BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri 1. Definisi Penyesuaian Diri Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjusment yang berarti suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Penyesuaian diri merupakan suatu proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya (Mu’tadin, 2002). Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri yaitu proses yang melibatkan respon-respon mental serta perilaku dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, kekecewaan, dan konflik-konflik untuk mencapai keadaan yang harmonis antara dorongan pribadi dengan lingkungannya. Menurut Hurlock (2000) penyesuaian adalah seberapa jauh kepribadian individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat. Calhoun (dalam Wijaya, 2012) menyatakan bahwa dan Acocella penyesuaian diri adalah interaksi individu yang terus-menerus dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar tempat individu hidup. Kartono (2008) menyatakan bahwa penyesuaian diri dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk mencapai harmoni pada diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati, prasangka, depresi, kemarahan dan emosi negatif yang lain sebagai respon pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis. 14 15 Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri merupakan proses yang terjadi secara terus menerus yang dilakukan oleh seseorang dengan dirinya sendiri kepada orang lain, serta lingkungannya untuk mengatasi konflik, kesulitan, dan rasa frustasi sehingga tercipta suatu hubungan yang serasi antara dirinya dengan lingkungan. 2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri Schneiders (1964) mengungkapkan enam aspek penyesuaian diri, yaitu: a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan Menekankan adanya kontrol dan ketenangan emosi untuk menghadapi permasalahan dan menentukan berbagai kemungkinan pemecahan masalah. Jadi, individu bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi lebih pada kontrol emosi ketika menghadapi situasi tertentu. b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal Seseorang dikategorikan normal apabila bersedia mengakui kegagalan yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Seseorang dikatakan mengalami gangguan penyesuaian apabila mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak berharga untuk dicapai. c. Frustasi personal yang minimal Individu yang mengalami frustasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya dan tanpa harapan, sehingga sulit mengorganisasikan kemampuan berpikir dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian. 16 d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri Menjelaskan seseorang yang memiliki kemampuan berpikir dan melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik dan kemampuan mengorganisasikan pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk memecahkan masalah, dalam kondisi sulit sekalipun akan menunjukkan penyesuaian diri yang baik apabila seseorang dikuasai oleh emosi yang berlebihan ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik. e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu Penyesuaian diri yang ditunjukkan oleh individu merupakan proses belajar berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres. f. Sikap realistik dan objektif Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional, kemampuan menilai situasi, masalah, dan keterbatasan individu sesuai dengan kenyataan. Menurut Mu’tadin Zainun (2002), penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu: a. Penyesuaian Pribadi. Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut. 17 Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci, lari dari kenyataan atau tanggung jawab, kecewa, dan tidak percaya diri. Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya goncangan atau kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa kurang, dan keluhan terhadap nasib yang dialami. Sebaliknya, kegagalan penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan, ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib yang dialami b. Penyesuaian Sosial. Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu berinteraksi dengan orang lain, mencakup hubungan dengan masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara umum. Setiap individu merupakan bagian dari masyarakat yang saling memengaruhi satu sama lain yang mempunyai aturan, hukum, adat, dan nilai-nilai yang dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari. Individu dituntut dapat mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan. Hurlock (2000) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri, yaitu: a. Penampilan nyata. Overt performance yang diperlihatkan individu sesuai dengan norma yang berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut. b. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok. Individu mampu menyesuaikan diri secara baik dengan setiap kelompok yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun orang dewasa. 18 c. Sikap sosial. Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, ikut pula berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik dalam kegiatan sosial. d. Kepuasan pribadi. Kepuasan pribadi ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompok dan mampu menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian akan menggunakan aspek penyesuaian diri menurut Mu’tadin (2002) yaitu penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial. Hal ini dikarenakan peneliti memandang bahwa aspek penyesuaian diri yang diungkapkan oleh Mu’tadin (2002) sesuai dengan konstruk yang akan diteliti oleh peneliti yaitu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan diri sendiri maupun dengan orang lain yang berada dilingkungan sosialnya. 3. Pembentukan Penyesuaian Diri Menurut Mu’tadin (2002), lingkungan yang dapat menciptakan penyesuaian diri adalah: a. Lingkungan Keluarga Kedekatan individu dengan keluarga merupakan kebutuhan pokok untuk perkembangan jiwa dan sangat berpengaruh terhadap kemampuan menyesuaikan diri. Orang tua yang memperhatikan dan mengawasi anakanaknya dengan baik, maka anak-anaknya akan merasa mendapat 19 kehangatan, kebahagiaan, dan rasa aman. Banyak hal yang dipelajari dalam lingkungan keluarga, seperti belajar tidak menjadi egois, terbuka, berbagi dengan keluarga, belajar menghargai orang lain, belajar cara bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, mempelajari adat dan kebiasaan serta norma dalam kehidupan sehari-hari. b. Lingkungan Teman Sebaya Hubungan yang erat dalam lingkungan teman sebaya merupakan hal yang penting bagi penyesuaian diri yaitu individu merasa nyaman dengan teman-temannya. Seseorang dapat mencurahkan perasaannya, pemikiran, cita-cita, dan dorongan. c. Lingkungan Sekolah Sekolah adalah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, informasi, dan tanggung jawab pendidikan. Guru atau dosen adalah pendidik dalam pembentukan kehidupan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara menyusun program pendidikan sesuai dengan perkembangan. Proses pendidikan menciptakan penyesuaian individu dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan seseuai kepentingan perkembangan seseorang. 