Pelembagaan Oposisi dalam Badan Perwakilan

advertisement
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
Pelembagaan Oposisi dalam
Badan Perwakilan Rakyat Indonesia
Mei Susanto1
Pendahuluan
Pemikiran Prof. Sri Soemantri yang mengungkap persoalan oposisi ditulis dalam Buku
“Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945” pada tahun 1968. Walau tidak
spesifik membahas tentang oposisi, namun Prof. Sri sempat mengulas urgensi oposisi
dalam pemerintahan demokratis di Indonesia. Saat itu Prof. Sri mengomentari syaratsyarat representatif government under the rule of law menurut International Comision of
Jurist, yang terdiri dari: (1) adanya proteksi konstitusional; (2) adanya pengadilan yang
bebas dan tidak memihak; (3) adanya pemilihan umum yang bebas; (4) adanya kebebasan
untuk menyattakan pendapat dan berserikat; (5) adanya tugas oposisi; dan (6) adanya
pendidikan civic.2
Khusus berkaitan dengan adanya tugas oposisi, Prof. Sri Soemantri mengatakan3:
“Istilah oposisi berasal dari perkataan “opponeren” yang mengandung arti
melawan atau menentang. Dengan demikian oposisi berarti suatu perbuatan yang
bersifat melawan atau menentang. Ditinjau dari segi lain adanya oposisi berarti pula
adanya perbedaan pendapat atau pandangan mengenai satu atau beberapa hal. Hal
ini dapat terjadi dalam bermacam-macam bidang kehidupan. Perbedaan pandangan
atau pendapat diatas dapat pula terjadi dalam bidang politik. Apabila kita mengambil
contoh Inggeris yang menganut sistem dua partai, maka di dalam Parlemen atau
House of Commons akan terdapat dua partai politik yang berpengaruh dimana salah
satu dari padanya menguasai mayoritas suara atau kursi di dalam lembaga negara
diatas. Dalam hal partai politik yang menguasai mayoritas suara diatas Partai
Konservatif umpamanya, maka partai politik inilah yang menguasai Pemerintah atau
Kabinet. Ini berarti pula, bahwa Partai Konservatif tersebut menjadi pemerintah,
sedangkan Partai Buruh akan menjadi partai oposisi, sebagai partai politik yang akan
terus menerus melakukan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah/partai
pemerintah. Apabila ada tindakan pemerintah / partai pemerintah yang dianggap
merugikan rakyat, maka Partai Buruh akan bersikap menentang tindakan di atas.
Arti serta pelaksanaan oposisi ini dapat pula disesuaikan dengan kenyataankenyataan yang terdapat dalam masyarakat atau negara yang bersangkutan. Dengan
demikian tugas oposisi apabila diterapkan dalam negara Republik Indonesia dapat
1
2
3
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, aktif juga sebagai anggota Asosiasi Sarjana
Hukum Tata Negara (ASHTN) Indonesia, Jl. Dipati Ukur No. 35 Bandung, [email protected], S.H. (Unpad),
M.H. (UI).
Lihat Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Bandung : Alumni, 1981 (cetakan
pertama 1968), hlm. 12-13.
Ibid., hlm. 25-26.
87
Interaksi Konstitusi dan Politik
diberi arti tugas untuk mengoreksi tindakan-tindakan Pemerintah. Dalam arti
demikian ini, maka tugas oposisi harus pula terdapat dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia.” (cetak tebal penulis)
Pernyataan “maka tugas oposisi harus pula terdapat dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia” inilah yang kemudian menarik untuk diaktualisasikan dalam
konteks ketatanegaraan Indonesia kekinian.
Sebagian pihak menganggap bahwa pelembagaan oposisi dalam sistem
pemerintahan Indonesia paska reformasi yang menganut sistem presidensil tidaklah
tepat. Pihak ini menganggap pelembagaan oposisi hanyalah ada dalam sistem
pemerintahan parlementer dimana partai yang memiliki kursi terbanyak di parlemen
membentuk kabinet, sementara partai sisanya menjadi oposisi. Berbeda dengan sistem
presidensil yang dibangun bukan berdasarkan koalisi-koalisi tertentu. Dalam sistem
presidensil, Presiden berhadapan dengan parlemen (DPR) sebagai sebuah kesatuan,
bukan dalam pecahan-pecahan partai pendukung dan partai oposisi.4
Selain itu, tradisi ‘mosi tidak percaya’ yang sering kali muncul dalam sistem
parlementer akibat adanya pergesekan oposisi dan koalisi, membuatkabinet jatuh
bangun. Hal ini jelas tidak sesuai dengan sistem presidensil yang ingin memberikan
jaminan penyelenggaraan pemerintahan yang tetap (fix term). Apalagi dalam konteks
perjalanan ketatanegaraan Indonesia awal-awal kemerdekaan, pernah menerapkan
sistem pemerintahan parlementer yang pada praktiknya sering terjadi jatuh bangun
kabinet akibat adanya oposisi yang menggunakan mosi tidak percaya. Ini menunjukkan
stabilitas pemerintahan tidak terjaga. Pengalaman ini membuat banyak pihak menolak
pelembagaan oposisi dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia.
Demokrasi Pancasilapun sering dijadikan alasan ketidaktepatan oposisi dalam sistem
bernegara Indonesia. Misalnya Djayadi Hanan5 dengan mengutip Arendt Lijphart
menyebut “Pancasila bertemu dengan demokrasi dalam konsep ‘concensus democracy’
yang berarti suatu rezim demokrasi yang lebih menekankan konsensus ketimbang oposisi,
lebih merangkul ketimbang memusuhi, yang memaksimalkan ukuran koalisi (ruling
majority) ketimbang sekadar demokrasi “lima puluh persen plus satu”. Pendapatpendapat tersebut menandaskan bahwa oposisi tidaklah tepat diterapkan dalam
ketatanegaraan Indonesia.
