dimensi budaya dan penyebaran penyakit hiv/aids

advertisement
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
DIMENSI BUDAYA DAN PENYEBARAN PENYAKIT HIV/AIDS
DI PERKUMPULAN KASIH RAKYAT
Lydia Melissa Bukit1, Drs. Muba Simanihuruk, M. Si2
Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
HIV/AIDS merupakan penyakit yang menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh,
sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Jumlah orang yang terkena penyakit
HIV/AIDS untuk daerah kabupaten Karo mengalami kenaikan. Hal tersebut sangat
memprihatinkan melihat masyarakat Tanah Karo yang masih sangat menjunjung tinggi
budaya dan norma kesopanan yang berlaku dalam masyarakat tetapi masyarakatnya banyak
yang terkena penyakit HIV/AIDS. Metode penelitian yang digunakan adalah peneltian
eksplorasi dengan pendekatan kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada budaya-budaya dan kebiasaan masyarakat
Karo yang mempengaruhi perilaku seksual mereka. Budaya Rebu pada tingkatan tertentu
mengakibatkan sikap pembiaran terhadap anggota keluarga sendiri yang nantinya
mempengaruhi pada minimnya pencegahan penyakit HIV/AIDS. Budaya Patriarkat yang
memprioritaskan kepentingan laki-laki, sehingga mengakibatkan peran perempuan semakin
dikucilkan dan tidak bisa memiliki ruang untuk berpendapat termasuk dalam masalah
kesehatan seksual
Kata Kunci: HIV/AIDS, Budaya Karo, Patriarkat.
1.
PENDAHULUAN
HIV/AIDS merupakan penyakit yang menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh,
sehingga tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Melihat begitu mengerikan dampak
dari HIV/AIDS tersebut, menjadikan penyakit ini penyakit yang paling ditakuti oleh dunia,
termasuk juga Indonesia. Jumlah kasus HIV/AIDS yang ditemukan di Indonesia selama tahun
2012 mencapai 21,511 kasus HIV dan 5,686 kasus AIDS, dan untuk Sumatera Utara
1
Mahasiswa Departemen Sosiologi FISIP USU
Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU
2
90
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
khususya, jumlah kasus HIV/ADIS yang dihadapi saat tahun 2012 mencapai 6,781 kasus HIV
dan 515 kasus AIDS (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).
Peningkatan penderita HIV/AIDS ini bukan hanya kita temui di kota besar saja seperti
Medan, melainkan kabupaten-kabupaten yang berada jauh dari kota besar, juga merupakan
penyumbang tingkat penderita HIV/AIDS yang besar di Sumatera Utara. Salah satunya yang
dapat kita lihat di kabupaten Karo. Peningkatan penderita HIV/AIDS di kabupaten Karo
cukup tinggi apabila kita bandingkan dengan daerah lain. Jumlah penderita HIV/AIDS untuk
di kabupaten Karo mengalami peningkatan dari tahun 2011 ke 2012, sedangkan di kota
Medan sendiri, jumlah penderita HIV/AIDS tersebut mengalami penurunan. Kabupaten Karo
merupakan daerah yang masyarakatnya masih memegang erat adat istiadat serta sudah
mempercayai agama yang mereka anut sebagai pedoman hidup mereka serta memiliki normanorma dan sanksi sosial di masyarakat, ternyata tidak menjamin penduduk dari Kabupaten
Karo tersebut terhindar dari penyebaran virus HIV.
Asumsi awal ada kebudayaan Karo tertentu yang ternyata dapat mempengaruhi perilaku
seksual masyarakat Karo yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit HIV/AIDS ini.
Seperti budaya Patriarkat, dimana laki-laki masih memegang kekuasaan yang dominan
terhadap perempuan sehingga membuat perempuan tidak dapat berpendapat dan memiliki
ruang gerak yangg bebas. Selain itu budaya rebu, yang merupakan pantangan, tidak
dibenarkan melakukan sesuatu menurut adat karo (Bangun, 1986), sehingga dapat
menimbulkan jarak dalam keluarga yang dapat berdampak minimnya pencegahan penyakit
HIV/AIDS itu sendiri.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh A.E. Dumatubun yang berjudul tentang
Pengetahuan, Perilaku Seksual suku Bangsa Marind-Anim pada masyarakat Papua, yang
menunjukkan ternyata ada budaya tertentu mereka yang mengatur perilaku seksual mereka.