4. Faktor-faktor Penyesuaian Diri Menurut Soeparwoto (2004) ada dua faktor penyesuaian diri, yaitu: a. Faktor internal 1) Motif, yaitu motif-motif sosial seperti motif berprestasi. 20 2) Konsep diri, yaitu cara memandang dirinya sendiri. Seseorang dengan konsep diri tinggi akan memiliki kemampuan untuk melakukan penyesuaian diri dibanding dengan seseorang dengan konsep diri rendah, pesimis, atau kurang yakin terhadap diri sendiri. 3) Persepsi, yaitu pengamatan dan penilaian terhadap objek dan peristiwa. 4) Sikap, yaitu kecenderungan untuk berperilaku positif atau negatif. Seseorang yang bersikap positif akan lebih mudah melakukan penyesuaian diri yang baik daripada seseorang yang bersikap negatif. 5) Intelegensi dan minat, intelegensi sebagai modal untuk menalar dan menganalisis menjadi dasar dalam penyesuaian diri. Faktor minat, apabila seseorang telah memiliki minat terhadap sesuatu, maka proses penyesuaian diri akan lebih cepat. 6) Kepribadian, tipe kepribadian ekstrovert akan lebih dinamis dan lentur, sehingga akan lebih mudah melakukan penyesuaian diri dibandingkan tipe kepribadian introvert yang cenderung statis dan kaku. b. Faktor eksternal 1) Keluarga, dalam hal ini terutama pola asuh orang tua. Pola asuh demokratis dengan suasana terbuka akan lebih memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan proses penyesuaian diri. 2) Kondisi sekolah. Kondisi sekolah yang sehat akan membantu seseorang untuk dapat menyesuaikan diri secara harmonis. 3) Kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya akan dapat membantu pengembangan proses penyesuaian diri pada seseorang. 21 4) Prasangka sosial. Kecenderungan sebagian orang yang berprasangka terhadap seseorang, misalnya memberi label nakal, sulit diatur, dan suka menentang. 5) Hukum dan norma sosial. Bila suatu masyarakat tegas dalam menegakkan hukum dan norma yang berlaku, maka dapat membantu seseorang untuk dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik. Hurlock (2000) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri individu di sekolah, yaitu: a. Teman-teman sebaya. Individu dengan teman-teman sebayanya mulai belajar bahwa standar perilaku yang dipelajari mereka di rumah sama dengan standar teman dan beberapa yang lain berbeda. Oleh karena itu, individu akan belajar tentang apa yang dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima dan apa yang dianggap sebagai perilaku yang tidak dapat diterima. b. Guru atau dosen. Secara langsung guru atau dosen dapat memengaruhi konsep diri individu dengan sikap terhadap tugas-tugas pelajaran serta perhatian terhadap siswa atau mahasiswa. Guru atau dosen yang memiliki penyesuaian diri baik biasanya penuh kehangatan dan bersikap menerima siswa atau mahasiswa. c. Peraturan sekolah. Peraturan sekolah memperkenalkan pada individu perilaku yang disetujui dan perilaku yang tidak disetujui oleh anggota kelompok tempat individu belajar, apa yang dianggap salah dan benar oleh kelompok sosial. 22 B. Adversity Quotient 1. Pengertian Adversity Quotient Dalam kamus bahasa inggris adversity berasal dari kata adverse yang artinya kesengsaraan dan kemalangan. Quotient menurut kamus bahasa inggris adalah jumlah dari kualitas atau karakteristik untuk mengukur kemampuan seseorang. Stoltz (2000) mendefinisikan adversity quotient yaitu suatu ukuran untuk mengetahui daya juang individu dalam menghadapi kesulitan, kepercayaan diri dalam menguasai hidup dan kemampuan untuk mengatasi tantangan dan hambatan yang dihadapi dalam memperoleh kesuksesan. Teori adversity quotient yang dipublikasikan oleh Stoltz (2000) merupakan terobosan penting dalam pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan. Adversity quotient ini merupakan daya juang seseorang dalam menghadapi tantangan-tantangan atau masalah dalam kehidupan (Stoltz, 2000). Adversity quotient dapat dilihat dalam tiga bentuk (Stoltz, 2000), yaitu: a. Adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. b. Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan. c. Adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons seseorang terhadap kesulitan. Berdasarkan ketiga unsur tersebut, maka adversity quotient merupakan daya tahan seseorang untuk mengatasi krisis dan kesulitan, kemampuan menyelesaikan masalah dan mengatasi hambatan dalam memperoleh kesuksesan. 23 Stoltz (2000) mengemukakan setiap orang dilahirkan untuk mendaki karena hidup bagaikan mendaki sebuah gunung, tetapi setiap orang memiliki respon yang berbeda pada pendakian. Maka, terdapat tiga kelompok manusia yaitu: a. Quitters (Mereka yang berhenti) Quitters adalah individu yang langsung berhenti di awal pendakian, memilih untuk keluar, mundur dan berhenti, selalu memilih jalan keluar yang lebih datar dan lebih mudah. Individu ini pada umumnya bekerja sekedar untuk hidup, semangat kerja minim, tidak berani mengambil resiko, tidak kreatif, menolak kesempatan, dan meninggalkan dorongan manusiawi untuk mendaki. Individu ini juga tidak memiliki visi dan misi yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan. b. Campers (Mereka yang berkemah) Campers adalah individu yang berhenti dan tinggal ditengah pendakian. Mendaki secukupnya lalu berhenti mengakhiri pendakiannya. Umumnya setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya, ia mencari tempat datar yang nyaman sebagai tempat persembunyian dari situasi yang tidak bersahabat. Sifatnya adalah satisficer yaitu merasa puas diri dengan hasil yang sudah dicapai. Berbeda dengan quitter, champer setidaknya telah menghadapi tantangan pendakian, mereka telah mencapai tingkat tertentu. c. Climbers (Pendaki) Climbers adalah individu yang seumur hidupnya membaktikan dirinya pada pendakian, tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climbers adalah pemikir yang selalu 24 memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan menghiraukan hambatan menghalangi usahanya. Para climbers yakni mereka yang mempunyai usaha dan keberanian menghadapi resiko. Dalam konteks ini, para climbers yaitu mereka yang memiliki adversity quotient tinggi. 