Masyarakat Sipil dan Dorongan Perbaikan Tata

advertisement
Masyarakat Sipil dan Dorongan Perbaikan Tata Kelola Migas
Oleh :
Jalal
Aktivis Lingkar Studi CSR
www.csrindonesia.com
Disampaikan dalam Focus Group Discussion
Mendorong Revisi Undang – Undang Migas
Pasca Isu Korupsi SKK Migas
Diselenggarakan oleh
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bekerjasama dengan
Publish What You Pay (PWYP) Indonesia
Jakarta, 5 September 2013
Masyarakat Sipil dan Dorongan Perbaikan Tata Kelola Migas
Jalal
Aktivis Lingkar Studi CSR
www.csrindonesia.com
Kasus dugaan suap di puncak Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) terus
bergulir. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihatnya sebagai bagian kecil dari patgulipat dalam
industri migas yang melibatkan besaran rupiah yang sangat besar (Tempo, edisi 26/8-1/9). Namun,
rentangan terjauh dari kasus ini bukanlah sekadar urusan gratifikasi, suap dan korupsi,
melainkanhingga perdebatan mengenai tata kelola migas. Benar bahwa urusan gratifikasi, suap, dan
korupsi harus diusut tuntas—bukan saja yang terjadi di bagian hulu, melainkan hingga ke hilir
industri ini—namun sangat jelas juga bahwa tata kelola migas di masa mendatang harus
diperhatikan dengan saksama.
Mengingat Indonesia sedang berada dalam kondisi di mana para politisi tengah bersiap-siap untuk
menyambut pemilu legislatif April 2014, dan setelahnya pemilu presiden, hampir dipastikan bahwa
perhatian kepada tata kelola migas tidak akan dicurahkan dengan serius. Kalaupun tata kelola migas
disinggung dalam pembicaraan, tampaknya itu hanya akan menjadi komoditas politik. Sebagai
komoditas, tentu ia akan diiklankan sebagai hal yang sensasional, dan di situlah terdapat bahaya
besar bahwa substansinya tidak akan dipikirkan dengan masak-masak. Sebagai komoditas, ia juga
akan dipergunakan untuk menarik simpati sebanyak orang dalam jangka pendek. Dan, sekali lagi,
pemikiran jangka pendek, yang disampaikan kepada publik yang tidak paham benar substansinya,
bisa jadiakan membawa konsekuensi negatif dalam jangka panjang.
Salah satu bentuk dagangan politik yang mencuat setelah kasus dugaan suap untuk Kepala SKK
Migas menyeruak adalah desakan untuk mengembalikan pengelolaan migas kepada institusi pra-BP
Migas. Ada berbagai pihak yang dengan konsisten menyatakan bahwa agar konstitusional
pengelolaan industri migas seharusnya diserahkan kembali kepada BUMN Pertamina. Pertamina
dipandang sebagai satu-satunya institusi yang bisa memberikan keuntungan terbesar bagi negara ini,
lantaran ia adalah BUMN yang keuntungannya disetorkan kepada negara. Apalagi, karena
Pertamina bukan (belum?) merupakan perusahaan yang go public. Seluruh sahamnya dimiliki
Pemerintah RI, dan karenanya bisa menjamin pemasukan optimal. Kalau Pertamina juga menjadi
regulator, bukan saja sebagai operator seperti sekarang, maka potensi keuntunganpun dinyatakan
bisa berlipat.
Namun Ade Wahyudi (Koran Tempo, 21/8) mengingatkan kita semua bahwa sesungguhnya dahulu
Pertamina kehilangan posisi sebagai regulator karena masalah inefisiensi, kecenderungan
menyerahkan wilayah kerjanya kepada asing, serta perilaku mengejar rente. Pemisahan fungsi
regulator dan operator kemudian diperkenalkan dalam Undang-Undang 22/2001 tentang Minyak
dan Gas Bumi, dengan harapan membaiknya tata kelola migas. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) kemudian dibentuk untuk menjalankan fungsi regulator.
Nalar kita menyatakan bahwa pemisahan fungsi tersebut sangatmasuk akal, dan akan mencegah
banyak konflik kepentingan. Namun, kita kemudian menyaksikan upaya sejumlah pihak untuk
menggugat UU Migas dan menuntut pembubaran BP Migas dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi,
dengan argumentasi yang mirip ketika pemerintah hendak membentuk BP Migas—terutama
masalah inefisiensi, kecenderungan memberikan konsesi kepada pihak asing—selain kinerja yang tak
cukup moncer karena kecenderungan turunnya produksi, sementara biaya cost recovery malah
cenderung meningkat. Dengan bubarnya BP Migas, SKK Migas kemudian dinyatakan menjadi ganti
yang sifatnya sementara, hingga UU Migas yang baru terbentuk. Dengan terungkapnya kasus yang
diduga melibatkan Kepala SKK Migas, tuntutan untuk membubarkan SKK Migas dan menyegerakan
pengesahan UU Migas yang baru tampaknya terus menguat. Sekali lagi, sedikit banyak pasti
bermuatan politik.