Suku Marind-Anim memiliki kebudayaan yang mengatur bagaimana perilaku seksual mereka.
Dasar utama dari berbagai aktivitas seksual baik secara homoseksual maupun heteroseksual di
kalangan suku bangsa Marind-Anim itu berlandaskan pada konsep “Kebudayaan Semen“ atau
“Kebudayaan Sperma”. Sperma bagi suku bangsa Marind-Anim merupakan suatu kekuatan
yang diperoleh dari seorang pria yang kuat dan perkasa. Sperma secara konseptual
mempunyai
makna
yang
kuat,
sebagai
konsep
kesuburan,
kecantikan,
kekuatan
menyembuhkan dan kekuatan mematikan. Sehingga di dalam aktivitas hidup suku bangsa
Marind-Anim konsep sperma ini memainkan peranan penting dan terstruktur serta berfungsi
91
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
secara baik dalam kehidupan kebudayaan. Perwujudan konkrit dari konsep sperma tersebut,
terrealisasi dalam berbagai bentuk aktivitas adat dalam berbagai bentuk upacara-upacara
secara religius. Konsekuensi dari kebudayaan dan perilaku seksual suku bangsa Marind-Anim
akan menimbulkan berbagai penyakit menular, seperti HIV/AIDS.
Sehubungan dengan uraian tersebut maka yang akan menjadi perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah mengeksplorasi dimensi budaya Karo dalam peningkatan penderita
HIV/AIDS.
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dimensi
budaya Karo yang mempengaruhi perilaku seksual dalam penyebaran penyakit HIV/AIDS.
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah
1. Secara teoritis: Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi,
pemahaman, serta sumbangan bagi mahasiswa khususnya mahasiswa sosiologi
maupun masyarakat luas, dalam meningkatkan wawasan tentang bahayanya virus
HIV/AIDS dan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya di bidang Sosiologi Kesehatan.
2. Secara praktis: hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat pada masyarakat serta
pemerintah daerah di Kabupaten Karo secara khusus untuk melakukan programprogram yang lebih khusus dan nantinya dapat mengurangi penyebaran penderita
HIV/AIDS di daerah tanah Karo.
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Konstruksi sosial
Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau
diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial
terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi
subjektif melalui proses interaksi. Berger memandang masyarakat sebagai produk manusia
dan manusia sebagai produk, masyarakat dalam realitas obyektif dan masyarakat sebagai
realitas subyektif. Dialektika tersebut berlangsung dalam suatu proses dengan tiga
momen/tahapan simultan, yakni:
a. Eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia),
92
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
b. Obyektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dikembangkan atau
mengalami proses institusionalisasi), dan
c. Internalisasi (individu mengidentifikasikan diri dengan lembaga-lembaga sosial atau
organisasi sosial tempat invidu menjadi anggotanya) (Sukidin, 2002: 206).
Berdasarkan dari teori Konstruksi Sosial tersebut pada masyarakat Karo, segala hasil
kebudayaan maupun kebiasaan yang tercipta dibentuk oleh hasil konstruksi dari interaksi
yang telah mereka jalani di lingkungan sosialnya. Hasil kebudayaan tersebut menjadi struktur
dalam sistem sosial masyarakat Karo dalam bertindak dan dalam menjalankan kehidupannya
serta mengatur perilaku masyarkat dari anggota masyarakat budaya tersebut.