2. Aspek-aspek Adversity Quotient Stoltz (2000) menjelaskan adversity quotient terdiri atas empat dimensi yaitu CO2RE (Control, Origin and Ownership, Reach, dan Endurance). a. Control (Kendali) Dimensi ini mengungkap berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa sulit. Perbedaan antara respon adversity quotient yang rendah dan adversity quotient yang tinggi adalah individu yang memiliki adversity quotient tinggi akan merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa dalam hidup daripada yang memiliki adversity quotient rendah. Individu yang memiliki adversity quotient tinggi cenderung melakukan pendakian dan relatif kebal terhadap ketidakberdayaan, sementara orang yang memiliki adversity quotient rendah cenderung berkemah atau berhenti. b. Origin dan Ownership (asal usul dan pengakuan) Dimensi ini mengungkapkan siapa atau apa yang menjadi asal-usul kesulitan, dan menjelaskan bagaimana seseorang memandang sumber masalah yang ada. Apakah ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber dari dirinya atau ada faktor-faktor lain diluar dirinya. Individu 25 yang memiliki adversity quotient rendah cenderung melihat dirinya sendiri sebagai penyebab kesulitan. Rasa bersalah dapat membantu individu untuk belajar dengan cenderung merenungkan diri. Mempermasalahkan diri sendiri boleh dilakukan hanya sampai tahap tertentu, jangan sampai melampaui peran individu dalam mengatasi kesulitan. Individu yang memiliki adversity quotient rendah akan mengelak dari peristiwa-peristiwa buruk, selalu menyalahkan orang lain, dan tidak akan belajar apa-apa. Ownership menyatakan individu tidak terlalu menyalahkan diri sendiri, tetapi tetap merasa bertanggung jawab untuk mengatasi kesulitan yang dialami. Individu yang memiliki skor ownership tinggi akan mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Adapun individu yang memiliki skor ownership sedang memiliki cukup tanggung jawab atas kesulitan yang terjadi, tapi mungkin akan menyalahkan diri sendiri atau orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang memiliki skor ownership yang rendah akan menyangkal tanggung jawab dan menyalahkan orang lain atas kesulitan yang terjadi. c. Reach (Jangkauan) Dimensi ini mempertanyakan: sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu? Respon-respon dengan adversity quotient rendah akan membuat kesulitan memasuki segi-segi lain dari kehidupan seseorang. Semakin rendah skor R, semakin besar kemungkinan individu menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai 26 bencana. Semakin tinggi skor R, maka semakin besar kemungkinan individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang dihadapi. d. Endurance (Daya tahan) Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu : Berapa lamakah kesulitan akan berlangsung? Dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung? Semakin rendah skor E, semakin besar kemungkinan individu menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya akan berlangsung lama. Individu yang melihat kemampuannya sebagai penyebab kegagalan cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha yang mereka lakukan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan aspek adversity quotient terdiri atas empat dimensi, yaitu Control, Origin and Ownership, Reach, dan Endurance. 3. Teknik-teknik Meningkatkan Adversity Quotient Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient dapat ditingkatkan atau diperbaiki dangan melakukan hal-hal sebagai berikut: a) Listen atau mendengarkan respon-respon kesulitan b) Explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya c) Analysis atau analisis bukti-buktinya, dan d) Do atau lakukan sesuatu. Keempat teknik yang dikemukakan oleh Stoltz (2000) ini dapat disingkat dengan kata LEAD. Teknik kognitif dan perilaku seperti LEAD ini efektif karena dapat mengubah sistem di otak. Pokok pikiran akan mengubah fisiologi otak, 27 agar membiasakan otak untuk menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan, dengan mempertanyakan respon-respon distruktif terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan. Rangkaian LEAD didasarkan pada pengertian bahwa individu dapat mengubah keberhasilan dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan berfikir. Hasilnya adalah keuletan emosional dan berjiwa besar sebagai respon terhadap tekanan hidup sehari-hari (Stoltz, 2000). C. Dukungan Sosial Teman Sebaya 1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya a. Pengertian Dukungan Sosial Gottlieb (dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan sosial terdiri dari informasi verbal maupun nonverbal, nasehat, bantuan yang nyata, dan tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan individu di dalam lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Johnson dan Johnson (2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai keberadaan orang lain yang dapat memberikan bantuan, dorongan, penerimaan, dan perhatian kepada seseorang. Sarafino (2011) menyatakan dukungan sosial yaitu bentuk penerimaan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap individu yang menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa ia disayangi, diperhatikan, dihargai, dan ditolong. Sarason (2001) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan, kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai 28 dan menyayangi kita. Kartika (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial merupakan dukungan yang diterima individu atau kelompok dari orang-orang tertentu dalam kehidupannya, yang merupakan hasil dari interaksi sosial, dan berada dalam lingkungan sosial tertentu yang membuat penerima merasa diperhatikan, dihargai, dan dicintai. b. Pengertian Teman Sebaya Teman sebaya atau peer adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama (Santrock, 2003). Dalam kelompok teman sebaya, individu akan merasakan adanya kesamaan satu sama lain, seperti usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat memperkuat kelompok tersebut. Fungsi dari teman sebaya ini dapat memberikan umpan balik kepada mahasiswa mengenai kemampuan mahasiswa tersebut. Di dalam kelompok teman sebaya, mahasiswa tahun pertama belajar untuk melihat apakah tindakannya lebih baik, sama baik, atau kurang baik dibandingkan dengan mahasiswa lainnya. c. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya Dukungan sosial teman sebaya dapat diartikan sebagai dukungan yang diberikan kepada individu oleh kelompok sebayanya berupa perhatian, kenyamanan, penghargaan maupun bantuan (Kartika, 2011). Cowie dan Wallace (2000) mengungkapkan bahwa dukungan sosial teman sebaya 29 merupakan dukungan sosial yang dibangun dan bersumber dari teman sebaya yang menawarkan bantuan kepada teman lainnya, dan hal tersebut dapat terjadi dimanapun dan di kelompok sebaya manapun serta bagaimana memberikan dukungan di saat teman lainnya dalam kesulitan. Berdasarkan uraian di atas, dukungan sosial teman sebaya merupakan suatu dukungan yang diberikan orang-orang disekitarnya berupa bantuan, dorongan, penerimaan dan perhatian kepada seseorang yang dapat membantu mengurangi beban dalam menghadapi permasalahan dan tekanan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat yang berasal dari teman sebayanya. 2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Teman Sebaya Sarafino (2011) mengklasifikasikan dukungan sosial dalam lima aspek, yaitu: a. Emotional support (Dukungan Emosional) Merupakan dukungan yang paling berharga karena memungkinkan individu memperoleh kedekatan emosional sehingga menimbulkan perasaan aman, diperhatikan, dan diterima oleh lingkungannya. Adanya ekspresi kasih sayang, empati, dan perhatian dari orang-orang yang memiliki hubungan dekat dapat memberikan rasa nyaman, ketenangan, dan kepercayaan bahwa dirinya dicintai dan diperhatikan. b. Social integration / network support (Dukungan Jaringan Sosial) Dukungan yang berasal dari jaringan sosial merupakan bentuk dukungan dengan memberikan rasa kebersamaan dalam kelompok serta berbagi dalam hal minat dan aktivitas sosial. Hubungan sosial ini memungkinkan 30 adanya persahabatan. Sumber dukungan ini dapat meningkatkan rasa aman, nyaman, perasaan memiliki dan dimiliki dalam kelompok. c. Esteem support (Dukungan Penghargaan) Dukungan penghargaan merupakan penilaian positif yang diberikan oleh orang lain dengan cara memberikan penghargaan, persetujuan tentang ideide atau perasaan dari individu tersebut dan perbandingan positif dari individu dengan orang lain yang keadaannya lebih baik atau lebih buruk. Dukungan ini melibatkan penghargaan atas kemampuan seseorang dalam menghadapi atau menyelesaikan masalah. Adanya hubungan yang saling menerima dan menghargai menimbulkan sumber keterbukaan dan keaktifan dalam menyelesaikan persoalan. d. Instrumental Support (Dukungan Instrumental) Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan langsung yang diwujudkan dalam bentuk material atau jasa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah secara praktis. Dukungan instrumen atau bantuan nyata yang terjadi disaat individu mengalami keterbatasan fisik seperti sakit atau luka, maka dukungan tersebut bersifat meringankan beban tugas dan efisiensi waktu. e. Information support (Dukungan Informasi) Dukungan informasi adalah suatu dukungan yang memungkinkan individu mendapat informasi, saran, nasehat, dan pedoman praktis untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Individu akan mulai mencari informasi mengenai sebab-sebab masalah, pengetahuan tentang sumber masalah, dan 31 petunjuk mengenai tindak solusi yang dapat diambil, ketika individu dihadapkan kepada suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan mudah dan cepat. House (dalam Smet, 1994) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari empat aspek, yaitu: a. Dukungan emosional Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang-orang yang bersangkutan. Dukungan ini meliputi perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain. b. Dukungan penghargaan Dukungan penghargaan mencakup ungkapan rasa hormat (penghargaan) secara positif kepada orang lain, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan satu orang dengan orang lain. Bentuk dukungan ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan berharga atas diri sendiri, kompeten, dan bermakna. c. Dukungan instrumental Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung yang diberikan oleh orang lain berupa bantuan pinjaman atau menolong beban kerja orang lain. Bentuk dukungan ini seperti meminjamkan uang, barang, transportasi, dan membantu menyelesaikan tugas. d. Dukungan informasi Dukungan bantuan mencakup bantuan berupa pemberian nasihat, petunjuk, saran, atau umpan balik. 32 Weiss (dalam Cutrona, 1994) mengemukakan enam komponen dukungan sosial yang disebut “The Social Provision Scale” yaitu: a. Instrumental Support 1) Reliable Alliance (Ketergantungan yang dapat diandalkan) Individu mendapat jaminan bahwa ada individu lain yang dapat diandalkan bantuannya ketika ia membutuhkan bantuan. Bantuan yang diberikan bersifat nyata dan langsung. Individu yang menerima bantuan ini akan merasa tenang karena menyadari ada orang lain yang dapat diandalkan untuk menolongnya. 2) Guidance (Bimbingan) Berupa saran, nasihat, dan informasi yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini dapat berupa feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah dilakukan. b. Emotional Support 1) Reassurance of Worth (Pengakuan Positif) Berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu. Dukungan ini membuat individu merasa dirinya diterima dan dihargai. 2) Emotional Attachment (Kedekatan emosional) Dukungan sosial ini berupa pengekspresian dari kasih sayang, cinta, perhatian dan kepercayaan yang diterima individu, yang dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima. 33 3) Social Integration (Integrasi sosial) Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan secara bersamasama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok yang memiliki persamaan minat. 4) Opportunity to Provide Nurturance (Kesempatan untuk mengasuh) Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal adalah perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan. Berdasarkan berbagai pendapat dari tokoh di atas, penelitian ini menggunakan aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh House (dalam Smet, 1994) untuk dijadikan acuan skala dukungan sosial teman sebaya yang terbagi menjadi empat aspek yakni dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. 