Sejarah LEKRA Pekerja Seni Jaman Pemberontakan PKI

advertisement
Sejarah LEKRA Pekerja Seni Jaman Pemberontakan PKI
http://forum.viva.co.id/sejarah/1064756-sejarah-lekra-pekerja-seni-jaman-pemberontakan-pki.html
Luapan antusias terlanjur tidak bisa dibendung dan dua tuntutan dari PKI, yang juga
disetujui Lekra, dalam kenyataannya tidak banyak menolong. Sebabnya adalah, Lekra
kebanjiran penyair, kebanjiran sastrawan, kebanjiran seniman, dimana pandangan kala
itu semua orang bisa jadi sastrawan, semua orang bisa jadi seniman, semua orang bisa
jadi pengarang. Dan istilah “penyair,” “sastrawan,” dan “seniman” diganti dengan
“PEKERJA SENI” untuk mengesankan “sama rata sama rasa” di bidang seni: tidak ada
seniman, tidak ada sastrawan, tidak ada penyair, yang ada “PEKERJA SENI.”
Lahirnya istilah “PEKERJA SENI” sebagai pengganti “gelar” yang diangggap
diskriminatif dan bahkan dianggap mulia yang hanya dimonopoli golongan seniman, pada
hakekatnya adalah kecemburuan para politikus dalam PKI dan Lekra sendiri, yang ingin
semuanya jadi “seniman” meskipun bukan bidang dan bakat mereka. Tapi, berbekal gelar
“PEKERJA SENI,” seniman sungguh dan “seniman politik” jadi satu derajat, sama tinggi
bakat dan kemampuan seninya. Itu agaknya semacam “demokratisasi” dalam seni dan
dalam kenyataan, cukup banyak anggota pimpinan PKI, naik pangkat jadi “PEKERJA
SENI.”
LEKRA adalah sebuah gerakan kebudayaan yang nasional dan kerakyatan, yang di
dalamnya memang ada orang-orang yang jadi anggota PKI, tetapi yang sebagian
besarnya, bukan. Lekra didirikan dan bekerja untuk kepentingan yang nasional dan
kerakyatan di lapangan kebudayaan. LEKRA, sebagaimana terlihat pada
Mukaddimahnya, tidak mengazaskan kegiatannya pada pandangan klas dan atau
Marxisme-Leninisme. Juga organisasi yang mengatur kegiatannya tidak berbau
Leninisme sedikitpun. Jika terdapat karya di lingkungan LEKRA yang dialamatkan
langsung kepada kepentingan Partai Komunis Indonesia, sudah tentu secara langsung
menjadi tangungjawab pencipta karya itu, yang mungkin saja anggota PKI. Orang berhak
1
memuliakan sesuatu yang ia anggap demikian, namun haknya itu hendaklah pula
diperlakukan dengan adil ketika ia mempertanggungjawabkannya. Adapun
tanggungjawab LEKRA, ia berada di lingkup selama karya itu tidak anti rakyat dan tidak
anti Revolusi Agustus 45, atau seperti yang dinyatakan dalam Mukaddimahnya, “LEKRA
menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya, selama ia setia pada kebenaran, keadilan dan
kemajuan, dan selama ia mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya” dan
“LEKRA mengulurkan tangan kepada organisasi kebudayaan yang lain dari aliran atau
keyakinan apapun untuk bekerjasama dalam pengabdian ini.”