Sebaliknya, ada pula suara-suara yang mengharapkan adanya pelembagaan tradisi
oposisi dalam pemerintahan Indonesia saat ini. Hal tersebut dilandasi kurang berfungsinya
perwakilan partai politik di DPR untuk dapat mengkritisi dan menawarkan alternatif
kebijakan yang lebih baik dari yang ditawarkan Presiden. Suhardi Suryadi6 menyebut
ketiadaan oposisi yang terlembaga dalam kehidupan politik sebenarnya dapat menjadi
4
5
6
88
Abdul Gafar Karim dalam wawancara dengan Koran Opini, http://koranopini.com/tokoh/wawancara/oposisipentingkah.
Djayadi Hanan, Demokrasi Konsensus, Opini harian Kompas, 18 Juli 2016.
Suhardi Suryadi, Membangun Tradisi Oposisi, Opini 14 Juli 2009, http://ditpolkom.bappenas.go.id/
basedir/Artikel/016.%20Membangun%20Tradisi%20Oposisi%20(14%20Juli%202009).pdf
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
ancaman pelembagaan demokrasi ke depan yang melahirkan krisis legitimasi rakyat
kepada pemerintah dan partai politik.
Pro kontra oposisi dalam ketatanegaraan Indonesia inilah yang menarik untuk diulas,
apalagi menyangkut dengan pernyataan Prof. Sri, bahwa oposisi seharusnya terdapat
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebagai salah satu perwujudan representative
government under the rule of law.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan, maka rumusan masalah yang
hendak diulas adalah: bagaimana pelembagaan oposisi dalam lembaga perwakilan rakyat
Indonesia dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensil?
Pembahasan
1. Oposisi
Dari aspek etimologi, oposisi berasal dari Bahasa Inggris opposition (opposites) atau
Bahasa Latin opponere yang berarti menghadapkan, membantah, dan menyanggah.7
Sedangkan dari aspek terminologi, oposisi adalah golongan atau partai yang menentang
politik pemerintahan yang sedang berjalan.8 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
oposisi diartikan sebagai partai penentang di dewan perwakilan dan mengkritik pendapat
atau kebijakan politik golongan mayoritas yang berkuasa.9
Dalam ilmu politik, istilah oposisi lahir dari tradisi pemerintahan parlementer.10
Dalam parlemen ada partai atau gabungan partai yang berkuasa dan membentuk kabinet,
serta ada partai atau gabungan partai yang tidak berkuasa dan memainkan peran kontrol.
Pihak yang memainkan peran kontrol ini disebut oposisi. Istilah ini diambil dari posisi
tempat duduk penguasa dan oposisi yang saling berseberangan (opposite) dalam sidang di
parlemen.11Biasanya peran kontrol itu dilakukan partai oposisi dengan membentuk
kabinet bayangan yang terdiri dari menteri-menteri bayangan. Tugas setiap menteri
bayangan adalah “membayangi” menteri yang berkuasa untuk mengkritisi kebijakan
mereka. Dalam sidang-sidang di parlemen, para menteri bisa berdebat seru dengan
menteri bayangan.12Puncak kontrol parlemen terhadap kabinet adalah mosi tidak
percaya, yang kemudian membuat partai yang menjadi oposisi harus siap menggantikan
kabinet tersebut.
Hal tersebut sejalan dengan Webster’s Dictionary yang mengartikan oposisi sebagai:
“A political party opposing and prepared to replace the party in power”.13Dikatakan,
7
8
9
10
11
12
13
Lihat Loren Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996, hlm. 754.
Jhon Mc Gill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, Jakarta: Aribu Matra Mandiri, 1996, hlm. 154.
Lihat http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php.
Abdul Gafar Karim, Op.Cit.
Ibid.
Ibid.
Dalam http://www.webster-dictionary.org/definition/Opposition diakses 17 Juli 2016. Juga dalam Tjetje Hidayat
Padmadinata, Sedikit Tentang Oposisi, dalam Kolom Forum Keadilan, No. 23 Tahun II, 17 Maret 1994, hlm. 61 dan
Rusli K. Iskandar, Oposisi Yang Sehat Dalam Perspektif Islam dalam Rangka Memperkokoh Sendi-Sendi Demokrasi
89
Interaksi Konstitusi dan Politik
“oposisi adalah partai politik dengan pandangan politik yang berbeda bahkan berlawanan
dan sekaligus menyiapkan diri untuk sewaktu-waktu menggantikan partai politik yang
berkuasa (party in power)”.14 Pandangan-pandangan tersebut menunjukkan bahwa
oposisi selalu terlembagakan di badan perwakilan, sehingga oposisi seperti ini disebut
juga sebagai oposisi struktural yang menekankan pentingnya lembaga oposisi dalam
badan perwakilan. Bahkan dalam konteks Inggris dan Kanada, Ketua Partai Oposisi secara
finansial digaji oleh pemerintah, dan sekaligus menempati kedudukan politik yang samasama terhormat, serta terus dipelihara karena memberikan banyak keuntungan bagi
pemerintah.15
Sementara itu, Eep Saifullah Fatah16 mendefinisikan oposisi sebagai setiap ucapan
atau perbuatan yang meluruskan kekeliruan sambil menggaris bawahi dan menyokong
segala sesuatu yang benar. Bagi Eep, maksud dari beroposisi politik adalah melakukan
kegiatan pengawasan atas kekuasaan politik yang bisa keliru dan bisa benar. Karena itu
Eep mengatakan oposisi bukanlah penentang an sich, oposisi bukan pula sekedar pihak
yang mengatakan ketidaksetujuan, oposisi bukanlah golongan atau partai yang hanya
teriak semata-mata, dan bukan pula kalangan yang melawan kekuasaan secara membabi
buta.17 Pandangan Eep ini menunjukkan bahwa dalam konsep oposisi tidak selalu