Tetapi jelas kita mesti sangat berhati-hati dalam menghadapi tuntutan tersebut, karena regulasi
yang tadinya dianggap lebih baik pun ternyata masih menyisakan banyak masalah. Kini, dengan
situasi global dan nasional yang lebih kompleks dibandingkan ketika UU yang berlaku sekarang
dibuat, kehati-hatian sudah seharusnya ditingkatkan. Kita tak boleh mengendurkan kewaspadaan di
hadapan tuntutan-tuntutan untuk menyegerakan revisinya. Dalam salah satu kitab paling
terkemuka soal pendapatan dari industri ekstraktif, The Taxation of Petroleum and Minerals,
dinyatakan bahwa dalam industri ini keuntungan dari kebijakan yang benar sangatlah besar, namun
kerugian dari kebijakan yang salah bisa membawa suatu negara ke dalam bencana (Daniel, Keen,
McPherson, 2010). Kita tentu tak bisa lagi bereksperimen dengan kebijakan migas Indonesia, kalau
hendak menghindari bencana bagi bangsa ini.
Migas, oleh kebanyakan pihak, tampaknya masih saja terus dilihat sebagai sekadar komoditas, tidak
sebagai sumberdaya strategis untuk menopang kemajuan bangsa ini. Kita membaca betapa impor
migas untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sangatlah rawan dengan penyelewengan dan
korupsi. Sementara, dalam menjual produk dalam negeri perhitungan kepentingan pemenuhan
kebutuhan industripupuk nasional tampak disingkirkan, atau setidaknya dinomorduakan (Tempo,
edisi 26/8-1/9). Ini jelas melecehkan tujuan pengelolaan migas sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
3 UU Migas itu. Apalagi, kalau ternyata kabar yang banyak beredar di dunia maya dan ruang diskusi
ternyata benar. Kabar yang dimaksud adalah dugaan adanya setoran khusus bagi pihak penguasa
dari pihak yang menguasai impor minyak. Konon ada jatah penguasa dari setiap barel minyak yang
diimpor ke negara ini. Oleh karena itu, hal yang pertama-tama perlu ditegaskan dan ditegakan di UU
Migas yang baru kelak adalah sifat strategis dari sumberdaya ini, bukan sekadar komoditas yang
diperjualbelikan untuk memberi keuntungan bagi para pemainnya.
Sifat strategis sebetulnya sudah dinyatakan dalam UU Migas yang sekarang berlaku. Kalau kita
simak butir c hingga f di Pasal 3 UU Migas, di situ terbaca bahwa di antara tujuan pengelolaan migas
adalah: “ c.menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai
sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri; d. mendukung dan
menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional,
regional, dan internasional; e. meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang
sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi
industri dan perdagangan Indonesia; dan f. menciptakan lapangan kerja, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian
lingkungan hidup.” Tetapi, butir-butir itu kemudian hampir sama sekali tidak dibahas dalam pasalpasal selanjutnya. Oleh karena itu, kalau kita percaya bahwa migas adalah sumberdaya yang
strategis, maka detail lebih lanjut dari butir-butir tersebut musti dibuat—agar tak ada perselisihan
lagi soal bagaimana prioritisasi produksi dan konsumsi migas—dan penegakannya dipastikan.
Kedua, jelas pula bahwa UU Migas yang kini berlaku itu memberikan ruang kelewat kecil untuk aspek
sosial dan lingkungan, padahal sangat jelas dalam pengelolaan sebuah sumberdaya alam, kedua
aspek itu memegang peranan penting. UU Migas kita—juga berbagai UU sektoral yang lain—
memang masih bercorak teknis dan memberi ruang yang jauh lebih besar kepada aspek ekonomi.
Padahal, sebagaimana yang kerap diakui oleh para pelaku industri ini, sebagian besar masalah yang
dihadapi oleh pemerintah dan perusahaan yang bergerak dalam industri migas berasal dari kedua
aspek—sosial dan lingkungan—yangkurang diperhatikan itu. Migas tentu saja tak bisa mengabaikan
perkembangan terkait pembangunan berkelanjutan yang meniscayakan bahwa segala sektor musti
mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan sekaligus.
