Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia Mei Susanto1 Pendahuluan Pemikiran Prof. Sri Soemantri yang mengungkap persoalan oposisi ditulis dalam Buku “Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” pada tahun 1968. Walau tidak spesifik membahas tentang oposisi, namun Prof. Sri sempat mengulas urgensi oposisi dalam pemerintahan demokratis di Indonesia. Saat itu Prof. Sri mengomentari syaratsyarat representatif government under the rule of law menurut International Comision of Jurist, yang terdiri dari: (1) adanya proteksi konstitusional; (2) adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak; (3) adanya pemilihan umum yang bebas; (4) adanya kebebasan untuk menyattakan pendapat dan berserikat; (5) adanya tugas oposisi; dan (6) adanya pendidikan civic.2 Khusus berkaitan dengan adanya tugas oposisi, Prof. Sri Soemantri mengatakan3: “Istilah oposisi berasal dari perkataan “opponeren” yang mengandung arti melawan atau menentang. Dengan demikian oposisi berarti suatu perbuatan yang bersifat melawan atau menentang. Ditinjau dari segi lain adanya oposisi berarti pula adanya perbedaan pendapat atau pandangan mengenai satu atau beberapa hal. Hal ini dapat terjadi dalam bermacam-macam bidang kehidupan. Perbedaan pandangan atau pendapat diatas dapat pula terjadi dalam bidang politik. Apabila kita mengambil contoh Inggeris yang menganut sistem dua partai, maka di dalam Parlemen atau House of Commons akan terdapat dua partai politik yang berpengaruh dimana salah satu dari padanya menguasai mayoritas suara atau kursi di dalam lembaga negara diatas. Dalam hal partai politik yang menguasai mayoritas suara diatas Partai Konservatif umpamanya, maka partai politik inilah yang menguasai Pemerintah atau Kabinet. Ini berarti pula, bahwa Partai Konservatif tersebut menjadi pemerintah, sedangkan Partai Buruh akan menjadi partai oposisi, sebagai partai politik yang akan terus menerus melakukan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah/partai pemerintah. Apabila ada tindakan pemerintah / partai pemerintah yang dianggap merugikan rakyat, maka Partai Buruh akan bersikap menentang tindakan di atas. Arti serta pelaksanaan oposisi ini dapat pula disesuaikan dengan kenyataankenyataan yang terdapat dalam masyarakat atau negara yang bersangkutan. Dengan demikian tugas oposisi apabila diterapkan dalam negara Republik Indonesia dapat 1 2 3 Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, aktif juga sebagai anggota Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia, Jl. Dipati Ukur No. 35 Bandung, [email protected], S.H. (Unpad), M.H. (UI). Lihat Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung : Alumni, 1981 (cetakan pertama 1968), hlm. 12-13. Ibid., hlm. 25-26. 87 Interaksi Konstitusi dan Politik diberi arti tugas untuk mengoreksi tindakan-tindakan Pemerintah. Dalam arti demikian ini, maka tugas oposisi harus pula terdapat dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.” (cetak tebal penulis) Pernyataan “maka tugas oposisi harus pula terdapat dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia” inilah yang kemudian menarik untuk diaktualisasikan dalam konteks ketatanegaraan Indonesia kekinian. Sebagian pihak menganggap bahwa pelembagaan oposisi dalam sistem pemerintahan Indonesia paska reformasi yang menganut sistem presidensil tidaklah tepat. Pihak ini menganggap pelembagaan oposisi hanyalah ada dalam sistem pemerintahan parlementer dimana partai yang memiliki kursi terbanyak di parlemen membentuk kabinet, sementara partai sisanya menjadi oposisi. Berbeda dengan sistem presidensil yang dibangun bukan berdasarkan koalisi-koalisi tertentu. Dalam sistem presidensil, Presiden berhadapan dengan parlemen (DPR) sebagai sebuah kesatuan, bukan dalam pecahan-pecahan partai pendukung dan partai oposisi.4 Selain itu, tradisi ‘mosi tidak percaya’ yang sering kali muncul dalam sistem parlementer akibat adanya pergesekan oposisi dan koalisi, membuatkabinet jatuh bangun. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sistem presidensil yang ingin memberikan jaminan penyelenggaraan pemerintahan yang tetap (fix term). Apalagi dalam konteks perjalanan ketatanegaraan Indonesia awal-awal kemerdekaan, pernah menerapkan sistem pemerintahan parlementer yang pada praktiknya sering terjadi jatuh bangun kabinet akibat adanya oposisi yang menggunakan mosi tidak percaya. Ini menunjukkan stabilitas pemerintahan tidak terjaga. Pengalaman ini membuat banyak pihak menolak pelembagaan oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Demokrasi Pancasilapun sering dijadikan alasan ketidaktepatan oposisi dalam sistem bernegara Indonesia. Misalnya Djayadi Hanan5 dengan mengutip Arendt Lijphart menyebut “Pancasila bertemu dengan demokrasi dalam konsep ‘concensus democracy’ yang berarti suatu rezim demokrasi yang lebih menekankan konsensus ketimbang oposisi, lebih merangkul ketimbang memusuhi, yang memaksimalkan ukuran koalisi (ruling majority) ketimbang sekadar demokrasi “lima puluh persen plus satu”. Pendapatpendapat tersebut menandaskan bahwa oposisi tidaklah tepat diterapkan dalam ketatanegaraan Indonesia. Sebaliknya, ada pula suara-suara yang mengharapkan adanya pelembagaan tradisi oposisi dalam pemerintahan Indonesia saat ini. Hal tersebut dilandasi kurang berfungsinya perwakilan partai politik di DPR untuk dapat mengkritisi dan menawarkan alternatif kebijakan yang lebih baik dari yang ditawarkan Presiden. Suhardi Suryadi6 menyebut ketiadaan oposisi yang terlembaga dalam kehidupan politik sebenarnya dapat menjadi 4 5 6 88 Abdul Gafar Karim dalam wawancara dengan Koran Opini, http://koranopini.com/tokoh/wawancara/oposisipentingkah. Djayadi Hanan, Demokrasi Konsensus, Opini harian Kompas, 18 Juli 2016. Suhardi Suryadi, Membangun Tradisi Oposisi, Opini 14 Juli 2009, http://ditpolkom.bappenas.go.id/ basedir/Artikel/016.