berkaitan dengan “asal tidak setuju” dengan tujuan mengambil kekuasaan, namun lebih
utama adalah pengawasan. Oposisi dalam konteks ini disebut oposisi fungsional yang
menekankan pada berjalannya fungsi pengawasan terhadap pemerintahan. Oposisi
fungsional tidak hanya dilakukan di parlemen namun juga dapat dilakukan diluar
parlemen, seperti pengamat, NGO, mahasiswa, pers dan lain-lain.18
Sejalan dengan itu, Nurcholis Madjid19 mengatakan dalam negara demokrasi yang
sehat sangat diperlukan checks and balances sebagai kekuatan pemantau dan
pengimbang, sebab dalam pandangan yang agak filosofis manusia tak mungkin selalu
benar. Adapun untuk menjalankan checks and balances tersebut, maka secara formal di
parlemen adalah partai oposisi. Walaupun pandangan Nurcholis Madjid ini terlihat dalam
konteks “oposisi struktural”, namun Nurcholis menyebutkan dalam oposisi tidak berarti
hanya to oppose (menentang) saja, tapi dalam oposisi juga terkandung unsur to support
(mendukung). Lebih tegas Nurcholis mengatakan oposisi sangat berbeda dengan
oppositionalisme yang sekedar menentang, sangat subjektif dan bahkan dengan itikad
kurang baik, seperti kebiasaan mendaftar kesalahan orang lain. Bagi Nurcholis opisisi
14
15
16
17
18
19
90
(Di) Indonesia, Jurnal Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI dan PSKN FH Unpad, Volume II, No.
2, November 2010, hlm. 130.
Rusli K. Iskandar, Ibid.
Ibid., hlm. 134.
Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. xi.
Ibid.
Dalam hal ini Allen Potter membedakan oposisi di parlemen (Oppositions with capital ”O”) dan oposisi di luar
parlemen (oppositions with little ”o”). Oposisi di parlemen dijalankan oleh partai politik yang tidak memenangkan
pemilu, tetapi tidak ingin berkoalisi membentuk pemerintahan. Sementara itu, oposisi di luar parlemen dijalankan
oleh kekuatan-kekuatan civil society. Lihat Allen Potter, Great Britain: Opposition with a Capital “O”, dalam Robert
A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, New Haven and London: Yale University Press, 1968,
hlm. xviii.
Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacara Sosial Politik Kontemporer, Jakarta:
Paramadina, 1999, hlm. 7.
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
dalam semangat loyal, loyal kepada negara, loyal kepada cita-cita bersama dan bahkan
kepada pemerintah pun dalam hal yang jelas-jelas baik harus loyal.20 Pandangan Nurcholis
Madjid ini menunjukkan pentingnya oposisi struktural dalam lembaga perwakilan yang
tidak asal menentang namun harus menjadi oposisi yang fungsional dalam rangka
pengawasan terhadap tindakan pemerintah yang salah dan mendukung tindakan
pemerintah yang benar.21
Karena memiliki posisi strategis sebagai pengawas dan pengontrol pemerintahan,
maka oposisi-pun dianggap penting dalam pelaksanaan demokrasi terutama demokrasi
materil yang mengutamakan aspek keberpihakan pemerintah kepada rakyat. Robert A
Dahl22 menyebut keberadaan partai oposisi sangat erat kaitannya dengan keberadaan
demokrasi. Sistem politik hanya dapat dikatakan demokatis kalau di dalamnya terdapat
partai oposisi. Sebaliknya, partai oposisi hanya dapat hidup dalam sistem demokrasi. Dahl
mengatakan “ …a political party is the most visible manifestation and surely one of the
most effective forms of opposition in democratic country,…”23
2.
Oposisi dan Sistem Pemerintahan
Sebagaimana telah diungkap, oposisi memiliki nilai strategis dalam pemerintahan
yang demokratis. Sampai-sampai ICJ memberikan salah satu syarat negara yang
menjalankan representatif government under the rule of law adalah dengan adanya
pelembagaan oposisi,24 baik itu struktural maupun fungsional. Khusus berkaitan dengan
adanya oposisi secara struktural di parlemen, Hans Daalder25 menyatakan “… kendatipun
di berbagai negara demokrasi modern masyarakat cukup mampu memproduksi kekuatan
kekuatan pengontrol (countervailing forces), tetapi kekuatan oposisi di parlemen yang
powerfull dapat menjaga pertanggung jawaban reguler dan menjamin suatu sistem tetap
terbuka.” Dari sini dapat dikatakan bahwa pelembagaan oposisi di badan perwakilan
(struktural) menjadi sangat penting.
Karena oposisi struktural menekankan adanya pengawasan dari legislatif kepada
eksekutif, dalam artian adanya hubungan antara cabang kekuasaan tersebut, maka
oposisi secara struktural tersebut erat kaitannya dengan sistem pemerintahan.26Dalam
hubungan antara sistem pemerintahan dan partai oposisi, Robert A. Dahl dan Arend
Lijphart menjelaskan tentang adanya karateristik yang berbeda antara keberadaan partai
20
21
22
23
24
25
26
Ibid.
Pandangan perlunya oposisi struktural dan fungsional sebelumnya juga disebutkan Tjetje Hidayat Padmadinata
dengan mengatakan “oposisi baik secara fungsional maupun secara struktural sebagai sistem percaturan politik,
sama sekali bukan sabotase, apalagi tukang subversi, melainkan pengontrol, pengoreksi, dan pengkritik bagi
pemerintah. Tjetje Hidayat Padmadinata, op.cit.
Robert A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, New Haven and London: Yale University Press,
1965, hlm. 332.