2.2 Budaya dan Perilaku
Manusia merupakan makhluk sosial yang memiliki akal dan pikiran untuk digunakan
sebagai dasar dalam tiap individu dalam bertindak dan berperilaku. Selain itu, manusia juga
disebut sebagai makhluk budaya. Sehingga dimanapun dia berada atau dalam kelompok atau
dalam lingkungan masyarakat tertentu akan mempunyai kebudayaan yang beragam karena
merupakan hasil dari interaksi dan penyesuaian diri dengan lingkungan dan kebutuhannya
masing-masing. Dari kebudayaan yang dimiliki manusia itu akan membentuk perilaku dari
manusia tersebut dalam kehidupan sehari-harinya.
Budaya akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman yang ada dan
sesuai dengan keadaan masyarakat di suatu daerah tersebut. Perubahan akan budaya tersebut
dapat berdampak positif dan juga negatif, tergantung bagaimana kita menyikapi perubahan
yang ada. Apalagi dengan kemajuan teknologi dan era komunikasi yang sekarang ini sangat
maju dengan pesat, masuknya pengaruh budaya dari negara-negara Barat yang masuk ke
Indonesia, jika kita tidak dapat menyikapi dengan baik maka kita dapat terbawa ke budaya
Barat yang mana kehidupan yang sangat bebas yang berbeda dengan budaya Timur kita miliki
sekarang.
2.3 Teori Kontrol Sosial
Kontrol sosial atau yang disebut juga sebagai pengendalian sosial merupakan kekuatan
yang mendorong individu untuk bertingkah laku dengan cara dan tata krama yang telah
ditentukan oleh kebudayaan masing-masing. Menurut Sarjoeno Soekanto, yang dimaksud
pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan,
yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar
mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku. (Soekanto dalam Asyari, 2007).
93
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
Kontrol sosial ini terlaksana melalui norma-norma sosial. Setiap anggota masyarakat
menyatakan nilai-nilainya melalui sistem norma sosial. Norma-norma tersebut memberikan
petunjuk dan batas-batasan kepada para individu anggota dari suatu kelompok masyarakat
tentang tingkah laku yang seharusnya mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Jenis
norma sosial yang ada di masyarakat salah satunya adalah norma dalam adat istiadat.
Norma adat tersebut dibuat sebagai kontrol sosial dari suatu kelompok masyarakat
untuk mengendalikan perilaku dari masyarakat yang sesuai dengan budayanya. Kontrol sosial
ini dilakukan untuk menghindari perilaku-perilaku menyimpang yang tidak diinginkan dalam
kelompok tersebut yang didapatkan melalui proses sosialisasi. Sosialisasi menunjukkan halhal apa saja yang harus dilakukan untuk menghindari perilaku menyimpang dalam budaya
kita, membentuk kebiasaan kita terhadap adat-istiadat yang berlaku, dan pada akhirnya
individu tersebut akan menginternalisasikan norma dan nilai dan individu akan berperilaku
konform (menyesuaikan diri).
2.4 Teori Feminisme
Feminisme awal yang dimulai sejak tahun 1800-an merupakan representasi gelombang
feminisme pertama. Feminisme awal dimulai dengan pergerakan-pergerakan feminisme yang
berkaitan dengan terjadinya Revolusi Perancis (1789) (Arivia, 2003:84-84). Gerakan
feminisme ini yang menjadi momentum perjuangannya adalah gender inequality, hak-hak
perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peren jender, identitas jender, dan seksualitas.
Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan peerempuan dari rasisme, streotyping,
seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Secara umum kaum perempuan
(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki
(maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama
dalam masyarakat yang bersifat patriarki. (http://www.scribd.com, 2013)
Berikut beberapa jenis aliran feminisme yang muncul selama gelombang pertama:
a. Feminisme Liberal.
Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang
memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa
kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat
dan publik.
Wollstonecraft mengatakan bahwa perempuan memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan pendidikan yang memperkuat nalar, seperti laki-laki. Menurutnya,
dengan mendapatkan pendidikan yang memungkinkan orang untuk mengembangkan
94
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
kapasitas rasional dan moral, potensinya menjadi manusia menjadi lengkap, sehingga
perempuan tidak lagi menjadi hanya sekadar alat (Tong, 2004:22).
b. Feminisme Marxis.