3. Fungsi Dukungan Sosial Teman Sebaya Menurut Wills dan Shinar (2000), dukungan sosial mempunyai fungsi yaitu: a. Esteem support. Dalam kehidupan seseorang akan mengalami berbagai tantangan sehingga muncul keraguan terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi 34 segala kesulitan tersebut. Adanya hubungan interpersonal mempunyai pengaruh kuat untuk menetralkan setiap tantangan dengan cara menceritakan masalah yang dihadapi kepada orang lain. Hubungan yang tercipta yaitu saling membantu dan saling mendengarkan dengan penuh perhatian, memberi simpati, dan dukungan berbagai pengalaman. Orang yang mendapat penerimaan dan persetujuan dari significant others akan meningkatkan evaluasi diri dan harga diri. b. Informational support Dukungan informasi berupa pengetahuan baru, nasihat, dan bimbingan akan membantu individu melakukan pemecahan masalah sehingga individu memperoleh jalan keluar yang efektif untuk mengatasi permasalahannya. Jika permasalahan belum dapat diselesaikan, maka individu akan mulai mencari informasi tentang sifat masalah dan bimbingan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan. c. Instrumental support Dukungan instumental juga disebut dengan dukungan nyata, misalnya berupa alat dan material yaitu meminjamkan uang, penyediaan transportasi, buku, dan membantu tugas-tugas. Bantuan yang diberikan sangat penting. Kondisi ini berkaitan dengan kesejahteraan seseorang. d. Motivational support Dukungan berupa semangat kepada seseorang untuk berusaha menemukan solusi atas permasalahannya, meyakinkan individu tersebut akan sukses dan meyakinkan bahwa permasalahan akan dapat teratasi bersama. 35 Johnson dan Johnson (2000) mengungkapkan bahwa dukungan sosial memiliki empat fungsi, yaitu: a. Meningkatkan produktivitas melalui peningkatan motivasi, kualitas, penalaran dan mengurangi dampak stress. b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kemampuan penyesuaian diri melalui perasaan memiliki, peningkatan harga diri, pengurangan stres dan penyediaan sumber yang dibutuhkan. c. Adanya hubungan dekat dengan orang lain akan meningkatkan kesehatan fisik dibandingkan dengan individu yang terisolasi. d. Manajemen stres dengan cara seseorang dalam menghadapi masalah yang terfokus pada pengurangan reaksi stres melalui perhatian, informasi, dan umpan balik yang diperlukan untuk mengurangi kecemasan. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, fungsi dari dukungan sosial teman sebaya yakni berupa esteem support, informational support, instrumental support, dan motivational support. D. Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama 1. Definisi Mahasiswa Perantauan Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Menurut Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab VI bagian keempat pasal 19, mahasiswa adalah sebutan akademis 36 untuk siswa atau murid yang telah sampai kejenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Definisi mahasiswa juga diungkapkan oleh Sarwono (2009) yaitu setiap orang yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di perguruan tinggi dengan batasan usia antara 17-18 tahun. Ia juga mendefinisikan mahasiswa sebagai suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena ikatan dengan perguruan tinggi. Menurut Roeslan Abdul Gani (1997) mahasiswa adalah individu yang sedang menuntut ilmu pengetahuan di perguruan tinggi. Kata “Rantau” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai daerah diluar daerah sendiri atau daerah di luar kampung halaman, daerah asing. Kata “Perantau” didefinisikan sebagai seseorang yang pergi atau mencari penghidupan di daerah lain (Mochtar, 1979). Mochtar (1979) menyatakan bahwa perantau memiliki enam unsur pokok, yaitu: a. Meninggalkan kampung halaman b. Dengan kemauan sendiri c. Jangka waktu lama atau tidak d. Tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu, dan mencari pengalaman e. Biasanya dengan maksud kembali pulang f. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya Mochtar (1979) mendefinisikan mahasiswa perantau adalah individu yang memutuskan untuk menuntut ilmu diluar daerah asalnya dalam jangka waktu tertentu dan atas kemauan sendiri. 37 Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan mahasiswa perantauan tahun pertama adalah peserta didik yang terdaftar dan menuntut ilmu di perguruan tinggi pada semester satu dan dua yang berasal dari luar daerah asalnya. 2. Isu yang Terjadi pada Mahasiswa Tahun Pertama Mahasiswa tahun pertama adalah mahasiswa yang menuntut ilmu pengetahuan di perguruan tinggi yang sedang berada pada tahun pertama atau semester satu dan dua. Menurut Gunarsa (2004), mahasiswa tahun pertama termasuk kedalam remaja akhir. Sebagai insan remaja yang berada pada rentang masa remaja akhir, mahasiswa mengalami hal serupa sebgaaimana yang dialami setiap individu pada periode perkembangan tersebut. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata adoloscere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock, 2000). Menurut Hurlock (2000) remaja adalah periode yang penting dalam kehidupan seseorang, periode peralihan, periode perubahan, usia bermasalah, tahap pencarian identitas, dan usia yang menimbulkan ketakutan. Beberapa ahli psikologi perkembangan menyatakan periode antara remaja akhir sampai pertengahan atau akhir usia 20-an berada di tahap emerging adulthood (Papalia, Feldman 2009). Mahasiswa biasanya berada pada usia 17 sampai 22 tahun belum dapat dikatakan dewasa. Tahap emerging adulthood merupakan periode eksplorasi, waktunya melakukan segala kemungkinan dan kesempatan untuk melakukan hal-hal baru dan cara hidup yang berbeda yaitu saat seseorang belum siap dalam melaksanakan tugas-tugas orang dewasa. 38 Terdapat beberapa isu perkembangan yang dialami oleh seseorang pada periode emerging adulthood, salah satunya adalah isu pendidikan. Pada periode ini biasanya seseorang sedang berada pada masa transisi dari Sekolah Menengah Atas ke perguruan tinggi. Beberapa perbedaan sifat antara pendidikan di SMA dan perguruan tinggi dapat menyebabkan mahasiswa kesulitan dalam menyesuaikan diri. Papalia dan Feldman (2009) menjelaskan bahwa banyak mahasiswa baru atau mahasiswa tahun pertama sangat kesulitan dan tidak berdaya karena tuntutan di perguruan tinggi. Selaku insan remaja, mahasiswa memiliki beberapa persoalan yang dihadapi dalam memenuhi tugas perkembangannya sebagai bagian dari civitas akademika, yaitu: a. Kesulitan dalam menghadapi dunia dan masyarakat baru, yaitu dalam pemilihan jurusan, perguruan tinggi, daerah tempat belajar, dan penyesuaian dengan lingkungan baru. b. Kesuitan dalam mengatur diri sendiri, yang meliputi pengaturan waktu belajar, menambah pengalaman, masalah disiplin diri, dan kebiasaankebiasaan yang baik. c. Kesulitan dalam menghadapu persaingan, baik dalam pergaulan, prestasi, dan pengabdian di masyarakat. Penyesuaian diri yang baik dapat menjadi modal bagi mahasisa untuk mengatasi persoalan yang akan dihadapinya, khususnya dalam menjalankan tugas perkembangan. 39 3. Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Mahasiswa yang merantau seharusnya dapat menyesuaikan diri dengan cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda etnis dan budaya. Mahasiswa perantauan tahun pertama berada pada masa remaja akhir dan menghadapi berbagai kesulitan terkait penyesuaian diri, sehingga mahasiswa perantau membutuhkan bantuan baik dalam menyesuaikan diri ke statusnya sebagai mahasiswa dengan berbagai persoalan pergaulan maupun dalam studi. Menurut Gunarsa (2004), kesulitan penyesuaian diri pada mahasiswa yaitu: a. Perbedaan sifat di SLTA dan Perguruan Tinggi Kurikulum. Kurikulum di perguruan tinggi biasanya lebih sedikit daripada SLTA, tetapi lebih mendalam. Apabila mahasiswa menyukai bidang yang dipilihnya, maka kelanjutan kelanjutan studi dan kegiatan belajar akan lebih lancar, sebaliknya apabila mahasiswa tidak menyukai bidang yang dipilihnya maka bisa menimbulkan gangguan penyesuaian diri. Kedisiplinan. Disiplin di perguruan tinggi tidak terlalu ketat dibandingkan dengan SLTA karena mahasiswa dianggap sudah dewasa dan bisa bertanggung jawab. Longgarnya kedisiplinan mengubah cara belajar yang membuat mahasiswa lebih bebas dan menyebabkan kesulitan tersendiri. b. Hubungan dosen dengan mahasiswa. Mahasiswa harus menyesuaikan diri terhadap cara dosen memberikan perkuliahan. Mahasiswa harus lebih rajin berdialog dengan dosen agar terjadi hubungan baik antara dosen dengan mahasiswa. 40 c. Hubungan sosial Mahasiswa perantauan lebih bebas untuk bergaul ketika memasuki dunia perkuliahan. Kebebasan tersebut dapat menjadi masalah yang cukup sulit bagi mahasiswa, seperti kesulitan penyesuaian diri dan keterlibatan terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa berdampak negatif. d. Masalah ekonomi Masalah ekonomi menentukan kelancaran studi mahasiswa. Apabila masalah ekonomi lancar dan orang tua mampu membiayai maka studi mahasiswa bisa lancar, namun jika masalah ekonomi tidak lancar dan orang tua kurang mampu membiayai maka muncul masalah keuangan. Hal ini dapat diatasi dengan mahasiswa kuliah sambil bekerja. e. Pemilihan bidang studi atau jurusan Mahasiswa sering mengorbankan bidang studi yang diminati karena kesempatan tersebut sulit diperoleh, sehingga mahasiswa sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus. Antara bakat dan minat dengan kesempatan yang ada sering menimbulkan masalah. 4. Faktor-faktor Merantau Faktor-faktor yang memengaruhi merantau menurut Mochtar (1979) adalah: a. Faktor fisik (ekologis dan lokasi) Terpencilnya daerah tempat tinggal dan sulitnya jangkauan sehingga membuat seseorang perkembangan. merasa tertinggal dan tidak mengalami 41 b. Faktor ekonomi (tekanan ekonomi) Sulitnya hidup di daerah, kurang kesempatan kerja di daerah, mencari pekerjaan, berdagang, tidak dapat membangun masa depan yang lebih baik ketika di daerah, dan lebih banyak kesempatan karir di daerah rantau. c. Faktor pendidikan Melanjutkan studi, menambah ilmu pengetahuan, mencari pengalaman, mencari keterampilan, dan kurangnya fasilitas pendidikan di daerah. d. Faktor sosial Tekanan adat dan kebiasaan, adat terlalu sempit, pertikaian keluarga, terlalu banyak tanggung jawab sosial, dan sistem sosial yang tertutup. e. Faktor psikis Tidak merasa lega hidup di daerah, mencari kebebasan emosi, pengaruh orang lain, tradisi merantau, menuruti kata hati, ingin bersaing, ingin bertanggung jawab pada diri sendiri, dan hidup mandiri. E. Hubungan Adversity Quotient dan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri pada Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama 1. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama Perguruan tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan memiliki tuntutan yang berbeda pula. Mahasiswa 42 perantauan tahun pertama dihadapkan pada perubahan, tuntutan, dan tanggungjawab yang berbeda dari mahasiswa bukan perantauan. Perubahan tempat tinggal jauh dari rumah, perubahan ritme kegiatan harian, berada dengan orang-orang baru, perubahan cara belajar, dan jauh dari orangtua. Mahasiswa perantauan tahun pertama dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru dan teman-teman baru, serta membangun relasi pertemanan dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, dan menyesuaikan diri dengan budaya dan aturan yang berlaku di lingkungan kampus. Selain itu, mahasiswa perantauan tahun pertama juga harus menghadapi suasana baru dengan sedikit teman yang dimiliki atau bahkan sama sekali tidak mempunyai teman yang berasal dari sekolah yang sama. Oleh karena itu, mahasiswa perantau tahun pertama pada umumnya mengalami kesulitan terkait penyesuaian diri dengan kehidupan di perguruan tinggi. Winkel (2004) mengemukakan gejala-gejala seseorang yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri, yaitu: perilaku membangkang, mudah tersinggung, menarik diri dari lingkungan, dan suka menyinggung perasaan orang lain. Kegagalan dalam penyesuaian diri dapat menyebabkan individu mengalami gangguan psikologis, seperti stress, kecemasan, dan agresifitas (Shneiders, 1964). Penyesuaian diri diperoleh melalui proses belajar, proses sosialisasi, dan proses interaksi, baik dalam keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Seseorang yang memiliki penyesuaian diri yang baik akan memiliki emosi yang cenderung stabil, menyadari penuh siapa dirinya, menerima dan mengenali kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya dan mampu belajar dari pengalaman. 43 Seseorang yang telah berhasil menyesuaikan dirinya dengan baik menurut Baron (dalam Sarwono, 2009) memiliki daya tarik atau penampilan yang menarik, memiliki sifat-sifat yang menyenangkan, sehingga memiliki interpersonal attraction yang positif bagi orang lain. Selain itu, orang lain akan lebih menyukai seseorang yang memiliki perasaan senang, gembira dan mengucapkan kalimat yang menyenangkan atau positif daripada seseorang yang memiliki perasaan negatif seperti kesal dan marah. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik akan lebih mampu mengubah suasana lingkungan sesuai dengan keadaan dirinya. Meskipun lingkungan di kampus kurang mendukung, namun apabila seseorang mampu menyesuaikan diri dengan baik, maka hubungan dengan teman-teman sebaya dan orang-orang dilingkungan kampus akan terjalin dengan harmonis. Penelitian Oktyavera (2009) menunjukkan bahwa penyesuaian diri mahasiswa berkaitan positif dengan kualitas kehidupan di kampus. Kualitas kehidupan di kampus yang tinggi menunjukkan rata-rata mahasiswa mempersepsikan secara baik mengenai aspek-aspek yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Mahasiswa merasa cukup sejahtera, tidak merasa kekurangan dengan apa yang diberikan oleh pihak kampus, cukup puas dengan apa yang diperoleh dan dialami di kampus, seperti kurikulum pendidikan, pola hubungan dengan dosen dan mahasiswa, kegiatan ekstrakurikuler, besar kampus, fasilitas kampus serta pola kehidupan. Untuk mengatasi kesulitan penyesuaian diri, maka