Ibid.
Sri Soemantri, Loc.Cit.
Hans Daalder, "The Netherlands: Opposition in a Segmented Society" dalam Robert A Dahl (ed),Political Opposition
in Western Democracies, New Haven dan London: Yale University Press, 1968, hlm. 235-236.
Sistem pemerintahan yang dimaksud berkaitan dengan pengertian regeringsdaad penyelenggaraan pemerintahan
eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif. Lihat Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara
Indonesia Paska Reformasi, Jakarta: Buana Ilmu Populer, 2008, hlm. 311.
91
Interaksi Konstitusi dan Politik
oposisi di negara yang menganut sistem parlementer dan di negara yang menganut sistem
presidensial.
Atas pendapat Robert A Dahl, Tuswoyo Admojo27 mengatakan baik di negara yang
menganut sistem parlementer maupun presidensial, partai oposisi tetap ada dengan
asumsi bahwa partai oposisi yang dimaksud adalah sebagaimana yang didefinisikan oleh
Robert A.Dahl berikut ini:28
“Suppose that A determines the conduct of some aspect of the government of a
particular system during some interval. We need not specify the interval exactly; it
may be a period in the past, the coming year, ect. Suppose that during this interval B
cannot determine the conduct of government; and that B is opposed to conduct of
government by A. Then B is what we mean by ”an opposition”. Note that during some
different interval, B might determine the conduct of government, and A might be ”in
opposition”.
Pendapat Dahl tersebut menggariskan bahwa akan terjadi sebuah pergiliran
kekuasaan baik kepada A dan B. Dimana salah satunya akan menjadi penguasa dan yang
lain menjadi oposisi pada interval tertentu, dan kemudian akan berkebalikan pada interval
lainnya.
Berkaitan oposisi dengan sistem pemerintahan, Lijphart menyebutkan di negara yang
menganut sistem parlementer, hubungan pemerintah dan partai oposisi saling berhadaphadapan (adversarial), karena pemegang kekuasaan bercirikan eksklusif dan kompetitif.29
Karena itu contoh di Inggris sangatlah tepat, dimana oposisi membentuk kabinet
bayangan yang kemudian jika terjadi mosi tidak percaya kepada kabinet, maka oposisi
harus siap menggantikannya.
Hal berbeda terjadi di Amerika Serikat, pemegang kekuasaan bercirikan inklusif,
tawar-menawar (bargaining), dan kompromis atau oleh Kaiser dikatakan sebagai
“genotiation democracy”.30Partai oposisi dalam sistem presidensial tidak selalu bersikap
adversarial, tetapi juga dapat melakukan negosiasi dan kompromi terhadap berbagai
kebijakan yang menurut pandangannya dianggap perlu dikompromikan. Meskipun begitu,
hal tersebut tidak berarti sebuah politik transaksional karena negosiasi dan kompromi
tersebut tetap bermuara pada kepentingan konstituen, bukan pada kepentingan orangperorang atau kepentingan partai semata. Sebuah penjelasan yang menggambarkan
keberadaan oposisi di negara yang menganut sistem presidensial, seperti Amerika Serikat,
dapat dilihat dalam penjelasan Dahl bahwa:31
27
28
29
30
31
92
Tuswoyo Admojo, Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman Partai Oposisi PDIP Dalam
Pemerintahan SBY-JK, makalah tanpa tahun.
Ibid.
Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Century. New
Haven dan London: Yale University Press, 1999, hlm. 2.
Ibid.
Robert A Dahl, Op.Cit., hlm. 34.
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
“Oppositions employ a wide variety of strategies: they combine a heavy
emphasis on winning presidential and congressional elections with an equally heavy
emphasis on bargaining, logrolling and pressure-groups activities in policy-making.
Oppositions are not usually very distinctive; they are not even clearly indentifiable as
oppositions; they melt into the system. Oppositions are not combined into a single
organization of high cohesion; they usually work through one or both major parties,
each of which has rather low internal unity. These two parties are highly competitive
in national elections but in Congress members of different parties are both
competitive and cooperative. Oppositions try to gain their objectives by seeking out
encounters with policy makers at great variety of official sites –bureaucratic,
congressional, presidential, judicial, local, etc.”
Oposisi dapat dilakukan dalam berbagai macam cara dalam rangka memenangkan
pemilihan Presiden dan Kongres dengan menekankan pada proses pada tawar-menawar,
balas jasa dan akitivitas kelompok penekan dalam pengambilan kebijakan. Dalam hal ini
oposisi terlihat tidak terlalu menonjol, bahkan tidak jelas terindentifikasi sebagai oposisi,
“mereka meleleh atau melebur ke dalam sistem”. Kedua pihak sangat kompetitif dalam
pemilihan nasional, tetapi didalam Kongres partainya masing-masing, keduanya dapat
berkompetisi dan bekerjasama. Pihak oposisi mencoba untuk mendapatkan tujuan
mereka dengan melalui pertemuan dengan para pembuat kebijakan di berbagai situs
resmi, birokrasi, kongres, presiden, pengadilan, lokal, dan lain-lain.
Dalam konteks sistem presidensial di Amerika Serikat tersebut, kita dapat melihat
Partai Republik dan Partai Demokrat sebagai dua partai terbesar saling bergantian
memperebutkan jabatan Presiden (eksekutif) dan juga keanggotan Kongres (Senat dan
House of Representatif (DPR)). Dalam hal Partai Republik memenangkan Presiden, maka
anggota Kongres Amerika yang berasal dari Partai Republik akan mendukungnya,
sementara yang berasal Partai Demokrat akan berupaya melakukan pengawasan dan
koreksi atas kebijakan-kebijakan Presiden tersebut. Hal ini secara tidak langsung
menunjukkan adanya upaya menjadi oposisi. Yang membedakan dengan sistem
parlementer di Inggris, tidak ada pranata mosi tidak percaya yang membuat oposisi
tersebut menggantikan Presiden sebagai kepala eksekutif, karena memang salah satu ciri
sistem presidensial adalah fixed term.