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk
memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang
menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni
menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas
dalam masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa
ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu sesungguhnya lebih disebabkan oleh
faktor budaya alam. (Nasarudin, 2001)
c. Feminisme Sosialis
Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga
perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri
dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa
pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme
Marxis.
d. Feminisme Radikal.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan
terjadi akibat sistem patriarkat. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan
oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan
antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
Aliran Feminisme Radikal ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan
terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan
objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privatpublik.
Timbulnya kekerasan seksual dalam rumah tangga disebut juga dengn Marital
Rape. Marital Rape merupakan tindak kekerasan yang terjadi di dalam keluarga, baik
95
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
itu dalam tindakan kekerasan seksual suami terhadap istri maupun penekanan mental
suami terhadap istri. Apabila nilai yang dianut suatu masyarakat masih bersifat
patriarkat yang muncul adalah superioritas laki-laki dihadapan perempuan, manifestasi
nilai tersebut dalam kehidupan keluarga adalah dominasi suami atas istri yang pada
akhirnya kerapkali melahirkan tindakan kekerasan dalam ruang lingkup domestic
tersebut dimana dalam hal ini pihak istri selalu berada dalam kondisi yang dirugikan.
3.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksplorasi
dengan pendekatan kualitatif. Dengan menggunakan penelitian eskplorasi dengan pendekatan
kualitatif ini, peneliti akan memperoleh informasi dan mengembangkan konsep-konsep
budaya yang sesuai yang telah didapatkan di lapangan mengenai penyebab peningkatan
HIV/AIDS di kabupaten Karo tersebut.
Adapun yang menjadi lokasi penelitian adalah Perkumpulan Kasih Rakyat, yang ada di
Medan, Sumatera Utara. Dimana perkumpulan ini konsentrasi terhadap penanganan masalah
penderita HIV/AIDS yang ada di Medan dan salah satu perkumpulan yang pertama kali dalam
menangani masalah HIV/AIDS di tanah karo, Sumatera Utara. Adapun yang menjadi
informan sebagai sumber informasi bagi peneliti adalah sebagai berikut : orang yang terkena
penyakit HIV/AIDS baik laki-laki dan perempuan, ketua Perkumpulan Kasih Rakyat, Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) Medan, dan tokoh adat Karo.
Metode pengumpulan data penelitian ini adalah dengan cara observasi, untuk melihat
kegiatan apa sajakah yang dilakukan di perkumpulan Kasih Rakyat serta melihat data-data
mengenai perilaku seksual dari penderita HIV/AIDS. Lalu melakukan wawancara mendalam
kepada informan mengenai perilaku seksual para penderita dan pengetahuan mereka tentang
HIV/AIDS sebelumnya, keikutsertaan mereka pada kebudayaan Karo itu sendiri.
Data-data yang telah diperoleh dari lapangan tersebut akan diatur, diurutkan, dan
dikelompokkan kedalam kategori tertentu. Pada penelitian kali ini, penulis akan
menyederhanakan dan mengedit data yang dari lapangan tersebut dan disusun serta
diinterpretasikan secara kualitatif. Pada bagian akhir dari analisis data adalah penegasan
kesimpulan dan pemberian saran.
96
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
4.
HASIL
4.1 Perkembangan Penyakit HIV/AIDS di Sumatera Utara
Menurut hasil penelitian yang didapatkan pertumbuhan penderita HIV/AIDS di
Sumatera Utara, khususnya di kabupaten Karo sudah mengalami peningkatan, sehingga yang
dulunya masyarakat sangat takut terhadap ODHA sekarang ini sudah cukup familiar dengan
penderita HIV/AIDS ini.
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) menyatakan bahwa sudah dilakukan usaha
pencegahan sebisa mungkin, dengan bekerja sama dengan pemeritahan daerah, instansiinstansi yang terkait untuk memberikan sosialisasi terhadap penyakit ini, selain itu
diberikannya kondom kepada daeraah-daerah lokalisasi, seperti Bandar Baru. Hal yang
berbeda disampaikan oleh penderita HIV/AIDS tersebut, bahwa mereka tidak pernah tahumenahu mengenai sosialisasi HIV/AIDS ini. Mereka hanya mengetahui penyakit HIV/AIDS
ini dari mulut ke mulut saja.
