BAB II LANDASAN TEORI A. Penyesuaian Diri 1. Definisi

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penyesuaian Diri
1. Definisi Penyesuaian Diri
Dalam istilah psikologi, penyesuaian diri disebut dengan istilah adjusment
yang berarti suatu proses untuk mencari titik temu antara kondisi diri sendiri dan
tuntutan lingkungan (Davidoff, 1991). Penyesuaian diri merupakan suatu proses
dinamis yang bertujuan untuk mengubah perilaku individu agar terjadi hubungan
yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya (Mu’tadin, 2002).
Schneiders (1964) mendefinisikan penyesuaian diri yaitu proses yang melibatkan
respon-respon mental serta perilaku dalam upaya mengatasi kebutuhan-kebutuhan
dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, kekecewaan, dan konflik-konflik untuk
mencapai keadaan yang harmonis antara dorongan pribadi dengan lingkungannya.
Menurut Hurlock (2000) penyesuaian adalah seberapa jauh kepribadian
individu berfungsi secara efisien dalam masyarakat. Calhoun
(dalam Wijaya, 2012) menyatakan bahwa
dan Acocella
penyesuaian diri adalah interaksi
individu yang terus-menerus dengan dirinya sendiri, orang lain, dan lingkungan
sekitar tempat individu hidup. Kartono (2008) menyatakan bahwa penyesuaian
diri dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk mencapai harmoni pada
diri sendiri dan pada lingkungan, sehingga rasa permusuhan, dengki, iri hati,
prasangka, depresi, kemarahan dan emosi negatif yang lain sebagai respon
pribadi yang tidak sesuai dan kurang efisien bisa dikikis habis.
14
15
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri
merupakan proses yang terjadi secara terus menerus yang dilakukan oleh
seseorang dengan dirinya sendiri kepada orang lain, serta lingkungannya untuk
mengatasi konflik, kesulitan, dan rasa frustasi sehingga tercipta suatu hubungan
yang serasi antara dirinya dengan lingkungan.
2. Aspek-aspek Penyesuaian Diri
Schneiders (1964) mengungkapkan enam aspek penyesuaian diri, yaitu:
a. Kontrol terhadap emosi yang berlebihan
Menekankan adanya kontrol dan ketenangan emosi untuk menghadapi
permasalahan dan menentukan berbagai kemungkinan pemecahan
masalah. Jadi, individu bukan berarti tidak ada emosi sama sekali, tetapi
lebih pada kontrol emosi ketika menghadapi situasi tertentu.
b. Mekanisme pertahanan diri yang minimal
Seseorang dikategorikan normal apabila bersedia mengakui kegagalan
yang dialami dan berusaha kembali untuk mencapai tujuan yang
ditetapkan. Seseorang dikatakan mengalami gangguan penyesuaian
apabila mengalami kegagalan dan menyatakan bahwa tujuan tersebut tidak
berharga untuk dicapai.
c. Frustasi personal yang minimal
Individu yang mengalami frustasi ditandai dengan perasaan tidak berdaya
dan tanpa harapan, sehingga sulit mengorganisasikan kemampuan berpikir
dan tingkah laku dalam menghadapi situasi yang menuntut penyelesaian.
16
d. Pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri
Menjelaskan seseorang yang memiliki kemampuan berpikir dan
melakukan pertimbangan terhadap masalah atau konflik dan kemampuan
mengorganisasikan pikiran, tingkah laku, dan perasaan untuk memecahkan
masalah, dalam kondisi sulit sekalipun akan menunjukkan penyesuaian
diri yang baik apabila seseorang dikuasai oleh emosi yang berlebihan
ketika berhadapan dengan situasi yang menimbulkan konflik.
e. Kemampuan untuk belajar dan memanfaatkan pengalaman masa lalu
Penyesuaian diri yang ditunjukkan oleh individu merupakan proses belajar
berkesinambungan dari perkembangan individu sebagai hasil dari
kemampuannya mengatasi situasi konflik dan stres.
f. Sikap realistik dan objektif
Sikap yang realistik dan objektif bersumber pada pemikiran yang rasional,
kemampuan menilai situasi, masalah, dan keterbatasan individu sesuai
dengan kenyataan.
Menurut Mu’tadin Zainun (2002), penyesuaian diri memiliki dua aspek yaitu:
a. Penyesuaian Pribadi.
Penyesuaian pribadi merupakan kemampuan individu untuk menerima
dirinya sendiri sehingga tercapai hubungan yang harmonis antara dirinya
dengan lingkungan sekitarnya. Individu menyadari sepenuhnya siapa
dirinya sebenarnya, apa kelebihan dan kekurangannya dan mampu
bertindak obyektif sesuai dengan kondisi dirinya tersebut.
17
Keberhasilan penyesuaian pribadi ditandai dengan tidak adanya rasa benci,
lari dari kenyataan atau tanggung jawab, kecewa, dan tidak percaya diri.
Kehidupan kejiwaannya ditandai dengan tidak adanya goncangan atau
kecemasan yang menyertai rasa bersalah, rasa cemas, rasa tidak puas, rasa
kurang, dan keluhan terhadap nasib yang dialami. Sebaliknya, kegagalan
penyesuaian pribadi ditandai dengan keguncangan emosi, kecemasan,
ketidakpuasan, dan keluhan terhadap nasib yang dialami
b. Penyesuaian Sosial.
Penyesuaian sosial terjadi dalam lingkup hubungan sosial tempat individu
berinteraksi dengan orang lain, mencakup hubungan dengan masyarakat di
sekitar tempat tinggalnya, keluarga, sekolah, teman atau masyarakat secara
umum. Setiap individu merupakan bagian dari masyarakat yang saling
memengaruhi satu sama lain yang mempunyai aturan, hukum, adat, dan
nilai-nilai yang dipatuhi dalam kehidupan sehari-hari. Individu dituntut
dapat mematuhi norma-norma dan peraturan sosial kemasyarakatan.
Hurlock (2000) mengemukakan aspek-aspek dalam penyesuaian diri, yaitu:
a. Penampilan nyata.
Overt performance yang diperlihatkan individu sesuai dengan norma yang
berlaku di dalam kelompoknya, berarti individu dapat memenuhi harapan
kelompok dan dapat diterima menjadi anggota kelompok tersebut.
b. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok.
Individu mampu menyesuaikan diri secara baik dengan setiap kelompok
yang dimasukinya, baik teman sebaya maupun orang dewasa.
18
c. Sikap sosial.
Individu mampu menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang
lain, ikut pula berpartisipasi dan dapat menjalankan perannya dengan baik
dalam kegiatan sosial.
d. Kepuasan pribadi.
Kepuasan pribadi ditandai dengan adanya rasa puas dan perasaan bahagia
karena dapat ikut ambil bagian dalam aktivitas kelompok dan mampu
menerima diri sendiri apa adanya dalam situasi sosial.
Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian akan menggunakan aspek
penyesuaian diri menurut Mu’tadin (2002) yaitu penyesuaian pribadi dan
penyesuaian sosial. Hal ini dikarenakan peneliti memandang bahwa aspek
penyesuaian diri yang diungkapkan oleh Mu’tadin (2002) sesuai dengan konstruk
yang akan diteliti oleh peneliti yaitu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan diri
sendiri maupun dengan orang lain yang berada dilingkungan sosialnya.