Contoh oposisi dalam sistem presidensial Amerika tersebut dapat dianggap tepat,
karena iklim dan budaya demokrasi yang mapan dengan adanya dua partai besar yang
dapat saling bergantian menjadi pemerintah atau oposisi. Ini menunjukkan oposisi dalam
sistem presidensial dimungkinkan dalam sistem kepartaian dua partai (dwi partai).
Pertanyaannya, apakah pelembagaan oposisi dalam sistem presidensial yang juga
dikombinasikan dengan sistem multi partai dapat terwujud?
Dalam sistem presidensial, dua cabang kekuasaan baik legislatif dan eksekutif dipilih
langsung oleh rakyat. Tidak jarang Presiden sebagai kepala eksekutif harus menerima
kondisi partai politik yang mendukungnya adalah minoritas. Akibatnya sering kali sistem
presidensial terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divided government). Karena
93
Interaksi Konstitusi dan Politik
itulah, banyak kalangan meragukan keberlangsungan dan stabilitas pemerintahan dalam
sistem presidensial, apalagi yang dikombinasikan dengan sistem multipartai.32
Jose A. Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh33 menyebut timbulnya
permasalahan dalam sistem presidensial tanpa adanya dukungan partai yang mayoritas,
yang membuat terjadinya konflik yang bahkan dapat berujung pada deadlock. Scott
Mainwaring34 menyebut konflik antara eksekutif dan legislatif sering kali timbul bila
partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang kekuasaan tersebut. Konflik yang
berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk terhadap stabilitas demokrasi.
Karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah membentuk koalisi pendukung
pemerintahan.35
Walaupun dibentuk koalisi pendukung pemerintahan, namun pada praktiknya masih
terjadi ketidakstabilan pemerintahan. Scott Mainwaring sebagaimana dikutip Saldi Isra
mengemukakan tiga perbedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan
presidensial:36
“Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih
menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawab
memberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistem presidensial,
presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidents put together their own cabinets)
dan partai politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung presiden. Kedua,
berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem pemerintahan
presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri di kabinet tidak
mendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan partai politik untuk
membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial.”
Walau telah ada koalisi dalam sistem presidensial, namun ternyata tidak menjamin
stabilitas pemerintahan. Karena itu, permasalahan ini sering dijadikan dasar untuk
menolak adanya oposisi yang dianggap akan semakin memperuncing stabilitas politik
pemerintahan. Munculnya koalisi pendukung pemerintahan saja tidak menjamin stabilitas
pemerintahan sistem presidensil, apalagi kalau ada oposisi yang terlembagakan di badan
perwakilan rakyat. Kondisi demikian menurut penulis terjadi pada negara yang belum
stabil budaya politiknya, yang mengartikan oposisi sebagai “asal berbeda” dan “asal
melawan”. Bahkan di satu sisi, atas dasar stabilitas pemerintahan membuat lembaga
legislatif harus “tiarap” bersikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang kurang tepat.
32
33
34
35
36
94
Dalam Saldi Isra, http://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/417-problematik-koalisi-dalamsistem-presidensial.html.
Dalam Saldi Isra, Ibid., Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, “Government
Coalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism”, dalam British Journal of Political
Science, No. 34, 2004, hlm. 565-566.
Scott Mainwaring, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.), Parliamentary Versus
Presidensial Government, Oxford University Press, 1992, hlm. 114-115.
Ibid.
Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the Difficult Combination, dalam
http://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/417-problematik-koalisi-dalam-sistempresidensial.html.
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
Dengan demikian, ini akan dapat memandulkan fungsi pengawasan yang dimiliki lembaga
perwakilan.
3.
Demokrasi Pancasila
Sri Soemantri merumuskan Demokrasi + Pancasila sebagai kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan yang mengandung
semangat Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan
Indonesia dan keadilan sosial.37 Dari sini, Sri Soemantri membedakan demokrasi +
Pancasila dengan demokrasi-demokrasi yang lain, secara fundamentil perbedaan itu
terletak pada predikat Pancasila-nya.38
Sebagai ulasan yang lebih dalam berkaitan dengan Demokrasi Pancasila, maka patut
melihatnya dari aspek historis yakni demokrasi asli yang telah mengakar kuat dalam
tradisi berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Moh. Hatta39, menulis Demokrasi Asli
Indonesia Dan Kedaulatan Rakyat, tahun 1933, yang dapat menjadi petunjuk demokrasi
asli Indonesia.
Bagi Hatta, nilai-nilai kedaulatan rakyat, termasuk kekuasaan di tangan rakyat, sudah
ada dalam masyarakat tua Indonesia. Jauh sebelum kedatangan kolonialisme, bangsa
Indonesia sudah mengenal satu jenis demokrasi, yakni demokrasi desa. Kenapa disebut
demokrasi desa? Ya, karena demokrasi itu hanya hadir dalam pemerintahan di desadesa.40
Ada tiga ciri pokok demokrasi asli alias demokrasi desa itu antara lain:41
Pertama, adanya cita-cita rapat. Cita-cita rapat ini sudah hidup di dalam
sanubari Rakyat Indonesia, dari jaman dahulu hingga sekarang. Rapat berarti tempat
rakyat banyak atau utusan rakyat untuk bermusyawarah atau mupakat atas berbagai
persoalan yang menyangkut orang banyak.Sistem rapat itu dapat kita temui dalam
sistem sosial di desa-desa di Jawa, Bugis, Minangkabau, dan lain-lain. Bahkan, di
jaman dahulu, sistem pemerintahan desa juga mengenal sistem pengadilan sendiri,
yakni pengadilan kolektif.