Bahkan, pada
perkembangannya yang mutakhir, aspek ekonomi kerap digambarkan sebagai bagian dari aspek
sosial, sementara aspek sosial menjadi bagian dari aspek lingkungan. Dengan perkembangan
tersebut, sudah sewajarnya kalau aspek sosial dan lingkungan tidak sekadar menjadi “pelengkap
penderita” dalam UU Migas yang baru. Perhitungan yang matang atas ketiga aspek minimal
disetarakan, kalau malah bukan aspek sosial dan lingkungan menjadi lebih tinggi kedudukannya.
Di level global, kesadaran bahwa aspek sosial dan lingkungan dalam industri migas perlu diregulasi
dengan ketat pada level tertinggi sudah menguat sejak 2 dekade lalu. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya bukti bahwa industri migas memang membawa banyak mudarat sosial ketika tidak diatur
dengan ketat. Perusahaan-perusahaan kecenderungannya memang bermain di sekitar kepatuhan
pada regulasi, kalau malah bukan cenderung melanggarnya. Sepanjang biaya yang ditanggung kalau
ketahuan melanggar regulasi itu lebih murah dibandingkan keuntungan yang diperoleh dari
pelanggaran itu, banyak perusahaan yang bermain-main di wilayah abu-abu dan hitam.
Penelitian-penelitian Michael Watts (1999, 2005) dan Phillipe Le Billon (2001), dua di antara pakar
ekologi politik paling terkemuka, membuktikan bahwa mudarat sosial industri ini memang bersifat
global. Perang, pelanggaran HAM, perampasan tanah adalah di antara jenis-jenis mudarat yang ada.
Dalam aspek lingkungan, diketahui bahwa produksi dan konsumsi bahan bakar fosil telah menjadi
penyebabantropogenik utama dari pemanasan global. Jejak kaki ekologis (ecological footprint) umat
manusia membengkak dengan sangat cepat, hingga sekarang kita menyaksikan bahwa manusia
hidup dengan mengkonsumsi 1,5 kali lipat daya dukung Bumi. Penyebabnya adalah konsumsi bahan
bakar fosil, yang mencakup migas dan batubara. Berbagai kasus pencemaran dalam skala raksasa
juga mewarnai industri ini. Tak pelak, UU Migas yang berwawasan lingkungan sudah seharusnya
memuat pengaturan soal mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pembatasan konsumsi, dan
pencegahan pencemaran, di antara isu-isu lingkungan lainnya. Ketegasan ancaman hukuman bagi
pelanggaran prinsip keberlanjutan sosial dan lingkungan, karenanya, merupakan keniscayaan di UU
Migas yang baru.
Ketiga, terkait dengan kedua butir di atas, transparensi maksimum adalah hal yang harus
dimunculkan dalam UU Migas yang baru. Berbagai inisiatif seperti EITI dan PWYP sudah
diperjuangkan begitu lama di Indonesia, dengan hasil yang belum menggembirakan. Inisiatif-inisiatif
yang sangat baik tersebut seharusnya bisa mendapatkan dukungan dari regulasi hingga
keberlakuannya tak bisa ditunda lagi. Di level global juga terdapat inisiatif untuk memastikan bahwa
kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan setiap perusahaan migas bisa diakses dengan mudah, dan
diperbandingkan satu sama lain. Ini misalnya dipelopori oleh IPIECA dan Global Reporting Initiative
(GRI). Berbagai negara sudah memberlakukan kewajiban pelaporan dengan standar GRI—sekarang
sudah masuk ke Generasi 4 atau G4—bagi perusahaan terbuka. Uni Eropa malahan mewajibkan
seluruh perusahaan—bukan cuma perusahaan terbuka—untuk melaporkan kinerjanya dengan
standar itu mulai tahun 2015 mendatang. Kita sangat perlu mendorong transparensi industri migas
di Indonesia melalui UU Migas yang baru, untuk mengikis seluruh patgulipat di industri ini yang
ditengarai masih terus terjadi hingga sekarang.