3. Pembentukan Penyesuaian Diri
Menurut Mu’tadin (2002), lingkungan yang dapat menciptakan penyesuaian
diri adalah:
a. Lingkungan Keluarga
Kedekatan individu dengan keluarga merupakan kebutuhan pokok untuk
perkembangan jiwa dan sangat berpengaruh terhadap kemampuan
menyesuaikan diri. Orang tua yang memperhatikan dan mengawasi anakanaknya dengan baik, maka anak-anaknya akan merasa mendapat
19
kehangatan, kebahagiaan, dan rasa aman. Banyak hal yang dipelajari
dalam lingkungan keluarga, seperti belajar tidak menjadi egois, terbuka,
berbagi dengan keluarga, belajar menghargai orang lain, belajar cara
bergaul dan berinteraksi dengan orang lain, mempelajari adat dan
kebiasaan serta norma dalam kehidupan sehari-hari.
b. Lingkungan Teman Sebaya
Hubungan yang erat dalam lingkungan teman sebaya merupakan hal yang
penting bagi penyesuaian diri yaitu individu merasa nyaman dengan
teman-temannya. Seseorang dapat mencurahkan perasaannya, pemikiran,
cita-cita, dan dorongan.
c. Lingkungan Sekolah
Sekolah adalah tempat untuk mencari ilmu pengetahuan, informasi, dan
tanggung jawab pendidikan. Guru atau dosen adalah pendidik dalam
pembentukan kehidupan individu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan dengan cara menyusun program pendidikan sesuai dengan
perkembangan. Proses pendidikan menciptakan penyesuaian individu
dengan norma-norma yang berlaku di lingkungan seseuai kepentingan
perkembangan seseorang.
4. Faktor-faktor Penyesuaian Diri
Menurut Soeparwoto (2004) ada dua faktor penyesuaian diri, yaitu:
a. Faktor internal
1) Motif, yaitu motif-motif sosial seperti motif berprestasi.
20
2) Konsep diri, yaitu cara memandang dirinya sendiri. Seseorang dengan
konsep diri tinggi akan memiliki kemampuan untuk melakukan
penyesuaian diri dibanding dengan seseorang dengan konsep diri
rendah, pesimis, atau kurang yakin terhadap diri sendiri.
3) Persepsi, yaitu pengamatan dan penilaian terhadap objek dan peristiwa.
4) Sikap, yaitu kecenderungan untuk berperilaku positif atau negatif.
Seseorang yang bersikap positif akan lebih mudah melakukan
penyesuaian diri yang baik daripada seseorang yang bersikap negatif.
5) Intelegensi dan minat, intelegensi sebagai modal untuk menalar dan
menganalisis menjadi dasar dalam penyesuaian diri. Faktor minat,
apabila seseorang telah memiliki minat terhadap sesuatu, maka proses
penyesuaian diri akan lebih cepat.
6) Kepribadian, tipe kepribadian ekstrovert akan lebih dinamis dan lentur,
sehingga akan lebih mudah melakukan penyesuaian diri dibandingkan
tipe kepribadian introvert yang cenderung statis dan kaku.
b. Faktor eksternal
1) Keluarga, dalam hal ini terutama pola asuh orang tua. Pola asuh
demokratis dengan suasana terbuka akan lebih memberikan peluang
bagi seseorang untuk melakukan proses penyesuaian diri.
2) Kondisi sekolah. Kondisi sekolah yang sehat akan membantu
seseorang untuk dapat menyesuaikan diri secara harmonis.
3) Kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya akan dapat
membantu pengembangan proses penyesuaian diri pada seseorang.
21
4) Prasangka sosial. Kecenderungan sebagian orang yang berprasangka
terhadap seseorang, misalnya memberi label nakal, sulit diatur, dan
suka menentang.
5) Hukum dan norma sosial. Bila suatu masyarakat tegas dalam
menegakkan hukum dan norma yang berlaku, maka dapat membantu
seseorang untuk dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik.
Hurlock (2000) mengemukakan faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian
diri individu di sekolah, yaitu:
a. Teman-teman sebaya.
Individu dengan teman-teman sebayanya mulai belajar bahwa standar
perilaku yang dipelajari mereka di rumah sama dengan standar teman dan
beberapa yang lain berbeda. Oleh karena itu, individu akan belajar tentang
apa yang dianggap sebagai perilaku yang dapat diterima dan apa yang
dianggap sebagai perilaku yang tidak dapat diterima.
b. Guru atau dosen.
Secara langsung guru atau dosen dapat memengaruhi konsep diri individu
dengan sikap terhadap tugas-tugas pelajaran serta perhatian terhadap siswa
atau mahasiswa. Guru atau dosen yang memiliki penyesuaian diri baik
biasanya penuh kehangatan dan bersikap menerima siswa atau mahasiswa.
c. Peraturan sekolah.
Peraturan sekolah memperkenalkan pada individu perilaku yang disetujui
dan perilaku yang tidak disetujui oleh anggota kelompok tempat individu
belajar, apa yang dianggap salah dan benar oleh kelompok sosial.
22
B. Adversity Quotient
1. Pengertian Adversity Quotient
Dalam kamus bahasa inggris adversity berasal dari kata adverse yang artinya
kesengsaraan dan kemalangan. Quotient menurut kamus bahasa inggris adalah
jumlah dari kualitas atau karakteristik untuk mengukur kemampuan seseorang.
Stoltz (2000) mendefinisikan adversity quotient yaitu suatu ukuran untuk
mengetahui daya juang individu dalam menghadapi kesulitan, kepercayaan diri
dalam menguasai hidup dan kemampuan untuk mengatasi tantangan dan
hambatan yang dihadapi dalam memperoleh kesuksesan. Teori adversity quotient
yang dipublikasikan oleh Stoltz (2000) merupakan terobosan penting dalam
pemahaman manusia tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan.
Adversity quotient ini merupakan daya juang seseorang dalam menghadapi
tantangan-tantangan atau masalah dalam kehidupan (Stoltz, 2000). Adversity
quotient dapat dilihat dalam tiga bentuk (Stoltz, 2000), yaitu:
a. Adversity quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk
memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
b. Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons
seseorang terhadap kesulitan.
c. Adversity quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar
ilmiah untuk memperbaiki respons seseorang terhadap kesulitan.
Berdasarkan ketiga unsur tersebut, maka adversity quotient merupakan daya
tahan seseorang untuk mengatasi krisis dan kesulitan, kemampuan menyelesaikan
masalah dan mengatasi hambatan dalam memperoleh kesuksesan.
23
Stoltz (2000) mengemukakan setiap orang dilahirkan untuk mendaki karena
hidup bagaikan mendaki sebuah gunung, tetapi setiap orang memiliki respon yang
berbeda pada pendakian. Maka, terdapat tiga kelompok manusia yaitu:
a. Quitters (Mereka yang berhenti)
Quitters adalah individu yang langsung berhenti di awal pendakian,
memilih untuk keluar, mundur dan berhenti, selalu memilih jalan keluar
yang lebih datar dan lebih mudah. Individu ini pada umumnya bekerja
sekedar untuk hidup, semangat kerja minim, tidak berani mengambil
resiko, tidak kreatif, menolak kesempatan, dan meninggalkan dorongan
manusiawi untuk mendaki. Individu ini juga tidak memiliki visi dan misi
yang jelas serta berkomitmen rendah ketika menghadapi tantangan.
b. Campers (Mereka yang berkemah)
Campers adalah individu yang berhenti dan tinggal ditengah pendakian.