Kedua, adanya cita-cita massa protes, yaitu hak rakyat untuk membantah
dengan cara umum (terbuka) segala peraturan negeri yang dianggap tidak adil. Hak
menyelenggarakan protes ini sudah hidup di tengah rakyat Indonesia sejak lama. Di
jaman Majapahit, misalnya, ada tradisi pepe atau berjemur beramai-ramai untuk
menyampaikan aspirasi kepada penguasa.Kegiatan protes tidak hanya dilakukan
secara berkelompok, tetapi juga secara perorangan. Tempat untuk menggelar aksi
37
38
39
40
41
Sri Soemantri, Op.Cit., hlm. 5.
Ibid.
Kusno, Bung Hatta Dan Konsep Demokrasi Asli Indonesia,dalam http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dankonsep-demokrasi-asli-indonesia/#ixzz4Ffd4xBvv.
Ibid., Hatta juga mengatakan bahwa selain pemerintahan desa yang demokratis, namun ada juga feodalisme yang
dijalankan oleh kerajaan-kerajaan. Karena itu, Hatta mengingatkan, lantaran sistem demokrasi desa ini dijepit
oleh kekuasaan feodal, maka tidak dapat berkembang maju dan bahkan menjadi semakin pincang. “Jadinya, di
dalam pergaulan (sistem sosial) masyarakat Indonesia yang asli, demokrasi itu hanya di terdapat di bawah.
Sedangkan di atasnya semata-mata pemerintahan otokrasi,” kata Bung Hatta.
Ibid.
95
Interaksi Konstitusi dan Politik
protes pun sudah disiapkan secara khusus. Biasanya tempat aksi protes, yang sering
disebut “tapa-pepe”, sering dilakukan di alun-alun keraton. Di masyarakat Bugis,
sistem penyampaian protes malah sudah diatur resmi: Mannganro ri ade (hak
menyampaikan petisi); Mapputane (hak menyampaikan keberatan dan melakukan
negosiasi dengan raja); Mallimpo-ade’ (hak melakukan aksi pendudukan); Mabbarata
(hak menggelar rapat akbar di alun-alun/Barugae); Mallekke’ dapureng (hak
meminta suaka politik ke negeri lain).
Tiga, cita-cita tolong-menolong dan kolektivisme. Kata Bung Hatta, masyarakat
Indonesia sangat berpegang teguh pada semangat tolong-menolong dan gotongroyong.Pekerjaan-pekerjaan besar, seperti membangun rumah atau turun ke sawah,
biasanya dikerjakan secara bersama-sama (gotong-royong). Tradisi gotong-royong
dan tolong-menolong ini nyaris kita temua dalam semua masyarakat Indonesia.
Menarik mencermati ciri-ciri Demokrasi Desa sebagai akar dari demokrasi asli
Indonesia, yang menunjukkan adanya demokrasi konsensus sebagai alternatif pilihan dari
demokrasi liberal. Khususnya tradisi protes menunjukkan adanya kebolehan untuk
menunjukkan sikap tidak setuju terhadap kebijakan yang diambil. Tradisi protes dapat
dilakukan perorangan maupun kelompok. Tradisi protes ini sebenarnya juga sejalan
dengan oposisi dalam arti memberikan kontrol dan pengawasan bahkan ketidaksetujuan
terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Karena itu, sebenarnya oposisi tidaklah
bertentangan dengan akar Demokrasi Pancasila yakni Demokrasi Desa.
4.
Pelembagaan Oposisi Dalam Badan Perwakilan Rakyat Indonesia
Berangkat dari urai-uraian sebelumnya, pelembagaan oposisi dalam badan
perwakilan rakyat memiliki posisi yang strategis dalam mewujudkan pemerintahan yang
demokratis. Adapun badan perwakilan rakyat di Indonesia yang dimaksud adalah Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan perwakilan yang mewakili unsur politik dan
memiliki kewenangan seutuhnya sebagai lembaga legislatif.42
Pengalaman PDIP yang menyatakan diri sebagai partai oposisi dari tahun 2005-2014
terhadap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh yang baik
dan semestinya terlembagakan. Termasuk juga sempat terjadinya pengelompokan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH) sebagai pendukung pemerintahan Presiden Jokowi dan Koalisi
Merah Putih (KMP) sebagai oposisi setelah Pemilu 2014. Bahkan, Jimly Asshiddiqie
menyebut penguasaan DPR oleh kelompok oposisi akan baik untuk demokrasi di
Indonesia.43Sebastian Salang menyebut dengan adanya dua kekuatan besar yang
memimpin Indonesia (KMP dan KIH), seharusnya menjadi potensi besar bagi Indonesia
yakni adanya kekuatan yang sama kuat tersebut di legislatif dan eksekutif akan terjadi
cheks and balances.44
42
43
44
96
Selain DPR, Indonesia juga memiliki Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
sebagai badan perwakilan tersendiri.
Dalam http://riaupos.co/55334-berita-jimly-kmp-kuasai-parlemen-justru-bagus-untuk-demokrasi.html.
Dalam http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16686&type=2.
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
Problem yang muncul adalah oposisi hanya digunakan untuk merebutkan jabatan.
Misalnya di DPR RI Periode 2014-2019, oposisi dipergunakan sebagai alat untuk meraih
jabatan pimpinan di badan perwakilan tersebut. Akibatnya terjadi saling jegal dan
perpolitikan menjadi gaduh. Pemerintahan Jokowi-pun berada dalam bayang-bayang
oposisi yang menguasai DPR.