4.2 Faktor-Faktor Penyebab Penyebaran HIV/AIDS.
Penyebaran virus HIV/AIDS ini hanya dapat ditularkan melalui darah saja. Selama kita
tidak terkena langsung dengan darah yang positif HIV, tidak masalah untuk kita tinggal dan
hidup bersama dengan penderita HIV/AIDS tersebut. Berdasarkan dari hasil penelitian
melalui wawancara kepada informan penderita HIV/AIDS di Perkumpulan Kasih rakyat ini,
sebagian besar mereka terkena virus HIV ini dari kebiasaan para laki-laki yang ‘jajan’ di
daerah lokalisasi. Mereka tertular virus HIV dari lokalisasi dan secara tidak disadari mereka
telah membawa virus tersebut ke dalam lingkungan rumahnya sendiri, khususnya pada
istrinya sendiri.
Selain perilaku seks bebas, penderita HIV/AIDS di perkumpulan ini disebabkan melalui
donor darah yang diberikan oleh rumah sakit di desanya. Penularan virus HIV melalui
kegiatan transfusi darah ini disebabkan karena jarum suntik yang digunakan tidak steril dan
dipakai berulang-ulang. Jarum suntik seharusnya hanya bisa digunakan sekali saja dan setelah
itu tidak dapat digunakan lagi karena alasan kebersihan. Selain itu darah yang diterima oleh
pihak rumah sakit, tidak diperiksa dengan baik dan benar, sehingga memberi peluang darah
yang diterima dari luar tersebut sudah ada yang terinfeksi dengan virus HIV.
4.3 Dimensi Budaya dan Penyebaran Penyakit HIV/AIDS
Menurut Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang
diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman
97
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
semacam ini, realitas berwajah ganda/plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang
berbeda-beda atas suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi,
pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsirkan realitas
sosial itu dengan konstruksinya masing-masing. (Bungin, 2008)
Konstruksi sosial tersebutlah yang nantinya akan menjadi kebudayaan pada masingmasing masyarakat. Sistem nilai budaya akan berfungsi sebagai pedoman dan juga sebagai
pendorong kelakuan manusia dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai suatu sistem tata
kelakuan. Pedoman-pedoman yang dibuat tersebut dijadikan sebagai norma-norma dalam
masyarakat tersebut dan telah disepakati bersama setiap anggotanya.
a. Budaya Patriarkat Masyarakat Karo
Patriarkat adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok
otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Pada budaya masyarakat Batak Karo
mereka menganut sistem patriarkat, yang mana menempatkan laki-laki sebagai sosok
otoritas utama pada kelompok sosial dan selalu sebagai pengambil keputusan. Lakilaki dianggap sebagai “pemilik sumber daya” yang dilegitimasi oleh budaya dan
nilai-nilai patriarkat. Sistem ini juga bertujuan sebagai pembagian kekuasaan agar
setiap ada kegiatan dapat berjaalan denga baik dan tidak tumpang tindih dengan
adanya pencampuran pembagian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, dan
pada ruamah tangga sendiri.
Menurut hasil penelitian yang didapatkan adalah laki-laki masyarakat Karo
memiliki peran yang besar dalam mengendalikan keadaan rumah tangga, baik dalam
hal keuangan rumah tangga, pengambilan keputusan, saat bekerja di ladang, laki-laki
memiliki peran yang yang sangat dominan terhadap perempuan sehingga ruaang
bergerak perempuan menjadi sempit dan segala sesuatunya harus berdasarkan
keputusan suami.