%20Membangun%20Tradisi%20Oposisi%20(14%20Juli%202009).pdf Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan ancaman pelembagaan demokrasi ke depan yang melahirkan krisis legitimasi rakyat kepada pemerintah dan partai politik. Pro kontra oposisi dalam ketatanegaraan Indonesia inilah yang menarik untuk diulas, apalagi menyangkut dengan pernyataan Prof. Sri, bahwa oposisi seharusnya terdapat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagai salah satu perwujudan representative government under the rule of law. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka rumusan masalah yang hendak diulas adalah: bagaimana pelembagaan oposisi dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensil? Pembahasan 1. Oposisi Dari aspek etimologi, oposisi berasal dari Bahasa Inggris opposition (opposites) atau Bahasa Latin opponere yang berarti menghadapkan, membantah, dan menyanggah.7 Sedangkan dari aspek terminologi, oposisi adalah golongan atau partai yang menentang politik pemerintahan yang sedang berjalan.8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oposisi diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan mengkritik pendapat atau kebijakan politik golongan mayoritas yang berkuasa.9 Dalam ilmu politik, istilah oposisi lahir dari tradisi pemerintahan parlementer.10 Dalam parlemen ada partai atau gabungan partai yang berkuasa dan membentuk kabinet, serta ada partai atau gabungan partai yang tidak berkuasa dan memainkan peran kontrol. Pihak yang memainkan peran kontrol ini disebut oposisi. Istilah ini diambil dari posisi tempat duduk penguasa dan oposisi yang saling berseberangan (opposite) dalam sidang di parlemen.11Biasanya peran kontrol itu dilakukan partai oposisi dengan membentuk kabinet bayangan yang terdiri dari menteri-menteri bayangan. Tugas setiap menteri bayangan adalah “membayangi” menteri yang berkuasa untuk mengkritisi kebijakan mereka. Dalam sidang-sidang di parlemen, para menteri bisa berdebat seru dengan menteri bayangan.12Puncak kontrol parlemen terhadap kabinet adalah mosi tidak percaya, yang kemudian membuat partai yang menjadi oposisi harus siap menggantikan kabinet tersebut. Hal tersebut sejalan dengan Webster’s Dictionary yang mengartikan oposisi sebagai: “A political party opposing and prepared to replace the party in power”.13Dikatakan, 7 8 9 10 11 12 13 Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 754. Jhon Mc Gill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, Jakarta: Aribu Matra Mandiri, 1996, hlm. 154. Lihat http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. Abdul Gafar Karim, Op.Cit. Ibid. Ibid. Dalam http://www.webster-dictionary.org/definition/Opposition diakses 17 Juli 2016. Juga dalam Tjetje Hidayat Padmadinata, Sedikit Tentang Oposisi, dalam Kolom Forum Keadilan, No. 23 Tahun II, 17 Maret 1994, hlm. 61 dan Rusli K. Iskandar, Oposisi Yang Sehat Dalam Perspektif Islam dalam Rangka Memperkokoh Sendi-Sendi Demokrasi 89 Interaksi Konstitusi dan Politik “oposisi adalah partai politik dengan pandangan politik yang berbeda bahkan berlawanan dan sekaligus menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu menggantikan partai politik yang berkuasa (party in power)”.14 Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa oposisi selalu terlembagakan di badan perwakilan, sehingga oposisi seperti ini disebut juga sebagai oposisi struktural yang menekankan pentingnya lembaga oposisi dalam badan perwakilan. Bahkan dalam konteks Inggris dan Kanada, Ketua Partai Oposisi secara finansial digaji oleh pemerintah, dan sekaligus menempati kedudukan politik yang samasama terhormat, serta terus dipelihara karena memberikan banyak keuntungan bagi pemerintah.15 Sementara itu, Eep Saifullah Fatah16 mendefinisikan oposisi sebagai setiap ucapan atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggaris bawahi dan menyokong segala sesuatu yang benar. Bagi Eep, maksud dari beroposisi politik adalah melakukan kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Karena itu Eep mengatakan oposisi bukanlah penentang an sich, oposisi bukan pula sekedar pihak yang mengatakan ketidaksetujuan, oposisi bukanlah golongan atau partai yang hanya teriak semata-mata, dan bukan pula kalangan yang melawan kekuasaan secara membabi buta.17 Pandangan Eep ini menunjukkan bahwa dalam konsep oposisi tidak selalu berkaitan dengan “asal tidak setuju” dengan tujuan mengambil kekuasaan, namun lebih