Keempat, kaitan antara pengelolaan migas dengan sumber energi lainnya serta pengelolaan
sumberdaya alam juga belum tampak di UU Migas yang kini berlaku. Padahal, kalau kita hendak
menjadikan migas sebagai sumberdaya strategis, keterkaitannya dengan bauran energi dan
sumberdaya alam lain secara keseluruhan sangat penting dibuat dengan tegas. Kalau kita benarbenar menginginkan berbagai bentuk energi bersih, sudah harus diatur bagaimanapendapatan migas
dijadikan pendorong sumber energi bersih. Temuan Michael Klare (2013) yang dituangkan dalam
The Third Carbon Age menegaskan bahwa perusahaan migas global ternyata jauh lebih menggenjot
investasi di teknologi baru untuk tetap mengambil bahan bakar fosil itu, dibandingkan dengan
beralih ke energi bersih. Teknologi semacam hydro-fracking dan pengambilan oil sand sangat
berkembang di Amerika Utara, dan menjadikan tujuan peralihan ke energi bersih tertunda, kalau
bukan menjadi suram. Klare membuka tulisannya dengan pernyataan tak mengenakkan soal efikasi
energi dengan menyatakan:
“Many other experts share this view, assuring us that increased reliance on “clean” natural gas
combined with expanded investments in wind and solar power will permit a smooth transition to a
green energy future in which humanity will no longer be pouring carbon dioxide and other greenhouse
gases into the atmosphere. All this sounds promising indeed. There is only one fly in the ointment: it
is not, in fact, the path we are presently headed down. The energy industry is not investing in any
significant way in renewables. Instead, it is pouring its historic profits into new fossil-fuel projects,
mainly involving the exploitation of what are called “unconventional” oil and gas reserves. The result
is indisputable: humanity is not entering a period that will be dominated by renewables. Instead, it is
pioneering the third great carbon era, the Age of Unconventional Oil and Gas.”
Dalam beberapa tulisan, kita mengetahui bahwa para pakar migas di Indonesia juga memperhatikan
perkembangan baru itu. Menurut mereka, Indonesia memiliki cadangan yang sangat besar yang bisa
diambil dengan teknologi-teknologi yang kini giat dipromosikan perusahaan migas itu. Sangat boleh
jadi, dalam waktu dekat tawaran untuk mengeksplorasi kemungkinan itu akan datang ke Indonesia.
Mengingat kemungkinan harga yang lebih murah dibandingkan dengan bentuk-bentuk energi baru
dan terbarukan, dunia usaha dan Pemerintah Indonesia mungkin akan mempertimbangkannya juga.
Namun, seperti yang dikemukakan Klare, kalau teknologi seperti itu dipergunakan, maka kita akan
sangat sulit beranjak ke bauran energi yang lebih ramah lingkungan. Kalau tawaran untuk
menggunakan teknologi itu datang ke Indonesia, bagaimana strategi kita? Tampaknya para
pendorong UU Migas yang baru juga mesti memikirkan kemungkinan tersebut.
Kaitan dengan sumberdaya alam lain juga perlu ditegaskan dalam UU Migas yang baru. Dalam Oil
Wealth and Fate of the Forest, Sven Wunder (2003) menggambarkan bahwa berbagai negara sukses
memanfaatkan kekayaan minyaknya untuk menjaga bahkan menambah luasan hutannya. Apakah
kaitan seperti ini—memanfaatkan sumberdaya alam yang satu untuk menjaga sumberdaya alam
yang lain—yangkita inginkan, atau kita akan meneruskan pengerukan semua sumberdaya alam
secara masif? Penelitian Wunder membuktikan bahwa tidak semua negara menjalankan strategi
mengeksploitasi sumberdaya alam secara bersama-sama dalam skala raksasa. Penghematan dan
pemanfaatan bijak sumberdaya alam dengan pertimbangan keberlanjutan telah dipergunakan oleh
berbagai bangsa untuk memastikan kondisi lingkungan, sosial, dan ekonomi yang terus terjaga.
Negara-negara yang sukses menjalankan itu, dalam kesimpulan Wunder, bukanlah negara yang
pertumbuhan ekonominya terhambat, melainkan terus tumbuh dalam kecepatan yang masuk akal
dan akan bisa terus begitu dalam jangka panjang. Sebaliknya, negara-negara yang menjarah seluruh
sumberdaya alamnya dengan kecepatan tinggi suatu saat akan mengalami kondisi ekonomi yang
melambat, bahkan “terjun bebas”, sebagaimana yang digambarkan Paul Collier (2010) dalam The
Plundered Planet. Sekali lagi, kaitan antara sektor migas dengan eksploitasi/konservasi/rehabilitasi
sumberdaya alam lain mesti ditegaskan.