Melihat perilaku laki-laki yang memanfaatkan perannya tersebut, menimbulkan
kekerasan seksual dan penekanan mental terhadap si istri. Hal tersebut disebut
dengan Marital Rape. Praktek dominasi ini juga pernah dijelaskan oleh Mave
Cormack dan Stathern (1990) sebagaiman dikutip oleh Keumalahati, ia menjelaskan
terbentuknya dominasi laki-laki atas perempuan ditinjau dari teori nature and
culture. Dalam proses transformasi dari nature ke culture sering terjadi penaklukan.
Laki-laki sebagai culture mempunyai wewenang menaklukan dan memaksakan
kehendak kepada perempuan (nature). Secara kultural laki-laki ditempatkan pada
98
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
posisi lebih tinggi dari perempuan, karena itu memiliki legitimasi untuk menaklukan
dan memaksa perempuan. Dari dua teori ini menunjukkan gambaran aspek
sosiokultural telah membentuk social structure yang kondusif bagi dominasi laki-laki
atas perempuan, sehingga mempengaruhi prilaku individu dalam kehidupan
berkeluarga.
Akibat dari adanya perilaku marital rape ini memunculkan teori Feminisme
Radikal. Sifat patriarkat dalam masyarakat dan ketentuan hukum merupakan
penyebab ketidakadilan, dominasi dan subordinasi terhadap wanita, sehingga sebagai
konsekuensinya adalah tuntutan terhadap kesederajatan gender. Pada feminisme
radikal ini melihat ketika tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,
relasi
kuasa
perempuan
dan
laki-laki,
dan
dikotomi
privat-publik.
(www.wikipedia.org, 2013)
Melihat dari setiap contoh perilaku yang dilakukan para laki-laki tersebut dan
dihubungkan dengan penyakit HIV/AIDS adalah perilaku laki-laki yang bertindak
sesuka hati dengan kekuasaan yang dimilikinya, membuka peluang untuk mereka
mendapatkan kepuasaan seksual dari Perempuan Seks Komersil (PSK) di tempat
lokalisasi. Setelah laki-laki mendapatkan kepuasan di lokalisasi tersebut dan
membawanya ke rumah dan secara tidak langsung akan menularkan kepada istrinya.
Perempuan yang sebenarnya mengetahui perilaku laki-laki yang tidak adil tersebut,
tidak dapat berbuat banyak karena budaya sistem patriarkat tersebut, yang
mengharuskan mereka tunduk pada peraturan laki-laki dan memikirkan dampakdampak sosial yang harus perempuan terima apabila melawan laki-laki, dimana
perempuan sebagai pihak yang lemah dari budaya tersebut keberadaanya semakin
dikucilkan lagi dalam suatu tatanan budaya. Selanjutnya lagi perempuan semakin
tidak berani mengusulkan untuk memeriksa keadaan kesehatan seksual pasangannya
dan semakin sulit untuk membicarakan masalah seks dengan pasangannya.
b. Budaya Rebu
Menurut dari hasil wawancara dengan informan, menyatakan bahwa dalam
masyarakat Karo, pengetahuan mengenai pendidikan seksual masih sangat minim, hal
ini disebabkan karena tabu membicarakan permasalahan perilaku seksual dalam
keluarga, meskipun hal yang dibicarakan masih dalam konteks pendidikan bukan untuk
99
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
hal yang vulgar. Menurutnya membicarakan tentang perilaku seksual bukan sesuatu
yang diceritakan secara terbuka di dalam keluarga karena dianggap hal tersebut
merupakan permasalahan intim pribadi seseorang.
Hal yang dilakukan untuk mencegah adanya khilaf dalam perilaku seks bebas
dalam keluarga, maka dibuatlah adat rebu yang gunanya untuk bisa menghormati orangorang yang seharusnya di hormati. (Bangun, 1986). Rebu artinya pantangan, dilarang,
tidak boleh, tidak dibenarkan melakukan sesuatu menurut adat Karo. Siapa yang
melanggar, dianggap tidak tahu adat, dan dahulu dicemooh oleh masyarakat. Rebu ini
terjadi apabila sebuah perkawinan telah selesai dilaksanakan, sehingga ada orang-orang
tertentu oleh adat dilarang berkomunikasi secara langsung dan harus menggunakan
orang lain sebagai perantara komunikasi dalam pasangan rebu teersebut. Rebu ini
sebagai tanda adanya batas kebebasan diri, melalui perilaku seperti ini mengingatkan
orang dan sadar akan prinsip sosial dalam cara hidup berkerabat, maka melalui rebu
orang akan mampu mengkontrol perbuatannya sendiri. Rebu menimbulkan mehangke
(enggan), dari enggan menimbulkan rasa hormat dan rasa hormat menimbulkan sopan
santun. (Bangun 1986).