Mendaki secukupnya lalu berhenti mengakhiri pendakiannya. Umumnya
setelah mencapai tingkat tertentu dari pendakiannya, ia mencari tempat
datar yang nyaman sebagai tempat persembunyian dari situasi yang tidak
bersahabat. Sifatnya adalah satisficer yaitu merasa puas diri dengan hasil
yang sudah dicapai. Berbeda dengan quitter, champer setidaknya telah
menghadapi tantangan pendakian, mereka telah mencapai tingkat tertentu.
c. Climbers (Pendaki)
Climbers adalah individu yang seumur hidupnya membaktikan dirinya
pada pendakian, tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan atau
kerugian, nasib buruk atau nasib baik. Climbers adalah pemikir yang selalu
24
memikirkan kemungkinan-kemungkinan dan menghiraukan hambatan
menghalangi usahanya. Para climbers yakni mereka yang mempunyai
usaha dan keberanian menghadapi resiko. Dalam konteks ini, para
climbers yaitu mereka yang memiliki adversity quotient tinggi.
2. Aspek-aspek Adversity Quotient
Stoltz (2000) menjelaskan adversity quotient terdiri atas empat dimensi yaitu
CO2RE (Control, Origin and Ownership, Reach, dan Endurance).
a. Control (Kendali)
Dimensi ini mengungkap berapa banyak kendali yang seseorang rasakan
terhadap sebuah peristiwa sulit. Perbedaan antara respon adversity
quotient yang rendah dan adversity quotient yang tinggi adalah individu
yang memiliki adversity quotient tinggi akan merasakan kendali yang
lebih besar atas peristiwa dalam hidup daripada yang memiliki adversity
quotient rendah. Individu yang memiliki adversity quotient tinggi
cenderung
melakukan
pendakian
dan
relatif
kebal
terhadap
ketidakberdayaan, sementara orang yang memiliki adversity quotient
rendah cenderung berkemah atau berhenti.
b. Origin dan Ownership (asal usul dan pengakuan)
Dimensi ini mengungkapkan siapa atau apa yang menjadi asal-usul
kesulitan, dan menjelaskan bagaimana seseorang memandang sumber
masalah yang ada. Apakah ia cenderung memandang masalah yang terjadi
bersumber dari dirinya atau ada faktor-faktor lain diluar dirinya. Individu
25
yang memiliki adversity quotient rendah cenderung melihat dirinya sendiri
sebagai penyebab kesulitan. Rasa bersalah dapat membantu individu untuk
belajar dengan cenderung merenungkan diri. Mempermasalahkan diri
sendiri boleh dilakukan hanya sampai tahap tertentu, jangan sampai
melampaui peran individu dalam mengatasi kesulitan. Individu yang
memiliki adversity quotient rendah akan mengelak dari peristiwa-peristiwa
buruk, selalu menyalahkan orang lain, dan tidak akan belajar apa-apa.
Ownership menyatakan individu tidak terlalu menyalahkan diri sendiri,
tetapi tetap merasa bertanggung jawab untuk mengatasi kesulitan yang
dialami. Individu yang memiliki skor ownership tinggi akan mengambil
tanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Adapun individu yang
memiliki skor ownership sedang memiliki cukup tanggung jawab atas
kesulitan yang terjadi, tapi mungkin akan menyalahkan diri sendiri atau
orang lain ketika ia lelah. Sedangkan individu yang memiliki skor
ownership
yang rendah akan menyangkal tanggung jawab dan
menyalahkan orang lain atas kesulitan yang terjadi.
c. Reach (Jangkauan)
Dimensi ini mempertanyakan: sejauh mana kesulitan akan menjangkau
bagian-bagian lain dari kehidupan individu? Respon-respon dengan
adversity quotient rendah akan membuat kesulitan memasuki segi-segi lain
dari kehidupan seseorang. Semakin rendah skor R, semakin besar
kemungkinan individu menganggap peristiwa-peristiwa buruk sebagai
26
bencana. Semakin tinggi skor R, maka semakin besar kemungkinan
individu membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang dihadapi.
d. Endurance (Daya tahan)
Dimensi ini mempertanyakan dua hal yang berkaitan yaitu : Berapa
lamakah kesulitan akan berlangsung? Dan berapa lamakah penyebab
kesulitan itu akan berlangsung? Semakin rendah skor E, semakin besar
kemungkinan individu menganggap kesulitan dan penyebab-penyebabnya
akan berlangsung lama. Individu yang melihat kemampuannya sebagai
penyebab kegagalan cenderung kurang bertahan dibandingkan dengan
orang yang mengaitkan kegagalan dengan usaha yang mereka lakukan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan aspek adversity quotient terdiri
atas empat dimensi, yaitu Control, Origin and Ownership, Reach, dan Endurance.
3. Teknik-teknik Meningkatkan Adversity Quotient
Stoltz (2000) menyatakan bahwa adversity quotient dapat ditingkatkan atau
diperbaiki dangan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a) Listen atau mendengarkan respon-respon kesulitan
b) Explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya
c) Analysis atau analisis bukti-buktinya, dan
d) Do atau lakukan sesuatu.
Keempat teknik yang dikemukakan oleh Stoltz (2000) ini dapat disingkat
dengan kata LEAD. Teknik kognitif dan perilaku seperti LEAD ini efektif karena
dapat mengubah sistem di otak. Pokok pikiran akan mengubah fisiologi otak,
27
agar membiasakan otak untuk menghadapi dan mengatasi setiap kesulitan, dengan
mempertanyakan respon-respon distruktif terhadap peristiwa-peristiwa dalam
kehidupan. Rangkaian LEAD didasarkan pada pengertian bahwa individu dapat
mengubah keberhasilan dengan mengubah kebiasaan-kebiasaan berfikir. Hasilnya
adalah keuletan emosional dan berjiwa besar sebagai respon terhadap tekanan
hidup sehari-hari (Stoltz, 2000).
C. Dukungan Sosial Teman Sebaya
1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya
a. Pengertian Dukungan Sosial
Gottlieb (dalam Smet, 1994) mendefinisikan dukungan sosial terdiri dari
informasi verbal maupun nonverbal, nasehat, bantuan yang nyata, dan tingkah
laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan individu di dalam
lingkungan sosialnya dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan
emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Johnson dan
Johnson (2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai keberadaan orang
lain yang dapat memberikan bantuan, dorongan, penerimaan, dan perhatian
kepada seseorang. Sarafino (2011) menyatakan dukungan sosial yaitu bentuk
penerimaan dari seseorang atau sekelompok orang terhadap individu yang
menimbulkan persepsi dalam dirinya bahwa ia disayangi, diperhatikan,
dihargai, dan ditolong.
Sarason (2001) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah keberadaan,
kesediaan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai
28
dan menyayangi kita. Kartika (2011) menyatakan bahwa dukungan sosial
adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki
hubungan sosial akrab dengan individu yang menerima bantuan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial
merupakan dukungan yang diterima individu atau kelompok dari orang-orang
tertentu dalam kehidupannya, yang merupakan hasil dari interaksi sosial, dan
berada dalam lingkungan sosial tertentu yang membuat penerima merasa
diperhatikan, dihargai, dan dicintai.
b. Pengertian Teman Sebaya
Teman sebaya atau peer adalah anak-anak atau remaja yang memiliki usia
atau tingkat kematangan yang kurang lebih sama (Santrock, 2003). Dalam
kelompok teman sebaya, individu akan merasakan adanya kesamaan satu
sama lain, seperti usia, kebutuhan, dan tujuan yang dapat memperkuat
kelompok tersebut. Fungsi dari teman sebaya ini dapat memberikan umpan
balik kepada mahasiswa mengenai kemampuan mahasiswa tersebut. Di dalam
kelompok teman sebaya, mahasiswa tahun pertama belajar untuk melihat
apakah tindakannya lebih baik, sama baik, atau kurang baik dibandingkan
dengan mahasiswa lainnya.
c. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya
Dukungan sosial teman sebaya dapat diartikan sebagai dukungan yang
diberikan kepada individu oleh kelompok sebayanya berupa perhatian,
kenyamanan, penghargaan
maupun
bantuan (Kartika, 2011). Cowie dan
Wallace (2000) mengungkapkan bahwa dukungan sosial teman sebaya
29
merupakan dukungan sosial yang dibangun dan bersumber dari teman sebaya
yang menawarkan bantuan kepada teman lainnya, dan hal tersebut dapat
terjadi dimanapun dan di kelompok sebaya manapun serta bagaimana
memberikan dukungan di saat teman lainnya dalam kesulitan.