Sedangkan PKI, merupakan sebuah partai politik. Dan politik, adalah sebuah
pembidangan teoritis. Seni, sastra, ilmu dan kebudayaan juga demikian. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti kata politik sehubungan dengan ilmu adalah, pengetahuan
mengenai kenegaraan, seperti sistem dan dasar-dasar pemerintahan. Arti kedua ialah,
segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan negara. Arti ketiga, kebijaksanaan, atau cara bertindak. Imam Ghazali
merumuskan: “segala yang menyangkut negara adalah politik”. Misalnya dalam hal ini
masalah LEKRA dan PKI, dua buah organisasi yang saling terkait dalam kerjasama tapi
juga saling menentang. Salah satu pertentangannya yang laten dan yang fatal terjadi
ketika kira-kira menjelang akhir tahun 64, sebuah gagasan PKI disampaikan kepada
sementara anggota Pimpinan Pusat LEKRA. Gagasan itu menghendaki agar LEKRA
dijadikan organisasi PKI yang juga mempunyai anggota non-PKI. Jika LEKRA setuju
pada gagasan yang praktis mem-PKI-kan LEKRA, maka hal itu akan diumumkan secara
formal. Tapi LEKRA telah menolak gagasan itu. Alasannya sangat sehat, demokratis
dan sudah tentu demi kepentingannya sebagai organisasi kebudayaan yang tujuantujuannya telah disimpulkan di dalam mukaddimah organisasinya. Nyoto yang
Anggota Sekretariat Pimpinan Pusat LEKRA adalah juga Wakil Ketua II CC PKI, turut
serta menolak gagasan mem-PKI-kan LEKRA itu. PKI di tahun itu sedang bugarbugarnya. Dan LEKRA berhasil menentang penguasaan PKI secara organik atas
organisasi tersebut. Proses itu bukan tanpa taruhan. Apa yang kemudiannya dikenal
2
sebagai “Konferensi Sastra dan Seni PKI” adalah bagian dari pertentangan dan
pertarungan antara LEKRA dan PKI. Konferensi yang juga telah terang-terangan
memperbedakan LEKRA dengan PKI di bidang kebudayaan. Ironisnya malah terjadi di
tahun-tahun sesudah 65. Banyak orang yang mem-PKI-kan LEKRA. Sehingga yang
terjadi adalah, jika D.N. Aidit tidak berhasil, orang lain yang padahal atau tampak
seperti anti PKI, malah “berhasil” mem-PKI-kan LEKRA.
Mem-PKI-kan LEKRA dapat membawa kerancuan dalam tubuh seni, sastra dan bahkan
kebudayaan negeri ini karena penilaian dan penentangan yang tidak berujungpangkal.
Pewayangan tua, madya ataupun carangan, ketoprak dengan segala keterikatannya pada
babad selaku ancang-ancang sejarah, kesenian Bali dengan segala akarnya yang religi,
ludruk dan bermacam reog atau pun randai dengan kandungan realisme sejarah dan
satirenya, ataupun Cianjuran, Dogdog atau Tarling adalah di antara bentuk-bentuk seni
yang telah dicampuri LEKRA. Belum lagi kita bicara mengenai sastra, senirupa dan musik
Indonesia masa kini.
Bahwa di kalangan politik, “tribalisme” sering tampil sebagai metode pemecahan soal,
biarkanlah kafilah itu berlalu. Hal yang demikian tidak patut ditiru dan diberlakukan
bagi kebudayaan. Sebab kebudayaan, seni dan sastra, tidak dapat dimiliki oleh suatu
partai politik. Partai politik boleh berganti atau sirna, tetapi kebudayaan, tidak. Jika
yang ini sirna, atau sengaja disirnakan, pada akhirnya akan menuhukkan bangsa ini ke
lembah yang papa. Selain itu, bahwa mem-PKI-kan LEKRA adalah sebuah perbuatan yang
murni politik. Yang kandungan manipulasinya bisa luar biasa besarnya. Maka itu pula
agaknya, sehubungan dengan tragedi nasional G30SPKI, banyak seniman LEKRA yang
ditahan, tidak pernah diperiksa mengenai LEKRA, sebagai organisasi atau gerakan
kebudayaan. Juga tidak pernah diperlihatkan, “Surat Keputusan Pemerintah yang
membubarkan atau yang melarang LEKRA berdiri dan bergiat”, oleh tim-tim pemeriksa
yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia kita ini. Begitulah hukum formal itu
memperlakukan LEKRA. Politik, terutama politik praktis, dalam prakteknya, dapat
memanipulasi apa saja untuk kepentingan taktis atau pun strategisnya. Tapi tidak
demikian halnya dengan kerja kebudayaan. Ia tidak harus langsung tunduk kepada
kepentingan politik praktis, dan taktis serta tidak semua politik praktis dapat
dimanfaatkan kerja kebudayaan. Ia dapat dan biasa berada di luar jalur-jalur
kepentingan politik yang demikian.