Instabilitas politik-pun bertambah dengan adanya serangan balik dari pemerintahan
yang berkuasa, dalam bentuk memarjinalisasi partai oposisi.45 Misalnya, menciptakan
dualisme kepemimpinan partai, membatasi akses partai pada unit-unit ekonomi, media,
dan lainnya sebagaimana pada masa Orde Baru.46 Bahkan pedang penegakan hukumpun
sering diarahkan kepada anggota oposisi sebagai bentuk peringatan bahkan
penyanderaan politik agar mendukung pemerintahan. Hal tersebut ternyata juga terjadi
dan dipraktikan pemerintah yang berkuasa pada Era Reformasi ini. Selain itu, persoalan
sumber daya pendanaan partai politik juga sering kali dijadikan alasan partai politik untuk
enggan berlama-lema menjadi oposisi. Akibat kondisi-kondisi tersebut, kelompok oposisi
kemudian berpindah haluan dan mendukung pemerintahan. Presiden yang pada awalnya
didukung minoritas suara di DPR, menjadi menguasai dukungan mayoritas. Oposisi di
DPR-pun menjadi lemah bahkan tidak ada.
Ketiadaan oposisi tersebut, menimbulkan permasalahan ketatanegaraan berkaitan
dengan salah satu tugas dan fungsi badan perwakilan, yakni fungsi kontrol dan checks and
balances yang dimandulkan. Bahkan Kuskridho Ambardi menyatakan bahwa ketiadaan
oposisi yang efektif sebagai penjelmaan dari mekanisme checks and balances menjadi
salah satu ciri keberadaan politik kartel. 47Burhanudin Muhtadi48 dengan mengutip
pendapat Katz dan Mair mengatakan:
“The cartel party is a type that is postulated to emerge in democratic politics
that are characterized by the interpenetration of party and state and by a tendency
towards inter-party collusion.... Competition between cartel parties focuses less on
differences in policy and more on provision of spectacle, image, and theater."
Intinya, politik kartel akan membuat partai-partai cenderung melakukan kolusi
kolektif untuk memperebutkan rente.
Lebih lanjut Burhanudin Muhtadi49 mengungkap kemungkinan terjadi apa yang
disebut Dan Slater sebagai "jebakan akuntabilitas" (accountability trap) di mana parlemen
yang dikuasai oleh kubu pemerintah gagal melakukan fungsi-fungsi check and balances.
Dalam politik kartel, terjadi perselingkuhan antara eksekutif dan legislatif,
45
46
47
48
49
Suhardi Suryadi, Op.Cit.
Ibid.
Selain politik kartel, juga ada ciri lainnya, yakni 1) Hilangnya ideologi partai yang menentukan arah koalisi; 2) Sikap
permisif (serba boleh) dalam pembentukan koalisi; 3) Hasil pemilu yang tidak berpengaruh dalam menentukan
perilaku politik partai; dan 4) Kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak sebagai suatu kelompok, Lihat
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi,
Jakarta: Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2009, hlm. 3.
Burhanudin Muhtadi, Perombakan Kabinet dan Rekonsolidasi Politik, Opini Harian Kompas, 28 Juli 2016.
Ibid.
97
Interaksi Konstitusi dan Politik
aroma promiscuous power-sharing (pembagian kue kekuasaan) terjadi dalam ruang-ruang
tertutup secara masif dan anggaran publik menjadi bancakan bersama.
Pendapat-pendapat tersebut menunjukkan kecenderungan negatif pembentukan
koalisi, apalagi koalisi “gemuk” pendukung pemerintahan, tanpa adanya oposisi yang
efektif di badan perwakilan. Di titik ini, pelembagaan oposisi “secara struktural” di DPR
menemui relevansinya. Berkaca dari pengalaman Amerika Serikat yang mampu
menjalankan peran kontrol parlemen terhadap pemerintah melalui pengelompokan dua
kekuatan besar, maka hal tersebut dapat pula diterapkan di Indonesia dalam bentuk
mengelompokkan fraksi-fraksi di DPR kedalam dua kelompok besar di DPR, yang satu
sebagai fraksi pendukung pemerintah dan yang satu sebagai fraksi oposisi.
Agar sistem pemerintahan presidensial tidak mudah dijatuhkan karena adanya
anasir-anasir parlementer dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, seperti hak interpelasi,
hak angket dan hak menyatakan pendapat, maka hak-hak tersebut patut untuk ditinjau
kembali dan harus ditegaskan hanya sebagai instrumen pengawasan yang tidak dapat
berujung pada penjatuhan Presiden / Wakil Presiden begitu saja. Presiden / Wakil
Presiden hanya dapat dijatuhkan melalui pranata impeachment yang terbatas.
Selain itu, supporting system di DPR harus diperkuat. Sebagai contoh di Amerika
Serikat terdapat Congressional Budget Office sebagai pendukung analisis dalam
pembahasan anggaran di parlemen yang dianggap setara dan mampu mengimbangi The
Office of Management and Budget (OMB) milik Presiden Amerika, atau kalau di Indonesia
adalah Kementerian Keuangan dan Kementerian Bappenas.50 Karena itu, sudah
selayaknya lembaga pendukung keahlian di DPR mampu menghasilkan analisis data yang
setara dengan dua kementerian tersebut. Tidak hanya terbatas pada persoalan anggaran,
lembaga pendukung keahlian di DPR juga menopang analisis data persoalan legislasi dan
pengawasan.