Berdasarkan uraian di atas, dukungan sosial teman sebaya merupakan suatu
dukungan yang diberikan orang-orang disekitarnya berupa bantuan, dorongan,
penerimaan dan perhatian kepada seseorang yang dapat membantu
mengurangi beban dalam menghadapi permasalahan dan tekanan dalam
menjalani kehidupan bermasyarakat yang berasal dari teman sebayanya.
2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Teman Sebaya
Sarafino (2011) mengklasifikasikan dukungan sosial dalam lima aspek, yaitu:
a. Emotional support (Dukungan Emosional)
Merupakan dukungan yang paling berharga karena memungkinkan
individu memperoleh kedekatan emosional sehingga menimbulkan
perasaan aman, diperhatikan, dan diterima oleh lingkungannya. Adanya
ekspresi kasih sayang, empati, dan perhatian dari orang-orang yang
memiliki hubungan dekat dapat memberikan rasa nyaman, ketenangan,
dan kepercayaan bahwa dirinya dicintai dan diperhatikan.
b. Social integration / network support (Dukungan Jaringan Sosial)
Dukungan yang berasal dari jaringan sosial merupakan bentuk dukungan
dengan memberikan rasa kebersamaan dalam kelompok serta berbagi
dalam hal minat dan aktivitas sosial. Hubungan sosial ini memungkinkan
30
adanya persahabatan. Sumber dukungan ini dapat meningkatkan rasa
aman, nyaman, perasaan memiliki dan dimiliki dalam kelompok.
c. Esteem support (Dukungan Penghargaan)
Dukungan penghargaan merupakan penilaian positif yang diberikan oleh
orang lain dengan cara memberikan penghargaan, persetujuan tentang ideide atau perasaan dari individu tersebut dan perbandingan positif dari
individu dengan orang lain yang keadaannya lebih baik atau lebih buruk.
Dukungan ini melibatkan penghargaan atas kemampuan seseorang dalam
menghadapi atau menyelesaikan masalah. Adanya hubungan yang saling
menerima dan menghargai menimbulkan sumber keterbukaan dan
keaktifan dalam menyelesaikan persoalan.
d. Instrumental Support (Dukungan Instrumental)
Dukungan
instrumental
adalah
bentuk
dukungan
langsung
yang
diwujudkan dalam bentuk material atau jasa yang dapat digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah secara praktis. Dukungan instrumen atau
bantuan nyata yang terjadi disaat individu mengalami keterbatasan fisik
seperti sakit atau luka, maka dukungan tersebut bersifat meringankan
beban tugas dan efisiensi waktu.
e. Information support (Dukungan Informasi)
Dukungan informasi adalah suatu dukungan yang memungkinkan individu
mendapat informasi, saran, nasehat, dan pedoman praktis untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi. Individu akan mulai mencari informasi
mengenai sebab-sebab masalah, pengetahuan tentang sumber masalah, dan
31
petunjuk mengenai tindak solusi yang dapat diambil, ketika individu
dihadapkan kepada suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan
dengan mudah dan cepat.
House (dalam Smet, 1994) mengemukakan dukungan sosial terdiri dari empat
aspek, yaitu:
a. Dukungan emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan
perhatian terhadap orang-orang yang bersangkutan. Dukungan ini meliputi
perhatian dan afeksi serta bersedia mendengarkan keluh kesah orang lain.
b. Dukungan penghargaan
Dukungan penghargaan mencakup ungkapan rasa hormat (penghargaan)
secara positif kepada orang lain, dorongan maju atau persetujuan dengan
gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan satu orang dengan
orang lain. Bentuk dukungan ini bertujuan untuk membangkitkan perasaan
berharga atas diri sendiri, kompeten, dan bermakna.
c. Dukungan instrumental
Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung yang diberikan oleh
orang lain berupa bantuan pinjaman atau menolong beban kerja orang lain.
Bentuk dukungan ini seperti meminjamkan uang, barang, transportasi, dan
membantu menyelesaikan tugas.
d. Dukungan informasi
Dukungan bantuan mencakup bantuan berupa pemberian nasihat,
petunjuk, saran, atau umpan balik.
32
Weiss (dalam Cutrona, 1994) mengemukakan enam komponen dukungan
sosial yang disebut “The Social Provision Scale” yaitu:
a. Instrumental Support
1) Reliable Alliance (Ketergantungan yang dapat diandalkan)
Individu mendapat jaminan bahwa ada individu lain yang dapat
diandalkan bantuannya ketika ia membutuhkan bantuan. Bantuan yang
diberikan bersifat nyata dan langsung. Individu yang menerima
bantuan ini akan merasa tenang karena menyadari ada orang lain yang
dapat diandalkan untuk menolongnya.
2) Guidance (Bimbingan)
Berupa saran, nasihat, dan informasi yang diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dukungan ini
dapat berupa feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah
dilakukan.
b. Emotional Support
1) Reassurance of Worth (Pengakuan Positif)
Berbentuk pengakuan atau penghargaan terhadap kemampuan dan
kualitas individu. Dukungan ini membuat individu merasa dirinya
diterima dan dihargai.
2) Emotional Attachment (Kedekatan emosional)
Dukungan sosial ini berupa pengekspresian dari kasih sayang,
cinta, perhatian dan kepercayaan yang diterima individu, yang
dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima.
33
3) Social Integration (Integrasi sosial)
Dukungan sosial ini memungkinkan individu untuk memperoleh
perasaan memiliki suatu kelompok yang memungkinkannya untuk
membagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan secara bersamasama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu mendapatkan
rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki dalam
kelompok yang memiliki persamaan minat.
4) Opportunity to Provide Nurturance (Kesempatan untuk mengasuh)
Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal adalah perasaan
dibutuhkan oleh orang lain. Dukungan sosial ini memungkinkan
individu untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung
padanya untuk memperoleh kesejahteraan.
Berdasarkan berbagai pendapat dari tokoh di atas, penelitian ini menggunakan
aspek dukungan sosial yang dikemukakan oleh House (dalam Smet, 1994) untuk
dijadikan acuan skala dukungan sosial teman sebaya yang terbagi menjadi empat
aspek yakni dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental,
dan dukungan informasi.
3. Fungsi Dukungan Sosial Teman Sebaya
Menurut Wills dan Shinar (2000), dukungan sosial mempunyai fungsi yaitu:
a. Esteem support.