Terakhir, UU Migas yang ada perlu diperbaiki dengan menegaskan siapa saja pemangku
kepentingannya, sehingga lembaga manapun yang nantinya akan mengurusi tata kelola migas jelas
kepada siapa ia bertanggung jawab. Harus diakui bahwa sebagian besar pemangku kepentingan
industri migas sebetulnya diasingkan di dalam UU Migas yang kini berlaku. Dengan sifat yang luar
biasa teknis, hanya para spesialis yang bisa memahaminya. Pengaturan di dalamnya sangat jelas
membuat Pemerintah Indonesia sebagai penguasanya, dan kontraktor migas sebagai pelaksana.
Sementara, masyarakat luas yang memiliki kepentingan sangat tinggi atas beresnya tata kelola migas
sama sekali tidak mendapatkan ruang partisipasi. Masyarakat luas, generasi sekarang maupun
mendatang, jelas harus menjadi pihak yang pertama-tama ditimbang ketika memutuskan bagaimana
migas dikelola. Pihak-pihak tertentu mungkin bisa menyatakan bahwa kerugian bagi masyarakat
sudah diminimalkan dan keuntungannya sudah dimaksimalkan dengan sistem production sharing
contract yang kini berlaku. Tetapi klaim tersebut harus dapat dibuktikan kepada masyarakat, dan
sepanjang masih dapat diperbaiki, kita harus terus mengupayakannya. Bagaimana mekanisme
pertanggungjawaban regulator dan operator migas kepada masyarakat luas haruslah diatur di dalam
UU Migas yang baru.
Untuk memastikan akuntabilitas penuh
regulator dan operator migas kepada
masyarakat bisa dimulai dari bagaimana UU
Migas yang baru akan dibuat. Studi dari
Robinson, Torvik dan Verdier (2006) bertajuk
Political Foundations of the Resource Curse
mengingatkan kita semua bahwa pembuatan
regulasi soal industri ekstraktif—tidak hanya
migas—jangansampai dilepaskan kepada
para politisi. Mereka menemukan bahwa di
seluruh dunia kecenderungannya seragam:
politisi
membuat
regulasi
yang
memungkinkan eksploitasi berlebih dan
mengabaikan efisiensi, demi kepentingan
politik mereka.
Lalu, siapa yang seharusnya memimpin dalam
upaya pembuatan regulasi industri ekstraktif,
termasuk migas?Studi terbaru dari Globsecan dan SustainAbility (2013) yang berjudul Changing
Tack, Extending Corporate Leadership on Sustainable Developmentmungkin memberikan jawaban
yang kokoh. Studi tersebut menunjukkan bahwa sebetulnya pemerintah di manapun—yang
didominasi oleh politisi—memilikikinerja paling buruk dalam berbagai inisiatif keberlanjutan,
padahal seharusnya merekalah yang memimpin inisiatif tersebut (lihat gambar di atas). Di sisi lain,
kinerja tertinggi sebetulnya ditunjukkan oleh organisasi non-pemerintah dan bisnis sosial, yang tidak
seharusnya memimpin inisiatif itu. Yang kini oleh seluruh dunia diharapkan menjadi pemimpin
inisiatif keberlanjutan sesungguhnya adalah kemitraan multi-sektoral serta gerakan sosial yang
didukung oleh massa. Dengan demikian, organisasi non-pemerintah, yang memiliki pengetahuan
dan keterampilan tertinggi, serta kepentingan terhadap pembangunan berkelanjutan, sesungguhnya
yang harus memberikan usulan paling komprehensif ke dalam kemitraan tersebut, dan/atau yang
harus menggerakkan massa untuk melakukan gerakan sosial.
Seluruh organisasi non-pemerintah di Indonesia yang memiliki perhatian haruslah merumuskan
strategi besar industri migas dengan wawasan keberlanjutan, dengan tidak terburu-buru, dan
dengan tidak membiarkan politisi membajaknya. Pengetahuan lebih mendalam mengenai aspek
teknis dalam tata kelola migas harus diperoleh, demikian juga pengetahuan mengenai bagaimana
negara-negara lain sukses mengembangkan tata kelola migas untuk kepentingan strategis. Setelah
tata kelola migas yang baik dapat dirumuskan, gerakan untuk mengarusutamakannya harus
dilaksanakan. Mumpung para politisi masih akan terus sibuk hingga akhir 2014.
Dituliskan sebagai pengantar diskusi dalam “Mendorong Revisi Undang-Undang Migas Pasca-Isu Korupsi SKK
Migas” di Hotel Akmani, Jakarta, 5 September 2013. Sebagian isi tulisan ini telah dipublikasikan di Koran
Tempo edisi 29 Agustus 2013 dengan judul “Membayangkan Undang-Undang Migas yang Baru”.
Download