utama adalah pengawasan. Oposisi dalam konteks ini disebut oposisi fungsional yang menekankan pada berjalannya fungsi pengawasan terhadap pemerintahan. Oposisi fungsional tidak hanya dilakukan di parlemen namun juga dapat dilakukan diluar parlemen, seperti pengamat, NGO, mahasiswa, pers dan lain-lain.18 Sejalan dengan itu, Nurcholis Madjid19 mengatakan dalam negara demokrasi yang sehat sangat diperlukan checks and balances sebagai kekuatan pemantau dan pengimbang, sebab dalam pandangan yang agak filosofis manusia tak mungkin selalu benar. Adapun untuk menjalankan checks and balances tersebut, maka secara formal di parlemen adalah partai oposisi. Walaupun pandangan Nurcholis Madjid ini terlihat dalam konteks “oposisi struktural”, namun Nurcholis menyebutkan dalam oposisi tidak berarti hanya to oppose (menentang) saja, tapi dalam oposisi juga terkandung unsur to support (mendukung). Lebih tegas Nurcholis mengatakan oposisi sangat berbeda dengan oppositionalisme yang sekedar menentang, sangat subjektif dan bahkan dengan itikad kurang baik, seperti kebiasaan mendaftar kesalahan orang lain. Bagi Nurcholis opisisi 14 15 16 17 18 19 90 (Di) Indonesia, Jurnal Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI dan PSKN FH Unpad, Volume II, No. 2, November 2010, hlm. 130. Rusli K. Iskandar, Ibid. Ibid., hlm. 134. Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. xi. Ibid. Dalam hal ini Allen Potter membedakan oposisi di parlemen (Oppositions with capital ”O”) dan oposisi di luar parlemen (oppositions with little ”o”). Oposisi di parlemen dijalankan oleh partai politik yang tidak memenangkan pemilu, tetapi tidak ingin berkoalisi membentuk pemerintahan. Sementara itu, oposisi di luar parlemen dijalankan oleh kekuatan-kekuatan civil society. Lihat Allen Potter, Great Britain: Opposition with a Capital “O”, dalam Robert A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, New Haven and London: Yale University Press, 1968, hlm. xviii. Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacara Sosial Politik Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 1999, hlm. 7. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan dalam semangat loyal, loyal kepada negara, loyal kepada cita-cita bersama dan bahkan kepada pemerintah pun dalam hal yang jelas-jelas baik harus loyal.20 Pandangan Nurcholis Madjid ini menunjukkan pentingnya oposisi struktural dalam lembaga perwakilan yang tidak asal menentang namun harus menjadi oposisi yang fungsional dalam rangka pengawasan terhadap tindakan pemerintah yang salah dan mendukung tindakan pemerintah yang benar.21 Karena memiliki posisi strategis sebagai pengawas dan pengontrol pemerintahan, maka oposisi-pun dianggap penting dalam pelaksanaan demokrasi terutama demokrasi materil yang mengutamakan aspek keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Robert A Dahl22 menyebut keberadaan partai oposisi sangat erat kaitannya dengan keberadaan demokrasi. Sistem politik hanya dapat dikatakan demokatis kalau di dalamnya terdapat partai oposisi. Sebaliknya, partai oposisi hanya dapat hidup dalam sistem demokrasi. Dahl mengatakan “ …a political party is the most visible manifestation and surely one of the most effective forms of opposition in democratic country,…”23 2. Oposisi dan Sistem Pemerintahan Sebagaimana telah diungkap, oposisi memiliki nilai strategis dalam pemerintahan yang demokratis. Sampai-sampai ICJ memberikan salah satu syarat negara yang menjalankan representatif government under the rule of law adalah dengan adanya pelembagaan oposisi,24 baik itu struktural maupun fungsional. Khusus berkaitan dengan adanya oposisi secara struktural di parlemen, Hans Daalder25 menyatakan “… kendatipun di berbagai negara demokrasi modern masyarakat cukup mampu memproduksi kekuatan kekuatan pengontrol (countervailing forces), tetapi kekuatan oposisi di parlemen yang powerfull dapat menjaga pertanggung jawaban reguler dan menjamin suatu sistem tetap terbuka.” Dari sini dapat dikatakan bahwa pelembagaan oposisi di badan perwakilan (struktural) menjadi sangat penting. Karena oposisi struktural menekankan adanya pengawasan dari legislatif kepada eksekutif, dalam artian adanya hubungan antara cabang kekuasaan tersebut, maka oposisi secara struktural tersebut erat kaitannya dengan sistem pemerintahan.26Dalam hubungan antara sistem pemerintahan dan partai oposisi, Robert A. Dahl dan Arend Lijphart menjelaskan tentang adanya karateristik yang berbeda antara keberadaan partai 20 21 22 23 24 25 26 Ibid. Pandangan perlunya oposisi struktural dan fungsional sebelumnya juga disebutkan Tjetje Hidayat Padmadinata dengan mengatakan “oposisi baik secara fungsional maupun secara struktural sebagai sistem percaturan politik, sama sekali bukan sabotase, apalagi tukang subversi, melainkan pengontrol, pengoreksi, dan pengkritik bagi pemerintah. Tjetje Hidayat Padmadinata, op.cit. Robert A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, New Haven and London: Yale University Press, 1965, hlm. 332. Ibid. Sri Soemantri, Loc.Cit. Hans Daalder, "The Netherlands: Opposition in a Segmented Society" dalam Robert A Dahl (ed),Political Opposition in Western Democracies, New Haven dan London: Yale University Press, 1968, hlm. 235-236. Sistem pemerintahan yang dimaksud berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Paska Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2008, hlm. 311. 