Dalam kehidupan seseorang akan mengalami berbagai tantangan sehingga
muncul keraguan terhadap kemampuan yang dimiliki untuk mengatasi
34
segala kesulitan tersebut. Adanya hubungan interpersonal mempunyai
pengaruh kuat untuk menetralkan setiap tantangan dengan cara
menceritakan masalah yang dihadapi kepada orang lain. Hubungan yang
tercipta yaitu saling membantu dan saling mendengarkan dengan penuh
perhatian, memberi simpati, dan dukungan berbagai pengalaman. Orang
yang mendapat penerimaan dan persetujuan dari significant others akan
meningkatkan evaluasi diri dan harga diri.
b. Informational support
Dukungan informasi berupa pengetahuan baru, nasihat, dan bimbingan
akan membantu individu melakukan pemecahan masalah sehingga
individu memperoleh jalan keluar yang efektif untuk mengatasi
permasalahannya. Jika permasalahan belum dapat diselesaikan, maka
individu akan mulai mencari informasi tentang sifat masalah dan
bimbingan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan.
c. Instrumental support
Dukungan instumental juga disebut dengan dukungan nyata, misalnya
berupa alat dan material yaitu meminjamkan uang, penyediaan
transportasi, buku, dan membantu tugas-tugas. Bantuan yang diberikan
sangat penting. Kondisi ini berkaitan dengan kesejahteraan seseorang.
d. Motivational support
Dukungan berupa semangat kepada seseorang untuk berusaha menemukan
solusi atas permasalahannya, meyakinkan individu tersebut akan sukses
dan meyakinkan bahwa permasalahan akan dapat teratasi bersama.
35
Johnson dan Johnson (2000) mengungkapkan bahwa dukungan sosial memiliki
empat fungsi, yaitu:
a. Meningkatkan produktivitas melalui peningkatan motivasi, kualitas,
penalaran dan mengurangi dampak stress.
b. Meningkatkan kesejahteraan psikologis dan kemampuan penyesuaian diri
melalui perasaan memiliki, peningkatan harga diri, pengurangan stres dan
penyediaan sumber yang dibutuhkan.
c. Adanya hubungan dekat dengan orang lain akan meningkatkan kesehatan
fisik dibandingkan dengan individu yang terisolasi.
d. Manajemen stres dengan cara seseorang dalam menghadapi masalah yang
terfokus pada pengurangan reaksi stres melalui perhatian, informasi, dan
umpan balik yang diperlukan untuk mengurangi kecemasan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, fungsi dari dukungan
sosial teman sebaya yakni berupa esteem support, informational support,
instrumental support, dan motivational support.
D. Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama
1. Definisi Mahasiswa Perantauan
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 30 tahun 1990 mahasiswa adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Menurut
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas Bab VI bagian keempat pasal 19, mahasiswa adalah sebutan akademis
36
untuk siswa atau murid yang telah sampai kejenjang pendidikan tertentu dalam
masa pembelajarannya.
Definisi mahasiswa juga diungkapkan oleh Sarwono (2009) yaitu setiap orang
yang secara resmi terdaftar untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di perguruan
tinggi dengan batasan usia antara 17-18 tahun. Ia juga mendefinisikan mahasiswa
sebagai suatu kelompok dalam masyarakat yang memperoleh statusnya karena
ikatan dengan perguruan tinggi. Menurut Roeslan Abdul Gani (1997) mahasiswa
adalah individu yang sedang menuntut ilmu pengetahuan di perguruan tinggi.
Kata “Rantau” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai
daerah diluar daerah sendiri atau daerah di luar kampung halaman, daerah asing.
Kata “Perantau” didefinisikan sebagai seseorang yang pergi atau mencari
penghidupan di daerah lain (Mochtar, 1979). Mochtar (1979) menyatakan bahwa
perantau memiliki enam unsur pokok, yaitu:
a. Meninggalkan kampung halaman
b. Dengan kemauan sendiri
c. Jangka waktu lama atau tidak
d. Tujuan mencari penghidupan, menuntut ilmu, dan mencari pengalaman
e. Biasanya dengan maksud kembali pulang
f. Merantau ialah lembaga sosial yang membudaya
Mochtar (1979) mendefinisikan mahasiswa perantau adalah individu yang
memutuskan untuk menuntut ilmu diluar daerah asalnya dalam jangka waktu
tertentu dan atas kemauan sendiri.
37
Berdasarkan pengertian diatas, dapat disimpulkan mahasiswa perantauan tahun
pertama adalah peserta didik yang terdaftar dan menuntut ilmu di perguruan tinggi
pada semester satu dan dua yang berasal dari luar daerah asalnya.
2. Isu yang Terjadi pada Mahasiswa Tahun Pertama
Mahasiswa tahun pertama adalah mahasiswa yang menuntut ilmu pengetahuan
di perguruan tinggi yang sedang berada pada tahun pertama atau semester satu
dan dua. Menurut Gunarsa (2004), mahasiswa tahun pertama termasuk kedalam
remaja akhir. Sebagai insan remaja yang berada pada rentang masa remaja akhir,
mahasiswa mengalami hal serupa sebgaaimana yang dialami setiap individu pada
periode perkembangan tersebut. Istilah remaja atau adolescence berasal dari kata
adoloscere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock,
2000). Menurut Hurlock (2000) remaja adalah periode yang penting dalam
kehidupan seseorang, periode peralihan, periode perubahan, usia bermasalah,
tahap pencarian identitas, dan usia yang menimbulkan ketakutan.
Beberapa ahli psikologi perkembangan menyatakan periode antara remaja
akhir sampai pertengahan atau akhir usia 20-an berada di tahap emerging
adulthood (Papalia, Feldman 2009). Mahasiswa biasanya berada pada usia 17
sampai 22 tahun belum dapat dikatakan dewasa. Tahap emerging adulthood
merupakan periode eksplorasi, waktunya melakukan segala kemungkinan dan
kesempatan untuk melakukan hal-hal baru dan cara hidup yang berbeda yaitu saat
seseorang belum siap dalam melaksanakan tugas-tugas orang dewasa.
38
Terdapat beberapa isu perkembangan yang dialami oleh seseorang pada
periode emerging adulthood, salah satunya adalah isu pendidikan. Pada periode
ini biasanya seseorang sedang berada pada masa transisi dari Sekolah Menengah
Atas ke perguruan tinggi. Beberapa perbedaan sifat antara pendidikan di SMA dan
perguruan tinggi dapat menyebabkan mahasiswa kesulitan dalam menyesuaikan
diri. Papalia dan Feldman (2009) menjelaskan bahwa banyak mahasiswa baru atau
mahasiswa tahun pertama sangat kesulitan dan tidak berdaya karena tuntutan di
perguruan tinggi.
Selaku insan remaja, mahasiswa memiliki beberapa persoalan yang dihadapi
dalam memenuhi tugas perkembangannya sebagai bagian dari civitas akademika,
yaitu:
a. Kesulitan dalam menghadapi dunia dan masyarakat baru, yaitu dalam
pemilihan jurusan, perguruan tinggi, daerah tempat belajar, dan
penyesuaian dengan lingkungan baru.
b. Kesuitan dalam mengatur diri sendiri, yang meliputi pengaturan waktu
belajar, menambah pengalaman, masalah disiplin diri, dan kebiasaankebiasaan yang baik.
c. Kesulitan dalam menghadapu persaingan, baik dalam pergaulan, prestasi,
dan pengabdian di masyarakat.
Penyesuaian diri yang baik dapat menjadi modal bagi mahasisa untuk
mengatasi persoalan yang akan dihadapinya, khususnya dalam menjalankan tugas
perkembangan.
39
3. Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan
Mahasiswa yang merantau seharusnya dapat menyesuaikan diri dengan cara
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan yang berbeda etnis dan
budaya. Mahasiswa perantauan tahun pertama berada pada masa remaja akhir dan
menghadapi berbagai kesulitan terkait penyesuaian diri, sehingga mahasiswa
perantau membutuhkan bantuan baik dalam menyesuaikan diri ke statusnya
sebagai mahasiswa dengan berbagai persoalan pergaulan maupun dalam studi.