Masyarakat Karo sendiri tidak merasa sangat terganggu dengan adanya budaya
rebu tersebut, karena sudah menjadi kebiasaan yang telah berakar sejak dulu dan telah
dibangun rasa segan untuk berinteraksi secara langsung dengan pasangan rebunya. Pada
tingkatan tertentu penerapan rebu memiliki beberapa kendala yaitu menimbulkan jarak
di dalam suatu keluarga, sehingga akan menimbulkan sikap pembiaran antara pasangan
rebu tersebut. Tujuan awal dari budaya rebu tersebut yang menghindari perilaku seks
bebas sebagai kontrol sosial yang ada dalam masyarakat Karo, malah menimbulkan
jarak dan akhirnya menimbulkan pembiaran di dalam lingkungan keluarga sendiri.
Akibat dari sikap pembiaran tersebut mengakibatkan pencegahan perilaku seks bebas
menjadi terhambat dan lemah dalam ruang lingkup keluarga.
Pada zaman sekarang ini, membicarakan pendidikan seksual seharusnya bukan
menjadi hal yang malu untuk dibicarakan secara terbuka. Memberikan pendidikan
seksual diharapkan dapat membimbing serta mengasuh seseorang agar mengerti tentang
arti, fungsi, dan tujuan seks sehingga ia dapat menyalurkan secara baik, benar, dan
legal, dan dampak apa yang akan terjadi apabila melakukan hubungan seks yang bebas.
Jika dari keluarga tidak memberikan kontrol yang kuat sebagai agen sosialisasi primer,
dan mendapat informasi dari lingkungan luar dapat mengakibatkaan salah
menginterpretasikan informasi yang diterima tersebut.
100
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
5.
KESIMPULAN
5.1 Aspek budaya sangat mempengaruhi perilaku seksual seseorang. Budaya juga dapat
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan tersebut
dapat berdampak positif yang menguntungkan setiap anggota dari budaya tersebut
dan dapat juga berdampak negatif yang dapat merugikan anggotanya.
5.2 Budaya rebu dibuat sebagai kontrol sosial dari norma adat masyarakat Karo, untuk
menghindari perilaku seks bebas dalam suatu keluarga Karo. Selain itu masyarakat
Karo juga yang masih tabu dalam membicarakan pendidikan seks terlalu vulgar.
Disadari atau tidak sikap seperti ini pada tingkatan tertentu mengakibatkan
seseorang yang akan menanjak dewasa tidak diberi pembekalan yang baik dan
terarah mengenai perilaku seksual yang seharusnya.
5.3 Budaya Patriarkat yang dianut oleh masyarakat Karo memiliki dampak yang
merugikan pada kaum perempuan, sebagai pihak yang lemah. Dimana laki-laki
adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki dibenarkan untuk
menguasai
dan
mengontrol
perempuan.
Hal
ini
menjadikan
perempuan
tersubordinasi.
5.4 Terdapat interpretasi yang keliru terhadap stereotip jender yang tersosialisasi amat
lama dimana perempuan dianggap lemah, sedangkan laki-laki, umumnya lebih kuat.
Sehingga dengan melemahnya kaum perempuan, membuat perempuan tidak dapat
berpendapat dan memutuskan keputusan dalam berbagai hal, termasuk dalam
masalah seksual, yang nantinya dapat berdampak ketidakadilan dan kekerasan
seksual dalam rumah tangga dan berujung penyeberan virus HIV tersebut.
6.
