terhadap hal tersebut. Terbukti bahwa bank syariah menunjukkannya meski pengungkapan yang tidak terlalu besar. Pada Bank Muamalat Indonesia, pengungkapan mengenai aspek lingkungan pada tahun 2009 adalah sebesar 14%. Namun peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2010 yaitu sebesar 43% dan pengungkapan yang sama pada tahun 2011 yaitu sebesar 43%. Sedangkan pada Bank Syariah Mandiri pada tahun 2009 menunjukkan pengungkapan sebesar 57%. Namun pada tahun 2010 pengungkapan menurun menjadi 43% begitu pun pada tahun 2011 sebesar 43%. Baik pada Bank Muamalat Indonesia maupun pada Bank Syariah Mandiri pengungkapan kinerja sosial mengenai lingkungan masih belum besar mengingat bank syariah tidak mempunyai hubungan langsung dengan lingkungan tidak seperti perusahaan manufaktur yang operasionalnya mencemari lingkungan sekitar. Pengungkapan yang terakhir yaitu aspek tata kelola perusahaan (Corporate Governance). Pada Bank Muamalat Indonesia, di tahun 2009 pengungkapan tata kelola perusahaan sebesar 100% artinya menunjukkan pengungkapan yang sempurna, namun pada tahun 2010 pengungkapannya menurun menjadi 80%, tapi pada tahun 2011 kembali menunjukkan pengungkapan yang sempurna 100%. Dengan data tersebut maka Bank Muamalat Indonesia telah membuktikan bahwa tata kelola perusahaan yang sering didengungkan akhir-akhir ini telah dilaksanakan dengan baik dan dibuktikan melalui pengungkapan pada laporan tahunan. Selanjutnya pada Bank Syariah Mandiri, pengungkapan tata kelola perusahaan pada tahun 2009 sebesar 80%. Hal ini menunjukkan pengungkapan yang cukup baik. Namun pada tahun 2010 pengungkapannya menjadi merosot yaitu sebesar 60%. Aka tetapi di tahun 2011 kembali menjadi 80%. Meskipun belum menunjukkan sempurna, namun Bank Syariah Mandiri menunjukkan keseriusannya dalam hal tata kelola perusahaan. Akan tetapi jika dibandingakan dengan Bank Muamalat Indonesia, maka dalam hal tata kelola (corporate governance), pengungkapan pada Bank Muamalat Indonesia lebih tinggi dari pada Bank Syariah Mandiri. Dari data-data yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dilihat nilai pengungkapan kinerja sosial secara keseluruhan seperti pada tabel 1. Pada dasarnya baik pada Bank Muamalat Indonesia maupun pada Bank Syariah Mandiri pengungkapan kinerja sosial mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada Bank Muamalat Indonesia tahun 2009 total pengungkapan sebesar 55% dan meningkat pada tahun 2010 yaitu sebesar 58% dan berakhir pada tahun 2011 yaitu pengungkapan sebesar 74%. Begitu pun pada Bank Syariah Mandiri pengungkapan kinerja sosial secara keseluruhan pada tahun 2009 sebesar 58% dan meningkat pada tahun 2010 yaitu sebesar 60% serta pada tahun 2011 kembali meningkat yaitu sebesar 74%. Dengan adanya peningkatan ini maka baik Bank Muamalat Indonesia maupun Bank Syariah Mandiri menunjukkan perbaikan pengungkapan dari tahun ke tahun meskipun pengungkapannya masih jauh dari yang seharusnya. Untuk dapat lebih jelas melihat ratarata pengungkapan dalam 3 tahun terakhir ini maka dapat dilihat pada tabel 2 di bawah ini. 14 Tabel 2 Rata-rata Pengungkapan Kinerja Sosial BMI dan BSM Keterangan BMI 2010 58% 62% BSM 2010 60% 64% 2009 2011 2009 2011 Indeks Pengungkapan 55% 74% 58% 74% Rata-rata Sumber: Data Hasil Pengolahan Dari tabel 2 di atas maka dapat kita lihat bahwa secara keseluruhan rata-rata pengungkapan kinerja sosial dari tahun 2009 sampai tahun 2011 menunjukkan hasil yang berbeda. Pada Bank Muamalat Indonesia rata-rata menunjukkan nilai indeks sebesar 62% sedangkan pada Bank Syariah Mandiri rata-rata pengungkapan sebesar 64%. Artinya menurut perspektif Islamic Social Reporting (ISR) bahwa pengungkapan kinerja sosial pada Bank Syariah Mandiri lebih tinggi dibandingkan pada Bank Muamalat Indonesia. Sebagai lembaga keuangan yang tidak hanya menyalurkan dana kepada masyarakat, akan tetapi membutuhkan pula sumber dana dari masyarkat, seharusnya bank syariah dapat mengungkapkan kinerja sosial lebih tinggi lagi karena tanggungjawab sosialnya makin banyak saat struktur modal pada bank syariah banyak bersumber dari masayarakat seperti pada dana pihak ketiga. Selain itu bank syariah yang bersumber dari alquran dan alhadits maka seharusnya bank syariah lebih menunjukkan sisi sosialnya (al’adlu) karena ajaran alquran dan alhadits tidak hanya mengajarkan berhubungan dengan Alloh (hablumminalloh) tapi mengharuskan kita berbagi terhadap sesama (hablumminannas) yaitu melalui zakat, sedekah, infaq, qordul hasan dan kebaikan lainnya yang ditunjukkan melalui kinerja sosial yang tinggi. Kesimpulan Penelitian ini bertujuan untuk melihat perkembangan pengungkapan kinerja sosial (social disclosure) pada bank umum syariah di Indonesia yang diwakili oleh dua bank syariah terbesar di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri dilihat dari Islamic Social Reporting (ISR). Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa besarnya pengungkapan kinerja sosial bank umum syariah yang diwakili oleh kedua bank umum syariah tersebut masih jauh dari pengungkapan yang seharusnya. Namun walaupun demikian ternyata pengungkapan mengenai aspek kepedulian sosial sudah bernilai sempurna (100%). Hal ini menunjukkan bahwa bank syariah sebagai bank Islam memperlihatkan jati dirinya tidak hanya mencari keuntungan semata dalam hal finansial (profit oriented) tapi mencari keuntungan lain yaitu pengakuan dari masyarakat dengan cara peduli terhadap lingkungan/masyarakat yang tentunya sesuai dengan kaidah alqur’an dan assunnah serta sesuai dengan teori legitimasi bahwa eksistensi perusahaan ditentukan oleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya. Namun fakta lain yaitu pengungkapan mengenai lingkungan baik Bank Muamalat Indonesia maupun Bank Syariah Mandiri mempunyai nilai pengungkapan yang sangat kecil. Hal ini dapat terjadi karena operasional bank umum syariah tidak berhubungan langsung dengan lingkungan seperti pada perusahaan pabrikasi (manufaktur) yang mengakibatkan polusi udara, pencemaran lingkungan dan akibat buruk lainnya. Akan tetapi bank umum syariah tetap memberikan nilai positif terhadap pengungkapan lingkungan sekitarnya. 15 Keterbatasan Suatu penelitian tidak luput dari keterbatasan-keterbatasan yang tentunya menghambat kesempurnan. Keterbatasan tersebut ditunjukkan pula dalam penelitian ini. Penelitian ini hanya dilakukan pada dua bank umum syariah padahal sampai dengan tahun 2011 terdapat 11 bank umum syariah di Indonesia. Oleh karena itu penelitian selanjutnya dapat dilakukan dengan populasi seluruh bank umum syariah di Indonesia. Daftar Pustaka Affandi, Nik Mohamed. 2002. Islam and Business. Malaysia: Pelanduk Publications. Anggraini, Fr. Reni Retno. 2006. Pengungkapan Informasi Sosial dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengungkapan informasi Sosial dalam Laporan Keuangan Tahunan (Studi Empiris pada Perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi 9 Padang Badroen, Faisal. Dkk. 2006. Etika Bisnis dalam Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group Barkemeyer, Ralf. 2007. Legitimacy as a Key Driver and Determinant of CSR in Developing Countries. Paper for the 2007 Marie Curie Summer School on Earth System Governance, 28 May-06 June 2007, Amsterdam. Basamalah, Anies S. And Johnny Jermias. 2005. Social and Environmental Reporting and Auditing in Indonesia: Maintaining Organizational Legitimacy. Gajah Mada International Journal of Business, January-April 2005 7 (1): 109-127 Baydoun, N. & Willet, R. 1997. Islamic Ethical Issues in the Presentation of Financial Information. Accounting, Commerce and Finance: The Islamic Perspective Journal, 1(1). Deegan, C. 2004. Financial Accounting Theory. McGraw-Hill Book Company, Sydney Dowling, J dan Pfeffer, J. 1975. Organisation Legitimacy: Social values and Organizational Behaviour. Pacific Sociological Review. 18: 122-136 Dusuki, A.W.,& Dar, H. 2005. Stakeholders’ Perceptions of Corporate Social Responsibility of Islamic Banks: Evidence From Malaysian Economy. International Conference on Islamic Economics and Finance Fitria, Soraya dan Dwi Hartanti. 2010. Studi Perbandingan Pengungkapan Berdasarkan Global Reporting Initiative Indeks Dan Islamic Social Reporting Indeks. Simposium Nasional Akuntansi XIII. Purwokerto Ghani, Muhammad Abdul. 2005. The Spiritually in Business. Jakarta: Pena Pundi Aksara Guthrie, J. and L.D. Parker. 1990. Corporate Social Disclosure Practice: A Comparative International Analysis. Advances in Public Interest Accounting. 3: 159-175 Hadi, Nor. 2011. Corporate Social Responsibility (CSR). Yogyakarta: Graha Ilmu Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Syariah dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani Hameed, et.al. 2008. Alternative Disclosure and Performance Measures for Islamic Banks. Departement of Accounting. Kulliyah of Economics and Management Science IIUM Haniffa, R.M. 2002. Social Reporting Disclosure-An Islamic Perspective. Indonesian Management & Accounting Research. 