Menurut Gunarsa (2004), kesulitan penyesuaian diri pada mahasiswa yaitu:
a. Perbedaan sifat di SLTA dan Perguruan Tinggi
Kurikulum. Kurikulum di perguruan tinggi biasanya lebih sedikit daripada
SLTA, tetapi lebih mendalam. Apabila mahasiswa menyukai bidang yang
dipilihnya, maka kelanjutan kelanjutan studi dan kegiatan belajar akan
lebih lancar, sebaliknya apabila mahasiswa tidak menyukai bidang yang
dipilihnya maka bisa menimbulkan gangguan penyesuaian diri.
Kedisiplinan. Disiplin di perguruan tinggi tidak terlalu ketat dibandingkan
dengan SLTA karena mahasiswa dianggap sudah dewasa dan bisa
bertanggung jawab. Longgarnya kedisiplinan mengubah cara belajar yang
membuat mahasiswa lebih bebas dan menyebabkan kesulitan tersendiri.
b. Hubungan dosen dengan mahasiswa.
Mahasiswa harus menyesuaikan diri terhadap cara dosen memberikan
perkuliahan. Mahasiswa harus lebih rajin berdialog dengan dosen agar
terjadi hubungan baik antara dosen dengan mahasiswa.
40
c. Hubungan sosial
Mahasiswa perantauan lebih bebas untuk bergaul ketika memasuki dunia
perkuliahan. Kebebasan tersebut dapat menjadi masalah yang cukup sulit
bagi mahasiswa, seperti kesulitan penyesuaian diri dan keterlibatan
terhadap pengaruh kelompok pergaulan yang bisa berdampak negatif.
d. Masalah ekonomi
Masalah ekonomi menentukan kelancaran studi mahasiswa. Apabila
masalah ekonomi lancar dan orang tua mampu membiayai maka studi
mahasiswa bisa lancar, namun jika masalah ekonomi tidak lancar dan
orang tua kurang mampu membiayai maka muncul masalah keuangan. Hal
ini dapat diatasi dengan mahasiswa kuliah sambil bekerja.
e. Pemilihan bidang studi atau jurusan
Mahasiswa sering mengorbankan bidang studi yang diminati karena
kesempatan tersebut sulit diperoleh, sehingga mahasiswa sulit untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus. Antara bakat dan minat
dengan kesempatan yang ada sering menimbulkan masalah.
4. Faktor-faktor Merantau
Faktor-faktor yang memengaruhi merantau menurut Mochtar (1979) adalah:
a. Faktor fisik (ekologis dan lokasi)
Terpencilnya daerah tempat tinggal dan sulitnya jangkauan sehingga
membuat
seseorang
perkembangan.
merasa
tertinggal
dan
tidak
mengalami
41
b. Faktor ekonomi (tekanan ekonomi)
Sulitnya hidup di daerah, kurang kesempatan kerja di daerah, mencari
pekerjaan, berdagang, tidak dapat membangun masa depan yang lebih baik
ketika di daerah, dan lebih banyak kesempatan karir di daerah rantau.
c. Faktor pendidikan
Melanjutkan studi, menambah ilmu pengetahuan, mencari pengalaman,
mencari keterampilan, dan kurangnya fasilitas pendidikan di daerah.
d. Faktor sosial
Tekanan adat dan kebiasaan, adat terlalu sempit, pertikaian keluarga,
terlalu banyak tanggung jawab sosial, dan sistem sosial yang tertutup.
e. Faktor psikis
Tidak merasa lega hidup di daerah, mencari kebebasan emosi, pengaruh
orang lain, tradisi merantau, menuruti kata hati, ingin bersaing, ingin
bertanggung jawab pada diri sendiri, dan hidup mandiri.
E. Hubungan Adversity Quotient dan Dukungan Sosial Teman Sebaya
dengan Penyesuaian Diri pada Mahasiswa Perantauan Tahun
Pertama
1. Hubungan antara Adversity Quotient dengan Penyesuaian Diri Mahasiswa
Perantauan Tahun Pertama
Perguruan tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan Sekolah
Menengah Atas (SMA) dan memiliki tuntutan yang berbeda pula. Mahasiswa
42
perantauan
tahun
pertama
dihadapkan
pada
perubahan,
tuntutan,
dan
tanggungjawab yang berbeda dari mahasiswa bukan perantauan. Perubahan
tempat tinggal jauh dari rumah, perubahan ritme kegiatan harian, berada dengan
orang-orang baru, perubahan cara belajar, dan jauh dari orangtua.
Mahasiswa perantauan tahun pertama dituntut untuk dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungan baru dan teman-teman baru, serta membangun relasi
pertemanan dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda, dan
menyesuaikan diri dengan budaya dan aturan yang berlaku di lingkungan kampus.
Selain itu, mahasiswa perantauan tahun pertama juga harus menghadapi suasana
baru dengan sedikit teman yang dimiliki atau bahkan sama sekali tidak
mempunyai teman yang berasal dari sekolah yang sama. Oleh karena itu,
mahasiswa perantau tahun pertama pada umumnya mengalami kesulitan terkait
penyesuaian diri dengan kehidupan di perguruan tinggi.
Winkel (2004) mengemukakan gejala-gejala seseorang yang mengalami
kesulitan dalam penyesuaian diri, yaitu: perilaku membangkang, mudah
tersinggung, menarik diri dari lingkungan, dan suka menyinggung perasaan orang
lain. Kegagalan dalam penyesuaian diri dapat menyebabkan individu mengalami
gangguan psikologis, seperti stress, kecemasan, dan agresifitas (Shneiders, 1964).
Penyesuaian diri diperoleh melalui proses belajar, proses sosialisasi, dan proses
interaksi, baik dalam keluarga, sekolah, maupun di masyarakat. Seseorang yang
memiliki penyesuaian diri yang baik akan memiliki emosi yang cenderung stabil,
menyadari penuh siapa dirinya, menerima dan mengenali kelebihan maupun
kekurangan yang ada pada dirinya dan mampu belajar dari pengalaman.
43
Seseorang yang telah berhasil menyesuaikan dirinya dengan baik menurut Baron
(dalam Sarwono, 2009) memiliki daya tarik atau penampilan yang menarik,
memiliki sifat-sifat yang menyenangkan, sehingga memiliki interpersonal
attraction yang positif bagi orang lain. Selain itu, orang lain akan lebih menyukai
seseorang yang memiliki perasaan senang, gembira dan mengucapkan kalimat
yang menyenangkan atau positif daripada seseorang yang memiliki perasaan
negatif seperti kesal dan marah. Hal tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang
dapat menyesuaikan diri dengan baik akan lebih mampu mengubah suasana
lingkungan sesuai dengan keadaan dirinya. Meskipun lingkungan di kampus
kurang mendukung, namun apabila seseorang mampu menyesuaikan diri dengan
baik, maka hubungan dengan teman-teman sebaya dan orang-orang dilingkungan
kampus akan terjalin dengan harmonis.
Penelitian Oktyavera (2009) menunjukkan bahwa penyesuaian diri mahasiswa
berkaitan positif dengan kualitas kehidupan di kampus. Kualitas kehidupan di
kampus yang tinggi menunjukkan rata-rata mahasiswa mempersepsikan secara
baik mengenai aspek-aspek yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Mahasiswa
merasa cukup sejahtera, tidak merasa kekurangan dengan apa yang diberikan oleh
pihak kampus, cukup puas dengan apa yang diperoleh dan dialami di kampus,
seperti kurikulum pendidikan, pola hubungan dengan dosen dan mahasiswa,
kegiatan ekstrakurikuler, besar kampus, fasilitas kampus serta pola kehidupan.