SARAN
6.1 Dapat memilah-milah segala pengaruh-pengaruh yang masuk mempengaruhi
budaya kita, yang mana akan menimbulkan dampak positif dan yang mana nantinya
akan menimbulkan dampak negatif. Diharapkan kita dapat memilih yang mana
budaya yang memang masih dapat kita laksanakan dan budaya yang sudah dapat
kita modifikasi sesuai dengan perkembangan zaman tanpa menghilangkan ciri khas
dari budaya tersebut.
6.2 Meskipun masyarakat Karo menganut budaya patriarkat, diharapkan kaum laki-laki
bisa lebih menghargai kaum perempuan, yang mana perempuan juga masih berada
dalam tatanan struktur sosial. Budaya patriarkat diharapkan dapat memberikan rasa
101
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
keamanan pada kaum perempuan sebagai pihak yang lemah, sehingga tercipta
keseimbangan antara peran laki-laki dan perempuan.
6.3 Melihat persoalan HIV/AIDS di Sumatera Utara sudah semakin rumit, perlu adanya
perhatian dalam penanganan HIV/AIDS dengan kerjasama lintas sektoral yaitu
pemerintah dengan dinas kesehatan, dinas hukum dan keamanan, lembaga swasta
seperti Sahiva dan lembaga dunia yang ikut menangani permasalahan HIV/AIDS.
6.4 Perhatian serius dari masyarakat Batak khususnya Karo dalam pendidikan seks
terhadap kawula muda sebagai penerus suku karo, bila ini tidak terjadi lamakelamaan suku karo akan punah dari negara Indonesia yg berbhineka tunggal ika.
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Ana Nadhya, Tamtari Wini (Ed), (2001). Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan
Kekuasaan. Yogyakarta: UGM.
Arivia, Gadis. 2003. Filsafat berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Bangun, Tridah, (1986). Adat dan Upacara Perkawinan Masyarakat Batak Karo, Jakarta:
Kesaint Blanc.
Bungin, Burhan, (2008). Sosiologi Komunikasi-Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi
Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Ditjen PP & PL Kemenkes RI, (2013). Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Jakarta.
Djekky R. Djoht, (2003). Antropologi Papua, Waria Asli Papua dan Potensi Penularan
HIV/AIDS di Papua (Kasus Abepura dan Kota Sorong), Vol 1 No.3 [diunduh 25 Januari
2013)
Dumatubun, A.E, (2003). Antropologi Papua, Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa
Marind-Anim, Vol 1 No. 3 [diunduh 25 Januari 2013]
Giddens, Anthony, (2003). Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Pasuruan: Pedati.
Jones, Pip, (2003). Introduction Social Theory. terjemahan Achmad Fedyani Saifuddin.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Poloma, Margaret, (1994). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Purwaningsih, Sri Sunarti dan Widyatun, (2008). Jurnal Kependudukan Indonesia.
Perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia: Tinjauan Sosio-Demografis, Vol III No. 2
[diunduh 27 Januari 2013]
Sukidin, Basrowi, (2002). Metode Penelitian Kualitatif Perspektif Mikro, Surabaya: Insan
Cendekian.
102
PERSPEKTIF SOSIOLOGI, VOL. 3, NO. 1, OKTOBER 2015
Tarigan, Henry Guntur, (1990). Percikan Budaya Karo. Bandung: Yayasan Merga Silima.
Tong, Rosemarie Putnam, 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis. Bandung: Jalasutra.
Sumber Lain
http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme, diakses pada tanggal 12 Juli 2013, pukul 00.10 WIB
http://www.scribd.com/doc/28956671/FEMINISME, diakses pada tanggal 16 Juli 2013, pukul
10.05 WIB
http://www.jogang.com/2012/06/pengertian-hiv-aids-atau-definisi.html, diakses 28 September
2012, pukul 23.44 WIB
http://www.scribd.com/doc/120742914/Aspek-Sosial-Budaya-dan-Gizi, diakses pada tanggal
25 Januari 2013, pukul 12.00 WIB
103
Download