Semboyan “Politik Adalah Panglima”, tidak berarti politik sesuatu partai adalah
yang harus dijadikan “panglima”. LEKRA tidak pernah mengikat diri pada
pengertian demikian. Sebab, konotasi politik dalam semboyan itu adalah wawasan,
bukan lembaga atau orang. Wawasan yang dapat lebur ke dalam proses penciptaan dan
karya seni sepereti patung, cerpen atau sajak. Dan di dalam proses inilah wawasan
politik itu tunduk pada tuntutan estetika artistik. Di sini estetika itu yang jadi panglima.
3
Di sini taraf keseniman yang menentukan. Di sini kejujuran dan hati nurani itu jadi
perdana menteri, jika kita ingin juga memakai analogi. Ada wawasan politik yang dapat
dilebur ke dalam kerja dan karya kebudayaan. Tapi ada juga yang tidak. LEKRA
misalnya, pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong kembali ke UUD 45”, tapi
tidak pernah mengeluarkan pernyataan “menyokong dibentuknya kabinet NASAKOM”
sebagai gebrakan politik praktis.
Tapi jika esensi “NASAKOM” itu diolah sebagai emansipasi bentuk persatuan nasional
bangsa ini, pendirian LEKRA juga jelas. Pengertian politik di sini merupakan bagian dari
perjalanan sejarah eksistensi masyarakat manusia Republik Indonesia ini. Jadi, LEKRA
tidak melakukan vulgarisasi pengertian dan pekerjaan politik. Dan pandangan demikian
dengan jelas dijalin di dalam “Mukaddimah LEKRA”. Lagi pula kita semestinya tidak
perlu lupa menyimak sebuah buku berjudul “ABRI sebagai kekuatan sosial dan pokokpokok kebijaksanaan dalam rangka memelihara dan meningkatkan kemanunggalan ABRI
dengan rakyat” terbitan 10 mei 1979 dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Buku itu antara lain dengan tandas sekali menyatakan bahwa “Walaupun titik berat
pembangunan kita terletak di bidang ekonomi, namun perlu diperhatikan bahwa
sesungguhnya bidang politik mendasari semua bidang pembangunan”. Tidak begitu lama
sesudah Mukaddimah Pertama LEKRA diumumkan, yaitu pada 17 Agustus 1950,
berdatanganlah kritik atasnya. Kritik-kritik itu pada pokoknya menyatakan bahwa
beberapa bagian dari Mukaddimah itu ternyata tidak cocok dengan keadaan Indonesia.
Ia mengandung sejumlah jargon yang tak mudah difahami umum. Hingga disusunlah
suatu Mukaddimah baru, seperti yang umumnya kita jumpai sekarang. Penggantian
Mukaddimah berlangsung secara formal dalam Konferensi Nasional Lekra ke-1, tahun
1957. Yang kemudian disyahkan oleh Kongres Nasional LEKRA ke I, tahun 1959 di Solo
yang penutupannya dihadiri Presiden Sukarno. Pidato Bung Karno pada penutupan
Kongres ini menjadi terkenal dan kontroversial, karena ia menyerukan sebuah sikap
menolak menjadikan “musik ngak-ngik-ngok” sebagai musik kebangsaan Indonesia,
terutama bagi kaum remaja Indonesia.
4
Download