91 Interaksi Konstitusi dan Politik oposisi di negara yang menganut sistem parlementer dan di negara yang menganut sistem presidensial. Atas pendapat Robert A Dahl, Tuswoyo Admojo27 mengatakan baik di negara yang menganut sistem parlementer maupun presidensial, partai oposisi tetap ada dengan asumsi bahwa partai oposisi yang dimaksud adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh Robert A.Dahl berikut ini:28 “Suppose that A determines the conduct of some aspect of the government of a particular system during some interval. We need not specify the interval exactly; it may be a period in the past, the coming year, ect. Suppose that during this interval B cannot determine the conduct of government; and that B is opposed to conduct of government by A. Then B is what we mean by ”an opposition”. Note that during some different interval, B might determine the conduct of government, and A might be ”in opposition”. Pendapat Dahl tersebut menggariskan bahwa akan terjadi sebuah pergiliran kekuasaan baik kepada A dan B. Dimana salah satunya akan menjadi penguasa dan yang lain menjadi oposisi pada interval tertentu, dan kemudian akan berkebalikan pada interval lainnya. Berkaitan oposisi dengan sistem pemerintahan, Lijphart menyebutkan di negara yang menganut sistem parlementer, hubungan pemerintah dan partai oposisi saling berhadaphadapan (adversarial), karena pemegang kekuasaan bercirikan eksklusif dan kompetitif.29 Karena itu contoh di Inggris sangatlah tepat, dimana oposisi membentuk kabinet bayangan yang kemudian jika terjadi mosi tidak percaya kepada kabinet, maka oposisi harus siap menggantikannya. Hal berbeda terjadi di Amerika Serikat, pemegang kekuasaan bercirikan inklusif, tawar-menawar (bargaining), dan kompromis atau oleh Kaiser dikatakan sebagai “genotiation democracy”.30Partai oposisi dalam sistem presidensial tidak selalu bersikap adversarial, tetapi juga dapat melakukan negosiasi dan kompromi terhadap berbagai kebijakan yang menurut pandangannya dianggap perlu dikompromikan. Meskipun begitu, hal tersebut tidak berarti sebuah politik transaksional karena negosiasi dan kompromi tersebut tetap bermuara pada kepentingan konstituen, bukan pada kepentingan orangperorang atau kepentingan partai semata. Sebuah penjelasan yang menggambarkan keberadaan oposisi di negara yang menganut sistem presidensial, seperti Amerika Serikat, dapat dilihat dalam penjelasan Dahl bahwa:31 27 28 29 30 31 92 Tuswoyo Admojo, Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman Partai Oposisi PDIP Dalam Pemerintahan SBY-JK, makalah tanpa tahun. Ibid. Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Century. New Haven dan London: Yale University Press, 1999, hlm. 2. Ibid. Robert A Dahl, Op.Cit., hlm. 34. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan “Oppositions employ a wide variety of strategies: they combine a heavy emphasis on winning presidential and congressional elections with an equally heavy emphasis on bargaining, logrolling and pressure-groups activities in policy-making. Oppositions are not usually very distinctive; they are not even clearly indentifiable as oppositions; they melt into the system. Oppositions are not combined into a single organization of high cohesion; they usually work through one or both major parties, each of which has rather low internal unity. These two parties are highly competitive in national elections but in Congress members of different parties are both competitive and cooperative. Oppositions try to gain their objectives by seeking out encounters with policy makers at great variety of official sites –bureaucratic, congressional, presidential, judicial, local, etc.” Oposisi dapat dilakukan dalam berbagai macam cara dalam rangka memenangkan pemilihan Presiden dan Kongres dengan menekankan pada proses pada tawar-menawar, balas jasa dan akitivitas kelompok penekan dalam pengambilan kebijakan. Dalam hal ini oposisi terlihat tidak terlalu menonjol, bahkan tidak jelas terindentifikasi sebagai oposisi, “mereka meleleh atau melebur ke dalam sistem”. Kedua pihak sangat kompetitif dalam pemilihan nasional, tetapi didalam Kongres partainya masing-masing, keduanya dapat berkompetisi dan bekerjasama. Pihak oposisi mencoba untuk mendapatkan tujuan mereka dengan melalui pertemuan dengan para pembuat kebijakan di berbagai situs resmi, birokrasi, kongres, presiden, pengadilan, lokal, dan lain-lain. Dalam konteks sistem presidensial di Amerika Serikat tersebut, kita dapat melihat Partai Republik dan Partai Demokrat sebagai dua partai terbesar saling bergantian memperebutkan jabatan Presiden (eksekutif) dan juga keanggotan Kongres (Senat dan House of Representatif (DPR)). Dalam hal Partai Republik memenangkan Presiden, maka anggota Kongres Amerika yang berasal dari Partai Republik akan mendukungnya, sementara yang berasal Partai Demokrat akan berupaya melakukan pengawasan dan koreksi atas kebijakan-kebijakan Presiden tersebut. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya upaya menjadi oposisi. Yang membedakan dengan sistem parlementer di Inggris, tidak ada pranata mosi tidak percaya yang membuat oposisi tersebut menggantikan Presiden sebagai kepala eksekutif, karena memang salah satu ciri sistem presidensial adalah fixed term. Contoh oposisi dalam sistem presidensial Amerika tersebut dapat dianggap tepat, karena iklim dan budaya demokrasi yang mapan dengan adanya dua partai besar yang dapat saling bergantian menjadi pemerintah atau oposisi. Ini menunjukkan oposisi dalam sistem presidensial dimungkinkan dalam sistem kepartaian dua partai (dwi partai). Pertanyaannya, apakah pelembagaan oposisi dalam sistem presidensial yang juga dikombinasikan dengan sistem multi partai dapat terwujud? Dalam sistem presidensial, dua cabang kekuasaan baik legislatif dan eksekutif dipilih langsung oleh rakyat. Tidak jarang Presiden sebagai kepala eksekutif harus menerima kondisi partai politik yang mendukungnya adalah minoritas. Akibatnya sering kali sistem presidensial terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government). Karena 93 Interaksi Konstitusi dan Politik itulah, banyak kalangan meragukan keberlangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam sistem presidensial, apalagi yang dikombinasikan dengan sistem multipartai.32 Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh33 menyebut timbulnya permasalahan dalam sistem presidensial tanpa adanya dukungan partai yang mayoritas, yang membuat terjadinya konflik yang bahkan dapat berujung pada deadlock. Scott Mainwaring34 menyebut konflik antara eksekutif dan legislatif sering kali timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang kekuasaan tersebut. Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi. Karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membentuk koalisi pendukung pemerintahan.35 Walaupun dibentuk koalisi pendukung pemerintahan, namun pada praktiknya masih terjadi ketidakstabilan pemerintahan. Scott Mainwaring sebagaimana dikutip Saldi Isra mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial:36 “Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.” Walau telah ada koalisi dalam sistem presidensial, namun ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Karena itu, permasalahan ini sering dijadikan dasar untuk menolak adanya oposisi yang dianggap akan semakin memperuncing stabilitas politik pemerintahan. Munculnya koalisi pendukung pemerintahan saja tidak menjamin stabilitas pemerintahan sistem presidensil, apalagi kalau ada oposisi yang terlembagakan di badan perwakilan rakyat. Kondisi demikian menurut penulis terjadi pada negara yang belum stabil budaya politiknya, yang mengartikan oposisi sebagai “asal berbeda” dan “asal melawan”. Bahkan di satu sisi, atas dasar stabilitas pemerintahan membuat lembaga legislatif harus “tiarap” bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang kurang tepat. 32 33 34 35 36 94 Dalam Saldi Isra, http://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/417-problematik-koalisi-dalamsistem-presidensial.html. Dalam Saldi Isra, Ibid., Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, “Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism”, dalam British Journal of Political Science, No. 34, 2004, hlm. 565-566. Scott Mainwaring, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, 1992, hlm. 114-115. Ibid. Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam http://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/417-problematik-koalisi-dalam-sistempresidensial.html. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan Dengan demikian, ini akan dapat memandulkan fungsi pengawasan yang dimiliki lembaga perwakilan. 3. Demokrasi Pancasila Sri Soemantri merumuskan Demokrasi + Pancasila sebagai kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan yang mengandung semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan keadilan sosial.37 Dari sini, Sri Soemantri membedakan demokrasi + Pancasila dengan demokrasi-demokrasi yang lain, secara fundamentil perbedaan itu terletak pada predikat Pancasila-nya.38 Sebagai ulasan yang lebih dalam berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, maka patut melihatnya dari aspek historis yakni demokrasi asli yang telah mengakar kuat dalam tradisi berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Moh. Hatta39, menulis Demokrasi Asli Indonesia Dan Kedaulatan Rakyat, tahun 1933, yang dapat menjadi petunjuk demokrasi asli Indonesia. Bagi Hatta, nilai-nilai kedaulatan rakyat, termasuk kekuasaan di tangan rakyat, sudah ada dalam masyarakat tua Indonesia. Jauh sebelum kedatangan kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal satu jenis demokrasi, yakni demokrasi desa. Kenapa disebut demokrasi desa? Ya, karena demokrasi itu hanya hadir dalam pemerintahan di desadesa.40 Ada tiga ciri pokok demokrasi asli alias demokrasi desa itu antara lain:41 Pertama, adanya cita-cita rapat. Cita-cita rapat ini sudah hidup di dalam sanubari Rakyat Indonesia, dari jaman