Untuk mengatasi kesulitan penyesuaian diri, maka dibutuhkan kemampuan
untuk memahami, mengenali, sekaligus mengelola kesulitan yang dihadapi agar
dapat melewati segala rintangan dalam kehidupan. Disinilah peran daya juang
44
(adversity quotient) dalam diri seseorang. Stoltz (2000) mengemukakan bahwa
adversity quotient adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk bertahan
menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan, sekaligus mengubah kesulitan
menjadi peluang untuk meraih kesuksesan. Kemampuan inilah yang sangat
diperlukan oleh mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menyesuaikan diri di
lingkungan yang baru. Stoltz (2000) menambahkan adversity quotient dapat
berperan dalam melihat sejauh mana seseorang mampu bertahan dalam
menghadapi kesulitan dan seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi
kesulitan itu. Adversity quotient dapat membuat mahasiswa perantauan menjadi
seseorang yang ulet dan tekad pantang menyerah.
Lasmono (2001) menyatakan bahwa dengan adversity quotient yang tinggi,
seseorang akan semakin tegar menghadapi kesulitan dan mampu mengatasi
kesulitan dengan tepat sehingga bisa bertahan dengan berbagai rintangan. Jika
daya juang rendah maka penyesuaian diri pada mahasiswa perantauan tahun
pertama kurang baik, tidak mampu untuk mengatasi masalah dan kesulitan yang
dihadapinya.
Penelitian sebelumnya yang mendukung hipotesis penelitian ini yaitu
penelitian Susanty (2011) yang menyatakan terdapat hubungan positif dan
signifikan antara kecerdasan adversitas dengan penyesuaian diri pada mahasiswa
tahun pertama. Kemudian penelitian oleh Fitriany (2008), menemukan terdapat
hubungan yang signifikan antara adversiy quotient dengan penyesuaian diri sosial
pada mahasiswa perantauan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
45
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa adversity quotient
mempunyai peranan penting bagi penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun
pertama. Mahasiswa perantauan yang tidak mudah menyerah dan tidak mudah
terjebak dalam kondisi keputusasaan menunjukkan bahwa mahasiswa tersebut
dapat menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan baru. Mahasiswa perantauan
tahun pertama yang mempunyai adversity quotient tinggi dapat melakukan
penyesuaian diri di perguruan tinggi, sebaliknya, apabila adversity quotient yang
dimiliki rendah, maka mahasiswa perantauan akan kesulitan dalam menyesuaikan
diri di perguruan tinggi.
2. Hubungan antara Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan Penyesuaian
Diri Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama
Meningkatnya intensitas pertemuan diantara para mahasiswa mengakibatkan
dukungan sosial dari teman sebaya berperan penting bagi kehidupan mahasiswa
terutama mahasiswa perantauan. Mahasiswa yang kesulitan dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan mengharapkan adanya seseorang yang dapat membantu,
mengarahkan, atau memberikan dukungan emosional agar dapat menyesuaikan
diri dengan baik. Pada kalangan mahasiswa, teman sebaya sangat memengaruhi
perkembangan sosialnya. Teman sebaya sangat memiliki peran penting terutama
pada tahap perkembangan belajar, mahasiswa yang memiliki banyak teman akan
mampu meningkatkan penyesuaian diri (Wijaya, 2012).
Interaksi dengan teman sebaya menimbulkan suatu bentuk dukungan sosial
yaitu hubungan antarindividu dengan orang-orang yang ada di sekitarnya yang
46
dapat membantu mengurangi beban dalam menghadapi permasalahan dan tekanan
dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Effendi dan Tjahjono (1999) menyatakan
dukungan sosial berperan penting dalam memelihara keadaan psikologis individu
yang mengalami tekanan, sehingga menimbulkan pengaruh positif yang dapat
mengurangi gangguan psikologis. Selan itu, dukungan sosial dapat dijadikan
pelindung untuk melawan perubahan peristiwa kehidupan, sehingga dapat
membantu mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial yang baru.
Di saat mahasiswa mulai merantau dan menjalani kehidupan di perguruan
tinggi, mereka mulai keluar dari rumah dan bergaul dalam lingkungan sosial yang
lebih luas dengan membentuk suatu kelompok teman sebaya. Santrock (2003)
mengungkapkan remaja memiliki kebutuhan yang cukup kuat untuk disukai dan
diterima oleh teman sebaya atau kelompok, ketika mereka merasa diterima oleh
teman sebayanya maka akan timbul perasaan senang, sebaliknya ketika mereka
merasa tidak diterima, diremehkan, atau dikeluarkan dari kelompok teman
sebayanya maka mereka akan merasa tertekan dan cemas.
Menurut Zastrow dan Ashman (2007), kelompok teman sebaya dapat
membantu para remaja dalam bertransisi atau melakukan perubahan dari remaja
yang masih tergantung dengan orang tua menjadi remaja yang mandiri.
Pertemanan dengan teman-teman sebaya menjadi pengaruh bagi mahasiswa baru
yang mendominasi dalam proses identifikasi dan pengembangan dirinya
dibandingkan lingkungan keluarga. Pertemanan dimulai dengan satu, dua orang
dan terkadang jumlahnya akan semakin bertambah dan memungkinkan terbentuk
47
suatu kelompok sosial mahasiswa yang dasarnya dilandasi oleh persamaan hobi,
gagasan, dan gaya hidup. Persahabatan dengan teman sebaya diisi dengan
kedekatan, kehangatan, serta dukungan di kala sedih, gagal, atau juga senang.
Teman merupakan tempat membagi nilai-nilai hidup. Teman menjadi sangat
penting bagi seorang mahasiswa. Hal ini disebabkan karena mahasiswa baru
terutama perantauan lebih ingin menghabiskan waktunya jauh dari keluarga, dan
pada usia ini kebutuhan lebih tinggi terhadap dukungan sosial.
Teman sebaya memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menentukan arah
hidup mahasiswa baru. Peranan positif dari teman sebaya bagi perkembangan
kepribadian seorang mahasiswa baru adalah mereka merasa aman dan merasa
dianggap penting dalam kelompok persahabatan, dapat tumbuh dengan baik
dalam kelompok persahabatan, mendapat tempat yang baik bagi penyaluran rasa
kecewa, takut, khawatir, tertekan, gembira, yang mungkin tidak didapatkan di
rumah. Empati, penerimaan, dan dukungan sosial positif lainnya dari teman
sebaya dapat membantu remaja dalam melewati masa remajanya dengan baik.
Remaja mulai dapat mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang
lebih matang dan berusaha memperoleh kebebasan emosional dengan cara
menggabungkan diri dengan teman sebaya (Desmita, 2012). Teman sebaya
merupakan sumber afeksi, simpati, pengertian, tempat untuk bereksperimen, dan
suasana yang mendukung untuk mencapai otonomi dan kemandirian dari orang
tua (Wijaya, 2012).
Santrock (2003) menekankan bahwa melalui interaksi teman sebaya anak-anak
dan remaja mulai belajar pola hubungan timbal balik dan setara. Teman sebaya
48
juga merupakan salah satu agen sosialisasi karena bersama teman sebaya
kebutuhan-kebutuhan tertentu dari seorang individu dapat terpenuhi serta teman
sebaya dapat memberikan pengaruh yang baik pada perkembangan sosial,
kognitif, dan psikologis.