1 (2): 128-146 Haniffa, R.M., dan T.E. Cooke. 2005. The Impact of Culture and Governance on Corporate Social Reporting. Journal of Accounting and Public Policy. 24: 391-430 Harahap, Sofyan Syafri. 2003. Akuntansi Sosial ekonomi dan Akuntansi Islam. Media Riset Akuntansi, Auditing, dan Informasi. 3(1): 56-75 Ikatan Akuntan Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat Jamali, Dima dan Mirshak, Ramez. 2007. Corporate Social Responsibility (CSR): Theory and Practice in a Developing Country Context. Journal of Business Ethics 72 (3): 243-262 Maali, B., Casson, P., Napier, C. 2006. Social Reporting by Islamic Banks. ABACUS, 42 (2): 266-289 16 Maignan, I., Ferrell, O. C., & Hult, G. T. 2004. Corporate Citizenship: Cultural Antecedents And Business Benefits. Journal of the Academy of Marketing Science, 27(4): 455-469. McWilliams, A. dan D. Siegel. 2001. Corporate Social Responsibility: A Theory of the Firm Perspective. Academy of Management Review. 26(1): 117–127 Meutia, Inten. 2010. Menata Pengungkapan CSR di Bank Islam (Suatu Pendekatan Kritis). Jakarta: Citra Pustaka Indonesia. Mirfazli, Edwin Nurdiono. 2007. Evaluasi Pengungkapan Informasi Pertanggungjawaban Sosial pada Laporan Keuangan Tahunan Perusahaan dalam Kelompok Aneka Industri yang Go Public di BEJ. Jurnal Akuntansi Keuangan. 12( 1) Mursitama, Tirta, dkk. 2011. Corporate Social Responsibility di Indonesia (Teori dan Implementasi). Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Muslich, 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta:Ekonisia Othman, R., A. Md. Thani, E.K. Ghani. 2009. Determinants of Islamic Social Reporting Among Top Shariah-Approved Companies in Bursa Malaysia. Research Journal of International Studies. 12 Patten, D. M. 1991. Exposure, Legitimacy, and Social Disclosure. Journal of Accounting and Public Policy, 10: 297-308 Sayekti, Yosefa dan Ludovicus Sensi Wondabio. 2007. Pengaruh CSR disclosure terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar, 26-28 Juli 2007 Sembiring, Eddy R. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial: Study Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Simposium Nasional Akuntansi VIII Solo, 15-16 September Syahatah, Husain dan Siddiq Muh. Al-Amin Adh-Dhahir. 2005. Transaksi dan Etika Bisnis Islam. Jakarta: Visi Insani Publishing Triyuwono, Iwan. 2000. Organisasi dan Akuntansi Syariah. Yogyakarta: LkiS Lampiran: Tabel Pengungkapan Kinerja Sosial (Social Reporting) berdasarkan Islamic Social Reporting (ISR) NO. A 1 2 3 4 5 6 B 7 8 9 10 C 11 12 13 Item Of Disclosure Finance And Investment Riba Activities Gharar Zakat : method used, zakatable amount, beneficiaries Late Repayments and Insolvent Clients/Bad Debts written-off Current Value Balance Sheet (CVBS) Value Added Statement (VAS) Products And Services Green product Halal status of the product Product safety and quality Customer complaints/incidents of non-compliance with regulation and voluntary codes (if any) Employees Nature of work: Working hours, holiday, other benefits Education and Training/Human Capital Development Equal Opportunities 17 14 15 16 17 18 19 20 D 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 E 32 33 34 35 36 37 38 F 38 40 41 42 43 Employee involvement Health and Safety Working environment Employment of other special-interest-group (i.e. handicapped, ex-convicts, former drug-addicts) Higher echelons in the company perform the congregational prayers with lower and middle level managers. Muslim employees are allowed to perform their obligatory prayers during specific times and fasting during Ramadhan on their working day. Proper place of worship for the employees. Society Saddaqa/Donation Waqf QardHassan Employee Volunteerism Education-School Adoption Scheme: Scholarship Graduate employment Youth development Underprivileged community Children care Charities/Gifts/Social activities Sponsoring public health/recreational project/sports/cultural events Environment Conservation of environment Endangered wildlife Environmental Pollution Environmental Education Environmental Products/Process related Environmental Audit/independent verification/governance Environmental Management System/Policy Corporate Governance Shariah compliance status Ownership structure: Number of muslim shareholders and its shareholdings Board structure-muslim vs non-muslim Forbidden activities: monopolistic practice, boarding necessary goods, price manipulation, fraudulent business practice, gambling Anti-corruption policies