dahulu hingga sekarang. Rapat berarti tempat rakyat banyak atau utusan rakyat untuk bermusyawarah atau mupakat atas berbagai persoalan yang menyangkut orang banyak.Sistem rapat itu dapat kita temui dalam sistem sosial di desa-desa di Jawa, Bugis, Minangkabau, dan lain-lain. Bahkan, di jaman dahulu, sistem pemerintahan desa juga mengenal sistem pengadilan sendiri, yakni pengadilan kolektif. Kedua, adanya cita-cita massa protes, yaitu hak rakyat untuk membantah dengan cara umum (terbuka) segala peraturan negeri yang dianggap tidak adil. Hak menyelenggarakan protes ini sudah hidup di tengah rakyat Indonesia sejak lama. Di jaman Majapahit, misalnya, ada tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk menyampaikan aspirasi kepada penguasa.Kegiatan protes tidak hanya dilakukan secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi 37 38 39 40 41 Sri Soemantri, Op.Cit., hlm. 5. Ibid. Kusno, Bung Hatta Dan Konsep Demokrasi Asli Indonesia,dalam http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dankonsep-demokrasi-asli-indonesia/#ixzz4Ffd4xBvv. Ibid., Hatta juga mengatakan bahwa selain pemerintahan desa yang demokratis, namun ada juga feodalisme yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan. Karena itu, Hatta mengingatkan, lantaran sistem demokrasi desa ini dijepit oleh kekuasaan feodal, maka tidak dapat berkembang maju dan bahkan menjadi semakin pincang. “Jadinya, di dalam pergaulan (sistem sosial) masyarakat Indonesia yang asli, demokrasi itu hanya di terdapat di bawah. Sedangkan di atasnya semata-mata pemerintahan otokrasi,” kata Bung Hatta. Ibid. 95 Interaksi Konstitusi dan Politik protes pun sudah disiapkan secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering disebut “tapa-pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton. Di masyarakat Bugis, sistem penyampaian protes malah sudah diatur resmi: Mannganro ri ade (hak menyampaikan petisi); Mapputane (hak menyampaikan keberatan dan melakukan negosiasi dengan raja); Mallimpo-ade’ (hak melakukan aksi pendudukan); Mabbarata (hak menggelar rapat akbar di alun-alun/Barugae); Mallekke’ dapureng (hak meminta suaka politik ke negeri lain). Tiga, cita-cita tolong-menolong dan kolektivisme. Kata Bung Hatta, masyarakat Indonesia sangat berpegang teguh pada semangat tolong-menolong dan gotongroyong.Pekerjaan-pekerjaan besar, seperti membangun rumah atau turun ke sawah, biasanya dikerjakan secara bersama-sama (gotong-royong). Tradisi gotong-royong dan tolong-menolong ini nyaris kita temua dalam semua masyarakat Indonesia. Menarik mencermati ciri-ciri Demokrasi Desa sebagai akar dari demokrasi asli Indonesia, yang menunjukkan adanya demokrasi konsensus sebagai alternatif pilihan dari demokrasi liberal. Khususnya tradisi protes menunjukkan adanya kebolehan untuk menunjukkan sikap tidak setuju terhadap kebijakan yang diambil. Tradisi protes dapat dilakukan perorangan maupun kelompok. Tradisi protes ini sebenarnya juga sejalan dengan oposisi dalam arti memberikan kontrol dan pengawasan bahkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Karena itu, sebenarnya oposisi tidaklah bertentangan dengan akar Demokrasi Pancasila yakni Demokrasi Desa. 4. Pelembagaan Oposisi Dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia Berangkat dari urai-uraian sebelumnya, pelembagaan oposisi dalam badan perwakilan rakyat memiliki posisi yang strategis dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Adapun badan perwakilan rakyat di Indonesia yang dimaksud adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan perwakilan yang mewakili unsur politik dan memiliki kewenangan seutuhnya sebagai lembaga legislatif.42 Pengalaman PDIP yang menyatakan diri sebagai partai oposisi dari tahun 2005-2014 terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh yang baik dan semestinya terlembagakan. Termasuk juga sempat terjadinya pengelompokan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi dan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi setelah Pemilu 2014. Bahkan, Jimly Asshiddiqie menyebut penguasaan DPR oleh kelompok oposisi akan baik untuk demokrasi di Indonesia.43Sebastian Salang menyebut dengan adanya dua kekuatan besar yang memimpin Indonesia (KMP dan KIH), seharusnya menjadi potensi besar bagi Indonesia yakni adanya kekuatan yang sama kuat tersebut di legislatif dan eksekutif akan terjadi cheks and balances.44 42 43 44 96 Selain DPR, Indonesia juga memiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai badan perwakilan tersendiri. Dalam http://riaupos.co/55334-berita-jimly-kmp-kuasai-parlemen-justru-bagus-untuk-demokrasi.html. Dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16686&type=2. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan Problem yang muncul adalah oposisi hanya digunakan untuk merebutkan jabatan. Misalnya di DPR RI Periode 2014-2019, oposisi dipergunakan sebagai alat untuk meraih jabatan pimpinan di badan perwakilan tersebut. Akibatnya terjadi saling jegal dan perpolitikan menjadi gaduh. Pemerintahan Jokowi-pun berada dalam bayang-bayang oposisi yang menguasai DPR. Instabilitas politik-pun bertambah dengan adanya serangan balik dari pemerintahan yang berkuasa, dalam bentuk memarjinalisasi partai oposisi.45 Misalnya, menciptakan dualisme kepemimpinan partai, membatasi akses partai pada unit-unit ekonomi, media, dan lainnya sebagaimana pada masa Orde Baru.46 Bahkan pedang penegakan hukumpun sering diarahkan kepada anggota oposisi sebagai bentuk peringatan bahkan penyanderaan politik agar mendukung pemerintahan. Hal tersebut ternyata juga terjadi dan dipraktikan pemerintah yang berkuasa pada Era Reformasi ini. Selain itu, persoalan sumber daya pendanaan partai politik juga sering kali dijadikan alasan partai politik untuk enggan berlama-lema menjadi oposisi. Akibat kondisi-kondisi tersebut, kelompok oposisi kemudian berpindah haluan dan mendukung pemerintahan. Presiden yang pada awalnya didukung minoritas suara di DPR, menjadi menguasai dukungan mayoritas. Oposisi di DPR-pun menjadi lemah bahkan tidak ada. Ketiadaan oposisi tersebut, menimbulkan permasalahan ketatanegaraan berkaitan dengan salah satu tugas dan fungsi badan perwakilan, yakni fungsi kontrol dan checks and balances yang dimandulkan. Bahkan Kuskridho Ambardi menyatakan bahwa ketiadaan oposisi yang efektif sebagai penjelmaan dari mekanisme checks and balances menjadi salah satu ciri keberadaan politik kartel. 47Burhanudin Muhtadi48 dengan mengutip pendapat Katz dan Mair mengatakan: “The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic politics that are characterized by the interpenetration of party and state and by a tendency towards inter-party collusion.... Competition between cartel parties focuses less on differences in policy and more on provision of spectacle, image, and theater." Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung melakukan kolusi kolektif untuk memperebutkan rente. Lebih lanjut Burhanudin Muhtadi49 mengungkap kemungkinan terjadi apa yang disebut Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana parlemen yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-fungsi check and balances. Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif, 45 46 47 48 49 Suhardi Suryadi, Op.Cit. Ibid. Selain politik kartel, juga ada ciri lainnya, yakni 1) Hilangnya ideologi partai yang menentukan arah koalisi; 2) Sikap permisif (serba boleh) dalam pembentukan koalisi; 3) Hasil pemilu yang tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku politik partai; dan 4) Kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak sebagai suatu kelompok, Lihat Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2009, hlm. 3. Burhanudin Muhtadi, Perombakan Kabinet dan Rekonsolidasi Politik, Opini Harian Kompas, 28 Juli 2016. Ibid. 97 Interaksi Konstitusi dan Politik aroma promiscuous power-sharing (pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang tertutup secara masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama. Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan kecenderungan negatif pembentukan koalisi, apalagi koalisi “gemuk” pendukung pemerintahan, tanpa adanya oposisi yang efektif di badan perwakilan. Di titik ini, pelembagaan oposisi “secara struktural” di DPR menemui relevansinya. Berkaca dari pengalaman Amerika Serikat yang mampu menjalankan peran kontrol parlemen terhadap pemerintah melalui pengelompokan dua kekuatan besar, maka hal tersebut dapat pula diterapkan di Indonesia dalam bentuk mengelompokkan fraksi-fraksi di DPR kedalam dua kelompok besar di DPR, yang satu sebagai fraksi pendukung pemerintah dan yang satu sebagai fraksi oposisi. Agar sistem pemerintahan presidensial tidak mudah dijatuhkan karena adanya anasir-anasir parlementer dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, maka hak-hak tersebut patut untuk ditinjau kembali dan harus ditegaskan hanya sebagai instrumen pengawasan yang tidak dapat berujung pada penjatuhan Presiden / Wakil Presiden begitu saja. Presiden / Wakil Presiden hanya dapat dijatuhkan melalui pranata impeachment yang terbatas. Selain itu, supporting system di DPR harus diperkuat. Sebagai contoh di Amerika Serikat terdapat Congressional Budget Office sebagai pendukung analisis dalam pembahasan anggaran di parlemen yang dianggap setara dan mampu mengimbangi The Office of Management and Budget (OMB) milik Presiden Amerika, atau kalau di Indonesia adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Bappenas.50 Karena itu, sudah selayaknya lembaga pendukung keahlian di DPR mampu menghasilkan analisis data yang setara dengan dua kementerian tersebut. Tidak hanya terbatas pada persoalan anggaran, lembaga pendukung keahlian di DPR juga menopang analisis data persoalan legislasi dan pengawasan. Dengan adanya penopang lembaga keahlian tersebut, maka peranan oposisi di DPR berbasikan analisis yang akurat dan akuntabel, sehingga tidak asal “bunyi” dan tidak asal “beda”. Isu yang dibangun dalam rangka melakukan pengawasan akan lebih substantif bukan normatif. Dengan demikian, maka oposisi di DPR akan dapat semakin fungsional dalam rangka mengawasi pemerintahan dan bahkan mendukung pemerintahan untuk sebesar-besarnya kepentingan kemakmuran rakyat. Perdebatan-perdebatan yang lebih berbobot dalam pengambilan kebijakan akan dapat terlihat secara nyata, sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi akan dapat melihat bahkan mengevaluasi, mana kebijakan yang tepat dan mana yang tidak tepat. Fraksi pendukung pemerintahkah atau fraksi oposisikah yang mampu memberikan penjelasan dan argumentasi yang tepat terhadap sebuah kebijakan. Tentu sesuai dengan karakter Demokrasi Pancasila yang lebih menekankan pada kolektivisme dan konsensus, peranan fraksi oposisi dan fraksi pendukung pemerintah di DPR akan lebih mengedepankan kompromi-kompromi demi kemaslahatan rakyat, bukan “asal menang” karena memiliki suara yang lebih banyak. 