Dengan adanya penopang lembaga keahlian tersebut, maka peranan oposisi di DPR
berbasikan analisis yang akurat dan akuntabel, sehingga tidak asal “bunyi” dan tidak asal
“beda”. Isu yang dibangun dalam rangka melakukan pengawasan akan lebih substantif
bukan normatif. Dengan demikian, maka oposisi di DPR akan dapat semakin fungsional
dalam rangka mengawasi pemerintahan dan bahkan mendukung pemerintahan untuk
sebesar-besarnya kepentingan kemakmuran rakyat. Perdebatan-perdebatan yang lebih
berbobot dalam pengambilan kebijakan akan dapat terlihat secara nyata, sehingga rakyat
sebagai pemilik kedaulatan tertinggi akan dapat melihat bahkan mengevaluasi, mana
kebijakan yang tepat dan mana yang tidak tepat. Fraksi pendukung pemerintahkah atau
fraksi oposisikah yang mampu memberikan penjelasan dan argumentasi yang tepat
terhadap sebuah kebijakan. Tentu sesuai dengan karakter Demokrasi Pancasila yang lebih
menekankan pada kolektivisme dan konsensus, peranan fraksi oposisi dan fraksi
pendukung pemerintah di DPR akan lebih mengedepankan kompromi-kompromi demi
kemaslahatan rakyat, bukan “asal menang” karena memiliki suara yang lebih banyak.
50
98
Lihat lebih lanjut dalam Mei Susanto, Hak Budget Parlemen di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 294295.
Kelembagaan Negara dan Sistem Pemerintahan
Kesimpulan
Pelembagaan oposisi didalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia sebagaimana
diungkapkan Prof. Sri Soemantri agar ada dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia
dalam konteks kekininian masihlah relevan. Bahkan oposisi di DPR adalah sebuah
kebutuhan sebagai upaya menajamkan kontrol dan checks and balances terhadap
peemerintah yang berkuasa. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membentuk dua fraksi
besar di DPR, yakni fraksi pendukung pemerintahan dan fraksi oposisi. Agar oposisi tidak
berujung pada “asal bunyi” dan “asal beda” yang menimbulkan instabilitas politik dan
mengancam bangunan sistem pemerintahan presidensil, maka anasir pengawasan sistem
parlementer di DPR seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat
patut ditinjau ulang dan ditegaskan tidak dapat menjatuhkan Presiden di tengah jalan.
Selain itu, agar lebih subtantif dan mampu menjalankan oposisi fungsional, maka perlu
penguatan lembaga pendukung keahlian di DPR yang menopang analisis yang akurat dan
akuntabel, sehingga perdebatan-perdebatan yang dimunculkan oposisi di DPR lebih
subtantif sehingga mendorong pengambilan kebijakan yang tepat dan memperoleh
dukungan publik.
Daftar Pustaka
Buku
Allen Potter, Great Britain: Opposition with a Capital “O”, dalam Robert A. Dahl (ed),
Political Opposition in Western Democracies, Yale University Press, New Haven and
London, 1968.
Arend Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in
Twenty-One Century, Yale University Press, New Haven and London, 1999.
Eep Saifullah Fatah, Membangun Oposisi, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999.
Hans Daalder, "The Netherlands: Opposition in a Segmented Society", dalam Robert A Dahl
(ed), Political Opposition in Western Democracies, Yale University Press, New Haven
and London, 1968.
Jhon Mc Gill dan Eddy Soetrisno, Kamus Politik, Aribu Matra Mandiri, Jakarta, 1996.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Paska Reformasi, Buana
Ilmu Populer, Jakarta, 2008.
Loren Bagus, Kamus Filsafat, Gramedia, Jakarta, 1996.
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di
Indonesia Era Reformasi, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Jakarta,
2009.
Mei Susanto, Hak Budget Parlemen di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.
Nurcholis Madjid, Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacara Sosial Politik
Kontemporer, Paramadina, Jakarta, 1999.
Robert A Dahl (ed), Political Opposition in Western Democracies, Yale University Press,
New Haven and London, 1965.
99
Interaksi Konstitusi dan Politik
Scott Mainwaring, Presidentialism in Latin America, dalam Arend Lijphart (edit.),
Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press, 1992.
Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung,
1981.
Jurnal, Artikel, Makalah
Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, dan Sebastian M. Saiegh, Government Coalitions
and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism, dalam British
Journal of Political Science, No. 34, 2004.
Rusli K. Iskandar, Oposisi Yang Sehat Dalam Perspektif Islam dalam Rangka Memperkokoh
Sendi-Sendi Demokrasi (Di) Indonesia, Jurnal Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI dan PSKN FH Unpad, Volume II, No. 2 November 2010.
Tjetje Hidayat Padmadinata, Sedikit Tentang Oposisi, dalam Kolom Forum Keadilan, No. 23
Tahun II, 17 Maret 1994.
Tuswoyo Admojo, Oposisi Dalam Sistem Presidensial: Sepenggal Pengalaman Partai
Oposisi PDIP Dalam Pemerintahan SBY-JK, makalah tanpa tahun.
Sumber Lain
Burhanudin Muhtadi, Perombakan Kabinet dan Rekonsolidasi Politik, Opini Harian
Kompas, 28 Juli 2016.
Djayadi Hanan, Demokrasi Konsensus, opini harian Kompas, 18 Juli 2016.
Kusno,
Bung
Hatta
Dan
Konsep
Demokrasi
Asli
Indonesia,
dalam
http://www.berdikarionline.com/bung-hatta-dan-konsep-demokrasi-asliindonesia/#ixzz4Ffd4xBvv.
Suhardi Suryadi, Membangun Tradisi Oposisi, Opini 14 Juli 2009, dapat diunduh di
http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Artikel/016.%20Membangun%20Tradisi%2
0Oposisi%20(14%20Juli%202009).pdf
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php.
http://koranopini.com/tokoh/wawancara/oposisi-pentingkah.
http://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/makalah1/417-problematik-koalisidalam-sistem-presidensial.html.
http://riaupos.co/55334-berita-jimly-kmp-kuasai-parlemen-justru-bagus-untukdemokrasi.html.
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=16686&type=2.
http://koranopini.com/tokoh/wawancara/oposisi-pentingkah.
100
Download