Dukungan teman sebaya merupakan tempat untuk membentuk hubungan dekat
yang berfungsi sebagai “latihan” bagi hubungan yang akan remaja bina di masa
dewasa (Saguni, 2014). Penelitian dari Aziz dan Fatma (2013) menyampaikan
bahwa dukungan sosial sebagai suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu
yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, dari interaksi ini seseorang
bisa tahu bahwa orang lain memperhatikan, menghargai,dan mencintai dirinya.
Individu yang mendapatkan perhatian seperti ini akan termotivasi untuk mencapai
tujuan atau keinginannya karena banyak orang yang mendukungnya.
Remaja dan kelompok teman sebaya membentuk suatu relasi yang bersifat
positif (Santrock, 2003). Contoh dari relasi positif ini yaitu mahasiswa belajar
untuk mengeksplorasi prinsip-prinsip kesadaran dan keadilan melalui pengalaman
mereka ketika menghadapi perbedaan pendapat dengan teman sebayanya. Selain
itu, mahasiswa juga belajar untuk mengamati dengan teliti terhadap minat dan
pandangan teman sebaya, dengan tujuan memudahkan proses penyatuan dirinya
ke dalam aktifitas teman sebaya yang sedang berlangsung.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpukan bahwa dukungan sosial teman
sebaya mempunyai peranan penting bagi perkembangan emosioal dan sosial pada
mahasiswa, sehingga teman sebaya dapat mendukung kematangan perkembangan
mahasiswa hingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Mahasiswa perantauan
49
tahun pertama yang mendapatkan dukungan sosial dari teman sebaya yang tinggi
dapat meningkatkan penyesuaian diri di perguruan tinggi, sebaliknya apabila
dukungan sosial teman sebaya yang didapatkan rendah, maka mahasiswa
perantauan akan kesulitan dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi.
3. Hubungan Adversity Quotient dan Dukungan Sosial Teman Sebaya dengan
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Tahun Pertama
Penyesuaian diri merupakan hal yang sangat penting yang harus dimiliki oleh
mahasiswa perantauan tahun pertama untuk menjalani kehidupan di perguruan
tinggi. Penyesuaian diri pada perkuliahan adalah tuntutan untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungan akademik atau perkuliahan yang dihadapi untuk
menyelesaikan
masalah-masalah
sekarang
maupun
selanjutnya
dimasa
mendatang, sehingga dapat memberikan suatu prestasi untuk dirinya. Mahasiswa
perantauan tahun pertama mengalami berbagai perubahan yang terjadi dalam
hidupnya, seperti berpisah dengan orang tua dan memiliki sedikit teman di
lingkungan kampus yang baru. Perubahan-perubahan itu membuat mahasiswa
harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang baru, seperti
lingkungan kampus dan bergaul dengan orang-orang yang bukan berasal dari
daerah asalnya.
Penyesuaian diri oleh mahasiswa perantauan tahun pertama terlihat dari daya
juang yang ada dalam diri individu untuk dapat bertahan dalam lingkungan sosial
yang baru dan belum dikenalnya. Daya juang (adversity quotient) yang dimiliki
mahasiswa akan menentukan keberhasilan dalam mengatasi permasalahan
50
yang dihadapi di lingkungan baru. Mahasiswa dengan adversity quotient yang
tinggi tidak mudah menyerah menghadapi kondisi sulit dan tidak akan mudah
terjebak dalam kondisi keputusasaan. Adversity quotient yang mumpuni akan
menjadikan individu sebagai pribadi yang ulet dan tekad yang pantang menyerah
dalam berbagai situasi.
Mahasiswa perantauan tahun pertama yang memiliki adversity quotient tinggi
tercermin dari aspek-aspek adversity quotient yaitu control, origin and ownership,
reach, dan endurance. Control menunjukkan kemampuan untuk bertahan
menghadapi kesulitan-kesulitan di perguruan tinggi dan niat untuk menyelesaikan
masalah dengan tidak mudah putus asa. Ownership mencerminkan kemampuan
menghindari perilaku yang menyalahkan diri sendiri serta dapat menempatkan
tanggung jawab sesuai dengan tempatnya. Reach memperlihatkan keefektifan
untuk menahan dan membatasi jangkauan kesulitan dan merasa semakin berdaya.
Endurance menunjukkan penyebab-penyebab kesulitan hanya dianggap sebagai
sesuatu yang sifatnya sementara dan cepat berlalu.
Pertemanan dengan teman-teman sebaya dalam masa perkuliahan menjadi
pengaruh yang mendominasi pada mahasiswa dalam proses identifikasi dan
pengembangan dirinya dibandingkan lingkungan keluarga. Persahabatan dengan
teman sebaya diisi dengan kedekatan, kehangatan, serta dukungan di kala sedih,
gagal, atau senang. Teman merupakan tempat berbagi nilai-nilai hidup. Teman
menjadi sangat penting bagi seorang remaja. Hal ini disebabkan karena remaja
lebih ingin menghabiskan waktunya jauh dari keluarga, dan pada usia ini
kebutuhan lebih tinggi terhadap dukungan sosial.
51
Menurut Mu'tadin (2002) penyesuaian diri akan melibatkan individu dengan
lingkungannya, salah satu lingkungan yang memengaruhi penyesuaian mahasiswa
tahun pertama adalah lingkungan teman sebaya. Pembentukan hubungan yang erat
diantara kawan-kawan semakin penting pada masa remaja dibandingkan masamasa lainnya. Dukungan sosial yang diterima dari teman sebaya akan membantu
mahasiswa menemukan cara penyesuaian diri yang tepat sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Peranan positif dari dukungan sosial teman sebaya bagi
perkembangan kepribadian mahasiswa perantauan tahun pertama adalah mereka
merasa aman dan merasa dianggap penting dalam kelompok persahabatan, dapat
tumbuh dengan baik dalam kelompok persahabatan, mendapat tempat yang baik
bagi penyaluran rasa kecewa, takut, khawatir, tertekan, gembira, yang mungkin
tidak didapatkan di rumah. Ada pula Kartika (2011) yang mengatakan dukungan
sosial teman sebaya sangat penting untuk membantu remaja menyelesaikan
kesulitan yang tengah mereka hadapi, karena itu menemukan teman sebaya
dengan minat sama akan membuat mereka bisa lebih menyesuaikan diri. Sehingga
dapat dikatakan bahwa dukungan sosial dari teman sebaya memiliki peran yang
berarti bagi remaja itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas dapat diasumsikan bahwa dengan adversity quotient
dan dukungan sosial teman sebaya yang tinggi dapat membantu mahasiswa
perantauan tahun pertama untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial
yang baru.
52
F. KERANGKA BERPIKIR
Adversity
Quotient
Mahasiswa
Perantauan
Tahun Pertama
2 (+)
Penyesuaian
Diri
1(+)
Dukungan Sosial
Teman Sebaya
3 (+)
Bagan 1. Kerangka Berpikir Penelitian
Keterangan:
Anak panah nomor 1
: hipotesis 1
Anak panah nomor 2
: hipotesis 2
Anak panah nomor 3
: hipotesis 3
G. HIPOTESIS
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas maka penulis menjadikan hipotesis
penelitian ini sebagai berikut:
1. Terdapat hubungan positif antara adversity quotient dan dukungan sosial
teman sebaya dengan penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun
pertama.
2. Terdapat hubungan positif antara adversity quotient dengan penyesuaian
diri mahasiswa perantauan tahun pertama.
3. Terdapat hubungan positif antara dukungan sosial teman sebaya dengan
penyesuaian diri mahasiswa perantauan tahun pertama.
Download