50 98 Lihat lebih lanjut dalam Mei Susanto, Hak Budget Parlemen di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 294295. Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan Kesimpulan Pelembagaan oposisi didalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia sebagaimana diungkapkan Prof. Sri Soemantri agar ada dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia dalam konteks kekininian masihlah relevan. Bahkan oposisi di DPR adalah sebuah kebutuhan sebagai upaya menajamkan kontrol dan checks and balances terhadap peemerintah yang berkuasa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk dua fraksi besar di DPR, yakni fraksi pendukung pemerintahan dan fraksi oposisi. Agar oposisi tidak berujung pada “asal bunyi” dan “asal beda” yang menimbulkan instabilitas politik dan mengancam bangunan sistem pemerintahan presidensil, maka anasir pengawasan sistem parlementer di DPR seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat patut ditinjau ulang dan ditegaskan tidak dapat menjatuhkan Presiden di tengah jalan. Selain itu, agar lebih subtantif dan mampu menjalankan oposisi fungsional, maka perlu penguatan lembaga pendukung keahlian di DPR yang menopang analisis yang akurat dan akuntabel, sehingga perdebatan-perdebatan yang dimunculkan oposisi di DPR lebih subtantif sehingga mendorong pengambilan kebijakan yang tepat dan memperoleh dukungan publik. Daftar Pustaka Buku Allen Potter, Great Britain: Opposition with a Capital “O”, dalam Robert A. Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, Yale University Press, New Haven and London, 1968. Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Century, Yale University Press, New Haven and London, 1999. Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999. Hans Daalder, "The Netherlands: Opposition in a Segmented Society", dalam Robert A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, Yale University Press, New Haven and London, 1968. Jhon Mc Gill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, Aribu Matra Mandiri, Jakarta, 1996. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Paska Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2008. Loren Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996. Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta, 2009. Mei Susanto, Hak Budget Parlemen di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013. Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacara Sosial Politik Kontemporer, Paramadina, Jakarta, 1999. Robert A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, Yale University Press, New Haven and London, 1965. 99 Interaksi Konstitusi dan Politik Scott Mainwaring, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, 1992. Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung, 1981. Jurnal, Artikel, Makalah Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, Government Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British Journal of Political Science, No. 34, 2004. Rusli K. Iskandar, Oposisi Yang Sehat Dalam Perspektif Islam dalam Rangka Memperkokoh Sendi-Sendi Demokrasi (Di) Indonesia, Jurnal Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI dan PSKN FH Unpad, Volume II, No. 2 November 2010. Tjetje Hidayat Padmadinata, Sedikit Tentang Oposisi, dalam Kolom Forum Keadilan, No. 23 Tahun II, 17 Maret 1994. Tuswoyo Admojo, Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman Partai Oposisi PDIP Dalam Pemerintahan SBY-JK, makalah tanpa tahun. Sumber Lain Burhanudin Muhtadi, Perombakan Kabinet dan Rekonsolidasi Politik, Opini Harian Kompas, 28 Juli 2016. Djayadi Hanan, Demokrasi Konsensus, opini harian Kompas, 18 Juli 2016. Kusno, Bung Hatta Dan Konsep Demokrasi Asli Indonesia, dalam http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-konsep-demokrasi-asliindonesia/#ixzz4Ffd4xBvv. Suhardi Suryadi, Membangun Tradisi Oposisi, Opini 14 Juli 2009, dapat diunduh di http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Artikel/016.%20Membangun%20Tradisi%2 0Oposisi%20(14%20Juli%202009).pdf http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php. http://koranopini.com/tokoh/wawancara/oposisi-pentingkah. http://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/417-problematik-koalisidalam-sistem-presidensial.html. http://riaupos.co/55334-berita-jimly-kmp-kuasai-parlemen-justru-bagus-untukdemokrasi.html. http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16686&type=2. http://koranopini.com/tokoh/wawancara/oposisi-pentingkah. 100