dibutuhkan kemampuan untuk memahami, mengenali, sekaligus mengelola kesulitan yang dihadapi agar dapat melewati segala rintangan dalam kehidupan. Disinilah peran daya juang 44 (adversity quotient) dalam diri seseorang. Stoltz (2000) mengemukakan bahwa adversity quotient adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk bertahan menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan, sekaligus mengubah kesulitan menjadi peluang untuk meraih kesuksesan. Kemampuan inilah yang sangat diperlukan oleh mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menyesuaikan diri di lingkungan yang baru. Stoltz (2000) menambahkan adversity quotient dapat berperan dalam melihat sejauh mana seseorang mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi kesulitan itu. Adversity quotient dapat membuat mahasiswa perantauan menjadi seseorang yang ulet dan tekad pantang menyerah. Lasmono (2001) menyatakan bahwa dengan adversity quotient yang tinggi, seseorang akan semakin tegar menghadapi kesulitan dan mampu mengatasi kesulitan dengan tepat sehingga bisa bertahan dengan berbagai rintangan. Jika daya juang rendah maka penyesuaian diri pada mahasiswa perantauan tahun pertama kurang baik, tidak mampu untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang dihadapinya. Penelitian sebelumnya yang mendukung hipotesis penelitian ini yaitu penelitian Susanty (2011) yang menyatakan terdapat hubungan positif dan signifikan antara kecerdasan adversitas dengan penyesuaian diri pada mahasiswa tahun pertama. Kemudian penelitian oleh Fitriany (2008), menemukan terdapat hubungan yang signifikan antara adversiy quotient dengan penyesuaian diri sosial pada mahasiswa perantauan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 45 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa adversity quotient mempunyai peranan penting bagi penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun pertama. Mahasiswa perantauan yang tidak mudah menyerah dan tidak mudah terjebak dalam kondisi keputusasaan menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan baru. Mahasiswa perantauan tahun pertama yang mempunyai adversity quotient tinggi dapat melakukan penyesuaian diri di perguruan tinggi, sebaliknya, apabila adversity quotient yang dimiliki rendah, maka mahasiswa perantauan akan kesulitan dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi. 2. Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama Meningkatnya intensitas pertemuan diantara para mahasiswa mengakibatkan dukungan sosial dari teman sebaya berperan penting bagi kehidupan mahasiswa terutama mahasiswa perantauan. Mahasiswa yang kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan mengharapkan adanya seseorang yang dapat membantu, mengarahkan, atau memberikan dukungan emosional agar dapat menyesuaikan diri dengan baik. Pada kalangan mahasiswa, teman sebaya sangat memengaruhi perkembangan sosialnya. Teman sebaya sangat memiliki peran penting terutama pada tahap perkembangan belajar, mahasiswa yang memiliki banyak teman akan mampu meningkatkan penyesuaian diri (Wijaya, 2012). Interaksi dengan teman sebaya menimbulkan suatu bentuk dukungan sosial yaitu hubungan antarindividu dengan orang-orang yang ada di sekitarnya yang 46 dapat membantu mengurangi beban dalam menghadapi permasalahan dan tekanan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Effendi dan Tjahjono (1999) menyatakan dukungan sosial berperan penting dalam memelihara keadaan psikologis individu yang mengalami tekanan, sehingga menimbulkan pengaruh positif yang dapat mengurangi gangguan psikologis. Selan itu, dukungan sosial dapat dijadikan pelindung untuk melawan perubahan peristiwa kehidupan, sehingga dapat membantu mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru. Di saat mahasiswa mulai merantau dan menjalani kehidupan di perguruan tinggi, mereka mulai keluar dari rumah dan bergaul dalam lingkungan sosial yang lebih luas dengan membentuk suatu kelompok teman sebaya. Santrock (2003) mengungkapkan remaja memiliki kebutuhan yang cukup kuat untuk disukai dan diterima oleh teman sebaya atau kelompok, ketika mereka merasa diterima oleh teman sebayanya maka akan timbul perasaan senang, sebaliknya ketika mereka merasa tidak diterima, diremehkan, atau dikeluarkan dari kelompok teman sebayanya maka mereka akan merasa tertekan dan cemas. Menurut Zastrow dan Ashman (2007), kelompok teman sebaya dapat membantu para remaja dalam bertransisi atau melakukan perubahan dari remaja yang masih tergantung dengan orang tua menjadi remaja yang mandiri. Pertemanan dengan teman-teman sebaya menjadi pengaruh bagi mahasiswa baru yang mendominasi dalam proses identifikasi dan pengembangan dirinya dibandingkan lingkungan keluarga. Pertemanan dimulai dengan satu, dua orang dan terkadang jumlahnya akan semakin bertambah dan memungkinkan terbentuk 47 suatu kelompok sosial mahasiswa yang dasarnya dilandasi oleh persamaan hobi, gagasan, dan gaya hidup. Persahabatan dengan teman sebaya diisi dengan kedekatan, kehangatan, serta dukungan di kala sedih, gagal, atau juga senang. Teman merupakan tempat membagi nilai-nilai hidup. Teman menjadi sangat penting bagi seorang mahasiswa. Hal ini disebabkan karena mahasiswa baru terutama perantauan lebih ingin menghabiskan waktunya jauh dari keluarga, dan pada usia ini kebutuhan lebih tinggi terhadap dukungan sosial. Teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah hidup mahasiswa baru. Peranan positif dari teman sebaya bagi perkembangan kepribadian seorang mahasiswa baru adalah mereka merasa aman dan merasa dianggap penting dalam kelompok persahabatan, dapat tumbuh dengan baik dalam kelompok persahabatan, mendapat tempat yang baik bagi penyaluran rasa kecewa, takut, khawatir, tertekan, gembira, yang mungkin tidak didapatkan di rumah. Empati, penerimaan, dan dukungan sosial positif lainnya dari teman sebaya dapat membantu remaja dalam melewati masa remajanya dengan baik. Remaja mulai dapat mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara menggabungkan diri dengan teman sebaya (Desmita, 2012). Teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pengertian, tempat untuk bereksperimen, dan suasana yang mendukung untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang tua (Wijaya, 2012). Santrock (2003) menekankan bahwa melalui interaksi teman sebaya anak-anak dan remaja mulai belajar pola hubungan timbal balik dan setara. Teman sebaya 48 juga merupakan salah satu agen sosialisasi karena bersama teman sebaya kebutuhan-kebutuhan tertentu dari seorang individu dapat terpenuhi serta teman sebaya dapat memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan sosial, kognitif, dan psikologis. Dukungan teman sebaya merupakan tempat untuk membentuk hubungan dekat yang berfungsi sebagai “latihan” bagi hubungan yang akan remaja bina di masa dewasa (Saguni, 2014). Penelitian dari Aziz dan Fatma (2013) menyampaikan bahwa dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, dari interaksi ini seseorang bisa tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai,dan mencintai dirinya. Individu yang mendapatkan perhatian seperti ini akan termotivasi untuk mencapai tujuan atau keinginannya karena banyak orang yang mendukungnya. Remaja dan kelompok teman sebaya membentuk suatu relasi yang bersifat positif (Santrock, 2003). Contoh dari relasi positif ini yaitu mahasiswa belajar untuk mengeksplorasi prinsip-prinsip kesadaran dan keadilan melalui pengalaman mereka ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan teman sebayanya. Selain itu, mahasiswa juga belajar untuk mengamati dengan teliti terhadap minat dan pandangan teman sebaya, dengan tujuan memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa dukungan sosial teman sebaya mempunyai peranan penting bagi perkembangan emosioal dan sosial pada mahasiswa, sehingga teman sebaya dapat mendukung kematangan perkembangan mahasiswa hingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Mahasiswa perantauan 49 tahun pertama yang mendapatkan dukungan sosial dari teman sebaya yang tinggi dapat meningkatkan penyesuaian diri di perguruan tinggi, sebaliknya apabila dukungan sosial teman sebaya yang didapatkan rendah, maka mahasiswa perantauan akan kesulitan dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi. 3. Hubungan Adversity Quotient dan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama Penyesuaian diri merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menjalani kehidupan di perguruan tinggi. Penyesuaian diri pada perkuliahan adalah tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan akademik atau perkuliahan yang dihadapi untuk menyelesaikan masalah-masalah sekarang maupun selanjutnya dimasa mendatang, sehingga dapat memberikan suatu prestasi untuk dirinya. Mahasiswa perantauan tahun pertama mengalami berbagai perubahan yang terjadi dalam hidupnya, seperti berpisah dengan orang tua dan memiliki sedikit teman di lingkungan kampus yang baru. Perubahan-perubahan itu membuat mahasiswa harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru, seperti lingkungan kampus dan bergaul dengan orang-orang yang bukan berasal dari daerah asalnya. Penyesuaian diri oleh mahasiswa perantauan tahun pertama terlihat dari daya juang yang ada dalam diri individu untuk dapat bertahan dalam lingkungan sosial yang baru dan belum dikenalnya. Daya juang (adversity quotient) yang dimiliki mahasiswa akan menentukan keberhasilan dalam mengatasi permasalahan 50 yang dihadapi di lingkungan baru. Mahasiswa dengan adversity quotient yang tinggi tidak mudah menyerah menghadapi kondisi sulit dan tidak akan mudah terjebak dalam kondisi keputusasaan. Adversity quotient yang mumpuni akan menjadikan individu sebagai pribadi yang ulet dan tekad yang pantang menyerah dalam berbagai situasi. Mahasiswa perantauan tahun pertama yang memiliki adversity quotient tinggi tercermin dari aspek-aspek adversity quotient yaitu control, origin and ownership, reach, dan endurance. Control menunjukkan kemampuan untuk bertahan menghadapi kesulitan-kesulitan di perguruan tinggi dan niat untuk menyelesaikan masalah dengan tidak mudah putus asa. Ownership mencerminkan kemampuan menghindari perilaku yang menyalahkan diri sendiri serta dapat menempatkan tanggung jawab sesuai dengan tempatnya. Reach memperlihatkan keefektifan untuk menahan dan membatasi jangkauan kesulitan dan merasa semakin berdaya. Endurance menunjukkan penyebab-penyebab kesulitan hanya dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya sementara dan cepat berlalu. Pertemanan dengan teman-teman sebaya dalam masa perkuliahan menjadi pengaruh yang mendominasi pada mahasiswa dalam proses identifikasi dan pengembangan dirinya dibandingkan lingkungan keluarga. Persahabatan dengan teman sebaya diisi dengan kedekatan, kehangatan, serta dukungan di kala sedih, gagal, atau senang. Teman merupakan tempat berbagi nilai-nilai hidup. Teman menjadi sangat penting bagi seorang remaja. Hal ini disebabkan karena remaja lebih ingin menghabiskan waktunya jauh dari keluarga, dan pada usia ini kebutuhan lebih tinggi terhadap dukungan sosial. 51 Menurut Mu'tadin (2002) penyesuaian diri akan melibatkan individu dengan lingkungannya, salah satu lingkungan yang memengaruhi penyesuaian mahasiswa tahun pertama adalah lingkungan teman sebaya. Pembentukan hubungan yang erat diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masamasa lainnya. Dukungan sosial yang diterima dari teman sebaya akan membantu mahasiswa menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Peranan positif dari dukungan sosial teman sebaya bagi perkembangan kepribadian mahasiswa perantauan tahun pertama adalah mereka merasa aman dan merasa dianggap penting dalam kelompok persahabatan, dapat tumbuh dengan baik dalam kelompok persahabatan, mendapat tempat yang baik bagi penyaluran rasa kecewa, takut, khawatir, tertekan, gembira, yang mungkin tidak didapatkan di rumah. Ada pula Kartika (2011) yang mengatakan dukungan sosial teman sebaya sangat penting untuk membantu remaja menyelesaikan kesulitan yang tengah mereka hadapi, karena itu menemukan teman sebaya dengan minat sama akan membuat mereka bisa lebih menyesuaikan diri. Sehingga dapat dikatakan bahwa dukungan sosial dari teman sebaya memiliki peran yang berarti bagi remaja itu sendiri. Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa dengan adversity quotient dan dukungan sosial teman sebaya yang tinggi dapat membantu mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru. 52 F. KERANGKA BERPIKIR Adversity Quotient Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama 2 (+) Penyesuaian Diri 1(+) Dukungan Sosial Teman Sebaya 3 (+) Bagan 1. Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan: Anak panah nomor 1 : hipotesis 1 Anak panah nomor 2 : hipotesis 2 Anak panah nomor 3 : hipotesis 3 G. HIPOTESIS Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka penulis menjadikan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan positif antara adversity quotient dan dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun pertama. 2. Terdapat hubungan positif antara adversity quotient dengan penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun pertama. 3. Terdapat hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun pertama.